A. METODE TRIGONOMETRIS
Metode trigonometris prinsipnya adalah mengukur jarak langsung
(jarak miring), tinggi alat, tinggi benang tengah rambu dan sudut
eveling (zenith atau inklinasi) yang kemudian direduksi menjadi
informasi beda tinggi menggunakan alat theodolite. Seperti telah
dibahas sebelumnya, beda tinggi antara dua titik dihitung dari besaran
sudut tegak dan jarak. Sudut tegak diperoleh dari pengukuran dengan
alat theodolite sedangkan jarak diperoleh atau terkadang diambil jarak
dari peta.
Pada pengukuran tinggi dengan cara trigonometris ini, beda tinggi
didapatkan secara tidak langsung, karena yang diukur di sini adalah
sudut miringnya atau sudut zenith. Bila jarak mendatar atau jarak miring
diketahaui atau diukur, maka dengan memakai hubungan – hubungan
geometris dihitunglah beda tinggi yang hendak ditentukan itu.
Bila jarak antara kedua titik yang hendak ditentukan beda tingginya
tidak jauh, maka kita masih dapat menganggap bidang nivo sebagai
bidang datar, akan tetapi bila jarak yang dimaksudkan itu jauh, maka
kita tidak boleh lagi memisahkan atau mengambil bidang nivo itu
sebagai bidang datar, tetapi haruslah bidang nivo itu dipandang sebagai
bidang lengkung, Disamping itu kita harus pula menyadari bahwa jalan
sinarpun bukan merupakan garis lurus, tetapi merupakan garis
lengkung. Jadi jika jarak antara kedua titik yang akan ditentukan beda
tingginya itu jauh, maka bidang nivo dan jalan sinar tidak dapat
dipandang sebagai bidang datar dan garis lurus, tetapi haruslah
dipandang sebagai bidang lengkung dan garis lengkung.
B. TRIGONOMETRICAL LEVELING
Menutut (Wongsotjitro, 1980), beda tinggi antara dua titik dapat
ditentukan dengan tiga cara yaitu: Barometris, Trigonometris dan
pengukuran menyipat datar. Ketiga metode tersebut mempunyai
ketelitian yang berbeda-beda. Hasil ketelitian terbesar adalah dengan
cara pengukuran menyipat datar dan ketelitian terkecil adalah metode
Barometer. Metode trigonometris adalah suatu proses penentuan beda
tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara mengukur sudut miring
atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui, baik jarak dalam
bidang datar maupun jarak eveling (Basuki, 2006). Pengukuran sudut
eveling atau kemiringan dapat menggunakan theodolith atau kompas
eveli.
Prinsip-prinsip yang digunakan pada pengukuran lingkup ukur
tanah yaitu jarak antar titik yang akan ditentukan beda tingginya tidak
terlalu jauh, sehingga pengaruh kelengkungan bumi dan refraksi dapat
diabaikan atau diadakan koreksi linier dalam perhitungannya. Berbeda
dengan lingkup geodesi, pengukuran beda tinggi titik pengukurannya
eveling jauh sehingga harus memperhatikan kelengkungan bumi.
Prinsip-prinsip umum bidang datar tidak dapat diterapkan pada
pengukuran beda tinggi ini. Nilai sudut eveling dan horizontal harus
dikoreksi dengan kelengkungan bumi dan refraksi.
Triginometrikal atau trigonometrikal eveling dibagi menjadi dua
yaitu trigonometrikal eveling segitiga dan memanjang. Metode
trigonometri memanjang merupakan pengukuran menggunakan dua titik
yang terletak dalam segaris lurus dengan obyek. Metode trigonometri
segitiga menggunakan dua titik pengukuran yang membentuk sudut dan
membentuk segitiga dengan obyek pengamatan. Kedua cara tersebut
menggunakan prinsip atau sifat segitiga.
METODE PENGUKURAN TACHYMETRI
A. TACHYMETRI
Metode tachymetry adalah pengukuran menggunakan alat-alat
optis, elektronis, dan digital. Pengukuran detail cara tachymetri dimulai
dengan menyiapkan alat ukur di atas titik ikat dan penempatan rambu di
titik bidik. Setelah alat siap untuk pengukuran, dimulai dengan
perekaman data di tempat alat berdiri, pembidikan ke rambu ukur,
pengamatan azimuth dan pencatatan data di rambu BA, BT, BB serta
sudut miring.
Metode tachymetry didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-
segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Kebanyakan
pengukuran tachymetri adalah dengan garis bidik miring karena adanya
keragaman topografi, tetapi perpotongan benang stadia dibaca pada
rambu tegak lurus dan jarak miring “direduksi” menjadi jarak vertical dan
jarak horizontal. Pada gambar, sebuah transit dipasang pada suatu titik
dan rambu dipegang pada titik tertentu. Dengan benang silang tengah
dibidikkan pada rambu ukur sehingga tinggi t sama dengan tinggi
theodolite ke tanah. Sudut vertikalnya ( sudut kemiringan ) terbaca
sebesar a.
Perhatikan bahwa dalam pekerjaan tachymetry tinggi instrumen
adalah tinggi garis bidik diukur dari titik yang diduduki ( bukan TI, tinggi
di atas datum seperti dalam sipat datar ). Metode tachymetry itu paling
bermanfaat dalam penentuan lokasi sejumlah besar detail topografik,
baik horizontal maupun vertikal, dengan transit atau planset.
Pengukuran titik-titik detail dengan metode Tachymetri ini adalah
cara yang paling paling banyak digunakan dalam praktik, terutama
untuk pemetaan daerah yang luas dan untuk detai-detail yang
bentuknya tidak beraturan. Untuk dapat memetakan dengan cara ini
diperlukan alat yang dapat mengukur arah dan sekaligus menukur jarak,
yaitu Theodolite Kompas atau BTM ( Boussole Tranche Montage ).
Pada alat-alat tersebut arah-arah garis dilapangan diukur dengan jarum
kompas sedangkan untuk jarak digunakan benang silang diafragma
pengukur jarak yang terdapat pada teropongnya. Salah satu theodolite
kompas yang banyak digunakan misalnya theodolite WILD TO.
Tergantung dengan jaraknya, dengan cara ini titik-titik detail dapat
diukur dari titik kerangka dasar atau dari titik-titik penolong yang
didikatkan pada titik kerangka dasar.
Di wilayah-wilayah perkotaan, pembacaan sudut dan jarak dapat
dikerjakan lebih cepat dari pada pencatatan pengukuran dan pembuatas
sketa oleh pencatat. Tachymetri ‘diagram’ lainya pada dasarnya bekerja
atas prinsip yang sama, sudut vertikal secara otomatis dipapas oleh
pisahan garis stadia yang beragam. Sebuah Tachymetri swareduksi
memakai sebuah garis horizontal tetap pada sebuah diafragma dan
garis horizontal lainnya pada diafragma keduanya dapat bergerak, yang
bekerja atas dasar perubahan sudut vertikal. Kebanyakan alidade
planset memakai suatu jenis prosedur reduksi tachymetry.