Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KLIEN HALUSINASI

DI PUSKESMAS TERMINAL BANJARMASIN

DI SUSUN OLEH :
JIMMI (11194562010247)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : Halusinasi

TEMPAT PENGAMBILAN KASUS : Puskesmas Terminal

NAMA : Jimmi

Banjarmasin,7 Maret
2023

Menyetujui,

RS.Sari Mulia Banjarmasin Program Studi Sarjana Keperawatan


Universitas Sari Mulia
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

…………………………… ………………………………….

NIK NIK.
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : Halusinasi


TEMPAT PENGAMBILAN KASUS : Puskesmas Terminal
NAMA : Jimmi

Banjarmasin,7 Maret
2023

Menyetujui,

RSU.Sari Mulia Banjarmasin Program Studi Sarjana Keperawatan


Universitas Sari Mulia
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

…………………………… ………………………………….
NIK. NIK.
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KASUS HALUSINASI
1. Definisi
Halusinasi adalah penyerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua panca indera dan terjadi
disaat individu sadar penuh (Inna Sheli Oktafian Susetyo, 2021).
Gangguan dari halusinasi tersebut menunjukan gejala, seperti klien
berbicara sendiri, mataterlihat kekanan dan kekiri, jalanmondar mandir,
sering tersenyum dantertawa sendiri serta sering mendengar suara-
suara (Inna Sheli Oktafian Susetyo, 2021). Halusinasi pendengaran
adalah klien mendengar suara-suara yang jelas maupun tidakjelas,
dimana suara tersebut bisa mengajak klien berbicara atau melakukan
sesuatu.(Inna Sheli Oktafian Susetyo, 2021).
Halusinasi merupakan suatu proses yang berkaitan erat dengan
kepribadian seseorang, karena itu halusinasi selaludipengaruhi oleh
pengalaman- pengalaman psikologi seseorang. Misalnya seseorang
yang mengalami stress, rasa bersalah, kesepian yang memuncak dan
tidak dapat terselesaikan (Inna Sheli Oktafian Susetyo, 2021).
Dampak yang ditimbulkan dari adanya halusinasi adalah kehilangan
kontrol diri, yang mana dalam situasi ini pasien dapat melakukan bunuh
diri, membunuh orang lain, bahkan merusak lingkungan. (Handayani,
et.al 2021). Tingginya angka penderita gangguan jiwa yang mengalami
halusinasi merupakan masalah serius bagi dunia kesehatan dan
keperawatan di Indonesia. Penderita halusinasi jika tidak ditangani
dengan baik akan berakibat buruk bagi klien sendiri, keluarga, orang lain
dan lingkungan. Tidak jarang ditemukan penderita yang melakukan
tindak kekerasan karena halusinasinya (Juli Andri, 2019).
2. Tanda dan Gejala
Menurut (Kamariah & Yuliana, 2021) Tanda dan Gejala yang dialami
pasien dengan halusinasi antara lain:
1. Berbicara atau tertawa sendiri.
2. Marah- marah tanpa sebab.
3. Memalingkan muka kearah telinga seperti mendengar sesuatu.
4. Menutup telinga.
5. Menunjuk-nunjuk kearah tertentu.
6. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
7. Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
8. Menutup hidung.
9. Sering meludah, muntah.
10. Dan Menggaruk-garuk permukaan kulit.
Individu yang mengalami halusinasi harus diarahkan pada respon
perilaku yang adaptif melalui penerapan asuhan keperawatan yang
komprehensif dan terus menerus, disertai juga dengan terapi-terapi
modalitas seperti Terapi Aktivitas Kelompok (Keliat, 2019 dalam
(Kamariyah, 2021)).
3. Tingkatan
Tingkatan Halusinasi terbagi menjdi 5 fase yaitu :( Reliani, 2019)).

Fase I : Sleep Disorder Pasien merasa banyak masalah, ingin


sebagai fase awal menghindar dari lingkungan, takut
seseorang sebelum diketahui orang lain bahwa dirinya
muncul banyak masalah. Masalah semakin
sulit karena berbagai stresor
terakumulasi.
Support system pasien kurang dan
persepsi terhadap masalah buruk. Sulit
tidur berlangsung secara terus-
menerus sehingga terbiasa
mengkhayal. Pasien mengungkapkan
lamunan-lamunan awal tersebut
sebagai pemecahan masalah.

Stage II : Comforting Pasien mengalami emosi yang


Halusinasi secara umum berlanjut seperti adanya perasaan
ia terima sebagai cemas, kesepian, perasaan berdosa,
sesuatu yang alami ketakutan, dan mencoba memusatkan
pemikiran pada timbulnya kecemasan.
Ia beranggapan bahwa pengalaman
pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol
bila kecemasannya diatur, dalam tahap
2 ada kecenderungan pasien merasa
nyaman dengan halusinasinya.
Stage III : Condemning Pengalaman sensori pasien menjadi
severe sering datang dan mengalami bias,
Secara umum, halusinasi pasien merasa tidak mampu lagi
sering mendatangi mengontrolnya dan mulai berupaya
pasien menjaga jarak antara dirinya dengan
objek yang dipersepsikan pasien mulai
menarik diri dari orang lain dengan
intensitas waktu yang lama.
Stage IV : Controlling Pasien mencoba melawan suara-suara
severe atau sensori abnormal yang datang.
Fungsi sensori menjadi Pasien dapat merasakan kesepian bila
tidak relevan dengan halusinasinya berakhir. Dari sini akan
kenyataan dimulai gangguan psikotik.
Stage V : Conquering Pengalaman sensorinya terganggu,
panic pasien mulai merasa terancam dengan
Pasien mengalami datangnya suara-suara terutama bila
gangguan dalam menilai pasien tidak dapat menuruti ancaman
lingkungannya atau perintah yang ia dengar dari
halusinasinya. Halusinasi dapat
berlangsung selama minimal 4 jam
atau seharian bila pasien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik.
Pada tahap ini terjadi gangguan
psikotik berat.

4. Klasifikasi Halusinasi
Penjelasan secara detail mengenai Klasifikasi dari setiap jenis halusinasi
terbagi menjadi 5 antaranya:
1. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)
Mendengar suara-suara atau kebisingan, paling seperti suara orang
suara berbentuk kebisingan yang kurang keras sampai kata-kata
yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai percakapan
lengkap antara dua orang atau lebih. Pikiran yang didengar klien
dimana pasien disuruh untuk melakukan sesuatu yang kadang-
kadang membahayakan. Halusinasi pendengaran adalah
mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana
sampai suara berbicara mengenai klien sehingga klien berespon
terhadap suara atau klien bunyi tersebut (Harkomah, 2019).
2. Halusinasi penglihatan (visual, optik)
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya gambaran geometris,
gambaran kartun, banyangan yang rumit dan kompleks. Bayangan
menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
Halusinasi penglihatan adalah yang dimana kontak mata kurang,
senang menyendiri, terdiam dan memandang kesuatu sudut dan
sulit berkonsentrasi (Erviana & Hargiana, 2018). Berdasarkan
beberapa defenisi diatas Halusinasi merupakan gangguan
penglihatan yang stimulus visual dalam bentuk klitan cahaya,
gambar geometris, dapat dilihat dari kontak mata kurang, senang
menyendiri, dan sulit berkonsentrasi.
3. Halusinasi penciuman (olfaktori)
Membaui bau- bauan tertentu seperti daah, urin, atau feses,
umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi
penciuman sering akibat stroke, tumor, kejang atau demensia
(Muhit, 2016 dalam Hulu & Pardede, 2022). Karakteristik ditandai
dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikan seperti
darah,urine atau fases kadang tercium bau harum Berdasarkan
beberapa defenisi diatas halusinasi penciuman merupakan
gangguan penciuman bau yang biasanya ditandai dengan membaui
aroma seperti darah, urine dan fases terkadang membaui aroma
segar.
4. Halusinasi Pengecapan (gustatorik)
Merasa seperti mengecap rasa seperti darah,urin atau feses
(Meylani Pardede, 2022)
5. Halusinasi sentuhan (taktil)
Merasa disentuh, disentuh, ditiup, dibakar, atau bergerak di bawah
kulit seperti ulat (Pardede, 2022)
5. Rentang Respon
Halusinasi adalah reaksi maladaftif individu yang berbeda Rentang
respons neurobiologis (Teguh Anugrah,2022). Ini adalah perasaan
maladaptasi. Jika pelanggan memiliki pandangan yang sehat Akurat,
mampu mengenali dan menafsirkan rangsangan Menurut panca indera
(pendengaran, Penglihatan, penciuman, rasa dan sentuhan) pelanggan
halusinasi Bahkan jika stimulusnya di antara kedua tanggapan tersebut
terdapat tanggapan yang terpisah Karena satu hal mengalami sosial
yang abnormal, yaitu kesalah pahaman Stimulus yang diterimanya
adalah ilusi. Pengalaman Pasien yang luas Jika penjelasan untuk
stimulasi sensorik tidak Menurut stimulus yang diterima, rentang
responsnya adalah sebagai berikut:
Bagan Rentang Respon Neurobiologos

RESPON ADAPTIF RESPON MALADATIF

 Pikiran logis  Distorsi pikiran  Gangguan piker


 Persepsi akurat  Ilusi  Sulit merespon
 Emosi konsisten  Reaksi emosional emosi
dengan pengalaman Perilaku  Perilakku
 Perilaku sesuai anah/tidak biasa disorganisasi
Berhubungan sosial  Menarik diri  Isolasi sosial

Rentang Respon

Keterangan :
a) Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-
norma social budaya yang berlaku.Dengan kata lain individu
tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu akan dapat
memecahkan masalah tersebut . Respon adaptif meliputi :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul
dari pengalaman ahli.
4) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
5) Hubungan social adalah proses suatu interkasi dengan orang lain
dan lingkungan.
b) Respon Psikososial Meliputi :
1) Proses piker terganggu yang menimbulkan gangguan
2) Ilusi adalah miss intrerprestasi atau penilaian yang salah tentang
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca
indra
3) Emosi berlebihan atau kurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas untuk menghindari Interaksi dengan orang lain
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari hubungan
dengan orang lain.
c) Respon maladaptive adalah respon indikasi dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma social dan budaya
dan lingkungan,adapun respon maladaptive ini meliputi :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosail
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah satu atau
persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul
dari hati Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak
teratur Isolasi social adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh
individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

6. Etiologi/Penyebab
Faktor penyebab halusinasi
Salah satu penyebab halusinasi adalah kurangnya peran serta
keluarga dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang menderita
penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga yang
tidak tahu cara menangani penderita halusinasi di rumah.( Isti
Harkomah, 2019)
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep
stress adaptasi stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan
presipitasi.Selain itu halusinasi juga dapat disebabkan karena isolasi
sosial yang dapat mengakibatkan halusinasi dan akan berdampak pada
resiko perilaku kekerasan.
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari :
a. Faktor biologis :
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain
(NAPZA).
b. Faktor psikologis
Memiliki riwayat kegagalan yang berulang. Menjadi korban,
pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya
kasih sayang dari orang-orang sekitar atau keluarga atau
overprotektif.
c. Sosiobudaya dan lingkungan
Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan
sosial ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat
penolakan dari lingkungan pada usia perkembangan anak,
pasien halusinasi seringkali memiliki tingkat pendidikan yang
rendah serta pernah mengalami kegagalan dalam hubungan
sosial (percerain, hidup sendiri) serta tidak bekerja (Stuart
Laraia, 2020).
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang
memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Pasien dengan
masalah gangguan presepsi sensori halusinasi biasanya ditemukan
adanya pengalaman yang tidak menyenangkan dan Seperti adanya
rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di
lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering menjadi
pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan
stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat
halusinogenik (Stuart Laraia, 2020).
Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :
1) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu
terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa
dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari
ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian pasien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku pasien.
4) Dimensi Sosial
Pasien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, pasien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan. Pasien asyik dengan
Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan
harga diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
5) Dimensi Spiritual
Secara sepiritual pasien halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah
dan jarang berupaya secara sepiritual untuk menyucikan diri.
Saat bangun tidur pasien merasa hampa dan tidak jelas
tujuan hidupnya. Pasien sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan
dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.

7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan pasien dengan halusinasi
meliputi (Pima Antasari, 2020):
1. Regresi: menjadi malas saat beraktifitas sehari-hari
2. Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab pada orang lain atau sesuatu benda
3. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan
stimulus internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien

B. Proses Terjadinya Masalah


Psikopatologi dari halusinasi belum diketahui. Banyak teori yang
diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologis, fisiologis, dan
lain-lain. Beberapa orang mengatakan bahwa situasi keamanan di otak
normal dibombardir oleh aliran stimulus yang berasal dari tubuh dan dari luar
tubuh. Jika masukan terganggu atau tidak ada sama sekali saat bertemu
dalam keadaan normal atau patologis, materi berada dalam prasadar dapat
unconscious atau dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain
mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan keinginan yang direpresi ke
unconscious dan kemudian kepribadian rusak dan kerusakan pada realitas
tingkat kekuatan keinginan sebelumnya diproyeksikan keluar dalam bentuk
stimulus eksternal.

C. Pohon Masalah
Pohon Masalah sebagai berikut

Gangguan presepsi sensori:


Halusinasi pendengaran

Isolasi sosial

Gangguan pemeliharaan
Kesehatan: Defisit Perawatan diri
D. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
Pengkajian Keperawatan :
1. Masalah keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri
d. Perilaku kekerasan : ketidakmampuan mengendalikan amarah
2. Data yang perlu dikaji
a. Data Mayor
a) Data Subyektif :
- Mengatakan mendengar suara bisikan / melihat bayangan
b) Data Objektif :
- Bicara sendiri
- Tertawa sendiri
- Marah tanpa sebab
- Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
b. Data Minor
a) Data Subjektif :
- Menyatakan kesal
- Menyatakan senang dengan suara-suara
b) Data Objektif :
- Menyendiri
- Melamun
c. Isolasi sosial : menarik diri
a) Data Subyektif :Pasien mengatakan saya tidak mampu, tidak
bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri,
mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
b) Data Obyektif :Pasien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila
disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin
mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi sedih, Komunikasi verbal
kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada saat tidur, Menolak
berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan
E. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Persepsi Sensori
2. Resiko Perilaku Kekerasan
3. Isolasi Sosial
4. Ansietas
5. Waham
F. Rencana Tindakan Keperawatan Jiwa

No Diagnosa SLKI SIKI


1 Gangguan persepsi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen halusinasi
sensori selama 1x12 jam diharapkan persepsi Observasi
sensori dengan kriteria hasil : 1. Monitor perilaku yang mengindikasi halusinasi
Persepsi sensori (L.09083) 2. Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan
1. Verbalisisasi mendengar bisikan (5) stimulasi lingkungan
2. Verbalisisasi melihat bayangan (5) 3. Monitor isi halusinasi (mis, kekerasan atau
3. Perilaku halusinasi (5) membahayakan diri)
4. Menarik diri (4) Terapeutik
5. Curiga (4) 1. Pertahankam lingkungan yang aman
Keterangan : 2. Lakukan tindakan keselamatan ketika tidak
Meningkat (1) dapat mengontrol perilaku (mis, limit setting,
Cukup meningkat (2) pembatasan wilayah, pengekangan fisik,
Sedang (3) seklusi)
Cukup menurun (4) 3. Diskusikan perasaan dan respon terhadap
Menurun (5) halusinasi
(SLKI Hal.93) 4. Hindari perdebatan tentang validasi tentang
validasi halsinasi
Edukasi
1. Anjurkan memonitor sendiri situasi terjadinya
halusinasi
2. Anjurkan bicara pada orang yang dipercaya
untuk mendukung dan umpan balik korektif
terhadap halusinasi
3. Anjurkan melakukan distraksi (mis,
mendengarkan musik, melakukan aktivitas dan
teknik relaksasi)
4. Ajarkan pasien dan keluarga cara mengontrol
halusinasi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antipsikotik dan
antiansietas

(SIKI Hal.178)
DAFTAR PUSTAKA

Maulana, I., Hernawaty, T., & Shalahuddin, I. (2021). Terapi aktivitas kelompok menurunkan tingkat halusinasi pada pasien
skizofrenia: literature review. Jurnal Keperawatan Jiwa, 9(1), 153-160.

Andri, J., Febriawati, H., Panzilion, P., Sari, S. N., & Utama, D. A. (2019). Implementasi keperawatan dengan pengendalian diri
klien halusinasi pada pasien skizofrenia. Jurnal Kesmas Asclepius, 1(2), 146-155.

Harkomah, I. (2019). Analisis Pengalaman Keluarga Merawat Pasien Skizofrenia dengan Masalah Halusinasi Pendengaran Pasca
Hospitalisasi. Jurnal Endurance, 4(2), 282-292.

Kamariyah, K., & Yuliana, Y. (2021). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori: Menggambar terhadap Perubahan
Tingkat Halusinasi pada Pasien Halusiansi di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 21(2), 511-514.

Harkomah, I. (2019). Analisis Pengalaman Keluarga Merawat Pasien Skizofrenia dengan Masalah Halusinasi Pendengaran Pasca
Hospitalisasi. Jurnal Endurance, 4(2), 282-292.

Wulandari, Y., & Pardede, J. A. (2022). Aplikasi Terapi Generalis Pada Penderita Skizofrenia Dengan Masalah Halusinasi
Pendengaran.

Anda mungkin juga menyukai