Wiryanto-Materi-Seminar-Petra-4-Juli-2014 PDF
Wiryanto-Materi-Seminar-Petra-4-Juli-2014 PDF
REKAYASA KOMPUTER
dalam ANALISIS dan DESAIN
STRUKTUR BAJA
Studi Kasus Direct Analysis Method (AISC 2010)
WIRYANTO DEWOBROTO
Universitas Pelita Harapan
1. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
2. ANALISIS RESPON STRUKTUR........................................................................ 2
2.1 Umum ............................................................................................................. 2
2.2 Analisis Elastik-Linier (First Order Elastic Analysis) ................................... 2
2.3 Analisis Tekuk Elastik (Elastic Buckling Analysis)........................................ 3
2.4 Analisis Elastis Orde ke-2 (Second Order Elastic Analysis) .......................... 4
2.5 Analisis Plastis (First Order Plastic Mechanism Analysis)............................ 6
2.6 Analisis Elastis-Plastis (First Order Elastic-Plastic Analysis)....................... 8
2.7 Analisis Inelastis Orde ke-2 (Second Order Inelastic Analysis).................... 9
2.8 Rangkuman analisis struktur........................................................................... 9
3. TEORI KOLOM DAN APLIKASINYA.............................................................. 10
3.1 Umum ........................................................................................................... 10
3.2 Sejarah Penelitian Tentang Kolom ............................................................... 10
3.3 Parameter Penentu Kekuatan Kolom ............................................................ 16
3.4 Implementasi Teori pada Perencanaan Kolom (AISC-LRFD).................... 20
4. PANJANG EFEKTIF KOLOM............................................................................ 22
4.1 Umum ........................................................................................................... 22
4.2 Sistem Rangka Tidak Bergoyang.................................................................. 23
4.3 Sistem Rangka Bergoyang............................................................................ 25
5. DIRECT ANALYSIS METHOD - AISC (2010) ................................................. 29
5.1 Pendahuluan.................................................................................................. 29
5.2 Perancangan Stabilitas .................................................................................. 29
5.3 Parameter penentu stabilitas struktur baja .................................................... 30
5.4 Persyaratan analisis struktur ......................................................................... 30
5.5 Pengaruh cacat bawaan (initial imperfection)............................................... 31
5.6 Penyesuaian kekakuan .................................................................................. 32
5.7 Perbandingan kerja ELM dan DAM ............................................................. 33
5.8 Beban notional dan pelemahan inelastis ....................................................... 33
5.9 Kuat nominal penampang ............................................................................. 33
5.10 Ketersediaan program analisa struktur orde-2 .............................................. 33
5.11 Studi kasus perancangan struktur baja - DAM (2010).................................. 36
6. TABEL PERBANDINGAN : DAM & ELM ....................................................... 40
7. KESIMPULAN..................................................................................................... 40
8. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41
Rekayasa Komputer dalam Analisis dan Desain Struktur Baja
Studi Kasus Direct Analysis Method (AISC 2010)1
Bagian I : Latar belakang teori
Wiryanto Dewobroto
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan
email : wiryanto.dewobroto@uph.edu
ABSTRAK
Meskipun draft SNI Baja (Puskim 2011) yang mengacu AISC (2010) belum diresmikan, tetapi
minimal dapat diketahui kalau acuan keilmuan struktur baja Indonesia adalah American Code.
AISC (2010) sendiri memuat dua cara perencanaan, yaitu [1] Effective Length Method (ELM),
cara lama untuk dijadikan alternatif; dan [2] Direct Analysis Method (DAM), cara baru berbasis
komputer yang diunggulkan. Makalah ini akan mengupas secara mendalam : mengapa DAM,
dan apa keunggulannya dibanding ELM. Agar efektif, tulisan akan dibagi menjadi dua bagian,
yaitu : [1] Latar belakang teori; [2] Contoh aplikasi praktis.
Kata kunci: Direct Analysis Method, Effective Length Method, LRFD
1. PENDAHULUAN
Perkembangan code atau peraturan perencanaan struktur baja di Indonesia relatif stagnan. Saat ini
code yang resmi digunakan adalah SNI 03 - 1729 – 2002, yang mengacu pada AISC code dari Amerika.
Padahal sejak 2002 sampai sekarang, AISC code sendiri telah diperbaharui, yaitu versi 2005 dan 2010.
Untuk antisipasi, team Puslitbang Pemukiman di Bandung telah membuat draft SNI baja (Puskim
2011), yang disusun sepenuhnya berdasarkan AISC code versi 2010, terbaru. Hanya sayang, meskipun
tahun telah berganti, hingga saat ini belum terlihat bahwa draft telah diresmikan penggunaannya.
Belum adanya code baja terbaru yang resmi, tidak bisa dijadikan alasan bagi engineer juga untuk ikut
stagnan. Adalah kewajiban engineer untuk terus mengembangkan kompetensinya sehingga dapat ber-
kiprah menghasilkan karya rekayasa yang kreatif, inovatif, dapat dipertanggung-jawabkan dan mampu
bersaing dengan engineer dari manca negara. Maklum transparasi di era globalisasi ini akan terus
mendorong terciptanya pasar terbuka di berbagai bidang, termasuk juga sektor jasa konstruksi.
Terkait dengan pengembangan kompetensi engineer, khususnya di bidang rekayasa konstruksi baja,
maka adanya draft SNI baja (Puskim 2011) yang disusun oleh team Puslitbang Pemukiman, Bandung,
dapat menjadi petunjuk bahwa kedepannya peraturan perencanaan yang akan digunakan di Indonesia
adalah LRFD yang mengacu AISC (2010). Jadi kalau sekarang sudah dapat dimulai penguasaan materi
tersebut, maka kedepannya tentu akan lebih siap menghadapi tantangan-tantangan yang timbul.
Materi pada AISC (2010) jika dipelajari ternyata berubah secara mendasar. Jika code sebelumnya
(AISC 2005 dan sebelumnya), strategi perencanaannya didasarkan pada prosedur perhitungan yang
dapat diselesaikan manual (kalkulator). Kalaupun pakai komputer, hanya ditujukan untuk otomatisasi
atau kecepatan hitungan. Memang, cara perencanaan lama, tetap diakui dan dimuat di Appendix 7
(AISC 2010). Tetapi itu hanya ditujukan untuk cara perencanaan alternatif saja. Untuk membedakan
dengan cara baru, AISC (2010) memberinya nama Effective Length Method (ELM). Jadi ELM merujuk
pada cara perencanaan struktur baja yang dimuat pada AISC (2005) dan versi-versi sebelumnya.
1
Seminar dan Lokakarya Rekayasa Struktur, Jumat 4 Juli 2014, Ruang W 304, Gd. Radius Prawiro, Universitas Kristen Petra,
Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya - 60236
Rangka bergoyang (framed sideways) adalah rangka dimana titik-titik nodal penghubung mengalami
translasi akibat pembebanannya, baik lateral maupun vertikal. Ini akan terjadi jika struktur atau
pembebanannya tidak simetri, juga akibat tidak tersedianya sistem penahan lateral yang khusus. Efek
P-delta yang terjadi adalah akibat adanya perpindahan pada titik nodal, dalam hal ini disebut sebagai
P-Δ (lihat Gambar 1b). Analisis tekuk elastis sudah tidak cocok jika dipakai pada jenis struktur ini.
Untuk struktur rangka tidak bergoyang (braced framed), titik nodal penghubung tidak mengalami
translasi, sehingga δ hanya akan terjadi pada elemen batang, tanpa mempengaruhi sistem struktur
secara keseluruhan. Itulah alasannya, mengapa efek P-δ bersifat lokal dan terjadi jika elemennya
langsing atau terlalu lentur. Tekuk yang diakibatkan oleh efek P-δ dapat diprediksi secara baik dengan
analisis tekuk elastis, yang relatif lebih sederhana dan tidak memerlukan iterasi. Keuntungan jika
digunakan analisis elastik order ke-2 adalah dapat dilacak perilaku struktur sebelum mengalami tekuk.
Tentu saja ini hanya cocok untuk struktur langsing dimana kondisi tegangannya masih elastis murni.
Pada struktur rangka bergoyang (framed sideways), titik nodal penghubung mengalami perpindahan
sebesar Δ dari kondisi asli, karena titik nodal tersebut juga terhubung pada elemen-elemen struktur
yang lainnya, maka efek P-Δ juga mempengaruhi sistem struktur secara keseluruhan, sifatnya global.
Kemampuan memprediksi efek P-Δ di tingkat struktur menyeluruh (global), tidak per elemen dapat
dikerjakan DAM (AISC 2010). Sedangkan cara lama, yaitu ELM (AISC 2010) memperhitungkannya
dengan cara pendekatan melalui faktor pembesaran momen B1 dan B2 di Chapter C - AISC (2005).
Gambar 2. Hubungan momen dan kurvature pada penampang baja profil WF (Beedle 1958)
Selama terbentuknya penampang plastis, bagian tersebut dapat berperilaku seakan-akan seperti sendi,
dapat berotasi pada kondisi momen konstan. Untuk profil WF perlu sekitar 12 фy atau berkali-lipat
dari kurvature penampang saat leleh. Untuk itu, penampang plastis disebut juga sendi plastis.
Tidak setiap penampang struktur dapat terbentuk menjadi sendi plastis, karena tekuk lokal bisa saja
terjadi terlebih dahulu. Untuk balok baja maka sendi plastis hanya terjadi pada penampang kompak
dan yang pertambatan lateralnya mencukupi. Ketika sendi plastis terbentuk, pengaruhnya tergantung
kondisi struktur. Jika struktur statis tertentu (simple beam), maka terbentuknya sendi plastis akan
langsung menyebabkan mechanism, yaitu terjadinya deformasi yang besar tanpa ada penambahan
beban. Besarnya beban yang menyebabkan mechanism terbentuk disebut sebagai beban batas atau
ultimate, suatu kondisi yang mengindikasikan bahwa pembebanan maksimum telah tercapai dan tidak
bisa ditambahkan lagi, karena kalau dipaksa maka akan runtuh.
Jika baloknya menerus atau struktur statis tak tentu, dengan cara yang sama maka pada bagian yang
mengalami momen maksimum akhirnya juga akan mengalami sendi plastis. Meskipun demikian hal
itu tidak serta menyebabkan kondisi mechanism. Karena ketika beban ditambahkan, struktur masih
mampu menerima tambahan beban tanpa memperlihatkan terjadinya deformasi yang besar. Adanya
penambahan beban akan didistribusikan ke bagian elemen lain yang belum mengalami leleh. Jika
beban terus ditambahkan, kondisinya menjadi berulang seperti sebelumnya (Gambar 2) dan akhirnya
sendi plastis yang baru akan terbentuk. Setelah cukup banyak sendi plastis yang terbentuk maka pada
akhirnya struktur akan mengalami kondisi mechanism juga dan akhirnya runtuh.
Perilaku struktur yang dibebani sampai kondisi mechanism dapat dicari dengan analisis plastis. Tujuan
utamanya adalah memprediksi besarnya beban maksimum yang menyebabkan keruntuhan struktur
dengan mempertimbangkan adanya redistribusi momen akibat terbentuknya sendi plastis.
Untuk struktur dengan konfigurasi beban kompleks, beban maksimumnya dapat diperoleh secara
tidak langsung berdasarkan besarnya faktor pengali beban dari hasil analisis plastis setelah meninjau
berbagai kondisi mechanism yang terjadi, nilai beban terkecil itu yang menentukan.
Untuk mempelajari bagaimana analisis plastis, akan ditinjau sistem balok menerus dua bentang tidak
simetri. Bentang kiri (1-2-3) : panjang 0.75L, beban P (di tengah), kapasitas Mp ; adapun bentang
kanan (3-4-5) : panjang L, beban 2P (di 1/3 bentang) dan kapasitas 1.5Mp (lihat Gambar 3).
Gambar 3. Analisis plastis pada balok menerus tidak simetri (Beedle 1958)
Untuk balok menerus atau struktur yang sejenis, kondisi mechanism akan terjadi jika terdapat tiga titik
sendi. Untuk struktur jenis lain, bisa saja lebih atau kurang, misalnya kantilever cukup terbentuk satu
sendi-plastis saja maka mechanism langsung terjadi. Pada kasus di atas maka ada dua mechanism yang
perlu dievaluasi. Mechanism dengan beban terkecil adalah yang menentukan, sebagai berikut :
Mechanism 1 :
P × 83 θL = M p × 2θ + M p × θ Ö PU = 8M p L
Beban Rotasi Rotasi
di − 2 Penurunan Momen di −2 Momen di −3
vertikal Plastis Plastis
di −2 di −2 di −3
Mechanism 2 :
2P × 38 θL = M p × θ + 32 M p × 32 θ + 32 M p × 12 θ Ö PU = 6M p L <<govern>>
Beban Rotasi
di − 4 Penurunan Momen di −3 Momen Rotasi Momen Rotasi
vertikal Plastis Plastis di −4 Plastis di − 4
di − 4 di −3 di − 4 di −5
Mechanism 2 dengan beban terkecil akan menentukan kekuatan balok. Ketika itu terjadi bagian lain-
nya masih dalam kondisi elastis sebagaimana terlihat pada bending momen diagram pada Gambar 3.c.
Note : analisis plastis sangat membantu memahami apa itu “redistribusi momen” dan “daktilitas”
pada struktur, karena hal itu di luar kemampuan analisis struktur elastis-linier yang biasa dijumpai.
Meskipun konfigurasi bebannya konstan, tetapi dengan load-factor dapat dilakukan simulasi tahapan
beban, mulai dari elastis, plastis (terjadinya sendi-plastis) sampai mechanism terjadi. Adanya evaluasi
setiap tahapan beban maka dapat disusun kurva perilaku (Gambar 4b) sehingga dapat diketahui kapan
bersifat elastis dan kapan mulai terjadinya plastifikasi. Dari perilakunya itu pula diketahui apakah
struktur ketika dibebani mendekati kondisi batas, bersifat daktail atau getas (harus dihindari). Selain
itu urut-urutan terjadinya sendi-plastis yang terbentuk dapat dilacak (Gambar 4c) sehingga diketahui
bagian yang lemah dibanding bagian lain sehingga dapat dilakukan modifikasi agar perilaku struktur
menjadi lebih baik (daktail) atau terjadinya peningkatan kinerja.
Analisis push-over adalah versi ringan dari analisis nonlinier material dengan FEM, dimana sendi
plastis dihasilkan dengan menempatkan "hinge" pada batang (CSI 2011). Risikonya, jika penempatan-
nya salah, tentu hasilnya juga salah. Cara tersebut menyebabkan proses dan cara mengoperasikannya
menjadi lebih mudah, sehingga menjadi populer. Fitur push-over sendiri sudah tersedia pada program
SAP2000 versi 7.4 (release tahun 2000), tentunya ada juga di program lainnya (GTStrudl, Midas, dll).
Gambar 5. Hubungan perilaku struktur dan cara analisis yang digunakan (Geshwindner 2002).
Mempelajari perilaku model struktur (kurva beban-perpindahan) untuk berbagai kondisi beban
memakai berbagai cara analisis, terlihat bahwa kurva yang mendekati perilaku keruntuhan struktur
yang real adalah hasil dari “Advance Analysis”. Itu menunjukkan bahwa semakin realistis hasilnya
memerlukan cara analisis yang semakin kompleks. Selain itu juga diketahui, struktur dengan
π 2EI
Pcr = ...............................................................................................................................................(4)
L2
dimana E adalah modulus elastis, I adalah momen inersia arah terjadinya tekuk, dan L adalah panjang
kolom. Kecuali dalam format beban, bisa juga format tegangan kritis, dimana σcr = Pcr /A sehingga:
π 2E
σcr = .............................................................................................................................................(5)
(L r )2
Jika kondisi tumpuan bukan sendi-sendi, beban atau tegangan kritisnya dapat didekati sebagai berikut.
π 2EI π 2E
Pcr = atau σcr = ................................................................................................(6)
(KL)2 (KL r )2
Untuk kolom yang tertambat (kolom tidak bergoyang), yaitu yang ujung-ujungnya tidak mengalami
perpindahan, maka pendekatan dengan cara “panjang efektif” cukup akurat, tergantung kondisi tum-
puannya, maka nilai K = 0.5 ~ 1.0. Sedangkan untuk kolom yang bergoyang (sway) maka nilai K ≥ 1.
Untuk akurasi perlu mempertimbakan struktur secara keseluruhan, hanya jika kolomnya tunggal dan
bergoyang (kantilever) maka nilainya cukup akurat, yaitu K = 2.
Interprestasi fisik yang dimaksud dengan Pcr atau σcr pada kondisi elastis adalah bahwa pada beban
atau tegangan kritis, kolom akan mulai mengalami deformasi lateral. Sebelum itu tercapai, kolom tetap
dalam kondisi lurus sempurna. Kondisi yang seperti itu disebut kondisi bifurcation, sebagaimana
terlihat pada Gambar 7 dan dibandingkan dengan berbagai kurva tekuk struktur real yang dijumpai.
Gambar 8. Penyusunan kurva tekuk kolom teori Tangent Modulus (Galambos-Surovek 2008)
Engesser (1889) dalam mencari Pcr atau σcr , pada kolom dengan kelangsingan yang menyebabkan
tekuk inelastis, menganggap penampang kolomnya homogen dan berperilaku seperti kurva σ-ε pada
Gambar 8a. Untuk kolom seperti itu, maka kondisi bifurcation akan terjadi mengikuti persamaan :
π 2E t
σcr = .............................................................................................................................................(7)
(L r )2
dimana Et adalah modulus tangent atau kemiringan dσ/dε dari kurva σ-ε pada kondisi σcr. Beban yang
berkorelasi dengan itu adalah beban kritis Tangent Modulus yang diperoleh dari persamaan :
π 2Et I
PT = ..............................................................................................................................................(8)
L2
Pada persamaan di atas, tegangannya tidak bisa dihitung langsung, karena Et merupakan fungsi dari
tegangan itu sendiri, untuk menghitungnya perlu dikerjakan memutar sebagai berikut.
⎛ L⎞ E
⎜ ⎟ = π t ........................................................................................................................................(9)
⎝ r ⎠ cr σ
Untuk memakai secara analitis akan kompleks, maka dibuat grafik bantu, yaitu kurva σcr – (L/r) atau
kurva tegangan kritis terhadap kelangsingan kolom (Gambar 8c). Untuk itu perlu dibuat dahulu kurva
σ-ε dari uji empiris, selanjutnya disusun kurva hubungan σ - dσ/dε secara grafis (Gambar 8b). Dari
kurva tadi dapat diketahui hubungan σ-Et untuk kondisi tegangan inelastis, jika elastis tetap dipakai E
(modulus elastis). Selanjutnya untuk tiap kondisi material dapat disusun kurva kapasitas σcr – L/r
(Gambar 8c) yang langsung dapat digunakan untuk perencanaan kolom.
Hal itu tidak bermasalah jika kondisinya elastis, dimana perilaku loading dan unloading ditentukan
oleh nilai modulus elastis (E) yang sama. Tetapi ketika pembahasan masuk ke wilayah elastik-plastik,
maka teori Engesser akan menganggap bahwa parameter yang digunakan adalah Et (modulus tangent),
yang sama untuk kondisi loading maupun unloading. Padahal kenyataannya, pada kondisi unloading
akan ditentukan oleh modulus elastis E, bukan Et. Karena nilai E > Et maka sisi tegangan tekan yang
dikurangi (unloading) akan lebih besar daripada sisi tegangan tekan yang ditambahkan (loading).
Karena faktor pengurangan lebih besar dari yang ditambahkan, maka kapasitas yang dapat dibebani
lagi tentunya akan bertambah. Itulah mengapa perilaku kolom sebenarnya akan lebih tinggi dari
yang diprediksi berdasarkan teori Tangent Modulus tersebut.
Kesalahan teori Engesser ditemukan Jasinksy tahun 1895. Tiga tahun kemudian sekitar tahun 1898,
Engesser dapat memperbaiki dan memasukkan pengurangan beban (unloading) yang bersifat elastis.
Saat yang sama, Considere mengusulkan teori Reduced Modulus atau Double Modulus secara terpisah
dari teori Tangent Modulus (Galambos-Surovek 2008).
Teori Reduced Modulus memang dimaksud untuk mengatasi kekurangan dari teori Tangent Modulus,
untuk memahaminya ada baiknya melihat illustrasi pada Gambar 10. Sekali lagi bahwa teori tersebut
adalah untuk memprediksi terjadinya tekuk inelastis, sedangkan tekuk elastis tetap pakai teori Euler.
Pada kondisi tegangan inelastis, kekakuan material diwakili oleh Et atau modulus tangent, tetapi itu
hanya berlaku pada kondisi penambahan beban (loading), yaitu tegangan pada material meningkat,
sedangkan jika terjadi pengurangan beban (unloading) atau pengurangan tegangan pada material
maka perilakunya ditentukan oleh E atau modulus elastis biasa, perhatikan Gambar 10a.
Penambahan dan pengurangan tegangan (loading atau unloading) terjadi pada level penampang yang
mengalami tekuk, yaitu akibat timbulkan momen sekunder P-vo, karena adanya translasi arah lateral
pada saat tekuk (lihat Gambar 9). Jika pada teori Tangent Modulus maka tinjauan penampang hanya
memakai Et saja, maka pada teori Reduced Modulus bagian penampangnya dibagi dua. Pada sisi yang
Pada teori Reduced Modulus yang menghitung secara teliti pengaruh loading dan unloading yang
berbeda, akhirnya diperoleh E atau reduced modulus, yaitu modulus tangent setelah memperhitungkan
faktor unloading. Adanya nilai baru tersebut maka beban kritis Reduced Modulus dapat dihitung.
π 2E I
PR = ............................................................................................................................................. (10)
L2
dikarenakan E > E t maka nilai beban kritis Reduced Modulus selalu lebih besar dari nilai beban kritis
yang dihitung dengan teori Tangent Modulus.
Jadi di awal era 70-an sudah dapat dipahami cukup lengkap bahwa semua kolom pada dasarnya mem-
punyai defleksi awal, Δi > 0 yang adalah kondisi imperfection-nya (Gambar 11a). Kolom perfect, Δi = 0
hanya ada di atas kertas (teoritis). Perilaku tekuk elastis (Gambar 11b), kolom perfect mencapai beban
kritis sebesar PE dan saat itu juga akan terjadi kondisi bifurcation (garis A-B), kolom imperfect (Δi > 0)
mempunyai perilaku sesuai garis C, mendekati ke arah batas garis bifurcation. Perilaku tekuk inelastis
(Gambar 11c), kolom perfect mempunyai beban kritis sebesar PT dan dapat dibebani lagi maksimum
sebesar PR pada kondisi ideal, yang umumnya PT < Pmax < PR. Untuk kondisi kolom imperfect, maka
besarnya beban maksimum merupakan fungsi dari imperfection itu sendiri yang umumnya tidak
melebihi beban kritis PT. Jadi keputusan untuk memakai teori Tangent Modulus untuk perencanaan
kolom pada masa itu telah mendapatkan pembenarannya.
Hal penting yang diambil dari hasil penelitian masa itu, bahwa untuk memprediksi perilaku tekuk,
parameter elastis-plastis (material) dan imperfection (geometri) dari kolom harus dipertimbangkan.
Gambar 12. Kurva SSRC untuk kuat kolom maksimum terhadap kelangsingan (Galambos 1998)
Formulasi kurva 1 dan kurva 2 dengan e/L = 1000 selanjutnya diadopsi untuk peraturan baja di
Canada (1978), sedangkan kurva 2P dengan e/L = 1470 adalah mirip atau identik dengan peraturan
baja AISC LRFD (1986), meskipun persamaan matematis yang digunakan oleh kurva SSRC-2P. tidak
sama persis dengan versi LRFD, yang terakhir ini hanya memerlukan dua rumus segmen kurva untuk
mendapatkan kurva kekuatan kolom tersebut secara keseluruhan (Bjorhovde 1988).
Adanya tiga kurva kekuatan kolom seperti pada Gambar 12, jika tidak dipahami tentu akan membuat
bingung, mengapa begitu banyak. Jadi mana yang sebaiknya dipakai. Untuk memahami bahwa peri-
laku kolom memang dipengaruhi oleh banyak faktor, saling terkait satu sama lain. Sehingga untuk
kolom dengan variabel yang berbeda dapat menghasilkan kurva kekautan yang berbeda pula. Oleh
karena itu perlu dievaluasi secara statistik atau teori reliabilitas. Penelitian Bjorhovde di tahun 1972
(Galambos 1998) membuktikan hal itu. Berdasarkan 112 kolom yang diuji, yang mencakup berbagai
bentuk profil yang ditemukan secara praktis, juga mutu baja, dan cara pembuatan, maka dapat dibuat
kurva kekuatan maksimum terhadap tekan, yang disajikan dalam Gambar 13.
Ternyata ke-112 kurva kekuatan baja tersebut sangat bervariasi, meskipun demikian dapat dilihat
suatu jejak yang khas, yang mana pada bagian kelangsingan tertentu sangat bervariasi, sedangkan
untuk kolom pendek dan langsing sekaligus relatif kecil variasinya. Berdasarkan data-data itu pula
maka akhirnya dapat juga dibuat kurva batas atas dan kurva batas bawah. Selanjutnya dengan teori
reliabilitas maka dapatlah disusun kurva rencana kekuatan kolom. Dimana strategi penyusunan bisa
berbeda, untuk Eropa didekati dengan dua atau lebih kurva kekuatan, sedangkan Amerika atau dalam
hal ini LRFD (AISC 1986)memilih satu kurva tunggal sebagai dasar perencanaan.
Kurva kekuatan kolom pada Gambar 13 adalah didasarkan pada imperfection e/L = 1/1000. Dari sana
juga dapat dilakukan studi kurva kekuatan dengan berbagai kondisi imperfection sebagai berikut.
Gambar 14. Kurva kekuatan kolom dan pengaruh imperfection dari Bjorhovde (1972)
Oleh karena itu dalam menggunakan kurva kolom semacam itu dalam suatu perencanaan, maka
kebenarannya hanya dapat dievaluasi dalam kaca mata statistik atau probabilitas saja. Dalam arti
kalaupun dilakukan uji eksperimen di laboratorium dan dievaluasi berdasarkan kurva tersebut maka
hasilnya bisa sama persis dan bisa juga berbeda, tetapi jika dilakukan dalam jumlah banyak maka
ketepatan hasilnya baru akan terlihat dengan jelas.
Kondisi kekangan ujung kolom di tumpuan (degree of end restraint)
Terkait dengan kondisi kekangan ujung kolom di tumpuan maka parameter utama yang mempe-
ngaruhi telah diketahui, yaitu : [1] jenis tumpuan kolom atau sambungan balok-kolom yang dipakai;
[2] panjang kolom; [3]Besaran dan distribusi tegangan residu pada penampang; [4] imperfection.
Sebagai contoh, sambungan balok-kolom yang kaku, maka semakin kaku tentu akan meningkatkan
kekuatan kolom. Faktanya, meskipun hanya digunakan sambungan geser, dan dianggap tidak memi-
kul momen, tetapi karena ada tahanan terhadap rotasi yang terjadi akan meningkatkan kekuatan
kolom. Juga tentang panjang kolom, semakin panjang maka pengaruh sambungan sangat menentukan
adapun Fcr dapat dicari berdasarkan kurva kuat tekan kolom yang merupakan fungsi dari
kelangsingan. Rumus kurva tegangan tekuk kritis kolom, khusus tekuk lentur saja, adalah :
Untuk KL/r ≤ 4.71√(E/Fy) atau kondisi kolom dengan tekuk inelastis
(
Fcr = 0.658 Fy Fe
)⋅ F y ........................................................................................................................ (E3-2)
Untuk KL/r > 4.71√(E/Fy) atau kondisi kolom dengan tekuk elastis
Fcr = 0.877 Fe .................................................................................................................................... (E3-3)
Ketiga rumus di atas untuk versi AISC (2005) atau (2010) adalah sama. Jadi jika hanya didasarkan
pada tegangan tekuk kritis kolom, yang secara langsung juga adalah kuat tekan kolom, secara tunggal
atau individu atau terisolasi, antara cara lama (Effective Length Method) dan baru (Direct Analysis
Method), maka keduanya tidak ada perbedaan. Identik adalah sama.
Berdasarkan Bjorhovde (1986) dan AISC (1999), persamaan kurva tegangan tekuk kritis kolom AISC
(persamaan E3-2 dan E3-3) adalah didasarkan pada kurva SSRC-2P (lihat Gambar 12). Berarti kurva
tekuk kritis tersebut sudah memasukkan pengaruh inelastis (akibat tegangan residu) dan imperfection
(ketidak-lurusan batang yang tidak melebihi batas toleransi pabrik), dengan e/L = 1/1500.
Gambar 15. Perbandingan kurva kapasitas tekan terhadap uji kolom empiris (Geschwindner 2007)
Gambar 16. Petunjuk klasik untuk struktur baja tentang nilai K (AISC 2005)
Table C-C2.2 (AISC 2005) seperti pada Gambar 16, disebut juga sebagai petunjuk klasik perencanaan
baja. Setiap insinyur yang menguasai struktur baja pasti akan mengenalnya. Maklum hampir selalu ada
pada setiap steel-code di negara yang menerbitkannya. Untuk struktur tidak bergoyang (no-sway),
maka nilai k dari kolom (a), (b) dan d) saja yang digunakan, sisanya adalah untuk yang bergoyang.
Jika dapat ditentukan kondisi kekangan tumpuan kolom, yaitu sendi-sendi, sendi-jepit atau jepit-jepit
secara jelas dan benar tentunya, maka kapasitas kolom terhadap tekan yang dihitung dengan ELM
maupun DAM akan memberikan hasil yang sama.
Tetapi jika tumpuan kolom adalah berupa sistem struktur lainnya, misalnya sistem balok-kolom pada
suatu sistem portal yang tertambat pada sistem lateral khusus, maka perbedaan antara ELM dan DAM
adalah dari cara menghitung kondisi kekangan pada tumpuan di ujung kolom tersebut. Untuk cara
ELM nilai K dihitung berdasarkan chart-bantu, yang juga disediakan oleh AISC (2005) sebagai berikut.
Perencanaan dengan cara DAM tidak perlu menghitung nilai K, karena telah ditentukan K = 1. Jika
elemen-elemen kolom menerus menjadi satu kesatuan sistem struktur, maka komputer (ini syarat
untuk memakai cara DAM) akan otomatis menghitung kekakuan struktur menyeluruh secara rasional
dalam analisis dan desainnya. Oleh sebab itu, jika pada struktur real eksentrisitas atau yang sejenis
maka kondisi tersebut wajib dimodelkan, dan pengaruhnya akan secara otomatis diperhitungkan.
Perbedaan antara cara ELM dan DAM terjadi akibat interprestasi kondisi kekangan ujung yang ada.
Kondisi kekangan ujung kolom diakibatkan sistem sambungan yang dipilih. AISC (2010) membagi
kondisi kekangan (sambungan) berdasarkan perilaku momen-rotasi (M-θ), maklum pada dasarnya
tidak ada sambungan bersifat jepit atau sendi sempurna (hanya ada dalam teori). Dari perilaku M-θ
dikenal tiga tipe sambungan: FR (full restraint); PR (partial restraint) dan simple connection. Tipe
FR dan simple connection telah dikenal sehari-hari sebagai sambungan menerus dan sambungan pin
(sendi). Adapun sambungan PR dihindari karena analisisnya kompleks, perlu dievaluasi menyeluruh
dalam satu sistem kesatuan, terpengaruh. Sistem struktur yang mengandung sambungan PR tersebut
tentu akan kesulitan menentukan nilai K secara akurat (cara ELM) karena hanya ditinjau secara
setempat. Sedangkan cara DAM akan secara otomatis memasukkannya dalam analisis.
Gambar 19. Alignment chart (sway) untuk nilai K rangka bergoyang (AISC 2005)
Meskipun demikian untuk memakainya secara tepat, perlu memahami terlebih dahulu keterbatasan
chart tersebut, karena itu disusun dengan anggapan sebagai berikut :
1. Perilaku kolom yang dievaluasi semua pada kondisi elastis.
2. Semua elemennya mempunyai penampang prismatik (konstan sepanjang bentang)
3. Semua sambungan rigid atau sambungan menerus atau FR : full restraint.
4. Semua kolom rangka pada arah goyangan yang tertahan, rotasi ujung berlawanan dari balok
harus sama besar dan arahnya berlawanan, sehingga menghasilkan lengkungan tunggal.
5. Semua kolom rangka pada arah goyangan bebas, rotasi ujung berlawanan balok yang tertahan
mempunyai arah dan besaran yang sama sehingga kelengkungannya saling berlawanan.
6. Parameter kekakuan L(P/EI)^0.5 untuk semua kolom adalah sama.
7. Kekangan pada titik nodal kolom terdistribusi merata pada kolom atas dan bawah sesuai
dengan proporsi kekakuan lenturnya.
8. Semua kolom mengalami tekuk secara bersama-sama.
9. Tidak ada gaya aksial yang signifikan besar pada balok.
Gambar 21. Pengaruh P-Delta pada rangka bergoyang dan tertahan (Galambos 1998)
Nah, ketidak-tepatan cara ELM dibanding cara DAM adalah ketidak-mampuannya memperhitungkan
pengaruh faktor-K dan P-Δ secara menyeluruh dalam satu sistem struktur yang ditinjau.
Pr ⎛⎜ P ⎞
τb = 4 1 − r ⎟ ..........................................................................................................................(C2-2b)
Py ⎝⎜ Py ⎟⎠
Pemakaian reduksi kekakuan hanya berlaku untuk memperhitungkan kondisi batas kekuatan dan
stabilitas struktur baja, dan tidak digunakan pada perhitungan drift (pergeseran), lendutan, vibrasi
dan penentuan periode getar.
Gambar 23. Hasil interaksi check antara ELM dan DAM (AISC 2010)
Untuk alasan itu pula, interaksi balok-kolom pada bidang tekuk dievaluasi terhadap kuat tekan, PnL,
yang dihitung berdasarkan kurva kolom dengan KL=L atau K=1.
5.8 Beban notional dan pelemahan inelastis
Bebanan notional dapat juga dipakai untuk antisipasi pelemahan kekakuan lentur, τb akibat kondisi in-
elastis adanya tegangan residu. Strategi ini cocok untuk menyederhanakan perhitungan DAM pada
batang dengan gaya tekan besar αPr > 0.5Py , dimana nilai τb < 1.0 .
Jika strategi ini akan dipakai, maka τb = 1.0 dan diberikan beban notional tambahan sebesar :
N i = 0.001Yi ............................................................................................ Chapter C2.3.(3) (AISC 2010)
Beban tersebut diberikan sekaligus bersama beban notional yang merepresentasikan cacat geometri
bawaan (initial imperfection), karena sifatnya memperbesar maka beban notional akhir menjadi
Ni=0.003Yi sedangkan τb = 1.0 untuk semua kombinasi beban.
5.9 Kuat nominal penampang
Jika digunakan analisa stabilitas struktur cara DAM, maka untuk perhitungan kuat struktur nominal-
nya cukup memakai prosedur biasa seperti yang digunakan pada cara ELM, yaitu Chapter E ∼ I untuk
penampang nominal, atau Chapter J ∼ K untuk sambungan pada AISC code (2005 maupun 2010),
kecuali nilai faktor K pada kelangsingan batang (KL/r) diambil konstan sebesar K=1.
5.10 Ketersediaan program analisa struktur orde-2
Direct Analysis Method (DAM) memerlukan program analisa struktur orde-2 untuk menghitung efek
P-Δ dan P-δ secara teliti. Pada umumnya program analisa struktur komersial sudah menyedia-kannya.
Meskipun demikian adalah tetap tanggung jawab insinyur untuk memastikan sendiri bahwa program
yang digunakannya memang telah memenuhi persyaratan tersebut (AISC 2010).
Untuk itu, AISC (2010) memberikan benchmark pembanding untuk mengevaluasi, apakah program
analisa struktur yang akan dipakai, punya kemampuan menghitung efek P-Δ dan P-δ.
Pada pengujian perlu dipakai variasi beban aksial berbeda, juga pengaruh pembagian elemen
(meshing) untuk mengetahui ketelitiannya terhadap perhitungan P-δ atau P-Δ.
Benchmark uji terdiri dari dua kasus, Case-1 untuk uji efek P-δ saja, disini meshing pada model
struktur perlu dievaluasi apakah hal itu mempengaruhi ketelitian program. Adapun Case-2 untuk
menguji ketelitian perhitungan efek P-Δ dan P-δ sekaligus.
Untuk mengetahui ketersediaan program komputer yang sesuai DAM, diuji SAP2000 ver 7.4 yang
dianggap kuno (release 2000) tetapi sudah bisa memperhitungkan efek P-Δ (Dewobroto 2013), juga
SAP2000 ver 14 yang relatif baru (release 2009). Adapun versi yang resmi menyatakan diri
mendukung perancangan DAM adalah SAP2000 versi 11.0 release Desember 2006 (CSI 2007).
Uji benchmark pertama kali terhadap Case-1 (lihat Gambar 25) untuk melihat algoritma program
versi lama dan yang baru dalam memperhitungkan pengaruh P-δ seperti terlihat berikut.
Tabel 1. Uji Benchmark CASE-1 terhadap Pengaruh P-δ
Case-1 SAP v7.4 SAP v7.4 SAP v7.4 SAP v14.0 SAP v14.0
(AISC 2010) (PΔ-off-1#) (PΔ-on-1#) (PΔ-on-2#) (PΔ-on-1#) (PΔ-on-2#)
P M-mid P M-mid P M-mid P M-mid P M-mid P M-mid
0 235 0 235.2 0 235.20 0 235.20 0 235.20 0 235.20
150 270 150 235.2 150 261.43 150 269.63 150 261.41 150 269.56
300 316 300 235.2 300 294.25 300 315.39 300 294.23 300 315.31
450 380 450 235.2 450 336.48 450 379.12 450 336.42 450 378.71
M-mid (kip-in)
SAP v7 (Pd-off-1#)
SAP v7 (Pd-on-1#)
300
SAP v7 (Pd-on-2#)
Program SAP2000 yang kuno (ver 7.4) dan yang baru (ver 14.0) memberikan hasil mirip satu sama
lain. Algoritma kedua program dianggap tidak berbeda. Keduanya belum mampu memprediksi efek
P-δ di tengah elemen berdasarkan elemen tunggal. Jadi ketika dibagi jadi dua elemen hasilnya menjadi
lebih teliti, sama dengan hasil benchmark. Perbedaannya, pada versi kuno dibaginya secara manual,
sedangkan versi baru secara otomatis.
Uji benchmark Case-2 memberi petunjuk pentingnya gaya lateral (1 kips) pada ujung tiang untuk
menghasilkan efek destabilizing. Tanpa itu, meskipun “opsi P-delta” diaktifkan, tidak menghasilkan
efek P-Δ itu sendiri. Inilah yang mendasari prinsip beban notional.
Tabel 2. Uji Benchmark CASE-2 terhadap Pengaruh P-δ dan P-Δ
Case-2 SAP v7.4 SAP v7.4 SAP v7.4 SAP v14.0 SAP v14.0
(AISC 2010) (PΔ-off-1#) (PΔ-on-1#) (PΔ-on-2#) (PΔ-on-1#) (PΔ-on-2#)
P M P M P M P M P M P M
0 336 0 336 0 336.0 0 336.0 0 336.0 0 336.0
100 470 100 336 100 469.8 100 469.9 100 469.6 100 469.4
150 601 150 336 150 599.8 150 600.7 150 599.8 150 599.8
200 856 200 336 200 849.8 200 854.4 200 849.8 200 854.4
900
800 Case 2 (AISC 2010)
M-base (kip-in)
Uji benchmark Case-2 yang melibatkan efek P-Δ dan P-δ sekaligus, ternyata memberi hasil yang lebih
baik dibanding uji benchmark Case-1, yang hanya melibatkan P-δ saja. Semua program SAP2000 dari
versi lama sampai versi terbaru, dapat memberikan hasil yang memuaskan, bahkan tanpa memerlukan
pembagian elemen atau meshing sebagaimana perlu dilakukan pada uji benchmark Case-1 agar
hasilnya lebih teliti.
SAP2000 versi 7.4 dapat dianggap program analisa struktur yang out-of-dated, kuno dan tidak secara
eksplisit mendukung DAM. Maklum, program di-release jauh hari sebelum DAM dinyatakan (AISC
2005), tetapi buktinya dapat dipakai untuk menyelesaikan uji benchmark yang ada (AISC 2010). Ini
tentunya dapat menjadi indikator bahwa infrastruktur untuk mengaplikasikan cara DAM di Indonesia
sudah tersedia sejak lama.
Kombinasi beban yang digunakan adalah mengacu pada ASCE 7, Dari tiga kombinasi beban yang
ditinjau dapat diketahui bahwa kombinasi beban pada Gambar 27 adalah yang menentukan, sehingga
beban terfaktor adalah:
Qu = 1.2D + 1.6S + 0.8 W
Qu = 1.2(0.2)+1.6(0.8)+0.8(0.1) = 1.60 kip/ft (È)
Quh = 0.8W = 0.8(0.44) = 0.352 kip/ft (Æ)
Notional load sesuai AISC (2010) Chapter C – C2.2b : data diambil dari beban gravitasi, Yi = Qu * LBC
= 1.6 * 75 = 120 kips
Ni = 0.002 Yi = 0.002 * 120 = 0.24 kip ................................................................. Eq.C2-1 (AISC 2010)
Penyesuaian kekakuan sesuai AISC (2010) Chapter C – C2.3 : dari perhitungan awal dapat diketahui
bahwa Pr / Py ≤ 0.5 sehingga
τb = 1.0 ...................................................................................................................Eq.C2-2a (AISC 2010)
Faktor reduksi 0.8 diambil sama untuk semua kekakuan, lentur (EI*=0.8EI) atau aksial (EA*=0.8EA)
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, selanjutnya disusun model struktur dan beban-bebannya,
adapun faktor reduksi 0.8 diberikan pada data E untuk mempermudah.
Nilai dalam tanda kurung adalah momen (kip-ft) tanpa opsi P-Δ. Jadi efek P-delta tidak besar
pengaruhnya pada struktur.
Karena semua elemen memakai profil W24 x 84 maka akan dipilih kolom CD untuk dievaluasi
berdasarkan cara DAM dan selanjut-nya dibandingkan cara lama, yaitu contoh dari Salmon (2009).
Tinjau kolom CD profil W24x84 mutu Fy = 50 ksi; E = 29000 ksi sehingga 4.71 E Fy = 113
** Kapasitas aksial **
φc = 0.9; Ag= 24.7 in.2; L = LDC = 25 ft = 300 in. ; rmin = rx = 9.79 in.
K = 1.0 (ketentuan DAM)
KL 1 * 300 π 2 E π 2 * 29000
= = 30.6 dan Fe = KL 2 = = 306 ksi
rmin 9.79 rmin ( )
(30.6 )2
KL
rmin = 30.6 < 4.71 E
Fy = 113
[
Fcr = 0.658 F y Fe
]F = [0.658
y
50 306
]50 = 46.7 ksi
φc Pn = φc Fcr A g = 0.9 * 46.7 * 24.7 = 1038 Kips
** Kapasitas lentur **
φb M n = φb M p = 840 Kip - ft
Catatan: cara lama (Efective Length Method) dari Salmon (2009) halaman 813 diperoleh nilai
Pu M ux 0.078 687
+ = + = 0.857 atau berbeda ± 1.75%
2φc Pn φb Mnx 2 840
Contoh II: Pada kasus sebelumnya, beban aksial tidak dominan. Berikut akan ditinjau kolom dengan
beban aksial saja. Jika cara ELM (pakai faktor K) maka kapasitasnya langsung dihitung tanpa adanya
momen (yang memang tidak diberikan). Cara DAM yang mengandalkan 2nd order analysis maka
keberadaan momen sangat penting. Itu bisa terjadi karena keberadaan initial imperfection. Struktur
yang ditinjau : kolom jepit yang atasnya bebas. Lateral bracing tiap jarak 5 ft sehingga tekuk di bidang
saja yang ditinjau.
Mutu baja A992
Fy = 50 ksi E = 29000 ksi.
φc = 0.9; Ag= 24.7 in.2;
L = 25 ft = 300 in. ;
rmin = rx = 9.79 in.
4.71 E Fy = 113
KL 2 * 300 π 2 E π 2 * 29000
= = 61.3 dan Fe = = = 76.2 ksi
rmin 9.79 ( KL r )2 (61.3)2
[ ]
= 113 Æ Fcr = ⎡⎢0.658 Fe ⎤⎥ Fy = 0.658 76.2 ⋅ 50 = 38 ksi
y F
50
KL
< 4.71 E
⎣ ⎦
rmin Fy
Pr ⎛⎜ P ⎞
τb = 4 1 − r ⎟ ..........................................................................................................................(C2-2b)
Py ⎜⎝ Py ⎟⎠
Segmen AB untuk analisis struktur orde-2 dibagi jadi dua bagian (meshing). Nilai dalam tanda kurung
adalah momen bila opsi P-Δ di-non-aktifkan. Faktor reduksi untuk luasan A = 0.8, sedangkan faktor
reduksi untuk lentur I = 0.8 * 0.86= 0.688.
Evaluasi kuat penampang dengan cara DAM pada prinsipnya tidak mengalami perubahan dari cara
ELM, kecuali nilai K = 1 .
Besarnya kapasitas terhadap komponen beban aksial:
φc = 0.9; Ag= 24.7 in.2; L = LDC = 25 ft = 300 in. ; rmin = rx = 9.79 in.
KL 1 * 300 π 2 E π 2 * 29000
K=1 Æ = = 30.6 dan Fe = = = 306 ksi
rmin 9.79 ( KL r )2 (30.6 )2
** Kapasitas lentur **
Pu 844.7 Pu 8 M ux
= = 0.814 ≥ 0.2 Æ + ≤ 1.0
φc Pn 1038 φc Pn 9 φb Mnx
Pu 8 M ux 8 108.5
+ = 0.814 + * = 0.93
φc Pn 9 φb Mnx 9 840
Item yang dibahas DAM – direct analysis method ELM – effective length method
Keterbatasan pemakaian tidak ada Δ2nd order / Δ1st order ≤ 1.5 atau B2 ≤ 1.5
Tipe analisis struktur yang Analisis Elastis Orde ke-2 (nume- Analisis Elastis Orde ke-2 (nume-
diperlukan rik dengan program komputer) rik atau pendekatan via B1 & B2)
Geometri struktur untuk didasarkan pada kondisi geometri didasarkan pada kondisi geometri
analisis sebelum dibebani. sebelum dibebani.
Beban lateral tambahan Jika Δ2nd order / Δ1st order > 1.5 maka Beban lateral diberikan sebesar
untuk analisa struktur atau beban notional ditambah sebesar 0.2% beban gravitasi (minimum).
yang minimal harus ada. 0.2% beban gravitasi (minimum).
Kekakuan elemen struktur nilai EA dan EI tereduksi simulasi Nilai nominal dari EA dan EI
untuk analisa struktur kondisi inelastis (tegangan residu) tanpa reduksi atau utuh.
Perencanaan kolom K =1 untuk semua elemen batang K=1 untuk elemen batang pada
rangka tidak bergoyang, sedang-
kan untuk rangka bergoyang harus
dicari pakai chart bantu.
Referensi perencanaan Appendix 7 (AISC 2005) Section C2 (AISC 2005)
Section C2 (AISC 2010) Appendix 7 (AISC 2010)
7. KESIMPULAN
Telah dibahas latar belakang teori tentang kolom, sehingga dapat diketahui bahwa untuk mengevaluasi
kekuatan maksimum kolom perlu memperhitungkan pengaruh imperfection (nonlinier geometri) dan
kondisi inelastis (nonlinier material). Kedua parameter nonlinier tersebut tentu tidak bisa diprediksi
berdasarkan analisa elastis-linier, yang selama ini dijadikan andalan dalam perencanaan struktur baja.
Selama ini pengaruh nonlinier pada permasalahan stabilitas struktur diatasi dengan cara pendekatan.
Meskipun pada kasus tertentu hasilnya memuaskan, tetapi karena berupa pendekatan pada kondisi
tertentu yang lain akan lemah, atau bahkan menyimpang. Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan
mengapa mempelajari DAM (AISC 2010) diperlukan, dan bagaimana strategi untuk melakukannya.
Diharapkan dengan paparan yang diberikan, maka pemahaman terhadap DAM (AISC 2010) dapat
dimengerti dengan baik. Pada akhirnya, nanti ketika SNI baja terbaru (Puskim 2011) telah terbit, maka
pemakaian metode baru tersebut dapat secara cepat dimanfaatkan. Semoga.
1. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
2. ANALISIS STRUKTUR DAN KOMPUTER....................................................... 2
2.1 Umum ............................................................................................................. 2
2.2 Problem tekuk - Elastic Buckling Analysis..................................................... 2
2.3 Problem tekuk - Second Order Elastic Analysis............................................. 7
2.4 Perilaku tekuk dengan Second Order Elastic Analysis................................. 13
2.5 Kesimpulan Analisis Struktur ....................................................................... 13
3. PERANCANGAN KOLOM TERTAMBAT SEDERHANA .............................. 14
3.1 Umum ........................................................................................................... 14
3.2 Cara ELM (AISC 2005 dan sebelumnya)..................................................... 15
3.3 Cara DAM (AISC 2010)............................................................................... 15
3.4 Evaluasi Perbandingan cara ELM dan DAM................................................ 17
4. PERANCANGAN KOLOM BERGOYANG SEDERHANA ............................. 17
4.1 Umum ........................................................................................................... 17
4.2 Cara ELM (AISC 2005 dan sebelumnya)..................................................... 18
4.3 Cara DAM (AISC 2010)............................................................................... 18
4.4 Pembahasan perancangan kolom bergoyang sederhana ............................... 20
5. PERANCANGAN STRUKTUR RANGKA Lean-ON SEDERHANA.............. 21
5.1 Umum ........................................................................................................... 21
5.2 Rangka Lean-ON dengan Kolom Beda Kekakuan ...................................... 21
5.3 Rangka Lean-ON dengan Kolom Sama Kekakuan...................................... 25
5.4 Rangka Lean-ON dengan Tinggi Kolom Berbeda....................................... 27
6. DAM (AISC 2010) DAN HASIL UJI EMPIRIS - (Dewobroto 2013a).............. 31
6.1 Umum ........................................................................................................... 31
6.2 Jenis struktur yang diuji ................................................................................ 31
6.3 Batasan dan dimensi struktur yang diuji....................................................... 32
6.4 Mengapa DAM dan apa pentingnya uji beban empiris ................................ 33
6.5 Kalibrator uji stabilitas.................................................................................. 33
6.6 Uji eksperimental scaffolding tipe H2000-L2000-W2000 ........................... 34
6.7 Perilaku keruntuhan aktual scaffolding......................................................... 36
6.8 Simulasi numerik scaffolding tipe H2000-L2000-W2000 (terkalibrasi) ...... 37
6.9 Model dan modifikasi kekakuan manual ...................................................... 37
6.10 Detail analisis stabilitas dan evaluasi dengan DAM..................................... 39
6.11 Perbandingan hasil simulasi dan real............................................................ 44
7. KESIMPULAN..................................................................................................... 45
8. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45
Tentang Pemakalah ........................................................................................................... 46
Rekayasa Komputer dalam Analisis dan Desain Struktur Baja
Studi Kasus Direct Analysis Method (AISC 2010)1
Bagian II : Contoh Aplikasi Praktis
Wiryanto Dewobroto
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan
email : wiryanto.dewobroto@uph.edu
ABSTRAK
Pada makalah berjudul sama tetapi Bagian I: telah dibahas latar belakang teori tentang kolom,
sehingga tahu bahwa untuk mengevaluasi kuat tekan ultimate-nya perlu memperhitungkan
pengaruh imperfection (nonlinier geometri) dan kondisi inelastis (nonlinier material). Selama
ini pengaruh nonlinier diselesaikan dengan cara pendekatan saja. Memang, pada kasus tertentu
hasilnya memuaskan, tetapi karena pendekatan maka pada kondisi lain akan kurang tepat,
bahkan menyimpang sangat jauh. Hal itu yang menyebabkan DAM (AISC 2010) dipilih
menggantikan cara lama, yaitu ELM (AISC 2005 dan sebelumnya). Setelah mengusai teori,
tentu ingin contoh aplikasi praktisnya. Untuk itulah makalah Bagian II ini dibuat.
Kata kunci: Direct Analysis Method, SAP2000, simulasi numerik, 2nd order elastic analysis
1. PENDAHULUAN
Materi tulisan ini adalah Bagian II dari makalah berjudul sama, yang berfungsi melengkapi tulisan
pada makalah di Bagian I. Isinya berupa contoh numerik penyelesaian permasalahan yang terkait
dengan Metode Direct Analysis (DAM), yaitu suatu cara baru analisis stabilitas untuk perencanaan
struktur baja yang secara resmi direkomendasikan sebagai cara utama pada code AISC (2010). Versi
peraturan itulah yang dikemudian hari direncanakan akan dijadikan rujukan atau sumber bagi draft
SNI Baja (Puskim 2011a), yaitu code terbaru untuk perancangan struktur baja di Indonesia.
Contoh numerik penyelesaian yang dimaksud bukanlah contoh perhitungan perencanaan biasa, tetapi
lebih pada aplikasi praktis pemakaian analisa struktur berbasis komputer yang dijadikan syarat utama
dalam penyelesaian dengan metode DAM tersebut. Problem dipilih yang relatif sederhana, agar dapat
dipahami secara mudah tentang keunggulan penyelesaian yang diberikan.
Problem perancangan yang dibahas diusahakan relatif sederhana, yaitu sistem struktur dengan jumlah
elemen yang minimal, sekedar permasalahan yang ingin diungkap dapat ditampilkan, dan mudah
dipahami. Oleh sebab itu harapannya dari membaca dan mempelajari contoh-contoh pada makalah
ini, dapat ditarik suatu makna : mengapa cara perencanaan struktur baja di Indonesia perlu segera
berubah dari cara ELM (AISC 2005) ke cara yang lebih baru, DAM (AISC 2010). Itu semua tentunya
tidak sekedar alasan ekonomi semata, tetapi karena memang cara baru tersebut mampu mengatasi
permasalahan yang sebelumnya tidak bisa tuntas diatasi dengan cara lama yang ada.
Pada bagian akhir makalah, akan disajikan juga implementasi DAM dalam kasus real, yaitu untuk
mengevaluasi perilaku keruntuhan struktur scaffolding dan memprediksi beban maksimumnya.
Karena untuk itu juga dilakukan uji eksperimental laboratorium, di Bandung (Puskim 2011b), maka
tentunya sekaligus dapat diperoleh perbandingan hasil antara [a] uji simulasi numerik dengan DAM
dan [b] uji empiris pembebanan struktur sampai runtuh di laboratorium, untuk dipelajari bersama.
1
Seminar dan Lokakarya Rekayasa Struktur, Jumat 4 Juli 2014, Ruang W 304, Gd. Radius Prawiro, Universitas Kristen Petra,
Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya - 60236
Karena input-data terbatas, hanya untuk frame 2D, maka d.o.f untuk analisis perlu dibatasi agar tidak
terjadi kondisi unstable. Caranya : klik menu Analyze - Set Analysis Option dan tombol Plane Frame.
Selanjutnya di RUN, jika Load Case yang lainnya dihapus, maka hasil analisis tekuk akan ditampilkan
langsung sejumlah maksimum Number of Buckling Modes (lihat Gambar 1). Ingat untuk titik nodal
3D maka untuk 1 nodal ada 6 d.o.f bebas (3 translasi dan 3 rotasi), jadi nilai defult-nya = 6. Meskipun
demikian hasil akhirnya tergantung d.o.f yang aktif. Pada kasus ini maka total terdapat 2 mode.
Nilai yang ditampilkan adalah besarnya Faktor pengali terhadap konfigurasi beban yang diberikan,
yang menyebabkan terjadinya tekuk. Dalam kasus ini, karena besarnya beban = 1 kN, maka beban
tekuk adalah faktor pengali terkecil yang menyebabkan tekuk, yaitu hasil Mode 1 sebesar 187.0173.
Hasil dari analisis elastic-buckling dengan SAP2000 selanjutnya akan disimpan pada file *.RTF, yang
dapat dibuka dengan program MS Word sebagai berikut :
Tabel 1. Buckling Factors
OutputCase StepType StepNum ScaleFactor
BUCK1 Mode 1.000000 187.017301
BUCK1 Mode 2.000000 935.086505
Outputnya berupa Buckling Faktor, pada Mode 1 = 187.017 dan pada Mode 2 = 935.065. Nilai terkecil
menentukan. Karena beban kolomnya 1 kN, maka P tekuk = Buckling Faktor = 187.017 kN.
Karena model kolom yang dievaluasi sangat sederhana, maka beban tekuk kritis akan dibandingkan
dengan hasil rumus Euler berikut :
Pembahasan :
Perhitungan komputer dengan SAP2000 v15.0 menghasilkan P tekuk = 187.017 kN atau 121.6% Pcr
yang didasarkan pada teori klasik Euler. Mengapa terjadi perbedaan ?
Jika melihat deformasi kolom di Mode 1(Gambar 2), yaitu estimasi tekuk, dengan bentuk lengkung
yang relatif mulus, tentunya tidak terbayang bahwa geometri yang diproses pada SAP2000, berbeda
dari gambaran yang terlihat. Akan dibayangkan bahwa bentuk lengkung yang mulus hanya terjadi
jika disusun dari banyak segmen lurus. Ingat, segmen lurus di sini adalah element 1D untuk formulasi
model struktur, dalam program SAP2000 disebut element Frame. Informasi tentang element tersebut
dan formulasi matriknya dapat dipelajari di buku lain, misal Dewobroto (2013b).
Padahal model kolom pada analisis di atas hanya disusun dari 1 (satu) elemen tunggal dan juga yang
tidak boleh dilupakan bahwa setiap solusi dengan program komputer pasti didasarkan pada penye-
Untuk membagi model kolom menjadi segmen-segmen yang lebih kecil, atau dalam istilah finite ele-
ment disebut sebagai pembuatan meshing, ternyata pada program SAP2000 (v15 atau sebelumnya)
telah disediakan opsi bantu. Opsi tersebut dapat diakses, setelah elemen yang akan dibagi dipilih ter-
lebih dahulu, melalui menu Asign - Frame - Automatic Frame Mesh sebagai berikut:
Dengan memilih elemen yang akan dibagi dalam mesh-mesh yang lebih kecil (meshing) maka opsi
yang digunakan adalah menetapkan Minimum Number of Segments. Pada Gambar 5 menunjukkan
elemen akan dibagi menjadi dua, seperti pada Gambar 4c. Selanjutnya dengan mengubah-ubah jumlah
segmen akan dilakukan perhitungan ulang beban tekuk dengan SAP2000 dan hasilnya sebagai berikut.
Tabel 2. Pengaruh pembagian segmen pada pemodelan untuk ketelitian analisis tekuk
Jika diperhatikan, memang betul bahwa kuat tekan batas kolom Pu atau ϕPn (AISC 2010) lebih kecil
dari kuat tekan kritis teoritis hasil analisis tekuk-elastis dengan program SAP2000. Selisih perbedaan
antara keduanya dapat dilihat secara mudah jika keduanya ditampilkan dalam bentuk grafik hubungan
antara kuat tekan batas (vertikal) dan kelangsingan kolom (horizontal) sebagai berikut:
Dari grafik pada Gambar 6 dapat dilihat secara visual perbandingan kuat tekan batas kolom berdasar-
kan rumus E3-2 dan E3-3 (AISC 2010) dan hasil analisis tekuk-elastik dengan SAP2000. Ternyata
tidak pada semua kelangsingan kolom, hasil analisis tekuk elastis dengan SAP2000 memberikan hasil
yang berkorelasi dengan prediksi AISC (2010), hanya pada KL/r ≥ 133.21 maka selisih perbedaaan
antara keduanya adalah konstan, yaitu hasil SAP2000 sekitar 127% lebih tinggi dari AISC. Sedangkan
jika kurang maka selisih semakin bahkan sangat signifikan.
Besaran KL/r = 133.21 diperoleh dari rumus KL/r = 4.71√(E/Fy), yaitu batas antara tekuk inelastis dan
tekuk elastis pada rumus E3-2 dan E3-3 (AISC 2010). Jadi sesuai namanya, yaitu analisis tekuk elastis,
maka cara analisis tersebut hanya valid jika digunakan untuk memprediksi tekuk pada struktur yang
langsing, yaitu jika elemen-elemen strukturnya mempunyai KL/r > 133.21.
Gambar 8. Menu untuk mengatifkan 2nd order elastic analysis (SAP2000 v15)
Catatan : jika menu di atas belum tampil, maka setelah klik Define Load Cases selanjutnya pada menu
yang ditampilkan pada bagian Analysis Type : klik Nonlinier. Tampilan pada Gambar 8 adalah
dihasilkan oleh program SAP2000 v15 yang memakai OS – Window 98, yang ternyata tampilannya
berbeda jika diinstall pada OS – Window 7 , lihat Gambar 5 dan sebelumnya. Tetapi meskipun
tampilannya berbeda tetapi hasil numeriknya tetap sama.
Selanjutnya perlu dibuat terlebih dahulu Functions yang akan dilacak, dalam hal ini adalah fungsi gaya
dari reaksi tumpuan dan fungsi deformasi lateral titik di tengah kolom. Jika penomoran sesuai dengan
model pada Gambar 7 maka reaksi tumpuan yang dimaksud adalah gaya arah sumbu z pada titik
nodal 1. Cara mendefinisikan fungsi adalah dengan klik Define Plot Function dari tombol pada menu
pada Gambar 9. Selanjutnya akan muncul menu Plot Functions sebagaimana terlihat di Gambar 10.
Pada menu Plot Functions tersebut perhatikan pilihan Choose Function Type to Add, yaitu tampil-
kan opsi Add Joint Disp/Forces sehingga akan muncul menu baru, yaitu Joint Plot Function, lihat
Gambar 10 juga. Tetapkan terlebih dahulu Joint ID, yaitu nomer titik nodal yang akan dilacak setiap
perubahan beban yang ada (incremental load). Itulah mengapa pada pemodelan yang diberikan
penomoran pada model perlu diperhatikan dengan benar. Jika salah nomor maka tentu hasilnya juga
tidak ada artinya, menjadi tidak bermakna.
Langkah yang sama dikerjakan untuk deformasi titik nodal yang dilacak. Jadi dalam hal ini ada dua
titik nodal yang dilacak besarnya gaya dan deformasi. Selanjut kembali ke menu Plot Function Trace
Display Definition, pastikan Vertical Function adalah gaya, dan Horizontal Plot Function adalah
deformasi arah lateral di titik tengah kolom. Jika sudah pada menu yang sama klik tombol Display.
Perhatikan Model-A dan Model-B semuanya sama, kecuali beban lateral sebesar αP di tengah bentang
kolom, yang besarnya hanya 0.002 atau 0.2% proporsional terhadap beban aksial yang diberikan. Besar
beban lateral relatif sangat kecil nilainya, meskipun demikian hasilnya sangat signifikan. Pada Model-
A, dari hasil analisis nonlinier tidak dapat dilacak terjadinya deformasi pada struktur, tetapi dari
Agar lebih teliti, nilai default di atas tersebut perlu diubah. Selanjutnya dipilih
• Minimum Number of Saved States = 20
• Maximum Number of Saved States = 100
Selanjutnya dengan cara yang sama seperti sebelumnya maka perilaku tekuk kolom yang dianalisis
memakai Model-B, yaitu dengan adanya beban lateral tambahan dapat menangkap perilaku kolom
ketika terjadi tekuk dengan lebih teliti sebagai terlihat pada Gambar 13.
Jika diinginkan data yang lebih jelas, maka dengan perintah File pada menu Display Plot Function
Traces maka dapat dihasilkan data dalam bentuk file, sehingga dapat diproses memakai program lain.
Sebagai contoh maka hasilnya akan disimpan pada file Perilaku_kolom.txt sebagai berikut.
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE 2nd-analysis
FUNCTION Joint2: Joint 2 Displacement UX
FUNCTION Joint1: Joint 1 Spring Force U3
Pembahasan :
Gaya maksimum pada kondisi sebelum mechanism / instabilitas adalah 153.6 kN, atau kira-kira sedikit
dibawah Pcr = 153.82 (tekuk elastis dari Euler). Karena nilai yang diperoleh dari 2nd Order Elastic
Analysis sekitar 99.85% dari nilai tekuk elastis Euler maka dianggap analisis tersebut mampu
memprediksi stabiltas struktur sampai terjadinya tekuk.
Meskipun dapat dipergunakan untuk mengestimasi tekuk tetapi dalam pemodelan perlu ditambahkan
gaya lateral khusus sebagai pemicu analisis, yaitu beban lateral αP (lihat Gambar 7). Ini adalah beban
khusus, bukan untuk mensimulasi beban gempa atau angin atau yang lain, sebagaimana umumnya
digunakan untuk analisis stabilitas. Beban itu khusus untuk maksud analisis itu sendiri. Itu mengapa
AISC sampai memberi istilah khusus tersendiri sebagai Notional Load. Chapter C2.2b (AISC 2010).
Itu dimaksud sebagai pemodelan adanya imperfection dari kolom.
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE 2nd-analysis
FUNCTION Joint2: Joint 2 Displacement UX
FUNCTION Joint1: Joint 1 Spring Force U3
Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku tekuk terjadi pada P = 1650 kN >> ϕPn = 693 kN.
2.5 Kesimpulan validitas analisis terhadap stabilitas struktur
Analisis struktur yang telah dibahas secara mendetail pada tulisan ini adalah Elastic Buckling Analysis
dan Second Order Elastic Analysis. Jenis analisis stabilitas yang lain tidak dibahas, karena hanya kedua
jenis itu yang terkait dengan DAM (AISC 2010). Karena umumnya analisis tersebut sudah dikenal
lama, khusunya untuk memprediksi pengaruh P-Δ pada bangunan tinggi, maka tentunya program
komputer yang diperlukan untuk menjalankan cara DAM mempunyai persyaratannya tidak terlalu
ketat atau sudah tersedia.
Kesimpulan umum bahwa kedua analisis tersebut (Elastic Buckling Analysis dan 2nd Order Elastic
Analysis) hanya valid digunakan untuk memprediksi tekuk pada kolom dengan kondisi elastis. Jika
digunakan untuk kolom sebenarnya, yang bisa saja berperilaku inelastis, maka hasilnya tidak tepat.
Prediksi yang dihasilkan lebih tinggi dari yang sebenarnya akan terjadi. Jadi jika digunakan untuk
perencanaan langsung maka hasil desain menjadi under-estimate atau tidak aman.
Selanjutnya berdasarkan kondisi kolom yang begitu sederhana tersebut, tetapi perilakunya adalah
tekuk inelastis. Tentunya dapat diketahui jika cara DAM (2010) sekedar mengandalkan kemampuan
komputer, yaitu Second Order Elastic Analysis maka tentu hasilnya tidak akan memuaskan. Tentang
hal itu pembaca sebaiknya melihat kembali penjelasan pada bab 2.4.
Jadi untuk menunjukkan bahwa Direct Analysis Method (DAM) adalah strategi baru perencanaan baja
dengan memanfaatkan komputer, dan berbeda dari Effective Length Method (ELM) maka itu semua
akan ditunjukkan dengan cara perbandingan hasil rancangan keduanya sebagai berikut.
π 2E π 2 * 200,000
Fe = = = 415.01 MPa ................................................................................. (E3-4)
(KL r )2 68.9662
⎛ ⎞
( )F
250
Fcr = 0.658 Fy Fe
y = ⎜⎜ 0658 415.01 ⎟⎟Fy = 0.777 Fy = 194.3 MPa..................................................... (E3-2)
⎝ ⎠
φPn = φAg Fcr = 0.9 * 39.65 * 102 * 194.3 / 1000 = 693.4 kN
Ru P 550
Jika Pu = 550 kN, maka = u = = 0.793
φRn φPn 693.4
Profil H150×150 sumbu lemah Zy =1.5 Sy = 1.5* 75.1= 112.65 cm3, sehingga ϕMn = 0.9*112.65E3*
250/1E6 = 25.346 kNm.
Untuk properti kolom, sama seperti ELM sebelumnya, yaitu ϕPn = 693.4 kN dan Pu = 550 kN.
Jadi data yang belum ada dan diperlukan untuk evaluasi dengan cara DAM adalah Mu, dan untuk itu
perlu dilakukan analisis orde ke-2 dan manipulasi data sebagai berikut :
• Imperfection: berupa beban notional αP = 0.002*550 = 1.1 kN
• Reduksi kekakuan: hitung τb check dulu Py =3965*250/1E3 = 991 kN. Hitung Pr/Py= 550/991=
0.55 > 0.5 maka sesuai ketentuan C2-2b nilai τb = 4*0.55*(1-0.55)= 0.99.
karena EA dan EI semua reduksi maka E* = 0.8τbE = 0.8*0.99*200,000=158400 MPa.
Selanjutnya model strukturnya seperti Gambar 15, dimana dengan P = 550 kN di nodal 3 (vertikal)
dan beban notional αP = 1.1 kN di nodal 2 (horizontal). Modulus elastis reduksi = 158400 MPa
adapun nilai A = 39.65 cm2 ; Imin = Iy = 563 cm4 , tidak ada perubahan dari cara ELM sebelumnya.
Dengan menggunakan proses analisis 2nd Order Elastic Analysis dengan SAP2000 v 15 maka hasilnya
disajikan dalam bentuk numerik sebagai berikut:
SAP2000 v15.1.0 File: EX-DAM-KOLOM-TUNGGAL-2_6M KN, m, C Units PAGE 1
5/30/14 17:59:28
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE 2nd-analysis
FUNCTION momen: Frame 1 Station 8 Moment 3-3
FUNCTION axial: Frame 1 Station 1 Axial Force
Cara DAM selalu menganggap bahwa setiap elemen pada dasarnya adalah balok-kolom. Oleh sebab
itu evaluasinya dengan mengganggap sebagai gaya kombinasi, yaitu Chapter H (AISC 2010), keten-
tuannya adalah H1. Doubly and Singly Symmetric Members Subject to Flexure and Axial Force :
Pu 550
untuk = = 0.793 ≥ 0.2 maka
φPn 693.4
Ru Pu 8 Mu 550 8 1.07456
= + = + × ................................................................................(H1-1a)
φRn φPn 9 φMn 693.4 9 25.346
Ru φRn = 0.7932 + 0.0377 = 0.8309
Pembahasan :
Pada perencanaan kolom tertambat (tidak bergoyang), tumpuan sendi-sendi, terlihat jika penggunaan
beban notional (simulasi imperfection) akan menambah tegangan kolom. Sehingga evaluasi nilai ratio
kuat perlu – kuat tersedia, rationya menjadi lebih besar dibanding ratio yang sama dihitung dengan
cara lama (ELM). Ini dapat dimaklumi karena kurva kuat tekan-kelangsingan kolom tunggal (E3-2
dari AISC 2010) pada dasarnya telah memasukkan pengaruh imperfection, kondisinya double.
Penempatan beban notional di tengah bentang itu sendiri tidak terdapat contohnya di AISC (2010).
Pada code contoh-contoh terkait teori dan aplikasi DAM umumnya merujuk portal bergoyang
sehingga beban notional ada pada titik nodal pertemuan balok dan kolom. Memang pada struktur
jenis itu perilaku tekuk mengakibatkan titik nodal berpindah. Jika mengacu konsep itu yang dipakai,
yaitu tidak ada beban notional di tengah bentang, tapi diberikan pada titik nodal yang juga tumpuan,
maka pastilah tidak ada momen akibat imperfection. Berarti hanya ada efek gaya tekan. Sehingga
hasilnya pasti akan sama persis dengan cara ELM.
Jadi pilihan menempatkan beban notional di tengah bentang, menyesuaikan dengan bentuk deformasi
ketika terjadi tekuk adalah pilihan konservatif (aman). Itupun hasilnya hanya menyebabkan selisih
5% yang tentu saja jika dibandingkan evaluasi statististik kekuatan kolom adalah tidak signifikan.
π 2E π 2 * 200,000
Fe = = = 103.76 MPa ................................................................................. (E3-4)
(KL r )2 137.932
Profil H150×150 sumbu lemah Zy =1.5 Sy = 1.5* 75.1= 112.65 cm3, sehingga ϕMn = 0.9*112.65E3*
250/1E6 = 25.346 kNm.
Untuk properti kolom, sama seperti ELM sebelumnya, yaitu ϕPn = 324.7 kN dan Pu = 325 kN.
Jadi data yang belum ada dan diperlukan untuk evaluasi dengan cara DAM adalah Mu, dan untuk itu
perlu dilakukan analisis orde ke-2 dan manipulasi data sebagai berikut :
• Imperfection: berupa beban notional αP = 0.002*325 = 0.65 kN
• Reduksi kekakuan: hitung τb check dulu Py =3965*250/1E3 = 991 kN. Hitung Pr/Py= 325/991=
0.32 < 0.5 maka sesuai ketentuan C2-2a nilai τb = 1.
karena EA dan EI semua reduksi maka E* = 0.8τbE = 0.8*1*200000=160000 MPa.
Selanjutnya model struktur seperti Gambar 17, dengan P = 325 kN di nodal 3 (vertikal) dan beban
notional αP = 0.65 kN di nodal 3 juga (horizontal). Modulus elastis reduksi = 160000 MPa adapun
nilai A = 39.65 cm2 ; Imin = Iy = 563 cm4 , tidak mengalami perubahan dibanding cara ELM. Dengan
menggunakan proses analisis 2nd Order Elastic Analysis dengan SAP2000 v 15 maka hasilnya disajikan
dalam bentuk numerik sebagai berikut:
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE 2nd-analysis
FUNCTION axial: Frame 1 Station 1 Axial Force
FUNCTION momen: Frame 1 Station 8 Moment 3-3
Perbedaan pokok cara DAM dengan cara ELM adalah bahwa perhitungan selalu memakai K=1 . Oleh
sebab itu nilai ϕPn = 693.4 kN (diambil dari perhitungan kolom tertambat sederhana sebelumnya).
Selanjutnya dievaluasi dengan ketentuan kombinasi, yaitu Chapter H (AISC 2010), ketentuannya
adalah H1. Doubly and Singly Symmetric Members Subject to Flexure and Axial Force :
Pu 325 Ru P 8 Mu
untuk = = 0.4687 ≥ 0.2 maka = u + ........................................................(H1-1a)
φPn 693.4 φRn φPn 9 φMn
Ru 325 8 77.330
= + ×
φRn 693.4 9 25.346
Ru φRn = 0.4687 + 2.71 = 3.18 >>>>>>> dari ratio dengan cara ELM (???).
Petunjuk praktis yang dapat diambil adalah bahwa pada pembebanan rendah, desain cara DAM akan
menghasilkan struktur yang lebih ekonomis, tetapi pada kondisi beban tinggi menghasilkan struktur
yang lebih aman, dibanding hasil desain dengan cara lama atau ELM (AISC 2005).
Itu semua akibat perilaku nonlinier dari adanya interaksi beban dan deformasi yang dapat dilacak
dengan baik oleh DAM (AISC 2010). Untuk melihat bahwa hubungan gaya aksial dan momen pada
kolom adalah tidak linier maka data di atas akan diakses dari hasil analisis SAP2000 dan ditampilkan
dalam bentuk kurva memakai program Excel sebagai berikut :
Gambar 18. Perilaku nonlinier gaya aksial tekan dan momen pada kolom
Cara ELM (AISC 2005) dengan faktor-K, hanya memperhitungkan pengaruh kekakuan yang tersam-
bung penuh pada kolom yang ditinjau. Untuk sistem struktur yang disebut Lean-On (Gambar 19d),
maka pendekatan dengan faktor K akan mengalami masalah. Kata lainnya, cara ELM tidak bisa
dipakai. Nah disitu keunggulan cara DAM (AISC 2010) yang akan ditunjukkan dalam perhitungan.
5.2 Rangka Lean-ON dengan Kolom Beda Kekakuan
Gambar 20. Rangka Lean-On dengan Kolom Beda Kekakuan (profil baja)
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE 2nd-analysis
FUNCTION Frame1: Frame 1 Station 1 Moment 3-3
FUNCTION gaya: Joint 1 Spring Force U3
Cara DAM memerlukan perhitungan kolom dengan K=1 . Oleh sebab itu besarnya ϕPn = 693.4 kN,
yang didasarkan dari perhitungan kolom tertambat sederhana sebelumnya, akan tetap dipakai.
Evaluasi kapasitas kolom berdasarkan ketentuan Chapter H (AISC 2010), yaitu H1. Doubly and
Singly Symmetric Members Subject to Flexure and Axial Force sebagai berikut :
Check pada Pu = 320 kN yang merupakan beban maksimum jika dianggap kolom bergoyang.
Pu 320 R P 8 Mu
untuk = = 0.46 ≥ 0.2 maka u = u + ..............................................................(H1-1a)
φPn 693.4 φRn φPn 9 φMn
Ru 320 8 0. 2
= + × = 0.46 + 0.007 = 0.467 < 1 Æ berarti bukan lagi kolom bergoyang.
φRn 693.4 9 25.346
Karena lebih kecil dari persyaratan perencanaan, berarti kolom dapat ditingkatkan bebannya. Ketika
beban sampai Pu = 680 kN yang merupakan kapasitas maksimum kolom tunggal, maka hasilnya :
Gambar 22. Diagram Gaya Aksial pembebanan pada Step-34 (Unit - kN)
Gambar 23. Diagram Bending Momen pembebanan pada Step-34 (Unit - kNm)
Diagram bending momen di atas diperoleh karena digunakan Second Order Elastic Analysis memakai
SAP2000 v 15 dan itu merupakan bagian persyaratan untuk perancangan dengan DAM (AISC 2010).
Sedangkan stabilitas dengan cara ELM (AISC 2005) memakai metode pendekatan berdasarkan analisis
elastik-linier biasa. Itulah salah satu keunggulan DAM terhadap ELM terkait stabilitas struktur.
Seluruh sistem mempunyai konfigurasi yang sama seperti sebelumnya, kecuali ke dua kolom (kiri dan
kanan) memakai Kolom H 150x150 . Karena simetri maka hasil analisis orde ke-2 dengan SAP2000
v15 hanya akan membahas kolom kiri saja, sebagai berikut:
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE 2nd-analysis
FUNCTION Frame1: Frame 1 Station 1 Moment 3-3
FUNCTION gaya: Joint 1 Spring Force U3
Check step ke-16 dimana Pu = 320 kN dan Mu = 71.94 kNm (jika dianggap sebagai kantilever)
Pu 320
untuk = = 0.46 ≥ 0.2 maka
φPn 693.4
Pu 8 Mu
Ru φRn = + .................................................................................................................(H1-1a)
φPn 9 φM n
320 8 71.94
Ru φRn = + ×
693.4 9 25.346
Ru φRn = 0.46 + 2.52 = 2.983 > 1 Æ fail : perilakunya kembali menjadi kolom bergoyang.
Untuk melihat perbedaan perilaku kolom kiri (kolom tertambat) ketika kolom kanan pakai profil lebih
besar (sebagai bracing); dan kolom kiri (kolom bergoyang) ketika kolom kanan memakai profil sama,
maka perlu dibuat grafik hubungan beban (vertikal) dan momen (horizontal) sebagai berikut.
Gambar 25. Perilaku P-M kolom kiri (tertambat atau bergoyang) akibat kekakuan kolom kanan
Seluruh sistem mempunyai konfigurasi yang sama seperti sebelumnya, kecuali kolom kanan dengan
ketinggian yang berbeda. Sistem penomoran titik nodal dan elemen batang pada pemodalan adalah
sebagai berikut :
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE 2nd-analysis
FUNCTION Frame1: Frame 1 Station 1 Moment 3-3
FUNCTION gaya: Joint 1 Spring Force U3
Check step sebelumya yaitu ke-20 dimana Pu = 400 kN dan Mu = 11.9 kNm sebagai berikut
Pu 400
untuk = = 0.58 ≥ 0.2 maka
φPn 693.4
420 8 11.9
Ru φRn = + × == 0.58 + 0.417 = 0.997 ≤ 1 Æ OK
693.4 9 25.346
Gambar 28. Deformasi rangka “Leaning –On” pada Step-20 (menjelang fail)
Meskipun bebannya hanya aksial tekan saja, tetapi karena adanya simulasi “imperfection” yang diaki-
batkan oleh “beban notional” dan sekaligus dilakukan analisis order ke-2 yang mampu memperhi-
tungkan efek perubahan geometri akibat adanya deformasi, makadapat dilihat besarnya distribusi
Bending momen yang terjadi.
Pada Gambar 29 terlihat bahwa kolom yang pendek (yang lebih kaku) memikul momen yang lebih
besar karena berfungsi juga sebagai “bracing” bagi kolom lainnya, yang meskipun memakai profil yang
sama H150×150, tetapi lebih panjang sehingga menjadi kurang kaku dibanding yang pendek. Ingat
kekakuan lentur kolom adalah EI/L.
Meskipun kolomnya lebih pendek dan dibebani gaya aksial yang sama besar, momen lenturnya lebih
besar karena berfungsi juga sebagai bracing bagi kolom yang langsing. Oleh karena itu perlu dievaluasi
kekuatannya terhadap pertambahan beban yang diberikan sebagai berikut.
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE 2nd-analysis
FUNCTION Frame4: Frame 4 Station 1 Moment 3-3
FUNCTION gaya: Joint 1 Spring Force U3
Check step ke-20, sama kondisinya dengan kolom kiri, diperoleh Pu = 400 kN dan Mu = 22.56 kNm.
Oleh karena panjang kolom kanan berbeda (L = 2000 mm), yaitu lebih pendek, maka kekuatannya
dengan faktor K=1 perlu dihitung terlebih dahulu, dimana KL/rmin = 1*2000/37.7 = 53.1 maka untuk
KL/r ≤ 4.71√(E/Fy) = 133.22 atau kondisi kolom dengan tekuk inelastis dihitung sebagai berikut.
π 2E π 2 * 200,000
Fe = = = 700 MPa ....................................................................................... (E3-4)
(KL r )2 53.12
(
Fcr = 0.658 Fy Fe
)⋅ F
y = 0.861Fy = 215.3 MPa................................................................................ (E3-2)
Meskipun kolom kanan lebih pendek dan kekuatannya 768.3 / 693.4 = 1.1 atau 10% lebih tinggi dari
kolom kiri (lebih panjang), tetapi karena kolom kanan berfungsi juga sebagai “bracing”, menyebabkan
terjadi momen reaksi yang cukup besar. Itu tentu saja akan mempengaruhi kapasitas kolom secara
keseluruhan dan akibatnya over-stress (tidak memenuhi syarat). Beban harus diperkecil.
Perhatikan : adanya distribusi beban akibat deformasi seperti ini, tidak akan bisa dilacak jika memakai
cara ELM (AISC 2005) saja. Ini merupakan salah satu kelebihan dari cara DAM (AISC 2010).
Gambar 30. Tipe scaffolding produksi PT. Putracipta Jayasentosa (Dewobroto 2013a)
Jenis tumpuan scaffolding, yang terletak pada di bagian bawah kolom pipa baja terdiri dari base-plate.
Tidak ada sistem pengangkuran untuk penahan gaya tarik (up-lift) atau gaya geser, yang umumnya
diperlukan untuk menahan beban lateral atau beban vertikal yang eksentris (timbul momen guling).
Stabilitas sistem terhadap pergeseran untuk mencegah perpindahan tempat hanya mengandalkan pada
friksi antara base-plate dan permukaan lantainya. Selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem
scaffolding di atas hanya cocok dipakai untuk menahan beban vertikal sentris atau kalaupun eksentris,
tidak menimbulkan gaya up-lift, atau jika terpaksa dapat juga beban lateral yang relatif kecil, yang ten-
tunya tidak menghasilkan momen guling atau pergeseran yang lebih besar dari gaya friksinya.
horz pipe
Ø48 mm
450
vert pipe
Ø48 mm
t=3.25 mm
2100
1500
diag pipe
Ø48 mm
t=3.25 mm
bearing support
on jack-base-tube
jack-base-tube
150
Notasi nama H2000-L1000-W1500 adalah mengindikasikan dimensi scaffolding, yaitu tinggi 2.0 m dan
dimensi dasarnya 1.0 × 1.5 m. Bagian bawah yang disebut jack-base-tube bersifat optional, dapat
dilepas dan dipasang, diperlukan untuk menambah ketinggian.
horz pipe
Ø48 mm
t=3.25 mm
vert pipe
Ø58 mm
2111
t=3.25 mm
1500
diag pipe
Ø48 mm
t=3.25 mm
horz pipe
Ø48 mm
varies (500 - 2000)
t=3.25 mm
vert pipe
Ø48 mm
t=3.25 mm
Ø38 mm
t=3.25 mm
Gaya 11.82 ton tersebut merupakan beban ultimate, yaitu nilai maksimum yang terekam selama
pengujian. Untuk melihat perilaku lengkap struktur selama pembebanan akan lebih baik jika melihat
kurva hubungan beban-perpindahan selama pengujian seperti dilihat di Gambar 33. Informasi
besarnya beban diambil berdasarkan rekaman Load-cell (kapasitas 50 ton) yang terpasang di kaki-kaki
kolom scaffolding, sedangkan informasi perpindahan dari rekaman displacement transduscer(Tr).
1 2
2030
B
KETERANGAN :
1. VERTICAL POST 2000 = 4 Pcs
2. PIPE LEDGER L2000 = 8 Pcs
3. VERTICAL DIAGONAL 2375 = 4 Pcs
4. U HEAD FORK = 4 Pcs
5. BASE PLATE 50.8x200 = 4 Pcs
2030
A B
A
2030
ledger
Ø58 (t=3.6)
vertical
diagonal
1500
Ø42 (t=3.2)
vertical post
153
base
plate
Ø48 (t=3.2)
Selanjutnya Puslitbang menentukan konfigurasi uji beban dan pemasangan alat ukur sebagai berikut.
Gambar 35. Konfigurasi pengujian beban yang akan dilaksanakan (Puskim 2011b)
U-Head Fork di bagian atas, dimodelkan terjepit dengan kebebasan arah vertikal (untuk menyalurkan
beban). Kondisi jepit yang tidak direncanakan, dianggap semi-rigid dengan memodifikasi kekakuan
kolom di bawahnya, reduksi inersia yang nilainya dikalibrasi dengan hasil uji empiris.
Untuk menentukan imperfection yang menentukan ditinjau tiga kasus (Gambar 39), yang berbeda
pada arah “beban notional” (AISC 2010), selanjutnya dicari efek beban yang paling menentukan.
Gambar 39. Penempatan Beban Ultimate (Pu) dan Notional (Nload) – 1 tingkat
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE Case-1
CASE Case-2
160
140
120
100
Case-1
80 Case-2
Case-3
60
40
20
0
-0.03 -0.025 -0.02 -0.015 -0.01 -0.005 0 0.005 0.01 0.015 0.02
Gambar 40. Kurva P(kN) dan Perpindahan Lateral Nodal #7 (meter) (Dewobroto 2013a)
Analisis menunjukkan : Case-1 memberi kondisi beban terkecil yang masih memperlihatkan kondisi
stabil (Gambar 41), karena jika ditambahkan beban lagi (atau step beban berikutnya), akan timbul
kondisi ketidak-stabilan atau instabilitas pada struktur (lihat juga Gambar 42).
Tahapan beban (step) yang kritis adalah sebagai berikut :
Step loading deformasi beban-total
14.00000 -105.00000 0.00243 104.97657 Æ P ult
15.00000 -112.50000 -0.02224 112.38535 Æ buckle
Pada kondisi step 14 dan 15 selanjutnya akan ditinjau detail dan dievaluasi kekuatan nominal elemen
kolomnya secara lokal sesuai ketentuan AISC (2010).
Tinjauan pertama melihat deformasi pada step-step pembebanan (Gambar 41 dan 42), dari visualisasi
yang dihasilkan terlihat ada perubahan bentuk geometri scaffolding yang mendadak, tahapan beban
terakhir yang stabil (step-14) ke step-15. Pada kondisi tersebut dianggap terjadi instabilitas struktur
atau buckle. Jadi program SAP2000 versi 14.0 berhasil mengindentifikasikan ketidak-stabilan struktur
secara global, sedangkan jika dipakai analisa elastik linier biasa (tanpa P-delta) tidak bisa diperoleh.
Struktur yang mengalami buckle tidak bisa digunakan, jadi kondisi pembebanan pada step-15 tidak
perlu diperiksa lebih lanjut, karena sudah jelas tidak bisa digunakan.
Gambar 42. Deformasi pada Pu = 112 kN (δ = 22.4 mm) – Case 1 @ Step 15 (Dewobroto 2013a)
Jika dianggap bahwa kondisi beban pada Step-14 adalah kondisi akhir struktur sebelum mengalami
instabilitas (buckle) maka besarnya beban tersebut disebut sebagai beban ultimate atau beban batas.
Jadi Pu = 105 kN terhadap kondisi stabilitas global.
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE Case-1: Element #2
N O N L I N E A R S T A T I C D A T A
CASE Case-1: Element #14
r= 1
4 d 2 + d12 = 14 582 + 51.52 = 19.4 mm ............................................................................ (radius gyration)
Z = 16 (d 3 − d13 ) = 16 (583 − 51.53 ) = 9753.5 mm3 .............................................................. (modulus of plasticity)
D 58 E 200000
= = 17.85 <<< 0.11 = 0.11 = 106.3 .......................................................(ASTM A513)
t 3.25 Fy 207
D 58 E 200000
= = 17.85 <<< 0.11 = 0.11 = 59.3 ....................................................(Mill-certificate)
t 3.25 Fy 371
Kolom pipa φ 58 mm adalah non-slender element, tidak ada resiko tekuk lokal (local buckling). Jarak
bracing (pipa diagonal dan horizontal) dianggap sebagai panjang elemen bebas jadi KL = 1.5 m dimana
dianggap K=1 (AISC 2010).
Vertical Pipe φ58 mm (L = 0.5 m) - Mill-certificate
⎛ KL 1 * 1500 ⎞ ⎛ E 200000 ⎞
⎜⎜ = = 77.3 ⎟⎟ ≤ ⎜ 4.71 = 4.71 = 109.4 ⎟ ................................................ (AISC E3-2)
⎝ rmin 19.4 ⎠ ⎜⎝ Fy 371 ⎟
⎠
π 2E π 2 * 200000
Fe = = = 330 MPa
[KL r ]
min
2
77.32
⎡ Fy
⎤ ⎡ 371
⎤
⎢ ⎥
Fcr = 0.658 Fy = ⎢0.658 ⎥371 = 0.625 * 371 = 231.7 MPa
Fe 330
⎢⎣ ⎥⎦ ⎣ ⎦
Pu 105
= = 0.9
φPn 0.9 * 129.5
Momen akibat kondisi “imperfection” diperhitungkan maka :
Check local buckling pipa : D
t ≤ 0.07 E Fy for compact section ........................................................(AISC B4)
D 58 E 200000
= = 17.85 <<< 0.07 = 0.07 * = 80 .............................................. (Grade STKM12A)
t 3.25 Fy 175
D 58 E 200000
= = 17.85 <<< 0.07 = 0.07 = 38 ......................................................(Mill-certificate)
t 3.25 Fy 371
Mu 0.37
= = 0.24
φMn 0.9 * 1.707
M n = Fy ⋅ Z = 371 * 9753.5 / 1E 6 = 3.618 kN - m ....................................................................(Mill-certificate)
Mu 0.37
= = 0.1136
φMn 0.9 * 3.618
Kondisi tegangan gabungan mengacu ketentuan AISC : H1 (Doubly and Singly Symmetric Members
Subject to Flexure and Axial Force)
Pr P
= u = 0.9 >> 0.2 jadi
Pc φPn
Pr 8 M r P 8 Mu 8
+ = u + = 0.9 + * 0.24 = 1.113 > 1 ........................................... (JIS Grade STKM12A)
Pc 9 M c φPn 9 φM n 9
Pr 8 M r P 8 Mu 8
+ = u + = 0.9 + * 0.1136 = 1.00009 ≈ 1 .............................................(Mill-certificate)
Pc 9 M c φPn 9 φM n 9
Dengan material terpasang (mill-certificate), kuat struktur (global) ≈ elemen (lokal), tetapi untuk
material spesifikasi minimum JIS Grade STKM12A (Fy = 175 MPa) terjadi overstress. Pu elemen lokal
<< dari Pu struktur global. Jadi scaffolding 1-storey, daya dukung maksimum Pu = 105 kN = 10.5 ton .
6.11 Perbandingan hasil simulasi dan real
Terlepas dari mutu material yang dipakai, hasil simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa analisis
dengan DAM memberikan hasil analisis stabilitas yang cukup lengkap, ada tinjauan stabilitas struktur
(global) dan elemen (lokal).
Selanjutnya untuk memastikan bahwa simulasi mempunyai keamanan untuk diguna-kan pada kasus
nyata maka akan dibandingkan dengan kalibrator yaitu hasil uji eksperimental scaffolding di Bandung.
Perbandingan antara Case-1 simulasi dan perilaku keruntuhan dalam bentuk grafik:
16
Tr-3
14 Tr-4
Tr-9
12 Tr-10
Tr-12
Reaksi (ton) per tiang
10 Tr-13
CASE-1
0
-30 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 25
7. KESIMPULAN
Telah diungkapkan dalam bentuk studi kasus penyelesaian numerik yang menunjukkan bahwa pada
pembebanan rendah, perencanaan struktur baja dengan cara DAM (AISC 2010) dapat menghasilkan
struktur baja yang lebih ekonomis, tetapi pada kondisi beban tinggi, mampu menghasilkan struktur
baja yang lebih aman, dibanding hasil desain dengan cara lama atau ELM (AISC 2005).
Telah diungkapkan juga studi kasus struktur jenis Lean-On (Galambos 1998) yang tidak dapat dise-
lesaikan secara mudah dengan cara lama (ELM) ternyata bukan sesuatu hal yang khusus jika diselesai-
kan dengan cara baru (DAM). Ini juga merupakan bukti sederhana, bahwa alasan untuk berpindah ke
cara baru adalah tidak semata-mata karena cara baru akan lebih ekonomis, bukan itu. Tetapi karena
cara baru menawarka solusi yang mempunyai kelebihan dibanding cara lama.
Akhirnya telah diungkap juga bahwa cara baru (DAM) mempunyai hasil yang berkorelasi dengan hasil
uji empiris. Jika itu dapat dimaknai sebagai suatu kebenaran, maka tentu saja strategi yang ditawarkan
dengan DAM jelas lebih sederhana dibanding solusi inelastis-nonlinier dengan FEM yang kompleks.
Akhirnya semoga makalah ini memicu perkembangan perencanaan struktur baja di Indonesia.
8. DAFTAR PUSTAKA
AISC.(2005). “An American National Standard ANSI/AISC 360-05 : Load Specification for Structural
Steel Buildings”, American Institute of Steel Construction, Inc., Chicago, Illinois
AISC.(2010). “An American National Standard ANSI/AISC 360-10 : Load Specification for Structural
Steel Buildings”, American Institute of Steel Construction, Inc., Chicago, Illinois
Dewobroto, W.(2013a). “Laporan Akhir - Simulasi Uji Stabilitas : Scaffolding PT. Putra Jayasentosa
(Type H2000 L1000 W1500 dan Type H2000 L2000 W2000)”, untuk disajikan kepada PT.
Gistama Inti Semesta dan PT. Putra Jayasentosa (tidak dipublikasikan).
Dewobroto, W.(2013b). “Komputer Rekayasa Struktur dengan SAP2000”, Lumina Press, Jakarta
Galambos . (1998). “Guide to Stability Design Criteria for Metal Structure 5th Ed.”, John Wiley & Sons
Geschwindner, L.F. (2002). “2000 T.R. Higgins Award Paper - A Practical Look at Frame Analysis,
Stability and Leaning Columns”, Engineering Journal, Fourth Quarter 2002
Puskim. (2011a).“RSNI1 03-1729.1-201X : Spesifikasi Umum untuk Gedung Baja Struktur”, Badan
Standarisasi Nasional , 307 halaman. <<draft internal dipublikasikan secara terbatas>>
Puskim. (2011b). “Laporan Akhir – Pengujian Struktur Scaffolding PT. Putracipta Jayasentosa”,
Kementrian Pekerjaan Umum – Badan Penelitian dan Pengembangan – Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman, Jl. Panyaungan – Cileunyi Wetan, Oktober 2011