Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN

HALUSINASI DIRUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM

Oleh :
Sri Rusmilawati
NIM 11194691910055

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS :
TEMPAT PENGAMBILAN KASUS :
NAMA : Sri Rusmilawati

Banjarmasin,……………….2020

Menyetujui,
RSJ. Sambang Lihum Program Studi Profesi Ners
UNIVERSITAS Sari Mulia
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

…………………………… ………………………………….
NIK NIK.

Mengetahui,
Ketua Jurusan Program Studi Profesi
Ners

Mohammad Basit, S.Kep., Ns., MM


NIK. 11661020122053
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS :
TEMPAT PENGAMBILAN KASUS :
NAMA : Sri Rusmilawati

Banjarmasin,……………….2020

Menyetujui,
RSJ. Sambang Lihum Program Studi Profesi Ners
UNIVERSITAS Sari Mulia
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

…………………………… ………………………………….
NIK NIK.
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KASUS HALUSINASI
1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana
pasien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damayanti, M., & Iskandar, 2012)
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya
rangsangan dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal,
halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental
penderita yang teresepsi (Yosep, 2014).
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus
yang datang disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau
distorsi terhadap stimulus tersebut (Keliat, B. A, 2015)

2. Tanda dan Gejala


Menurut Yusuf (2015), perilaku pasien yang terkait dengan halusinasi
adalah sebagai berikut:
1) Berbicara, tersenyum, dan tertawa sendiri
2) Menggerakkan bibir tanpa suara
3) Pergerakan mata yang cepat
4) Respon verbal yang lambat
5) Menarik diri dari orang lain, berusaha untuk menghindari orang lain
6) Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
7) Sulit berhubungan dengan orang lain
8) Ekspresi wajah tegang, mudah tersinggung, jengkel, dan marah
9) Curiga dan bermusuhan
10) Biasa mengalami disorientasi tempat, waktu, dan orang
3. Tingkatan
Tingkatan Halusinasi
Stage I : Sleep disorder Pasien merasa banyak masalah, ingin
Fase awal sebelum muncul menghindar dari lingkungan, takut diketahui
halusinasi orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
Masalah semakin sulit karena berbagai
stresor terakumulasi.
Support system pasien kurang dan
persepsi terhadap masalah buruk. Sulit
tidur berlangsung secara terus-menerus
sehingga terbiasa mengkhayal. Pasien
mengungkapkan lamunan-lamunan awal
tersebut sebagai pemecahan masalah.
Stage II : Comforting Pasien mengalami emosi yang berlanjut
Halusinasi secara umum ia seperti adanya perasaan cemas, kesepian,
terima sebagai sesuatu perasaan berdosa, ketakutan, dan
yang alami mencoba memusatkan pemikiran pada
timbulnya kecemasan.
Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran
dan sensorinya dapat ia kontrol bila
kecemasannya diatur, dalam tahap 2 ada
kecenderungan pasien merasa nyaman
dengan halusinasinya.
Stage III : Condemning Pengalaman sensori pasien menjadi sering
severe datang dan mengalami bias, pasien merasa
Secara umum, halusinasi tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai
sering mendatangi pasien berupaya menjaga jarak antara dirinya
dengan objek yang dipersepsikan pasien
mulai menarik diri dari orang lain dengan
intensitas waktu yang lama.
Stage IV : Controlling Pasien mencoba melawan suara-suara
severe atau sensori abnormal yang datang. Pasien
Fungsi sensori menjadi dapat merasakan kesepian bila
tidak relevan dengan halusinasinya berakhir. Dari sini akan
kenyataan dimulai gangguan psikotik.
Stage V : Conquering panic Pengalaman sensorinya terganggu, pasien
Pasien mengalami mulai merasa terancam dengan datangnya
gangguan dalam menilai suara-suara terutama bila pasien tidak
lingkungannya dapat menuruti ancaman atau perintah
yang ia dengar dari halusinasinya.
Halusinasi dapat berlangsung selama
minimal 4 jam atau seharian bila pasien
tidak mendapatkan komunikasi terapeutik.
Pada tahap ini terjadi gangguan psikotik
berat.

4. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Yosep, 2014) halusinasi terdiri dari delapan jenis. Penjelasan
secara detail mengenai Klasifikasidari setiap jenis halusinasi adalah
sebagai berikut:
a. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)
Paling sering dijumpai, dapat berupa bunyi mendenging atau suara
bising yang tidak memiliki arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai
sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut
ditujukan pada penderita sehingga tidak jarang penderita
bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.
b. Halusinasi penglihatan (visual, optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik).
Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran,
menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran yang
mengerikan.
c. Halusinasi penciuman (olfaktori)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan
dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada
penderita. Bau dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap
penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d. Halusinasi pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi
penciuman. Penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi
gastorik lebih jarang dari halusinasi gustatorik.
e. Halusinasi perabaan (taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup, atau seperti ada ulat yang bergerak
di bawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan
skizofrenia.
f. Halusinasi seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia
dengan waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.
g. Halusinasi kinestetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang
atau anggota badannya bergerak-gerak. Misalnya phantom
phenomenon atau tungkai yang diamputasi selalu bergerak-gerak
(phantom limb). Sering terjadi pada penderita skizofrenia dalam
keadaan toksik tertentu akibat pemakaian obat tertentu.
h. Halusinasi viseral
Timbul perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa
pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai
dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia dan
sindrom lobus parietalis. Misalnya sering merasa dirinya
terpecah menjadi dua.
2) Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang
lingkungannya yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya
perasaan segala sesuatu yang dialaminya seperti dalam
impian.

5. Rentang Respon
Adapun rentang respon pada halusinasi, yaitu (Damayanti, M., &
Iskandar, 2012) :

Rentang Respon Biologis


a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-
norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu
tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah dan
akan dapat memecahkan masalah tersebut dengan respon yang
adaptif seperti:
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada
kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang
timbul dari pengalaman ahli.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang
lain dan lingkungan.
b. Respon psikososial
Respon psikososial meliputi:
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena
rangsangan panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain.
c. Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau
persepsi eksternal yang tidak nyata atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul
dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh
individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

6. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Menurut Yusuf (2015), faktor predisposisi pasien dengan halusinasi
adalah:
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga yang menyebabkan pasien
tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang
percaya diri, dan lebih rentan terhadap stres.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya
sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.
3) Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stres yang berlebihan dialami oleh seseorang maka di
dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia. Akibat stres yang berkepanjangan
dapat menyebabkan teraktivasinya neurotransmiter otak.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini
berpengaruh pada ketidakmampuan pasien dalam mengambil
keputusan yang tepat demi masa depannya. Pasien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju
alam khayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.
b. Faktor presipitasi
1) Perilaku
Respon pasien terhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku
merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan yang nyata
dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock mencoba
memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun
atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu :
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi
fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-
obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar masalah
yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi
itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan. Pasien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi
tersebut pasien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
c) Dimensi intelektual
Individu dengan halusinasi akan memperlihatkan
adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya, halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls
yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian pasien dan tidak jarang akan mengontrol
semua perilaku pasien.
d) Dimensi sosial
Pasien mengalami gangguan interaksi sosial dalam
fase awal dan comforting, pasien menganggap bahwa
hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.
Pasien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak
didapat di dunia nyata.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual pasien halusinasi mulai dengan
kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya
aktivitas ibadah aktivitas ibadah dan jarang berupaya
secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkadiannya
terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun
sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak
jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan
dan orang lain yang menyebabkan takdir memburuk.

7. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi
meliputi (Muhith, 2015):
1) Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggungjawab kepada orang lain atau sesuatu
benda
3) Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan
stimulus internal
4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien

B. Proses Terjadinya Masalah


Psikopatologi dari halusinasi belum diketahui. Banyak teori yang
diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologis,
fisiologis, dan lain-lain. Beberapa orang mengatakan bahwa situasi
keamanan di otak normal dibombardir oleh aliran stimulus yang berasal
dari tubuh dan dari luar tubuh. Jika masukan terganggu atau tidak ada
sama sekali saat bertemu dalam keadaan normal atau patologis, materi
berada dalam prasadar dapat unconscious atau dilepaskan dalam
bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai
dengan keinginan yang direpresi ke unconscious dan kemudian
kepribadian rusak dan kerusakan pada realitas tingkat kekuatan
keinginan sebelumnya diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus
eksternal.

C. Pohon masalah

Risiko perilaku kekerasan

Effect

Gangguan persepsi sensori:


Halusinasi

Core Problem

Isolasi sosial

Causa
D. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
Pengkajian Keperawatan (Keliat, 2012) :
1. Masalah keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri
2. Data yang perlu dikaji
a. Data Mayor
Data Subyektif :
- Mengatakan mendengar suara bisikan / melihat bayangan
Data Objektif :
- Bicara sendiri
- Tertawa sendiri
- Marah tanpa sebab
- Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
b. Data Minor
Data Subjektif :
- Menyatakan kesal
- Menyatakan senang dengan suara-suara
Data Objektif :
- Menyendiri
- Melamun
c. Isolasi sosial : menarik diri
Data Subyektif :Pasien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa,
tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan
perasaan malu terhadap diri sendiri.
Data Obyektif :Pasien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila
disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin
mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi sedih, Komunikasi verbal
kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada saat tidur, Menolak
berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan
E. Diagnosa Keperawatan
Adapun masalah keperawatannya adalah(Nurarif, A.H., &
Kusuma,2015) :
1. Resiko Perilaku Kekerasan faktor berhubungan isolasi sosial, ide
bunuh diri, pola kekerasan tidak langsung, dan impulsif.
2. Gangguan Persepsi Sensori (Halusinasi pendengaran, penglihatan,
perabaan, penghiduan, dan pengecap)
3. Isolasi Sosial b.d gangguan kesehatan dan kesulitan membina
hubungan

F. Rencana Tindakan Keperawatan Jiwa


N PERENCANAAN
DX INTERVENSI
O Tujuan Kriteria hasil
1 Halusina TUM : pasiendapat Pasien mampu 1. Bina
si mengontrol halusinasi membina hubungan hubungan
yang di alaminya salin percayadengan saling
perawat dengan kriterial percaya.
TUK hasil : 2. Salam
1 :Pasien dapat 1. Membalas terapeutik.
membinahubungansal sapaanperawat 3. Perkenalkan
ing percaya dengan 2. Eksperi wajah diri
perawat. bersahabat & 4. Jelaskan
senang. tujuan
3. Ada kontak mata, interaksi.
jabatangan 5. Buat kontrak
4. Mau menyebut yang jelas.
nama dan pasien 6. Menerima
mau duduk pasien apa
berdapingan dengan adanya.
perawat 7. Kontak mata
5. Pasien mau positif.
2 : pasien dapat mengutarakan 8. Ciptakan
mengenali masalah yang di lingkungan
halusinasinya hadapi. yang
terapeutik.
Pasienmampu 9. Dorong
mengenal halusinasinya pasien dan
dengan kriterial hasil : beri
1. Pasiendapat kesempatan
menyebutkan untuk
Jenis, Isi, Waktu, mengungka
Frekuensi, pkan
Perasaan, perasaanny
2. Situasi dan a.
kondisiyang 10. Dengarkan
menimbulkanhalu ungkapan
sinasi, pasien
3. Responnya saat dengan rasa
mengalami empati.
halusinasi.

1. Adakan
kontak
secara sering
dan singkat.
2. Observasi
tingkah laku
verbal dan
non verbal
pasien yang
terkait
dengan
halusinasi
(sikap seperti
mendengark
an sesuatu,
bicara atau
tertawa
sendiri,
terdiam di
tengah –
tengah
pembicaraan
).
3. Terima
halusinasise
bagai hal
yang nyata
bagi pasien
dan tidak
nyata bagi
perawat.
4. Identifikasi
bersama
pasien
tentang
waktu
5. munculnya
halusinasi, isi
halusinasi
dan frekuensi
timbulnya
halusinasi.
6. Dorong
pasien untuk
mengungkap
kan
perasaannya
ketika
halusinasi
muncul.
7. Diskusikan
dengan
pasien
mengenai
perasaannya
saat terjadi
halusinasi.
3 : pasien dapat 1. Pasien dapat 1. Identifikasi
mengendalikan mengidentifikasi tindakan
halusinasinya tindakan yang di pasien yang
lakukan untuk positif.
mengendakikan 2. Beri pujian
halusinasi. atas tindakan
2. Pasien dapat pasien yang
menunjukan cara positif.
baru untuk 3. Bersama
mengontrol pasien
halusinasi. rencanakan
kegiatan
untuk
mencegah
terjadinya
halusinasi.
4. Diskusikan
ajarkan cara
mengatasi
halusinasi.
5. Dorong
pasien untuk
memilih cara
yang disukai
untuk
mengontrol
halusinasi.
6. Beri pujian
atas pilihan
pasien yang
tepat.
7. Dorong
pasien untuk
melakukan
tindakan
yang telah
dipilih.

4 : pasien 1. Pasien dapat 1. Bina


mendapatkan memiliki cara hubungan
dukungan keluarga mengatasi saling
dalam mengendalikan halusinasi. percaya
halusinasi 2. Pasien dengan
melaksanakan cara pasien.
yang telah di pilih 2. Kaji
memutus pengetahua
halusinasinya. n keluarga
3. Pasien dapat tentang
mengikuti aktifitas halusinasi
kelompok. dan
tindakan
yang
dilakukan
keluarga
dalam
merawat
pasien.
3. Beri
penguatan
positif atas
upaya yang
baik dalam
merawat
pasien.
4. Diskusikan
danajarkan
dengan
keluarga
tentang :
halusinasi,
tanda –
tanda dan
cara
merawat
halusinasi.
5. Beri pujian
atas upaya
keluarga
yang positif.
5 : pasien dapat 1. Keluarga dapat 1. Diskusikan
menggunakan obat membina hubungan dengan
untuk mengontrol saling  percaya dgn pasien
halusinasi perawat. tentang obat
2. Keluarga dapat untuk
menyebutkan mengontrol
pengertian , tanda halusinasiny
dan tindakan yang a.
mengalihkan 2. Bantu pasien
halusinasi. untuk
memutuskan
bahwa
pasien
minum obat
sesuai
program
dokter.
3. Observasi
tanda dan
gejala terkait
efek dan efek
samping.

Strategi Pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaan Halusinasi, yaitu (O’Brien, 2014) :

Pasien Keluarga

SP I SP I
1. Identifikasi halusinasi : dengan - Mendiskusikan masalah yang
mendiskusikan isi, frekuensi, waktu, dirasakan keluarga dalam
terjadi situasi pencetus, perasaan dan merawat px
respon - Menjelaskan pengertian
2. Jelaskan cara mengontril halusinasi : halusinasi, tanda dan gejala serta
hardik, obat, bercakap-cakap, proses terjadinya halusinasi
melakukan kegiatan. - Menjelaskan cara merawat px
3. Latih cara mengontrol halusinasi dengan halusinasi
dengan menghardik
4. Masukan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik
SP II
1. Evaluasi menghardik, beri pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi
dengan obat (jelaskan 6 benar obat,
SP II
jenis, guna, dosis, frekuensi,
kontinuitas minum obat) - Melatih keluarga mempraktekkan
3. Jelaskan pentingnya penggunaan obat cara merawat px dengan
pada gangguan jiwa halusinasi
4. Jelaskan akibat jika obat tidak
diminum sesuai program SP III
5. Jelaskan akibat putus obat - Melatih keluarga melakukan cara
6. Jelaskan cara berobat merawat langsung kepada px
7. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk dengan halusinasi
latihan menghardik dan beri pujian.
SP III SP IV
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik - Membantu keluarga membuat
dan obat. Beri pujian. jadwal aktivitas di rumah
2. Latihan cara mengontrol halusinasi termasuk minum obat (discharge
dengan bercakap-cakap ketika planning)
halusinasi muncul - Menjelaskan follow up px setelah
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk pulang
latihan menghardik, minum obat, dan
bercakap-cakap.
SP IV
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik,
penggunaan obat dan bercakap-
cakap. Beri pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi
dengan melakukan kegiatan harian
(mulai 2 kegiatan)
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik, minum obat,
bercakap-cakap dan kegiatan harian
SP V
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik,
minum obat, bercakap, dan
melakukan kegiatan harian. Beri
pujian
2. Latih kegiatan harian
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol

DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah, 2010. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik


Keperawatan.Bandung:Refika Aditama
Damayanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
Keliat, B. A. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC
Keliat, B. A., & Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta : EGC.
Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. (2012). Keperawatan Kesehatan
Jiwa Komunitas: CHMN (Basic Course). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Munith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi.
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North Amercan Nursing Diagnosis Association)
NIC-NOC Jilid2. Jogjakarta : Medication.
Nurhaeni H.dkk, 2011.Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.Jakarta:EGC
O’Brien, P. G., Kennedy, W.Z., & Ballard, K. A. (2014). Keperawatan Kesehatan
Jiwa PskiatrikTeori dan Praktik. Jakarta : EGC.
Yosep,I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Yusuf, Fitriyasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai