Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

PREEKLAMPSIA BERAT
Laporan Ini Dibuat Untuk Melengkapi Tugas Profesi Keperawatan Maternitas

OLEH :

MUTIARA HARIYANTO S.KEP


2241312024

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS
ANDALAS
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Tinjauan Tentang Etiologi


1. Pengertian Preeklampsia Berat
Preeklampsia adalah kelainan multi sistemik yang terjadi pada kehamilan
yang ditandai dengan adanya hipertensi dan edema, serta dapat disertai
proteinuria. Preeklampsia merupakan sindroma spesifik kehamilan yang terutama
berkaitan dengan berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan akibat
endotel, yang bermanifestasi dengan adanya peningkatan tekanan darah dan
proteinuria (Lalenoh, 2018).

Preeklampsia adalah tekanan darah tinggi yang disertai dengan proteinuria


(protein dalam air kemih) atau edema (penimbunan cairan) yang terjadi pada
kehamilan 20 minggu sampai akhir minggu pertama setelah persalinan
(Ratnawati, 2018).

2. Klasifikasi
Menurut Ratnawati (2018) klasifikasi preeklampsia diantaranya:
a. Preeklampsia ringan
Tanda-tanda preeklampsia ringan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi
berbaring telentang atau kenaikan diastolik 150 mmHg atau lebih
kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih.
2) Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
3) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan berat 1 kg
atau lebih per minggu.
4) Proteinuria memiliki berat 0,3 gram atau per liter, kualitatif 1+ atau
2+ pada urin kateter atau midstream.

b. Preeklampsia berat
Tanda-tanda preeklampsia berat:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
2) Proteinuria 5 gram atau lebih per liter
3) Oliguria yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam. Adanya
gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri pada epigastrium.
4) Terdapat edema paru dan sianosis.
Menurut Manuaba, dkk (2014) klasifikasi preeklampsia diantaranya:
a) Preeklampsia Ringan
Tanda-tanda preeklampsia ringan:
1) Tekanan darah sistolik 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval
pemeriksaan 6 jam.
2) Tekanan darah diastolik 90 atau kenaikan 15 mmhg dengan interval
pemeriksaan 6 jam.
3) Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.
4) Proteinuria 0. 3 g atau lebih dengan tingkat kualitatif plus 1 sanpai 2
pada urin kateter atau urin aliran pertengahan.
b) Preeklampsia berat
1) Bila salah satu di antara gejala atau tanda ditemukan pada ibu
hamil, sudah dapat digolongkan preeklampsia berat.
2) Tekanan darah 160/110 mmHg.
3) Oliguria, urin <400 cc/24 jam
4) Proteinuria lebih dari 3 g/liter.
5) Keluhan subjektif: nyeri epigastrium, gangguan penglihatan,
nyeri kepala, edema paru, dan sianosis.
6) Gangguan kesadaran.
7) Pemeriksaan kadar enzim hati meningkat disertai ikterus.
8) Perdarahan pada retina.
9) Trombosit < 100. 000/mm.

3. Etiologi PEB
Menurut Ratnawati (2018) penyebab preeklampsia:
1) Penyebab preeklampsia yaitu bertambahnya frekuensi pada primigraviditas,
kehamilan ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa.
2) Bertambahnya frekuensi karena semakin tua kehamilan.
3) Dapat terjadi perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam
uterus.
4) Timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.

Perkiraan etiologi. Teori lain terkait etiologi PEB:


a. Faktor imunologis
b. Faktor genetik
c. Faktor predisposisi
Menurut Ayu (2016) faktor predisposisi preeklampsia:
1) Mola hidatidosa
2) Diabetes mellitus
3) Kehamilan ganda
4) Hidropfetalis
5) Obesitas
6) Umur yang lebih dari 35 tahun

4. Manifestasi klinis
Menurut Ayu (2016) disebut preeklampsia berat bila terdapat gejala:
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg.
b. Proteinuria +≥ 5g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup.
c. Oliguria (< 400 ml dalam 24 jam)
d. Sakit kepala hebat di daerah frontal
e. Gangguan penglihatan, diplopia
f. Nyeri epigastrum dan ikterus Trombositopenia
g. Pertumbuhan janin terhambat
h. Mual muntah
i. Penurunan visus
Manifestasi klinis menurut Mitayani (2011), ada dua gejala yang sangat penting
pada preeklampsia yaitu hipertensi dan proteinuria yang biasanya tidak disadari oleh
wanita hamil. Penyebab dari kedua masalah di atas adalah:
a. Tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan tanda peningkatan awal yang penting
pada preeklampsia. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang
lebih andal dibandingkan dengan tekanan sistolik. Tekanan diastolik sebesar
90mmHg atau lebih yang terjadi terus menerus menunjukkan keadaan
abnormal.
b. Kenaikan berat badan
Peningkatan berat badan yang tiba-tiba mendahului serangan preeklampsia
dan bahkan kenaikan berat badan (BB) yang berlebihan merupakan tanda
pertama preeklampsia pada sebagian wanita. Peningkatan BB normal adalah
0,5 kg per minggu. Bila 1 kg dalam seminggu, maka kemungkinan
terjadinya preeklampsia harus dicurigai. Peningkatan berat badan terutama
disebabkan karena retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum timbul
gejala edema yang terlihat jelas seperti kelopak mata yang bengkak atau
jaringan tangan yang membesar.
c. Proteinuria
Pada preeklampsia ringan, proteinuria hanya minimal positif satu, positif
dua, atau tidak sama sekali. Pada kasus berat proteinuri dapat ditemukan dan
dapat mencapai 10g/dl. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian
dibandingkan hipertensi dan kenaikan BB yang berlebihan.

5. Patofisiologi PEB
Pada preeklampsia terjadi spesma pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasma hebat arteriola glomerulus.
Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya
dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh
mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk
mengatasi tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan
kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang
berlebihan dalam ruangan intertitial belum diketahui sebabnya, mungkin karena
retensi air dan garam. Proteinuria dapat disebabkna oleh spasme arteriola
sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Ayu, 2016).

Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan


patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh
vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat
mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen yang dapat
menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan
perdarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit
kepala dan defisit syaraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomelurus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis
hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.
Manifestasi terhadap kardiovaskular meliputi penurunan volume intravaskuler,
meningkatnya kardiakoutput dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.
Peningkatan hemolisis mikroangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni.
Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat bahkan kematian janin dalam rahim (Ayu, 2016).
Perubahan yang terjadi akibat Preeklampsia berat
a. Perubahan kardiovaskular
Gangguan berat fungsi kardiovaskular umum dijumpai pada preeklampsia dan
eklampsia. Perubahan ini pada dasarnya terjadi akibat peningkatan beban akhir
jantung yang disebabkan oleh hipertensi dan cedera endotel dengan
ekstravasasi ke ruang ekstrasel, terutama pada paru. Pemberian cairan secara
agresif pada wanita dengan PEB menyebabkan peningkatan bermakna tekanan
pengisian jantung sisi kiri dan peningkatan curah jantung yang tadinya normal
ke kadar supranormal (Leveno, 2017). Menurut Ayu (2016) berbagai gangguan
tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat
hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya
secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara intravena dan
aktifasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ekstravaskular terutama paru.

b. Perubahan hematologi
Kelainan hematologi terjadi pada beberapa, tetapi tidak semua, wanita yang
mengalami kelainan hipertensi akibat kehamilan. Trombositopenia yang terjadi
dapat sangat berat sehingga membahayakan kehidupan, kadar beberapa faktor
pembekuan plasma dapat berkurang, dan eritrosit dapat sangat terluka sehingga
tampak berbentuk aneh dan mengalami hemolisis cepat (Leveno, 2017).
c. Trombositopenia
Trombositopenia maternal dapat diinduksi secara akut oleh preeklampsia.
Setelah itu, hitung trombosit akan meningkat secara progresif hingga kadar
normal dalam 3-4 hari. Trombositopenia berat ditandai dengan hitung
trombosit kurang dari 100. 000/µL,menunjukan penyakit berat (Leveno, 2017).
d. Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak
diketahui penyebabnya, jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada
penderita preeklampsia dan eklampsia dari pada wanita hamil biasanya atau
penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini
disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali
tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan
perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan
klorida dalam serum biasanya dalam batas normal (Ayu, 2016).
e. Mata
Dapat dijumlai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu
dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intraokuler dan
merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala
lain yang menunjukkan pada preeklampsia berat yang mengarah pada
eklampsia adalah adanya skotoma, diplopia dan ambliopia. Hal ini disebabkan
oleh adanya perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks
serebri atau didalam retina (Ayu, 2016).

f. Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan
(Ayu, 2016).

g. Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta,
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen
terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklampsia sering terjadi
peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi
partus prematur (Ayu, 2016).
h. Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya disebabkan oleh
edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena aspirasi
pneumonia atau abses paru (Ayu, 2016).

6. Respon tubuh terhadap perubahan fisiologis


Respon tubuh terhadap perubahan fisiologis pada pasien post SC atas indikasi
PEB diantaranya: a. Respon fisik
1) Sistem kardiovaskular
Efek dari obat-obatan anestesi umum terhadap sistem kardiovaskular
yaitu depresi atau iritabilitas kardiovaskular. Kemungkinan akan terjadi
peningkatan tekanan darah > 120/80mmHg karena kerja jantung yang
terlalu cepat akibat penurunan volume darah karena perdarahan yang
terjadi pada pembedahan, terjadi peningkatan suhu tubuh serta nadi
meningkat >100x/menit (Padilla, 2014).
2) Sistem pencernaan
Penggunaan anestesi baik umum maupun spinal pada saat operasi akan
menimbulkan efek samping terhadap sistem pencernaannya, yaitu akan
memperlambat proses mortilitas gastrointestinal, memperlambat
pengembalian tonus dan menyebabkan mual. Pada hari pertama
umumnya bising usus masih lemah akibat efek dan dapat menyebabkan
konstipasi (Padilla, 2014).
3) Sistem perkemihan
Aktivitas ginjal bertambah pada masa nifas karena reduksi dari volume
darah dan eksresi produk sampah dari autolisis. Puncak dari aktifitas ini
terjadi pada hari pertama setelah kelahiran. Pada umumnya akan terjadi
penurunan sensasi kandung kemih dan diuresis pada awal pasca
melahirkan (Padilla, 2014).
4) Sistem endokrin
Penurunan hormon estrogen dan progesteron terendah dapat tejadi pada
satu minggu setelah persalinan. Penurunan estrogen menyebabkan
prolaktin yang disekresi oleh grandula hipofise anterior bereaksi pada
alveolus payudara dan merangsang produksi ASI. Pada wanita yang
menyusui kadar prolaktin terus tinggi dan pengeluaran FSH di ovarium
ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui kadar prolaktin turun pada
hari ke 14 sampai 21 post partum (Padilla, 2014).
5) Sistem muskuloskeletal
Efek anestesi umum akan mempengaruhi seluruh ekstermitas klien baik
ekstermitas atas maupun bawah. Sedangkan padaanestesi spinal hanya
bagian ekstermitas bawah yang dipengaruhi meliputi pergerakan,
sansasi, dan kekuatan ototnya (Padilla, 2014).
b. Adaptasi psikologis
Pada adaptasi psikologis, umumnya ibu menjadi sangat sensitif
sehingga diperlukan pengertian dari keluarga-keluarga terdekat (Padilla,
2014).

7. Penatalaksaan Preeklampsia Berat


Penatalaksanaan menurut Ayu (2016) ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala PEB selama perawatan maka dibagi menjadi.
Perawatan aktif, yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi ditambah
pengobatan medisinal.
a. Perawatan aktif
Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap pesien dilakukan
pemeriksaan fetal assesmen (NST dan USG) indikasi:
1) Ibu
1) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
2) Adanya tanda-tanda atau gejala inpending eklampsia, kegagalan
terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan meditasi terjadi
kenaikan desakan darah atau setelah 24 jam perawatan
medisinal,ada gejala-gejala status quo (tidak ada perbaikan) 2)
Janin
1) Hasil fetal assesmen jelek (NST dan USG)
2) Adanya tanda IUGR (janin terhambat) 3)
Laboratorium
1) Adanya “HELLP Syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar,
trombositopenia)
b. Pengobatan mediastinal
Pengobatan mediastinal pasien PEB adalah:
1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring miring ke satu sisi. Tanda vital perlu diperiksa setiap 30
menit, refleks patelle setiap jam.
3) Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125
cc/jam) 500 cc.
4) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
5) Pemberian obat anti kejang magnesium sulfat (MgSO4):
1) Dosis awal sekitar 4 gr MgSO4 IV (20% dalam 20 cc) selama 1
gr/menit kemasan 20% dalam 25 cc larutan MgSO4 (dalam 3-5
menit). Diikuti segera 4 gram di pantat kiri dan 4 gr di pantat kanan
(40% dalam 10 cc) dengan jarum no 21 panjang 3,7 cm. Untuk
menguranginyeri dapat diberikan xylocain 2% yang tidak
mengandung adrenalin pada suntikan IM.
2) Dosis ulang : diberikan 4 gr IM 40% setelah 6 jam pemberian dosis
awal lalu dosis ulang diberikan 4 gram IM setiam 6 jam dimana
pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.
Syarat-syarat pemberian MgSO4:
a) Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10% 1 gr
(10% dalam 10 cc) diberikan IV dalam 3 menit.

b) Refleks patella positif kuat.


c) Frekuensi pernapasan lebih 16x/menit.
d) Produksi urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/Kg
BB/jam).
MgSO4 dihentikan bila:
- Ada tanda-tanda kerancuan yaitu kelemahan otot, refleks
fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP,
kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian
karena kelumpuhan otot pernapasan karena ada serum 10 U
magnesium pada dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks
fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15
mEq/liter dapat terjadi kelumpuhan otot pernapasan dan > 15
mEq/liter terjadi kematian jantung.
Bila timbul tanda-tanda keracunan MgSO4:
- Hentikan pemberian MgSO4
- Berikan calcium glukonase 10% 1 gr (10% dalam 10 cc)
secara IV dalam waktu 3 menit.
- Berikan oksigen
- Lakukan pernapasan buatan
- MgSO4 dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca persalinan
sudah terjadi perbaikan (normotensi).
- Deuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda
edema paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka,
diberikan furosemid injeksi 40mg IM.
Antihipertensi diberikan bila:
- Desakan darah sistolik > 180 mmHg, diastolik > 110 mmHg
atau MAP lebih 120 mmHg. Sasaran pengobatan adalah
tekanan diastolik < 105 mmHg (bukan < 90 mmHg) karena
akan menurunkan perfusi plasenta.
- Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada
umumnya.
- Bila diperlukan penurunan tekanan darah secepatnya dapat
diberikan obat-obat antihipertensi parenteral (tetesan
kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang dapat dipakai 5 ampul
dalam 500 cc cairan infus atau press disesuaikan dengan
tekanan darah.
- Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan
tablet antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam,
maksimal 4-5 kali. Bersamaan dengan awal pemberian
sublingual maka obat yang sama mulai diberikan secara oral.
c. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah
pengobatan medisinal
1) Indikasi : bila kehamilan praterm kurang 37 minggu tanpa disertai
tandatanda inpending eklampsia dengan keadaan janin baik
2) Pengobatan medisinal: sama dengan perawatan medisinal pada
pengelolaan aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan IV, cukup
intramuskular saja dimana 4 gram pada pantas kiri dan 4 gram pada pantat
kanan.
3) Pengobatan obstetri:
1) Selama perawatan konservatif: observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
2) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda
preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
3) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan
medisinal gagal dan harus diterminasi.
4) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih
dulu MgSO4 20% 2 gr IV.

8. Pencegahan kejadian preeklmpsia dan eklampsia


Preeklampsia dan eklmpsia merupakan komplikasi kehamilan yang
berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau
diagnosis dini dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Untuk dapat menegakkan dini diperlukan pengawasan hamil yang
teratur dengan memerhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan
pemeriksaan urin untuk menentukan proteinuria.

Untuk mencegah kejadian preeklampsia ringan dapat diberikan nasihat


tentang:
a. Diet, makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin, dan rendah
lemak, kurangi garam apabila berat badan bertambah atau edema, makanan
berorientasi pada empat sehat lima sempurna, untuk meningkatkan jumlah
protein dengan tambahan satu butir telur setiap hari.
b. Cukup istirahat, istirahat yang cukup sesuai pertambahan usia kehamilan
berarti bekerja seperlunya dan disesuaikan dengan kemampuan, lebih banyak
duduk atau berbaring ke arah punggung janin sehingga aliran darah menuju
plasenta tidak mengalami gangguan.
c. Pengawasan antenatal (hamil). Bila terjadi perubahan perasaan dsan gerak
janin dalam rahim segera datang ke tempat pemeriksaan.
Keadaan yang memerlukan pehatian:
1) Uji kemungkinan preeklmpsia
a) Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya
b) Pemeriksaan tinggi fundus uteri
c) Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema
d) Pemeriksaan protein dalam urin
a) Jika mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati,
gambaran darah umum, dan pemeriksaan retina mata
2) Penilaian kondisi janin dalam rahim
a) Pemantauan tinggi fundus uteri
b) Pemeriksaan janin, gerakan janin dalam rahim denyut jantung janin,
pemantauan air ketuban
c) Usulan untuk melakukan pemeriksaan USG

B. Tinjauan Tentang Tindakan


1. Pengertian SC
SC adalah pelahiran janin melalui insisi yang dibuat pada dinding abdomen
dan uterus. Tindakan ini dipertimbangkan sebagai pembedahan abdomen mayor.
Sebelum ada prosedur pembedahan yang aman, kelahiran melalui abdomen ini
dilakukan pada keadaan ibu akan meninggal dan bayi baru lahir akan
diselamatkan.

Kelahiran caesarea dapat dilakukan dengan aman tidak terjadi sampai akhir abad
ke-19 (Reeder, 2014).

2. Indikasi SC
Menurut Reeder, dkk (2014) indikasi persalinan sesarea yang dibenarkan
dapat terjadi secara tunggal atau secara kombinasi, merupakan suatu hal yang
sifatnya relatif dari pada mutlak dan dapat diklasifikasi seperti yang ditujukan
dibawah:
a. Ibu dan janin
Distosia (kemajuan persalinan yang abnormal) adalah indikasi paling
umum kedua (30%), yang pada umunya ditunjukkan sebagai suatu
“kegagalan kemajuan” dalam persalinan. Hal ini mungkin berhubungan
dengan ketidaksesuaian antara ukuran panggul dengan ukuran kepala janin,
kegagalan induksi, atau aksi kontraksi uterus yang abnormal.
b. Ibu
Penyakit ibu yang berat, seperti penyakit jantung berat, diabetes melitus,
preeklampsia berat atau eklampsia, kanker serviks, atau infeksi berat.
Penyakit tersebut membutuhkan persalinan SC karena beberapa alasan untuk
mempercepat pelahiran dalam suatu kondisi yang kritis, karena klien dan
janinnya tidak mampu menoleransi persalinan atau janin akan terpajan
dengan resiko bahaya yang meningkat saat melalui jalan lahir.
Pembedahan uterus sebelumnya, termasuk miomektomi, pelahiran SC
sebelumnya dengan insisi klasik, atau rekontruksi uterus. Obtruksi jalan lahir
karena adanya fibroid atau tumor ovarium.
c. Janin
Gawat janin, seperti janin dengan kasus prolaps tali pusat, insufisiensi
uteroplasenta berat, malpresentasi, seperti letak melintang, janin dengan
presentasi dahi kehamilan ganda dengan bagian terendah janin kembar
adalah pada posisi melintang bokong.
d. Plasenta previa
Pemisahan plasenta sebelum waktunya (solusio).

3. Klasifikasi SC
Menurut Reeder, dkk (2014) klasifikasi SC ada 2:

a. Persalinan caesarea melintang

Pelahiran caesarea melintang, atau segmen-bawah, merupakan pelahiran


caesarea yang pada umumnya dipilih karena berbagai alasan. Karena
insisi dibuat pada segmen bawah uterus, yang merupakan bagian paling
tipis dengan aktivitas uterus yang paling sedikit, maka pada tipe insisi ini
kehilangan darah minimal. Area ini lebih mudah mengalami pemulihan
dan mengurangi kemungkinan terjadinya ruptur jaringan parut pada
kehamilan berikutnya. Selain itu, juga insidensi peritonitis, ileus paralisis,
dan perlekatan usus lebih rendah.
b. Caesarea klasik

Sebuah insisi tegak lurus dibuat langsung pada dinding korpus uterus.
Janin dan plasenta dikeluarkan, dan insisi ditutup dengan tiga lapisan
jahitan menggunakan benang yang dapat diserap. Tindakan ini dilakukan
dengan menembus lapisan uterus yang paling tebal pada korpus uterus.
Hal ini terutama bermanfaat ketika kandung kemih dan segmen bawah
mengalami perlekatan yang ekstensif akibat SC sebelumnya. Kadang
tindakan inidipilih saat janin dalam posisi melintang atau pada kasus
plasenta anterior.

4. Komplikasi SC

a. Pada ibu
1) Infeksi puerpallis merupakan infeksi bakteri yang muncul disaluran
genetalia setelah kelahiran. Infeksi ini meliputi mastitis dan infeksi
saluran perkemihan, secara tidak langsung berhubungan dengan laktasi.
Infeksi puerpalis disebabkan oleh masuknya mikroorganisme ke saluran
reproduksi dan menyebar ke dalam darah dan bagian tubuh lainnya,
sehingga dapat berakibat keracunan darah. Tanda dan gejalanya: suhu
lebih dari 38°C, pengeringan luka bernanah, subinvolusi rahim (uterus
seperti rawa, fundus lembek, lokasi lebih tinggi dari normal).
2) Perdarahan biasanya didefinisikan sebagai hilang darah lebih dari 1000
ml post SC. Perdarahan disebabkan karena adanya laserasi, retensio
plasenta, atonia uterus yang disebabkan oleh distensi kandung kemih.
3) Komplikasi-komplikasi lain seperti kerusakan organ-organ seperti
vesika urinaria dan uterus.
4) Thrombophlebitis (bekuan darah) merupakan inflamasi dinding aliran
darah bagian dalam dengan pembentukan darah yang menempel di
dinding, SC beresiko terjadinya thrombophlebitis.
5) Aspirasi atau komplikasi lain yang berhubungan dengan anastesi.
b. Pada bayi
1) Kelahiran bayi premature karena kesalahan pada usia kehamilan.
2) Kematian perinatal pasca SC sebanyak 4-7%.

5. Penatalaksanaan pasien post SC

a. Penatalaksaan medis

Dengan pemberian analgetik untuk wanita dengan ukuran tubuh rata-rata


dapat injeksi 75 mg meridian IM setiap 3 jam sekali bila perlu untuk
mengatasi rasa sakit atau dapat diinjeksikan dengan cara IM 10-15 mg
morfin sulfat. Obat-obatan antiemetic, misalnya prometasin 25 mg biasanya
diberikan bersama-sama dengan pemberian preparat narkotik.
Pemeriksaan laboratorium secara rutin diukir pada pagi hari setelah operasi.
Hematokrit harus dipantau kembali bila terdapat kehilangan darah atau bila
terdapat oliguri atau keadaan lain yang menunjukan hipovolemi. Jika
Hematokrit stabil, pasien dapat melakukan ambulasi tanpa kesulitan apapun
dan kemungkinan kecil jika terjadi kehilangan darah lebih lanjut (Redeer,
dkk, 2014).
b. Penatalaksanaan keperawatan

1) Tanda-tanda vital
Dengan mengontrol tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan,
dan suhu) setiap 4 jam sekali (Redeer, dkk, 2014). 2) Terapi cairan dan diit

Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan, termasuk Ringer


Laktat, terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam
pertama berikutnya. Meskipun demikian, jika output urin dibawah 30 ml
per jam, pasien harus dievaluasi kembali. Bila tidak ada manipulasi intra
abdomen yang ekstensif atau sepsis, pasien seharusnya sudah dapat
menerima cairan per-oral satu hari setelah pembedahan, jika tidak
pemberian infus boleh diteruskan (Redeer, dkk, 2014).
Pemberian minum dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan
pada 6-10 jam post operasi. Paling lambat pada hari kedua setelah
operasi, sebagaian besar pasien sudah dapat menerima makanan biasa.
Pasien diharuskan memakan makanan yang bergizi dan minum
sebanyak 1. 500 ml per-hari (Redeer, dkk, 2014).
3) Vesika urinaria dan usus
Kateter sudah dapat dilepas dari vesika urinaria setelah 12 sampai 24
jam post operasi. Kemampuan mengosongkan urinaria harus dipantau
sebelum terjadi distensi. Gejela kembung dan nyeri akibat inkoordinasi
gerak usus dapat menjadi gangguan pada hari kedua dan ketiga post
operasi. Pemberian supositoria rektal akan diikuti dengan defekasi atau
jika gagal (Redeer, dkk, 2014).
4) Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi: miring kanan dan kiri
dapat dimulai sejak 6-10 jam post operasi untuk mencegah thrombosis
atau penyumbatan pembuluh darah, latihan pernapasan dapat dilakukan
sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar, hari kedua post
operasi pasien dapat didudukan selama 5 menit dan diminta untuk
bernapas dalam lalu menghembuskannya (Redeer, dkk, 2014).
5) Ambulasi
Pada hari pertama post operasi, pasien dengan bantuan perawat dapat
bangun dari tempat tidur sebentar sekurang-kurangnya sebanyak 2 kali
ambulasi dapat ditentukan waktunya sedemikian rupa sehingga preparat
analgesik yang baru saja diberikan akan mengurangi rasa nyeri. Pada hari
kedua, pasien dapat berjalan ke kamar mandi dengan pertolongan (Redeer,
dkk, 2014).
6) Perawatan Luka
Luka insisi diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang relatif
ringan tampak banyak plester sangat menguntungkan. Paling lambat
pada hari ketiga, pasien sudah dapat mandi tanpa membahayakan luka
insisi. Bila balutan luka basah dan berdarah harus dibuka dan diganti
(Redeer, dkk, 2014).

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian keperawatan
Pengakajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses keperawatan.
Suatu proses kolaborasi, melibatkan perawat, ibu, dan tim kesehatan lain.
Pengkajian dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan fisik (Mitayani,
2011). a. Identifikasi pasien
1) Identitas pasien
2) Umur
Umur yang beresiko terjadinya preeklampsia adalah pada ibu dengan usia
> 35 tahun saat hamil dan usia < 20 tahun (Ayu, 2016)
3) Alamat, GPAH, dan HPHT.

b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung mengeluh nyeri pada
perut bekas operasi, pasien merasa sakit kepala, dan nyeri epigastrium.
Selanjutnya pasien biasanya mengeluh penglihatan kabur, mual, dan
muntah, tidak ada nafsu makan dan bengkak pada ekstermitas.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Pasien cenderung memiliki riwayat hipertensi sebelum hamil, pasien
dengan kelahiran kedua biasanya mempunyai riwayat PEB pada
kehamilan terdahulu, pernah melahirkan dengan operasi SC sebelumnya.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung memiliki anggota
keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti jantung, DM,
hipertensi. Kemungkinan pada anggota keluarga ada yang mempunyai
riwayat PEB dan eklampsia.
c. Riwayat perkawinan
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung terjadi pada wanita yang
menikah dibawah usia 20 tahun atau di atas 35 tahun.
a. Pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung mengalami
peningkatan nafsu makan karena ada keinginan untuk menyusui
bayinya.
2) Pola eliminasi
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung mengalami
perasaan sering/susah BAK selama masa nifas.
3) Pola istirahat dan tidur
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung mengalami
perubahan pada pola istirahat dan tidur karena adanya kehadiran bayi
dan nyeri abdomen bagian bawah bekas operasi.
4) Pola reproduksi dan sosial
Pasien dengan post sectio caesarea atas indikasi PEB cenderung
mengalami disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan
seksual atau fungsi dan seksual yang tidak adekuat karena adanya
proses persalinan dan nifas.
b. Pemeriksaan fisik
1) Kepala
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung tidak ada
masalah pada kepala, dikepala dapat dinilai kebersihan, serta pada
rambut apakah ada kerontokan.

2) Wajah
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung mengalami
wajah pucat, biasanya terdapat cloasma graviadarum, dan juga
terdapat edema pada beberapa bagian di wajah.
3) Mata
Pasien dengan post SC atas indikasi PEB cenderung mengalami
konjungtiva subanemis atau anemis, skelera sedikit ikterik.
4) Telinga
Telinga seimetris,pada telingan dapat dinilai bagaimana
kebersihannya, periksa adakah cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung
Pada hidung tidak terdapat pernapasan cupping hidung dan polip.
6) Leher
Biasanya ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, periksa
adakah pembesaran kelenjar getah bening dan vena jugularis.
7) Dada
Biasanya pada paru-paru, retraksi dinding dada tidak ada, dan pada
jantung biasanya iktus kordis tidak terlihat dan batas-batas jantung
tidak melebar.
8) Payudara/Mamae
Inspeksi : pada payudara biasanya tidak simetris, pada areola mamae
terjadi hipergravidarum, papila mamae menonjol/datar
dan tampak bersih atau tidak.
Palpasi : ASI/kolostrum ada tetapi sedikit, payudara teraba
membengkak dan keras.
9) Abdomen
Inspeksi : akan tampak ada luka bekas operasi, biasanya posisi luka
operasi melintang atau tegak lurus, biasanya tampak ada strie, linea
nigra atau alba.
Palpasi : pada hari pertama partum tinggi fundus uteri setinggi pusat,
posisi uterus medial atau lateral, kontraksi uterus bisa teraba keras atau
lunak.
10) Genetalia
Pada hari pertama partum pasien terpasang kateter
a. Lochea: pada fase immediet yang terjadi pada 24 jam pertama,
jenis lochea rubra yang pada umumnya berwarna merah mudah.
Selanjutnya pada fase early yang dimulai 24 jam pertama sampai
satu minggu, jenis lochea sanolenta dimulai hari ke 3-7 hari post
partum, dan lochea serosa yang dimulai dari hari 7-14 hari pasca
persalinan, dan lochea alba setelah 2 minggu post partum.
b. Haemoroid : biasanya tidak ada haemoroid
11) Ekstermitas
Atas : pasien terpasang infus, tampak ada edema, biasanya teraba
dingin, dan tampak sedikit pucat.
Bawah : biasanya ada edema, tidak terdapat varises, teraba sedikit
dingin, dan tampak sedikit pucat.
c. Data sosial ekonomi
Umumnya PEB lebih banyak terjadi pada wanita dari golongan ekonomi
rendah dimana mereka kurang mengkonsumsi makanan yang
mengandung protein dan juga kurang melakukan perawatan antenatal
yang teratur (Mitayani, 2013).
d. Data psikologis
Biasanya pasien PEB ini berada dalam kondisi cemas, labil dan mudah
marah, pasien merasa khawatir akan keadaan dirinya dan keadaan
bayinya (Mitayani, 2013).

2. Kemungkinan Diagnosis Keperawatan


Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada kasus post SC atas
indikasi PEB (SDKI, 2016):
a. Resiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan hipertensi
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur insisi
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
d. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
e. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan Efek tindakan medis dan
diagnostik
f. Resiko gangguan perlekatan berhubungan dengan perpisahan ibu dan
bayi/anak akibat hospitalisas.
g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur

3. Rencana Tindakan Keperawatan

No Perencanaan
Diagnosis Keperawatan
SLKI SIKI
1. Resiko perfusi Setelah dilakukan Manajemen peningkatan
serebral tidak efektif tindakan keperawatan, tekanan intrakranial:
diharapkan 1. Monitor status
Faktor resiko: dapat pernapasan
a. Hipertensi memenuhi kriteria 2. Monitor intake- output
hasil: Perfusi Serebral cairan
Efektif : 3. Berikan posisi
1. Tingkat semi fowler
kesadaran 4. Hindari pemberian
meningkat cairan
2. Tekanan IV
intra hipotonik
kranial tidak ada 5. Pertahankan suhu
3. Sakit tubuh normal
kepala tidak ada 6. Kolaborasi pemberian
4. Tekanan sedasi dan anti
darah sistolik konvulsan Edukasi
normal diet:
5. Tekanan 1. Identifikasi
darah diastolik kebiasaan pola
normal makan saat ini dan
masa lalu
2. Jelaskan tujuan
kepatuhan diet
terhadap kesehatan
3. Informasikan
makanan yang
diperbolehkan dan
dilarang
4. Anjurkan
mempertahan- kan
posisi semi fowler

Pemantauan tanda vital:


1. Monitor tekanan darah
2. Monitor nadi
3. Monitor pernapasan
4. Monitor suhu tubuh
5. Identifikasi penyebab
perubahan tanda vital
2. Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan infeksi:
Faktor resiko: tindakan keperawatan, 1. Monitor tanda
a. Efek prosedur diharapkan dan
invasif dapat gejala infeksi lokal
memenuhi kriteria hasil 2. Batasi jumlah
Infeksi tidak terjadi: pengunjung
1. Kebersihan 3. Cuci tangan sebelum
badan dan sesudah kontak
meningkat dengan pasien dan
2. Nafsu lingkungan pasien
makan 4. Jelaskan tanda
meningkat dan
3. Demam gejala infeksi
tidak ada 5. Ajarkan cara cuci
4. Kemerahan tangan yang benar
tidak ada 6. Anjurkan
5. Kadar sel darah meningkatkan asupan
putih normal nutrisi Perawatan
pasca seksio sesarea:
Integritas kulit 1. Identifikasi riwayat
dan kehamilan dan
jaringan baik persalinan
1. Kerusakan 2. Monitor tanda
jaringan kulit vital ibu
menurun 3. Monitor respon
2. Nyeri berkurang fisiologis
3. Perdarahan 4. Monitor kondisi luka
tidak ada dan
balutan
3. Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri:
Penyebab: tindakan keperawatan, 1. Identifikasi lokasi,
a. Agen pencedera diharapkan dapat karakteristik, durasi,
fisiologis memenuhi kriteria hasil frekuensi,
Agen Tingkat kualitas,intensitas
pencedera nyeri berkurang: nyeri
fisik 1. Keluhan 2. Identifikasi skala
Tanda mayor: nyeri berkurang nyeri
a. Subjektif 2. Meringis tidak 3. Identifikasi respons
1) Mengeluh ada nyeri non verbal
nyeri 3. Kesulitan 4. Identifikasi faktor
yang memperberat
dan
b. Objektif tidur tidak ada memperingan nyeri
1) Tampak 4. Frekuensi nadi 5. Monitor efek
meringis membaik samping pemberian
2) Bersikap 5. Pola napas analgetik
protektif membaik 6. Berikan teknik
3) Frekuensi nonfarmakologi s
nadi Kontrol nyeri: untik mengurangi rasa
meningkat 1. Melaporkan nyeri
Tanda minor nyeri terkontrol 7. Fasilitasi istirahat dan
a. Objektif 2. Kemampuan tidur
1) Tekanan mengenali 8. Kolaborasi pemberian
darah penyebab nyeri analgetik
meningkat Keluhan nyeri
b. Pola napas berkurang
berubah
4. Hipervolemia Setelah dilakukan Manajemen hipervolemia:
Penyebab: tindakan keperawatan, 1. Periksa tanda dan gejala
a. Gangguan diharapkan dapat hipervolemia
mekanisme memenuhi kriteria hasil 2. Identifikasi penyebab
regulasi Curah jantung hipervolemia
b. Kelebihan membaik: 3. Monitor status
asupan cairan 1. Kekuatan hemodinamik
c. Kelebihan nadi perifer 4. Monitor intake dan output
asupan natrium membaik cairan
d. Gangguan aliran 2. Bradikardi tidak 5. Monitor kecepatan infuse
balik ada secara ketat
vena 3. Takikardi tidak 6. Monitor efek samping
Tanda mayor: ada diuretik
a. Subjektif 4. Sianosis 7. Batasi asupan cairan
1) Ortopnea tidak ada dan garam
2) Dispnea 5. Tekanan Tinggikan kepala tempat
b. Objektif darah normal tidur 30-40°
1) Edema 9. Ajarkan cara membatasi
anasarka Keseimbangan cairan
dan/atau cairan membaik: 8. Kolaborasi pemberian
edema perifer 1. Asupan diuretik
2) Berat cairan normal
badan 2. Haluran
meningkat urin
dalam normal
waktu 3. Edema
singkat berkurang
Tanda minor 4. Turgor kulit
a. Objektif membaik
1) Kadar 5. Berat badan
membaik
Hb/Ht turun
2) Oliguria
3) Intake lebih banyak
dari output
DAFTAR PUSTAKA

Devita, Nova. 2018. Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Secsio Caesarea Atas
Indikasi Pre Eklampsia Berat Di Ruang Rawat Kebidanan RSUP Dr. M. Djamil
Padang.

Henderson, Christine. 2005. Buku ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC.


Indah, Nur Siti dan Apriliana, Ety, 2016. Hubungan Antara Preeklampsia dengan
Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir. Majority. Vol. 5. No. 5.

Lalenoh, Diana Christine. 2018. Preeklampsia berat dan eklampsia: Tatalaksana


Anestesia perioperatif. Sleman.

Leveno, Kenneth, 2017. Manual Williams Komplikasi Kehamilan. Jakarta: EGC Manuaba,

Ida Ayu Chandranita, dkk. 2014. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan dan KB.

Jakarta: EGC.

Maryunani, Anik. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.


Jakarta: CV. Trans Info Media.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria hasil
keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Ratnawati, Ana. 2018. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Pustaka Baru


Press.

Reeder, dkk. 2014. Keperawatan Maternitas: Kesehatan Wanita, Bayi dan Keluarga.
Edisi 18. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai