Disusun Oleh :
Mengesahkan,
Pembimbing Institusi,
Mengetahui,
Disusun oleh :
NIM : PO.62.24.2.21.565
Mengetahui
Plt. Ketua Program Studi Sarjana
Terapan Kebidanan dan Pendidikan Profesi Bidan
A. Latar Belakang
Sekitar 800 perempuan setiap hari meninggal akibat kehamilan dan
persalinan. Hampir semua kematian ibu (99%) terjadi di negara berkembang,
komplikasi utama yang menyumbang 80% dari seluruh kematian ibu adalah
perdarahan hebat setelah melahirkan, infeksi, preekampsia, eklampsia, dan aborsi.
Di Negara berkembang, seorang wanita tujuh kali lebih mungkin untuk mengalami
preeclampsia dibandingkan wanita di negara maju. Preeklampsia di negara
berkembang didiagnosis (3 – 5%) dan di dunia didiagnosis (7.5%) (Lombo et al.,
2017).
Jumlah kematian ibu yang dihimpun dari pencatatan program kesehatan
keluarga di Kementerian Kesehatan pada tahun 2020 menunjukkan 4.627 kematian
di Indonesia. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2019
sebesar 4.221 kematian. Berdasarkan penyebab, sebagian besar kematian ibu pada
tahun 2020 disebabkan oleh perdarahan sebanyak 1.330 kasus, hipertensi dalam
kehamilan sebanyak 1.110 kasus, dan gangguan sistem peredaran darah sebanyak
230 kasus. Berdasrkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2020, jumlah kematian ibu
di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2020 sebanyak 69 kematian dengan
penyebab tertinggi akibat perdarahan 24 Kasus, hipertensi dalam kehamilan 17
kasus, Infeksi 4 kasus, ganggun sistem peredaran daran 1 kasus, gangguan
metabolik 3 kasus, dan penyebab lain- lain 20 kasus (KEMENKES RI, 2021).
Tingginya angka kematian ibu menunjukkan rendahnya kualitas pelayanan
kesehatan terutama kesehatan ibu. WHO menyatakan bahwa salah satu aspek utama
dalam pelayanan primer termasuk kesehatan ibu dan anak adalah adanya hubungan
yang erat dengan level diatasnya, hal ini dapat dilihat dari bagaimana sistem
rujukan itu berjalan secara efektif. Upaya dari pemerintah untuk menurunkan AKI
dan AKB adalah dengan diselenggarakannya pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal dasar berkualitas yaitu Pelayanan Obstetri dan neonatal Emergensi Dasar
(PONED) di Puskesmas dan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi
Komrehensif (PONEK) di Rumah Sakit Kabupaten/ Kota dan Rumah Sakit
Provinsi (Ambarwati dkk., 2018).
Dalam pelaksanaan program kesehatan sangat dibutuhkan sumberdaya
manusia yang kompeten, sehingga apa yang menjadi tujuan dapat tercapai.
Bidan sebagai salah satu sumber daya manusia dalam bidang kesehatan
merupakan orang yang berada digaris terdepan dan langsung berhubungan
dengan wanita sebagai sasaran program. Bidan memiliki peran penting dalam
melaksanakan asuhan komprehensif yang mandiri, kolaborasi, maupun
melakukan rujukan yang tepat. Oleh karena itu, bidan dituntut untuk mampu
mendeteksi secara dini adanya tanda dan gejala komplikasi kehamilan,
memberikan pertolongan kegawatdaruratan, melakukan stabilisasi dan mampu
melakukan rujukan dengan tepat(Ambarwati dkk., 2018).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menerapkan teori, konsep dan prinsip kebidanan dalam memberikan
asuhan kegawatdaruratan maternal dan neonatal
2. Tujuan Khusus
a) Dapat melakukan pengkajian pada asuhan kegawatdaruratan maternal
dan neonatal
b) Dapat melakukan analisa data dengan berpikir kritis pada asuhan
kegawatdaruratan maternal dan neonatal
c) Dapat melakukan perencanaan asuhan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal
d) Dapat melakukan implementasi asuhan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal berdasarkan evidence based.
e) Dapat melakukan evaluasi asuhan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal
f) Dapat Melakukan pendokumentasian asuhan kegawatdaruratan maternal
dan neonatal
C. Manfaat
1. Mahasiswa
Mahasiswa profesi mampu melakukan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan
Maternal dan Neonatal dan dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh serta
mendapatkan pengalaman dalam melaksanakan asuhan kebidanan secara
langsung pada ibu dan bayi sehingga dapat digunakan sebagai berkas penulis
didalam melaksanakan tugas sebagai bidan dengan manajemen kebidanan
sesuai kasus yang ditemukan di lahan praktik.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan sumber kepustakaan dan perbandingan pada Asuhan
Kebidanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal
3. Bagi Rumah Sakit
Memberikan informasi pada klien terutama tentang kegawatdaruratan
maternal dan neonatal yang terjadi.
D. Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan pada tanggal 11 Februari s/d 2 Maret 2022 dan pelaksanaan
Asuhan di RSUD Jaraga Sasameh Kab. Barito Selatan
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Kegawatdaruratan Maternal
1. Definisi
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-
tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya. Kegawatdaruratan dapat
juga didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi
secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamatkan jiwa/nyawa. Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah
kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau
selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit
dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya.
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir. Masalah kedaruratan
selama kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi kehamilan spesifik atau
penyakit medis atau bedah yang timbul secara bersamaan (Setyarini & Suprapti,
2016).
2. Kegawatdaruratan Maternal dan penatalaksanaannya
a. Perdarahan pada kehamilan muda dan lanjut
1) Perdarahan pada kehamilan muda
Perdarahan pada kehamilan muda merupakan perdarahan pada
kehamilan dibawah 20 minggu atau perkiraan berat badan janin kurang
dari 500 gram dimana janin belum memiliki kemampuan untuk hidup
diluar kandungan (Setyarini & Suprapti, 2016).
a) Abortus
Untuk wanita yang masih dalam usia reproduksi, sebaiknya
dipikirkan suatu abortus inklomplit apabila (Setyarini & Suprapti,
2016):
(1) Terlambat haid (tidak datang haid lebih dari satu bulan, dihitung
dari haid terakhir)
(2) Terjadi perdarahan per vagina
(3) Spasme atau nyeri perut bawah (seperti kontraksi saat persalinan)
(4) Keluarnya massa kehamilan (fragmen plasenta) Apabila tidak
terdapat gejala tersebut diatas, sebaiknya dipertimbangkan
diagnosis lain (misalnya infeksi panggul). Terminasi kehamilan
secara paksa dilakukan dengan memasukkan kayu, plastic atau
benda tajam lainnya kedalam kavum uteri dapat menjadi
penyebab utama dari berbagai komplikasi serius abortus
inkomplit. Karena berbagai alasan tertentu, kebanyakan pasien
abortus provokatus, segan atau dengan sengaja menyembunyikan
penyebab abortus yang dapat membahayakan atau mengancam
keselamatan jiwa pasien.
Berikut beberapa klasifikasi abortus diantaranya adalah (Setyarini & Suprapti, 2016):
Berikut penatalaksan abortus berdasarkan klasifikasi nya (Manuaba, 2010) :
Diagnosis Perdarahan Serviks Besar uterus Gejala lain
B. Kegawatdaruratan Neonatal
1. Definisi
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi
dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis (≤ usia 28
hari), serta membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan
psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul
sewaktu-waktu (Setyarini & Suprapti, 2016)
2. Kegawatdaruratan Neonatal dan penatalaksanaannya
a. Asfiksia
1) Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan nafas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai
dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis (Maryunani, 2013).
Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernafasan
secara spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat
sesudah lahir. Bayi mungkin lahir dalam kondisi asfiksia (Asfiksia
Primer) atau mungkin dapat bernafas tetapi kemudian mengalami
asfiksia beberapa saat setelah lahir ( Asfiksia Skunder) ( Icesmi &
Sudarti, 2014:158).
2) Klasifikasi
Menurut Anik dan Eka (2013:296) klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai
APGAR:
a) Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.
b) Asfiksia ringan sedang dengan nilai 4-6.
c) Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9.
d) Bayi normal dengan nilai APGAR 10.
3) Penatalaksanaan
Menurut Vidia dan Pongki (2016:365), penatalaksanaan Asfiksia
meliputi:
a) Tindakan Umum
(1) Bersihkan jalan nafas : Kepala bayi diletakkan lebih rendah
agar lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop
untuk membantu penghisapan lendir dari saluran nafas yang
lebih dalam.
(2) Rangsang refleks pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi
tidak memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua
telapak kaki menekan tanda achilles.
(3) Mempertahankan suhu tubuh.
b) Tindakan Khusus
(1) Asfiksia Berat Berikan O2 dengan tekanan positif dan
intermenten melalui pipa endotrakeal. Dapat dilakukan
dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. O2
yang diberikan tidak lebih 30 cm H 20. Bila pernafasan
spontan tidak timbul lakukan massage jantung dengan ibu jari
yang menekan pertengahan sternum 80-100 x/menit.
(2) Asfiksia Sedang/Ringan Pasang Relkiek pernafasan (hisap
lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila gagal
lakukan pernafasan kodok (Frog Breathing) 1-2 menit yaitu
kepala bayi ekstensi maksimal beri O2 1-21/menit melalui
kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta
gerakkan dagu ke atasbawah secara teratur 20 x/menit.
(3) Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.
b. BBLR
1) Definisi
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat
badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499 gram)
(Prawiroharjo, 2010). Berkaitan dengan penanganan dan harapan
hidupnya, bayi berat lahir rendah dibedakan dalam:
a) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), berat lahir 1500 – 2500 gram;
b) Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR), berat lahir < 1500
gram;
c) Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLER) berat lahir < 1000
gram.
2) Manifestasi Klinis
Menurut Maryunani dkk, (2009) adapun tanda dan gejala yang
terdapat pada bayi dengan bayi berat lahir rendah (BBLR ) adalah :
a) Berat badan < 2500 gram
b) Letak kuping menurun
c) Pembesaran dari satu atau dua ginjal
d) Ukuran kepala kecil
e) Masalah dalam pemberian makan (refleks menelan dan
menghisap kurang)
f) Suhu tidak stabil (kulit tipis dan transparan
3) Penatalaksanaan
Menurut Rukiyah, dkk (2010) perawatan pada bayi berat lahir
rendah (BBLR) adalah :
a) Mempertahankan suhu tubuh dengan ketat. BBLR mudah
mengalami hipotermi, oleh sebab itu suhu tubuh bayi harus
dipertahankan dengan ketat.
b) Mencegah infeksi dengan ketat. BBLR sangat rentan dengan
infeksi, memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi
termasuk mencuci tangan sebelum memegang bayi.
c) Pengawasan nutrisi (ASI). Refleks menelan BBLR belum
sempurna, oleh sebab itu pemberian nutrisi dilakukan dengan
cermat.
d) Penimbangan ketat. Perubahan berat badan mencerminkan
kondisi gizi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh,
oleh sebab itu penimbangan dilakukan dengan ketat.
e) Kain yang basah secepatnya diganti dengan kain yang kering dan
bersih, pertahankan suhu tubuh tetap hangat.
f) Kepala bayi ditutup topi, beri oksigen bila perlu.
g) Tali pusat dalam keadaan bersih.
h) Beri minum dengan sonde/tetes dengan pemberian ASI
c. Hipotermi
Hipotermi adalah kondisi dimana suhu tubuh <36°c atau kedua
kaki dan tangan teraba dingin. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia
diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai
250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal
penyakit yang berakhir dengan kematian. Akibat hipotermia adalah
meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik
asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya
simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak
dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan
meningkatkan intake kalori. Etiologi dan faktor predisposisi dari hipotermia
antara lain: prematuritas, asfiksia, sepsis, kondisi neurologik seperti
meningitis dan perdarahan cerebral, pengeringan yang tidak adekuat setelah
kelahiran dan eksposure suhu lingkungan yang dingin(Setyarini & Suprapti,
2016). Penanganan hipotermia ditujukan pada(Setyarini & Suprapti, 2016):
1) Mencegah hipotermia
2) Mengenal bayi dengan hipotermia
3) Mengenal resiko hipotermia
4) Tindakan pada hipotermia.
b) Pencegahan hipoglikemia
c) Hipoglikemia refraktori
Kebutuhan glukosa dengan >12mg/kg/menit menunjukan
adanya keadaan hiperinsulisme, yang dapat dilakukan dengan :
e. Hiperbilirubin
1) Definisi
3) Penatalaksanaan
Bila kadar bilirubin serum bayi tinggi sehingga di duga akan
terjadi kern ikterik, maka perlu dilakukan penatalaksanaan
khusus. 24 Penanganan terapi khusus antara lain :
a) Terapi sinar Terapi sinar diberikan jika bilirubin indirek
darah mencapai 15 mg %. Cremer melaporkan bahwa pada
bayi penderita ikterus yang diberi sinar matahari lebih dari
penyinaran biasa, ikterus lebih cepat menghilang
dibandingkan dengan bayi lain yang tidak disinari. Dengan
penyinaran bilirubin dipecah menjadi dipyrole yang
kemudian dikeluarkan melalui ginjal dan traktus digestivus.
Hasil perusakan bilirubin ternyata tidak toksik untuk tubuh
dan di keluarkan tubuh dengan sempurna. Mekanisme utama
terapi sinar adalah fotoisomer. Dengan kata lain bilirubin
42,152 diubah menjadi bilirubin 42,15 E, bilirubin isomer
mudah larut dalam air. Penggunaan terapi sinar untuk
mengobati hiperbilirubinemiaharus dilakukan dengan hati-
hati, karena jenis pengobatan ini dapat menimbulkan
komplikasi, yaitu dapat menyebabkan kerusakan retina, dapat
meningkatkan kehilangan air tidak terasa (insenible water
losses), dan dapat mempengaruhi pertumbuhan serta
perkembangan bayi walaupun hal ini masih dapat dibalikkan,
kalau digunakan terapi sinar, sebaiknya dipilih sinar dengan
spektrum antara 420 –480 nano meter. Sinar ultraviolet harus
dicegah dengan plexiglass dan bayi harus mendapat cairan
yang cukup. Alat-alat untuk terapi sinar :
(1) 10 lampu neon biru masing-masing berkekuatan 20 watt.
(2) Susunan lampu dimasukkan ke dalam bilik yang diberi
ventilasi disampingnya.
(3) Di bawah susunan dipasang plexiglass setebal 1,5 cm
untuk mencegah sinar ultraviolet.
(4) Alat terapi sinar diletakkan 45 cm di atas permukaan
bayi.
(5) Terapi sinar diberikan selama 72 jam atau sampai kadar
bilirubin mencapai 7,5 mg %.
(6) Mata bayi dan alat kelamin ditutupi dengan bahan yang
dapat memantulkan sinar.
(7) Gunakan kain pada boks bayi atau incubator, dan
letakkan tirai putih mengelilingi area sekeliling alat
tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar
sebanyak mungkin ke arah bayi. (Prawirohardjo, 2005)
Pelaksanaan pemberian terapi sinar dan yang perlu
diperhatikan (Ladewig, 2006) antara lain :
- Letakkan bayi tanpa mengenakan pakaian di bawah
sinar fototerapi, kecuali untuk menutupi alat
kelamin, untuk memaksimalkan pajanan terhadap
sinar.
- Tutup mata bayi saat disinar
- Pantau tanda-tanda vital setiap 4 jam.
- Pantau asupan dan keluaran setiap 8 jam
- Berikan asupan cairan 25% diatas kebutuhan cairan
normal. Untuk memenuhi peningkatan kehilangan
cairan yang tidak tampak mata serta pada feces.
- Reposisi bayi sedikitnya setiap 2 jam.
- Matikan sinar terapi saat orang tua berkunjung dan
memberikan ASI.
- pantau panjang gelombang sinar fototerapi
menggunakan bilimeter, setiap penggantian sorotan
cahaya ke area mata yang lain.
- Pantau kadar bilirubin setiap 8 jam selama 1 hingga
2 hari pertama atau setiap pemberian sesuai dengan
protokol institusi setelah penghentian fototerapi.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarita, G. I., & Anggraeni, L. D. (2019). Penggunaan Billy Blanket Pada Neonatus
Dalam Menurunkan Kadar Bilirubin. Faletehan Health Journal, 6(3), 106–110.
https://doi.org/10.33746/fhj.v6i3.83
Armawan, E. (2013). Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir (Jakarta). Trans Info
Media, CV. //perpus.asih-husada.ac.id/perpus/index.php?
p=show_detail&id=415&keywords=
Hill, M. G., & Cohen, W. R. (2016). Shoulder dystocia: Prediction and management.
Women’s Health (London, England), 12(2), 251–261.
https://doi.org/10.2217/whe.15.103
Hoffman, M. K., Bailit, J. L., Branch, D. W., Burkman, R. T., Van Veldhusien, P., Lu,
L., Kominiarek, M. A., Hibbard, J. U., Landy, H. J., Haberman, S., Wilkins, I.,
Gonzalez-Quintero, V. H., Gregory, K. D., Hatjis, C. G., Ramirez, M. M., Reddy, U.
M., Troendle, J., Zhang, J., & Consortium on Safe Labor. (2011). A comparison of
obstetric maneuvers for the acute management of shoulder dystocia. Obstetrics and
Gynecology, 117(6), 1272–1278. https://doi.org/10.1097/AOG.0b013e31821a12c9
Imelda, A., & Putriana, Y. (2018). Penanganan Awal Kejadian Preeklamsia Berat dan
Eklampsia Salah Satu Rumah Sakit di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Keperawatan
Sai Betik, 13, 203. https://doi.org/10.26630/jkep.v13i2.930
Inglis, S. R., Feier, N., Chetiyaar, J. B., Naylor, M. H., Sumersille, M., Cervellione, K.
L., & Predanic, M. (2011). Effects of shoulder dystocia training on the incidence of
brachial plexus injury. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 204(4), 322.e1-
6. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2011.01.027
Mumpuni, G. A., Sari, K., Apriani, S., Hikmah, R., Rachmawati, I., Safitri, N.,
Utmalini, A., Evitasari, Ferdiana, L., Febriani, M., Wilia, A., & Mumuk, P. (2021).
Literatur Review: Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru
Lahir. Jurnal UNW, 178–187. http://repository2.unw.ac.id/id/eprint/1402
Murniati, L., & Ferawati Taherong, S. (2021). Manajemen Asuhan Kebidanan Pada
Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia. Jurnal Midwifery, 3(1), 32–41.
https://doi.org/10.24252/jmw.v3i1.21028
Sari, F. P. (2021). STUDI LITERATUR : THERAPEUTIC HYPITHERMA PADA BAYI
BARU LAHIR DENGAN ASFIKSIA LITERATURE STUDY : THERAPEUTIC
HYPOTHERMIA IN NEWBORN BABIES WITH ASPHYSIA. 3, 69–77.
Yulianti, N. T. (2021). Prosedur Resusitasi Pada Neonatus Dengan Asfiksia. Jurnal
IMJ: Indonesia Midwifery Journal, 4(2), 41–46.
Setyarini, D. I., & Suprapti. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Kebidanan: Asuhan
Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
WHO. (2013). Buku Saku Pelayanan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan:
Pedoman bagi tenaga kesehatan (Jakarta). WHO.
//www.cyber-chmk.net/siperpus/index.php?p=show_detail&id=1224&keywords=