DOSEN PENGAMPU :
Disusun Oleh :
NIM 202005015
TAHUN 2021
PRODI S1 KEBIDANAN
A. Kebutuhan Oksigenasi
1. Takipnea/ hipernea, yaitu frekuensi pernafasan yang jumlah nya meningkat diatas
frekuensi pernafasan normal.
2. Bradipnea, yaitu kebalikan dari takipnea dimana frekuensi pernafasan yang
jumlahnya menurun dibawah frekuensi pernafasan normal.
3. Insufisiensi pernafasan
Masalah yang umum terjadi terkait dengan kebutuhan oksigen ini, antara lain :
1. Tidak Efektifnya Jalan Napas Masalah keperawatan ini menggambarkan kondisi jalan
napas yang tidak bersih, misalnya karna adanya sumbatan, penumpukan sekret,
penyempitan jalan napas oleh karena spasme bronkus, dan lain lain. Tidak efektifnya
Pola Napas Tidak efektifnya pola napas ini merupakan suatu kondisi dimana pola napas,
yaitu inspirasi dan ekspirasi, menunjukkan tidak normal. Penyebab biasanya karena
kelemahan neuromuskular, adanya sumbatan ditrakeobronkhinal, kecemasan dan lain
lain.
2. Gangguan pertukaran gas Gangguan pertukaran gas merupakan suatu keadaan dimana
terjadi ketidakseimbangan antara oksigen yang dihirup dengan karbondioksida yang
dikeluarkan pada pertukaran gas antara alveoli dan kapiler. Penyebabnya bisa karena
perubahan membran alveoli, kondisi anemia, proses penyakit, dan lain- lain
3. Penurunan perfusi jaringan Penurunan perfusi jaringan adalah suatu keadaan dimana sel
kekurangan suplai nutrisi dan oksigen. Penyebabnya dapat terjadi karena kondisi
hipovelemia, hipervolemia, retensi karbon diogsida.
4. Intoleransi aktivitas Intoleransi aktivitas adalah keadaan dimana seseorang mengalami
penurunan kemampuan untuk melakukan aktivirtasnya. Penyebabnya antara lain karena
ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, produksi yang dihasilkan
menurun, dan lain-lain.
5. Perubahan pola tidur Gangguan kebutuhan oksigen dapat mengakibatkan pola tidur
terganggu. Kesulitan bernafas (sesak nafas) menyebabkan seseorang tidak bisa tidur.
Perubahan pola tidur juga dapat terjadi karena kecemasan dengan penyakit yang
dideritanya.
Fisioterapi dada
Fisioterapi dada merupakan suatu rangkaian tindak keperawatan yang terdiri atas perkusi,
vibrasi dan postural drainage.
a. Perkusi
Disebut juga clapping adalah pukualn kuat, bukan berarti sekuat-kuatnya, pada dinding
dada dan punggung dengan tangan dibentuk seperti mangkuk. Tujuannya, secara mekanik dapat
melepaskan sekret yang melekat pada dinding bronkhus.
Prosedur:
1. Tutup area yang akan dilakukan perkusi dengan handuk atau pakaian untuk
mengurangi ketidaknyamanan.
2. Anjurkan klien tarik napas dalam dan lambat untuk meningkatkan relaksasi
3. Perkusi pada tiap segmen paru selama 1-2 menit
4. Perkusi tidak boleh dilakukan pada daerah dengan struktur yang mudah cedera seperti
: mammae, sternum dan ginjal.
b. Vibrasi Getaran kuat secara serial yang dihasilkan oleh tangan perawat yang diletakkan
datar pada dinding dada klien. Tujuannya, vibrasi digunakan setelah perkusi untuk
meningkatkan turbulensi udara ekspirasi dan melepaskan mukus yang kental. Sering
dilakukan bergantian dengan perkusi.
Prosedur:
1. Letakkan telapak tangan, telapak tangan menghadap ke bawah di area dada yang akan
di drainage. Satu tangan diatas tangan yang lain dengan jari-jari menempel bersama
dan ekstensi. Cara yang lain: tangan bisa diletakkan secara bersebelahan.
2. Anjurkan klien menarik napas dalam melalui hidung dan menghembuskan napas
secara lambat lewat mulut atau pursed lips.
3. Selama masa ekspirasi, tegangkan seluruh otot tangan dan lengan dan gunakan
hampir semua tumit tangan. Getarkan (kejutkan) tangan keaarh bawah. Hentikan
getaran jika klien melakukan inspirasi.
4. Setelah tiap kali vibrasi, anjurkan klien batuk dan keluarkan sekret ke dalam tempat
sputum.
c. Postural drainage Merupakan salah satu intervensi untuk melepaskan sekresi dari
berbagai segmen paru-paru dengan menggunakan pengaruh gaya gravitasi. Waktu yang
terbaik utnuk melakukannya yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan sekitar 1 jam
sebelum tidur pada malam hari. Postural drainage harus lebih sering dilakukan apabila
lendir klien berubah warnanya menjadi kehijauan dan kental atau ketika klien menderita
demam.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan postural drainage yaitu:
1. Batuk 2 atau 3 kali berurutan setelah setiap kali berganti posisi
2. Minum air hangat setiap hari sekitar 2 liter.
3. Jika harus menghirup bronkodilator, lakukanlah 15 menit sebelum melakukan
postural drainage
4. Lakukan latihan napas dan latihan lain yang dapat membantu mengencerkan lender
Peralatan:
Bantal
Papan pengatur posisi
Tisu wajah
Segelas air
Sputum pol
Prosedur:
1. Cuci tangan
2. Pilih area yang tersumbat yang akan di drainage berdasarkan pengkajian semua area
paru, data klinis dan chest X-ray.
3. Baringkan klien dalam posisi untuk mendrainage area yang tersumbat. 4
4. Minta klien mempertahankan posisi tersebut selama 10-15 menit.
5. Selama 10-15 menit drainage pada posisi tersebut, lakukan perkusi dan vibrasi dada
diatas area yang di drainage
6. Setelah drainage pada posisi pertama, minta klien duduk dan batuk. Bila tidak bisa
batuk, lakukan suction. Tampung sputum di sputum spot.
7. Minta klien istirahat sebentar bila perlu
8. Anjurkan klien istirahat sebentar bila perlu.
9. Anjurkan klien minum sedikit air.
10. Ulangi langkah 3-8 sampai semua area tersumbat telah ter drainage
11. Ulangi pengkajian dada pada semua bidang paru.
12. Cuci tangan
13. Dokumentasikan
1. Tarik napas dalam lewat hidung dan tahan napas untuk beberapa detik
2. Batukkan 2 kali. Pada saat batuk tekan dada dengan bantal. Tampung sekret pada
sputum pot.
3. Hindari penggunaan waktu yang lama selama batuk karena dapat menyebabkan
fatigue dan hipoksia.
4. Suctioning (pengisapan lendir) Pengisapan lendir (suction) merupakan tindakan pada
pasien yang tidak mampu mengeluarkan sekret atau lendir secara sendiri. Tindakan
tersebut dilakukan untuk membersihkan jalan napas dan memenuhi kebutuhan
oksigenasi.
Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.
3. Atur pasien dalam posisi terlentang dan kepala miring ke arah perawat
4. Gunakan sarung tangan
5. Hubungakan kateter penghisap dengan selang penghisap
6. Hidupkan mesin penghisap
7. Lakukan penghisapan lendir dengan memasukan kateter pengisap ke dalam kom
berisi akuades atau NaCl 0,9% untuk mencegah trauma mukosa.
8. Masukkan kateter pengisap dalam keadaan tidak mengisap
9. Tarik lendir dengan memutar kateter pengisap sekitar 3-5 detik
10. Bilas kateter dengan akuades atau NaCl 0,9%
11. Lakukan hingga lendir bersih
12. Catat respon yang terjadi
13. Cuci tangan
B. Kebutuhan Eliminasi
Katerisasi Pada Wanita
Teknik kateterisasi uretra wanita harus diawali dengan persiapan pasien, yaitu melakukan
pemeriksaan identitas pasien, memastikan indikasi prosedur, serta mengkonfirmasi kembali
pasien tidak memiliki kondisi yang menjadi kontraindikasi dari pemasangan kateter ini. Saat
dilakukan tindakan kateterisasi uretra, pasien harus melakukan teknik relaksasi nafas dalam
untuk mengurangi intensitas nyeri dan rasa gugup pasien
Persiapan Pasien
Dokter atau tenaga medis yang akan melakukan prosedur kateterisasi harus menjelaskan
tujuan, teknik, dan efek samping yang mungkin terjadi secara mendetail kepada pasien. Berikan
kesempatan pasien untuk bertanya, kemudian minta persetujuan pasien atau informed consent.
Pastikan privasi pasien terjaga saat akan melakukan prosedur kateterisasi uretra, seperti
dilakukan di ruangan yang tertutup dan tidak ada orang asing di dekat pasien. Sebaiknya pasien
membuka sendiri pakaian bagian bawah kecuali kondisi pasien tidak mampu.
Posisi Pasien
Pasien berbaring dengan posisi litotomi, yaitu berbaring dengan kedua kaki terbuka dan
lutut diangkat keatas. Kemudian letakan kain perlak di area bokong pasien.
Gambar 1. Posisi Litotomi Kateterisasi Uretra Wanita
Peralatan
Peralatan kateterisasi uretra wanita biasa disebut set kateter yang telah ditempatkan dan
dibungkus pada kondisi steril. Peralatan yang diperlukan untuk pemasangan kateter uretra pada
wanita terdiri dari:
Selang kateter memiliki berbagai jenis ukuran dan bahan. Ukuran selang kateter
dikategorikan berdasarkan usia dan jenis kelamin, sedangkan bahan selang kateter disesuaikan
dengan durasi pemakaian.
Ukuran diameter selang kateter menggunakan skala ukuran French (Fr), dimana 1 Fr
sama dengan 0,33 mm. Variasi ukuran selang kateter mulai dari 12 Fr (diameter kecil) hingga 28
Fr (diameter besar). Umumnya orang dewasa menggunakan selang kateter berdiameter 16‒18 Fr,
anak menggunakan 5‒12 Fr disesuaikan dengan berat badan. Untuk anak usia <6 bulan
menggunakan ukuran 5 Fr dengan selotip.
Bahan selang kateter dipilih berdasarkan lama pemakaian, dan juga kondisi pasien.
Selang kateter berbahan PVC (polyvinyl chloride) atau plastik umumnya lebih kaku dan kurang
nyaman, sehingga biasanya hanya digunakan dalam jangka waktu singkat. Selang kateter
berbahan latex atau karet juga hanya digunakan dalam jangka waktu pendek, yaitu kurang dari 3
minggu. Namun, banyak yang melaporkan reaksi alergi terhadap bahan latex sehingga
penggunaannya sudah dibatasi.
Bahan selang kateter yang umum digunakan saat ini adalah bahan silikon 100%, karena
lebih hipoalergenik dan bisa digunakan dalam jangka waktu lama, yaitu sampai 12 minggu.
[2,13]
Selain berdasarkan ukuran dan bahan, selang kateter juga dibedakan berdasarkan
bentuknya yang disesuaikan dengan lama pemakaian. Jika penggunaan hanya dalam waktu
singkat atau intermittent urinary catheters, maka selang kateter dipilih yang tidak memiliki balon.
Terdapat 2 tipe ujung selang intermiten, yaitu ujung lurus dan ujung coude (melengkung sedikit).
Tipe ujung lurus umumnya untuk pasien wanita dan anak, sedangkan ujung melengkung untuk
pasien pria.
Jika penggunaan selang kateter untuk durasi lama atau indwelling urinary catheters
biasanya digunakan kateter foley yang memiliki balon. Ketika selang kateter foley sudah masuk
ke dalam kandung kemih, kateter akan ditahan di tempatnya dengan balon yang diisi dengan
cairan steril. Umumnya balon pada kateter bisa mengembang sampai 10 ml. Balon pada kateter
ini tidak boleh dikembangkan dengan udara karena balon tidak bisa tetap diam di tempatnya.
Balon yang dikembangkan dengan cairan salin normal berisiko terjadi kristalisasi.
Setelah pasien pada posisi dan peralatan tersedia, petugas kesehatan melakukan prosedur
cuci tangan sesuai protokol kesehatan. Selanjutnya membuka bungkusan set kateter tanpa
menyentuh peralatan di dalamnya agar tetap steril, dan kemudian menggunakan sarung tangan
steril.
Pemasangan kateter uretra yang rutin dilakukan biasanya secara blind. Langkah-langkah
kateterisasi uretra pada pasien wanita adalah:
Gunakan tangan non dominan untuk membuka labia dengan ibu jari dan jari
telunjuk, sehingga tangan ini menjadi tidak steril dan dapat digunakan untuk
mengekspos area vulva selama prosedur
Gunakan tangan dominan untuk memegang penjepit steril dan kapas yang sudah
dibasahi antiseptik untuk melakukan desinfeksi area meatus uretra sampai ke
vulva, dengan gerakan memutar dari arah dalam ke luar dan diulang sebanyak 3
kali
Tanpa menggerakan tangan non dominan yang membuka labia, letakan kain duk
steril pada area meatus yang terbuka di sekitar vulva
Jika pasien setuju untuk menggunakan anestesi topikal, gunakan spuit tanpa jarum
untuk memasukan 5 ml gel lidokain 2% ke dalam uretra, kemudian tutup lubang
uretra untuk menahan gel selama 2‒3 menit
Ambil selang kateter dengan menggunakan tangan dominan atau tangan yang
steril, oleskan lubrikan atau gel lidokain di ujung selang kateter
Masukkan selang kateter ke dalam uretra dengan perlahan dan lembut, minta
pasien menarik nafas dalam untuk mengurangi rasa sakit, lanjutkan memasukan
selang kateter sampai urin keluar sebagai tanda selang telah mencapai kandung
kemih, kemudian majukan lagi sekitar 5 cm dari titik tersebut
Pada indwelling urinary catheters, kembangkan balon pada ujung kateter foley
dengan memompa air steril dengan spuit melalui lubang inflasi (cuff inflation
port), pastikan pasien merasa nyaman dan tidak nyeri saat balon dikembangkan
Tarik sedikit selang kateter untuk memastikan balon kateter sudah memfiksasi
posisi selang kateter
Pasang ujung selang kateter tempat urin keluar ke penampung urin (urine bag)
Fiksasi selang kateter dengan menggunakan plester yang direkatkan ke paha
pasien, atau ke tempat khusus untuk kateter (catheter stand)
Bereskan peralatan, pastikan kembali pasien merasa nyaman, lepaskan sarung
tangan, dan lakukan prosedur cuci tangan
Jika saat pemasangan kateter uretra secara blind di atas tidak ada urin yang keluar,
maka lakukan aspirasi urin dengan menggunakan spuit. Apabila tetap tidak ada
urin yang keluar, maka tarik keluar selang kateter kemudian coba pasang kembali.
Dan jika pada percobaan kedua masih tidak ada urin yang keluar, maka
diperlukan pemeriksaan ultrasonografi untuk melihat posisi kateter di kandung
kemih.
Pemasangan kateter pada anak perempuan memiliki prosedur yang sama, yang berbeda
adalah pemasangan pada neonatus perempuan . Umumnya posisi meatus uretra berada tepat di
atas pinggiran hymen atau selaput dara. Kemudian ukuran kateter foley yang digunakan juga
lebih kecil yaitu 6 Fr. Pastikan anak tidak kesakitan selama proses pemasangan kateter, jika
terasa sakit maka mungkin kateter tidak berada tepat di kandung kemih. Perhatikan juga bahwa
anak di bawah usia 6 bulan tidak menggunakan balon kateter, cukup memastikan bahwa kateter
sudah terfiksasi baik dengan menggunakan plester di luar.
Selang intermittent urinary catheters dapat segera dikeluarkan kembali setelah kandung
kemih kosong. Pelepasan kateter dapat dilakukan dengan tetap memastikan peralatan yang
digunakan steril, dan sebaiknya pasien diminta menarik nafas saat selang dikeluarkan untuk
mengurangi rasa sakit.
Pada indwelling urinary catheters, sebelum menarik keluar selang kateter, balon kateter
harus dikempeskan terlebih dahulu dengan cara menarik isi cairan menggunakan spuit. Tetap
lakukan prosedur pelepasan dalam keadaan steril, dan menarik selang kateter harus perlahan agar
meminimalisasi risiko trauma uretra.
Follow up setelah pemasangan kateter adalah:
Menjaga kebersihan area meatus uretra, termasuk setelah buang air besar
Membersihkan selang kateter yang terpasang dengan air hangat dan sabun
minimal 2 kali sehari, dengan arah mencuci menjauhi uretra
Mengosongkan urine bag kira-kira setiap 8 jam, atau lebih cepat jika sudah penuh
Membilas selang kateter dengan cairan solusi khusus, seperti cairan salin, jika
aliran urin dalam selang kateter terhenti akibat sumbatan dari lendir, deposit
kristal, atau kristal mineral kecil
Memberikan obat yang dapat membuat urin bersifat lebih asam, seperti
methenamine atau potassium acid phosphate, untuk mencegah penyumbatan
selang kateter berulang, serta meminta pasien untuk minum air lebih banyak untuk
memperlancar saluran kemih
Kateterisasi jangka lama dapat menyebabkan otot kandung kemih kejang,
sehingga dapat menyebabkan urin bocor di sekitar kateter. Karena itu, pasien
dapat diberikan obat antispasmodik. Jika pasien mengalami obstruksi uretra
komplit atau trauma pada area uretra maka dianjurkan untuk menggunakan
kateterisasi suprapubik.
Teknik prosedur pemasangan kateter uretra akan membuat operator kontak dengan darah
atau cairan tubuh pasien, terutama bila operator masih belum memiliki pengalaman sebelumnya.
Oleh sebab itu, pencegahan standar harus diperhatikan sebelum melakukan prosedur, misalnya
menggunakan sarung tangan mulai dari mempersiapkan pasien dan peralatan yang akan
digunakan, pelindung wajah atau mata, hingga gaun. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk
melindungi operator, tetapi juga untuk mengurangi risiko infeksi pada pasien.
Persiapan Pasien
Pasien dijelaskan mengenai prosedur yang akan dilakukan, keuntungan dan risiko
prosedur, komplikasi, hingga kemungkinan tindakan lain yang mungkin dilakukan. Apabila
pasien setuju untuk dilakukan tindakan, sebaiknya pasien diminta untuk menandatangani surat
persetujuan (informed consent). Kemudian pasien diminta untuk membuka pakaian bagian
bawah, lalu tidur dengan posisi menghadap ke atas, dan kedua lutut ditekuk (frogleg position).
Peralatan
Alat dan bahan disiapkan terlebih dahulu untuk menentukan jenis kateter yang akan
digunakan, dan antisipasi komplikasi yang mungkin terjadi. Anestesi topikal yang digunakan
adalah lidokain gel 2% steril, yang bisa dimasukan ke dalam saluran kemih menggunakan spuit
berbahan plastik (5-10 mL) atau dengan aplikator berujung tumpul (pada beberapa produksi
pabrik, lidokain gel sudah berada didalam aplikator). Secara umum, alat dan bahan yang
dibutuhkan dalam set pemasangan kateter yaitu :
Povidon iodine
Kapas steril
Anestetik gel lubrikan
Duk steril
Sarung tangan steril
Kateter uretra
Spuit yang sudah diisi larutan salin
Kantung urin yang sudah terhubung dengan kateter
Bahan dasar kateter yang dapat digunakan yaitu bahan Lateks, Silikon, Silver alloy atau
yang sudah dilapisi dengan antibiotik (Antibiotic-impregnated)
Prosedural
Setelah pasien siap, dan alat serta bahan sudah tersedia, maka dapat dilakukan
pemasangan kateter dengan prosedur berikut:
Buka selang kateter dari bungkus, dan letakan di area steril diantara kedua kaki
pasien
Siapkan cairan povidon iodin, dengan kapas steril. Buka aplikator lubrikan
Lidokain 2% dan letakan di area steril
Cuci kedua tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir, lalu kenakan
sarung tangan steril
Pegang penis pasien dengan tangan nondominan dan tarik preputium ke arah
belakang (jika masih ada). Tangan ini adalah tangan nonsteril yang akan
memegang penis selama prosedur berlangsung
Dengan menggunakan forceps steril, lakukan asepsis dan antisepsis menggunakan
paling sedikit 3 kapas steril berbeda yang sudah diberikan povidon-iodin dengan
gerakan memutar ke arah luar mulai dari uretra, glans penis, batang penis dan
kulit sekitarnya. Pasang duk steril yang sudah disiapkan
Dengan menggunakan spuit 5-10 mL (tanpa jarum) atau aplikator yang sudah
berisi Lidokain gel 2%, masukan gel ke dalam uretra dengan tangan non-steril
menahan posisi penis. Segera tutup lubang uretra dengan menggunakan ujung jari
untuk menahan keluarnya gel. Tunggu selama 2-3 menit sebelum pemasangan
kateter dilakukan
Pegang kateter dengan tangan steril (kateter sudah dilepaskan dari bungkusnya),
lalu berikan lubrikan nonanestetik (biasanya sudah disediakan di set kateter) di
sepanjang selang kateter secukupnya. Perhatikan lubrikan yang diberikan jangan
sampai menutupi ujung distal dari selang kateter (akan menyumbat kateter)
Dengan menggenggam batang penis 90 derajat ke arah kepala pasien dan sedikit
ditarik ke arah atas untuk menjaga saluran uretra berada pada posisi lurus. Secara
perlahan, masukan selang kateter ke dalam lubang uretra. Masukan selang uretra
hingga mencapai bagian ujung kateter (bentuk Y)
Tunggu sejenak untuk melihat apakah urin dapat mengalir dari selang kateter,
untuk memastikan posisi ujung kateter sudah masuk ke dalam kandung kemih.
Apabila urin tidak keluar secara spontan, gunakan spuit 60 mL untuk mencoba
menyedot urin melalui selang kateter. Apabila urin masih tidak keluar, lepaskan
kateter dan ulangi kembali prosedur pemasangan (sebaiknya setelah dipastikan
keberadaan urin di kandung kemih dengan USG)
Ketika urin sudah terlihat mengalir keluar dari ujung selang kateter, hubungkan
dengan selang yang terhubung ke kantung urin.
Kembangkan balon ujung kateter dengan menyuntikkan 5-10 mL larutan normal
salin/NaCl 0,9% melalui katup pengembang yang berada di ujung kateter (ukuran
banyaknya larutan yang disuntikkan dapat dilihat pada katup ini). Pengembangan
balon kateter pada posisi masih berada di saluran uretra akan menyebabkan nyeri
hebat, perdarahan (gross hematuria), hingga robekan uretra
Secara perlahan, tarik selang kateter ke arah luar hingga terasa adanya tahanan.
Posisikan kateter ke paha pasien lalu fiksasi dengan menggunakan isolasi. Apabila
pasien belum disirkumsisi, posisikan kembali preputium ke posisi awal, dan
perhatikan apakah terjadi kesulitan untuk menghindari terjadinya parafimosis
Bereskan kembali alat dan bahan yang sudah digunakan, cuci tangan kembali
dengan sabun dan air mengalir
Dokumentasikan atau catat ukuran kateter yang digunakan, volume air yang
diinjeksikan ke dalam balon kateter, respon pasien selama pemasangan dilakukan,
hingga pemeriksaan awal terhadap urin yang keluar
Beberapa hal yang menjadi perhatian, adalah pada pemasangan kateter Coude yang
memiliki ujung lebih keras dan agak membengkok. Posisikan ujung kateter tetap menghadap ke
anterior agar area bola kecil yang berada di ujung kateter dapat melewati area diafragma
urogenital. Ujung kateter ini dapat terjebak di lekukan posterior antara uretra dengan diafragma
urogenital. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan penekanan ke arah atas di area perineum ketika
dilakukan pemasangan selang kateter.
Gambar: Posisi fiksasi selang kateter terpasang. Sumber: anonim, Openi, 2008. Gambar:
Posisi fiksasi selang kateter terpasang. Sumber: anonim, Openi, 2008.
Pelepasan Kateter
Jika kateter akan diganti dengan yang baru atau perlu dilepas, maka balon yang
dikembangkan dapat dikempiskan kembali dengan menggunakan spuit, lalu tarik selang kateter
dengan perlahan. Apabila timbul rasa nyeri, rasa tidak nyaman yang cukup hebat, tahanan saat
penarikan selang, hingga kegagalan aspirasi kembali larutan salin menjadi tanda bahwa balon
gagal dikempiskan. Kondisi ini dapat terjadi bila ada sumbatan dia saluran pengembang, yang
disebabkan oleh rusaknya katup atau pembekuan/kristalisasi dari cairan pengembang. Hal yang
dapat dilakukan apabila kondisi ini terjadi yaitu :
Pastikan posisi balon kateter tetap berada di dalam kandung kemih dengan
menggunakan USG, lalu coba kempiskan kembali dengan menggunakan spuit
Bila tidak berhasil, potong bagian proksimal saluran pengembang di ujung kateter,
untuk membuka area katup sehingga air bisa keluar secara spontan
Bila tidak berhasil, masukan kawat (wire) yang sudah dilapisi lubrikan melalui
saluran pengembang untuk membuka saluran agar air dapat mengalir
Bila tidak berhasil, kateter vena sentral (22 G) dapat dimasukan ke dalam saluran
pengembang dipandu wire yang masih terpasang. Jika ujung kateter berhasil
masuk ke dalam balon, maka air akan mengalir keluar
Apabila tetap tidak berhasil, 10 mL minyak mineral dapat diinjeksikan melalui
area katup pengembang untuk memecahkan balon dalam 15 menit. Bila tidak
terjadi kemajuan, maka dapat ditambahkan 10 mL minyak kembali
Apabila semua hal yang dilakukan di atas tidak berhasil, konsulkan ke urologi
untuk dapat memecahkan balon dengan instrumen yang lebih tajam
Follow Up
Setelah dilakukan pemasangan kateter, maka perlu dilakukan monitoring lebih lanjut
pada pasien, untuk melihat apakah terjadi kendala atau risiko pada kateter yang terpasang. Pasien
sebaiknya diedukasi untuk segera ke fasilitas kesehatan terdekat apabila mengalami beberapa hal
berikut:
Terjadi spasme pada kandung kemih, mirip seperti spasme perut di bagian bawah
Kateter tersumbat, atau urin keluar dari lubang uretra (orificium urethra
externum).
Apabila terdapat bercak darah atau bekuan darah pada kateter
Apabila terdapat sedimentasi atau batu di selang kateter atau kantung urin
Apabila mengalir darah dari kateter ke kantung urin
Perdarahan di sekitar selang kateter
Terdapat gejala-gejala yang mengarah ke infeksi saluran kemih bawah seperti
nyeri perut bawah, demam atau menggigil, dan urin menjadi keruh serta berbau
menyengat
Urin bocor dalam jumlah banyak di sekitar selang kateter
Bengkak pada uretra di sekitar selang kateter
Urin yang keluar hanya sedikit atau tidak ada sama sekali meskipun sudah minum
cukup air
Kateter terlepas
Dokter yang menangani, harus segera mengatasi gejala yang ada, karena risiko akan
meningkat apabila pasien tidak mendapatkan tindakan. Terkadang urin dapat mengalami
kebocoran di sekitar kateter, karena hal berikut :
D. Pemeriksaan Laboratorium
Tes glukosa urine adalah pemeriksaan pada sampel urine untuk mengetahui ada/ tidaknya
glukosa dalam urine. Indikasi pemeriksaan ini adalah sebagai tes saring untuk penyakit diabetes
mellitus.
PRA ANALITIK :
ANALITIK
Cara Kerja:
PASCA ANALITIK
Interpretasi:
NEG : Cairan tetap biru, jernih, bisa agak hijau, atau sedikit keruh
1+ : Hijau kekuningan (glukosa 0,5-1,0 gr%)
2+ : Kuning kehijauan (glukosa 1,0-1,5 gr%)
3+ : Kuning (glukosa 1,5-2,5 gr%)
4+ : Jingga/merah (glukosa 2,5-4,0 gr%)
E. Macam-Macam Injeksi
1. Injeksi subkutan
Suntik insulin dilakukan dengan injeksi subkutan
Injeksi subkutan dilakukan dengan menyuntik obat ke jaringan lemak
Injeksi subkutan dilakukan dengan menyuntikkan obat ke jaringan lemak di
bawah kulit. Bisa dibilang ini adalah salah satu cara penyuntikan yang lebih
mudah dibandingkan yang lain.
Itu sebabnya, beberapa pasien mungkin akan diajarkan untuk menyuntik secara
mandiri. Salah satu yang paling sering menggunakan injeksi subkutan adalah
suntik insulin bagi diabetesi (orang dengan diabetes).
Obat yang telah masuk ke jaringan subkutan kemudian akan menuju pembuluh
darah kapiler untuk selanjutnya diedarkan ke seluruh tubuh lewat sistem
peredaran darah.
Suntikan subkutan ini biasanya dipilih jika obat yang dikonsumsi berpotensi
hancur saat melalui saluran pencernaan.
2. Injeksi intramuskular
Injeksi intramuskular sering dilakukan untuk vaksin
Injeksi intramuskular sering dilakukan untuk vaksin
Sesuai namanya, cara penyuntikan intramuskular berarti menyuntikkan obat ke
dalam otot. Mengingat letak otot lebih dalam dibandingkan jaringan lemak,
dibutuhkan jarum yang lebih panjang untuk cara pemberian obat ini.
Intramuskular adalah metode yang paling umum dalam menyuntikkan vaksin.
Namun, beberapa obat juga bisa disuntikkan dengan cara intramuskular.
Mengutip dari sebuah tulisan berjudul Intramuscular injection, macam-macam
obat yang diberikan lewat injeksi intramuskular, antara lain antibiotik (seperti
penisilin dan streptomisin) serta obat hormon, seperti testosteron dan
medroxyprogesterone
Biasanya, suntikan intramuskular dipilih jika dosis obat yang diberikan lebih
besar. Cara ini dipilih untuk menghindarkan pasien dari efek samping obat yang
mungkin muncul jika minum obat oral.
Lokasi suntik intramuskular (ke dalam otot), yaitu lengan atas, paha, atau bokong
Lokasi penyuntikan ini akan memengaruhi seberapa cepat penyerapan obat oleh
tubuh.
3. Injeksi intravena
Infus adalah pemberian obat secara intravena
Infus adalah pemberian obat secara intravena
Injeksi intravena merupakan cara penyuntikan dengan memasukkan jarum
langsung ke pembuluh darah (vena). Infus merupakan cara memasukkan obat atau
cairan secara intravena.
Obat biasanya dapat diberikan lewat satu kali suntik, atau diberikan melalui infus
yang tergantung. Anda mungkin pernah mendapatkan obat lewat satu kali
suntikan di tangan yang terpasang infus. Sekaligus, menerima dari kantung infus
yang digantung.
Jenis suntikan intravena merupakan cara terbaik memberikan obat. Cara ini
memungkinkan obat diberikan dengan dosis yang tepat.
Obat yang diberikan lewat injeksi intravena juga akan langsung masuk ke aliran
darah dan disebarkan ke seluruh tubuh. Dengan begitu, efek kerja obat juga lebih
cepat dibandingkan subkutan dan intramuskular.
4. Injeksi intratekal
Injeksi intratekal sering digunakan untuk bius epidural
Injeksi intratekal sering digunakan untuk bius epidural
Rute pemberian obat secara intratekal dilakukan dengan menyuntikkan obat ke
antara ruas tulang tulang belakang bagian bawah. Obat nantinya akan disuntikkan
ke ruang di sekitar sumsum tulang belakang.
Cara ini diambil jika obat yang disuntikkan perlu segera bekerja untuk otak,
sumsum tulang belakang, atau selaput otak. Beberapa obat antinyeri, seperti
morfin juga diberikan lewat intratekal.
Sebagai contoh, beberapa ibu hamil yang hendak melahirkan bisa menerima
suntikan epidural lewat intratekal.
F. Kebutuhan Nutrisi
Persiapan Pasien
Memberikan anestesi topikal dan menunggu sekitar 5 menit agar anestesi lokal
efektif
Minta pasien untuk membuka mulut dan gunakan tongue depressor (penekan
lidah) sebelum menggunakan anestesi topikal supaya pasien merasa nyaman dan
tidak tersedak
Peralatan
Sarung tangan dan jika diperlukan alat pelindung diri lainnya seperti pelindung
wajah dan mata
Anestesi topikal berupa lidocaine baik dalam bentuk spray maupun gel
Pelumas berbasis air (water-based lubricant)
Pelumas bisa dalam bentuk kombinasi dengan anestesi topical
Nasogastric tube
Dewasa: ukuran 16 – 18 French
Anak: ukuran tepat nasogastric tube adalah berdasarkan usia. Untuk menghitung
ukuran yang tepat (dalam satuan French), tambahkan usia anak dengan 16, lalu
hasil yang didapat dibagi dengan 2. Misalnya pada pasien berusia 6 tahun, maka
ukuran nasogastric tube yang tepat adalah 11 French ([6+16]/2 = 11). Secara
umum ukuran selang yang dapat digunakan dapat dilihat di Tabel 1
Satu gelas air minum dan sedotan
Stetoskop
Syringe
Strip indikator pH
Plester
Baskom atau plastik untuk emesis[1,2,4,5]
Posisi Pasien
Pemasangan nasogastric tube pada pasien dewasa dilakukan pada posisi duduk tegak.
Jika tidak bisa duduk, lakukan dengan posisi High Fowler atau setidaknya bagian tubuh atas
ditinggikan 45 derajat.
Balita dan anak sebaiknya diposisikan dalam posisi duduk dipangku oleh pengasuh
mereka. Tangan pengasuh yang satu diletakan di dahi anak dan satunya melintang dada anak.
Pada bayi, bungkus menggunakan kain sehingga seluruh kaki dan tangan terbungkus di dalam
kain.[1,4,5]
Prosedural
1. Pastikan pasien sedang dalam posisi duduk tegak dengan leher sedikit fleksi/mendongak
ke atas
2. Lumasi ujung distal nasogastric tube (sekitar + 10 cm) dengan pelumas berbasis air
3. Masukkan nasogastric tube secara hati-hati dan parallel menyusuri lantai/floor hidung
(posisi selang adalah horizontal dan parallel dengan mulut, bukan ke atas mengikuti
bentuk luar hidung), hingga mencapai belakang nasofaring di mana akan terasa adanya
tahanan (umumnya pada 10- 20 cm nasogastric tube)
4. Saat terasa adanya tahanan, sedikit tundukkan kepala pasien dan minta pasien untuk
menelan ludah atau minum segelas air dengan menggunakan sedotan. Pada bayi dan anak
kecil, berikan minum untuk membantu nasogastric tube masuk ke dalam esophagus
5. Jika tahanan masih dirasakan, tarik selang sebanyak 1-2 cm, lalu secara perlahan
putar nasogastric tube sambil mendorong ke bawah
6. Terus masukkan nasogastric tube hingga batas yang telah ditentukan di awal
7. Hentikan pemasangan dan keluarkan selang sepenuhnya jika:
Pasien mengalami distres pernafasan
Pasien tidak dapat bicara
Ada pendarahan nasal yang signifikan
Nasogastric tube mengalami tahanan yang signifikan
Nasogastric tube tergulung di mulut
1. Rontgen Toraks
2. Manometri
Manometri dapat dilakukan pada pasien dengan ventilasi mekanik. Adanya perubahan
tekanan bifasik yang sinkron dengan tekanan udara saat ventilasi mekanik mengindikasikan
pemasangan nasogastric tube di saluran pernafasan. Jika ada perubahan tekanan saat kompresi
daerah epigastrium mengindikasikan nasogastric tube terletak di lambung
3. Auskultasi Lambung
Meski tidak lagi direkomendasikan, metode ini bisa dipertimbangkan pada kondisi
layanan kesehatan di tempat terpencil tanpa adanya fasilitas radiologis.
Metode pemeriksaan pH dengan melakukan aspirasi cairan (sekitar 0,5 - 1 mL) dan
memeriksa kadar pH cairan yang teraspirasi menggunakan strip indikator pH (kertas litmus tidak
direkomendasikan) juga merupakan metode yang tidak lagi disarankan untuk konfirmasi
posisi nasogastric tube. Indikator pemasangan yang benar adalah pH cairan yang diaspirasi <6
berarti cairan berasal dari lambung. Walau demikian, penelitian membuktikan bahwa saluran
cerna juga dapat menunjukkan pH >6 sehingga terjadi inakurasi hasil. Kondisi ini terutama
terjadi pada pasien dengan riwayat konsumsi obat lambung seperti antasida, proton pump
inihibitor dan H2 agonis dan yang sedang mendapatkan continuous feeding
Saat pasien menahan nafas, epiglottis akan menutupi tenggorokan dan glotis menutup,
maka menurunkan kemungkinan nasogastric tube masuk ke dalam trakea. Sewaktu nasogastric
tube yang masuk mencapai kedalaman 15-20 cm, pasien diminta untuk melakukan pernafasan
abdomen untuk mengurangi ketidaknyamanan dan menghindari kegagalan dalam
pemasangan nasogastric tube.
Follow up
Setelah dilakukan pemasangan nasogastric tube, segera lakukan pemantauan.
Pemantauan juga perlu dilakukan secara berkala setiap:
Indikasi :
1. Resusitasi, Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti
oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang
bergerak ke intertisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan
dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler.
Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume besar (biasanya paru-paru),
penggunaan dalam jumlah besar menyebabkan akumulasi natrium.
Cara Kerja Obat : keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi
elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler.
Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida
merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan
berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan
kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.
Peringatan dan Perhatian : ”Not for use in the treatment of lactic acidosis”. Hati-hati
pemberian pada penderita edema perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function & pre-
eklamsia.
3. Dekstrosa
Komposisi : glukosa = 50 gr/l (5%), 100 gr/l (10%), 200 gr/l (20%).
Indikasi : sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi
selama dan sesudah operasi. Diberikan pada keadaan oliguria ringan sampai sedang (kadar
kreatinin kurang dari 25 mg/100ml).
Kontraindikasi : Hiperglikemia.
Adverse Reaction : Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat menyebabkan
iritasi pada pembuluh darah dan tromboflebitis.
Larutan ini merupakan salah satu Jenis Cairan Infus kristaloid yang cukup banyak diteliti.
Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat) dimana laktat terutama dimetabolisme di hati,
sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik yang
memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi
pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis.
Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil seperti
ini, RA memiliki manfaat-manfaat tambahan pada dehidrasi dengan kehilangan bikarbonat masif
yang terjadi pada diare.
Indikasi : Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi sudah seharusnya diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Hal ini
dikarenakan adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Ringer Asetat telah tersedia luas di berbagai negara. Cairan ini terutama diindikasikan
sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka
bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur operasi; loading cairan saat induksi
anestesi regional; priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga diindikasikan
pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi.
Cairan infus jenis Koloid Merupakan larutan yang terdiri dari molekul-molekul besar
yang sulit menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti cairan intravaskuler.
Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, efek samping lebih
banyak, dan lebih mahal.
Mekanisme secara umum memiliki sifat seperti protein plasma sehingga cenderung tidak
keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan
dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaannya membutuhkan
volume yang sama dengan jumlah volume plasma yang hilang. Digunakan untuk menjaga dan
meningkatkan tekanan osmose plasma.
5. Albumin
Komposisi : Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa yang
dimurnikan dari plasma manusia (cotoh: albumin 5%).
Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena : volume yang
dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, resiko akumulasi di dalam jaringan pada
penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan resiko terjadinya anafilaksis
lebih kecil.
Indikasi :
Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Pasien
dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan albumin dan furosemid yang dapat
memberikan efek diuresis yang signifikan serta penurunan berat badan secara bersamaan.
Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi, kebakaran,
operasi besar, infeksi (sepsis syok), berbagai macam kondisi inflamasi, dan ekskresi renal
berlebih.
Pada spontaneus bacterial peritonitis (SBP) yang merupakan komplikasi dari sirosis.
Sirosis memacu terjadinya asites/penumpukan cairan yang merupakan media pertumbuhan yang
baik bagi bakteri. Terapi antibiotik adalah pilihan utama, sedangkan penggunaan albumin pada
terapi tersebut dapat mengurangi resiko renal impairment dan kematian. Adanya bakteri dalam
darah dapat menyebabkan terjadinya multi organ dysfunction syndrome (MODS), yaitu
sindroma kerusakan organ-organ tubuh yang timbul akibat infeksi langsung dari bakteri.
Caian HES
Komposisi : Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin.
Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran kapiler.
Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu penelitian
menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien sepsis karena :
Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping itu HES tetap bisa
digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi kenaikan permeabilitas.
Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin menunjukkan
manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid.
Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti asidosis refraktori.
Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan pada
sepsis karena :
Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid (HES), yang
manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli.
HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan dengan gelatin pada
pasien sepsis dengan hipovolemia.
HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF, pruritus,
dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh:
transplantasi ginjal).
Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin pada
pasien dengan sepsis.
Adverse reaction : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan pruritus.
7. Dextran
Komposisi : dextran tersusun dari polimer glukosa hasil sintesis dari bakteri Leuconostoc
mesenteroides, yang ditumbuhkan pada media sukrosa.
Indikasi :
Penambah volume plasma pada kondisi trauma, syok sepsis, iskemia miokard, iskemia
cerebral, dan penyakit vaskuler perifer.
Adverse Reaction : Dextran dapat menyebabkan syok anafilaksis, dextran juga sering
dilaporkan dapat menyebabkan gagal ginjal akibat akumulasi molekul-molekul dextran pada
tubulus renal. Pada dosis tinggi, dextran menimbulkan efek pendarahan yang signifikan.
8. Gelatin
gelofusin
cairan gelofusin
Komposisi : Gelatin diambil dari hidrolisis kolagen bovine.
Kontraindikasi : haemacel tersusun atas sejumlah besar kalsium, sehingga harus dihindari
pada keadaan hiperkalsemia.
Adverse reaction : dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Pada penelitian dengan 20.000
pasien, dilaporkan bahwa gelatin mempunyai resiko anafilaksis yang tinggi bila dibandingkan
dengan starches.
9. MANNITOL
D-Manitol. C6H14O6
Indikasi
Menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi karena edema serebral, meningkatkan
diuresis pada pencegahan dan/atau pengobatan oliguria yang disebabkan gagal ginjal,
menurunkan tekanan intraokular, meningkatkan ekskresi uriner senyawa toksik, sebagai larutan
irigasi genitouriner pada operasi prostat atau operasi transuretral.
10. ASERING
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam
berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.
Komposisi:
Na 130 mEq
K 4 mEq
Cl 109 mEq
Ca 3 mEq
Asetat (garam) 28 mEq
Keunggulan:
Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami
gangguan hati
Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih baik dibanding
RL pada neonatus
Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan
isofluran
Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA,
dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema
serebral
11. KA-EN 1B
Indikasi:
Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal pada kasus
emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)
Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV. Kecepatan sebaiknya 300-
500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak
Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam
Komposisi :
Elektrolit (meq/L) :
Na+ 38,5
Cl- 38,5
Glukosa 37,5 g/L
kcal/L : 150
12. KA-EN 3A
Indikasi:
Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan
kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas
Kompisisi KA-EN 3A
Elektrolit (mEq/L)
Na+ 60
K+ 10
Cl- 50
laktat- 20
glukosa : 27 g/L.
kcal/L : 108
13. KA-EN 3B
Tiap liter isi mengandung
Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit
dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan
asupan oral terbatas
Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
Mensuplai kalium 20 mEq/L
Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400 kcal/L
Komposisi :
Elektrolit (mEq/L) :
Na+ 50,
K+ 20,
Cl- 50,
laktat- 20,
glukosa 100 g/L;
kcal/L: 400
15. KA-EN 4A
Indikasi :
Na 30 mEq/L
K 0 mEq/L
Cl 20 mEq/L
Laktat 10 mEq/L
Glukosa 40 gr/L
16. KA-EN 4B
Indikasi:
Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang 3 tahun
Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko
hypokalemia
Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik
Komposisi:
Na 30 mEq/L
K 8 mEq/L\
Cl 28 mEq/L
Laktat 10 mEq/L
Glukosa 37,5 gr/L
17. Otsu-NS
Indikasi:
Untuk resusitasi
Kehilangan Na > Cl, misal diare
Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum,
insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)
Na+ = 154
Cl– = 154
18. Otsu-RL
Indikasi:
Resusitasi
Suplai ion bikarbonat
Asidosis metabolik
Na+ = 130
Cl– = 108.7
K+ = 4
Ca++ = 2.7
Laktat = 28
19. MARTOS-10
Indikasi:
20. AMIPAREN
Indikasi:
Komposisi
L-leucine 14g,
L-isoleucine 8g,
L-valine 8g,
lysine acetate 14,8g (L-lysine equivalent 10,5g),
L-threonine 5,7g,
L-tryptophan 2g,
L-methionine 3,9g,
L-phenylalanine 7g,
L-cysteine 1g,
L-tyrosine 0,5g,
L-arginine 10,5g,
L-histidine 5g,
L-alanine 8g,
L-proline 5g,
L-serine 3g,
aminoacetic acid 5,9g,
L-aspartic acid 30 w/w%,
total nitrogen 15,7g,
sodium kurang lebih 2 mEq,
acetate kira-kira 1220 mEq.
Sodium bisulfit ditambahkan sebagai stabilisator.
21. AMINOVEL-600
Indikasi:
Komposisi :
Elektrolit :
Sodium 35 mEq,
potassium 25 mEq,
magnesium 5 mEq,
acetate 35 mEq,
maleate 22 mEq,
chloride 38 mEq.
L-isoleucine 3,2gram,
L-leucine 2,4g,
L-lysine (calculated as base) 2g,
L-methionine 3g,
L-phenylalanine 4g,
L-threonine 2g,
L-tryptophan 1g,
L-valine 3,2g,
L-arginine (calculated as base) 6,2g,
L-histidine (calculated as base) 1g,
L-alanine 6g,
glycine 14g,
L-proline 2g
22. PAN-AMIN G
Indikasi:
Indikasi :
Air & elektrolit yang dibutuhkan pada fase sebelum, selama, & sesudah operasi.
Memenuhi kebutuhan air dan elektrolit selama masa pra operasi, intra operasi dan pasca
operasi
Memenuhi kebutuhan air dan elektrolit pada keadaan dehidrasi isotonik dan kehilangan
cairan intraselular
Kontraindikasi :
Insufisiensi ginjal
kekurangan Fruktosa-1-6-difosfate