Anda di halaman 1dari 12

Dosen Pengampu :

Dr. Didik Hariyanto, MS.I

Disusun oleh :
1. Kurnia Pertiwi
(182022000106)
2. Rachma sari Octaviani
(182022000107)
3. Erika Febriani

Makalah(182022000111)
4. Ayu Diah Oktaviana
Study Fenomenologi
(182022000112)
Program study Ilmu Komunikasi A2
5. Maulidia Sari
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
(182022000115)
6. Mokhamad Nabil Ali Hadi
(182022000117)
7. Ahmad Fajrul Irhami
(182022000119)
8. Pavel Juhan kalle
(182022000120)
9. Ghulam Muzaki Djalal
(182022000125)
Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui, penelitian merupakan hal yang tidak asing lagi di lingkungan
perguruan tinggi. Semua mahasiswa pasti akan membuat atau melakukan penelitian untuk
memenuhi salah satu syarat kelulusan yaitu skripsi. Dalam melakukan penelitian, mahasiswa
dibimbing oleh para dosen yang sudah ditentukan. Secara umum penelitian ialah suatu
proses penyelidikan yang dilakukan secara aktif, tekun dan sistematis, yang mana tujuannya
untuk menemukan, menginterpretasikan, dan merevisi fakta-fakta. Dalam melakukan
penelitian diperlukan sebuah metode penelitian untuk mengumpulkan data atau informasi,
serta melakukan investigasi pada informasi yang sudah didapat, untuk mempermudah
menemukan hasil penelitian. Metode penelitian sendiri terdiri dari dua bentuk yaitu
Kualitatif dan Kuantitatif. Peneliti dapat menggunakan salah satu dari kedua metode
penelitian tersebut. Selain itu, peneliti juga dapat mengkombinasikan metode kualitatif dan
kuantitatif atau yang biasa disebut dengan metode penelitian campuran.

Sebelum melakukan penelitian, kita wajib mengerti apa yang akan kita teliti, apa tujuan kita
melakukan penelitian tersebut dan bagaimana cara kita melakukan penelitian tersebut.
Dalam metode penelitian kualitatif terdiri dari beberapa jenis, diantaranya adalah
Fenomenologi, Etnografi, Studi Kasus, Metode Historis dan Metode teori dasar. Dalam
makalah ini kita akan membahas salah satu dari metode penelitian kualitatif, yaitu Studi
Fenomenologi. Penulisan makalah ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu menambah
wawasan pembaca terhadap penelitian kualitatif studi fenomenologi, yang diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan pembaca sebelum menentukan metode penelitian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu studi Fenomenologi?

2. Apa ciri-ciri studi Fenomenologi?

3. Bagaimana cara menganalisis data studi Fenomenologi?


C. Tujuan

1. Mengetahui apa itu studi Fenomenologi

2. Mengetahui ciri-ciri studi Fenomenologi

3. Mengetahui cara menganalisis data studi Fenomenologi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Studi Fenomenologi

Fenomenologi secara etimologis berasal dari kata Fenomena dan Logos. Fenomena
berasal dari bahasa Yunani “Phainesthai” yang memiliki arti menampak dan terbentuk dari akar
kata fantasi, fantom, dan fastor sinar atau cahaya. Dari makna kata tersebut akhirnya
terbentuklah kata tampak, terlihat karena bercahaya. Namun secara umum kata fenomena
bermakna sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.

Terdapat dua sudut pandang mengenai fenomena, sudut pandang yang pertama yaitu,
fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau bisa diartikan berhubungan dengan realitas di luar
pikiran. Yang kedua sudut pandang fenomena dari kesadaran, karena fenomena selalu berada
dalam kesadaran kita. Sehingga untuk mendapatkan kesadaran yang murni perlu kita
memandang fenomena dengan melihat “penyaringan” atau rationya terlebih dahulu (Donny
Moeryadi, 2009). Fenomenologi sendiri merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk
menyelidiki pengalaman manusia. Fenomenologi sebagai metode berarti pemikiran untuk
memperoleh atau mengembangkan pengetahuan baru dengan langkah-langkah yang sistematis,
logis dan kritis, tidak berdasarkan prasangka dan juga tidak dogmatis. Penerapan pendekatan
fenomenologi tidak hanya digunakan dalam kajian filsafat, namun juga dalam ilmu-ilmu sosial
dan juga pendidikan.

Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengelaman-


pengelamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya
(Littlejohn,2009:57). Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat
berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran yang lebih lanjut.

Penelitian fenomenologi ini mencoba untuk mengungkap dan menjelaskan suatu


fenomena yang terjadi pada beberapa individu yang didasari oleh kesadaran. Penelitian
fenomenologi dilakukan secara alami sehingga tidak ada batasan untuk memahami dan
memaknai fenomena yang dikaji, dan peneliti juga bebas untuk menganalisis data yang
diperoleh. Menurut Creswell (1998), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian
tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini disebut dengan
Opoche (jangka waktu). Konsep dari opche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan
interpretasi peneliti. Konsep opche menjadi pusat dimana peneliti menyusun serta
mengelompokkan dugaan awal fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh
responden.

Metode Fenomenologi, menurut Polkinghorne (Creswell,1998) Studi fenomenologi


menggambarkan arti sebuah pengalaman hidup untuk beberapa orang tentang sebuah konsep
atau fenomena. Orang-orang yang terlibat dalam menangani sebuah fenomena melakukan
eksplorasi terhadap struktur kesadaran pengalaman hidup manusia. Sedangkan menurut Husserl
(Creswell, 1998) peneliti fenomenologis berusaha mencari tentang hal-hal yang perlu (esensial),
struktur invarian (esensi) atau arti pengalaman yang mendasar dan menekankan pada intensitas
kesadaran dimana pengalaman terdiri dari hal-hal yang tampak dari luar dan hal-hal yang berada
dalam kesadaran masing-masing berdasarkan memori, image dan arti. 

Dalam penelitian fenomenologi perlu adanya pengujian yang teliti dan seksama terhadap
kesadaran pengalaman manusia, karena konsep utama dalam fenomenologi adalah makna.
Makna sendiri merupakan isi penting yang muncul dari kesadaran manusia. Prinsip-prinsip
fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh Husserl. Husserl mengenalkan cara mengekspos
makna dengan memperjelas struktur pengalaman yang masih belum jelas /implicit. Konsep lain
dari fenemologi yaitu intensionalitas dan intersubyektifitas, ada juga prinsip fenomenologis yang
dikenalkan oleh Heidegger yang disebut dengan istilah phenomenologik Herme-neutik.

Penelitian fenomenologi berfokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran individu,
yang disebut dengan intensionalitas. Intensionalitas sendiri menggambarakan proses yang terjadi
dalam kesadaran dan objek yang menjadi perhatian pada proses tersebut. Dalam istilah
fenomenologi, pengalaman merupakan, kesadaran pada kesadaran sesuatu, melihat adalah
melihat sesuatu, menilai adalah menilai sesuatu. Sesuatu itu sendiri merupakan objek dari
kesadaran yang telah distimuli oleh persepsi dari obyek yang “real” atau melalui tindakan
mengingat atau daya cipta (Smith, etc., 2009:12). Intersionalitas tidak hanya terkait dengan
tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran, tidaklah
pikiran itu sendiri, melainkan pikiran atas sesuatu . pikiran juga selalu memiliki obyek. Dan
intensionalitas merupakan keterarahan tindakan yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.

Smith, etc., (2009: 17) menuliskan bahwa menurut Heidegger di pandangan lain dalam
konsep fenomenologi yaitu mengenai person (orang) yang selalu tidak dapat dipisahkan dari
dalam konteks dunianya (person-in-context) dan intersubyektifitas. Keduanya merupakan central
dalam fenomenologi.` Intersubyektifitas sendiri ialah konsep untuk menjelaskan hubungan dan
perkiraan pada kemampuan berkomunikasi dengan orang lain dan membuat rasa (make sense)
pada yang lain.

Untuk mencapai sikap fenomenologis dalam Smith, etc., (2009: 13) Husserl
mengembangkan metode fenomenologi yang direncanakan untuk mengidentifikasi struktur inti
dan ciri khas (feature) dari pengalaman manusia. Perlu diperhatikan bahwa konsekuensi dari
taken-for-granted (menduga untuk pembenaran) dari cara hidup yang familiar setiap hari yang
ada di alam semesta adalah obyek. Dan diperlukan sebuah kategori untuk taken-for-granted pada
suatu obyek (alam semesta) agar kita dapat memusatkan persepsi pada obyek (alam semesta)
tersebut.

Metode fenomenologi Husserl dalam Denny Moeryadi (2009) dimulai dari serangkaian
reduksi-reduksi. Reduksi ini dibutuhkan agar dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat suatu
obyek dan menyingkirkan semua hal yang mengganggu ketika kita ingin mencapai wesenschau.
Reduksi dibagi menjadi beberapa tahapan, yang pertama menyingkirkan segala sesuatu yang
subyektif. Kita harus bersikap obyektif dan terbuka akan gejala-gejala yang harus “diajak
bicara”. Kedua, menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh
dari sumber lain. Ketiga, menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan dan apapun yang
dikatakan oleh orang lain sementara waktu harus kita lupakan. Jika reduksi-reduksi ini berhasil,
maka gejala sendiri dapat memperlihatkan diri menjadi fenomin (memperlihatkan diri).

Menurut Smith, etc., (2009: 14) masing-masing reduksi memberikan perbedaan cara
berpikir dan pengambilan sebuah keputusan berdasarkan pemikiran logis tentang fenomena yang
dilihat dari sisi lain. Susunan reduksi direncanakan untuk memandu peneliti agar jauh dari
kebingungan dan salah arah dari asumsi, prekonsepsi dan kembali menuju pada esensi dari
pengalaman dari fenomena yang telah disepakati (given).

Dalam fenomenologi dilakukan pengujian dengan deskripsi dan refleksi terhadap setiap
hal yang penting, terutama dari fenomena yang given. Deskripsi dari pengalaman fenomenologis
hanya merupakan tahap pertama. Namun, real atau nyatanya deskripsi dalam pengujian
dilakukan untuk mendapatkan pengalaman dengan lebih general. Pengujian tersebut dilakukan
dengan mencoba dan menetapkan apakah inti dari pengalaman subyektif dan apakah essensi atau
ide dari obyek. Sedangkan refleksi langsung tertuju pada pengalaman terhadap gejala atau
fenomena untuk mendapatkan pengertian yang benar dan sedalam-dalamnya. Dalam
fenomenologi juga melihat apa yang di alami oleh manusia dari sudut pandang orang pertama,
yaitu dari orang yang mengalaminya. Fenomenologi berfokus pada makna subyektif dari realitas
obyektif di dalam kesadaran orang yang mengalami aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.

Teori tentang interpretative bermula dari teori hermeneutik. Hakekat dari metode
hermeneutik adalah metode interpretasi, yaitu untuk memahami suatu gejala dari bahasanya baik
lisan maupun tulisan, dan bertujuan untuk mengetahui suatu gejala dari gejala itu sendiri yang
dikaji secara mendalam. Hermeneutik pada awalnya merepresentasikan sebuah usaha untuk
menyediakan dasar-dasar yang meyakinkan untuk menginterpretasi yang berhubungan dengan
teks-teks Al-kitab. Kemudian dikembangkan sebagai fondasi filosofis untuk menginterpretasi
secara meningkat dan meluas pada teks-teks, seperti teks sejarah dan literature kerja.
Schiermacher yang pertamakali menuliskan secara sistematis mengenai hermeutik yang
mempunyai bentuk umum (generic form). Menurutnya interpretasi melibatkan apa yang disebut
interpretasi grammatical dan psychological.

Dalam studi fenomenologis ini dibantu dengan Analisis Fenomenologi Interpretatif (AFI)
atau Interpretative Phenomenologi Analysis (IPA). IPA dalam Smith dan Osborn (2009:97-99)
bertujuan untuk mengungkap secara detail bagaimana partisipan mengartikan dunia personal dan
sosialnya. Sasaran utamanya yakni untuk makna berbagai pengalaman, peristiwa, status yang
dimiliki oleh partisipan dan berusaha untuk mengeksplorasi pengalaman personal serta
menekankan pada pesepsi atau pendapat personal seseorang individu tentang obyek atau
peristiwa. IPA berusaha memahami secara “seperti apa” dari sudut pandang partisipan untuk
dapat berdiri pada posisi mereka. “Memahami” dalam hal ini memiliki dua arti. Pertama,
memahami interpretasi dalam arti mengidentifikasi atau berempati. Kedua, memahami dalam arti
berusaha mengartikani. IPA menekankan pada pembentukan makna baik dari sisi partisipan
maupun peneliti, sehingga kognisi menjadi analisis sentral. Hal ini dapat diartikan bahwa
terdapat aliansi teoritis yang menarik terhadap paradigma kognitif yang sering digunakan dalam
psikologi kontemporer yang membahas proses mental.

B. Ciri-Ciri Studi Fenomenologi


Fenomenologi merupakan bagian dari metodologi kualitatif yang mengandung nilai
sejarah dalam perkembangannya. Studi Fenomenologi mempunyai beberapa ciri-ciri, antara
lain :
1. Fenomenologi memiliki tugas untuk menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan
kehidupan sehari-hari karena kegiatan sehari-hari merupakan akar atau sumber dari
pengetahuan ilmiah adalah pengalaman hidup manusia sehari-hari.
2. Fenomenologi mencoba untuk menjelaskan makna pengalaman hidup manusia tentang
konsep atau gejala melalui pandangan hidup mereka sendiri. Yang artinya fenomenologi
mempelajari suatu konsep seorang individu yang nantinya akan dijadikan salah satu tolak
ukur dalam penelitian yang dijalankan.
3. Fenomenologi tidak memalsukan data dasar dari realita yang ada. Jadi, fenomenologi
adalah pengembangan suatu metode yang mana tidak mengada-ngada terhadap suatu
fenomena yang ada, melainkan dapat mendeskripsikan sesuai dengan realita yang ada.
4. Studi fenomenologi lebih berfokus kepada fenomena yang ingin di observasi
menggunakan sudut pandang tunggal atau perseorangan sebagai konsep dasar dalam
penelitiannya.
5. Dalam memberikan gambaran sebuah pengalaman dari individu, sebagai peneliti harus
benar-benar mendalami pengalaman pribadinya dan mengidentifikasinya. Apakah sesuai
dengan fenomena tersebut sehingga tidak memunculkan spekulasi yang lain.
6. Pada prosedur pengumpulan data, studi Fenomenologi harus melalui tahapan wawancara
kepada narasumber yang akan dijadikan subjek penelitian. Dan juga, harus melibatkan
dari data sumber lainnya yang terdiri dari pengamatan atau dokumen.
7. Observasi studi fenomenologi ini tertuju kepada kelompok atau individu yang semuanya
telah mengalami fenomena itu sendiri. Dari kelompok atau individu yang mengalami
fenomena tersebut mungkin tidak semuanya, mungkin 3 atau 10 individu
8. Pembahasan filosif tentang sebuah ide sebagai dasar studi fenomenologi tersebut. Dalam
studi ini, peneiliti harus melakukan observasi atau eksplor terhadap orang yang pernah
memiliki pengalaman dari fenomena tersebut. Sehingga penelitiannya akan menjadi
penelitian yang valid sesuai dengan pengalaman dan realita.
9. Fenomenologi tidak memiliki ketertarikan kepada aspek pengujian kausalitas pada suatu
peristiwa, tetapi lebih berfokus kepada bagaimana seseorang memaknai sebuah
pengalaman bagi dirinya dan melakukan pengalaman tersebut.
10. Dalam memberikan gambaran sebuah pengalaman dari individu, sebagai peneliti harus
benar-benar mendalami pengalaman pribadinya dan mengidentifikasinya. Apakah sesuai
dengan fenomena tersebut atau tidak, agar tidak terjadi kekeliruan.

C. Analisis Data Fenomenologi

Data dari fenomena sosial yang diteliti dapat dikumpulkan dengan berbagai cara,
diantaranya observasi dan interview. Interview yang mendalam pada penelitian fenomenologi
bermakna mencari sesuatu yang mendalam atau informasi lebih untuk mendapatkan satu
pemahaman yang mendetail tentang fenomena sosial dan pendidikan yang diteliti. Pada sisi lain
peneliti juga harus memformulasikan kebenaran peristiwa/ kejadian dengan pewawancaraan
mendalam dengan narasumber.

Terdapat prosedur penting dalam melaksanakan studi fenomenologi sebagai hasil adaptasi
dari pemikiran Stevick,Colaizzi,dan Keen (lihat Creswell, 1998:54-55, 147-150; Moustakas,
1994:235-237) sebagai berikut:

1. Menetapkan lingkup fenomena yang akan diteliti: Peneliti berusaha memahami perspektif
filosofis di balik pendekatan yang digunakan, terutama konsep mengenai kajian bagaimana
orang mengalami sebuah fenomena. Peneliti menetapkan fenomena yang hendak dikaji melalui
para informan.
2. Menyusun daftar pertanyaan: Peneliti menuliskan pertanyaan penelitian yang mengungkap
makna pengalaman bagi para individu, serta menanyakan kepada mereka untuk menguraikan
pengalaman penting setiap harinya.
3. Pengumpulan data: Peneliti mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang
diteliti. Data diperoleh melalui wawancara yang cukup lama dan mendalam dengan sekitar 5 –
25 orang. Jumlah ini bukan ukuran baku. Bisa saja subjek penelitiannya hanya 1 orang. Teknik
pengumpulan data lain yang dapat digunakan: observasi (langsung dan partisipan),
penelusuran dokumen.
4. Analisis data: Peneliti melakukan analisis data fenomenologis.
a. Tahap awal : Peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena yang dialami subjek
penelitian. Seluruh rekaman hasil wawancara mendalam dengan subjek penelitian
ditranskripsikan ke dalam bahasa tulisan.
b. Tahap Horizontalis : dari hasil transkripsi, peneliti menginventarisasi pernyataan
penting yang relevan dengan topic.
c. Tahap Cluster of Meaning : selanjutnya peneliti mengklasifikasikan pernyataan
tadi ke dalam tema-tema atau unit makna, serta menyisihkan pernyataan yang
tumpang tindih atau berulang-ulang.
5. Tahap deskripsi esensi: penelitimengonstruksi (membangun) deskripsi menyeluruh
mengenai makna dan esensi pengalaman para subjek.
6. Peneliti melaporkan hasil penelitiannya,Laporan ini memberikan pemahaman yang lebih
baik kepada pembaca tentang bagaimana seseorang mengalami suatu fenomena. Laporan
penelitian menunjukkan adanya kesatuan makna tunggal dari pengalaman, di mana
seluruh pengalaman itu memiliki “struktur” yang penting.

Moustaks (1994, P.119-153) mengidentifikasikan lima tahapan utama dalam menganalisis data
dalam penelitian fenomenologi. Yakni:

1. Membuat daftar ekspresi partisipan, Dalam membuat daftar ekspresi partisipan ini,
peneliti harus menunda prasangkanya. Dengan tujuan agar ekspresi partisipan itu murni
atau ditampilkan sebagaimana adanya. Dan tentunya semua ekspresi itu harus
diperlakukan yang sama.
2. Reduksi dan eliminasi ekspresi, Semua ekspresi direduksi dan di eliminasi kembali
dengan cara diperiksa kembali apakah ekspresi itu sudah sesuai dengan pengamalan
partisipan atau ekspresi tersebut sudah dapat masuk dalam pemberian label atau tema.
Ekspresi yang diberikan label atau tema adalah ekspresi yang jelas dan bermakna dan
ekspresi yang dieliminasi adalah ekspresi yang masih tumpang tindih dan tidak jelas.
3. Membuat klaster dan menulis tema terhadap ekspresi yang konsisten, ekspresi yang
konsisten itu adalah yang sudah diberi label tersebut. Proses ini merupakan inti dari
pengalaman partisipan.
4. Validasi, Cara memvalidasi ekspresi partisipan adalah sebagai berikut :
a. Apakah ekspresi itu eksplisit ada dalam transkip wawancara harian partisipan.
Jika iya maka ekspresi itu divalidasi
b. Jika tidak dengan cara (a) maka apakah ekspresi itu “bekerja tanpa konlik”. Jika
tidak maka ekspresi itu tidak bisa divalidasi
c. Jika tidak sesuai dengan cara (a/b) maka ekspresi itu otomatis dibuang atau tidak
digunakan.
5. ITD (Individual Textural Description)
Memaparkan ekspresi yang sudah tervalidasi. Disesuaikan lagi dengan tema dan tidak
lupa disertai dengan kutipan-kutipan kata demi kata hasil wawancara atau catatan harian
partisipan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian fenomenologi berfokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran individu,
yang disebut dengan intensionalitas. Intensionalitas sendiri menggambarakan proses yang terjadi
dalam kesadaran dan objek yang menjadi perhatian pada proses tersebut. Dalam penelitian
fenomenologi perlu adanya pengujian yang teliti dan seksama terhadap kesadaran pengalaman
manusia, karena konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna sendiri merupakan isi
penting yang muncul dari kesadaran manusia. Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang
secara aktif menginterpretasi pengelaman-pengelamannya dan mencoba memahami dunia
dengan pengalaman pribadinya (Littlejohn,2009:57). Fenomena yang tampak adalah refleksi dari
realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran
yang lebih lanjut.

Dalam hal ini penelitian fenomenologi ini mencoba untuk mengungkap dan menjelaskan
suatu fenomena yang terjadi pada beberapa individu yang didasari oleh kesadaran. Penelitian
fenomenologi dilakukan secara alami sehingga tidak ada batasan untuk memahami dan
memaknai fenomena yang dikaji, dan peneliti juga bebas untuk menganalisis data yang
diperoleh. Menurut Creswell (1998), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian
tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini disebut dengan
Opoche (jangka waktu). Konsep dari opche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan
interpretasi peneliti. Konsep opche menjadi pusat dimana peneliti menyusun serta
mengelompokkan dugaan awal fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh
responden.

B. Penutup

Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan. Tujuan penulis membuat
makalah adalah memenuhi tugas kuliah Metode penelitian komunikasi yang mana isi dalam
makalah adalah bentuk pemahaman dari penelitian Fenomenologi. Semoga makalah ini
bermanfaat dan dijadikan pusat implikasi dalam melakukan penelitian fenomenologi yang
lain.

DAFTAR PUSTAKA

 Hasbiansyah, O. 2005. Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam ilmu

sosial dan Komunikasi

 Hamid, Farid. Jurnal Pendekatan Fenomenologi (suatu ranah penelitian kualitatif).

 Jurnal Asep Sudarsyah kerangka analisis data fenomenologi.

 http://eprints.umm.ac.id/46216/4/BAB%20III.pdf

 http://repository.uin-malang.ac.id/

 https://www.academia.edu/34787548/1._FENOMENOLOGI_FIX.docx

 http://digilib.mercubuana.ac.id/

 https://www.researchgate.net/publication/323600431_Mengenal_Lebih_Dekat_dengan_Pende

katan_Fenomenologi_Sebuah_Penelitian_Kualitatif

 https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-penelitian.html

 https://pakarkomunikasi.com/jenis-metode-penelitian-kualitatif

Anda mungkin juga menyukai