Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan


Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal

Program Studi Pendidikan Profesi Bidan

Disusun Oleh :

Nama : Witri Wulandari


NIM : PO. 62.24.2.21.565

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan


Maternal Dan Neonatal

Telah disahkan tanggal : Februari 2022

Mengesahkan,
Pembimbing Institusi,

Riny Natalina, SST., M.Keb


NIP. 19791225 200212 2 002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Koordinator Mata Kuliah


Sarjana Terapan Kebidanan Dan Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan
Pendidikan Profesi Bidan Maternal Dan Neonatal

Heti Ira Ayue, SST., M.Keb Heti Ira Ayu, SST.,M.Keb


NIP. 19781027 200501 2 001 NIP. 19781027 200501 2 001
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEBIDANAN

Disusun guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan


Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Dan Neonatal
Program Studi Pendidikan Profesi Bidan Poltekes Kemenkes Palangka Raya

Disusun oleh :

Nama : Witri Wulandari

NIM : PO.62.24.2.21.565

Palangkaraya, Februari 2022

Koordinator MK. PraktikKebidanan Pembimbing Institusi


Kegawatdaruratan Maternal Dan Neonatal

(Heti Ira Ayu, SST.,M.Keb) (Riny Natalina, SST., M.Keb)


NIP. 19860621 200912 2 002 NIP. 19791225 200212 2 002

Mengetahui
Plt. Ketua Program Studi Sarjana
Terapan Kebidanan dan Pendidikan Profesi Bidan

(Heti Ira Ayue, SST., M. Keb)


NIP. 19781027 200501 2 001
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sekitar 800 perempuan setiap hari meninggal akibat kehamilan dan
persalinan. Hampir semua kematian ibu (99%) terjadi di negara berkembang,
komplikasi utama yang menyumbang 80% dari seluruh kematian ibu adalah
perdarahan hebat setelah melahirkan, infeksi, preekampsia, eklampsia, dan aborsi.
Di Negara berkembang, seorang wanita tujuh kali lebih mungkin untuk mengalami
preeclampsia dibandingkan wanita di negara maju. Preeklampsia di negara
berkembang didiagnosis (3 – 5%) dan di dunia didiagnosis (7.5%) (Lombo et al.,
2017).
Jumlah kematian ibu yang dihimpun dari pencatatan program kesehatan
keluarga di Kementerian Kesehatan pada tahun 2020 menunjukkan 4.627 kematian
di Indonesia. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2019
sebesar 4.221 kematian. Berdasarkan penyebab, sebagian besar kematian ibu pada
tahun 2020 disebabkan oleh perdarahan sebanyak 1.330 kasus, hipertensi dalam
kehamilan sebanyak 1.110 kasus, dan gangguan sistem peredaran darah sebanyak
230 kasus. Berdasrkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2020, jumlah kematian ibu
di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2020 sebanyak 69 kematian dengan
penyebab tertinggi akibat perdarahan 24 Kasus, hipertensi dalam kehamilan 17
kasus, Infeksi 4 kasus, ganggun sistem peredaran daran 1 kasus, gangguan
metabolik 3 kasus, dan penyebab lain- lain 20 kasus (KEMENKES RI, 2021).
Tingginya angka kematian ibu menunjukkan rendahnya kualitas pelayanan
kesehatan terutama kesehatan ibu. WHO menyatakan bahwa salah satu aspek utama
dalam pelayanan primer termasuk kesehatan ibu dan anak adalah adanya hubungan
yang erat dengan level diatasnya, hal ini dapat dilihat dari bagaimana sistem
rujukan itu berjalan secara efektif. Upaya dari pemerintah untuk menurunkan AKI
dan AKB adalah dengan diselenggarakannya pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal dasar berkualitas yaitu Pelayanan Obstetri dan neonatal Emergensi Dasar
(PONED) di Puskesmas dan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi
Komrehensif (PONEK) di Rumah Sakit Kabupaten/ Kota dan Rumah Sakit
Provinsi (Ambarwati dkk., 2018).
Dalam pelaksanaan program kesehatan sangat dibutuhkan sumberdaya
manusia yang kompeten, sehingga apa yang menjadi tujuan dapat tercapai.
Bidan sebagai salah satu sumber daya manusia dalam bidang kesehatan
merupakan orang yang berada digaris terdepan dan langsung berhubungan
dengan wanita sebagai sasaran program. Bidan memiliki peran penting dalam
melaksanakan asuhan komprehensif yang mandiri, kolaborasi, maupun
melakukan rujukan yang tepat. Oleh karena itu, bidan dituntut untuk mampu
mendeteksi secara dini adanya tanda dan gejala komplikasi kehamilan,
memberikan pertolongan kegawatdaruratan, melakukan stabilisasi dan mampu
melakukan rujukan dengan tepat(Ambarwati dkk., 2018).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menerapkan teori, konsep dan prinsip kebidanan dalam memberikan
asuhan kegawatdaruratan maternal dan neonatal
2. Tujuan Khusus
a) Dapat melakukan pengkajian pada asuhan kegawatdaruratan maternal
dan neonatal
b) Dapat melakukan analisa data dengan berpikir kritis pada asuhan
kegawatdaruratan maternal dan neonatal
c) Dapat melakukan perencanaan asuhan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal
d) Dapat melakukan implementasi asuhan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal berdasarkan evidence based.
e) Dapat melakukan evaluasi asuhan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal
f) Dapat Melakukan pendokumentasian asuhan kegawatdaruratan maternal
dan neonatal
C. Manfaat
1. Mahasiswa
Mahasiswa profesi mampu melakukan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan
Maternal dan Neonatal dan dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh serta
mendapatkan pengalaman dalam melaksanakan asuhan kebidanan secara
langsung pada ibu dan bayi sehingga dapat digunakan sebagai berkas penulis
didalam melaksanakan tugas sebagai bidan dengan manajemen kebidanan
sesuai kasus yang ditemukan di lahan praktik.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan sumber kepustakaan dan perbandingan pada Asuhan
Kebidanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal
3. Bagi Rumah Sakit
Memberikan informasi pada klien terutama tentang kegawatdaruratan
maternal dan neonatal yang terjadi.

D. Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan pada tanggal 11 Februari s/d 2 Maret 2022 dan pelaksanaan
Asuhan di RSUD Jaraga Sasameh Kab. Barito Selatan
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Kegawatdaruratan Maternal
1. Definisi
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-
tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya. Kegawatdaruratan dapat
juga didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi
secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamatkan jiwa/nyawa. Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah
kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau
selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit
dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya.
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir. Masalah kedaruratan
selama kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi kehamilan spesifik atau
penyakit medis atau bedah yang timbul secara bersamaan (Setyarini & Suprapti,
2016).
2. Kegawatdaruratan Maternal dan penatalaksanaannya
a. Perdarahan pada kehamilan muda dan lanjut
1) Perdarahan pada kehamilan muda
Perdarahan pada kehamilan muda merupakan perdarahan pada
kehamilan dibawah 20 minggu atau perkiraan berat badan janin kurang
dari 500 gram dimana janin belum memiliki kemampuan untuk hidup
diluar kandungan (Setyarini & Suprapti, 2016).
a) Abortus
Untuk wanita yang masih dalam usia reproduksi, sebaiknya
dipikirkan suatu abortus inklomplit apabila (Setyarini & Suprapti,
2016):
(1) Terlambat haid (tidak datang haid lebih dari satu bulan, dihitung
dari haid terakhir)
(2) Terjadi perdarahan per vagina
(3) Spasme atau nyeri perut bawah (seperti kontraksi saat persalinan)
(4) Keluarnya massa kehamilan (fragmen plasenta) Apabila tidak
terdapat gejala tersebut diatas, sebaiknya dipertimbangkan
diagnosis lain (misalnya infeksi panggul). Terminasi kehamilan
secara paksa dilakukan dengan memasukkan kayu, plastic atau
benda tajam lainnya kedalam kavum uteri dapat menjadi
penyebab utama dari berbagai komplikasi serius abortus
inkomplit. Karena berbagai alasan tertentu, kebanyakan pasien
abortus provokatus, segan atau dengan sengaja menyembunyikan
penyebab abortus yang dapat membahayakan atau mengancam
keselamatan jiwa pasien.

Berikut beberapa klasifikasi abortus diantaranya adalah (Setyarini & Suprapti, 2016):
Berikut penatalaksan abortus berdasarkan klasifikasi nya (Manuaba, 2010) :
Diagnosis Perdarahan Serviks Besar uterus Gejala lain

Abortus iminens Sedikit- Tertutup Sesuai dengan PP test positif Kram


sedang usia kehamilan Uterus lunak

Abortus Sedang- Terbuka Sesuai atau lebih Kram Uterus Lunak


insipiens banyak kecil

Abortus Sedikit- Terbuka Lebih kecil dari Uterus lunak


inkomplit banyak (lunak usia kehamilan
Kram Keluar
jaringan

Abortus komplit Sedikit/tidak Lunak Lebih kecil dari Keluar jaringan


ada (terbuka usia kehamilan Uterus kenyal
atau Sedikit/tak kram
tertutup
(5) Abortus Abortus Insipien, Abortus Inkomplit, Abortus komplit,
penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:
i) Pasang infus – cairan pengganti
ii) Transfusi darah
iii)Persiapan kuretase (mempercepat pengambilan jaringan hasil
konsepsi, mempercepat berhentinya perdarahan, mengurangi
infeksi)
iv) Tambahan terapi : Antibiotika, Uterotonika, Terapi suportif
(6) Abortus Iminens penatalaksanaannya sebagai berikut:
i) Bed rest
ii) Tokolitik
iii)Plasetogenik hormonal  
iv)ANC‐ hamil aterm
b) Kehamilan ektopik terganggu
Kehamilan ektopik ialah terjadinya implantasi (kehamilan)
diluar kavum uteri. Kebanyakan kehamilan ektopik di tuba, hanya
sebagian kecil di ovarium, kavum abdomen, kornu. Kejadian
kehamilan ektopik ialah 4,5-19,7/1000 kehamilan. Beberapa faktor
risiko ialah : radang pelvik, bekas ektopik, operasi pelvik, anomalia
tuba, endometris dan perokok. Gejala trias yang klasik ialah :
amenorrhea, nyeri perut dan perdarahan pervaginam. Pada kondisi
perdarahan akan ditemukan renjatan, dan nyeri hebat di perut bawah.
Uterus mungkin lebih besar sedikit, dan mungkin terdapat massa
tumor di adneksa. Dengan USG kehamilan intrauterin akan dapat
ditentukan, sebaliknya harus dicari adanya kantong gestasi atau
massa di adneksa/kavum douglas. Bila USG ditemukan kantong
gentasi intrauterin (secara abdominal USG), biasanya kadar BhCG
ialah 6500 iu; atau 1500 iu bila dilakukan USG transvaginal. Bila
ditemukan kadar seperti itu dan tidak ditemukan kehamilan
intrauterin, carilah adanya kehamilan ekstrauterin (Setyarini &
Suprapti, 2016).
Bila ditemukan keadaan abdomen akut maka tindakan terbaik
ialah hemostasis KET. Jenis tindakan yang akan diambil, harus
memperhitungkan pemulihan fungsi kedua tuba. Bila ibu masih ingin
hamil maka lakukan salpingostomi. Bila kondisi gawatdarurat, tidak
ingin hamil lagi, robekan tidak beraturan, terinfeksi, perdarahan tak
dapat dikendalikan maka lakukan salpingektomi. Pada umumnya
akan dilakukan prosedur berikut ini (Setyarini & Suprapti, 2016):
(1) Pasang infus untuk substitusi kehilangan cairan dan darah
(2) Transfusi Hb < 6g%, Bila tidak segera tersedia darah, lakukan
autotransfusi selama prosedur operatif
(3) Lakukan prosedur parsial salpingektomi atau eksisi segmental
yang dilanjutkan dengan salpingorafi (sesuai indikasi)
(4) Lakukan pemantauan dan perawatan pascaoperatif
(5) Coba infus dan transfusi setelah kondisi pasien stabil.
(6) Realimentasi, mobilisasi dan rehabilitasi kondisi pasien sesegera
mungkin
2) Perdarahan pada kehamilan lanjut
a) Definisi
Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan merupakan
perdarahan dalam kehamilan yang terjadi setelah usia gestasi diatas
22 mg. Masalah yang terjadi pada perdarahan kehamilan lanjut
adalah morbiditas dan mortalitas ibu yang disebabkan oleh
perdarahan pada kehamilan diatas 22 minggu hingga menjelang
persalinan (sebelum bayi dilahirkan), perdarahan intrapartum dan
prematuritas, morbiditas dan mortaltas perinatal pada bayi yang akan
dilahirkan (Setyarini & Suprapti, 2016).
b) Penatalaksanaan
(1) Siapkan fasilitas tindakan gawatdarurat karena perdarahan
anterpartum merupakan komplikasi yang dapat membahayakan
keselamatan ibu
(2) Setiap tingkat fasilitas pelayanan harus dapat mengenali,
melakukan stabilitasi, merujuk dan menatalaksana komplikasi
pada ibu dan anak sesuai dengan jenjang kemampuan yang ada
(3) Setiap kasus perdarahan anterpartum memerlukan rawat-inap dan
penatalaksanaan segera
(4) Lakukan restorasi cairan dan darah sesuai dengan keperluan
untuk memenuhi defisit dan tingkat gawatdarurat yang terjadi
(5) Tegakkan diagnosis kerja secara cepat dan akurat karena hal ini
sangat mempengaruhi hasil penatalaksanaan perdarahan
antepartum
(6) Tindakan konservatif dilakukan selama kondisi masih
memungkinkan dan mengacu pada upaya untuk memperbesar
kemungkinan hidup bayi yang dikandung
(7) Pada kondisi yang sangat gawat, keselamatan ibu merupakan
pertimbangan utama
b. Preeklampsia dan eklampsia
1) Definisi
Preeklamsia/Eklamsia merupakan suatu penyulit yang timbul
pada seorang wanita hamil dan umumnya terjadi pada usia kehamilan
lebih dari 20 minggu dan ditandai dengan adanya hipertensi dan protein
uria. Pada eklamsia selain tanda tanda preeklamsia juga disertai adanya
kejang. Preeklamsia/Eklamsia merupakan salah satu penyebab utama
kematian ibu di dunia. Tingginya angka kematian ibu pada kasus ini
sebagian besar disebabkan karena tidak adekuatnya penatalaksanaan di
tingkat pelayanan dasar sehingga penderita dirujuk dalam kondisi yang
sudah parah, sehingga perbaikan kualitas di pelayanan kebidanan di
tingkat pelayanan dasar diharapkan dapat memperbaiki prognosis bagi
ibu dan bayinya (Setyarini & Suprapti, 2016).
2) Klasifikasi dan diagnose
Adanya peningkatan tekanan darah selama kehamilan dan
persalinan dapat menunjukkan beberapa kondisi sebagai berikut
(Setyarini & Suprapti, 2016):
a) Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan bila didapatkan:
Tekanan darah ≥140/90 mmHg untuk pertama kalinya selama
kehamilan, tidak terdapat protein uria, tekanan darah kembali normal
dalam waktu 12 minggu pasca persalinan (jika peningkatan tekanan
darah tetap bertahan, ibu didiagnosis hipertensi kronis), diagnosis
akhir baru dibuat pada periode pasca persalinan, tanda tanda lain
preeklamsia seperti nyeri epigastrik dan trombositopenia mungkin
ditemui dan dapat mempengaruhi penatalaksanaan yang diberikan.
b) Diagnosis preeklamsia ringan ditegakkan bila didapatkan : Tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu, protein
uria ≥ 1+ pada pengukuran dengan dipstick urine atau kadar protein
total ≥ 300 mg/24 jam.
c) Diagnosis preeklamsia berat ditegakkan bila didapatkan:
(1) Hipertensi Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau tekanan
darah diastolic ≥110 mmHg.
(2) Protein uria Kadar protein dalam kencing ≥ ++ pada pengukuran
dipstick urine atau kadar protein total sebesar 2 gr/24 jam.
(3) Kadar kreatinin darah melebihi 1,2 mg/dL kecuali telah diketahui
meningkat sebelumnya.
(4) Tanda/gejala tambahan: Tanda gejala tambahan lainnya dapat
berupa keluhan subyektif berupa nyeri kepala, nyeri uluhati, dan
mata kabur. Ditemukannya proteinuria ≥ 3 gram, jumlah
produksi urine ≤ 500 cc/24 jam (oliguria), terdapat peningkatan
kadar asam urat darah, peningkatan kadar BUN dan kreatinin
serum serta terjadinya sindroma HELLP yang ditandai dengan
terjadinya hemolisis ditandai dengan adanya icterus, hitung
trombosit ≤ 100.000, serta peningkatan SGOT dan SGPT.
d) Pada eklampsia disertai adanya kejang konvulsi yang bukan
disebabkan oleh infeksi atau trauma.
e) Diagnosis Preeklamsia super impos ditegakkan apabila protein
awitan baru ≥ 300 mg/ 24 jam pada ibu penderita darah tinggi tetapi
tidak terdapat protein uria pada usia kehamilan sebelum 20 minggu.
f) Diagnosis hipertensi kronis ditegakkan apabila hipertensi telah ada
sebelum kehamilan atau yang didiagnosis sebelum usia kehamilan
20 minggu, atau hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia
kehamilan 20 minggu dan terus bertahan setelah 12 minggu pasca
persalinan.
3) Penatalaksanaan(Imelda & Putriana, 2018)
a) Perawatan konservatif
(1) Indikasi Pada kehamilan <> = 180 mmHg atau diastole > = 110
mmHg
(2) Pengobatan
i) Di kamar bersalin (selama 24 jam)
 Tirah baring
 Infus RL (Ringer Laktat) yang mengandung 5% dekstrosa,
60- 125 cc/jam,
 10 gr MgS04 50% i.m. sebagai dosis awal diulangi dengan
dosis 5 gr MgSO4 50% i.m. setiap 6 jam, s/d 24 jam
pascapersalinan (kalau tidak ada kontra indikasi
pemberian MgS04 )
 Diberikan anti hipertensi, yang digunakan:
- Klonidin suntikan i.v. (1 ampul mengandung 0,15
mg/cc), tersedia di kamar bersalin, dilanjutkan tablet
- Nifedipin 3 x 10 mg (pilihan pertama) atau tablet
Metildopa 3 x 250 mg)
- Bila sistole > = 180 mmHg atau diastole > = 110 mm
Hg digunakan injeksi 1 ampul Klonidin yang
mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc lar.aquadest (untuk suntikan). Disuntikan :
mula-mula 5 cc i.v. perlahan-lahan selama 5 menit. 5
menit kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada
penurunan maka diberikan lagi sisanya 5 cc i.v. dalam
5 menit sampai tekanan darah diastole normal.
 Dilakukan pemeriksaan lab. tertentu (fungsi hepar dan
ginjal) dan produksi urine 24 jam.
 Konsultasi dengan spesialis Mata, Jantung atau yang lain
sesuai indikasi.
ii) Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di Ruang
Bersalin setelah 24 jam masuk ruangan bersalin)
 Tirah baring
 Obat-obatan:
- Roboransia: multivitamin
- Aspirin dosis rendah 1 x 87,5 mg per hari
- Antihipertensi (Klonidin 0,15 mg i.v. dilanjutkan
Nifedipin 3 x 10 mg atau Metildopa 3 x 250 mg)
 Pemeriksaan lab.:
- Hb, PCV dan hapusan darah tepi
- Asam urat darah
- Trombosit
- Fungsi ginjal/hepar
- Urine lengkap
- Produksi urine per 24 jam, penimbangan BB setiap
hari
- Diusahakan pemeriksaan AT III
- Pemeriksaan Lab dapat diulangi sesuai dengan
keperluan.
 Diet tinggi protein, rendah karbohidrat
 Dilakukan penilaian kesejahteraan janin
 Perawatan konservatif dianggap gagal bila:
- Adanya tanda-tanda impending eklampsia
- Kenaikan progresif dari tekanan darah
- Adanya Sindrom Hellp
- Adanya kelainan fungsi ginjal
- Penilaian kesejahteraan janin jelek.
b) Perawatan aktif
- Indikasi
i) Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek
ii) Adanya gejala-gejala impending eklamsia
iii) Adanya Sindrom Hellp
iv) Kehamilan aterm (> 38 mg) Apabila perawatan konservatif
gagal (lihat 3)
- Pengobatan medisinal
i) Segera rawat inap
ii) Tirah baring miring kesatu sisi
iii) Infus RL yang mengandung 5% Dekstrosa dengan 60-125
cc/jam
iv) Pemberian anti kejang: MgS04
Dosis awal:
 MgSO4 20% 2 gr.i.v.
 MgSO4 50% 10 gr i.m. pada bokong kanan/kiri
(masingmasing 5 gr)

Dosis ulangan: MgSO4 50% 5 gr.i.m.diulangi tiap 6 jam


setelah dosis awal s/d 6 jam pasca persalinan. Syarat
pemberian:

 Refleks patela (+)


 Respirasi > 16/menit
 Urine sekurang-kurangnya 150 cc/6 jam
 Harus selalu tersedia kalsium glukonas 1 gr 10%
(diberikan i.v. pelan-pelan pada intoksikasi MgS04)
v) Antihipertensi dapat dipertimbangkan diberikan bila:
(Klonidin i.v. dilanjutkan Nifedipin 3 x 10 atau Metildopa 3 x
250 mg)
 Systole > 180 mmHg
 Diastole > 120 mmHg
c. Persalinan Lama
1) Definisi
Partus lama adalah persalinan yang tidak mengalami kemajuan
pada fase laten dan fase akif. Pada primigravida berlangsung lebih dari
24 jam. Sedangkan pada multigravida berlangsung lebih dari 18 jam
(Sofian, 2012)
2) Klasifikasi
Kala I lama diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
a) Fase laten memanjang (Prolonged latent phase)
Merupakan fase pembukaan serviks yang tidak melewati 3
cm setelah 8 jam (Armawan, 2013)
b) Fase aktif memanjang (Prolonged Active Phase)
Merupakan fase yang lebih panjang dari 12 jam dengan
pembukaan serviks kurang dari 1,2 cm per jam pada primigravida
dan 6 jam rata-rata 2,5 jam dengan laju dilatasi serviks kurang dari
1,5 cm per jam pada multigravida (Forte, 2010)
3) Penatalaksanaan
Penanganan umum pada ibu bersalin dengan kala I lama yaitu
(Forte, 2010):
a) Nilai keadaan umum, tanda-tanda vital, tingkat hidrasinya dan
tentukan apakah pasien daam masa persalinan.
b) Tentukan keadaan janin:
- Periksa DJJ selama atau segera sesudah his, hitung frekuensinya
setidaknya satu kali dalam 30 menit selama fase aktif.
- Jika tidak ada air ketuban yang mengalir setelah selaput ketuban
pecah, pertimbangkan adanya indikasi penurunan jumlah air
ketuban yang dapat menyebabkan gawat janin.
- Jika ketuban sudah pecah, air ketuban kehijau-hijauan atau
bercampur darah pikirkan kemungkinan gawat janin.
- Jika terdapat gawat janin lakukan forsep jika memenuhi syarat
atau lakukan sectio caesarea.
c) Perbaiki keadaan umum dengan:
- Beri dukungan semangat kepada pasien selama persalinan
- Pemberian intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari melalui infus
larutan glukosa. Dehidrasi ditandai adanya aseton dalam urine
harus dicegah.
- Pengosongan kandung kemih dan usus harus dilakukan.
- Pemberian sedatif agar ibu dapat istirahat dan rasa nyerinya
diredakan dengan pemberian analgetik (tramadol atau pethidine
25 mg dinaikkan sampai maksimum 1 mg /kg atau morfin 10 mg
IM). Semua preparat ini harus digunakan dengan dosis dan waktu
tepat sebab dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu
kontraksi dan membahayakan bayinya
- Pemeriksaan rectum atau vaginal harus dikerjakan dengan
frekuensi sekecil mungkin. Pemeriksaan ini menyakiti pasien dan
meningkatkan resiko infeksi
d) Lakukan penilaian frekuensi dan lamanya kontraksi berdasarkan
partograf.
e) Evaluasi ulang dengan pemeriksaan vaginal tiap 4 jam.
- Apabila garis tindakan dilewati (memotong) lakukan sectio
secarea.
- Apabila ada kemajuan evaluasi setiap 2 jam.
f) Bila tidak didapatkan tanda adanya CPD
(Cephalopelvic disproportion) atau obstruksi.
- Berikan penanganan umum yang kemungkinan akan
memperbaiki kontraksi dan mempercepat kemajuan
persalinan.
- Bila ketuban utuh maka pecahkan ketuban.
- Bila kecepatan pembukaan serviks pada waktu fase aktif
kurang dari 1 cm per jam lakukan penilaian kontraksi uterus.
g) Lakukan induksi dengan oksitosin drip 5 unit dalam 500 cc
dekstrosa atau NaCl, mulai dengan 8 tetes per menit, tiap 30
menit ditambah 4 tetes sampai his adekuat (maksimum 40
tetes/menit).Konsultasi dokter jika persalinan tidak ada
kemajuan.
d. Persalinan Sungsang
1) Definisi
Persalinan sungsang dengan presentasi bokong adalah jika letak bayi
membujur dengan kepala janin di fundus uteri (Manuaba, 2010).
Persalinan sungsang dengan presentasi bokong adalah posisi dimana
bayi di dalam rahim berada dengan kepala di atas sehingga pada saat
persalinan normal, pantat atau kaki si bayi yang akan keluar terlebih
dahulu dibandingkan dengan kepala pada posisi normal (Sujiyatini,
2009)
2) Penatalaksanaan
a) Mekanisme
Mekanisme persalinan letak sungsang berlangsung dengan
persalinan bokong, persalinan bahu, dan persalinan kepala. Bokong
masuk pintu atas panggul dapat melintang atau miring mengikuti
jalan lahir dan melakukan putar paksi dalam sehingga trochanter
depan berada di bawah simpisis. Dengan trochanter depan sebagai
hipomoklion, akan lahir trochanter belakang, dan selanjutnya
seluruh bokong lahir. Sementara itu bahu memasuki jalan lahir dan
mengikuti jalan lahir untuk melakukan putar paksi dalam sehingga
bahu depan berada di bawah simpisis. Dengan bahu depan sebagai
hipomoklion akan lahir bahu belakang bersama dengan tangan
belakang diikuti kelahiran bahu depan dan tangan depan.
Bersamaan dengan kelahiran bahu, kepala bayi memasukki jalan
lahir dapat melintang atau miring, serta melakukan putar paksi
dalam sehingga suboksiput berada dibawah simpisis. Suboksiput
menjadi hipomoklion, berturut- turut akan lahir dagu, mulut,
hidung, muka, dan kepala seluruhnya (Manuaba, 2010)
Menurut (Wiknjosastro, 2007) prosedur pertolongan persalinan
spontan pada presentasi bokong dibagi menjadi beberapa tahapan
yaitu:
- Tahap pertama : Fase lambat, yaitu mulai lahirnya bokong
sampai pusar (skapula depan). Disebut fase lambat karena fase
ini hanya untuk melahirkan bokong, yaitu bagian janin yang
tidak berbahaya.
- Tahap kedua : Fase cepat, yaitu mulai dari lahirnya pusar sampai
lahirnya mulut. Disebut fase cepat karena pada fase ini kepala
janin mulai masuk pintu atas panggul, sehingga kemungkinan
tali pusat terjepit. Oleh karena itu fase ini harus segera
diselesaikan dan tali pusat segera dilonggarkan. Bila mulut
sudah lahir, janin dapat bernafas lewat mulut.
- Tahap ketiga : Fase lambat, yaitu mulai lahirnya mulut sampai
seluruh kepala lahir. Disebut fase lambat karena kepala akan
keluar dari ruangan yang bertekanan tinggi (uterus), ke dunia
luar yang tekanannya lebih rendah, sehingga kepala harus
dilahirkan secara perlahan-lahan untuk menghindari terjadinya
perdarahan intrakranial.
b) Jenis persalinan
Menurut (Forte, 2010) penanganan presentasi bokong yaitu
dengan persalinan pervaginam dan persalinan per abdominal
(sectio caesarea).
- Persalinan pervaginam
i. Spontan yaitu persalinan yang terjadi sepenuhnya
merupakan hal yang terjadi secara spontan dengan tenaga
ibu dan kontraksi uterus tanpa dilakukan tarikan atau
manipulasi sedikitpun selain memegang janin yang
dilahirkan. Jenis persalinan ini disebut persalinan dengan
cara bracht.
ii. Ekstraksi parsial yatu persalinan yang terjadi secara spontan
sampai umbilikus, tetapi selanjutnya dilakukan ekstraksi.
Jadi janin lahir dengan kekuatan ibu, his, dan tenaga
penolong, misalnya dengan cara klasik, muller, mouritceau.
iii. Ekstraksi total yaitu persalinan yang terjadi dengan cara
seluruh tubuh janin di ekstraksi oleh tenaga penolong
persalinan atau dokter kebidanan.
- Persalinan per abdominal : sectio caesarea.
Insidensinya sekitar 10 persen. Menurut (Wiknjosastro,
2007) ada beberapa kriteria yang dapat dipakai pegangan
bahwa letak sungsang harus dilahirkan per abdominam,
misalnya :
i. Primigravida tua.
ii. Nilai sosial janin tinggi (high social value baby).
iii. Riwayat persalinan yang buruk (bad obstetric history).
iv. Janin besar, lebih dari 3,5 kg – 4 kg.
v. Dicurigai adanya kesempitan panggul.
vi. Prematuritas.
c) Tindakan pertolongan persalinan partus sungsang :
- Lakukan periksa dalam untuk menilai besarnya pembukaan,
selaput ketuban, dan penurunan bokong serta kemungkinan
adanya penyulit
- Instruksikan pasien agar mengedan dengan benar selama ada
his. Mengedan dengan benar mulai dengan menarik nafas
dalam, katupkan mulut, upayakan tenaga mendorong ke
abdomen dan anus. Kedua tangan menarik lipat lutut, angkat
kepala dan lihat ke pusar.
- Pimpin berulang hingga bokong turun kedasar panggul.
Lakukan episiotomi saat bokong membuka vulva dan perinium
sudah tipis.
d) Melahirkan bayi dengan cara brach :
- Segera setelah bokong lahir, bokong dicekam secara brach yaitu
kedua ibu jari penolong sejajar dengan panjang paha, jari-jari
yang lain memegang daerah panggul.
- Jangan melakukan intervensi, ikuti saja proses keluarnya janin.
- Longgarkan tali pusat setelah lahirnya perut dan sebagian
dada
- Lakukan hiperlordosis janin pada saat angulus skapula inferior
tampak di bawah sisfisis (dengan mengikuti gerak rotasi anterior
yaitu punggung janin didekatkan ke arah perut ibu tanpa tarikan)
disesuaikan dengan lahirnya badan bayi.
- Gerakan ke atas hingga lahir dagu, mulut, hidung, dahi dan
kepala.
e) Apabila terjadi hambatan pengeluaran saat tubuh janin mencapai
daerah skapula inferior, segera lakukan pertolongan dengan cara
klasik atau muller dan lovset (manual aid).
f) Jika dengan cara brach bahu dan tangan tidak bisa lahir maka bahu
dan tangan dilahirkan secara klasik yaitu :
- Segera setelah bokong lahir, bokong dicekam dan dilahirkan
sehingga bokong dan kaki lahir.
- Kemudian mengendorkan tali pusat
- Pegang kaki pada pergelangan kaki dengan satu tangan dan tarik
ke atas. Dengan tangan kiri dan menariknya ke arah kanan atas
ibu, untuk melahirkan bahu kiri bayi yang berada di belakang.
Dengan tangan kanan dan menariknya ke arah kiri atas ibu,
untuk melahirkan bahu kanan bayi yang berada di belakang.
- Masukkan dua jari tangan kanan atau kiri (sesuai letak bahu
belakang) sejajar dengan lengan bayi, untuk melahirkan lengan
belakang bayi.
- Setelah bahu dan lengan belakang lahir kedua kaki ditarik ke
arah bawah kontra lateral dari langkah sebelumnya untuk
melahirkan bahu dan lengan bayi depan dengan cara yang sama
g) Apabila sulit untuk melahirkan bahu belakang maka lakukan cara
muller yaitu :
- Melahirkan bahu depan terlebih dahulu dengan menarik kedua
kaki dengan cara yang sama seperti klasik, ke arah belakang
kontra lateral dari bahu depan.
- Setelah bahu dan lengan depan lahir dilanjutkan langkah yang
sama untuk melahirkan bahu dan lengan belakang.
h) Cara lovset (dilakukan bila ada lengan bayi yang terjungkit di
belakang kepala/nuchal arm) :
- Setelah bokong dan kaki bayi lahir, pegang dengan Kedua
tangan. Tarik ke bawah sampai skapula berada di bawah
simfisis
- Kemudian bayi diputar 180 derajat sampai bahu belakang
berubah menjadi bahu depan dan lahir.
- Dengan arah yang berlainan dengan putaran pertama, bayi
diulangi diputar 180 derajat sampai kedua bahu lahir.
i) Melahirkan kepala bayi dengan cara Mauriceau, dilakukan bila
bayi dilahirkan secara manual aid atau bila dengan bracht kepala
belum lahir yaitu dengan cara :
- Letakkan bayi di atas tangan kiri sehingga badan bayi seolah-
olah menunggang kuda (untuk penolong kidal meletakkan badan
bayi di atas tangan kanan).
- Satu jari di masukkan di mulut dan dua jari di maksila
- Tangan kanan memegang atau mencengkam bahu tengkuk bayi.
- Meminta seorang asisten menekan fundus uteri.
- Bersamaan dengan adanya his, asisten menekan fundus uteri,
penolong persalinan melakukan tarikan ke bawah sesuai arah
sumbu jalan lahir dibimbing jari yang dimasukkan untuk
menekan dagu atau mulut.
j) Ekstraksi kaki dilakukan bila kala II tak maju atau tampak gejala
kegawatan ibu dan bayi.
- Tangan kanan masuk secara obstetrik menelusuri bokong,
pangkal paha sampai lutut, kemudian melakukan abduksi dan
fleksi pada paha janin sehingga kaki bawah menjadi fleksi,
tangan yang lain mendorong fundus ke bawah. Setetlah kaki
fleksi pergelangan kaki dipegang dengan dua jari dan dituntun
ke luar dari vagina sampai batas lutut.
- Kedua tangan penolong memegangbetis janin, yaitu kedua ibu
jari diletakkan di belakang betis sejajar sumbu panjang paha
dan jari-jari lain di depan betis, kaki ditarik curam ke bawah
sampai pangkal paha lahir.
- Pegangan dipindah ke pangkal paha setinggi mungkin dengan
kedua ibu jari di belakang paha, sejajar sumbu panjang paha
dan jari lain di depan paha.
- Pangkal paha ditarik curam ke bawah sampai trokhanter depan
lahir. Kemudian pangkal paha dengan pegangan yang sama
dielevasi ke atas hingga trokhanter belakang lahir. Bila kedua
trokhanter telah lahir berarti bokong lahir.
- Sebaliknya bila kaki belakang yang dilahirkan lebih dahulu,
maka yang akan lahir lebih dahulu adalah trokhanter belakang
dan untuk melahirkan trokhanter depan maka pangkal paha
ditarik terus curam ke bawah.
- Setelah bokong lahir maka dilanjutkan dengan manual aid.
k) Teknik ekstraksi bokong dikerjakan jika presentasi bokong murni
dan bokong sudah turun di dasar panggul, bila kala II tidak maju
atau tampak keadaan janin/ibu yang mengharuskan bayi segera
dilahirkan. Caranya yaitu :
- Jari telunjuk penolong yang searah dengan bagian kecil janin,
dimasukkan ke dalam jalan lahir dan diletakkan dilipatan paha
bagian depan. Dengan jari ini lipat/krista iliaka dikaitkan dan
ditarik curam ke bawah. Untuk memperkuat tenaga tarikan ini,
maka tangan penolong yang lain mencekam pergelangan tadi
dan turut menarik curam ke bawah.
- Bila dengan tarikan ini trokhanter depan mulai tampak di
bawah simpisis, maka jari telunjuk penolong yang lain
mengkait lipatan paha ditarik curam ke bawah sampai bokong
lahir.
- Setelah bokong lahir, bayi dilahirkan dengan manual aid.
l) Cunam piper digunakan kalau pengeluaran kepala bayi dengan
bracht atau mauriceau gagal. Caranya : tangan dan badan bayi
dibungkus kain steril, diangkat ke atas, cunam piper dipasang
melintang terhadap panggul dan kepala kemudian ditarik.
e. Distosia Bahu
1) Definisi
Distosia bahu merupakan kondisi kegawatdaruratan obstetri pada
persalinan pervaginam dimana bahu janin gagal lahir secara spontan
setelah lahirnya kepala (Hill & Cohen, 2016). Distosia bahu masih
menjadi penyebab penting cedera neonatal dan maternal dengan tingkat
insidensi 0,6-1,4% dari persalinan pervaginam (ACOG Committee on
Practice Bulletins-Gynecology, The American College of Obstetrician
and Gynecologists, 2002)
2) Manifestasi Klinik
Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi(WHO, 2013):
a) Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan
traksi yang cukup untuk melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir.
b) Turtle sign adalah kepala bayi tertarik kembali ke perineum ibu
setelah keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti kura-
kura yang menarik kepala kembali ke cangkangnya. Penarikan
kepala bayi ini terjadi akibat bahu depan bayi terperangkap di
simfisis pubis ibu sehingga mencegah lahirnya tubuh bayi.
3) Penatalaksanaan
Terdapat beberapa singkatan untuk mengingat prinsip ini, seperti
BE CALM ataupun HELPERR. Singkatan BE CALM berasal dari
ACOG Optimizing Obstetric Protocols, yaitu(Hoffman dkk., 2011):
a) Breathe. Do not push
b) Elevate the legs into McRoberts position
c) Call for help
d) Apply suprapubic pressure (do not use fundal pressure)
e) enLarge the vaginal opening. Cut an episiotomy if more room is
needed for maneuvers
f) Maneuvers deliver the posterior arm or perform rotational
maneuvers

Sedangkan, singkatan HELPERR berasal dari AAFP ALSO course


syllabus, yaitu (Inglis dkk., 2011):

a) Help. Call for help


b) Evaluate for episiotomy
c) Legs. McRobert’s position
d) Pressure. Suprapubic pressure
e) Enter maneuvers. Perform rotational maneuvers
f) Remove the posterior arm
g) Roll the patient onto all fours

Terdapat beberapa lini dari maneuver yang dapat digunakan.

a) Manuver lini pertama atau manipulasi eksternal umumnya


digunakan sebagai pengelolaan awal dari distosia bahu. Manuver
McRoberts dan penekanan suprapubik termasuk dalam metode lini
pertama. Jika tidak berhasil, maka dapat digunakan manuver lini
kedua atau manipulasi internal seperti manuver Rubin, manuver
Woods corkscrew dan melahirkan lengan posterior . Manuver
McRoberts dilakukan dengan cara memfleksikan dan abduksi
tungkai, memposisikan paha ibu pada abdomen. Manuver ini akan
memperlebar sudut lumbosakral, merotasi pelvis maternal ke
kepala ibu dan menambah diameter anterior-posterior relatif pada
pelvis. Manuver ini merupakan intervensi yang efektif, dengan
tingkat keberhasilan 90%. Selain itu, maneuver McRoberts
memiliki tingkat kejadian komplikasi yang rendah dan merupakan
manuver yang paling minimal invasive (Grobman, 2013). Apabila
dengan manuver McRoberts dan traksi aksial yang rutin dilakukan
pada persalinan normal juga tidak membantu, maka dapat diberikan
tambahan penekanan suprapubik. Penekanan dilakukan dengan
cara menekan simfisis pubis ibu ke arah bawah dan lateral untuk
mengurangi diameter bisakromial fetus serta merotasi bahu anterior
bayi ke diameter oblik pelvis yang lebih luas (Hill & Cohen, 2016).
b) Manuver internal atau posisi “all-four” dapat digunakan jika
menuver McRoberts dan penekanan suprapubik gagal. Manuver
rotasi internal awalnya diperkenalkan oleh Woods dan Rubin.
Rotasi dilakukan dengan mendorong bagian anterior atau posterior
dari bahu posterior sebanyak 180 derajat dari posisi semula.
Manuver ini berguna untuk merotasi bahu ke diameter oblik yang
lebih luas. Apabila dengan mendorong bagian posterior bahu
posterior saja tidak dapat membantu, maka dapat juga dilakukan
pendorongan bagian posterior dari bahu anterior secara bersamaan.
(Hill & Cohen, 2016)
c) Manuver Jacquemier atau melahirkan lengan posterior juga dapat
mengurangi diameter bahu fetus. Pergelangan tangan fetus ditarik
dan lengan posterior secara perlahan dikeluarkan dalam sebuah
garis lurus. Persalinan lengan posterior ini berkaitan dengan fraktur
humerus dengan isidensi 2 hingga 12,7%.(Grobman, 2013)
d) Teknik “all-four” atau Manuver Gaskin diperkenalkan oleh Ina
May Gaskin tahun 1976. Manuver ini digunakan untuk mengatasi
distosia bahu dengan menempatkan ibu dalam posisi merangkak.
Manuver ini memiliki tingkat keberhasilan sebanyak 83%.
(Grobman, 2013)
e) Metode lini ketiga untuk kasus distosia bahu adalah maneuver
Zavanelli. Pada manuver ini, kepala bayi didorong masuk kembali
dan persalinan dilakukan melalui seksio sesarea. Manuver ini
dilakukan pada kasus distosia bahu bilateral yang jarang, dimana
terjadi impaksi kedua bahu pada inlet pelvis. Metode lainnya
adalah simfisiotomi namun teknik ini berkaitan dengan morbiditas
ibu yang tinggi dan klinis neonatal yang buruk. Karena kedua hal
tersebut, sebaiknya teknik ini tidak digunakan pada tenaga medis
yang tidak terlatih (Grobman, 2013).
f. Perdarahan Post Partum
1) Definisi
Pada pascapersalinan, sulit untuk menentukan terminologi
berdasarkan batasan kala persalinan dan jumlah perdarahan yang
melebihi 500 ml. pada kenyataannya, sangat sulit untuk membuat
determinasi batasan pascapersalinan dan akurasi jumlah perdarahan
murni yang terjadi. Berdasarkan temuan diatas maka batasan
operasional untuk periode pascapersalinan adalah periode waktu setelah
bayi dilahirkan. Sedangkan batasan jumlah perdarahan, hanya
merupakan taksiran secara tidak langsung dimana disebutkan sebagai
perdarahan abnormal yang menyebabkan perubahan tanda vital (pasien
mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea,
sistolik < 90 mmHg, nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 8 g%) (Setyarini &
Suprapti, 2016).
2) Penatalaksanaan
a) Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
b) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
(termasuk upaya pencegahan Perdarahan Pascapersalinan)
c) Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pascapersalinan (di
ruang persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam
berikutnya (di ruang rawat gabung). Perhatikan pelaksanaan asuhan
mandiri.
d) Selalu siapkan keperluan tindakan gawatdarurat
e) Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila
dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
f) Atasi Syok (lihat Penatalaksanaan Syok)
g) Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah,
lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infuse
20 IU dalam 500 cc NS/RL dengan 40 tetesan per menit)
h) Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan
robekan jalan lahir
i) Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah (lihat
Solusio Plasenta)
j) Pasang kateter menetap dan pantau masuk-keluar cairan
k) Cari penyebab perdarahan dan lakukan tindakan spesifik
g. Infeksi Nifas
1) Definisi
Sepsis berhubungan dengan 45 kematian ibu, memberikan
kontribusi 10% penyebab langsung obstetri dan 8% dari semua kematian
ibu. MMR karena sepsis adalah 7/100.000. Sebagian besar ibu dengan
sepsis (93%) diperiksa oleh tenaga kesehatan sebelum meninggal.
Pelayanan di bawah standar yang diberikan oleh dokter spesialis obstetri
merupakan hal penting yang bisa dihindari dan memberikan kontribusi
38% dari kematian karena sepsis. Pelayanan di bawah standar yang
diberikan oleh paraji juga memainkan peran penting dalam
menyebabkan kematian karena sepsis genitalia. Beberapa paraji
melakukan sejumlah pemeriksaan dalam yang berlebihan dan mungkin
berupaya membuat pembukaan serviks dengan jarinya (Setyarini &
Suprapti, 2016).
Sepsis puerperium didefinisikan sebagai infeksi saluran genital
yang terjadi setelah pecah ketuban atau mulas persalinan hingga 42 hari
setelah persalinan atau aborsi. Selain demam, salah satu dari gejala
berikut ini mungkin terjadi (Setyarini & Suprapti, 2016) :
a) Nyeri panggul dan ngilu
b) Cairan per vaginam yang abnormal
c) Cairan berbau tidak normal atau busuk
d) Terhambatnya involusi uterus Demam didefinisikan sebagai suhu
oral > 380C yang diukur pada dua waktu di luar 24 jam pasca
persalinan, atau suhu > 38,50C pada saat apapun.

B. Kegawatdaruratan Neonatal
1. Definisi
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi
dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis (≤ usia 28
hari), serta membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan
psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul
sewaktu-waktu (Setyarini & Suprapti, 2016)
2. Kegawatdaruratan Neonatal dan penatalaksanaannya
a. Asfiksia
1) Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan nafas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai
dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis (Maryunani, 2013).
Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernafasan
secara spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat
sesudah lahir. Bayi mungkin lahir dalam kondisi asfiksia (Asfiksia
Primer) atau mungkin dapat bernafas tetapi kemudian mengalami
asfiksia beberapa saat setelah lahir ( Asfiksia Skunder) ( Icesmi &
Sudarti, 2014:158).
2) Klasifikasi
Menurut Anik dan Eka (2013:296) klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai
APGAR:
a) Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.
b) Asfiksia ringan sedang dengan nilai 4-6.
c) Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9.
d) Bayi normal dengan nilai APGAR 10.
3) Penatalaksanaan
Menurut Vidia dan Pongki (2016:365), penatalaksanaan Asfiksia
meliputi:
a) Tindakan Umum
(1) Bersihkan jalan nafas : Kepala bayi diletakkan lebih rendah
agar lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop
untuk membantu penghisapan lendir dari saluran nafas yang
lebih dalam.
(2) Rangsang refleks pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi
tidak memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua
telapak kaki menekan tanda achilles.
(3) Mempertahankan suhu tubuh.
b) Tindakan Khusus
(1) Asfiksia Berat Berikan O2 dengan tekanan positif dan
intermenten melalui pipa endotrakeal. Dapat dilakukan
dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. O2
yang diberikan tidak lebih 30 cm H 20. Bila pernafasan
spontan tidak timbul lakukan massage jantung dengan ibu jari
yang menekan pertengahan sternum 80-100 x/menit.
(2) Asfiksia Sedang/Ringan Pasang Relkiek pernafasan (hisap
lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila gagal
lakukan pernafasan kodok (Frog Breathing) 1-2 menit yaitu
kepala bayi ekstensi maksimal beri O2 1-21/menit melalui
kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta
gerakkan dagu ke atasbawah secara teratur 20 x/menit.
(3) Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.
b. BBLR
1) Definisi
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat
badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499 gram)
(Prawiroharjo, 2010). Berkaitan dengan penanganan dan harapan
hidupnya, bayi berat lahir rendah dibedakan dalam:
a) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), berat lahir 1500 – 2500 gram;
b) Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR), berat lahir < 1500
gram;
c) Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLER) berat lahir < 1000
gram.
2) Manifestasi Klinis
Menurut Maryunani dkk, (2009) adapun tanda dan gejala yang
terdapat pada bayi dengan bayi berat lahir rendah (BBLR ) adalah :
a) Berat badan < 2500 gram
b) Letak kuping menurun
c) Pembesaran dari satu atau dua ginjal
d) Ukuran kepala kecil
e) Masalah dalam pemberian makan (refleks menelan dan
menghisap kurang)
f) Suhu tidak stabil (kulit tipis dan transparan
3) Penatalaksanaan
Menurut Rukiyah, dkk (2010) perawatan pada bayi berat lahir
rendah (BBLR) adalah :
a) Mempertahankan suhu tubuh dengan ketat. BBLR mudah
mengalami hipotermi, oleh sebab itu suhu tubuh bayi harus
dipertahankan dengan ketat.
b) Mencegah infeksi dengan ketat. BBLR sangat rentan dengan
infeksi, memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi
termasuk mencuci tangan sebelum memegang bayi.
c) Pengawasan nutrisi (ASI). Refleks menelan BBLR belum
sempurna, oleh sebab itu pemberian nutrisi dilakukan dengan
cermat.
d) Penimbangan ketat. Perubahan berat badan mencerminkan
kondisi gizi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh,
oleh sebab itu penimbangan dilakukan dengan ketat.
e) Kain yang basah secepatnya diganti dengan kain yang kering dan
bersih, pertahankan suhu tubuh tetap hangat.
f) Kepala bayi ditutup topi, beri oksigen bila perlu.
g) Tali pusat dalam keadaan bersih.
h) Beri minum dengan sonde/tetes dengan pemberian ASI
c. Hipotermi
Hipotermi adalah kondisi dimana suhu tubuh <36°c atau kedua
kaki dan tangan teraba dingin. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia
diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai
250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal
penyakit yang berakhir dengan kematian. Akibat hipotermia adalah
meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik
asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya
simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak
dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan
meningkatkan intake kalori. Etiologi dan faktor predisposisi dari hipotermia
antara lain: prematuritas, asfiksia, sepsis, kondisi neurologik seperti
meningitis dan perdarahan cerebral, pengeringan yang tidak adekuat setelah
kelahiran dan eksposure suhu lingkungan yang dingin(Setyarini & Suprapti,
2016). Penanganan hipotermia ditujukan pada(Setyarini & Suprapti, 2016):
1) Mencegah hipotermia
2) Mengenal bayi dengan hipotermia
3) Mengenal resiko hipotermia
4) Tindakan pada hipotermia.

Tanda-tanda klinis hipotermia (Setyarini & Suprapti, 2016):

1) Hipotermia sedang (suhu tubuh 320C - < 360C), tanda-tandanya antara


lain: kaki teraba dingin, kemampuan menghisap lemah, tangisan lemah
dan kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata.
2) Hipotermia berat (suhu tubuh < 320C), tanda-tandanya antara lain: sama
dengan hipotermia sedang, dan disertai dengan pernafasan lambat tidak
teratur, bunyi jantung lambat, terkadang disertai hipoglikemi dan
asidosis metabolik.
3) Stadium lanjut hipotermia, tanda-tandanya antara lain: muka, ujung kaki
dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh lainnya pucat, kulit
mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan
tangan (sklerema).
d. Hipoglikemi
1) Definisi
Hipoglikemia merupakan keadaan kadar glukosa darah yang
rendah. Normalnya kadar glukosa darah pada bayi adalah >45 mg/dL.4
sedangkan pada dewasa adalah <200 mg/dL. 8 Hipoglikemia neonatus
adalah keadaan kadar glukosa darah yang rendah setelah lahir.4
2) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari hipoglikemia yaitu pertama meliputi gejala
yang berkaitan dengan aktivasi sistem saraf autonom dan pelepasan
epinefrin yang disertai dengan penurunan kadar glukosa. Kedua meliputi
gejala yang disebabkan karena penurunan penggunaan glukosa otak
yang disertai dengan hipoglikemia yang lama. Pada neonatus biasanya
gejala disertai sianosis, apnea, hipotermia, hipotonia dan kejang-kejang.3
3) Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah menurunkan kadar
glukosa darah secepat mungkin agar kembali normal, menghindari
hipoglikemia yang berulang sampai homeostatis glukosa normal dan
mencari penyakit yang mendasari hipoglikemia.5
a) Medikamentosa
Pada neonatus, hipoglikemia yang terjadi pada aterm
asimptomatik, dapat diberikan larutan glukosa atau susu formula,
bila memungkinkan dapat diberikan ASI. Pengobatan akut neonatus
meliputi pemberian intravena 2 mL/kg disertai dengan infus glukosa
6-8 mg/kg/menit, menyesuaikan kecepatan untuk mempertahankan
kadar glukosa darah agar menjadi normal. Tatalaksana hipoglikemia
pada neonatus adalah :
- Memantau kadar glukosa darah
Pada semua neonatus beresiko tinggi:

(1) Pada saat lahir.

(2) 30 menit kemudian setelah lahir.

(3) setiap 2-4 jam selama 48 jam sampai pemberian minum


berjalan baik dan kadar glukosa menjadi normal.

b) Pencegahan hipoglikemia

(1) Menghindari faktor resiko yang dapat dicegah seperti


hipotermia.

(2) Apabila bayi tidak memungkinkan untuk menyusui maka


dengan pemberian minum menggunakan sonde dalam
waktu 1-3 jam setelah lahir.

(3) Neonatus dengan resiko tinggi dipantau kadar glukosa serta


asupannya dan dilakukan tiga kali pengukuran hasilnya
normal sebelum pemberian minum diatas 45mg/dL.

c) Hipoglikemia refraktori
Kebutuhan glukosa dengan >12mg/kg/menit menunjukan
adanya keadaan hiperinsulisme, yang dapat dilakukan dengan :

(1) Hidrokortison 5 mg/kg/hari secara i.m diberikan dalam


dosis terbagi setiap 8 jam.

(2) Prednison oral 1-2 mg/kg/hari diberikan setiap 6-12 jam

(3) Glukagon 200µ g secara i.v.

(4) Diazoxide oral 10-25 mg/kg/hari diberikan dalam dosis


setiap 6 jam.3

e. Hiperbilirubin

1) Definisi

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai


oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin
indirek yang berlebih (Xiaong dkk., 2011). Hiperbilirubinemia adalah
terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih
dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari
persentil 90 (Blackburn, 2007). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak
apabila serum bilirubin >2 mg/dl (>17µmol/L) sedangkan pada neonatus
baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl (86µmol/L) (Mishra dkk.,
2007). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan
kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total (Abdellatief dkk., 2012).

Hiperbilirubinadalah istilah yang dipakai untuk ikterus


neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang
menunjukkanpeningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009).
2) Etiologi
Peningkatan produksi.
a) Hemolisis, missal pada inkompatilibitasyang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus
dan ABO.
b) Pendarahan tertutup, misalnya pada trauma kelahiran.
c) Ikatan bilirubindengan protein terganggu seperti gangguan metabolik
yang terdapat pada bayi gipoksaatau asidosis.
d) Kurangnya enzim glukoroniltranseferase, sehingga kadar bilirubin
identic meningkat, misalnya pada bayi lahir rendah.
e) Kelainan congenital dan dubin hiperbilirubin.
f) Gangguan transpertasi akibat penurunan kapasitas pengangutan,
misalnya pada hipoalbuminatau karena pengaruh obat-obat tertentu
misalnya sulfadiazine.
g) Ganggaun fungsi hati yang di sebabkan oleh beberapa mikro
organisme, atau toksin yang langsung merusak sel hati darah merah
seperti infeksi toksoplasmosis, syphilis.
h) Gangguan ekspresiyang terjadi intra atau ekstra hapatik.
i) Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileusobstruktif.
(Maryanti,2011).

3) Penatalaksanaan
Bila kadar bilirubin serum bayi tinggi sehingga di duga akan
terjadi kern ikterik, maka perlu dilakukan penatalaksanaan
khusus. 24 Penanganan terapi khusus antara lain :
a) Terapi sinar Terapi sinar diberikan jika bilirubin indirek
darah mencapai 15 mg %. Cremer melaporkan bahwa pada
bayi penderita ikterus yang diberi sinar matahari lebih dari
penyinaran biasa, ikterus lebih cepat menghilang
dibandingkan dengan bayi lain yang tidak disinari. Dengan
penyinaran bilirubin dipecah menjadi dipyrole yang
kemudian dikeluarkan melalui ginjal dan traktus digestivus.
Hasil perusakan bilirubin ternyata tidak toksik untuk tubuh
dan di keluarkan tubuh dengan sempurna. Mekanisme utama
terapi sinar adalah fotoisomer. Dengan kata lain bilirubin
42,152 diubah menjadi bilirubin 42,15 E, bilirubin isomer
mudah larut dalam air. Penggunaan terapi sinar untuk
mengobati hiperbilirubinemiaharus dilakukan dengan hati-
hati, karena jenis pengobatan ini dapat menimbulkan
komplikasi, yaitu dapat menyebabkan kerusakan retina, dapat
meningkatkan kehilangan air tidak terasa (insenible water
losses), dan dapat mempengaruhi pertumbuhan serta
perkembangan bayi walaupun hal ini masih dapat dibalikkan,
kalau digunakan terapi sinar, sebaiknya dipilih sinar dengan
spektrum antara 420 –480 nano meter. Sinar ultraviolet harus
dicegah dengan plexiglass dan bayi harus mendapat cairan
yang cukup. Alat-alat untuk terapi sinar :
(1) 10 lampu neon biru masing-masing berkekuatan 20 watt.
(2) Susunan lampu dimasukkan ke dalam bilik yang diberi
ventilasi disampingnya.
(3) Di bawah susunan dipasang plexiglass setebal 1,5 cm
untuk mencegah sinar ultraviolet.
(4) Alat terapi sinar diletakkan 45 cm di atas permukaan
bayi.
(5) Terapi sinar diberikan selama 72 jam atau sampai kadar
bilirubin mencapai 7,5 mg %.
(6) Mata bayi dan alat kelamin ditutupi dengan bahan yang
dapat memantulkan sinar.
(7) Gunakan kain pada boks bayi atau incubator, dan
letakkan tirai putih mengelilingi area sekeliling alat
tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar
sebanyak mungkin ke arah bayi. (Prawirohardjo, 2005)
Pelaksanaan pemberian terapi sinar dan yang perlu
diperhatikan (Ladewig, 2006) antara lain :
- Letakkan bayi tanpa mengenakan pakaian di bawah
sinar fototerapi, kecuali untuk menutupi alat
kelamin, untuk memaksimalkan pajanan terhadap
sinar.
- Tutup mata bayi saat disinar
- Pantau tanda-tanda vital setiap 4 jam.
- Pantau asupan dan keluaran setiap 8 jam
- Berikan asupan cairan 25% diatas kebutuhan cairan
normal. Untuk memenuhi peningkatan kehilangan
cairan yang tidak tampak mata serta pada feces.
- Reposisi bayi sedikitnya setiap 2 jam.
- Matikan sinar terapi saat orang tua berkunjung dan
memberikan ASI.
- pantau panjang gelombang sinar fototerapi
menggunakan bilimeter, setiap penggantian sorotan
cahaya ke area mata yang lain.
- Pantau kadar bilirubin setiap 8 jam selama 1 hingga
2 hari pertama atau setiap pemberian sesuai dengan
protokol institusi setelah penghentian fototerapi.

C. Evidence Based Midwifery Kegawatdaruratan Maternal Dan Neonatal


1. Evidence Based Midwifery Asuhan Kegawatdaruratan Maternal Pada
Perdarahan Postpartum
Salah satu dari kegawatdaruratan maternal yaitu Perdarahan.
Perdarahan masih merupakan masalah utama dalam bidang obstetri sampai saat
ini. Penyebab utama kematian maternal adalah perdarahan postpartum
(haemorrhage post partum) dikuti preeklampsia/eklampsia dan infeks.
Bersama-sama dengan preeklampsia/eklampsia dan infeksi merupakan trias
penyebab kematian maternal utama baik dinegara maju maupun dinegara
sedang berkembang Estimasi waktu menuju kematian pada perdarahan
pospartum diperkirakan hanya berlangsung selama 2 jam, sementara itu
perdarahan antepartum membutuhkan waktu kira-kira 12 jam, oleh sebab itu
sangat penting untuk mengenali lebih dini dan memberikan penanganan segera.
Terdapat kecenderungan penurunan kematian maternal oleh karena perdarahan
hal ini disebabkan antara lain penanganan yang semakin baik tetapi angka ini
seharusnya masih bisa diturunkan lebih rendah lagi. Trias keterlambatan sudah
lama diketahui menjadi penyebab terjadinya kematian maternal yaitu terlambat
merujuk, terlambat mencapai tempat rujukan, dan terlambat mendapat
pertolongan yang adekuat di tempat rujukan (Simanjuntak, 2020).
Menurut (Susiloningtyas & Purwanti, 2018) Penyebab umum terjadinya
perdarahan pasca persalinan dini yang berat ( yang terjadi 24 jam setelah
melahirkan ) adalah atonia uteri ( kegagalan rahim untuk berkontraksi
sebagaimana mestinya setelah melahirkan. Plasenta yang tertinggal, vagina
yang robek dan uterus yang turun atau inversi juga merupakan sebab dari
perdarahan pasca persalinan dan penanganan yang salah pada kala III.
Manajemen aktif kala III telah dilaksanakan secara rutin dalam pengelolaan
persalinan kala III agar tidak terjadi perdarahan. Hal ini sejalan dengan
penelitian (Siswosudarmo, 2016) tujuan utama penanganan perdarahan
pascasalin ada 3 yakni pencegahan, penghentian perdarahan dan mengatasi
shock hipovolemik. Pendekatan risiko, meskipun menimbulkan kontroversi
tetap masih mendapatkan tempat untukdiperhatikan. Setiap ibu hamil dengan
faktor risiko tinggi terjadinya perdarahan pascasalin sebaiknya dirujuk ke
tempat fasilitas kesehatan yang mempunyai unit tranfusi dan perawatan
intensif. Manajemen aktif kala tiga. Pencegahan yang terbaik adalah dengan
melakukan manajemen aktif kala III persalinan. Manajemen aktif kala III
adalah sebuah tindakan(intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya
plasenta dengan meningkatkan
kontraksi uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan postpartum karena
atoni uteri. Tindakan ini meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian
uterotonika, (2) tarikan tali pusat terkendali dan (3) masase uterus setelah
plasenta lahir. Oksitosin 10 unit disuntikan secara intramuskular segera setelah
janin lahir seluruhnya. Tarikan tali pusat secara terkendali (tidak terlalu kuat)
dilakukan pada saat uterus berkontraksi kuat sambil ibu diminta mengejan.
Jangan lupa melakukan counter- pressure terhadap uterus untuk menghidari
inversi. Lakukan masase fundus uteri segera setalah plasenta lahir sampai
uterus berkontraksi kuat, palpasi tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak
lembek setelah masase berhenti.
Beberapa hal yang diperhatikan dalam mencegah perdarahan
postpartum diantaranya memberikan pelatihan manajemen aktif kala III pada
petugas kesehatan untuk mencegah perdarahan postpartum. Petugas kesehatan
harus mengetahui penggunaan oxytocin dalam mencegah perdarahan
postpartum, petugas kesehatan harus mempunyai pengetahuan yang baik
tentang fisiologis perdarahan postpartum, serta melakukan pemantauan
terhadap perdarahan postpartum. WHO merekomendasikan bahwa manajemen
aktif kala III menjadi komponen utama dalam melakukan pencegahan
perdarahan postpartum. Berkaitan dengan tindakan manajemen aktif kala III,
maka diperlukan tenaga kesehatan yang mempunyai kinerja tinggi. Kinerja
merupakan hasil kerja yang telah dicapai oleh seseorang dalam suatu instansi.
Kinerja dalam hal ini, erat kaitanya dengan lama kerja tenaga kesehatan (Anisa
et al., 2019).
2. Evidence Based Midwifery Asuhan Kegawatdaruratan Neonatal dengan
Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir
umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat
hubungannya dengan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah
yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernapas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin
dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul
dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat
asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara
sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala gejala lanjut
yang mungkin timbul (Murniati & Ferawati Taherong, 2021).
Menurut (Sari, 2021) Keadaan asfiksia dapat menyebabkan
ketidakseimbangan suhu tubuh sehingga terjadi hipotermia. Hipotermia dapat
terjadi karena janin kekurangan oksigen dan kadar karbondioksida meningkat
sehingga suplai oksigen dalam darah menurun yang menyebabkan resiko
ketidakseimbangan suhu tubuh (hipotermia). Hipotermia tersebut dapat
menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah yang mengakibatkan
terjadinya metabolik anaerob, meningkatkan kebutuhan oksigen dan
mengakibatkan hipoksemia. Kelainan klinis yang lain akibat asfiksia yaitu
adanya cidera akut pada otak yang disebut dengan Hypoxic Ischaemic
Encephalopathy (HIE). Penanganan yang dilakukan apabila ada bayi yang
mengalami asfiksia yaitu dengan resusitasi bayi baru lahir. Hal yang harus
dilakukan adalah menilai pernapasan, Frekuensi Jantung (FJ), dan warna kulit.
Apabila nilai pernapasan apneu atau FJ < 100 maka diberikan ventilasi tekanan
positif. Jika sianosis maka diberikan oksigen dan berikan tekanan ventilasi
tekanan positif. Jika FJ <60 lakukan kompresi dada kemudian berikan
epinefrin. Jika FJ >100 dan kemerahan maka lakukan perawatan pasca
resusitasi. Hal ini sejalan dengan penelitian (Yulianti, 2021) bahwa
pelaksanaan stabilisasi asfiksia pada bayi dengan cara resusitasi serta menjaga
suhu bayi agar tetap stabil
dengan cara membungkus bayi dan memperhatikan suhu ruangan baik sebelum
dirujuk maupun pada saat dirujuk dan juga memakaikan selimut dan topi .
Serta menjaga pernafasan bayi agar tetap stabil sebelum dirujuk dengan cara
memasangkan selang oksigen, agar bayi mendapatkan tambahan oksigen yang
dapat menstabilkan pernafasannya.
Upaya resusitasi yang efisien dan efektif berlangsung melalui rangkaian
tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan. Apabila
penilaian pernapasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernapasan
tidak kuat, harus segera ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk
tindakan vertilasi dengan tekanan positif (VTP). Tindakan resusitasi pada bayi
baru lahir yaitu waktu yang ditentukan untuk satu siklus tindakan resusitasi
awal yaitu 30 detik merupakan langkah awal untuk menilai kemampuan bayi
untuk bernapas spontan dan tindakan lanjutan yang dibutuhkan bayi. Tindakan
dalam kurun waktu tersebut seperti pengeringan dan perangsangan pada kulit
punggung, perut, dan telapak kaki merupakan intervensi penilaian dan
resusitasi. Prosedur tindakan ini dapat menstimulus neonatus untuk bernapas,
tetapi bila bayi gagal bernapas spontan (apnea) atau megap-megap atau
kecepatan denyut jantung kurang dari 100 kali/menit maka bantuan ventilasi
harus segera dilakukan. Upaya penanganan terjadinya asfiksia pada bayi baru
lahir ialah menjaga agar tubuh bayi tetap hangat, menempatkan bayi dalam
posisi yang tepat, penghisapan lendir secara benar, memberikan rangsangan
taktil dan melakukan pernapasan buatan bila perlu. Berbagai upaya tersebut
dilakukan untuk mencegah asfiksia, memberikan pertolongan secara tepat dan
adekuat bila terjadi asfiksia dan mencegah terjadinya hipotermia Bila
ditemukan bayi kulit kebiruan, tidak menangis kuat, tonus otot lemah maka
lakukan tindakan awal yaitu resusitasi. Jika sudah dilakukan langkah awal
resusitasi bayi belum menunjukkan perubahan maka lanjutkan pada langkah
VTP (Ventilasi Tekanan Positif). Ventilasi merupakan tahapan dari tindakan
resusitasi yang sangat penting untuk menyelamatkan bayi yang mengalami
asfiksia yang dimana asfiksia pada bayi baru lahir merupakan kegagalan napas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir . Aspek yang sangat penting dari
resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi, menentukan tindakan yang akan
dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan resusitasi (Mumpuni et al.,
2021)

DAFTAR PUSTAKA

ACOG Committee on Practice Bulletins-Gynecology, The American College of


Obstetrician and Gynecologists. (2002). ACOG practice bulletin clinical management
guidelines for obstetrician-gynecologists. Number 40, November 2002. Obstetrics and
Gynecology, 100(5 Pt 1), 1045–1050. https://doi.org/10.1016/s0029-7844(02)02513-9

Ambarita, G. I., & Anggraeni, L. D. (2019). Penggunaan Billy Blanket Pada Neonatus
Dalam Menurunkan Kadar Bilirubin. Faletehan Health Journal, 6(3), 106–110.
https://doi.org/10.33746/fhj.v6i3.83

Ambarwati, D., Pangesti, W. D., & Dewi, S. (2018). PELAKSANAAN SISTEM


RUJUKAN PADA KASUS KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL
DI PUSKESMAS KEMBARAN I. Bidan Prada: Jurnal Publikasi Kebidanan Akbid
YLPP Purwokerto, 9(2), Article 2.
http://www.ojs.akbidylpp.ac.id/index.php/Prada/article/view/459

Armawan, E. (2013). Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir (Jakarta). Trans Info
Media, CV. //perpus.asih-husada.ac.id/perpus/index.php?
p=show_detail&id=415&keywords=

Forte, H. O. W. R. (2010). Ilmu Kebidanan: Patologi Fisiologi Bersalin. yayasan


essentia medica (Yem).

Grobman, W. (2013). Shoulder dystocia. Obstetrics and Gynecology Clinics of North


America, 40(1), 59–67. https://doi.org/10.1016/j.ogc.2012.11.006

Hill, M. G., & Cohen, W. R. (2016). Shoulder dystocia: Prediction and management.
Women’s Health (London, England), 12(2), 251–261.
https://doi.org/10.2217/whe.15.103

Hoffman, M. K., Bailit, J. L., Branch, D. W., Burkman, R. T., Van Veldhusien, P., Lu,
L., Kominiarek, M. A., Hibbard, J. U., Landy, H. J., Haberman, S., Wilkins, I.,
Gonzalez-Quintero, V. H., Gregory, K. D., Hatjis, C. G., Ramirez, M. M., Reddy, U.
M., Troendle, J., Zhang, J., & Consortium on Safe Labor. (2011). A comparison of
obstetric maneuvers for the acute management of shoulder dystocia. Obstetrics and
Gynecology, 117(6), 1272–1278. https://doi.org/10.1097/AOG.0b013e31821a12c9

Imelda, A., & Putriana, Y. (2018). Penanganan Awal Kejadian Preeklamsia Berat dan
Eklampsia Salah Satu Rumah Sakit di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Keperawatan
Sai Betik, 13, 203. https://doi.org/10.26630/jkep.v13i2.930

Inglis, S. R., Feier, N., Chetiyaar, J. B., Naylor, M. H., Sumersille, M., Cervellione, K.
L., & Predanic, M. (2011). Effects of shoulder dystocia training on the incidence of
brachial plexus injury. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 204(4), 322.e1-
6. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2011.01.027

Manuaba, I. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana


Untuk Pendidikan Bidan. EGC.
Maryunani, A. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal. Trans Info
Media.

Mumpuni, G. A., Sari, K., Apriani, S., Hikmah, R., Rachmawati, I., Safitri, N.,
Utmalini, A., Evitasari, Ferdiana, L., Febriani, M., Wilia, A., & Mumuk, P. (2021).
Literatur Review: Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru
Lahir. Jurnal UNW, 178–187. http://repository2.unw.ac.id/id/eprint/1402
Murniati, L., & Ferawati Taherong, S. (2021). Manajemen Asuhan Kebidanan Pada
Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia. Jurnal Midwifery, 3(1), 32–41.
https://doi.org/10.24252/jmw.v3i1.21028
Sari, F. P. (2021). STUDI LITERATUR : THERAPEUTIC HYPITHERMA PADA BAYI
BARU LAHIR DENGAN ASFIKSIA LITERATURE STUDY : THERAPEUTIC
HYPOTHERMIA IN NEWBORN BABIES WITH ASPHYSIA. 3, 69–77.
Yulianti, N. T. (2021). Prosedur Resusitasi Pada Neonatus Dengan Asfiksia. Jurnal
IMJ: Indonesia Midwifery Journal, 4(2), 41–46.

Setyarini, D. I., & Suprapti. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Kebidanan: Asuhan
Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Sofian, A. (2012). Rustam Mochtar sinopsis obstetri: Obstetri fisiologi, obstetri


patologi. Jakarta ; EGC, 2012.

Sujiyatini. (2009). Asuhan Patologi Kebidanan. Nuha Medika.

Susiloningtyas, I., & Purwanti, Y. (2021). KAJIAN PENGARUH MANAJEMEN


AKTIF KALA III TERHADAP PENCEGAHAN PERDARAHAN POSTPARTUM
(Sistematik Review ). Majalah Ilmiah Sultan Agung, 50(128), 63–72.

WHO. (2013). Buku Saku Pelayanan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan:
Pedoman bagi tenaga kesehatan (Jakarta). WHO.
//www.cyber-chmk.net/siperpus/index.php?p=show_detail&id=1224&keywords=

Wiknjosastro, H. (2007). Ilmu Kebidanan. YBP-SP.

Anda mungkin juga menyukai