Anda di halaman 1dari 66

I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks
(pendengaran dan keseimbanga Anatominya juga sangat rumit. Indera
pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan
pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui
bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji
pendengaran yakni : gangguanuan konduktif, gangguan sensorineural dan
gabungan keduanya atau tipe campuran.
Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada koklea atupun
retrokoklea. Tuli sensorineural dapat bersifat akut (acute sensorineural deafness)
yakni tuli sensorineural yang terjadi tiba-tiba dimana penyebab tidak diketahui
dengan pasti dan chronic sensorineural deafness tuli sensorineural yang terjadi
secara perlahan (Cody, 1992).
Tuli konduktif terjadi akibat tidak sempurnanya fungsi organ yang
berperan menghantarkan bunyi dari luar ke telinga dalam. Gangguan telinga luar
dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif.
Setiap masalah di telinga luar atau tengah yang mencegah terhantarnya
bunyi dengan tepat dinamakan gangguan pendengaran konduktif. Gangguan
pendengaran konduktif biasanya pada tingkat ringan atau menengah, pada rentang
25 hingga 65 desibel.3
Dalam beberapa kejadian, gangguan pendengaran konduktif bersifat
sementara. Pengobatan atau bedah dapat membantu tergantung pada penyebab
khusus masalah pendengaran tersebut.  Gangguan pendengaran konduktif juga
dapat diatasi dengan alat bantu dengar atau implan telinga tengah.
Serumen merupakan campuran dari material sebaseus dan hasil
sekresi apokrin dari glandula seruminosa yang berkombinasi dengan epitel
deskuamasi dan rambut umumnya serumen dapat ditemukan di kanalis
akustikus eksternus. Bila lama tidak dibersihkan serumen akan menimbulkan
sumbatan pada kanalis akustikus eksternus. Keadaan ini disebut serumen
obturans (serumen yang menutupi kanalis akustikus eksternus).
Sumbatan serumen kemudian dapat menimbulkan gangguan pendengaran
yang timbul akibat penumpukan serumen di liang telinga dan menyebabkan rasa
tertekan yang mengganggu. Sumbatan serumen ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor predisposisi antara lain dermatitis kronik liang telinga luar, liang
telinga sempit, produksi serumen yang banyak dan kental, adanya benda
asing di liang telinga, eksostosis di liang telinga, terdorongnya serumen
oleh jari tangan atau ujung handuk setelah mandi, dan kebiasaan mengorek
telinga. Bila terjadi pada kedua telinga maka serumen obturans ini menjadi
salah satu penyebab ketulian pada penderita. Suara dari luar tak dapat
masuk ke dalam telinga dan dengan demikian suara tidak dapat
menggetarkan oleh membran timpani
II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 43 tahun
Alamat : Liwa
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Petani
Tanggal periksa : 03 Juli 2018

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 03 juli 2018 di Poli
THT-KL RSUD Jend Ahmad Yani.

Keluhan utama: pendengaran berkurang pada telinga kanan sejak 1 minggu


yang lalu
Keluhan tambahan : telinga terasa penuh

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke Poli THT-KL RSUD Jend Ahmad Yani dengan
keluhan pendengaran berkurang pada telinga kanan sejak 1 minggu yang lalu..
Pasien menyangkal adanya nyeri kepala, keluar cairan dari telinga, demam,
mual, muntah serta kejang. Keluhan dirasakan sejak sekitar satu minggu
yang lalu. Pasien membersihkan telinganya dengan cotton bud dan
dirasa kurang bersih Kemudian saat mengorek telinga, telinga pasien
terasa seperti tertutup dan mengganjal. Pasien juga merasakan
pendengaran yang berkurang. Pasien merasa bahwa suara yang didengarnya
jelas namun pelan, sehingga saat menonton televisi sering membesarkan
volume suaranya. Pasien tidak merasakan nyeri pada telinga, hanya
mengatakan kurang nyaman karena merasa penuh. Keluhan telinga kanan
terasa penuh dirasakan terus menerus dan tidak berkurang selama 1
minggu ini. Riwayat trauma, telinga tertampar dan pemakaian obat
ototoksik sebelumnya disangkal. Telinga berdenging, rasa pusing berputar,
rasa nyeri di dalam telinga dan keluar cairan tidak dirasakan, Riwayat
gondok, influenza berat dan sering batuk-pilek disangkal. Penyakit alergi,
asma, hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat gondok, influenza berat dan sering batuk-pilek disangkal.
Penyakit alergi, asma, hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:


Tidak ditemukan

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah: 120/70 mmHg
Nadi : 82x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,6C
Status generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
THT : Status lokalis
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP normal
Thorax
Inspeksi : Simetris bilateral saat statis dan dinamis
Palpasi : NT (-), massa (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+), wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tida tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ 1 & 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut simetris
Palpasi : NT (-), batas hepar normal, massa (-)
Perkusi : Timpani (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat, udema kaki (-/-)

Status lokalis
Pemeriksaan Telinga
Auric
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan tragus - -
Preaurikuler & Kelainan kongenital - -
retroaurikuler Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Liang telinga luar Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret - -

Serumen Serumen (+), -


warna kuning
konsistensi
lunak
Membran timpani Kondisi Tertutupi Intak
serumen
warna Tidak dapat Putih, mutiara
dinilai
Cone of light (+) arah jam 7
Tidak dapat
Kolesteatom dinilai -
Granulasi - -
-

Pemeriksaan Telinga (setelah dilakukan ekstraksi serumen)


Auric
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Bentuk telinga Normotia
Aurikula Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan tragus - -
Preaurikuler & Kelainan kongenital - -
retroaurikuler Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Sikatrik - -
Fistula - -
Pembesaran KGB - -
Nyeri tekan - -
Liang telinga luar Kelainan kongenital - -
Peradangan - -
Massa - -
Edema - -
Fistula - -
Kelainan kulit - -
Sekret - -
Serumen - -
Membran timpani Kondisi Intak Intak

Warna Putih mutiara Putih mutiara

Cone of light ( +) arah jam (+) arah jam 7


5
Kolesteatom -
Granulasi - -
-

Pemeriksaan Pendengaran (sebelum dilakukan ekstraksi)


Tes Rinne Tes Weber Tes Schawabach
Aurikula Dextra - Lateralisasi ke Memanjang
Aurikula Sinistra + Sesuai pemeriksa
kanan

Pemeriksaan Pendengaran (setelah dilakukan ekstraksi)


Tes Rinne Tes Weber Tes Schawabach
Aurikula Dextra + Tidak ada Sesuai pemeriksa
Aurikula Sinistra + Sesuai pemeriksa
lateralisasi

Pemeriksaan Hidung
Kavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Tampak Simetris kanan dan kiri
Sikatrik - -
Hematom - -
Palpasi
Nyeri tekan sinus paranasal - -
Krepitasi - -
Massa - -
Rhinoscopy anterior
Cavum nasi lapang Lapang
Mukosa cavum nasi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Sekret - -
Konka inferior Hipermis (-) Hipermis (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka media Hipermis (-) Hipermis (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus media Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Septum anterior Deviasi (-) Deviasi (-)
Rhinoscopy posterior
Nasofaring
Koana
Konka superior
Konka media
Kelenjar adenoid Tidak dilakukan pemeriksaan
Massa

Pemeriksaan Tenggorok

Pemeriksaan Kondisi
Faring & Rongga Mulut
Bibir Sianosis (-)
Mukosa mulut Hiperemis (-)
Lidah Normal
Gusi Normal
Gigi berlubang Normal
Palatum durum Hipermis (-)
Palatum mole Hipermis (-)
Uvula Hipermis (-), Deviasi (-)
Arkus faring Hipermis (-), Simetris
Tonsil Normal, T1 – T1
Hipofaring & Laring
Pita suara Hipermis (-), Deviasi (-), massa (-)
Epiglottis Hipermis (-)
Esophagus Lapang
RESUME
A. Anamnesis
a. Keluhan utama: pendengaran berkurang pada telinga kanan 1 minggu yang lalu
b. Riwayat penyakit sekarang :
1. Pendengaran berkurang (+)
2. T elinga terasa penuh (+)
c. Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Keluhan yang sama : disangkal
 Riwayat ISPA : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat ISPA : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal

B. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala – leher : Dalam batas normal
b. Telinga
Pemeriksaan Rutin Umum Telinga :
Pada telinga kanan:
MAE : lapang, hiperemis (-), serumen (+) menutupi membrane timpani.
Membran timpani : tidak dapat dinilai
Pemeriksaan Rutin Khusus : Tidak dilakukan

C. Diagnosis
Dx : Tuli Konduktif auricula dextra ec serumen prop
Tuli sensorineural auricula dextra ec serumen prop
Dx : Tuli Konduktif auricula dextra ec serumen prop
D. Penatalaksanaan
a) Ekstraksi Serumen
b) Non-medikamentosa
 Hindari aktivitas yang berhubungan dengan suara yang bising
 Tidak boleh mengorek telinga dengan tangan atau benda apapun
 Tidak boleh kemasukan air/basah
IV. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga. Telinga
tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius,
dan sel-sel mastoid (Oghalai & Brownell, 2008). Bentuk telinga dalam
sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat
vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran
yang berisi endolimfe. Labirin membran dikelilingi oleh cairan
perilimfe yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang
dan membran memiliki bagian vestibuler dan koklear. Bagian
vestibuliris berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian
koklearis merupakan organ pendengaran (Liston & Duvall, 1997).

Gambar 3. Anatomi Telinga (Drake,Vogl & Mitchell, 2009).

Gambar 4. Membran Labirin (Drake, Vogl & Mitchell, 2009).


2.2.1. Vestibulum
Vestibulum adalah bagian pusat dari labirin tulang dan memiliki jendela
oval pada dinding lateralnya. Vestibulum berhubungan dengan koklea di
bagian anterior dan dengan kanalis semisirkularis di bagian posterosuperior.
Pada dinding lateral vestibulum terdapat foramen oval yang ditutupi foot plate
stapes beserta ligamentum anulare. Dinding medial vestibulum menghadap ke
meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial ini
terdapat dua cekungan yaitu cekungan sferis untuk sakulus dan cekungan elips
untuk utrikulus. Pada dinding posterior vestibulum terdapat lima lubang kanalis
semisirkularis dan di dinding anterior vestibulum terdapat dua lubang yang
berbentuk elips ke skala vestibularis koklea (Drake, Vogl & Mitchell, 2009).

2.2.2. Kanalis Semisikularis


Terdapat tiga buah kanalis yaitu kanalis semisirkularis superior,
posterior dan lateral yang terletak di atas dan belakang vestibulum.
Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Bentuk kanalis
seperti 2/3 lingkaran dengan panjangnya hampir sama yaitu ± 0,8 mm.
Pada salah satu ujung masing-masing kanalis ini melebar disebut ampula
dan mengandung sel-sel rambut krista yang berisi epitel sensori
vestibular dan terbuka ke vestibulum. Struktur reseptor ini disebut krista
ampularis terletak memanjang di ujung ampula pada tiap kanal
membranosa. Setiap krista terdiri dari sel rambut dan sel pendukung
(sustenakular) yang dikelilingi oleh bagian gelatinosa (kupula) yang
menutupi ampula. Prosesus dari sel rambut melekat pada kupula dan
basis sel rambut berhubungan dekat dengan serabut aferen dari bagian
vestibular dari kranial ke nervus VII (Barrett & Ganong, 2010).

2.2.3. Sakulus dan Utrikulus


Utrikulus terletak di bagian belakang lekukan dinding atas vestibulum,
sakulus bentuknya jauh lebih kecil tetapi strukturnya sama dan terletak di
dalam lekukan bagian bawah dan di depan utrikulus. Sakulus menyokong suatu
struktur makula pada dinding medialnya dalam suatu bidang vertikal yang
meluas ke dinding anterior. Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui
suatu duktus yang sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus
endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang tegak lurus terhadap
macula sakulus, utrikulus dan sakulus seluruhnya dikelilingi oleh perilimfe
kecuali pada tempat masuknya saraf di daerah makula (Drake, Vogl &
Mitchell, 2009).
Di dalam setiap labirin membranosa, di lantai utrikulus terdapat organ
otolit (makula). Makula yang lain terletak pada dinding sakulus di posisi
semivertikal. Makula mengandung sel pendukung dan sel rambut dikelilingi
oleh sebuah membran otolit dimana melekat pada kristal kalsium karbonat
yang disebut otolit. Otolit yang disebut juga otokonia atau debu telinga
berukuran 3-19 µm pada manusia dan lebih padat dari cairan endolimfe.
Prosesus dari sel rambut melekat pada membran. Serabut saraf dari sel rambut
bergabung dengan krista dari bagian vestibular saraf kranial ke VII.

2.2.4. Duktus Koklearis


Duktus koklearis disebut juga skala media dan merupakan bagian
labirin membran koklea sedangkan bagian labirin tulang koklea disebut
skala vestibuli dan skala timpani. Bentuk duktus koklearis ini mengikuti
bentuk labirin tulang koklea berupa dua setengah sampai dua tiga
perempat putaran spiral. Duktus koklearis meluas mulai dari basis koklea
sampai ke apek koklea kemudian akan berakhir sebagai saluran buntu
pada apeks yang disebut caecum cupulare. Skala vestibuli dan skala
timpani pada apeks koklea berhubungan satu sama lain terdapat
helikotrema (Barrett & Ganong, 2010).
2.2.5. Koklea & Organ Corti
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput dan
bergulung 2½ putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan pusatnya
yang disebut modiolus. Terbentuknya segitiga dari duktus koklearis dengan
sisi dasarnya membentuk batas antara skala media dan skala timpani yaitu
membran basilaris dan lamina spiralis pars osseus termasuk di dalamnya
sel-sel Claudius, sel-sel Boettcher dan organ Corti. Ligamen spiralis, stria
vaskularis, prominensia spiralis dan sulkus eksternal sebagai sisi lateralnya,
sisi miringnya adalah membran Reissner dan membran basilaris. Koklea
terbagi menjadi 3 ruang yaitu skala vestibuli (atas), skala media (tengah) dan
skala timpani (bawah) (Moller, 2006; Guyton & Hall, 2006; Gillespie &
Müller, 2009).

Gambar 5. Anatomi Koklea (Nagashima et al., 2005)


Koklea pada telinga dalam mengandung sel-sel yang berperan terhadap
persepsi suara. Koklea terdiri dari labirin tulang, dimana dalamnya terdapat
struktur selular yang membentuk labirin membran. Termasuk di dalam labirin
tulang adalah kapsul otik yang merupakan batas luar dari koklea dan
modiolus, tabung tulang yang membentuk sumbu pusat koklea dan
mengandung serat saraf auditori dan sel-sel ganglionnya. Di dalam koklea
ada 3 ruang berisi cairan, yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala
media dan dipisahkan oleh membran basilaris dan membran Reissner. stria
vaskularis dan ligamentum spiralis terdapat dekat dengan tulang sepanjang
dinding lateral koklea. Organ Corti, yang mengandung sel rambut (3 sel
rambut luar dan 1 sel rambut dalam) sebagai sel sensoris dan sel
penyokong, berbentuk spiral pada membran basilaris (Nagashima et al.,
2005).
Koklea terdiri dari berbagai tipe sel spesialisasi, seperti sel rambut
sensori, sel pendukung, sel sulkus, SLF yang merupakan tipe sel yang
jumlahnya paling banyak di perilimfe. Karena SLF dianggap salah satu
tipe sel di dalam koklea yang jumlahnya paling banyak dan mereka
mengeluarkan sitokin dan kemokin setelah stimulasi pro inflamasi, maka
dianggap SLF adalah responder terbesar terhadap sinyal-sinyal sitokin dan
kemokin tersebut. Di dalam organ Corti terdapat sel-sel Hensen, sel-sel
Deiters, sel-sel pilar, sel-sel batas dalam, sel-sel rambut luar dan sel-sel
rambut dalam, sulkus dalam dan limbus spiralis yang berisi sel-sel
interdental dan membran tektorial. Medial dari lamina spiralis pars osseus
terdapat kanalis Rosental yang berisi ganglion spiralis dan berhubungan
dengan modiolus (Moller, 2006; Guyton & Hall, 2006; Gillespie & Müller,
2009).
Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari koklea yang
berisi cairan perilimfe. Skala vestibuli dan skala timpani saling
berhubungan di helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis koklea skala
vestibuli berakhir di foramen ovale dan skala timpani pada foramen
rotundum. Skala media yang berisikan cairan endolimfe berada di antara
skala vestibuli dan skala timpani (Moller, 2006; Guyton & Hall, 2006;
Gillespie & Müller, 2009). Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang
mirip dengan cairan cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan
ekstraseluler, dengan konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+)
rendah. Sedangkan pada endolimfe, memiliki komposisi ion yang hampir
sama dengan cairan intraseluler yaitu konsentrasi natrium (Na+) rendah dan
kalium (K+) yang tinggi (Tabel 2.1) (Gillespie & Müller, 2009).

Tabel 1. Komposisi Cairan Koklea (Gillespie & Müller, 2009)


KOMPONEN ENDOLIMFE SKALA VESTIBULI SKALA
TIMPANI
Na (mM) 1.3 141 148
K (mM) 157 6 4.2

Ca (mM) 0.023 0.6 1.3

HCO3 (mM) 31 21 21

Cl (mM) 132 121 119

Protein (mg/dl) 38 242 178

pH 7.4 7.3 7.3

Stria vaskularis terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel
intermediet dan sel basal. Sel-sel stria vaskularis merupakan satu-satunya sel
yang berhubungan dengan pembuluh darah di koklea. Stria vaskularis
bertanggung jawab dalam menjaga konsentrasi ion kalium dalam cairan
endolimfe tetap tinggi dan menjaga potensial endolimfe skala media positif
tetap tinggi (Gillespie& Müller, 2009).
Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis-lapis dari
lamina spiral pars osseus ke ligamentum spiralis. Elastisitas membran
basilaris bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya.
Membran basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea dan
tampak lebih fleksibel dan luas di daerah apeks koklea (Moller, 2006;
Guyton & Hall, 2006; Gillespie & Müller, 2009).
Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran. Organ
Corti terletak di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari basis ke
apeks koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2003). Ukuran organ Corti
bervariasi secara bertahap dari basis koklea ke apeks koklea. Organ Corti di
basal lebih kecil sedangkan organ Corti di apeks koklea lebih besar (Guyton
& Hall, 2006). Organ Corti terdapat sel- sel yang terdiri dari sel sensoris (sel
rambut dalam dan sel rambut luar), sel pendukung (sel Deiters, sel
Phalangeal dalam), ujung saraf aferen (ganglion spiral tipe 1 dan 2) dan
eferen (olivokoklear medial dan lateral), sel pilar dalam dan luar dan sel
Hensen (Moller, 2006; Guyton & Hall, 2006; Gillespie & Müller, 2009).

Gambar 6. Lebar Membran Basilaris dari Basal ke Apeks (Moller, 2006)


Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran. Organ
Corti terletak di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari basis ke
apeks koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2003). Ukuran organ Corti
bervariasi secara bertahap dari basis koklea ke apeks koklea. Organ Corti di
basal lebih kecil sedangkan organ Corti di apeks koklea lebih besar (Guyton
& Hall, 2006). Organ Corti terdapat sel- sel yang terdiri dari sel sensoris (sel
rambut dalam dan sel rambut luar), sel pendukung (sel Deiters, sel
Phalangeal dalam), ujung saraf aferen (ganglion spiral tipe 1 dan 2) dan
eferen (olivokoklear medial dan lateral), sel pilar dalam dan luar dan sel
Hensen (Moller, 2006; Guyton & Hall, 2006; Gillespie & Müller, 2009).
Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf
dalam menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Corti terdapat 1
deret sel rambut dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4.000 sel
rambut dalam dan 12.000 sel rambut luar (Gillespie & Müller, 2009).
Bentuk dari sel rambut dalam seperti botol dan ujung sarafnya berbentuk
piala yang menyelubunginya, sedangkan bentuk dari sel rambut luar seperti
silinder dan ujung sarafnya hanya pada basis sel (Moller, 2006).
Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan
mitokondria dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membran
yang dikenal sebagai prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel
rambut luar terdapat reticulum endoplasma (ER) yang terorganisasi dan
khusus di sepanjang dinding lateralnya yaitu apical cistern, Hensen body,
subsurface cistern dan subsynaptic cistern (Moller, 2006; Gillespie & Müller,
2009).
Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada
perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam
sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron
pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel
rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang
berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi
tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear amplifier yang
memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk menyeleksi
frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi suara yang lemah
(Gillespie & Müller, 2009).
Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk
pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia) (Pawlowsky et al,
2006). Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada membran
tektorial dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel rambut luar
kuat melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk huruf W
(Gambar 2.7) (Pawlowsky et al, 2006).
Pada bagian ujung dari stereosilia terdapat filamen aktin yang terpilin,
filamen tersebut nantinya akan dikenal sebagai tip link (Gillespie & Müller,
2009). Tip link menghubungkan ujung stereosilia dengan ujung stereosilia
yang lain. Bagian basal dari sel rambut diliputi oleh dendrit dari neuron
ganglionik spiralis yang terletak pada bagian modiolus (Gambar 2.8a dan
Gambar 2.8b) (Gillespie & Müller, 2009).

Gambar 7. Sel Rambut Luar dan Dalam Dilihat dengan Mikroskop


Elektron (Pawlowsky et al, 2006)

Gambar 8a. Tip Link (Gillespie & Müller, 2009)


Gambar 8b Tip Link dengan Mikroskop Elektron (Gillespie &
Müller, 2009)
Selain sel rambut dalam dan luar, komponen utama organ Corti yang
lain adalah 3 lapis penyokong (sel Deiters, Hensen, Claudius). Membran
tektorial dan kompleks lamina retikularis lempeng kutikular (Pawlowsky et
al, 2006). Sel-sel pendukung yang mengelilingi sel rambut luar adalah sel
Deiters dan sel pilar luar. Sel pilar luar berada di sisi modiolar dari sel
rambut luar baris pertama dan diantara sel rambut luar baris pertama
dengan kedua. Sel Deiters berada diantara sel rambut luar baris dua
dengan tiga dan di sisi lateral dari sel rambut luar baris tiga. Gabungan dari
sel rambut luar dengan sel Deiters dan sel pilar luar menciptakan sebuah
penghalang yang kuat antara endolimfe dan perilimfe (Gambar 2.9)
(Moller, 2006; Gillespie & Müller, 2009).

Gambar 9. Organ Corti (Moller, 2006)


Membran tektorial adalah struktur seperti gel yang terdiri dari kolagen,
protein dan glukosaminoglikan. Membran tektorial terletak di dekat
permukaan lamina retikuler dari organ Corti. Membran tektorial kontak
langsung dengan sel rambut luar. Sedangkan untuk sel rambut dalam
tidak berkontak secara langsung dengan membran tektorial (Moller, 2006).
2.2.6. Sistem Saraf Pendengaran Sentral
Daerah sentral dari sistem pendengaran meliputi seluruh struktur
pendengaran yang letaknya setelah saraf koklearis, yaitu:
a. Kompleks nukleus koklearis
Kompleks nukleus koklearis terdiri dari 3 inti, yaitu nukleus koklearis
anteroventralis, nukleus koklearis posteroventralis, dan nukleus koklearis
dorsalis. Serabut afferen yang berjalan menuju kompleks nukleus koklearis
dibagi menjadi dua cabang, yaitu cabang ascending menuju ke nukleus
koklearis anteroventralis dan cabang descending menuju ke nukleus
koklearis posteroventralis dan dorsalis (Moller, 2006).
Akson-akson yang terdapat pada nukleus koklearis dorsalis akan
membentuk stria akustikus dorsalis (stria Monakow) yang kemudian
bergabung dengan lemniskus lateralis kontralateral dan berakhir pada
kolikulus inferior. Akson-akson dari nukleus koklearis posteroventralis
membentuk stria akustikus intermedius (Rappaport & Provencal, 2002).
Akson tersebut membentuk kompleks olivaris superior bilateral dan
menuju nukleus lemniskus lateralis. Beberapa akson berjalan menuju stria
ventralis (corpus trapezoideus) dan membentuk kolikulus inferior
kontralateral. Akson-akson dari nukleus koklearis anteroventralis membentuk
stria ventralis dan akson tersebut membentuk nukleus lateralis ipsilateral dari
kompleks olivaris superior disebut juga olivaris superior lateralis dan pada
ipsilateral dan kontralateral terdapat nukleus medial dari kompleks
olivaris superior yang disebut dengan olivaris superior medialis, serta
kontralateral dari nukleus corpus trapezoideus yang membentuk bagian
ipsilateral dari kompleks olivaris superior (Moller, 2006).
Nada frekuensi rendah pada kompleks nukleus koklearis dihantar oleh
daerah kontralateral dan nada frekuensi tinggi oleh daerah dorsomedialis
(Rappaport & Provencal, 2002).
b. Kompleks olivaris superior
Kompleks olivaris superior meliputi olivaris superior lateralis, medialis
dan nukleus corpus trapezoideus medialis dan nukleus preolivaris dan
periolivaris yang merupakan bagian dari sistem pendengaran descending.
(Rappaport & Provencal 2002; Moller, 2006).

c. Lemniskus lateralis
Terdiri dari sel-sel akson yang terletak pada kompleks nukleus koklearis,
kompleks olivaris lateralis dan lemniskus lateralis. Lemniskus lateralis
mempunyai tiga nukleus yaitu nukleus dorsalis, ventralis dan intermedius
yang letaknya pada pons rostral. Nukleus dorsalis kanan dan kiri
dipertemukan oleh komissura Probst. Akson-akson dari nukleus dorsalis
berakhir pada kolikulus inferior ipsilateral atau kontralateral via komissura
Probst (Mills, Khariwala & Weber 2006).

d. Kolikulus inferior
Terdiri dari daerah sentral atau kolikulus inferior sentral yang
dikelilingi oleh belt area. Kolikulus inferior sentral kanan dan kiri
dihubungkan dengan suatu komissura. Kolikulus inferior sentral ini
menerima proyeksi kontralateral dari masing-masing subdivisi kompleks
nukleus koklearis. Bilateral dari olivaris superior lateralis dan dari nukleus
dorsalis dan intermedius lemniskus lateralis serta pada ipsilateral dari
olivaris superior medius, nukleus korpus trapezoideus medius dan nukleus
lemniskus lateralis ventralis. Belt area menerima proyeksi dari nukleus
lemniskus lateralis dorsalis dan ventralis dan dari nukleus koklearis ventralis
dan dorsalis. Akson-akson dari kolikulus juga membentuk kolikulus
inferior brakialis. Pada kolikulus inferior sentralis, nada frekuensi rendah
terletak pada daerah dorsalis dan frekuensi tinggi pada ventrolateralis
(Rappaport & Provencal 2002).
e. Korpus genikulatum medialis
Korpus genikulatum medialis merupakan bagian dari talamus auditori
yang mewakili penyampaian thalamus antara kolikulus inferior dan korteks
auditori. Dibagi dalam 3 nukleus yaitu nukleus ventralis, dorsalis dan
medialis. Korpus ini akan mengirimkan sinyal ke korteks auditorius. Nada
frekuensi rendah terletak pada bagian lateralis dari nukleus ventralis dan
frekuensi tinggi pada daerah medialis (Rappaport & Provencal 2002; Mills,
Khariwala & Weber, 2006).
f. Korteks auditorius
Terdiri dari daerah primer (girus Heschl), yang terletak pada bagian atas
gyrus temporalis yang dikelilingi oleh Belt area. Belt area meliputi temporal,
gyrus temporalis posterosuperior (area Broadmann 22), gyrus angularis (area
Broadmann 40) dan insula. Hantaran suara pada korteks auditorius yaitu
pada area Broadmann 22. Kolikulus inferior sentralis, korpus genikulatum
medialis ventralis dan korteks auditorius primer merupakan jalur
pendengaran yang utama (Mills, Khariwala & Weber, 2006; Moller, 2006).

Gambar 10. Jalur Auditori (Guyton & Hall, 2006).


2.1 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang ditransmisikan
ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani
bergetar. Amplitudo getaran membran timpani sesuai dengan intensitas
bunyi. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus,
stapes) yang berhubungan satu sama lain. Ketika gelombang mencapai basis
stapes, ia akan menggetarkan fenestra ovale yang merupakan perlekatan dari
basis stapes ke koklea. Lalu getaran tersebut akan mendorong cairan
perilemfe pada skala vestibuli yang ada di koklea di auris interna. Adanya
pendesakan cairan perilimfe di skala vestibuli, akan terjadi peningkatan
tekanan di skala vestibuli tersebut. Tekanan ini kemudian akan diteruskan
ke skala timpani melalui helikotrema. Cairan pada skala timpani ikut
terdesak. Hal ini mengakibatkan tekanan pada skala timpani meningkat,
kemudian desakan cairan timpani akan mendorong fenestra rotundum yang
terdapat di sebelah lateral dari skala timpani ke arah lateral. Karena sifat
compliance/kelenturan fenestra rotundum, maka setelah terdesak ke lateral,
ia akan kembali ke posisi semula sehingga tekanan akan terpantulkan
kembali ke skala timpani, helikotrema, kemudian ke skala vestibuli, begitu
seterusnya. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfe dan membrana basilaris ke arah bawah. Puncak gelombang yang
berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut,
ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Membran basilaris yang terletak
dekat telinga tengah lebih pendek dan kaku, akan bergetar bila ada getaran
dengan nada rendah. Hal ini dapat diibaratkan dengan senar gitar yang
pendek dan tegang, akan beresonansi dengan nada tinggi. Getaran yang
bernada tinggi pada perilimfe skala vestibuli akan melintasi membran
basilaris bagian basal. Sebaliknya nada rendah akan menggetarkan bagian
membran basilaris di daerah apex. Getaran ini kemudian akan turun ke
perilimfe skala timpani, kemudian keluar melalui foramen rotundum ke
telinga tengah untuk diredam. Membran basilaris merupakan membran yang
membatasi skala timpani dengan skala media. Gerakan membran basilaris
ke atas akan membengkokkan stereosilia ke arah stereosilia yang lebih tinggi
pada fase depolarisasi mengakibatkan terjadinya peregangan pada serabut tip
link di puncak stereosilia. Ketika tip link meregang langsung membuka
saluran mekanoelekrik transduksi (MET) pada membran stereosilia
+
dan menimbulkan aliran arus K ke dalam sel sensoris. Aliran kalium
timbul karena terdapat perbedaan potensial endokoklea +80 mV dan
potensial intraseluler negatif pada sel rambut, sel rambut dalam -40 mV
dan sel rambut luar -70 mV. Hal tersebut menghasilkan depolarisasi
intraseluler yang menyebabkan kation termasuk kalium dan kalsium mengalir
+
ke dalam sel rambut. Masuknya ion K akan mengubah potensial listrik dalam
sel rambut dan mendepolarisasi sel, pada akhirnya sel rambut memendek
dengan mempengaruhi motor sel rambut luar atau prestin (Gacek, 2009).
Membran basilaris bergerak turun, stereosilia membengkok ke arah
stereosilia yang terpendek pada fase hiperpolarisasi mengakibatkan
terjadinya pengenduran pada serabut tip link di puncak stereosilia maka
saluran MET akan tertutup. Bila stereosilia tegak lurus, pembukaan saluran
MET tak akan berpengaruh. Tip link ini seperti saluran elastik yang bisa
+
mengendalikan buka tutupnya saluran MET. Ion K keluar dari sel rambut
luar ke dalam ruang ekstraseluler di sekitar sel rambut luar kemudian
masuk ke sel pendukung. Rangsangan suara diubah menjadi getaran
membran basilaris, dan mengarahkan pada pembukaan dan penutupan
saluran MET pada stereosilia kemudian menghasilkan respon elektrokimia
dan akhirnya akan mepresentasikan suara pada saraf pendengaran (Gacek,
2009).
Serabut-serabut serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis
dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan
berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada lemniskus
lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran
berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada
lobus temporalis (Gacek 2009).
2.1 Gangguan Pendengaran
Jenis Gangguan Pendengaran
a. Gangguan pendengaran Konduktif
Gangguan pendengaran konduktif terjadi akibat adanya
abnormalitas pada telinga luar atau telinga tengah, yang dapat mencakup
kelainan dari membran tympani. Kelainan telinga luar yang menyebabkan
tuli konduktif adalah:
a. Otalgia, rasa nyeri di dalam telinga.
b. Atresia liang telinga, Malformasi lengkap dari saluran telinga eksternal
disebut atresia. Ini dapat dilihat bersama dengan malformasi lengkap
atau sebagian dari pinna (telinga luar) dan ditemukan pada saat lahir.
Hal ini jarang terkait dengan kelainan bawaan lainnya dan yang paling
sering hanya pada satu sisi (unilateral).
c. Sumbatan oleh serumen, Kotoran telinga dapat diidentifikasi dengan
pemeriksaan medis dan biasanya dapat dihilangkan dengan cepat.5
d. Sumbatan benda asing, Hal ini juga mudah diidentifikasi pada
pemeriksaan dan biasanya dapat dibersihkan di poli klinik. Kadang-
kadang, anestesi singkat diperlukan untuk prosedur ini pada anak-anak.
Umumnya benda asing termasuk manik-manik dan kacang pada anak-
anak dan kapas atau ujung kapas-tipped aplikator pada orang dewasa.
Jarang, Kadang binatang hidup seperti kecoa yang dapat menyebabkan
gatal, nyeri dan kebisingan.1
e. Otitis eksterna sirkumskripta,infeksi pilosebaseus oleh staphylococcus
aureus atau staphylococcus albus. Rasa nyeri yang hebat yang tidak
sesuai dengan besar bisul.1
f. Otitis eksterna maligna, Otitis Eksterna Maligna merupakan infeksi
telinga luar yang ditandai dengan adanya jaringan granulasi pada liang
telinga dan nekrosis kartilago dan tulang liang telinga hingga meluas
ke dasar tengkorak. Keadaan ini sering dijumpai pada pasien diabetes
mellitus atau pasien dengan immunocompromised.7
g. Osteoma liang telinga.
Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif ialah
a. Sumbatan tuba eustachius, dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti
peradangan di nasofaring, peradangan adenoid atau tumor nasofaring.1
b. Otitis media,
c. Otosklerosis, berupa berkurangnya getaran tulang pendengaran
dikarenakan adanya pertumbuhan tulang yang abnormal yang
penyebab pastinya belum diketahui. Hilangnya pendengaran terkait
dengan otosklerosis kemungkinan untuk perlahan-lahan kemajuan dari
waktu ke waktu.
d. Timpanosklerosia, membran timpani yang menunjukkangambaran
bercak-bercak putih tebal atau menjadi putih dan tebal seluruhnya
akibattimbunan kolagen terhialinisasi pada bagian tengahnya yang
disebabkan proses autoimun
e. Hemotimpanum, terdapatnya darah pada kavum timpani dengan
membrana timpani berwarna merah atau biru. Warna tidak normal ini
disebabkan oleh cairan steril bersama darah di dalam telinga tengah.
Keadaan ini dapat menyebabkan tuli konduktif, biasanya ada sensasi
penuh atau tekanan. Hemotimpanum bukan merupakan suatu penyakit
akan tetapi lebih kepada suatu gejala dari penyakit yang sering
disebabkan oleh karena trauma.
f. Dislokasi tulang pendengaran yaitu pada fraktur os temporal dan
trauma iatrogenik pada ekstraksi benda asing di telinga tengah
Abnormalitas yang terjadi dapat mengurangi intensitas efektif dari
hantaran udara menuju koklea, tetapi tidak mempengaruhi hantaran tulang.
Oleh karena itu, ambang hantaran tulang lebih baik dari ambang hantaran
udara sebesar 10 dB atau lebih dan normal (Kurtz, 2016; Lassman, Levine,
Greenfield, 2015).

b. Gangguan pendengaran Sensorineural


Gangguan pendengaran sensorineural (perseptif) disebabkan oleh
kelainan pada koklea, nervus VII atau di pusat pendengaran. Pada jenis
gangguan pendengaran sensorineural, telinga luar dan telinga tengah tidak
mengurangi intensitas hantaran, baik hantaran udara maupun hantaran
tulang dalam merangsang koklea. Oleh sebab itu, gangguan pendengaran
sensorineural memiliki ambang hantaran tulang sama dengan ambang
hantaran udara dan keduanya tidak normal.
Gangguan pendengaran sensorineural terjadi karena terdapatnya
gangguan jalur hantaran suara pada sel rambut koklea (telinga tengah),
nervus VIII (vestibulokoklearis), atau pada pusat pendengaran di lobus
temporalis otak. Gangguan pendengaran sensorineural disebut juga dengan
gangguan pendengaran saraf atau gangguan pendengaran perseptif.
Gangguan pendengaran sensorineural ini dibagi dua, yaitu tuli koklea dan
tuli retrokoklea.
Tuli koklea, yaitu apabila gangguan terdapat pada reseptor atau
mekanisme penghantar pada koklea. Pada tuli koklea ini terjadi suatu
fenomena rekrutmen dimana terjadi peningkatan sensitifitas pendengaran
yang berlebihan di atas ambang dengar. Pada kelainan koklea pasien dapat
membedakan bunyi 1 dB, sedangkan orang normal baru dapat
membedakan bunyi 5 dB.
Tuli retrokoklea, yaitu apabila terdapat gangguan pada nervus
vestibulokoklearis atau satu dari area pendengaran di lobus temporalis
otak. Pada tuli retrokoklea terjadi kelelahan (fatigue) yang merupakan
adaptasi abnormal, dimana saraf pendengaran cepat lelah bila dirangsang
terus menerus. Bila diberi istirahat, maka akan pulih kembali (Dorland,
2012;. Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2014).
Gangguan pendengaran sensorineural melibatkan kerusakan koklea
atau saraf vestibulokoklear. Salah satu penyebabnya adalah pemakaian
obat-obat ototoksik seperti streptomisin yang dapat merusak stria
vaskularis. Beberapa kelainan yang termasuk gangguan pendengaran
sensorineural adalah presbikusis, gangguan pendengaran akibat bising
(NIHL), penyakit ménière, dan lesi retrokoklear seperti schwannoma
vestibular. (Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2014; Kurtz, 2016;
Lassman, Levine, Greenfield, 2015).
c. Gangguan pendengaran Campuran
Gangguan pendengaran campuran disebabkan oleh kombinasi dari
gangguan pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran
sensorineural. Pada gangguan pendengaran campuran, ambang hantaran
tulang berkurang namun masih lebih baik dari ambang hantaran udara
sebesar 10 dB atau lebih, dan ambang batas hantaran tulang kurang dari 25
dB (Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2014; Kurtz, 2016).
Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran
(misalnya otesklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi
gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan
pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan
hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media .
Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma
kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam
(Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2014).

Derajat Gangguan Pendengaran


 Normal (0-25 dB)
Pada level ini, pendengaran berada dalam batas normal.
 Gangguan pendengaran ringan (26-40 dB)
Gangguan pendengaran ringan dapat menyebabkan inatensi, kesulitan
menekan kebisingan latar belakang (background) dan meningkatkan usaha
untuk mendengar. Pasien pada derajat kegangguan pendengaranan ini
mungkin tidak dapat mendengar suara halus. Pasien anak-anak akan
merasa lelah setelah mendengar dalam waktu yaang lama.
 Gangguan pendengaran sedang (41-55 dB)
Gangguan pendengaran sedang dapat mengganggu perkembangan bahasa,
syntax dan artikulasi, interaksi dengan teman dan penghargaan diri. Pasien
akan mengalami kesulitan mendengar beberapa percakapan.
 Gangguan pendengaran sedang-berat (56-70 dB)
Gangguan pendengaran derajat ini dapat menyebabkan kesulitan dalam
berbicara dan menurunkan kejelasan ucapan.
 Tuli Berat (71-90 dB)
Gangguan pendengaran berat dapat mempengaruhi kualitas suara.
 Tuli sangat berat (>90 dB)
Pada gangguan pendengaran sangat berat, kemampuan bicara dan bahasa
akan memburuk (Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin; 2014; Kurtz, 2016).

Klasifikasi gangguan pendengaran menurut waktu kejadiannya dapat


dibagi pula menjadi dua jenis, yaitu:
a. Prelingual
Gangguan pendengaran prelingual biasanya timbul sebelum terjadinya
proses perkembangan kemampuan berbahasa pada seseorang. Seluruh
gangguan pendengaran yang bersifat kongenital biasanya masuk ke dalam
gangguan pendengaran prelingual. Orang-orang dengan gangguan
pendengaran prelingual biasanya lebih terbatas secara fungsional bila
dibandingkan dengan orang- orang dengan gangguan pendengaran yang
telah melalui proses berbahasa (Smith & Wolfe, 2013).

b. Postlingual
Gangguan pendengaran postlingual terjadi setelah berkembangnya
kemampuan berbahasa pada seseorang. Biasanya terjadi setelah berusia 6
tahun. Gangguan pendengaran postlingual jauh lebih jarang terjadi bila
dibandingkan dengan gangguan pendengaran prelingual. Biasanya gangguan
pendengaran postlingual yang terjadi secara tiba-tiba disebabkan oleh
meningitis ataupun penggunaan obat-obat ototoksik seperti gentamisin
(Smith & Wolfe, 2013).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran


Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran
dapat berasal dari genetik maupun didapat.
a. Faktor genetik
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya
berupa gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asmetrik dan
mungkin bersifat statik maupun progresif. Kelainan dapat bersifat
dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X (contoh: Hunter’s
syndrome, Alport syndrome, Norrie’s disease) kelainan mitokondria
(contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada
satu atau beberapa organ telinga (contoh: stenosis atau atresia kanal telinga
eksternal sering dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai osikuler
yang menimbulkan tuli konduktif).

b. Faktor Didapat
Antara lain dapat disebabkan :
1. Infeksi
Rubela konginel, cytomegalovirus, toksoplasmosis, virus herpes,
simpleks, meningitis bakteri, otitis media kronik purulenta,
mastoiditid, endolabrintitis, kongenital sifilis. Toksoplasma, rubela,
cytomegalovirus menyebabkan gangguan pendengaran dimana
gangguan pendengaran sejak lahir akibat infeksi cytomegalogavirus
sebesar 50% dan toksoplasma konginetal 10-15%, sedangkan untuk
infeksi herpes simpleks sebesar 10%. Gangguan pendengaran yang
terjadi bersifat tuli sensorineural. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa 70% anak yang mengalami infeksi cytomegalovirus kongenital
mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa
neonatus. Pada meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan
beberapa studi klinis menunjukkan adanya kerusakan di koklea atau
saraf pendengaran, namun proses patologi yang terjadi tidka begitu
diketahui sehingga menyebabkan gangguan pendengaran masih belum
dapat dipastikan.
2. Neonatal hiperbilirubinemia
Neonatal hiperbilirubinemia merupakan penyakit hemolisis
pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh neonatal jaundice. Penyakit
neonatal jaundice kebanyakan disebabkan oleh jalur metabolisme
bilirubin yang belum matang pada bayi baru lahir. Neonatal
hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana kadar bilirubon total >5
mg/dl. Hiperbilirubinemia tampak secara ikterus. Ikterus neonatum
adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus
pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih.
Bilirubin tak terkonjugasi yang masuk dalam otak terutama
dalam bentuk bebas atau bilirubin anion, berikatan dengan fosfolipid
dan gangliosida pada permukaan membran plasma neuron. Ikatan
antara bilirubin anion-fosfolipid kompleks merupakan ikatan yang
tidak stabil. Bilirubin anion mengambil ion hidrogen dan membentuk
asam bilirubin yang menempel kuat pada membran. Asam bilirubin
tersebut akan menyebabkan kerusakan pada membran plasma
sehingga dapat menyebabkan bilirubin anion masuk ke dalam sel
neuron. Bilirubin anion yang masuk ke dalam sel akan berikatan
dengan fosfolipid pada membran organel subseluler seperti
mitokondria, retikulum endoplasma dan nukleus. Ikatan ini akan
menyebabkan terbentuknya asam bilirubin dan kerusakan membran
di tingkat subseluler. Kerusakan tersebut memberikan dampak
terhadap multisistem enzim dan menyebabkan kerusakan sel neuron.
Salah satu bentuk neurotoksisitas bilirubin adalah abnormalitas
sistem auditori pada hiperbilirubinemia. Berdasarkan bukti tes
audiometrik didapatkan gangguan pendengaran dominan bilateral
pada frekwensi tinggi dan simetris dengan fungsi perkembangan suara
yang abnormal. Hal tersebut berhubungan dengan lesi patologis pada
nukleus koklear. Bilirubin yang terdapat pada otak dapat merusak
nuclei audiotori sentral dan jalur vestibular, nuclei serebellar dan
ganglia basalis yang dihubungkan dengan hipereaktivitas vestibuler.
Terdapat manifestasi auditori sentral yang patologis, melibatka
struktur auditori batang otak termasuk nuclei dorsal koklear maupun
ventral, kompleks olivarius superior, nuclei lemniskus lateralis, dan
kolikuli inferior tanpa keterlibatan thalamus maupun cortical auditory
pathways. Tujuh puluh tiga persen bayi dengan kadar bilirubin >
12mg/dl ternyata memiliki hasil BERA abnormal (Baradaranfar et al,
2011).
3. Masalah perinatal
Masalah perinatal adalah masalah-masalah yang terjadi pada
masa perinatal. Masa perinatal adalah yakni masa antara 28 minggu
dalam kandungan sampai 77 hari setelah kelahiran yang merupakan
masa dalam proses tumbuh kembang anak khususnya kembang otak.
Masalah perinatal meliputi prematuritas (suatu keadaan yang belu
matang, yang ditemukan pada bayi yang lahir pada saat usia
kehamilan belum mencapai 37 minggu), anoksia berat,
hiperbilirubinemia, obat ototoksik (gangguan yang terjadi pada alat
pendengaran yang terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-
obatan).
Faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran pada neonatus:
a. Riwayat keluarga ditemukan ketulian
b. Infeksi intrauterin
c. Abnormalitas pada kraniofasial
d. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar
e. Penggunaan obat ototoksik aminoglikosida lebih dari
5 hari atau penggunaan antibiotik tersebut dengan obat
golongan loop diuretik.
f. Meningitis bakteri
g. Apgar skor <4 pada saat menit pertama setelah
dilahirkan, atau apgar skor < 6 pada menit kelima.
h. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5
hari.
i. Berat lahir < 1500 gram
j. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan
ketulian.
Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu
indikasi untuk dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu
gangguan pendengaran, akan tetapi di lapangan ditemukan bahwa
50% neonatus dengan gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor
risiko. Oleh karena itu direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan
pendengaran pada seluruh neonatus setelah lahir atau setidaknya usia
tiga bulan (Bielecki, Horbulewicz & Wolan, 2011).
4. Obat ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran
adalah golongan antibiotika; erythromycin, gentamicin, streptomycin,
netilmicin, amikacin, neomycin (pada pemakaian tetes telinga),
kanamycin, etiomycin, vancomycin. Glongan diuretika : furosemide.
5. Trauma
Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau
koklea, dislokasi osikular, trauma suara.

6. Neoplasma
Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis 2), cerebellopontine
tumor, tumor pada telinga tengah (contoh : rhabdomyosarcoma,
glomustumor).
Penyebab tuli sensorineural dibagi menjadi:
a. Koklea
Penyebab tuli sensorineural yang berasal dari koklea terdiri dari:
1. Labirinitis (oleh bakteri/ virus)
Merupakan suatu proses radang yang melibatkan telinga dalam, paling
sering disebabkan oleh otitis media kronik dan berat. Penyebab
lainnya bisa disebabkan oleh meningitis dan infeksi virus. Pada otitis,
kolesteatom paling sering menyebabkan labirinitis, yang
mengakibatkan kehilangan pendengaran mulai dari yang ringan
sampai yang berat.
2. Obat ototoksik
Obat ototoksik merupakan obat yang dapat menimbulkan gangguan
fungsi dan degenerasi seluler telinga dalam dan saraf vestibuler.
Gejala utama yang dapat timbul akibat ototoksisitas ini adalah
tinnitus, vertigo, dan gangguan pendengaran yang bersifat
sensorineural.
Ada beberapa obat yang tergolong ototoksik, diantaranya:
 Antibiotik
 Aminogliksida: streptomisin, neomisin, kanamisin,
gentamisin, Tobramisin, Amikasin dan yang baru
adalah Netilmisin dan Sisomisin.
 Golongan macrolide: Eritromisin
 Antibiotic lain: kloramfenikol
 Loop diuretic : Furosemid, Ethyrynic acid, dan Bumetanides
 Obat anti inflamasi: salisilat seperti aspirin
 Obat anti malaria: kina dan klorokuin
 Obat anti tumor : bleomisin, cisplatin
Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara
lain:
 Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada
penggunaan semua jenis obat ototoksik
 Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada
organ korti dan labirin vestibular, akibat penggunaan
antibiotika aminoglikosida sel rambut luar lebih terpengaruh
daripada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini
terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga
akhirnya sampai ke bagian apeks
 Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat
adanya degenerasi dari sel epitel sensori
3. Presbikusis
Merupakan tuli sensorineural frekuensi tinggi yang terjadi pada
orang tua, akibat mekanisme penuaan pada telinga dalam. Umumnya
terjadi mulai usia 65 tahun, simetris pada kedua telinga, dan bersifat
progresif. Pada presbikusis terjadi beberapa keadaan patologik yaitu
hilangnya sel-sel rambut dan gangguan pada neuron-neuron koklea.
Secara kilnis ditandai dengan terjadinya kesulitan untuk memahami
pembicaraan terutama pada tempat yang rebut atau bising. Presbikusis
ini terjadi akibat dari proses degenerasi yang terjadi secara bertahap
oleh karena efek kumulatif terhadap pajanan yang berulang.
Presbikusis dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama faktor
lingkungan, dan diperburuk oleh penyakit yang menyertainya. Adapun
faktor- faktor tersebut diantaranya adalah adanya suara bising yang
berasal dari lingkungan kerja, lalu lintas, alat-alat yang menghasilkan
bunyi, termasuk musik yang keras. Selain itu, presbikusis juga bisa
dipengaruhi oleh faktor herediter, dan penyakit-penyakit seperti
aterosklerosis, diabetes, hipertensi, obat ototoksik, dan kebiasaan
makan yang tinggi lemak. Proses degenerasi yang terjadi secara
bertahap ini akan menyebabkan perubahan struktur koklea dan n.VIII.
Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi dan degenerasi sel-
sel rambut penunjang pada organ Corti. Proses atrofi disertai dengan
perubahan vascular juga terjadi pada stria vaskularis, pada dinding
lateral koklea. Selain itu terdapat pula perubahan, berupa
berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan saraf. Hal yang
sama terjadi juga pada myelin akson saraf.
Walaupun penyebab pasti presbikusis masih belum diketahui
secara pasti, namun telah diterima secara umum bahwa penyebab
presbikusis adalah multifaktorial. Berikut beberapa penyebab yang
dipercaya dapat menyebabkan terjadinya presbikusis:
a. Aterosklerosis
Pada keadaan arterosklerosis, dapat terjadi berkurangnya sampai
hilangnya perfusi serta oksigenasi ke koklea. Keadaan hipoperfusi ini
menyebabkan terbentuknya metabolit berupa reactive oxygen dan juga
radikal bebas. Akibat dari penumpukan oksidan ini, menyebabkan
terjadinya kerusakan pada struktur telinga dalam serta DNA
mitokondria yang berada pada sel-sel di telinga dalam. Akibat dari
kerusakan- kerusakan inilah berkembang presbikusis (Rolland, Kutz
& Isaacson 2014).
b. Diet dan metabolisme
Diabetes diketahui dapat mempercepat proses pembentukan
aterosklerosis yang selanjutnya akan menyebabkan gangguan perfusi
serta oksigenasi dari koklea. Pada keadaan diabetes juga didapati
proliferasi dan hipertropi dari tunika intima di endotel yang juga
nantinya akan menyebabkan gangguan perfusi ke koklea. Penelitian
yang dilakukan oleh Le dan Keithley mendemonstrasikan bahwa diet
tinggi antioksidan seperti vitamin C dan E dapat mengurangi
progresifitas presbikusis pada tikus (Rolland, Kutz & Isaacson, 2014).
c. Paparan terhadap bising
Dari penelitian yang dilakukan menggunakan model dari tikus
yang memiliki struktur telinga menyerupai manusia, didapati bahwa
paparan terhadap bising mampu meningkatkan kejadian presbikusis.
Paparan bising menyebabkan rusaknya sel-sel di telinga termasuk di
dalamnya sel yang berasal dari spiral ligament, sel fibrosit tipe IV.
Dari penelitian sebelumnya didapati bahwa kerentanan terhadap
kerusakan fibrosit tipe IV dapat menyebabkan perubahan ambang
batas pendengaran yang bermakna. Gambaran histopatologi pada tikus
yang terpapar bising menunjukkan bahwa terjadi hilangnya sel-sel
spiral ganglion, yang merupakan badan sel dari saraf aferen di koklea,
yang bersinaps dengan sel-sel rambut dalam (inner hair cells). Intinya,
paparan bising pada usia muda dapat meningkatkan risiko terjadinya
presbikusis seiring dengan bertambahnya usia seseorang (Rolland,
Kutz & Isaacson, 2014).
d. Genetik
Disebut-sebut bahwa genetik berperan penting dalam
menentukan kerentanan seseorang terhadap faktor-faktor lingkungan
seperti bising, obat-obat ototoksik dan bahan-bahan kimia, serta stress.
Pada penelitian lain didapati bahwa terdapat beberapa gen yang
mengalami mutasi pada penderita presbikusis, yaitu gen GJB2 dan gen
SLC26A4. Selain itu, didapati bahwa orang-orang yang mengalami
dua mild mutations pada gen GJB2 akan terjadi peningkatan risiko
berkembangnya presbikusis dini (Rolland, Kutz & Isaacson, 2014).
4. Tuli mendadak
Tuli mendadak merupakan tuli sensorineural berat yang terjadi
tiba-tiba tanpa diketahui pasti penyebabnya. Tuli mendadak
didefinisikan sebagai penurunan pendengaran sensorineural 30 dB
atau lebih paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada
pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari
tiga hari. Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak,
keadaan ini dapt disebabkan oleh karena spasme, trombosis atau
perdarahan arteri auditiva interna. Pembuluh darah ini merupakan
suatu end artery sehingga bila terjadi gangguan pada pembuluh darah
ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Iskemia
mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis
dan ligamen spiralis, kemudian diikuti dengan pembentukan jaringan
ikat dan penulangan. Kerusakan sel-sel rambut tidak luas dan
membrana basilaris jarang terkena.
5. Kongenital
Menurut Konigsmark, pada tuli kongenital atau onset-awal yang
disebabkan oleh faktor keturunan, ditemukan bahwa 60-70% bersifat
otosom resesif, 20-30% bersifat otosom dominan sedangkan 2%
bersifat X-linked. Tuli sensorineural kongenital dapat berdiri sendiri
atau sebagai salah satu gejala dari suatu sindrom, antara lain Sindrom
Usher (retinitis pigmentosa dan tuli sensorineural kongenital),
Sindrom Waardenburg (tuli sensorineural kongenital dan canthus
medial yang bergeser ke lateral, pangkal hidung yang melebar, rambut
putih bagian depan kepala dan heterokromia iridis) dan Sindrom
Alport (tuli sensorineural kongenital dan nefritis).
6. Trauma
Trauma pada telinga dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu
trauma akustik dan trauma mekanis. Trauma tertutup ataupun
langsung pada tulang temporal bisa mengakibatkan terjadinya tuli
sensorineural. Diantara semua trauma, trauma akustik merupakan
trauma paling umum penyabab tuli sensorineural.
7. Tuli akibat bising
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu dan tidak
dikehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat
subyektif, tergantung dari masing-masing individu, waktu dan tempat
terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising adalah
campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi.
Bising dengan intensitas 80 dB atau lebih dapat mengakibatkan
kerusakan reseptor pendengaran corti pada telinga dalam. Hilangnya
pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh
setelah istirahat beberapa jam (1–2 jam). Bising dengan intensitas
tinggi dalam waktu yang cukup lama (10–15 tahun) akan
menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi
destruksi total organ Corti.

b. Retrokoklea
Penyebab tuli sensorineural yang berasal dari retrokoklea terdiri dari:
1. Penyakit Meniere
Penyakit Meniere merupakan penyakit yang terdiri dari trias atau
sindrom Meniere yaitu vertigo, tinnitus dan tuli sensorineural.
2. Neuroma Akustik
Neuroma akustik adalah tumor intrakrania yang berasal dari selubung
sel Schwann nervus vestibuler atau nervus koklearis. Lokasi tersering
berada di cerebellopontin angel.
Tuli akibat neuroma akustik ini terjadi akibat:
- trauma langsung terhadap nervus koklearis
- gangguan suplai darah ke koklea
Patogenesis
Gangguan pendengaran konduktif adalah suatu bentuk gangguan
pendengaran akibat kelainan pada bagian dari telinga. Mereka adalah bagian
bergerak (termasuk gendang telinga) yang mengirimkan suara dari luar ke
telinga bagian dalam dimana sistem saraf kita membutuhkan dan mengirimkan
sinyal ke otak. Gangguan pendengaran konduktif terjadi ketika bagian-bagian
bergerak yang rusak atau ketika mobilitas mereka terganggu.
Patofisiologi tuli konduktif berdasarkan penyebabnya berupa gangguan
hantaran suara yaitu dikarenakan kelainan pada telinga luar dan telinga tengah
anatar lain :

Gambar 6. Lokasi anatomis tuli konduktif


Otalgia

Impaksi serumen (sumbatan oleh serumen)

Otitis eksterna sirkumskripta


2.6. Penilaian Gangguan Pendengaran
Anak terlalu kecil bukan sebagai halangan untuk melakukan penilaian
definitif gangguan pendengaran pada anak terhadap status fungsi telinga
tengah dan sensitifitas koklea serta jalur suara. Kecurigaan terhadap adanya
gangguan pendengaran pada anak harus dilakukan secara tepat. Jenis-jenis
pemeriksaan pendengaran yang direkomendasikan oleh American
Academyca of Pediatrics (AAP) adalah pemeriksaan yang disesuaikan
dengan umur anak, anak harus merasa nyaman terhadap situasi pemeriksaan,
pemeriksaan harus dilakukan pada tempat yang cukup sunyi dengan
gangguan visual dan audio yang minimal. Beberapa pemeriksaan yang
dilakukan:
1. Untuk segala usia, tes yang dilakukan yaitu ovoked otoacoustic
emissions. Teknik ini dilakukan selama 10 menit. Proses
pemeriksaannyab yaitu probe kecil yang berisi microphone sensitif
ditempatkan pada liang tlingan untuk mendeteksi hantaran stimulus dan
respon. Keuntungan dari metode ini yaitu utnuk mengetahui fungsi outer
hair cell pada koklea, tidak tergantung pada keasaan anak tidur atau
tidak, waktu pengerjaan cepat. Kerugian pada metode ini bayi atau anak
harus relatif tak aktif selama pemeriksaan, bukan pemeriksaan
pendengeran yang teliti karena tidak menilai prose akses kortikal suara.
2. Untuk anak saat lahir hingga berumur 9 tahun. Pengujian dengan
menggunakan jenis tes automated auditory brainsteim respone (ABR)
selama 15 menit. Tipe pengukurannya yaitu elektrofiisologi aktivitas
sarap pendengaran dan jalur batang otak. Prosedur kerja dari alat ini :
elektroda pad akepala anak mendeteksi stimulus saluran yang dihasilkan
earphone pada salah satu telinga pada saat pemeriksaan. Keuntungan
menggunakan metode ini yaitu lebih spesifik menggambarkan keadaan
telingga, terurama mengukur terutama mengukur fungsi morfologi
hingga batang otak. Kerugian dari metode ini yaitu bayi atau anak harus
tenang selama pemeriksaan; tidak menilai proses akses kortikal suara.
2.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis suatu gangguan pendengaran dilakukan dengan
berbagai cara antara lain menanyakan riwayat kesehatan. Dapat dilakukan
pemeriksaan telinga secara menyeluruh untuk dapat menyingkirkan penyebab-
penyebab umum dari kehilangan pendengaran, seperti adanya cairan di telinga
atau penyumbatan. Pemeriksaan pendengaran meliputi pemeriksaan hantaran
melalui udara dan melalui tulang dengan menggunakan garpu tala atau
audiometri nada murni.
1. Anamnesis
Anamnesis menunjukkan gejala penurunan pendengaran, baik yang
terjadi secara mendadak maupun yang terjadi secara progresif. Gejala
klinis sesuai dengan etiologi masing-masing penyakit.
2. Pemeriksaan Fisik
Penderita tuli sensorineural cenderung berbicara lebih keras dan
mengalami gangguan pemahaman kata sehingga pemeriksa sudah dapat
menduga adanya suatu gangguan pendengaran sebelum dilakukan
pemeriksaan yang lebih lanjut. Pada pemeriksaan otoskop, liang telinga
dan membrana timpani tidak ada kelainan.
3. Pemeriksaan lain yang biasa digunakan adalah tes bisik, tes penala,
merupakan tes kualitatif dengan menggunakan garpu tala 512 Hz.
Terdapat beberapa macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber dan tes
Schwabach, lalu audiometri, Brainstem Evoked Respone Audiometry
(BERA) untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N.VIII dan juga
otoacustic emittion/OAE (Emisi Otoakustik).
 Tes Bisik
Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan
suara bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak
tertentu. Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara
pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar
enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 – 6/6.
 Pemeriksaan Garpu Tala
Pemeriksaan ini menggunakan garputala dengan frekuensi 512,
1024, dan 2048 Hz. Oleh karena secara fisiologi telinga dapat
mendengar 20-18.000 Hz dan untuk pendengaran sehari-hari yang
paling efektif antara 500-2.000 Hz. Penggunaan garputala penting
untuk pemeriksaan secara kualitatif. Biasanya yang sering
digunakan adalah pemeriksaan garputala dengan frekuensi 512 Hz
karena penggunaan garputala pada frekuensi ini tidak dipengaruhi
oleh suara bising di sekitarnya. Terdapat berbagai macam tes
garputala, seperti tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing,
dan tes Stenger.

 Tes Rinne
Tes rinne adalah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara
dan hantaran melalui tulang. Caranya penala digetarkan, tangkainya
diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak terdengar, penala
dipegang di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Bila masih terdengar
disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif
(-).
 Tes Weber
Caranya adalah penala digetarkan, kemudian tangkai penala
diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung,
di tengah-tengah gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi terdengar
lebih keras ke salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke
telinga tersebut. Apabila tidak dapat dibedakan ke arah telinga
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada
lateralisasi.
 Tes Schwabach
Tes untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa
dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Caranya dengan
menggetarkan penala, kemudian tangkai penala diletakkan pada
prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian
tangkai penala segera dipindahkan ke prosesus mastoideus
pemeriksa. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu penala
diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa terlebih dulu. Bila
pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schawabach
memanjang. Bila pasien dan pemeriksa sama-sama mendengarnya
disebut Schwabach sama dengan pemeriksa (Soetirto, Hendarmin,
Bashiruddin; 2014).

Tabel 2. Interpretasi Pemeriksaan Penala


Tes
Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis
Rinne
Tidak ada Sama dengan
+ Normal
Lateralisasi Pemeriksa
Laterlisasi ke sisi
- Memajang Tuli konduktif
sakit
Tuli
+ Leteralisasi sisi sehat Memedek
sensonural

 Audiometri Nada Murni


Pemeriksaan audiometri nada murni merupakan baku emas
untuk menilai penurunan pendengaran dan merupakan pemeriksaan
yang paling sering digunakan untuk menilai sensitivitas
pendengaran. Tujuan utama tes ini adalah untuk menentukan jenis,
derajat, dan konfigurasi gangguan pendengaran. Kontraindikasi dari
tes ini adalah apabila pasien tidak dapat bekerjasama dikarenakan
pasien berusia muda atau kondisi lainnya yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan tes audiometri nada murni. Pasien
tidak dianjurkan untuk melakukan tes audiometri nada murni
apabila dalam pengaruh obat sedasi atau anestesi (Kurtz, 2016).

Hantaran Udara dan Hantaran Tulang


Sumber bunyi ada dua, yaitu hantaran udara dan hantaran
tulang. Sumber bunyi pertama berasal dari headphone, insert
earphone, atau sound field. Masing-masing telinga diperiksa secara
bergantian dan hasilnya dicatat sebagai audiogram hantaran udara.
Ambang nada murni hantaran udara mengukur sensitivitas ketika
impuls ditransmisikan melalui telinga luar, telinga tengah, dan
telinga dalam dan kemudian melalui otak menuju korteks. Sumber
bunyi kedua adalah suatu osilator atau vibrator hantaran tulang yang
ditempelkan pada mastoid melalui suatu head band. Hasil
pemeriksaan dicatat sebagai audiogram hantaran tulang. Ambang
murni hantaran tulang menilai sensitivitas ketika impuls
ditransmisikan melalui tulang tengkorak ke koklea dan kemudian
melalui jalur pendengaran dari otak (Kurtz, 2016; Lassman, Levine,
Greenfield, 2015).

Pendengaran Silang
Pendengaran silang (crossover) atau lengkung bayangan
(shadow curve) terjadi ketika telinga pendengar yang tidak diuji
merespon terhadap uji sinyal. Pendengaran silang seringkali terjadi
lewat tulang tengkorak melalui hantaran tulang sekalipun sinyal
diberikan melalui penerima hantaran udara. Pendengaran silang
sering terjadi untuk earphone circumaural pada sekitar 40 dB di
semua frekuensi. Insert earphone dapat mengurangi pendengaran
silang dengan mengurangi bidang kontak permukaan (Kurtz, 2016;
Lassman, Levine, Greenfield, 2015).

Peredaman Antar Telinga


Peredaman antar
telinga adalah berkurangnya intensitas suatu sinyal saat ditransmisi
dari satu telinga ke telinga lainnya. Tujuan dari peredaman antar
telinga adalah untuk mencegah telinga yang tidak diuji dari
mendeteksi sinyal sehingga hanya telinga yang diuji dapat
merespon. Ketika vibrator disajikan pada telinga yang diuji,
getaran akan timbul di seluruh tulang tengkorak dan mencapai pada
kedua koklea. Peredaman interaural untuk sinyal hantaran tulang
sangat rendah, mungkin serendah 0 dB, karena tulang tengkorak
sangat efisien dalam mentransmisi suara. Oleh karena itu,
peredaman antar telinga diperlukan pada tes hantaran udara. Pada
pengujian hantaran udara bila tingkat sinyal pengujian melampaui
ambang hantaran tulang telinga yang tidak diuji sebesar 45 dB atau
lebih, maka harus dilakukan penyamaran (Kurtz, 2016; Lassman,
Levine, Greenfield, 2015).

Metode Pemeriksaan Audiometri Nada Murni


Metode dasar yang dapat digunakan dalam pemeriksaan
audiometri nada murni ada tiga, yaitu metode stimuli konstan,
metode terbatas dan metode penyesuaian. Pada metode stimuli
konstan, pendengar diberikan beberapa seri nada pada setiap
intensitas kemudian dicatat jumlah respon pada setiap intensitas.
Intensitas dimana jumlah respon sama dengan setengah jumlah nada
yang diberikan disebut sebagai ambang dengar (nilai 50%). Metode
stimuli konstan merupakan metode yang paling akurat, namun
membutuhkan waktu yang paling lama dibanding metode lainnya.
Pada metode terbatas, panduan audiometri yang digunakan
adalah prosedur modifikasi Hughson-Westlake. Pada prosedur ini,
pasien diberikan intensitas sinyal pada tingkat dimana pasien dapat
mendengar dengan jelas. Selanjutnya, intensitas diturunkan dalam
ukuran tertentu sampai pasien tidak dapat mendengar. Setelah itu,
intensitas kembali dinaikkan secara perlahan sampai pasien
merespon kembali. Intensitas dimana saat sinyal dinaikkan dan
pasien merespon dua dari tiga kali pemberian dicatat sebagai
ambang dengar.
Pada metode penyesuaian, pasien memiliki kontrol terhadap
intensitas sinyal yang diberikan dan mengaturnya pada tingkat
terendah yang masih dapat terdengar. Intensitasnya dicatat sebaagai
ambang dengar. Metode penyesuaian memerlukan waktu paling
cepat, namun paling tidak akurat (Franks, 2001; Kileny, Zwolan,
2010).

 Audiometri Khusus
Untuk mempelajari audiometri khusus di perlukan pemahaman istilah
recruitment dan decay.
 Recruitment ialah suatu fenomena terjadi sensitifitas pendengaran
yang berlebihan di atas abang dengar keadaan ini khas untuk tuli
koklea. Pada kelainan koklea pasien dapat membedakan bunyi 1
db sedangkan pada orang normal baru bisa membedakan ya pada 5
db.
 Decay: (kelelahan) merupakan adaptasi abnormal merupakan
tanda khas pada tuli retrokoklea, saraf pendegaran cepat lelah bila
dirasang terus menerus. Bila dibeli istirahat akan pulih kembali.
Fenomena tersebut dapat dilacak dengan Pemeriksaan sebagai berikut
 Tes SISI ( Short sensitivity Index )
 Tes ABLB ( Alternate Binaural loudness)
 Test kelelahan ( Tone Decay )
 Audiometri tutur
 Audiometri bekesay
Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index)
Tes ini khas untuk mengetahui adaya kelainan koklea dengan
memakai fenomena rekruitmen. Cara pemeriksaan: Menentukan
ambang dengar pasien terlebih dahulu. Misalnya 30 db, kemudian
diberi 20 db diatas ambang rangsang, yaitu 50 db. Setelah itu,
diberikan tambahan 5 db, lalu diturunkan 4 db, lalu 3, kemudian 2 dan
1 db, bila pasien dapat membedakan maka TEST dinyatakan positif
(+).

Tes ABLB (Alternate Binaural Loudness Balance)


Pada tes ABLB diberikan intesitas bunyi tertentu pada frekuensi yang
sama pada kedua telinga, sampai kedua telinga mencapai presepsi
yang sama, yang disebut balans negative. Bila balans tercapai terdapat
recruitmen positif.

Test Kelelahan (Tone Decay)


Terjadi kelelahan saraf oleh karena perasangan terus–menerus. Jadi
kalau telinga yang diperiksa dirangsang terus menerus terjadi
kelelahan. Tanda pasien tidak dapat mendengar dengan telinga yang
diperiksa. Ada 2 cara
1. TTD = Threshold tone decay
TTD Cara Gerhart memberikan Persangan secara terus menerus
dengan intensitas sesuai dengan ambang dengar . Misalnya 40 db
bila setelah 60 detik masih tetap mendengar maka test dinyatakan
negative , jika sebaliknya terjadi kelelelahan atau tidak mendegar
maka test dinyatakan positif (+). Kemudian intesitas Bunyi
ditambah 5 db, jadi 45 db, maka pasien dapat mendengar lagi,
rangsangan dilakukan dengan 45 db selama 60 detik dan
seterusnya.
Penambahan :
 0-5 = Normal
 10-15 = Ringan
 20-25 = Sedang
 >30 = Berat
2. STAT= Supra threshold Adaptasi tes
 Cara pemeriksaan ini dimulai oleh Jegger.
 Prinsipnya pemeriksaan pada 3 Frekuensi (500 hz, 1000 hz dan
2000 hz) pada 110 db SPL = 100 db Sl.
 Artinya Nada Murni pada frekuensi (500 hz, 1000 hz dan 2000
hz) pada 110 db SPL diberikan secara terus menerus selama 60
detik, terjadi kelelahan maka tes dinyatakan positif (+).

Audiometri tutur
 Pada tes ini dipakai satu suku kata dan 2 suku kata,
 Kata kata ini disusun dalam daftar Phonetically balance Word
LBT ( PB,UST)
 Pasien disuruh mengulanngi kata kata yang di dengar melalui
kaset tape recorder
 Pada tuli saraf koklea , Pasien sulit membedakan bunyi
S,R,H,C,H,CH
 Sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi
Dinilai dengan menggunakan speech discrimination score
 90 – 100% : Pendengaran Normal
 75 – 90% : Tuli Ringan
 60 – 75% : Tuli sedang
 50 - 60% : Kesukaran dalam mengikuti pembicaraan sehari-
hari
 < 50% : Tuli Berat

Audiometri Bekessy
 Prinsipnya mengunakan nada yang terputus dan continyu
 Bila ada suara masuk maka pasien menekan tombol
 Ditemukan grafik seperti gigi gergaji
 Garis yang menaik adalah priode suara yang dapat didengar
 Garis yang turun ialah suara yang tidak di dengar
 Pada telinga normal amplitude 10 db sedangkan pada recruitment
amplitude lebih kecil

Tabel 3. Interpretasi Audiometri Bekessy


Normal Nada terputus dan terus menerus berimpit
Nada terputus dan terus menerus berimpit
Tuli Saraf Koklea hanya sampai frekuensi 1000 hz dan grafi
kotinue makin kecil
Tuli Saraf Retro
Nada terputus dan terus menerus berpisah
koklea

 Audiometri Obyektif
Terdapat 3 cara pemeriksaan, yaitu :
 Audiometri Impedans
 Electrokokleografi
 Envoke response Audiometri
1. Audiometri impedans pada pemeriksaan kelenturan membrane
timpani dengan tekanan tertentu pada Meatus Acusticus Eksterna
a) Timpanometri yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum
timpani Misalnya ada cairan, gangguan rangkaian tulang
pendegaran, kekakuan pada membrane timpani dan membrane
timpani sangat lentur.
b) Fungsi Tuba Estacius: Untuk mengetahui fungsi tuba (Terbuka
atau Tertutup).
c) Refleks stapediusPada telinga normal reflek stapedius
muncul pada Rangsangan 70 – 80 db.
d) Pada lesi koklea ambang rangsang reflex stapedius menurun,
sedangkan pada lesi retrokolea ambang rangsang itu naik.

2. Elektrokokleografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk merekam gelombang–
gelombang yang khas dari evoke electro potensial koklea. Caranya
dengan elektroda jarum, membran timpani ditusuk sampai ke
promontorium kemudian dilihat grafiknya.

3. Evoke Response Audiometri


Pada pemiriksaan ini di pakai elektroda permukaan, kemudian
direkam gelombang–gelombang yang datang dari batang otak.
Pada pemeriksaan dengan BERA, secara fisiologik mekanisme
jalur auditorius mulai dari saraf auditorius sampai ke korteks
auditorius sangat kompleks. Terdapat lima gelombang yang
mencerminkan daerah yang diperiksa, antara lain:
1. Gelombang I timbul dari bagian distal nervus VIII.
2. Gelombang II dari bagian proksimal nervus VIII dengan
kemungkinan bagian distal nervus VIII masih ikut berperan.
3. Gelombang III dari kompleks olivari superior.
4. Gelombang IV berasal dari neuron ke tiga di nukleus
olivarius superior kompleks, nukleus koklearis dan lemniskus
lateralis.
5. Gelombang V berasal dari kolikulus inferior.

Bila ditemukan keadaan tuli konduktif, kurva serial


latensi/intensitas mempunyai kemiringan yang sama seperti orang
normal tetapi mengalami pergeseran ke intensitas pendengaran
yang lebih tinggi, maka akan ditemukan semua gelombang (I-V)
akan bergeser ke kanan (memanjang), sedangkan interwave latency
interval (IWI) dalam batas normal. Lesi tipe sensorineural
mempunyai latensi puncak yang sebanding dengan orang normal
pada intensitas stimulasi tinggi, tetapi pada intensitas yang
lebih rendah, latensi tersebut memanjang secara signifikan.
Untuk membantu interpretasi BERA dalam membedakan gangguan
konduktif dan lesi retokoklear diperlukan tes audiometrik khusus
yang cermat dan teliti seperti timpanometri.

 Pemeriksaan Tuli Anorganik


Pemeriksaan ini di perlukan untuk memeriksa seseorang yang pura
pura tuli (menginkan asuransi)
1) Cara Stenger  memberikan 2 nada suara yang bersamaan pada
kedua telinga, kemudian pada sisi yang sehat nada di jauhkan.
2) Dengan audiometri nada murni secara berulang dalam satu
minggu, hasil audiogram berbeda.
3) Dengan Impedans

 Audiologi Anak
Untuk memeriksa ambang dengar anak dilakukan didalam ruangan
Khusus (Free Field). Cara memeriksanya dengan beberapa cara:
1) Neometer dibunyikan suara kemudian perhatikan reaksi anak
2) Free field test  Dilakukan pada ruangan Kedap suara  anak
sedang bermain kemudian diberikan rangsang bunyi, perhatikan
reaksinya.
3) Screening  Untuk screening (Tapis masal) dipakai hantaran
udara saja dengan Frekwensi 500 hz, 1000 hz, 2000 hz.

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuli konduktif tentulah sesuai dengan etiologi dari tuli
konduktif tersebut berupa observatif, medikamentosa dan tindakan operatif.
Tindakan pembedahan seperti stapedeotomy pada otosclerosis, pada perforasi
membran timpani seperti timpanoplasty ataupun tindakan miringotomi serta
mastoidektomy pada otits media.
Penatalaksanaan tuli sensorineural disesuaikan dengan penyebab
ketulian. Tuli karena pemakaian obat-obatan yang bersifat ototoksik, diatasi
dengan penghentian obat. Jika diakibatkan oleh bising, penderita sebaiknya
dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak memungkinkan dapat
menggunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga
(ear plug), tutup teling (ear muff) dan pelindung kepala (helmet). Apabila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi bisa
menggunakan alat bantu dengar.
a. Alat Bantu Dengar (ABD)
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran
dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Memasang
suatu alat bantu dengar merupakan suatu proses yang rumit yang tidak
hanya melibatkan derajat dan tipe ketulian, namun juga perbedaan antar
telinga, kecakapan diskriinasi dan psikoakustik lainnya. Selain itu
pertimbangan kosmetik, tekanan sosial dan keluarga. Peraturan dari Food
and Drug Administration mengharuskan masa uji coba selam 30 hari
untuk alat bantu dengr yang baru, suatu masa untuk mengetahui apakah
alat tersebut cocok dan efektif bagi pemakai.
Alat bantu dengar merupakan miniatur dari sistem pengeras untuk suara
umum. Alat ini memiliki mikrofon, suatu amplifier, pengeras suara dan
baterei sebagai sumber tenaga. Selanjutnya dilengkapi kontrol
penerimaan, kontrol nada dan tenaga maksimum. Akhir-akhir ini
dilengkapi pula dengan alat pemproses sinyal otomatis dalam rangka
memperbaiki rasio sinyal bising pada latar belakang. Komponen-
komponen ini dikemas agar dapat dipakai dalam telinga (DT), atau
dibelakang telinga (BT) dan pada tubuh. ABD dibedakan menjadi
beberapa jenis :
- Jenis saku (pocket type, body worrn type)
- Jenis belakang telinga (BTE = behind the ear)
- Jenis ITE (In The Ear)
- Jenis ITC (In The Canal)
- Jenis CIC (Completely In the Canal)
Tipe dalam telinga yang terkecil adalah alat bantu dengar ’kanalis’ dengan
beberapa komponen dipasang lebih jauh didalam kanalis dan lebih dekat
dengan membrana timpani. Alat bantu tipe kanalis ini sangat populer
karena daya tarik kosmetiknya. Alat ini dapat membantu pada gangguan
pendengaran ringan sampai sedang. Akan tetai alat ini kurang fleksibel
dalam respon frekuansi dan penerimaannya dibanding alat bantu DT dan
BT. Kanalis juga tidak cocok untuk telingan yang kecil karena ventilasi
menjadi sulit.
a. Implan Koklea
Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang memepunyai
kemampuan menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan
kemampuan mendengar dan berkomunikasi pada pasien tuli sensorineural
berat dan total bilateral. Indikasi pemasangan implan koklea adalah :
- Tuli sensorineural berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun
dewasa) yang tidak / sedikit mendapat manfaat dari ABD.
- Usia 12 bulan – 17 tahun
- Tidak ada kontra indikasi medis
- Calon pengguna mempunyai perkembangan kognitif yang baik
Kontra Indikasi pemasangan implan koklea antara lain :
- Tuli akibat kelainan pada jalur pusat (tuli sentral)
- Proses penulangan koklea
- Koklea tidak berkembang
Adapun cara kerja Implan koklea adalah, impuls suara ditangkap oleh
mikrofon dan diteruskan menuju speech processor melalui kabel
penghubung. speech processor akan melakukan seleksi informasi suara
yang sesuai dan mengubahnya menajdi kode suara yang akan disampaikan
ke transmiter. Kode suara akan dipancarkan menembus kulit menuju
stimulator. Pada bagian ini kode suara akan dirubah menjadi sinyal listrik
dan akan dikirim menuju elektrode-elektrode yang sesuai di dalam koklea
sehingga menimbulkan stimulasi serabut-serabut saraf. Pada speech
processor terdapat sirkuit khusus yang berfungsi untuk meredam bising
lingkungan. Keberhasilan implan koklea ditentukan denga menilai
kemampuan mendengar, pertambahan kosa kata dan pemahaman bahasa.
2.9 Cara Pencegahan Gangguan Pendengaran
 Gunakanlah pelindung pendengaran, jika berada di lingkungan yang
memiliki tingkat kebisingan tinggi gunakanlah pelindung pendengaran
seperti penutup telinga. Alat ini juga bisa digunakan saat melakukan
kegiatan sehari-hari seperti memotong rumput.
 Waspadai kebisingan, kapan pun waktunya usahakan untuk mengecikan
volume radio, televisi atau speaker.
 Berhati-hatilah menggunakan earphone. Jika menggunakan earphone
maka aturlah volume agar tidak terlalu keras, jika orang yang disebelah
Anda bisa mendengar suara dari earphone maka volumenya sudah terlalu
keras.
 Berikan waktu bagi telinga untuk beristirahat, semakin sering seseorang
terpapar suara maka bisa mempengaruhi gangguan pendengaran, bahkan
suara dengan volume rendah sekalipun jika terpapar dalam jangka waktu
lama bisa jadi berbahaya. Untuk itu berilah waktu bagi telinga untuk
beristirahat dengan berada di dalam ruangan yang tenang.
 Periksalah telinga secara teratur, tes pendengaran dan pemeriksaan telinga
sebaiknya menjadi kegiatan kesehatan yang rutin, karena semakin cepat
gangguan diketahui maka penanganannya akan menjadi lebih mudah dan
mencegah kerusakan lebih lanjut.
2.10. Prognosis
Dari semua penyebab tuli konduktif , sebagian besar memiliki prognosis
yang baik. Cukup dengan pemberian medikamentosa dan tindakan
pembedahan bila diperlukan, hampir semua keadaan tersebut bisa diperbaiki.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dilaporkan kasus perempuan usia 20 tahun datang ke poli THT-KL


RSAM dengan keluhan telinga kiri terasa penuh dan penurunan pendengaran pada
telinga kiri. Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendenaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perrbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa
pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner
yang mendorong endolimfa sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan
ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebebkan tuli


konduktif sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural
yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea.

Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensory neural deafness)
serta tuli campur (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan
hantaran suara disebebkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau telinga
tengah. Pada tuli sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga
dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran, sedangkan tuli campur disebabkan
oleh kombinasi tuli konduksi dan tuli sensorineural. Tuli campur dapat merupakan
satu penyakit misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam
atau merupakan dua penyakit yang berlainan misalnya tumor nervus VIII (tuli
saraf) dengan radang telinga tengah (tuli konduktif).

Keluhan dirasakan setelah pasien merasa telinga nya gatal dan banyak
kotoran lalu mengorek telinga kiri nya dengan cotton bud, kemudian pasien
merasa budek. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya gumpalan serumen pada liang
telinga. Gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga akan menimbulkan
gangguan pendengaran berupa tuli konduktif. Terutama bila telinga masuk air
sewaktu mandi atau berenang, serumen mengembang sehingga menimbulkan rasa
tertekan dan gangguan pendengaran semakin dirasakan sangat mengganggu. Hal
ini adalah karena cotton bud justru dapat mendorong serumen lebih ke dalam
sehingga dapat menutup membrana timpani, sehingga keluhan penurunan
pendengaran tetap atau bahkan mungkin semakin memberat.

Riwayat trauma dan pemakaian obat ototoksik perlu ditanyakan. Riwayat


trauma bisa menyebabkan terjepitnya saraf pendengaran. Antara inkus dan maleus
berjalan cabang n. fasialis yang disebut korda timpani. Bila terdapat radang di
telinga tengah atau trauma, korda timpani bisa terjepit sehingga timbul gangguan
pengecap.

Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran.


Pemakaian obat-obatan ototoksik dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf
pendengaran rusak dan terjadi tuli sensorineural. Setelah pemakaian obat
ototoksik seperti streptomisinn dapat terjadi gejala gangguan pendengaran berupa
tuli sensorineural dan gangguan keseimbangan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum pasien saat masuk klinik
THT adalah kompos mentis serta keadaan gizi baik. Pada pemeriksaan otoskopi
pada telinga kiri ditemukan serumen di kanalis, membrana timpani sulit dinilai.

Serumen dapat keluar sendiri dari liang telinga akibat migrasi epitel kulit
yang bergerak dari arah membran timpani menuju ke luar serta dibantu oleh
gerakan rahang sewaktu mengunyah.
Walaupun tidak mempunyai efek anti bakteri ataupun anti jamur serumen
mempunyai efek proteksi. Serumen mengikat kotoran, menyebarkan aroma yang
tidak disenangi serangga sehingga serangga enggan masuk ke liang telinga.
Serumen harus dibedakan dengan penglepasan kulit yang biasanya terdapat pada
orang tua maupun dengan kolesteatosis atau keratosis obturans.

Membran timpani harus dicek setelah serumen dibersihkan. Hal ini untuk
membedakan apakah tuli disebabkan oleh serumen saja atau ada otitis media.
yang ditandai dengan adanya kelainan pada membran timpani, misalnya membran
timpani tampak hiperemis, edem, bulging atau adanya perforasi membran timpani
yang menyebabkan gangguan di telinga tengah.

Pada otitis media akut stadium oklusi, terdapat gambaran retraksi


membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat
absorpsi udara. Kadang membran timpani tampak normal atau keruh pucat.
Sumbatan di tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan
terdapat tuli konduktif.

Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui


udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni.
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan
di telinga luar atau telinga tengah, seperti atresia liang telinga, eksostosis liang
telinga, serumen, sumbatan tuba eustachius serta radang telinga tengah. Kelainan
di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea.

Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20 sampai 18.000


Hz. Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz. Oleh
karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024 dan 2048
Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan secara kualitatif.
Bila salah satu frekuensi ini tergangggu penderita akan sadar adanya gangguan
pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala itu maka
diambil 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara
bising di sekitarnya.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan
mempergunakan garpu tala dan kuantitatif dengan mempergunakan audiometer.

Pada pasien ini dilakukan tes penala. Tes penala merupakan tes kualitatif.
Terdapat berbagai macam tes penala seperti tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach,
tes Bing dan tes Stenger. Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran
melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Tes Weber
adalah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan
telinga kanan. Tes Schwabach adalah tes pendengaran untuk membandingkan
hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya
normal.

Cara pemeriksaan tes Rinne adalah dengan menggetarkan penala,


tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala
dipegang di depan telinga kira-kira 2,5 c. bila masih terdengar disebut Rinne
positif (+), sedangkan bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-).

Tes Weber dilakukan dengan meletakkan tangkai penala yang telah


digetarkan pada garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, di tengah-
tengah gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada
salah satu telinga disebut Weber lateralisasi kea rah telinga tersebut. Bila tidak
dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber
tidak ada lateralisasi.

Tes Schwabach dilakukan dengan menggetarkan penala, kemudian tangkai


penala diletakkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan
dilakukan dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus
mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi
disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-
sama mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.

Untuk mempermudah interpretasi secara klinik dipakai tes Rinne, tes Weber dan
tes Schwabach secara bersamaan.
Rinne Weber Schwabach Diagnosis

(+) (-) =pemeriksa Normal

(-) telinga Memanjang Tuli


yang konduktif
sakit

(+) telinga Memendek Tuli


yang sensori-
sehat neural

Catatan: pada tuli konduktif < 30 dB Rinne bisa masih positif.

Hasil tes penala pada pasien ini menunjukkan Rinne telinga kiri (-),
lateralisasi ke kiri dan Schwabach kiri memanjang, pada telinga kanan Rinne
positif dan Schwabach sama dengan pemeriksa. Hal ini menandakan adanya tuli
konduktif pada telinga kiri.

Pasien lalu didiagnosis tuli konduktif karena serumen, dilakukan evakuasi


serumen. Serumen dapat dibersihkan sesuai dengan konsistensinya. Serumen yang
lembik dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada pelilit kapas. Serumen yang
keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret. Apabila dengan cara ini serumen
tidak dapat dikeluarkan maka serumen harus dilunakkan lebih dahulu dengan tetes
karbogliserin 10% selama 3 hari.

Serumen yang sudah terlalu jauh terdorong ke dalam liang telinga


sehingga dikuatirkan menimbulkan trauma pada membran timpani sewaktu
mengeluarkannya dikeluarkan dengan mengalirkan (irigasi) air hangat yang
suhunya sesuai dengan suhu tubuh. Sebelum melakukan irigasi telinga harus
dipastikan tidak ada perforasi pada membran timpani.
DAFTAR PUSTAKA

Alberti, Peter W. 2001. The Anatomy and Physiology of The Ear and Hearing.
Dalam: Goelzer B., Hansen CH., Sehrndt GA (Editor). Occupational
Exposure to Noise: Evaluation, Prevention and Control. World Health
Organization, Federal Institute for Occupational Safety and Health,
Dortmund, Germany, hal. 53-62.
Baradaranfar MH, Atighechi S, Dadgarnia MH, Jafari R, Karimi G, Mollasadeghi
A, Eslami Z, Baradarnfar A. 2011. Hearing status in neonatal
hyperbilirubinemia by auditory brain stem evoked response and transient
evoked otoacoustic emission. Acta Med Iran. 2011;49(2):109-12.
Bhatt, Rheena A. 2016. Ear Anatomy. Medscape.
(http://emedicine.medscape.com/article/1948907-overview#showall, Diakses
9 Agustus 2016).
Barrett, KE, Ganong, WF. 2010. Ganong's Review of Medical Physiology. 23rd.
New York: McGraw-Hill.

Bess FH, Humes LE. 2008. Audiology: The fundamentals. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins.

Bielecki I1, Horbulewicz A, Wolan T. 2011. Risk factors associated with hearing
loss in infants: an analysis of 5282 referred neonates. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. Jul;75(7):925-30. doi: 10.1016/j.ijporl.2011.04.007.

Choo DI, Richter GT. 2009. Development of the ear. Dalam: Snow JB, Wackym
PA, editors. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17th
edition. Shelton, Connecticut: People’s Medical Publishing House/BC
Decker. p. 17-27.

Despopoulos AM, Silbernagl, SMD. 2003. Color Atlas of Physiology (5th ed.).
New York: Thieme.

Dorland, W.A. Newman. 2012. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Terjemahan


oleh: Albertus, dkk. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 25.
Drake R, Vogl AW, Mitchell AWM. 2009. Gray's Anatomy for Students. London:
Churchill Livingstone.
Franks JR. 2001. Hearing Measurement. Dalam: Goelzer B., Hansen CH., Sehrndt
GA (Editor). Occupational Exposure to Noise: Evaluation, Prevention and
Control. World Health Organization, Federal Institute for Occupational
Safety and Health, Dortmund, Germany, hal. 183-202.
Gacek RR. 2009. Anatomy of the Auditory and Vestibular System. Dalam: Snow
jr JB & Wackym PA. Ballenger’s. Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery 17, Centennial edition. Philadhelpia: People’s Medical Publishing
House. p. 1- 157.
Gillespie PG, Müller U. 2009. Mechanotransduction by Hair Cells: Models,
Molecules, and Mechanisms. Cell. Oct 2; 139(1): 33–44.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11 th ed.
Philadelphia, PA, USA: Elsevier Saunders.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes RI.
Kileny PR., Zwolan TA. 2010. Diagnostic Assessment, Diagnostic Audiology.
Dalam: Flint, Paul W., dkk (Editor). Cummings Otolaryngology Head &
Neck Surgery, Edisi V. Mosby Elsevier, Philadelphia, hal. 1887-1903.
Kurtz, Joe Walter. 2016. Audiology Pure-Tone Testing. Medscape.
(http://emedicine.medscape.com/article/1822962-overview#showall, Diakses
11 Agustus 2016).
Liston SL, Duvalu AJ. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam:
Adams, GL, Boeis, LR & Highler, PA. Boeis Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta : EGC. 27-45.
Lassman FM., Levine SC., Greenfield DG. 2015. Audiologi. Dalam: Adams GL.,
Boies LR., Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. EGC,
Jakarta, Indonesia, hal. 50-55.
Martin, F.N. 1986. Introduction to Audiology. Edisi III. Prenctice-Hall, Inc,
Engelewood Cliffs, New Jersey.
Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. 2006. Anatomy and Physiology of Hearing.
In: Head & Neck Surgery-Otolaryngology, 4th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. 1884-1903.
Moller AR. 2006. Hearing Anatomy, Physiology, and Disorders of the Auditory
System 2nd ed. Texas: Elsevier. p 41- 56.
Nagashima R1, Sugiyama C, Yoneyama M, Ogita K. 2005. Transcriptional
factors in the cochlea within the inner ear. J Pharmacol Sci. Dec; 99(4):301-
6.
Oghalai JS, Brownell WE. 2008. Anatomy and physiology of the ear. Dalam:
Lalwani , AK. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. New York: McGraw-Hill Company. 577-95.
Pawlowsky KS, Kikkawa YS, Wright CG, Alagramam KN. 2006. Progression of
inner ear pathology in Ames waltzer mice and the role of protocadherin 15 in
hair cell development. J. Assoc. Res. Otolaryngol. 7: 83-94.
Probst R, Grevers G, Iro H. 2006. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-Step
Learning Guide, 2nd edition. New York: Thieme.
Rappaport JM, Provençal C. 2002. Neuro-otology for audiologists. Dalam: Katz J
Burkard RF, Medwetsky editors. Handbook of clinical audiology edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p.9-30.
Rolland PS, Kutz Jr JW, Isaacson B. 2014. Aging and the Auditory and
Vestibular System. Dalam: Bailey BJ, penyunting. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. p 2615-23.
Smith J., Wolfe J. 2013. Testing otoacoustic emissions in children: The known
and the unknown. Hearing Journal. 66(12):20,22,23.
Snell, Richard S. 2012. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi VI.
Terjemahan oleh: Sugiharto, L. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 782-792.
Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J. 2014. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Soepardi, EA, dkk. (Editor). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, Indonesia, hal. 10-22.
Wareing MJ, Lalwani AK, Jackler RK. 2006. Development of the Ear. Dalam:
Bayron J Bailey Head and Neck Surgery Otolaryngology. Lippincott:
Williams & Wilkins. 1870-1881.
Wright, C.G. 1997. Development of the Human External Ear. J Am Acad Audiol.
8:379-382.

Anda mungkin juga menyukai