Belajar bagaimana berpikir lebih optimis ketika kita gagal memberi kita
keterampilan permanen untuk menangkal depresi. Itu juga dapat membantu kita
mencapai lebih banyak dan memiliki kesehatan yang lebih baik. Salah satu
benteng besar dari diri yang maksimal adalah bahwa ia percaya dirinya sendiri
dapat mengubah cara berpikirnya. Dan keyakinan ini memungkinkan terjadinya
perubahan.
Selligman (1992) mengatakan bahwa ia tidak percaya belajar optimisme
saja akan membendung gelombang depresi pada masyarakat luas. Optimisme
hanyalah tambahan yang berguna untuk kebijaksanaan. Dengan sendirinya, itu
tidak dapat memberikan makna. Optimisme adalah alat untuk membantu
individu mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk dirinya sendiri. Itu ada
dalam pilihan tujuan ditambah dengan komitmen baru untuk bersama, wabah
depresi kita dan kebermaknaan dapat berakhir.
“Ciri utama pesimis adalah bahwa mereka cenderung percaya bahwa
peristiwa-peristiwa buruk akan bertahan lama, akan merusak segala sesuatu
yang mereka lakukan, dan kesalahan mereka sendiri. Para optimis, yang
dihadapkan dengan pukulan keras yang sama dari dunia ini, berpikir tentang
kemalangan dengan cara yang berlawanan. Mereka cenderung percaya bahwa
kekalahan hanyalah kemunduran sementara atau tantangan, bahwa
penyebabnya hanya terbatas pada kasus yang satu ini”. (Martin Selligman
dalam Learned Optimism, 1991).
Selligman (dalam Ghufron dan Risnawati, 2010, hlm. 96) menyatakan
optimisme sebagai suatu pandangan yang menyeluruh, melihat hal yang baik,
berpikir positif, dan mudah memberikan makna bagi diri. Menurut Selligman
(2006) optimisme adalah kebiasaan berpikir positif yang dilihat melalui gaya
penjelasan individu terhadap peristiwa yang dialami atau yang belum dialami.
Cara individu menjelaskan peristiwa dikenal sebagai explanatory style atau
gaya penjelasan. Gaya penjelasan (explanatory style) merupakan suatu cara
yang dimiliki individu dan berupa kebiasaan dalam memandang suatu peristiwa
dalam kehidupannya yang kemudian ditunjukkan dengan bagaimana individu
menjelaskan peristiwa tersebut. Pada intinya, kebiasaan berpikir individu
tercermin dari bagaimana ia menjelaskan segala yang terjadi pada hidupnya.
Selligman (2006) memaparkan tiga dimensi penting yang digunakan
untuk menentukan keoptimisan individu, yaitu:
a. Permanence
Merupakan dimensi yang menentukan bagaimana individu memandang
jangka waktu peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Seorang individu
yang optimis akan memandang peristiwa baik (good situation) sebagai
suatu yang akan terjadi dikemudian harinya, dan peristiwa buruk (bad
situation) hanya terjadi sementara waktu. Sedangkan individu yang
pesimis memandang peristiwa baik (good situation) hanya sebagai suatu
kebetulan dan merasa peristiwa buruk (bad situation) akan selalu terjadi
di kehidupan selanjutnya.
Individu yang optimis menjelaskan peristiwa baik (good situation) pada diri
mereka sendiri dengan penyebab yang sifatnya permanen, sedangkan individu
yang pesimis menganggap penyebab tersebut hanya bersifat sementara. Berbeda
lagi dengan peristiwa buruk (bad situation) yang terjadi pada diri mereka.
Individu yang optimis akan memandang peristiwa buruk sebagai suatu yang
kebetulan/sementara, sedangkan individu yang pesimis memandang bahwa
peristiwa buruk bersifat permanen dan akan terus terjadi.
b. Pervasiveness
Pervasiveness adalah gaya penjelasan yang berkaitan dengan ruang
lingkup peristiwa yang terjadi pada diri individu. Dimensi ini dibedakan
menjadi menyeluruh atau khusus. Dalam perisiwa baik (good situation),
orang optimis akan menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh faktor
yang bersifat universal atau menyeluruh. Sedangkan orang yang pesimis,
akan menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi untuk hal-hal tertentu
(khusus) saja.
Lalu untuk peristiwa buruk (bad situation), individu yang optimis
akan menjelaskan hal spesifik dari peristiwa buruk yang dia alami karena
disebabkan oleh hal-hal khusus dan tdak akan berkaibat meluas.
Sedangkan individu yang pesimis akan menjelaskan bahwa hal tersebut
diakibatkan oleh hal yang bersifat universal dan akan meluas ke sisi lain
kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Goleman, Daniel. 1995. Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
J. J Froh,. 2004. The History of Positive psychology: Truth be Told. Diakses pada
tanggal 26 September 2017 dari www.people.hofstra.edu
Sarwono, Sarlito W. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta : Rajawali Press,
Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.
Wulandari, Dina. (2017). BIMBINGAN PRIBADI BERDASARKAN
PROFIL OPTIMISME PESERTA DIDIK.