1. Definisi
2. Etiologi
Menurut Brunner and Suddarth (2002 : 1078) penyebab tumor gaster dimulai dari
gastritis kronis menjadi atropi dan metaplasia intestinal sampai displasia premaligna,
telah diketahui sebagai prekursor tumor gaster. Sejumlah mekanisme yang mungkin
menghubungkan antara H. pylori dengan tumor gaster. Infeksi yang berlangsung lama
menyebabkan atrofi kelenjar dan menurunnya produksi asam secara bertahap. Menurut
Underwood (2000 : 440) yang menjadi penyebab tumor gaster adalah diet tinggi
makanan asap, kurang buah-buahan dan sayuran dapat meningkatkan risiko terhadap
tumor lambung. Faktor lain yang berhubungan dengan insiden kanker lambung
mencakup inflamasi lambung, anemia pernisiosa, aklorhidria, ulkus lambung, bakteri H.
pylori, keturunan dan golongan darah A.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Soeparman (1998 : 114) menyatakan gejala klinis yang ditemukan tidak khas,
dapat dalam bentuk keluhan nyeri epigastrium atau bila didapatkan komplikasi seperti
perdarahan sukar di bedakan dengan perdarahan yang bersumber dari ulkus peptik.
Gejala lain yang akan didapatkan adalah dalam bentuk akut abdomen, perdarahan
saluran cerna bagian bawah atau gejala obstruksi. Menurut Brunner and Suddart (2002 :
1078) gejala awal dari tumor dan kanker lambung sering tidak pasti karena kebanyakan
tumor ini dimulai di kurvatura kecil, yang hanya sedikit menyebabkan gangguan fungsi
lambung. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa gejala awal seperti nyeri yang
hilang dengan antasida dapat menyerupai gejala pada pasien dengan ulkus benigna.
Gejala penyakit progresif dapat meliputi tidak dapat makan, anoreksia, dispepsia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen, konstipasi, anemia dan mual serta muntah.
4. Patofisiologi
Kanker dapat terjadi pada semua bagian lambung tetapi lebih sering ditemukan pada
sepertiga distal. Kebanyakan kanker-kanker lambung adalah adeno karsinoma dan
terjadi dalam bentuk-bentuk polypoid, ulseratif atau infiltratif. Bentuk ulseratif merupakan
bentuk yang paling sering terjadi dan mungkin menampakkan gejala-gejala semacam
ulkus peptikum, yang karenanya sering kali memperlambat diagnosis dan mendorong
pasien untuk mengobati sendiri. Tumbuhnya kanker pada pintu masuk atau pintu keluar
lambung dapat menimbulkan tanda-tanda obstruksi esofagus dan pilorus (nyeri ulu hati
dan cepat kenyang). Pada umumnya bagaimanapun tanda-tanda awal dari kanker
lambung tersebut tidaklah nampak. Kanker lambung dapat menyebar secara langsung
melalui dinding lambung jaringan-jaringan yang berdekatan, ke pembuluh limfe, ke
kelenjar limfe regional di lambung, ke organ-organ perut lain dan cenderung menyebar ke
arah intraperitoneal. Prognosis tergantung pada dalamnya invasi dan tingkatan
metastasis (Barbara C. Long, 1996 : 217).
5. Pemeriksaan Penunjang
Esofagogastroduodenoskopi
Rontgen OMD
USG
CT Scan
PROSES KEPERAWATAN PASIEN YANG MENJALANI BEDAH LAMBUNG
1.Pengkajian
Pada properatif, pengetahuan pasien tentang operasi dan rutinitas bedah pascaoperatif
dikaji. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang alas an untuk pembedahan juga dikaji.
Status nutrisi praoperatif dikaji : Apakah pasien mengalami penurunan berat badan :
Seberapa banyak? Selama berapa waktu? Apakah pasien mengalami hematemesis?
Pasien dikaji terhadap adanya bising usus. Palpasi abdomen dilakukan untuk
menentukan apakah massa dapat dirasakan bila ada nyeri tekan.
Pada pascaoperatif, pasien dikaji terhadap komplikasi sekunder akibat intervensi bedah
seperti hemoragi, infeksi, distensi abdomen, atau penurunan status nutrisi.
2. Diagnosa Keperawatan
3. Perencanaan Keperawatan
4. Implementasi Keperawatan
a) Menurunkan ansietas
Bagian terpenting dari asuhan keperawatan praoperatif mencakup mengurangi rasa takut
pasien dan ansietas terhadap rencana pembedahan dan implikasinya. Perawat
mendorong pasien mengekspresikan perasaan dan menjawab semua pertanyaan. Bila
pasien mengalami hemoragi, perforasi, atau obstruksi akut, persiapan psikologi adekuat
mungkin tidak dapat dilakukan. Pada peristiwa ini, perawat yang merawat pasien pada
pascaoperatif harus mengantisipasi masalah, rasa takut dan pertanyaan yang mungkin
dihadapi. Untuk semua pasien pascaoperatif perawat harus ada untuk memberikan
dukungan dan penjelasan lebih lanjut.
b) Meningkatkan pengetahuan
Perlu juga untuk menjelaskan rutinitas praoperatif dan aktivitas pascaoperatif pada
pasien seperti obat-obatan praoperatif, intubasi nasogastrik, cairan intravena, balutan
abdomen, dan perawatan paru. Prosedur ini perlu ditekankan kembali pada
pascaoperatif, khususnya bila pasien telah mengalami pembedahan darurat.
• Refluks empedu
Pada pengangkatan pilorus, yang bertindak sebagai barier untuk refluks isi duodenum,
dapat terjadi refluks lambung dan esofagitis. Ini dimanifestasikan dengan nyeri seperti
terbakar pada epigastrium dan muntah bahan empedu. Makan atau muntah tidak
menghilangkan situasi. Preparat ikatan seperti kolestiramin (Questran), jel aluminium
hidroksida, atau metokloramin hidroklorida (Reglan) telah digunakan dengan beberapa
keberhasilan.
• Sindrom dumping
Istilah sindrom dumping menunjukkan adanya kompleks gejala vasomotor dan
gastrointestinal yang tidak menyenangkan, yang terjadi setelah makan pada 10% sampai
50% pasien yang telah mengalami pembedahan gastrointestinal atau vagotomi. Mungkin
ada beberapa penyebab untuk kejadian ini. Salah satu penyebabnya adalah akibat
mekanis dari pembedahan yang menghubungkan sisa lambung kecil ke jejunum melalui
lubang besar. Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat dan elektrolit harus
diencerkan di dalam jejunum sebelum dapat diabsorbsi, sedangkan pasase makanan dari
sisa lambung ke dalam jejunum terlalu cepat. Minum cairan pada saat makan adalah
faktor lain yang menyebabkan isi lambung cepat masuk ke dalam jejunum. Gejala yang
terjadi mungkin akibat distensi cepat dari lengkung jejunum yang diasnastomosiskan ke
lambung. Isi usus hipertonik mengalirkan cairan ekstraseluler dari volume darah sirkulasi
ke dalam jejunum untuk mengencerkan elektrolit dan gula berkonsentrasi tinggi.
Gejala awal dapat meliputi sensasi penuh, kelemahan, pingsan, pusing, palpitasi,
diaforesis, nyeri kram, dan diare. Selanjutnya glukosa darah meningkat cepat, diikuti
dengan reaksi kompensasi sekresi insulin. Ini mengakibatkan hipoglikemia reaktif yang
juga tidak nyaman untuk pasien. Gejala yang terjadi 10 sampai 90 menit setelah makan
adalah vasomotor dan dimanifestasikan dengan pucat, perspirasi, palpitasi, sakit kepala,
dan perasaan hangat, pusing dan bahkan pingsan. Anoreksia juga dapat terjadi akibat
sindrom dumping.
• Defisiensi diet
Defisiensi diet lain yang harus diwaspadai perawat adalah :
1) Malabsorpsi besi organik, yang memerlukan suplementasi besi parenteral atau oral
2) Kadar vitamin B12 serum rendah yang memerlukan suplementasi dengan rute
intramuskular.
Gastrektomi total menghentikan penghentian komplet produksi ”faktor intrinsik”, suatu
sekresi lambung yang diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 dari saluran GI. Karenanya,
jika vitamin ini tidak diberikan melalui injeksi parenteral setelah gastrektomi, pasien pasti
akan menderita defisiensi vitamin B12, yang akhirnya menimbulkan kondisi buruk dan
identik dengan pasien yang menderita anemia pernisiosa. Semua manifestasi anemia
pernisiosa, mencakup anemia makrositik dan yang disertai dengan penyakit sistemik,
dapat diperkirakan terjadi dalam periode 5 tahun atau kurang, berlanjut sampai berat dan
jika tidak mendapat terapi akan menjadi fatal. Komplikasi ini dihindari dengan injeksi
vitamin B12 secara intramuskular bulanan reguler 100 sampai µg, yang merupakan
program pengobatan yang diharuskan dimulai tanpa penundaan setelah gastrektomi.
Dengan mengabaikan penatalaksanaan jangka panjang ini, penurunan berat badan
menjadi masalah umum karena pasien mengalami rasa cepat penuh yang menghambat
napsu makan.
Untuk antisipasi kemungkinan adanya kondisi tersebut yang mempengaruhi nutrisi,
intervensi keperawatan di arahkan pada instruksi diet yang tepat. Pokok-pokok
penyuluhan berikut ditekankan :
- Pasien harus dibaringkan pada posisi semirekumben selama makan. Setelah makan,
pasien harus berbaring selama 20 sampai 30 menit untuk memperlambat pengosongan
lambung.
- Cairan dihindari pada saat makan tetapi dapat diberikan 1 jam sebelum dan sesudah
makan.
- Lemak dapat diberikan sesuai toleransi, tetapi masukan karbohidrat harus
dipertahankan tetap rendah (sukrosa dan glukosa dihindari)
- Antispasmodik, sesuai program juga dapat membantu dalam memperlambat
pengosongan lambung
- Makan lebih sedikit tetapi lebih sering harus diberikan
- Komposisi makanan harus mengandung lebih banyak bahan kering dari pada berair
- Suplemen diet dengan vitamin dan trigliserida rantai sedang, atau injeksi vitamin B12
dan besi diprogramkan
- Instrusi mengenai suplementasi enteral atau parenteral diberikan.
d) Mengurangi nyeri
Pasien diberi analgesik pada periode pascaoperatif sesuai program oleh dokter untuk
mempertahankan tingkat kenyamanan. Perawatan harus dilakukan untuk
mempertahankan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas paru (napas dalam dan
batuk) secara adekuat dan untuk bergerak. Perawat mengkaji keefektifan intervensi
analgesik. Pemberian posisi fowler yang dimodifikasi pada pasien meningkatkan
kenyamanan serta memungkinkan drainase lambung dengan mudah setelah gastrektomi
parsial.
Fungsi selang nasogastrik dipertahankan untuk mencegah distensi dan nyeri. Jumlah
drainase nasogastrik normalnya sedikit.
2. Steatorea
Steatorea juga dapat terjadi pada pasien yang menjalani pembedahan lambung dan
merupakan akibat parsial dari pengosongan lambung cepat, yang menghambat
pencampuran dengan sekresi pankreas dan empedu secara adekuat. Pada kasus ringan,
steatorea dapat dikontrol dengan mengurangi masukan lemak dan memberikan obat
antimotilitas.
6. Evaluasi
• Noer, Sjaifoellah Prof. dr, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 3, 1999, FKUI, Jakarta
• Doengoes E. Marylinn, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta: EGC
• Mansjoer, Arief, 2001, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Jakarta : FKUI
• Price A. Sylvia, 2005, Patofisiologi, Edisi 6, Vol. 1, Jakarta : EGC
• Smeltzer C. Suzanne, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 2, Jakarta : EGC