2. Novianti Fatimahtus Zahro [1130019022] 3. Lailil Ika Feby Rahma M [1130019023] 4. Shelly Nursofya Lestari [1130019043] 5. Idda Fauziyyah [1130019063] 6. Sitti Lathifatul Isniah [1130019069] 7. Erna Ni’matus Sa’diyyah [1130019070] 8. Dikry Yusuf Pratama [1130019077] 9. Atika Farah Nabilla [1130019090] 10. Muhammad Nur Faizin [1130019104]
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019 KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelaksanaan asuhan keperawatan berbasis-bukti merupakan keinginan bagi semua perawat. Untuk membuat individu dan keluarganya bersepons terhadap masalah kesehatan, praktik keperawatan berbasis teori diperlukan untuk membuat dan menerapkan intervensi keperawatan dalam mengetahui kebutuhan klien. Sebagai contoh, teori tentang pelayanan memberikan perawat cara untuk berkomunikasi dengan klien dan keluarganya. Teori memberikan alasan yang rasional tentang bagaimana dan mengapa perawat melakukan intervensi tertentu (Potter and Perry, 2010). Ahi dalam keperawatan merupakan hasil dari pengetahuan dan pengalaman klinis. Keahlian dalam interpretasi terhadap suatu kondisi klinis dan membuat penilaian klinis merupakan inti dari asuhan keperawatan, serta dasar untuk praktik keperawatan lanjutan dan ilmu keperawatan (Benner dan Tenner, 1987; Carnevali dan Thomas 1993). Ruang lingkup merupakan perspektif dari sebuah profesi. Hal ini menyediakan subjek, konsep utama, nila-nilai dan kepercayaan, fenomena menarik, serta masalah utama dari sebuah disiplin (Potter and Perry, 2010). Sebuah paradigma berguna untuk menggambarkan ruang lingkup sebuah disiplin. Paradigma merupakan bagian dari ilmu, filosofi, dan teori yang dapat diterima yang diterapkan oleh suatu disiplin. Paradigma keperawtaan melibatkan empat cakupan, yaitu manusia, kesehatan, lingkungan/situasi, dan keperawatan. Elemen dari paradigma keperawatan berhubungan langsung dengan kegiatan profesi keperawatan, termasuk perkembangan pengetahuan, filosofi, teori, pengalaman pendidikan, penelitian, dan praktik (Tomey dan Alligood, 2006). 1.2. Rumusan Masalah 1. Apa latar belakang munculnya teori praktik dalam keperawatan (Practice Theorists of Nursing) ? 2. Apa saja dan bagaimana teori-teori dari praktik keperawatan (Practice Theorists) berkembang? 3. Bagaimana bentuk penerapan teori praktik (Practice Theorists) dalam praktik keperawatan? 1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu memahami konsep Theorists Practice dalam bidang keperawatan. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mahasiswa mampu memahami latar belakang Practice Theorist of Nursing. 2. Mahasiswa mampu memahami teori-teori dari Practice Theorists. 3. Mahasiswa mampu memahami penerapan Practice Theorists dalam praktik keperawatan. BAB 2 TINJAUAN TEORI
1. 2.1. Latar Belakang Practice Theorist (Mikro Teori)
Practice theory merupakan teori yang dikembangkan berdasarkan perkembangan dari middle range theory, karenanya teori ini lingkupnya lebih sempit dan lebih konkrit keabstrakannya dibandingkan dengan ketiga teori dalam tingkatan teori. (Jacox, 1974 dalam McKenna, 1997). Lebih lanjut dikatakan, practice theory adalah teori yang memberikan arahan langsung pada perawat untuk mencapai tujuan, artinya teori ini memberikan suatu produk intervensi spesifik yang harus dilakukan perawat agar dapat memberi efek pada kondisi pasien. Parker dan Smith (2010) menyatakan bahwa practice theory adalah deskripsi dan perkembangan dari tindakan keperawatan yang telah ada dan dikembangkan untuk digunakan pada situasi keperawatan yang spesifik. Berdasarkan Ellis dalam Reed et al, 2004, mengatakan bahwa semua pengetahuan keperawatan dikembangkan untuk praktek, sehingga semua teori keperawatan tanpa menghiraukan tingkatannya maka merupakan teori praktek.
Idealnya practice theorists berhubungan erat dengan konsep
dari middle range theory dan dibawah kerangka kerja dari grand theory. Contohnya tindakan keperawatan yang dapat dikembangkan menjadi teori praktik yaitu perawat mengetahui bahwa mereka dapat mengurangi nyeri pada pasien dengan melakukan intervensi yang spesifik dan mengurangi kerusakan kulit karena tekanan dengan perubahan posisi yang teratur (Parker & Smith, 2010). Wooldridge (1992) dalam Mckenna (1997) menjelaskan beberapa ciri dari practice theorists/ micro theory, yaitu:
1. Practice theorists dinyatakan dalam sebuah hubungan sebab akibat antara
makna dan tujuan yang dapat di uji secara empiris. 2. Focus pada penyebab yang dapat dimanipulasi oleh perawat; efek yang dianggap relevan untuk mengevaluasi hasil yang telah dicapai ; dan ketidaktentuan kondisi yang dapat diaplikasikan dalam situasi praktik. 3. Fokus pada makna yang dapat diasumsikan secara mandiri oleh profesi perawat baik praktik manipulasi langsung maupun struktur panduan praktik.
2.2. Teori-teori Practice Theorists (Mikro Teori)
1. Bonding Attachment Theory
a. Pengertian Klause dan Kennel dalam Riordan (2009), bonding attachment adalah interaksi orang tua dan bayi secara nyata, baik fisik, emosi, maupun sensori pada beberapa menit dan jam pertama segera sesudah bayi lahir. Nelson dalam Pitriani (2014), bonding adalah dimulainya interaksi emosi sensorik fisik antara orang tua dan bayi segera sesudah lahir, sedangkan attachment adalah ikatan yang terjalin di antara individu yang meliputi pencurahan perhatian, yaitu hubungan emosi dan fisik yang akrab. Jadi dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa bonding attachment adalah suatu ikatan yang terjadi antara orang tua dan bayi baru lahir, yang meliputi pemberian kasih sayang dan pencurahan perhatian yang saling tarik-menarik. Beberapa pemikiran dasar dari keterkaitan ini, antara lain keterkaitan atau ikatan batin ini tidak dimulai saat kelahiran, tetapi ibu telah memelihara bayinya selama kehamilan, baik ibu maupun ayah sangat mengharapkan untuk kehadiran seorang bayi. Hal ini dapat menimbulkan perasaan positif, negatif, atau netral. Sejalan dengan perkembangan pada beberapa bulan pertama kehidupan, bayi dan ibunya saling mengadakan hubungan dan ikatan batin. Jika seorang ibu konsisten dalam responnya terhadap kebutuhan bayi dan mampu menafsirkan dengan tepat isyarat seorang bayi, perkembangan bayi akan terpacu dan terbentuk ikatan batin yang kokoh. Keberhasilan dalam hubungan dan ikatan batin antara bayi dan ibunya dapat mempengaruhi hubungan sepanjang masa (Bahiyatun, 2009). Kelahiran adalah sebuah momen yang dapat membentuk suatu ikatan antara ibu dan bayinya. Pada saat bayi dilahirkan adalah saat yang sangat menakjubkan bagi seorang ibu ketika ibu dapat melihat, memegang, dan memberikan ASI pada bayinya untuk pertama kali. Dan masa tenang sesudah melahirkan disaat ibu merasa rileks, memberikan peluang ide untuk memulai pembentukan ikatan batin. Seorang bayi yang baru lahir mempunyai kemampuan yang banyak, misalnya bayi dapat mencium, merasa, mendengar, dan melihat. Kulit bayi sangat sensitif terhadap suhu dan sentuhan selama satu jam pertama sesudah dilahirkan, mereka sangat waspada dan siap untuk mempelajari dunia baru. Jika tidak ada komplikasi yang serius, sesudah bayi lahir dapat langsung diletakkan di atas perut ibu. Kontak segera ini akan sangat bermanfaat baik bagi ibu maupun bayinya, dan telah terjadi sejak masa kehamilan dan pada saat persalinan. Tenaga kesehatan dapat memfasilitasi perilaku ikatan awal ini dengan cara menyediakan sebuah lingkungan yang mendukung, sehingga kontak dan interaksi yang baik dari orang tua kepada anak dapat terjadi (Rini & Kumala, 2016). b. Faktor Bonding Attachment Bonding attachment dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (Rini dan Kumala, 2016) : a. Faktor Internal 1) Bagaimana bayi diasuh oleh orangtua Apabila sang ayah atau individu lain pada waktu kecil dididik orangtua dengan cara keras atau sering diberikan hukuman jika ada kesalahan sedikit, sehingga kemungkinan kedekatan antara ayah dan bayi akan sulit terbentuk dan cara ini akan diterapkan untuk mendidik anaknya dikemudian hari. 2) Kebudayaan yang diinternalisasikan dalam diri Banyak masyarakat yang masih percaya bahwa ibu dan bayinya yang baru lahir tidaklah bersih dan diisolasi dari ayahnya selama periode yang ditetapkan, tentu saja hal ini menyulitkan terbentuknya ikatan batin dengan sang ayah. 3) Nilai-nilai kehidupan Kepercayaan dan nilai-nilai dalam kehidupan mempengaruhi perilaku dan dan respon seseorang, dalam agama islam bayi yang baru lahir sesegera mungkin di adzankan oleh sang ayah. Keadaan ini memberikan kesempatan ayah untuk mencoba menggendong bayi pertama kalinya dan bayi mendengarkan suara sang ayah. 4) Hubungan antar sesama Hubungan antar sesama akan menciptakan suatu pengalaman seperti bila sang ayah melihat atau mendengar cerita dari temannya bagaimana temannya bersikap terhadap anak pertamanya, bila sang ayah mempunyai hubungan dalam lingkungannya harmonis, mudah bersosialisasi, hal ini akan menciptakan respon yang positif terhadap bayinya. 5) Riwayat kehamilan sebelumnya Apabila pada kehamilan terdahulu ibu mengalami komplikasi dalam kehamilan seperti abortus, plasenta previa, akan membuat ayah atau ibu maupun keluarga sangat menjaga dan melindungi bayi dengan sebaiknya. b. Faktor Eksternal 1) Keinginan menjadi orang tua yang telah diimpikan Pasangan suami istri yang sangat menginginkan anak tentu saja akan merespon kelahiran bayi dengan bangga dan bahagia. Perhatian yang diterima selama kehamilan, persalinan dan post partum, perhatian dari suami dan keluarga akan menciptakan perasaan bahagia dan bangga akan perannya sebagai seorang ibu. 2) Sikap dan perilaku pengunjung Pengunjung memberikan pujian dan ucapan selamat serta memperlihatkan perasaan bangga terhadap bayi, hal ini akan menumbuhkan perasaan bahagia akan kehadiran bayi.
Pitriani & Andriyani (2014) faktor yang penting dalam
bonding attachment yaitu: ibu dan bayi perlu sering bersama-sama, saling melihat dan merasakan, sering menggendong dan menyusui bayi, dan perawat perlu memberikan privasi bagi pasangan untuk kontak dengan bayi. Sedangkan faktor yang mempengaruhi respon ibu terhadap bayinya meliputi: kurang kasih sayang, persaingan tugas sebagai orang tua, pengalaman melahirkan, kondisi fisik ibu sesudah melahirkan, cemas tentang biaya, kelainan pada bayi, penyesuaian diri pasca natal, tangisan bayi, gelisah tentang kelangsungan hidup bayi, kebencian orang tua pada perawatan, privasi, dan biaya pengeluaran, serta gelisah tentang keabnormalan bayi
c. Prakondisi yang mempengaruhi ikatan Mercer dalam Rini & Kumala
(2016), prakondisi yang mempengaruhi ikatan dalam bonding attachment yaitu: a. Kesehatan emosional orang tua Orang tua yang mengharapkan kehadiran si anak dalam kehidupannya tentu akan memberikan respon emosi yang berbeda dengan orang tua yang tidak menginginkan kelahiran bayi tersebut. Respon emosi yang positif dapat membantu tercapainya proses bonding attachment. b. Sistem dukungan sosial yang meliputi pasangan hidup, teman, dan keluarga Dukungan dari keluarga, teman, terutama pasangan merupakan factor yang juga penting untuk diperhatikan karena dengan adanya dukungan dari orang-orang terdekat akan memberikan suatu semangat/ dorongan positif yang kuat bagi ibu untuk memberikan kasih sayang yang penuh kepada bayinya. c. Suatu tingkat kemampuan, komunikasi dan ketrampilan untuk merawat anak Dalam berkomunikasi dan ketrampilan dalam merawat anak, orang tua satu dengan yang lain tentu tidak sama tergantung pada kemampuan yang dimiliki masing-masing. Semakin cakap orang tua dalam merawat bayinya maka akan semakin mudah pula bonding attachment terwujud. d. Kedekatan orang tua dengan bayi Dengan metode rooming in dan program inisiasi menyusu dini kedekatan antara orang tua dan anak dapat terjalin secara langsung dan menjadikan cepatnya ikatan batin terwujud diantara keduanya, hal ini yang akan mendukung keberhasilan bonding attachment. e. Kecocokan orang tua dan bayi (termasuk keadaan, temperamen, dan jenis kelamin) Anak akan lebih mudah diterima oleh anggota keluarga yang lain ketika keadaan anak sehat/ normal dan jenis kelamin sesuai dengan yang diharapkan. d. Tahap-tahap bonding attachment Tiga tahap dalam bonding attachment (Rini & Kumala, 2016) : a. Perkenalan (acquaintance), dengan melakukan kontak mata, menyentuh, berbicara, dan mengeksplorasi segera sesudah mengenal bayinya. Menurut Klaus (1982), bagian penting dari ikatan adalah perkenalan. b. Bonding (keterikatan) c. Attachment, perasaan kasih sayang yang mengikat individu dengan individu lain. e. Elemen-elemen bonding attachment Adapun 7 elemen bonding attachment (Rini & Kumala, 2016) : a. Sentuhan Sentuhan atau indera peraba dipakai secara ekstensif oleh orang tua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk mengenali bayi baru lahir dengan cara mengeksplorasi tubuh bayi dengan ujung jarinya. b. Kontak mata Ketika bayi baru lahir mampu secara fungsional mempertahankan kontak mata, orang tua dan bayi akan menggunakan lebih banyak waktu untuk saling memandang. Beberapa ibu mengatakan, dengan melakukan kontak mata akan merasa lebih dekat dengan bayinya. c. Suara Saling mendengarkan dan merespon suara antara orang tua dan bayinya juga penting. Orang tua menunggu tangisan pertama bayinya dengan tegang. Sedangkan bayi akan menjadi tenang dan berpaling kearah orang tua mereka saat orang tua mereka berbicara dengan suara bernada tinggi. d. Aroma Perilaku lain yang terjalin antara orang tua dan bayi adalah respon terhadap aroma atau bau masing-masing. Ibu mengetahui setiap anak memiliki aroma yang unik. sedangkan bayi belajar dengan cepat untuk membedakan aroma susu ibunya. e. Entraiment Bayi baru lahir bergerak-gerak sesuai dengan struktur pembicaraan orang dewasa. Bayi menggerak-gerakkan tangan, mengangkat kepala, menendang-nendangkan kakinya mengikuti nada suara orang tuanya. Irama ini memberikan umpan balik positif kepada orang tua dan menegakkan suatu pola komunikasi efektif yang positif. f. Bioritme Anak yang belum lahir atau baru lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya. Untuk itu, salah satu tugas bayi baru lahir adalah membentuk ritme personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan member kasih sayang yang konsisten dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan perilaku yang responsive. Hal ini dapat meningkatkan interaksi sosial dan kesempatan bayi untuk belajar. g. Kontak dini Saat ini tidak ada bukti-bukti alamiah yang menunjukkan bahwa kontak dini sesudah lahir merupakan hal yang penting hubungan orang tua dan anak. Namun menurut Klaus dalam Rini dan Kumala (2016), ada beberapa keuntungan fisiologis yang dapat diperoleh dari kontak dini, yaitu: 1) Kadar oksitosin dan prolaktin meningkat 2) Reflek menghisap dilakfkan dini 3) Pembentukan kekebalan mulai aktif 4) Mempercepat proses ikatan antara orang tua dan anak 2. Therapeutic Touch Therapeutic touch merupakan perubahan medan energi. Terapis menggunakan tangan untuk mengarahkan energi dalam mencapai keseimbangan. Therapeutic touch didasarkan pada empat asumsi. Pertama, seorang manusia adalah sebuah sistem energi yang terbuka. Kedua, secara anatomis manusia adalah bilateral simetris. Ketiga, penyakit adalah ketidakseimbangan energi individu. Keempat, manusia mempunyai kemampuan alami untuk mengubah dan melampaui kondisi hidup mereka. Setelah menjalani therapeutic touch, pasien akan mendapatkan respons relaksasi dalam 2 sampai 5 menit setelah pengobatan telah dimulai dan beberapa klien dapat tertidur atau merasakan nyerinya berkurang. Beberapa penelitian membuktikan bahwa therapeutic touch dapat mengurangi nyeri pada berbagai kondisi pasien. Therapeutic touch dapat mengurangi nyeri lutut yang disebabkan oleh artritis. Therapeutic touch lebih efektif dalam mengurangi rasa sakit dan kelelahan pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Therapeutic touch pun dapat mengurangi nyeri akibat artritis, udema, ulcers, fraktur, penyakit paru obstruksi kronik. Teknik napas dalam yang merupakan teknik relaksasi pada pasien dapat mengurangi ketegangan otot dan kecemasan pasien sehingga otot-otot menjadi relaks dan emosi pasien terkontrol. Pada akhirnya, nyeri berkurang. Bernapas melalui perut atau diafragma membawa udara terhirup ke dasar paru-paru dan oksigen akan ditransfer ke dalam aliran darah. Pernapasan perut secara lambat melibatkan napas dalam (sekitar 10 napas per menit), dengan napas lebih lama dari inhalasi. Awalnya pasien diminta untuk berlatih pernapasan perut dua kali sehari selama 5 sampai 10 menit. Pasien juga diminta untuk mengingat kata relaks dalam irama napas mereka. Hal ini berfungsi sebagai isyarat untuk memicu respons relaksasi secara cepat. Hal ini juga dibuktikan oleh Manias, dkk, dalam penelitiannya di Melbourne tahun 2005 bahwa teknik napas dalam dapat mengurangi nyeri pasca pembedahan. 3. Exercise as Selfcare 4. Caring for Patient with Chronic Skin Disease 5. Quality of Care. BAB 3 PENUTUP