Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS AL-AZHAR DALAM LINTASAN

SEJARAH
Mohamad Iqbal
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam
Program Pascasarjana IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten
saepulaep16@gmail.com

Supardi
supardi_ahalim@yahoo.com.
Dosen Pascasarjana IAIN SMH Banten

Abstrak. Al-Azhar adalah madrasah tingkat tinggi yang kemudian menjadi


universitas tertua didunia, awal didirikan untuk keperntingan kekuasaan dinasti
Fatimiyyah. Metode pengajarannya menggunakan halaqoh dan dan zawiyat,
kemudian ditetapkan jenjang-jenjang sesuai dengan kemampuan murid-muridnya.
Kurikulum yang diajarkan meliputi ilmu agama antara lain; fiqh, al-Quran, hadits,
tasawuf, bahasa arab, nahwu, sharaf , ilmu-ilmu umum yang diajarkan meliputi
ilmu kedokteran, matematika, logika, sejarah dan lain-lain.
Masa keemasan terjadi ketika banyak ulama dan pelajar yang mengungsi dari
pusat peradaban islam bagian timur (baghdad) dan barat (cordova) akibat
serangan bangsa mongol, menjadikannya sebagai pusat peradaban dunia islam,
menjadi tujuan utama pelajar isla diseluruh dunia, banyak menghasilkan tokoh-
tokoh keilmuan kelas dunia.

Kata kunci: Madrasah, al-Azhar, Mesir, Fatimiyyah

Abstract. Al-Azhar is the institution of higher education and then becomes the
oldest university in the world. initial was established for the benefit of Fatimiyyah
dynasty.Teaching methods use halaqoh and zawiyat, then set levels according by
ability-level students. The curriculum such theology; fiqh, al-Quran, Hadith,
Sufism, Arabic, nahwu, sharaf, general sciences are ; medical science, math, logic,
historyetc.
The golden age of al-Azhar was happen when many scholars and students were
displaced from the center of the eastern part of the Islamic civilization (baghdad)
and west (cordova) because of Mongolian nation’s attack, then becomes the world
center of Islamic civilization, becomes the main goal islamic students around the
world, generating many scientific luminaries world class.

Keyword: College, al-Azhar, Egypt, Fatimi

PENDAHULUAN

Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad SAW


mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk menjadi rahmat bagi
sekalian Alam. Dalam agama Islam terkandung suatu potensi yang mengacu
kepada dua fenomena perkembangan, yaitu; pertama, potensi psikologis dan

1
paedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi pribadi yang berkualitas
bijak dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya. Kedua
potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang
dinamis dan kreatif serta responsif terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang
alamiah, maupun yang ijtima’iyah, dimana Tuhan menjadi potensi sentral
perkembangannya1.
Untuk mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut diatas, diperlukan
pendidikan sebagai langkah-langkah strategis yang sistematis serta terarah agar
manusia mampu menjadikan dirinya dan pribadinya menjadi insan yang
berkualitas dan berdayaguna.
Dalam sejarah awal Islam, pendidikan islam sebagaimana yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Muhamad SAW adalah merupakan upaya pembebasan
manusia dari belenggu aqidah yang sesat yang dianut oleh kelompok Quraisy dan
upaya pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan suatu kelompok
terhadap kelompok lain yang dipandang rendah status sosialnya. Dengan
menginternalisasikan nilai keimanan berdasarkan tauhid, segala kepercayaan yang
sesat itu dapat dibersihkan dari jiwa manusia sehingga tauhid menjadi landasan
yang kokoh dalam kehidupan manusia2.
Metode yang dipergunakan oleh Nabi Muhamad SAW adalah
personalisasi berdasarkan pendekatan personal-individual, kemudian meluas
kearah pendekatan keluarga yang pada gilirannya meluas kearah pendekatan
sosiologis (kemasyarakatan). Pendekatan personal, keluarga dan masyarakat
tersebut merupakan proses kearah pendekatan sistemik yang memandang bahwa
orang per orang merupakan bagian dari unit keluarga, sedangkan keluarga
menjadi subsistem masyarakat, dan masyarakat semakin berkembang menjadi
makro-sistem dalam bentuk negara.
Pada zaman Nabi Muhamad memimpin Makkah dan Madinah, belum
muncul lembaga pendidikan semacam madrasah seperti pada abad pertengahan,
akan tetapi pendidikan Islam secara institusional telah berpose secara mapan.
Sehingga pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam berlangsung dengan
nyaman melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Pendidikan Islam secara kelembagaan (institusi pendidikan) tampak dalam
berbagai bentuk dan variasi. Disamping lembaga yang bersifat umum seperti
masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan
orientasinya. Ahmad Syalabi menyebutkan tempat-tempat itu antara lain ; al-
Kuttab, al-Qushur, Hawanit, manzil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Badiyah,
al-Masjid dan Madrasah. Lalu ia membagi institusi-institusi pendidikan Islam
tersebut menjadi dua kelompok yakni kelompok sebelum dan sesudah madrasah 3.
Sebagaimana ungkapan syalabi :
“Tahun 459H dapat dipandang sebagai suatu batas yang memisahkan
antara pendidikan kaum muslimin ditahun-tahun yang sebelumnya dengan
tahun-tahun sesudahnya berkenaan dengan tempat-tempat pemberian
pembelajaran, karena pada tahun itu di kota baghdad dibuka sekolah yang
pertama dalam rangkaian sekumpulan besar dari sekolah-sekolah yang
teratur, yang didirikan oleh Nizamul mulk seorang menteri yang kenamaan
dari bangsa saldjuk. Sekolah-sekolah mana telah meratai dunia islam sampai

2
kenegeri-negeri dan dusun-dusun kecil disamping sekolah yang besar-besar
yang didirikan di ibukota-ibukota daerah. Kemudian usaha Nizamul Mulk
dalam mendirikan sekolah-sekolah ini dicontoh dan diikuti oleh raja-raja dan
pembesar-pembesar4.
Dengan demikian berdirinya madrasah merupakan tonggak baru dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam dan untuk membedakannya dengan era
pendidikan Islam sebelumnya, dengan kata lain berdirinya madrasah (nizhamiyah)
merupakan pembatas, untuk membedakan dengan era pendidikan selanjutnya5.
Madrasah sebagai salah satu institusi Pendidikan Islam yang secara
historis telah berabad-abad usianya. Namun usia yang begitu tua tidak menjadikan
keberadaan madrasah sebagai lembaga yang kondusif untuk proses belajar
mengajar apabila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang nota bene berusia
muda.
Runtuh berdiri, jatuh bangun perubahan dan penyempurnaan sesuai
dengan dinamika perubahan zaman melekat pada institusi madrasah ini. Kondisi
pasang surut dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah selalu terjadi,
dikarenakan keberadaan madrasah yang ada pada saat itu tidak lepas dari peran
penguasa6.
Pada masa-masa awal, proses pendidikan islam berlangsung ditempat-
tempat yang merupakan pusat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat
Islam yang berminat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi
mencukupi juga mengganggu kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi
pendidikan mulai mengadakan pembenahan dengan mendirikan masjid khan
(skat-skat)7. Dalam masjid khan mulai dilakukan pembagian kelompok studi
terhadap murid-murid yang belajar. Kendati sudah ada pengelompokan tapi pada
tahap ini belum ada pengelolaan administrasi yang bagus8.
Sistem pendidikan agama Islam akhirnya sampai pada puncaknya pada
masa dinasti fatimiyah di Mesir dengan berdirinya sistem universitas yang dikenal
dengan nama Universitas al-Azhar, disusul oleh universitas-universitas lainnya
yang berdiri dikota-kota besar negara-negara Islam9.
Al-Azhar tampak berbeda dengan institusi madrasah sebelumnya, pada
lembaga ini sudah dilengkapi dengan asrama untuk guru-guru dan para
mahasiswa, juga iwan (aula) yang dipergunakan untuk kuliah umum. Peranan al-
Azhar sebagai madrasah menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi (institution
of higher education) atau college10.
Dalam tulisan ini penulis mencoba mengungkap tentang al-Azhar sebagai
madrasah tingkat tinggi tertua di dunia dengan fokus pembahasan antara lain: 1)
Latar Belakang berdirinya al-Azhar, 2) Kurikulum dan metode pengajaran, 3)
bagaimana kondisi al-Azhar dalam lingkaran kekuasaan terutama setelah dinsati
fatimiyah dan 4) bagaimana peranan al-Azhar ketika baghdad sebagai pusat ilmu
pengetahuan di wilayah timur serta cordova di wilayah barat mengalami
kehancuran atas serangan tentara mongol.

Latar Belakang berdirinya Al-Azhar

3
Al-Azhar, perguruan tinggi Islam yang menjadi bukti monumental
peradaban Islam di Mesir pada awalnya adalah bangunan masjid yang tidak
berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya yang ada pada saat itu. Masjid
al-Azhar dibangun oleh panglima Jauhar al-Shiqily pada 972 M di bawah arahan
Khalifah al-Muizz.
Selain itu atas perintah Al-Muiz, Jauhar Al-Shiqili mendirikan kota baru
yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan. Tujuan pendirian
ibu kota itu adalah untuk menampung keperluan administrasi pemerintah dan
tentara Berber. Kota Kairo pada masa-masa selanjutnya dijadikan sebagai ibu kota
Khilafah Fatimiyah. Dari al-Qohirah inilah atas instruksi Al-Muiz, Jawhar al-
Shiqili membangun masjid yang didedikasikan untuk penyebaran kebudayaan,
ajaran, dan pemikiran Syiah. Masjid tersebut diberi nama al-Azhar yang pada
masa-masa berikutnya berubah menjadi universitas dan didaulat sebagai
universitas Islam tertua di dunia.
Masjid al-Azhar ini dibangun pada tahun 361 H/972 M. Masjid ini
merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir, setelah masjid
‘Amr ibn ‘Ash, masjid ‘Askar, dan masjid Ahmad ibn Thulun 11. Hal ini
merupakan usaha Dinasti Fatimiyah untuk menyebarkan faham Syi’ah. Beberapa
tahun kemudian tepatnya pada 365 H / 976 M. mulai dibuka kegiatan belajar-
mengajar dan majelis ilmu pengetahuan bermadzhab Syi’ah Ismailiyah. Pada
masa itu duduk sebagai pengajar Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi, ia
mengajarkan sebuah kitab al-Iqtishar karya ayahnya sendiri. Kitab ini berisi
masalah-masalah fiqhiyah yang berpegang kepada iman Ahlu al-Bait. Ini
merupakan kelompok studi pertama di Jami’ al-Azhar. Selain Abu Hasan Ali bin
Nu’man al-Maghribi, saudara kandungnya yang bernama Abu Abdillah
Muhammad bin Nu’man pada tahun 385 H turut pula membantu mengajarkan
ilmu-ilmu Ahlu al-Bait.
Selain tentang ke-Fatimiyah-an pada perkembangan selanjutnya juga
dipelajari ilmu-ilmu Naqliyah atau Syar’iyyah dan Aqliyah atau Hukumiyah,
kadang disebut juga dengan ilmu ‘Ajam. Adapun yang termasuk ilmu naqliyah
antara lain : Fikih, Hadis, Tafsir, Nahwu, Lughah, Al-Bayan, Adab, Ilmu Tafsir,
Ilmu Qiro’at, Ilmu Hadis, dan Ilmu Kalam. Sedangkan yang termasuk ilmu
aqliyah adalah: Filsafat, Arsitektur, Ilmu Nujum, Musik, Kedokteran, Syair,
Kimia, Matematika, Sejarah, dan Geografi.
Pada awal berdirinya Jami’ al-Azhar dinamai dengan Jami’ al-Qahirah
(Jami’ Kairo) sesuai dengan nama kota tempat ia berdiri. Pemakaian nama ini
dapat dibuktikan secara sejarah, dimana sebagian besar pakar sejarah Mesir
menyebut Jami’ ini dengan Jami’ al-Qahirah, hanya sedikit saja dari meraka yang
tidak menyebutnya demikian. Sedangkan al-Maqrizi, sejarawan muslim Mesir
terbesar, kadang menggunakan nama Jami’ al- Qahirah dan terkadang juga
menggunakan nama Jami’ al-Azhar. Kesimpulannya adalah bahwa pada
pertengahan abad 9 H. sampai pertengahan abad 15 H. pemakaian dua nama ini
menjadi sesuatu yang masih kontroversial, namun kemudian nama lama (Jami’ al-
Qahirah) berlangsung memudar dan nama baru (Jami’ al-Azhar) lebih banyak
dipakai sampai saat ini.12

4
Selain perbedaan nama awal tersebut, sejarawan juga berbeda pendapat
tentang sumber pengambilan kata al-Azhar. Pendapat pertama mengatakan bahwa
kata al-Azhar merupakan musytaq (pecahan) dari kata al-Zahra, gelar Sayidah
Fathimah, putri Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan istri Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, apalagi Dinasti Fathimiyah sendiri dinisbatkan kepada Sayyidah
Fathimah al-Zahra. Sebagian kelompok sejarawan lainnya ada yang berpendapat
bahwa pengambilan nama al-Azhar berkaitan dengan fenomena sosio-kultural
yang berhubungan dengan skema kota Kairo sendiri dahulunya. Diriwayatkan
bahwa di masa khalifah al-Aziz Billah dimulailah pendirian istana-istana Bani
Fathimiyah yang berdiri sangat megah dan indah-indah sehingga waktu itu istana-
istana tersebut dinamai al-Qushur al-Zahirah (istana-istana yang bersinar
cemerlang). Kelompok ketiga berpendapat bahwa pemakaian nama al-Azhar
adalah sebuah rasa harap dan optimis terhadap sesuatu yang akan dicapai masjid
ini nantinya karena berkembangnya ilmu-ilmu di sana dan ia akan tetap menjadi
pusat pengembangan dakwah syi’ah sepanjang masa kelak.13
Namun, bila melihat situs resmi al-Azhar sendiri akan didapati bahwa
penamaan al-Azhar adalah diambil dari kata al-Zahra, gelar Sayidah Fathimah,
putri Rasul saw. Dalam situs yang menceritakan tentang sejarah pendirian itu
dijelaskan14;
Dari kontroversi penamaan al-Azhar diatas, pendapat terakhir ini lebih
dapat diterima. Karena memang umumnya penamaan masjid bukan hanya atas
dasar ibadah karena Allah Swt, akan tetapi juga mempunyi nilai politis, untuk
mengenang nama pendirinya. Apalagi bila dilihat dari sejarahnya, bahwa masjid
itu didirikan pada masa Dinasti Fatimiyah, dan pendirian masjid pada masa itu
awalnya bertujuan untuk menyebarkanluaskan paham - paham keagamaan tertentu
- yaitu Syi’ah Isma’iliyah- kemudian dijadikan pusat kegiatan keagamaan dan
sosial kemasyarakatan.
Pada perjalanan sejarahnya al-Azhar sebagai pusat ilmu pengetahuan,
tempat diskusi bahasa dan juga mendengarkan kisah dari orang-orang yang ahli
bercerita. Baru setelah pemerintahan dipegang oleh Al-Aziz Billah mengubah
fungsi masjid al-Azhar menjadi universitas15.
Program yang dilontarkan kaum fatimiyyin meliputi dua tahap; tahap
pertama, pelaksanaan pengajaran serta pembentukan undang-undang, tahap kedua,
dakwah secara rahasia. Kedua hal tersebut tampak jelas dalam dokumen
pengangkatan propagandis agung (da’id du’ah) oleh khalifah dinasti fatimiyah16.

Kurikulum dan metode pengajaran

Sejak dikenal sistem madrasah, pendidikan Islam di Mesir mulai


menjalankan sistem penjenjangan dalam sistem pendidikannya. Mulai
penjenjangan dari tingkat dasar, tingkat menengah, dan tingkat tinggi.
Pada saat itu hanya ada dua buah perguruan tinggi yang berfungsi
memberikan pendidikan dan pengajaran pada tingkat tinggi dalam waktu
bersamaan, yaitu Universitas al-Azhar dan Dar al-Hikmat atau Dar al-‘Ilm di
Mesir pada abad kesepuluh. Kalau yang pertama masih berjalan sampai saat ini,

5
sedang yang kedua hanya berjalan sampai berakhirnya masa pemerintahan Dinasti
Fathimiyah (567/1171) yang kemudian di tempat itu dibuka Madrasah Syafi’iyyat.
Pada Mulanya pengajaran di universitas al-Azhar sama dengan institusi
pendidikan yang lain pada masanya, yaitu sistem ber-halaqoh, seorang murid
bebas memilih seorang guru dan pindah sesuai dengan kemauan. Umumnya guru
atau syeikh yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi guru kadang-
kadang duduk di kursi ketika sedang menerangkan kitab yang diajarkannya.
Disamping itu metode diskusi sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses
pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan
memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan17.
Sebagai lanjutan dari tingkat menengah, maka kedua lembaga pendidikan
tinggi itu menerima alumni halaqot dan zawiyat yang terdapat di masjid dan
alumni madrasah. Dan kurikulumnya ditambah dalam setiap bidangnya. Maka
pengetahuan agama yang diajarkan di tingkat tinggi itu meliputi; Fiqih, Tafsir,
Qiroat, al-Hadits dan Ilmu Kalam. Sedangkan pengetahuan bahasa meliputi
Nahwu, Sharaf, Balaghah, al-Bayan, dan sastra. Demikian juga pengetahuan
umum mencakup Filsafat, Ilmu Ukur, Falaq, Ilmu Nujum, Kedokteran, Kimia,
Ilmu Pasti, Geografi, Musik, dan Sejarah. Di Universitas al-Azhar ilmu-ilmu
pengetahuan agama lebih diminati oleh para mahasiswanya daripada ilmu-ilmu
lain.
Kurikulum yang diterapkan al-Azhar dari generasi ke generasi selalu
melakukan perubahan. Tapi perubahan yang dilakukan tidak lepas dari tradisi
yang sudah dikembangkan di perguruan tersebut. Yang paling mendasar dan
menjadi kekuatan sehingga al-Azhar mampu bertahan adalah misi yang dibawa
tidak hanya berpusat pada misi dakwah sebagai gambaran utama ketika berbicara
Islam, tetapi juga membawa misi ilmiyah yaitu misi pengembangan ilmu
pengetahuan. Lebih penting dari itu, al-Azhar adalah lembaga pendidikan yang
sangat kuat memegang dan mempertahankan tradisi dan sangat sedikit mengikuti
perkembangan zaman. Kurikulum yang diterapkan tetap menggunakan beberapa
kurikulum luar tetapi hanya menggunakan sebagian kecil saja, sehingga tidak
merusak tradisi keilmuan yang sudah dikembangkan sebelumnya di lembaga
tersebut.
Kurikulum yang diajarkan di al-Azhar pada mulanya fiqh dan al-Quran
dan ilmu-ilmu agama lainnya. Namun setelah menjadi universitas, mulai
memasukkan ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran, ilmu sejarah, ilmu hitung,
logika dan lain-lain18.
Ahmad syalabi memberikan alasan bahwa ilmu kedokteran mulai muncul
kembali diajarkan di madrasah setelah gerakan syi’ah (fatimiyah) berganti ahlu
sunnah (ayyubiyiin). Khalifah al-Mustanshir mengangkat seorang dokter yang
ulung untuk memeberi kuliah kedokteran di madrasah mustansyiriah kepada
sepuluh orang mahasiswa, negara memfasilitasi mereka dengan dengan gaji,
seperti yang diberikan kepada para fuqoha dan ahli hadits19.
Jumlah madrasah yang mengajarkan ilmu kedokteran sangat jarang
dibandingkan dengan bidang keilmuan lain, hal ini terjadi karena ilmu kedokteran
diajarkan di Rumah Sakit dengan tujuan para mahasiswa setelah mempelajari
teori-teori kedokteran bisa langsung mengamati kepada pasien20.

6
Kondisi Al-Azhar Dalam Lingkaran Kekuasaan Terutama Setelah Dinsati
Fatimiyah

Ketika kekuasaan beralih dari dinasti fatimiyah ke dinasti ayyubi, al-Azhar


yang sebelumnya sebagai alat tunggangan dan propaganda paham syi’ah oleh
daulah fatimsiyah, harus menghentikan segala aktivitasnya sebagai tempat yang
menyelenggarakan peribadatan dan pendidikan, sebab sholahudin al-Ayyubi
adalah seorang penganut faham sunni, dengan demikian al-Azhar ditutup sebagai
universitas dan tertutup pula untuk tempat shalat jumat. Untuk memajukan ilmu
agama dan bahasa arab, sholahudin al-Ayyubi membuka madrasah sebagai sarana
perkuliahan. Perkuliahannya beralih ke madrasah-madrasah dan lembaga-lembaga
setingkat universitas, yang jumlahnya mencapai 25 lembaga di cairo 21. Seperti
Madrasah al-Nashiriyah, tahun 566 H yang terletak di samping masjid Amru bin
‘Ash, Madrasah Al-Qomiyah tahun 566 H yang khusus mengajarkan fiqh
madzhab Maliki, Madrasah Salahiyah tahun tahun 572 M yang terletak disamping
masjid imam syafi’i dan lain-lain.
Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa Shalah al-Din al-
Ayyubi antara lain: a)      Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar selama hampir
seratus tahun, yaitu sejak tahun 567 H (1171 M) sampai masa Sultan al-Mamluki
ad-Dhahir pada tahun 665 H (1266 M). b)      Melakukan renovasi pembangunan al-
Azhar oleh Amir Edmir dan Sultan Berbes atau Sultan al-Dzohir Berbes. c) Al-
Azhar menjadi pusat studi Islam yang amat penting, terutama ketika Kairo
menjadi kiblat bagi para ulama, fuqaha, dan mahasiswa.
Sejalan dengan pergantian kekhalifahan, dari dinasti fatimiyah ke dinasti
ayyubi, keduanya memiliki pemikiran dan menganut madzhab yang berbeda,
maka hak-hak yang telah diberikan dinasti fatimiyah yaitu khalifah al-aziz dan al-
hakim kepada al-Azhar dihentikan haknya pada dinasti ayyubi, diantaranya hak
menyampaikan khutbah22.
Pada masa dinasti Mamalik dimulai dengan adanya serbuan besar-besaran
dari bangsa mongol ke timur dan jatuhnya islam di barat, sehingga menyebabkan
banyak ulama dan ilmuwan muslim yang mencari perlindungan ke al-Azhar. Hal
ini menyebabkan posisi al-Azhar menjadi penting. Disamping itu, menambah
masyhur nama al-Azhar di mata dunia islam. Sejak saat itu banyak pelajar dari
negara-negara islam yang tertarik menjadi mahasiswa dan belajar di al-Azhar23.
Hancurnya baghdad dan spanyol sebagai peradaban dan pemerintahan,
menjadikan al-Azhar sebagai satu-satunya tempat berlindung para ulama.
Sementara berkumpulnya ulama yang mengungsi di al-Azhar mendorong
bangkitnya al-Azhar dari ketidakadaan aktivitas, menjadi sibuk dengan berbagai
aktivitas. Pembiayaan al-Azhar banyak ditopang oleh para penguasa yang
memberikan bantuan pendanaan secara ikhlas. Itulah sebabnya banyak mahasiswa
yang datang ke kairo berasal dari negara iraq dan afrika utara.
Padahal sejak satu abad al-Azhar ditutup, yaitu pada masa kekhalifahan
sholahuddin al-Ayyubi sampai 17 tahun dari pemerintahan dinasti Mamalik. Pada

7
tahun 665 H seorang Amir mengajukan kepada sulthan al-Zahir Baibars untuk
membuka kembali al-Azhar sebagai tempat untuk shalat jumat, ternyata usulannya
diterima dan disambut baik oleh Baibars. Sejak itu, al-Azhar dibuka kembali yang
sebelumnya hampir satu abad ditutup, sedangkan pembiayaannya dibiayai oleh
Amir dari uang pribadinya.
Sejak itulah banyak ulama yang datang untuk belajar dan mengajar ke al-
Azhar seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar al-Atsqolany, Jalaludin al-Suyuti.
Dalam gambaran al-Maqrizi, dalam al-Khitat, tampak lembaga ini tidak
hanya sebagai masjid jami, akan tetapi merupakan tempat bagi orang-orang soleh,
penginapan bagi para jemaah haji, pengungsi yang papa, para pelajar, dan tokoh-
tokoh sufi24.
Pembaharuan administrasi pertama al-Azhar dimulai pada masa
pemerintahan sultan ad-Dhahir Barquq (784 H/1382 M) dimana ia mengangkat
Amir Bahadir at-Thawasyi sebagai direktur pertama al-Azhar tahun 784 H/1382
M. ini terjadi dalam masa kekuasan Mamalik di Mesir. Upaya ini merupakan
usaha awal untuk menjadikan al-Azhar sebagai yayasan keagamaan yang
mengikuti pemerintah25.
Sistem ini terus berjalan hingga pemerintahan Utsmani menguasai Mesir
di penghujung abad 11 H. Ditandai dengan pengangkatan Syeikh al-Umumy yang
digelar dengan syeikh al-Azhar sebagai figur sentral yang mengatur berbagai
keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hukum termasuk tempat
mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih syeikh Muhammad al
Khurasyi (1010 – 1101 H) sebagai syeikh al-Azhar pertama. Ada sepuluh syeikh
yang berada pada daulah pertama ini, antara lain: 1). Syekh Imam el-Syarief
Muhamad bin Abdullah Al-Kharasyi Al-Maliki. 2). Syekh Imam Ibrahim
Muhammad Al-barmawi 3). Syekh Imam Muhammad al-Nasyraty Al-Maliky 4).
Syekh Imam Abd el-Baqi el-Qulaeny Al-Malikiy 5). Syekh Imam Muhammad
Syanan Al-Maliky 6). Syekh Imam Ibrahim Musa el-Fayoumy Al-maliky 7).
Syekh Imam Abdellah Al-Syabrawi Asy syafi’I 8). Syekh Imam Muhammad
Salim Al-Hifny Asy syafi’I 9). Syekh Imam Abd Raouf Muhammad el-Sujaeni
Asy syafi’I 10). Syekh Imam Ahmad Abdel Monem el-damanhury26
Secara keseluruhan ada 40 syeikh yang telah memimpin al Azhar selama
43 periode.
Masa keemasan al-Azhar terjadi pada abad 9 H (15 M). banyak ilmuan dan
ulama Islam bermuculan di al-Azhar saat itu, seperti Ibnu Khaldun, al Farisi, as
Suyuthi, al 'Aini, al Khawi, Abdul Latif al Baghdadi, Ibnu Khaliqan, al Maqrizi
dan lainnya yang telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab.
Kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir pada tahap selanjutnya
telah membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan
tradisional dan pendidikan modern sekuler. Ia juga berusaha menciutkan peranan
al-Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara lain dengan
menguasai badan wakaf al-Azhar yang merupakan urat nadinya. Seterusnya, pada
masa pemerintahan Khedive Isma'il Pasha (1863 – 1879) mulai diusahakan
reorganisasi pendidikan dan dari ini pendidikan tradisional mulai bersaing dengan
pendidikan modern sekuler. Serangan terhadap pendidikan tradisional sering

8
tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan al-Azhar sebagai pusat
pendidikan Islam terpenting.
Sejak Napoleon Bonaparte menundukkan Mesir, sistem pendidikan Barat
mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir. Sementara al-Azhar masih saja
mempergunakan sistem tradisional. Dari sini mulai muncul suara pembaharuan
yang dipelopori oleh Muhammad Ali, seorang perwiran Turki. Sesudah Prancis
meninggalkan Mesir lalu ia menjadi penguasa tunggal Mesir (1805-1849 M). Ia
mengirim para pelajar Mesir ke Perancis untuk tugas belajar, sementara di dalam
negeri pun ia mendirikan sekolah-sekolah, dari mulai militer, teknik, kedokteran,
apoteker, pertambangan, pertanian, serta sekolah terjemahan.
Diantara perubahan menonjol dari pembaharuan ini adalah
dicantumkannya sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al 'Alimiyah
(kesarjanaan) al-Azhar pada Februari 1872. Juga pada tahun 1896, buat pertama
kali di bentuk Idarah al-Azhar (dewan administrasi). Usaha pertama dari dewan
ini adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di al-Azhar
menjadi dua periode : pendidikan dasar 8 tahun serta pendidikan menengah dan
tinggi 12 tahun. Kurikulum al-Azhar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: al
'Ulum al Manqulah (bidang studi agama) dan al 'Ulum al Ma'qulah (studi umum).
Pada perkembangan reformasi berikutnya. Muhammad Abduh sebagai
salah satu reformis yang lahir pada tahun 1849 H di Mahallat Nasr sebuah desa di
Mesir. Menjadi tokoh penting dalam reformis pendidikan di al-Azhar. Di antara
pemikirannya yang berkaitan dengan reformis sistem pendidikan di al-Azhar
adalah : 1) Ia menentang pengkafiran terhadap segala sesuatu yang berbeda
dengan kebiasaan. Seperti membaca buku geografi, ilmu alam, atau filsafat adalah
haram, memakai sepatu adalah bid’ah.2) Materi pelajaran yang diberikan di al-
Azhar tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama an sich, tetapi ia juga
memperkenalkan sekaligus mengajarkan filsafat, sejarah dan peradaban Eropa,
teologi, serta logika. 3)Ia tidak setuju dengan metode pengajaran di al-Azhar yang
lebih menekankan kepada aspek penghafalan, tetapi ia lebih menekankan kepada
mahasiswa untuk dididik berpikir27.

Penutup

Al-Azhar pada awalnya adalah masjid yang kemudian dikembangkan


fungsinya menjadi madrasah tingkat tinggi (college). Didirikan untuk kepentingan
para penguasa dari dinasti Fatimiyyah yang ingin menanamkan kekuasaannya
melalui pendekatan pengajaran ajaran syi’ah isma’iliyah.
Metode yang digunakan di al-Azhar adalah berupa halaqoh dan dan
zawiyat, kemudian ditetapkan jenjang-jenjang sesuai dengan kemampuan murid-
muridnya. Kurikulum yang diajarkan meliputi ilmu agama antara lain; fiqh, al-
Quran, hadits, tasawuf, bahasa arab, nahwu, sharaf dan lain-lain. Sedangkan ilmu-
ilmu umum yang diajarkan meliputi ilmu kedokteran, matematika, logika, sejarah
dan lain-lain.
Al-Azhar sejak awal berdiri sudah dijadikan alat dan tunggangan politik
dinasti fatimiyyah untuk menguatkan kekuasaan mereka dengan mengajarkan
paham syi’ah, setelah ayyubiyin berkuasa, al-Azhar di-vacum-kan hampir selama

9
satu abad sampai dibuka kembali ketika 17 tahun dinasti Mamalik berkuasa. Masa
keemasan al-Azhar terjadi ketika banyak ulama dan pelajar yang mengungsi dari
pusat peradaban islam bagian timur (baghdad) dan barat (andalusia) akibat
serangan bangsa mongol, menjadikan al-Azhar sebagai pusat peradaban dunia
islam, menjadi tujuan utama pelajar isla diseluruh dunia, sehingga banyak
menghasilkan tokoh-tokoh keilmuan kelas dunia yang diakui kerya-keryanya
sampai sekarang.

End Note

10
1
M Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, Jakarta Golden Terayobn Press, tt., 6.
2
Susari, dalam Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, pada periode klasik dan pertengahan, Rajawali Press, 2012, 30.
3
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Bulan Bintang Jakarta, tt, 33 - 105
4
Ibid, 32.
5
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri jejak sejarah pendidikan era Rasulullah sampai Indonesia, Kencana,
Jakarta, 2011, 122.
6
Keterlibatan penguasa mencakup penetapan tujuan-tujuan, kurikulum, memilih guru dan pengaturan dana. Seperti
Nizhamiyah yang dibiayai oleh Nizamul Mulk, Al-Azhar oleh Fatimiyah.
7
Lihat juga Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, tt, 106 :
8
Op.cit,88.
Syalabi juga menjelaskan :
“Dalam pada itu – menurut Von Kremer – ada sekumpulan manusia yang mempergunakan bahagian terbesar dari
waktunya untuk mengajar. Dan untuk nafkah hidupnya sehari-hari mereka mencoba mengerjakan perusahaan-perusahaan
yang ringan-ringan disamping mengajar itu. Akan tetapi mereka tidak berhasil untuk mencapai taraf penghidupan yang
selaras, karena itu tidak dapat tidak perlulah sekolah-sekolah didirikan, krena sekolah-sekolah itulah yang akan menjamin
bagi mereka penghasilan yang mencukupi keperluan-keperluan hidup mereka sehari-hari(kudha Bukhsh: Islamic
civilization, p.285)”
9
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011, 190.
10
Philip K Hitti dalam Abudin Nata, 88.
11
Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, Dar al-Kasysyaf, Beirut, Libanon, 1954, hal 49
12
Sahran, Al-Azhar Sebagai Madrasah Tinggi Islam Pertama dan Tertua, Cakrawala Iqro, 2010
13
Ibid.
14
http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm, Asholah wa Hadatsah Jami’ wa Jamiatan
15
Ali Djumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. HM. Arifin, Jakarta, Rhineka Cipta, 1987, 27.
16
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, TT, 403.
Lihat Sayalabi; mengenai dokumen da’id du’ah hal 204
17
Abudin Nata, 96.
18
Ibid.
19
Ahmad Syalabi, 109.
20
Ibid.
21
Hasan Langgulung dalam Abudin Nata, 93.
22
Hamdi Hasan al-Bighramy, Sayyid Ali Asyaraf, Konsep Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989, 42.
23
Ibid, 41.
24
Abudin Nata, 95.
25
www.blogger.com/post-create.do
26
ibid
27
Ibid

Daftar Pustaka
Arifin, Muzayin, tt, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, Jakarta Golden Terayobn
Press.
Djumbulati Ali, 1987, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. HM. Arifin, Jakarta, Rhineka Cipta.
Hasan al-Bighramy Hamdi, Sayyid Ali Asyaraf, 1989, Konsep Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara
Wacana.
http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm, Asholah wa Hadatsah Jami’ wa Jamiatan
Mahmud, 2011, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Nata, Abudin, 2012, Sejarah Pendidikan Islam, pada periode klasik dan pertengahan, Rajawali Press.
Nizar, Samsul, 2011, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri jejak sejarah pendidikan era Rasulullah
sampai Indonesia, Kencana, Jakarta.
Sahran, 2010, Al-Azhar Sebagai Madrasah Tinggi Islam Pertama dan Tertua, Cakrawala Iqro.
Syalabi, Ahmad, tt, Sejarah Pendidikan Islam, Bulan Bintang Jakarta.
Syalabi, Ahmad, 1954, History of Muslim Education, Dar al-Kasysyaf, Beirut, Libanon.
www.blogger.com/post-create.do

Anda mungkin juga menyukai