Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Preeklampsia
1. Pengertian
Preeklampsia merupakan suatu kondisi yang terjadi pada saat kehamilan,
ditandai dengan kenaikan tekanan darah dari batas normal, edema dan proteinuria.
Pada molahidatidosa preeklampsia dapat terjadi lebih awal, pada umumnya
preeklampsia muncul pada usia kehamilan mencapai 20 minggu (Wiktjosastro, 2002;
dikutip Mitayani, 2012). Selain itu, preeklampsia dapat muncul lebih awal jika terjadi
perubahan pada hidatidiformis pada bagian korialis dan vili yang kemudian pulih saat
postnatal.
Adapun kriteria diagnosa preeklampsia terbagi menjadi kriteria diagnosis
minimal dan kriteria peningkatan kepastian preeklampsia. Kriteria minimal
preeklampsia adalah tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20
minggu dan proteinuria 300 mg/24 jam atau positif 1 pada pemeriksaan dipstick.
Sedangkan, kriteria peningkatan kepastian preeklampsia antara lain yaitu, proteinuria
2g/24 jam atau positif 2 pada dipstick, tekanan darah mencapai 160/110 mmHg,
kreatinin serum > 1,2mg/dl kecuali memang sebelumnya telah meningkat, hemolisis
mikroangioatil, peningkatan ALT/AST, penurunan hitung trombosit < 100.000/mm3,
nyeri epigastrium menetap, nyeri kepala menentap atau disertai gangguan serebrum
atau penglihatan lainnya.
Preeklampsia dapat terus berkembang beriringan dengan semakin
bertambahnya usia kehamilan. Gejala-gejala preeklampsia jarang muncul pada ibu
hamil, namun perkembangannya dapat berkisar 2 - 4 minggu atau berat dan mendadak
dalam waktu 24 jam. Preeklampsia dapat muncul mulai dari masa antenatal,
intrapartum hingga postnatal. (Fadlun & Feryanto, 2017)

2. Etiologi
Penyebab terjadi nya preeklampsia belum diketahui secara jelas, namun telah
banyak teori-teori yang telah mencoba untuk menjelaskan kemungkinan penyebab
terjadi nya preeklampsia. Adapun salah satu teori menerangkan (Fadlun & Feryanto,
2017) :
a. Terjadi pada ibu hamil primigravida, molahidatidosa, kehamilan ganda dan
hidroamnion.
b. Meningkatnya frekuensi dan peningkatan usia kehamilan.
c. Terjadinya perbaikan keadaan saat keadaan janin telah meninggal di dalam
uterus.
d. Preeklampsia jarang terjadi berulang pada kehamilan selanjutnya.
e. Munculnya tanda hipertensi, proteinuria, disertai kejang dan koma.

Telah banyak beberapa teori yang mengemukakan penyebab terjadinya


preeklampsia, namun untuk etiologi preeklampsia belum diketahui secara pasti.
Preeklampsia muncul pada umum nya saat trimester pertama dan kedua pada
kehamilan dengan masalah endotelium ibu serta plasenta yang memicu manifestasi
klinis penyakit muncul, namun hal tersebut pula belum diketahui secara jelas
penyebab nya.

3. Tanda dan gejala


Dua gejala khas yang muncul pada preeklampsia, namun tidak disadari oleh
ibu hamil adalah hipertensi dan proteinuria. Menurut Bothamley & Boyle (2009)
penyebab gejala-gejala tersebut antara lain :
a.Tekanan Darah
Tekanan darah yang meningkat dari batas normal merupakan suatu tanda
peningkatan awal yang penting dari preeklampsia. Tekanan diastolik akan
meningkat ≥ 90 mmHg, sedangkan tekanan darah sistolik akan meningkat ≥ 140
mmHg yang diperiksa sebanyak dua kali dengan jarak pemeriksaan empat jam
atau lebih. Tekanan diastolik digunakan sebagai tanda prognostik, dibandingkan
dengan tekanan sistolik.
b. Kenaikan Berat Badan
Pada sebagian wanita kenaikan berat badan secara berlebihan dan tiba-tiba
merupakan tanda pada preeklampsia. Peningkatan berat badan normal pada ibu
hamil adalah 0,5 kg/minggu. Preeklampsia dapat dicurigai bila terjadi kenaikan
berat badan sebanyak 1 kg atau lebih dalam waktu satu minggu. Penyebab utama
terjadinya kenaikan berat badan yaitu karena retensi cairan dan dapat ditemukan
sebelum munculnya gejala edema yang terlihat jelas, seperti edema palpebra
maupun jari tangan yang membesar.
c.Proteinuria
Nilai protein pada urin didapatkan minimal positif satu atau tidak sama sekali
pada preeklampsia ringan. Namun, pada kasus preeklampsia berat protein dalam
dapat mencapai 10 g/dl.

Menurut McDonald (2002) dan PRECOG (2004) tanda dan gejala


preeklampsia yang dapat muncul seperti nyeri epigastrik, muntah, sakit kepala,
gangguam penglihatan, penurunan gerakan janin, ukuran janin kecil yang tidak sesuai
dengan usia gestasi. Sedangkan, menurut Mitayani (2012) adapun keluhan subjektif
yang dirasakan oleh ibu hamil adalah nyeri kepala bagian frontal dan oksipital serta
nyeri tidak berkurang jika hanya diberikan analgesik biasa, gangguan penglihatan
yang disebabkan oleh spasme arterial, edema retina, ablasio retina dan iskemia, nyeri
epigastrik yang disebabkan oleh peningkatan tekanan darah pada bagian kapsula
hepar akibat edema atau perdarahan yang biasanya muncul pada penderita
preeklampsia berat.

4. Patofisiologis
Pada kondisi preeklampsia terjadi retensi garam dan air yang diikuti oleh
spasme vaskular. Terjadi spasme hebat pada arteria glomerulus yang didapatkan dari
hasil biopsi ginjal, pada beberapa kasus lumen pada arteria sangat sempit hingga
hanya bisa dilewati oleh satu sel darah merah saja. Sehingga, jika semua arteriola
dalam tubuh mengalama spasme maka tubuh akan melakukan kompensasi tubuh
dengan cara meningkatkan tekanan darah sebagai upaya untuk memenuhi oksigenasi
jaringan perifer.
Adapun kondisi preeklampsia diperkirakan merupakan penyebab dari
gabungan komplek absnormalitas faktor imunologik, faktor genetik dan faktor
plasenta. Salah satu faktor predisposisi penyakit sistemik adalah perubahan cara
plasenta terinplantasi dengan uterus. Implantasi plasenta yang baik akan membuat sel
trifoblas menginvasi miometrium dan desidua uterus, memperbesar dan memodifikasi
arteri spirlis uterus. Modifikasi ini menyebabkan penghancuran dinding elastin
vaskular yang menurunkan resistensi dan menjamin suplai darah ke plasenta dan
janin. Dalam proses tersebut banyak terlibat agen inflamasi seperti sitokinin dan sel
natural killer (NK) (Sibai, et al, 2005; dikutip Bothamley & Boyle, 2009). Pada
preeklampsia terdapat kelainan pada invasi trofoblas, arteri spiralis mempertahankan
tonus nya dan berkontriksi 60% dari kehamilana normal, yang dapat menurunkan
suplai darah kepada janin, sehingga dapat mengakibatkan hipoksia kronis.
Implantasi plasenta yang buruk dapat memperburuk keadaan janin, dapat
terjadi perubahan fungsi endotel secara menyeluruh yang dapat mengakibatkan
terjadinya kegagalan multi organ. Selain itu, gejala khas preeklampsia juga dapat
muncul seperti kenaikan tekanan darah, protein dalam urin, bersama dengan gejala
seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, gangguan epigastrik pada sel endotel yang
melapisi bagian vaskular ibu yang menjadi mediator inflamasi dan respon imun,
mencegah koagulasi intravaskular, mempertahankan integritas kompartemen, dan
memodifikasi respon kontraktil otot polos (Vender, et al, 2001; Bothamley & Boyle,
2009).
Perubahan fungsi-fungsi yang disebabkan oleh preeklampsia dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas sel, peningkatan trombosis, penurunan
oksida nitrat, peningkatan agregat trombosit, serta ketidakseimbangan perbandingan
tromboksan A2 terhadap prostasiklin (Powrie & Rosene Montella, 2008; Walfisch &
Hallak, 2006; dikutip Bothamley & Boyle, 2009). Hal tersebut menyebabkan terjadi
nya vasokontriksi yang hebat, sehingga terjadi hipoperfusi organ, peningkatan
tekanan darah dan kebocoran vaskular.
5. Klasifikasi Preeklampsia
Adapun klasifikasi preeklampsia terbagi menjadi dua yaitu :
a. Preeklampsia ringan
Menurut Fadlun & Feryanto, (2012) gejala-gejala yang muncul pada
preeklampsia ringan antara lain :
1. Nilai tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih dengan kenaikan tekanan sistolik
≥ 30 mmHg dan kenaikan tekanan diastolik ≥ 15 mmHg.
2. Edema umum, wajah, jari, kaki dan disertai kenaikan BB 1 kg atau lebih setiap
minggu nya.
3. Proteinuria kuantitatif dengan nilai ≥ 0,3 gram/ 24 jam, sedangkan proteinuria
kualitatif bernilai positif 1 atau positif 2 pada urin kateter/mid stream.
b. Preeklampsia Berat
Adapun tanda dan gejala yang muncul pada preeklampsia berat antara lain :
1. Tekanan darah ≥160/110 mmHg
2. Proteinuria ≥ 5 gr/l
3. Oliguria yaitu jumlah urin < 500 cc/jam
4. Terdapat gangguan visus, nyeri epigastrik, gangguan serebral
5. Edema paru dan sianosis.
Tabel 2.1 Perbedaan antara Preeklampsia Ringan dan Berat

No Kelainan Preeklampsia Ringan Preeklampsia Berat


.
1. Tekanan darah diastol < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
2. Proteinuria Positif 1 Positif 2 atau lebih
3. Sakit kepala Tidak ada Ada
4. Gangguan penglihatan Tidak ada Ada
5. Nyeri abdomen atas Tidak ada Ada
6. Oliguria Tidak ada Ada
7. Kreatinin serum Normal Meningkat
8. Trombositopenia Tidak ada Ada
9. Peningkatan enzim hati Minimal Nyata
10. Hambatan pertumbuhan janin Tidak ada Jelas
11. Edema paru Tidak ada Ada
Sumber : Leveno, 2009

6. Komplikasi
Menurut Wough & Robson (2008) komplikasi yang dapat muncul akibat
preeklampsia antara lain yaitu abrupsio plasenta, sindrom HELLP (Haemolysis,
Elevated Liver enzymes, Low Platelet counts), koagulasi diseminata, keterbatasan
pertumbuhan intrauteri, kelahiran prematur, kegagalan multi organ, gagal ginjal, serta
eklampsia (kejang).
Selain itu, komplikasi lain yang dapat muncul adalah ablasio retina, gagal
jantung, syok, solusio plasenta, eklampsia, perdarahan subkapsula hepar, kelainan
pembekuan darah, hingga kematian. Sedangkan, komplikasi yang dapat terjadi pada
janin yakni bayi lahir berat rendah, prematur, asfiksia neonatorum, terhambatnya
pertumbuhan janin pada uterus, serta kematian dalam uterus. Hal tersebut dapat
meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian prenatal (Mitayani, 2012).
7. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan yang dapat diberikan pada ibu hamil dengan
preemklampsia yaitu (Bobak, et al, 2004) :
a. Preeklampsia ringan
1. Usia kehamilan < 37 minggu
Rawat Jalan
- Pemantauan kondisi janin, tekanan darah dan kadar protein dalam urin.
- Lebih banyak beristirahat
- Perhatian pada diet makanan
- Lakukan perawatan di rumah sakit jika rawat jalan tidak memungkinkan.

Rawat Inap

- Diet biasa
- Memantau kadar protein dalam urin sekali dalam sehari, serta memantau
tekanan darah dua kali dalam sehari.
- Berikan diuretik jika terjadi edema paru, dekompensasi kordis dan gagal
ginjal akut.
- Apabila tekanan diastolik turun hingga menjadi normal, maka ibu dapat
dipulangkan serta melakukan kontrol dalam waktu dua kali seminggu.
- Apabila terdapat tanda perkembangan janin terhambat, pertimbangkan
untuk melakukan terminasi kehamilan.
2. Jika usia kehamilan > 37 minggu
- Apabila serviks sudah matang maka dapat dilakukan induksi dengan
oksitosin sebanyak 5 IU dalam dextrose IV 500 cc, diberikan dengan 10
tetes/menit atau dengan prostaglandin.
- Apabila serviks belum mata, maka berikan prostaglandin, kateter folley
atau misoprostol atau terminasi dengan seksio sesaria.
b. Preeklampsia Berat
1. Penanganan Umum
- Apabila tekanan diastolik > 110 mmHg, maka berikan obat antihipertensi
sampai tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg.
- Berikan terapi cairan intravena dengan jenis cairan Ringer Lactat dengan
jarum ukuran 16 atau lebih.
- Ukur keseimbangan cairan, pantau risiko terjadinya overload cairan.
- Kateterisasi urin untuk mengeluarkan urin, pantau kemungkinan terjadinya
edema paru.
- Temani pasien, karena kejang dan aspirasi dapat terjadi sewaktu-waktu.
- Observasi tanda-tanda vital, denyut jantung janin serta refleks pada setiap
jam nya.
- Auskultasi untuk mendeteksi ada nya edema paru. Jika terdapat krepitasi
maka hentikan pemberian cairan intravena dilanjutkan pemberian diurerik
furosemide 40 mg.
- Kaji tingkat pembekuan darah dengan uji bedside, jika darah membeku
dalam waktu lebih dari 7 menit maka terdapat kemungkinan terjadinya
koagulopati.
8. Upaya pencegahan
Upaya-upaya pencegahan preeklampsia dapat dilakukan dengan cara melakukan
pemeriksaan antenatal secara teratur dan teliti, sehingga dapat mendeteksi ada tidak nya
tanda dan gejala preeklampsia yang muncul dengan demikian dapat segera
ditatalaksana. Preeklampsia memang tidak dapat dicegah secara sepenuhnya, namun
frekuensi nya dan risiko terjadinya komplikasi dapat dikurangi dengan memberikan
pendidikan kesehatan maupun informasi untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil
khususnya (Cunningham, FG & Leveno, K., 2002).

B. Pendidikan Kesehatan
a. Pengertian
Pendidikan kesehatan adalah suatu kegiatan untuk memberikan pengetahuan
kepada individu,keluarga, kelompok dan/atau pada masyarakat, sehingga tumbuh
sikap yang positif serta dapat menerapkan tata cara hidup sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari (Budiono, B., 2000). Selain itu, menurut Mahfoedz, I., &
Suryani, E. (2008) pendidikan kesehatan merupakan suatu upaya menyampaikan
pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat sasaran menjadi tahu, mau dan
mampu melakukan tata cara hidup sehat sesuai yang dianjurkan.
b. Tujuan
Menurut WHO (1954) dikutip oleh Mahfoedz, I., & Suryani, E. (2008) tujuan
akhir dari pendidikan kesehatan adalah perubahan perilaku individu, keluarga atau
masyarakat sasaran dari perilaku tidak sehat menjadi perilaku yang lebih sehat.
c. Penyuluh atau Fasilitator
Menurut Departemen Kesehatan (2007) kriteria sebagai berikut :
a. Menguasai materi yang akan disampaikan pada pendidikan kesehatan
b. Memiliki pengetahuan yang luas
c. Memiliki kemampuan komunikasi yang baik, menggunakan bahasa yang jelas,
menjadi pendengar yang baik serta membuat suasana bersahabat.
d. Memberikan informasi yang sesuai dan relevan, serta dan dipercaya.
e. Empati, mampu memahami perasaan peserta.
f. Mampu memotivasi para peserta untuk terbuka, mengemukakan pendapat dan
menyampaikan keluhan.
g. Kreatif dalam mengembangkan pencapaian dan pemahaman maksimal.
h. Sedangkan, peran fasilitator antara lain :
i. Mempersiapkan sasaran dan kegiatan
j. Dapat memberikan solusi yang mendukung
k. Menyampaikan materi inti
l. Melakukan penyeleksian terhadap masalah yang dihadapi
m. Mendokumentasikan kegiatan pendidikan kesehatan.

d. Sasaran Pendidikan Kesehatan


Menurut Mahfoedz, I., & Suryani, E. (2008) sasaran pendidikan kesehatan
adalah :
a. Masyarakat umum dengan orientasi pada masyarakata desa
b. Masyarakat dalam kelompok tertentu seperti ibu hamil, remaja, perokok dan
sebagainya.
c. Sasaran individual

e. Metode Penyuluhan
Metode yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan kesehatan adalah
dengan metode belajar-mengajar. Secara umum, metode tersebut dibagi menjadi dua
yaitu metode diktatik dan metode sokratik. Metode diktatik adalah metode yang
menggunakan komunikasi satu arah, dengan pemberian informasi secara aktif oleh
pendidik sedangkan sasaran pendidikan kesehatan beraifat pasif. Sedangkan, metode
sokratik adalah metode pendidikan kesehatan yang menggunakan komunikasi dua
arah yang mana terdapat hubungan timbal balik antara pendidik dan sasaran
pendidikan kesehatan. (Mahfoedz, I., & Suryani, E., 2008).
Menurut Notoadmodjo (2003) metode pendidikan kesehatan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan kesehatan. Adapun metode-
metode yang dapat digunakan antara lain :
a. Metode pada sasaran individual, digunakan untuk mengarahkan pada suatu
perilaku yang baru. Metode yang dapat digunakan pada sasaran individu adalah
bimbingan dan wawancara.
b. Metode pada sasaran kelompok, pada kelompok besar yang jumlah anggota nya
lebih dari 15 orang disarankan untuk menggunakan metode seminar atau
ceramah. Sedangkan, pada kelompok kecil dapat menggunakan metode bola
saju, permainan simulasi, curah pendapat, dan sebagainya.
c. Metode pada massa, adapun metode ini bertujuan untuk memberikan pesan-
pesan kesehatan pada masyarakat, sehingga metode yang dapat digunakan adalah
pendekatan massa dapat diaplikasikan pada ceramah atau program televisi.
f. Proses Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang ditujukan
untuk memberikan pengetahuan yang diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku
yang lebih positif. Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses yang diawali
masukan dan keluaran yang diharapkan dapat mencapai tujuan. Tujuan yang
dimaksud adalah perubahan perilaku, namun hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang harmonis (Notoadmodjo, 2003).
g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Kesehatan
Menurut Mahfoedz, I., & Suryani, E., (2008) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses belajar antara lain :
a. Faktor manusia, yang meliputi dari fasilitator maupun dari para peserta
pendidikan kesehatan. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh kematangan secara
fisik dan psikososial, pengetahuan dan motivasi.
b. Faktor beban dan tugas penyuluhan, hal tersebut berkenaan dengan bentuk tugas,
materi serta lingkungan.
c. Faktor pelaksanaan, berkenaan dengan teknis penyelenggaraan acara, fasilitas,
sumber daya, minat, motivasi dan persiapan mental.
d. Umpan balik, hal ini sangat penting dalam suatu pendidikan kesehatan karena
bermula dari umpan balik para peserta pendidikan kesehatan dapat mengetahui
letak kesalahan mereka dan dapat memperbaikinya dikemudian hari.

Selain itu, menurut Notoadmodjo (2003) terdapat beberapa faktor lain yang
dapat mempengaruhi pendidikan kesehatan yaitu, faktor materi penyuluhan,
lingkungan, peserta penyuluhan dan faktor instrumental yang terdiri atas hardware
( perlengkapan belajar dan alat peraga) dan software (fasilitatator dan metode
pendidikan kesehatan).

h. Media Pendidikan Kesehatan


Media pendidikan kesehatan digunakan sebagai alat untuk membantu proses
pendidikan kesehatan. Pengetahuan pada setiap manusia ditangkap melalui panca
indera, semakin banyak indera yang menerima maka akan semakin jelas pula
pengetahuan yang dapat diterima dan memudahkan dalam membuat suatu persepsi
pada peserta pendidikan kesehatan. Adapun manfaat dari media pendidikan
kesehatan adalah :
a. Menimbulkan minat pada sasaran pendidikan kesehatan
b. Mendapatkan sasaran yang lebih banyak
c. Membantu dalam mengatasi hambatan dalam berbahasa
d. Menstimulasi para peserta untuk melaksanakan dan meneruskan pesan
kesehatan yang telah disampaikan
e. Memudahkan dalam menyampaikan dan menerima informasi untuk fasilitator
maupun peserta.
f. Membantu menegakkan pengetahuan yang telah didapatkan, sehingga dapat
bertahan lebih lama
g. Meningkatkan rasa ingin tahu peserta, sehingga muncul sikap ingin
mendalami dan menerapkan pengetahuan yang diperoleh.
C. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan (knowlegde) adalah hasil dari penginderaan manusia, atau hasil
seseorang setelah mengetahui objek melalui indera yang dimilikinya seperti dari mata,
hidung, telinga, dan lainnya. Ketika terjadi penginderaan, maka objek tersebut akan
mengalami perubahan menjadi pengetahuan yang dipengaruhi oleh perhatian dan
persepsi. Sebagian besar pengetahuan didapatkan dari indera pendengaran dan indera
penglihatan. Intensitas setiap orang berbeda-beda mengenai pengetahuan seseorang
terhadap suatu objek (Notoadmodjo, 2010).
Pengetahuan memiliki tingkatan yang terdiri atas tahu (know), memahami
(comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis) dan
evaluasi (evaluation). Tahu memiliki arti bahwa seseorang dapat mengingat suatu
informasi yang telah diajarkan sebelumnya dan dapat mengingat nya kembali secara
spesifik tentang seluruh informasi yang telah didapatkan. Sedangkan, memahami
memiliki arti jika seseorang mampu menjelaskan kembali secara benar tentang informasi
yang sudah dipelajari dan dapat menginterpretasikannya secara benar (Notoadmodjo,
2012).
Selanjutnya, ialah tingkatan pada aplikasi merupakan kemampuan untuk
menggunakan informasi yang didapatkan pada kondisi sebenarnya. Analisis merupakan
kemampuan untuk menjabarkan informasi yang didapatkan ke dalam suatu komponen-
komponen. Sintesis merupakan kemampuan untuk membentuk formulasi baru dari
formulasi yang sudah ada, sedangkan evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu objek (Notoadmodjo, 2012). Selain terdapat tingkatan pada
pengetahuan, Notoadmodjo (2010) menyebutkan jika terdapat beberapa faktor-faktor
yang mempengaruhi pengetahuan antara lain:
a. Tingkat pendidikan
Seseorang yang memiliki tingkan pendidikan yang lebih tinggi cenderung
memiliki pengetahuan yang lebih banyak, sehingga akan lebih mudah dalam
memahami suatu hal ataupun memecahkan suatu masalah.
b. Informasi
Seseorang yang memiliki berbagai sumber informasi yang dapat dicapai akan
memiliki pengetahuan yang lebih banyak serta lebih jelas.
c. Budaya
Informasi-informasi yang sudah didapatkan biasa nya akan disesuaikan
terlebih dahulu terhadap budaya yang dimiliki. Informasi yang bertentangan
dengan budaya cenderung akan sulit diterapkan.
d. Pengalaman
Pengalaman berhubungan erat dengan usia dan tingkat pendidikan, seseorang
yang memiliki pengalaman lebih banyak cenderung telah memiliki pendidikan
maupun informasi yang lebih banyak.

D. Focus Group Discussion (FGD)


1. Pengertian
Menurut Bachtiar, A. (2000) Focus Group Discussion (FGD) atau dalam
bahasa Indonesia disebut diskusi kelompok terarah merupakan salah satu metode
pengumpulan data dalam mengemukakan perasaan, pendapat, persepsi, dan saran
dari para anggota kelompok mengenai suatu bidang tertentu yang diarahkan oleh
fasilitator. Namun, metode FGD yang digunakan dalam penelitian adalah salah satu
metode yang diterapkan pada pendidikan kesehatan pada Ibu hamil untuk
memberikan edukasi mengenai preeklampsia.
2. Persiapan
Menurut Debus, M. (2004) persiapan yang dibutuhkan untuk melaksanakan
diskusi kelompok terarah antara lain :
a. Menentukan jumlah kelompok
Perlu dilakukan untuk menentukan jumlah kelompok yang diperlukan dalam
melaksanakan FGD, adapun hal yang dapat dilakukan yaitu mendapatkan
informasi mengenai masalah responden penelitian. Setelah ditemukan informasi
yang adekuat, maka jumlah kelompok dapat ditentukan berdasarkan aturan-
aturan berikut :
1. Setiap variabel masalah akan dilaksanakan minimal dua diskusi kelompok.
2. Menggilir materi komunikasi yang disajikan pada saat pelaksanaan FGD
3. Melakukan FGD hingga informasi yang diperoleh tidak lagi baru
4. Melaksanakan FGD pada setiap daerah yang memiliki karakteristik
geografis dengan perbedaan yang bermakna
b. Menentukan komposisi kelompok
Pelaksanaan FGD dilaksanakan dengan sampel dan responden yang homogen,
adapun penentuan komposisi kelompok untuk melaksanakan FGD antara lain :
1. Kelas sosial
Pada pelaksanaan FGD sangat dianjurkan untuk memilih sampel dengan
status sosial yang sama.
2. Pengalaman hidup
Responden yang memiliki daur hidup atau pengalaman hidup yang berbeda,
sebaik nya tidak digabung menjadi satu kelompok karena perbedaan
pengalaman hidup mempengaruhi perbedaan memandang masalah yang
dibicarakan.
3. Usia
Responden dengan usia dan status perkawinan yang berbeda sebaiknya tidak
dijadikan dalam satu kelompok.
4. Jenis kelamin
Penggabungan responden dengan jenis kelamin yang berbeda dapat
dilakukan, namun jika permasalahan yang dibicarakn tidak dipengaruhi
stereotipe jenis kelamin.
c. Menentukan lamanya diskusi
FGD biasanya dilakukan sehari atau setengah hari untuk menggali gagasan,
namun sebaiknya tidak lebih dari satu setengah sampai dua jam.
d. Menentukan besarnya kelompok
Setiap kelompok pada pelaksanaan FGD biasanya terdiri dari delapan sama
sepuluh orang. Kunci untuk menentukan besarnya kelompok yaitu apabila ingin
menggali gagasan secara mendalam jumlah anggota yang semakin banyak akan
semakin baik dan bermanfaat. Namun, jika ingin mengetahui tanggapan
responden secara individu maka lebih baik menggunakan kelompok kecil.
e. Menentukan tempat diskusi
Adapun beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk memilih tempat
diskusi dalam melaksanakan FGD yaitu :
1. Tempat yang dapat membuat peserta nyaman.
2. Memilih lokasi yang mudah dicapi dan cukup tenang agar suara fasilitator
dan responden cukup terdengar.
3. Memilih tempat yang dapat didatangi oleh pengamat tanpa menganggu
jalannya FGD, jika memungkinkan.
f. Menentukan tempat duduk
FGD pada umumnya dilaksanakan dengan meja rapat atau dalam ruangan
yang masih terasa wajar oleh responden. Hal yang harus diperhatikan adalah
menempatkan responden pada posisi yang nyaman, sehingga dapat terbuka
dalam menyampaikan tanggapan, pendapat, saran dan persepsi nya saat
berinteraksi. Adapun hal-hal yang dapat diperhatikan antara lain :
1. Hindari penempatan tempat duduk yang menunjukkan status tertentu.
2. Fasilitator dapat duduk bertatap muka dengan seluruh peserta.
3. Menempatkan seluruh peserta dengan jarak yang sama dengan fasilitator,
sehingga bisa saling bertatap muka dengan jelas.
3. Proses Pendidikan Kesehatan dengan Metode FGD
Proses pelaksanaan pendidikan kesehatan dengan metode FGD yaitu terbagi
menjadi dua langkah, antara lain :
a. Persiapan
Pada tahap ini fasilitator akan mempersiapkan sarana prasaran dalam
pelaksanaan pendidikan kesehatan. Kemudian fasilitator melakukan perkenalan,
menjelaskan tujuan serta menjelaskan secara singkat materi pendidikan
kesehatan. Selanjutnya, fasilitator akan mengkondisikan peserta untuk duduk
sesuai kelompok.
b. Pelaksanaan
Para responden akan dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil.
Ketika kelompok mulai melaksanakan diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan
yang disebutkan oleh fasilitator mengenai materi pendidikan kesehatan yang
sesuai dengan panduan untuk pelaksanaan FGD sebagai upaya untuk
menstimulasi interaksi antar responden dalam memberikan jawaban dan
tanggapan nya. Selanjutnya mencatat saran dan ide-ide yang penting, kemudian
ditutup dengan menyimpulkan masalah yang dibahas.
4. Kelebihan dan Kekurangan FGD
a. Kelebihan FGD
1. Menstimulasi peserta dalam memberikan tanggapan, gagasan, dan ide-ide
dalam melakukan pemecahan masalah.
2. Mengembangkan sikap saling menghargai pendapat.
3. Memperluas wawasan.
b. Kekurangan FGD
1. Pembicaraan terkadang keluar dari topik pemasalahan yang dibahas.
2. Cenderung dapat dikuasai pada orang-orang yang senang berbicara.
3. Tidak dapat digunakan pada kelompok dengan jumlah anggota yang sangat
besar.
E. Penelitian Terkait
1. Penelitian Tetti Solehati, Citra Windani Mambang Sari, Mamat Lukman, Cecep Eli
Kosasih (2018)
Judul : Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pengetahuan Deteksi Dini
dan Pencegahan Anemia dalam Upaya Menurunkan AKI pada Kader Posyandu.
Desain penelitian ini adalah quasy experiment dengan rancangan pretest and post test
without control. Lokasi penelitian ini terletak di Kelurahan Cipamokolan Kecamatan
Rancasari Bandung. Populasi pada penelitian ini ialah seluruh kader kesehatan
posyandu dengan jumlah 21 orang. Pendidikan kesehatan yang diberikan
menggunakan metode ceramah. Berdasrkan hasil uji statistik didapatkan bahwa
terdapat perbedaan signifikan antara pengetahuan antara pretest dan posttest
responden. Setelah dilakukan posttest nampak pengetahuan mereka meningkat dan
pada saat posttest tidak ada lagi responden yang memiliki pengetahuan yang kurang
(p=0,001). Sehingga, pendidikan kesehatan memberikan pengaruh terhadap
peningkatan pengetahuan kader kesehatan.
2. Penelitian Marianti Avi Lathifah, Susanti, Much Ilham, Aji Wibowo (2015)
Judul Perbandingan Metode CBIA dan FGD dalam Peningkatan Pengetahuan
dan Ketepatan Caregiver dalam Upaya Swamedikasi Demam pada Anak. Rancangan
penelitian yang digunakan yaitu rancangan quasy experiment dengan menggunakan
non randomized control group pretest posttest design. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rerata selisih skor pada kelompok FGD (2.45) lebih besar dibandingkan
dengan CBIA (0.96). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa metode FGD memberikan
pengaruh lebih besar dalam meningkatkan pengetahuan dibandingkan dengan metode
CBIA walaupun keduanya sama-sama mengalami peningkatan.
3. Penelitian Firnaliza Rizona,Karolin Adhisty, Fuji Rahmawati, Tri Candraca Firmana
(2019)
Judul Efektifitas Edukasi Tentang Jajanan Sehat Terhadap Peningkatan
Pengetahuan dan Sikap Siswa Overweight. Penelitian ini menggunakan rancangan
penelitian quasy experiment dengan one grup pre-posttest design dengan jumlah
responden sebanyak 50 siswa overweight. Hasil uji statistik dengan uji Wilcoxon
didapatkan bahwa terdapat efektivitas edukasi dengan adanya perbedaan nilai
pengetahuan dan sikap antara sebelum dengan sesudah dilakukan FGD dengan nilai
p=0,000. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa edukasi mengenai jajanan sehat dengan
diskusi berkelompok dapat meningkatkan nilai pengetahuan dan sikap anak sekolah
overweight untuk memahami jajanan sehat.
4. Penelitian Agus Susilo (2017)
Judul Pengaruh Focus Group Discussion tentang Kesehatan Reproduksi
terhadap Persepsi Seks Bebas Remaja di kelas X SMKN Kebonagung Kecamatan
Keboagung Kabupaten Pacitan. Desain penelitian ini adalah Pre- eksperimen dengan
desain penelitian one group pre-post test design. Populasi berjumlah 75 responden,
sedangkan sampel berjumlah 20 responden yang didapatkan dengan teknik simple
random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian FGD dan
menyebarkan kuesioner kemudian dianalisis menggunakan McNemar Test dengan
tingkat kemaknaan p value < 0,05. Analisis data statistik menunjukan hasil yang
signifikan dengan nilai p value 0.001. Sehingga terdapat perbedaan persepsi seks
bebas sebelum dan sesudah dilakukan FGD.
Skema 2.1 Kerangka Teori

Pengetahuan Ibu Hamil Pendidikan Kesehatan Pengaruh Pendidikan Kesehatan


kurang mengenai tentang Preeklampsia terhadap Pengetahuan Ibu
Preeklampsia dengan metode FGD tentang Preeklampsia

Angka Kematian Ibu akibat Faktor yang Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan Ibu tentang
Preeklampsia tinggi mempengaruhi pendidikan kesehatan : faktor Preeklampsia yang baik dapat
pengetahuan : pendidikan, manusia, umpan balik, mencegah terjadinya
pengalaman, informasi, pelaksanaan, beban dan tugas kompikasi pada kehamilan
budaya dan usia

Sumber : Notoadmodjo, 2007; Notoadmodjo, 2010; Notoadmodjo, 2012; Mahfoedz, I., & Suryani, E., 2008; WHO, 2016; Prawirohardjo, 2007;
Kozier. Erb, Berma. Snyder, 2010; Rizki, N., A, 2012; Susanti, Ilham, M., & Wibowo, A., 2015.

Anda mungkin juga menyukai