A. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-
betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Perilaku klien :
Perilaku Klien :
A. PENGKAJIAN
Pada proses pengkajian, data penting yang perlu dikaji disesuaikan
dengan jenis halusinasinya yaitu, sebagai berikut:
1. Jenis halusinasi
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa
sebab, menyedengkan telinga kearah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : Mendengar suara-suara atau kegaduhan,
mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada
sesuatu yang tidak jelas.
Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk kartoon, melihat
hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidu
Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan
tertentu, menutup hidung.
Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin,
faeces, kadang-kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecap
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subyektif : Merasakan rasa seperti darah, urin atau faeces.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.
Data Subyektif : Mengatakan ada serangga di permukaan kulit,
merasa seperti tersengat listrik.
2. Isi halusinasi.
Data dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata
apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar, atau apa
bentuk bayangan yang dilihat oleh klien bila jenis halusinasinya adalah
halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi
penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau
merasakan apa di permukaan tubuh bila halusinasi perabaan.
3. Waktu dan frekuensi halusinasi.
Data dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman
halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau bulan,
pengalaman halusinasi itu muncul, bila mungkin klien diminta
menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut.
Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan
menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami
halusinasi.
4. Situasi pencetus halusinasi
Perlu diidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum mengalami
halusinasi. Data dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien
peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul.
Selain itu, juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien
menjelangkan muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
5. Respon klien.
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien
bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat
mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa
mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap
halusinasi.
B. Rencana Keperawatan
RENCANA KEPERAWATAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI :
HALUSINASI DALAM BENTUK STRATEGI PELAKSANAAN
NO KLIEN KELUARGA
SP1P SPIK
SP3P SP3K
SP4P
DAFTAR PUSTAKA
Ade Herman, S.D. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama
Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta :
Nuha Medika
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika.
Keliat, B. A., 2004, Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta : EGC
Kusumawati Farida & Hartono Yudi. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Selemba Medika
Maramis F. Willy., 2005, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya : Airlangga
University Press. .
Suliswati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta :
EGC.
Tim Pengembangan MPKP RSJ Provinsi Bali. 2009. Pedoman Manajemen
Asuhan Keperawatan (7 Masalah Utama Keperawatan Jiwa). Bangli.
Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Cetakan 1. Jakarta : Trans
Info Medika.
Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DNEGAN WAHAM
A. Pengertian
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan
latar belakang budaya klien.(Budi Anna Keliat, 2006)
Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham. Waham atau
delusi adalah kenyakinan yang salah secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakini oleh orang lain yang bertentangan dengan realita normal.(Stuart
dan Sudden, 2004)
B. Penyebab
Penyebab secara umum dari waham adalah ganguan konsep diri : harga
diri rendah. Harga diri rendah dimanifestasikan dengan perasaan yang negatif
terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal mencapai keinginan.
C. Akibat
Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikasi verbal
yang ditandai dengan pikiran tidak realistic, flight of ideas, kehilangan asosiasi,
pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak mata yang kurang. Akibat
yang lain yang ditimbulkannya adalah beresiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.
D. Proses Terjadinya Waham
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada
orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya
klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang
salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi
kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia
seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap
sangat cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam
kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa
ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan
saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta
dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan
sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak
yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih,
berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap
memasang self ideal yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self
reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman,
pengaruh, support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai
dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu
yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk
dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam
hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara
optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan
secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan
tidak berfungsinya norma ( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri
dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial )
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang
muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-
kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman
diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien
dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa
apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi
sosial.
Faktor Prediposisi WAHAM
a. Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf
yang berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
b. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks
limbic
c. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d. Virus : paparan virus influensa pada trimester III
e. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
H. Penatalaksanaan WAHAM
1. Psikofarmakologi
2. Pasien hiperaktif / agitasi anti psikotik low potensial
3. penarikan diri high potensial
4. ECT tipe katatonik
5. Psikoterapi
6. Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif
Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien
5. Klien dapat menggunakan obat dengan benar. Rasional : Penggunaan obat yang
secara teratur dan benar akan mempengaruhi proses penyembuhan dan
memberikan efek dan efek samping obat
Tindakan :
Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan
efek samping minum obat.
Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama pasien,
obat, dosis, cara dan waktu).
Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-
apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri.
Data Obyektif:
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.
4. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Isolasi sosial: menarik diri
Resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
5. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1 : Isolasi sosial: menarik diri
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga
tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik dengan cara :
1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2) Perkenalkan diri dengan sopan
3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
4) Jelaskan tujuan pertemuan
5) Jujur dan menepati janji
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar
klien
1. Faktor Predisposisi
a) Teori Biologis
1) Neurologic Faktor
b) Genetic Faktor
c) Cycardian Rhytm
2) Faktor Biokimia
Data Subyektif :
Data Obyektif :
b. Mondar mandir
d. Tangan mengepal
f. Mata merah
h. Muka merah
7. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk
melindungi diri antara lain:
a) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
unutk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara
normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
b) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya(Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).
c) Represi
d) Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal
103).
e) Reaksi formasi
f) Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
d) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja
mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar didinding
kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan temanya
(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).
1. Tujuan Umum
Klien dapat melanjutkan hubungan peran sesuai denga tanggung jawab
2. Tujuan Khusus
a) SP I : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria Evaluasi
Klien mau membalas salam
Kien mau berjabat tangan
Klien mau menyebutkan nama
Klien mau kontak mata
Klien mau mengetahui nama perawat
Klien mau menyediakan waktu untuk kontak
Intervensi
Beri salam dan panggil nama kien
Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan
Jelaskan maksud hubungan interaksi
Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
Beri rasa aman dan sikap empati
Lakukan kontak singkat tapi sering
b) SP II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Kriteria Evauasi
Klien dapat mengungkapkan perasaannya
Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/jengkel
(dari diri sendiri, orang lain dan lingkungan)
Intervensi
Beri kesempatan mengungkapkan perasaannya
Bantu klien mengungkap perasaannya
c. SP III : Kien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi
Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel
Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami
Intervensi
Kriteria Evaluasi
Intervensi
Kriteria Evaluasi
Intervensi
E. Predisposisi
a. Teori genetic
1. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler
(2010) merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar
monozigot memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard (2011).
2. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf ,
peningkatan dan penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan
pada prilaku. Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh
diri adalah dopamine, neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan
gaba (Stuard, 2011).
3. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh
diri mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri
adalah gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan
gangguan kecemasan (Stuard, 2013).
b. Faktor psikologi
1. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan
terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di
tunjuksn pada diri sendiri (Stuard dan videbeck, 2011).
2. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh
diri adalah permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard,
2013).
3. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahan diri secarawajar terhadap situasional yang membutuhkan
pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau
beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhad
ap situasi yang seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti
seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap
tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan
secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap
yang kurang tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
H. Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh
diri:
1. Resiko bunuh diri.
2. Harga diri rendah
3. Koping yang tak efektif.
I. Mekanisme Koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku destruktif-diri.Sering kali klien secara sadar memilih
bunuh diri. Menurut Stuart (2006) dalam Yollanda, Amadea(2018)
mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego
yang berhubungan dengan perilaku destruktif diri tidak langsung adalah penya
ngkalan, rasionalisasi, intelektualisasi dan regresi.
I. STRATEGI PELAKSANAAN
P-1 Pasien: Resiko Bunuh Diri Pertemuan Ke-1
Tujuan: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.
bapak merasa sering mengalami kesulitan berkonsentrasi?”
DAFTAR PUSTAKA
Dessy, Rossyta,.2018. Asuhan Keperawatn Resiko Bunuh Diri diakses dari
xhttps://www.academia.edu/8977353/Asuhan_Keperawatan_RESIKO
_BUNUH_DIRI pada 30 Desember 2019
Haia, Nining,.2018. Bab II diakses dari
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/126/jtptunimus-gdl-nininghaia-
6277-2-babii.pdf pada 30 Desember 2019
Keliat. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic
Course). Jakarta: EGC
Khurniawan, Adji,.2018.Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/23897284/Resiko_bunuh_diri pada 30
desember 2019
Pradana, Dwi,.2018. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/27862953/STRATEGI_PELAKSANAAN_
RESIKO_BUNUH_DIRI pada 30 Desember 2019
Stuart, W. Gail.(2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa.Singapore: Elsevier
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk di mana
seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motoric
yang tidak terkontrol (Yosep, 2010).
Perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau
ketakutan (panic) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa
ancaman serangan fisik atau konsep diri (Struat & Laraia, 2009).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Perilaku kekerasan
adalah salah satu respon marah yang diekspresikan dengan melakukan
ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusakan lingkungan (Keliat,dkk.
2012).
B. Etiologi
Menurut Stuart & Laraia (2009) kemarahan adalah kombinasi dari segala
sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan, yaitu :
a. Frustasi
Sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang
diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan
cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain
tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan
kekerasan.
b. Hilangnya harga diri
Pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk
dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut
mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung,
lekas marah, dan sebagainya.
c. Kebutuhan akan status dan prestise
Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan
dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
1. Rentang respons marah
Menurut Keliat (1997), respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam
rentang adaptif – mal adaptif. Rentang respon kemarahan dapat
digambarkan sebagai berikut :
1) Pengumpulan Data
a) Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal
pengkajian, No Rumah Sakit dan alamat klien.
b) Keluhan utama
c) Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,
kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal..
d) Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah
meningkat, takikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran
urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini
disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
e) Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
f) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui
proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam
proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu
mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan,
bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.
g) Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras.
Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan
diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
h) Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas
jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara
komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan
spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut :
Aspek fisik terdiri dari : muka merah, pandangan tajam, napas
pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat,
tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman,
dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel,
sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri,
penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
i) Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
3) Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan, kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
j) Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas
motorik klien, afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi,
proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
konsentrasi, dan berhitung.
k) Kebutuhan persiapan pulang
l) Aspek medik
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, therapy
farmakologi, psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
b. Diagnosa keperawatan
1) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan.
2) Perilaku kekerasan.
SP II
a) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
PK.
b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien PK.
SP III
a) Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning).
b) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
DAFTAR PUSTAKA
Stuart, Laraia. (2001). Principle and practice of psychiatric nursing. Ed. 6. St.
Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W & Sundeen S.J . (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3.
Jakarta : EGC.
Townsend, M.C. (1998). Psychiatric mental health nursing concepts of care.
Edisi 3. Philadelphia: F. A Davis Company.
Videbeck, S.L. (2004). Psychiatri mental health nursing. 2nd edition. Philadelphia:
Lippicott Williams & Wilkins.