Anda di halaman 1dari 34

BIOGRAFI IBNU BATUTAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri

Mata Kuliah: Bibliografi

Dosen Pengampu: Agus Permana, M. Ag.

Disusun oleh : Tati Herawati

Semester/kelas : II D

SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2020
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt yang telah memberikan
kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
beserta salam selalu dicurah limpahkan kepada jungjungan alam Rasulallah Sallallahu
‘Alaihiwassalam.

Saya juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas makalah mengenai biografi Ibnu Batutah ini sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Penulis

Tati Herawati

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................................ i


Daftar Isi ................................................................................................................................... ii
BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
1.3. Tujuan ....................................................................................................................... 1
BAB II ...................................................................................................................................... 2
BIOGRAFI .............................................................................................................................. 2
2.1. Kelahiran ................................................................................................................... 2
2.2. Awal mula perjalanan meninggalkan Thanjah .......................................................... 2
2.3. Pertama kali berhaji ................................................................................................ 10
2.4. Meninggalkan Mekkah ............................................................................................ 11
2.5. Tiba di Bagdad ......................................................................................................... 13
2.6. Laut Merah .............................................................................................................. 15
2.7. Yaman ..................................................................................................................... 16
2.8. Anatolia ................................................................................................................... 17
2.9. Konstantinopel ........................................................................................................ 18
2.10. India .................................................................................................................... 20
2.11. Maldives .............................................................................................................. 22
2.12. China ................................................................................................................... 23
2.13. Pulang ................................................................................................................. 25
2.14. Samudra Pasai ..................................................................................................... 25
2.15. Maroko ................................................................................................................ 27
BAB III................................................................................................................................... 28
KARYA IBNU BATUTAH .................................................................................................. 28
BAB IV ................................................................................................................................... 29
PENUTUP.............................................................................................................................. 29

ii
4.1. Kesimpulan .................................................................................................................. 29
4.2. Saran ............................................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Di dalam kesejarahan ada banyak sekali tokoh-tokoh yang termuat. Khususnya


dalam tokoh Sejarah Peradaban Islam. Oleh karena itu, disini saya akan mengkaji
sedikit mengenai biografi salah satu tokoh Sejarah Peradaban Islam, yaitu Ibnu
Batutah. Seperti yang kita ketahui bahwa Ibnu Batutah adalah Musafir Abad
Pertengahan yang paling banyak mengunjungi tempat-tempat yang ada di bumi ini.
Traveler mungkin sebutannya pada zaman sekarang. Ibnu Batutah memulai
perjalanan di usia nya yang masih muda, yaitu 22 tahun, perjalanannya ditempuh
selama 30 tahun lamanya, dengan mengunjungi 44 negara. Dalam makalah ini
mencakup riwayat hidup Ibnu Batutah, Biografi, ikhtisar sebagian kecil
perjalanannya, serta karya-karyanya.

1.2.Rumusan Masalah

Siapa tokoh sejarah Islam yang bernama Ibnu Batutah itu? Bagaimana riwayat
hidup Ibnu Batutah? Apa saja karya-karyanya?

1.3.Tujuan

Dengan penulisan makalah ini saya harap bisa membantu orang lain mengenai
pengenalan terhadap salah satu tokoh dalam Sejarah Islam, serta karya-karya nya.
Tidak hanya mengenal sang tokoh saja, namun saya harap kita semua bisa
mengambil ibrah dari tulisan ini.

1
BAB II
BIOGRAFI

2.1. Kelahiran
Ibnu Batutah lahir pada tanggal 24 Februari 1304 (723H) di Tanjah, Maroko.
Ibnu Batutah lahir pada zaman Bani Marin (Abad Pertengahan). Nama asalnya Abu
Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati At-Tanji bin Batutah ( ‫أبو عبد هللا محمد‬
‫)بن عبد هللا اللواتي الطنجي بن بطوطة‬. Keluarganya berasal dari etnis Berber yang banyak
berkiprah menjadi seorang hakim (qadhi). Tapi, Ibnu Batutah keluar dari tradisi.
Setelah belajar hukum Islam, ia enggan menjadi hakin, tapi memilih menjadi
petualang. Ibnu Batutah dikenal karena petualangannya mengelilingi dunia.

2.2. Awal mula perjalanan meninggalkan Thanjah


Ibnu Batutah yang juga dikenal sebagai Shams Ad-Din rupanya sangat berjiwa
petualang. Terbukti dari kemandiriannya dalam menjelajah dunia. Dia selalu
selamat dari segala marabahaya yang mengadang di sepanjang jalan. Hampir
120.000 km telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 M atau tiga kali
lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo. Seluruh catatan

2
perjalanan dan pengalaman Ibnu Batutah selama pengembaraan ditulis ulang oleh
Ibnu Jauzi seorang penyair dan penulis buku kesultanan Maroko.

Pada bulan Juni 1325, saat berusia dua puluh dua tahun, Ibnu Batutah berangkat
meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji, yakni
perjalanan ziarah ke Mekah , melewati Aljazair, Tunisia, Mesir, Palestina, Suriah
yang kala itu lazim memakan waktu enam belas bulan.

Syaikh Abu Abdullah berkata, “Aku keluar meninggalkan Tanjah, tanah

kelahiranku pada hari Kamis tanggal 2 Rajab tahun 725H, dengan maksud

menunaikan ibadah haji di tanah suci dan berziarah ke makam Rasulallah

Salallahu ‘alaihi wassalam. Aku melakukan perjalanan ini sendiri, tanpa

teman yang mengiringi. Hal ini didorong oleh tekad yang sangat kuat dan

kerinduan yang sangat mendalam pada Ma’had yang mulia (Makkah dan

Madinah). Aku bertekad meninggalkan orang-orang yang kucintai, laki-

laki maupun perempuan. Kutinggalkan negeriku laksana burung yang

meninggalkan sarangnya. Waktu itu kedua orang tuaku masih hidup, dan

aku berusia 22 tahun. Meninggalkan mereka adalah suatu beban berat

yang melelahkan.” (Bathuthah, 2009, hal. 7)

Ibnu Batutah sampai di kota Tilmisan (Thelmecen) yang kala itu dikuasai oleh
Abu Tasyfin Abdurahman. Disana beliau berjumpa dengan dua utusan sultan Abu

3
Yahya, sang penguasa Afrika. Setelah itu, beliau meninggalkan kota Tilmisin dan
berjalan mengikuti dua utusan tersebut. Pada pertengahan musim panas, tibalah
beliau di Kota Milyanah. Setelah bertahan selama sepuluh hari, beliau melanjutkan
perjalanan dengan meninggalkan kedua utusan tadi, ditemani beberapa saudagar
dari Tunisia. Mereka sampai di Kota Aljazair kemudian menetap beberapa hari dan
kemudian menuju bukit Jabal Zan. (Bathuthah, 2009, hal. 8)

Sampailah Ibnu Batutah bersama beberapa saudagar dari Tunisia di kota


Bijayah. Di kota ini, salah satu yang menemani perjalanannya(dari Milyanah)
meninggal dunia, yaitu Muhammad bin al-Hajar, dia meninggalkan tiga ribu dinar
emas. “Saat kami tiba di Kota Bijayah, aku sakit demam, Ali bin Abdullah

Az-Zubaidi menyarankan agar aku menetap sementara waktu disana

sampai pulih kesehatanku. Aku abaikan sarannya seraya mengatakan :

Jika Allah menetapkan aku mati disini, maka aku mati di jalan menuju

Hijaz (untuk ibadah Haji).” Beliau melanjutkan perjalanannya dengan


menunggang kuda yang dipinjamkan oleh Zubaidi. (Bathuthah, 2009, hal. 9)

4
Sampailah Ibnu Batutah di kota Kosantiniyah, melanjutkan menuju kota Bunah,
istirahat di Kota ini beberapa hari, kemudian sampai di Kota Tunis. Ketika Ibnu
Batutah sampai di kesultanan Tunisia, kota ini dikuasai oleh Sultan Abu Yahya bin
Sultan Abu Zakariya Yahya. “Saya mengalami masa hari raya Idul Fitri di Tunisia.
Aku datang ke Mesjid, dan orang-orangpun telah merayakan hari raya ini. Mereka
mengenakan busana terbaik yang mereka miliki. Shalat dan khutbah ied sudah
dilaksanakan dan orang-orang pun pulang ke rumah masing-masing.” (Bathuthah,
2009, hal. 12)

Pada akhir bulan Dzulqa’dah Ibnu Batutah bersama orang yang menemaninya
meninggalkan kota Tunisia dengan menempuh wilayah pesisir. Sampailah mereka
di negeri Susah, sebuah negeri kecil yang indah. Kemudian sampailah mereka di
kota Safaqus. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Qabis dan Tharablus
(Tripoli). Dalam sebagian perjalanan tersebut, mereka berada pada hari-hari idul
Adha. Di Safaqus, Ibnu Batutah menikahi putri seorang pejabat Tunis. Di akhir

5
bulan Muharram tahun ke 26, beliau meninggalkan Tripoli dan beberapa orang dan
keluarga. (Bathuthah, 2009, hal. 13)

Di sepanjang perjalanan mereka melewati kota Misratah dan Istana Surt. Disana
mereka nyaris dihukum oleh orang Arab, namun situasi tidak memungkinkan untuk
menghukum mereka. Hingga akhirnya mereka masuk ke hutan melewati istana
Barsis. Di tempat itu, terjadi pertikaian antara Ibnu Batutah dengan mertuanya yang
berujung perceraian dengan putrinya. Kemudian Ibnu Batutah menikahi putri Fes
dan melangsungkan pernikahan di istana Za’afiyah. (Bathuthah, 2009, hal. 14)

Di bulan Jumadil Ula, mereka tiba di istana Iskandariyah. Kota ini ibarat tubuh
yang terjaga, ibarat parfum yang digemari. Kota ini memiliki gedung-gedung yang
menakjubkan. Untuk melukiskan keindahan kota ini, manusia menggunakan
bahasa yang panjang lebar. Mereka mengungkapkan kekagumannya pada kota ini
dengan bahasa yang tidak pernah digunakan orang lain. Ini terbukti dalam kitab al-
Masalik karya Abu Ubaid. (Bathuthah, 2009, hal. 14)

6
Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya hingga sampai di Mesir, “Aku sampai

di Kota Kairo yang merupakan puasat negeri, dan negeri Firaun yang

memiliki bangunan-bangunan kuat, yang memiliki wilayah yang sangat luas

dengan rumah-rumah tinggi nan indah dan enak dipandang. Kota Kairo

merupakan pusat kegiatan ekspor-impor, tempat transit bagi para

pelancong kaya dan miskin. Di kota Kairo apa saja dapat Anda jumpai,

pandai-bodoh, gemuk-kurus, mulia-hina, kebaikan-kejahatan. Air autnya

bergelombang seiring denga gerak pnduduknya, dan wilayah yang

demikian luas menjadi sempit dengan populasi penduduknya yang mulai

padat. Sungai Nil menjadi simbol kota dan memang memainkan peranan

sangat penting bagi warganya.” (Bathuthah, 2009, hal. 34)

“Piramida Mesir meupakan salah satu bangunan menakjubkan yang

menjadi buah bibir sepanjang sejarah.” Saat Ibnu Batutah masuk ke Mesir,

7
wilayah itu dikuasai oleh Raja al-Malik an-Nashir Abu Al-Fatih Muhammad bin
Al-Manshur Saifuddin Qalawun ash-Shalihi. (Bathuthah, 2009, hal. 42)

Waktu terus berjalan hingga Ibnu Battutah sampai di sebuah kota yang bernama
Aidzab. Disana kondisi tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan, hingga
beliau kembali ke Mesir dan menuju Syam, sebagaimana yang dikatakan oleh
Sayid Abu Muhammad bahwa ibadah Haji Ibnu Batutah yang pertama akan
dilakukan melalui perjalanan yang melintasi Syam.

Ibnu Batutah kembali ke Kairo dan memilih jalur lain, kali ini melewati Kota
Damaskus yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mamluk. Dalam
perjalanannya yang pertama, ia pernah berjumpa dengan seorang wali yang
meramalkan bahwa ia hanya dapat sampai ke Mekah melalui Syam. Jalur kedua ini
justru ia anggap menguntungkan, karena melewati banyak tempat suci, termasuk
Hebron, Yerusalem, dan Betlehem. Selain itu, para pejabat Kesultanan Mamluk
juga mengerahkan segala daya dan upaya untuk menjaga keamanan jalur ini bagi
para peziarah. Tanpa jerih payah mereka, para musafir yang melewati jalur ini
pastilah menjadi bulan-bulanan perampok dan pembunuh.

Kemudian beliau melanjutkan perjalanan hingga sampai ke kota Udfu, dari


kota ini beliau menyebrangi Nil menuju kota Athwani. Disinilah beliau menyewa
Unta, dan melanjutkan perjalanan bersama sekelompok orang Arab yang disebut
dengan Dughaim. Mereka melewati padang pasir yang tak berpenghuni, namun
perjalanan mereka selalu aman. Walaupun sesekali mereka bertempur dengan
beberapa penyamun. (Bathuthah, 2009, hal. 54)

Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan hingga tibalah di Gaza. Dari Gaza, beliau
melanjutkan perjalanan menuju kota al-Khalil dan kemudian ke al-Quds. Dalam
perjalanan menuju Al-Quds beliau berziarah ke makam nabi Yunus a.s. Di atas
makam Nabi Yunus a.s. terdapat sebuah bangunan besar dan masjid. Beliau juga

8
berkunjung ke Betlehem, tempat kelahiran Nabi Isa a.s. Hingga Ibnu Batutah tiba
di Baitul Maqdis, kota yang dibebaskan oleh Salahuddin al-Ayyubi dari pasukan
salib. (Bathuthah, 2009, hal. 59)

Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan, melewati Sheda, Thabariyah, Beirut,


hingga tiba di Tripoli. Ditinggalkannya Tripoli kemudian menuju Halab dan sampai
di Tizin. Kemudian melanjuttkan perjalanan menuju Antokia. Sebuah kota yang
besar dan asri, di atasnya dibangun tembok yang kuat. Di kota Antokia terdapat
banyak bangunan rumah, pepohonan dan air. Di luar kota terdapat sungai al-ashi.
Di Antokia terdapat zawiyah yang menyediakan makanan untuk para pelancong.
Syekhnya bernama Muhammad bin Ali yang berusia hampir seratus tahun, namun
tenaganya masih kuat. Suatu hari Ibnu Batutah singgah di kebun milikinya, saat itu
ia sedang mengumpulkan kayu bakar. Ia membawa sendiri kayu itu ke rumahnya
yang terletak di pusat kota. (Bathuthah, 2009, hal. 75)

Ibnu Battutah mengunjungi Kastil Baghras. Disini orang bisa memasuki kota
Siis, kota kaum kafir Armenia. Mereka adalah rakyat raja al-Malik an-Nashir.
Mereka membayar sejumlah uang dirham perak murni yang disebut sebagai
baghliyah. (Bathuthah, 2009, hal. 75)

9
2.3. Pertama kali berhaji

Setelah melewatkan bulan Ramadan


di Damaskus, ia berangkat bersama
serombongan kafilah, menempuh
perjalanan sejauh 1.300 km (810 mil) ke
arah selatan menuju Madinah, situs
Mesjid Nabi Muhammad. Setelah
singgah selama empat hari di Madinah,
Ibnu Batutah berangkat menuju Mekah
guna menamatkan perjalanan ziarahnya
sehingga layak menyandang gelar Al-
Haji. Alih-alih pulang ke Maroko selepas
berhaji, Ibnu Batutah malah ingin terus
berkelana, dan memutuskan untuk
bertolak ke arah timur laut menuju
Ilkhanan (Negeri Ilkhan Hulagu), salah
satu dari sekian banyak negeri yang
diperintah oleh Khan Mongol.

Pada 17 November 1326, setelah sebulan lamanya berdiam di Mekah, dan


setelah melakukan tawaf wada’, Ibnu Batutah bergabung dengan serombongan
besar kafilah haji yang akan kembali ke Irak, Khurasan, Persia, dan negeri-negeri
ajam lainnya, melalui jalur lintas Jazirah Arab. Kafilah ini membawa membawa
banyak perbekalan, diantaranya jerigen-jerigen air, membawa banyak unta untuk
membawa barang yang akan disedekahkan, atau mengangkat obat-obatan,
minuman dan gula untuk mengobati orang yang sakit dalam perjalanan. Kafilah ini

10
memasak makanan di waktu istirahat, sebagaian makannannya disumbangkan
kepada para ibnu sabil atau orang lain yang kehabisan bekal. Rombongan juga
menyiapkan unta-unta untuk mereka yang tak sanggup lagi meneruskan perjalanan
dengan jalan kaki. Semua itu diberikan karena kemurahan hati Sultan Abu Sa’id.
(Bathuthah, 2009, p. 185)

Ibnu Batutah bersama kafilah nya melanjutkan perjalanan dengan empat fase
perjalanan. Setiap fase ditempuh dua kali dalam sehari, salah satunya dilakukan
ba’da subuh dan yang kedua ba’da Isya. Mereka singgah di Badar, kemudian
menuju Madinah yang ditempuh selama tiga hari. Mereka lanjutkan perjalanan
hingga tiba di Thaibah, kota Rasulallah Saw. Ibnu Batutah berziarah ke makam
Rasulallah untuk kali yang kedua. Di kota ini mereka menginap selama enam hari.
(Bathuthah, 2009, p. 186)

2.4.Meninggalkan Mekkah

11
Selepas berziarah dari makam Rasulallah Saw, dan kemudian Amirul
Mukminin Ali Alaihissalam, Ibnu Batutah bersama kafilah nya melanjutkan
perjalanan menuju Bagdad. Dalam perjalanan menuju Bashrah, Ibnu Batutah
bergabung dalam kafilah kaum baduwi Khafajah. Mereka adalah suku yang kuat
dan pemberani. Mereka pergi menyusuri anak sungai Eufrat sebuah tempat
bernama Ghidzar, sebuah hutan di delta sungai yang dihuni oleh suku Mu’adzi.
Mereka adalah gerombolan perampok yang menyergap orang-orang yang terpiisah
dari kafilahnya. Kafilah Ibnu Batutah meninggalkan Ghidzar hingga sampai di
sebuah kota yang bernama Wasith. (Bathuthah, 2009, pp. 197-198)

Di Wasit Ibnu Batutah berziarah ke makam Syaikh Abu al-Abbas ar-Rifa’I,


setelah kembali dari berziarah, rombongan kafilah yang bersamanya telah
meninggalkan Ibnu Batutah. Namun di tengah perjalanan mereka bertemu kembali.
kemudian menyusuri lembah Wadi dan kemudian singgah di dekat Bashrah.
Mereka melanjtukan perjalanan, pada permulaan siang merekapun sudah sampai di
kota Bashrah. Kota Bashrah berada di tepian sungai Eufrat dan sungai Tigris.

Di Bashrah banyak sekali pemakaman yang diberkahi, diantaranya ialah


makam: Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Halimah as-Sa’diyah (ibu
susuan Rasulallah Saw), Anas bin Malik, Hasan al-Bashri, Utbah al-Ghulam, Malik
bin Dinar, Habib al-Ajami, Sahl bin Abdullah at-Tustari, Di setiap makam
dilengkapi dengan kubah dan tertulis nama orang yang dimakamkan dan tanggal
wafatnya. (Bathuthah, 2009, p. 203)

Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan menyelusuri pantai Persia, menuju


Magul, Ramiz, dan beliau singgah di Ramiz selama satu malam. Hingga
melanjutkan menuju Tustar. Tatkala memasuki kota Tustar, beliau mendapati sakit
demam, beberapa sahabatnya pun mengalami hal yang sama. Bahkan diantara

12
mereka ada yang meninggal seperti seorang syekh yang bernama Yahya al-
Khurasani. (Bathuthah, 2009, p. 206)

Kota berikutnya yang ia kunjungi adalah Isfahan, yang terletak di balik


Pegunungan Zagros di Persia. Di Isfahan beliau diberi jubah, dan peci oleh Syaikh
Quthbudin pada tanggal 14 Jumadil Akhir 727H. (Bathuthah, 2009, p. 218)
Selanjutnya beliau bertolak ke arah selatan menuju Syiraz, sebuah kota besar lagi
makmur yang beruntung luput dari aksi penghancuran bala tentara Mongol, tidak
seperti banyak kota lain yang terletak lebih ke utara. Ibnu Batutah akhirnya kembali
melintasi pegunungan menuju Huwaiza, sebuah kota kecil yang dihuni oleh orang-
oarang ajam. Dari kota ini mereka melanjutkan perjalanan menuju Kufah melalui
jalan darat, kemudian tiba di Bagdad. (Bathuthah, 2009, p. 237)

2.5. Tiba di Bagdad

13
Pada bulan Juni 1327, Ibnu Batutah sampai di Bagdad. Berbagai kawasan di
Kota Bagdad masih dipenuhi
puing-puing reruntuhan,
sisa-sisa aksi bumi hangus
yang dilakukan oleh bala
tentara Hulagu Khan ketika
menyerang kota itu pada
1258. Namun demikian,
sungai Tigris yang
membentang dari barat ke
timur ibarat cermin yang
dipandangi dan menampaki dua pipi atau ibarat untaian permata di antara dua
labbah. Pnduduk kota meminum airnya dan tak akan merasa kehausan.
“Kedatanganku di Bagdad bertepatan dengan kedatangan raja Irak disana.”
(Bathuthah, 2009, p. 246)

In Baghdad he learned that Abu Sa'id, the Il-Khan himself (the great king), was
staying there and would soon leave to his summer palaces in Sultaniya. Ibn Battuta
jumped at the chance to meet yet another ruler, and got himself invited on the royal
caravan. The Il-Khan was about a year younger than Ibn Battuta. He described the
king as being "the most beautiful of God's creatures." Ibn Battuta admired him as a
true Muslim who wrote both Arabic and Persian, played the lute, composed songs
and poems, and ruled wisely. This Il-khan was an example of how the Mongol
warrior descendants had become Persian and Muslim. "Perhaps if he had reigned
longer," says Dunn, "he would have been a great builder... As it was, the political
foundations he laid during his last eight years were not strong enough to ensure the
survival of the regime, which utterly collapsed at his death in 1335, leaving Persia
to face the remainder of the century in fragmentation and war." Ibn Battuta later
told of the murder of Abu Sa'id by one of his wives who poisoned him out of

14
jealousy of his love of another of his wives! After his death the amirs (military
leaders) fought among themselves for leadership. (Dunn, 1986, p. 99)

2.6. Laut Merah

After Ibn Battuta had lived and studied in Mecca for about one year, he started
another adventure. From Mecca, he went to Jidda on the Red Sea coast where he
and other pilgrims were crammed onto a small ship.

This was Ibn Battuta's first time at sea travel and he probably wasn't looking
forward to it. The Red Sea was not easy to navigate with coral reefs and rocks just
under the waterline. Storms were common, as were pirates who waited patiently
for ships with rich travelers to rob and kill. Ships were weak in a storm - made of
wooden planks that were stitched together with cords. Moreover, the winds could
keep the sailboats from reaching their destinations. Truly the travelers' lives were
in the hands of God. "We traveled on this sea with a favoring wind for two days,

15
but thereafter the wind changed and drove us off course. The waves of the sea
entered in amongst us in the vessel, and the passengers fell grievously sick."
Eventually the ship had to head for shore, and fortunately Ibn Battuta and the other
seasick passengers were able to rent camels and continue south on land. Ibn Battuta
was able to visit coastal cities as well as villages in the high mountains of Yemen.

2.7. Yaman

Ibnu Batutah singgah di kota Taiz, kota ini merupakan salah satu kota terbaik
Yaman. Penduduknya orang yang berjiwa keras dan takabur, serta gemar keributan.
(Bathuthah, 2009, p. 274)

Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan menuju kota Aden yang merupakan
kota pelabuhan bagi Yaman. Letaknya di laut besar. Kota Aden dikelilingi oleh
banyak gunung dan hanya ada satu jalan untuk mencapai kota ini. (Bathuthah,
2009, p. 274)

16
Aden was a city built in the
crater on an extinct volcano
with the eastern side exposed to
the sea. The harbor was
surrounded by stone walls and
sea gates for protection. Aden
charged a tariff or tax on all the
goods that came through this
port. Ships brought spices,
medicinal herbs, dyes to color cloth, iron, steel, Indian silks and cottons, pearls,
cowrie shells (which were used for money in Africa), Chinese pottery, African
ivory, fruits and lumber. (The Travel of Ibn Battuta, A Virtual Tour with the 14th
Century Traveler, 2013)

Ibn Battuta was thinking about a return trip to Mecca - his third visit. Traveling
mostly by land now, he reached Mecca in the winter of 1330. After tiring sea
voyages, climbing high mountains in Yemen, traveling across the equator and
through the hottest places on earth, and almost losing his life, he was looking
forward to a long rest with his Koran and his law books.

Ibn Batutah had spent about one year in Mecca studying and making his third
pilgrimage. This time he would go northward to Anatolia. (The Travel of Ibn
Battuta, A Virtual Tour with the 14th Century Traveler, 2013)

2.8.Anatolia
Saat rombongan Ibnu Batutah sampai di Anatolia, penguasa Anatolia yang
bernama Khdir Bek bin Yunus Bek sedang sakit. Mereka berkunjung di
kediamannya rumahnya dan mendapati dirinya sedang berbaring di atas dipan.

17
Mereka berkata dengannya dengan bahasa
yang lembut, dan ia menyambut mereka
dengan baik. Setelah itu mereka berpamitan.
(Bathuthah, 2009, p. 319)

Ibn Battuta also visited Konya, famous


home of the Sufi poet Rumi. Dance and
whirling were popular in Turkey and Persia
with the Sufi brothers. It was a way to
become in ecstasy with God, as if in a trace.
Below is a modern ceremony - the dancers
are sometimes called "whirling dervishes".

2.9.Konstantinopel
“Kami memulai perjalanan pada tanggal 10 Syawal bersama dengan

rombongan Bayalon Khatun. Sultan mendahului perjalanan itu untuk

memastikan kondisi keamanannya. Kemudian, sultan bersama ratu dan

putra mahkota kembali ke kerajaan. Para khatum lainnya menyertai

perjalanan Bayalon Khatun, dan berpisah di suatu wilayah. Rombongan

para khatun itu kembali ke kerajaan” Ujar Ibnu Batutah. (Bathuthah, 2009, p.
393)
Mereka melanjutkan perjalanan menuju sebuah kota yang bernama Okak.
Sebuah kota dengan wilayah tak terlalu luas dan bangunan-bangunan yang indah.
Jaraknya dengan Saraa adalah 10 jam perjalannan. Sejauh perjalanan satu hari dari
kota ini, terdapat pegunungan Rusia. Orang-orang Rusia beragama Kristen,
rambutnya pirang, matanya biru, dan suka berhianat. Mereka memiliki
pertambangan perak. Perak dalam bentuk batangan didatanngkan dari negeri ini ke
negeri-negeri lain.

18
Mereka sampai di kota Baba Salthuq. Baba Salthuq adalah kota terakhir yang
masuk dalam wilayah kekuasaan bangsa Turki. Wilayah Turki dan Romawi
dipisahkan oleh daratan luas tak berpenghuni. (Bathuthah, 2009, p. 395)
Ibnu Batutah menetap di Konstantinopel selama satu bulan enam hari.” Kami

melakukan perjalanan diiringi oleh Saruja dan para prajuritnya yang

memperlakukan kami dengan baik.”

“Therefore, after a stay in Constantinople of one month and six

days, to the place we travelled upon these carnages, until we arrived at

Astrachan, where I had formerly left the Sultan Mohammed Uzbek

Kkan. But here I found that he had gone with his court to el-Sarai, to

which I also proceeded. This city of el Sirai is very handsome and

exceedingly large. Of its learned men is the Imam, the learned Nooman

19
Oddin, el Khavarezmi. I met him in this place. He is a man of the most

liberal disposition, carries himself majestically with the king, but

humbly with the poor, and with his pupils. The sultan visits him every

Friday, sits before him, and shows him every kindness, while he behaves

in the most repulsive manner.” (Lee, 1829)

Setelah itu mereka meninggalkan Konstantinopel. “I then travelled on to

Khavaarezm, between which and this place is a journey of forty days,

through a desert in which there is but little water and grass.” From
Khawarezm him set out for Bukhara, Tarmashirin, Samarkand, Balkh for seven
days, Nisabur, Bastam, Barwan, Kabul.

2.10. India
"We crossed the mountain setting out about the end of the night

and traveling on it all day long until sunset. We kept spreading felt

cloths in front of the camels for them to tread on, so that they should

not sink in the snow." [Dunn, p. 178] After a four-month journey

through the land of Chagatay, they rode into India - ruled by a Muslim

conqueror. It was here that Ibn Battuta hoped to settle down and get

a high paying job.”

20
Ibn Battuta entered India through the high mountains of Afghanistan, following
the footsteps of Turkish warriors who, a
century earlier, had conquered the Hindu
farming people of India and established
the Sultanate of Delhi. That first wave of
Muslim soldiers looted towns and
smashed the images of the gods of the
Hindu worshipers. But later warrior kings
set up a system to tax, rather than
slaughter the peasants. They replaced the
local Hindu leaders with Turks from
Afghanistan and conquered and united a
large area almost to the tip of the
subcontinent. But these Muslim sultans in Delhi were not safe. They faced
continued opposition from the Hindu majority in India who rebelled against their
conquerors, and they were threatened with periodic Mongol invasions from the
north. The Chagatay Khan (whom Ibn Battuta visited on his way to India) had
invaded India and threatened Delhi, the new capital city about 1323. But the armies
of the feisty Sultan Muhammad Tughluq in Delhi had chased them back across the

21
Indus River. (The Travel of Ibn Battuta, A Virtual Tour with the 14th Century
Traveler, 2013)

When he arrived in Delhi, Ibn Battuta was given a welcoming gift of 2,000
silver dinars and put up in a comfortably furnished house. Muhammad Tughluq
was not in Delhi, and so Ibn Battuta waited. Muhammad Tughluq had received
reports about this new arrival and hired Ibn Battuta sight-unseen to the service of
the state. He would receive an annual salary of 5,000 silver dinars to be paid from
two and a half villages located about 16 miles from the city. (State officials and
army officers were paid from taxes on crops produced in peasant villages rather
than from the royal treasury.) The average Hindu family lived on about 5 dinars a
month. (The Travel of Ibn Battuta, A Virtual Tour with the 14th Century Traveler,
2013)
While living in Delhi, Ibn Battuta married a woman and had a daughter by her.
This woman was the daughter of a court official who had plotted a rebellion and
was executed by the Sultan. But the most serious problem for Ibn Battuta was his
friendship with a Sufi holy man.
Eight days later, exhausted, barefooted and wearing nothing but his trousers,
Ibn Battuta was rescued by a Muslim who carried him to a village. Two days later
he rejoined the party and was ready to proceed on his original mission to China.
2.11. Maldives

22
Ibn Battuta had not planned to spend much time here as he arrived at the
capital, Male. But the rulers happened to be looking for a chief judge, someone
who knew Arabic and the laws of the Koran. The rulers were delighted to find a
visitor that fit their requirements. They sent Ibn Battuta slave girls, pearls, and
gold jewelry to convince him to stay. They even made it impossible for him to
arrange to leave by ship - so like it or not, he stayed. He agreed to remain there
with some conditions, however: he would not go about Male on foot, but be
carried in a litter or ride on horseback, just like the king or queen! He even took
another wife after staying there less than two months, a noblewoman related to
the queen. It seems as though Ibn Battuta was playing politics. He was now part
of the royal family and the most important judge. (The Travel of Ibn Battuta, A
Virtual Tour with the 14th Century Traveler, 2013)
Then, Ibn Battuta go to Sri lanka. Ibn Battuta told of eating many products of
coconut on this place.
2.12. China

23
After a series of failures in the Maldive Islands and in India - having lost
everything he owned to pirates and shipwrecks - Ibn Battuta resolved to go to
China on his own. "China was beautiful, but it did not please me. On the

contrary, I was greatly troubled thinking about the way paganism

dominated this country. Whenever I went out of my lodging, I saw

many blameworthy things. That disturbed me so much that I stayed

indoors most of the time and only went out when necessary. During my

stay in China, whenever I saw any Muslims I always felt as though I

were meeting my own family and close kinsmen." (Dunn, 1986, hal. 258)

24
2.13. Pulang
The winter monsoons carried Ibn Battuta's sailing junk south from China. He
returned to Samudra Pasai, on the island of Sumatra, where he stayed again with
the sultan, this time for a few weeks. He continued on to Quilon, India and then
up to Calicut. There he thought about returning to Muhammad Tughluq, his
former employer in Delhi, and throwing himself on his mercy. But fear kept him
on his trip. Ibn Battuta continued quickly through Persia. He was surprised that
the once mighty Ilkhan Empire was falling apart. He had traveled with the
powerful Sultan Abu Sa'id (the Il-khan) only eleven years before. But the sultan
had died, poisoned by one his own wives! And then Mongol and Turkish generals
challenged each other for control. The result was a patchwork of small military
states at war with each other. (The Travel of Ibn Battuta, A Virtual Tour with the
14th Century Traveler, 2013)

2.14. Samudra Pasai

25
“Setelah berlayar dua puluh lima hari, kami mencapai Pulau al-Jawa. Itu

pulau dari mana kemenyan Jawa mendapatkan namanya. Kami melihat

pulau itu dari jarak yang jauhnya setengah hari berlayar. Pohonnya

banyak. Itu termasuk kelapa, palem, cengkeh, gaharu, papaya, jeruk

manis, dan kapur barus.” Dalam periwayatannya itu, Ibnu Batutah menyebut
Pulau Sumatra dengan Jawa. Menurut Ross E. Dunn, sejarawan dari San Diego
State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, itu hal yang umum digunakan
pada zaman pertengahan. Misalnya, penjelajah Italia, Marco Polo menyebut
Sumatra sebagai Jawa yang kecil.

Kemudian Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan pulangnya, melewati


beberapa negara, kota. Diantara negara dan kota yang dilewatinya yaitu Persia,
Syria, Kairo, Madinah dan Mekah. Di Mekah beliau tinggal selama 4 bulan. Lalu
sampai di Takeda, kemudian melanjutkan perjalanan dan 15 hari kemudian
sampai di sebuah desa yang tak ada bangunannya sama sekali. Mereka (Ibnu
Batutah dan rombongannya) melanjutkan perjalanannya kembali dan 10 hari
kemudian sampai di daerah Hakar. Para kafilah takut untuk melewati orang-orang
Hakar. Kemudian mereka sampai di daerah Buda. Mereka tinggal di daerah Buda

26
selama beberapa hari, kemudian meneruskan perjalanan hingga tiba di kota
Sajalmasah pada tanggal 2 Dzulhijah. (Bathuthah, 2009, hal. 609)

2.15. Maroko

At the end of 1350 Ibn Battuta returned to Morocco. He had traveled


throughout much of the Islamic World, but he had never seen much of his
homeland, Morocco.

Ibnu Batutah wafat pada tahun 1369 di usia ke 65 tahun pada zaman Bani
Marin, Maroko.

27
BAB III
KARYA IBNU BATUTAH

Karya Ibnu Batutah yang terkenal yaitu “ar-Rihlah” atau secara lengkapnya
“Hadiah Bagi Para Pemerhati Negeri-Negeri Asing dan Pengalaman-Pengalaman
Ajaib”. Rihlah ini tidak ditulis langsung oleh beliau, tetapi melalui Ibnu Juzay.
Penulisan Rihlah ini dimulai sejak Ibnu Batutah telah pulang ke Maroko, setelah
menyelesaikan perjalanannya. Semua pengalaman-pengalaman nya yang dialami
di beberapa negara beliau ceritakan kepada Ibnu Juzay untuk ditulis. Dengan
ingatan yang sangat kuat, sehingga tokoh-tokoh di beberapa negara, pemimpin-
pemimpinnya beliau hafal semua nama beserta gelarnya. Hingga di dalam Rihlah
nya pun sangat jelas nama-nama beserta tempat-tempat tokoh tersebut.

28
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat disimpulkan dari tulisan makalah ini yaitu, Ibnu
Batutah merupakan tokoh sejarah yang masyhur padaa abad pertengahan. Beliau
terkenal karena penjelajahannya yang meliputi 44 negera, dan mengalahkan Marco
Polo yang hanya seperempat dari perjalannya. Ibnu Batutah juga ahli di berbagai
bidang, diantaranya Geografi, Sejarah, Penjelajah.

4.2. Saran

Dari makalah ini mungkin banyak kekurangan, baik dalam isi, maupun sumber,
untuk itu saya memberi saran kepada pembaca sekalian supaya tidak membaca pada
makalah ini saja, namun bacaan lain yang berkaitan dengan Ibnu Batutah juga dapat
dijadikan referensi bagi anda semua.

29
DAFTAR PUSTAKA

Bathuthah, M. b. (2009). Rihlah Ibnu Bathuthah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.


Dunn, R. E. (1986). The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th
Century. USA: University Of California Press.
Lee, R. S. (1829). THE TRAVELS OF IBN BATTUTA 1325-1354. IBNU BATTUTA,
19.
The Travel of Ibn Battuta, A Virtual Tour with the 14th Century Traveler. (2013, March
17). 1325-1353, p. 5.

30

Anda mungkin juga menyukai