Disusun oleh:
2022
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
1. Ibu Asirotul Ma’rifah, SST., M.Kes dosen mata kuliah Ginekologi dalam
Kebidanan
2. Rekan-rekan sekelompok yang bekerjasama menyelesaikan makalah ini, serta
3. Semua pihak yang turut mendukung terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik selanjutnya.
Terima kasih sekali lagi kami ucapkan kepada orang-orang yang telah
bersangkutan dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini dapat menambah
wawasan bagi teman-teman semuanya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................................iv
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................................2
BAB ll............................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
BAB lll.........................................................................................................................53
PENUTUP...................................................................................................................53
3.2 Saran.................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................54
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dalam pembuatan makalah ini bertujuan
untuk:
2
BAB ll
PEMBAHASAN
2. Hematoma
3
Seperti telah dikatakan bahwa dalam
kehamilan pembuluh-pembuluh darah vena dapat
mekar, baik yang berada dalam rongga panggul
maupun yang di luar (genitalia eksternal). Dalam
kehamilan, persalinan atau sesudah bersalin
pembuluh darah ini dapat pecah, menyebabkan
perdarahan keluar atau tertutup (hematoma).
Perdarahan dan hematoma volva dan vagina bisa
pula disebabkan trauma, baik trauma di luar
maupun trauma dalam persalinan.
3. Peradangan
Peradangan yang dijumpai dapat berupa
vulvitis, vaginitis, kolpitis atau vulvo – vaginitis,
vulvo – kolpitis, dan servitis. Bisa juga dijumpai
Bartholinitis dan abses. Kuman – kuman
penyebabnya antara lain adalah :
a. Infeksi spesifik : sifilis, gonorea,
trikomoniasis, kandidiasis, dan
amubiasis.
b. Infeksi nonspesifik : eksema, pruritus
vulvae, scabies, pedikulus publis,
bartholinitis.
4
4. Kondilomata Akuminata
Kondilomata akuminata adalah
pertumbuhan kulit dan selaput lendir seperti bunga
kol atau jengger ayam jago, dengan permukaan
kasar, papiler menonjol dengan warna agak gelap,
berkumpul menjadi satu, dan disebut konglomerat.
Penyebab pasti belum jelas, diduga disebabkan
virus atau sebab lain. Jika kondilomata besar,
dapat menghalangi kelangsungan persalinan. Oleh
karena itu harus diobati :
a. Yang kecil : dieksisi atau dikikis
dengan kuret.
b. Yang besar : dieksisi lalu
dikoterisasi.
5. Kista Vagina
Biasanya berasal dari duktus Gartner atau
duktus Muller, bisa berukuran kecil dan dapat
menjadi besar sehingga bukan saja mengganggu
pertumbuhan namun dapat pula menyukarkan
persalinan. Bila dijumpai dalam kehamilan,
penanganannya adalah :
a. Kehamilan muda : diekstirpasi
setelah kehamilan 3-4 bulan.
b. Dalam persalinan : jika kecil maka
tidak menghalangi turunnya kepala,
tidak mengganggu persalinan.
5
Setelah 3 bulan pasca persalinan
dilakukan ekstirpasi tumor. Bila
besar dan menghalangi turunnya
kepala, untuk mengecilkannya
dilakukan aspirasi cairan tumor.
6. Fistula Obstetrik
Fistula obstetric bisa berupa : fistula
vesiko-vaginalis, rekto-vaginalis, dan uretro-
vaginalis. Dapat terjadi karena persalinan yang
alam dan karena operasi. Pada persalinan, tekanan
antara kepala dan tulang panggul pada jaringan
lunak yang terlalu lama dapat menyebabkan
jaringan tersebut oedematus, hematoma, dan
akhirnya nekrosis. Beberapa hari atau minggu
kemudian terjadilah fistula. Akibatnya wanita
mengeluh beser kencing (inkotinensia urin) atau
inkontinensia alvi (beser berak).
Wanita hamil dengan fistula: kehamilan
dapat diteruskan dengan menjaga kebersihan
selama hamil. Operasi plastik untuk menutup fistel
dilakukan 3-6 bulan setelah bayi lahir.
Wanita yang hamil setelah operasi fistel
(yang besar) tidak boleh melahirkan pervaginam
karena akan menyebabkan bekas fistel terbuka
lagi. Wanita ini ditolong dengan seksio sesarea.
6
8. Septum vagina
yang vertikal atau longitudinal, yang distal
atau proksimal, yang komplit atau tidak komplit.
Keadaan ini tidak menghalangi koitus sehingga
kehamilan dapat terjadi, namun dapat
menghalangi turunnya kepala waktu persalinan.
10. Varises
atau pelebaran pembuluh darah vena
yang bisa dijumpai pada tungkai, vagina, vulva,
dan rectum.
Penanganan :
1. Jangan berdiri atau duduk terlalu lama.
2. Jangan memakai ikat pinggang terlampau kencang
(ketat).
3. Jalan-jalan dan senam hamil untuk memperlancar
peredaran darah.
4. Memakai kaos kaki atau pembalut tungkai elastic
7
5. Dapat diberikan obat-obatan: Venosan, Glyvenol,
Venoruton dan Varemoid.
B. Kelainan Uterus
1. Kelainan Kongenital
a. Uterus didelfis : terdapat 2 korpus, 2 serviks, dan 2
vagina.
b. Uterus septus : 1 korpus, septum, 1 serviks, dan 1 vagina.
c. Uterus bikornis unikolis.
d. Uterus arkuatus.
8
perut yang agak ketat dan kencang, yang menyokong
perut dari bawah.
c. Abortus
Adalah hasil konsepsi terhenti berkembang dan
keluar, karena sirkulasi terganggu.
9
abortus, partus prematurus, terjadi kesalahan letak, dan
bersalin biasa.
e. Prolapsus uteri
Descensus uteri atau turunnya uterus dapat dibagi
dalam 3 tingkat :
Tingkat I : uterus turun dengan serviks uteri
sampai introitus vaginae.
Tingkat II : sebagian uterus keluar dari vagina.
Tingkat III: uterus keluar seluruhnya dari vagina
dengan inversio vaginae.
f. Tumor Rahim
Mioma Uteri dan Kehamilan, Frekuensi mioma
uteri sekitar 1%, biasanya dijumpai mioma yang kecil,
namun bisa juga dengan mioma yang besar.
a) Pengaruh kehamilan dan persalinan pada
mioma uteri :
1) Cepat bertambah besar, mungkin karena
pengaruh hormon estrogen yang meningkat
dalam kehamilan.
2) Degenerasi merah dan degenerasi karnosa :
tumor menjadi lebih lunak, berubah
bentuk, dan berwarna merah. Bisa terjadi
gangguan sirkulasi sehingga terjadi
perdarahan.
3) Mioma subserosum yang bertangkai oleh
desakan uterus yang membesar atau setelah
bayi lahir, terjadi torsi (terpelintir) pada
tangkainya, yang menyebabkan gangguan
sirkulasi dan nekrosis pada tumor. Wanita
10
hamil merasakan nyeri yang hebat pada
perut (abdomen akut).
4) Mioma yang lokasinya di belakang, dapat
terdesak ke dalam kavum Douglasi dan
terjadi inkarserasi.
c) Penanganan :
1) Pada umumnya bersifat konservatif,
kecuali bila ada indikasi yang derita seperti
terjadinya abdomen akut karena torsi pada
tangkai tumor.
2) Pada distosia karena mioma
3) Bila partus berjalan biasa, mioma
diberikan selama masa nifask kecuali ada
indikasi akut abdomen.
4) Operasi pengangkatan tumor secepatnya
dilakukan setelah 3 bulan pasca persalinan.
11
5) Mioma yang tidak begitu besar, kadang-
kadang dalam masa nifas akan mengecil
sendiri, sehingga tidak memerlukan
tindakan operatif.
g. Kanker Rahim
Kanker rahim yang sering dijumpai :
1) Kanker leher rahim (karsioma servisis uteri)
2) Kanker korpus rahim (karsioma korpus uteri).
b) Penanganan
Tindakan bergantung pada umur, paritas,
tua kehamilan, dan stadium kanker.
1) Wanita yang relatif muda dan hamil tua
dengan kanker stadium dini dapat melahirkan
janin secara spontan.
2) Dalam triwulan I dijumpai kanker leher rahim;
dilakukan abortus buatan; kemudian diberikan
pengobatan radiasi.
3) Dalam triwulan II kehamilan; segera dilakukan
histerotomi untuk mengeluarkan hasil
12
konsepsi; kemudian diberikan dosis
penyinaran.
4) Wanita relatif muda yang masih mendambakan
tambahan anak dengan kanker leher rahim;
dilakukan konisasi atau amputasi portio
kemudian dikontrol dengan baik. Bila anak
cukup sebaiknya dikerjakan histerektomi.
h. Kelainan Ovarium
Tumor ovarium mempunyai arti obstetrik yang
lebih penting. Ovarium merupakan tempat yang paling
banyak ditumbuhi tumor. Tumor ini dapat berupa kistik,
padat, kecil, besar, dan memberikan pengaruh hormone;
bisa jinak dan ganas. Yang sering dijumpai adalah : kista
ovarii dan kista dermoid. Kista ovari dapat menjadi besar
sekali, yang disebut kista ovarii permagna.
a) Pengaruh terhadap kehamilan dan persalinan :
1) Tumor yang besar dapat menghambat
pertumbuhan janin sehingga menyebabkan
abortus, partus prematurus.
2) Tumor yang bertangkai, karena pembesaran
atau pengecilan uterus setelah persalinan;
terjadi torsi dan menyebabkan rasa nyeri,
nekrosis, dan infeksi yang disebut abdomen
akut.
3) Dapat menyebabkan kelainan-kelainan letak
janin.
4) Tumor kistik dapat pecah karena trauma luar
atau trauma persalinan.
5) Tumor besar dan berlokasi di bawah, dapat
menghalangi persalinan.
13
b) Penanganan berdasarkan pada;
1) kemungkinan adanya keganasan,
2) kemungkinan torsi dan abdomen akut, dan
3) kemungkinan menimbulkan komplikasi
obstetric, maka, Tumor ovarium dalam
kehamilan yang lebih besar dari telur angsa
harus dikeluarkan.
14
kehamilan tergantung dari masing-masing letak katup yang
mengalami kelainan.
15
Defek Septum Kongenital : Terhubungnya ruang
Pada derajat ringan
Ventrikel Septum ventrikel ventrikel kanan dan
sampai sedang bisa
tidak terbentuk kiri, sehingga darah
terjadi gagal
atau terbentuk ventrikel saling
ventrikel kiri dan
tidak sempurna bercampur hipertensi paru. Pada
derajat sedang
sampai berat, bisa
sebabkan kematian
ibu akibat tekanan
arteri pulmonar
mencapai tingkat
sistemik sehingga
terjadi aliran balik.
Sumber: Sumber: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ,
Spong CY.25
2. Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital menjadi salah satu jenis
penyakit jantung yang banyak ditemui pada kehamilan setelah
penyakit jantung rematik. Kehamilan dengan penyakit jantung
kongenital memiliki pengaruh tersendiri yang diperlihatkan
dalam tabel berikut.
16
persalinan kurang
bulan, atau kematian
janin.
Sindrom Kelainan jantung Hipertensi pulmonar Gagal ventrikel
Eisenmenger Defek septum sekunder, terjadi kanan dan syok
atrium / ventrikel pirau kanan – ke – kardiogenik,
Duktus arteriosus kiri sebabkan kematian
persisten ibu dan kematian
janin intrapartum.
Sumber: Sumber: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ,
Spong CY.25
3. Hipertensi Pulmonal
Hipertensi pulmonal pada orang tidak hamil artinya
adalah tekanan rata- rata pulmonar > 25 mmHg. Terdapat dua
kelas, kelas I menunjukkan penyakit spesifik yang mempengaruhi
arteriol paru, seperti penyakit jaringan ikat, skleroderma, lupus
eritematosus sistemik, penyakit sel sabit, dan tirotoksikosis.
Kelas II lebih disering dijumpai pada wanita hamil. Ini
disebabkan oleh hipertensi vena pulmonaris akibat penyakit
atrium, ventrikel, atau katup sisi kiri. Gejala yang ditemui adalah
dispnea ketika aktivitas fisik, ortopnea, dan dispnea pada malam
hari. Angina dan sinkop terjadi jika curah ventrikel kanan
terfiksasi, dan hal ini menyatakan penyakit tahap lanjut.
Angka kejadian kematian ibunya sangat tinggi, terutama
pada hipertensi paru idiopatik. 80% dari data yang didapat,
kematian terjadi sebulan postpartum. Penyebab kematian
tersering adalah aliran balik vena dan pengisian ventrikel kanan,
sehingga perlu disiasati bagi wanita hamil agar tidak terjadi
penurunan tekanan darah atau hipotensi.
17
Tabel 4. Jenis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
yang Lain dan Pengaruhnya terhadap Kehamilan
18
katup aorta bikuspid,
ruptur aorta.
5. Penyakit Aorta
Di luar kelainan pada jantung itu sendiri, ditemukan juga
adanya kelainan di pembuluh darah. Hal tersebut juga
memberikan pengaruh bagi kehamilan dimana jenis penyakit
pada pembuluh darah aorta biasanya paling sering ditemui dan
memiliki pengaruh yang lebih signifikan jika dibandingkan
dengan penyakit pada pembuluh darah lainnya.
Tabel 5. Jenis Penyakit Aorta dan Pengaruhnya terhadap
Kehamilan
Sumber: Sumber: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ,
Spong CY.25
6. Penyakit Jantung Iskemik
Kelainan pada penyakit jantung yang diakibatkan oleh
menyempitnya pembuluh darah koroner disebut juga penyakit
jantung iskemik atau penyakit jantung koroner. Penyempitan
pada arteri koronaria tersebut akan menyebabkan aliran darah ke
jantung menjadi terhambat atau tidak seperti semestinya. Akibat
yang akan ditimbulkan dari hal tersebut adalah kurangnya aliran
kaya oksigen ke otot jantung, sehingga akan mempengaruhi
kehamilan.
Tabel 6. Jenis Penyakit Jantung Iskemik dan
Pengaruhnya terhadap Kehamilan.
19
Sumber: Sumber: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong
CY.25
2. Parvovirus
Parvovirus manusia B19 menyebabkan eritema
infectiosum. Virus B19 adalah virus DNA beruntai tunggal kecil
yang bereplikasi dalam sel yang berkembang pesat seperti
eritroblas. Hal ini dapat menyebabkan anemia pada bayi. Pada
wanita dengan anemia hemolitik berat - misalnya, penyakit sel
20
sabit (cicle cell anemia) - Infeksi parvovirus dapat menyebabkan
krisis aplastik. Pada 20 sampai 30 persen orang dewasa, infeksi
ini tidak bergejala. Demam, sakit kepala, dan flu Gejala bisa
dimulai dalam beberapa hari terakhir fase viremik.
Beberapa hari kemudian, ruam merah terang dengan
eritroderma pada wajah dan memberi slapped cheek appearance,
Ruam menjadi mirip lace like dan menyebar ke ekstremitas.
Orang dewasa sering mengalami ruam ringan dan polyarthralgia
simetris yang bertahan selama beberapa minggu. Pada transmisi
vertikal ke janin, hingga sepertiga kasus parvovirus pada ibu akan
menyebabkan aborsi, hidrops nonimun, dan IUFD.
Dalam sebuah ulasan terhadap 1089 kasus infeksi B19 ibu
dari sembilan penelitian, Crane (2002) melaporkan tingkat
kematian janin keseluruhan 10 persen. Dimana 15 persen terjadi
infeksi sebelum 20 minggu tapi hanya 2,3 persen setelah 20
minggu. Tingkat kematian setinggi 30 persen telah dilaporkan
kasus hidrop janin tanpa transfusi.
21
mungkin mengalami gejala prodromal ringan seperti demam
ringan, konjungtivitis, sakit tenggorokan, coryza, sakit kepala
atau malaise, dan limfadenopati.
Gejala prodromal biasanya berlangsung satu sampai lima
hari sebelum timbulnya ruam, dan mungkin terjadi sedikit
pruritus. Ruam khas dimulai pada wajah dan menyebar ke tubuh
dan ekstremitas. Ruam biasanya akan menghilang dalam tiga
hari. Polyarthritis dan polyarthralgia adalah sekuele potensial
yang berkembang terutama pada remaja dan wanita dewasa (60-
70%) sekitar satu minggu setelah ruam. Secara klasik, tangan,
lutut, pergelangan tangan, dan pergelangan kaki terpengaruh
secara simetris, dan rasa sakitnya akan bertahan sekitar satu
sampai empat minggu. Radang sendi Kronis jarang berkembang.
Manifestasi lainnya, walaupun jarang, termasuk tenosynovitis,
carpal tunnel syndrome, trombositopenia, ensefalitis pasca-
infeksi, mio- karditis, hepatitis, anemia hemolitik, dan uremik
hemolitik sindrom. Transmisi Vertikal Dan Resiko Crs pada janin
didapat secara hematogen, dan laju transmisi bervariasi dengan
usia kehamilan. Setelah menginfeksi plasenta, rubela Virus
menyebar melalui sistem vaskular yang sedang berkembang,
menyebabkan kerusakan sitopatik pada pembuluh darah dan
iskemia. Saat infeksi / paparan ibu terjadi pada trimester I, tingkat
infeksi janin mendekati 80%, turun menjadi 25% pada akhir
trimester kedua dan meningkat lagi di urutan ketiga trimester dari
35% pada usia kehamilan 27-30 minggu sampai hampir 100% di
luar usia kehamilan 36 minggu. Resiko kelainan kongenital telah
dilaporkan 90% ketika ibu terinfeksi sebelum usia kehamilan 11
minggu, 33% pada 11-12 minggu, 11% pada 13-14 minggu, 24%
pada 15-16 minggu, dan 0% setelah 16 minggu. Oleh karena itu,
risiko cacat bawaan setelah ibu mengalami infeksi pada dasarnya
terbatas pada 16 minggu pertama gestation. FGR nampaknya
sequela paling sering infeksi trimester ketiga. Imunitas maternal,
22
baik setelah vaksinasi maupun secara alami , umumnya bersifat
protektif terhadap infeksi rubella intrauterine.
4. Cytomegalovirus
Sekitar 1% sampai 4% wanita yang tidak terinfeksi
mengembangkan infeksi CMV kali pertama selama kehamilan
mereka. Wanita hamil yang sehat tidak berisiko tinggi terkena
penyakit infeksi CMV. Saat terinfeksi CMV, kebanyakan wanita
tidak memiliki gejala dan sangat sedikit yang memiliki penyakit
menyerupai mononukleosis. Namun, sekitar sepertiga wanita
yang terinfeksi CMV akan mengalami transisi virus ke bayi
mereka yang belum lahir dan ada kemungkinan risiko yang
dimiliki bayi berupa cacat bawaan. Risiko meningkat jika infeksi
terjadi pada paruh pertama kehamilan.
Terkadang masalah kesehatan tidak terjadi sampai
berbulanbulan atau bertahun-tahun setelah kelahiran. 80% sampai
90% akan mengalami masalah dalam beberapa tahun pertama
kehidupan. Bayi-bayi yang tanpa gejala saat lahir, 5% sampai
10% nantinya mengalami gangguan perkembangan pendengaran,
mental atau masalah koordinasi. Beberapa kelainan janin yang
terkait dengan infeksi CMV dapat terlihat melalui sonografi,
computed tomography, atau magnetic resonance imaging.
Dalam beberapa kasus, ditemukan pada saat pemeriksaan
sonografi rutin prenatal, kelainan yang sering ditemukan
termasuk microcephaly, ventriculomegaly, dan kalsifikasi
serebral; asites, hepatomegali, splenomegali, dan usus
hyperechoic; hidrops; dan oligohidramnion. Pengelolaan ibu
hamil yang imunokompeten atau rekuren terbatas pada
pengobatan simtomatik. Jika infeksi CMV primer baru
dikonfirmasi, analisis cairan amnion dapat ditawarkan. Konseling
mengenai hasil janin tergantung pada usia kehamilan dimana
infeksi primer didokumentasikan. Bahkan dengan tingkat infeksi
23
yang tinggi dengan infeksi primer pada semester pertama
kehamilan, sebagian besar janin berkembang secara normal.
Pencegahan infeksi bawaan bergantung pada penghindaran
infeksi primer ibu, terutama pada awal kehamilan.
5. Hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B kronis (HBV) diperkirakan
mempengaruhi > 350 juta orang di seluruh dunia dan merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan (sirosis dan
karsinoma hepatoselular). Transmisi ibu ke bayi (MTCT) HBV
tetap menjadi sumber penting kasus kejadian HBV. Hambatan
saat ini untuk memberantas kejadian infeksi HBV melalui MTCT
meliputi kurang optimalnya imunoprofilaksis dengan vaksinasi
hepatitis B dan immune globulin hepatitis B di daerah endemik
tertentu.
Transmisi perinatal Hepatitis B tetap merupakan jalur
umum transmisi virus, terutama di daerah yang sangat endemik
secara global. Ketersediaan antivirus selama beberapa dekade
terakhir, efektif menekan replikasi virus dan telah mengurangi
risiko penularan ini. Ini penting, terutama pada wanita hamil
dengan tingkat viral load yang sangat tinggi (> 106 atau 2 × 107
IU / mL). 10% – 20% wanita positif HBsAg menularkan infeksi
virus ke bayi mereka. Angka ini meningkat hampir 90 persen Jika
ibu HBsAg dan HBeAg positif. Imunoprofilaksis dan hepatitis B
Vaksin yang diberikan pada bayi yang lahir dari ibu terinfeksi
HBV mengalami penurunan transmisi secara dramatis dan
mencegah sekitar 90 persen infeksi dan angka transmisi dapat
lebih ditekan apabila dikombinasi dengan pemberian ARV pada
trimester 3, khususnya pada ibu dengan viral load yang tinggi.
6. Hepatitis C Virus
24
Hepatitis C (HCV) adalah penyebab penyakit hati kronis
yang sering pada orang dewasa, yang menjadi permasalahan pada
wanita hamil adalah transmisi vertikal. Wanita dengan infeksi
HCV kronis seringkali memiliki gangguan pada kehamilan tanpa
memburuknya penyakit hati atau efek samping ibu atau bayi
lainnya; pada penelitian 266 ibu hamil yang terinfeksi dengan
HCV, kadar alanine aminotransferase serum (ALT) meningkat
terdeteksi di 56% wanita di awal kehamilan tapi hanya 7%
selama trimester ketiga. Namun, 55% wanita kembali mengalami
peningkatan ALT yang terjadi pada 6 bulan pasca – persalinan.
Perubahan tersebut mungkin disebabkan oleh perubahan
signifikan pada sistem kekebalan tubuh ibu selama masa
kehamilan. Bayi yang lahir dari wanita yang terinfeksi HCV lebih
cenderung memiliki berat lahir rendah, kecil untuk usia gestasi,
dan membutuhkan perawatan intensif neonatal dan bantuan
ventilasi. Dalam kohort yang sama, wanita yang terinfeksi HCV
memiliki peningkatan risiko diabetes gestasional. Saat ini tidak
ada vaksin yang dapat dipakai untuk pencegahan HCV. Infeksi
HCV kronis diberikan terapi alpha interferon (standar dan
pegylated), sendiri atau dalam kombinasi dengan ribavirin.
Regimen ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena potensi
teratogenik ribavirin pada hewan.
25
sitrat, menotropin, dan hCG, atau bromokriptin. Sebelum induksi
ovulasi dilakukan, kadar PRL serum pasien perlu ditentukan. Jika
kadar meninggi, sela tursika perlu dievaluasi dengan teknik
pencitraan resonansi magnetik (MRI) atau dengan CTscan
resolusi tinggi dengan kontras. Sekitar 10% wanita dengan
amenore sekunder didapatkan dengan adenoma, sementara pada
20% – 50% wanita dengan amenore dan galaktore akan terdeteksi
tumor.
Pengaruh kehamilan terhadap adenoma hipofisis
bergantung pada ukuran adenoma. Di antara 215 wanita dengan
mikroadenoma (diameter < 10 mm), kurang dari 1% akan
mengalami penyempitan lapangan pandang yang progresif, 5%
akan mengalami nyeri kepala, namun tidak ada sekuele
neurologis yang serius. Dari 60 pasien dengan makroadenoma
yang menjadi hamil, 20% akan mengalami perubahan abnormal
dalam lapangan pandang atau tanda-tanda neurologik lain
biasanya pada paruh pertama kehamilan. Kebanyakan kasus
memerlukan terapi. Pemantauan pasien – pasien dengan adenoma
pensekresi PRL selama kehamilan terutama mengandalkan
pemeriksaan klinis. Peningkatan normal PRL selama kehamilan
dapat menyamarkan peningkatan yang berkaitan dengan
adenomanya, dan prosedur radiografik tidak dianjurkan untuk
dilakukan selama kehamilan.
Gangguan penglihatan biasanya dirasakan sebagai
"kekikukan" dan secara objektif didapatkan sebagai akibat
perubahan lapangan pandang. Temuan yang paling sering
dijumpai adalah hemianopia bitemporal, tetapi pada kasus –
kasus lanjut penyempitan lapangan pandang ini dapat
berkembang menjadi kontraksi konsentris dan pelebaran bintik
buta.
Karena biasanya hipofisis meningkat ukurannya selama
kehamilan, maka nyeri kepala dan hemianopia bitemporal tidak
26
jarang pada pasien-pasien dengan adenoma. Perubahan –
perubahan ini hampir selalu kembali normal setelah melahirkan,
sehingga terapi agresif pada kasus – kasus adenoma hipofisis
tidak diindikasikan kecuali pada keadaan – keadaan di mana
kehilangan pandangan bersifat progresif cepat.
a. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan wanita hamil dengan suatu
adenoma kecil termasuk konsultasi dini ke dokter mata
untuk menentukan peta lapangan pandang dan
pemeriksaan diulangi sekali sebulan atau dua bulan
selama kehamilan.
Jika penyempitan lapangan pandang adalah
minimal, maka kehamilan dibolehkan berlanjut hingga
aterm. Jika gejala-gejala bertambah berat secara progresif
dan janin telah cukup bulan, maka dapat dilakukan
induksi persalinan. Jika gejala-gejala adalah berat dan
bayi belum cukup bulan, maka penatalaksanaan dapat
berupa reseksi adenoma transfenoid ataupun pengobatan
dengan bromokriptin. Meskipun bromokriptin
menghambat sekresi PRL hipofisis ibu maupun janin.
Namun tidak mempengaruhi sekresi PRL desidua. Saat ini
bromokriptin tampaknya tidak teratogenik dan tidak ada
laporan mengenai efek buruk pada janin. Namun tentu
saja pemakaian selama kehamilan perlu berhatihati
meskipun pada kebanyakan kasus tampaknya terapi ini
lebih disukai daripada pembedahan. Terapi radiasi tidak
diperbolehkan pada kehamilan.
Penatalaksanaan tumor-tumor pensekresi PRL
pada wanita yang ingin menjadi hamil bersifat
kontroversial. Reseksi oleh ahli bedah yang
berpengalaman dalam prosedur transfenoid menyebabkan
penurunan kadar PRL dan kembalinya ovulasi normal
27
pada 60-80% wanita dengan mikroadenoma, dan 30-50%
wanita dengan makroadenoma. Insidensi kekambuhan
sedikitnya 10-15% dan agaknya akan meningkat pada
pengamatan lebih lanjut. Bromokriptin biasanya
ditoleransi dengan baik dan berhasil dalam mencapai
siklus menstruasi normal dan menurunkan kadar PRL
pada 40-80% pasien. Bromokriptin juga dapat
mengecilkan ukuran tumor tetapi tumor akan kembali ke
ukuran semula dalam beberapa hari atau minggu setelah
terapi dihentikan. Kasus tumor yang besar seringkali lebih
tepat ditangani dengan pembedahan dan pemberian obat-
obatan. Terapi radiasi memiliki peran penting dalam
menghentikan pertumbuhan tumor yang resisten terhadap
cara penatalaksanaan lain, khususnya tumor besar yang
melibatkan sinus kavernosus dan tumor yang mensekresi
baik GH maupun PRL.
28
penentuan kadar PRL 4 – 6 minggu setelah persalinan.
Tidak ada kontraindikasi untuk menyusui.
29
yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan
timbul.
a. Pre – eklampsia Ringan
Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan
menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya
vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.
Diagnosa pre – eklampsia ringan ditegakkan dengan
kriteria:
1) Hipertensi: Sistolik/diastolik ≥
140/90mmHg
2) Proteinuria: ≥300mg/24 jam atau ≥1+
dipstick
3) Edema: Edema lokal tidak dimasukkan
dalam kriteria pre – eklampsia, kecuali
edema pada lengan, muka dan perut,
edema generalisata (prawirohardjo, 2009).
30
6) Gangguan visus dan serebral : penurunan
kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan
pandangan kabur
7) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran
kanan atas abdomen (akibat tegangnya
kapsula Glisson)
8) Edema paru-paru dan sianosis
9) Hemolisis mikroangiopatik
10) Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm
penurunan trombosit dengan cepat
11) Gangguan fungsi hepar (kerusakan
hepatoselular): peningkatan kadar alanin
dan aspartat aminotransferase
12) Pertumbuhan janin intrauterin yang
terhambat
13) Sindrom HELLP (Prawirohardjo, 2009).
c. Eklampsia
Menurut Marmi dkk (2011) dikatakan bahwa pada
umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya
preeklampsia dengan gejala-gejala nyeri kepala di daerah
frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri epigastrium
dan hiperefleksia. Bila keadaan ini tidak segera diobati,
akan timbul kejangan, konvulsi eklampsia dibagi 4 tingkat
yaitu:
1) Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung kira-kira
30 menit. Mata penderita terbuka tanpa
melihat, kelopak mata bergetar demikian
pula tangannya dan kepala diputar ke
kanan dan ke kiri.
31
2) Tingkat kejangan tonik
Berlangsung lebih 30 menit, dalam
tingkat ini seluruh otot menjadi kaku,
wajahnya kelihatan kaku, tangan
menggenggam dan kaki membengkok ke
dalam, pernafasan berhenti, muka menjadi
sianotik, lidah dapat tergigit.
4) Tingkat koma
Lamanya koma tidak selalu sama.
Secara perlahan-lahan penderita menjadi
sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula
bahwa sebelum itu timbul seangan baru
yang berulang, sehingga ia tetap dalam
koma.
2. Etiologi
32
Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui.
Beberapa teori yang mengatakan bahwa perkiraan etiologi dari
kelainan tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the
disease of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain :
a. Peran faktor imunologis
Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi
sistem komplemen pada pre – eklampsia / eklampsia
biasanya pada primigravida terutama primigravida yang
berusia muda.
c. Faktor predisposisi
1) Mola hidatidosa
2) Diabetes mellitus
3) Kehamilan ganda
4) Hidrops fetalis
5) Obesitas
6) Umur yang lebih dari 35 tahun
Walaupun etiologinya belum jelas, hampir semua ahli
sepakat bahwa vasospasme merupakan awal dari kejadian
penyakit ini. Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan
invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh darah,
reaksi imunologi maupun radikal bebas (Sukarni dan Sudarti,
2014).
33
Dalam preeklampsia berat terdapat hipoksia serebral yang
disebabkan karena spasme kuat dan oedem. Hipoksia serebral
menunjukkan kenaikan dysrhythmia serebral dan ini mungkin
terjadi karena konvulsi. Beberapa pasien ada yang mempunyai
dasar dysrithmia serebral dan oleh karena itu konvulsi terjadi
mengikuti bentuk yang lebih kuat dari pre – eklampsia.
3. Patofisiologi
Perubahan yang terjadi pada preeclampsia tampaknya
disebabkan oleh gabungan kompleks antara abnormalitas genetic,
faktor imunologis, dan faktor plasenta. Perubahan awal dalam
cara plasenta terinplantasi di uterus merupakan faktor
predisposisi yang kuat dalam terjadinya penyakit sistemik.
Terjadinya implantasi plasenta yang nomal mengharuskan sel
trofoblas menginvasi desidua uterus dan myometrium,
memodifikasi dan memperbesar arteri spinalis uterus. Modifikasi
ini melibatkan penghancuran dinding elastis pembuluh darah,
yang menurunkan resistensi dan menjamin suplai darah yang baik
ke plasenta dan janin. Agen inflamasi dari system imun bawaan
seperti sel natural killer (NK) dan sitokin baru-baru ini telah
banyak diidentifikasi dalam proses ini. Pada pre – eklampsia
terjadi kelainan invasi sel trofoblas yaitu arteri spiralis
mempertahankan tonusnya dan berdilatasi hanya 40% dari yang
biasa terjadi pada kehamilan normal. Hasilnya adalah
berkurangnya perfusi plasenta dan terjadi hipoksia janin kronis
(Bothamley, 2011).
Pada pre – eklampsia terdapat penurunan aliran darah.
Perubahan ini menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan
mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus,
merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan
tropoblastik menyebabkan terjadinya endotheliosis menyebabkan
34
pelepasan tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan
mengakibatkan pelepasan tromboksan dan aktivasi agregasi
trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan
menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi /
agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi
intervaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan
konsumtif koagulatif.
Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan
faktor pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan
faal hemostatis. Renin uterus yang dikeluarkan akan mengalir
bersama darah sampai organ hati dan bersama-sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi
angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan
menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme menyebabkan
lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah
merah. Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi
kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain
menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang
glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosterone.
Vasospasme bersama dengan koagulasi intravascular akan
menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ
(Sukarni dan Sudarti, 2014).
35
4. Komplikasi
Komplikasi pada preeklampsia dapat dibagi berdasarkan
dampaknya terhadap maternal dan fetal (Impey, 2008).
a. Maternal
1) Eklampsia
Eklampsia adalah kejang grand mal akibat
spasme
serebrovaskular. Kematian disebabkan oleh
hipoksia dan
komplikasi dari penyakit berat yang menyertai.
2) Perdarahan serebrovaskular
Perdarahan serebrovaskular terjadi karena
kegagalan
36
autoregulasi aliran darah otak pada MAP (Mean
Arterial
Pressure) diatas 140 mmHg.
3) Masalah liver dan koagulasi:
HELLP Syndrome (hemolysis, Elevated
Liver Enzyme,
Low Platelets Count). Pre – eklampsia –
eklampsia disertai
timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar,
disfungsi
hepar dan trombositopenia.
4) Gagal ginjal
5) Edema Paru
6) Kematian maternal
b. Fetal
Kematian perinatal dan morbiditas fetus
meningkat. Pada usia kehamilan 36 minggu, masalah
utama adalah IUGR. IUGR terjadi karena plasenta iskemi
yang terdiri dari area infark. Kelahiran prematur juga
sering terjadi aterm, pre – eklampsia mempengaruhi berat
lahir bayi dengan penigkatan risiko kematian dan
morbiditas bayi. Pada semua
umur gestasi terjadi peningkatan risiko abrupsi plasenta.
5. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya pre – eklampsia maupun eklampsia (Amiruddin, dkk,
2007) antara lain:
37
a. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta
teliti, mengenali tanda – tanda sedini mungkin (Pre –
eklampsia ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup
supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
b. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya
pre – eklampsia kalau ada faktor – faktor predisposisi.
c. Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna
dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring
ditempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu
dikurangi, dan dianjurkan lebih banyak duduk dan
berbaring. Diet tinggi protein, dan rendah lemak,
karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang
tidak berlebihan perlu dianjurkan.
d. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda – tanda Pre –
eklampsia dan mengobatinya segera apabila di temukan.
e. Mengakhiri kehamilan sedapat – dapatnya pada
kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat
tanda – tanda Pre – eklampsia tidak juga dapat di
hilangkan.
38
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan
garam; pemberian sedatif ringan: tablet
phenobarbital 3x30 mg atau diazepam 3 x 2 mg
peroral selama 7 hari (atas intruksi dokter);
kunjungan ulang setiap 1 minggu; pemeriksaan
laboratorium: hemoglobin, hemotokrit, trombosit,
urin lengkap, asam urat darah, fungsi hati, fungsi
ginjal;
2) Penatalaksanaan rawat tinggal pasien pre –
eklampsia ringan berdasarkan kriteria: setelah 2
minggu pengobatan rawat jalan tidak
menunjukkan adanya perbaikan dari gejala –
gejala pre – eklampsia; kenaikan berat badan ibu 1
kg atau lebih perminggu selama 2 kali berturut –
turut (2 minggu); timbul salah satu atau lebih
gejala atau tanda – tanda pre – eklampsia berat.
39
kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan
medicinal.
1) Perawatan aktif, sedapat mungkin sebelum
perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan
pemeriksaan fetal assessment yakni pemeriksaan
Nonstress Test (NST) dan Ultrasonografi (USG),
dengan indikasi (salah satu atau lebih) yakni:
a. Ibu : usia kehamilan 37 minggu atau lebih;
adanya tanda-tanda atau gejala impending
eklampsia, kegagalan terapi konservatif
yaitu setelah 6 jam pengobatan meditasi
terjadi kenaikan desakan darah atau setelah
24 jam perawatan medicinal, ada gejala –
gejala status quo (tidak ada perbaikan).
b. Janin: Hasil fetal assessment jelek (NST &
USG): adanya tanda Intra Uterin Growth
Retardation (IUGR).
c. Hasil laboratorium: adanya “HELP
Syndrome” (hemolisis dan peningkatan
fungsi hepar, trombositopenia).
40
tanda edema paru. Diberikan furosemide injeksi 40
mg / IM.
c. Eklampsia
Penanganan kejang :
1) Selalu ingat ABC (Airway, Breathing,
Circulation)
2) Beri obat anti kejang.
3) Beri oksigen 4 – 6 liter per menit
4) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi
jangan diikat terlalu keras.
5) Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi
risiko aspirasi
6) Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan
jika perlu (Nugroho, 2012)
41
riwayat presentasi bokong sebelumnya. (Prawirohardjo, S. 2010.
Hal : 588).
a. Diagnosis
Diagnosis letak sungsang pada umumnya tidak
sulit. Pada pemeriksaan luar, dibagian bawah uterus tidak
dapat diraba bagian yang keras dan bulat, yakni kepala,
dan kepala teraba difundus uteri. Kadang- kadang bokong
janin teraba bulat dan dapat memberi kesan seolah – olah
kepala, tetapi bokong tidak dapat digerakkan semudah
kepala. Seringkali wanita tersebut menyatakan bahwa
kehamilannya terasa lain daripada kehamilan yang
terdahulu, karena terasa penuh dibagian atas dan gerakan
terasa lebih banyak di bagian bawah. Denyut jantung
janin pada umumnya ditemukan setinggi atau sedikit lebih
tinggi daripada umbilikus. Apabila diagnosis letak
sungsnag dengan pemeriksaan luar tidak dapat dibuat,
karena misalnya dinding perut tebal, uterus mudah
berkontraksi atau banyaknya air ketuban, maka diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan dalam. Apabila
masih ada keragu – raguan, harus dipertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan ultrasonografik atau M.R.I.
(Magnetic Resonance Imaging).
Setelah ketuban pecah, dapat diraba lebih jelas
adanya bokong yang ditandai dengan adanya sakrum,
kedua tuber ossis iskii, dan anus. Bila dapat diraba kaki,
maka harus dibedakan dengan tangan. Pada kaki terdapat
tumit, sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari yang
letaknya tidak sejajar dengan jari- jari lain dan panjang
jari kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan.
Pada persalinan lama, bokong janin mengalami edema,
sehingga kadang- kadang sulit untuk membedakan
bokong dengan muka. Pemeriksaan yang teliti dapat
42
membedakan bokong dengan muka karena jari yang akan
dimasukkan kedalam anus mengalami rintangan otot,
sedangkan jari yang dimasukkan ke dalam mulut akan
meraba tulang rahang dan alveola tanpa ada hambatan.
Pada presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki dapat
diraba disamping bokong, sedangkan pada presentasi
bokong kaki tidak tidak sempurna, hanya teraba satu kaki
disamping bokong.
c. Etiologi
Adapun penyebab presentasi bokong (letak sungsang)
antara lain:
1) Faktor dari ibu dapat disebabkan oleh beberapa
keadaan, yaitu:
43
a. plasenta previa
b. bentuk rahim yang abnormal
c. panggul sempit
d. multiparitas
e. adanya tumor pada rahim dan
f. implantasi plasenta di fundus yang memicu
terjadinya letak bokong; (Winkjosastro.
2008. Hal: 611)
d. Penatalaksanaan
Pentalaksanaan untuk kehamilan dengan sungsang
menurut Sarwono (2010), asuhan mandiri yang bersifat
menyeluruh dari langkah-langkah sebelumnya yaitu :
Menurut Sarwono (2010), penatalaksanaa untuk
kehamilan sungsang adalah posisi knee chest.
Knee chest dilakukan dengan posisi perut seakan
menggantung kebawah. Cara ini harus dilakukan rutin
setiap hari sebanyak 3 - 4x / hari 10 menit. Jika posisi
bersujud ini dilakukan pada saat sebelum tidur, sesudah
tidur, sebelum mandi, selain itu melakukan posisi knee
chest secara tidak langsung pada waktu melakukan sholat.
Penatalaksanaan kehamilan sungsang pada
trimester III menganjurkan pada ibu untuk tetap menjaga
pola nutrisi, pola istirahat, dan pola aktivitas.
44
Memberitahu ibu untuk mempersiapkan persalinan
dengan sungsang baik secara normal maupun per
abdominal. Ibu bersalin dengan persalinan per abdominal
karena ibu primigravida, ibu suspect CPD, dan his ibu
tidak adekuat, dan dari pembukaan serviks yang tidak
bertambah.
Faktor kehamilan letak sungsang yang terjadi pada
primigravida sampai umur kehamilan aterm maka
kehamilan harus segera diakhiri dengan jalan operasi
sectio cessarea karena panggul ibu belum pernah
melahirkan, tidak bisa dicoba – coba untuk melahirkan
dengan cara normal. Pertolongan persalinan dilakukan
dirumah sakit atau fasilitas kesehatan yang dapat
melakukan opersi, bila memungkinkan lakukan versi luar,
bila tidak berhasil lakukan persalinan sungsang per
vaginam atau SC. (Rukiyah, hal :243).
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi janin
sungsang
1) Knee chest
Knee chest dilakukan dengan posisi perut
seakan menggantung kebawah. Cara ini harus
dilakukan rutin setiap hari sebanyak 2 kali (pagi
dan sore) selama 10 menit. Jika posisi bersujud ini
dilakukan dengan baikdan teratur maka besar
kemungkinan janin sungsang akan kembali pada
posisi yang normal.
45
demikian, metode ini biasanya menyakitkan dan
bahkan rentan menimbulkan kematian pada janin
karena suplai oksigen ke otak janin berkurang.
a) Syarat Versi Luar
Kehamilan harus tunggal.
Janin harus dapat digerakkan
dengan bebas.
Uterus harus lemas
Bagian terendah janin masih
dapat dibebaskan dari rongga
panggul.
Dinding perut ibu harus cukup
tipis dan rileks agar penolong
dapat memegang bagian-bagian
janin.
Janin harus dapat lahir
pervaginaan.
Saat mengerjakan versi luar
dalam kehamilan yaitu pada
primigravida pada umur
kehmilan 34 – 36 minggu dan
pada multigravida pada umur
klien kehamilan lebih dari 37
minggu
Pada inpartu pembukaan kurang
dari 4 cm dan selaput ketuban
masih utuh.
46
Bradichardi janin setelah
dilakukan versi luar
Dapat terjadi ketuban pecah
dini
Kematian janin intra uterin
Kelainan kongenital berat pada
janin
Bokong yang sudah masuk
panggul
c) Kontra Indikasi
Panggul sempit
Pendarahan antepartum
Preeklapsia dan Hipertensi
Hamil kembar
Plasenta previa
Ketuban pecah dini (Oxorn, H
dan Forte, W. 2010. Hal: 3)
f. Patofisiologi
47
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses
adaptasi janin terhadap ruangan dalam uterus. Pada
kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah air
ketuban relatif lebih banyak, sehingga memungkinkan
janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian janin
dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala, letak
sungsang atau letak lintang.
Pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh
dengan cepat dan jumlah air ketuban relatif berkurang.
Karena bokong dengan kedua tungkai terlipat lebih besar
daripada kepala, maka bokong dipaksa untuk menempati
ruang yang lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala
berada ruangan yang lebih kecil di segmen bawah uterus.
Dengan demikian dapat dimengerti mengapa pada
kehamilan belum cukup bulan, frekuensi letak sungsang
lebih tinggi, sedangkan pada kehamilan cukup bulan,
janin sebagian besar ditemukan dalam presentasi kepala.
(Winkjosastro. 2007. Hal: 611)
48
Diagnosis mola hidatidosa ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan ultrasonografi, kadar
hCG, pemeriksaan histopatologi serta pemeriksaan sitogenetik
dan biologi molekular (jika terdapat indikasi).(2) Pasien mola
komplit dan mola parsial memiliki riwayat
terlambat haid dan hasil pemeriksaan tes kehamilan positif. Hasil
pemeriksaan urin negatif tidak menyingkirkan kehamilan mola,
petugas kesehatan sebaiknya tetap memikirkan kehamilan mola
terutama ada gejala keluar darah dari kemaluan dan hiperemesis.
Hasil negatif pada pemeriksaan urin disebabkan kadar hCG yang
terlampau tinggi, fenomena ini dikenal dengan sebutan hook
effect.(3, 23)
Secara klinis kedua tipe mola memiliki gejala klinis,
laboratorium dan prognosis yang berbeda. Mola komplit datang
dengan gejala keluar darah dari kemaluan sebanyak 84%,
pembesaran uterus melebihi usia kehamilan sebanyak 50%, dan
peningkatan hCG sebanyak 50%. Mola parsial datang dengan
keluhan seperti gejala abortus / keluar darah dari kemaluan (1, 5)
atau missed abortion,
tanpa pembesaran uterus melebihi usia kehamilan.(5) Karateristik
gambaran USG pada mola komplit adalah snowstorm, tanpa
gambaran janin.
Pasca evakuasi kehamilan mola, dapat terjadi perubahan
yang mengarah ke ganas (sesuai kriteria FIGO) yang dikenal
dengan persisten PTG atau TTG pasca mola. Kadar hCG yang
plateau atau meningkat mengindikasikan hal tersebut.
Pemeriksaan kadar hCG pasca evakuasi mola komplit dianjurkan
setiap dua minggu pasca evakuasi,(1, 2, 5) hingga terjadi
normalisasi (<5 mIU/ml) hingga tiga bulan, kemudian diikuti
setiap bulan hingga 6 bulan – 12 bulan.(2-5, 17, 20, 22) Dengan
pemeriksaan kadar hCG dapat dideteksi terjadinya TTG pada
49
tahap dini.(5) Pada kasus mola hidatidosa parsial, pemantauan
kadar hCG dilakukan setiap 2 minggu sekali hingga kadar hCG
kembali normal, kemudian dilanjutkan dengan 1 kali
pemeriksaan kadar hCG tambahan untuk konfirmasi yang
dilakukan pada 4 minggu kemudian. Jika kadar hCG pada
pemeriksaan tambahan tersebut normal, maka pemantauan
dianggap tuntas/komplit.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran Ultrasonografi Kehamilan Mola
Pemeriksaan USG untuk mendeteksi suatu
kehamilan mola terutama kehamilan mola parsial
merupakan suatu tantangan tersendiri. Banyak terjadi
kesulitan dalam membedakan suatu kehamilan mola
parsial dengan suatu abortus. Hal ini disebabkan mola
parsial mempunyai gambaran USG yang bervariasi
ragamnya.
Ultrasonografi pelvis merupakan pemeriksaan
pilihan untuk mendeteksi kehamilan mola, pada beberapa
kasus dapat menilai penyebaran lokal dari TTG. Dahulu
penggunaan USG rutin pada saat antenatal dapat
mengidentifikasi kehamilan mola dengan gambaran klasik
“cluster of grapes” atau “snowstorm”. Akurasi
ultrasonografi untuk mendeteksi mola komplit lebih tinggi
dibanding mola parsial yaitu 58% vs 17%. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat membantu menegakkan diagnosis
kehamilan mola parsial ataupun komplit pada saat pre –
evakuasi. Akan tetapi diagnosis definitif ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi pada produk
konsepsi.
Mola parsial memiliki gambaran yang bervariasi
pada pemeriksaan USG mulai dari kantong gestasi dengan
50
bayangan janin, kantong gestasi yang memanjang
(elongated gestational sac), dan fetal demise dengan
anomali / growth restriction.
Pada pemeriksaan USG, gambaran klasik mola
komplit tampak seperti gambaran kistik multiple
intrakaviter, dan tidak tampak gambaran janin. Sebaliknya
pada mola parsial disertai gambaran janin. Sekitar 20%
kasus dengan mola komplit disertai dengan gambaran
kista lutein yang berhubungan dengan hiperstimulasi hCG
terhadap ovarium. Pada kondisi yang sangat jarang dapat
dijumpai kehamilan mola yang disertai dengan kehamilan
normal, yaitu pada kasus kehamilan mola kembar (twin
molar pregnancy).
51
Kebanyakan pasien dideteksi TTG pasca
kehamilan mola melalui pemeriksaan hCG berkala.
Kemudian untuk menentukan penatalaksanaan
selanjutnya dapat dikumpulkan informasi melalui
riwayat klinis, pemeriksaan USG dan Doppler untuk
melihat ukuran massa, penyebaran serta vaskularisasi dari
massa tersebut. Parameter Doppler antara lain arteri
uterine pulsatility index (PI), banyak digunakan pada
kasus TTG pasca mola untuk memprediksi respon
kemoterapi. Arteri uterina PI lebih rendah pada kasus
resisten metotreksat. Pada TTG dengan PI<1 didapatkan
resisten metotreksat pada 20% kasus, dibandingkan
dengan yang tanpa resisten metotreksat pada PI>1. Nilai
PI yang rendah memperlihatkan memperlihatkan respon
kemoterapi metotreksat yang rendah.
52
dan MRI otak mempunyai peran penting dalam
menentukan lokasi dan jumlah metastasis yang
merupakan indikator prognostik penting dalam
tatalaksana TTG.
e. Angiografi konvensional
Angiografi selektif dapat berguna untuk menangani
perdarahan pada uterus atau vagina. Angiografi
konvensional juga dapat digunakan untuk embolisasi pada
metastasis vagina dan liver. Penggunaaan lain angiografi
konvensional adalah untuk penanganan malformasi
arteriovena pada PTG.
53
BAB lll
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Selama masa kehamilan, daya tahan seseorang cenderung mengalami
penurunan. Akibatnya, rentan terserang berbagai penyakit. Bahkan infeksi
ringan , terkadang sulit untuk dihindari. Padahal, selama kehamilan seorang
calon ibu dituntut untuk menjaga stamina agar tetap prima.
Sekalipun infeksi yang dialami oleh ibu hamil tidak selalu berpengaruh
terhadap janin, namun ceritanya akan lain bila terinfeksi virus herpes dan
virus varisella Penyakit ini termasuk TORCH (toxoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, herpes simpleks) dan varisella zoster . Kelima penyakit ini
dapat mengakibatkan kerusakaan janin.Seorang ibu hamil hendaknya
mewaspadai terhadap serangan virus herpes dan virus varisella zoster, sebab
infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual ini, bila mengenai janin
akan mengakibatkan kematian.
54
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
55