NAMA : M. HARIS
NO BP : 1710222028
KELAS : A
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, dengan luas
areal lebih dari 7,5 juta hektar dengan sumber pendapatan dan lapangan kerja ± 4 juta kk
terserap di on farm kelapa sawit. Kelapa sawit juga merupakan sumber devisa dan
pendapatan negara, pendapatan ekspor non migas (nilai ekspor minyak sawit lebih besar dari
nilai ekspor hasil pertanian lainnya) devisa ekspor US 13,5 milyar di tahun 2009.
Manfaat pembangunan kelapa sawit yang lain terkait dengan pengembangan
wilayah/penanggulangan kemiskinan, penyediaan pangan, minyak goreng, bahan baku energi
(biofuel), mendorong pembangunan industri di dalam negeri serta penghasil minyak nabati
paling efisien. Minyak kelapa sawit adalah salah satu minyak nabati dunia yang paling efisien
dibandingkan minyak kedelai, bunga matahari, rapeseed, minyak kelapa, dll.
Menanggapi berbagai isu dan permasalahan perkebunan kelapa sawit maka
pemerintah Indonesia memandang perlu disusunya sebuah pedomanIndonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO) menjawab tuntutan untuk memproduksi minyak sawit berkelanjutan yang
datang dari konsumen, industri, pembeli danstakeholder perkelapasawitan lainnya.berikut
akan di bahas sejarah serta tujuan dan sasaran ISPO.
Produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan meliputi pengelolaan dan operasi
yang legal, layak secara ekonomi, ramah lingkungan, dan bermanfaat secara sosial. Hal ini
dapat dicapai melalui penerapan rangkaian Prinsip dan Kriteria (Principles and Criteria atau
“P&C”) dalam dokumen ini beserta Indikator dan Panduan yang menyertainya.
Rangkaian pertama dari Prinsip dan Kriteria, Indikator dan Panduan RSPO (Prinsip
dan Kriteria RSPO 2007) telah diterapkan sejak bulan November 2007. Ketentuan ini telah
diuji coba pelaksanaannya sejak bulan November 2005 hingga November 2007 dan, di
beberapa negara, turut disertai pula oleh proses Interpretasi Nasional (National Interpretation
atau “NI”). Setelah lima tahun penerapannya oleh anggota RSPO, Prinsip dan Kriteria RSPO
2007 ini ditinjau pada tahun 2012-2013 dan pada gilirannya menghasilkan Prinsip dan
Kriteria RSPO 2013. Kini setelah lima tahun penerapan, maka Prinsip dan Kriteria RSPO
2013 ditinjau kembali pada tahun 2017-2018 oleh Gugus Tugas Tinjauan Prinsip dan Kriteria
RSPO.
Tujuan dari setiap tinjauan dan revisi tersebut adalah meningkatkan kesesuaian dan
efektivitas Prinsip dan Kriteria untuk anggota RSPO dan dilakukan dalam rangka mencapai
visi dan misi bersama untuk menjadikan minyak kelapa sawit berkelanjutan sebagai suatu
norma. Secara khusus, revisi terbaru ini berupaya menyelaraskan Prinsip dan Kriteria dengan
Teori Perubahan (Theory of Change atau ToC) RSPO serta meningkatkan aksesibilitasnya
agar Prinsip dan Kriteria ini lebih relevan dan praktis.
Proses tinjauan tersebut dilakukan melampaui praktik terbaik International Social and
Environmental Accreditation and Labelling (ISEAL), termasuk di dalamnya dua masa
konsultasi publik yang masing- masing terdiri dari 60 hari, beserta 17 pertemuan fisik untuk
lokakarya konsultasi di 10 negara di seluruh dunia, dan 6 pertemuan fisik oleh Gugus Tugas.
Proses ini menghasilkan revisi dan restrukturisasi terhadap Prinsip dan Kriteria RSPO untuk
Produksi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (Prinsip dan Kriteria RSPO 2018).
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah;
1. Untuk mrngetahui apa itu ISPO dan RSPO
2. Untuk mengetahui sejatah ISPO dan RSPO
3. Untuk mengetahui tujuan serta sasaran ISPO dan RSPO
4. Untuk menambah wawasan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah ISPO
Dalam launching ISPO di Medan satu tahun yang lalu, pemerintah menekankan
bahwa Sertifikasi ISPO bukanlah untuk mengganti/menyaingi Sertifikasi RSPO. Prinsip dan
kriteria ISPO muncul sebagai inisiatif dari pemerintah
Atas kesadaran/deklarasi bahwa pengelolaan sumber daya alam termasuk perkebunan
sawit harus dilakukan secara berkelanjutan (sustainable). Dalam hal terbitnya pedoman ISPO
ini, Menteri Pertanian menyatakan hal ini sebagai amanat konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3),
UUD 1945, menyatakan bahwa : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”.65
Selanjutnya, ISPO juga diterbitkan sebagai upaya tindak lanjut dari latar belakang
pembentukan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa : “Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan”.
Lebih spesifik lagi, ISPO ini juga turut menjadi implementasi amanatdari Undang-
Undang No. 18 tahun 2008 tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa : “Pembangunan
perkebunan harus mampu meningkatkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam sebesar-
besarnya untuk kemakmuran masyarakat secara berkeadilan dan berkelanjutan, sehingga
peran penting perkebunan akan semakin meningkat”.
Secara garis besar, pedoman ISPO didasarkan 4 (empat) hal, yaitu :
1. Kepatuhan hukum;
2. Kelayakan usaha;
3. Pengelolaan lingkungan; dan
4. Hubungan sosial.
Hubungan sosial di atas, pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Sistem perizinan dan manajemen perkebunan;
2. Penerapan pedoman teknis budi daya dan pengelolahan kelapa sawit;
3. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
4. Tanggung-jawab terhadap pekerja;
5. Tanggung-jawab sosial dan komunitas;
6. Pemberdayaan ekonomi masyarakat; dan
7. Peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Ketujuh prinsip itu dirinci ke dalam 27 (dua puluh tujuh) kriteria dan 117 (seratus
tujuh belas) indikator yang lengkapnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Kewajiban Sertifikasi ISPO Bagi Perusahaan
Perkebunan.
Pada banyak perkebunan negara dan swasta besar, pemenuhan terhadap prinsip
tersebut sudah relatif memadai kecuali dalam beberapa kriteria, yaitu :
1. Mekanisme penanganan sengketa lahan dan kompensasi;
2. Mekanisme pemberian informasi;
3. Pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity);
4. Identifikasi kawasan yang mempunyai Nilai Konservasi Tinggi (NKT);
5. Mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK);
6. Realisasi tanggung jawab sosial perusahaan.
Sedangkan untuk prinsip-prinsip lainnya hanya memerlukan perbaikan secara
dokumentasi agar pemenuhan buktinya dapat ditunjukkan dan berlangsung konsisten.
Seperti juga sistem-sistem sertifikasi lainnya seperti ISO 90001, 140001, dan SMK3, tahapan
yang harus dilakukan sebelum mengajukan sertifikasi yaitu perlu dilakukannya pembenahan
di lingkungan internal perusahaan. Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan adalah :
1. Melakukan pelatihan pemahaman prinsip dan kriteria ISPO kepada beberapa staf yang
dipersiapkan sebagai Tim Internal;
2. Para personal yang terlatih melakukan analisa kesenjangan (gap analysis) untuk menguji
tingkat pemenuhan perusahaan terhadap ISPO pada tahap awal;
3. Perusahaan melakukan perbaikan berdasarkan prioritas yang ditetapkan; dan
4. Setelah perbaikan dianggap sudah memenuhi, perusahaan mengajukan sertifikasi kepada
badan sertifikasi sesuai pilihannya.
Ruang lingkup yang akan disertifikasi adalah mencakup kebun dan industri Pabrik
Kelapa Sawit (PKS) sendiri. Dalam hal perusahaan menerima TBS selain kebun sendiri,
maka secara berkesinambungan Perusahaan berkewajiban untuk mensosialisasikan ISPO
kepada para pemasok TBS tersebut. Masa sertifikat ISPO berlaku selama 5 (lima) tahun
sebelum dilakukan penilaian ulang (re-assesment) dan sekali dalam setahun dilakukan audit
pengawasan (survailance). Akhirnya, yang menjadi kunci utama suksesnya implementasi
ISPO ini adalah adanya komitmen dari pemilik/top manajemen perkebunan sampai dengan
tingkatan terbawah dari suatu Perusahaan. Strategi tersebut di atas hanya bisa berjalan efektif
jika pemilik/top manajemen mempunyai komitmen penuh untuk memenuhi ISPO. Atas hal
ini, ke depannyaIndonesia dapat dengan bangga mengatakan kepada dunia bahwa semua
minyak sawit Indonesia adalah minyak sawit lestari, perkebunan minyak sawit yang dikelola
dengan mematuhi hukum, melaksanakan praktek perkebunan terbaik serta memperhatikan
lingkungan dan sosial.
Prinsip dan Kriteria RSPO berlaku bagi produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan
di seluruh dunia. Prinsip dan Kriteria RSPO meliputi dampak-dampak lingkungan dan sosial
paling signifikan yang berasal dari produksi minyak kelapa sawit dan masukan/input
langsung bagi produksi seperti benih, bahan kimia dan air, dampak sosial yang berkaitan
dengan hubungan antara pekerja dan masyarakat pada lokasi kebun.
Prinsip dan Kriteria RSPO berlaku bagi semua perusahaan di tingkat produksi, yakni
semua PKS yang tidak termasuk dalam ruang lingkup definisi PKS independen sebagaimana
diatur dalam standar Sertifikasi Rantai Pasok (Supply Chain Certification/SCC) RSPO; dan
bagi semua pekebun yang tidak memenuhi definisi Petani Mandiri atau persyaratan
keberlakuan sebagaimana diatur dalam Standar Petani RSPO (masih dikembangkan sejak
September 2018 dengan finalisasi yang diharapkan selesai tahun 2019), sehingga tidak dapat
memberlakukan Standar Petani RSPO. Dalam Prinsip dan Kriteria RSPO 2018, pihak-pihak
ini disebut sebagai unit sertifikasi.
Unit sertifikasi bertanggung jawab atas sertifikasi Petani Plasma dan Outgrowers
(lihat definisi outgrowers di Lampiran 2) terkait dalam waktu tiga tahun sejak diperolehnya
sertifikat.Akan dikembangkan Panduan pelaksanaan Prinsip dan Kriteria RSPO 2018 untuk
Petani Plasma dan Outgrowers.
Prinsip dan Kriteria RSPO berlaku bagi penanaman yang ada pada saat ini, serta
perencanaan, penentuan lokasi, pembangunan, perluasan dan penanaman baru.
Jika terdapat perbedaan antara standar RSPO dan hukum setempat, maka yang akan
berlaku selalu yang memiliki standar lebih ketat/lebih tinggi dari keduanya, dan NI telah
menyusun daftar peraturan perundangan yang berlaku.
Kepatuhan terhadap Prinsip dan Kriteria RSPO beserta semua persyaratan yang diatur
dalam dokumen- dokumen terkait adalah persyaratan wajib dalam pemberian sertifikat.
Segala ketidakpatuhan dapat berakibat pada penangguhan atau pencabutan sertifikasi (lihat
Bagian 4.9 dalam Sistem Sertifikasi RSPO 2017). Kepatuhan harus dibuktikan terhadap
bagian normatif P&C, yakni Prinsip, Kriteria dan Indikator. Auditor mengangkat
ketidaksesuaian pada tingkat indikator. Sementara bagian informatif, yakni Panduan
berfungsi membantu pelaksanaan Indikator. Karena sifatnya yang tidak normatif, bagian ini
tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengangkat ketidaksesuaian.
Kriteria pemilihan untuk ukuran-ukuran ini antara lain adalah sebagai berikut:
● Nilai tambah bagi pekebun;
● Tautan kepada persyaratan-persyaratan yang ada dalam P&C;
● Hasil utama dari ToC;
● Hal-hal yang sudah dipersyaratkan untuk keperluan pengukuran, pemantauan dan/atau
pelaporan.
DAFTAR PUSTAKA