Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

Istilah teoritis secara sederhana berarti penggunaan salah satu teori atau
teori-teori yang terkait untuk mendukung rasional (alasan) dilakukan studi dan
memberikan pedoman untuk menganalisa hasilnya. Pada tinjauan teoritis ini
peneliti akan menguraikan tentang konsep dasar teoritis yang meliputi konsep
dasar penyakit dan konsep dasar keperawatan (Nursalam, 2009).

KONSEP DASAR PENYAKIT


Konsep dasar penyakit akan menguraikan tentang: defenisi, etiologi, proses
terjadinya masalah, Psikodinamika Sosial Penyalahgunaan NAPZA, mekanisme
koping rentang respon gangguan penggunaan zat adaktif, tanda dan gejala, peran
perawat dalam penyalahgunaan zat adaktif, pohon masalah, penatalaksanaan
medis.

Defenisi

Gangguan mental menurut world Health Organitation, 2017 terdiri dari


berbagai masalah, dengan berbagai gejala. Namun, mereka umumnya dicirikan
oleh beberapa kombinasi abnormal pada pikiran, emosi, perilaku dan hubungan
dengan orang lain. Contohnya adalah skizofrenia, depresi, cacat intelektual,
gangguan afektif bipolar, demensia, cacat intelektual dan gangguan
perkembangan termasuk autisme. Salah satu jenis gangguan jiwa menurut
Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa adalah gangguan jiwa
karena penyalahgunaan NAPZA (Depkes RI, 1993). Narkoba adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau non tanaman baik sintetis maupun semi sintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-undang RI No.22 thn
1997 tentang Nakotika). Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan
berbahaya. Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
dalam penjelasannya, bahwa Narkotika merupakan obat dan zat yang sebetulnya
dibutuhkan danberguna dalam mengobati penyakit tertentu. Tetapi apabila
disalahgunakan dengan aturan standar pengobatan akan merugikan bagi individu
dan masyarakat terutama generasi muda dan ancaman bagi nilai budaya bangsa
yang dapat melemahkan ketahanan nasional. Dalam perkembanganya di
masyarakat tindak pidana Narkotika menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif seperti korban yang banyak
khususnya di kalangan generasi muda remaja dan pelajar.
Menurut Azmiyati (2014) dalam Sholihah (2015), penyalahgunaan
narkoba merupakan penggunaan salah satu atau beberapa jenis narkoba secara
berkala atau teratur di luar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan
kesehatan fisik, psikis, dan gangguan fungsi sosial. Penyalahgunaan narkoba
memberikan dampak yang tidak baik yaitu dapat mengakibatkan adiksi
(ketagihan) yang berakibat pada ketergantungan. Selanjutnya Menurut Karsono
(2004) napza merupakan kepanjangan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif.Narkotika berasal dari bahasa Yunani “Narkoum” atau membuat mati rasa
(Masrusi, 2000).Narkotika dalam Bahasa Inggris “Narotic” adalah semua obat
yang memiliki efek samping, pada umumnya memiliki sifat menurunkan tingkat
kesadaran, merangsang semangat untuk melakukan kegiatan atau beraktivitas,
candu (ketergantungan atau mengikat dependence), menimbulkan rasa berkhayal
(halusinasi).
Selanjutnya ( Satya J, 2005) menyebutkan bahwa napza adalah akronim
dari narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya yang kesemuanya itu
termasuk zat psikoaktif yang dapat mengakibatkan gangguan mental dan
perubahan perilaku.

Etiologi

Beberapa faktor pendukung terjadinya gangguan penggunaan Napza yaitu


sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi
a. Faktor biologis
1) Genetik/tendensi keturunan: terutama orang tua yang menyalahgunakan
Napza
2) Metabolik: perubahan metabolik alkohol yang mengakibatkan respon
fisisologis, mislanya saja etil alkohol bila di metabolisme lebih lama lebih
efisien untuk mengurangi individu menjadi ketergantungan
3) Infeksi pada organ otak: intelegensi menjadi rendah (retardasi mental,
misalnya ensefhalitis, meningitis).
4) Penyakit kronis: kanker, astma bronchiale, penyakit menahun lainnya
b. Faktor psikologis
1) Tipe kepribadian: dependen, ansietas, depresi, anti social
2) Harga diri yang rendah: bisa arna penganiayaan masa anak-anak, depresi
terutama karena kondisi osial ekonomi pada peneyahgunaan alkohol, sedatif
hipnotik yang mencapai tingkat ketergantungan di ikuti rasa bersalah
3) Disfungsi keluarga: kondisi keluarga yang tidak stabil, role model
negatif(ketauladanan yang negatif), tidak saling percaya anataanggota
keluarga keluarga yang tidak mampu memberikan pendididkan yang sehat
pada anggoata, orang tua dengan gangguan penggunaan zat adktif,,
pereraianan.
4) Individu yang mempunyai perasaan yang tidak aman.
5) Cara pemecahan masalah indidvidu yang menyimpang
6) Individu yang mengalami krisis identitas dan kecenderungan untuk
mempratikkan homoseksual, krisis identitas
7) Rasa bermusuhan dengan keluarga atau dengan orang tua

c. Faktor sosial cultural


1) Sikap masyarakat yang ambivalen tentang penggunaan zat seperti tembakau,
nikotin, ganja, dan alcohol
2) Norma kebudayaan pada suku bangsa tertentu, menggunakan halusinasinogen
atau alkohol untuk upacara adat dan keagamaan
3) Lingkungan: misalnya lingkungan tempat tinggal, diskotik, sekolah,maal,
lokalisasi, lingkungan rumah kumuh dan padat, teman sebaya yang
mengedarkan dan menggunakan zat adiktif
4) Persepsi penerimaan masyarakat terhadap penggunaan zat adiktif
5) Remaja yang lari dari rumah
6) Penyimpangan seksual pada usia dini
7) Perilaku tindak kriminal pada usia dini, misalnya mencuri, merampok dalam
komunitas
8) Kehidupan beragama yang kurang
2. Faktor Presipitasi
Stressor dalam kehidupan merupakan kondisi pencetus terjadinya gangguan
penggunaan zat adiktif bagi seseorang, menggunakan zat merupakan cara untuk
mengatasi stress yang dialami kehidupannya.
Beberapa stressor pencetus adalah sebagai berikut:
a. Pernyataan dan tuntutan utuk mendiri dan memutuhkan teman sebaya sebagai
pengakuan
b. Reaksi sebagai cara untuk mencari kesengangan, iindidivu berupaya untuk
menghindari rasa sakit dan mencari kesenangan, rileks agar lebih menikmati
hubugan interpersonal
c. Kehilangan orang atau sesuatu yang berarti seperti pacar, orang tua, saudara,
drop out dari sekolah atau pekerjaan
d. Di asingkan oleh lingkungan, rumah, sekolah, kelompok teman
sebaya,sehinggatidak mempunayi teman
e. Kompleksitas dan ketegangan dari kehiudpan modern
f.Tersedianya zat aditif di lingkungan di mana seseorang berada khususnya pada
inividu yang mengalami pengalaman kecanduan zat aditif
g. Pengaruh dan tekanan teman sebaya (diajak,di bujuk, di ancam)
h. Kemudahanan mendapatkan zat adiktif dan harganya terjangkau
i.Pengaruh film dan iklan tentang zat adiktif seperti alkohol dan nikotin
j.Pesan dari masyarakat bahwa penggunaan zat adiktif dapat menyelesaikan
masalah

Skema Proses Terjadinya Masalah

Rasa ingin tahu/coba-coba, Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, Melarikan
diri atau mengatasi masalah yang dihadapi,

Zat adiktif (NAPZA)

Penyalahgunaan zat

Susunan saraf pusat terganggu

Ketergantungan Perubahan perilaku & proses pikir

Toleransi Syndroma putus zat Gangguan fungsi sosial, pendidikan, dan pekerjaan
Tidak mampu mengatasi keinginan menggunakan Gangguan konsep diri

Resiko mencederai diri Harga Diri Rendah

Bagan 2:1
Skema Proses Terjadinya Masalah
Sumber: Lilik Makrifatul Azizah, Imam Zainuri, Amar Akbar, Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta :Indomedia Pustaka, 2016

Psikodinamika Sosial Penyalahgunaan NAPZA

Menurut Dadang Hawari, 2002, seseorang akan terlibat dalam


penyalahgunaan zat psikoaktif (NAPZA) apabila pada orang itu sudah ada factor
predisposisi (kecenderungan), dan factor lain yang berperan dalam
penyalahgunaan yaitu factor kontribusi. Apabila factor predisposisi dan kontribusi
sudah ada, maka diperlukan factor lain yang mendorong penyalahgunaan yaitu
factor pencetus. Psikodinamika interaksi ketiga factor ini terhadap
penyalahgunaan zat psikoaktif NAPZA seperti gambar berikut:

Faktor Predisposisi: Faktor Kontribusi:

1. Gangguan Kondisi Keluarga


Keutuhan, kesibukan,
kepribadian(antisocial)
orangtua, Hub.
2. Kecemasan
Interpersonal
3. Depresi
Faktor Pencetus:
Teman kelompok
Penyalahgunaan dan
Ketergantungan
NAPZA

Bagan 2:2:
Psikodinamika Sosial Penyalahgunaan NAPZA
Sumber: Lilik Makrifatul Azizah, Imam Zainuri, Amar Akbar, Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta :Indomedia Pustaka, 2016

Faktor predisposisi meliputi kepribadian, dimana orang yang memiliki


kepribadian antisosial seperti tidak pernah puas, ketidakefektifan pergaulan di
sekolah, rumah atau kerja, adanya kecemasan, dan atau depresi mempunyai resiko
relative untuk terlibat dalam penyalahgunaan NAPZA. Faktor kontribusi yang
dimaksud disini adalah kondisi keluarga. Adanya disfungsi keluarga seperti
keluarga yang tidak utuh, kesibukan orangtua, dan hubungan interpersonal dalam
keluarga tidak baik sehingga akan merasa tertekan dan terjadi penyalahgunaan.
Faktor pencetusnya adalah pengaruh teman sebaya, tersedianya dengan
mudah NAPZA (easy availability) mempunyai andil yang cukup besar untuk
terjadinya penyalahgunaan NAPZA. Penyimpangan perilaku penyalahgunaan
NAPZA dari sudut pandang psikososial akibat negative dari interaksi 3 kutub
social yang tidak kondusif (tidak mendukung kearah positif), yaitu kutub
keluarga, kutub sekolah/kampus, dan kutub lingkungan social masyarakat. Anak
atau remaja dalam kehidupan sehari-hari hidup dalam 3 kutub ini. Apabila ada
salah satu atau lebih dari kutub ini yang tidak kondusif maka akan mempengaruhi
kutub yang lain dan sebagai hasil interaksi ketiga kutub tersebut resultante resiko
perilaku penyimpangan yang lebih besar yang pada gilirannya berakibat
penyalahgunaan NAPZA.
Secara skematis terjadinya perilaku menyimpang yang berakibat pada
penyalahgunaan NAPZA sebagai berikut:

keluarga

Remaja

Sekolah Masyarakat

Penyalahgunaan Napza
Bagan 2:3
Interaksi kutup dari sudut pandang psikososial penyalahgunaan NAPZA

Kutub Keluarga, suasana kehidupan rumah tangga yang tidak kondusif


bagi perkembangan jiwa anak antara lain hubungan yang dingin antara ayah dan
ibu, terdapatnya gangguan fisik atau mental dalam keluarga, pola asuh yang
bertentangan dalam keluarga, sikap orangtua yang acuh, atau otoriter terhadap
anak, perhatian yang berlebihan (over protectif) dari orangtua, orang tua jarang
dirumah atau adanya perselingkuhan, kurangnya stimulasi kognitif dan social.
Kutub Sekolah, keadaan sekolah yang tidak kondusif yang dapat
mengganggu proses belajar mengajar seperti sarana prasarana yang tidak
memadai, jumlah dan kualitas guru yang kurang, kesejahteraan guru yang tidak
memadai, kurikulum yang tidak kondusif, pendidikan agama dan budi pekerti
kurang memadai dan lingkungan sekolah yang tidak kondusif seperti dekat pusat
perbelanjaaj, hiburan dan daerah rawan.
Kutub Masyarakat, kondisi lingkungan social yang tidak sehat dan
‘rawan’ dapat menganggu perkembangan jiwa dan kepribadian anak seperti
adanya tempat hiburan, pelacuran, lokalisasi dan adanya transaksi narkoba,
banyaknya anak putus sekolah, pengangguran, gambar dan tontonan TV yang
bersifat pornografis dan kekerasan, perumahan yang padat dan kumuh,
pencemaran lingkungan, sering terjadi tindak kekerasan dan kriminalitas,
kesenjangan social, kebut-kebutan, coret-coret dan vandalisme.

Jenis Zat Adaktif

Menurut (Ah.Yusuf dkk, 2015) Saat membahas penyalahgunaan zat adiktif,


maka akan ditemukan beberapa istilah seperti zat adiktif, zat psikoaktif, dan
narkotik.
1. Zat adiktif :adalah suatu bahan atau zat yang apabila digunakan dapat
menimbulkan kecanduan atau ketergantungan.
2. Zat psikoaktif :adalah golongan zat yang bekerja secara selektif terutama
pada otak, sehingga dapat menimbulkan perubahan pada perilaku, emosi,
kognitif, persepsi dan kesadaran seseorang. Ada dua macam zat psikoaktif,
yaitu bersifat adiksi dan nonadiksi. Zat psikoaktif yang bersifat nonadiksi
adalah obat neuroleptika untuk kasus gangguan jiwa, psikotik, dan obat
antidepresi.
3. Narkotik :adalah istilah yang muncul berdasar Undang-Undang Narkotika
Nomor 9 Tahun 1976, yaitu zat adiktif kanabis (ganja), golongan opioida,
dan kokain. Ketiga istilah ini sering disebut sebagai narkoba, yang
kemudian berkembang menjadi istilah napza.
Rentang Respons Gangguan Penggunaan Zat Adiktif

Rentang respon ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai dengan yang
berat.Indikator dari rentang respon berdasarkan perilaku yang ditampakkan oleh
remaja dengan gangguan penggunaan zat adiktif. (AH Yusuf dkk, 2015)
Gejala-gejala intoksikasi dan putus zat berbeda untuk masing-masing zat, seperti
pada Gambar 2.1

Respon adaptif respon maladaptif

Eksperimental Rekreasional Situasional PenyalahgunaanKetergantungan

Berikut akan dijelaskan pengertian rentang respon dari kondisi yang ringan
sampai yang berat sesuai dengan gambar 2:1
1. Eksperimental:
adalah kondisi penggunaan tahap awal, yang disebabkan rasa ingintahu.
Biasanya dilakukan oleh remaja, yang sesuai tumbuh kembangnya ingin
mencaripengalaman baru atau sering juga dikatakan sebagai taraf coba-coba.
2. Rekreasional
adalah penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan
temansebayanya, misalnya waktu pertemuan malam minggu, ulang tahun,
dan sebagainya.Penggunaan ini bertujuan untuk rekreasi bersama teman
sebayanya.
3. Situasional
merupakan penggunaan zat yang merupakan cara untuk melarikan diriatau
mengatasi masalah yang dihadapi. Biasanya individu meng gunakan zat bila
sedangdalam konflik, stres, dan frustasi.
4. Penyalahgunaan
adalah penggunaan zat yang sudah bersifat patologis, sudah mulaidigunakan
secara rutin, paling tidak sudah ber langsung selama 1 bulan, sudah
terjadipenyimpangan perilaku, serta mengganggu fungsi peran di lingkungan
sosialnya,pendidikan, dan pekerjaan. Walaupun pasien menderita cukup
serius akibatmenggunakan, pasien tersebut tidak mampu untuk
menghentikan.
5. Ketergantungan
adalah penggunaan zat yang sudah cukup berat, sehingga telah
terjadiketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai
dengan kondisi toleransi dan sindroma putus zat.
Gambar 2.1 :
Rentang Respons Gangguan Penggunaan Zat Adiktif
Sumber:Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati,Buku Ajar
Keperawatan Jiwa, Jakarta:Salemba Medika, 2015

Zat Adaktif yang Disalahgunakan

Zat adiktif yang biasa digunakan ini penting diidentifikasi untuk mengkaji
masalah keperawatan yang mungkin terjadi sesuai dengan zat yang digunakan.

Golongan Jenis
Opioida Morfin, heroin (puthao), candu, kodein,
petidin.
Kanabis Ganja (mariyuana), minyak hasish.

Kokain Serbuk kokain, daun koka.

Alkohol Semua minuman yang mengandung ethyl


alkohol,seperti brandy, bir, wine,
whisky, cognac, brem,tuak, anggur cap
orang tua, dan lain-lain.
Sedatif–Hipnotik Sedatin (BK), rohipnol, mogadon, dulomid,
nipam, mandrax
MDA (Methyl Dioxy Amphe Amfetamin, benzedrine, Dexedrine
tamine)

MDMA (Methyl Dioxy Meth Ekstasi


Amphetamine)

Halusinogen LSD, meskalin, jamur, kecubung.


Solven & Inhalasia Glue (aica aibon), aceton, thinner, N2O.

Nikotin Terdapat dalam tembakau.

Kafein Terdapat dalam kopi dan lain-lain

Tabel 2:1
Zat Adiktif yang Disalahgunakan
Sumber:Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati,Buku Ajar
Keperawatan Jiwa, Jakarta:Salemba Medika, 2015
Efek dan CaraPenggunaan

Menurut (Ah. Yusuf dkk, 2015) Efek dan cara penggunaan zat adiktif ini
perlu dikenali agar masyarakat dapat mengidentifikasikarakteristik atau bahan dan
alat yang biasa digunakan oleh penyalah guna zat. Beberapa caradan efek pada
tubuh tampak seperti pada tabel berikut.

N Jenis Cara penggunaan Efek pada tubuh


o
1. Opium, heroin, Dihirup melalui hidung, Merasa bebas dari rasa
morfin disuntikkan melalui otot sakit, tegang, euforia.
atau
pembuluh darah vena.
2 Kokain Ditelan bersama Merasa gembira,
minuman, bertenaga, lebih
diisap seperti rokok, atau percaya diri
disuntikkan.
3. Kanabis, Dicampur dengan Rasa gembira, lebih
mariyuana, tembakau. percaya diri, relaks.
Ganja
4. Alkohol Diminum Bergantung kandungan
alkoholnya.
5. Amfetamin Diisap, ditelan Merasa lebih percaya
diri, mengurangi rasa
lelah, meningkatkan
konsentrasi
6. Sedatif Ditelan Merasa lebih santai,
menyebabkan kantuk.

Tabel 2:2
Efek dan Cara Penggunaan Zat
Sumber:Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati,Buku Ajar
Keperawatan Jiwa, Jakarta:Salemba Medika, 2015

Gangguan Akibat Zat

1. Intoksikasi
Zat adalah sindrom spesifik-zat yang terjadi akibat ingesti atau pajanan
baru-baru ini terhadap zat (APA, 2000).Perubahan kognitif dan perilaku yang
terjadi berkaitan dengan efek zat pada SSP dan sangat beragam, bergantung
pada individu dan jenis zat.Respons umum mencakup suka berkelahi, alam
perasaan labil, hambatan membuat keputusan, dan gangguan koordinasi
motoric.Gangguan zat pertama yang paling sering dialami individu adalah
intoksikasi.
2. Putus Zat
Merupakan respons spesifik-zat.Putus zat terjadi ketika individu
menghentikan atau mengurangi penggunaan zat setelah mengonsumsi zat
dalam jumlah sangat banyak dan jangka panjang.Tanda dan gejala sangat
beragam, bergantung pada jenis zat, dosis, durasi penggunaan, dan kesehatan
individu.“ morning after hangover ” dengan gejala penyerta sakit kepala,
mulut kering, dan tremor dengan getaran halus pada tangan merupakan tanda
putus alcohol ringan.

Tanda dan Gejala

Ancaman Kehidupan (Kondisi Overdosis)


Tahap ini kondisi pasien sudah cukup serius dan kritis, penggunaan cukup
berat, tingkat toleransi yang tinggi, serta cara penggunaan yang impulsif.
Masalah kesehatan yang sering timbul antara lain sebagai berikut.

1. Tidak efektifnya jalan napas (depresi sistem pernapasan) berhubungan


dengan intoksikasi opioida, sedatif hipnotik, alkohol.
2. Gangguan kesadaran berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik,
alkohol.
3. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan delirium
tremens (putus zat alkohol).
4. Amuk berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik.
5. Potensial melukai diri/lingkungan berhubungan dengan intoksikasi
alkohol, sedatif hipnotik.
6. Potensial merusak diri/bunuh diri berhubungan dengan putus zat MDMA
(ekstasi).

Kondisi Intoksikasi

1. Cemas berhubungan dengan intoksikasi ganja.


2. Perilaku agresif berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alkohol.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan intoksikasi sedatif
hipnotik, alkohol, opioida.
4. Gangguan kognitif berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik,
alkohol, kanabis, opioida.
5. Gangguan rasa nyaman, seperti mual/muntah berhubungan dengan
intoksikasi MDMA (ekstasi).
Sindroma Putus Zat (Withdrawal)

1. Kejang berhubungan dengan putus zat alkohol, sedatif hipnotik.


2. Gangguan persepsi (halusinasi) berhubungan dengan putus zat alkohol,
sedatif hipnotik.
3. Gangguan proses berpikir (waham) berhubungan dengan putus zat
alkohol, sedatif hipnotik.
4. Gangguan tidur (insomnia, hipersomnia) berhubungan dengan putus zat
alkohol, sedatif hipnotik, opioida, MDMA (ekstasi).
5. Gangguan rasa nyaman (mual, muntah) berhubungan dengan putus zat
alkohol, sedatif hipnotik, opioida.
6. Gangguan rasa nyaman (nyeri sendi, otot, tulang) berhubungan dengan
putus zat opioida.
7. Gangguan afektif (depresi) berhubungan dengan putus zat MDMA
(ekstasi).
8. Perilaku manipulatif berhubungan dengan putus zat opioida.
9. Terputusnya program perawatan (melarikan diri, pulang paksa)
berhubungan dengan kurangnya sistem dukungan keluarga.
10. Cemas (keluarga) berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dalam
merawat pasien ketergantungan zat adiktif.
11. Potensial gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
putus zat opioida.

Pascadetoksikasi (Rehabilitasi Mental Emosional)

1. Gangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak penggunaan


zat adiktif.
2. Gangguan kegiatan hidup sehari-hari (activity daily life—ADL)
berhubungan dengan dampak penggunaan zat adiktif.
3. Pemecahan masalah yang tidak efektif berhubungan dengan kurang
pengetahuan, pola asuh yang salah, dan tidak mampu asertif.
4. Gangguan konsep diri (harga diri rendah) berhubungan dengan pemecahan
masalah yang tidak adekuat sehingga melakukan penggunaan zat adiktif.
5. Kurang kooperatif dalam program perawatan berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan perawatan gangguan penggunaan zat adiktif.
6. Potensial melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan psikologis
ganja dan alkohol.
7. Potensial kambuh (relaps) berhubungan dengan kurang/tidak adanya
sistem dukungan keluarga.

Mekanisme Koping

Mekanisme pertahanan diri yang biasa digunakan:


1) Denial dari masalah
2) Proyeksi merupakan tingkah laku untuk melepaskan diri dari tanggung
jawab
3) Disosiasi merupakan proses dari penggunaan zat adiktif

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA

Menurut (Lilik Makrifatul dkk, 2016) Gangguan mental dan perilaku akibat
penyalahgunaan zat psikoaktif (NAPZA) mempunyai etiologi yang multicausal
yang rumit dan kompleksitas serta efeknya yang merugikan semua sendi
kehidupan tidak hanya bagi kesehatan fisik, mental dan social pengguna saja,
tetapi juga keluarga, masyarakat dan Negara.
Untuk itu perlunya penanggulangan secara komprehensif terkoordinir dan
terpadu melalui dua kelompok kegiatan yaitu:
1. mengurangi tersedianya narkotika dan psikotropika (supply reduction)
dengan memberantas peredaran gelap (illicit trafficking), menjaga
kebutuhan narkotika dan psikotropika untuk kepentingan pengobatan (licit
trafficking) terjamin dan terawasi. Upaya supply reduction ini dilakukan
oleh aparat penegak hukum dan instansi terkait dengan security approach
kepada siapa saja yang terlibat dikenai sanksi maksimal bahkan kalau
perlu sampai hukuman mati.
2. mengurangi kebutuhan akan narkotik dan psikotropika (demand reduction)
untuk tujuan bersenang-senang atau tujuan lain selain keperluan
pengobatan dibawah pengawasan dokter. Upaya demand reduction ini
dilakukan oleh kalangan kedokteran dan kesehatan serta masyarakat luas.
Upaya ini dilakukan dengan pendekatan welfare approach yaitu
pendekatan kesejahteraan missal dengan memberi penyuluhan kepada
masyarakat, terapi dan rehabilitasi terhadappara penyalahguna NAPZA.

Pencegahan penyalahgunaan Napza, meliputi (BNN, 2004):


1. Pencegahan primer
Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka,
individu, kelompok, dan masyarakat waspada serta memiliki ketahanan
agar tidak menggunakan napza. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak
anak berusia dini, agar faktor yang dapat menghambat proses tumbuh
kembang anak dapat diatasi dengan baik.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang
sudah menyalahgunakan napza.Dilakukan pengobatan agar mereka tidak
menggunakan napza lagi.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi
penyalahgunaan napza dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi
untuk menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap
penyalahgunaan napza yang kambuh kembali adalah dengan melakukan
pendampingan yang dapat membantunya untuk mengatasi masalah
perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun dengan melakukan rehabilitasi
kembali.
Sesudah penyalahguna NAPZA menjalani program terapi, maka langkah
selanjutnya program rehabilitasi sebagai upaya memulihkan dan mengambalikan
kondisi mantan penyalahguna zat kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik,
social dan spiritual (keagamaan). Dengan kondisi sehat tersebut, diharapkan
mereka mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari.
Jenis program rehabilitasi:
a. Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke
masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan
pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai
latihan kerja di pusatpusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien
selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali
sekolah/kuliah atau bekerja.
b. Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua
berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan
tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi
dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan
mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali
perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA
kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti
kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan
yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh
karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis
obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan
ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Untuk mencapai tujuan
psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak
cukup; oleh karena itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan
(program rehabilitasi). Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi
yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk rehabilitasi
kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap
sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983
dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu
dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya
yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.
c. Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu
tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat
sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga
profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan
mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-
hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih
(craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif
dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh
tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap
perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi
yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
d. Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi
tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai
dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan
pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian
(spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko
seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila
taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila
kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama
sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.

Teoritis Keperawatan

Menurut (Craven dan Hirnle, 2000) bahwa proses keperawatan memiliki enam
fase yaitu: pengkajian, diagnosa, tujuan, rencana tindakan, implementasi, dan
evaluasi.

Pengkajian

1. Usia
Remaja dan dewasa muda adalah usia yang beresiko terhadap
penyalahgunaan zat dimana upaya mencari identitas diri dan prestige
terhadap kelompok.
2. Jenis Kelamin
Angka kejadian usia Laki-laki lebih banyak daripada wanita.
3. Riwayat Keperawatan:
Autoanamnesa → Tanyakan zat yang pernah dipakai, lama pemakaian zat,
berapa kali dan berapa banyak. Zat yang sedang dipakai, cara pemakaian,
tujuan pemakaian, efek yang diinginkan, hubungan interpersonal, stressor
psikososial, prestasi, penggunaan waktu senggang, penyesuaian social.
Heteroanamnesa → Kita tanyakan perubahan-perubahan yang dialami,
menjadi taat, suka melawan, menyendiri dikamar, sering keluar malan,
penurunan prestasi dan penggunaan uang yang berlebihan.
4. Pemeriksaan Psikologis
Afek emosi, psikomotor, persepsi, daya ingat dan atensi . Kepribadian,
intelegensi, minat dan bakat.
5. Pemeriksaan Khusus
Tes Naloxone → antagonis opium Tes Nembutal → Derajat toleransi
barbiturat Tes Urine Narkoba.

Pohon Masalah

Resti mencederai diri

Harga Diri Rendah

Koping Maladaktif

Diagnosa Keperawatan

Dari pohon masalah, diagnosa yang mungkin timbul:

1. Resiko tinggi menciderai diri sendiri


2. Harga diri rendah
3. Koping maladaptive.

Masalah keperawatan pada Intoksikasi/Withdrawl:

1. Ansietas
2. Gangguan komunikasi verbal
3. Tidak efektif koping individu
4. Tidak efektif koping keluarga
5. Resiko injuri
6. Gangguan konsep diri.
Masalah keperawatan pada Overdosis:

1. Tidak efektif jalan nafas


2. Resiko injuri
3. Gangguan pola tidur.

Rencana Keperawatan

Diagnosa : Koping individu tidak efektif. Ketidakmampuan mengatasi zat


adiktif kembali
Tujuan :
1. Koping individu tidak efektif. Ketidakmampuan mengatasi zat
adiktif kembali.
2. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala koping individdu
tidak efektif
3. Klien dapat mengidentifikasi penyebab dan akibat dari koping
individu tidak efektif
4. Klien dapat berpartisipasi dalam melakukan cara baru untuk
mengatasi keinginan menggunakan zat (sugesti).

Intervensi :

1. Bina hubungan saling percaya


2. Salam terapeutik dan empati1
3. Perkenalkan diri
4. Jelaskan tujuan interaksi
5. Sepakati kontrak interaksi

Anda mungkin juga menyukai