Anda di halaman 1dari 78

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transisi epidemiologi biasa disebut dengan perubahan keadaan yang

ditandai dengan adanya perubahan angka kematian dan angka kesakitan akibat

penyakit infeksius menjadi penyakit non infeksius. Hal ini terjadi karena

adanya era globalisasi yang mengubah pola hidup di masyarakat, mulai dari

sosial ekonomi dan tingginya angka harapan hidup. Perubahan tersebut

menimbulkan penyakit kronis (Nur Lailatul Lathifah, 2013)Pada era

globalisasi terjadi pergeseran dari penyakit menular ke penyakit tidak

menular, semakin banyak muncul penyakit degeneratif salah satunya adalah

diabetes melitus. Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular

yang akan meningkat jumlahnya di masa yang akan datang (Nurlaela, 2015).

Diabetes Mellitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular

(PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global,

regional, nasional maupun lokal. Salah satu jenis penyakit metabolik yang

selalu mengalami peningkatan penderita setiap tahun di negara-negara seluruh

dunia. Diabetes merupakan serangkaian gangguan metabolik menahun akibat

pankreas tidak memproduksi cukup insulin, sehingga menyebabkan

kekurangan insulin baik absolut maupun relatif, akibatnya terjadi peningkatan

konsentrasi glukosa dalam darah (Infodatin, 2014).

Diabetes mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis

adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula

darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes

1
2

mellitus merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan

metabolik akibat gangguan hormonal (Phitri & Widiyaningsih, 2013).

DM merupakan salah satu satu ancaman utama bagi kesehatan

manusia.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan DM berada di

urutan ke-9 dari 10 penyebab kematian terpenting di dunia dengan jumlah

kematian 1,26 juta orang (2,2%) dari sekitar 57 juta kematian di dunia dalam

setahunnya.1,2 Jumlah penderita DM di Indonesia menempati urutan ke-4

tertinggi di dunia. dan penyebab kematian terbanyak ke-6 (5,7%) di

Indonesia(Wulandini, Saputra, & Basri, 2016). American Diabetes

Association (ADA, 2014) Diabetes melitus terbagi dalam beberapa tipe, yaitu

diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes gestasional, dan

diabetes melitus yang lain. Diabetes tipe 2 jauh lebih sering daripada diabetes

tipe 1 (membentuk sekitar 90% dari semua kasus diabetes) dan biasanya

berkaitan dengan obesitas (Wulandini et al., 2016)

Menurut Internatonal DiabetesFederatiaon (IDF) (2014), kawasan

Asia Pasifik merupakan kawasan terbanyak yang menderita diabetes melitus,

dengan angka kejadianya 138 juta kasus (8.5%). IDF memperkirakan pada

tahun 2035 jumlah insiden DM akan mengalami peningkatan menjadi 205 juta

kasus karena perubahan gaya hidup di antara usia penderita DM 40-59 tahun

(IDF, 2014). Indonesia berada di posisi kedua terbanyak di kawasan Asia

Tenggara. Menurut IDF (2014) angka kejadian diabetes melitus di Indonesia

sebesar 9,116.03 kasus.

Menurut WHO jumlah penyandang Diabetes di Indonesia pada tahun

2010 sebanyak 8,7 juta dan akan meningkat menjadi 21,8 juta pada tahun
3

2030. Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementrian Kesehatan tahun 2013 menyebutkan terjadi peningkatan

prevalensi pada penderita DM yang diperoleh berdasarkan wawancara yaitu

1,1% pada tahun 2007 menjadi 1,5% pada tahun 2013 sedangkan prevalensi

DM berdasarkan diagnosis dokter atau gejala pada tahun 2013 sebesar 2,1%

dengan prevalensi terdiagnosis dokter tertinggi pada daerah Sulawesi Tengah

(3,7%) dan paling rendah daerah Jawa Barat (0,5%). Prevalensi dari penderita

DM cenderung meningkat pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dan

terjadi peningkatan prevalensi penyakit DM sesuai dengan pertambahan umur

namun mulai umur >65 tahun cenderung menurun dan cenderung lebih tinggi

bagi penderita yang tinggal diperkotaan dibandingkan dipedesaan.

(RISKESDAS, 2013)

Penyakit diabetes berada diurutan ke 4 dari penyakit kronis di

Indonesia. Di Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi, sementara provinsi

Sumatera Barat berada diurutan ke 14 dari 33 provinsi dengan prevalensi total

penderita yaitu sebanyak 1,3%. Penderita diabetes mellitus tersebut paling

banyak terjadi dalam rentang usia 56-64 tahun dengan prevalensi sebesar

4,8%, angka ini menunjukkan bahwa Sumatera Barat masih menjadi salah satu

provinsi di Indonesia yang memiliki penderita diabetes tertinggi. Presentase

tersebut seharusnya menjadi acuan bagi semua pihak termasuk pelayanan

kesehatan untuk melakukan penatalaksaan yang tepat untuk mengurangi angka

penderita diabetes terkhusus diabetes melitus tipe 2, dimana 90% penderita

diabetes yang ada di dunia merupakan diabetes melitus tipe 2 (Kemenkes,

2014)
4

Diabetes melitus tipe 2 dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan

penderitanya dan klien diabetes melitus tipe 2 memiliki peningkatan terhadap

resiko terjadinya masalah komplikasi yang dapat mengancam jiwa seperti

komplikasi akut yang meliputi hiperglikemia, ketoasidosis diabetik, koma

hiperosmoler non ketorik, koma lakto asiadosis dan komplikasi kronis yang

meliputi mikroangiopati (retinopati, neuropati, nefropati), makroangiopati,

gengren diabetika dan disfugsi erektil diabetika, jika tidak segera ditangani

dan dilakukan pengontrolan secara ketat. Masalah-masalah yang dialami oleh

klien diabetes melitus tipe 2 dapat diminimalkan jika klien memiliki

pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk melakukan pengontrolan

terhadap penyakit yaitu dengan cara melakukan self care(Nurlaela, 2015).

Self care merupakan gambaran prilaku seorang individu yang

dilakukan dengan sadar, bersivat universal, dan pola makan (diet),

pemantauan kadar gula darah, terapi obat, perawatan kaki, dan latihan fisik

(olah raga) (Chaidir et al., 2017).

Self care menurut Dorothea Orem (1971) merupakan kebutuhan

manusia terhadap kondisi dan perawatan diri sendiri yang penatalaksanaannya

dilakukan secara terus menerus dalam upaya mempertahankan kesehatan dan

kehidupan, serta penyembuhan dari penyakit dan mengatasi komplikasi yang

ditimbulkan. Teori ini bertujuan untuk membantu klien melakukan perawatan

diri sendiri. Orem mengembangkan definisi keperawatan yang menekankan

pada kebutuhan klien tentang perawatan diri sendiri (self care). Self care

dibutuhkan oleh setiap individu, baik wanita, laki-laki, maupun anak-anak.

Ketika self care tidak adekuat dan tidak dapat dipertahankan maka akan
5

mengakibatkan terjadinya kesakitan dan kematian (Nurlaela, 2015).Self care

pada klien diabetes melitus menjadi aktifitas yang begitu penting. Hal ini

sesuai dengan pernyataan bahwa self care pada pasien diabetes melitus dapat

mencegah mordibitas dan kematian. Untuk itu pasien DM harus mempunyai

pengetahuan yang banyak tentang perawatan dirinya (La Greca et al, 2004).

Pengetahuan adalah pengelolaan mandiri Diabetes secara optimal

membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah prilaku yang tidak sehat

(Wulandini et al., 2016). Pengetahuan bisa didapat dari pengindraan terhadap

objek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan meraba dengan sendiri. Pada waktu pengindraan sampai

menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas

perhatian persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmodjo 2010, h.27).Pengetahuan

pasien tentang self care DM merupakan sarana yang dapat membantu

penderita menjalankan penanganan diabetes sehingga semakin banyak dan

semakin baik pasien DM mengetahui tentang self care diabetes melitus,

kemudian selanjutnya mengubah perilakunya, akan dapat mengendalikan

kondisi penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih lama dengan kualitas hidup

yang baik (Perdana, Ichsan, & Rosyidah, 2013a).

Penelitian yang dilakukan oleh Nina Rahmadiliyani dan Abi Muhlisin

(2008) mengenai pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi DM di

Puskesmas Gatak Sukoharjo menunjukan tingkat pengetahuan pasien DM

tentang penyakit DM masih cukup banyak yang kurang, dimana yang

memiliki pengetahuan yang baik 9,5%, pengetahuan sedang 47,6%, dan


6

tingkat pengetahuan kurang 42,9% dan pasien dengan kadar glukosa darah

terkendali baik terdapat 7,1%, terkendali sedang 52,4 %, dan terkendali

kurang 40,5%(Perdana, Ichsan, & Rosyidah, 2013b)

Beberapa penelitian menunjukanterdapat hubungan yang bermakna

antara tingkat pengetahuan dengan pengendalian kadar glukosa darah yaitu

penelitian yang dilakukan Rahmadiliyani dan Muhlisin (2008) dan penelitian

yang dilakukan Jazillah (2003), sedangkan penelitian kolaborasi yang

dilakukan oleh Setyaningrum Rahmawaty dan Ucik Witasari (2010)

menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan dengan pengendalian kadar glukosa darah (Perdana et al., 2013b)

RSUD DR. Achmad Mochtar merupakan Rumah Sakit rujukan untuk

wilayah Sumatera Barat. Berdasarkan data yang di dapatkan dari rekam medik

RSUD DR. Achmad Mochtar Bukittinggi, didapatkan bahwa total jumlah

penderita diabetes melitus pada tahun 2016-2017 sebanyak 1.468 orang. Pada

tahun 2016 sebanyak 753 dengan diabetes melitus tipe 2 sebanyak 400 orang

dan 2017 sebanyak 715 orang dengan diabetes melitus tipe 2 sebanyak 435

orang. Dari jumlah diatas dapat disimpulkan bahwa masih tingginya angka

kejadian diabetes melitus di RSUD DR. Achmad Mochtar Bukittinggi (Rekam

medik RSUD Dr.Achmad Mochtar Buittinggi).

Berdasarkan studi pendahuluan peneliti yang dilakukan pada tanggal

13 November 2018 rata-rata jumlah pasien DM yang berkunjung pada satu

hari mencapai 30 orang, dan melakukan konsul rutin ke poli penyakit dalam

RSAM Bukittinggi. Berdasarkan hasil wawancara peneliti didapatkan bahwa


7

20 dari 30 orang pasien yang menjalani rawat jalan di RSAM Bukittinggi

kurang memliki pengetahuan tentang self careatau perawatan dirinya.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut peneliti tertarik untuk meneliti

tentang hubungan antara pengetahuan dengan self-care pada penderita

diabetes mellitus tipe 2 di Poli Penyakit Dalam RSAM Bukittinggi 2018.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada hubungan

pengetahuan dengan self care pasien Diabetes melitus di RSUD Dr. Achmad

Muchtar Bukittinggi tahun 2018.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pengetahuan dengan self care pada pasien

diabetes melitus di RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui rata-rata pengetahuan pada pasien DM yang di rawat di

RSUD Dr.Achmad Muchtar Bukittinggi tahun 2018

b. Diketahui rata-rataself care pasien DM yang di rawat di RSUD Dr.

Achmad Muchtar Bukittinggi tahun 2018

c. Diketahui hubungan antara pengetahuan dengan self care pada pasien

DM yang dirawat di RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi


8

D. Manfaat

1. Bagi Rumah Sakit

Penelitian dapat memberikan gambaran kepada rumah sakit

bagaimana hubungan antara pengetahuan dengan self care pada penderita

diabetes melitus tipe 2 di poli penyakit dalam RSUD dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi 2018 dan memberikan justifikasi bahwa self care merupakan

hal yang penting dilakukan bagi pasien DM tipe 2, sehingga gula darah

dapat terkontrol dan dapat mencegah timbulnya komplikasi akibat

diabetes.

2. Bagi Perawat

Penelitian dapat dijadikan sebagai masukan kepada perawat

tentang pengetahuan terhadap self care pada pasien dm tipe 2.

3. Bagi Instansi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi,

acuan, pedoman, dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya terutama bagi

STIKes Fort De Kock Bukittinggidalam kegiatan yang sama.

4. Bagi Pasien

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pasien melalui

keterlibatan mereka dalam mengikuti arahan yang diberikan sehingga

dapat menambah pengetahuan pasien terhadapself care pasien DM tipe 2


9

5. Bagi Masyarakat

Sebagai bahan masukan dan sumbangan informasi bagi masyarakat

khususnya bagi yang memiliki anggota keluarga yang menderita diabates

militus untuk meningkatkan pengetahuannya tentang self care pada pasien

DM.

6. Bagi Peneliti Selanjutnya

Manfaat penelitian ini bagi peneliti lain dapat digunakan sebagai

bahan masukan dan dapat dijadikan sebagai data pembanding pada

penelitian selanjutnya.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini membahas tentang hubungan

pengetahuan dengan self care pada pasien DM tipe 2 di RSUD dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi. Jenis penelitian ini adalah Kuantitatif dengan

pendekatan cross-Sectional. Penelitian ini akan dilaksanakan bulan November

- Dsember 2018 di Poli penyakit dalam RSUD dr. Achmad Mochtar

Bukittingi. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 di

RSUDDr. Achmad Mochtar Bukittinggi dengan jumlah sampel 81

orang.Teknik pengambilan sampel dilakukan adalah Teknik accidental

sampling . Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah terdiri dari data

demografi yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan

dan lamanya diagnosa DM, DKQ-24 (Diabetes Knowledge Quesioner),

SDSCA (Summary Diabetes Self Care Activities). Analisis data yang

digunakan pada penelitian ini adalah analisis univariat untuk mengetahui


10

distribusi frekuensi karakteristik responden dan analisa bivariat dengan

menggunakan uji Korelasi Pearsonuntuk melihat hubungan pengetahuan

terhadap self care pada penderita DM.


11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Diabates Militus

1. Pengertian Diabetes Militus

Diabetes mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis

adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar

gula darah) yang terus- menerus dan bervariasi,terutama setelah makan

(Phitri & Widiyaningsih, 2013).Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit

gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat

penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi

insulin (resistensi insulin) (Fatimah, 2015).

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes

melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin, atau kedua-duanya (Chaidir et al., 2017).

Diabetes adalah kondisi saat pancreas tidak lagi dapat

memproduksi insulin secara efektif. Insulin iaalah hormone yang

membantu terhadap kontrol kadar gula darah. Kenaikan gula darah

menjadi pengaruh umum dari diabetes yang tidak terkontrol dan secara

berkelanjutan menyebabkan system tubuh menjadi rusak pada kebanyakan

organ terutama pembuluh darah (WHO,2017). Diabetes Melitus (DM)

adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan

metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai

komplikasi kronik pada mata,ginjal,saraf dan pembuluh darah. Diabetes

11
12

Melitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan

hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi

sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau

keduanya (Rendy & Margareth,2012).

2. Klasifikasi Diabetes

1) Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes tipe 1 biasanya mengenai anak-anak dan remaja.

Diabetesini pernah disebut dengan juvenile diabetes(diabetes usia

muda). Namun karena ternyata diabetes ini juga dapat terjadi pada

orang dewasa, maka orang lebih suka memakai istilah diabetes tipe 1.

Untuk dapat bertahan hidup penderita diabetes tipe 1 bergantung pada

pemberian insulin dari luar. Oleh karena itu, istilah yang yang dipakai

di masa lalu adallah Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM).

Jumlah kejadianya hanya 1-10% dari semua penderita diabetes di

dunia. Di indonesia sendiri, jumlahnya kurang lebih sekitar 1% dari

semua diabetes.

Faktor penyebab diabetes tipe 1 adallah infeksi virus atau

reaksi auto-imun (rusaknya sistem kekebalan tubuh) yang merusak sel-

sel pengahasil insulin, yaitu sel beta pada pankreas, secara

menyeluruh. Oleh karena itu, pada tipe ini pankreas sama sekali tidak

dapat menghasilkan insulin. Untuk bertahan hidup, insulin harus

diberikan dari luar dengan cara suntikan. Sampai sekarang, belum ada

cara lain karena insulin akan merusak asam lambung jika

diminum(Kurniadi, 2014)
13

2) Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes tipe ini paling sering ditemukan. Sekitar 90-95% dari

keseluruhan pasien diabetes merupakan pengidap diabetes tipe 2.

Berbeda dengan diabete tipe 1, diabetes tipe 2 umumnya dialami oleh

orang dewasa, tetapi terkadang juga sering pada remaja. Penyebab dari

diabetes tipe 2 adallah insulin tidak dapat direspons dengan baik oleh

sel-sel tubuh. Sel-sel tubuh tidak mau menerima glukosa yang dibawa

insulin, inilah yang disebut resitensi insulin. Resistensi insulin ini yang

menyebabkan kadar gula darah meningkat(Syamsiah, 2017)

DM tipe 2 disebabkan oleh kombinasi resistensi insulin dan

disfungsi sekresi insulin sel β. Diabetes tipe2 biasanya disebut diabetes

life style karena selain faktor keturunan, juga disebabkan oleh gaya

hidup yang tidak sehat (Husada, 2017)

Tabel 2.1
Perbedaan DM tipe 1 dan DM tipe 2

Diabetes Melitus Tipe 1 Diabetes Melitus Tipe 2

Kerusakan terdapat pada sel Bersifat familial/keturunan

penghasil insulin
Sel β prankras rusak sehingga Sering terjadai resitensi insulin

insulin tidak terbentuk


Sering terjadi ketosis (koma) Jarang terjadi ketosis

Kebutuhan insulin untuk Insulin dalam darah cukup,

mengendalikan glukosa kurang namun sel-sel tubuh tidak

bereaksi dengan baik


Penderita Dm tipe 1 umumnya Penderita DM tipe 2 umumnya

bertubuh kurus bertubuh gemuk


14

Umumnya berusia muda Umumnya berusia lebih dari 40

tahun
Sumber : (Kurniadi, 2014)

3) Diabetes Melitus Gestasional

Yaitu DM yang berhubungan dengan keadaan atau penyakit

tertentu, minyalnya penyakit pankreas (pankreatitis, neoplasma,

taruma/pancreatectomy), endokrinopati (akromegali, cushing’s

syndrome, pheochromacytoma, hyperthyroidism). Penyakit infeksi

seperti kongenital rubella, infeksi cytomeglovirus, serta syndrom

genetic diabetes seperti syndrome down (Tarwoto 2012).

4) Diabetes Karena Malnutrisi

Golongan diabetes ini terjdi akibat malnutrisi, baisanya pada

penduduk miskin. Diabetes tipe ini dapat ditegakan jika ada 3 gejala

dari gejala yang mungkin yaitu:

1) Adanya gejala malnutrisi seperti badan kurus, berat badan kurang

dari 80% berat badan ideal.

2) Adanya tanda-tanda malabsorsbi makanan.

3) Usia antara 15-40 tahun

4) Memerlukan insulin untuk regulasi DM dan menaikan berat badan

5) Nyeri perut berulangi (Tarwoto 2012)

5) Diabetes sekunder

Yaitu DM yang berhubungan dengan keadaan atau penyakit

tertentu, misalnya pankreas (pankreastitis, neoplasma,


15

trauma/panreatectomy), endokrinopati (akromegali, cushing’s

syndrome, pheochromacytoma, hyperthyroidism), obat-obatan atau zat

kimia, dan penyakit infeksi (Tarwoto, 2012)

3. Patofisiologi

Penyakit Diabetes mellitus disebabkan oleh karena gagalnya

hormone insulin. Akibatnya kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat

diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah menignkat dan terjadi

hiprglikemia. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemia ini, karena

ambang batas gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi

hiperglikemia maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi

sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang

menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang

disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air

hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan

dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga

pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum

terus yang disebut polidipsi(Rendy & Margareth, 2012).

Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya

transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan

simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena

digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan

merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut

poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi

penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah


16

meningkat atau asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak

hingga tubuh berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernapasan,

akibatnya bau urine dan napas penderita berbau aseton atau bau buah-

buahan. Keadaan asidosis ini apabila tidak segera diobati akan terjadi

koma yang disebut koma diatetik (Rendy & Margareth, 2012).

Patofisiologi DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang

berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin. Pada keadan normal insulin terikat oleh suatu reseptor khusus

pada permukaan sel. Sebagai akibat adanya ikatan insulin dengan reseptor

akan terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolism glukosa dalam sel.

Resistensi insulin yang terjadi pada DM tipe 2 ini disertai dengan

penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian insulin tersebut menjadi tidak

efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Ismonah,

2008)

Meskipun gangguan sekresi insulin dikarekteristik pada DM tipe 2,

terdapat sediaan insulin yang cukup untuk mencegah terpecahnya lemak

dan terkumpulnya produksi ketone tubuh. Karena ini tipe DKA (Daibetik

ketoacidosis) tidak terjadi pada DM tipe 2. Tidak terkontrolnya DM tipe 2

dapat saja terjadi menyebabkan masalah akut HHNS (Hyperglycemic

Hyperosmolar Nonketotic Syndrome).

Kurangnya insulin berpengaruh pada pembangun protein. Pada

keadaan normal insulin berfungsi menstimulasi sintesis protein, jika terjadi

ketidakseimbangan, asam amino dikonversi menjai glukosa di hati

sehingga kadar glukosa menjadi tinggi.


17

Pada DM tipe 2 masalah utama adallah berhubungan resistensi

insulin dan gangguan sekresi unsulin. Resistensi insulin menunjukan

penurunan sensitifitas jaringan pada insulin. Normalnya insulin mengikat

reseptor khusus pada permukaan sel dan mengawali rangkaian reaksi

meliputi metabolisme glukosa. Pada DM tipe 2, reaksi intraseluler

dikurangi, sehingga menyebabkan efektifitas insulin menurun dalam

menstimulasi penyerapan glukosa oleh jaringan dan pada pengaturan

pembebasan oleh hati. Mekanisme pasti yang menjadi penyebab resistensi

insulin dangangguan sekresi insulinpada DM tipe 2 tidak diketahui,

meskipun faktor genetik berperan utama.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mnecegah penumpukan

glukosa dalam darah, peningkatan sejumlah insulin harus disekresi dalam

mengatu kadar glukosa darah dalam batas normal atau sedikit lebih tinggi

kadarnya. Namun, jia sel beta tidak dapat menjaga dengan meningkatnya

kebutuhan insulin, mengakibatkan kadar glukosa meningkat, dan DM tipe

2 berkembang (Tarwoto, 2012)

4. Etiologi

a. Diabetes melitus tergantung insulin (DMTI)

1) Faktor genetik
18

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri

tetapi mewarisi suatu presdisposisiatau kecendrungan gnetic kearah

terjadinyadiabetes tipe 1. Kecendrungan genetic ini ditentukan

pada individuyang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte

Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang

bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun

lainnya (Rendy, 2012)

Riwayat keturunan dengan diabetes, misalnya pada DM

tipe 1 diturunkan sebagai sifat heterogen, multigenik. Kembar

identik mempunyai resiko 25%-50%, sementara saudara kandung

beresiko 6% dan beresiko 5% (Tarwoto, 2012)

2) Faktor imunologi

Pada diabetes tipe 1 terbukti adanya suatu respon autoimun,

ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada

jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringn

tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing

(Rendy, 2012)

3) Faktor lingkungan seperti virus ( cytomegalovirus, mumps,

rubella) yang dapat memicu terjadinya autoimun dan

menghancurkan sel-sel beta pankreas, obat-obatan dn zat kimia

seperti alloxan, streptozotocin, pentamidine (Tarwoto, 2012)

b. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)

Secara pasti penyebab dari DM tipe 2 ini belum diketahui,

faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses


19

terjadinya resistensi insulin. Diabetes melitu tak tergantung insulin

(DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI

ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin ataupun dalam kerja

insulin. Pada awalnya tampak terdapat resitensi dari sel-sel sasaran

terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya pada

reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi

intraseluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran

sel.

Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM

tipe 2, adallah :

1) Usia (resistensi insulin cendrung meningkat pada usia diatas 65

tahun)

2) obesitas

3) riwayat keluarga

4) kelompok etnik(Rendy & Margareth,2012)

5) HDL kolesterol lebih dari atau sama dengan 35 mg/dl atau

trigeserida lebih dari 250 mg/dl

6) Riwayat getasional DM

7) Kebiasaan diet

8) Kurang olahraga

9) Wanita dengan hirsutisme atau penyakit policistik ovari (Tarwoto,

2012)

5. Tanda dan Gejala


20

Gejala adalah hal-hal yang dirasakan dan dikeluhkan oleh

penderita, sedangkan tanda-tanda berarti keadaan yang dapat dilihat dari

pemeriksaan badan. Ada bermacam-macam gejala DM, yaitu:

1) Sering buang air kecil dengan volume yang banyak, yaitu lebih sering

dari pada biasanya, apalagi pada malam hari (poliuri), hal ini terjadi

karena kadar gula darah melebihi nilai ambang ginjal (>180mg/dl),

sehingga gula akan keluar bersama urine. Untuk menjaga agar urine

yang keluar tidak terlalu pekat, tubuh akan menarik air sebanyak

mungkin kedalam urine sehingga urine keluar dalam volume yang

banyak dan buang air kecil pun menjadi sering. dalam keadaan normal,

urine akan keluar sekitar 1,5 liter perhari, tetapi pada penderita DM

yang tidak terkontrol dapat memproduksi lima kali dari jumlah itu.

2) Sering merasa haus dan ingin minum sebanyak-banyaknya (polidipsi).

Dengan banyaknya urine yang keluar, badan akan kekurangan air atau

dehidrasi. Untuk mengatasi hal tersebut tubuh akan menimbulkan rasa

haus sehingga penderita selalu ingin minum terutama yang dingin,

manis, segar, dan banyak.

3) Nafsu makan meningkat (polifagi) dan merasa kurang tenaga. Insulin

menjadi bermasalah pada penderita DM sehingga pemasukan gula ke

dalam sel-sel tubuh kurang dan energi yang dibentuk pun menjadi

kurang. Ini adalah penyebab mengapa penderita merasa kurang tenaga.

Selain itu, sel juga menjadi miskin gula sehingga otak juga berfikir

bahwa kurang energi itu karena kurang makan, maka tubuh kemudian
21

berusaha meningkatkan asupan makanan dengan menimbulkan alarm

rasa lapar.

4) Berat badan turun dan menjadi kurus. ketika tubuh tidak bisa

mendapatkan energi yang cukup dari gula karena kekurangan insulin,

tubuh akan bergegas mengolah lemak dan protein yang ada didalam

tubuh untuk diubah menjadi energi. Dalam sistem pembuangan urine,

penderita DM yang tidak terkendali bisa kehilangan sebanyak 500

gram glukosa dalam urine per 24 jam (setara dengan 2000 kalori

perhari hilang dari tubuh).

5) Gejala lain. gejala lain yang dapat timbul yang umumnya ditunjukkan

karena komplikasi adalah kaki kesemutan, gatal-gatal, atau luka yang

tidak kunjung sembuh, pada wanita kadang disertai gatal di daerah

selangkangan (pruritus vulva) dan pada pria ujung penis terasa sakit

(balanitis) (Husada, 2017).

6) kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum

7) rasa kebas di kulit,

8) kram,

9) kelelahan,

10) mudah mengantuk,

11) pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,

12) kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi,

13) pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam

kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg (Fatimah, 2015)

6. Faktor Resiko
22

1) Obesitas (Kegemukan)

Terdapat kolerasi bermakna antara obesitas dengan kadar

glukosa darah,pada derajat kegemukan dengan IMT>23 dapat

menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.

2) Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat

dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya

tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah ferifer.

3) Riwayat keluarga diabetes melitus

Seorang yang menderita diabetes melitus diduga mempunyai

gen diabetes.

4) Dislipedimia

Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak

darah (Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan

plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat

pada pasien Diabetes.

5) Umur

Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes

Mellitus adalah > 45 tahun.

6) Alkohol dan Rokok

Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan

peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan


23

ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan

ketidak aktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan

perubahan dari lingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan

yang meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan

rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan

menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita DM,

sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan

tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila

mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan

100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml (Fatimah, 2015)

7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

a. Diet

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir

sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan

yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah

makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-

70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan status gizi,

dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT)

atau Body Mass Index (BMI) merupupakan alat atau cara yang

sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang


24

berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk

mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:

IMT = Berat badan (kg)

Tinggi badan (m) X tinggi badan (m)

b. Exercise (latihan fisik/olahraga)

Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama

kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous,

Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance (CRIPE). Training sesuai

dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan

jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang

kurang gerak atau bermalasmalasan (Fatimah, 2015).

c. Pendidikan Kesehatan

Hal yang penting yang harus dilakukan pada pasien DM adallah

pendidikan kesehatan. Beberapa hal penting yang perlu disampaikan

pada pasien DM adallah :

1) Penyakit DM yang meliputi pengertian, tanda dan gejala,

penyebab, patofisiologi, dan tes diagnosis

2) Diet atau menagement diet pada pasien DM

3) Aktivitas sehari-hari termasuk latihan dan olahraga

4) Pencegahan terhadap komplikasi DM diantaranya penatalaksanaan

hipoglikemia, pencegahan terjadi gengren pada kaki dengan latihan

senam kaki

5) Pemberian obat-obat DM dan cara injeksi insulin


25

6) Cara monitoring dan pengukuran glukosa darah secara mandiri

(Tarwoto, 2012)

d. Obat

Oral hipoglikemik, insulin Jika pasien telah melakukan pengaturan

makan dan latihan fisik tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula

darah maka dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik. Obat-obat

anti diabetes melitus adallah :

1) Antidiabetik Oral

Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan

menormalkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih

khusus lagi dengan menghilangkan gejala,optimalisasi parameter

metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1

penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral

terutama ditujukan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan

sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan asupan

energi dan karbohidrat serta olah raga.

2) Insulin

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808

pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun

dalam dua rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfide,

terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk pasien

yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik

oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif

(Fatimah, 2015)
26

Beberapa cara pemberian insulin

a) Suntikan insulin subkutan

Insulin regular mencapai puncak kerjanya pada 1-4 jam,

sesudah suntikan subcutan, kecepatan arbsorbsi ditempat

suntikan tergantung pada beberapa faktor antara lain :

(1) Lokasi suntikan

Ada 3 lokasi suntikan yang di pakai yitu dinding

perut, lengan dan paha. Dalam memindahkan suntikan

(lokasi) janganlah dilakukan setiap hari tetapi lakukan

rotasi tempat suntikan setiap 14 hari,agar tidak memberi

perubahan kecepatan arbsorbsi setiap hari.

(2) Pengaruh latihan pada arbsorbsi insulin

Latihan akan mempercepat arbsorbsi apanila di

laksanakan dalam waktu 30 menit setelah suntikan insulin

karena itu pergerakan otot yang berarti, hendaklah

dilaksanakan 30 menit setelah suntikan.

(3) Pemijatan (massage)

Pemijatan juga akan mempercepat rearbsorbsi

insulin.

(4) Suhu

Suhu kulit tempat suntikan (termasuk mandi uap)

akan mempercepat rearbsorbsi insulin

(5) Dalamnya suntikan


27

Makin dalam suntikan makin cepat puncak kerja

insulin di capai. Ini berarti suntikan intramuskuler akan

lebih cepat efeknya dari pada subcutan.

(6) Konsentrasi insulin

Apabila konsentrasi insulin berkisar 40-100 U/ml,

tidak terdapat perbedaan absorbsi.

b) Suntikan intramuskular dan intravena

Suntikan intramuskular dapat diguanakan pada koma

diabetik atau pada kasus-kasus dengan degradasi tempat

suntikan subkutan. Sedangkan suntikan intravena dosis rendah

digunakan untuk terapi koma diabetik

(Rendy & Margareth,2012).

8. Komplikasi

1) Komplikasi akut (mendadak)

a) Hiperglikemia yaitu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah

dibawah nilai normal. Gejala hipoglikemia ditandai dengan

munculnya rasa lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-

debar, pusing, gelisah, dan penderita bisa menjadi koma (Maulana,

2015)

b) Ketoasidosis diabetik – koma diabetik yang diartikan sebagai

keadaan tubuh yang sangat kekurangan insulin dan bersifat

mendadak akibat infeksi, lupa suntik insulin, pola makan yang

telalu bebas atau stress.


28

c) Koma hiperosmoler non ketorik yang diakibatkan adanya dehidrasi

berat, hipotensi, dan shock. Karena itu, koma hiperosmoler non

kerotik diartikan sebagai keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak

yang menyebabkan penderita menunjukan pernafasan yang cepat

dan dalam (kusmaul).

d) Koma lakto asidosis yang diartikan sebagai keadaan tubuh dengan

asam laktat yang tidak dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibatnya,

kadar asam laktat dalam darah meningkat dan seseorang bisa

mengalami koma (Maulana, 2015)

2) Komplikasi kronis

1. Mikroangiopati (kerusakan pada saraf-saraf ferifer) pada organ-

organ yang mempunyai pembuluh darah kecil seperti pada :

a) Retinopati diabetika

b) Neuropati diabetikaRetinopati adalah kelainan yang mengenai

pembuluh darah halus retina.Retina terdapat di dalam bola mata

sebelah belakang dan kerjanya adalah menembus cahaya yang

datang dari luar setelah menembus lensa. Jika terjadi kerusakan

pada pembuluh darah retina, maka fungsi retina akan terganggu

sehingga terjadilah gangguan penglihatan (Kurniadi, 2014)

c) Nefropati diabetika Salah satu akibat utama dari perubahan

mikrovaskuler adalah perubahan pada struktural dan fungsi ginjal.

Bila kadar glukosa dalam darah meningkat, maka mekanisme

filtrasi ginjal akan mengalami stres yang menyebabkan kebocoran

protein darah dalam urin (Widyanto & Triwibowo, 2013)


29

2. Makroangiopati

a) Kelainan pada jantung dan pembuluh darah seperti miokard infark

maupun gangguan fungsi jantung karema arteriskelosis.

b) Penyakit vaskuler perifer.

c) Gangguan sistem pembuluh darah otak atau stroke.

3. Gengren diabetika

Karena adanya neuropati dan terjadi luka yang tidak sembuh-

sembuh.

4. Disfungsi erektil diabetika.

Angka kematian dan kesakitan dari diabetes terjadi akibat

komplikasi seperti karena :

1. Hiperglikemia atau hipoglikemia

2. Meningkatnya resiko infeksi

3. Komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati

4. Komplikasi neurofatik

5. Komplikasi makrovaskuler seperti penyakit jantung koroner,

dan stroke ( Rendy & Margareth 2012)

9. Pencegahan

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditunjukan kepada

orang-orang yang beresiko tinggi, yaitu orang-orang yaitu orang-orang

yang belum terkena diabetes melitus, namun berpotensi terkena.


30

Untuk melakukan pencegahan secara primer, sangat perlu mengetahui

terlebih dahulu faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya

penyakit ini, serta upaya yang dilakukan untuk menghilangkan faktor-

faktor tersebut. Dengan demikian edukasi berperan penting dalam

pencegahan secara primer.

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder merupakan suatu upaya pencegahan

untuk menghambat timbulnya penyakitdengan deteksi dini dan

memberikan pengobatan sejak awal. Deteksi dini dapat dilakukan

dengan pemeriksaan penunjang. Hanya saja, pemeriksaan tersebut

membutuhkan biaya yang cukup besar. Pengobatan penyakit sejak

awal harus segera dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya

penyakit menahun. Edukasi mengenai diabetes melitus dan

pengolahanya akan mempengaruhi peningkatan kepatuhan pasien

untuk berobat.

c. Pencegahan tersier

Selain itu, pencegahan diabetes melitus adallah :

1) Sering melakukan aktivitas fisik

Ada banyak menfaat melakukan olahraga secara teratur.

Latihan olahraga daoat membantu meningkatkan sensitivitas tubuh

terhadap insulin yang membantu menjaga kadar gula darah dalam

kisara normal.
31

2) Mengkomsumsi makanan yang berserat

Makanan yang berserat tidak hanya mengurangi resiko

diabetes dengan mengontrol gula darah, namun juga menurunkan

resiko terkena penyakit jantung serta menjaga berat badan ideal.

Adapun yang termasuk makanan tinggi serat adallah buah-buahan,

sayu-sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian dan umbi-umbian.

3) Menurunkan berat badan

Sekitar 80% dari penderita diabetes berawal dari

kegemukn dan kelebihan berat badan (obesitas) (Rendi &

Margareth 2012)

B. Konsep Self care

1. Defenisi Self Care

Dorothea Orem (1971) mengembangkan defenisi keperawastan

yang menekankan pada kebutuhan klien tentang perawatan diri sendiri.

Orem menggambarkan filosofi tentang keperawatan dengan cara

seperti berikut :

Keperawatan memiliki perhatian tertentu pada kebutuhan manusia

terhadap tindakan perawatan dirinya sendiri dan kondisi serta

menatalaksanakannya secara terus menerus dalam upaya

mempertahankan kehidupan dan kesehatan, penyembuhan dari

penyakit atau cidera dan mengatasi bahaya yang

ditimbulkannya.perawatan diri sendiri dibutuhkan oleh setiap manusia,

baik laki-laski, perempuan, maupun anak-ana. Ketika perawatan diri

tidak dapat dipertahankan, akan tejadi kesakitan dan kematin.


32

Keperawatan kadang-kadang berupaya mengatur dan mempertahankan

kebutuhan perawatan diri secara terus-menerus bagi mereka yang

secara total tidak mampu melakukannya. Dalam situasi lain, perawat

membantu klien untuk mempertahankan kebutuhan perawatan diri

dengan melakukannya sebagian tetapi tidak seluruh prosedur, melalui

pengawasan pada orang yang membantu klien dan dengan memberikan

instruksi dan pengarahan secara individual sehingga secara bertahap

klien mampu melakukannya sendiri.

Self care menurut Orem adalah suatu pelaksana kegiatan yang di

prakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi

kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan

kesejahteraanya sesuai keadaan naik sehat, maupun sakit (Tomey &

Alligood, 2006).

Orem mendefenisikan self care sebagai aktivitas yang dilakukan

oleh seseorang dimana individu memulai dan melakukan suatu

tindakan berdasarkan keinginannya dengan tujuan untuk

mempertahankan hidup dan kesehatan serta kesejahteraan (Weiler &

Janice, 2007 ; kusniawati, 2011). Self care merupakan tindakan yang

dilakukan secara mandiri oleh seseorang untuk mencapai tujuan

tertentu (Kusniawati, 2011). Orem mengembangkan teori Self Care

Deficit meliputi 3 teori yang saling berkaitan yaitu sebagai berikut :

(Muhlisin, 2010)

a) Teori perawatan diri (self care theory)


33

Menggambarkan dan menjelaskan tujuan dan cara individu

melakukan perawatan dirinya. Self Care adalah performance atau

praktek kegiatan individu untuk berinisiatif dan membentuk

perilaku mereka dalam memelihara kehidupan kesehatan dan

kesejahteraan jika self care dibentuk dengan efektif maka hal

tersebut akan membantu membentuk integritas stuktur dan fungsi

manusia dan erat kaitannya dengan perkembangan manusia.

b) Teori deficit perawatan diri (deficit self care theory)

Menggambarkan dan menjelaskan keadaan individu yang

membutuhkan bantuan dalam melakukan perawatan diri, salah

satunya adalah dari keperawatan.

c) Teori system keperawatan (nursing system theory)

Menggambarkan dan menjelaskan hubungan interpersonal

yang harus dilakukan dan dipertahankan oleh seorang perawat agar

dapat melakukan sesuatu secara produktif.

Jadi tujuan dari teori Orem adallah membantu klien melakukan

perawatan sendiri. Menurut Orem, asuhan keperawatan diperlukan

ketika klien tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis,

psikologis, perkembangan dan sosial. Perawat menilai mengapa

klien tidak mamspu memenuhi kebutuhan tersebut, apa yang harus

dilakukan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam memenuhi

kebutuhannya dan menilai seberapa jauh klien mampu

memenuhinya sendiri. Tujuan dari keperawatan adallah untuk


34

meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhannya secara

mandiri (Hartweg, 1995).

2. Pengertian Self Care Diabetes

Beberapa sumber menjelaskan bahwa dalam aplikasi di kilnik self

care diabetes diartikan sama dengan self management pada klien DM.

Self care diabetes merupakan program atau tindakan yang harus

dijalankan sepanjang kehidupan klien dan menjadi bertanggung jawab

penuh bagi setiap klien diabetes ( Bai et al, 2009). Self care diabetes

adallah tindakan yang dilakukan perorangan untuk mengontrol

diabetes yang meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan

komplikasi (Sigurdardottir, 2005 ; Medical dictionary, 2009).

Berdasarkan uraian pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa self

care adallah tindakan mandiri yang dilakukan oleh klien diabetes

dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk mengontrol gula

darah yang meliputi aktivitas pengaturan pola makan (diet), latihan

fisik (olahraga), pemantauan kadar gula darah, minum obat dan

peawatan kaki.

3. Keyakinan dan Nilai-Nilai

Keyakinan orem’s tentang empat konsep utama keperawatan

a. Klien : individu atau kelompok yang tidak mampu secara terus

menerus mempertahankan self care untuk hidup dan sehat, pemulihan

dari sakit/ trauma atau coping dan efeknya


35

b. Sehat : kemampuan individu atau kelompok memenuhi tuntutan self

care yang berperan untuk mempertahankan dan meningkatkan

integritas struktural fungsi dan perkembangan.

c. Lingkungan : tatanan dimana klien tidak dapat memenuhi kebutuhan

keperluan self care dan perawat masuk di dalamya tetapi tidak

spesifik.

d. Keperawatan : pelayanan yang dengan sengaja dipilih atau kegiatan

dilakukan untuk membantu individu, keluarga dan kelompok

masyarakat dalam mempertahankan self care yang macangkup

integritas struktural, fungsi dan perkembangan.

4. Aplikasi Teori Self care Orem’s

Pemahaman tentang konsep self care menurut Dorethea Orem

adallah tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki kemampuan

untuk dikembangkan ataupun mengembangkan kemampuan yang dimiliki

agar dapat digunakan secara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal

( Orem dalam Tomey & Alligood , 2006)

Self care requisites merupakan bagian dari teori self care Orem

yang didefenisikan sebagai tindakan yang ditunjukan apada upaya

perawatan diri yang bersifat universal dan berhubungan dengan proses

kehidupan manusia serta dalam upaya untuk mempertahankan fungsi

tubuh. Orem mengembangkan self care requites (kebutuhan yang

berhubungan perkembangan individu) dan healt deviation requites

(kebutuhan yang timbul sebagai akibat dari kondisi yang dialami pasien).

Universal self care requites merupakan bagian utama dalam kehidupan


36

yang dijalani setiap individu. Aktivitas yang dilakukan terkait universal

self care requites ditujukan untuk memilihara ecukupan akan udara, air

dan makanan yang berguna untuk metabolisme dan menghasilkan energi

( Orem dalam Tomey & Alligood , 2006)

Self care requites terdiri dari tiga kategori :

a. Universal self-care requisites aspek universal ini berhubungan dengan

proses hidup atau kebutuhan dasar manusai, yaitu :

1) Pemelihaan kebutuhan udara / oksigen

2) Pemeliharaan kebutuhan air

3) Pemeliharaan kebutuhan makanan

4) Perawatan proses elminasi dan eksresi

5) Pemeliharaan keseimbangan aktivitas dan istirahat

6) Pemeliharaan keseimbangan privasi dan interaksi sosial

7) Pencegahan resiko yang mengancam kehidupan, kesehatan dan

kesejahteraan

8) Peningkatan kesehatan dan pengembangan potensi dalam

hubungan sosial

b. Developmental self care requistes

Berbeda dengan universal self care requistes, developmental

self care reqistes terbentuk oleh adanya :

1) Pembengkalan kondisi yang meningkatkan pengembangan

2) Keterlibatan dalam pengembangan diri

3) Pengembangan pencegahan dari efek yang mengancam kehidupan


37

4) Pengembangan aspek perawatan diri berhubungan dengan pola

hidup individu yang di pengaruhi oleh lingkungan tempat

tinggalnya.

c. Healt deveation self care

Perawatan diri berkaitan dengan penyimpangan kesehatan.

Timbulnya akibat adanya gangguan kesehatan dan penyakit. Hal ini

menyebabkan perubahan kemampuan individu dalam proses perawatan

diri.

5. Perilaku self care pada Pasien Diabetes Melitus

Perilaku self care pada penderita diabetes mellitus type 2 adalah

suatu kemampuan pasien dalam melakukan perawatan pada dirinya

dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya serta dapat

mempertahankan kesehatannya yang dipengaruhi oleh bebagai faktor

(Sari, 2013). Self care pada dibetes mellitus merupakan program yang

harus dijalankan penderita diabetes mellitus sesuai dengan penatalaksann

penyakitnya yang bertujuan untuk mengontrol metabolik, mengoptimalkan

kualitashidup, serta mencegah komplikasi akut dan kronis (Putri, 2016)

Self care DM merupakan tindakan mandiri yang harus dilakukan

oleh penderita DM dalam kehidupannya sehari-hari. Tujuan melakukan

tindakan self care untuk mengontrol glukosa darah. Tindakan yang dapat

mengontrol glukosa darah, meliputi pengaturan pola makan (diet), latihan

fidik (olahraga), perawatan kaki, penggunaan obat diabetes, dan

monitoring gula darah (Putri, 2016)

a) Manajemen Diet
38

Control diet, nutrisi dan berat badan merupakan dasar dalam

penangana diabetes mellitus (Rendy & Margareth, 2012). Tujuan

utama dalam penataksanaan diet pasien diabetes antara lain adalah

untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid

mendekati normal, mencapai dan mempertahankan berat badan dalam

batas normal ± 105 dari berat badan ideal, mencegah terjadinya

komplikasi akut dan kronik, serta meningkatkan kualitas hidup

penderita ( Suyono, 2009).

Diet penderita diabetes ditujukan untuk mengatur jumlah kalori

dan karbohidrat yang dimakan setiap hari, jumlah kalori yang

dianjurkan tergantung sekali pada kebutuhan untuk mempertahankan,

mengurangi, atau menambah berat badan (Guyton & Hall, 2006).

Bagi pasien yang memerlukan insulin untuk membantu

mengendalikan kadar, upaya mempertahankan konsistensi jumlah

kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi pada jam-jam makan yang

berbeda merupakan hal penting. Konsistensi interval waktu diantara

jam makan dengan mengkonsumsi camilan, akan membantu mencegah

reaksi hipoglikemia dan pengendalian keseluruhan kadar glukosa

darah. Dalam melaksanakan diet penderita harus memperhatikan

beberapa hal yaitu jumlah kalori yang dibutukan, jadwal makan yang

harus diikuti, jenis makanan .

b) Latihan fisik

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena

efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor


39

resiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah

dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan

memperbaiki pemakain insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga

diperbaiki dengan berolah raga.

Sebuah program aktivitas fisik terencana adalah bagian penting

dalam rencana asuhan pada klien dengan diabetes mellitus. Aktivitas

fisikmenurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan

metabolisme karbohidrat, membantu menjaga dan menurunkan berat

badan,meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan kadar high-

density lipoprotein (HDL), menurunkan kadar trigliserid,meurunkan

tekanan darah, serta mengurangi stress dan tekanan darah (Black &

Hawks. 2014).

c) Pemantauan glukosa darah

Kunci dalam manejemen diabetes mellitus adalah menjaga

kadar glukosa darah sedekat mungkin dengan batsan normalnya.

Pemantauan kadar glukosa darah sendiri (PGDS) direkomendasikan

untuk semua pasien diabetes mellitus tanpa memperhatikan tipenya

apakah diabetes mellitus tipe 1 atau tipe II. (Black & Hawks. 2014).

Monitoring kadar glukosa darah merupakan sebuah cara yang dapat

dilakukan untuk menentukan bagaimana kadar glukosa dalam darah,

sehingga dapat dideteksi dan dicegah keadaan glukosa darah yang

abnormal (hipoglikemi dan hiperglikemi), hal ini dapat menurunkan

resiko terjadinya komplikasi kronik diabetes (Soewondo, 2004).

d) Terapi atau pengobatan


40

Menurut Black & Hawks (2014) intervensi farmakologi

seharusnya dipertimbangkan ketika pasien tidak dapat mencapai kadar

glukosa adarah normal melalui terapi diet dan olahraga. Pengobatan

bagi pasien DM terbagi menjadi 2, yaitu:

1) Obat-obat antidiabetes oral

Agens anti diabetes oral mungkin berkhasiat bagi pasien

dm tipe 2 yg tidak dapat diatasi hanya dengan diet dan latihan

meskipun demikian namun obat ini tidak dapat digunakan untuk

kehamilan ( Smeltzer dkk 2010)

2) Terapi insulin

Pada diabetes tipe 1 tubuh kehilangann kemampuan untuk

memproduksi insulin.dengan demikian insulin eksogenus harus

diberikan dalam jumlah yang tak terbats.pada DM tipe II insulin

diberikan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan

kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemi oral tidak

behasil mengontrolnya.

e) Perawatan kaki

Perawatan kaki merupakan aktivitas penting yang harus

dilakukan penderita DM untuk merawat kaki yang bertujuan

mengurangi resiko ulkus kaki. Hal-hal yang perlu di perhatikan saat

perawatan kaki adalah penderita DM harus memeriksa kondisi kaki

setiap hari, mencucui kaki dengan bersih dan mengeringkannya

menggunakan lap, memeriksa dan memotong kuku kaki secara rutin,


41

memilih alas kaki yang nyaman, serta mengecek bagian sepatu yang

akan digunakan.(Putri, 2016).

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Care Diabetes

Beberapa faktor yang mempengaruhi klien dengan diabetes yaitu :

a. Usia

Beberapa hasil penelitian menjelaskan hubungan antara usia

dengan self care diabetes mellitus. Usia mempunyai hubungan yang

positif terhadap self care diabetes. Semakin meningkat usia maka akan

terjadi peningkatan dalam aktivitas self care diabetes. Peningkatan usia

menyebabkan terjadinya peningkatan kedewasaan / kematangan

seseorang sehingga klien dapat berfikir secara rasional tentang manfaat

yang akan dicapai jika klien melakukan aktivitas self care diabetes

secara adekuat dalam kehidupannya sehari-hari ( Sousa et al,2005 ).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin memberikan kontribusi yang nyata terhadap self

care diabetes. Dijelaskan bahwa klien dengan jenis kelamin perempuan

menjunjukan perilaku self carediabetes lebih baik dibandingksn dengan

klien yang berjenis kelamin laki-laki. Aktivitas self care diabetes harus

dilaksanakan oleh klien diabetes baik laki-laki maupun perempuan.

Hanya saja pada kenyataannya perempuan tampak lebih peduli terhadap

kesehatanya sehingga ia berupaya secara optimal untuk melakukan

perawatan mandiri terhadap penyakit yang dialaminya (Sousa et al,

2005)

c. Sosial Ekonomi
42

Sosial ekonomi berpengaruh terhadap terhadap self care

diabetes. Adapun hubungan yang dapat dilihat adalah hubungan yang

bersifat positif dimana pada klien dengan status sosial ekonomi yang

tinggi maka perilaku self care diabetesnya akan meningkat (bai et al,

2007). Diabetes mellitus meupakan penyakit kronik yang membutuhkan

biaya yang cukup mahal dalam perawatannya.jika status ekonomi klien

kurang memadai akan menyebabkan klien mengalami kesulitan untuk

melakukan kunjungan ke pusat pelayanan kesehatan secara teratur,

sehingga sulit untuk memantau bagaimana perkembangan status

kesehatan klien dan klien akan mengalami kecendrungan terjadinya

resiko komplikasi diabetes ( Nwanko et al, 2010)

d. Lama Menderita DM

Lamanya menderita DM berpengaruh terhadap self care

diabetes. Adapun hubungan yang terjadi antara keduanya adallah

hubungan yang bersifat positif. klien yang memiliki durasi DM lebih

lama memilki skor self care diabetes yang lebih tinggi dibandingkan

dengan klien yang memiliki durasi DM lebih pendek ( Bai et al, 2009).

e. Aspek Emosional

Aspek emosional diketahui mempunyai hubungan yang

signifikan terhadap perilaku self care diabetes. Masalah emosional yang

biasanya dialami oleh klien diabetes yaitu stress,sedih, rasa khawatir

atau masa depan, memikirkan komplikasi jangka panjang yang akan

mungkin muncul, perasaan takut hidup dengan diabetes, marasa tidak

semangat dengan program pengobatan yang harus dijalani, khawatir


43

terhadap perubahan kadar gula darah dan bosan dengan perawatan rutin

yang harus dijalani ( Sigurdardotir, 2005).

Aspek emosional yang dialami oleh klien DM tipe 2 akan

memengaruhi perilakunya dalam melakukan self care diabetes. Klien

yang menerima dan memahami segala kondisi yang terjadi akibat

penyakitnya maka akan memudahkan klien untuk melakukan perawatan

mandiri yang harus dijalankan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh

karena itu, untuk menentukan keberhasilan program perawatan bagi

klien Dm tipe 2 diperlukan tingkat penyesuaian emosional yang tinggi

sehingga klien mampu beradaptasi dengan kondisi penyakitnya dan

menerima konsekuensi perawatan yang harus dijalankan.

f. Motivasi

Motivasi merupakan faktor yang paling penting bagi klien DM

tipe 2 karena motivasi yang ada pada diri klien DM tipe 2 akan mampu

memberikan dorongan yang kuat bagi klien DM tipe 2 untuk

melakukan self care diabetes. Sehingga akan tercapai pengontrolan gula

darah secara optimal dan meminimalkan terjadinya komplikasi akibat

diabetes. Shigaki et al (2010) menjelaskan bahwa mptivasi

dirimerupakan faktor yang signifikan mempengaruhi klien DM tipe 2

dalam melakukan self care diabetes terutama dalam hal

mempertahankan diet dan monitor gula darah. Klien DM tipe 2 yang

memiliki motivasi baik akan melakukan tindakan self care diabetes

dengan baik pula untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu


44

pengontrolan gula darah sehingga akhirnya komplikasi DM dapat di

minimalkan.

g. Keyakinan terhadap efektifitas penatalaksanaan diabetes

Keyakinan terhadap efektifitas penatalaksaan diabetes

merupakan pemahaman klien tentang pentingnya self care diabetes

dalam pengelolaan klien DM tipe 2. Pemahaman tersebut akan

merefleksikan keyakinan pada diri klien sejauh mana tindakan –

tindakan self care diabetes tersebutdapat membantu klien dalam

mengontrol gula darah.

h. Komunikasi tugas kesehatan

Klien DM tipe 2 memiliki peran utama dalam mencapai tujuan

perawatan mandiri yang akan di capai. Tenaga kesehatan mempunyai

kontribusi yang penting dalam meningkatkan kemandirian klien

tersebut dengan cara memberikan informasi (edukasi) yang dibutuhkan

oleh klien ( Sigurdardotir, 2005).

Jika ditinjau dari segi perilaku, self care pada pasien diabetes

mellitus merupakan suatu bentuk perilaku kesehatan, yaitu suatu perilaku

yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan demi pencegahan

komplikasi dari diabetes yang dialami, karena perilaku kesehatan

merupakan suatu respons seseorang terhadap rangsangan atau objek-objek

yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang

mempengaruhi sehat-sakit adalah merupakan suatu perilaku kesehatan(

healthy behavior ). Ringkasnya perilaku kesehatan itu adalah semua

aktivitas seseorang yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan


45

kesehatan baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat

diamati( unobservable). Pemeliharaan kesehatan ini meliputi pencegahan

dan perlindungan diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain,

meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit.

Menurut Notoatmodjo (2012),

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang menurut

teori Lawrence Green (1980), Snehandu B. Kar (1983), dan WHO (1984)

dalam Notoatmodjo (2012, p.194) adalah:

1) Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai atau sosial

budaya, persepsi dan sebagainya

2) Faktor Pemungkin (Enabling Factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan, pekerjaan, lingkungan geografis dan

sebagainya

3) Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat seperti tokoh agama,

tokoh masyarakat dan lain sebagainya.

Selanjutnya Notoatmodjo (2012,p.192) menambahkan bahwa

determinan perilaku manusia dapat digambarkan dalam bagan determinan

perilaku manusia, yaitu :

Pengalaman Pengetahuan
Keyakinan Persepsi
Lingkungan Sikap Perilaku
Sosio-Budaya Keinginan
Kehendak
Motivasi
Niat
46

Gambar 2.1
Determinan Perilaku Manusia

C. Konsep pengetahuan

1. Defenisi Pengetahuan

Notoatjomo (2007) mendefenisikan pengetahuan tentang kesehatan

adallah segala sesuatu yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara

memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang cara-cara memelihara

kesehatan adallah :

a. Pengetahuan tentang penyakit menular dan tidak menular (jenis

penyakit,gejala-gejala penyakit, penyebab penyakit, cara penularan dan

pencegahan penyakit )

b. Pengetahuan tentang faktor-faktor mempengaruhi kesehatan antara lain

: gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan limbah, sampah,

perumahan sehat, polusi udara dan sebagainya.

c. Pengetahuan tentang fasilitas kesehatan yang profesional maupun

tradisional.

d. Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan baik kecelakaan rumah

tangga, kecelakaan lalu lintas, dan tempat-tempat umum.

2. Tingkat Pengetahuan
47

Tingkat pengetahuan menurut notoatmodjo (2007) yang tercakup

dalam domain kognitif mempunyai empat tingkatan :

a. Tahu (know)

b. Memahami ( comprehension )

c. Aplikasi (aplikation)

d. Analisis (analysis)

e. Sintesis ( syntesis)

f. Evaluasi (evaluation)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu :

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti terjadi

proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih

dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, keluarga dan

masyarakat. Tingkat pedidikan turut menentukan mudah tidaknya

seorang menyerap dan memehami pengetahuan yang mereka peroleh.

b. Persepsi

Persepsi yaitu mengenal dan memilih objek sehubungan

dengan tindakan yang diambil.

c. Motivasi

Motivasi merupakan suatu dorongan, keinginan dan tenaga

penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan

sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal yang dianggap kurang


48

bermanfaat. Agar motivasi muncul diperlukan rangsangan dari dalam

dan dari luar individu.

d. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pengalaman adallah

sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan ) juga merupakan

kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indra manusia.

e. Informasi

Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan

seseorang. meskipun seseorang memliki pendidikan yang rendah tetapi

jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya

tv, radio,atau surat kabar maka hal itu dapay meningkatkan

pengetahuan sesorang.

4. Sumber-Sumber Pengetahuan

a. Kepercayaan berdasarkan tradisi,adat istiadat dan agama

Adalah nilai-nilai berupa warisan nenek moyang. Sumber ini

biasanya berbentuk norma-norma dan kaidah-kaidah baku yang

berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam norma dan kaidah itu

terkandung pengetahuan yang kebenaranya boleh jadi tidak dapat

dibuktikan secara rasional dan empiris,tetapi sulit dikritik untuk

diubah begitu saja. Jadi, harus diikuti dengn tanpa keraguan, dengan

percaya secara bulat. Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan

cendrung bersifat tetap (permanen) tetapi subjektif.

b. Otoritas kesaksian orang lain


49

Sumber pengetahuan ini dari pihak-pihak pemegang otoritas

kebenaran penegahuan yang dapat dipercayai adallah orangtua, guru,

ulama, orang yang dituakan. Apapun mereka katakan benar atau salah,

baik atau buruk, dan indah atau jelek. Pada umumnya diikuti

dijalankan dengan patuh tanpa kritik.

c. Pancaindera ( pengalaman )

d. Akal pikiran (Mubarak Iqbal, 2011)

D. Kerangka teori
50

Diabetes mellitus

Faktor Predisposisi
Pengetahuan
Sikap Komplikasi DM
Kepercayaan
Keyakinan
Persepsi
Pengalaman
Nilai-nilai
Sosial budaya
Sosial Ekonomi

Faktor Pemungkin
Self care
Sarana prasarana
Pekerjaan
Lingkungan fisik/ geografis

Faktor Pendorong Manajemen diet


Sikap dan perilaku petugas Latihan fisik
kesehatan serta dukungan Pemantauan Glukosa Darah
dari kelompok referensi Terapi Obat
perilaku masyarakat Parawatan Kaki

Bagan 2.1 : Kerangka teori

Sumber : Rendy & Margareth (2012), Black & Hawks (2014),


Notoatmodjo (2012)

BAB III
KERANGKA KONSEP
51

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini adalah Untuk mengetahui

hubungan pengetahuan dengan self care pada pasien diabetes mellitus tipe II

di Poli Penyakit Dalam di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.Untuk

lebih jelasnya peneliti mengembangkan kerangka konsep sebagai berikut:

Bagan 3.1 : Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan

Self-care pada penderita DM tipe II


Manajemen Diet.
Latihan fisik.
Pemantauan glukosa darah.
Terapi obat.
Perawatan kaki.

B. Defenisi Operasional
51
52

Tabel 3.1 Defenisi Operasional

Definisi Hasil Skala


No Variabel Cara Ukur Alat Ukur
Operasional Ukur Ukur
1 Independen:
Pengetahuan Keyakinan diri Wawancara DKQ-24 0-42 Rasio
pasien tipe 2 terpimpin (diabetes
terhadap knowledge
pengetahuannya quesioner )
dalam melakukan
perawatan diri
2 Dependen:
Self care Self care adallah Wawancara Summary 0-78 rasio
perawatan diri terpimpin Diabetes self
yang terdiri dari care aktivites
latihan fisik, diet, (SDSCA)
monitoring gula
darah,
pengobatan dan
perawatan kaki

C. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan pengetahuan dengan self care pada pasien diabetes

mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam di RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi 2018.

BAB IV
METODE PENELITIAN
53

A. Desain Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain korelasi. untuk

mengetahui hubungan antara pengetahuandan perilaku self care pada

penderita diabetes mellitus tipe 2 di poli penyakit dalam RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi 2018, Metode pendekatan yang digunakan adalah cross-

sectional, dimana variabel independen (pengetahuan) dan variabel dependen

(Self Care) yang diteliti sekaligus dalam waktu bersamaan (Notoatmodjo,

2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di ruangan penyakit dalam RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi pada bulan November -Desember 2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti

(Notoadmodjo, 2017). Populasi dalam penelitian ini adalah para penderita

diabetes mellitus tipe 2 di poli penyakit dalam RSUD Dr. achmad

Mochtar Bukittinggi yaitu sebanyak 435 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi.

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus Slovin

(Nursalam, 2013)sebagai berikut:

n= N 53
54

Nd2+1

Keterangan :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

d2 = presisi (tingkat kesalahan dalam pengambilan sampel) yang

di tetapkan 10 %.

Berdasarkan jumlah populasi maka jumlah sampel yang

didapatkan adalah sebagai berikut :

n= 435

435 (0.1)2 + 1

= 81.30 dibulatkan menjadi (81 orang)

Kriteria sampel dalam penelitian dibedakan menjadi dua macam

yaitu sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi merupakan karakteristik yang ditetapkan untuk

mewakili subjek penelitian.

1) Bersedia menjadi responden

2) Penderita diabetes mellitus tipe 2

3) Mampu berkomunikasi verbal dengan baik

4) Mampu baca tulis

5) Sedang menjalani rawat jalan di poliklinik penyakit dalam RSUD

dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

b. Kriteria eksklusi merupakan karakteristik yang mengeluarkan subjek

dari penelitian.
55

1) Penderita diabetes mellitus tipe 2 yang mengalami gangguan

mental dan fungsi kognitif

3. Teknik Sampling

Tekhnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik

accidental sampling yaitu pengambilan sampel secara aksidental

(accidental) dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada

atau yang tersedia disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian

(Notoatmodjo, 2010).

D. Instrumen Penelitian

Instrument penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2017). Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan alat pengumpulan data berupa kuesioner yang diperolah

berdasarkan penelitian dari peneliti sebelumnya. Kuesioner yang di gunakan

dalam penelitian ini adalah :

1. Kuesioner Pengetahuan

Kuesioner DKQ 24 ( Diabetes Knowledge Quesioner ) merupakan

kuesioner tentang pengetahuan pasien diabetes. Kuesioner DKQ-24

dirancang dan validasi pada populasi di Meksiko Amerika di Star Country

Texas, dan telah diterjemahkan dan diuji validitas serta realibilitasnya

pada penderita diabetes melitus tipe 2 di di Yogjakarta oleh Agrimon

(2014). Masyarakat Yogyakarta memliki status sosial ekonomi yang mirip

dengan populasi di Star Country yang mempunyai karakteristik wilayah

dengan biaya hidup dan UMR yang rendah serta tingkat pendidikan yang
56

rendah (SD). Komponen instrument terdiri dari : penegtahuan diet

pertanyaan diet no 1,18,24 obat-obatan Dm pertanyaan nomor 13 latihan

fisik pasien DM pertanyaan no 10 pemantauan glukosa darah pertanyaan

nomor 5,8,9 dan perawatan kaki pertanyaan nomor 15,16,17,23. Jika

responden menjawab dengan benar maka diberi nilai 2, jika responden

menjawab salah diberi nilai 1 dan jika responden menjawab tidak tau maka

diberi nilai 0.

Koefisien Alpha Cronbach DKQ-24 versi original adalah 0,78.

Koefisien Alpha Cronbach versi Indonesia yang diuji di Yogyakarta

dengan sampel sebanyak 101 responden adalah 0,723. Maka DKQ-24

versi indonesia valid dan reliabel digunakan untuk populasi di Indonesia.

Maka peneliti menggunakan kuesioner ini tanpa melakukan uji validitas

dan reliablilitas lagi. Penggunaan kuesioner DKQ-24 ini sudah meminta

izin dari Agrimon ( Agrimon, 2014)

2. Kuesioer Self Care

Instrument yang digunakan untuk menilai self care pada penderita

diabetes mellitus type 2 adalah kuesioner Summary of Diabetes Self-Care

Activities Measure (SDSCA) yang dibuat Toolbert, Hampson, Glasgow

(2000). Kuesioner ini terdiri dari 11 item pertanyaan terkait dengan

aktivitas self care diabetes padsa klien DM tipe 2 yang meliputi:

pengaturan diet (4 item), latihan fisik (2 item), mengontrol kadar glukosa

darah (2 item),perawatan kaki (2 item), dan mengikutiprogram pengobatan

(1 item).
57

Penilaiannya dengan menggunakan skor yang dimulai dari 0-7

tergantung berapa hari pasien melakukan perawatan diri dalam seminggu.

Penilaian pada pertanyaan positif yaitu 0=0, 1=1, 2=2, 3=3, 4=4, 5=5, 6=6,

7=7 sedangkan pada pernyataan negative berlaku sebaliknya. Total

skornya yaitu 0 – 78, dengan penilaian semakin tinggi skornya semakin

bagus self carenya.

Validitas kuesioner SDSCA sebelumnya telah diuji oleh Sari

(2018) pada 30 orang pasien DM tipe 2 yang sedang rawat inap di RSUP

M. Djamil Padang 2018 menggunakan uji korelasi Pearson Product

Moment di dapatkan nilai r : 0,5 (p<0,05) sedangkan Reabilitas

menggunakan uji Alpha didapatkan nilai cronbach α : 0,86>0,60 (p<0,05)

sehingga dapat disimpulkan bahwa instrument SDSCA telah valid dan

reliebel. (Sari, 2018)

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah kuesioner. Responden diarahkan untuk menjawab pertanyaan yang

ada di kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan oleh responden.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan

data sekunder, yaitu :

1) Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan

pembagian kuesioner.
58

2) Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari RSUD dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi.

Langkah-langkah pengumpulan data dengan kuesioner mengikuti prosedur

dibawah ini :

1) Peneliti pergi ke RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi melihat data

tentang pasien diabetes mellitus tipe 2 yang menjalani rawat jalan di

poliklinik penyakit dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.

2) Sebelum pengisian kuesioner peneliti menjelaskan mengenai identitas

peneliti dan tujuan penelitian.

3) Responden yang sesuai dengan kriteria inklusi menandatangani

informed consent yang telah disetujui.

4) Responden mengisi kuesioner yang diberikan peneliti.

5) Setelah diisi responden kuesioner diambil kembali oleh peneliti.

E. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan bantuan

komputer, dengan langkah-langkah (Notoatmodjo, 2010, p.176).

a. Editing (Pengeditan Data)

Secara umum editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan

dan perbaikan isian formulir atau kuesioner yang telah diisi oleh

responden. Adapun yang dilakukan pada tahap editing adalah:

1) Apakah semua pertanyaan atau pernyataan telah terisi secara lengkap.

2) Apakah tulisannya cukup jelas terbaca.

3) Apakah jawaban yang ditulis relevan dengan pertanyaan yang

diberikan.
59

4) Apakah jawaban responden konsisten antar pertanyaan.

b. Coding (Pemberian Kode Data)

Coding yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan.Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan

pemberian tanda, simbol, kode bagi tiap-tiap data.Kegunaan dari coding

adalah untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat

pada saat mengentri data.

c. Processing(Memasukkan Data)

Setelah proses pengkodean selesai kemudian peneliti memasukkan

data kedalam table dan diolah secara komputerisasi.

d. Cleaning (Pembersihan Data)

Melakukan pengecekkan kembali data yang sudah dientry apakah

ada kesalahan atau tidak. Peneliti akan memeriksa data yang benar-benar

dibutuhkan oleh peneliti dan menghapus data-data yang tidak dibutuhkan

pada setiap variabel. data-data yang didapatkan oleh peneliti tidak ada

yang dibuang atau dihapus. Semua data yang didapatkan oleh peneliti

merupakan data yang akan digunakan dan diolah untuk dianalisa.

F. Teknik Analisis Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau medeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (Notoadmodjo, 2010). Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan rata-rata dari setiap


60

variabel, adapun variabel yang diteliti adalah variabel pengetahuandan

variabel self care.

2. Analisa Bivarat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan

yang signifikan antara 2 variabel (Donsu, 2017). Analisis bivariat

dilakukan untuk membuktikan hipotesa penelitian yaitu adahubungan

antara pengetahuandengan self care pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di

Poli Penyakit Dalam RSUD DR. Achmad Mochtar Bukittinggi.

Analisa bivariat dilakukan dengan teknik komputerisasi, yakni

menggunakan uji pearson product moment. Uji pearson product

momentdigunakan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan dalam dua

variabel independen dan variabel dependen (Donsu, 2017)

a. Kekuatan korelasi (r) :

0,0 sd < 0,2 sangat lemah, 0,2 sd < 0,4 lemah, 0,4 sd < 0,6 sedang, 0,6

sd < 0,8 kuat, dan 0,8 sd < 1 sangat kuat.

b. Nilai p :

Jika p < 0,05 berarti terdapat hubungan yang bermakna antara dua

variabel yang diuji dan jika p > 0,05 berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara dua variabel yang diuji.

c. Arah Korelasi

Positif (+) berarti searah, semakin besar nilai satu variabel semakin

besar pula nilai variable lainnya, dan jika negative (-) berarti
61

berlawanan arah, semakin besar nilai satu variable, semakin kecil nilai

variable lainnya.
62

BAB V
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Responden

Penelitian tentang hubungan pengetahuan dengan self care pada pasien

diabetes mellitus tipe 2 telah dilakukan terhadap 81 responden di RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi dengan gambaran karakteristik responden

sebagai berikut:

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2018
No Karakteristik Responden f %
1. Jenis Kelamin
a. Laki-laki 50 61,7
b. Perempuan 31 38,3
2. Pendidikan
a. SMP/ sederajat 5 6,1
b. SMA/ Sederajat 51 63
c. Perguruan Tinggi 25 30,9
3. Pekerjaan
a. Ibu Rumah Tangga 18 22,2
b. Petani/ Pedagang/ Buruh 33 10,7
c. PNS/ TNI/ Polri 11 13,6
d. Tidak bekerja 19 23,5
4. Status Pernikahan
a. Menikah 66 81,5
b. Janda/ Duda 15 18,5
5. Lama Menderita DM
a. < 1 tahun 12 14,8
b. 1 – 5 tahun 34 42
c. > 5 tahun 35 43,2

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 81 responden terdapat lebih dari

sebagian yaitu sebanyak 50 (61,7%) responden adalah pasien diabetes mellitus

tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan dari segi pendidikan

ditemukan mayoritas (63%) responden berpendidikan hingga SMA/ sederajat,

62
63

dari segi pekerjaan ditemukan mayoritas responden adalah tidak bekerja yaitu

sebanyak 19 (23,5%) responden, dari segi status pernikahan ditemukan

mayoritas yaitu sebanyak 66 (811,5%) responden adalah pasien yang menikah

dan mayoritas (43,2%) responden adalah pasien yang menderita diabetes

mellitus lebih dari 5 tahun.

B. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik

masing-masing variabel penelitian. Pada penelitian ini analisis univariat

dilakukan untuk menggambarkan rata-rata pengetahuan dan self care pada

pasien diabetes mellitus tipe 2.

1. Rata-rata Pengetahuan Responden tentang Diabetes Mellitus

Tabel 5.2
Rata-rata Pengetahuan Responden Tentang Diabetes Mellitus
Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Kota Bukittinggi
Tahun 2018
Variabel Mean SD Min – Max N

Pengetahua
36,6 6,01 25 – 48 81
n

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa rata-rata skor pengetahuan

responden tentang diabetes mellitus adalah 36,6 dengan standar deviasi

6,01, skor pengetahuan terendah 25 dan tertinggi adalah 48.


64

2. Rata-rata Self Care Responden Diabetes Mellitus

Tabel 5.3
Rata-rata Pengetahuan Responden Tentang Diabetes Mellitus
Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Kota Bukittinggi
Tahun 2018
Variabel Mean SD Min - Max N

Self Care 33,6 7,37 22 – 50 81

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata skor self care responden

adalah 33,6 dengan standar deviasi 7,37, skor self care terendah adalah 22

dan tertinggi 50.

C. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh

antara dua variabel atau lebih yang diduga saling berkaitan antara satu dengan

yang lainnya. Pada penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui

hubungan pengetahuan dengan self care pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

Tabel 5.4
Hubungan Pengetahuan dengan Self Care pada Pasien Diabetes Mellitus
Tipe 2 di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Tahun 2018
Pearson
Variabel p-value N
correlation (r)

Pengetahuan * self care 0,832 0,000 81

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis pearson

product moment yang menganalisis hubungan pengetahuan dengan self care

pada pasien diabetes mellitus tipe 2 didapatkan nilai person correlation (r)

0,832 dan p-value = 0,000. Artinya terdapat hubungan yang positif dan
65

signifikan antara pengetahuan dengan self care pada pasien diabetes mellitus

tipe 2 dengan kekuatan hubungan sangat kuat.


66

BAB VI
PEMBAHASAN

A. Analisis Univariat

1. Rata-rata Pengetahuan Responden tentang Diabetes Mellitus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor pengetahuan

responden tentang diabetes mellitus adalah 36,6 dengan standar deviasi

6,01, skor pengetahuan terendah 25 dan tertinggi adalah 48.

Pengetahuan responden tentang diabetes mellitus merupakan segala

sesuatu yang diketahui responden tentang diabetes mellitus dan hal ini

terjadi setelah melakukan pengindraan, baik berupa mendengar, melihat

(membaca) atau menerima informasi terkait diabetes mellitus, karena

pengetahuan merupakan hasil “Tahu“ dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo,

2012).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang.

Wawan & Dewi (2010), yang menyatakan bahwa salah satu faktor internal

yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah tingkat pendidikan,

dimana pendidikan merupakan suatu proses belajar yang berarti terjadi

proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih

dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu. Teori lain juga

menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut menentukan mudah atau

tidaknya seorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka

peroleh ( Notoatmodjo, 2012).

66
67

Sejalan dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Risti

dan Isnaeni (2017) tentang hubungan motivasi diri dan pengetahuan gizi

terhadap kepatuhan diet DM pada pasien diabetes mellitus tipe II rawat

jalan di RSUD Karanganyar, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

48,7% responden menunjukkan pengetahuan gizi yang baik dan penelitian

yang telah dilakukan oleh Fatmawati, dkk (2014) tentang faktor yang

berhubungan dengan aktivitas self care pada pasien diabetes mellitus tipe

2 di RSUD Labuang Baji Makassar, hasil penelitian menunjukkan bahwa

89,6% responden menunjukkan pengetahuan yang baik tentang diabetes

mellitus.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Karaoui, dkk (2018) tentang

Knowledge anda practice of patients with diabetes mellitus in Lebanon: a

cross sectional study. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 207

pasient diabetes mellitus di Lebanon, didapatkan hasil bahwa rata-rata

pengetahuan responden tentang perawatan diabetes mellitus adalah 2,34

dari 6 indikator pengetahuan yang diajukan. Hal ini menunjukkan bahwa

masih rendahnya pengetahuan pasien diabetes mellitus tentang penyakit

yang diderita serta rendahnya pemahaman tentang teknik pengendalian

kadar gula darah untuk mencegah komplikasi diabetes mellitus

Asumsi peneliti bahwa secara umum pengetahuan responden

tentang diabetes mellitus di RSUD Dr. Achmad Mochtar adalah baik

dimana responden mampu menjawab dengan benar lebih kurang 76,25%

dari total 24 pernyataan yang diberikan atau rata-rata skor pengetahuan

responden adalah 36,6 dari total 48 skor tertinggi yang dihrapkan.


68

Pengetahuan responden terlihat baik pada indikator penyebab umum

diabetes mellitus yaitu kelebihan asumsi gula dan makanan yang manis

merupakan salah satu faktor penyebab kejadian diabetes mellitus,

pengetahuan responden juga terlihat baik pada indikator perawatan kaki

khususnya tentang teknik pemotongan kuku pada penderita diabetes

mellitus dan menghindari penggunaan kaos kaki yang sempit atau ketat

untuk mencegah komplikasi luka kaki diabetik, serta pengetahuan

responden terlihat pada indikator tanda dan gejala diabetes mellitus

dimana responden menyatakan diabetes dapat menyebabkan hilangnya

rasa di tangan dan jari-jari kaki, sering buang air kecil dan rasa haus

merupakan salah satu tanda dan gejala dibetes mellitus. Selain itu, pada

penelitian ini juga masih ditemukan responden yang berpengetahuan

rendah tentang diabetes mellitus, dimana pengetahuan responden terlihat

rendah pada indikator patofisiologi diabetes mellitus yaitu responden

masih keliru tentang sekresi insulin yang berperan penting dalam kadar

gula darah pada penderita diabetes mellitus, dimana responden

menyatakan insulin dihasilkan oleh ginjal. Hal ini tentulah keliru karena

insulin pada dasarnya dihasilkan pancreas dan kerusakan sel-sel beta (β)

pancreas menyebabkan abnormalisasi insulin atau kinerja insulin sehingga

insulin tidak mampu mendistribusikan glukosa ke dalam sel-sel tubuh

dengan baik yang pada akhirnya terjadi peningkatan kadar glukosa darah.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan responden

tentang diabetes mellitus, hasil temuan penelitian ini terlihat bahwa adanya

peran faktor tingkat pendidikan responden yang juga ikut berperan dalam
69

menentukan tingkat pengetahuan responden tentang diabetes mellitus,

dimana semakin tinggi tingkat pendidikan responden cenderung

menunjukkan pengetahuan yang lebih baik tentang diabetes mellitus dan

begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan maka tingkat

pengetahuan responden cenderung juga terlihat lebih rendah. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (64%) responden yang

berpendidikan tinggi (perguruan tinggi) menunjukkan pengetahuan yang

baik, 52,9% responden yang berpendidikan SMA/ sederajat menunjukkan

pengetahuan yang cukup dan 60% responden yang berpendidikan SMP/

sederajat menunjukkan pengetahuan cukup tentang diabetes mellitus

2. Rata-rata Self Care Responden Diabetes Mellitus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor self care

responden adalah 33,6 dengan standar deviasi 7,37, skor self care terendah

adalah 22 dan tertinggi 50. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui

bahwa perilaku self care pasien diabetes mellitus di RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi masih kurang dimana responden hanya mampu

mencapai 43,6% dari total 77 skor tertinggi yang diharapkan. Jika

dibandingkan dengan rata-rata skor self care responden, maka ditemukan

lebih dari sebagian yaitu sebanyak 51 (62,9%) responden dengan kategori

self care kurang baik.

Self care pada pasien diabetes mellitus merupakan perilaku sehat

pada pasien diabetes mellitus untuk melakukan perawatan diri untuk

meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah komplikasi pada pasien

diabetes mellitus, karena Perilaku self care pada penderita diabetes


70

mellitus type 2 adalah suatu kemampuan pasien dalam melakukan

perawatan pada dirinya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya serta dapat mempertahankan kesehatannya yang dipengaruhi oleh

berbagai faktor (Sari, 2013). Self care pada diabetes mellitus merupakan

program yang harus dijalankan penderita diabetes mellitus sesuai dengan

penatalaksaan penyakitnya yang bertujuan untuk mengontrol metabolik,

mengoptimalkan kualitas hidup, serta mencegah komplikasi akut dan

kronis (Putri, 2016)

Self care DM merupakan tindakan mandiri yang harus dilakukan

oleh penderita DM dalam kehidupannya sehari-hari. Tujuan melakukan

tindakan self care untuk mengontrol glukosa darah. Tindakan yang dapat

mengontrol glukosa darah, meliputi pengaturan pola makan (diet), latihan

fidik (olahraga), perawatan kaki, penggunaan obat diabetes, dan

monitoring gula darah (Putri, 2016). Sedangkan menurut Kusniawati

(2011) self care merupakan tindakan yang dilakukan secara mandiri oleh

seseorang untuk mencapai tujuan tertentu.

Sejalan dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh

Sulistria (2013) tentang tingkat self care pasien rawat jalan diabetes

mellitus tipe 2 di Puskesmas Kalirungkut Surabaya, hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa tindakan self care responden masih rendah pada

indikator pengukuran kadar gula darah dan perawatan kaki dan penelitian

yang dilakukan oleh Prasetyani, dkk (2018) tentang hubungan

karakteristik, pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kemampuan

self care pada pasien DM Tipe 2 di Puskesmas Cilacap Tengah 2 dan 2,


71

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 56,6% responden adalah pasien

DM dengan kemampuan self care rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Missiriya (2016) tentang

Knowledge and Practice of self care management on diabetes mellitus

among urban people. Penelitian ini menunjukkan bahwa masih rendahnya

perilaku self care pada pasien diabetes mellitus, khususnya dalam tindakan

pengontrolan gula darah, sehingga dibutuhkan intervensi khusus untuk

meningkatkan pengetahuan demi perbaikan praktek self care pada pasien

diabetes mellitus.

Asumsi peneliti bahwa pada dasarnya perilaku self care pada

pasien diabetes mellitus tipe 2 di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

masih rendah dimana responden masih belum bisa menunjukkan perilaku

self care yang baik bagi penderita diabetes mellitus, khususnya diabetes

mellitus tipe 2. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari

sebagian yaitu sebanyak 51 (62,96%) responden dengan kategori self care

kurang baik. Perilaku self care responden terlihat rendah pada aspek

mengontrol kadar glukosa darah dalam hal ini yaitu pengukuran kadar gula

darah, selain itu perilaku self care responden juga terlihat rendah pada

aspek perawatan kaki, yaitu tindakan dalam memeriksa alas kaki atau

sepatu untuk mencegah komplikasi luka kaki diabetes dan yang terakhir

perilaku self care responden juga terlihat rendah pada aspek latihan atau

aktifitas fisik dimana mayoritas responden masih kurang dalam aktifitas

fisik khusus di luar kegiatan sehari-hari.


72

Perilaku self care pada pasien diabetes mellitus tipe 2 pada

penelitian ini terlihat cenderung lebih rendah pada kelompok responden

dengan status tidak menikah, janda ataupun duda, kelompok responden

yang berpendidikan rendah. Dimana mayoritas responden dengan

pendidikan rendah dan tidak memiliki pasangan (janda/ duda) cenderung

menunjukkan perilaku self care yang lebih rendah jika dibandingkan

responden yang masih memiliki pasangan hidup serta responden yang

berpendidikan tinggi.

Pada penelitian ini juga ditemukan kurang dari sebagian yaitu

sebanyak 30 (37,03%) responden yang menunjukkan perilaku self care

baik, dimana perilaku self care responden terlihat tinggi pada aspek

pengontrolan makanan atau diet, dimana responden menyatakan berusaha

menghindari konsumsi makanan berlemak tinggi seperti daging merah

atau produk susu penuh lemak.

B. Analisis Bivariat

Hubungan Pengetahuan dengan Self Care pada Pasien Diabetes Mellitus


Tipe 2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif

dan signifikan antara pengetahuan dengan self care pada pasien diabetes

mellitus tipe 2 dengan kekuatan hubungan sangat kuat dimana diapatkan nilai

nilai pearson correlation (r) = 0,832 dan p-value = 0,000.

Pengetahuan tentang self care dan diabetes mellitus merupakan salah

satu faktor yang berperan penting dalam menentukan arah perilaku self care
73

pada pasien diabetes mellitus, dimana pengetahuan merupakan faktor penguat

untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan pasien tentang merupakan sarana yang dapat membantu

penderita menjalankan penanganan diabetes sehingga semakin baik

pengetahuan pasien tentang diabetes mellitus dapat mempengaruhi

perilakunya dalam perawatan diri, serta akan dapat mengendalikan kondisi

penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih lama dengan kualitas hidup yang

baik (Perdana, Ichsan, & Rosyidah, 2013).

Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Prasetyani, dkk

(2018) tentang hubungan karakteristik, pengetahuan dan dukungan keluarga

dengan kemampuan self care pada pasien DM Tipe 2 di Puskesmas Cilacap

Tengah 2 dan 2, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara pengetahuan dengan kemampuan self care pada pasien DM

tipe 2, secara statistik didapatkan nilai p = 0,019 dan penelitian yang telah

dilakukan oleh Risti dan Isnaeni (2017) tentang hubungan motivasi diri dan

pengetahuan gizi terhadap kepatuhan diet DM pada pasien diabetes mellitus

tipe II rawat jalan di RSUD Karanganyar, hasil penelitian ini menunjukkan

ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan diet DM pada

pasien diabetes mellitus, secara statistik didapatkan nilai p = 0,037.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Onuoha, dkk (2017) tentang

knowledge and practice of self-care management of persons with type II

diabetes at a health centre in east Trinidad, hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktek self

care pada pasien diabetes mellitus tipe II dengan nilai p = 0,032.


74

Asumsi peneliti bahwa ada hubungan pengetahuan dengan perilaku

self care pada penderita diabetes mellitus tipe II, dimana terlihat adanya

peningkatan perilaku self care seiring meningkatkan tingkat pengetahuan

responden tentang self care dan diabetes mellitus. Begitu pula sebaliknya,

adanya kecenderungan responden yang berpengetahuan rendah untuk

menunjukkan perilaku self care yang rendah.

Pengetahuan yang baik tentang self care dan diabetes mellitus adalah

mengetahui dan memahami segala aspek yang berhubungan dengan self care

dan diabetes mellitus, sehingga dengan pengetahuan dan pemahaman yang

baik mampu membentuk perilaku sehat dalam hal ini adalah perilaku self care

yang baik pada penderita diabetes mellitus, karena pengetahuan yang baik

akan memberikan pemahaman tentang pentingnya perilaku self care bagi

penderita diabetes mellitus untuk meningkatkan derajat kesehatan dan

mencegah komplikasi dari diabetes mellitus. Begitu juga sebaliknya,

pengetahuan yang rendah cenderung menimbulkan kebingungan untuk

bertindak sehingga pasien dengan pengetahuan yang rendah cenderung

menunjukkan perilaku self care yang kurang baik.

Pada penelitian ini juga ditemukan seba gian responden yang

berpengetahuan rendah, namun menunjukkan perilaku self care yang tinggi

(baik) dan sebagian responden yang berpengetahuan tinggi namun

menunjukkan perilaku self care yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa

selain faktor pengetahuan, perilaku self care pada pasien diabetes mellitus

juga dipengaruhi oleh faktor lain, diantaranya adalah faktor status pernikahan

responden, dimana terlihatnya perbedaan perilaku self care antara responden


75

yang masih memiliki pasangan (menikah) dengan responden yang tidak

memiliki pasangan (janda/ duda) yaitu perilaku self care terlihat lebih baik

pada kelompok responden yang masih memiliki pasangan jika dibandingkan

dengan responden yang berstatus janda atau duda.


76

BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang hubungan

pengetahuan dengan self care pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di RSUD

Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2018 dapat disimpulkan bahwa :

1. Rata-rata pengetahuan responden tentang diabetes mellitus tipe 2 adalah

36,6 dengan standar deviasi 6,01.

2. Rata-rata self care responden diabetes mellitus tipe 2 adalah 33,6 dengan

standar deviasi 7,37

3. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengetahuan dengan self

care pada pasien diabetes mellitus dengan kekuatan hubungan sangat kuat,

berdasarkan hasil analisis statistik didapatkan nilai pearson correlation ( r )

0,832 dan p-value = 0,000.

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan kepada pihak rumah sakit Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi untuk selalu memberikan edukasi kepada pasien diabetes

mellitus yang berkunjung, serta memberikan bahan bacaan seperti leaflet,

bookleat atau brosur disamping pemberian edukasi secara langsung, agar

pasien memiliki bahan bacaan terkait diabetes mellitus dan self care yang

diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku self care pada

pasien diabetes mellitus tipe II.

76
77

2. Bagi Instansi Pendidikan

Diharapkan kepada pihak institusi pendidikan keperawatan untuk

dapat lebih memberikan dukungan kepada peserta didik dalam

pelaksanaan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku self care pada pasien diabetes mellitus tipe II.

3. Bagi Pasien

Diharapkan kepada pasien penderita diabetes mellitus untuk selalu

memotivasi diri dan optimis dalam pelaksanaan perawatan diri dalam

mengontrol kadar gula dara, melakukan perawatan kaki, aktifitas fisik

khusus bagi pasien diabetes mellitus tipe 2, pengontrolan diet serta

melakukan tindakan-tindakan perawatan lainnya yang dapat

mengendalikan kadar gula darah serta mencegah komplikasi dari diabetes

mellitus tipe 2.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan kepada peneliti berikutnya untuk dapat melakukan

penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

perilaku self care pada pasien diabetes mellitus, karena berdasarkan hasil

penelitian ini ditemukan adanya dugaan faktor lain selain faktor

pengetahuan yang juga ikut berperan dalam mempengaruhi perilaku self

care pada pasien diabetes mellitus tipe 2, diantaranya adalah faktor status

pernikahan yang diduga ikut berperan dalam menentukan perilaku self

care pada pasien diabetes mellitus tipe 2.


78

Anda mungkin juga menyukai