Untuk memenangkan
perang, Jepang memanfaatkan Indonesia yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Jepang memberlakukan ekonomi perang di Indonesia. Apa itu ekonomi perang? Ekonomi perang
adalah kebijakan mengerahkan semua kekuatan ekonomi untuk menopang keperluan perang. Baca
juga: Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira? Dikutip dari Masa
Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), di awal kedatangannya, Jepang memberlakukan ekonomi
self help atau berusaha untuk memenuhi sendiri kebutuhan pemerintahan Jepang di Indonesia.
Jepang berusaha memperbaiki ekonomi Indonesia yang hancur. Ketika Jepang berusaha merebut
Indonesia dari Belanda, Belanda memilih membumihanguskan obyek-obyek vital. Ini dimaksudkan
agar Jepang kesulitan mengambil alih Indonesia. Setelah berhasil merebut Indonesia dari Belanda,
Jepang terpaksa memperbaiki sarana-sarana yang rusak. Sarana-sarana itu meliputi transportasi,
telekomunikasi, dan bangunan-bangunan publik. Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar
Belakang dan Posisi Jepang Pengendalian perkebunan Khusus perekebunan, dikeluarkan Undang-
undang No 322/1942 yang menyatakan bahwa Gunseikan (kepala militer) langsung mengawasi
perkebunan kopi, kina, karet, dan teh. Pengawasan diserahkan kepada Saibai Kigyo Kanrikodan
(SKK), badan pengawas yang dibentuk gunseikan. SKK juga bertindak sebagai pelaksana
pembelian dan penentuan harga jual hasil perkebunan. Bagi Jepang, hanya sedikit komoditas yang
bisa berguna menunjang perang. Kopi, teh, dan tembakau diklasifikasikan sebagai para yang
kurang berguna bagi perang. Sehingga, perkebunan ini diganti dengan komoditas penghasil bahan
makanan atau jarak yang bisa diolah sebagai pelumas. Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja
Paksa Zaman Penjajahan Komoditas yang dipaksa Jepang untuk ditanam yakni karet, kina, gula,
dan beras. Di Jawa Timur, hampir seluruh pegawai di perkebunan di kareta diwajibkan bekerja.
Akan tetapi di Kalimantan, hasil karet berlebih sebab pengangkutannya sulit. Sementara gula,
pabriknya sebagian besar dibumihanguskan Belanda ketika Jepang datang untuk merebutnya.
Sebagian di antaranya berhasil diperbaiki. Namun dalam perbaikan, Jepang kekurangan tenaga
ahli. Jepang terpaksa masih menggunakan orang Belanda. Dari 85 pabrik gula di Jawa, sebanyak
13 berhasil diperbaiki. Ketika persediaan gula berlebih di Jawa, Jepang kemudian melarang
penanaman tebu dan gula. Pabrik gula diubah menjadi pabrik senjata. Baca juga: Dampak
Pendudukan Jepang di Indonesia Sementara beras yang kekurangan persediaannya, oleh Jepang
diusahakan untuk ditanam di lahan-lahan baru. Rakyat diminta menghancurkan tanaman kopi dan
teh. Para tawanan dipaksa bekerja menanam padi. Hanya Jepang yang bisa mengatur produksi,
pungutan, penyaluran, dan penetapan harga padi. Penggiling dan pedagang padi juga tidak boleh
beroperasi sendiri, melainkan harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan. Para petani harus
menjual hasil produksi padunya sesuai kuota dan harga yang ditentukan. Petani berhak 40 persen
atas keseluruhan hasil padi. Mereka tak bisa menikmati jerih payahnya sebagai petani. Baca juga:
Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira? Sementara 30 persen disetor ke
pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk Jepang. Sisa 30 persennya untuk persiapan
bibit dan disetor ke lumbung desa. Rakyat pun menderita akibat peraturan ini. Akibat lainnya, hutan-
hutan rusak akibat penebangan liar. Jepang berusaha memperbaiki pertanian dengan menggelar
pelatihan. Sayangnya, pelatihnya bukanlah ahli pertanian. Pesertanya pun hanya mendapat
pelatihan singkat. Akibatnya produksi pangan terus menurun. Turunnya produksi pangan juga
diperparah dengan musim kemarau panjang pada 1944. Baca juga: Organisasi Sosial
Kemasyarakatan Bentukan Jepang Industri merosot Selain masalah pangan, sandang atau pakaian
bahkan menjadi masalah. Banyak rakyat yang tak mempunyai pakaian yang layak. Sebelumnya,
urusan sandang sangat bergantung pada impor dari Belanda. Untuk mengatasi kekurangan
sandang, Jepang memaksa petani menanam kapas dan membuka usaha konveksi. Rakyat dilantuh
untuk memintal bahan-bahan yang mengandung serat kapuk randu. Namun tetap saja, industri
tekstil tak bisa dihidupkan kembali. Sebab suplainya, yakni tanaman kapas, berkurang. Baca juga:
Jawa Hokokai, Organisasi Pergerakan pada Masa Pendudukan Jepang Bahkan pada April 1944
sempat diadakan Pekan Pengumpulkan Pakaian untuk Rakyat Jelata. Sebab saat itu banyak rakyat
yang hanya memakai karung hingga lembaran karet mentah. Industri lain, oleh Jepang dibagi
menjadi dua. Pertama, industri yang berguna langsung untuk perang seperti pabrik mesin, paku,
kawat, dan baja pelapis granat. Kendati demikian, industri itu sulit dijalankan sebab kekurangan
suku cadang. Sementara golongan kedua adalah barang-barang yang menyangkut kebutuhan
rakyat. Dalam bidang transportasi, Jepang merasa kekurangan kapal. Oleh karena itu Jepang
mengembangkan industri kapal angkut dari kayu. Baca juga: Gerakan Tiga A dan Propaganda
Jepang Bank dan keuangan Kendati sangat anti-Belanda, Jepang tetap memepergunakan mata
uang gulden di Indonesia. Tujuannya, agar harga barang tetap stabil. Beberapa bank milik Belanda
dilikuidasi dan diganti dengan bank-bank Jepang yakni Yokohama Ginko, Mitsui Ginko, dan Kana
Ginko. Bank-bank ini berada di bawah pengawasan Nanpo Keihatsu Kenso (Perbendaharaan untuk
Kemajuaan Wilayah Selatan). Salah satu bank, yakni Nanpo Kaihatsu Ginko, melanjutkan tugas
tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money. Baca juga: Pemerintahan Sipil
Jepang di Indonesia Invasion money dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi. Mulai dari satu
hingga sepuluh gulden. Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang. Jepang juga menarik
pajak yang tinggi bagi keturunan Eropa dan Tionghoa. Kenaikannya mencapai 70 hingga 35 kali
lipat dari pajak semasa era kolonial Hindia Belanda.
--------------------------------------
Pola ekonomi perang yang dilancarakan oleh Tokyo dilaksanakan secara konsekuen
dalam wilayah yang diduduki oleh angkatan perangnya. Setiap lingkungan daerah harus
melaksanakan autarki (berdiri di atas kaki sendiri), yang disesuaikan dengan situasi
perang. Jawa dibagi atas 17 lingkungan autarki, Sumatra atas 3 lingkungan dan daerah
Minseifu (daerah yang diperintah Angkatan Laut Jepang) dibagi atas 3 lingkungan
autarki. Karena dengan sistem desentralisasi maka Jawa merupakan bagian daripada
“Lingkungan
Seluruh kekayaan alam Indonesia dimanfaatkan Jepang untuk biaya perang. Bahan
makanan dihimpun dari rakyat untuk persediaan prajurit Jepang seharihari, bahkan
juga untuk keperluan perang jangka panjang. Beberapa tindakan Jepang dalam
memeras sumber daya alam dengan cara-cara berikut ini :
1. Petani wajib menyetorkan hasil panen berupa padi dan jagung untuk keperluan
konsumsi militer Jepang. Hal ini mengakibatkan rakyat menderita kelaparan.
2. Penebangan hutan secara besar-besaran untuk keperluan industri alat-alat
perang, misalnya kayu jati untuk membuat tangkai senjata. Pemusnahan hutan
ini mengakibatkan banjir dan erosi yang sangat merugikan para petani. Di
samping itu erosi dapat mengurangi kesuburan tanah.
3. Perkebunan-perkebunan yang tidak ada kaitannya dengan keperluan perang
dimusnahkan, misalnya perkebunan tembakau di Sumatera. Selanjutnya petani
diwajibkan menanam pohon jarak karena biji jarak dijadikan minyak pelumas
mesin pesawat terbang. Akibatnya petani kehilangan lahan pertanian dan
kehilangan waktu mengerjakan sawah. Sedangkan untuk perkebunan-
perkebunan kina, tebu, dan karet tidak dimusnahkan karena tanaman ini
bermanfaat untuk kepentingan perang.
4. Penyerahan ternak sapi, kerbau dan lain-lain bagi pemilik ternak. Kemudian
ternak dipotong secara besar-besaran untuk keperluan konsumsi tentara Jepang.
Hal ini mengakibatkan hewan-hewan berkurang padahal diperlukan untuk
pertanian, yakni untuk membajak. Dengan dua tugas inilah maka serta kekayaan
pulau Jawa menjadi korban dari sistem ekonomi perang pemerintah
pendudukan Jepang.
Cara yang ditempuh untuk pengerahan tenaga Romusha ini dengan bujukan, tetapi
apabila tidak berhasil dengan cara paksa. Untuk menarik simpati penduduk, Jepang
mengatakan bahwa Romusha adalah pahlawan pekerja yang dihormati atau prajurit
ekonomi. Mereka digambarkan sebagai orang yang sedang menunaikan tugas sucinya
untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Sedangkan panitia pengerah Romusha
disebut Romukyokai. Di samping rakyat, bagi para pamong praja dan pegawai rendahan
juga melakukan kerja bakti sukarela yang disebut Kinrohoshi. Pemimpin-pemimpin
Indonesia membantu pemerintah Jepang dalam kegiatan Romusha ini. Bung Karno
memberi contoh berkinrohonsi (kerja bakti), Bung Hatta memimpin Badan Pembantu
Prajurit Pekerja atau Romusha. Ali Sastroamijoyo, S.H. mempelopori pembaktian
barang-barang perhiasan rakyat untuk membantu biaya perang Jepang.
C. Kebijakan Pertanian
Bagi pasukan perang Jepang di Indonesia, produksi bahan makanan menjadi prioritas utama.
Maka dari itu, dikeluarkanlah kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan bidang pertanian.
November 1943, Jepang membuat suatu Program yang bernama Kinkyu Shokuryo Taisaku. Pada
program tersebut, para petani dikenalkan macam-macam benih padi yang baru, cara penananam
padi yang inovatif, peningkatan infra struktur pertanian, ekspansi lahan pertanian dan pelatihan
para petani.
Namun, program tersebut tidak berhasil. Berikut adalah faktor-faktor yang menggagalkan
program Kinkyu Shokuryo Taisaku:
1. Keadaan ekonomi perang membuat investasi pemerintah tidak berjalan lancar, investasi tersebut
diperlukan demi kelancaran program pertanian itu.
2. Keadaan perekonomian petani tidak mendukung adanya pengadaan kebutuhan sendiri dalam
melaksanakan kehendak pemerintah.
3. Tidak adanya pasar dan pengerahan tenaga kerja bagi kebutuhan perang. Petani belum terbiasa
dengan bibit padi dan teknik penanaman yang baru.
Jepang menjadikan Pulau Jawa sebagai daerah pemasok kebutuhan beras di wilayah Asia
Tengara. Selain Jawa, ada beberapa wilayah yang menjadi Pemasok Beras, diantaranya adalah
Siam (Thailand), Birma (Myanmar) dan Indochina (Lao, Kamboja dan Vietnam). Maka dari itu,
Jepang membentuk divisi-divisi pengendalian penyediaan beras. Berikut adalah nama-nama dari
Divis tersebut: Beikloku Tosei Kai atau Persatuan Kontrol Beras.Shokurya Kanri Zimusho atau
Kantor Pengelolaan Makanan.Shokurya Kanri Kyoku atau Biro Pengelolaan Pangan.
Jepang memerintahkan agar Pasar Bebas Beras diilegalkan di Indonesia dan menghendaki
para Petani untuk menyerahkan sebagian dari hasil panennya kepada Jepang. Jumlah penyerahan
hasil panen tersebut ditentukan oleh tiap-tiap kepala daerah, disesuaikan dengan kemampuan
produksinya.
D. Dampak dari Kebijakan
Dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dibahas di sub-bab sebelumnya, Dampak dari
kebijakan ekonomi yang dibuat Jepang bisa dicari atau didapatkan dengan Common
sense. Intinya, kebijakan tersebut mengentungkan bagi Jepang dan sebaliknya bagi Masyarakat
Pribumi, kebijakan tersebut justru merugikan.
Kerugian yang dialami oleh masyarakat pribumi diantaranya adalah bencana kelaparan akbat
dari kebijakan wajib serah hasil panen beras kepada Jepang. Bukan hanya itu, kebijakan tersebut
juga memunculkan gizi rendah dan wabah penyakit.dikarenakan beras sulit untuk didapatkan,
masyarakat Pribumi terpaksa mengonsumsi Umbi-umbian untuk bertahan Hidup.
Bagi Jepang, Khususnya pasukan militer Jepang, kebijakan tersebut mendatangkan untung.
Berkat kebijakan wajib serah hasil panen, kebutuhan pangan para tentara jepang menjadi
terjamin. Jepang mendapatkan pasokan senjata dan Logistik untuk berperang melawan Pasukan
Sekutu di Asia