Anda di halaman 1dari 5

ASUHAN KEBIDANAN PEMASANGAN INFUS

PADA NY. Y UMUR 27 TAHUN P2 A0 AH2


DI PUSKESMAS MATANDAHI

REFLEKSI KASUS

OLEH,
Tin Qamariah
1910104031

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2020
REFLEKSI KASUS PEMASANGAN INFUS

(PELAKSANAAN PEMASANGAN INFUS TANPA MEMAKAI HANDSCOON)

1. DESKRIPSI KASUS

Pemasangan infus tanpa menggunakan handscoon diruang perawatan

Puskesmas Matandahi, standarnya harus menggunakan APD terlebih pasien

yang dipasangi infus mengalami penyakit yang dapat ditularkan. Resiko

infeksi tinggi dapat ditularkan melalui darah saat pemasangan infus

tanpa menggunakan handscoon dan kurangnya perhatian terhadap prosedur

pelaksanaan utamanya cuci tangan dan kelengkapan alat menggunakan

handscoon. Dengan banyak tindakan pemasangan infus dan aff infus

tanpa penggunaan handscoon dibeberapa kamar resiko tinggi infeksi

semakin mudah ditularkan karena teknik prosedur tindakan yang dilakukan.

Penyebab utamanya kurangnya kelengkapan alat diruangan dan apotek

habis untuk penyediaan handscoon.

2. EMOSI KASUS

Pada saat menghadapi kasus seperti ini merasa kasihan melihat apa yang terjadi

di ruang perawatan. Melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar

operasional prosedur pemakaian alat dan APD berdasarkan tindakan pemasangan

infus, dan aff infus sesuai akademik maupun institusi Puskesmas. Perawat tidak

memikirkan mengenai keselamatan pasien danperawat itu sendiri dengan kontaminasi

dan resiko tinggi penularan melalui darah saat proses tindakan dilakukan. Masalah

ketersediaan inilah yang tidak memadai, akan menambah jumlah kejadian angka

infeksi dirumahsakit.
3. EVALUASI

a. Sisi positif

Dengan tidak melakukan tindakan sesuai dengan prosedur yang ada, lebih

mempercepat proses penanganan untuk pemberian obat dan pemasangan infus

tepat waktu dapat mengurangi beban kerja perawat.

b. Sisi negatif

Pemasangan infus tanpa penggunaan handscoon terhadap pasienyang resiko

tinggi penularan. Kejadian ini adalah salah satu kesalahan besar karena akan

menyebabkan cairan atau darah yang kontak langsung dengan tenaga medis

kesehatan akan tertular saat kondisi tersebut.

4. ANALISIS KASUS
a. SOP Puskesmas : Persiapan alat dan langkah yang tertera di SOP sesuai dengan

standar yang ada, pemakaian APD termasuk handscoon untuk mencegah terjadinya

infeksi nosokomial.

b. Jurnal : Pada Jurnal telah dijelaskan bahwa salah satu faktor terjadinya infeksi

nosokomial terjadi ketika petugas kesehatan tidak memperhatikan prosedur seperti

memakai handscoon untuk mencegah infeksi nosokomial.

c. Buku : Alat Pelindung Diri (APD) sangat penting untuk dipakai oleh seorang

tenaga medis dalam melaksanakan tugas. APD ini digunakan oleh petugas

memiliki dua fungsi yaitu untuk kepentingan penderita dan sekaligus untuk

kepentingan petugas itu sendiri. Perlengkapan pelindung diri dalam praktek

kesehariannya lebih banyak berfungsi sebagai “pelindung penderita” daripada

sebagai “pelindung petugas”. Melindungi penderita dari kemungkinan terjadinya

infeksi mikroba merupakan tugas pokok yang dimulai saat penderita masuk rumah
sakit untuk menjalani prosedur tindakan medis serta asuhan keperawatan sampai

tiba saatnya penderita keluar dari rumah sakit (Darmadi, 2008, hlm.88).

5. KESIMPULAN

Sebaiknya dalam melakukan tindakan pemasangan maupun aff infus, atau bahkan

tindakan medis lainnya petugass lebih memperhatikan konsep aseptik, dikhawatirkan

terjadinya infeksi nosokomial serta dapat menyebarkan transmisi mikoorganisme.

6. TINDAK LANJUT

Apabila saya menemukan kembali kasus yang sama maka saya akan memberitahu

kepada bidan yang melakukan tindakan tersebut agar memperhatikan alat pelindung

diri sebelum melakukan tindakan untuk menghindari infeksi nosokomial dan apabila

saya yang melakukan tindakan medis tersebut maka saya akan melakukan sesuai

dengan prosedur SOP yang sudah ada.


DAFTAR PUSTAKA

Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya.


http://books.google.co.id/books?id=B
dkOHaf5RIC&printsec=frontcover&hl=id#v=o nepage&q&f=false, diakses 01
Maret 2020.

Depkes, RI. (2010). Pedoman pelaksanaan kewaspadaan universal di pelayanan


kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Maulana, H.DJ. (2003). Promosi kesehatan. Jakarta : EGC.

Notoatmodjo, S. (2007). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai