Anda di halaman 1dari 15

BAB II

LANDASAN TEORI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Gangguan Sensori Perseptual : Halusinasi

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada ( Damaiyanti, 2008 ).
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari
luar, walaupun tampak sebagai sesuatu yang ’’ khayal’’, halusinasi sebenarnya
bagian dari kehidupan mental penderita yang ’’teresepsi’’ (Yosep, 2010 ).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indera tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus/persepsi palsu (Maramis, 2008).

B. Jenis – Jenis halusinasi


Ada beberapa halusinasi membagi halusinasi menjadi 8 jenis meliputi :

Halusinasi pendengaran (auditif, akustik), halusinasi penglihatan (visual, optik),

halusinasi penciuman (olfaktorik), halusinasi pengecapan (gustatorik), halusinasi

raba (taktil), halusinasi seksual, halusinasi kinestik, halusinasi viseral. (Yosep,

2010)

a. Halusinasi Pendengaran (auditif, akustik);

Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising

yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata

atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditunjukkan pada

penderita sehingga tidak jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan

suara-suara tersebut. Suara tersebut dapat dirasakan berasal dari jauh atau
dekat bahkan mungkin datang dari tiap bagian tubuhnya sendiri. Suara bisa

menyenangkan, menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman,

mengejek, memaki atau bahkan yang menakutkan dan kadang-kadang

mendesak/memerintah untuk berbuat sesuatu seperti membunuh atau

merusak.

b. Halusinasi Penglihatan (visual,optik)

Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya

sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa

takut akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.

c. Halusinasi Penciuman (olfaktorik)

Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan

tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan

sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi

moral.

d. Halusinasi Pengecapan (gustatorik)

Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman

penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik lebih jarang dari

halusinasi gustatorik.

e. Halusinasi Raba (taktil)

Merasa diraba , disentuh, ditiup atau seperti ada ulat, yang bergerak di

bawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.

e. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba :

Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia dengan

waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.

f. Halusinasi Kinestetik

Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota

badannya yang bergerak-gerak, (umpamanya anggota badan bayangan atau


”phantom limb”). Sering pada skizofrenia dalam keadaan toksis tertentu

akibat pemakaian obat tertentu.

g. Halusinasi Viseral

Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.

C. Fase-fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya dan
keparahannya. Stuart dan Laraia (2008) membagi fase halusinasi dalam 4 fase
berdasarkan tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien
mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasinya, klien semakin berat
mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
1. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-
pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas
dapat ditangani.
Perilaku klien :
a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
e. Diam dan asyik sendiri.
2. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai
lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh
pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.
Perilaku Klien :
a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom
akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan
tekanan darah.
b. Rentang perhatian menyempit.
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
3. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi
dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien
mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah.
4. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak
ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

D. Penyebab
Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi dua (Yosep, 2010) yaitu :
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan
terhadap stress.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
c. Faktor biokimia
Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Buffofenon dan Dimetytranferse (DMP). Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan terakitvasinya neurotrasmitter otak. Misalnya tejadi
ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam hayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa
cenderung mangalami gangguan jiwa dan faktor keluarga menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor presipitasi
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan dalam waktu lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinai dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang
pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien
d) Dimensi sosial
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah
dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering
memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan
lingkungan dan orang lain yang menyebabkan memburuk.

E. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala dari halusinasi menurut Yosep (2010) adalah :
1. Berbicara dan tertawa sendiri
2. Bersikap seperti mendengar dan melihat sesuatu
3. Berhenti berbicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
4. Disorientasi
5. Merasa ada sesuatu pada kulitnya
6. Ingin memukul atau melempar barang – barang

F. Mekanisme Koping
Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien menurut Yosep (2010),
meliputi :
1. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
2. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu
benda.
3. Menarik Diri : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.

G. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia
untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya (Maramis,2008).

H. Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran keluarga
sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di BPK RSJ Propinsi Bali
dan klien dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang
sangat penting didalam hal merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga
yang kondusif dan sebagai pengawas minum obat (Maramis,2008)
a. Farmakoterapi

1) Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita skizofrenia

yang menahun, hasilnya lebih banyak jika mulai diberi dalam dua tahun

penyakit.
2) Neuroleptika dengan dosis efektif tinggi bermanfaat pada penderita dengan

psikomotorik yang meningkat.

b. Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall

secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang

dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan

pada skizoprenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau

injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

c. Psikoterapi dan Rehabilitasi

Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena

berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan klien kembali ke

masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong klien bergaul

dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien

tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang

baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti

therapy modalitas yang terdiri dari :

1) Therapy aktivitas

a) Therapy music

Focus : mendengar,memainkan alat musik, bernyanyi.

Yaitu menikmati dengan relaksasi musik yang disukai klien.

b) Therapy seni

Focus : untuk mengekspresikan perasaan melalui berbagai pekerjaan

seni.

c) Therapy menari

Focus pada : ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh


d) Therapy relaksasi

Belajar dan praktek relaksasi dalam kelompok Rasional : untuk koping /

prilaku mal adaptif / deskriptif, meningkatkan partisipasi dan kesenanga

klien dalam kehidupan.

e) Therapy sosial

Klien belajar bersosialisasi dengan klien lain

f) Therapy kelompok

Group therapy (therapy kelompok)

- Therapy group (kelompok terapiutik)

- Adjunctive group activity therapy (therapy aktivitas kelompok)

g) Therapy lingkungan

Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana di dalam keluarga (home

like atmosphere)

III. A. Pohon Masalah

Risiko perilaku kekerasan


Sindrom deficit perawatan diri

Gangguan Sensori Perseptual :


Halusinasi

Kerusakan interaksi sosial menarik diri

Harga diri rendah

B. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


Pada proses pengkajian, data penting yang perlu dikaji disesuaikan dengan
jenis halusinasinya yaitu, sebagai berikut:
1. Jenis halusinasi
a) Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
menyedengkan telinga kearah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : Mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara
yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh melakukan
sesuatu yang berbahaya.
b) Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu
yang tidak jelas.
Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk kartoon, melihat hantu atau
monster.
c) Halusinasi Penghidu
Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu,
menutup hidung.
Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin, faeces, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
d) Halusinasi Pengecap
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subyektif : Merasakan rasa seperti darah, urin atau faeces.
e) Halusinasi Perabaan
Data Objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.
Data Subyektif : Mengatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa
seperti tersengat listrik.

2. Isi halusinasi.
Data dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila
halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar, atau apa bentuk bayangan
yang dilihat oleh klien bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan,
bau apa yang tercium untuk halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk
halusinasi pengecapan, atau merasakan apa di permukaan tubuh bila halusinasi
perabaan Yosep (2010).

3. Waktu dan frekuensi halusinasi.


Data dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi
muncul, berapa kali sehari, seminggu atau bulan, pengalaman halusinasi itu
muncul, bila mungkin klien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi
halusinasi tersebut. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus
halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami
halusinasi Yosep (2010).
4. Situasi pencetus halusinasi
Perlu diidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum mengalami halusinasi.
Data dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien peristiwa atau kejadian
yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu, juga bisa mengobservasi
apa yang dialami klien menjelangkan muncul halusinasi untuk memvalidasi
pernyataan klien Yosep (2010).

5. Respon klien.
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa
dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami
pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus
halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi Yosep (2010).
Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu dikaji  :
a. Risiko perilaku kekerasan
1). Data Subyektif :
a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah.
c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Objektif :
a) Mata merah, wajah agak merah.
b) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit,
memukul diri sendiri/orang lain.
c) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d) Merusak dan melempar barang-barang.
b. Gangguan sensori perseptual : halusinasi
1) Data Subjektif
a) Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan
dengan stimulus nyata
b) Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
c) Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus
d) Klien merasa makan sesuatu
e) Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
f) Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar
g) Klien ingin memukul/melempar barang-barang
2) Data Objektif
a) Klien berbicara dan tertawa sendiri
b) Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu
c) Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu
d) Disorientasi
c. Kerusakan Interaksi Sosial : menarik diri
1) Data Subyektif
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab
dengan singkat ”tidak” atau ”ya”.
2) Data Obyektif
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul, menyendiri/menghindari orang
lain, berdiam diri di kamar, komunikasi kurang atau tidak ada (banyak
diam), kontak mata kurang, menolak berhubungan dengan orang lain,
perawatan diri kurang, posisi tidur seperti janin (menekur)
d. Harga diri rendah
1) Data Subyektif
Klien mengatakan tidak mau bergaul dengan orang lain.
2) Data Obyektif
Tidak bisa mengambil keputusan, menarik diri dari realitas, merusak
diri, rasa bersalah dan khawatir
e. Sindrom deficit perawatan diri
1) Data subyektif
Pasien mengatakan malas melakukan perawatan diri
2) Data Obyektif
Penampilan kurang bersih

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan sensori perceptual : Halusinasi
b. Kerusakan interaksi sosial : menarik diri
c. Harga diri rendah
d. Risiko perilaku kekerasan
e. Sindrom deficit perawatan diri : mandi/kebersihan , berpakaian/berhias.
J. Rencana Tindakan Keperawatan

PERENCANAAN
DIAGNOSA INTERVENSI
TUJUAN KRITERIA EVALUASI
Gangguan Sensori TUM :
Persepsi: Klien tidak mengalami
Halusinasi halusinasi
TUK 1 TUK 1 Ekspresi wajah bersahabat, 1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
Klien dapat membina menunjukkan rasa senang, ada komunikasi terapeutik :
hubungan saling percaya. kontak mata, mau berjabat tangan, a. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal.
mau menyebutkan nama, mau b. Perkenalkan diri dengan sopan.
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang
menjawab salam, mau duduk
disukai klien.
berdampingan dengan perawat, mau d. Jelaskan tujuan pertemuan
mengutarakan masalah yang e. Jujur dan menepati janji
dihadapi f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan
dasar
TUK 2 TUK 2 a. Klien dapat menyebutkan waktu, isi, 1. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
Klien dapat mengenal frekuensi timbulnya halusinasi 2. Observasi tingkah laku terkait dengan halusinasinya : bicara dan
halusinasinya tertawa tanpa stimulus, memandang ke kiri/kanan/depan seolah-
b. Klien dapat mengungkapkan olah ada teman bicara.
perasaan terhadap halusinasinya 3. Bantu klien mengenal halusinasinya :
a. Tanyakan apakah ada suara yang didengar.
b. Jika ada, apa yang dikatakan.
c. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu,
namun perawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada
bersahabat tanpa menuduh atau menghakimi).
d. Katakan bahwa perawat akan membantu klien.
4. Diskusikan dengan klien :
a. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi.
b. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore
dan malam atau jika sendiri, jengkel/sedih)
5. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi
halusinasi (marah/takut, sedih, senang) beri kesempatan
mengungkapkan perasaan

TUK 3 TUK 3 Kriteria evaluasi :


Klien dapat mengontrol a. Klien dapat menyebutkan tindakan 1. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika
halusinasinya untuk mengendalikan halusinasinya terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri dll).
2. Diskusikan manfaat dan cara yang digunakan klien.
b. Klien dapat menyebutkan cara baru 3. Diskusikan cara baru untuk memutuskan/ mengontrol timbulnya
halusinasinya :
a. Katakan : “saya tidak mau dengar kamu (pada saat halusinasi
terjadi)
b. Menemui orang lain (perawat/ teman/anggota klg) untuk
bercakap-cakap atau mengatakan halusinasi yang didengar
c. Membuat jadwal kegiatan sehari-hari agar halusinasi tidak
sempat muncul
d. Meminta keluarga/teman/perawat, menyapa jika tampak
c. Klien dapat memilih cara mengatasi bicara sendiri
halusinasi seperti yang telah 4. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi
didiskusikan dengan klien secara bertahap

d. Klien dapat melaksanakan cara yang


telah dipilih untuk mengendalikan 5. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih.
halusinasinya

e. Klien dapat mengikuti terapi


aktivitas kelompok
6. Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi
realita, stimulasi persepsi.

TUK 4 TUK 4 Kriteria evaluasi :


Klien dapat dukungan a. Keluarga dapat membina hubungan 1. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami
dari keluarga dalam saling percaya dengan perawat halusinasi
mengontrol
halusinasinya. 2. Diskusikan dengan keluarga (pada saat keluarga
b. Keluarga dapat menyebutkan berkunjung/pada saat kunjungan rumah)
pengertian, tanda dan tindakan untuk a. Gejala halusinasi yang dialami klien
mengendalikan halusinasi b. Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk
memutus halusinasi
c. Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah :
beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama,
berpergian bersama.
d. Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat
bantuan : halusinasi tidak terkontrol dan risiko mencederai
orang lain.

TUK 5 TUK 5 Kriteria evaluasi :


Klien dapat a. Klien dan keluarga dapat 1. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi
memanfaatkan obat menyebutkan manfaat, dosis dan dan manfaat obat
dengan baik. efek samping obat

b. Klien dapat mendemonstrasikan 2. Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan
penggunaan obat dengan benar manfaatnya

c. Klien dapat informasi tentang 3. Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (obat,
penggunaan obat pasien, cara, cara, waktu dan dosis).
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, M. dan Iskandar, (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika


Aditama.

Fitria, N. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika

Maramis. (2008). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press

Stuart, G.W. and Laraia. (2008). Principles and Praktice of Psychiatric Nursing, St.
Louis: Mosby Year B

Yosep. ( 2010). Keperawatan jiwa.(Edisi Revisi). Bandung : Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai