Makalah Nilai Keluarga
Makalah Nilai Keluarga
PENDAHULUAN
1
e. Untuk mengetahui variable yang mempengaruhi sistem nilai keluarga
f. Bagaimana konflik nilai
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Keluarga dan individual jarang berperilaku atas dasar pola-pola nilai yang konsisten.
Nilai-nilai tertentu yang kita anut secara bersamaan, seperti persaingan antara individualism
dan kebebasan versus familisme (memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga terlebih dahulu
sebelum memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu).
Sebuah aturan nilai-nilai yang dimiliki oleh keluarga menggambarkan makna dari
kejadian-kejadian penting tertentu dan pada saat yang sama hal ini juga memberikan cara-
cara untuk berespon terhadap situasi-situasi ini.
Aturan nilai-nilai ini memberikan definisi-definisi dimensi waktu dan mengandung
konsep-konsep yang berkaitan dengan tanggung jawab dan nilai dari individual anggota
keluarga.
Nilai-nilai keluarga tidak hanya merupakan gambaran dari masyarakat itu dimana
individual atau keluarga sendiri, tapi juga menggambarkan subkultur keluarga yang
mengidentifikasi.
4
Manusia sebagai mahluk individu dan juga sebagai mahluk sosial membutuhkan
adanya ikatan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat. Dalam
hubungan keterikatan ini manuisa membanguan sebuah keluarga yang menjalin perbedaan
karakter dan kepribadian menjadi satu kesepakatan bersama. Keluarga disebut sebagai
institusi sosial yang di dalamnya terdapat banyak nilai norma yang mengatur kehidupan
bersama. Kelurga sebagai unit terkecil dari masyarakat, menjadi media yang sangat
signifikan dalam membudayakan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti yang terpuji.
Kelompok keluarga merupakan sumber utama sistem kepercayaan-kepercayaan, nilai-
nilai dan norma-norma yang menentukan pemahaman individu-individu terhadap sifat dan
makna dari dunia, tempat mereka dalam kelompok keluarga dan bagaimana mencapai tujuan-
tujuan dan aspirasi-aspirasi mereka.Keluarga-keluarga biasanya mempunyai nilai-nilai yang
tidak disadari. Keperluan yang praktis dapat mengubah nilai-nilai keluarga dalam kehidupan
sehari-hari sehingga nilai-nilai tersebut tidak dapat diingat (Graedon, 1985).
Dalam antropologi hal merujuk pada suatu yang nyata (perilaku keluarga yang
sebenarnya) versus sesuatu yang ideal (nilai-nilai keluarga yang mendukung).Perbedaan
antara yang nyata dengan ideal secara khusus disebabkan karena keluarga membuat sesuatu
adaptasi yang penting terhadap konteks sosial. Keluarga etnis minoritas yang miskin sering
kali harus berkompromi dengan nilai-nilai dan cita-cita mereka karena realita-realita dunia
mereka yang serba keras.
Norma-norma merupakan pola-pola prilaku yang dianggap menjadi hak dari sebuah
masyarakat tertentu, dan pola-pola prilaku semacam itu di dasarkan pada sistem nilai dari
keluarga.
Aturan keluarga adalah sesuatu refleksi nilai-nilai keluarga yang lebih spesifik dari
norma-norma keluarga. Aturan-aturan keluarga merujuk pada pengaturan khusus yang
kelurga pertahankan yaitu tentang apa yang dapat diterima dan yang tidak. Aturan-aturan
keluarga diatur oleh nilai-nilai yang lebih abstrak dan memberikan sifat umum serta
bimbingan yang dibutuhkan oleh keluarga. Tingginya nilai familisme dikalangan keluarga-
keluarga menerjemahkan norma dan nilai keluarga bahwa anggota keluarga besar adalah
semua bagian dari familia.
5
2. Anggota keluarga biasanya hidup bersama dalm satu rumah tangga atau jika mereka
terpisah, tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.
3. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran social
keluarga seperti suami istri, ayah ibu, anak laki-laki dan anak perempuan dan lain
sebagainya.
4. Keluarga menggunakan budaya yang sama yang diambil dari masyarakat dengan cirri
sendiri.
6
sesuatu telah ditentukan oleh kekuasaan yang lebih tinggi dann keluarga tidak berdaya untuk
mengubah apa yang telah ditentukan untuk terjadi. Keluarga-kelurag yang fatalistis adalah
keluarga-keluarga yang karena alasan kultur dan jaringan, merasa tidak punya kekuatan untuk
mengubah jalannya kejadian-kejadian.
Dalam situasi yang tidak punya harapan, dimana kehilangan tidak bias dihindari, dan
control tidak memungkinkan, keluarga-keluarga yang berorientasi pada penguasaan dan
berorientasi secara fatalistis bertingkah laku agak berbeda. Keluarga yang berorientasi pada
penguasaan tidak akan putus asa, bahkan pada saat sakit parah sekalipun, tapi akan
mengalami stress lebih banyak daripada keluarga yang berorientasi secara fatalistis, yang
akan menerima keadaan secara pasif.
7
2.6 Konflik Nilai
Karena begitu banyak faktor yang berfungsi mengubah nilai-nilai dan norma-norma
keluarga dan individu maka konflik tidak bias dihindari. Isu-isu dan konflik-konflik yang
tidak dapat dipecahkan karena seperangkat norma tradisional muncul secara bersamaan, baik
didalam keluarga maupun diluar. Dalam komunitas, kelompok-kelompok tertentu dan
individu-individu tertentu tahan terhadap norma-norma yang muncul dan pola-pola yang
lebih tradisional dengan penuh semangat, padahal individu-individu dan kelompok-kelompok
lain tidak dapat menerima dan lebih setia kepada norma dan nilai-nilai tersebut.
Akibat dari perubahan social ini adalah muculnya konflik-konflik dalam bidang-bidang
utama. Meskipun nilai-nilai masyarakat bersifat pluralisme, dimana sistem-sistem nilai
tradisional dan yang baru muncul hidup berdampingan, perbedaan social yang dimainkan
dalam keluarga menghasilkan konflik dan kebingungan. Sebuah isu nilai keluarga yang
paling umum adalah yang berkaiatan dengan makna dari perkawinan. Sementara, pernikahan
tradisional dipandang suci dan mengikat, perkawinan semakin dianggap sebagai suatu
perjanjian yang harus dibatalkan apabila kedua pasangan memiliki keluhan-keluhan yang sah
( Eshleman, 1971).
8
di dalam keluarga terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan. Anak-anak merasa aman,
walaupun tidak selalu disadari. Diantara anggota keluarga saling mendengarkan jika bicara
bersama, melalui teladan dan dorongan orang tua. Setiap masalah dihadapi dan diupayakan
untuk dipecahkan bersama. Keluarga kuasa lebih menekankan kekuasaan daripada relasi.
Pada keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan,
ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak sebagai
bos dan pengawas tertinggi. Anggota keluarga terutama anak-anak tidak memiliki
kesempatan atau peluang agar dirinya “didengarkan”. Keluarga protektif lebih menekankan
pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan
sangat dihindari karena lebih menyukai suasana kedamaian. Sikap orang tua lebih banyak
pada upaya memberi dukungan, perhatian, dan garis-garis pedoman sebagai rujukan kegiatan.
Esensi dinamika keluarga adalah komunikasi dialogis yang didasarkan pada kepekaan dan
rasa hormat.
Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua. Dalam keluarga ini
cenderung timbul konflik (masalah) dan kurang peka memenuhi kebutuhan anak-anak. Anak
sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam karena kesenjangan hubungan antara mereka
dengan orang tua. Keluarga kacau selalu tidak rukun. Orang tua menggambarkan kemarahan
satu sama lain dan hanya ada sedikit relasi antara orang tua dengan anak-anaknya. Anak
merasa terancam dan tidak sayang. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan.
Anak-anak mendapatkan kesan bahwa mereka tidak diinginkan keluarga. Dinamika keluarga
dalam banyak hal sering menimbulkan kontradiksi karena pada hakikatnya tidak ada
keluarga. Rumah hanya sebagai terminal dan tempat berteduh oleh individu-individu.
Keluarga simbiosis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang kuat bahkan
hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam melakukan relasi.
Orang tua sering merasa terancam karena meletakkan diri sepenuhnya pada anak-anak,
dengan alasan “demi keselamatan”. Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk
memikirkan dan memenuhi keinginan anak-anaknya. Anak dewasa dalam keluarga ini belum
memperlihatkan perkembangan sosialnya. Dalam kesehariannya, dinamika keluarga ditandai
oleh rutinitas kerja. Rumah dan keluarga mendominasi para anggota keluarga. Di antara
kelima pengertian keluarga dalam kategori bisa dikatakan bahwa komunikasi orang tua dan
anak mengalami hambatan bahkan kegagalan karena komunikasi keluarga tersebut termasuk
dalam kategori keluarga kuasa dan keluarga kacau karena di dalamnya dijelaskan bahwa
orang tua terlalu berkuasa, segala peraturan yang dijalankan dalam keluarga harus sesuai
dengan apa yang ada dalam buku peraturan dan tanpa mendengarkan apa yang
9
dikomunikasikan anak atau keinginan anak akan kebutuhannya dan termasuk keluarga kacau
karena cenderung timbul konflik dan kurang peka dalam memenuhi kebutuhan anak. Dalam
Ali dan Anshori (2004: 94) ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhakan
oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai,
disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri.
Perasaan aman secara material berarti pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan, dan
sarana lain yang diperlukan sejauh tidak berlebihan dan tidak berada di luar kemampuan
orang tua. Perasaan aman menjauhkan ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapi, dan memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya.
Hambatan dalam berkomunikasi dengan anak yang telah diungkapkan di atas dapat
diatasi dengan beberapa solusi adalah sebagai berikut :
1. Manage waktu kita, jangan tergesa-gesa dalam mengurusi anak.
2. Belajar kenali diri kita, lawan bicara kita, sebab tiap pribadi unik.
3. Pahami bahwa kebutuhan dan kemauan berbeda, apalagi pada usia tiap anak yang
berbeda.
4. Belajar bahasa tubuh anak.
5. Jadilah pendengar aktif.
6. Jangan biarkan anak merasa tidak percaya diri, mendoktrin anak, pilah setiap masalah
anak, orang tua, atau masalah bersama.
7. Teladan lebih baik dari 1000 kata seperti nasehat Luqman pada anaknya “jangan jauh
dari Al-qur’an dan Al-Hadist”, hidupkan Sunnah sampai ke hal-hal yang kecil.
Sutan Takdir Alisyahbana (1974:34) dalam Sochib (2000: 24), menyatakan bahwa
manusia yang mampu merealisasikan kehidupannya berdasarkan nilai-nilai agama,
erarti dia telah memiliki harkat dan martabat yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa
nilai-nilai agama merupakan sumber nilai pertama dan utama bagi para penganutnya
untuk dijabarkan dan direalisasikan dalam kehidupan kesehariannya.
Sayekti (1991:147), dalam disertasinya menyatakan bahwa nilai-nilai agama sangat
besar pengaruhnya terhadap keberhasilan keluarga. Keluarga yang berakar pada
ketaatan beragama, perilaku-perilaku anggota keluarganya akan senantiasa
dikendalikan oleh keyakinan terhadap agamanya.
Proses komunikasi antara orang tua dengan anak, sangat membantu anak memahami dirinya
sendiri, perasaannya, pikirannya, pendapatnya dan keinginan-keinginannya. Anak dapat
mengidentifikaskan perasaannya secara tepat sehingga membantunya untuk mengenali
perasaan yang sama pada orang lain. Lama-kelamaan, semakin anak terlatih dalam mengenali
10
emosi, tumbuh keyakinan dan sense of control terhadap perasaannya sendiri (lebih mudah
mengendalikan sesuatu yang telah diketahui). Dalam pengertiannya bahwa diharapkan tidak
akan terjadi disharmonis relation atau keterhambatan dan kegagalan komunikasi antara orang
tua dan anak atau dengan anggota keluarga lain.
11
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Nilai adalah sebuah keyakinan yang abadi terbentuk karena perilaku spesifik. Nilai
merupakan cirri sentral dari sistem kepercayaan seorang individu karena kualitas keabadian
mereka. Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta (kula warga). Kulawarga yang berarti
anggota kelompok kerabat. Sistem nilai keluarga dianggap sangat mempengaruhi nilai-nilai
pokok dari masyarakat, juga dipengaruhi nilai-nilai subkultural keluarga serta kelompok-
kelompok referensi lainn. Karena keluarga memiliki fungsi-fungsinya sendiri dalam konteks
kemasyarakatan yang lebih besar, maka keluarga pun memiliki nilai-nilai yang membimbing
kehidupan keluarga.
12
DAFTAR PUSTAKA
Friedman, Marilyn M. 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek. Jakarta : EGC
Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Nuha Medika
Setiawati, Santun. 2012. Penuntun Praktis Askep Keluarga. Edisi 2. Jakarta : Trans Info
13