Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

SENSORINEURAL HEARING LOSS (SNHL )

Oleh:

Restu Pamanggih, S.Ked

Zulfiana Riswanda, S. Ked

Preceptor:

dr. H. Hadjiman Yotosudarmo, Sp. THT-KL

dr. Agum Tizy, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG,

TENGGOROK, BEDAH KEPALA DAN LEHER

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JEND. AHMAD YANI METRO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun laporan

kasus ini. Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam

kepanitraan klinik pada bagian THT-KL RSUD Jend. Ahmad Yani Metro.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,

baik dari segi isi, bahasa, analisis dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis ingin

meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih

terbatasnya pengetahuan, wawasan dan keterampilan penulis. Selain itu, kritik dan

saran dari pembaca sangat diharapkan guna kesempurnaan laporan kasus

selanjutnya dan sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua. Semoga laporan

kasus ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu

pengetahuan untuk kita semua.

Metro, Oktober 2018


BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan telinga dapat menyebabkan tuli konduktif dan tuli sensorineural. Dari semua kasus

kehilangan pendengaran, 90 % merupakan tuli sensorineural. Tuli sensorineural adalahtuli yang

terjadi karena adanya gangguan pada telinga dalam atau pada jalur saraf dari telinga dalam ke

otak. Tuli sensorineural merupakan masalah bagi jutaan orang. Kehilangan pendengaran ini

dibagi dalam beberapa derajat, yaitu ringan, sedang,dan berat.Tuli ini dapat mengenai segala

usia dengan etiologi yang berbeda-beda.Sekitar 50% kasus merupakan faktor genetik dan 50 %

lagi didapat (acquired).

Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli sensorineural

koklea disebabkan oleh kelainan kongenital, labirintitis (oleh bakteri/virus), intoksikasi obat,

selain itu juga dapat disebabkan oleh tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan

bising.Sedangkan tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut

pons serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak dan kelainan otak lainnya.
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 54 tahun
Alamat : Gaya Baru, Lampung Timur

Agama : Islam
Menikah : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Tanggal periksa : 15 oktober 2018

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 15 oktober 2018 di Poli


THT-KL RS Ahmad Yani.

Keluhan utama: pendengaran berkurang pada telinga kiri sejak 1 minggu yang lalu
Keluhan tambahan : telinga kiri terasa penuh

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke Poli THT-KL RSAY dengan keluhan pendengaran berkurang pada
telinga kiri sejak 1 minggu yang lalu. Pasien menyangkal adanya nyeri telinga, nyeri
kepala, keluar cairan dari telinga, demam, mual, muntah serta kejang. Keluhan
dirasakan sejak sekitar satu minggu yang lalu. Keluhan pasien pada awalnya dirasakan
perlahan, hingga 3 hari terakhir pasien tidak bisa mendengar sama sekali. Pasien
tidak merasakan nyeri pada telinga, hanya mengatakan kurang nyaman karena
merasa penuh. Keluhan telinga kanan terasa penuh dirasakan terus menerus dan tidak
berkurang selama 1 minggu ini. Riwayat trauma, telinga tertampar dan pemakaian
obat ototoksik sebelumnya disangkal. Telinga berdenging,
rasa pusing berputar, rasa nyeri di dalam telinga dan keluar cairan tidak
dirasakan.

Riwayat penyakit dahulu:


- Karsinoma Nasofaring pada tahun 1998 dan dilakukan radioterapi sampai tahun
1999.
- Sensori neural hearing loss auricular dextra post radioterapi (pro alat bantu
dengar)
- Stroke iskemik (1 bulan yang lalu)

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat hipertensi pada kedua orang tua (+). Riwayat alergi, asma dan
diabetes mellitus disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : tampak sakit


ringan Kesadaran : compos
mentis Tanda vital
Tekanan darah : 120/70
mmHg Nadi :
72x/menit Pernapasan :
14x/menit Suhu :
36,6 C

Status generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik
(-/-) THT : Status lokalis
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP normal

Thorax
Inspeksi : Simetris bilateral saat statis dan dinamis
5
Palpasi : NT (-), massa (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+), wheezing (-/-), rhonki (-/-) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak pada ICS IV linea midklavikularis
kiri Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS IV linea
midklavikularis kiri Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ 1 & 2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Perut sedikit cembung, simetris


Palpasi : Supel, NT (-), batas hepar normal, massa (-)
Perkusi : Timpani (-)
Auskultasi : Bising usus (+)

Ekstremitas : Akral hangat, udema kaki (-/-)

Status lokalis

Pemeriksaan Telinga

Auric

6
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra

Bentuk telinga Normotia

Aurikula Peradangan
Kelainan kongenital - -

Nyeri
Massatarik - -

Prea`urikuler & Kelainan kongenital


Nyeri tekan tragus - -

Retroaurikuler Massa
Peradangan - -

Sikatrik
Edema - -

Pembesaran
Fistula KGB - -

Liang telinga luar Sempit/lapang


Nyeri tekan lapang
- lapang
-

Peradangan
Kelainan kongenital - -

Edema
Massa - -

Kelainan
Fistula kulit - -

Sekret - -
Serumen Serumen (+), Serumen (+)

konsistensi keras
Membran timpani Kondisi Intak Intak

Warna Putih, Putih, mutiara


mutiara

7
Cone of light (+) (+)

Kolesteatom - -

Granulasi - -

8
Pemeriksaan Pendengaran

Tes Rinne Tes Weber Tes Schawabach

Aurikula Dextra Tidak - -


dilakukan
Lateralisasi ke Memanjang
Aurikula Sinistra + kanan Sesuai pemeriksa

Pemeriksaan Hidung

Kavum Nasi
Pemeriksaan
Dextra Sinistra

Inspeksi

Sikatrik
Bentuk -
Tampak -
simetris kanan dan kiri
Hematom - -

Nyeri
Palpasitekan sinus paranasal - -
Krepitasi - -

9
Massa - -

Cavum nasi anterior


Rhinoscopy Lapang Lapang

Mukosa cavum nasi Edema (-)(-)


Hiperemis Edema (-)(-)
Hiperemis

Sekret
Konka inferior Hipermis
- (-) Hipermis
- (-)

Konka media Hipermis (-)


Hipertrofi (-) Hipermis (-)
Hipertrofi (-)

Meatus inferior Hiperemis


Hipertrofi (-) Hiperemis
Hipertrofi (-)

Meatus media Massa (-)(-)


Hiperemis Massa (-)(-)
Hiperemis

Septum anterior
Rhinoscopy posterior Deviasi (-) Deviasi (-)
Nasofaring

Konka superior
Koana
Konka media Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelenjar adenoid
Massa

1
0
Pemeriksaan Tenggorok

Pemeriksaan Kondisi

Faring & Rongga Mulut

Bibir Sianosis (-)


Mukosa mulut Hiperemis (-)
Lidah Normal
Gusi Normal
Gigi berlubang Normal
Palatum durum Hipermis (-)
Palatum mole Hipermis (-)
Uvula Hipermis (-)
Deviasi (-) Arkus faring
Hipermis (-), Simetris Tonsil
Normal, T1 – T1
Hipofaring & Laring

Pita suara Hipermis (-), Deviasi (-), massa (-)


Epiglottis Hipermis (-)
Esophagus Lapang

RESUME
A. Anamnesis

a. Keluhan utama: pendengaran berkurang pada telinga kiri 1 minggu yang lalu
b. Riwayat penyakit sekarang :

11
11
1. Pendengaran berkurang (+)
2. Telinga terasa penuh (+)
3. Nyeri telinga, nyeri kepala, demam, mual, muntah serta kejang (-)
4. Riwayat trauma, telinga tertampar dan pemakaian obat ototoksik
5. Telinga berdenging, rasa pusing berputar, rasa nyeri di dalam telinga dan keluar
cairan tidak dirasakan

c. Riwayat penyakit dahulu:


1. Riwayat Alergi : disangkal
2. Riwayat Keluhan yang sama : (+)
3. Riwayat ISPA : disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga:


1. Riwayat Alergi : disangkal
2. Riwayat Asma : disangkal
3. Riwayat Hipertensi pada kedua orang tua
4. Riwayat Diabetes Mellitus disangkal

B. Pemeriksaan Fisik

a. Kepala – leher : Dalam batas normal


b. Telinga
Pemeriksaan Rutin Umum Telinga :Pada telinga kiri:

MAE : lapang, hiperemis (-), serumen (+)

Membran timpani : intak

Pemeriksaan Rutin Khusus : Tidak dilakukan

C. Diagnosis

12
12
DD : Tuli sensorineural auricula sinistra ec radioterapi
Tuli sensorineural auricula sinistra ec stroke
Tuli konduksi
auricula sinistra

Dx : Tuli Konduktif auricula dextra ec


serumen prop

D. Penatalaksanaan

a) Penggunaan alat bantu dengar

b) Non-medikamentosa

Hindari aktivitas yang berhubungan dengan suara yang bising

IV. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad bonam

Ad Functionam : ad malam

Ad Sanationam : ad malam

13
13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Telinga

14
14
Telinga terdiri atas 3 bagian, yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Membran timpani

memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Tuba auditiva menghubungkan telinga tengah

dengan nasofaring. Serumen terdapat pada telinga luar dikarenakan kelenjar sebasea dan

kelenjar seruminosa terdapat di telinga luar.

Telinga Luar

Telinga luar terdiri atas auricular, meatus akustikus eksternus, dan membran timpani.

Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara, terdiri

dari tulang rawan elastin yang ditutupi kulit. Auricula juga mempunya otot ekstrinsik dan

intrinsic yang keduanya dipersarafi oleh N. fascialis. Auricula membentuk suatu bentuk unik

yang terdiri dari antihelix yang membentuk huruf Y, dengan crux superior di sebelah kiri

fossa triangularis, crux inferior di sebelah kanan fossa triangularis, antitragus yang berada di

bawah tragus, sulcus auricularis yang merupakan sebuah struktur depresif di belakang telinga

dekat kepala, konka berada dekat saluran pendengaran, angulus conchalis yang merupakan

sudut di belakang concha dengan sisi kepala, crus helix di atas tragus, cymba conchae

merupakan ujung terdekat dari konka, meatus akustikus eksternus yang merupakan pintu

masuk dari saluran pendengaran, fossa triangularis yang merupakan struktur depresif dekat

antihelix, helix, yang merupakan bagian terluar dari daun telinga, incisura anterior yang

15
15
berada di antara tragus dan antitragus, lobus yang berada di bagian paling bawah daun

telinga, serta tragus yang berada di depan meatus akustikus eksternus.

Meatus akustikus eksternus berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan sepertiga

bagian luar sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya

kira-kira 2,5-3 cm.1 Meatus akustikus eksternus dapat diluruskan untuk memasukkan otoskop

dengan cara menarik auricula ke atas dan belakang. Pada anak kecil aurikula ditarik lurus ke

belakang atau ke bawah dan belakang. Bagian meatus yang paling sempit adalah kira-kira 5

mm dari membran timpani.

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat rambut, kelenjar sebasea, dan

kelenjar seruminosa. Kelenjar seruminosa adalah modifikasi kelenjar keringat yang

menghasilkan secret lilin berwarna coklat kekuningan. Rambut dan lilin ini merupakan

barrier yang lengket untuk mencegah masuknya benda asing.

Saraf sensorik yang melapisi kulit pelapis meatus berasal dari N. auriculotemporalis dan

ramus auricularis N. vagus. Sedangkan aliran limfe menuju nodi parotidei superficiales,

mastoidei, dan cervicales superficiales.

16
16
Membran timpani adalah membrane fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara. Membran

ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral. Permukaannya konkaf ke

lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang terbentuk oleh

ujung manubrium mallei. Bila membrane terkena cahaya otoskop, bagian cekung ini

menghasilkan reflesk cahaya, yang memancar ke anterior dan inferior umbo.

Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter lebih kurang 1 cm. Terletak superior

terhadap processus lateralis mallei terdapat membrane tipis disebut pars flaccida. Bagian

tersebut tidak memiliki serat-serat sirkular dan radial yang terdapat pada bagian lain

membrane, disebut pars tensa. Pars flaccida membentuk dinding lateral recessus superior

membrane timpani. Membran timpani bergerak sesuai vibrasi udara yang berjalan ke arahnya

melalui meatus akustikus eksternus. Gerakan-gerakan membrane dibawa oleh ossicula

auditus melalui auris media ke auris interna. Permukaan eksterna membrane timpani

terutama dipersarafi oleh n. auriculotemporalis, suatu cabang dari N. V3. Beberapa inervasi

disuplai oleh ramus auricularis N. Vagus dan permukaan internal membran timpani

diinervasi oleh N. IX.

3.2 Fisiologi Pendengaran

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga

dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran

tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian

tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang

pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi

getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap

lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui

membrane Reissner yang mendorong endolimfa sehingga akan menimbulkan gerak relatif

antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik

yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka
17
17
dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan

proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang

akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius

sampai korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebebkan tuli konduktif

sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural yang terbagi atas tuli

koklea dan tuli retrokoklea.

4. Gangguan Fisiologi Telinga

Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif

sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli

koklea dan tuli retrokoklea.

Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness) serta tuli campur

(mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara disebabkan oleh

kelainan penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural (perseptif)

kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran

sedangkan tuli campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural. Tuli

campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi

ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit berlainan, misalnya tumor nervus VII (tuli

saraf) dengan radang telinga tengah (tuli konduktif).

5. Tuli Sensorineural

a. Definisi

Sensorineural Hearing Loss (SNHL) merupakan gangguan kurang pendengaran

yang disebabkan oleh kerusakan pada telinga dalam (koklea), saraf kranial

18
18
vestibulokoklearis (N.VIII), atau jalur persarafan dari telinga dalam ke otak.

Gangguan ini merupakan penyebab tersering kurang pendengaran permanen.

SNHL menurunkan kemampuan penderita untuk mendengarkan suara yang cukup

keras. Hal ini terlihat ketika penderita mendengarkan suara percakapan biasa

dalam ruangan tenang, suara tersebut tidak terdengar cukup jelas. SNHL biasanya

dipengaruhi oleh usia atau disebabkan karena kelainan kongenital.

b. Etiologi

Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (congenital), labirinitis

(olehbakteri/virus), intoksikasi obat streptomisin, kanamisin, garamisin,

neomisin, kina, asetosalatau alkohol. Selain itu, tuli sensorineural juga dapat

disebabkan oleh tuli mendadak (suddendeafness), trauma kapitis, trauma

akustik, dan pajanan bising.

Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut

ponsserebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, dan

sebagainya.

c. Derajat SNHL

Klasifikasi derajat kurang pendengaran berdasarkan WHO pada tahun 2008

adalah sebagai berikut :

19
19
Keterangan:

*Derajat 2, 3, dan 4 diklasifikasikan sebagai gangguan kurang pendengaran (pada anak,

dimulai dari derajat 31 dB).

**Nilai ISO audiometri merupakan rata-rata dari 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz.

d. Patofisiologi SNHL

Pada proses pendengaran normal, gelombang suara sampai di aurikula dan

dijalarkan melalui kanalis auditoris eksternal menuju membran timpani. Ketika

mengenai membran timpani, gelombang digetarkan, membuat rantai getaran

sepanjang tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) ke membran foramen

ovale dan masuk menuju koklea. Proses ini menyebabkan amplifikasi suara dari

lingkungan menjadi sekitar 20 kali lebih keras.

Koklea merupakan organ terakhir dari sistem pendengaran yang berbentuk seperti

rumah siput dengan saluran dua setengah lingkaran. Di dalamnya, dua membran

20
20
secara longitudinal membagi koklea menjadi tiga bagian, yaitu skala timpani,

skala vestibuli, dan skala media. Ketiga bagian tersebut berisi cairan dengan

konsentrasi ion yang berbeda (sama dengan kandungan cairan intraseluler dan

ekstraseluler).

Di sepanjang membran pada skala media atau duktus koklearis terdapat sel

rambut internal dan eksternal. Pergerakan dari tulang stapes pada foramen ovale

menimbulkan gelombang atau getaran pada cairan perilimfe di dalam koklea.

Pergerakan cairan, yang membuka kanal ion pada sel rambut, menggeser sel

rambut, memicu potensial aksi, dan membuat saraf pada koklea mengirimkan

stimulus menuju otak.

Pada SNHL terjadi hambatan pada transmisi setelah melalui koklea. Gangguan

tersebut dapat terjadi pada koklea itu sendiri, saraf vestibulokoklearis, atau jalur

persarafan dari telinga ke otak. Akibatnya, otak tidak dapat menangkap dan

mengintepretasikan gelombang suara yang ditransmisikan. Gangguan ini dapat

disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor-faktor yang merusak sel rambut pada

koklea atau merusak saraf vestibulokoklearis (N.VIII). Derajat dari distorsi tidak

berkaitan dengan derajat hilangnya pendengaran

e. Manifestasi klinis

Gangguan pendengaran mungkin timbul secara bertahap atau tiba-tiba. Gangguan

pendengaran mungkin sangat ringan, mengakibatkan kesulitan kecil dalam

berkomunikasi atau berat seperti ketulian. Kehilangan pendengaran secara cepat

dapat memberikan petunjuk untuk penyebabnya. Jika gangguan pendengaran

terjadi secara mendadak, mungkin disebabkan oleh trauma atau adanya gangguan

21
21
dari sirkulasi darah. Sebuah onset yang tejadi secara bertahap bisa dapat

disebabkan oleh penuaan atau tumor.

Gejala seperti tinitus (telinga berdenging) atau vertigo (berputar sensasi),

mungkin menunjukkan adanya masalah dengan saraf di telinga atau otak.

Gangguan pendengaran dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kehilangan

pendengaran unilateral yang paling sering dikaitkan dengan penyebab konduktif,

trauma, dan neuromas akustik. Nyeri di telinga dikaitkan dengan infeksi telinga,

trauma, dan obstruksi pada kanal. Infeksi telinga juga dapatmenyebabkan demam.

f. Diagnosis

A. Anamnesis

Diperlukan anamnesis yang terarah untuk menggali lebih dalam dan luas keluhan

utama pasien. Keluhan utama telinga antara lain pekak (tuli), suara berdenging

(tinnitus), rasa pusing berputar (vertigo), rasa nyeri di dalam telinga (otalgia), dan

keluar cairan dari telinga (otore). Perlu ditanyakan apakah keluhan tersebut pada

satu atau kedua telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah berat, sudah berapa lama

diderita, riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik, terpajan bising,

pemakaian obat ototoksik, pernah menderita penyakit infeksi virus, apakah

gangguan pendengaran ini sudah diderita sejak bayi sehingga terdapat gangguan

bicara dan komunikasi, dan apakah gangguan lebih terasa di tempat yang bising

atau lebih tenang.

B. Pemeriksaan audiologi khusus

Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan

yangterdiri dari audiometri khusus, audiometri objektif, pemeriksaan tuli

anorganik,dan pemeriksaan audiometri anak.

22
22
1. Audiometri khusus

Perlu diketahui adanya istilah rekrutmen yaitu peningkatan sensitifitas

pendengaran yang berlebihan di atas ambang dengar dan kelelahan

merupakanadaptasi abnormal yang merupakan tanda khas tuli retrokoklea.

Kedua fenomena ini dapat dilacak dengan beberapa pemeriksaan khusus,yaitu:

 Tes SISI (short increment sensitivity index)

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah pasien dapatmembedakan

selisih intensitas yang kecil (samapai 1 dB).

 Tes ABLB (alternate binaural loudness balans test)

Diberikan intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada keduatelinga

sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama.

 Tes Kelelahan (Tone decay)

Telinga pasien dirangsang terus-menerus dan terjadi kelelahan. Tandanyaadalah

tidak dapat mendengar dengan telinga yang diperiksa.

 Audiometri Tutur (Speech audiometri)

Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai kemampuan pasien berbicaradan

untuk menilai pemberian alat bantu dengar (hearing aid).

 Audiometri Bekesy

Tujuan pemeriksaan adalah menilai ambang pendengaran seseorang dengan

menggunakan grafik.

23
23
2. Audiometri objektif

 Audiometri Impedans

Tujuan pemeriksaan adalah untuk memeriksa kelenturan membran timpani

dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna.

 Elektrokokleografi

Digunakan untuk merekam gelombang-gelombang yang khas dari evoke

electropotential cochlea.

 Evoked Response Audiometry

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai perubahan potensial listrik di

otaksetelah pemberian rangsang sensoris berupa bunyi. Pemeriksaan

inibermanfaat pada keadaan tidak memungkinkan untuk

dilakukanpemeriksaan biasa dan untuk memeriksa orang yang berpura-pura

tuli(malingering) atau kecurigaan tuli saraf retrokoklea.

 Otoacoustic Emission/OAE

Emisi otoakustik menunjukkan gerakan sel rambut luar dan

merefleksikanfungsi koklea.

3. Pemeriksaan tuli anorganik

 Cara Stenger

Memberikan 2 nada yang bersamaan pada kedua telinga, kemudian

nadadijauhkan pada sisi yang sehat.

 Audiometri nada murni dilakukan secara berulang dalam satu minggu.

 Dengan Impedans.

 Dengan BERA.

4. Audiologi anak

 Free field test

24
24
Bertujuan untuk menilai kemampuan anak dalam memberikan

responsterhadap rangsang bunyi yang diberikan.

 Audiometri bermain (play audiometry).

 BERA (Brainstem Evoke Response Audiometry).

 Echocheck dan emisi Otoakustik (Otoacoustic emissions/OAE).

g. Tatalaksana

Tidak ada tatalaksana yang efektif untuk SNHL itu sendiri, namun kita dapat

mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah jika mengetahui penyebab utama

dari SNHL itu. Misalnya pada SNHL karena obat – obatan ototoksik, pasien harus

menghentikan penggunaan obat – obatan tersebut, SNHL karena pajanan

kebisingan, pasien harus menghindari diri untuk terpajan kebisingan dan itu

berlaku untuk sebagian besar penyebab lainnya.

Alat bantu yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi pendengaran pada

penderita SNHL yaitu hearing aid dan cochlear implant.

 Hearing aid adalah alat elektronik yang dipasang ditelinga. Alat ini terdiri

dari mikrofon kecil, sebuah amplifier yang meningkatkan volume dan

sebuah speaker kecil yang mentransmisikan suara ke telinga.

 Cochlear implant adalah perangkat elektronik yang ditanam di belakang

telinga. Tidak seperti alat bantu dengar yang menguatkan bunyi, implan

koklea langsung merangsang serat saraf pendengaran di koklea. Implan ini

terdiri dari komponen internal dan eksternal

25
25
BAB IV ANALISIS
KASUS

Pasien datang ke Poli THT-KL RSAY dengan keluhan pendengaran berkurang pada telinga
kiri sejak 1 minggu yang lalu. Pasien menyangkal adanya nyeri telinga, nyeri kepala,
keluar cairan dari telinga, demam, mual, muntah serta kejang. Keluhan dirasakan sejak
sekitar satu minggu yang lalu. Keluhan pasien pada awalnya dirasakan perlahan, hingga 3
hari terakhir pasien tidak bisa mendengar sama sekali. Pasien tidak merasakan nyeri
pada telinga, hanya mengatakan kurang nyaman karena merasa penuh. Keluhan telinga
kanan terasa penuh dirasakan terus menerus dan tidak berkurang selama 1 minggu ini.
Riwayat trauma, telinga tertampar dan pemakaian obat ototoksik sebelumnya disangkal.
Telinga berdenging rasa pusing berputar, rasa nyeri di dalam telinga dan keluar cairan
tidak dirasakan.

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendenaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong
26
26
sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane
Reissner yang mendorong endolimfa sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan
terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gangguan pendengaran/tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensory neural
deafness) serta tuli campuran (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan
hantaran suara disebebkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau telinga tengah.

Pada tuli sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII
atau di pusat pendengaran, sedangkan tuli campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduksi
dan tuli sensorineural. Tuli campur dapat merupakan satu penyakit misalnya radang telinga
tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan
misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli konduktif).

Riwayat trauma dan pemakaian obat ototoksik perlu ditanyakan. Riwayat trauma bisa
menyebabkan terjepitnya saraf pendengaran. Antara inkus dan maleus berjalan cabang n.
fasialis yang disebut korda timpani. Bila terdapat radang di telinga tengah atau trauma,
korda timpani bisa terjepit sehingga timbul gangguan pengecap. Di dalam telinga dalam
terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran. Pemakaian obat-obatan ototoksik dapat
merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran rusak dan terjadi tuli sensorineural.
Setelah pemakaian obat ototoksik seperti streptomisinn dapat terjadi gejala gangguan
pendengaran berupa tuli sensorineural dan gangguan keseimbangan. Pada kasus ini riwayat
trauma, telinga tertampar dan pemakaian obat ototoksik sebelumnya disangkal.

Sebelumnya pasien mempunyai riwayat serupa pada telinga kanannya setelah melakukan
radioterapi pada tahun 1999 karena karsinoma nasofaring. Pada saat itu menggunakan alat
bantu dengar untuk memperbaiki pendengarannya.

27
27
Gangguan tuli sensorineural terjadi akibat radiasi langsung pada batang otak atau hanya
proses endartritis obliteratif. Radiasi akan menganggu proses mitosis sel dan menimbulkan
perubahan pada pembuluh darah, walaupun hanya sementara biasanya vaskulitis bersifat
progresif dan mengawali terjadinya hambatan pada pembuluh darah yang memperdarahi
koklea. Pada akhirnya terjadi degenerasi koklea pada organ Corti, seperti pada sel-sel
rambut, stria vaskularis, ganglion spiral dan neuron-neuron koklea. Hal tersebut didukung
dengan pemeriksaan histologis, didapatkan gambaran perubahan anatomi antara lain nekrosis
pada tulangtulang pendengaran, kerusakan pada organ Corti atau sel-sel rambut luar,
degenerasi stria vaskularis, dan osteoradionekrosis pada tulang temporal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum pasien saat masuk klinik THT adalah
kompos mentis serta keadaan gizi baik. Pada pemeriksaan otoskopi pada telinga kiri
didapatkaan serumen (+), mukoasa hiperemis, membran timpani intak.

Pemeriksaan pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui


tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni. Kelainan hantaran melalui
udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan di telinga luar atau telinga tengah,
seperti atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen, sumbatan tuba eustachius
serta radang telinga tengah. Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural
koklea atau retrokoklea.

Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan mempergunakan garpu tala


dan kuantitatif dengan mempergunakan audiometer. Pada pasien ini dilakukan tes penala.
Tes penala merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala seperti tes Rinne,
tes Weber, tes Schwabach, tes Bing dan tes Stenger. Tes Rinne ialah tes untuk
membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang
diperiksa. Tes Weber adalah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang
telinga kiri dengan telinga kanan. Tes Schwabach adalah tes pendengaran untuk
membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang
pendengarannya normal.

Cara pemeriksaan tes Rinne adalah dengan menggetarkan penala, tangkainya diletakkan di
prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala dipegang di depan telinga kira-kira 2,5 c.

28
28
bila masih terdengar disebut Rinne positif (+), sedangkan bila tidak terdengar disebut
Rinne negatif (-).

Tes Weber dilakukan dengan meletakkan tangkai penala yang telah digetarkan pada garis
tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu).
Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi
ke arah telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar
lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi. Tes Schwabach dilakukan dengan
menggetarkan penala, kemudian tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus telinga
pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan dilakukan
dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih
dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila
pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach sama
dengan pemeriksa.

Untuk mempermudah interpretasi secara klinik dipakai tes Rinne, tes Weber dan tes
Schwabach secara bersamaan.

Rinne Weber Schwabach Diagnosis


(+) Tidak ada Sama dengan Normal

(-) lateralisasi ke Memanjang


Lateralisasi pemeriksa Tuli konduktif

telinga yang
(+) sakit
Lateralisasi ke Memendek Tuli sensori-

telinga yang neural


sehat < 30 dB Rinne bisa masih positif.
Catatan: pada tuli konduktif

29
29
Hasil tes penala pada pasien ini menunjukkan Rinne telinga kiri (+), lateralisasi ke kanan.
Hal ini menandakan adanya tuli sensorineural pada telinga kiri. Pasien lalu didiagnosis tuli
sensorineural pada telinga kiri. Kemudian dilakukan tes audiometri pada telinga kiri dan
didapatkan hasil snhl >90db .

Tatalaksana pada kasus ini berupa pemberian alat bantu dengar. Kemudian pasien diberi
edukasi untuk menghindari aktivitas yang berhubungan dengan suara yang bising, tidak
boleh mengorek telinga dengan tangan atau benda apapun.

30
30
DAFTAR PUSTAKA

1. ASHA. Hearing Loss. 2011. Accessed on: 18 oktober 2018. Available from:

http://www.asha.org/public/hearing/Hearing-Loss/

2. Yunita A.Gangguan Pendengaran Akibat Bising. 2003. Accessed on: 18 oktober

2018 Available

from:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-andrina1.pdf

3. AARP. Sensorineural deafness. 2009. Accessed on: 18 oktober 2018.

4. MD Guidelines. Hearing Loss. 2010. Accessed on: 18 oktober 2018. Available

from:http://www.mdguidelines.com/hearing-loss

5. Tuli Sensorineural.2012. Accessed on 18 oktober 2018.Available from :

http://id.scribd.com/doc/103709140/Tuli-Sensorineural

6. T Mizoue, T Miyamoto, T Shimizu. (2003). “Combined effect of smoking and

occupational exposure to noise on hearing loss in steel factory workers”. Occup

Environ Med. 60, 56-59

7. A. D. Dunmade S. Segun-Busari T. G. Olajide F. E. Ologe. (2007). “Profound

Bilateral Sensorineural Hearing Loss in Nigerian Children: Any Shift in Etiology?

Journal of Deaf Studies and Deaf Education. 12, 112-118

8. ES Marlow, LP Hunt, N Marlow. (2000). “Sensorineural hearing loss and

prematurity”. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 82, 141-144

31
31
9. L Coates. (2010). “The effects of magnesium supplementation on

sensorineural hearing damage: A critical review of the literature”. University of

Western Ontario Journal. 1-6

10. AE Conlin. (2007). “Treatment of Sudden Sensorineural Hearing Loss”. ARCH

OTOLARYNGOL HEAD NECK SURG. 133, 573-581

11. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem; alih bahasa,

Brahma U.Pendit; editor, Beatricia I. Santoso. Ed 2. Jakarta: EGC, 2001. h. 176-

189.

12. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam:

SoepardiEA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala & Leher.Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2008. h. 16;22.5.

13. Silbernagl, Stefan. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi; alih bahasa, Iwan

Setiawan,Iqbal Mochtar; editor, Titiek Resmisari. Jakarta: EGC, 2006. h. 3

32
32
33

Anda mungkin juga menyukai