Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

RUPTUR UTERI

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 4

Maharani Zaskia Putri (2216135)


Muh Fadel Farhan Usram (2216138)
Helsi (2216132)
Wahyuni (2216159)

DIPLOMA III
AKADEMI KEPERAWATAN
MAPPA OUDANG MAKASSAR
2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah, anugrah dan karunia yang melimpah, sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Rupture Uteri” sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan. Makalah ini disusun sebagai syarat tugas mata kuliah
Keperawatan Maternitas.
Penyusunan makalah ini dilakukan dengan pengumpulan data dari buku-
buku yang ada sebelumnya dan hasil pencarian dari beberapa artikel dan jurnal
yang ada pada internet untuk dijadikan referensi dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun untuk pembelajaran kedepannya. Selanjutnya semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 25 September 2023

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...........................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2
1.3 Tujuan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Pengertian Rupture Uteri.......................................................................3
2.2 Penyebab (Etiologi) Rupture Uteri .......................................................4
2.3 Kasus Rupture Uteri di Indonesia .........................................................6
2.4 Klasifikasi Rupture Uteri.......................................................................8
2.5 Tanda dan Gejala Rupture Uteri .........................................................12
2.6 Penanganan Rupture Uteri ..................................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................17
3.1 Kesimpulan..........................................................................................17
3.2 Saran....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indicator penting
dalam menilai tingkat derajat kesehatan masyarakat di suatu negara. Pada
tahun 2015 World Health Organization 9WHO) memperkirakan di seluruh
dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 ibu meninggal akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan (Wijayanti,2019).
Adapun target global SDGs (Suitainable Development Goals) adalah
menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 70 per 100.000 KH.
Mengacu dari kondisi saat ini, potensi untuk menapai target SDGs untuk
menurunkan AKI adalah off track, artinya diperlukan kerja keras dan sungguh
– sungguh untuk mencapainya. Pada kenyataannya, angka Kematian Ibu turun
dari 4.999 tahun 2015 menjadi 4.912 di tahun 2016 dan di tahun 2017
sebanyak 1.712 kasus. Penyebab kematian ibu adalah komplikasi kehamilan
seperti anemia, hipertensi. Gangguan persalinan langsung misalnya
perdarahan sebesar 28%, infeksi sebesar 11%, eklamsia sebesar 24%, dan
partus macet (lama) sebesar 5% (Kemkes RI, 2017). Penyebab tingginya AKI
adalah perdarahan dan penyebab terjadinya perdarahan adalah atonia uteri,
rupture perineum, dan sisa plasenta (Ariani,2018).
Perdarahan masih merupakan trias penyebab kematian maternal
tertinggi, di samping preeklampsi/eklampsi dan infeksi. Perdarahan dalam
bidang obstetric dapat dibagi menjadi perdarahan pada kehamilan muda
(kurang dari 22 minggu), perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan,
dan perdarahan pasca persalinan.
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi berupa janin
dan plasenta dari Rahim melalui jalan lahir. Pada periode pasca persalinan
dapat terjadi berbagai macam komplikasi seperti perdarahan karena atonia
uteri, retensio plasenta dan rupture perenium.

1
Rupture uteri merupakan salah satu kasus kegawatan obstetric.
Rupture uteri secara epidemiologi diperkirakan terjadi pada 0,05% kelahiran
secara global. Angka kejadian rupture uteri di Indonesia masih tinggi yaitu
berkisar antara 1:92 sampai 1:428 persalinan. Angka kematian ibu akibat
rupture uteri juga masih tinggi yaitu berkisar antara 17,9% sampai 62,6%,
sedangkan angka kematian anak pada rupture uteri berkisar antara 89,1&
sampai100%.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian rupture uteri?
2. Apa penyebab (etiologi) rupture uteri?
3. Bagaimana kasus rupture uteri di Indonesia?
4. Apa saja klasifikasi rupture uteri?
5. Apa saja tanda dan gejala rupture uteri?
6. Bagaimana penanganan rupture uteri?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian rupture uteri.
2. Untuk mengetahui penyebab rupture uteri.
3. Untuk mengetahui bagaimana kasus rupture uteri di Indonesia.
4. Untuk mengetahui klasifikasi rupture uteri.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala rupture uteri.
6. Untuk mengetahui penanganan rupture uteri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Rupture Uteri


Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
persalinan pada saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu.
Ruptur uteri adalah komplikasi peripatrum yang jarang terjadi pada
sekitar 7/10000 individu,tetapi angka kejadian penyakit ini meningkat
menjadi 20-80/10.000 pada ibu dengan defek pada uterus dan sebagian
besar sebagai akibat dari riwayat operasi Caesar sebelumnya. Penggunaan
operasi Caesar meningkat di seluruh dunia,dan dengan demikian tingkat
ruptur uteri juga di perkirakan akan meningkat.
Rupture uteri merupakan komplikasi peripartumjarang, sering
dikaitkan dengan yang bencana hasil untuk ibu dan anak. Rahim yang
terluka, sebagian besar karena sebelumnya mempunyai riwayat seksio
sesarea (SC), hal tersebut secara substansial meningkatkan risiko rupture
uteri. Meskipun rupture uteri adalah peristiwa yang jarang terjadi di Negara
– Negara berkembang, itu masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat utama di Negara – Negara berkembang yang membahayakan
kehidupan banyak ibu.
Rupture uteri adalah kondisi darurat obstetric yang serius berpotensi
mengancam jiwa bagi ibu dan anak. Rupture uteri membutuhkan intervensi
bedah segera untuk penyelamatan janin dan perbaikan uterus atau
histerektomi. Karena rupture uteri adalah peristiwa yang relative jarang
terjadi – diperkirakan terjadi antara 0,03% dan 0,09% dari persalinan dan
kehamilan setelah rupture masih jarang terjadi, banyak literature tentang
rupture uterus berulang terdiri dari laporan kasus dan seri kasus. Laporan ini
memperkirakan risiko kekambuhan berkisar antara 0% hingga 33%.

3
2.2 Penyebab Ruptur Uteri
Umumnya, penyebab rupture uteri adalah pergerakan bayi yang
memberikan tekanan kuat pada rahim selama menjalani persalinan normal.
Tekanan tersebut dapat mempengaruhi area luka bekas caesar dan
menimbulkan robekan. Rupture uteri pun biasanya terjadi di sepanjang bekas
luka operasi sebelumnya. Kemungkinan terjadinya rupture uteri pada ibu
dengan riwayat rahim yang sehat dan cukup kecil. Namun, risiko rupture uteri
akan meningkat apabila ibu pernah menjalani operasi rahim sebelumnya.

4
Penyebab utama rupture uteri di Negara berkembang adalah factor obstetri
dan non-obstetri yang terdiri dari factor – factor seperti : multigraviditas,
kehamilan usia remaja, primi tua, status social ekonomi yang buruk, bekas
luka sesar sebelumnya, persalinan tanpa pengawasan dan penggunaan agen
uterotonic yang tidak bijaksana. Secara tradisional keberadaan bekas luka
sesar dianggap sebagai factor risiko utama untuk rupture uterus, yang menjadi
penyebab utama sebagian besar kasus (50-90%) selama decade terakhir.
Secara etiologi penyebabnya dibagi menjadi 2 :
a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC,
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta
secara manual.
b. Karena peregangan yang luar biasa pada rahim, misalnya pada panggul
sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin
penderita DM, hidrops fetalis, post maturnitas dan grande multipara.
c. Rupture uteri vioventa (traumatika), karena tindakan dan trauma lain
seperti :
1. Ekstraksi forsep
2. Versi dan ekstraksi
3. Embriotomi
4. Versi brakston hicks
5. Sindroma tolakan (pushing sindrom)
6. Manual plasenta
7. Curctase
8. Ekspresi kisteler/cred
9. Pemberian pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
10. Trauma tumpul dan tajam dari luar
Kriteria pasien dengan resiko tinggi rupture uteri adalah :
1. Persalinan dengan SC lebih dari satu kali
2. Riwayat SC classic (midline uterin incision)
3. Riwayat SC dengan jenis “low vertical incision)
4. LSCS dengan jahitan uterus satu lapis

5
5. SC dilakukan kurang dari 2 tahun
6. LSCS pada uterus dengan kelainan congenital
7. Riwayat SC tanpa riwayat persalinan spontan per vagina
8. Induksi atau akselerasi persalinan pada pasien dengan riwayat SC
9. Riwayat SC dengan janin makrosomia
10. Riwayat miomektomi per laparoskop atau laparotom.

Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada
sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang
masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada
persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan partus
percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenisnya.

Pasien yang berisiko tinggi antara lain :

A. persalinan yang mengalami distosia, grande multipara, penggunaan


oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan (Holmgren et
al, 2012).
B. pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea
Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio
sesarea klasik berlaku adagium Once Sesarean Section always Sesarean Section.
Pada keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih elective cesarean section (ulangan)
untuk mencegah ruputura uteri dengan syarat janin sudah matang (Yılmaz et al,
2011).

6
Gambar 1. Klasik dan low transverse insisi pada bedah sesar

(sumber : www.healthyrecipesdiary.org)

2.3 Kasus Ruptur Uteri Di Indonesia


Angka kejadian rupture uteri di Indonesia masih tinggi yaitu berkisar
antara 1:92 sampai 1:428 persalinan. Angka – angka tersebut masih sangat
tinggi jika dibandingkan dengan Negara – Negara maju yaitu antara 1:1250
sampai 1:2000 persalinan. Angka kematian ibu akibat rupture uteri juga masih
tinggi yaitu berkisar antara 17,9% sampai 62,6%, sedangkan angka kematian
anak pada rutur uteri berkisar antara 89,1% sampai 100%.
Tinjauan sistematis WHO atas kematian maternal dan morbiditas sekunder
akibat rupture uterus menunjukkan bahwa prevalensi rupture uterus cenderung
lebih rendah di Negara maju daripada Negara berkembang dengan tingkat
prevalensi 0,006%. Rupture uteri di Negara – Negara maju sebagian besar
terjadi komplikasi sekunder dari seksio sesarea sebelumnya. Berdasarkan
survey yang dilakukan oleh WHO Multicountry Survey on Maternal and
Newborn Health, angka mortalitas pada ibu dan janin di 29 negara akibat
ruptur uteri, masing-masing mencapai 8,7% dan 97,8%. Di Indonesia, belum
ada data spesifik angka mortalitas ruptur uteri. Meski begitu, angka kematian
ibu di Indonesia masih cukup tinggi, dengan 1.330 kematian dikaitkan dengan
perdarahan selama kehamilan pada tahun 2021, termasuk ruptur uteri.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) terjadi 2,7 juta kasus
rupture perineum pada ibu bersalin. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta
pada tahun 2050. Menurut WHO tahun 2015 AKI di dunia yaitu 289.000 jiwa
dan Asia Tenggara menjadi ke-4 yang memiliki jumlah AKI terbesar yaitu
16.000 jiwa. Salah satu penyebab AKI yaitu perdarahan post partum. Ruptur
perineum menjadi penyebab utamanya (N. Sari, Amdadi, and Hidayati 2022).
Pada tahun 2019 kematian ibu di Indonesia sebanyak 4.221 kasus,
kematian ibu terbanyak disebabkan oleh perdarahan sebanyak (1.280 kasus)
(Kemenkes RI, 2019). Di Indonesia, laserasi pada perineum dialami sebanyak
75% ibu yang melahirkan pervaginam. Pada tahun 2017, menunjukkan data
bahwa sebanyak total 1.951 kelahiran spontan pervaginam dengan 57% ibu
mendapat jahitan perineum (29% karena robekan secara spontan dan 28%
karena episiotomi (Depkes RI, 2017). Sedangkan penyebab kematian ibu di
provinsi Sulawesi Selatan untuk tahun 2017 sebanyak 62 kasus
(41,6%).Ruptur perineum menjadi penyebab utamanya. Jumlah kasus angka
kematian ibu sebanyak 149 per 100.000 kelahiran hidup di Sulawesi Selatan
(N. Sari, Amdadi, and Hidayati 2022).

7
Pada tahun 2018, AKI sebanyak 228/ 100.000 kelahiran hidup. Tahun
2019, AKI sebanyak 352/ 100.000 kelahiran hidup. Banyak faktor penyebab
kematian ibu diantaranya adalah perdarahan nifas sekitar 26,9%, preeklampsia
saat bersalin 23%, infeksi 11%, komplikasi puerpurium 8%, trauma obstetrik
5%, emboli obstetrik 8%, aborsi 8 % dan lain-lain 10,9% (Depkes RI, 2019)
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan ratio kematian ibu pada masa
kehamilan, persalinan, dan nifas. AKI merupakan salah satu indikator
keberhasilan upaya menangani kesehatan ibu. Organisasi kesehatan dunia atau
WHO 2017, sekitar 295.000 meninggal selama dan setelah melahirkan
(WHO,2017). Data menunjukan bahwa Angka Kematian Ibu di ASEAN yaitu
sebesar 235 per 100.000 kelahiran. Menurut data Kementrian Kesehatan RI
(2018), terjadi penurunan AKI dari rentang tahun 1991-2015 dari 390 menjadi
305 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun adanya penurunan tersebut, namun
belum mencapai target MDGs (Millennium Development Goals) yaitu sebesar
102 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015.

Perdarahan bertanggung jawab sebesar 28% kematian ibu. Dengan persentase


tersebut, perdarahan pada ibu hamil merupakan penyebab utama AKI meningkat.
Menurut WHO (2014) angka Kematian ibu di dunia yang di sebabkan oleh
perdarahan sebesar 30,3%. Dengan angka persentase tersebut, perdarahan masih
merupakan penyumbang terbesar kematian ibu di dunia di susul dengan tekanan
darah tinggi saat kehamilan (27,1%), infeksi pada kehamilan (16,5%), komplikasi
persalinan (15,3%), dan aborsi yang tidak aman (10,8%).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi-Selatan bahwa


Jumlah kematian ibu maternal pada tahun 2018, sebanyak 143 kematian atau
92,56/ 100.000 kelahiran hidup sedangkan pada tahun 2019 jumlah kematian
ibu maternal menurun lagi menjadi 118/100.000 kelahiran hidup dimana
penyebabnya antara lain: pendarahan 25 orang (20%), infeksi 2 orang (1,6%),
eklamsi 23 orang (18.4%), plasenta previa 5 orang (4%), ruptur uteri 5 orang
(4%), atoni uteri 5 orang (4%), preeklampsia 11 orang (8,8 %) molahidatidosa
1 orang (0,8%), abortus 8 jiwa (6,4%), dan penyebab lainnya 36 orang
(28,8%). (Profil Dinkes Sul-Sel, 2020).
Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan pada tahun
2011, angka kematian ibu mencapai 228/100.000 kelahiran hidup (Depkes RI,
2012). Sedangkan pada tahun 2012, hasil SDKI menunjukan bahwa rata-rata
angka kematian ibu tercatat mencapai 359/100.000 kelahiran hidup (Depkes
RI, 2021). Data ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan angka kematian
ibu pada tahun 2020 dibanding tahun 2019. Fakta tersebut jauh dari target
MDGS (Millenium Development Gools) yang diharapkan pemerintah mampu
menurunkan AKI hingga 102/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2022

8
(Kemenkes RI, 2021). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan pada tahun 2021 total angka kematian ibu di Sulawesi Selatan sebesar
195 kasus, sedangkan angka kematian bayi mencapai 844 kasus (Dinkes
Sulsel, 2022). Mengingat sekitar 90% kematian ibu terjadi disaat sekitar
persalinan dan 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetri yang
sering tak dapat diperkirakan sebelumnya, maka pemerintah menetapkan
upaya akselerasi penurunan angka kematian ibu (Rida & Yulita, 2017).

2.4 Klasifikasi Rupture Uteri


1. menurut keadaan robek
a) Rupture uteri inkomplit (subperitoneal)
Rupture uteri yang hanya dinding uterus yang robek sedangkan lapisan
serasa (peritoneum) tetap utuh.
b) Rupture uteri komplit (transperitoneal)
Rupture uteri yang selain dinding uterusnya robek, lapisan serasa
(peritoneum) juga robek sehingga dapat berada di rongga perut.
2. menurut kapan terjadinya
a. Rupture uteri pada waktu kehamilan (rupture uteri gravidarum)
Rupture uteri yang terjadi karena dinding uterus lemah yang dapat
disebabkan oleh :
- Bekas seksio sesaria
- Bekas enukleasi mioma uteri
- Bekas kuretase/plasenta manual
- Sepsis post partum
- Hypoplasia uteri
b. Rupture uteri pada waktu persalinan (rupture uteri intrapartum)
Rupture uteri pada dinding uterus baik, tapi bagian terbawah janin tidak
maju/turun yang dapat disebabkan oleh :
- Versi ekstraksi
- Ekstraksi forcep
- Ekstraksi bahu
- Manual plasenta
3. menurut etiologinya
a) Rupture uteri spontan (non violent)
Rupture uteri spontan pada uterus normal dapat terjadi karena beberapa
penyebab yang menyebabkan persalinan tidak maju. Persalinan yang
tidak maju ini dapat terjadi karena adanya rintangan misalnya panggul
sempit, hidrosefalus, makrosomia, janin dalam letak lintang, presentasi
bokong, hamil ganda dan tumor pada jalan lahir.
b) Rupture uteri traumatika (violent)

9
Factor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan.
Kecelakaan sebagai factor trauma pada uterus berarti tidak
berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya trauma
pada abdomen. Tindakan berarti berhubungan dengan proses kehamilan
dan persalinan misalnya versi ekstraksi, ekstraksi forcep, alat-alat
embriotomi, manual plasenta, dan ekspresi/dorongan.
c) Rupture uteri jaringan parut
Rupture uteri yang terjadi karena adanya locus minoris pada dinding
uterus sebagai akibat adanya jaringan parut bekas operasi pada uterus
sebelumnya, enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi,
histerotomi, histerorafi, dan lain-lain. Seksio sesarea klasik empat kali
lebih sering menimbulkan rupture uteri daripada parut bekas seksio
sesaria profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen
bawah uterus yang merupakan daerah uterus yang lebih tenang dalam
masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat.

4. Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan menjadi :

 Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi,
seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.

 Segmen Bawah Rahim


Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR
tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur
uteri.

 Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi
dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.

 Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.

5. Menurut waktu terjadinya, etiologi ruptur uteri dapat dibagi menjadi 2, yaitu
akibat cedera atau anomali yang terjadi sebelum kehamilan sekarang, dan akibat
cedera atau anomali yang terjadi selama kehamilan sekarang. Penyebab-penyebab
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

10
Klasifikasi Kausa Ruptur Uteri

Cedera atau Anomali Uterus yang Cedera atau Kelainan Uterus Selama
Terjadi Sebelum Kehamilan Sekarang Kehamilan Sekarang
1. Pembedahan yang melibatkan 1. Sebelum persalinan
miometrium  Kontraksi persisten, intens,
 Seksio sesarea atau spontan
histerektomi  Stimulasi persalinan
 Riwayat reparasi ruptur uteri (oksitosin atau prostaglandin)
sebelumnya  Instilasi intra-amnion (saline
 Insisi miomektomi melalui atau prostaglandin)
atau sampai endometrium  Perforasi oleh kateter
 Reseksi kornu dalam tuba pengukur tekanan uterus
falopii interstisial internal
 Metroplasti  Trauma eksternal (tajam atau
2. Trauma uterus yang terjadi tanpa tumpul)
disengaja  Versi luar
 Abortus dengan instrumentasi  Overdistensi uterus
(kuret, sondase) (hidramnion, gemelli)
 Trauma tajam atau tumpul 2. Selama persalinan
(kecelakaan, pisau, peluru)  Versi interna
Ruptur asimtomatik (silent  Pelahiran dengan bokong
ruptur) pada kehamilan yang sulit
sebelumnya  Ekstraksi bokong
3. Anomali kongenital  Anomali janin yang
 Kehamilan di kornu uterus meregangkan bagian bawah
yang tidak berkembang  Penekan yang berlebihan pada
uterus selama persalinan
 Pengeluaran plasenta secara
manual yang sulit
3. Didapat
 Plasenta akreta atau perkreta
 Neoplasia trofoblastik
gestasional
 Sakulasi uterus retroversi
yang terperangkap

6. Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan :

 Ruptur Uteri Kompleta

11
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium),
sehingga terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga
uterus dengan bahaya peritonitis.

 Ruptur Uteri Inkompleta


Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan
terjadi subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum.

7. Menurut gejala klinis, ruptur uteri dapat dibedakan:

 Ruptur uteri iminens (membakat/mengancam)


Terlebih dahulu dan yang terpenting adalah mengenal betul gejala dari ruptur
uteri mengancam (threatened uterine rupture) sebab dalam hal ini kita dapat
bertindak secepatnya supaya tidak terjadi ruptur uteri yang sebenarnya.

2.5 Tanda dan Gejala Rupture Uteri


Menurut buku kapita selekta tanda-tanda ruptur uteri yaitu:
1. Nyeri abdomen
Dapat terjadi tiba-tiba, tajam dan seperti di sayat pisau. Apabila
tejadi ruptur saat persalinan, kontraksi uterus yang intermiten dan kuat
akan berhenti secara tiba-tiba, dan pasien akan mengeluh nyeri uterus yang
menetap.
2. Pendarahan pervaginan
Dapat simptomatik karena karena pendarahan aktif dari pembuluh
darah yang robek.

Sebelum mendiagnosa pasien terkena ruptura uteri maka, petugas


kesehatan harus mengenal tanda-tanda dari gejala ruptura uteri mengancam. Hal

12
ini dimakksudkan agar petugas kesehatan seperti bidan dapat mencegah ruptura
uteri yang sebenarnya.

Tanda-tanda gejala ruptura uteri yang mengancam adalah:

a. Dalam anamnesa, pasien mengatakan telah ditolong/dibantu oleh


dukun/bidan, dan partus sudah lama berlangsung atau partus macet.
b. Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut
c. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang
kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
d. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
e. Ada tanda dehidrasi karena parvtus yang lama (prolonged labor), yaitu
mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
f. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
g. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan
keras terutama sebelah kiri atau keduanya.
h. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan
SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
i. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan
teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka
pada kateterisasi ada hematuri.
j. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia)
k. Pada pemriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi,
seperti oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.

Jika ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus maka akan terjadi gejala
ruptur uteri yang sebenarnya yaitu:

1. Gejala yang terlihat saat anamnesis dan inspeksi:


 Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar
biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi
gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps
 Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.

13
 Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
 Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak terukur.
 Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak,
lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan
menyumbat jalan lahir.
 Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah
dan dibahu.
 Kontraksi uterus biasanya hilang.
 Mula-mula terdapat defans muskulaer kemudian perut menjadi
kembung dan meteoristis (paralisis usus).
2. Gejala yang teraba saat palpasi:
 Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema
subkutan.
 Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas
panggul.
 Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut,
maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan
disampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras
sebesar kelapa.
 Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
3. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa
menit setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk
ke rongga perut.
4. Pemeriksaan dalam
 Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah
dapat didorong ke atas dan ini disertai keluarnya darah pervaginam
yang agak banyak
 Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka

14
dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin. Kalau jari
tangan kita yang didalam kita temukan dengan jari luar maka terasa
seperti dipisahkan oleh bagian yang tipis seklai dari dinding perut juga
dapat diraba fundus uteri.
5. Kateterisasi
Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.

Lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti dan hati-hati sebagai kerja rutin
setelah mengerjakan suatu operative delivery, misalnya sesudah versi ekstraksi,
ekstraksi vakum atau forsep, embriotomi dan lain-lain.

2.6 Penanganan Rupture Uteri

Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus


dilakukan dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan
distosia, dan pada wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau
pembedahan lain pada uterus. Pada distosia harus diamati terjadinya regangan
segmen bawah rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu, persalinan harus
segera diselesaikan.

Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada
kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan
perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa
dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat
dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak akan

15
bisa diterima. Jadi, segera perbaiki shok dan kekurangan darah. Perbaikan shok
meliputi pemberian oksigen, cairan intravean, darah pengganti dan antibiotik
untuk pencegahan infeksi.

Bila keadaan umum penderita mulai membaik dan diagnosa telah


ditegakkan, selanjutnya dilakukan laparotomi (tindakan pembedahan) dengan
tindakan jenis operasi:

a. Histerektomi, baik total maupun subtotal.


b. Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya.
c. Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang
cukup.

Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara
lain:

a. Keadaan umum
b. Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta
c. Jenis luka robekan
d. Tempat luka
e. Perdarahan dari luka
f. Umur dan jumlah anak hidup
g. Kemampuan dan keterampilan penolong.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rupture uteri adalah kondisi darurat obstetric yang serius berpotensi
mengancam jiwa bagi ibu dan anak. Rupture uteri membutuhkan intervensi
bedah segera untuk penyelamatan janin dan perbaikan uterus atau histerektomi.

Ruptur uteri dapat disebabkan oleh dinding rahim yang lemah dan cacat,
misalnya pada bekas SC, kuratase, pelepasan plasenta secara manual dan
tindakan persalinan lainnya, serta kerena peregangan luar biasa pada rahim.

17
3.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan yaitu seorang bidan atau tenaga
kesehtan lainnya harus lebih cepat mendiagnosa dan menegakkan diagnosa, agar
kematian ibu karena ruptur uteri bisa berkurang di indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Martohoesodo S, Marsianto. Perlukaan dan Peristiwa Lain pada Persalinan.


Dalam : Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Winkjosastro GH, editor. Ilmu
Kebidanan. Edisi 4. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2008: 668-672.

Eden, RD, Parker RT, Gall SA. Rupture of the pregnant uterus: A 53-years
review. AMJ Obstet Gynecol, 2007; 68:671.

18
Suhartatik, Wa Mina, Susi, Ernawati. (2023) Identifikasi Jenis Kegagalan
Persalinan Normal Pada Ibu Remaja. Journal of Telenursing, Vol. 5 (No.
2). 1727. https://doi.org/10.31539/joting.v5i2.6466

Ismawati. (2021) Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Preeklampsia


Pada Ibu Hamil di UPT Puskesmas Ulaweng Kecamatan Ulaweng
Kabupaten Bone. Jurnal Suara Kesehatan. Vol. 7 (No. 2). 3-4.
https://journal.iskb.ac.id/

Ahmad, Setyawati, Saranga. (2020). Laporan Kasus : Ruptur Uteri Inkomplit


Disertai Intrauterine Fetal Death Pada Pasien Multiparitas. Jurnal Medical
Profession. 155-156

Sari, Ratna. (2017). Ruptur Uteri. Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Lampung. Jurnal Kedokteran Universitas
Lampung. 2-4

Rajudin, Kumalasari, Roziana. (2018). Ruptur Uteri Sebagai Komplikasi Tolac


Pada Pasien Dengan Ketuban Pecah Dini. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh. Vol. 4 (No. 2). 3

Exsa, Risal, Efryian, Jeffrey. (2021). Ruptur Buli Total, Ruptur Uterus dan Ruptur
Vagina Pasca Persalinan Spontan. Jurnal Kedokteran Unila. Vol. 5 (No.
2). 1-2

Zettira, Subekti. (2019). Return Of Spontaneous Circulation Intraoperatif Pada


Wanita dengan Syok Hemoragik Karena Ruptur Uteri Komplit dan Atonia
Uteri. Majority. Vol. 8 (No. 2). 48

Ferinawati, Marjuani. (2020). Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan


Kejadian Ruptur Perenium Pada Persalinan Normal Di BPM Hj. Rosdiana,
S.Sit Kecamatan Jeunib Kabupaten Bireuen. Journal Of Healthcare
Technology and Medicine. Vol 6 (No. 2). 1

Muchtar, Handayani, Novianti. (2023). Manajemen Asuhan Kebidanan


Intrapartum Ny. “E” Dengan Ruptur Perenium Tingkat II di UPT BLUD

19
Puskesmas Watampone Kabupaten Bone. Jurnal Midwifery. Vol. 5 (No.
2). 149-150

https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/ruptur-uteri/
epidemiologi

20

Anda mungkin juga menyukai