A. KASUS HALUSINASI
1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana
pasien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damayanti, M., & Iskandar, 2012)
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya
rangsangan dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang
khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan
mental penderita yang teresepsi (Yosep, 2014).
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus
yang datang disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau
distorsi terhadap stimulus tersebut (Keliat, B. A, 2015)
4. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Yosep, 2014) halusinasi terdiri dari delapan jenis.
Penjelasan secara detail mengenai Klasifikasidari setiap jenis
halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)
Paling sering dijumpai, dapat berupa bunyi mendenging atau
suara bising yang tidak memiliki arti, tetapi lebih sering terdengar
sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya
suara tersebut ditujukan pada penderita sehingga tidak jarang
penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.
b. Halusinasi penglihatan (visual, optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik).
Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan
kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran
yang mengerikan.
c. Halusinasi penciuman (olfaktori)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu
dan dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada
penderita. Bau dilambangkan sebagai pengalaman yang
dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d. Halusinasi pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi
penciuman. Penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi
gastorik lebih jarang dari halusinasi gustatorik.
e. Halusinasi perabaan (taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup, atau seperti ada ulat yang
bergerak di bawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis
dan skizofrenia.
f. Halusinasi seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia
dengan waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.
g. Halusinasi kinestetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang
atau anggota badannya bergerak-gerak. Misalnya phantom
phenomenon atau tungkai yang diamputasi selalu bergerak-
gerak (phantom limb). Sering terjadi pada penderita skizofrenia
dalam keadaan toksik tertentu akibat pemakaian obat tertentu.
h. Halusinasi viseral
Timbul perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa
pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia
dan sindrom lobus parietalis. Misalnya sering merasa dirinya
terpecah menjadi dua.
2) Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang
lingkungannya yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Misalnya perasaan segala sesuatu yang dialaminya seperti
dalam impian.
5. Rentang Respon
Adapun rentang respon pada halusinasi, yaitu (Damayanti, M., &
Iskandar, 2012) :
6. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Menurut Yusuf (2015), faktor predisposisi pasien dengan
halusinasi adalah:
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga yang menyebabkan pasien
tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang
percaya diri, dan lebih rentan terhadap stres.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya
sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.
3) Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stres yang berlebihan dialami oleh seseorang maka
di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia. Akibat stres yang berkepanjangan
dapat menyebabkan teraktivasinya neurotransmiter otak.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini
berpengaruh pada ketidakmampuan pasien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.
Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam khayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia.
Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh terhadap
penyakit ini.
b. Faktor presipitasi
1) Perilaku
Respon pasien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan
bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata. Menurut
Rawlins dan Heacock mencoba memecahkan masalah
halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang
individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-
unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat
dilihat dari 5 dimensi yaitu :
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi
fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan
obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol
dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar
masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab
halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Pasien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga
dengan kondisi tersebut pasien berbuat sesuatu
terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi intelektual
Individu dengan halusinasi akan memperlihatkan
adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya, halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal
yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian pasien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku pasien.
d) Dimensi sosial
Pasien mengalami gangguan interaksi sosial dalam
fase awal dan comforting, pasien menganggap bahwa
hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Pasien asyik dengan halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga
diri yang tidak didapat di dunia nyata.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual pasien halusinasi mulai dengan
kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya
aktivitas ibadah aktivitas ibadah dan jarang berupaya
secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama
sirkadiannya terganggu, karena ia sering tidur larut
malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun
merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering
memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput
rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan takdir memburuk.
7. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi
meliputi (Muhith, 2015):
1) Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggungjawab kepada orang lain atau sesuatu
benda
3) Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan
stimulus internal
4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien
Effect
Core Problem
Isolasi sosial
Causa
1. Adakan
kontak
secara
sering dan
singkat.
2. Observasi
tingkah laku
verbal dan
non verbal
pasien yang
terkait
dengan
halusinasi
(sikap seperti
mendengark
an sesuatu,
bicara atau
tertawa
sendiri,
terdiam di
tengah –
tengah
pembicaraan
).
3. Terima
halusinasise
bagai hal
yang nyata
bagi pasien
dan tidak
nyata bagi
perawat.
4. Identifikasi
bersama
pasien
tentang
waktu
5. munculnya
halusinasi, isi
halusinasi
dan
frekuensi
timbulnya
halusinasi.
6. Dorong
pasien untuk
mengungkap
kan
perasaannya
ketika
halusinasi
muncul.
7. Diskusikan
dengan
pasien
mengenai
perasaannya
saat terjadi
halusinasi.
3 : pasien dapat 1. Pasien dapat 1. Identifikasi
mengendalikan mengidentifikasi tindakan
halusinasinya tindakan yang di pasien yang
lakukan untuk positif.
mengendakikan 2. Beri pujian
halusinasi. atas tindakan
2. Pasien dapat pasien yang
menunjukan cara positif.
baru untuk 3. Bersama
mengontrol pasien
halusinasi. rencanakan
kegiatan
untuk
mencegah
terjadinya
halusinasi.
4. Diskusikan
ajarkan cara
mengatasi
halusinasi.
5. Dorong
pasien untuk
memilih cara
yang disukai
untuk
mengontrol
halusinasi.
6. Beri pujian
atas pilihan
pasien yang
tepat.
7. Dorong
pasien untuk
melakukan
tindakan
yang telah
dipilih.
Strategi Pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaan Halusinasi, yaitu (O’Brien, 2014) :
Pasien Keluarga
SP I SP I
1. Identifikasi halusinasi : dengan - Mendiskusikan masalah yang
mendiskusikan isi, frekuensi, waktu, dirasakan keluarga dalam
terjadi situasi pencetus, perasaan dan merawat px
respon - Menjelaskan pengertian
2. Jelaskan cara mengontril halusinasi : halusinasi, tanda dan gejala serta
hardik, obat, bercakap-cakap, proses terjadinya halusinasi
melakukan kegiatan. - Menjelaskan cara merawat px
3. Latih cara mengontrol halusinasi dengan halusinasi
dengan menghardik
4. Masukan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik
SP II
1. Evaluasi menghardik, beri pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi
dengan obat (jelaskan 6 benar obat, SP II
jenis, guna, dosis, frekuensi, - Melatih keluarga mempraktekkan
kontinuitas minum obat) cara merawat px dengan
3. Jelaskan pentingnya penggunaan obat halusinasi
pada gangguan jiwa
4. Jelaskan akibat jika obat tidak SP III
diminum sesuai program - Melatih keluarga melakukan cara
5. Jelaskan akibat putus obat merawat langsung kepada px
6. Jelaskan cara berobat dengan halusinasi
7. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik dan beri pujian. SP IV
SP III - Membantu keluarga membuat
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik jadwal aktivitas di rumah
dan obat. Beri pujian. termasuk minum obat (discharge
2. Latihan cara mengontrol halusinasi planning)
dengan bercakap-cakap ketika - Menjelaskan follow up px setelah
halusinasi muncul pulang
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik, minum obat, dan
bercakap-cakap.
SP IV
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik,
penggunaan obat dan bercakap-
cakap. Beri pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi
dengan melakukan kegiatan harian
(mulai 2 kegiatan)
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik, minum obat,
bercakap-cakap dan kegiatan harian
SP V
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik,
minum obat, bercakap, dan
melakukan kegiatan harian. Beri
pujian
2. Latih kegiatan harian
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol
DAFTAR PUSTAKA
Faktor
Predisposisi
Biologis Psikologis Sosiocultura
Penyakit kronis Keluarga terlalu Kurang
yang melindungi dan dukungan dan
menyebabkan memanjakan latihan
klien tidak mampu klien sehingga kemampuan
melakukan perkembangan perawatan diri
perawatan diri inisiatifPresipitasi
Faktor di
seperti
Sifatstroke terganggu
Asal Waktu Jumlah
Sumber Koping
Kemampuan Dukungan Aspek Keyakinan
Personal Sosial Material Positif
Kurangnya Seluruh aspek Sarana Ada tidaknya
kemampuan disekitarnya prasarana keyakinan
dalam yang dapat yang bahwa dengan
memahami, mempengaruhi menunjang menjaga
merasakan, kemampuan Misal: Personal kebersihan diri
dan personal hygiene akan
menyelesaika termasuk memerlukan membantu
n masalah keluarga, alat dan bahan proses
sehingga masyarakat yang penyembuhan
mengalami dalam semuanya suatu penyakit
kelemahan membantu memerlukan atau gangguan.
untuk klien menjaga biaya untuk
menjaga kebersihan
kebersihan dirinya.
3. Pohon Masalah
Halusinasi
Harga Diri Rendah
Isolasi Sosial
2. Definisi
1) Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negatif dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan
(Towsend, 2018).
2) Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang
diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan
Videbeck, 2017).
3) Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, marasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 2014).
Isolasi Sosial
6. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah Kronis
7. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Rencana tindakan keperawatan pada klien
Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
klien.
b. Membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat
dilakukan.
c. Membatu klien menetukan kegiatan yang akan dilatih sesuai
dengan kemampuan klien.
d. Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang dipilih.
e. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien.
f. Menganjurkan klien memasukan jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien,
b. Melatih kemampuan keduanya
c. Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal harian.
Tindakan keperawatan untuk klien
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki klien.
Perawat dapat melakukan hal-hal berikut utuk membantu klien
mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki.
1) Mendiskusikan bahwa klien maasih memiliki sejumlah
kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan klien di
rumah, adanya keluarga dan lingkungan terdekat klien.
2) Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan
penilaian yang negatif setiap kali bertemu dengan klien.
b. Membantu klien dalam menilai kemampuan yang dapat
digunakan
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih
dapat digunakan saat ini setelah mengalami bencana.
2) Mantu klien menyebutkannya dan berikan penguatan
terhadap kemampuan diri yang berhasil diungkapkan klien.
3) Perlihatkan respons yang konduktif dan jadilah pendengar
yang aktif.
c. Membantu klien agar dapat memilih atau menetapkan kegiatan
sesuai dengan kemampuan. Tindakan keperawatan yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan pilih sebagai kegiatan yang akan dilakukan
sehari-hari.
2) Bantu klien menetapakan aktivitas yang dapat dilakukan
secara mandiri. Tentukan aktivitas-aktivitas yang
memerlukan bantuan minimal dan bantuan penuh dari
keluarga atau lingkungan terdekat klien. Berikan contoh
cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan klien.
Lakukan penyusunan aktivitas bersama klien dan buatlah
daftar aktivitas atau kegiatan sehari-hari klien.
d. Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan
kegiatan (yang sudah dipilih klien yang akan dilatih.
2) Bersama klien dan keluarga memperagakan beberapa
kegiatan yang akan dilakukan klien.
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap
kemajuan yang diperlihatkan klien.
e. Membantu klien agar dapat merencanakan kegiatan sesuai
kemampuan.
Untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan tersebut,
saudara dapat melakukan hal-hal berikut:
1) Memberi kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan
yang telah dilakukan.
2) Berikan pujian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat yang
dapat dilakukan klien setiap hari.
3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan
perubahan setiap aktivitas.
4) Menyusun daftar setiap aktivitas yang sudah dilakukan
bersama klien dan keluarga.
5) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya setelah melaksanakan kegiatan
6) Yakikan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang
dilakukan oleh klien.
Berikut ini akan dijelaskan tentang respon yang terjadi pada isolasi sosial:
1) Respon adaptif
a. Adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normalketika menyelesaikan masalah.
Berikut ini adalah sikap termasuk respon adaptif.
b. Menyendiri, respon yang dibutuh kan seseorang untuk merenungkan
apa yang terjadi di lingkungannya.
c. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
d. Bekerja sama, kemmapuan individu yang saling membutuhkan satu
sama lain.
e. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
2) Respon maladaptif
a. Adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di
suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon
maladaptif.
b. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara trebuka dengan orang lain.
c. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
d. Manipulasi seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
e. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap
orang lain.
7. Faktor presipitasi
Ada beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang
menarik diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dario berbagai stressor
antara lain:
a. Stressor sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gaangguan
dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya menurunnya
stabilitas unit keluarga, berpisah dari orang yang berarti dalam
kehidupannya, misalnya karena dirawat di rumah sakit.
b. Stressor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya hal ini dapat menimbulkan ansietas tinggi bahkan
dapat menimbulkan seseorang mengalami gangguan hubungan
(menarik diri).
c. Stressor intelektual
1) Kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk
berbagai pikiran dan perasaan yang mengganggu pengembangan
hubungan dengan orang lain.
2) Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan
kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit
berkomunikasi dengan orang lain.
3) Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan dengan
orang lain akan persepsi yang menyimpang dan akan berakibat
pada gangguan berhubungan dengan orang lain.
d. Stressor fisik
1) Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang
menarik diri dari orang lain
2) Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu
sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang lain.
8. Mekanisme Koping
a. Perilaku curiga : regresi, proyeksi, represi.
b. Perilaku Dependen : regresic.
c. Perilaku Manipulatif : regresi, represid.
d. Isolasi atau menarik diri : regresi, repsesi. Isolasi
(Eko prabowo:2014:113)
TUK 6
Klien Klien dapat mengungkapkan 1. BHSP dengan keluarga Agar klien lebih
dapat perasaan setelah a. Salam, perkenalkan diri percaya diri dan
b. Sampaikan tujuan tahu akibat tidak
memberdayaka berhubungan dengan orang
c. Membuat kontrak berhubungan
n sistem lain untuk: d. Explorasi perasaan dengan orang
pendukung a. Diri sendiri keluarga lain.
2.Diskusikan dengan anggota
atahu keluarga b. Orang lain
keluarga tentang: Mengetahui
atahu keluarga a. Perilaku menarik diri sejauh mana
mampu Keluarga dapat: b. Penyebab perilaku pengetahuan
menarik diri tentang membina
mengembangka a. Menjelaskan
c. Cara keluarga hubungan
n kemampuan perasaannya menghadapi klien yang dengan orang
klien untuk b. Menjelaskan cara sedang menarik diri. lain.
berhubungan merawat klien 3. Dorong anggota keluarga
untuk memberikan dukungan Klien mungkin
dengan orang menarik diri
kepada klien berkomunikasi dapat
lain. c. Mendemonstrasikan dengan klien berkomunikasi mengoobati
cara perawatan klien dengan orang lain. perasaan tidak
4. Anjurkan anggota keluarga nyaman, bimbang
menarik diri
untuk secara rutin dan karena memulai
d. Berpartisipasi dalam bergantian mengunjungi klien hubungan
perawatan klien secara bergantian minimal 1x dengan orang
seminggu. lain.
menarik diri.
5. Beri reinforceiment atas hal- Reinforceiment
hal yang telah dicapai oleh dapat
keluarga. meningkatkan
kepercayaan diri
klien.
Dengan
dukungan
keluarga, klien
akan merasa
diperhatikan.
Strategi Pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaan Isolasi Sosial, yaitu (O’Brien, 2014) :
Sp pasien Sp Keluarga
Strategi Pelaksanaan 1 Strategi Pelaksanaan 1
1. Mengidentikasi penyebab 1. Diskusikan masalah yang
isolasi pasien : siapa yang dirasakan keluarga dalam
serumah, siapa yang dekat, merawat pasien
yang tidak dekat, dan apa 2. Jelaskan pengertian isolasi
sebabnya. sosial, tanda dan gejala
2. Mendiskusikan dengan pasien serta proses terjadinya
tentang keuntungan punya isolasi sosial (gunakan
teman dan bercakap-cakap booklet)
3. Mendiskusikan dengan pasien 3. Jelaskan cara merawat
tentang kerugian tidak punya pasien dengan isolasi sosial
teman dan tidak bercakap- 4. Latih dua cara merawat :
cakap. cara berkenalan, berbicara
4. Latih cara berkenalan dengan saat melakukan kegiatan
pasien dan perawat atau tamu. harian.
5. Masukan pada jadwal kegiatan 5. Ajurkan membantu pasien
untuk latihan berkenalan. sesuai jadwal dan
memberikan pujian saat
besuk.
Strategi Pelaksanaan 2 Strategi Pelaksanaan 2
1. Evaluasi kegiatan berkenalan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
(berapa orang beri pujian) dalam merawat / melatih
2. Latih cara berbicara saat pasien berkenalan dan
melakukan kegiatan harian berbicara saat melakukan
(latih 2 kegiatan) kegiatan harian. Beri pujian
3. Masukkan pada jadwal 2. Jelaskan kegiatan rumah
kegiatan untuk latihan tangga yang dapat
berkenalan 2-3 orang pasien, melibatkan pasien berbicara
perawat dan tamu, berbicara (makan, sholat bersama) di
saat melakukan kegiatan rumah
harian. 3. Latih cara membimbing
pasien berbicara dan
memberi pujian
4. Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal saat besuk.
Strategi Pelaksanaan 3 Strategi Pelaksanaan 3
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan (berapa orang) dan dalam merawat / melatih
bicara saat melakukan dua berkenalan, berbicara pasien
kegiatan harian. Beri pujian. saat melakukan kegiatan
2. Latih cara berbicara saat harian. Beri pujian.
melakukan kegiatan harian (2 2. Jelaskan cara melatih pasien
kegiatan baru) melakukan termasuk minum
3. Masukan pada jadwal kegiatan obat ( discharge planning)
untuk latihan berkenalan 4-5 3. Menjelaskan follow up
orang, berbicara saat pasien setelah pulang
melakukan 4 kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 4 Strategi Pelaksanaan 4
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan, bicara saat dalam merawat / melatih
melakukan empat kegiatan pasien berkenalan,
harian. Beri pujian berbicarasaat melakukan
2. Latih cara bicara sosial : kegiatan harian / RT,
meminta sesuatu, menjawab berbelanja. Beri pujian.
pertanyaan. 2. Jelaskan follow up ke RSJ/
3. Masukan pada jadwal kegiatan PKM, tanda kambuh dan
untuk latihan berkenalan >5 rujukan.
oang, orang baru, berbicara 3. Anjurkan membantu pasien
saat melakukan kegiatan harian sesuai jadwal kegiatan dan
dan sosialisasi. memberikan pujian.
Strategi Pelaksanaan 5 Strategi Pelaksanaan 5
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan, bicara saat dalam merawat / melatih
melakukan kegiatan harian dan pasien berkenalan, berbicara
sosialisasi. Beri pujian saat melakukan kegiatan
2. Latih kegiatan harian harian. RT, berbelanja dan
3. Nilai kemampuan yang telah kegiatan lan dan follow up.
mandiri Beri pujian.
4. Nilai apakah isolasi sosial 2. Nilai kemampuan keluarga
teratasi. merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke RSJ /
PKM
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, M., & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
Keliat, B. A. 2015. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC
Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. 2012. Keperawatan Kesehatan
Jiwa Komunitas: CHMN (Basic Course). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Munith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi.
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. 2018. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North Amercan Nursing Diagnosis Association)
NIC-NOC Jilid2.Jogjakarta : Medication.
Nurhaeni H.dkk, 2011.Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.Jakarta:EGC
O’Brien, dkk.2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa PskiatrikTeori dan Praktik.Jakarta
: EGC.
Yosep,I., & Sutini, T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN RBD
A. KASUS RBD
1. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko
untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat
mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri
sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup
setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu
menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan
Sundeen, 1995 dalam Fitria, 2009).
2. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009):
a) Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b) Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d) Impulsif.
e) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh).
f) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang obat dosismematikan).
h) Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic,
marah dan mengasingkandiri).
i) Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis danmenyalahgunakan alcohol).
j) Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal).
k) Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau
mengalami kegagalan dalamkarier).
l) Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
m) Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
n) Pekerjaan.
o) Konflik interpersonal.
p) Latar belakang keluarga.
q) Orientasi seksual.
r) Sumber-sumber personal.
s) Sumber-sumber social.
t) Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
3. Klasifikasi RBD
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini
disebabkan oleh kondisikebudayaan atau karena masyarakat
yang menjadikan individu itu seolah-olah
tidak berkepribadian.Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa merekatidak menikah lebih rentan untuk
melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan merekayang
menikah.
2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia
cenderung untuk bunuh diri karenaindentifikasi terlalu kuat
dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok tersebut
sangatmengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi
antara individu dan masyarakat,sehingga individu tersebut
meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa.
Individukehilangan pegangan dan tujuan.Masyarakat
atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan padanya karena
tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-
kebutuhannya.
4. Rentang Respon
Menurut Fitria (2012) mengemukakanrentang harapan-putus
harapan merupakan rentang adaptif-maladaptif:
Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahan diri secarawajar terhadap situasional yang
membutuhkan pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau
beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terha
dap situasi yang seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti
seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya
dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap
yang kurang tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri
atau pencederaan diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi
yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri
sampai dengan nyawanya hilang.
5. Etiologi
c. Faktor predisposisi
a. Teori genetic
1. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis
dan Hitler (2010) merupakan sesuatu yang di turunkan
dalam keluarga kembar monozigot memiliki reriko dalam
melakukan bunuh diri stuard (2011).
2. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf
, peningkatan dan penurunan neuro transmiter
mengakibatkan perubahan pada prilaku. Neurotrasmiter yg
yang di kaitkan dengan prilaku bunuh diri adalah dopamine,
neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba (Stuard,
2011).
3. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya
dengan bunuh diri mengalami gangguan jiwa.
4. Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk
bunuh diri adalah gangguan modd , penyalah gunaan zat ,
skizofrenia , dan gangguan kecemasan (Stuard, 2013).
b. Faktor psikologi
1. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw
kemarahan terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di
mannifestasikan atau di tunjuksn pada diri sendiri (Stuard
dan videbeck, 2011).
2. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan
resiko bunuh diri adalah permusuhan, impulsive, depresi dan
putus asa (Stuard, 2013 ).
3. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di
cintai, rasa keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga
diri (Shadock, 2011).
8. Pohon masalah
KASUS RPK
A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak
terkontrol (Farida & Yudi, 2011).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai
marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif
dan masih terkontrol (Yosep, 2007). Resiko mencederai diri yaitu suatu
kegiatan yang dapat menimbulkan kematian baik secara langsung maupun
tidak langsung yang sebenarnya dapat dicegah (Depkes, 2007).
Rendah
Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilaku kekerasan
mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang
terendah yaitu memperlihatkan permusuhan pada tingkatan tertinggi
yaitu melukai dan tingkat serius dan membahayakan.
D. Klasifikasi RPK
a. Irritable aggression
Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah.
Agresi ini dipicu oleh oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek
pada proses penerimaan dan memahami informasi dengan
intensitas emosional yang tinggi (directed against an available
target)
b. Instrumental aggression
Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai
tujuan tertentu. Misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu
dilakukan tindak kekerasan secara sengaja dan terencan
c. Mass aggression
Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat
orang berkumpul terdapat kecenderungan berkurangnya
individualitas, bila ada ada seseorang yang mempelopori tindak
kekerasan maka secara otomatis semua akan ikut melakukan
kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasi tindak kekerasan tersebut
bisa saja melakukan agresi instrumental (sebagai provokator)
maupun agresi permusuhan karena kemarahan tidak terkendali
(Keliat, 1996 dalam Muhith, 2015).
E. Rentang Respon
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemrahan
dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptive. Rentang
Respon Ekpresi marah menurut Stuart and Sundeen (1995)
Keterangan :
a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Meraka dapat melihat norma
individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara
kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam
berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan rasionalnya kepada
oang laindan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)
b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia
akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan tekanan
pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan gangguan
perkembangan (Stuart & Lauria 2005)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan (Stuart &
Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan individe dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan yang
tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin, William &
Beck, 1993)
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang
yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekrasan fisik dan
verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi
kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da Stuart &
Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam dan memusuhi orag
lain dan atau lingkungan (Rawlins et al.,1993)
e. Amuk (Perilaku Kekerasan)
Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991).
F. Etiologi
e. Faktor predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori
sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk,
2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif.
Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku,
dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan
meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan.
Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak
mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian,
perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas
secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat
konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye
dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak,
khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal;
trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan
memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran
tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau
berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian
yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua
mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan
perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola
perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya
dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial
yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara
untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh
pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari
bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi
secara konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan
yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
f. Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau symbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
G. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung
dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart
dan Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998)
a. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di
mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang
marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya
adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap
rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya.
c. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci
pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut
ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci
orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
d. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
e. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang
pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy
berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.
I. Pohon masalah
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof. Dr.
Soeroyo Magelang.
Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Dwi, A. S., & Prihantini, E. 2014. Keefektifan Penggunaan Restrain terhadap
Penurunan Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Terpadu
Ilmu Kesehatan , 138-139.
Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Jenny, M., Purba, S. E., Mahnum, L. N., & Daulay, W. 2008. Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU
Press.
Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa (Cetakan 1). Bandung: PT Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERUBAHAN PROSES PIKIR : WAHAM
1. Masalah Utama
Gangguan proses pikir : Waham
2. Proses Terjadinya Masalah
A. Definisi
Waham adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang kokoh, kuat,
tidak sesuai dengan kenyataan, tidak cocok dengan intelegensia dan
latar belakang budaya, selalu dikemukakan berulang-ulang dan
berlebihan biarpun telah dibuktikan kemustahilannya atau kesalahannya
atau tidak benar secara umum. (Tim Keperawatan PSIK FK UNSRI,
2015).
Waham adalah keyakinan keliru yang sangat kuat yang tidak dapat
dikurangi dengan menggunakan logika (Ann Isaac, 2016)
Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikiran yang tidak
sesuai dengan kenyataannya atau tidak cocok dengan intelegensia dan
latar belakang kebudayaannya, biarpun dibuktikan kemustahilannya
(Maramis,W.F,2015)
Waham adalah keyakinan yang salah dan menetap dan tidak
dapat dibuktikan dalam kenyataan (Harold I, 2018).
B. Etiologi
Waham merupakan salah satu gangguan orientasi realitas.
Gangguan orientasi realitas adalah ketidakmampuan klien menilai dan
berespons pada realitas. Klien tidak dapat membedakan rangsangan
intern al dan eksternal, tidak dapat membedakan lamunan dan
kenyataan. Klien tidak mampu memberi respons secara akurat,
sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin
menakutkan.
Gangguan orientasi realitas disebabkan oleh fungsi otak yang
terganggu yaitu fungsi kognitif dan isi fikir; fungsi persepsi, fungsi emosi,
fungsi motorik dan fungsi sosial. Gangguan pada fungsi kognitif dan
persepsi mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik terganggu.
Gangguan fungsi emosi, motorik dan sosial mengakibatkan kemampuan
berespons terganggu yang tampak dari perilaku non verbal (ekspresi
muka, gerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan hubungan
sosial). Oleh karena gangguan orientasi realitas terkait dengan fungsi
otak maka gangguan atau respons yang timbul disebut pula respons
neurobiologik.
C. Respon Neurobiologis
Adapun rentang respon manusia terhadap stress yang menguraikan
tentang respon gangguan adaptif dan maladaptive dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Rentang Respon
Neurobiologis
Gangguan Konsep
Diri : Harga Diri
Rendah
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk. 2003. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr.
amino Gondoutomo
Fitria,Nita. 2017. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba Medika :
Jakarta
Keliat Budi A. 2017. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.
Bandung : RSJP.
Townsend M.C. 2010. Diagnose keperawatan pada keperawatan psikiatri;
Pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Jakarta : EGC