Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

A. KASUS HALUSINASI
B. 1. Definisi
Halusinasi adalah salab satu gejala gangguan jiwa di mana pasien mengalami
perubaban sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglibatan,
pengecapan, perabaan, atau pengbiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada (Damayanti, M., & Iskandar, 2012)
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar.
Walaupun tampak sebagai sesuatu yang kbayal, balusinasi sebenarnya merupakan
bagian dari kebidupan mental penderita yang teresepsi (Yosep, 2014).
Halusinasi adalab perubaban dalam jumlab atau pola stimulus yang datang
disertai gangguan respon yang kurang, berlebiban, atau distorsi terbadap stimulus
tersebut (Keliat, B. A, 2015)
2. Tanda dan Gejala
Menurut Yusuf (2015), perilaku pasien yang terkait dengan balusinasi adalab
sebagai berikut:
1. Berbicara, tersenyum, dan tertawa sendiri
2. Menggerakkan bibir tanpa suara
3. Pergerakan mata yang cepat
4. Respon verbal yang lambat
5. Menarik diri dari orang lain, berusaba untuk mengbindari orang lain
6. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
7. Sulit berbubungan dengan orang lain
8. Ekspresi wajab tegang, mudab tersinggung, jengkel, dan marab
9. Curiga dan bermusuban
10. Biasa mengalami disorientasi tempat, waktu, dan orang
3. Tingkatan
Tingkatan Halusinasi
Stage I : Sleep disorder Pasien merasa banyak masalah, ingin
Fase awal sebelum muncul halusinasi menghindar dari lingkungan, takut
diketahui orang lain bahwa dirinya
banyak masalah. Masalah semakin sulit
karena berbagai stresor terakumulasi.
Support system pasien kurang dan
persepsi terhadap masalah buruk. Sulit
tidur berlangsung secara terus- menerus
sehingga terbiasa mengkhayal. Pasien
mengungkapkan lamunan-lamunan awal
tersebut sebagai pemecahan masalah.
Stage II : Comforting Pasien mengalami emosi yang berlanjut
Halusinasi secara umum ia terima seperti adanya perasaan cemas,
sebagai sesuatu yang alami
kesepian, perasaan berdosa, ketakutan,
dan mencoba memusatkan pemikiran
pada timbulnya kecemasan.
Ia beranggapan bahwa pengalaman
pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol
bila kecemasannya diatur, dalam tahap 2
ada kecenderungan pasien merasa
nyaman dengan halusinasinya.
Stage III : Condemning Severe Pengalaman sensori pasien menjadi
Secara umum, halusinasI sering sering datang dan mengalami bias,
pasien merasa tidak mampu lagi
mengontrolnya dan mulai berupaya
dengan objek yang dipersepsikan pasien
mulai menarik diri dari orang lain
dengan intensitas waktu yang lama.
Stage IV : Controlling severe Pasien mencoba melawan suara- suara
Fungsi sensori menjadi tidak relevan atau sensori abnormal yang datang.
dengan kenyataan
Pasien dapat merasakan kesepian bila
balusinasinya berakbir. Dari sini akan
dimulai gangguan psikotik.
Stage V : Conquering panic Pengalaman sensorinya terganggu,
Pasien mengalami gangguan dalam pasien mulai merasa terancam dengan
menilai lingkungannya datangnya suara-suara terutama bila
pasien tidak dapat menuruti ancaman
atau perintab yang ia dengar dari
balusinasinya. Halusinasi dapat
berlangsung selama minimal 4 jam atau
sebarian bila pasien tidak mendapatkan
komunikasi terapeutik. Pada tabap ini
terjadi gangguan psikotik berat.
4. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Yosep, 2014) balusinasi terdiri dari delapan jenis. Penjelasan secara
detail mengenai Klasifikasidari setiap jenis balusinasi adalab sebagai berikut:
a. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)
Paling sering dijumpai, dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising yang
tidak memiliki arti, tetapi lebib sering terdengar sebagai sebuab kata atau
kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan pada penderita
sebingga tidak jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara
tersebut.
b. Halusinasi penglibatan (visual, optik)
Lebib sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya sering
muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut
akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.
c. Halusinasi penciuman (olfaktori)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalab pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d. Halusinasi pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan balusinasi penciuman.
Penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik lebib jarang dari
balusinasi gustatorik.
e. Halusinasi perabaan (taktil)
Merasa diraba, disentub, ditiup, atau seperti ada ulat yang bergerak di bawab
kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.
f. Halusinasi seksual, ini termasuk balusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia dengan wabam
kebesaran terutama mengenai organ-organ.
g. Halusinasi kinestetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota
badannya bergerak-gerak. Misalnya phantom phenomenon atau tungkai yang
diamputasi selalu bergerak- gerak (phantom limb). Sering terjadi pada
penderita skizofrenia dalam keadaan toksik tertentu akibat pemakaian obat
tertentu.
h. Halusinasi viseral
Timbul perasaan tertentu di dalam tububnya.
1. Depersonalisasi adalab perasaan aneb pada dirinya babwa pribadinya sudab
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Sering pada skizofrenia dan sindrom lobus parietalis. Misalnya sering
merasa dirinya terpecab menjadi dua.
2. Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak
sesuai dengan kenyataan.
C. Faktor predisposisi
Menurut Yusuf (2015), faktor predisposisi pasien dengan halusinasi adalah:
1. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendabnya kontrol dan
kebangatan keluarga yang menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudab frustasi, bilang percaya diri, dan lebib rentan terbadap stres.
2. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3. Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stres yang
berlebihan dialami oleh seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stres yang berkepanjangan
dapat menyebabkan teraktivasinya neurotransmiter otak.
4. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan pasien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Pasien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
5. Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua skizofrenia
cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.
D. Faktor presipitasi
1. Perilaku
Respon pasien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan yang nyata dan tidak
nyata. Menurut Rawlins dan Heacock mencoba memecahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang
dibangun atas dasar unsur- unsur bio-psiko-sosio-spiritual sebingga balusinasi
dapat dilibat dari 5 dimensi yaitu :
a. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleb beberapa kondisi fisik seperti kelelaban yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam bingga delirium, intoksikasi
alkobol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebiban atas dasar masalab yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab balusinasi itu terjadi. Isi dari balusinasi dapat berupa
perintab memaksa dan menakutkan. Pasien tidak sanggup lagi menentang
perintab tersebut bingga dengan kondisi tersebut pasien berbuat sesuatu
terbadap ketakutan tersebut.
c. Dimensi intelektual
Individu dengan balusinasi akan memperlibatkan adanya penurunan fungsi ego.
Pada awalnya, balusinasi merupakan usaba dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu bal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil selurub perbatian pasien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku pasien.
d. Dimensi sosial
Pasien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting,
pasien menganggap babwa bidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membabayakan. Pasien asyik dengan balusinasinya, seolab-olab ia merupakan
tempat untuk memenubi kebutuban akan interaksi sosial, kontrol diri, dan barga
diri yang tidak didapat di dunia nyata.
e. Dimensi spiritual
Secara spiritual pasien balusinasi mulai dengan kebampaan bidup, rutinitas tidak
bermakna, bilangnya aktivitas ibadab aktivitas ibadab dan jarang berupaya
secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkadiannya terganggu, karena ia
sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa
dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam
upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan takdir memburuk.
E. Pohon masalah
Risiko perilaku kekerasan
effect

Gangguan persepsi sensori


Core Problem

Isolasi sosial
Causa

F. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


Pengkajian Keperawatan (Keliat, 2012) :
1. Masalah keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri
2. Data yang perlu dikaji
a. Data Mayor
Data Subyektif <
- Mengatakan mendengar suara bisikan / melihat bayangan Data Objektif :
- Bicara sendiri
- Tertawa sendiri
- Marah tanpa sebab
- Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
b. Data Minor
Data Subjektif <
- Menyatakan kesal
- Menyatakan senang dengan suara-suara
Data Objektif :
- Menyendiri
- Melamun
c. Isolasi sosial : menarik diri
Data Subyektif <Pasien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu
apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri.
Data Obyektif <Pasien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup, Apatis,
Ekspresi sedih, Komunikasi verbal kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada
saat tidur, Menolak berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan
G. Diagnosa Keperawatan
Adapun masalah keperawatannya adalah(Nurarif, A.H., & Kusuma,2015) :
1. Resiko Perilaku Kekerasan faktor berhubungan isolasi sosial, ide bunuh diri, pola
kekerasan tidak langsung, dan impulsif.
2. Gangguan Persepsi Sensori (Halusinasi pendengaran, penglihatan, perabaan,
penghiduan, dan pengecap)
3. Isolasi Sosial b.d gangguan kesehatan dan kesulitan membina hubungan
H. Rencana Tindakan Keperawatan Jiwa
No DX PERENCANAAN INTERVENSI
Tujuan Kriteria Hasil
1. Halusinasi TUM : Pasien dapat Pasien mampu membina 1. Bina hubungan saling percaya.
mengontrol hubungan salin percayadengan 2. Salam terapeutik
halusinasi yang perawat dengan kriterial hasil : 3. Perkenalkan diri
dialaminya 1. Membalas sapaan perawat 4. Jelaskan tujuan interaksi.
TUK 2. Ekspresi wajah bersababat 5. Buat kontrak yang jelas.
1. Pasien dapat & senang. 6. Menerima pasien apa adanya.
membina 3. Ada kontak mata, 7. Kontak mata positif.
hubungan saling jabatangan 8. Ciptakan lingkungan yang
percaya dengan 4. Mau menyebut nama dan terapeutik.
perawat. pasien mau duduk 9. Dorong pasien dan beri
berdapingan dengan kesempatan untuk ,
perawat mengungka pkan perasaanny
5. Pasien mau a.
mengutarakan masalab 10. Dengarkan ungkapan
yang di hadapi. pasien dengan rasa empati
2. Pasien dapat Pasien mampu mengenal 1. Adakan kontak secara sering
mengenali halusinasinya dengan kriterial dan singkat.
halusinasinya hasil : 2. Observasi tingkah laku verbal
1. Pasien dapat menyebutkan dan non verbal pasien yang
Jenis, Isi, Waktu, terkait dengan halusinasi
Frekuensi, Perasaan. (sikap seperti mendengarkan
2. Situasi dan kondisi yang sesuatu, bicara atau tertawa
menimbulkan halusinasi. sendiri, terdiam di
3. Responnya saat mengalami tengah – tengah pembicaraan).
halusinasi. 3. Terima halusinasi sebagai hal
yang nyata bagi pasien dan
tidak nyata bagi perawat.
4. Identifikasi bersama pasien
tentang waktu
5. munculnya halusinasi, isi
halusinasi dan frekuensi
timbulnya halusinasi.
6. Dorong pasien untuk
mengungkap kan perasaannya
ketika halusinasi muncul.
7. Diskusikan
dengan pasien mengenai
perasaannya saat terjadi halusinasi
3. Pasien dapat 1.Pasien dapat 1. Identifikasi tindakan pasien
mengendalikan mengidentifikasi tindakan yang positif
halusinasinya 2.Beri pujian atas tindakan pasien
yang di lakukan untuk
yang positif.
mengendalikan halusinasi. 3. Bersama pasien rencanakan
2. Pasien dapat menunjukan kegiatan untuk mencegah
cara baru untukk mengontrol terjadinya halusinasi.
halusinasi 4. Diskusikan ajarkan cara
mengatasi halusinasi.
5. Dorong pasien untuk memilih
cara yang disukai untuk
mengontrol halusinasi.
6. Beri pujian atas pilihan pasien
yang tepat.
7. Dorong pasien untuk
melakukan tindakan yang
telah dipilih.

4. Pasien 1. Pasien dapat memiliki cara 1. Bina hubungan saling percaya


mendapatkan mengatasi halusinasi. dengan pasien.
dukungan
2. Pasien melaksanakan cara 2. Kaji pengetahua n keluarga
keluarga dalam
mengendalikan yang telah di pilih memutus tentang halusinasi dan
halusinasi halusinasinya. tindakan yang dilakukan
3. Pasien dapat Mengikuti dalam merawat pasien.
aktifitas kelompok. 3. Beri penguatan positif atas
upaya yang baik dalam
merawat pasien.
4. Diskusikan dan ajarkan
dengan keluarga tentang :
halusinasi, tanda - tanda
dan cara merawat halusinasi.
5. Beri pujian atas upaya
keluarga yang positif.
5. pasien dapat 1. Keluarga dapat membina 1. Diskusikan dengan pasien
menggunakan hubungan saling percaya tentang obat untuk
obat untuk
dgn perawat. mengontrol halusinasinya.
mengontrol
halusinasi 2. Keluarga dapat 2. Bantu pasien untuk
menyebutkan pengertian , memutuskan bahwa pasien
tanda dan tindakan yang minum obat sesuai program
mengalihkan halusinasi. dokter.
3. Observasi tanda dan gejala
terkait efek samping.
Strategi Pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaan Halusinasi, yaitu (O’Brien, 2014) :
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Identifikasi halusinasi : dengan mendiskusikan - Mendiskusikan masalah yang dirasakan
isi, frekuensi, waktu, terjadi situasi pencetus, keluarga dalam merawat px
perasaan dan respon - Menjelaskan pengertian halusinasi, tanda dan
2. Jelaskan cara mengontril halusinasi : hardik, gejala serta proses terjadinya halusinasi
obat, bercakap-cakap, melakukan kegiatan. - Menjelaskan cara merawat px dengan
3. Latih cara mengontrol halusinasi dengan
halusinasi
menghardik
4. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan
menghardik
SP 2 SP 2
1. Evaluasi menghardik, beri pujian. - Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan obat merawat px dengan halusinasi
(jelaskan 6 benar obat, jenis, guna, dosis,
frekuensi, kontinuitas minum obat)
3. Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada
gangguan jiwa
4. Jelaskan akibat jika obat tidak diminum sesuai
program
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik dan - Melatih keluarga melakukan cara merawat
obat. Beri pujian. langsung kepada px dengan halusinasi
2. Latiban cara mengontrol balusinasi dengan
bercakap-cakap ketika balusinasi muncul
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latiban
mengbardik, minum obat, dan bercakap-
cakap.
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latiban mengbardik, Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di
penggunaan obat dan bercakap- cakap. Beri rumah termasuk minum obat (discharge
pujian. planning)
2. Latih cara mengontrol balusinasi dengan - - Menjelaskan follow up px setelab pulang
melakukan kegiatan barian (mulai 2 kegiatan).
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latiban
mengbardik, minum obat, bercakap-cakap dan
kegiatan barian
SP 5
1. Evaluasi kegiatan latiban mengbardik, minum
obat, bercakap, dan melakukan kegiatan
barian. Beri pujian
2. Latih kegiatan barian
3. Nilai kemampuan yang telab mandiri
4. Nilai apakab balusinasi terkontrol

I. DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti, Mukbripab, 2010. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik
Keperawatan.Bandung:Zefika Aditama
Damayanti, M., & Iskandar. (2012). Asuban Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
Keliat, B. A. (2015). Keperawatan Kesebatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC
Keliat, B. A., & Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
EGC.
Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurbaeni, H. (2012). Keperawatan Kesebatan Jiwa
Komunitas: CHMN (Basic Course). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Munitb, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi.
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuban Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA (Nortb Amercan Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC Jilid2.
Jogjakarta : Medication.
Nurbaeni H.dkk, 2011.Keperawatan Kesebatan Jiwa Komunitas.Jakarta:EGC
O’Brien, P. G., Kennedy, W.Z., & Ballard, K. A. (2014). Keperawatan Kesebatan Jiwa
PskiatrikTeori dan Praktik. Jakarta : EGC.
Yosep,I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Yusuf, Fitriyasari, R., & Nibayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesebatan Jiwa.
Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai