Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH STANDART OPERATING PROCEDURE (SOP)

ASESMEN DAN INTERVENSI PADA REMAJA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Asesmen dan Intervensi Perkembangan

Dosen Pengampu:
Dr. Yeniar Indriana

KELOMPOK 10
Din Fauzi Mulyawan 15010114120069
Naura Nuzila Adlina 15010116170001
Afiq Indra Permana 15000117140103
Nadira Septyani 15000117120011

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

SOP (Standard Operating Procedure) pada dasarnya adalah pedoman yang berisi
prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam suatu organisasi yang digunakan
untuk memastikan bahwa semua keputusan dan tindakan, serta penggunaan fasilitas-fasilitas
proses yang dilakukan oleh orang-orang di dalam organisasi yang merupakan anggota
organisasi agar berjalan efektif dan efisien, konsisten, standar dan sistematis (Tambunan,
2013:86). SOP juga menjadi jalan untuk mencapai tujuan. SOP adalah jalan atau jembatan
yang menghubungkan satu titik dengan titik lainnya. Karena itu, SOP akan menentukan
apakah tujuan dapat dicapai secara efektif, efisien dan ekonomis (Tambunan, 2011: 5).
SOP atau yang diterjemahkan menjadi PSO (Prosedur Standar Operasi) adalah sistem
yang disusun untuk memudahkan, merapikan, dan menertibkan pekerjaan kita. Sistem ini
merupakan suatu proses yang berurutan untuk melakukan pekerjaan dari awal sampai akhir
(Ekotama, 2011: 19). Jadi, SOP dibuat untuk menyederhanakan proses kerja supaya hasilnya
optimal tetapi tetap efisien. SOP menjadi sebuah mekanisme vital, apabila tidak dibuat dan
dilaksanakan dengan baik, maka manajemen sebuah perusahaan kemungkinan besar akan
menjadi kacau.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. REMAJA
Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia,
menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003).
Masa remaja disebut pula sebagai masa penghubung atau masa peralihan
antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-
perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan
jasmaniah, terutama fungsi seksual (Kartono, 1995).
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa
Latin adolescare yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”.
Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa
remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap
sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Ali & Asrori, 2006).
Menurut Rice (dalam Gunarsa, 2004), masa remaja adalah masa peralihan,
ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang memiliki
kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting menyebabkan remaja
melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah, pertama, hal yang bersifat
eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan, dan kedua adalah hal yang bersifat
internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat remaja relatif
lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya (storm and
stress period).
Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik,
emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun, adalah suatu periode
masa pematangan organ reproduksi manusia, dan sering disebut masa pubertas.
Masa remaja adalah periode peralihan dari masa anak ke masa dewasa (Widyastuti,
Rahmawati, Purnamaningrum; 2009).
Pubertas (puberty) ialah suatu periode di mana kematangan kerangka dan
seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja. Akan tetapi, pubertas
bukanlah suatu peristiwa tunggal yang tiba-tiba terjadi. Pubertas adalah bagian dari
suatu proses yang terjadi berangsur-angsur (gradual) (Santrock, 2002).
Pubertas adalah periode dalam rentang perkembangan ketika anak-anak
berubah dari mahluk aseksual menjadi mahluk seksual. Kata pubertas berasal dari
kata latin yang berarti “usia kedewasaan”. Kata ini lebih menunjukkan pada
perubahan fisik daripada perubahan perilaku yang terjadi pada saat individu secara
seksual menjadi matang dan mampu memperbaiki keturunan (Hurlock, 1980).
Santrock (2002) menambahkan bahwa kita dapat mengetahui kapan seorang
anak muda mengawali masa pubertasnya, tetapi menentukan secara tepat permulaan
dan akhirnya adalah sulit. Kecuali untuk menarche, yang terjadi agak terlambat pada
masa pubertas, tidak ada tanda tunggal yang menggemparkan pada masa pubertas.
Pada 1974, WHO (World Health Organization) memberikan definisi tentang
remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga
kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap
definisi tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa di mana:
1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman dalam Sarwono, 2010).
Dalam tahapan perkembangan remaja menempati posisi setelah masa anak
dan sebelum masa dewasa. Adanya perubahan besar dalam tahap perkembangan
remaja baik perubahan fisik maupun perubahan psikis (pada perempuan setelah
mengalami menarche dan pada laki-laki setelah mengalami mimpi basah)
menyebabkan masa remaja relatif bergejolak dibandingkan dengan masa
perkembangan lainnya. Hal ini menyebabkan masa remaja menjadi penting untuk
diperhatikan.

B. BATASAN USIA REMAJA


Berdasarkan tahapan perkembangan individu dari masa bayi hingga masa tua
akhir menurut Erickson, masa remaja dibagi menjadi tiga tahapan yakni masa remaja
awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. Adapun kriteria usia masa
remaja awal pada perempuan yaitu 13-15 tahun dan pada laki-laki yaitu 15-17 tahun.
Kriteria usia masa remaja pertengahan pada perempuan yaitu 15-18 tahun dan pada
laki-laki yaitu 17-19 tahun. Sedangkan kriteria masa remaja akhir pada perempuan
yaitu 18-21 tahun dan pada laki-laki 19-21 tahun (Thalib, 2010).
Menurut Papalia & Olds (dalam Jahja, 2012), masa remaja adalah masa
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya
dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau
awal dua puluhan tahun.
Jahja (2012) menambahkan, karena laki-laki lebih lambat matang daripada
anak perempuan, maka laki-laki mengalami periode awal masa remaja yang lebih
singkat, meskipun pada usia 18 tahun ia telah dianggap dewasa, seperti halnya anak
perempuan. Akibatnya, seringkali laki-laki tampak kurang untuk usianya
dibandingkan dengan perempuan. Namun adanya status yang lebih matang, sangat
berbeda dengan perilaku remaja yang lebih muda.
Menurut Mappiare masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai
dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang
usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai
dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22
tahun adalah remaja akhir (Ali & Asrori, 2006).
Menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa
apabila telah mencapai usia 18 tahun, dan bukan 21 tahun seperti pada ketentuan
sebelumnya. Pada usia ini, umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah
menengah (Hurlock dalam Ali & Asrori, 2006).
Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal
usia dua puluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan
dalam semua ranah perkembangan (Papalia, dkk., 2008).
Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut
Depkes RI adalah antara 10 samapi 19 tahun dan belum kawin. Menurut BKKBN
adalah 10 sampai 19 tahun (Widyastuti dkk., 2009).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa usia remaja pada perempuan
relatif lebih muda dibandingkan dengan usia remaja pada laki-laki. Hal ini menjadikan
perempuan memiliki masa remaja yang lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki.

C. TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA


Hurlock (1980) menjelaskan bahwa semua tugas perkembangan pada masa
remaja dipusatkan pada pusaka penanggulangan sikap dan pola perilaku yang
kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Tugas-
tugas tersebut antara lain:
 Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita.
 Mencapai peran sosial pria, dan wanita.
 Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
 Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
 Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
 Mempersiapkan karir ekonomi.
 Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
 Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku mengembangkan ideologi.

Ali & Asrori (2006) menambahkan bahwa tugas perkembangan masa remaja
difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta
berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa.
Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2006) juga menambahkan bahwa tugas- tugas
perkembangan masa remaja adalah berusaha:
1) Mampu menerima keadaan fisiknya;
2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa;
3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan
jenis;
4) Mencapai kemandirian emosional;
5) Mencapai kemandirian ekonomi;
6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan
untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat;
7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua;
8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa;
9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan;
10)Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

Kay (dalam Jahja, 2012) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja


adalah sebagai berikut:
1) Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
2) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang
mempunyai otoritas.
3) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul
dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kolompok.
4) Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.
5) Menerima dirinyasendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya
sendiri.
6) Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala
nilai, psinsip-psinsip, atau falsafah hidup. (Weltan-schauung).
7) Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-
kanakan.
BAB III
SOP (STANDARD OPERATING PROCEDURE)

A. KASUS REMAJA AWAL


 Identitas
IDENTITAS
SUBJEK IBU AYAH
Nama D ER BW
Jenis Perempuan
Kelamin
Tanggal 25 Juni 2005
Lahir
Usia 14 tahun 49 tahun 53 tahun
Pendidikan SMP kelas 3 S1 S2
Anak ke- 5 (anak bungsu)
Status Anak kandung Ibu rumah Pegawai Negeri
tangga Sipil

 Deskripsi Kasus
D adalah siswa yang kerap merasa malu dan merasa tidak percaya diri
dengan kondisi tubuhnya. Karena, D mempunyai tubuh yang lebih berisi
dibandingkan dengan teman-temannya. D terkadang mendapat cemooh dari
saudaranya serta temannya yang menyatakan bahwa dia gendut. Hal ini
terkadang membuat D merasa frustasi dan menyendiri di kamar.
D merupakan anak bungsu di dalam keluarganya. Tak jarang, D
mendapat perlakuan khusus dari keluarganya, terutama ayahnya. Hal
tersebut, membuat D memiliki tingkat ketergantungan serta tingkat
kelekatan yang tinggi pada orang tua serta ke-empat saudaranya. Diusia D
yang saat ini, ia masih selalu ingin disiapkan kebutuhannya sehari-harinya,
minta dimadiin oleh kakaknya, serta setiap keinginannya harus dituruti jika
tidak D akan menangis dan kesal. D juga tidak mau melakukan kegiatan
rumah, seperti menyapu, mengepel, atau sekadar mencuci piring bekas yang
telah ia gunakan. Terlebih lagi D akan menyuru saudaranya untuk
mengambilkan benda yang ada di dekatnya, karena merasa. D sama sekali
tidak memiliki inisiatif melakukan tugas rumah, bahkan tugas rumahnya
sendiri.

NO Proses/tahap/item Penjelasan
1 Kasus Anxious-ambivalent attachment (insecure attachment)
2 Konsep Model kelekatan ini memiliki ciri khas individu yang
memiliki kecemasan rendah terhadap diri sendiri tetapi memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk menghindari relasi sosial
dengan orang lain. Individu dengan tipe kelekatan ini cenderung
memiliki kepribadian yang skeptis, curiga, dan melihat orang
lain sebagai orang yang kurang memiliki pendirian (Simpson
dalam Helmi, 1999). Relasi sosial yang dibentuk oleh individu
dengan tipe kelekatan ini adalah individu yang tidak
mempercayai kesediaan orang lain. Oleh sebab itu, individu
dengan tipe kelekatan ini akan memiliki kecenderungan untuk
merasa tidak nyaman dan intim, serta selalu merasa takut akan
ditinggalkan. Dengan demikian hubungan romantis individu
dengan tipe kelekatan ini akan selalu diwarnai rasa tidak percaya
(Levy & Davis dalam Freeney & Noller, 1990).
Attachment yang dialami oleh seseorang di masa kecilnya akan
berpengaruh kepada kepribadian di masa dewasanya.
Kepribadian anak yang insecure di masa depannya akan tidak
mudah untuk mengungkapkan kekurangan-kekurangan dalam
dirinya (Cassidy, 1999). Dan selain itu anak yang insecure akan
lebih mengingat memori-memori yang tidak menyenangkan di
masa kecilnya (Belsky dalam Cassidy, 1999).
3 Asesmen Sumber Primer : subjek
Alat yang digunakan :
a. Observasi keseharian subjek
b. Wawancara dengan subjek
Proses/tahap :
Dalam melakukan proses asesesmen observasi dapat dilakukan
pertama kali untuk melihat perilaku subjek. Selanjutnya
dilakukan wawancara untuk menggali lebih dalam agar dapat
mengetahui yang tidak terlihat saat observasi berlangsung.
Wawancara dapat dilakukan secara semi terstruktur.
Sumber Sekunder :
a. Orang tua
b. Saudara kandung
Alat yang digunakan :
a. Wawancara dengan Ibu subjek
b. Wawancara dengan kakak ke-3 subjek
Proses/tahap :
Untuk mendapatkan sumber sekunder, asesmen dapat dilakukan
dengan mewawancarai orang tua untuk mengetahui perspektif
orang tua subjek mengenai subjek. Kemudian dilakukannya
wawancara dengan saudara subjek.
4 Differential N ANXIOUS-AMBIVALENT AVOIDANT
Diagnosis dan O ATTACHMENT/INSECUR PERSONALITY
prognosa E ATTACHMENT DISORDER
(ditetapkan (Bowlby dan Ainsworth (DSM-5)
berdasarkan dalam Santrock, 2003) dan
berbagai sumber) (Nikmatu, 2005)
1. Menarik diri 1. Pengekangan
dalam hubungan
intim karena
takut
dipermalukan
atau
ditertawakan.
2. Tidak mau
terlibat dengan
orang lain,
kecuali jika
disukai.
2. Kurang asertif dan merasa Menghindari kegiatan
tidak dicintai orang lain interpersonal karena
khawatir akan kritikan
3. Kurang percaya diri, merasa 1. Pandangan diri
kurang berharga sebagai orang
tidak kompeten
secara sosial,
tidak menarik
secara pribadi,
atau inferior
terhadap orang
lain.
2. Dihambat dalam
situasi
interpersonal
baru karena
perasaan tidak
mampu.
4. Memiliki keterikatan Enggan mengambil
ambivalen/cemas dengan resiko personal/masuk
orangtua mereka ke dalam aktvitas baru
karena mungkin akan
dipermalukan
5. Memiliki emosi yang Disibukkan dengan
berlebihan kritik atau penolakan.

Prognosa:
Remaja yang mendapat pola Anxious-Ambivalent
Attachment/Insecure pada masa sebelumnya menjadikan
kecenderungan yang tinggi untuk menghindari relasi sosial
dengan orang lain. Individu dengan tipe kelekatan ini cenderung
memiliki kepribadian yang skeptis, curiga, dan melihat orang
lain sebagai orang yang kurang memiliki pendirian (Simpson
dalam Helmi, 1999). Sehingga dalam jangka waktu lama apabila
masih menghindari relasi sosial dikarenakan hasil dari
attachment yang dialami oleh seseorang di masa kecilnya, maka
ketika anak-anak jenis ini menjadi dewasa, mereka menunjukkan
kebutuhan yang kuat akan kedekatan dan kasih sayang.
Hubungan mereka dengan orang lain sangat intens. Mereka
menunjukkan ketergantungan, kebutuhan untuk persetujuan, dan
kepekaan berlebihan terhadap penolakan.
5 Intervensi Paradigma yang digunakan:
a. Konseling keluarga
Konseling keluarga merupakan salah satu cara yang
memfokuskan pada masalah-masalah situasi keluarga
dan dalam penyelenggaraannya melibatkan anggota
keluarga (Sumarwiyah dkk, 2015). Tujuannya yaitu
untuk menumbuhkan sikap memahami dirinya,
lingkungan keluarga, perannya serta mengarahkan agar
menjadi pribadi yang lebih baik.
b. Terapi CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
Pendekatan kognitif adalah suatu rancangan konseling
atau pendekatan yang berfokus pada berpikir dan proses
mental dalam modifikasi atau mengubah tingkah laku
dan sering melibatkan pelatihan, pengembangan
keterampilan, kontrol pikiran, serta proses-proses dan
teknik-teknik yang berorientasi kognitif lainnya
(Mappiare, dalam Hartati 2012). 
Teori Kognitif adalah sebuah pendekatan atau intervensi
seorang konselor yang mengkombinasikan teknik
konseling kognitif dan konseling behavioral yang
menekan kan kepada pentingnya penggunaan pikiran 
perasaan dan tindakan individu. Menurut Aaron (dalam
Yusron, 2012) cognitive behavioral therapy sebagai
pendekatan konseling yang dirancang untuk
menyelesaikan konseli pada saat ini dengan cara
melakukan rekstrurisasi kognitif dan perilaku yang
menyimpang. Taylor (dalam Yusron, 2012) mengatakan
jika terapi kognitif perilaku adalah sebuah bentuk yang
disusun dari terapi yang berpedoman pada model
kognitif.
Permasalahan yang dapat diatasi dengan terapi kognitif:
1. Technostress
2. Depresi
3. Gangguan tingkah laku
4. Gangguan perilaku menentang dan depresi
5. Gangguan kecemasan
6. Deliquensi 
Tenik/bentuk intervensi
a. Konseling Keluarga: Target yang ingin dicapai dalam
konseling keluarga kasus ini adalah kemampuan subjek
dalam memahami keadaan dirinya yang memiliki sifat
manja (bergantung dengan anggota keluarganya),
memahami peran dirinya sebagai anggota keluarga, dan
sebagai anak bungsu serta mengarahkan dirinya untuk
lebih baik dan mandiri. Hal tersebut dilakukan dengan
cara dialog antar anggota keluarga dan masing-masing
anggota keluarga menyampaikan perasaan dan
pendapatnya mengenai subjek secara terbuka.
b. Terapi CBT: Terapi ini bertujuan untuk merubah perilaku
subjek agar lebih mandiri dan mampu bertanggung jawab
pada kebutuhannya serta meminimalisir ketergantungan
subjek pada keluarganya. Terapi ini lebih ditekankan
pada menghentikan dan merubah pola pikir irasional atau
asumsi-asumsi seseorang yang salah menjadi benar. Jadi
terapi ini membantu subjek mengubah asumsinya bahwa
sebagai anak bungsu harus selalu dilayani, selalu dituruti
menjadi berpikir bahwa subjek tidak selamanya hidup
dengan keluarga. Kemudian dalam perilaku lebih
ditekankan untuk merubah serta menentukan perilaku
maladaptif menjadi lebih adaptif. Seperti subjek yang
awalnya minta dimandikan, selalu disiapkan
kebutuhannya, serta enggan mengerjakan pekerjaan
rumah sendiri menjadi mencoba untuk mandi sendiri,
menyiapkan kebutuhannya secara mandiri, dan mencuci
piringnya sendiri setelah makan. 

Dosis Intervensi
PERTEMUAN INTERVENSI KEGIATAN TUJUAN PERLENGKAPAN
1 (90’) Mengisi lembar Membangun Lembar informed
(10’) informed kepercayaan consent
consent klien agar
Menentukan terbuka kepada
jadwal (15’) terapis
Membangun
Rapport (35’)
Konseling Memaparkan Membantu
Keluarga perilaku subjek keluarga untuk
dari perspektif mengetahui
keluarga (60’) masalah yang
dialami subjek  Lembar
Observasi
 Lembar
Interview
Guide
 Alat tulis
2 (90’) CBT Mencari faktor Menemukan
– faktor yang faktor perilaku  Alat perekam

menyebabkan maladaptive suara

perilaku dan subjek  Ruang

maladaptive dapat Konseling

dan mengubah mengubah pola  Sofa/kursi


pola pikir dan pikir dan
perilakunya perilakunya
yang salah
sebagai anak
bungsu (60’)
Jadwal pola Memberikan Untuk
makan saran jadwal meningkatkan
pola makan kesadaran
yang sehat. subjek agar
(15’) tidak selalu
merasa
insecure
dengan
tubuhnya.
Evaluasi Mengevaluasi Mengetahui
perilaku yang perubahan
dipelajari dan yang terjadi
serta setelah
konsekuensinya dilakukan
(15’) intervensi

Tata Ruang
- Sebuah ruangan dengan ventilasi udara dan cahaya yang cukup
- Satu set kursi tamu
- Klien dan terapis saling berhadapan

Media atau Perlengkapan


- Lembar Observasi
- Lembar Interview Guide
- Alat tulis
- Alat perekam suara

B. KASUS REMAJA AKHIR


 Identitas Subjek
Nama : DA
Jenis kelamin  : Perempuan
Agama         : Islam
Usia             : 20 tahun
Pendidikan  : S1
Anak ke       : 2 dari 2 bersaudara

 Deskripsi Kasus
Semasa SMA subjek berpacaran dengan kakak kelasnya. Ia
berhubungan dengan pacarnya karena didorong oleh teman-temannya
sedangkan ia tidak menginginkannya. Pacar subjek memiliki sikap protektif
dan sering melakukan kekerasan (fisik, verbal,seksual).
Subjek pernah mencoba untuk memutuskan hubungan dengan
pacarnya, tetapi pacarnya tidak mau dan orang tua dari pacarnya tetap ingin
mereka berpacaran. Pada akhir masa sekolah, subjek berhasil memutuskan
hubungan dengan pacarnya.
Tetapi mantan pacarnya sering kali menghubungi subjek sampai saat
ini yang sudah terhitung 4 tahun. Mantan pacar subjek pernah kerumah
subjek, dan subjek memberitahu bahwa mantannya merupakan teman yang
mengganggu. Orang tua subjek tidak mengetahui hubungan subjek dengan
mantannya, sehingga pernah mengancam akan melaporkan mantan subjek
kepada polisi jika masih menganggu subjek.
Sampai sekarang, subjek merasa takut dan cemas ketika mendengar
suara atau nama mantannya. DA juga tidak mau menyebut nama mantannya
ataupun melihat foto mantannya. DA mengaku belum siap untuk menjalin
hubungan dengan pria lain hingga saat ini, oleh karena pengalaman
berpacaran dengan sang mantan yang DA anggap sangat mengerikan

N Proses/tahap/ite Penjelasan
O m
1 Kasus Decidophobia
2 Konsep Dr. Jennice Vilhauer, dalam kasus decidophobia ini menjeleaskan
bahwa decidophobia merupakan ketakutan untuk membuat
keputusan meskipun wajar untuk mengkhawatirkan keputusan
hidup yang besar, seseorang dengan decidophobia begitu takut
membuat pilihan sehingga mereka berusaha keras untuk
menghindarinya.
3 Asesmen Sumber Primer : subjek
Alat yang digunakan :
a. Observasi keseharian subjek
b. Wawancara dengan subjek
Proses/tahap :
Dalam melakukan proses asesesmen observasi dapat dilakukan
pertama kali untuk melihat perilaku subjek. Selanjutnya dilakukan
wawancara untuk menggali lebih dalam agar dapat mengetahui
yang tidak terlihat saat observasi berlangsung. Wawancara dapat
dilakukan secara semi terstruktur.
Sumber Sekunder :
a. Orangtua
b. Teman subjek
Alat yang digunakan :
a. Wawancara dengan orangtua subjek
b. Teman subjek
Proses/tahap :
Untuk mendapatkan sumber sekunder, asesmen dapat dilakukan
dengan mewawancarai orang tua untuk mengetahui perspektif
orang tua subjek mengenai subjek. Kemudian dilakukannya
wawancara dengan saudara subjek & juga teman subjek.
4 Differential NO Decidophobia Gangguan kepribadian dependen
Diagnosis dan DSM IV-TR
prognosa 1. Menghindari Mengalami kesullitan dalam

(ditetapkan pilihan untuk membuat keputusan setiap hari

berdasarkan dirinya sendiri.


2. Bergantung pada Membutuhkan orang lain yang
berbagai sumber)
orang lain dalam dapat bertanggung jawab pada
membuat hidupnya
keputusan.
3. Mengambil Mengalami kesulitan dalam
setiap keputusan menyatakan ketidak setujuannya
secara batiniyah.
4. Merasakan Mengalami kesulitan dalam
kecemasan memulai pekerjaan/mengerjakan
berlebihan ketika sesuatu oleh dirinya sendiri
membuat
keputusan.
5. Terganggu dalam Perasaan tidak nyaman dan tidak
menjalani berdaya ketika sendirian karena
kehidupan karena ketakutan yang berlebihan.
selalu merasa
ragu-ragu.

Post Trauma Acute Stress Disorder


Syndrome Disorder (ASD)
No
(PTSD) DSM V
DSM V
Langsung mengalami Secara langsung
1 kejadian traumatik. mengalami kejadian
traumatis
Mengalami Mengalami pemaparan
keterpaparan berulang yang ekstrem atau terus-
atau ekstrem terhadap menerus mengenai
perincian kejadian rincian-rincian dari
2
traumatik yang tidak kejadian-kejadian
menyenangkan traumatis yang tidak
disukai

Memori menyedihkan Memori-memori


yang berulang, tidak mengenai kejadian-
disengaja, dan kejadian traumatis yang
mengganggu dari dialami yang menganggu
3 peristiwa traumatik dan muncul secara tiba-
tiba secara berulang-
ulang.

Menghindari atau Durasi dari gejala-gejala


berusaha menghindari yang dialami ada dalam
memori, pikiran, atau rentang tiga hari sampai
perasaan yang satu bulan setelah
menyusahkan tentang pemaparan kejadian-
atau terkait erat kejadian traumatis.
dengan peristiwa Namun, gejala-gejala
4
traumatik yang dialami mungkin
dapat langsung dirasakan
setelah kejadian
traumatis terjadi dan
gejala-gejala tersebut
harus tetap ada
setidaknya tiga hari
Penghindaran atau Gejala-gejala yang
upaya untuk dialami menyebabkan
menghindari gangguan yang
pengingat eksternal signifikan pada
yang membangkitkan kehidupan sosial,

5 memori, pikiran, atau pekerjaan, maupun


perasaan yang aspek-aspek kehidupan
menyedihkan tentang individu yang penting
atau terkait erat lainnya.
dengan peristiwa
traumatik
Keyakinan atau Gejala-gejala yang
harapan negatif yang dialami tidak dapat
terus menerus dan dikaitkan dengan efek
berlebihan tentang fisiologis dari suatu zat-
diri sendiri, orang lain zat tertentu (contoh,
atau dunia obat-obatan atau
alkohol) ataupun kondisi
6
medis tertentu (contoh,
cedera otak yang
traumatis), serta tidak
diakibatkan oleh
gangguan psikosis
singkat (brief psychotic
disorder).
7 Gangguan tidur
Kewaspadaan
8
berlebihan

Diagnosa lain:
- Tugas perkembangan yang belum selesai yaitu
mempersiapkan keluarga
- Masalah kemandirian
Prognosa:
Penelitian yang dilakukan dalam beberapa dekade telah
ditemukan bahwa menggunakan terapi paparan yang bertujuan
untuk mengetahui sumber ketakutan pada diri klien secara
bertahap sangat efektif untuk menghindari munculnya respon rasa
takut ketika ingin mengetahui sumber awal ketakutan pada diri
klien.
5 Intervensi Paradigma yang digunakan:
a. Konseling individu
b. Writting therapy
c. Terapi realitas
Tenik/bentuk intervensi:
a. Konseling keluarga
b. Writting therapy: Klien diminta untuk menuliskan pikiran-
pikirannya terkait dengan situasi traumatis. Tujuannya
adalah untuk memahami emosi secara lebih jelas,
manajemen emosi dan memperkuat ketahanan dari orang
klien.
c. Terapi realitas:

Dosis Intervensi
Pertemua Intervensi Kegiatan Tujuan Perlengkapan
n
1 (90’) Mengisi lembar (10’) Membangun  Lembar
informed consent kepercayaan klien agar informed
Membangun Rapport terbuka kepada terapis. consent
(35’)  Lembar
Menerima kenyataan Dapat menerima
Observasi
Terapi dan kehidupan, keadaannya sehingga
 Lembar
Realitas bertanggung jawab mengurangi pikiran,
Interview
pada dirinya (30’) perasaan, perilaku
Guide
negative akibat
 Alat tulis
masalah yang dihadapi
 Alat perekam
klien.
suara
Meminta klien untuk Agar klien dapat
menuliskan pikiran- memahami emosi
Writing pikirannya di buku secara lebih jelas,
Therapy terkait dengan situasi manajemen emosi dan
traumatis. (15’) memperkuat ketahanan
dari orang klien
Memunculkan rasa Membantu
optimis dan membuat menemukan
Terapi
rencana mengenai alternative dalam
Realitas
masa depannya. (60’) mencapai tujuan yang
diinginkan  Ruang
Meminta klien untuk Agar klien dapat
konseling
menuliskan pikiran- memahami emosi
 Buku/notes
2 (90’) Writing pikirannya di buku secara lebih jelas,
Therapy terkait dengan situasi manajemen emosi dan
traumatis. (15’) memperkuat ketahanan
dari orang klien
Mengevaluasi Mengetahui perubahan
Evaluasi perilaku yang yang terjadi setelah
dipelajari dan serta dilakukan intervensi
konsekuensinya (15’)

Tata Ruang
- Sebuah ruangan dengan ventilasi udara dan cahaya yang cukup
- Satu set kursi tamu
- Klien dan terapis saling berhadapan

Media atau Perlengkapan


- Lembar Observasi
- Lembar Interview Guide
- Alat tulis
- Alat perekam suara
- Buku/notesl
DAFTAR PUSTAKA

Budihardjo, I. M. (2014). Panduan Praktis Menyusun SOP. RAS.


Butcher, J.N., Hooley, J.M., & Mineka, S., Psikologi Abnormal, Jakarta: Salemba
Humanika, 2018.
Corey, Gerald. (2013). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi Terjemahan E. Koswara.
Bandung: Refika Aditama
Helmi, A. F. (1999). Gaya kelekatan dan konsep diri. Jurnal Psikologi, 26(1), 9-17.
Hurlock, E. B. (2003). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Rosa, N. N. (2015). Hubungam antara gaya kelekatan aman dengan penyesuaian sosial
remaja awal di SMPN 25 Pekanbaru. Disertasi. Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau.
Saputro, K. Z. (2018). Memahami ciri dan tugas perkembangan masa remaja. Aplikasia:
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, 17(1), 25-32.

Anda mungkin juga menyukai