Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Halusinasi merupakan salah satu gangguan presepsi, dimana terjadi pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan sensorik (pesepsi indera yang salah) meliputi panca indera secara keseluruhan (pendengaran, perabaan, penglihatan, pengecapan dan pembauan) terjad pada saat kesadaran individu penuh atau baik Di Indonesia diperkirkan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi. meskipun bentuk halusinasinya bervariasi tetapi sebagian besar klien skizofrenia dirumah sakit jiwa mengalami halusinasi dengar.Suara dapat bertasal dari dalam diri individu atau dai luar dirinya. Suara dapat tunggal atau multiple. Isi suara dapat memerintahkan sesuatu pada klien atau seringnya tentang perilaku klien sendiri. 1.3. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian dari halusinasi ? 2. Apa saja jenis-jenis dari halusinasi ? 3. Apa saja tahap tahap dari halusinasi ? 4. Apa saja faktor - faktor yang mempengaruhi halusinasi ? 5. Apa saja tanda dan gejala dari halusinasi ? 6. Bagaimana cara mengkaji klien dengan halusinasi ? 7. Apa saja Diagnosa gangguan persepsi halusinasi ? 8. Bagaimana tindakan keperawatan halusinasi ? 1.2. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian dari halusinasi. 2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari halusinasi . 3. Untuk mengetahui tahap tahap dari halusinasi. 4. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi halusinasi.

5. Untuk mengetahui tanda gejala dari halusinasi. 6. Untuk mengetahui pengkajian halusinasi. 7. Untuk mengetahui Diagnosa gangguan persepsi halusinasi. 8. Untuk mengetahui tindakan keperawatan halusinasi.

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengertian Halusinasi


2.1.1

Halusinasi adalah persepsi sensori palsu yang tidak dikaitkan dengan stimulus eksternal yang nyata; mungkin terdapat interpretasi berupa waham atas pengalaman halusinasi tersebut namun mungkin pula tidak (synopsis of psyciatric).

2.1.2

Halusinasi adalah suatu tangkapan atau penerimaan panca indra atau sensori persepsition tanpa adanya rangsangan panca indra yang wajar (ensiklopedi umum).

2.1.3

Halusinasi adalah persepsi salah yang diterima panca indra eksternal yang biasanya tidak diinterpretasikan ke dalam pengalaman (Ensiklopedi Keperawatan).

2.1.4

Halusinasi adalah persepsi sensori imajinasi semata dapat berupa audiotoryik, visual, tactil, olfactory dan lain-lain (Buku Saku Psyciatric edisi 6).

2.1.5

Hallucinations can be defined as sensory perceptions for which no external stimulus exists. Dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus (Iyus Yosep, 2011).

2.1.6

Halusinasi

adalah

hilangnya

kemampuan

manusia

dalam

membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal. Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengarn suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati Farida, 2011).
2.1.7

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata (Keliat Budi Anna, dkk, 2011).

2.1.8

Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indra seorang pasien , yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organic, fungsional,psikotik, ataupun histeric( Maramis, 1998).

2.1.9

Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar (Iyus Yosep, 2011).

2.2 Jenis-Jenis Halusinasi Jenis-jenis Halusinasi menurut Buku Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (W.F Maramis):
1)

Halusinasi penglihatan (visual optic): tak berbentuk atau sinar, kilapan atau pola cahaya atau berbentuk orang, binatang atau barang lain yang dikenalnya, berwarna atau tidak.

2) 3)
4) 5)

Halusinasi pendengaran (auditif, acustic): suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah dan musik. Halusinasi pencium (olfactoric): mencium sesuatu bau. Halusinasi pengecap (gustactori): merasa/mengecap sesuatu. Halusinasi peraba (tactil): merasa diraba, disentuh, ditiup, disinari atau seperti ada ulat bergerak dibawah kulitnya. Halusinasi kinestetik : merasa badannya bergerak dalam sebuah ruang, atau anggota badannya bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau panthom limb).

6)

7) 8)

Halusinasi viseral: perasaan timbul didalam tubuhnya. Halusinasi hipnagogic: terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum tertidur persepsi sensori bekerja salah. Halusinasi hipnopompic: seperti pada nomor 8, tetapi terjadi tepat sebelum terbangun sama sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatoric dalam impian yang normal.

9)

10) Halusinasi histeric: timbul pada nerosa histeric karena konflik emosional.

2.3 Tahap-Tahap Halusinasi 2.3.1 Menurut Iyus Yosep,2011 Sleep disorder: fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi. Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah dikampus, PHK ditempat kerja, penyakit, utang, nilai dikampus, drop out. Masalah merasa menekan karena terakumulasi sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur dengan terus-menerus sehingga terbiasa mengkhayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah. Comforting moderate level of anxiety: halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami. Pasien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan pikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia control bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinansinya. Condemning severe level of anxiety: pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dengan orang lain dengan intensitas waktu yang lama. Controlling severe level of anxiety: klien mencoba melawan suara-suara atau sensory abnormal yang datang. Klien dfapat merasakn kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan psychotic.

Conquering panic level of anxiety: pengalaman sensorinya terganggu, klien merasa terancam dengan adanya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang dengar dari halusinasinya. Halusinasinya dapat berangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapiutik. Terjadi gangguan psikotik berat. 2.3.2 Menurut kusumawati, farida , 2011 Fase pertama disebut juga fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik: klien mengalami stres, cemas, perasaan perpisaan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan yang tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong sementara. Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon ferbal yang lambat jika sedang asik dengan halusinasinya dan suka menyendiri. Fase kedua disebut juga dengan fase condemning atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi menjijikkan. Termasuk kedalam psikotik ringan. Karakteristik : pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun, dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu, dan ia tetap dapat mengiontrolnya. Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda system saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan realitas. Fase ketiga adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi, semakin meninjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya. Perilaku klien : kemauan

dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah. Fase ke empat adalah fase conquering atau panic yaitu klien lebur dengan halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik: halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang control dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan. Perilaku klien : perilaku terror akibat panic, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang. 2.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Halusinasi a. 1. Faktor predisposisi Faktor perkembangan Perkembangan yang terganggu misalnya rendah control dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, yang menyebabkan mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan terhadap strees. 2. Faktor sosiokultural Seseorang yang merasa tidak terima lingkungannya sejak bayi ( unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya. 3. Faktor biokimia Mempunyai pengaruh terhadap terjadinnya gangguan jiwa, adannya strees yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia, seperti bufennol dan dimetytranferase (DMP). Akibat stress bekepanjangan menyebabkan teraktifasinya, neurotransmitter otak, misanya terjadi ketidakseimbangan asetyl kolin dan dopamine.

4.

Faktor psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidak mampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata kea lam khayal. 5. Faktor genetic dan pola asuh cenderung mengalami skizofreinia. hasil studi Pemnelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh ortu skizofreinia menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang saling berpengaruh pada penyakit ini. b. 1. Faktor Presipitasi Perilaku Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlinsh Heacock, 1993 mencoba mememcahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur bio, psiko, sosial, spiritual. Sehingga dapat dilihat dari 5 dimensi: a. Dimensi fisik Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alcohol, dan kesulitan tidur dalam waktu lama. b. Dimensi emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi isi halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.

c.

Dimensi intelektual dimensi ini individu dengan halusinasi akan

Dalam

memperlihatkan adanya penurunan ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri melawan impuks yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan akan mengontrol semua perilaku klien. d. Dimensi sosial Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup di alam nyata sangat membahayakan. Klien asik dengan halusinasinya, seolah-olah dia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan agar interaksi sosial, control diri, dan haarga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan system control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya dalam atau orang lain cenderung untuk itu. Aspek penting melakukan intervensi keperawatan klien dengan

mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung. e. Dimensi spiritual Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. 2.5 Tanda-Tanda dan Gejala i. 1. Menurut Ade Herman Surya Direja Halusinasi pendengaran: Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. ii. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap. Mengarahkan telinga pada sumber suara. Bicara atau tertatawa sendiri. Marah-marah tanpa sebab. Menutup telinga. Melihat bayangan,sinar bentuk geometris, bentuk kartoon, Menunjuk-nunjuk kearah tertentu Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas Menurut Iyus Yosep Mendengar suara yang mengancam diri klien atau orang Mulut komat-kamit. Ada gerakan tangan. Melihat seseorang yang sudah meninggal Melihat makhluk tertentu Melihat bayangan, hantu atau sesuatu yang menakutkan, Tatapan pada tempat tertentu Ketakutan pada objek yang dilihat

Halusinasi Penglihatan: melihat hantu atau monster

Halusinasi Pendengaran lain atau suara lain yang membahayakan.

Halusinasi Penglihatan

cahaya, monster yang memasuki perawat

2.6 Pengkajian Pada Pasien dengan Halusinasi Pengkajian yang dilakukan pada pasien halusinasi meliputi: 1. Jenis dan isi halusinasi Data objektif dapat dikaji dengan cara mengobservasi perilaku pasien, sedangkan data subyetif dapat dikaji dengan melakukan wawancara

10

dengan pasien. Melalui data ini perawat dapat mengetahui isi halusinasi pasien. 2. Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan halusinasi Perawat perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi? Jika mungkin jam berapa? Frekuensi terjadinya apakah terus menerus atau hanya sesekali? Situasi terjadinya, apakah jika sedang sendiri, atau setelah terjadi kejadian tertentu? Hal ini dilakukan intervensi khusu pada waktu terjadinya halusinasi dan untuk menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi, tidakan untuk mencegah terjadinya halusinasi dapat direncanakan. 3. Respons Halusinasi Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul, perawat dapat menanyakan kepada pasien tentang perasaan atau tindakan pasien saat halusinasi terjadi. Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien atau denganmengobservasi perilaku pasien saat halusinasi muncul. 2.7 Diagnosa gangguan Persepsi Halusinasi 1) 2) 3) 4) 5) Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan Percobaan Bunuh Diri Isolasi Sosial Harga diri rendah kronis Gangguan persepsi halusinasi

2.8 Tindakan Keperawatan pada Klien dengan Halusinasi Tindakan perawatan pada pasien 1. Tujuan keperawatan a. Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya

11

b. Pasien dapat mengontrol halusinasinya c. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal 2. Tindakan keperawatan a. Bantu pasien mengenali halusinasi Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar, dilihat, atau diraba), waktu terjadi halusinasi , frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul. b. Melatih pasien mengontrol halusinasi untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halisinasi, perawat dapat melatih pasien 4 cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi. Ke 4 cara mengontrol halusinasi adalah sebagai berikut. 1. Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasein dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini, pasien tidak akan larut untuk menuruti halusinasinya. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakuakan perawat dalam mengajarkan pasien. a.menjelaskan cara menghardik halusinasi b. memperagakan cara menghardik c. meminta pasien memeragakan ulang

12

d. memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien. 2. Bercakap-cakap dengan orang lain Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol halusinasi. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain, terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi kepercakapan yang dilakukan dengan orang lain. 3. Melakukan aktivitas sesuai jadwal Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivias yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang sering mencetuskan halusinasi. 4. Minum obat secara teratur Dapat mengontrol halusinasi. Pasien juga harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi dokter. Pasien gangguan jkiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untu mencapai kondisi semula akan membutuhkan waktu.

13

BAB IV PENUTUP KESIMPULAN Halusinasi adalah terganggunya persepsi sensori seseorang dimana tidak terdapat stimulus. Perhatikan apakah termasuk ke dalam tipe halusinasi pengelihatan (optik), halusinasi pendengaran (akustik), halusinasi pengecap (gustatorik), halusinasi peraba (taktil), halusinasi penciuman (olfaktori), halusinasi gerak (kinestetik), halusinasi histerik, halusinasi hipnogogik, ataukah halusinasi viseral. Sedangkan seseorang yang mengalami gangguan persepsi halusinasi akan mengalami fase-fase berikut: 1. Sleep disorder (fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi) 2. Comforting moderate level of anxiety (halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami) 3. Condemning severe level of anxiety (secara umum halusinasi sering mendatangi klien) 4. Controlling severe level of anxiety (fungsi sensori menjadi tidak relefan dengan kenyataan)

14

5. Conquering panic level of anxiety (klien mengalami gangguan dalam menilai) Adapun Faktor-faktor penyebab halusinasi: c. Faktor predisposisi (Faktor perkembangan, Faktor sosiokultural, Faktor biokimia, Faktor psikologis, serta Faktor asuh) d. Faktor Presipitasi (Dimensi fisik, Dimensi emosional, Dimensi intelektual, Dimensi sosial, Dimensi spiritual) Seseorang dapat dikatakan mengalami gangguan presepsi halusinasi ketika muncul tanda gejala halusinasi seperti : Bicara atau tertawa sendiri, Marah-marah tanpa sebab, Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas, Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, Sering meludah atau muntah, Mengaruk-ngaruk permukaan kulit seperti ada serangga di permukaan kulit. Sehingga didapatkan diagnosa sebagai berikut: isolasi social, resti pk, gangguan persepsi halusinasi, harga diri rendah kronis, percobaan bunuh diri karena rasa bersalah. Hal yang perlu dikaji pada pasien dengan kasus gangguan persepsi halusinasi meliputi:
4. Jenis dan isi halusinasi 5. Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan halusinasi 6. Respons Halusinasi

genetic dan pola

Dari pengkajian di atas, kita dapat melakukan tindakan keperawatan sebagai berikut: Tindakan perawatan pada pasien 5. Tindakan keperawatan c. Bantu pasien mengenali halusinasi

15

perawat dapat berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar, dilihat, atau diraba), waktu terjadi halusinasi , frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul. d. Melatih pasien mengontrol halusinasi Ke 4 cara mengontrol halusinasi adalah sebagai berikut: 2. Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. 3. Bercakap-cakap dengan orang lain 6. Melakukan aktivitas sesuai jadwal 7. Minum obat secara teratur SARAN Diharapkan kepada para pembaca, jika menjumpai seseorang yang mengalami gangguan persepsi halusinasi agar memberikan perhatian dan perawatan yang tepat kepada penderita sehingga keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat seperti sediakala.

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Yosep Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa.Bandung: Reflika Aditama. 2. Hartono Y, Kusumawati F. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:

Medika Salemba.
3. Akemat, dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC.

4. Maramis W.F. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University press.

17

Anda mungkin juga menyukai