Anda di halaman 1dari 3

AGAMA HINDU

1. Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan
itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata
dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari
bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan, perkawinan.Pengertian pawiwahan secara
sistematik dapat dipandang dari sudut yang berbeda-beda sesuai dengan pedoman yang
digunakan.sumber lain juga menyebut bahwa pernikahan atau pewiwahan itu berasal dari kata
wiwaha yang artinya itu adalah pertemuan. Jadi pernikahan itu adalah mempertemukan atau
penyatuan antara laki’’ dengan perempuan atau penyatuan antara purusa dan pradana menjadi
1.Yang dilakukan secara sah, baik menurt agama maupun menurut hukum
Menurut tradisi Bali adapun beberapa sistem pernikahan:
• Sistem mapadik atau meminang, pihak calon serta keluarga memepelai laki – laki datang
ke rumah calon mempelai wanita untuk meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon
mempelai sebelumnya telasa saling mengena da ada kesepakatan untuk hidup berumah
tangga. Inilah sistem yang dianggap paling terhormat
• Sistem ngerorod atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka dengan
pasangan dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu salah satu orang tua dari
mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari
• Sistem nyentana atau nyeburin, perkawinan atas dasar perubahan status hukum dimana
calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan pria berstatus sebagai
pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki – laki tinggal di rumah mempelai wanita
• Sistem melegandang, bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas
cinta.
Selain itu dalam ketentuan pasal 57 dari Undang – undang Perkawinan diatur tentang
perkawinan campurang antara mereka yang berbeda warga negara dan agama. Menurut
Ordenansi perkawinan campuran maka hukum agama si suami yang harus diikuti
Berhubungan dengan hal itu agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang
sah menurut Agama Hindu maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha tersebut kepada
pihak wanita diawali dengan upacara sudhawadani sebagai upacara pernyataan bahwa si
wanita rela dan sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara tersebut
dilaksanakan.

2.
1 . Banten byakala, bertujuan untuk memisahkan (bya) unsur negatif (kala) dalam badan sehingga
memunculkan kesucian yang diharapkan.
2. Sarana panglukatan, fungsinya menyuciken badan astral pasangan pengantin sehingga siap untuk
melanjutkan ke jenjang grhasta asrama (kehidupan benimah tangga).
3. Melakukan persembahyangan yang ditujukan kepada Semara Ratih. Pemujaan ini bermakna memohon
kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manisfestasi sebagai Dewa Cinta (Dewa Kama dan Dewi Ratih)
sebagai perwujudan cinta kasih, agar perkawinan itu diberkahi kelanggengan.
4. Simbol Kala Ngadeg, sebuah lambang dalam perkawinan terbuat dari pohon dadap (kayu sakti) atau
ada yang menggunakan srumbu lanang wadon yang dihiasi pakaian, layaknya orang laki-perempuan.
Kala ngadeg sebagai pertanda kokohnya pondasi perkawinan yang dibangun dan diharapkan bisa
menyatu hingga akhir hayat.
5. Mategen-tegenan (alat memikul). Sarana ini diperuntukkan bagi pengantin pria yang umumnya dibuat
menggunakan ranting pohon dadap atau menggunakan cangkul (dikaitkan dengan kondisi di Bali sebagai
daerah agraris). Tegenan atau alat pikul ini dilengkapi buah dan umbi-umbian (pala bungkah dan pala
gantung) dan diserahkan oleh orang tua laki-laki kepada pengantin laki. Makna yang bisa dipetik sebagai
simbol penyerahan tanggung jawab orangtua kepada anaknya.
6. Alat dagangan (madagang-dagangan) untuk pengantin perempuan. Sarana ini dibuat
menggunakan wadah sebuah sok-sokan (bakul) khusus yang dinamakan sok panganten. Di dalamnya ada
kelengkapan berupa barang dagangan sandang, pangan, ditambah beberapa bibit tanaman. Sarana ini
diserahkan oleh mertua perempuan
kepada pengantin wanita sebagai lambang punyerahan tanggungjawab dalam memulai ke hidupan
bermasyarakat, di samping mulai bertanggung jawab untuk mencari penghidupan sekaligus mengisi
kehidupan ke depan dengan karma (perbuatan).
7. Damar pamebyan (lampu minyak kelapa), merupakan simbol penerangan agar dalam
mengarungi kehidupan berumah tangga kedua pasangan selalu pada kondisi terang,
tanpa mengalami kegelapan hati. Dengan begitu, bahtera rumah tangga bisa berjalan
baik.
8. Cemeti (pecut) yang terbuat dari lidi. Alat ini biasanya dipegang pasangan pengantin pria. Memiliki
makna arah yang mesti dituju oleh pasangan mempelai dalam mencapai tujuan yang diidam-idamkan.
Keduanya mesti selalu dalam kebersamaan, layaknya ikatan lidi sampat (sapu).
9. Matanjung sambuk. Sarana yang dipakai berupa sambuk (serabut kelapa) utuh. Sambuk ini ada yang
belah tiga, ada juga dibelah lima. Di dalamnya berisi kwangen dengan 11 keteng uang kepeng dan sebutir
telur bebek mentah diikat benang tiga warna. Sarana ini biasanya ditendang (matanjung) setiap kali
pasangan memutar tempat upacara. Sambuk merupakan simbol mala (kotoran jasmani dan rohani,
layaknya komponen yang ada dalam sambuk, yakni kulit kasar dan kulit halus. Jadi, jasmani maupun
rohani harus dibersihkan agar benih yang disimbolkan dengan telur mentah bisa berwujud menjadi janin
yang suci (itik/bebek disebut ulam suci) sehingga menghasilkan putra yang suputra.
10. Kekeb (alat penutup menanak nasi yang biasanya terbuat dan tanah hat yang dibakar). Kekeb dalam
upacara perkawinan melambangkan bentuk kebersamaan kedua mempelai dalam mengarungi kehidupan.
Mereka mesh selalu saling mendukung, saling memberi agar tujuan bersama bisa dicapai.
11. Benang putih yang dibentangkan di antara dua pohon dadap, mempakan simbol lepasnya pasangan
yang bersangkutan dari masa lajang (brahmacari asrama) menuju masa grhasta asrama. Dalam menuju
dan melakoni masa-masa berumah tangga tentu penuh lika-liku dan tanggung jawab yang harus diemban
masing-masing pasangan.
12. Tikeh dadakan. Sarana ini dibuat dari daun pandan yang masih hijau yang dianyam layaknya tikar.
Tapi, ukurannya kecil (± 25 cm). Tikeh dadakan merupakan simbol kewanitaan (vagina). Tikar ini
nantinya akan dirobek pengantin pria menggunakan keris sebagai tanda pecah atau robeknya kewanitaan
pengantin wanita, sehingga secara lahiriah pasangan yang bersangkutan sudah berhak melakukan
hubungan badan (senggama).
13. Keris. Kehadiran keris dalam upacara perkawinan sebagai lambang kelaki-lakian (purusa). Benda ini
akan dipakai merobek tikeh dadakan yang merupakan simbol pradana.
14. Bale oyodan (rumah-rumahan). Sarana ini dibuat menggunakan pelepah pisang, ada juga
menggunakan tangkai daun keleki yang pada saat habis upacara akan dirusak oleh kedua pasangan. Bale
oyodan memiliki makna bersatunya dua keluarga yang berbeda untuk membentuk suatu keluarga baru
dengan restu kedua keluarga mempelai.
15. Mengitari tempat upacara tiga kali. Ini dikutip dari ajaran Weda, khususnya dalam Siwa Puruna. Pada
saat perkawinan Ganesa (putra Siwa dengan Parwati) saat melangsungkan perkawinan mengitari orang
tuanya (Siwa dan Parwati) sebanyak tiga kali. Mengitari tiga kali tersebut sebagai simbol sahnya suatu
upacara perkawinan, karena sudah mendapat restu orangtua (yang merupakan simbol Tuhan).

Anda mungkin juga menyukai