Anda di halaman 1dari 26

Jurnal Al- Ulum

Volume. 12, Nomor 1, Juni 2012


Hal. 175-200


POHUTU MOMULANGA: GELAR ADAT DI GORONTALO

Moh. Ihsan Husnan


Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai, Gorontalo
(ihsan_husnan@yahoo.com)

Abstrak

Artikel ini menfokuskan pada suatu kegiatan upacara adat di Gorontalo.


Upacara adat tersebut adalah Upacara Adat Pohutu Momulanga, yaitu
suatu upacara yang dilaksanakan dalam rangka penobatkan dan
penganugerahan gelar adat kepada pejabat Bupati atau Walikota di
Gorontalo. Studi ini menunjukkan bahwa ada banyak makna-makna yang
terkandung dalam pelaksanaan upacara adat Pohutu Momulanga tersebut.
Makna-makna tersebut terdapat pada benda-benda yang merupakan simbol
sebagai perlengkapan upacara dan kata-kata tuja’i (verbal) yang diucapkan
pada saat penobatan dan penganugerahan gelar adat. Makna-makna yang
terdapat pada simbol-simbol dan kata-kata tuja’i tersebut bermakna
keteladanan seorang pemimpin dalam memimpin masyarakat. Upacara adat
tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur nilai-nilai dari agama Islam.

This article focuses on a traditional ceremony in Gorontalo. The so-called


Pohutu Momulanga ceremony, i.e. a traditional ritual which is performed in
the event of local coronation and conferral for a regent or major in
Gorontalo. The study shows that there has a number of meanings and values
in the Pohutu Momulanga ceremony. Among those values and meanings
consist on regalia and sacred words as the symbol of tuja’i. Those symbols
and the tuja’i meant as leadership examples to community. It is important to
note that the Pohutu Momulanga ritual is very much influenced by Islamic
values.

Kata kunci : Gorontalo, Upacara Adat, Pohutu Momulanga

175
Moh. Ihsan Husnan 

A. Pendahuluan
Membahas dan membicarakan kebudayaan1, berarti berbicara
atau membahas sesuatu yang bersifat universal. Setiap masyarakat-
bangsa di dunia ini memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan
coraknya berbeda-beda dari masyarakat-bangsa yang satu ke masyara-
kat-bangsa yang lainnya. Sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah
ekspresi eksistensi manusia di dunia. Manusia dan kebudayaan meru-
pakan kesatuan yang tidak terpisahkan, manusia adalah makhluk
pencipta sekaligus sebagai pendukung kebudayaan itu sendiri.2
Sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang saling berinte-
raksi dalam suatu sistem sosial, kebudayaan bersifat lebih konkret,
dapat diamati dan diobservasi. Aktivitas manusia yang berinteraksi itu
bisa ditata oleh gagasan-gagasan dari tema-tema berpikir yang ada
dalam benaknya. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah
pemahaman nilai-nilai dan makna suatu kebudayaan yang telah
dihasilkan dari cipta, karya, dan karsa manusia itu sendiri.
Keaneka-ragaman budaya yang ada pada masyarakat Indonesia
sangat banyak dan menarik untuk diamati dan diteliti, karena
didalamnya terkandung makna dan nilai-nilai berharga yang disam-
paikan secara khas dan unik lewat simbol-simbol yang diciptakan oleh
manusia itu sendiri. Gorontalo yang merupakan salah satu dari 19
daerah adat yang ada di nusantara banyak mempunyai keaneka-
ragaman kebudayaan. Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut
adalah kegiatan upacara adat “Pohutu Momulanga”. Pohutu Momu-
langa ini adalah suatu upacara adat yang dilaksanakan untuk


1
Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja
bahasa Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah
atau bertani. Arti ini berkembang menjadi kata culture sebagai segala daya upaya
serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam. Dalam bahasa
Indonesia. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari kata buddhi (budi dan daya) yang berarti daya dari budi, yaitu berupa
cipta, karsa dan rasa. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan merupakan :
“........keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Lihat
Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 52, Basrowi, Pengantar Sosiologi. (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2005), h. 70
2
Hari Poerwanto, Op.Cit., h. 87.

176
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

penobatan dan penganugerahan “gelar adat” bagi pejabat peme-
rintah.
Upacara Pohutu Momulanga adalah upacara adat yang
berhubungan dengan ketatanegaraan dan pemerintahan. Dikatakan
berhubungan dengan ketatanegaraan dan pemerintahan oleh karena
upacara ini menobatkan dan menganugerahkan gelar adat kepada
pejabat pemerintah yang memegang jabatan yaitu para bupati dan
walikota. Proses penobatan ini pada hakekatnya, adalah pemegang
tampuk pemerintahan diberikan penghargaan, diangkat derajatnya,
agar punya wibawa di tengah-tengah masyarakat. Jabatan bupati atau
walikota adalah suatu jabatan yang disamakan dengan jabatan seorang
raja (olongia) pada masa kerajaan-kerajaan di Gorontalo sebelum
kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia
kerajaan-kerajaan dan raja-raja ini disesuaikan dengan struktur peme-
rintahan Indonesia, yang mana kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh
raja-raja diubah menjadi daerah tingkat II dan jabatan raja
menyesuaikan jabatan sesuai dengan UUD 1945 yaitu menjadi bupati
atau walikota.3 Seorang raja (olongia) pada masa kerajaan Gorontalo
dipilih melalui suatu lembaga (badan legislasi) yaitu Bantayo
Pobo’ide. Seorang raja yang terpilih akan dilantik dan dinobatkann
(diberi gelar adat) oleh Ta’uwa (ketua) dari Bantayo Pobo’ide.
Pelantikan serta Penobatan dan pemberian gelar adat pada masa itu
karena raja (olongia) yang terpilih memang sudah benar-benar
memenuhi syarat sebagai seorang raja yang menjadi panutan dalam
kehidupannya, baik bernegara, bermasyarakat maupun beragama.
Pada masa sekarang bupati atau walikota yang terpilih akan dilantik
oleh pejabat minimal setingkat lebih tinggi, yang ditunjuk sesuai
dengan hierakhi jabatan dalam pemerintahan. Pelantikan tersebut tidak
diikuti oleh penobatan dan pemberian gelar adat seperti pada masa
kerajaan dulu. Setelah dilantik sebagai bupati atau walikota, ada
tenggang waktu penobatan dan pemberian gelar adat (momulanga).
Penobatan dan pemberian gelar adat tersebut sangat memerlukan
kehati-hatian, sebab dikhawatirkan pulanga yang diberikan kepada
pejabat yang bersangkutan tidak sesuai sikap/perilakunya dengan

3
Kadir Abdussamad (Penyunting), Empat Aspek Adat Gorontalo
(Penyambutan Tamu, Penobatan, Perkawinan dan Pemakaman. Gorontalo. Pemda
Tingkat II Kab. Gorontalo Bekerjasama dengan Yayasan 23 Januari 1942 Jakarta,
2000), h. 56.

177
Moh. Ihsan Husnan 

martabat pulanga, sehingga dianggap merupakan aib dan menodai
adat.4
Setelah pelantikan sebagai pejabat bupati atau walikota, maka
akan ada proses penobatan dan pemberian gelar adat pulanga. Proses
tersebut adalah menilai bupati atau walikota dari segi adat yang akan
dilakukan oleh dewan adat yang ada. Proses penilaian ini memerlukan
waktu yang agak lama untuk menentukan boleh atau tidak pejabat
yang bersangkutan gelar adat pulanga. Penilaian dari segi adat ini
disebut dengan Tili’o atau Ilalo yang harus memenuhi enam aspek,
yaitu :
a. Pahawe (budi pekerti)
b. O’oliyo’o (tindak tanduk/sikap)
c. Motonggolipu (kebijaksanaan dalam pemerintahan)
d. Motolongala’a wolo tuango lipu (bermasyarakat)
e. Motolo agama (rajin dalam kegiatan keagamaan)5
f. Ilomata (karya-karya yang berguna untuk orang banyak)
Apabila keenam aspek ini terpenuhi, maka bermusyawaralah
persidangan adat untuk memberikan gelar adat (pulanga) berdasarkan
karya (ilomata) sebagai nama gelar adat yang bersangkutan. Proses
pelaksanaan upacara dipilih waktu yang terbaik yaitu hari dan tanggal
pelaksanaannya yang membawa keberuntungan. Tempat pelaksanaan
upacara di ”yiladiya” (istana). Sekarang yang dimaksud dengan
yiladiya adalah rumah dinas (jabatan) bupati atau walikota. Ada aturan
adat yang menyatakan bahwa apabila upacara penobatan dan
penganugerahan gelar adat pulanga diberikan kepada seorang walikota
Kota Gorontalo, maka semua pelaksananya adalah dari Kabupaten
Gorontalo. Begitu juga sebaliknya, apabila seorang bupati Kabupaten
Gorontalo dinobatkan dan diberi gelar adat pulanga, maka semua
pelaksananya dari Kota Gorontalo. Hal ini diistilahkan dengan huyula
(gotong royong) yang telah diberlakukan sejak perjanjian perdamaian
antara kerajaan limboto dan kerajaan Gorontalo pada tahun 1673 M.
Bunyi dari aturan pelaksanaan upacara tersebut adalah :

4
Medi Botutihe, Mo’odelo: Sifat dan Perilaku Pemimpin berdasarkan Nilai
Lokal Gorontalo, (Gorontalo: Pustaka Gorontalo, 2003), h. 293
5
Yang dimaksud kegiatan-kegiatan keagamaan disini adalah kegiatan-
kegiatan atau acara-acara dalam agama Islam. Islam adalah agama kerajaan
Gorontalo. Dalam kegiatan acara-acara adat, Islam menjadi pedoman. Hal ini
tercermin pada filosofi masyarakat Gorontalo “Adat bersendikan Sya’ra, Sya’ra
bersendikan Kitabullah”.

178
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

Ubuwa la’i-la’i : yang perempuan bertindak laki-
laki
Ula’i buwa-buwa : yang laki-laki bertindak perempuan
To pohutu teeto teya : pada acara disana-sini
Makna dari tuja’i tersebut adalah kedua daerah tidak
membedakan pelaksanaan upacara-upacara dalam segi tanggung
jawab mulai dari persiapan sampai pelaksanaan. Semua hal tidak ada
perbedaan di kedua daerah.
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, penulis
melakukan kajian dan penelitian terhadap makna dan nilai-nilai
budaya yang terkandung pada pelaksanaan upacara Pohutu Momu-
langa tersebut. Penulis mengangkat judul penelitian: “POHUTU
MOMULANGA (Kajian Terhadap Upacara Pemberian Gelar Adat
Kepada Pemimpin Daerah di Gorontalo). Berdasar pada latar belakang
penelitian diatas, maka penulis memusatkan perhatian kepada
beberapa pertanyaan adalah Bagaimana proses pelaksanaan upacara
adat “Pohutu Momulanga” yang ada di Gorontalo ? dan Apa makna
upacara adat “Pohutu Momulanga” bagi masyarakat dan bupati atau
walikota di Gorontalo ?

B. Adat Istiadat dan Nilai Budaya Gorontalo


Sebelum membahas mengenai adat-istiadat masyarakat di
Gorontalo ini, ada baiknya membahas mengenai adat dalam
konsepsinya terlebih dahulu agar lebih memahami adat-istiadat dalam
konsep maupun bentuknya. Janis B. Alcorn6 memberikan batasan
yang bisa dijadikan rujukan untuk memahami apa yang dimaksud
dengan adat. Beberapa inti dari pemikiran Alcorn tentang adat dapat
dilihat pada uraian berikut ini:
a. Adat merujuk kepada kepercayaan, hak dan tanggung jawab
budaya, hukum dan pengadilan adat, serta praktik-praktik adat.
Aspek khusus adat adalah wilayah yang berbeda satu dengan
lainnya serta dapat beradaptasi dengan situasi baru seiring
perkembangan zaman.
b. Adat mengandung aspek hukum, agama, moral, dan budaya. Adat
mengatur hubungan tingkah laku antar individu, keluarga,
masyarakat, dan pendatang/orang luar. Adat juga mengatur
hubungan antar manusia dengan alam, dan alam dilihat sebagai

6
Ibid

179
Moh. Ihsan Husnan 

pelaku aktif dalam hubungan tersebut. Menjalankan adat berarti
melakukan tindakan ritual adat, seperti doa dan persembahan -
persembahan.
c. Adat merupakan hukum adat. Denda adat dikenakan kepada
mereka yang melanggar hukum adat.
Pada masyarakat Gorontalo adat dipandang sebagai seperang-
kat norma (tata nilai) beserta aturan sebagai hasil rancangan para
pendahulunya. Adat ini dibuat adalah untuk mengatur bagaimana
hubungan tingkah laku manusia dengan manusia lain, manusia dengan
alam sekitarnya dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Gorontalo saat ini, adat sebagai landasan hidup (norma)
tidaklah begitu berpengaruh lagi. Adat memang masih tetap
dilaksanakan, tetapi hanya pada acara-acara tertentu saja, seperti:
sunatan, perkawinan, penyambutan tamu, penganugerahan gelar adat,
pemakaman, dan lain-lain. Kalaupun nanti dalan pelaksanaan acara-
acara tersebut diatas, masyarakat tidak melaksanakan secara adat,
maka tidak ada sanksi atau denda yang ditimpakan kepada masyarakat
yang tidak melaksanakan adat tersebut. Pengamatan peneliti, hal ini
disebabkan oleh karena adat bukanlah satu-satunya sumber nilai yang
dianut oleh masyarakat Gorontalo. Adat hanyalah sumber nilai yang
kedua, setelah sumber nilai dari agama Islam.
Ada dua sistem nilai yang hidup, dalam arti dipelihara dan
dipertahankan oleh masyarakat Gorontalo (Polontalo, 1993: 44).
Pertama, sistem nilai yang diberikan oleh agama Islam. Perangkat
nilai ini yang dipandang amat mulia oleh masyarakat. Nilai yang
diberikan oleh ajaran Islam merupakan nilai yang tinggi kualitasnya.
Oleh karena itu pelaksanaan nilai ini tidak memerlukan komando atau
perintah dari pihak manapun. Setiap pribadi atau insan sewajarnya
menyadari nilai yang agung ini sehingga dengan rela hati akan
mengikuti dan mematuhinya. Orang yang berbuat demikian dipandang
sebagai manusia yang tinggi martabatntya, dan sebagai suri teladan
untuk menuju jalan yang mulia.
Karena sistem nilai ajaran Islam diakui sebagai nilai paling
asasi yang bersumber dari kebenaran yang mutlak yaitu Allah Swt,
maka sistem nilai ini memberikan sanksi yang sifatnya juga suprana-
tural, tidak dapat dilihat dengan nyata dalam realitas kehidupan
manusia. Kekuatan sistem nilai ini akan terasa dari dalam diri manusia
itu sendiri, sejauh mana dia dapat menyadari, memahami dan
merenungkannya. Sistemnya berjalan bukan pertama-tama oleh

180
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

tindakan suatu lembaga atau badan tertentu, tertapi lebih banyak
ditentukan oleh faktor pribadi seseorang. Nilainya hadir bukan dengan
suatu perintah yang memaksa, tetapi meminta kesadaran dan kerelaan
atas kebenaran itu semata-mata. Jadi sistem nilai agama merupakan
serangkaian nilai yang dipandang paling ideal dan sumber segala nilai.
Oleh karena sifatnya yang demikian, sistem nilai ini tidak selalu dapat
dijabarkan secara praktis dalam kehidupan yang nyata. Sebagai
sumber, dia adalah bagaikan konsep. Itu berarti dapat dituangkan ke
dalam berbagai kemungkinan.
Sistem nilai kedua ialah sistem nilai yang diberikan oleh adat.
Sistem ini memberikan ukuran dan ketentuan-ketentuan terhadap
bagaimana manusia harus berbuat dan bertingkah laku. Sistem nilai
yang diberikan adat merupakan hasil pemikiran yang mendalam dari
raja-raja terdahulu tentang cara bagaimana sebaiknya kehidupan
masyarakat dapat diatur, sehingga kehidupan dapat berjalan dengan
damai dan harmonis. Dari tujuannya, sistem nilai dari adat ini
berupaya membuat sistem yang bersifat keselarasan antara manusia
dengan manusia.
Sistem nilai agama dan adat yang di pedomani oleh
masyarakat Gorontalo saat ini, mulai terbentuk sejak agama Islam
masuk ke Gorontalo tahun 1525 M. Sultan Amai yang memerintah
Gorontalo pada saat itu mempunyai prinsip “syara’a hulo-huloa to
adati” (syara’ bersendikan adat). Kedudukan adat sebagai filosofi
dalam kehidupan masyarakat Gorontalo pada masa tersebut masih
berada diatas nilai-nilai agama. Nilai-nilai yang bersumber dari agama
hanya sebagai pelengkap atas nilai yang berasal dari nilai-nilai adat.
Pada masa pemerintahan raja Matolodulakiki tahun 1550 M, prinsip
tersebut diperbaharuinya menjadi “Adati Hulo-hulo’a to Syara’a,
Syara’a Hulo-hulo’a to Adati” (adat bertumpu pada syara’, syara’
bertumpu pada adat). Artinya, nilai yang di pedomani oleh masyarakat
bersumber dari nilai agama dan adat yang mempunyai kedudukan
yang sama. Pada masa pemerintahan Eyato tahun 1673 M, prinsip itu
kembali disempurnakan menjadi “Adati Hulo-hulo’a to Syara’a,
Syara’a Hulo-hulo’a to Quru’ani” (Adat bertumpu pada Syara’,
Syara’ bertumpu pada Al-Qur’an). Dengan demikian, sejak masuknya
Islam hingga menjadi agama resmi kerajaan sampai hari ini filosofi
tersebut telah menyatu dan menjadi identitas masyarakat Gorontalo.
Oleh karena itu, apabila acara yang dilaksanakan sudah sesuai
syariat agama Islam, maka tidak akan ada masalah yang akan timbul

181
Moh. Ihsan Husnan 

karena tidak melaksanakan adat. Memang ada ungkapan dalam bahasa
Gorontalo “dila o’adati...” yang mempunyai arti “tak tahu adat...”
atau “tidak beradab...”. Kalimat ini menunjukkan bukan pada orang
atau masyarakat yang tidak melaksanakan adat istiadat, tetapi kalimat
ini menunjukkan bahwa ada seseorang atau masyarakat yang
melakukan hal yang tidak baik (sopan) di mata masyarakat.

C. Upacara Adat Pohutu Momulanga di Gorontalo


Sejak kapan pastinya upacara adat pohutu momulanga di
Gorontalo, tidak ada satupun sumber atau informan yang dapat
menjelaskan dan memastikan kapan upacara ini mulai ada. Abdul
Wahab Lihu, pemangku adat (baate) dari Kabupaten Gorontalo
mengungkapkan :
“sejak kapan pastinya upacara adat pohutu momulanga ini
mulai dilaksanakan dan siapa raja yang pertama mendapar
gelar adat ini, tidaklah diketahui secara pasti. Tetapi upacara
ini telah ada sejak Gorontalo masih berbentuk kerajaan”7.
Dalam dokumen-dokumen tata upacara adat Gorontalo, tidak
ditemukan kapan upacara adat ini mulai dilaksanakan. Tetapi,
dijelaskan bahwa pada masa kerajaan Gorontalo, seorang raja yang
terpilih melalui Bantayo Pobo’ide akan dilantik dan dinobatkan (diberi
gelar adat) oleh Wu’u atau Baate sebagai Ta’uwa (ketua) dari Bantayo
Pobo’ide dalam suatu upacara adat. Pelantikan serta Penobatan dan
pemberian gelar adat pada masa itu karena raja (olongia) yang terpilih
memang sudah benar-benar memenuhi syarat sebagai seorang raja
yang menjadi panutan dalam kehidupannya, baik bernegara,
bermasyarakat maupun beragama.
Hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan menutur-
kan bahwa acara-acara adat (termasuk upacara pohutu momulanga)
tidak pernah dilaksanakan lagi sejak adanya penjajahan bangsa
Belanda yang mulai menguasai kerajaan Gorontalo tahun 1736 M.
Kebijakan Penjajah Belanda pada saat itu adalah membekukan
(menon-aktifkan) Bantayo Pobo’ide dan menghilangkan jabatan
olongia (raja) secara perlahan-lahan dan mengangkat penggantinya,
yaitu kepala distrik yang terdiri dari bangsawan hasil didikan budaya
Belanda.


7
Abdul Wahab Lihu, Wawancara tanggal 5 Februari 2012

182
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

Setelah Bangsa Indonesia lepas dari penjajahan Belanda dan
Jepang dan memproklamirkan kemerdekaannya, upacara pohutu
momulanga ini mulai dilaksanakan kembali, tepatnya setelah diadakan
seminar adat budaya Gorontalo tahun 1972. Memang, upacara pohutu
momulanga ini telah mengalami penyesuaian-penyesuain (modifikasi)
dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini sesuai
dengan penuturan Bapak Hi. D.K Usman :
“upacara pohutu momulanga yang dilaksanakan sekarang ini
telah mengalami perubahan dari yang dahulu dilakukan oleh
orang-orang tua kita. Tetapi, pada prinsipnya substansi atau
nilai dari upacara tersebut tidak berubah. Perubahan tersebut
dimungkinkan untuk mengikuti penyesuaian-penyesuaian
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Gorontalo”8.

Ada lima nama gelar adat (Ta’uwa) yang akan dianugerahkan


kepada bupati dan walikota. Kelimanya dapat pula disebut sebagai
Ta’uwa Lo Lipu (Sang Khalifah Negeri). Lima macam penyebutan
gelar tesebut sama sekali tidak membedakan status sang ta’uwa.
Perbedaan tersebut hanya berdasar pada penilaian “ilomata” (karya)
yang berhasil dipersembahkan oleh sang pejabat bupati atau walikota.
Nama gelar-gelar adat tersebut adalah :
1. Ta’uwa Lo Madala
“Madala” bermakna negeri yang indah, dimana pemimpinnya
adalah penguasa yang bukan mencari kenikmatan dunia. Seluruh
pemikirannya adalah bagaimana menjadikan negeri yang
dipimpinnya dapat memberikan kesejukan hidup; para petani dan
nelayan, para buruh dan pekerja hidup dalam kesederhanaan,
kemiskinan dapat diatasi dengan pajak negeri itu sendiri. Penguasa
lebih banyak mementingkan kepentingan rakyat daripada
kepentingan dirinya sendiri. Indah bukan berarti negeri ini penuh
dengan kemewahan, tetapi karena keseimbangan antara kebutuhan
lahiriah dengan bathiniah. Penguasa adalah panutan karena
agamawan dan moralitas masyarakat terkontrol dan terkendali.
Pemimpin yang berhasil dan memiliki karakter atau sikap bukan
untuk mencari kenikmatan dunia inil akan dianugerahi gelar
sebagai Ta’uwa Lo Madala.


8
Hi. D.K Usman, Wawancara tanggal 12 Februari 2012

183
Moh. Ihsan Husnan 

2. Ta’uwa Lo Lahuwa
”Lahuwa” adalah negeri yang memiliki kewibawaan. Kewiba-
waan ini adalah berkat kepemimpinan seorang penguasa yang
bertindak arif dan tegas, berdasarkan peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku. Bahkan sang pemimpin tak segan-segan
menerapkan hukum Allah, jika aturan yang ada tidak dapat
menyelesaikan permasalahan. Ketaatan ini membuat masyarakat
tenang, dan takut membuat pelanggaran.
3. Ta’uwa Lo Hunggiya
“Hunggiya” mempunyai arti negeri yang memiliki daya tarik
tersendiri, yaitu negeri yang dipimpin oleh seorang penguasa yang
ramah, arif, bijaksana dan penuh kekeluargaan. Masyarakat Negeri
ini menganggap bahwa seorang penguasa adalah seorang kepala
keluarga yang membesarkan, memelihara dan mensejahterakan
keluarganya, dalam hal ini rakyatnya. Pemimpin ini lebih
mementingkan kepentingan rakyatnya daripada kepentingannya
sendiri. Dalam pemerintahannya, penguasa tersebut sangat meng-
hargai fatwa para tua-tua, dan selalu bermusyawarah untuk
mufakat. Kebijakan-kebijakan yang penuh kekeluargaan sangat
terkesan di hati rakyat sehingga kesan-kesan dalam pembangunan
negeri ini selalu dikenang sepanjang masa.
4. Ta’uwa Lo Lingguwa
“Lingguwa” dalam konteks ini dimaknai sebagai negeri yang
kuat, tahan lama dan awet. Peristilahan lingguwa diambil dari
nama sejenis kayu kelas satu yang sangat kuat yang biasa dipakai
sebagai tiang atau pasak utama pada bangunan-bangunan di
Gorontalo. Gelar Ta’uwa lo Lingguwa disematkan kepada seorang
pemimpin yang kuat karena wawasannya yang luas, arif karena
ilmu yang dimilikinya, tegas dalam tindakan dan konsekuen
dengan apa yang menjadi keputusan. Dicintai rakyat karena
ketegarannya dalam membela hak rakyat. Kepeduliannya akan
umat sangat tinggi, bukan saja di dalam negerinya tetapi di negari-
negeri sekitarnya. Pembanguan fisik bagi pemimpin ini soal
kedua, tetapi pembangunan moral mejadi keutamaan.
5. Ta’uwa Lo Daata
“Daata” bermakna banyak. Negeri ini banyak kegiatan yang
tercipta, baik pembangunan yang bermanfaat untuk masyarakat
atau untuk meramaikan negeri. Penguasa negeri ini mempunyai
keberanian dan kemampuan membuat terobosan-terobosan baru

184
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

dalam hal pembangunan untuk kepentingan masyarakat. Teguh
dalam pendirian, kepedulian akan peningkatan sumber daya
manusia menjadi patokan perencanaannya. Pemimpin atau pe-
nguasa yang memiliki karakter seperti ini wajar dianugerahi gelar
“Tauwa Lo Daata”.

D. Prosesi Pelaksanaan Upacara Adat Pohutu Momulanga


Dalam upacara adat pohutu momulanga terdapat kerjasama
yang rapi sesuai dengan ketetapan adat, yaitu apabila yang diberi gelar
adat adalah bupati, maka pelaksananya dari pemangku adat dari Kota
Gorontalo. Sebaliknya apabila yang diberi gelar adat walikota, maka
pelaksananya pemangku adat dari dari Kabupaten Gorontalo. Istilah
kerjasama ini adalah “huyula” (gotong royong) yang telah diber-
lakukan sejak janji lo’u duluwo yang berbunyi sebagai berikut:
Ubuwa la’i-la’i : yang perempuan bertindak laki-laki
Ula’i buwa-buwa : yang laki-laki bertindak perempuan
To pohutu teeto teya : pada acara di sana-sini
Dengan makna, kedua-duanya (pemangku adat kedua daerah)
tidak membedakan pelaksanaan upacara dalam segi tanggung jawab
mulai dari persiapan sampai pelaksanaan. Walaupun hal ini sudah
merupakan ketentuan di dalam pelaksanaannya selalu diawali dengan
“Dulohupa Ode Heluma” artinya musyawarah menuju mufakat, yang
dilakukakn melalui beberapa tahapan (lintonga). Tahapan-tahapan
sebelum pelaksanaan penobatan dan pemberian gelar adat tersebut
meliputi:
1. Dulohupa wolo taa tombuluwo, adalah musyawarah dengan calon
yang akan diberi gelar adat pulanga. Maksudnya ialah penyam-
paian untuk memberikan pulanga kepada pejabat yang bersang-
kutan. Yang bertugas membicarakan/ menyampaikan maksud
tersebut Baate/Wu’u. Apabila pejabat yang bersangkutan bersedia
diberi gelar adat, maka lintonga dilanjutkan ketahap berikutnya.
Tetapi, apabila pejabat yan bersangkutan belum bersedia, maka
akan diadakan musyawarah antara pemangku adat tentang belum
bersedianya pejabat tersebut diberi gelar adat. Biasanya alasan
belum mau menerima gelar adat tersebut adalah pejabat tersebut
merasa belum berbuat apa-apa atau menghasilkan karya yang
berguna bagi masyarakat.
2. Dulohupa to bubato lo Limutu, adalah musyawarah para
pemangku adat di Limboto. Maksudnya adalah musyawarah

185
Moh. Ihsan Husnan 

tentang pohutu momulanga yang akan dilaksanakan. Pertemuan
ini dihadiri oleh semua unsur adat yang ada di Gorontalo. Perte-
muan ini tetap dilaksanakan di Limboto walaupun upacara pohutu
momulanga berada di kota atau kabupaten lain. Dulohupa ini di
kenal dengan nama “Dulohupa momu’o buluwa lo aadati”
artinya pertemuan membuka simpanan adat”. Dalam pertemuan
ini dibicarakan tentang pemberian gelar adat pulanga yang
ditinjau dari segi agama dan pemerintahan.
3. Baalanga, yang dimaksud baalanga atau mopobaalanga ialah
pengiriman utusan dari Limboto (yang ikut pertemuan diatas) ke
Gorontalo memaklumkan hasil keputusan Dulohupa bubato lo
limutu kepada pemangku adat Gorontalo (walaupun mereka ikut
pertemuan di Limboto) untuk melaksanakan upacara pohutu
momulanga.
4. Huhama atau toduwo, ialah mengundang para pejabat dan
pemangku adat se Gorontalo yang dianggap perlu sebagai tamu
pada upacara Pohutu Momulanga yang akan dilaksanakan nanti.
Huhama, jika upacara akan dilaksanakan di kabupaten mohama-
hama atau moloduwo ialah para pemangku adat dari kabupaten,
begitu juga sebaliknya, jika upacara di kota Gorontalo maka
mohama-hama atau moloduwo para pemangku adat dari kota
Gorontalo.
5. Dulohupa lo bubato lo limutu wawu hulontalo (ta mohutato),
Dulohupa ini adalah pertemuan puncak dari lintonga (tahapan
sebelum pelaksanaan upacara pohutu momulanga). Pada perte-
muan, hadir kembali semua pemangku adat dari seluruh
Gorontalo. Hal yang dibicarakan pada pertemuan ini adalah
tentang penetapan nama gelar adat yang akan diberikan kepada
pejabat bupati atau walikota. Apabila gelar yang akan dianu-
gerahkan tersebut telah pernah dianugerahkan kepada bupati atau
walikota sebelumnya, dan mantan bupati atau walikota tersebut
masih ada (hidup), maka akan ada utusan untuk menemui mantan
bupati atau walikota tersebut untuk memohon doa restu dan fatwa
dari penyandang gelar tersebut untuk menggunakan gelar yang
pernah diterimanya untuk dianugerahkan lagi kepada bupati atau
walikota.
Berhubung ketentuan adat hanya ada 5 (lima) nama Pulanga
untuk bupati atau walikota, maka apabila kelimanya telah habis
terpakai untuk pemakai pulanga berikut tetap menggunakan pulanga

186
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

tersebut diatas. Caranya ialah dengan menggunakan identitas angka
(romawi). Angka ini menunjukkan beberapa kali pulanga itu terpakai.
Contoh Ta’uwa Lo Lahuwa I, II dan seterusnya, Ta’uwa Lo Lingguwa
I, II dan seterusnya.
Apabila tahapan-tahapan (lintonga) persiapan pelaksanaan
upacara pohutu momulanga telah selesai dan telah disepakati tanggal
atau waktu pelaksanaan, maka pada hari yang telah ditentukan
tersebut akan dilaksanakan upacara penobatan dan penganugerahan
gelar adat kepada bupati walikota. Biasanya, para tamu-tamu yang di
undang datang sebelum acara di mulai. Tamu yang datang pada
upacara tersebut ketika memasuki pintu gerbang (alikusu) akan
disambut dengan bunyi-bunyian dari hantalo (genderang). Proses
pelaksanaan acara dalam upacara pada hari dan jam yang telah
ditentukan tersebut terdiri dari 10 tahapan, yaitu:
1. Aadati Potidungu
Aadati Potidungu ini ialah suatu pertanda penyerahan
pelaksanaan. Apabila upacara pohutu momulanga di kabupaten, maka
bubato lo limutu (pemangku adat kabupaten) menyerahkan pelak-
sanaan upacara kepada bubato lo hulontalo (pemangku adat kota).
Penyerahan pelaksanaan acara ini disebut dengan “Mohudu tonggota”
yang berarti penyerahan tanggung jawab. Pada penyerahan
pelaksanaan tersebut, pihak yang menyerahkan mengucapkan:
“Aamiyati Bubato lo Aadati lo Limutu maa to’o to’opu mayi aadati lo
limutu ode olanto wolo mongowutato lo Hulontalo, aadati potidungu,
aadati potidungu, aadati potidungu” Pihak yang menerima menjawab
“Aadati Potidungu maa tilolimo lou sampurna”, Setelah itu
pemangku adat dari Kabupaten mengucapkan lagi “Maa mo’oliyo’olo
itu wutato lonto hulontalo”, Sebelum melaksanakan tugasnya, maka
yang pertama kali ditanyakan oleh pemangku adat dari Gorontalo
adalah “Maa Toonu Hantalo meetahu tahu lo Limutu?” artinya,
“mana genderang kebesaran adat yang tersimpan di Limboto?” dan
dijawab oleh pemangku adat dari kabupaten “Maatiya ju”, artinya,
ada dan siap.
Dengan telah diserahkanya acara pelaksanaan upacara
momulanga ke pemangku adat Gorontalo, maka kegiatan dimulai
dengan membunyikan hantalo yang agak lama pertanda bahwa
upacara akan dimulai.

187
Moh. Ihsan Husnan 

2. Aadati Lo’u Lipu
Acara ini adalah memaklumkan kepada hadirin bahwa upacara
adata penobatan dan penganugerahan gelar adat akan dilaksanakan.
Pemakluman ini dilakukan oleh Pemangku adat Gorontalo sebagai
pelaksana upacara. Pemakluman dilaksanakan dengan bahasa adat
yaitu: “Aamiyati mopomaklumo ode taa hihadiria nga’ami uda’a to
wuleya lo lipu teeto teeya, teeya teeto, aadati lo taa Tombuluwo maa
pilo podunggamayi” Kami memaklumkan kepada hadirin bahwa
upacara akan dimulai.
3. Mopotuwoto/Mopoluwalo huwali lo Humbia
Mopotuwoto huwali lo humbia adalah membawa Taa
Tombuluwo (pejabat yang akan dinobatkan dan dianugerahi gelar
adat) bersama Istri (Mbu’i) keluar dari kamar (humbia) di dalam
istana menuju ke tempat duduk yang telah disediakan yaitu huhulo’a
lo aadati to bulita (tempat duduk adat). Pada acara ini, dua orang
pemangku adat mengucapkan Tuja’I sebagai berikut:
Pemangku adat I :
Bismillahirrahmanirrahim
Aami Mongotiyombunto : Kami nenek ananda
Momudu’o Momuluto : Mengundang mempersilahkan
U ta’eya li Yombunto : Kenderaan nenenda
De tunggulo mombunto : menuju sampai ke tujuan
Mo’obaya oli Wuwa : akan seperti nenenda
Mohala’o mohumbuwa : bersanak dan keluarga
Ula’I wawu ubuwa : Putra dan Putri
To’u duluwo lo huwa : di antara dua kerajaan
To’o limo lingguwa : pada lima negeri

Pemangku adat II
Bismillahirrahmanirrahim
Patila pulotato : kedudukan para tetua
Aami tiyombu kimala : kami pemangku adat
Hi yolata bala-bala : menunggu dengan adat
Hi wuluwa hitaata : bersatu dan menjaga
Mo’opiya madala : untuk kebaikan negara
Aami tiyombu ti’uwa : kami pemangku adat tertua
Hibubuwa mo’opiyo lahuwa : bersatu memperbaiki negara.

188
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

Pemangku Adat I
Wombu luwalo lomayi : cucunda silahkan keluar
Lu walayi to dutula : keluar dari kamar
Bu’I wawu huhuntula : putri cantik jelita
Panggeta lalante bula : singkaplah tirai
Wali limato lo dula : turunan raja matahari
Wumbu li Tolangohula :cucu raja tolangohula
Hulawa detilihula : emas tandingannya

4. Modiyambango (lonto huwali lo humbiya)


Setelah taa Tombuluwo bersama istri telah berada dipintu
kamar (huwali lo humbia), maka seorang pemangku adat yang
bertugas menuntun taa Tombuluwo dan istri berjalan menuju tempat
duduk yang disediakan. Sambil berjalan mundur pemangku adat
tersebut mengucapkan tuja’i :
Woobu payu bulayi : cucunda yang mulia
Otande-ntade mayi : datanglah kemari
Otile-tile pomayi : melangkah ke sini
Ontade polo’ayi : datanglah dan naiklah
Timile potuwotayi : berjalan dan masuklah
Menuntun keluar dari huwali lo humbia menuju tempat duduk
adat tersebut disebut dengan modiyambango (berjalan).
5. Mopohulo’o
Tibanya taa Tombuluwo beserta istri ditempat duduk yang
telah disediakan, telah menunggu seorang pemangku adat lain sambil
mengucapkan tuja’I :
Wombu maatoduwolo : cucunda dipersilahkan
Wahu maa popohulo’olo : dipersilahkan duduk
To pu’ade wajalolo : di tempat duduk kemuliaan
Selesai tuja’I diucapkan diatas, taa Tombulowo dan istri segera
duduk di tempat huhulo’a lo aadati yaitu berupa kasur yang telah
dialas dengan permadani menghadap para tamu yang hadir. Istrinya
duduk disebelah kiri taa Tombuluwo. Cara duduknya adalah tambe-
tambelango (bersila).
6. Momulanga
Dengan telah dipersilahkannya taa Tombuluwo bersama istri
duduk di huhulo’a lo aadati, maka acara intinya akan dilaksanakan
yaitu momulanga. Yang bertugas membawa acara momulanga ini
adalah pemangku adat Gorontalo (Baate lo Hulontalo). Baate lo

189
Moh. Ihsan Husnan 

Hulontalo duduk berhadapan dengan taa Tombuluwo yang
sebelumnya didahului dengan molubo9 kepada taa Tombuluwo,
kemudian Baate lo Hulontalo memegang tangan kanan taa
Tombuluwo serta berjabat tangan dengan ibu jari saling bertemu.
Dengan suara lantang dan berwibawa Baate lo Hulontalo
mengucapkan tuja’i sebagai tanda penobatan dan penganugerahan
gelar adat. Tuja’i tersebut adalah sebagai berikut:
Eyanggu, Eyanggu, Eyanggu
Maa leyi dudulamayi
Maa leyi dulohupa mayi
Mongo wutatonto mongo eeya
Wolo mongotiyamanto eeya
Wolamiyatiya mongotiyombunto eeya
Teeto teeya, teeya teeto
Ito eeya maa mololimo patatiyo lo pulanga
Ito eeya maa pudu’olo
Wawu ito eeya ilodungga lo paalita U huwatola
Wawu ito eeya maa dungohela to palenta
Ito eeya ma lowali . . . . . (Ta’uwa Lo . . . . . . . . . )
Ito eeya ma lowali . . . . . (Ta’uwa Lo . . . . . . . . .)
Ito eeya ma lowali . . . . . (Ta’uwa Lo . . . . . . . . .)10

Wallahi, wallahi otutu


Hulontalo Limutu
U tuutuwawuwa otutu
Dahayi bolo moputu ode janji to buku.

Billahi, Billahi, Billahi


Limutu Hulontalo
Dahayi Maawalo
Wonu bolo maawalo
Mowali mobunggalo


9
Tubo (kata dasar) atau molubo (kata-kerja) adalah suatu bentuk
penghormatan kepada raja-raja atau pemerintah dalam acara-acara (upacara) adat di
Gorontalo.
10
Gelar yang akan dianugerahkan ke Taa Tombuluwo disebutkan. Seperti
kalau dianugerahi gelar adat Ta’uwa Lo Data, maka disebutkan Ta’uwa Lo Data dan
begitu seterusnya.

190
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

Tallahi, Tallahi, Tallahi
Delo tohuwa hati
Syara’a wawu aadati
Wawu popo biibiya
Aadat wawu syara’iya
Dila bolo wohiya motiya
Odudu’o lo tadiya

Huta, huta lo ito eeya


Tulu, tulu lo ito eeya
Dupoto, dupoto lo ito eeya
Taluhu, taluhu lo iti eeya
Tawu, tawu lo ito eeya
Boo ito eeya dila poluliya hilawo
Eyanggu. . . . . . . . .

Dengan selesainya Tuja’I tersebut, maka tangan Baate lo


Hulontalo melepaskan tangan taa Tombuluwo yang secara resmi
menandakan penobatan dan penganugerahan gelar adat (momulanga)
kepada bupati atau walikota tersebut selesai. Acara dilanjutkan dengan
tahapan selanjutnya yaitu molahuli.
7. Molahuli atau mopoipito (ta’uda’a)
Molahuli atau mopoipito (ta’uda’a) maksudnya adalah
berpesan dan mengingatkan kepada bupati atau walikota yang baru
dinobatkan dan dianugerahi gelar adat agar menjalankan amanah yang
telah diamanahkan kepadanya. Acara ini dilaksanakan secara berganti-
ganti oleh pemangku adat dari Gorontalo dan Pemangku adat dari
Limboto (kabupaten) dengan mengucapkan tuja’i :
Bu’I bungale pulu : Tuan turunan bangsawan
Wuwa’atiyo kabulu : Asalnya orang terkabul
Batangiyo taa pulu : Titisan para raja-raja
Hungaliyo tilombulu : Awalnya dari yang dijunjung

Dile’u dile-dileto : Istri yang dimanja


Diludupo duuheta : Jangan bayangkan yang tidak
baik
Boolo ngango molahepo : kalau berucap yang baik
Mo’o bua to maleto : membawa perselisihan

191
Moh. Ihsan Husnan 

Timihupo to madala : Pimpinlah negeri
To talohu to hulala : Dengan arif dan bijaksana
To pobadari to Allah : Sesuai ketentuan Allah
To Azza wa jalla : Yang menjadi wakil Allah
Wolo nabi mursala : Dan Nabi yang mursala (suci
benar)
Mo’opiyo to Allah : Doakan kepada Allah
Umuru sejahtera : Panjang umur dan sejahtera

Patihulawa asala : Berbudi pekertilah yang baik


Diidi lonto Allah : Amanat dari Allah
Tilombulo to madala : Menjadi pemimpin negeri
Patihulawa lo wulu : Jadilah kalung emas
Diidi lo rasulu : Amanat dari rasul
Badari lo rasulu : Sebagai wakil rasul
To madala tilombulu : Pada negeri yang dimuliakan

Olohiyo lolayito : Rajinlah selalu


To utiya to uwito : berbuat ini dan itu
Pulanga pali-palito : Jabatan yang sudah ditetapkan
Bo hale motidito : Hanya hati yang tulus tuanku
Eyanggu : Tuanku

Donggo ito ta’uwa : Tuanlah sebagai pemimpin


Lipu hu’a tunuwa : Negeri segera dibangun
Maa diila li’u-li’iwa : Jangan dikelok-kelokkan
Wonu bolo oli’uwa : Jika dibelokkan
Wu’udiyo opuluwa : Peraturan yang ditetapkan
Eyanggu : Tuanku

Ami tiyombu tumudu : Kami penjaga aturan


Hiwulata lo wu’udu : Mempertahankan kaidah
Wonu motihutudu : Jika membangkang
To’o lanto tumudu : Pada tuanku hakimnya
Eyanggu : Tuanku

To banta mulia : Cucunda yang mulia


Ito ma lo tahuliya : Tuanku diperingatkan
To Lipu duluwo botiya : Di dalam negeri ini

192
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

Hente elehiya : Jangan sekali-kali
Bolo ilo-ilo’iya : Membuang kata yang tidak
terpuji
Wonu u dila opiya : Kalau ada yang tidak disenangi
Taa daata u manusia : Rakyat jelatapun manusia
Eyanggu : Tuanku

Ami lipu domoyuna : Kami kepala adat menghormati


Boya demo ponuwa : Sudah tiba saat penobatan
Donuya no galuma : Telah dimusyawarahkan bersama
Aadati ni pa’inato muna : Adat istiadat leluhur kita

Ami tiyombu tanggapa : Kami nenek mengawasi


Hipipide hi wolata palata : Selalu siap siaga
To Mimbihu palata : Mengatasi kesulitan
Olale lo huwa daata : Kepentingan rakyat jelata
Dahai hulalata : Pelihara kesejahteraan
Tunggulo u ilomata : Sampai ada keberhasilan
Wu’udiyo bubalata : Taatilah norma dan aturan
To banta wombu ilata : Kepada anak-anak tercinta.
8. Mongunti
Mongunti artinya menutup acara, setelah selesai acara
molahuli artinya rangkaian upacara momulanga telah selesai, namun
bukan berati molomeela huhulo’a lo bulita (membebaskan cara duduk
di ruangan adat atau bulita). Mongunti ini dipimpin oleh seorang
pemangku adat sambil mengucapkan tuja’I
Patila dula mulia : Pimpinan negeri mulia
Titimenga lo Hunggiya : Dan segala sesuatu
Hente he poloamaliya : Amankanlah selalu
U maalo polojanjia : Apa yang telah dijanjikan
Lo lipu duluwo tiya : Oleh kedua negeri
Tahu-tahu to rahasia : Tersimpan dalam rahasia
Hente amaliyalo : Amalkan selalu
Limutu hulontalo : Limboto-Gorontalo
Uwito u ngopanggalo : Adalah dwi tunggal
Hente amaliya tutu : Amalkan sungguh-sungguh
Hulontalo limutu : Gorontalo-Limboto
Tutuwawu otutu : Yang sama dan satu
Dahayi bolo moputu : Jaga jangan samapi putus

193
Moh. Ihsan Husnan 

To janji lo buku : Seperti janji yang tertulis
9. Modu’a
Pemangku adat dari Gorontalo (Baate lo Hulontalo)
memaklumkan kepada yang dinobatkan dan dianugerahi gelar adat
yang didahului molubo, lalu mengucapkan “Aamiyatiya mongotiyamo
lo duudulamayi ode talu lo ito eeeya mopomaklumu lo’u mamo
du’a”,. Acara ini ditandai dengan bunyi genderang (hantalo) sebelum
mopomaklumu. Pada waktu dihormati dengan molubo, taa
Tombuluwo mengangkat tangan kanan dengan telunjuk lurus keatas
yang berarti acara modu’a sudah disetujui untuk dilaksanakan.
Modu’a ini dilaksanakan oleh iman (kadli) lo Hulontalo.

10. Mongabi.
Apabila acara modu’a telah selesai, maka tahapan terakhir
dari rangkaian acara ini adalah mongabi. Mongabi maksudnya adalah
mengubah cara duduk adat (huhulo’a lo bulita) menjadi duduk santai.
Baate lo Hulontalo dan Baate Lo Limutu memaklumkan bahwa
tahapan terakhir dari rangkaian upacara momulanga adalah mongabi.
Genderang (hantalo) dibunyikan. Empat orang pemangku adat dari
kedua daeah menghadap dan molubo taa Tombuluwo, dan sebagai
juru bicara dari Limboto dengan mengucapkan tuja’I :
Eyanggu, Eyanggu, Eyanggu
Maa silampurnama’o
Du’o lo penobatan lo ito eeya
Wolo dile lo ito eeya
Ito eeya motisingolepo
Eyanggu
Sallallahu
Dengan berakhirnya acara mongabi, maka ta Tombuluwo
bersama Istri dan para tamu sudah boleh merubah cara duduk atau
beristirahat, sebagai pertanda bahwa rangkaian pelaksanaan upacara
adat momulanga telah selesai.
4. Makna Upacara Adat Pohutu Momulanga
Upacara adat Pohutu Momulangga di Gorontalo memiliki
makna yang lebih spesifik daripada sebagai sebuah upacara
seremonial semata. Makna-makna tersebut terdapat pada
perlengkapan-perlengkapan upacara adat yang berupa simbol-simbol
tertentu. Ada tiga pihak yang terlibat dalam upacara ini yaitu: (1)
Pihak Adat, (2) Ta Tombuluwo (pejabat yang diberi gelar adat), dan

194
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

(3) Tuwango Lipu (masyarakat). Masing-masing dari komponen di
atas memiliki fungsi-fungsi (struktur) yang satu sama lain berkaitan
dan tersurat dalam simbol-simbol.
Pemberian gelar adat merupakan hasil dari tindakan bersama
(tripartit di atas) yang dapat dipandang sebagai saling menafsir atau
membatas masing-masing tindakan dari ketiga komponen tersebut.
Penafsiran dan pembatasan ini tercermin pada fungsi-fungsi dari
masing-masing komponen:
1. Pemangku adat sebagai pihak yang menobatkan dan memberi
gelar adat kepada pejabat
2. Pejabat yang diberi gelar adat pulanga (ta tombuluwo)
memiliki fungsi sebagai pengatur harmonisasi dalam
masyarakat.
3. Masyarakat (tuwango lipu ) menyerahkan amanah (mandat)
kekuasaannya kepada pemimpin.
Fungsi-fungsi yang disandang oleh masing-masing komponen
tercermin dalam tindakan dalam upacara. Tindakan ini saling
dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok. Hal ini
disebut sebagai organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan
bersama. Pengorganisasian dalam pemberian gelar adat dilakukan
secara berulang-ulang dan stabil menjadi aturan sosial.
Pemimpin dan fomatur adalah bentuk dari amanah aspirasi
rakyat, oleh karenanya, pemimpin dan formatur bertindak berdasarkan
keinginan rakyat. Secara simbolis rakyat membatasi peran-peran
pemimpin agar selalu bekerja atas kepentingan rakyat. Pemberian
gelar ini bukan diartikan sebagai bentuk “ketaklukan” rakyat terhadap
pemimpin, tetapi lebih merupakan pendelegasian kekuasaan rakyat
yang dipercayakan kepada pemimpin. Proses pengambilan keputusan
oleh Bantayo Pobi’ide ini berdasarkan atas musyawarah yang
menyepakati bahwa seorang pejabat perlu diberi gelar atau tidak. Bila
seseorang pejabat dianggap perlu untuk dinobatkan secara adat, maka
ia adalah orang berkompeten dan layak untuk dihormati dan disebut
“ta’uwa” oleh masyarakat yang dipimpinnya (achievement status).
Apabila seorang bupati atau walikota di Gorontalo telah diberi
gelar adat tersebut dan telah duduk di Huhulo’a lo adati (tempat
duduk adat), maka secara otomatis pejabat tersebut menjadi “Ta’uwa
Lo Adati” atau kepala (penguasa) adat. Dengan demikian, makna bagi
kalangan adat (pemangku adat) dari upacara pebobatan dan
penganugerahan gelar adat ini adalah pengharapan kepada pejabat

195
Moh. Ihsan Husnan 

tersebut untuk bisa menjaga dan memelihara adat istiadat sebagai
warisan para leluhur masyarakat Gorontalo masa lampau dan
menjalankan amanah dengan bekerja untuk kepentingan rakyat yang
dipimpinnya. Hal ini sesuai dengan penuturan Bapak AW. Lihu
(pemangku adat) yang mengatakan bahwa :
“pejabat bupati atau walikota yang telah dinobatkan dan diberi
gelar adat pulanga dan telah duduk pada Huhulo’a lo adati,
maka beliau secara adat telah menjadi kepala adat dan harus
dihormati oleh semua kalangan pemangku adat di daerah
Gorontalo. Juga dengan demikian pejabat tersebut harus bisa
menjaga dan memelihara adat itu sendiri”11.

Bagi pejabat yang diberi gelar adat, makna dari penobatan dan
pemberian gelar adat adalah adanya tanggung jawab yang lebih besar
dari amanah yang diembannya. Tidak saja tanggung-jawab kepada
masyarakat yang meng-amanahkan kepemimpinan kepadanya, tetapi
juga bertanggung-jawab Allah. Seperti penuturan dari Bapak Medi
Botutihe12, salah satu walikota yang telah mendapat gelar adat
pulanga:
“suatu kehormatan dan kebanggaan bagi saya telah
dianugerahi gelar adat pulanga. Gelar ini adalah suatu bentuk
kepercayaan “tuwango lipu” (masyarakat), khususnya Kota
Gorontalo atas kemajuan dan prestasi pembangunan yang telah
dicapai selama kepemimpinan saya. Sesuai dengan sumpah
yang telah saya ucapkan pada upacara penobatan, saya harus
bisa menjaga amanah yang telah diberikan kepada saya. Sebab
amanah tersebut wajib di pertanggung-jawabkan kepada
masyarakat, tetapi juga pertanggung-jawaban kepada Allah
Swt.

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh seorang tokoh agama


Bapak Hi. Ibrahim Polontalo, yang mengungkapkan bahwa pemimpin
yang dipilih oleh rakyat dan telah diangurahi gelar adat adalah
menjadi seorang khalifah. Seorang khalifah haruslah lebih

11
AW. Lihu, Wawancara tanggal 5 Februari 2012
12
Hi. Medi Botutihe, Walikota Gorontalo 2 periode, 1997-2002 dan 2002-
2007. Mendapat gelar adat “Ta’uwa Lo Lingguwa” pada tahun 2000. Wawancara
tanggal 12 Februari 2012.

196
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

mementingkan kepentingan masyarakatnya daripada kepentingan
dirinya sendiri. Dia harus bertanggung-jawab kepada masyarakat
sebagai pemberi amanah dan bertanggung-jawab kepada Allah Swt
sesuai dengan azas-azas agama Islam yang mana seorang pemimpin
adalah wakil Allah di atas dunia ini. Pada saat upacara adat Pohutu
Momulanga, pejabat yang diberi gelar adat seringkali di panggil
dengan panggilan “Eyanggu” (tuanku). Dalam bahasa Gorontalo, kata
“Eeyanggu” berasal dari kata dasar “Eeya” yang kalau di-Indonesia-
kan berarti Tuhan. Penyebutan pejabat tersebut dengan sebutan
“Eeya” atau “Eeyanggu”, bukan berarti menyamakan kedudukan
dengan Tuhan, tetapi sebagai pengukuhan bahwa seseorang yang telah
dianugerahi gelar adat telah menjadikan sifat-sifat Tuhan sebagai
‘pakaiannya’. Dengan demikian dia harus bertindak penuh kearifan,
adil, menjaga dan melindungi rakyatnya serta memiliki ketauhidan
dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Pemimpin dalam masyarakat Gorontalo yang telah dianugerahi
gelar adat haruslah mengerti makna dari gelar adat tersebut. Hal ini
dikemukan oleh Bapak Hi. Iwan Bokings13.
“bekerja untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat serta bisa
membawa diri berbaur dengan masyarakat adalah tugas
seorang bupati. Jabatan adalah amanah, yang mana kita
menjadi pelayan masyarakat. Bukan kita sebagai pejabat yang
minta dilayani oleh masyarakat. Dari situlah penilaian
masyarakat tentang keberhasilan seorang pemimpin. Saya
diberi gelar adat, karena masyarakat menilai demikian. Bagi
saya, gelar adat hanyalah nama yang disematkan ke pakaian
kita, kita haruslah mengerti secara mendalam apa makna-
makna yang terkandung di dalam penganugerahan gelar adat
tersebut. Masyarakat Gorontalo tahu dan mengenal kata
“Mo’odelo”. Itulah makna yang terdalam dari penganugerahan
gelar adat ini”.

Bagi masyarakat umum, makna penobatan dan


penganugerahan gelar adat pulanga kepada bupati atau walikota
adalah suatu harapan yang kepada yang dianugerahi gelar adat

13
Hi. Iwan Bokings, Bupati Boalemo 2 periode 2001-2006 dan 2006-2011.
Mendapat gelar adat “Ta’uwa Lo Madala” pada tahun 2006. Wawancara tanggal
11Februari 2012.

197
Moh. Ihsan Husnan 

tersebut bisa bekerja dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat
seperti yang telah diucapkan pada upacara gelar adat. Seperti
penuturan seorang informan :
“harapan kami sebagai masyarakat Gorontalo, kiranya bupati
atau walikota yang telah dianugerahi gelar adat pulanga agar
bisa “Molimehu Bu’ala” (mensejahterakan rakyat) dan juga
bisa berbaur dengan masyarakat umum. Jangan sampai dengan
gelar adat ini, bupati atau walikota akan berlaku sewenang-
wenang terhadap masyarakat bawah. Ingat, bahwa mereka
telah bersumpah untuk melayani rakyat, jangan sampai mereka
akan kena karma karena melanggar sumpah (janjinya)”14.

E. Kesimpulan
Upacara adat Pohutu Momulanga merupakan suatu upacara
yang yang dilakukan untuk menobatkan dan menganugerahkan gelar
adat kepada bupati atau walikota di Gorontalo. Upacara Pohutu
Momulanga ini dilaksanakakan setelah diadakan penilaian dari segi
adat yang disebut dengan “Tili’o” atau “Ilalo” oleh para pemangku
adat. Ada enam aspek yang menjadi tolak ukur penilaian tersebut.
Pelaksanaan upacara ini melibatkan semua unsur adat se-Provinsi
Gorontalo.
Pada upacara Pohutu Momulanga ini, banyak digunakan tuja’i
(syair-syair) berupa petuah-petuah dan nasehat-nasehat yang
disampaikan kepada pejabat yang diberi gelar adat. Makna-makna dari
petuah dan nasehat tersebut adalah mengingatkan pemimpin agar tetap
senantiasa menjaga amanah yang telah rakyat (tuwango lipu)
percayakan kepadanya.


14
Kadir Tuna, Tokoh Masyarakat Limboto, Wawancara tanggal 11Februari
2012

198
Pohutu Momulanga: Gelar Adat di Gorontalo

DAFTAR PUSTAKA

Abdussamad, Kadir (Penyunting). 2000. Empat Aspek Adat


Gorontalo (Penyambutan Tamu, Penobatan, Perkawinan
dan Pemakaman. Gorontalo. Pemda Tingkat II Kab.
Gorontalo Bekerjasama dengan Yayasan 23 Januari 1942
Jakarta.
Alfian (ed). 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta:
PT. Gramedia.
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Berger, Peter L., & Luckmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas
Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.
Terjemahan Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Botutihe, Medi. 2006. Mo’odelo: Sifat dan Perilaku Pemimpin
berdasarkan Nilai Lokal Gorontalo. Pustaka Gorontalo.
Gorontalo.
Botutihe, Medi & Daulima Farha. 2003. Tata Upacara Adat
Gorontalo (Dari Upacara Adat Kelahiran, Perkawinan,
Penyambutan Tamu, Penobatan dan Pemberian Gelar Adat
Sampai Upacara Adat Pemakaman)
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian,
Perbandingan. Terjemahan F. Budi Hardiman. Yogyakarta:
Kanisius.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan
Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Garna, Judistira, K. 1999. Metoda Penelitian. Pendekatan Kualitatif.
Bandung: Primaco Akademika.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat


Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Geertz, Clifford. 1992. The Interpretation of Cultures: Selected
Essays. Dialih bahasakan oleh Francisco Budi Hardiman
dengan judul Tafsir Kebudayan. Yogyakarta: Kanisius..
Herusasoto, Budiono, 1991. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Hadinita Graha Widya.
Keesing, Roger, M. 1992, Antropologi Budaya Suatu Perspektif
kontemporer Edisi Kedua. Alih Bahasa R.G. Soekadjo,
Jakarta: Penerbit Erlangga

199
Moh. Ihsan Husnan 

Koentjaraningrat, 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
PT. Dian Rakyat.
Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat, dkk (ed.). 1994. Metode-Metode Penelitian
Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, (ed.). 1985. Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo, 1987, Manusia dan Budaya, Yogyakarta, Tiara Wacana
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: LkiS.
Lincoln, Yovonna S. & Guba Egon G. 1985. Naturalistic Inquiry.
London: Sage Publication.
Miles, Mattew B. dan Hubermen, Michael. 1992. Analisa Data
Kualitatif. Buku Sumber tentang Metode Baru. Terjemahan
Tjetjep Rohendy. Jakarta: Jakarta Press.
Nazir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Niode, Alim. 2000. Perubahan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat
Gorontalo (Sebuah Tinjauan Sosiologis). Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Nur, Samin Radjik. 1979. Beberapa Aspek Hukum Adat Tata Negara
Kerajaan Gorontalo Pada Masa Pemerintahan Eato (1673-
1679). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar.
Pateda, Mansur, 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam
Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soehartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik: Perspektif
Sosiologi Modern. Malang: Averroes Press.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi Edisi Ketiga. Jakarta:
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Yin, Robert K. 1995. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: PT.
RajaGrafindo.

200

Anda mungkin juga menyukai