Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN BBDM MODUL 4.

2
SKENARIO 1

Disusun oleh :
Lailatul Maulidiah 22010218120003

Rr. Sri Wianjarwati Nabilasari 22010218120005

Sabrina Syafa Kamila 22010218120007

Aneira Fitri Kaulika 22010218120009

Bunga Sandira Amartya 22010218120011

Maharani Sukma 22010218120013

Hifdiyati Farida 22010218120015

Elly Fatmawati. 22010218120017

Fandy Gunawan Wibisono 22010218120019

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO

2 0 19
Lembar Pengesahan

Laporan : Belajar Bertolak Dari Masalah

Modul : 4.2

Skenario :1

Kelompok :1

Judul Skenario : Ada Bola Pingpong di Pipiku

Tutor : drg. Diah Ajeng Purbaningrum, MDSc., Sp.KGA


Anggota kelompok :

Lailatul Maulidiah 22010218120003

Rr. Sri Wianjarwati Nabilasari 22010218120005

Sabrina Syafa Kamila 22010218120007

Aneira Fitri Kaulika 22010218120009

Bunga Sandira Amartya 22010218120011

Maharani Sukma 22010218120013

Hifdiyati Farida 22010218120015

Elly Fatmawati. 22010218120017

Fandy Gunawan Wibisono 22010218120019

Tanggal Pengesahan Tanda Tangan Tutor/ Dosen yang


Mengesahkan
SKENARIO 1

Ada Bola Pingpong di Pipiku

Seorang pasien, pria 50 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan gusi bengkak di rahang
bawah sebelah kanan. Pembengkakan dirasakan sejak ia berumur 40 tahun dan tidak terasa sakit.
Semula terasa kecil sekarang bertambah besar. Pasien merasa tidak bisa mengigit dan dari
pemeriksaan ekstra oral tampak pembengkakan di pipi kanan sehingga muka terlihat asimetris.
Hasil pemeriksaan intraoral pembengkakan gingiva mulai dari regio 42 hingga 45 dengan
konsistensi keras serta gigi tidak goyang. Hasil pemeriksaan palpasi teraba seperti bola pingpong
dan tidak ada fluktuasi. Pada gigi 16 dan 27 terdapat kavitas di oklusal hingga kedalaman
dentin. Pernah sakit saat digunakan makan dan tidak memiliki riwayat sakit spontan. Pada gigi
14 dan 15 terlihat gusi pasien turun dan pasien sering mengeluhakan ngilu jika digunakan minum
dingin dan asam. Pasien datang ke rumah sakit karena khawatir dengan cerita tetangganya yang
mengalami hal yang mirip.

I. Terminologi :
Fluktuasi : kondisi dimana ada cairan yang teraba dalam pembengkakan. Cairan
didalamnya labil.
Palpasi : metode pemeriksaan dimana penguji merasakan ukuran, kekuatan atau letak
suatu dari bagian tubuh

II. Rumusan masalah :


1. Apakah kemungkinan diagnosis pada kasus tersebut?
2. Mana keluhan yang seharusnya ditangani terlebih dahulu?
3. Bagaimana prosedur pemeriksaan untuk kasus tersebut?
4. Apa tindakan yang harus dilakukan dari pertanyaan nomor 2?
5. Apa kemungkinan penyebab dari kasus tersebut?
6. Apa dampak nya jika keluhan yang dirasakan pasien dibiarkan? Apakah ada
bahaya lain?
7. Bagaimana perawatan pada penyakit scenario diatas? (penyakit secara
menyeluruh)
8. Apakah diperlukan pemeriksaan penunjang untuk kasus diatas? Kapan kita
memerlukan pemeriksaan penunjang?
III. Hipotesis
1. Diagnosis
 Kista rongga mulut. Karakteristik dari benjolan yang ada harus diketahui terlebih
dahulu
 Penurunan gusi di gigi 14 dan 15, yang akhirnya mengarah ke resesi gingiva
 Gigi 16 dan 27 karies oklusal dengan pulpitis reversible
2. Yang harus ditangani terlebih dahulu:
 Kista – pulpitis – resesi (dimulai dari penyakit terberat)
 Pulpitis – kista – resesi (dilihat dari sakit atau tidaknya/conditional)
3. Pemeriksaan fisik (anamnesis, pemeriksaan objektif) dan pemeriksaan penunjang
(tes darah, foto radiografi panoramic, CT/SCAN, MRI, pemeriksaan patologi
anatomi)
4. Penanganan kista
 Enukleasi yaitu pengangkatan seluruh kista termasuk epitel dan kapsul
pembungkusnya dari dinding kavitas tulang dengan tidak menyisakan jaringan
patologisnya. Resikonya merusak banyak pembuluh darah dan jaringan syaraf.
Memiliki potensi kekambuhan lebih besar dari eksisi blok.
 Marsupialisasi merupakan pengangkatan kista yang lebih sederhana dengan
mengangkat dinding kista dan seluruh lapisannya. Resikonya jaringan untuk
histopatologisnya tidak banyak sehingga hasil tidak representative.
 Eksisi blok merupakan eksisi kista, hanya untuk kista yang kecil.
 Osteotomy periperal merupakan eksisi yang komplit tapi pada waktu yang sama
suatu jarak tulang untuk memelihara kontunuitas rahang dipertahankan
 Kauterisasi merupakan pengeringan lesi. Tidak umum digunakan sebagai terapi
primer, tapi lebih efektif dibandingkan kuretase.
 Reseksi mandibular. Dilakukan jika kista atau tumor mencakup seluruh ketebalan
mandibular.
Penanganan pulpitis
 Tentukan jenis pulpitis. Klo reversible dengan penambalan (apakah langsung
ditambal?), di psa terlebih dahulu. Karena dalam kasus hanya sampai dentin
maka dilakukan pulp capping. Pulp capping bertujuan untuk membentuk dentin
reparative. klo irreversible dengan PSA, dilakukan devitalisasi terlebih dahulu.
Penanganan resesi gingiva
 Terapi bedah : dengan soft tissue graft, flap periodontal
 Terapi non bedah : dengan gingiva artificial/denture liner
(kapan menggunakan terapi bedah dan non bedah?)
5. Penyebab:
 Sisa enamel, dental lamina, sel epitel Mallasez
 Sisa epitel kista dentigerous
 Epitel heterotropik dari kelenjar hipofisis
 Sel basal dari epitel pembentuk rahang
 Embriogenetik yang menyebabkan kista non-odontogenik
 Pulpitis karena lubang yang tidak ditangani sehingga terjadi peradangan sampai
ke pulpa
 Karies karena gigi yang patah / fraktur sehingga terbukanya pulpa
 Kebiasaan buruk yang menjadikan gigi aus sehingga pulpa terbuka
 Resesi gingiva (fisiologis karena bertambahnya umur , patologis seperti
malposisi, cara sikat gigi yang salah, radang gingiva, perlekatan frenulum terlalu
tinggi, penggunaan gigi tiruan yang tidak adekuat)
 Resesi gingiva juga disebabkan karena oh yang buruk, sehingga akumulasi plak
terjadi cepat, akhirnya juga dapat menyebabkan gingivitis.
6. Dampak jika dibiarkan
 Kista dapat menyebabkan kerusakan tulang mandibular. Belum tentu
menyebabkan kematian kecuali terjadi infeksi dan menjadi ganas. Pasien menjadi
susah makan sehingga asupan nutrisi berkurang.
 Pulpitis menyebabkan nyeri dan menjadi focus infeksi
 Resesi gingiva dapat menyebabkan gigi kehilangan perlekatan.
7. Anamnesis, pemerksaan subjektif dan objektif, pemeriksaan penunjang.
Konsultasikan ke bagian yang berkaitan dengan penyakit yang diderita (kista ke
BM, pulpitis ke KG, resesi ke perio)
8. Perlu. Karena dilakukan untuk menambahkan data penunjang, sehingga dapat
memberikan info tambahan untuk menetapkan diagnosis. Dilakukan ketika data
medis yang didapat kurang untuk menetapkan diagnosis.
IV. Peta konsep

Penyakit rongga mulut pada


orang dewasa

Kista Penyakit pulpa Resesi gingiva

Tanda dan gejala, penegakan


diagnosis, diagnosis kasus, dan
diferential diagnosis,
tatalaksana

V. Sasaran belajar
1. Menjelaskan definisi dan klasifikasi dari kista rongga mulut, penyakit pulpa dan
resesi gingiva!
2. Menjelaskan perbedaan pembengkakan karena infeksi, tumor, ataupun etiologi lain!
3. Menjelaskan pemeriksaan objektif dan penunjang untuk masing-masing kasus
pada skenario!
4. Menjelaskan diagnosis dan diferential diagnosis pada tiap kasus yang ada di scenario!
5. Menjelaskan tatalaksana untuk tiap kasus yang ada pada scenario!
6. Menjelaskan prosedur rujukan!

VI. Belajar Mandiri

1. KISTA RONGGA MULUT


Definisi
Kista adalah rongga patologik yang dibatasi oleh epitelium. Kista berisi cairan
atausetengah cairan yang bukan berasal dari akumulasi pus maupun darah.
Lapisanepitelium itu sendiri dikelilingi oleh jaringan ikat fibrokolagen.
Etiologi
Kista rongga mulut disebabkan oleh infeksi pada gigi. Pulpa yang mengalami
prosesnekrosis akan mengeluarkan toxin pada apical gigi dan memicu inflamasi
periapikalsehingga terbentuklah periodontal granuloma yang akan merangsang epitel
malassezsehingga terbentuklah kista

Klasifikasi

Klasifikasi kista odontogenik menurut WHO tahun 1992:


Kista Odontogenik
 Developmental
 Kista dentigerous

 Kista erupsi

 Kista odontogenik keratosis


 Kista orthokeratinisasi odontogenik
 Kista gingival (alveolar) pada bayi
 Kista gingival pada dewasa
 Kista lateral periodontal

 Calcifying odontogenic cyst


 Kista glandular odontogenik
 Inflammatory
 Kista periapikal
 Kista residual periapical (radikular)
 Buccal bifurcation cyst
Kista non-odontogenik
 Globullomaxillary lessions
 Kista nasolabial
 Median mandibular cyst
 Nasopalatine canal cyst
Pseudokista
 Aneurysmal bone cyst
 Static bone cyst

Kista retensi
 Mucous
 Ranula
PENYAKIT PULPA
Definisi
Keadaan dimana pulpa mengalami penyakit atau anomali baik disebabkan karena
Bakteri, trauma, panas dan iritan kimia

Klasifikasi
Terminologi diagnosis penyakit pulpa yang disepakati oleh American Association of
Endodontics dan the American Board of Endodontics:
1. Normal pulp
Merupakan suatu kategori diagnosis klinis dimana pulpa symptom-free dan
merespon secara normal terhadap pengetesan pulpa. Walaupun secara histologis
gambaran pulpa dapat terlihat normal, suatu pulpa normal secara klinis
menunjukkan respon ringan-sedang terhadap tes vitalitas berupa tes dingin,
berakhir tidak lebih dari 1-2 detik setelah stimulus dihilangkan. Kemungkinan
diagnosis pulpa tidak dapat ditegakkan tanpa membandingkan gigi yang diperiksa
dengan gigi yang ada di dekatnya dan kontralateral. Hal terbaik yang dapat
dilakukan pertama adalah melakukan tes pada gigi yang ada di dekatnya dan
kontralateral terlebih dahulu, sehingga pasien dapat merasa familiar terhadap
pengalaman respon normal terhadap dingin.
2. Reversible pulpitis
Pulpitis reversibel didasarkan pada temuan subyektif dan obyektif yang
menunjukkan bahwa peradangan harus diselesaikan dan pulpa kembali normal
setelah manajemen etiologi yang tepat. Ketidaknyamanan dialami ketika suatu
rangsangan seperti ketika gigi berkontak dengan stimulus dingin atau manis dan
hilang dalam beberapa detik setelah stimulus dihilangkan. Etiologi yang khas
mungkin termasuk dentin yang terpapar (sensitivitas gigi), karies atau restorasi
yang dalam. Tidak ada perubahan radiografi yang signifikan di daerah periapikal
gigi yang dicurigai dan rasa sakit yang dialami tidak terjadi secara spontan. Selain
manajemen etiologi (mis. pengangkatan karies plus restorasi; menutupi dentin
yang terbuka), gigi juga memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan
apakah “pulpitis reversibel” telah kembali ke status normal. Meskipun sensitivitas
dentin bukanlah suatu proses inflamasi, semua gejala dari entitas ini meniru gejala
pulpitis reversibel.
3. Symptomatic irreversible pulpitis
Didasarkan pada penemuan subjektif dan objektif bahwa pulpa vital yang
terinlamasi tidak dapat kembali pulih dan hal ini mengindikasikan perlunya
perawatan saluran akar. Karakteristik yang timbul berupa nyeri yang tajam saat
terdapat stimulus termal, nyeri yang dirasakan tidak kunjung hilang (sering kali
berdurasi 30 detik atau lebih setelah stimulus dihilangkan), terjadi secara spontan
(nyeri yang terjadi tanpa sebab) dan terjadi reffered pain (nyeri yang dirasakan
terjadi di area lain dari nyeri awal yang juga disebbakan oleh nyeri awal).
Biasanya nyeri yang dirasakan akan semakin berat oleh karena posisi tubuh
tertentu seperti berbaring atau membungkuk dan analgesic yang dijual bebas di
pasaran biasanya tidak efektif untuk menghilangkan rasa nyeri. Etiologi umum
mungkin termasuk karies yang dalam, restorasi yang luas, atau fraktur yang
menyebabkan tereksposnya jaringan pulpa. Gigi dengan symptomatic irreversible
pulpitis mungkin sulit untuk ditegakkan diagnosisnya akibat inflamasi yang
terjadi belum mencapai periapikal, sehingga ketika diperkusi tidak menunjukkan
rasa sakit atau rasa yang tidak nyaman. Dalam beberapa kasus, riwayat dental dan
tes termal merupakan sarana utama untuk menilai status pulpa.
4. Asymptomatic irreversible pulpitis
Merupakan suatu diagnosis klinis yang didasarkan pada penemuan subjektif dan
objektif dimana pulpa vital yang terinflamasi tidak dapat pulih kembali dan
mengindikasikan untuk dilakukan perawatan saluran akar. Pada kasus ini tidak
terdapat gejala/tanda klinis dan biasanya merespon secara normal terhadap tes
termal, tetapi mungkin memiliki trauma atau karies yang dalam yang
kemungkinan akan menghasilkan paparan setelah pengangkatan.
5. Pulp necrosis
Merupakan suatu kategori diagnosa klinis yang mengindikasikan kematian dari
pulpa gigi, memerlukan perawatan saluran akar. Pulpa gigi tidak responsive
terhadap tes pulpa dan asimtomatik. Nekrosis pulpa sendiri tidak menyenanlan
periodontitis apical (nyeri terhadap perkusi dan gambaran radiografis kerusakan
tulang) meskipun saluran akar terinfeksi. Beberapa gigi mungkin nonresponsive
terhadap tes pulpa karena mengalami kalsifikasi, riwayat trauma, atau bahkan
karena gigi yang memang tidak merespon. Oleh karena itu, seluruh pengetesan
harus bersifat komparatif (mis. pasien mungkin tidak menanggapi tes termal pada
gigi apa pun)

6. Previously treated
Merupakan suatu kategori diagnose klinis yang mengindikasikan bahwa gigi telah
dirawat secara endodontic dan saluran akar telah diobturasi dengan berbagai
macam bahan pengisi selain medikamen intrakanal. Biasanya gigi tidak merespon
terhadap tes termal atau tes elektrik pada pengetesan pulpa.
7. Previously initiated therapy
Merupakan suatu kategori diagnose klinis yang mengindikasikan gigi telah
dilakukan perawatan sebelumnya dengan endodontic parsial seperti pulpotomi
atau pulpektomi. Bergantung pada tingkatan terapi, gigi mungkin akan merespon
atau bahkan tidak merespon terhadap modalitas pengetesan pulpa.

RESESI GINGIVA
Definisi

Resesi gingiva merupakan keadaan atau kondisi tepi gingiva yang lebih kearah apical dari
CEJ dan biasanya disertai dengan terbukanya permukaan akar gigi (Krismariono, 2014)

Klasifikasi

Klasifikasi resesi gingiva berdasarkan keadaan marginal gingiva terhadap CEJ dan
mucogingival junction menurut Miller yaitu :

 Kelas I

Resesi pada marginal gingiva yang belum meluas ke mucogingiva junction. Pada kelas
ini belum terjadi kehilangan tulang atau jaringan lunak di daerah interdental. Resesi ini
dapat berukuran kecil atau besar.

 Kelas II

Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva junction, tetapi belum terjadi
kehilangan tulang atau jaringan lunak di daerah interdental. Resesi ini dapat berukuran
kecil atau besar.

 Kelas III

Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva junction disertai dengan


kehilangan tulang dan jaringan lunak di daerah interdental atau terdapat malposisi gigi
yang ringan.

 Kelas IV
Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva junction disertai dengan
kehilangan tulang dan jaringan lunak yang parah di daerah interdental atau terdapat
malposisi gigi yang parah.

2.

2. Menjelaskan perbedaan pembengkakan karena infeksi, tumor, ataupun etiologi lain!

Berdasarkan dari hasil pencarian, belum ditemukan perbedaan secara umum mengenai
pembengkakan akibat infeksi, tumor maupun etiologi lainnya. Akan tetapi perbedaan
akan di ambil dengan menggunakan contoh infeksi dengan abses gigi dan tumor dengan
ameloblastoma

Abses gigi adalah kantong berisi nanah di dalam gigi, di gusi atau di dalam tulang
rahang. Penyebabnya adalah infeksi bakteri akut. Abses adalah reaksi defensif jaringan
untuk mencegah penyebaran materi infeksius ke bagian tubuh yang lain. Ia terakumulasi
dalam rongga yang dibentuk oleh jaringan karena keberadaan bakteri, parasit, atau benda
asing lainnya (mis., Serpihan, luka tembak, atau jarum suntik).
Tumor

Tumor adalah nama untuk pembengkakan atau lesi yang terbentuk oleh pertumbuhan sel
yang tidak normal. Kata tumor tidak identik dengan kanker. Tumor bisa jinak, pra-ganas
atau ganas, sedangkan kanker pada dasarnya ganas (Ameloblastoma : Berkembang dari
ameloblas yang berkembang dari sel epitel yang terjadi pada email organ, folikel gigi
atau membran periodontal.)

Cara membedakan

Perlu dilakukan pemeriksaan keseluruhan untuk menemntukan suatu pembengkakan di


akibatkan oleh karena infeksi atau tumor dan etiologi lain

Pemeriksaan subjektif

Dental Abses : pasien melaporkan rasa sakit yang parah berdenyut yang datang tiba-tiba
dan secara bertahap, mengakui kebersihan gigi yang buruk, dan kurangnya tindak lanjut
gigi yang memadai, mengakui trauma gigi yang tidak diperbaiki, Sensitivitas terhadap
makanan dan minuman panas dan dingin pasien juga dapat merasakan Bau mulutdan
dapat disertai rasa tidak enak di mulut

Tumor : Pasien mungkin tidak menunjukkan gejala ketika lesi kecil; rasa sakit dan
paresthesia pada daerah perioral jarang terjadi.

Pemeriksaan Objektif

Dental Abses : nyeri lokal yang mucul akibat palpasi, eritema wajah, trismus, disfagia,
demam, limfadenopati bengkak di dekat area mulut yang sakit, dan nyeri,rongga, gigi
yang dicurigai mengalami infeksi dapat berubah warna, mengalami kerusakan visual
pada email gigi, atau dikelilingi oleh eritema gingiva dan pembengkakan.

Tumor : Pemeriksaan intraoral dapat menunjukkan pembengkakan atau kepenuhan di


labial atau sulkus bukal dari rahang atas atau rahang bawah Demikian pula,
pembengkakan bisa terjadi terlihat pada aspek lingual mandibula atau dasar mulut, atau
di langit-langit. Pembengkakan tersebut disebabkan oleh ekspansi tumor di arah wajah /
bukal, lingual, dan / atau palatal yang menyebabkan ekspansi dari tulang kortikal.
Asimetri wajah dengan pembengkakan juga dapat dicatat dengan lesi yang lebih besar.
Melonggarnya atau perpindahan gigi mungkin terlihat jelas, seperti perubahan dalam
oklusi gigi.

(Ameloblastoma : Gejala yang paling umum adalah pembesaran yang terus menerus dan
lambat yang mungkin terjadi sangat besar sebelum menjadi nyata secara oral.
Pemeriksaan Penunjang

Radiografi :

-radiolucency yang terdefinisi dengan baik pada atau distal ke apeks akar, biasanya <10
mm dengan atau tanpa sklerosis yang mengelilinginya (<22 mm)

- Tampilan radiografi tumor bervariasi, tergantung pada sifat, lokasi, dan tahap
perkembangannya . Ameloblastoma, myxomas odontogenik, dan fibroma ameloblastik
yang terjadi di daerah perikoronal mungkin menyerupai dentigerous kista; kemudian
mereka menjadi multilokular. Cementoma, pada tahap awal perkembangannya, mungkin
menyerupai kista atau granuloma radikuler / residual.

i. Ameloblastoma :
a) Pada tahap awal lesi mungkin tampak kistik, unilokular, dan mungkin
b) menyerupai kista dentigerous atau residu.
c) Nanti menjadi multilokular dengan gelembung sabun atau sisir madu
d) penampilan. Ukuran bervariasi dari ukuran yang sangat kecil terbatas pada alveolar
e) tulang ke lesi yang luas dengan ekspansi tulang Kompartemen dalam tulang bulat
dan dipisahkan oleh tulang septa atau trabekula radiopak.
f) Korteks menunjukkan penipisan dan ekspansi sering parah
g) Seringkali resorpsi akar yang luas.
h) Sering ada impaksi gigi terkaitii

ii. Calcifying epithelial Odontogenic Tumor (Tumor Pindborg)


Ditemukan terutama di daerah premolar mandibula yang terkait dengan mahkota suatu
impaksi gigi pada 66% kasus. Tumor bersifat invasif lokal dan cenderung berulang.  Usia
rata-rata +/- 40 tahun

Secara radiografis
Seringkali mirip dengan ameloblastoma pada tahap awal menjadi multilocular dan honey-
comb tetapi sedikit lebih radiopak. Pada beberapa tahap selanjutnya, radiopasitas dibatasi
dengan baik (Kalsifikasi) membedakannya sering digambarkan seperti anggur.

iii. Tumor odontogenik Adenomatoid. [AOT]


Paling sering terjadi pada dekade kedua dan berhubungan dengan gigi yang tidak erupsi
(biasanya taring rahang atas) dan paling sering pada wanita muda. Menyerupai kista
dentigerous. Bersifat invasif secara lokal

Secara klinis. Gigi yang tidak erupsi / hilang dan kadang-kadang ada pembengkakan.
Biasanya kaninus rahang atas

Secara Radiografi :Radiolusen unilokular yang terkait dengan menyerupai gigi erupsi
kista dentigerous (tetapi tidak sepucat atau berbatas tegas) dan kemudian berkembang
menjadi samar radiopasitas seperti anggur. Lucency sering besar.

3. Pemeriksaan objektif dan penunjang pada masing-masing kasus


Sebelum melakukan pemeriksaan objektif, tentunya harus dilakukan pemeriksaan
subjektif terlebih dahulu, yaitu dengan melakukan anamnesis pada pasien untuk
mengetahui keterangan sebanyak-banyaknya mengenai keluhan pasien dan untuk
menunjang penegakkan diagnosis. Anamnesis yang baik harus mengacu pada pertanyaan
sistematis yaitu berpedoman pada The Fundamental Four dan The Sacred Seven (tujuh
butir mutiara anamnesis).

Anamnesis (Pemeriksaan Subjektif)

Sebelum menanyakan pertanyaan sistematis, harus menanyakan identitas pasien terlebih


dahulu yaitu nama, umur, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, agama, status perikahan.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Hal ini meliputi keluhan utama dan anamnesis lanjutan. Keluhan utama adalah
keluhan yang membuat seseorang datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk
mencari pertolongan, misalnya : demam, sesak nafas, nyeri pinggang, dll.
Keluhan utama ini sebaiknya tidak lebih dari satu keluhan. Kemudian setelah
keluhan utama, dilanjutkan anamnesis secara sistematis dengan menggunakan
tujuh butir mutiara anamnesis, yaitu :
1. Lokasi
Lokasi sakit dimana?
Apakah ada penjalaran?
Dapatkah Anda keluhan secara tepat?
2. Onset / awitan dan kronologis
Bagaimana awalnya hingga keluhan tersebut muncul?
Sejak kapan?
Sudah berapa lama?
Timbul mendadak atau perlahan-lahan?
3. Kuantitas keluhan
Ringan/sedang/berat
Bila menggunakan skala 1-10, nilainya berapa?
Apakah sampai mengganggu aktivitas harian? Apakah mengganggu pekerjaan
4. Kualitas keluhan
Seperti apa keluhan tersebut?
Apakah pusingnya cekot-cekot atau berputar?
Bagaimana rasanya?
Apakah hilang-timbul atau terus menerus muncul?
5. Faktor-faktor yang memperberat keluhan.
6. Faktor-faktor yang meringankan keluhan.
7. Analisis sistem yang menyertai keluhan utama (gejala penyerta)

 Riwayat Penyakit Dahulu


Ditanyakan adakah penderita pernah sakit serupa sebelumnya, bila dan
kapan terjadinya dan sudah berapa kali dan telah diberi obat apa saja, serta
mencari penyakit yang relevan dengan keadaan sekarang dan penyakit kronik
(hipertensi, diabetes mellitus, dll), perawatan lama, rawat inap, imunisasi, riwayat
pengobatan dan riwayat menstruasi (untuk wanita)

 Riwayat Penyakit Keluarga


Anamnesis ini digunakan untuk mencari ada tidaknya penyakit keturunan
dari pihak keluarga (diabetes mellitus, hipertensi, tumor, dll) atau riwayat
penyakit yang menular

 Riwayat sosial dan ekonomi


Hal ini untuk mengetahui status sosial pasien, yang meliputi pendidikan,
pekerjaan pernikahan, kebiasaan yang sering dilakukan (pola tidur, minum
alkohol atau merokok, obatobatan, aktivitas seksual, sumber keuangan, asuransi
kesehatan dan kepercayaan)

Pemeriksaan Objektif
Ekstraoral
 Inspeksi : melihat kondisi wajah dan TMJ pasien
 Palpasi : meraba wajah pasien dan kelenjar limfe sekitar leher pasien apakah ada
pembengkakan disertai rasa sakit atau tidak
Intraoral
 Mukosa oral
 Inspeksi : melihat keadaan sekitar rongga mulut pasien bagaimana warnanya,
normal atau terlihat hiperemi, adakah pembengkakan berupa bejolan
atau ulkus
 Palpasi : apakah ada tanda-tanda radang, jika ada ukurannya berapa, saat
dipalpasi apakah mudah berdarah/tidak, sakit/tidak, terasa
lunak/halus/berbenjol- benjol, fluktuasinya apakah positif atau negatif

 Jaringan Penyangga atau Gusi


 Inspeksi : Bagaimana warnanya merah muda, merah, atau merah tua?
Adakah pembengkakan?
Bagaimana permukaannya licin, atau kasar?
Apakah terdapat resesi gingiva?
 Palpasi : Permukaan teraba keras atau lunak?
Saat dipalpasi, mudah berdarah/tidak, sakit/tidak
Bila ditekan keluar pus dari sulkus gingiva/tidak
 Probing : Memakai sonde untuk mengetahui kedalaman sulkus gingiva, normal <
2 mm, apakah mudah berdarah atau tidak

 Gigi
 Sondasi : memakai sonde untuk mengetahui kedalaman kerusakan gigi
(karies) serta mengetahui reaksi ketika dilakukan sondasi apakah
sakit/ngilu/tidak terasa
 Perkusi : mengentuk halus dengan handle untuk mengetahui peradangan
telah meluas melewati gigi ke jaringan periodontal, apakah terasa sakit
atau tidak
 Palpasi : untuk mengetahui kelainan jaringan penyangga gigi
 Tekanan : mengetahui kelainan/keradangan apikal dengan reaksi
sakit/tidak
 Tes vitalitas pulpa : Dingin: ethyl chloride, air dingin, dry ice, dll
Panas: gutta-percha, burnisher dipanaskan
Tidak ada reaksi  pulpa non vital
Bereaksi ringan s.d. moderat 1-2 detik : normal
Sakit keras 1-2 detik : pulpitis reversibel
Sakit sangat keras melanjut dan menetap lama bahkan setelah
rangsangan dihilangkan : pulpitis irreversible
 . Mobilitas gigi
mobilitas gigi  terjadi karena proses fisiologis ? Atau patologis ?
Gigi goyang:
Derajat 0 : horisontal < 0,2 mm
Derajat 1 : horisontal 0,2 – 1 mm
Derajat 2 : horisontal 1 – 2 mm
Derajat 3 : horisontal dan vertikal > 2 mm

 Tes Kavitas
Kaviti dipreparasi sampai atap pulpa tanpa asestesi tanpa pendingin air
dengan putaran lambat
Bereaksi  pulpa masih vital
Tidak bereaksi  diteruskan dengan pengambilan atap pulpa  pulpa non
vital

Pemeriksaan Penunjang
Radiografi

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis


ameloblastoma yaitu CT scan dan MRI.

Pemeriksaan Panoramik adalah salah satu foto Rontgen yang digunakan


dalam kedokteran gigi untuk mendapatkan gambaran gigi dan jaringan lunak di
sekitarnya. Pemeriksaan panoramik merupakan pemeriksaan non invasif dan
merupakan prosedur ekstraoral sederhana yang menggambarkan daerah rahang
atas dan rahang bawah pada satu film. Radiografi panoramik merupakan langkah
pertama dalam mendiagnosis ameloblastoma dengan gambaran radiografi yang
bervariasi tergantung tipe tumor, selain itu dapat pula melihat gambaran kavitas
karies yang terbentuk pada gigi pasien.

Pemeriksaan CT disarankan bila pembengkakan keras dan terfiksir ke


jaringan di sekitarnya. Pemeriksaan CT biasanya berguna untuk
mengidentifikasi kontur lesi, isi lesi, dan perluasan ke jaringan lunak yang
membantu penegakan diagnosis. MRI esensial dalam menentukan perluasan
ameloblastoma maksilar/mandibula sehingga menentukan prognosis untuk
pembedahan.
Gambaran radiografi ameloblastoma multikistik yang paling sering
yaitu lesi multilokular, yang sering dides kripsikan sebagai gambaran soap
bubbles bila lesi besar dan gambaran honeycomb bila lesi kecil. Sering didapati
ekspansi oral dan cortical lingual dan resorpsi akar gigi yang berdekatan dengan
tumor. Sedangkan ameloblastoma unikistik tampak sebagai lesi lusen unilokular
berbatas tegas disekeliling corona gigi yang tidak erupsi.

4. Diagnosis dan diferential diagnosis

 Ameloblastoma
Differential diagnosisnya :
Dentigerous cyst
Odontogenic ceratocyst
Odontogenic myxoma
Aneurysmal bone cyst
Fibrous dysplasia
Hard odontoma
Osteosarcoma
Globulomaxillary cyst
 Pulpitis reversible (penyakit pulpa)
Differential diagnosisnya :
Musculoskeletal pain
Neurovascular pain
Neuropathic painPain caused by a distant pathology (cardiovascular, cranial,
throat, neck)
Psychogenic pain
 Resesi gingiva
Differential diagnosisnya : -
5. Tatalaksana Ameloblastoma :

No Lokasi Anatomi Lesi Unikistik Lesi Multikistik/Lesi Padat


.
1. Mandibula anterior Kuretase/enuklease Reseksi marginal
(kuspid-kuspid) Lesi kecil < 3, enuklease dengan
osteotomi perifer
2. Mandibula posterior Kuretase/ osteoktomi perifer Reseksi marginal tanpa defek
(bicuspid-kondilus) kontinuitas (1-2 cm batas
inferior/posterior)
Reseksi segmental dengan defek
kontinuitas -> penipisan batas
inferior/posterior
3. Maksila anterior Maksilektomi parsial Maksilektomi parsial
(kuspid-kuspid)
4. Maksila posterior Maksilektomi total Maksilektomi total
(lempeng pterygoid
bikuspid)

BeberaProsedur operasi yang mungkin digunakan untuk mengobati

ameloblastoma antara lain:

1. Enukleasi

Enukleasi merupakan prosedur yang kurang aman untuk dilakukan. Weder

(1950) pada suatu diskusi menyatakan walaupun popular, kuretase merupakan

prosedur yang paling tidak efisien untuk dilakukan. Enukleasi menyebabkan kasus

rekurensi hampir tidak dapat dielakkan, walaupun sebuah periode laten dari

pengobatan yang berbeda mungkin memberikan hasil yang salah. Kuretase tumor

dapat meninggalkan tulang yang sudah diinvasi oleh sel tumor.5


Teknik enukleasi diawali dengan insisi, flap mukoperiostal dibuka. Kadang-

kadang tulang yang mengelilingi lesi tipis. Jika dinding lesi melekat pada periosteum,

maka harus dipisahkan. Dengan pembukaan yang cukup, lesi biasanya dapat diangkat

dari tulang. Gunakan sisi yang konveks dari kuret dengan tarikan yang lembut. Saraf

dan pembuluh darah biasanya digeser ke samping dan tidak berada pada daerah

operasi. Ujung tulang yang tajam dihaluskan dan daerah ini harus diirigasi dan

diperiksa. Gigi-gigi yang berada di daerah tumor jinak biasanya tidak diperlukan

perawatan khusus. Jika devitalisasi diperlukan, perawatan endodontik sebelum operasi

dapat dilakukan.15
2. Eksisi Blok

Kebanyakan ameloblastoma harus dieksisi daripada dienukleasi. Eksisi sebuah

bagian tulang dengan adanya kontinuitas tulang mungkin direkomendasikan apabila

ameloblastomanya kecil. Insisi dibuat pada mukosa dengan ukuran yang meliputi

semua bagian yang terlibat tumor. Insisi dibuat menjadi flap supaya tulang dapat

direseksi di bawah tepi yang terlibat tumor. Lubang bur ditempatkan pada outline

osteotomi, dengan bur leher panjang Henahan. Osteotom digunakan untuk

melengkapi pemotongan. Sesudah itu, segmen tulang yang terlibat tumor dibuang

dengan tepi yang aman dari tulang yang normal dan tanpa merusak border tulang.

Setelah meletakkan flap

untuk menutup tulang,

dilakukan penjahitan untuk

mempertahankan posisinya.

Dengan demikian eksisi

tidak hanya mengikutkan

tumor saja tetapi juga

sebagian tulang normal

yang mengelilinginya. Gigi

yang terlibat tumor dibuang bersamaan dengan tumor. Gigi yang terlibat tidak

diekstraksi secara terpisah

Gambar 11: Eksisi Blok (Thoma KH, Vanderveen JL. Oral Surgery. 5 th
Ed.Saint ouis;The C.V.Mosby Company,1969:
Hemimandibulektomi

Merupakan pola yang sama dengan eksisi blok yang diperluas yang

mungkin saja melibatkan pembuangan angulus, ramus atau bahkan pada beberapa

kasus dilakukan pembuangan kondilus. Pembuangan bagian anterior mandibula

sampai ke regio simfisis tanpa menyisakan border bawah mandibula akan

mengakibatkan perubahan bentuk wajah yang dinamakan ” Andy Gump

Deformity”.16

Reseksi mandibula dilakukan setelah trakeostomi dan diseksi leher radikal

(bila diperlukan) telah dilakukan. Akses biasanya diperoleh dengan insisi splitting

bibir bawah. 17 Bibir bawah dipisahkan dan sebuah insisi vertikal dibuat sampai ke

dagu. Insisi itu kemudian dibelokkan secara horizontal sekitar ½ inchi dibawah

border bawah mandibula. Kemudian insisi diperluas mengikuti angulus mandibula

sampai mastoid. Setelah akses diperoleh, di dekat foramen mentale mungkin saja

dapat terjadi pendarahan karena adanya neurovascular.

Gambar 12: Pola Insisi pada Hemimandibulektomi (Keith


DA.Atlas of Oral and Maxillofacial
Permukaan dalam mandibula secara perlahan-lahan dibuka dengan

mendiseksi mukosa oral. Dengan menggunakan gigli saw pemotongan dilakukan

secara vertikal di daerah mentum. Hal ini akan memisahkan mandibula secara
vertikal. Mandibula terbebas dari otot yang melekat antara lain muskulus

depressor labii inferior, depressor anguli oris dan platysma. Bagian mandibula

yang akan direseksi dibebaskan dari perlekatannya dari mukosa oral dengan hati-

hati. Setelah itu, komponen rahang yang mengandung massa tumor dieksisi

dengan margin yang cukup.18 Bagian margin dari defek bedah harus dibiopsi

untuk pemeriksaan untuk menentukan apakah reseksi yang dilakukan cukup atau

tidak. Jika bagian itu bebas dari tumor, bagian ramus dan kondilus mandibula

harus dipertahankan untuk digunakan pada rekonstruksi yang akan datang. Ramus

paling baik dipotong secara vertikal. Ketika mandibula disartikulasi, maka ada

resiko pendarahan karena insersi temporalis dan otot pterygoid lateral dipisahkan.

Hal ini dapat dihindari dengan membiarkan kondilus dan prosessus koronoid

berada tetap in situ. Setelah hemimandibulektomi, penutupan luka intraoral

biasanya dilakukan dengan penjahitan langsung.

Gambar 13: Tipe umum dari reseksi mandibula A. Dengan


keterlibatan kondilus B. Tanpa pembuangan kondilus (Keith DA.
Atlas of Oral and Maxillofacial Surgery. Philadelphia; W.B.
Saunders Company, 1992: 244)

3. Hemimaksilektomi

Akses ke maksila biasnya diperoleh dengan insisi Weber Fergusson.

Pemisahan bibir melalui philtrum rim dan pengangkatan pipi dengan insisi
paranasal dan infraorbital menyediakan eksposure yang luas dari wajah dan aspek

lateral dari maksila dan dari ethmoid.

Gambar kiri :Pola Insisi Weber Fergusson (Booth PW, Schendel SA, Hausamen JE.
Maxillofacial Surgery.2ndEd.Missouri;Churhill Livingstone Elsevier, 2007:431)
Gambar kanan : Pemotongan tulang pada subtotal maksilektomi (Booth PW, Schendel
SA, Hausamen JE. Maxillofacial Surgery. 2nd Ed Missouri; Churhill Livingstone
Elsevier, 2007:432)
Setelah diperoleh eksposure yang cukup, dilakukan pemotongan jaringan

lunak dan ekstraksi gigi yang diperlukan. Kemudian dilakukan pemotongan dengan

oscillating saw dari lateral dinding maksila ke infraorbital rim kemudian menuju

kavitas nasal melalui fossa lakrimalis. Dari kavitas nasal dipotong menuju alveolar

ridge. Setelah itu, dilakukan pemotongan pada palatum keras. Kemudian

pemotongan lateral dinding nasal yang menghubungkan lakrimal dipotong ke

nasofaring dengan mengunakan chisel dan gunting Mayo dan kemudian dilakukan

pemotongan posterior. Pembuangan spesimen dan packing kavitas maksilektomi

yang tepat diperlukan untuk mengkontrol pendarahan.10


Setelah hemostasis terjadi, manajemen maksilektomi yang tepat dapat membantu

ahli prostodonsia untuk merehabilitasi pasien. Semua bagian tulang yang tajam

dihaluskan. Prosesus koronoid harus diangkat, karena dekat dengan margin lateral

defek yang akan menyebabkan penutup protesa lepas ketika mulut dibuka. Flap yang

ada pada mukosa dikembalikan menutupi margin medial tulang. Skin graft kemudian

dijahit ke tepi luka, lebih baik hanya lembaran tunggal. Permukaan dibawah flap

pipi, tulang, otot periorbita dan bahkan dura semuanya ditutup. Graft dipertahankan

dengan packing iodoform gauze yang diisi benzoin tincture. Packing yang cukup

digunakan untuk mengisi kembali kontur pipi. Obturator bedah yang sudah dibuat

oleh ahli prostodonsi direline dengan soft denture reliner sehingga dapat mendukung

packing dan menutup defek. Obturator dapat dipasangkan ke gigi-gigi secara fixed

atau tidak, tergantung kondisi individual pasien. Flap pipi kemudian dikembalikan

dan menutup lapisan. 17

4. Rekontruksi pasca bedah

a. Pemakaian protesa obturator

Pemasangan protesa palatal secara imidiate telah menjadi perawatan

standard setelah dilakukan maksilektomi atau palatektomi, kecuali digunakan

rekonstruksi free flap. Cacat bedah dapat memberikan efek samping terhadap

kesehatan fungsional dan psikologis pasien. Tujuan dari rekonstruksi adalah untuk

mengembalikan fungsi bicara, fungsi pencernaan, menyediakan dukungan

terhadap bibir dan pipi dan membangun kembali proyeksi midfacial. 19

Pasien yang menjalani reseksi maksila akan direhabilitasi dalam tiga fase

masng-masing fase memerlukan protesa obturator yang akan mendukung


kesembuhan pasien. Ketiga obturator protesa ini adalah obturator bedah, obturator

interim, dan obturator definitif.

b. Pengunaan plat

Tujuan dari rekonstruksi mandibula adalah membangun kontinuitas

mandibula, membangun osseus alvelolar bases dan koreksi terhadap defek jaringan

lunak. Pada umumnya kehilangan mandibula yang diakibatkan karena proses

patologis akan meninggalkan jaringan lunak yang akan sembuh. Bila dilakukan

mandibulektomi akan menghasilkan defek tulang yang besar dan jaringan lunak.

Defek pada mandibula bagian lateral lebih dapat ditoleransi dan tidak

membutuhkan rekonstruksi. Kebalikannya defek pada anterior mandibula akan

menimbulkan kecacatan fungsional dan kosmetik yang parah. Waktu yang tepat

untuk melakukan rekonstruksi masih diperdebatkan.

Tatalaksana penyakit pulpa

 Pulpitis reversible

Penatalaksanaan seluruh kasus pulpitis adalah pemberian analgetik, perawatan


saluran akar, dan menghilangkan factor penyebab dengan pulpektomi.
Peradangan mereda jika penyebabnya di obati. Jika pulpitis diketahui pada stadium
dini maka penambalan sementara yang megandung obat penenang saraf bisa
menghilangkn nyeri. Tambalan ini bisa dibiarkan sampai 6-8 minggu kemudian
diganti dengan tambalan permanen. Jika terjadi kerusakan pulpa yang luas dan tidak
dapat diperbaiki, satu-satunya cara untuk menghilangkan nyeri adalah dengan
mencabut pulpa, baik melalui pengobatan saluran akar maupun dengan pencabutan
gigi.

 Tatalaksana Resesi Ginggiva

Resesi gingiva dapat dirawat secara bedah maupun non bedah. Tujuan kedua
macam perawatan ter-sebut adalah menghilangkan keluhan penderita, baik secara
estetik, fungsi maupun bila ada keluhan rasa sakitnya. Perawatan non bedah untuk
mengatasi masalah estetis dapat dilakukan dengan memberi tumpatan sewarna dengan
gingiva pada area akar yang terbuka maupun memberi gingiva tiruan yang
diaplikasikan pada area resesi.Sedangkan untuk mengatasi masalah hipersensitivitas
dentin dapat dilakukan pengulasan bahan desensitisasi, misalnya: fluoride,
chloride, potassium nitrat, atau dapat pula dengan bahan varnish maupun komposit
untuk melapisi akar yang terbuka.
Perawatan resesi gingiva secara bedah meliputi berbagai teknik bedah
mukogingiva antara lain: coronally positioned flap, laterally positioned flap,
semilunar coronally positioned flap, modified semilunar coronally positioned
flap, free gingival graft, connective tissue graft. Bahan graft yang di-gunakan dapat
berasal dari individu yang sama maupun diperoleh dari tissue bank yang telah
tersedia.

5. Prosedur rujukan

Tugas faskes tingkat pertama


1. Menyelenggarakan kesehatan dasar masyarakat melalui pelayanan kesehatan dasar
bersarkan kompetensi & kewenangannya.
2. Mengatur pelayanan kesehatan lanjutan melalui sistem rujukan.
3. Penasehat, konselor, dan pendidik untuk mewujudkan keluarga sehat.
4. Manajer sumber daya

Fungsi faskes tingkat pertama

1. Kontak pertama pasien


2. Penapis rujukan
3. Kendali mutu dan biaya

Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Kesehatan

Definisi Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan


pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan
kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib
dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan
seluruh fasilitas kesehatan.

Ketentuan Umum

Berdasarkan panduan praktis Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Kesehatan,


ketentuan umum dari sistem rujukan berjenjang adalah:

1) Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:


Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
2) Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang
diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang
dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik
yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang
menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.
5) Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
6) Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem rujukan
dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur
sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.
7) Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS Kesehatan
akan melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas kesehatan tersebut dan dapat
berdampak pada kelanjutan kerjasama
8) Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
9) Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan
yang sifatnya sementara atau menetap.
10) Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang
berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
11) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan
yang lebih tinggi dilakukan apabila:
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan.
12) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan
yang lebih rendah dilakukan apabila :
a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam
menangani pasien tersebut;
c. pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan
pelayanan jangka panjang; dan/atau
d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.

Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang

Berdasarkan panduan praktis Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Kesehatan, tata cara
pelaksanaan sistem rujukan berjenjang adalah:
1) Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan
medis, yaitu:
a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan
tingkat pertama
b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk
ke fasilitas kesehatan tingkat kedua
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan
atas rujukan dari faskes primer.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
2) Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier
hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya,
merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
3) Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
a. terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang
berlaku
b. bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah
Daerah
c. kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan
rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan
d. pertimbangan geografis; dan
e. pertimbangan ketersediaan fasilitas
4) Pelayanan oleh bidan dan perawat
a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan
tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi
pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat
dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi
dokter dan/atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama
5) Rujukan Parsial
a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan
kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang
merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut
b. Rujukan parsial dapat berupa:
1) pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan
2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien
dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk
DAFTAR PUSTAKA
 Jain, Sanjeev dkk. 2017. Classification systems of gingival recession: An update.
Punjab, India : Department of Periodontology, Guru Nanak Dev Dental College and
Research Institute
 Chung W, Cox D, Ochs M. Odontogenic cysts,tumors, and related jaw lesions. Head
and neck surgery—otolaryngology, 4th edn Lippincott Williams & Wilkins Inc,
Philadelphia. 2006;p. 1570–1584.

 Gumgum S, Hosgoren B. Clinical and radiologic behaviour of ameloblastoma in 4


cases. Journal-Canadian Dental Association. 2005;71(7):481.
 Burns EA, Korn K, Whyte J, Thomas J, Monaghan T. Oxford American Handbook of
Clinical Examination and Practical Skills. New York: Oxford University Press; 2011.
 Tagtekin D, Yanikoglu F, Ozyoney G, Noyan N, Hayran O. Clinical Evaluation of a
gingiva-coloured material, Comp Natur: A 3-year longitudinal study. The Chinese J
Dent Res 2011; 14(1): 59-66.
 Krismariono A. Artificial gingiva as alternative treatment for gingival recession.
Periodontic J 2009; 1(1): 1-12.
 Krismariono A, Wibisono PA. Perawatan resesi gingiva dengan modifikasi
teknik semilunar. J Kedokteran Gigi Indonesia 2002; edisi khusus: 1-4.
 Sedon CL, Breault LG, Covington LL, Bishop BG. The subephitelial connective
tissue graft: Part I. Patient selection and surgical techniques. J Contemp Dent Pract
2005; 6 (1): 146-62.
 Remya V, Kumar KK, Sudharsan S, Arun KV. Free gingival graft in the treatment of
class III gingival recession. Indian J Dent Res 2008; 19 (3): 247-52.
 Chrysanthakopoulos NA. Occurrence, extension and severity of the gingival
recession in a Greek adult population sample. J Periodontol Implant Dent 2010; 2(1):
37-42.
 Bartold PM. Dentinal hypersensitivity: a review. Australian Dent J 2006; 51(3):
212-8.

Anda mungkin juga menyukai