Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SENSORI PERSEPTUAL : HALUSINASI

A. Pengertian

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-
betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan


rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).

Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca


indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya
mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).

B. Jenis – Jenis halusinasi

Ada beberapa jenis halusinasi, Yosep (2007), membagi halusinasi menjadi 8


jenis yaitu :

1. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)


Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendering atau suara bising yang
tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan kepada penderita
sehingga tidak jarang penderita bertengkar atau berdebat dengan suara-suara
tersebut.
2. Halusinasi Penglihatan (Visual, Optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya sering
muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut
akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.
3. Halusinasi Pengciuman (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai kombinasi moral
4. Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman.
Penderita merasa mengecap sesuatu.
5. Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak di bawah
kulit.
6. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizofrenia dengan waham
kebesaran terutama mengenai organ-organ.
7. Halusinasi kinesthetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota
badannya bergerak-gerak. Misalna “phantom phenomenom” atau tungkai yang
diamputasi selalu bergerak-gerak (phantom limb).
8. Halusinasi visceral
a. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
b. Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang
dialaminya seperti impian.
C. Fase-fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya dan keparahannya.
Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan
tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya.
Semakin berat fase halusinasinya, klien semakin berat mengalami ansietas dan
makin dikendalikan oleh halusinasinya.
1. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-
pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas
dapat ditangani.

Perilaku klien :

a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai


b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
e. Diam dan asyik sendiri.
2. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai
lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh
pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.

Perilaku Klien :

a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom


akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan
tekanan darah.
b. Rentang perhatian menyempit.
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
3. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi
berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi
dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien
mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi perintah.
4. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam
halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak
ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
D. Penyebab
Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi dua (Yosep, 2010) yaitu :
1. Faktor predisposisi
a) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan terhadap stress.
b) Faktor sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
c) Faktor biokimia
Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Buffofenon dan Dimetytranferse (DMP). Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan terakitvasinya neurotrasmitter otak. Misalnya tejadi
ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.
d) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam hayal.
e) Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa
cenderung mangalami gangguan jiwa dan faktor keluarga menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor presipitasi
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan dalam waktu lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinai dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien
d) Dimensi sosial
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering memaki
takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan
lingkungan dan orang lain yang menyebabkan memburuk.
E. Tanda dan gejala
Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai berikut :
1. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan suara
yang mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya.
2. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu
yang tidak jelas.
Data Subjektif : melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kortoon,
melihat hantu atau monster.
3. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu,
menutup hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses,
kadang-kadang bau itu menyenangkan.
4. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
5. Halusinasi Perabaan
Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa
tersengat listrik.
F. Batasan Karakteristik
Batasan karakteristik klien dengan gangguan halusinasi menurut Nanda-I
(2012), adalah :
a. Perubahan dalam pola perilaku
b. Perubahan dalam kemampuan menyelasaikan masalah
c. Perubahan dalam ketajaman sensori
d. Perubahan dalam respon yang biasa terhadap stimulus
e. Disorientasi
f. Halusinasi
g. Hambatan komunikasi
h. Iritabilitas
i. Konsentrasi buruk
j. Gelisah
k. Distorsi sensori
G. Mekanisme Koping
Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien, meliputi :
1. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
2. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu
benda.
3. Menarik Diri : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
H. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia
untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya

MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

A. PENGKAJIAN
Pada proses pengkajian, data penting yang perlu dikaji disesuaikan
dengan jenis halusinasinya yaitu, sebagai berikut:
1. Jenis halusinasi
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa
sebab, menyedengkan telinga kearah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : Mendengar suara-suara atau kegaduhan,
mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada
sesuatu yang tidak jelas.
Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk kartoon, melihat
hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidu
Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan
tertentu, menutup hidung.
Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin,
faeces, kadang-kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecap
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subyektif : Merasakan rasa seperti darah, urin atau faeces.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.
Data Subyektif : Mengatakan ada serangga di permukaan kulit,
merasa seperti tersengat listrik.
2. Isi halusinasi.
Data dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata
apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar, atau apa
bentuk bayangan yang dilihat oleh klien bila jenis halusinasinya adalah
halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi
penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau
merasakan apa di permukaan tubuh bila halusinasi perabaan.
3. Waktu dan frekuensi halusinasi.
Data dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman
halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau bulan,
pengalaman halusinasi itu muncul, bila mungkin klien diminta
menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut.
Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan
menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami
halusinasi.
4. Situasi pencetus halusinasi
Perlu diidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum mengalami
halusinasi. Data dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien
peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul.
Selain itu, juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien
menjelangkan muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
5. Respon klien.
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien
bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat
mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa
mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap
halusinasi.
B. Rencana Keperawatan
RENCANA KEPERAWATAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI :
HALUSINASI DALAM BENTUK STRATEGI PELAKSANAAN

NO KLIEN KELUARGA

SP1P SPIK

1 Mengidentifikasi jenis halusinasi klien. Mendiskusikan masalah yang dirasakan

2 Mengidentifikasi isi halusinasi klien. keluarga dalam merawat pasien

3 Mengidentifikasi waktu halusinasi klien.

4 Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien. Memberikan pendidikan kesehatan


tentang pengertian halusinasi, jenis
5 Mengidentifikasi situasi yang dapat
halusinasi yang dialami klien, tanda dan
menimbulkan halusinasi klien.
gejala halusinasi, serta proses terjadinya
6 Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi.
halusinasi klien.

Mengajarkan klien menghardik halusinasi.


7 Menjelaskan cara-cara merawat pasien
Menganjurkan klien memasukkan cara halusinasi.
8
menghardik ke dalam kegiatan harian.
SP2P SP2K

1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien. Melatih keluarga mempraktikkan cara

2 Melatih klien mengendalikan halusinasi merawat pasien dengan halusinasi.


dengan cara bercakap-cakap dengan orang
lain. Melatih keluarga melakukan cara
Menganjurkan klien memasukkan ke dalam merawat langsung kepada klien
3
kegiatan harian klien. halusinasi.

SP3P SP3K

1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien. Membantu keluarga membuat jadwal


aktivitas di rumah termasuk minum obat (
discharge planing ).
Melatih klien mengontrol halusinasi

2 dengan cara melakukan kegiatan.


Menjelaskan follow- uf klien setelah
pulang.
Menganjurkan pasien memasukan dalam
jadwal kegiatan harian
3

SP4P

1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

Memberikan pendidikan kesehatan tentang

2 penggunaan obat secara teratur

Menganjurkan pasien memasukan dalam


jadwal kegiatan harian
3
C. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau
pormatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil
atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dan
tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan (Direja, 2011).
Menurut Damaiyanti (2012), evaluasi dilakukan sesuai TUK pada
perubahan persepsi sensori : halusinasi yaitu :

1) Klien dapat menbina hubungan saling percaya

2) Klien dapat mengenali halusinasinya

3) Klien dapat mengontrol halusinasinya

4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mrngontrol halusinasi

5) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

Ade Herman, S.D. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama
Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta :
Nuha Medika
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika.
Keliat, B. A., 2004, Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta : EGC
Kusumawati Farida & Hartono Yudi. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Selemba Medika
Maramis F. Willy., 2005, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya : Airlangga
University Press. .
Suliswati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta :
EGC.
Tim Pengembangan MPKP RSJ Provinsi Bali. 2009. Pedoman Manajemen
Asuhan Keperawatan (7 Masalah Utama Keperawatan Jiwa). Bangli.
Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Cetakan 1. Jakarta : Trans
Info Medika.
Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DNEGAN WAHAM
A. Pengertian
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan
latar belakang budaya klien.(Budi Anna Keliat, 2006)
Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham. Waham atau
delusi adalah kenyakinan yang salah secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakini oleh orang lain yang bertentangan dengan realita normal.(Stuart
dan Sudden, 2004)
B. Penyebab
Penyebab secara umum dari waham adalah ganguan konsep diri : harga
diri rendah. Harga diri rendah dimanifestasikan dengan perasaan yang negatif
terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal mencapai keinginan.
C. Akibat
Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikasi verbal
yang ditandai dengan pikiran tidak realistic, flight of ideas, kehilangan asosiasi,
pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak mata yang kurang. Akibat
yang lain yang ditimbulkannya adalah beresiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.
D. Proses Terjadinya Waham
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada
orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya
klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang
salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi
kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia
seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap
sangat cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam
kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa
ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan
saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta
dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan
sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak
yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih,
berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap
memasang self ideal yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self
reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman,
pengaruh, support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai
dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu
yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk
dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam
hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara
optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan
secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan
tidak berfungsinya norma ( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri
dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial )
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang
muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-
kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman
diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien
dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa
apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi
sosial.
Faktor Prediposisi WAHAM
a. Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf
yang berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
b. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks
limbic
c. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d. Virus : paparan virus influensa pada trimester III
e. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.

Faktor Presipitasi WAHAM


a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
c. Adanya gejala pemicu
Rentang respon neurobiologi :

E. Manifestasi Klinis WAHAM


klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya ) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan, klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan,
merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak
tepat menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah tegang, mudah tersinggung.
a. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
b. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
c. Fungsi emosi
Afek tumpul kurang respon emosional, afek datar, afek tidak sesuai, reaksi
berlebihan, ambivalen
d. Fungsi motorik
Imfulsif atau gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotopik atau
gerakan yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang
jelas, katatonia.
e. Fungsi sosial : kesepian
Isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah.
f. Dalam tatanan keperawatan jiwa respon neurobiologis yang sering muncul
adalah gangguan isi pikir : waham dan gangguan persepsi sensori : halusinasi.
F. Klasifikasi Waham
Klasifikasi waham dapat dibedakan berdasarkan beberapa jenis meliputi :
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau,
“Saya punya tambang emas.”
2. Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian
putih setiap hari.”
4. Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien
terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
5. Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
6. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
7. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang
dia pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang
tersebut
8. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh
kekuatan di luar dirinya.
G. Kategori Waham :
1. Waham sistematis: konsisten, berdasarkan pemikiran mungkin terjadi
walaupun hanya secara teoritis.
2. Waham nonsistematis: tidak konsisten, yang secara logis dan teoritis tidak
mungkin

H. Penatalaksanaan WAHAM
1. Psikofarmakologi
2. Pasien hiperaktif / agitasi anti psikotik low potensial
3. penarikan diri high potensial
4. ECT tipe katatonik
5. Psikoterapi
6. Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif

I. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Masalah keperawatan :
a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Kerusakan komunikasi : verbal
c. Perubahan isi pikir : waham
d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
b. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
waham
c. Perubahan isi pikir : waham(……………..)berhubungan dengan harga diri
rendah.
3. Rencana Keperawatan
Diagnosa keperawatan
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
Tujuan umum : Klien tidak terjadi kerusakan komunikasi verbal
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat. Rasional :
hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan
interaksinya
Tindakan :

 Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri,


jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak
yang jelas topik, waktu, tempat).
 Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat
menerima keyakinan klien "saya menerima keyakinan anda" disertai
ekspresi menerima, katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi
ragu dan empati, tidak membicarakan isi waham klien.
 Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan
perawat akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman,
gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
 Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan
diri

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki. Rasional : dengan


mengetahui kemampuan yang dimiliki klien, maka akan memudahkan perawat
untuk mengarahkan kegiatan yang bermanfaat bagi klien dari pada hanya
memikirkannya.
Tindakan :

 Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.


 Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan
saat ini yang realistis.
 Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk
melakukannya saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan
perawatan diri).
 Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan
waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.
3. Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Rasional :
dengan mengetahui kebutuhan klien yang belum terpenuhi perawat dapat
merencanakan untuk memenuhinya dan lebih memperhatikan kebutuhan kien
tersebut sehungga klien merasa nyaman dan aman
Tindakan :

 Observasi kebutuhan klien sehari-hari.


 Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah
maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah).
 Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan
memerlukan waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
 Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan
wahamnya.

4. Klien dapat berhubungan dengan realitas. Rasional : menghadirkan realitas


dapat membuka pikiran bahwa realita itu lebih benar dari pada apa yang
dipikirkan klien sehingga klien dapat menghilangkan waham yang ada.
Tindakan :

 Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
 Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
 Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien

5. Klien dapat menggunakan obat dengan benar. Rasional : Penggunaan obat yang
secara teratur dan benar akan mempengaruhi proses penyembuhan dan
memberikan efek dan efek samping obat
Tindakan :

 Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan
efek samping minum obat.
 Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama pasien,
obat, dosis, cara dan waktu).
 Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
 Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.

6. Klien dapat dukungan dari keluarga. Rasional : dukungan dan perhatian


keluarga dalam merawat klien akan mambentu proses penyembuhan klien
Tindakan :

 Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang: gejala


waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
 Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga

DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr.


Amino Gondoutomo. 2003

Keliat Budi A. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC.


1999

Tim Direktorat Keswa. Standart asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi


1. Bandung: RSJP.2000

Townsend M.C. Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri;


pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Jakarta: EGC. 1998
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan
dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan
terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (
Depkes 2000).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan
untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan
fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak
mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan
Wartonah 2000 ).
B. Faktor Predisposisi dan Faktor Presivitasi
Menurut Depkes (2000: 20), penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Factor predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
2. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor – faktor yang mempengaruhi
personal hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang
untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
C. Tanda dan Gejala
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan
diri adalah:
1. Fisik
 Badan bau, pakaian kotor
 Rambut dan kulit kotor
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor disertai mulut bau
 Penampilan tidak rapi.
2. Psikologis
 Malas, tidak ada inisiatif
 Menarik diri, isolasi diri
 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3. Social
 Interaksi kurang
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma
 Cara makan tidak teratur
 BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak
mampu mandiri.
D. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri kadang perawatan diri Tidak melakukan
seimbang kadang tidak perawatan saat stress
E. Penatalaksanaan
Pasien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak membutuhkan
perawatan medis karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien lebih
membutuhkan terapai kejiwaan melalui komunikasi terapeutik.
F. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Defisit perawatan diri
2. Isolasi sosial
3. Harga diri rendah
G. Data yang Perlu Dikaji
1. Data Subyektif:
Klien mengatakan malas mandi, tak mau menyisir rambut, tak mau
menggosok gigi, tak mau memotong kuku, tak mau berhias, tak bisa
menggunakan alat mandi / kebersihan diri.
2. Data Obyektif:
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor,
gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak rapih, tak bisa menggunakan alat
mandi.
H. Diagnosis Keperawatan Jiwa
1. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
2. Defisit perawatan diri
I. Rencana Tindakan Keperawatan
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
1. Untuk Klien
Tujuan Umun: Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan kebersihan diri.
Tujuan Khusus
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
Kriteria evaluasi: Dalam berinteraksi klien menunjukan tanda-tanda
percaya pada perawat:
1) Wajah cerah, tersenyum
2) Mau berkenalan
3) Ada kontak mata
4) Menerima kehadiran perawat
5) Bersedia menceritakan perasaannya
Intervensi
1) Berikan salam setiap berinteraksi.
2) Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat
berkenalan.
3) Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien.
4) Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
5) Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien.
6) Buat kontrak interaksi yang jelas.
7) Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati.
8) Penuhi kebutuhan dasar klien.
2. Untuk Keluarga
a. Beri pendidikan kesehatan tentang merawat klien dan memotivasi
klien untuk kebersihan diri melalui pertemuan keluarga
b. Beri reinforcement positif atas partisipasi aktif keluarga
Defisit Perawatan Diri
1. Untuk Klien
Tujuan: Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara
mandiri seperti mandi, berpakaian, makan, dan BAB/BAK
Intervensi:
a. Mengkaji kemampuan melakukan perawatan diri secara mandiri
b. Memberikan cara melakukan mandi/membersihkan diri, berhias,
makan/minum, BAB/BAK secara mandiri
c. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengawali
masalah kurang perawatan diri
2. Untuk Keluarga
a. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh klien agar dapat menjaga kebersihan diri
b. Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat dan memantau
klien dalam merawat klien
c. Anjurkan klien untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien
dalam merawat diri.

Strategi Pelaksanaan Tindakan


SP Pada Pasien SP Pada Keluarga
SP 1 SP I k
1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
2. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri keluarga dalam merawat pasien
3. Melatih pasien cara menjaga kebersihan 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
diri defisit perawatan diri, dan jenis defisit
4. Membimbing pasien memasukkan dalam perawatan diri yang dialami pasien beserta
jadwal kegiatan harian. proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien
defisit perawatan diri
SP 2 p SP 2 k
1. Memvalidasi masalah dan latihan 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
sebelumnya. merawat pasien dengan defisit perawatan
2. Menjelaskan cara makan yang baik diri
3. Melatih pasien cara makan yang baik 2. Melatih keluarga melakukan cara
4. Membimbing pasien memasukkan merawat langsung kepada pasien defisit
dalam jadwal kegiatan harian. perawatan diri
SP 3 p SP 3 k
1. Memvalidasi masalah dan latihan 1. Membantu keluarga membuat jadual
sebelumnya. aktivitas di rumah termasuk minum obat
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik (discharge planning)
3. Melatih cara eliminasi yang baik. 2. Menjelaskan follow up pasien setelah
4. Membimbing pasien memasukkan dalam pulang
jadwal kegiatan harian.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa


Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DNEGAN ISOLASI SOSIAL
A. Pengertian
Secara kodratiyah, manusia sebagai makhluk berpikir yang
membedakanya dengan hewan, manusia tidak mungkin hidup tanpa orang lain.
Untuk mencapai kepuasan dalam kehidupannya mereka harus membina
hubungan interpersonal.
Interaksi sosial atau sosialisasi adalah hubungan interpersonal yang sehat,
terjadi jika individu terlibat saling merasakan kedekatan, sementara identitas
pribadi masih dapat di pertahankan. Juga perlu untuk membina perasaan saling
tergantung, yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan
kemandirian dalam suatu hubungan. (Stuart dan Sundeen, 1998).
Interaksi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami atau beresiko
mengalami respon negative, ketidak adekuatan ketidakpuasan dalam interaksi.
(Carpenito, 2001).
Dari kedua pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa interaksi sosial
adalah kemampuan individu melakukan suatu aktifitas dengan individu lainnya
dalam menjalin hubungan kerjasama, adanya saling ketergantungan,
keseimbangan dan kepuasan serta kemandirian dalam suasana hubungan yang
sehat.
Menurut Townsend, M.C (1998:152) isolasi sosial merupakan keadaan
kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan
sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Sedangkan menurut DEPKES RI
(1989: 117) penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan
melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial
secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.
Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau kelompok
mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan
keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak
(Carpenito ,L.J, 1998: 381). Menurut Rawlins, R.P & Heacock, P.E (1988)
isolasi sosial menarik diri merupakan usaha menghindar dari interaksi dan
berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab,
tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau
selalu dalam kegagalan.
Perilaku isolasi sosial menarik diri merupakan suatu gangguan hubungan
interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang
menimbulkan perilaku maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam
hubungan sosial (Depkes RI, 2000)
Menurut Stuart Sundeen rentang respon klien ditinjau dari interaksinya
dengan lingkungan social merupakan suatu kontinum yang terbentang antara
respon adaptif dengan maladaptive sebagai berikut :
a. Rentang respon sosial
Respom Adaptif :
Respon yang masih dapat diterima oleh norma – norma social dan
kebudayaan secara umum serta masih dalam batas normal dalam
menyelesaikan masalah
1. Menyendiri : respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi dilingkungan sosialnya.
2. Otonomi : kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, perasaan dalam hubungan social.
3. Bekerjasama : kemampuan individu yang saling membutuhkan satu
sama lain.
4. Interdependen : saling ketergantungan antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon Maladaptif :
Respon yang diberikan individu yang menyimpang dari norma social.
Yang termasuk respon maladaptive adalah :
1. Menarik diri : seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
2. Ketergantungan : seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
3. Manipulasi : seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan social secara
mendalam.
4. Curiga : seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.
B. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan yang disebutkan
pada tabel 1.2 akan mencetuskan seseorang sehingga mempunyai masalah
respon social maladaptip. System keluarga yang terganggu dapat
menunjang perkembangan respon sosial maladaptip. Beberapa orang
percaya bahwa individu yang mempunyai ini adalah orang yang tidak
berhasil memisahkan dirinya dari orang tua. Norma keluarga mungkin tidak
mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain di luar keluarga. Peran
keluarga sering kali tidak jelas. Orang tua pecandu alcohol dan penganiaya
anak juga mempengaruhi seseorang berespon social maladaptif. Organisasi
anggota keluarga bekerjasama dengan tenaga professional untuk
mengembangkan gambaran yang lebih tepat tentang hubungan antara
kelainan jiwa dan stress keluarga. Pendekatan kolaboratif sewajarnya
mengurangi menyalahkan keluarga oleh tenaga professional.
Tabel 1.2
Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal
Tahap Perkembangan Tugas
Masa bayi Menetapkan landasan rasa percaya
Masa bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku
Masa pra sekolah mandiri
Belajar menunjukan inisiatif dan rasa
Masa sekolah tanggung jawab dan hati nurani
Masa pra remaja Belajar berkompetisi, bekerja sama dan
Masa remaja berkompromi
Masa dewasa Menjadi intim dengan sesama jenis kelamin
Muda Menjadi intim dengan teman lawan jenis
Masa tengah baya kelamin
Masa dewasa tua Menjadi saling tergantung dengan orang lain
Teman, menikah, mempunyai anak
Belajar menerima
Berduka karena kelahiran dan
mengembangkan perasaan keterkaitan dengan
budaya
2. Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif. Ada
bukti terdahulu tentang terlibatnya neurotransmiter dalam perkembangan
gangguan ini, namun tetap masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
3. Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam anggota gangguan berhubungan, ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain,
atau tidak mengahargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti
lansia orang cacat, dan berpenyakit kronik, isolasi dapat terjadi karena
mengadopsi norma, prilaku, dan sistem nilai yang berbeda dari kelompok
budaya mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan
merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
C. Faktor Presipitasi.
Stressor pencetus umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress
seperti kehilangan yang mempengaruhi individu untuk berhubungan dengan
orang lain dan menyebabkan stress. Faktor pencetus ini di kategorikan:
1. Stressor sosiokultural, stress dapat ditimbulkan oleh :
a) Menurunnya stabilitas unit keluarga
b) Berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya
2. Stressor Psikologik, Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan untuk ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi.
D. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan diri yang di gunakan pada gangguan hubungan sosial
sangat bervariasi, seperti pada gangguan menarik diri, mekanisme yang di
gunakan adalah regresi, represi, isolasi.
1. Tanda dan Gejala Menarik diri
 Gangguan pola makan, tidak nafsu makan atau makan berlebihan
 Berat badan menurn drastic
 Kemunduran kesehatan fisik
 Tidur berlebihan
 Tinggal ditempat tidur dalam waktu lama
 banyak tidur siang
 Kurang bergairah
 Tidak memperdulikan lingkungan
 Kegiatan menurun
 Imobilisasi
 Sikap mematung
 Melakukan gerakan berulang-ulang
 Keinginan seksual menurun
2. Menurut Budi Anna Kelia (2009), tanda dan gejala ditemui seperti:
 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
 Menghindar dari orang lain (menyendiri).
 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap
dengan klien lain/perawat.
 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas.
 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
 Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
E. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan
yang bertujuan untuk mengumpulkan dara atau informasi tentang klien agar
dapat mengidentifikasi kesehatannya, kebutuhan keperawatan serta
merumuskan masalah dan diagnosa keperawatan klien.
Pengkajian meliputi : Pengumpilan data, analisa data, diagnosa
keperawatan berdasarkan prioritas masalah.
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data bertujuan untuk menilai status kesehatan klien dan
kemungkinan masalah keperawatan yang memerlukan intervensi dari
perawat. Data yang dikumpulkan dapat berupa data subjektif dan data
objektif. Data objektif adalah data yang ditemukan secara nyata, data
ini didapatkan secara observasi atau pemeriksaan langsung oleh
perawat. Data subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh
klien dan keluarga , data ini didapat melalui wawancara kepada klien
dan keluarga, pengumpulan data ini mencakup :
1) Identitas klien meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
2) agama, pekerjaan, status mental, suku bangsa, alamat, nomer
medrek, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian, diagnosa medis.
3) Identitas penanggung jawab : Nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien, alamat.
b. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri
Pengalaman masa kanak-kanak dapat merupakan factor kontribusi
pada gangguan atau masalah konsep diri.
Meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan
ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi penampilan peran
Adalah streotipik peran seks, tuntutan peran kerja, dan harapan
peran kultural.
Peran sesuai dengan jenis kelamin, konflik oerandan peran yang
tidak sesuai muncul dari factor biologis.
3) Faktor yang mempengaruhi identitas diri
Orang tua yang selalu curiga pada anak akan menyebabkan kurang
percaya diri pada anak, teman sebaya merupakan factor lain yang
mempengaruhi identitas.
Ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya dan
perubahan dalam struktur social.
4) Faktor tumbuh kembang
Pada dasarnya kemampuan hubungan sosisal berkembang sesuai
dengan tumbuh kembang individu mulai dari dalam kandungan
sampai dewasa lanjut. Untuk mengembangkan hubungan social
yang positif setiap tugas perkembangan harus dilalui dengan
sukses. Bila salah satu tugas perkembangan tidak terpenuhi maka
akan mengahambat tahap perkembangan berikutnya. Kemampuan
berperan serta dalam proses hubungan diawali dengan kemampuan
berperan serta dalam proses hubungan diawali dengan kemampuan
tergantung pada masa bayi dan perkembangan pada masa dewasa
dengan kemampuan saling ketergantungan.
5) Faktor sosial budaya
Nilai-nilai, norma-norma , adat dan kebiasaan yang ada dan sudah
menjadi suatu budaya dalam masyarakat merupakan tantangan
antara budaya dan keadaan social dengan nilai-nilai yang dianut.
Faktor Biologis
Faktor Biologis juga merupakan salah satu factor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan social. Organ
tubuh yang jelas dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
hubungan social adalah otak. Sebagai contoh : pada klien
skizoprenia yang mengalami masalah dalam hubungan social
terdapat struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak,
perubahan ukuran dan sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal.
c. Faktor Presipitasi
1. Faktor Ekstrenal
Contohnya adalah sterssor social budaya, yaitu sress yang di
timbulkan oleh faktor social budaya yang antatra lain adalah
keluarga.
2. Faktor Internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu sres terjadi akibat
ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini
dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat
atau tidak terpenuhinya kebutuhan ketergantungan individu.
a) Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua system yang ada
hubungannya dengan klien depresi berat di dapatkan pada
system integumen klien tampak kotor, kulit lengket di karenakan
kurang perhatian terhadap perawatan dirinya bahkan gangguan
aspek dan kondisi klien
b) Status Mental
c) Penampilan
Biasanya pada pasien menarik diri klien tidak terlalu
memperhatikan penampilan, biasanya penampilan tidak rapi,
cara berpakaian tidak seperti biasanya (tidak tepat).
d) Pembicaraan
Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam frekuensi,
volume dan karakteristik. Frekuansi merujuk pada kecepatan
pasien berbicara dan volume di ukur dengan berapa keras pasien
berbicara. Observasi frekuensi cepat atau lambat, volume keras
atau lambat, jumlah sedikit, membisu, dan di tekan, karakteristik
gagap atau kata-kata bersambungan.
e) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik pasien.
Tingkat aktifitas : letargik, tegang, gelisah atau agitasi. Jenis
aktifitas : seringai atau tremor. Gerakan tubuh yang berlebihan
mungkin ada hubunganya dengan ansietas, mania atau
penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang berulang atau
kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif kompulsif.
f) Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri pasien tentang status
emosional dan cerminan situasi kehidupan pasien. Alam
perasaan dapat di evaluasi dengan menanyakan pertanyaan yang
sederhana dan tidak mengarah seperti “bagaimana perasaan anda
hari ini” apakah pasien menjawab bahwa ia merasa sedih, takut,
putus asa, sangat gembira atau ansietas (cemas).
g) Afek
Afek adalah nada emosi yang kuat pada pasien yang dapat
di observasi oleh perawat selama wawancara. Afek dapat di
gambarkan dalam istilah sebagai berikut : batasan, durasi,
intensitas, dan ketepatan. Afek yang labil sering terlihat pada
mania, dan afek yang datar,tidak selaras sering tampak pada
skizofrenia.
h) Analisa Data
Analisa data merupakan proses berfikir yang meliputi kegiatan
mengelompokkan data menjadi data subjektif dan objektif, mencari
kemungkinan penyebab dan dampaknya serta menentukan
mmasalah keperawatan.
3. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
a. Masalah keperawatan:
 Isolasi sosial: menarik diri
 Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi
 Gangguan konsep diri: harga diri rendah
b. Data yang perlu dikaji
Isolasi Sosial : menarik diri
Data Subyektif:

 Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-
apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri.
Data Obyektif:
 Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.
4. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
 Isolasi sosial: menarik diri
 Resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
 Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
5. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1 : Isolasi sosial: menarik diri
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga
tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik dengan cara :
1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2) Perkenalkan diri dengan sopan
3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
4) Jelaskan tujuan pertemuan
5) Jujur dan menepati janji
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar
klien

FOKUS INTERVENSI PADA PASIEN ISOLASI SOSIAL


Pasien
SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
2. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi
dengan orang lain
3. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi
dengan orang lain
4. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
5. Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang –
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian
SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara
berkenalan dengan satu orang
3. Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang – bincang
dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan kesempatan kepada klien berkenalan dengan dua
orang atau lebih
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PASIEN
DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut
maka perilaku kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua
bentuk yaitu sedang berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu
(riwayat perilaku kekerasan).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika
Sari, 2015:137).
B. Penyebab

1. Faktor Predisposisi

Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan


adalah:

a) Teori Biologis

1) Neurologic Faktor

Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,


neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang
mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah


antara perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang 3
merupakan bagian otak dimana terdapat interaksi antara rasional
dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan
tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah, 2012: 29).

b) Genetic Faktor

Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,


menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset kazu
murakami (2007) dalam gen manusia terdapat dorman
(potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika
terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik
tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni
pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut
hukum akibat perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012:
hal 100).

c) Cycardian Rhytm

Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut


penelitian pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan
menjelang berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan
menstimulasi orang untuk lebih mudah bersikap agresif
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100)

2) Faktor Biokimia

Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya


epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan
dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam
tubuh. Apabila ada stimulus dari luar tubuh yang dianggap
mengancam atau membahayakan akan dihantarkan melalui
impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut
efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta
penurunan serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid)
pada cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya perilaku agresif ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal
100).
3) Brain Area Disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak,
tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan
sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
2. Faktor Presipitasi
Rentang respon
Respon adaptif Respon maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif PK
 Klien mampu mengungkapkan rasa marah tanpa menyalahkan orang
lain dan memberikan kelegaan.
 Klien gagal menapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatifnya.
 Klien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya
dn menyerah.
 Klien mengeks-presikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong
orang lain dengan ancaman
 Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol disertai
amuk, merusak lingkungan
a. Respon Adaptif
Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96):
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon Maladaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial
2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).
3. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiapmorang yang merupakan faktor
predisposis, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
a) Psikologis
Menurut Townsend(1996, dalam jurnal penelitian) Faktor psikologi
perilaku kekerasan meliputi:
b) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri yang rendah. Agresif dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan meningkatkan citra diri (Nuraenah, 2012:
30).
c) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajarai, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhioleh peran
eksternal (Nuraenah, 2012: 31).
d) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua
aspek ini menstiumulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Eko
Prabowo, 2014: hal 142).
e) Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi
informasi memberikan dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya
pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai
kemampuan yang sama untuk mnyesuaikan dengan berbagai
perubahan, serta mengelola konflik dan stress (Nuraenah, 2012: 31).
f) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidak seimbangan neurotransmitter turut
berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014:
hal 143).
4. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injury secara fisik, psikis atau ancaman knsep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lungkungan.
c) Lingkungan: panas, padat dan bising
B. Tanda dan Gejala
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala
perilaku kkekerasan: (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97)
1. Muka merah dan tegang
2. Mata melotot atau pandangan tajam
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Wajah memerah dan tegang
6. Postur tubuh kaku
7. Pandangan tajam
8. Jalan mondar mandir
Klien dengan perilaku kekerasan seringmenunjukan adanya (Kartika
Sari, 2015: 138) :
1. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
2. Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
3. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
4. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-
debar, rasa tercekik dan bingung
5. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan
6. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
Akibat
Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seeorang meakukan tindakan
yang dapat membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Seseorang
dapat mengalami perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat
menunjukan perilaku (Kartikasari, 2015: hal 140) :

Data Subyektif :

a. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam

b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir

Data Obyektif :

a. Wajah tegang merah

b. Mondar mandir

c. Mata melotot, rahang mengatup

d. Tangan mengepal

e. Keluar banyak keringat

f. Mata merah

g. Tatapan mata tajam

h. Muka merah

7. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk
melindungi diri antara lain:

a) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
unutk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara
normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
b) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya(Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).
c) Represi
d) Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal
103).
e) Reaksi formasi
f) Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
d) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja
mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar didinding
kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan temanya
(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).

Rencana Asuhan Keperawatan

1. Tujuan Umum
Klien dapat melanjutkan hubungan peran sesuai denga tanggung jawab
2. Tujuan Khusus
a) SP I : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria Evaluasi
 Klien mau membalas salam
 Kien mau berjabat tangan
 Klien mau menyebutkan nama
 Klien mau kontak mata
 Klien mau mengetahui nama perawat
 Klien mau menyediakan waktu untuk kontak
Intervensi
 Beri salam dan panggil nama kien
 Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan
 Jelaskan maksud hubungan interaksi
 Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
 Beri rasa aman dan sikap empati
 Lakukan kontak singkat tapi sering
b) SP II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Kriteria Evauasi
 Klien dapat mengungkapkan perasaannya
 Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/jengkel
(dari diri sendiri, orang lain dan lingkungan)
Intervensi
 Beri kesempatan mengungkapkan perasaannya
 Bantu klien mengungkap perasaannya
c. SP III : Kien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi
 Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel
 Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami

Intervensi

 Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami saat marah/jengkel


 Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien
 Simpulkan bersama klien tanda-tanda klien saat jengkel/marah yang
dialami
d. SP IV : Klien dapat mengidentifikasi perilakuk kekerasan yang biasa dilakukan
Kriteria Evaluasi
 Klien dapatmengungkapkan perilaku kekerasan yang dilakukan
 Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang dilakukan
 Klien dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah
atau tidak
Intervensi
 Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan klien
 Bantu klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
 Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai

e. SP V : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan

Kriteria Evaluasi

 Klien dapat mengungkapkan akibat dari cara yang dilakukan klien

Intervensi

 Bicarakan akibat kerugian dari cara yang dilakukan klien


 Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang dilakukan oleh klien
 Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat
f. SP VI : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan secara konstruktif

Kriteria Evaluasi

 Klien dapat melakukan cara berespn terhadap kemarahan secara


konstruktif

Intervensi

 Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari car baru


 Beri pujian jika klien menemukan cara yang sehat
 Diskusikan dengan klien mengenai cara lain
LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO BUNUH DIRI


A. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif
terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian.
Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri,
niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang
diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Fitria, 2009).

B. Jenis-jenis Bunuh Diri


Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh
kondisikebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian.Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa merekatidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan merekayang menikah.
2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karenaindentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia
merasa kelompok tersebut sangatmengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara
individu dan masyarakat,sehingga individu tersebut meninggalkan norma-
norma kelakuan yang biasa. Individukehilangan pegangan dan
tujuan.Masyarakat atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan padanya
karena tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-
kebutuhannya.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien
untukmengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan klien
melakukan bunuh diri,ada tiga macam perilaku bunuh diri yang perlu
diperhatikan yaitu:
1) Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak
langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan: ”Tolong
jaga anak- anak karena saya akan pergi jauh!” atau“Segala sesuatu
akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini klien mungkin sudah
memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun tidakdisertai dengan
ancaman dan percobaan bunuh diri.Klien umumnya
mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus
asa/ tidak berdaya. Klien jugamengungkapkan hal-hal negatif tentang
diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah
2) Ancaman bunuh diri.
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut.Secara aktif klien
telah memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai
dengan percobaan bunuh diri.Walaupun dalam kondisi ini klien belum
pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus
dilaksanakan.Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan klien untuk
melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3) Percobaan bunuh diri.
Percobaan bunuh diri merupakan tindakan klien mencederai atau
melukai diri untukmengakhiri kehidupannya.Pada kondisi ini, klien
aktif mencoba bunuh diri dengan caragantung diri, minum racun,
memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi.
C. Tahap-tahap Resiko Bunuh Diri
1. Suicidal Ideation
2. Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan,
bahkan klien pada tahap ini tidak akan menungkapkan idenya apabila tidak
di tekan.
3. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri
4. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang
dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
5. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada
diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi
sudah oada percobaan untuk melakukan bunuh diri.
6. Suicidal Attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien mempunyai indikasi individu yang
ingin mati dan tidak mau diselamatkan.Misalnya, minum ibat yang
mematikan.
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosismematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkandiri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis danmenyalahgunakan alcohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal).
11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalamkarier).
12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber social.
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

E. Predisposisi
a. Teori genetic
1. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler
(2010) merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar
monozigot memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard (2011).
2. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf ,
peningkatan dan penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan
pada prilaku. Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh
diri adalah dopamine, neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan
gaba (Stuard, 2011).
3. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh
diri mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri
adalah gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan
gangguan kecemasan (Stuard, 2013).
b. Faktor psikologi
1. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan
terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di
tunjuksn pada diri sendiri (Stuard dan videbeck, 2011).
2. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh
diri adalah permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard,
2013).
3. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).

c. Faktor sosial budaya


1. Beberapa faktor yang mengarah kepada bunuh diri adalah kemisknan
dan ketikmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pernikahan yang
hancur, keluarga dengan orang tua tunggal ( Towsend , 2009 ).
2. Faktor budaya yang di dalamnya adalah faktor spiritual, nilai yang di
anut oleh keluarga, pandangan terhadap perilaku yang menyebabkan
kematian berdampak pada angka kejadian bunuh diri (Krch et al,
2008).
3. Kehilangan, kurangnya dukungan sosial dan peristiwa keidupan yang
negatif dan penyakit fisik kronis. Baru-baru ini perpisahan perceraian
dan penurunan dukungan sosial merupakan faktor penting berhubungan
dengan resiko bunuh diri.(Stuard, 2013).
F. Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada
diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
G. Rentang Respon
Menurut Fitria (2012) mengemukakanrentang harapan-putus harapan
merupakan rentang adaptif-maladaptif:

Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahan diri secarawajar terhadap situasional yang membutuhkan
pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau
beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhad
ap situasi yang seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti
seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap
tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan
secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap
yang kurang tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
H. Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh
diri:
1. Resiko bunuh diri.
2. Harga diri rendah
3. Koping yang tak efektif.
I. Mekanisme Koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku destruktif-diri.Sering kali klien secara sadar memilih
bunuh diri. Menurut Stuart (2006) dalam Yollanda, Amadea(2018)
mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego
yang berhubungan dengan perilaku destruktif diri tidak langsung adalah penya
ngkalan, rasionalisasi, intelektualisasi dan regresi.

I. STRATEGI PELAKSANAAN
P-1 Pasien: Resiko Bunuh Diri Pertemuan Ke-1
Tujuan: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.
bapak merasa sering mengalami kesulitan berkonsentrasi?”

SP-2 Keluarga: pasien percobaan bunuh diri.


Tujuan: keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam
atau mencoba bunuh diri.
Tindakan:
1. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendirian.
2. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-barang
berbahaya disekitar pasien.
3. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara teratur.
SP-3 Pasien: Isyarat Bunuh Diri dengan diagnosis harga diri rendah
Tujuan:
1. Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya
2. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya
3. Pasien dapat meningkatkan harga dirinya
4. Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
Tindakan keperawatan:
1. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman
2. Meningkatkan harga diri pasien dengan cara:
3. Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaan nya
4. Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif
5. Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting
6. Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
7. Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan.
8. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara:
9. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Dessy, Rossyta,.2018. Asuhan Keperawatn Resiko Bunuh Diri diakses dari
xhttps://www.academia.edu/8977353/Asuhan_Keperawatan_RESIKO
_BUNUH_DIRI pada 30 Desember 2019
Haia, Nining,.2018. Bab II diakses dari
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/126/jtptunimus-gdl-nininghaia-
6277-2-babii.pdf pada 30 Desember 2019
Keliat. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic
Course). Jakarta: EGC
Khurniawan, Adji,.2018.Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/23897284/Resiko_bunuh_diri pada 30
desember 2019
Pradana, Dwi,.2018. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/27862953/STRATEGI_PELAKSANAAN_
RESIKO_BUNUH_DIRI pada 30 Desember 2019
Stuart, W. Gail.(2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa.Singapore: Elsevier
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk di mana
seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motoric
yang tidak terkontrol (Yosep, 2010).
Perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau
ketakutan (panic) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa
ancaman serangan fisik atau konsep diri (Struat & Laraia, 2009).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Perilaku kekerasan
adalah salah satu respon marah yang diekspresikan dengan melakukan
ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusakan lingkungan (Keliat,dkk.
2012).
B. Etiologi
Menurut Stuart & Laraia (2009) kemarahan adalah kombinasi dari segala
sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan, yaitu :
a. Frustasi
Sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang
diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan
cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain
tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan
kekerasan.
b. Hilangnya harga diri
Pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk
dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut
mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung,
lekas marah, dan sebagainya.
c. Kebutuhan akan status dan prestise
Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan
dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
1. Rentang respons marah
Menurut Keliat (1997), respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam
rentang adaptif – mal adaptif. Rentang respon kemarahan dapat
digambarkan sebagai berikut :

Respon adaptif Respon


maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

a. Asertif; adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai


perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b. Frustasi; adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
c. Pasif ; adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
d. Agresif; merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui
hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung
untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan
yang sama dari orang lain.
e. Mengamuk; adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain.
2. Patofisiologi
a. Faktor Predisposisi
1) Psikologi, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif/amuk. Masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya/saksi
penganiayaan.
2) Perilaku, reinforcement yang diterimaa pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan dirumah/diluar rumah.
Semua ini menstimulasi individu mengadopsi prilaku kekerasan.
3) Social budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan control social yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima
(permisius)
4) Bioneurologis, kerusakan system limbic lobus temporal dan
ketidakseimbangan neurotransmitter akan menyebabkan kelainan
kepribadian, dan alam perasaan. Hal ini merupakan factor primer
dimana pasien mengetahui hal ini merupakan ancaman terhadap
konsep diri dan factor skunder dimana akan timbul kelemahan ego,
pasien tidak mampu menggunakan koping secara efektif dan
membentuk mekanisme pertahanan ego.
b. Faktor presipitasi
1) Kondisi pasien seperti kelemahan fisik, keputusasaan,
ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang.
2) Situasi lingkungan seperti ribut/bising, padat, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan
pekerjaan.
3) Interaksi social yang provokatif dan konflik yang dapat pula memicu
perilaku kekerasan yang tidak diatasi/dikurangi maka dapat
mengakibatkan pasien mencederai orang lain/lingkungan/dirinya.hal
ini dapat ditandai oleh kerusakan barang yang ada disekitar pasien
seperti perabot rumah tangga dan pemukulan orang lain.
3. Proses Marah
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan
dapat menimbulkan kemarahan. Keliat (1997), respon terhadap marah dapat
diungkapkan melalui 3 cara yaitu:
a. Mengungkapkan secara verbal
b. Menekan, dan
c. Menantang
Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara
yang lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan
menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus,
maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan
akan tampak sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.
4. Tanda dan Gejala Marah
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan
pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala
atau perubahan-perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah
diantaranya adalah ;
a. Perubahan fisiologik : Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan
pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual,
frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks
tendon tinggi.
b. Perubahan emosional : Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi, ekspresi
wajah nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri.
c. Perubahan perilaku : Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis,
curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.
5. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
a. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf
otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl
meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan
otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan
disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku
asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena
individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang
lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga
untuk pengembangan diri klien.
c. Memberontak (acting out); perilaku yang muncul biasanya disertai akibat
konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan; tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
6. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme
pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen,
1998). Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri (Maramis, 1998) antara lain :
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
c. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
d. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
e. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar
di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan
temannya.
7. Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi
data, analisa data, dan perumusan masalah atau kebutuhan klien atau
diagnosa keperawatan.

1) Pengumpulan Data
a) Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal
pengkajian, No Rumah Sakit dan alamat klien.
b) Keluhan utama
c) Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,
kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal..
d) Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah
meningkat, takikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran
urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini
disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
e) Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
f) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui
proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam
proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu
mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan,
bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.
g) Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras.
Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan
diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
h) Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas
jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara
komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan
spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut :
Aspek fisik terdiri dari : muka merah, pandangan tajam, napas
pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat,
tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman,
dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel,
sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri,
penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
i) Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
3) Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan, kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
j) Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas
motorik klien, afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi,
proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
konsentrasi, dan berhitung.
k) Kebutuhan persiapan pulang
l) Aspek medik
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, therapy
farmakologi, psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
b. Diagnosa keperawatan
1) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan.
2) Perilaku kekerasan.

c. Strategi Pelaksanan (SP)


1) Pasien
SP I
a) Mengidentifikasi penyebab PK
b) Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
c) Mengidentifikasi PK yang dilakukan
d) Mengidentifikasi akibat PK
e) Mengajarkan cara mengontrol PK
f) Melatih pasien cara kontrol PK fisik I (nafas dalam) dan fisik II
(memukul bantal/ kasur/ konversi energi)
g) Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP II
a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
b) Melatih mengontrol PK dengan cara minum obat
c) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP III
a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b) Melatih pasien cara kontrol PK secara verbal (meminta, menolak
dan mengungkapkan marah secara baik).
c) Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b) Melatih pasien cara kontrol PK secara spiritual (berdoa,
berwudhu, sholat).
c) Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
2) Keluarga
SP I
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
b) Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses
terjadinya PK.
c) Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.

SP II
a) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
PK.
b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien PK.

SP III
a) Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning).
b) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, Laraia. (2001). Principle and practice of psychiatric nursing. Ed. 6. St.
Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W & Sundeen S.J . (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3.
Jakarta : EGC.
Townsend, M.C. (1998). Psychiatric mental health nursing concepts of care.
Edisi 3. Philadelphia: F. A Davis Company.
Videbeck, S.L. (2004). Psychiatri mental health nursing. 2nd edition. Philadelphia:
Lippicott Williams & Wilkins.

Yosep, I. (2010). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung : Refika


Aditama.

Anda mungkin juga menyukai