Anda di halaman 1dari 85

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

A. KASUS HALUSINASI
1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana
pasien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damayanti, M., & Iskandar, 2012)
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya
rangsangan dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang
khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan
mental penderita yang teresepsi (Yosep, 2014).
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus
yang datang disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau
distorsi terhadap stimulus tersebut (Keliat, B. A, 2015)

2. Tanda dan Gejala


Menurut Yusuf (2015), perilaku pasien yang terkait dengan halusinasi
adalah sebagai berikut:
1) Berbicara, tersenyum, dan tertawa sendiri
2) Menggerakkan bibir tanpa suara
3) Pergerakan mata yang cepat
4) Respon verbal yang lambat
5) Menarik diri dari orang lain, berusaha untuk menghindari orang
lain
6) Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
7) Sulit berhubungan dengan orang lain
8) Ekspresi wajah tegang, mudah tersinggung, jengkel, dan marah
9) Curiga dan bermusuhan
10) Biasa mengalami disorientasi tempat, waktu, dan orang
3. Tingkatan
Tingkatan Halusinasi
Stage I : Sleep Pasien merasa banyak masalah,
disorder ingin menghindar dari lingkungan,
Fase awal sebelum takut diketahui orang lain bahwa
muncul halusinasi dirinya banyak masalah. Masalah
semakin sulit karena berbagai
stresor terakumulasi.
Support system pasien kurang dan
persepsi terhadap masalah buruk.
Sulit tidur berlangsung secara terus-
menerus sehingga terbiasa
mengkhayal. Pasien
mengungkapkan lamunan-lamunan
awal tersebut sebagai pemecahan
masalah.
Stage II : Comforting Pasien mengalami emosi yang
Halusinasi secara berlanjut seperti adanya perasaan
umum ia terima cemas, kesepian, perasaan
sebagai sesuatu yang berdosa, ketakutan, dan mencoba
alami memusatkan pemikiran pada
timbulnya kecemasan.
Ia beranggapan bahwa pengalaman
pikiran dan sensorinya dapat ia
kontrol bila kecemasannya diatur,
dalam tahap 2 ada kecenderungan
pasien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
Stage III : Condemning Pengalaman sensori pasien menjadi
severe sering datang dan mengalami bias,
Secara umum, pasien merasa tidak mampu lagi
halusinasi sering mengontrolnya dan mulai berupaya
mendatangi pasien menjaga jarak antara dirinya
dengan objek yang dipersepsikan
pasien mulai menarik diri dari orang
lain dengan intensitas waktu yang
lama.
Stage IV : Controlling Pasien mencoba melawan suara-
severe suara atau sensori abnormal yang
Fungsi sensori menjadi datang. Pasien dapat merasakan
tidak relevan dengan kesepian bila halusinasinya
kenyataan berakhir. Dari sini akan dimulai
gangguan psikotik.
Stage V : Conquering Pengalaman sensorinya terganggu,
panic pasien mulai merasa terancam
Pasien mengalami dengan datangnya suara-suara
gangguan dalam terutama bila pasien tidak dapat
menilai lingkungannya menuruti ancaman atau perintah
yang ia dengar dari halusinasinya.
Halusinasi dapat berlangsung
selama minimal 4 jam atau seharian
bila pasien tidak mendapatkan
komunikasi terapeutik. Pada tahap
ini terjadi gangguan psikotik berat.

4. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Yosep, 2014) halusinasi terdiri dari delapan jenis.
Penjelasan secara detail mengenai Klasifikasidari setiap jenis
halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)
Paling sering dijumpai, dapat berupa bunyi mendenging atau
suara bising yang tidak memiliki arti, tetapi lebih sering terdengar
sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya
suara tersebut ditujukan pada penderita sehingga tidak jarang
penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.
b. Halusinasi penglihatan (visual, optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik).
Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan
kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran
yang mengerikan.
c. Halusinasi penciuman (olfaktori)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu
dan dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada
penderita. Bau dilambangkan sebagai pengalaman yang
dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d. Halusinasi pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi
penciuman. Penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi
gastorik lebih jarang dari halusinasi gustatorik.
e. Halusinasi perabaan (taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup, atau seperti ada ulat yang
bergerak di bawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis
dan skizofrenia.
f. Halusinasi seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia
dengan waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.
g. Halusinasi kinestetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang
atau anggota badannya bergerak-gerak. Misalnya phantom
phenomenon atau tungkai yang diamputasi selalu bergerak-
gerak (phantom limb). Sering terjadi pada penderita skizofrenia
dalam keadaan toksik tertentu akibat pemakaian obat tertentu.
h. Halusinasi viseral
Timbul perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa
pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia
dan sindrom lobus parietalis. Misalnya sering merasa dirinya
terpecah menjadi dua.
2) Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang
lingkungannya yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Misalnya perasaan segala sesuatu yang dialaminya seperti
dalam impian.

5. Rentang Respon
Adapun rentang respon pada halusinasi, yaitu (Damayanti, M., &
Iskandar, 2012) :

Rentang Respon Biologis


a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-
norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu
tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah dan
akan dapat memecahkan masalah tersebut dengan respon yang
adaptif seperti:
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada
kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada
kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang
timbul dari pengalaman ahli.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih
dalam batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang
lain dan lingkungan.
b. Respon psikososial
Respon psikososial meliputi:
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah
tentang penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata)
karena rangsangan panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang
melebihi batas kewajaran.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain.
c. Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau
persepsi eksternal yang tidak nyata atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang
timbul dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh
individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

6. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Menurut Yusuf (2015), faktor predisposisi pasien dengan
halusinasi adalah:
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga yang menyebabkan pasien
tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang
percaya diri, dan lebih rentan terhadap stres.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya
sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.

3) Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stres yang berlebihan dialami oleh seseorang maka
di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia. Akibat stres yang berkepanjangan
dapat menyebabkan teraktivasinya neurotransmiter otak.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini
berpengaruh pada ketidakmampuan pasien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.
Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam khayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia.
Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh terhadap
penyakit ini.
b. Faktor presipitasi
1) Perilaku
Respon pasien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan
bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata. Menurut
Rawlins dan Heacock mencoba memecahkan masalah
halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang
individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-
unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat
dilihat dari 5 dimensi yaitu :
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi
fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan
obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol
dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar
masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab
halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Pasien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga
dengan kondisi tersebut pasien berbuat sesuatu
terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi intelektual
Individu dengan halusinasi akan memperlihatkan
adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya, halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal
yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian pasien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku pasien.
d) Dimensi sosial
Pasien mengalami gangguan interaksi sosial dalam
fase awal dan comforting, pasien menganggap bahwa
hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Pasien asyik dengan halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga
diri yang tidak didapat di dunia nyata.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual pasien halusinasi mulai dengan
kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya
aktivitas ibadah aktivitas ibadah dan jarang berupaya
secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama
sirkadiannya terganggu, karena ia sering tidur larut
malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun
merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering
memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput
rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan takdir memburuk.

7. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi
meliputi (Muhith, 2015):
1) Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggungjawab kepada orang lain atau sesuatu
benda
3) Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan
stimulus internal
4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien

B. Proses Terjadinya Masalah


Psikopatologi dari halusinasi belum diketahui. Banyak teori
yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologis,
fisiologis, dan lain-lain. Beberapa orang mengatakan bahwa situasi
keamanan di otak normal dibombardir oleh aliran stimulus yang
berasal dari tubuh dan dari luar tubuh. Jika masukan terganggu atau
tidak ada sama sekali saat bertemu dalam keadaan normal atau
patologis, materi berada dalam prasadar dapat unconscious atau
dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan
bahwa halusinasi dimulai dengan keinginan yang direpresi ke
unconscious dan kemudian kepribadian rusak dan kerusakan pada
realitas tingkat kekuatan keinginan sebelumnya diproyeksikan keluar
dalam bentuk stimulus eksternal.
C. Pohon masalah

Risiko perilaku kekerasan

Effect

Gangguan persepsi sensori:


Halusinasi

Core Problem

Isolasi sosial

Causa

D. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


Pengkajian Keperawatan (Keliat, 2012) :
1. Masalah keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri
2. Data yang perlu dikaji
a. Data Mayor
Data Subyektif :
- Mengatakan mendengar suara bisikan / melihat bayangan
Data Objektif :
- Bicara sendiri
- Tertawa sendiri
- Marah tanpa sebab
- Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
b. Data Minor
Data Subjektif :
- Menyatakan kesal
- Menyatakan senang dengan suara-suara
Data Objektif :
- Menyendiri
- Melamun
c. Isolasi sosial : menarik diri
Data Subyektif :Pasien mengatakan saya tidak mampu, tidak
bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri,
mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
Data Obyektif :Pasien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila
disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin
mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi sedih, Komunikasi verbal
kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada saat tidur, Menolak
berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan
E. Diagnosa Keperawatan
Adapun masalah keperawatannya adalah(Nurarif, A.H., &
Kusuma,2015) :
1. Resiko Perilaku Kekerasan faktor berhubungan isolasi sosial, ide
bunuh diri, pola kekerasan tidak langsung, dan impulsif.
2. Gangguan Persepsi Sensori (Halusinasi pendengaran, penglihatan,
perabaan, penghiduan, dan pengecap)
3. Isolasi Sosial b.d gangguan kesehatan dan kesulitan membina
hubungan
F. Rencana Tindakan Keperawatan Jiwa
N PERENCANAAN
DX INTERVENSI
O Tujuan Kriteria hasil
1 Halusina TUM : pasiendapat Pasien mampu 1. Bina
si mengontrol halusinasi membina hubungan hubungan
yang di alaminya salin percayadengan saling
perawat dengan kriterial percaya.
TUK hasil : 2. Salam
1 :Pasien dapat 1. Membalas terapeutik.
membinahubungansal sapaanperawat 3. Perkenalkan
ing percaya dengan 2. Eksperi wajah diri
perawat. bersahabat & 4. Jelaskan
senang. tujuan
3. Ada kontak mata, interaksi.
jabatangan 5. Buat kontrak
4. Mau menyebut yang jelas.
nama dan pasien 6. Menerima
mau duduk pasien apa
berdapingan dengan adanya.
perawat 7. Kontak mata
5. Pasien mau positif.
2 : pasien dapat mengutarakan 8. Ciptakan
mengenali masalah yang di lingkungan
halusinasinya hadapi. yang
terapeutik.
Pasienmampu 9. Dorong
mengenal halusinasinya pasien dan
dengan kriterial hasil : beri
1. Pasiendapat kesempatan
menyebutkan untuk
Jenis, Isi, Waktu, mengungka
Frekuensi, pkan
Perasaan, perasaanny
2. Situasi dan a.
kondisiyang 10. Dengarkan
menimbulkanhalu ungkapan
sinasi, pasien
3. Responnya saat dengan rasa
mengalami empati.
halusinasi.

1. Adakan
kontak
secara
sering dan
singkat.
2. Observasi
tingkah laku
verbal dan
non verbal
pasien yang
terkait
dengan
halusinasi
(sikap seperti
mendengark
an sesuatu,
bicara atau
tertawa
sendiri,
terdiam di
tengah –
tengah
pembicaraan
).
3. Terima
halusinasise
bagai hal
yang nyata
bagi pasien
dan tidak
nyata bagi
perawat.
4. Identifikasi
bersama
pasien
tentang
waktu
5. munculnya
halusinasi, isi
halusinasi
dan
frekuensi
timbulnya
halusinasi.
6. Dorong
pasien untuk
mengungkap
kan
perasaannya
ketika
halusinasi
muncul.
7. Diskusikan
dengan
pasien
mengenai
perasaannya
saat terjadi
halusinasi.
3 : pasien dapat 1. Pasien dapat 1. Identifikasi
mengendalikan mengidentifikasi tindakan
halusinasinya tindakan yang di pasien yang
lakukan untuk positif.
mengendakikan 2. Beri pujian
halusinasi. atas tindakan
2. Pasien dapat pasien yang
menunjukan cara positif.
baru untuk 3. Bersama
mengontrol pasien
halusinasi. rencanakan
kegiatan
untuk
mencegah
terjadinya
halusinasi.
4. Diskusikan
ajarkan cara
mengatasi
halusinasi.
5. Dorong
pasien untuk
memilih cara
yang disukai
untuk
mengontrol
halusinasi.
6. Beri pujian
atas pilihan
pasien yang
tepat.
7. Dorong
pasien untuk
melakukan
tindakan
yang telah
dipilih.

4 : pasien 1. Pasien dapat 1. Bina


mendapatkan memiliki cara hubungan
dukungan keluarga mengatasi saling
dalam mengendalikan halusinasi. percaya
halusinasi 2. Pasien dengan
melaksanakan cara pasien.
yang telah di pilih 2. Kaji
memutus pengetahua
halusinasinya. n keluarga
3. Pasien dapat tentang
mengikuti aktifitas halusinasi
kelompok. dan
tindakan
yang
dilakukan
keluarga
dalam
merawat
pasien.
3. Beri
penguatan
positif atas
upaya yang
baik dalam
merawat
pasien.
4. Diskusikan
danajarkan
dengan
keluarga
tentang :
halusinasi,
tanda –
tanda dan
cara
merawat
halusinasi.
5. Beri pujian
atas upaya
keluarga
yang positif.
5 : pasien dapat 1. Keluarga dapat 1. Diskusikan
menggunakan obat membina hubungan dengan
untuk mengontrol saling  percaya dgn pasien
halusinasi perawat. tentang obat
2. Keluarga dapat untuk
menyebutkan mengontrol
pengertian , tanda halusinasiny
dan tindakan yang a.
mengalihkan 2. Bantu pasien
halusinasi. untuk
memutuskan
bahwa
pasien
minum obat
sesuai
program
dokter.
3. Observasi
tanda dan
gejala terkait
efek dan
efek
samping.

Strategi Pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaan Halusinasi, yaitu (O’Brien, 2014) :

Pasien Keluarga

SP I SP I
1. Identifikasi halusinasi : dengan - Mendiskusikan masalah yang
mendiskusikan isi, frekuensi, waktu, dirasakan keluarga dalam
terjadi situasi pencetus, perasaan dan merawat px
respon - Menjelaskan pengertian
2. Jelaskan cara mengontril halusinasi : halusinasi, tanda dan gejala serta
hardik, obat, bercakap-cakap, proses terjadinya halusinasi
melakukan kegiatan. - Menjelaskan cara merawat px
3. Latih cara mengontrol halusinasi dengan halusinasi
dengan menghardik
4. Masukan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik
SP II
1. Evaluasi menghardik, beri pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi
dengan obat (jelaskan 6 benar obat, SP II
jenis, guna, dosis, frekuensi, - Melatih keluarga mempraktekkan
kontinuitas minum obat) cara merawat px dengan
3. Jelaskan pentingnya penggunaan obat halusinasi
pada gangguan jiwa
4. Jelaskan akibat jika obat tidak SP III
diminum sesuai program - Melatih keluarga melakukan cara
5. Jelaskan akibat putus obat merawat langsung kepada px
6. Jelaskan cara berobat dengan halusinasi
7. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik dan beri pujian. SP IV
SP III - Membantu keluarga membuat
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik jadwal aktivitas di rumah
dan obat. Beri pujian. termasuk minum obat (discharge
2. Latihan cara mengontrol halusinasi planning)
dengan bercakap-cakap ketika - Menjelaskan follow up px setelah
halusinasi muncul pulang
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik, minum obat, dan
bercakap-cakap.
SP IV
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik,
penggunaan obat dan bercakap-
cakap. Beri pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi
dengan melakukan kegiatan harian
(mulai 2 kegiatan)
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik, minum obat,
bercakap-cakap dan kegiatan harian
SP V
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik,
minum obat, bercakap, dan
melakukan kegiatan harian. Beri
pujian
2. Latih kegiatan harian
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol

DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah, 2010. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik


Keperawatan.Bandung:Refika Aditama
Damayanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
Keliat, B. A. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC
Keliat, B. A., & Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta : EGC.
Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. (2012). Keperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas: CHMN (Basic Course). Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Munith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi.
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North Amercan Nursing Diagnosis
Association) NIC-NOC Jilid2. Jogjakarta : Medication.
Nurhaeni H.dkk, 2011.Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.Jakarta:EGC
O’Brien, P. G., Kennedy, W.Z., & Ballard, K. A. (2014). Keperawatan Kesehatan
Jiwa PskiatrikTeori dan Praktik. Jakarta : EGC.
Yosep,I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Yusuf, Fitriyasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Kasus (Masalah Utama)


Defisit Perawatan Diri
a. Definisi
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri seperti mandi, berhias, makan, toileting
(Nurjannah,2014). Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan atau
penurunan kemampuan individu untuk melakukan atau menyelesaikan
aktifitas kehidupan sehari-hari dalam hal merawat diri; yang meliputi
kebersihan diri/mandi, makan, berpakaian/berhias dan toileting (Buang Air
Besar (BAB)/Buang Air Kecil (BAK) akibat kerusakan pada fungsi motorik
atau kognitif (Depkes, 2016).
b. Tanda dan gejala
Depkes (2016) menjelaskan bahwa tanda dan gejala defisit perawatan diri
antara lain:
1) Defisit perawatan diri: Makan
a. Tidak mampu menyiapkan/mengambil makan sendiri
b. Tidak mampu menggunakan/memegang alat makan
c. Tidak mampu membawa makanan masuk ke dalam mulut, makan
berceceran atau tidak pada tempatnya
d. Tidak mampu mengunyah/menelan makanan
e. Makan hanya beberapa suap dari piring / porsi tidak habis
2) Defisit perawatan diri: Kebersihan diri/mandi
a. Rambut kotor
b. Gigi kotor
c. Kulit berdaki dan bau keringat
d. Kuku panjang dan kotor
e. Tidak mampu/tidak ada keinginan untuk membersihkan/
mengeringkan badan
f. Tidak ada keinginan/kebutuhan untuk mandi secara teratur
3) Defisit perawatan diri: Berhias
a. Rambut acak-acakan
b. Penampilan tidak rapi (pakaian kotor)
c. Tidak mau/tidak mampu menyisir rambut
d. Tidak mampu/tidak mau berpakaian secara benar (pakaian tidak
sesuai), tidak mampu memilih/mengambil/mengenakan/melepas
pakaian termasuk mengancingkan dan menutup/membuka
resleting
e. Tidak mampu/tidak mau memakai alas kaki
f. Tidak ada minat mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan atau harus dimotivasi untuk melakukan perawatan diri
g. Laki-laki tidak bercukur atau perempuan tidak berdandan
4) Defisit perawatan diri: Toileting (BAB/BAK)
a. BAB/BAK tidak pada tempatnya/sembarang tempat
b. Tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK
c. Tidak mampu menggunakan kloset/pispot
d. Tidak mampu menyiram/menjaga kebersihan toilet
e. Tidak mampu/tidak mau mengenakan pakaian setelah BAK/BAB
c. Klasifikasi
Desifit perawatan diri terbagi dalam beberapa jenis, meliputi (Nurjannah,
2004):
1) Defisit perawatan diri: mandi/kebersihan
Defisit perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi atau kebersihan diri.
2) Defisit perawatan diri: mengenakan pakaian/berhias.
Defisit perawatan diri (mengenakan pakaian/berhias) adalah
gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan
sendiri.
3) Defisit perawatan diri: makan
Defisit perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
4) Defisit perawatan diri: toileting
Defisit perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri.
d. Rentang respon
Menurut Stuart (2016) menjelaskan bahwa rentang respon defisit
perawatan diri antara lain:
1) Regresi yaitu kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan
merupakan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
2) Penyangkalan yaitu menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas
dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini
adalah paling sederhana dan primitif.
3) Isolasi diri: suatu kondisi menarik diri.
4) Intelektualisasi yaitu pengguna logika dan alasan yang berlebihan
untuk menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya.
e. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis dapat menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
d. Sosial
Kurangnya dukungan dan latihan dalam meningkatkan
kemampuan dalam perawatan diri dari lingkungannya. Situasi
lingkungan dapat mempengaruhi latihan dan kemampuan dalam
perawatan diri
f. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah penurunan motivasi,
kerusakan kognisi, cemas, lemah yang dialami individu sehingga
menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2016) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi personal
hygiene adalah
1) Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial
Pada anak-anak yang selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan dalam pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan biaya
untuk menyediakannya
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan .
5) Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu/kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya
g. Mekanisme koping
1) Regresi yaitu kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan
merupakan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini
2) Penyangkalan yaitu menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas
dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini
adalah paling sederhana dan primitif.
3) Isolasi diri: suatu kondisi menarik diri
4) Intelektualisasi yaitu pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya.
2. Proses Terjadinya Masalah

Faktor
Predisposisi
Biologis Psikologis Sosiocultura
Penyakit kronis Keluarga terlalu Kurang
yang melindungi dan dukungan dan
menyebabkan memanjakan latihan
klien tidak mampu klien sehingga kemampuan
melakukan perkembangan perawatan diri
perawatan diri inisiatifPresipitasi
Faktor di
seperti
Sifatstroke terganggu
Asal Waktu Jumlah

 Aspek biologis:  Faktor Waktu Jumlah


berupa kerusakan internal: stressor stressor
kognisi atau keluarga kapan yang
perseptual dan terjadi dialami
memanjaka
kelemahan. sehingga pasien
n atau justru membuat
 Aspek psikologis:
malah klien tidak
kemungkinan
membiarkan melakukan
diakibatkan karena perawatan
dalam hal
seseorang yang diri
perawatan
menderita penyakit
diri
kronis ataupun
 Faktor
gangguan kejiwaan
eksternal:
lain sehingga
Adanya
secara psikologis budaya
mereka mengalami masyarakat
penurunan jika individu
motivasi, cemas, sakit
ansietas tertentu
 Aspek tidak boleh
Penilaian terhadap

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial


Pengetahuan Gambara Kondisi Perilaku Hubungan
personal n fisiologis yang sosial yang
hygiene suasana yang dapat terjadi bila
sangat emosi timbul terjadi bila pasien
penting pasien akibat pasien defisit
karena terhadap pasien kurang perawatan
pengetahuan dirinya kurang menjaga diri seperti
yang baik dapat merawat kebersiha tidak mau
dapat mem- diri seperti n diri berinteraksi
meningkatkan pengaruhi tidak bisa seperti dengan
kesehatan. kebersiha tidur, mual, mengurun orang lain
Misal: pasien n diri. muntah
diabetes Misal:
malu,
takut
Tidak

Sumber Koping
Kemampuan Dukungan Aspek Keyakinan
Personal Sosial Material Positif
Kurangnya Seluruh aspek Sarana Ada tidaknya
kemampuan disekitarnya prasarana keyakinan
dalam yang dapat yang bahwa dengan
memahami, mempengaruhi menunjang menjaga
merasakan, kemampuan Misal: Personal kebersihan diri
dan personal hygiene akan
menyelesaika termasuk memerlukan membantu
n masalah keluarga, alat dan bahan proses
sehingga masyarakat yang penyembuhan
mengalami dalam semuanya suatu penyakit
kelemahan membantu memerlukan atau gangguan.
untuk klien menjaga biaya untuk
menjaga kebersihan
kebersihan dirinya.
3. Pohon Masalah

Resiko Bunuh Diri

Halusinasi
Harga Diri Rendah

Isolasi Sosial

Defisit Perawatan Diri

4. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu di Kaji


Masalah Data yang perlu dikaji Data yang perlu
keperawatan ditambahkan
Defisit perawatan Status mental Subjektif
diri  Penampilan  Pasien merasa lemah
 Aktivitas  Pasien merasan malas
motorik/psikomotorik: untuk beraktivitas
Kelambatan  Pasien merasa tidak
 Afek/emosi berdaya
 Interaksi selama
wawancara
Objektif
 Rambut kotor, acak –
acakan
 Badan dan pakaian
kotor dan bau
 Mulut dan gigi bau
 Kulit kusam dan kotor
 Kuku panjang dan
tidak terawat

5. Diagnosa Keperawatan Jiwa


Nanda 2018:
Defisit Perawatan Diri: Mandi, Berpakaian, Makan, dan Eliminasi
6. Rencana Tindakan Keperawan
Tujuan Umum :Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri.
Tujuan Khusus :
TUK I : Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
Intervensi :
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
TUK II :Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
Intervensi :
Untuk pasien laki – laki, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias
TUK III :  Pasien mampu melakukan makan dengan baik
Intervensi :
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
TUK IV :Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Intervensi :
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
DAFTAR PUSTAKA

Depkes. 2015. Standar Pedoman Perawatan Jiwa. Jakarta: Departemen


Kesehatan.
Depkes. 2016. Standar Pelayanan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Departemen
Kesehatan
Nurjanah, I. 2014. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa, Proses
Keperawatan dan Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. Yogyakarta:
Mocomedia.
Stuart, G. W. 2016. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Tarwoto, W. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

1. Kasus (Masalah Keperawatan Jiwa Utama)


Harga Diri Rendah Kronis

2. Definisi
1) Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negatif dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan
(Towsend, 2018).
2) Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang
diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan
Videbeck, 2017).
3) Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, marasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 2014).

3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


Berbagai faktor menunjang terjadinya terjadinya perubahan dalam
konsep-diri seseorang. Dalam tinjauan life span history klien, penyebab
terjadinya harga diri rendah adalah padamasa kecil sering disalahkan,
jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa
remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan
tidak diterima.menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan
atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya (Yosep, 2009).
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah
penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya
sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan, atau bentuk tubuh,
mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Gangguan
konsep diri : harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara
situasional maupun kronik.
Situasional. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis yang
terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul
secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan,
menjadi korban pemerkosaan, atau menjadi narapidana, sehingga
harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga bisa
menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit
fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman,
harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh,
serta perlakuan petugas kesehatan yang kurng menghargai klien dan
keluarga.
Kronik. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya
sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit
atau sebelum dirawat. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum
dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.
Baik faktor perdisposisi maupun presipitasi di atas bila telah
memengaruhi seseorang baik dalam berpikir, bersikap, maupun
bertindak, maka dianggap telah memengaruhi koping individu tersebut
sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme koping individu tidak
efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi lebih lanjut
dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan
untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial). Klien yang
mengalami isolasi sosial dapat membuat klien asyik dengan dunia
dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko perilaku
kekerasan.
4. Tanda dan Gejala
Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri
rendah kronis:
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri.
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) Selera makan berkurang
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah.
5. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji
Masalah Data yang Perlu Dikaji
Keperawatan
Harga diri rendah Subjektif:
kronis  Mengungkapkan dirinya merasa tidak
berguna
 Mengungkapkan dirinya merasa tidak
mampu
 Mengungkapkan dirinya tidak semangat
untuk beraktivitas atau berkerja
 Mengungkapkan dirinya malas melakukan
perawatan diri (mandi, berhias, makan, atau
toileting)
Objektif:
 Mengkritik diri sendiri
 Perasaan tidak mampu
 Pandangan hidup yang pesimistis
 Tidak menerima pujian
 Menurunkan produktivitas
 Penolakan terhadap kemampuan diri
 Kurang memperhatikan perawatan diri
 Berpakaian tidak rapi
 Berkurangnya selera makan
 Tidak berani menatap lawan bicara
 Lebih banyak menundunk
 Bicara lambat dengan nada suara lemah
B. Pohon Masalah (gambaran pohon masalah)
Resiko tinggi (Risti) Perilaku Kekerasan

Effect Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial

Core Problem Harga Diri Rendah Kronis

Causa Koping Individu tidak Efektif

6. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah Kronis
7. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Rencana tindakan keperawatan pada klien
 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
klien.
b. Membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat
dilakukan.
c. Membatu klien menetukan kegiatan yang akan dilatih sesuai
dengan kemampuan klien.
d. Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang dipilih.
e. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien.
f. Menganjurkan klien memasukan jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien,
b. Melatih kemampuan keduanya
c. Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal harian.
 Tindakan keperawatan untuk klien
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki klien.
Perawat dapat melakukan hal-hal berikut utuk membantu klien
mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki.
1) Mendiskusikan bahwa klien maasih memiliki sejumlah
kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan klien di
rumah, adanya keluarga dan lingkungan terdekat klien.
2) Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan
penilaian yang negatif setiap kali bertemu dengan klien.
b. Membantu klien dalam menilai kemampuan yang dapat
digunakan
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih
dapat digunakan saat ini setelah mengalami bencana.
2) Mantu klien menyebutkannya dan berikan penguatan
terhadap kemampuan diri yang berhasil diungkapkan klien.
3) Perlihatkan respons yang konduktif dan jadilah pendengar
yang aktif.
c. Membantu klien agar dapat memilih atau menetapkan kegiatan
sesuai dengan kemampuan. Tindakan keperawatan yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan pilih sebagai kegiatan yang akan dilakukan
sehari-hari.
2) Bantu klien menetapakan aktivitas yang dapat dilakukan
secara mandiri. Tentukan aktivitas-aktivitas yang
memerlukan bantuan minimal dan bantuan penuh dari
keluarga atau lingkungan terdekat klien. Berikan contoh
cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan klien.
Lakukan penyusunan aktivitas bersama klien dan buatlah
daftar aktivitas atau kegiatan sehari-hari klien.
d. Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan
kegiatan (yang sudah dipilih klien yang akan dilatih.
2) Bersama klien dan keluarga memperagakan beberapa
kegiatan yang akan dilakukan klien.
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap
kemajuan yang diperlihatkan klien.
e. Membantu klien agar dapat merencanakan kegiatan sesuai
kemampuan.
Untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan tersebut,
saudara dapat melakukan hal-hal berikut:
1) Memberi kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan
yang telah dilakukan.
2) Berikan pujian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat yang
dapat dilakukan klien setiap hari.
3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan
perubahan setiap aktivitas.
4) Menyusun daftar setiap aktivitas yang sudah dilakukan
bersama klien dan keluarga.
5) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya setelah melaksanakan kegiatan
6) Yakikan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang
dilakukan oleh klien.

2. Rencana tindakan keperawatan pada keluarga.


 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien.
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah
yang dialami klien beserta proses terjadinya.
Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga.
a. Melatih keluarga untuk memperaktikan cara merawat klien
harga diri rendah.
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
klien harga dri rendah.
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga
a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat.
b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
 Tindakan keperawatan untuk keluarga.
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat
klien.
b. Jeleskan kepada keluarga tentang kondisi klien yang
mengalami gangguan konsep diri; harga diri rendah kronis.
c. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien.
d. Jelaskan cara-cara merawat klien dengan gangguan konsep
diri: harga diri rendah kronis.
e. Demostrasikan cara merawat klien dengan gangguan konsep
diri: harga diri rendah kronis.
f. Bantu klien menyusun rencana kegiatan klien di rumah.
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung


: Refika Aditama.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika.
Depkes. 2016. Standar Pelayanan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Departemen
Kesehatan
Nurjanah, I. 2014. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa, Proses
Keperawatan dan Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. Yogyakarta:
Mocomedia.
Stuart, G. W. 2016. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Tarwoto, W. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

E. Kasus Isolasi Sosial


8. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Damayanti, 2012).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang
merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam
dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan (Keliat, 2015).
Isolasi sosial atau menarik diri merupakan keadaan seorang
individu yang mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat & Akemat, 2015).
Isolasi sosial atau menarik diri adalah suatu pengalaman
menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain
sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam
(Nurhaeni H.dkk, 2011)

9. Tanda dan Gejala


Menurut Towsend.M.C dan Carpenito L.J Isolasi sosial : menarik diri
sering ditemukan adanya tanda dan gejala sebagai berikut: kurang
spontan, apatis, ekspresi wajah tidak berseri, tidak memperhatikan
kebersihan diri, komunikasi verbal kurang, menyendiri, tidak peduli
lingkungan, asupan makanan terganggu, retensi uriendan feses,
aktivitas menurun, posisi baring seperti feses, menolak berhubungan
dengan orang lain. (Yusuf, dkk. 2015)
1) Data Subyektif
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data
subyektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti kata-
kata “tidak”, “iya”, “tidak tahu”.
2) Data obyektif
Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan:
a. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
b. Menghindar dari orang lain (menyindir), klien tampak dari orang
lain, misalnya pada saat makan.
c. Komunikasi kurang/ tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-
cakap dengan klien lain/ perawat
d. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
e. Berdiam diri di kamar/ tempat terpisah. Klien kurang
mobilitasnya.
f. Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
g. Tidak melakukan kegatan sehari-hari. Artinya perawatn diri dan
kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
h. Posisi janin pada saat tidur.

10. Rentang Respon

Berikut ini akan dijelaskan tentang respon yang terjadi pada isolasi sosial:
1) Respon adaptif
a. Adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normalketika menyelesaikan masalah.
Berikut ini adalah sikap termasuk respon adaptif.
b. Menyendiri, respon yang dibutuh kan seseorang untuk merenungkan
apa yang terjadi di lingkungannya.
c. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
d. Bekerja sama, kemmapuan individu yang saling membutuhkan satu
sama lain.
e. Interdependen, saling ketergantungan  antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
2) Respon maladaptif
a. Adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di
suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon
maladaptif.
b. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara trebuka dengan orang lain.
c. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
d. Manipulasi seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
e. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap
orang lain.

6. Etiologi Faktor predisposisi


Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku isolasi
sosial (Yosep,I., & Sutini, T. 2014)
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa
bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang sehingga
mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga yang
terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri.
Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan tenaga
profesional untuk mengembangkan gambaran yng lebih tepat tentang
hubungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga. Pendekatan
kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial menarik diri.
b. Faktor biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel,
penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbik diduga
dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan
terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang
tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan berpenyakit kronik.
Isolasi dapat dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku dan
sitem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan
yang tidak realistis terhadap hubungn merupakan faktor lain yang
berkaitan dengan gangguan ini.

7. Faktor presipitasi
Ada beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang
menarik diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dario berbagai stressor
antara lain:
a. Stressor sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gaangguan
dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya menurunnya
stabilitas unit keluarga, berpisah dari orang yang berarti dalam
kehidupannya, misalnya karena dirawat di rumah sakit.
b. Stressor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya hal ini dapat menimbulkan ansietas tinggi bahkan
dapat menimbulkan seseorang mengalami gangguan hubungan
(menarik diri).
c. Stressor intelektual
1) Kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk
berbagai pikiran dan perasaan yang mengganggu pengembangan
hubungan dengan orang lain.
2) Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan
kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit
berkomunikasi dengan orang lain.
3) Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan dengan
orang lain akan persepsi yang menyimpang dan akan berakibat
pada gangguan berhubungan dengan orang lain.
d. Stressor fisik
1) Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang
menarik diri dari orang lain
2) Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu
sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang lain.

8. Mekanisme Koping
a. Perilaku curiga : regresi, proyeksi, represi.
b. Perilaku Dependen : regresic.
c. Perilaku Manipulatif : regresi, represid.
d. Isolasi atau menarik diri : regresi, repsesi. Isolasi
(Eko prabowo:2014:113)

B. Proses Terjadinya Masalah


Salah satu gangguan berhubungan social diantanranya perilaku
menarik diri atau isolasi social yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga
yang bias dialamipasien dengan latar belakang yang penuh dengan
permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan.Perasaan tidak
berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam mengembangkan
berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi regresi atau
mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan kurangnya perhatian dan
kebersihan diri.Pasien semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap
penampilan dan tingkah laki masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai
dalam kenyataan, sehingga berakibat lanjut halusinasi (Eko prabowo, 2014).
C. Pohon masalah
Resiko Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

Isolasi Sosial Defisit Perawatan Diri

Mekanisme Koping Tidak Efektif

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

D. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


Adapun Pengkajian Keperawatan (O’Brien, dkk. 2014)
1. Data yang perlu dikaji
a. Data Mayor
Data Subjektif
1) Mengatakan malas berinteraksi
2) Mengatakan orang lain tidak mau menerima dirinya
Data Objektif
1) Menyendiri
2) Tidak ada kontak mata
3) Mengurung diri
4) Tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain
5) Tegang gelisah
b. Data Minor
Data Subjektif :
1) Curiga dengan orang lain
2) Mendengar suara/melihat bayangan
3) Merasa kesepian
4) Merasa tidak berguna
5) Merasa tidak aman berada dengan orang lain
Data Objektif
1) Mematung
2) Mondar-mandir tanpa arah
3) Tidak berinisiatif berhubungan dengan orang lain
F. Diagnosa Keperawatan
Adapun masalah keperawatan yang muncul adalah (Nanda, 2018)
1. Isolasi sosial : Menarik diri
2. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
3. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi.
G. Rencana Tindakan Keperawatan Jiwa

Hari/Tgl Diagnosa Perencanaan


keperawatan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi Rasional

Isolasi TUM: Setelah 4 Setelah 2 x 1


sosial x 15 menitklien menitpertemuan klien
1. Bina hubungan saling percaya Hubungan saling
dapat mampu membina hubungan
dengan menggunakan prinsip percaya
berinteraksi saling percaya dengan
komunikasi terapeutik merupakan
dengan orang perawat
a. Sapa klien dengan ramah, langkah awal
lain 1. Klien dapat
baik verbal maupun untuk
TUK 1: klien mengungkapkan
norverbal menentukan
dapat membina perasaan dan
b. Perkenalkan diri dengan keberhasilan
hubungan keberadaannya secara
sopan rencana
saling percaya verbal
c. Tanyakan nama lengkap selanjutnya
(BHSP) a. Klien mau menjawab
dan nama panggilan yang
salam
disukai pasien
b. Klien mau berjabat
tangan d. Jelaskan tujuan pertemuan
c. Mau menjawab e. Jujur dan tepati janji
pertanyaan f. Tunjukan sikap empati dan
d. Ada kontak mata menerima klien apa adanya
e. Klien mau duduk g. Beri perhatian pada klien
berdampingan dan perhatikan kebutuhan
dengan perawat klien
TUK 2 Klien dapat menyebutkan 1. Berikan kesempatan kepada Dengan
Klien dapat penyebab isolasi sosial yang klien untuk mengungkapkan mengungkapkan
menyebutkan berasal dari: perasaan penyebab isolasi perasaan, bisa
penyebab a. Diri sendiri sosial atahu tidak mau mengetahui
isolasi sosial b. Orang lain bergaul. penyebab isolasi
c. Lingkungan 2. Diskusikan bersama klien sosial
tentang perilaku menarik diri,
tanda dan gejala.
3. Berikan pujian terhadap
kemampuan klien
mengungkapkan
perasaannya
TUK 3 klien Klien dapat menyebutkan 1. Kaji pengetahuan klien Reinforment
dapat keuntungan berhubungan tentang keuntungan dan dapat
menyebutkan dengan orang lain, misalnya manfaat bergaul dengan meningkatkan
keuntungan banyak teman, tidak sendiri orang lain harga diri
berhubungan dan bisa diskusi 2. Beri kesempatan kepada
dengan orang klien untuk mengungkapkan
lain dan perasaannya tentang
kerugian tidak keuntungan berhubungan
berhubungan dengan orang lain
dengan orang 3. Diskusikan bersama klien
lain tentang manfaat
berhubungan dengan orang
lain
4. Kaji pengetahuan klien
tentang kerugian bila tidak
berhubungan dengan orang
lain
a. Beri kesempatan klien
untuk mengungkapkan
perasaan tentang
kerugian bila tidak
berhubungan dengan
orang lain
b. Diskusikan bersama
klien tentang kerugian
tidak berhubungan
dengan orang lain
c. Beri reinforcment positif
terhadap kemampuan
mengungkapkan
perasaan tentang
kerugian tidak
berhubungan dengan
orang lain
TUK 4 klien Klien dapat menyebutkan 1. Kaji kemampuan klien Mengetahui
dapat kerugian tidak berhubungan membina hubungan denga sejauh mana
melaksanakan dengan orang lain misalnya orang lain pengetahuan
hubungan sosial sendiri, tidak punya teman 2. Dorong dan bantu klien untuk klien tentang
secara bertahap dan sepi berhubungan dengan orang berhubungan
lain melalui: dengan orang
3. Bantu klien mengevaluasi lain.
manfaat berhubungan
dengan orang lain
4. Diskusikan jadwal harian
yang dapat dilakukan
bersama klien dalam mengisi
waktu
5. Motivasi klien untuk
mengikuti kegiatan terapi
aktivitas kelompok
sosialisasi
6. Beri reinforcement atas
kegiatan klien dalam
kegiatan ruangan
TUK 5 klien Klien dapat 1. Dorong klien untuk Agar klien lebih
dapat mendemonstrasikan mengungkapkan percaya diri untuk
perasaannya bila berhubungan
mengungkapka hubungan dengan orang lain
berhubungan dengan orang dengan orang
n perasaannya a. klien-perawat lain lain.
setelah b. klien-perawat-perawat 2. Diskusikan dengan klien Mengetahui
manfaat berhubungan sejauh mana
berhubungan lain
dengan orang lain pengetahuan
dengan orang c. klien-perawat-perawat 3. Beri reinforCment positif atas klien tentang
lain lain-klien lain kemampuan klien kerugian bila
mengungkapkan perasaan tidak
d. klien-kelompok kecil
manfaat berhubungan berhubungan
dengan orang lain dengan orang
lain

TUK 6
Klien Klien dapat mengungkapkan 1. BHSP dengan keluarga Agar klien lebih
dapat perasaan setelah a. Salam, perkenalkan diri percaya diri dan
b. Sampaikan tujuan tahu akibat tidak
memberdayaka berhubungan dengan orang
c. Membuat kontrak berhubungan
n sistem lain untuk: d. Explorasi perasaan dengan orang
pendukung a. Diri sendiri keluarga lain.
2.Diskusikan dengan anggota
atahu keluarga b. Orang lain
keluarga tentang: Mengetahui
atahu keluarga a. Perilaku menarik diri sejauh mana
mampu Keluarga dapat: b. Penyebab perilaku pengetahuan
menarik diri tentang membina
mengembangka a. Menjelaskan
c. Cara keluarga hubungan
n kemampuan perasaannya menghadapi klien yang dengan orang
klien untuk b. Menjelaskan cara sedang menarik diri. lain.
berhubungan merawat klien 3. Dorong anggota keluarga
untuk memberikan dukungan Klien mungkin
dengan orang menarik diri
kepada klien berkomunikasi dapat
lain. c. Mendemonstrasikan dengan klien berkomunikasi mengoobati
cara perawatan klien dengan orang lain. perasaan tidak
4. Anjurkan anggota keluarga nyaman, bimbang
menarik diri
untuk secara rutin dan karena memulai
d. Berpartisipasi dalam bergantian mengunjungi klien hubungan
perawatan klien secara bergantian minimal 1x dengan orang
seminggu. lain.
menarik diri.
5. Beri reinforceiment atas hal- Reinforceiment
hal yang telah dicapai oleh dapat
keluarga. meningkatkan
kepercayaan diri
klien.

Dengan
dukungan
keluarga, klien
akan merasa
diperhatikan.
Strategi Pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaan Isolasi Sosial, yaitu (O’Brien, 2014) :
Sp pasien Sp Keluarga
Strategi Pelaksanaan 1 Strategi Pelaksanaan 1
1. Mengidentikasi penyebab 1. Diskusikan masalah yang
isolasi pasien : siapa yang dirasakan keluarga dalam
serumah, siapa yang dekat, merawat pasien
yang tidak dekat, dan apa 2. Jelaskan pengertian isolasi
sebabnya. sosial, tanda dan gejala
2. Mendiskusikan dengan pasien serta proses terjadinya
tentang keuntungan punya isolasi sosial (gunakan
teman dan bercakap-cakap booklet)
3. Mendiskusikan dengan pasien 3. Jelaskan cara merawat
tentang kerugian tidak punya pasien dengan isolasi sosial
teman dan tidak bercakap- 4. Latih dua cara merawat :
cakap. cara berkenalan, berbicara
4. Latih cara berkenalan dengan saat melakukan kegiatan
pasien dan perawat atau tamu. harian.
5. Masukan pada jadwal kegiatan 5. Ajurkan membantu pasien
untuk latihan berkenalan. sesuai jadwal dan
memberikan pujian saat
besuk.
Strategi Pelaksanaan 2 Strategi Pelaksanaan 2
1. Evaluasi kegiatan berkenalan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
(berapa orang beri pujian) dalam merawat / melatih
2. Latih cara berbicara saat pasien berkenalan dan
melakukan kegiatan harian berbicara saat melakukan
(latih 2 kegiatan) kegiatan harian. Beri pujian
3. Masukkan pada jadwal 2. Jelaskan kegiatan rumah
kegiatan untuk latihan tangga yang dapat
berkenalan 2-3 orang pasien, melibatkan pasien berbicara
perawat dan tamu, berbicara (makan, sholat bersama) di
saat melakukan kegiatan rumah
harian. 3. Latih cara membimbing
pasien berbicara dan
memberi pujian
4. Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal saat besuk.
Strategi Pelaksanaan 3 Strategi Pelaksanaan 3
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan (berapa orang) dan dalam merawat / melatih
bicara saat melakukan dua berkenalan, berbicara pasien
kegiatan harian. Beri pujian. saat melakukan kegiatan
2. Latih cara berbicara saat harian. Beri pujian.
melakukan kegiatan harian (2 2. Jelaskan cara melatih pasien
kegiatan baru) melakukan termasuk minum
3. Masukan pada jadwal kegiatan obat ( discharge planning)
untuk latihan berkenalan 4-5 3. Menjelaskan follow up
orang, berbicara saat pasien setelah pulang
melakukan 4 kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 4 Strategi Pelaksanaan 4
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan, bicara saat dalam merawat / melatih
melakukan empat kegiatan pasien berkenalan,
harian. Beri pujian berbicarasaat melakukan
2. Latih cara bicara sosial : kegiatan harian / RT,
meminta sesuatu, menjawab berbelanja. Beri pujian.
pertanyaan. 2. Jelaskan follow up ke RSJ/
3. Masukan pada jadwal kegiatan PKM, tanda kambuh dan
untuk latihan berkenalan >5 rujukan.
oang, orang baru, berbicara 3. Anjurkan membantu pasien
saat melakukan kegiatan harian sesuai jadwal kegiatan dan
dan sosialisasi. memberikan pujian.
Strategi Pelaksanaan 5 Strategi Pelaksanaan 5
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan, bicara saat dalam merawat / melatih
melakukan kegiatan harian dan pasien berkenalan, berbicara
sosialisasi. Beri pujian saat melakukan kegiatan
2. Latih kegiatan harian harian. RT, berbelanja dan
3. Nilai kemampuan yang telah kegiatan lan dan follow up.
mandiri Beri pujian.
4. Nilai apakah isolasi sosial 2. Nilai kemampuan keluarga
teratasi. merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke RSJ /
PKM
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, M., & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
Keliat, B. A. 2015. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC
Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. 2012. Keperawatan Kesehatan
Jiwa Komunitas: CHMN (Basic Course). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Munith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi.
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. 2018. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North Amercan Nursing Diagnosis Association)
NIC-NOC Jilid2.Jogjakarta : Medication.
Nurhaeni H.dkk, 2011.Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.Jakarta:EGC
O’Brien, dkk.2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa PskiatrikTeori dan Praktik.Jakarta
: EGC.
Yosep,I., & Sutini, T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN RBD

A. KASUS RBD
1. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko
untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat
mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri
sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup
setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu
menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan
Sundeen, 1995 dalam Fitria, 2009).
2. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009):
a) Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b) Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d) Impulsif.
e) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh).
f) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang obat dosismematikan).
h) Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic,
marah dan mengasingkandiri).
i) Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis danmenyalahgunakan alcohol).
j) Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal).
k) Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau
mengalami kegagalan dalamkarier).
l) Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
m) Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
n) Pekerjaan.
o) Konflik interpersonal.
p) Latar belakang keluarga.
q) Orientasi seksual.
r) Sumber-sumber personal.
s) Sumber-sumber social.
t) Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
3. Klasifikasi RBD
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini
disebabkan oleh kondisikebudayaan atau karena masyarakat
yang menjadikan individu itu seolah-olah
tidak berkepribadian.Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa merekatidak menikah lebih rentan untuk
melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan merekayang
menikah.
2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia
cenderung untuk bunuh diri karenaindentifikasi terlalu kuat
dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok tersebut
sangatmengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi
antara individu dan masyarakat,sehingga individu tersebut
meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa.
Individukehilangan pegangan dan tujuan.Masyarakat
atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan padanya karena
tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-
kebutuhannya.

4. Rentang Respon
Menurut Fitria (2012) mengemukakanrentang harapan-putus
harapan merupakan rentang adaptif-maladaptif:
Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahan diri secarawajar terhadap situasional yang
membutuhkan pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau
beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terha
dap situasi yang seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti
seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya
dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap
yang kurang tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri
atau pencederaan diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi
yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri
sampai dengan nyawanya hilang.
5. Etiologi
c. Faktor predisposisi
a. Teori genetic
1. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis
dan Hitler (2010) merupakan sesuatu yang di turunkan
dalam  keluarga kembar monozigot memiliki reriko dalam
melakukan bunuh diri stuard  (2011).
2. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf
, peningkatan dan penurunan neuro transmiter
mengakibatkan perubahan pada prilaku. Neurotrasmiter yg
yang di kaitkan dengan prilaku bunuh diri adalah dopamine,
neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba  (Stuard,
2011).
3. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya
dengan bunuh diri mengalami gangguan jiwa.
4. Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk
bunuh diri adalah gangguan modd , penyalah gunaan zat ,
skizofrenia , dan gangguan kecemasan (Stuard, 2013).
b.  Faktor psikologi
1. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw
kemarahan terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di
mannifestasikan atau di tunjuksn pada diri sendiri  (Stuard
dan videbeck, 2011).
2. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan
resiko bunuh diri adalah permusuhan, impulsive, depresi dan
putus asa (Stuard, 2013 ).
3. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di
cintai, rasa keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga
diri (Shadock, 2011).

c. Faktor sosial budaya


1. Beberapa faktor yang mengarah kepada bunuh diri adalah
kemisknan dan ketikmampuan memenuhi kebutuhan dasar,
pernikahan yang hancur, keluarga dengan orang tua tunggal
( Towsend , 2009 ).
2. Faktor budaya yang di dalamnya adalah faktor spiritual, nilai
yang di anut oleh keluarga, pandangan terhadap perilaku
yang menyebabkan kematian berdampak pada angka
kejadian bunuh diri (Krch et al, 2008).
3. Kehilangan, kurangnya dukungan sosial dan peristiwa
keidupan yang negatif dan penyakit fisik kronis. Baru-baru ini
perpisahan perceraian dan penurunan dukungan sosial
merupakan faktor penting berhubungan dengan resiko bunuh
diri.(Stuard, 2013).
d. Faktor presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
6. Mekanisme koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif-diri.Sering kali klien secara
sadar memilih bunuh diri. Menurut Stuart (2006) dalam Yollanda,
Amadea(2018) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego
yang berhubungan dengan perilaku destruktif diri tidak langsung adalah pe
nyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi dan regresi.
7. Proses Terjadinya Masalah

8. Pohon masalah

9. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Pengkajian Faktor Resiko Perilaku bunuh Diri
a. Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria
b. Usia: lebih tua, masalah semakin banyak
c. Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup sendiri
merupakan masalah.
d. Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan
percobaan bunuh diri / penyalahgunaan zat.
e. Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi): Kehilangan orang yang
dicintai, pengangguran, mendapat malu di lingkungan social.
f. Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup
diri.
g. Lain – lain: Penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih lebih
beresiko mengalami perilaku bunuh diri.
G. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku percobaan
bunuh diri:
1. Resiko bunuh diri.
H. Rencana Tindakan Keperawatan Jiwa
1. Ancaman atau percobaan bunuh diri
Intervensi pada pasien
Tujuan keperawatan
Pasien tetap aman dan selamat.
Tindakan keperawatan
Melindubgi pasien dengan cara:
a. Temani pasien terus-menerus sampai pasein dapat
dipindahkan ke tempat yang aman
b. Jauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya: pisau,
silet, gelas, dan tali pinggang)
c. Periksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya
jika pasien mendapatkan obatnya.
d. Dengan lembut, jelaskan pada pasien bahwa anda akan
melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic
Course). Jakarta: EGC
Dessy, Rossyta,.2018. Asuhan Keperawatn Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/8977353/Asuhan_Keperawatan_RESIKO_BUNU
H_DIRI
Khurniawan, Adji,.2018.Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/23897284/Resiko_bunuh_diri
Yolland, Amadea,.2015. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Resiko Bunuh
Diri diakses dari https:// www. academia.edu / 15320155 /
ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_KLIEN_DENGAN_RESIKO_BUNUH_D
IRI
LAPORAN PENDAHULUAN RPK

KASUS RPK
A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak
terkontrol (Farida & Yudi, 2011).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai
marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif
dan masih terkontrol (Yosep, 2007). Resiko mencederai diri yaitu suatu
kegiatan yang dapat menimbulkan kematian baik secara langsung maupun
tidak langsung yang sebenarnya dapat dicegah (Depkes, 2007).

B. Tanda dan Gejala


Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku
kekerasanterdiri dari :
a) Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b) Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan
nada keras, kasar, ketus.
c) Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
d) Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel,tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
e) Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f) Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,
dan kreativitas terhambat.
g) Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
h) Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksua
C. Tingkatan
Tingkatan RPK
Menurut Stuart dan Laraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi dari
tingkat rendah ke tinggi yaitu yang disebut dengan hiraki perilaku
agresif dan kekerasan.
Tinggi Melukai dalam tingkat serius dan bebahaya
Melukai dalam tingkat yang tidak berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan rencana
melukai
Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah

Rendah
Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilaku kekerasan
mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang
terendah yaitu memperlihatkan permusuhan pada tingkatan tertinggi
yaitu melukai dan tingkat serius dan membahayakan.
D. Klasifikasi RPK
a. Irritable aggression
Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah.
Agresi ini dipicu oleh oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek
pada proses penerimaan dan memahami informasi dengan
intensitas emosional yang tinggi (directed against an available
target)

b. Instrumental aggression
Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai
tujuan tertentu.  Misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu
dilakukan tindak kekerasan secara sengaja dan terencan
c. Mass aggression
Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat
orang berkumpul terdapat kecenderungan berkurangnya
individualitas, bila ada ada seseorang yang mempelopori tindak
kekerasan maka secara otomatis semua akan ikut melakukan
kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasi tindak kekerasan tersebut
bisa saja melakukan agresi instrumental (sebagai provokator)
maupun agresi permusuhan karena kemarahan tidak terkendali
(Keliat, 1996 dalam Muhith, 2015).
E. Rentang Respon
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemrahan
dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptive. Rentang
Respon Ekpresi marah menurut Stuart and Sundeen (1995)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustasi Agresi Amuk

Keterangan :
a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Meraka dapat melihat norma
individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara
kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam
berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan rasionalnya kepada
oang laindan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)
b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia
akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan tekanan
pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan gangguan
perkembangan (Stuart & Lauria 2005)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan (Stuart &
Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan individe dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan yang
tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin, William &
Beck, 1993)
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang
yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekrasan fisik dan
verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi
kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da Stuart &
Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam dan memusuhi orag
lain dan atau lingkungan (Rawlins et al.,1993)
e. Amuk (Perilaku Kekerasan)
Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991).
F. Etiologi
e. Faktor predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori
sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk,
2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif.
Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku,
dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan
meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan.
Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak
mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian,
perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas
secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat
konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye
dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak,
khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal;
trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindak kekerasan.

2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan
memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran
tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau
berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian
yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua
mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan
perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola
perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya
dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial
yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara
untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh
pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari
bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi
secara konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan
yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
f. Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau symbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.

G. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung
dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart
dan Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998)
a. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di
mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang
marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya
adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap
rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya.
c. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci
pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut
ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci
orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
d. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
e. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang
pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy
berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.

H. Proses Terjadinya Masalah


Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari
yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan
kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan
terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini
digambarkan proses kemarahan :(Beck, Rawlins, Williams, 1986, dalam
Keliat, 1996)
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu :
Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari ketiga
cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain
adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan
dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak
sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.

I. Pohon masalah

Resiko Tinggi Mencederai, Orang Lain, dan

Perilaku Kekerasan PPS :


Halusinasi
Regimen
Terapeutik Inefektif Harga Diri Rendah Isolasi Sosial :
Kronis Menarik Diri

Koping Keluarga Berduka


Tidak Efektif Disfungsional

Gambar 2.2 Pohon Masalah Perilaku Kekerasan


Sumber : (Fitria, 2010)

J. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku kekerasan
a) Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Data Subyektif :
1) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
2) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah.
3) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data Objektif :
1) Mata merah, wajah agak merah.
2) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
3) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
4) Merusak dan melempar barang-barang.
K. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku kekerasan
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
H. Rencana Tindakan Keperawatan Jiwa
Diagnosa 1: perilaku kekerasan
TujuanUmum: Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a) Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b) Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c) Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
a) Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b) Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c) Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
a) Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
b) Observasi tanda perilaku kekerasan.
c) Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami
klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Tindakan:
a) Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b) Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan.
c) Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
a) Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c) Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof. Dr.
Soeroyo Magelang.
Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Dwi, A. S., & Prihantini, E. 2014. Keefektifan Penggunaan Restrain terhadap
Penurunan Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Terpadu
Ilmu Kesehatan , 138-139.
Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Jenny, M., Purba, S. E., Mahnum, L. N., & Daulay, W. 2008. Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU
Press.
Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa (Cetakan 1). Bandung: PT Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERUBAHAN PROSES PIKIR : WAHAM

1. Masalah Utama
Gangguan proses pikir : Waham
2. Proses Terjadinya Masalah
A. Definisi
Waham adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang kokoh, kuat,
tidak sesuai dengan kenyataan, tidak cocok dengan intelegensia dan
latar belakang budaya, selalu dikemukakan berulang-ulang dan
berlebihan biarpun telah dibuktikan kemustahilannya atau kesalahannya
atau tidak benar secara umum. (Tim Keperawatan PSIK FK UNSRI,
2015).
Waham adalah keyakinan keliru yang sangat kuat yang tidak dapat
dikurangi dengan menggunakan logika (Ann Isaac, 2016)
Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikiran yang tidak
sesuai dengan kenyataannya atau tidak cocok dengan intelegensia dan
latar belakang kebudayaannya, biarpun dibuktikan kemustahilannya
(Maramis,W.F,2015)
Waham adalah keyakinan yang salah dan menetap dan tidak
dapat dibuktikan dalam kenyataan (Harold I, 2018).

B. Etiologi
Waham merupakan salah satu gangguan orientasi realitas.
Gangguan orientasi realitas adalah ketidakmampuan klien menilai dan
berespons pada realitas. Klien tidak dapat membedakan rangsangan
intern  al dan eksternal, tidak dapat membedakan lamunan dan
kenyataan. Klien tidak mampu memberi respons secara akurat,
sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin
menakutkan.
Gangguan orientasi realitas disebabkan oleh fungsi otak yang
terganggu yaitu fungsi kognitif dan isi fikir; fungsi persepsi, fungsi emosi,
fungsi motorik dan fungsi sosial. Gangguan pada fungsi kognitif dan
persepsi mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik terganggu.
Gangguan fungsi emosi, motorik dan sosial mengakibatkan kemampuan
berespons terganggu yang tampak dari perilaku non verbal (ekspresi
muka, gerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan hubungan
sosial). Oleh karena gangguan orientasi realitas terkait dengan fungsi
otak maka gangguan atau respons yang timbul disebut pula respons
neurobiologik.

C. Respon Neurobiologis
Adapun rentang respon manusia terhadap stress yang menguraikan
tentang respon gangguan adaptif dan maladaptive dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Rentang Respon
Neurobiologis

Pikiran Logis Distorsi Pikiran Respon maladaptif


- Persepsi akurat. - Ilusi - Gangguan proses
- Emosi konsisten - Reaksi emosi pikir/delusi/waham
dengan berlebihan atau - Halusinasi
pengalaman. kurang - Sulit berespon
- Perilaku sesuai - Prilaku aneh emosi
- Berhubungan - Menarik diri - Perilaku
sosial. disorganisasi
- Isolasi sosial

Dari rentang respon neurobilogis diatas dapat dijelaskan bila individu


merespon secara adaptif maka individu akan berfikir secara logis.
Apabila individu berada pada keadaan diantara adaptif dan maladaptive
kadang – kadang pikiran menyimpang atau perubahan isi pikir
terganggu. Bila individu tidak mampu berfikir logis dan pikiran individu
mulai menyimpang maka ia akan berespon secara maladaptive dan ia
akan mengalami gangguan isi pikir : waham curiga.
Agar individu tidak berespon secara maladaptive maka setiap
individu harus mempunyai mekanisme pertahanan koping yang baik.
Mekanisme koping dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari


dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistic
tuntunan situasi stress.
a. Perilaku menyerang, digunakan untuk mengubah atau
mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan.
b. Perilaku menarik diri, digunakan baik secara fisik maupun
psikologik untuk memindahkan seseorang dari sumber
stress.
c. Perilaku kompromi, digunakan untuk mengubah cara
seseorang mengoperasikan, mengganti tujuan atau
mengorbankan aspek kebutuhan personel seseorang.
2. Mekanisme pertahanan ego, merupakan mekanisme yang dapat
membantu mengatasi cemas ringan dan sedang, jika
berlangsung pada tingkat dasar dan melibatkan penipuan diri
dan disorientasi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan
respon maladaptive terhadap stress. (Anonymous, 2017).

D. Proses terjadinya Waham


- Individu diancam oleh lingkungan, cemas dan merasa sesuatu yang
tidak menyenangkan.
- Individu mengingkari ancaman dari persepsi diri atau objek realitas
yang menyalahartikan kesan terhadap kejadian
- Individu memproyeksikan pikiran, perasaan dan keinginan negative
atau tidak dapat diterima menjadi bagian eksternal
- Individu memberikan pembenarn atau interpretasi personal tentang
realita pada diri sendiri atau orang lain.
E. Faktor Penyebab Terjadinya Waham
1) Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologis
- Gangguan perkembangan otak, frontal dan temporal
- Lesi pada korteks frontal, temporal dan limbik
- Gangguan tumbuh kembang
- Kembar monozigot, lebih beresiko dari kembar dua telur
b. Faktor Genetik
- Gangguan orientasi realita yang ditemukan pada klien
dengan skizoprenia
c. Faktor Psikologis
- Ibu pengasuh yang cemas/over protektif, dingin, tidak sensitif
- Hubungan dengan ayah tidak dekat/perhatian yang
berlebihan
- Konflik perkawinan
- Komunikasi “double bind”
- Sosial budaya
- Kemiskinan
- Ketidakharmonisan sosial 
- Stress yang menumpuk
2) Faktor Presipitasi
a. Stressor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang yang paling
penting, atau diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Penelitian tentang pengaruh dopamine, inorefinefrin,
lindolomin, zat halusinogen diduga berkaitan dengan orientasi
realita
c. Faktor psikologi
Intensitas kecemasan yang ekstrim dan menunjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkurangnya orientasi realiata.
F. Jenis-jenis Waham
Menurut  Mayer Gross, waham dibagi 2 macam :
1. Waham Primer
Timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari
luar. Misal seseorang merasa istrinya sedang selingkuh sebab ia
melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali.
2. Waham Sekunder
Biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara
bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lainnya.
Ada beberapa jenis waham :
1. Waham Kejar
Klien mempunyai keyakinan ada orang atau komplotan yang sedang
mengganggunya atau mengatakan bahwa ia sedang ditipu, dimata-
matai atau kejelekannya sedang dibicarakan.
2. Waham Somatik
Keyakinan tentang (sebagian) tubuhnya yang tidak mungkin benar,
umpamanya bahwa ususnya sudah busuk, otaknya sudah cair, ada
seekor kuda didalam perutnya.
3. Waham Kebesaran
Klien meyakini bahwa ia mempunyai kekuatan, pendidikan,
kepandaian atau kekayaan yang luar biasa, umpamanya ia adalah
Ratu Kecantikan, dapat membaca pikiran orang lain, mempunyai
puluhan rumah atau mobil.
4. Waham Agama
Keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan dan
diucapkan secara berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
5. Waham Dosa
Keyakinan bahwa ia telah berbuat dosa atau kesalahan yang besar,
yang tidak dapat diampuni atau bahwa ia bertanggung jawab atas
suatu kejadian yang tidak baik, misalnya kecelakaan keluarga,
karena pikirannya yang tidak baik
6. Waham Pengaruh
Yakin bahwa pikirannya, emosi atau perbuatannya diawasi atau
dipengaruhi oleh orang lain atau suatu kekuatan yang aneh
7. Waham Curiga
Klien mempunyai keyakinan bahwa ada seseorang atau kelompok
yang berusah merugikan atau mencederai dirinya yang disampaikan
secara berulang-ulang dan tidak sesuai dengan kenyataan
8. Waham Nihilistik
Klien yakin bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia atau meninggal
yang dinyatakan secara berulang-ulang dan tidak sesuai dengan
kenyataan.
9. Delusion of reference
Pikiran yang salah bahwa tingkah laku seseorang ada hubunganya
dengan dirinya.
G. Karakteristik atau Kriteria Waham
- Klien percaya bahwa keyakinannya benar
- Bersifat egosentris
- Tidak sesuai dengan rasio atau logika
- Klien hidup menurut wahamnya

H. Tanda dan Gejala


1. Kognitif :
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya
c. Sulit berfikir realita
d. Tidak mampu mengambil keputusan
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
b. Afek tumpul
3. Prilaku dan Hubungan Sosial
a. Hipersensitif
b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c. Depresif
d. Ragu-ragu
e. Mengancam secara verbal
f. Aktifitas tidak tepat
g. Streotif
h. Impulsif
i. Curiga
4. Fisik
a. Higiene kurang
b. Muka pucat
c. Sering menguap
d. BB menurun
e. Nafsu makan berkurang dan sulit tidur

I. Pohon Masalah dan Analisa Data


Resiko Tinggi,
mencederai diri,
orang lain dan
lingkungan

Perubahan Isi Pikir : Kerusakan


Waham Komunikasi
Verbal

Gangguan Konsep
Diri : Harga Diri
Rendah

J. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


- Perubahan Isi Pikir : Waham
- Resiko mencederai diri sendiri dan lingkungan
- Gangguan konsep diri : harga diri rendah
- Kerusakan komunikasi verbal

K. Rencana Tindakan Keperawatan


PERENCANAAN
No Diagnosa
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
Gangguan TUM : 1.1 Setelah ... X interaksi - Bina hubungan saling
proses Klien dapat klien : percaya dengan klien
pikir : mengontrol a. Mau menerima a. Beri salam
waham wahamnya kehadiran perawat b. Perkenalkan diri,
TUK : disampingnya Tanyakan nama,
1. Klien dapat b. Mengatakan mau serta nama
membina menerima bantuan panggilan yang
hubungan saling perawat disukai
percaya dengan c. Tidak menunjukkan c. Jelaskan tujuan
perawat tanda-tanda curiga interaksi
d. Mengijinkan duduk d. Yakinkan klien
disamping dalam keadaan
aman dan perawat
siap menolong dan
mendampinginya
e. Yakinkan bahwa
kerahasiaan klien
akan tetap terjaga
f. Tunjukkan sikap
terbuka dan jujur
g. Perhatikan
kebutuhan dasar
dan bantu pasien
memenuhinya
TUK : 1.2 Setelah ... X interaksi - Bantu klien untuk
2. Klien dapat Klien : mengungkapkan
mengidentifikasi a. Klien perasaan dan pikirannya
perasaan yang menceritakan ide- a. Diskusikan dengan
muncul secara ide dan perasaan klien pengalaman
berulang dalam yang muncul yang dialami selama
pikiran klien secara berulang ini termasuk
dalam pikirannya hubungan dengan
orang yang berarti,
lingkungan kerja,
sekolah, dsb
b. Dengarkan
pernyataan klien
dengan empati
tanpa mendukung
atau menentang
pernyataan
wahamnya
c. Katakan perawat
dapat memahami
apa yang diceritakan
klien
TUK : 1.3 Setelah ... X interaksi - Bantu klien
3. Klien dapat klien mengidentifikasi
mengidentifikasi a. Dapat kebutuhan yang tidak
stresor atau menyebutkan terpenuhi serta kejadian
pencetus kejadian sesuai yang menjadi faktor
wahamnya dengan urutan pencetus wahamnya
waktu serta a. Diskusikan dengan
harapan atau klien tentang
kebutuhan dasar kejadian-kejadian
yang tidak traumatik yang
terpenuhi seperti menimbulkan rasa
harga diri, rasa takut, ansietas
aman, dsb maupun perasaan
b. Dapat tidak dihargai
menyebutkan b. Diskusikan
hubungan antara kebutuhan atau
kejadian traumatik harapan yang belum
kebutuhan tidak terpenuhi
terpenuhi dengan c. Diskusikan cara-
wahamnya cara mengatasi
kebutuhan yang
tidak terpenuhi dan
kejadian traumatik
d. Diskusikan dengan
klien antara
kejadian-kejadian
tersebut dengan
wahamnya
TUK 1.4 Setelah ... X interaksi - Bantu klien
4. Klien dapat klien menyebutkan mengidentifikasi
mengidentifikasi perbedaan keyakinan yang salam
wahamnya pengalaman nyata tentan situasi yang
dengan pengalaman nyata (bila klien sudah
wahamnya siap)
a. Diskusikan dengan
klien pengalaman
wahamnya tanpa
berargumentasi
b. Katakan kepada
klien akan keraguan
perawat tehadap
pernyataan klien
c. Diskusikan dengan
klien respon
perasaan terhadap
wahamnya
d. Diskusikan
frekuensi, intensitas
dan durasi
terjadinya waham
e. Bantu klien
membedakan situasi
nyata dengan situasi
yang dipersepsikan
salah oleh klien
TUK 1.5 Setelah ... X interaksi - Diskusikan tentang
5. Klien dapat klien menjelaskan pengalaman-
mengidentifikasi gangguan fungsi hidup pengalaman yang tidak
konsekuensi dari sehari-hari yang menguntungkan sebagai
wahamnya diakibatkan ide-ide akibat dari wahamnya
atau pikirannya yang seperti :Hambatan
tidak sesuai dengan dalam berinteraksi
kenyataan seperti : dengan keluarga,
a. Hubungan dengan Hambatan dalam
keluarga interaksi dengan orang
b. Hubungan dengan lain dalam melakukan
orang lain aktivitas sehari-hari
c. Aktivitas sehari- - Ajak klien melihat
hari bahwa waham
d. Pekerjaan tersebut adalah
e. Sekolah masalah yang
f. Prestasi, dsb membutuhkan
bantuan dari orang
lain
- Diskusikan dengan
klien tentang orang
atau tempat ia dapat
meminta bantuan
apabila wahamnya
timbul atau sulit di
kendalikan

TUK 1.6 Setelah ...X interaksi - Diskusikan hobi atau


6. Klien dapat klien melakukan aktivitas yang
melakukan teknik aktivitas yang disukainya
distraksi sebagai konstruktif sesuai - Anjurkan klien memilih
cara menghentikan dengan minatnya yang dan melakukan aktivitas
pikiran yang dapat menglihkan yang membutuhkan
terpusat pada fokus klien dari perhatian dan
wahamnya wahamnya keterampilan
- Ikut sertakan klien
dalam aktivitas fisik
yang membutuhkan
perhatian sebagai
pengisi waktu luang
- Libatkan klien pada
topik-topik yang nyata
- Anjurkan klien untuk
bertanggung jawab
secara personal dalam
mempertahankan atau
meningkatkan
kesehatan dan
pemulihannya
- Beri penghargaan bagi
setiap upaya klien yang
positif
TUK 1.7 Setelah ... X interaksi - Diskusikan pentingnya
7. Klien mendapat keluarga dapat peran keluarga sebagai
dukungan keluarga menjelaskan tentang pendukung untuk
cara mempraktekkan mengatasi waham
cara merawat klien - Diskusikan potensi
waham keluarga untuk
membantu klien
mengatasi waham
- Jelaskan pada keluarga
tentang
a. Pengertian
waham
b. Tanda gejala
waham
c. Penyebap dan
akibat waham
d. Cara merawat
klien waham
- Latih keluarga cara
merawat waham
- Tanyakan perasaan
keluarga setelah
mencoba cara yang
dilatih
- Beri pujian pada
keluarga atas
keterlibatannya
merawat klien di rumah
TUK 1.8 Setelah ... X interaksi - Diskusikan dengan
8. Klien dapat dengan klien, dapat klien tentang manfaat
memanfaatkan mendemonstrasikan dan kerugian tidak
obat dengan baik penggunaan obat minum obat
dengan baik - Pantau klien saat
penggunaan obat, beri
1.9 Setelah ... X interaksi pujian jika klien
klien menyebutkan menggunakan obat
akibat berhenti minum dengan benar
obat tanpa konsultasi - Diskusikan akibat klien
dengan dokter berhenti minum obat
tanpa konsultasi
dengan dokter
- Anjurkan klien untuk
konsultasi kepada
perawat atau dokter
jika terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk. 2003. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr.
amino Gondoutomo
Fitria,Nita. 2017. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba Medika :
Jakarta
Keliat Budi A. 2017. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.
Bandung : RSJP.
Townsend M.C. 2010. Diagnose keperawatan pada keperawatan psikiatri;
Pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai