EKOTOKSIKOLOGI
(BIO 409)
DISUSUN OLEH:
ANDHIKA PUSPITO NUGROHO, M.Si.
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
JULI 2004
Minggu I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekotoksikologi
mempelajari efek toksik substansi (substances) pada non human species dalam suatu
kompleks sistem (system) (Gambar 1).
Gambar 2. Skema hubungan antara respon terhadap polutan pada tingkat organisasi
biologis dengan peningkatan waktu respon, peningkatan kesulitan untuk
mengetahui hubungan respon dengan bahan kimia spesifik, dan
increasing importance (Walker et al. 2001).
Adanya polutan dalam suatu lingkungan (ekosistem), dalam waktu singkat,
dapat menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya perubahan
tersebut dapat mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon organisme, perubahan
populasi, komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem (Gambar 2). Perubahan
biokimiawi sampai dengan ekosistem menunjukkan adanya peningkatan waktu respon
terhadap bahan kimia, peningkatan kesulitan untuk mengetahui hubungan respon
dengan bahan kimia spesifik, dan increasing importance.
Berdasarkan Gambar 2, apabila terjadi perubahan komposisi komunitas, hal
tersebut diawali dengan adanya perubahan biokimiawi individu — individu dari
populasi penyusun komunitas, yang selanjutnya diikuti perubahan fisiologis, respon
organisme (kematian dan kemampuan reproduksi), dan perubahan populasi, yang
pada akhirnya mempengaruhi komposisi komunitas.
Gambar 3 menunjukkan sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan
serta efek (respon) pada individu, populasi, komunitas, dan ekosistem. Berdasarkan
gambar tersebut, polutan dilepaskan dari sumber polutan ke dalam ekosistem,
selanjutnya mengalami proses distribusi dan transpor melalui daur atau siklus
biogeokimia serta mengalami transformasi, balk secara fisik atau biologis. Polutan
tersebut kemudian dapat diuptake oleh organisme dan dapat menyebabkan efek
lethal (kematian) dan sublethal. Dalam tubuh organisme, polutan dapat mengalami
biotransformasi dan bioakumulasi. Selanjutnya, terjadi perubahan karakteristik dan
dinamika populasi (reproduksi, imigrasi, recruitment, mortalitas), struktur dan fungsi
komunitas (diversitas spesies, perubahan hubungan predator — prey), dan fungsi
ekosistem (respirasi terhadap rasio fotosintesis, laju siklus nutrien, dan pola aliran
nutrien).
Rute masuknya polutan ke dalam lingkungan
1. Secara alami
a. Mengikuti daur biogeokimia
b. Pelapukan batuan
c. Aktivitas/letusan gunung berapi
2. Disebabkan aktivitas manusia
a. Pelepasan unintended (kecelakaan nuklir, penambangan, kecelakaan kapal)
b. Pembuangan berbagai jenis limbah ke lingkungan secara sengaja maupun
tidak sengaja
c. Aplikasi biocide dalam penanganan hama dan vektor
Gambar 3. Sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan serta respon
terhadap polutan pada organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem
(Francis 1994).
Minggu II
Contoh : emisi bahan kimia dari proses produksi yang kontinyu (kilang
minyak-oil refinery).
2. Block emissions
Emisi dengan laju aliran yang konstan pada waktu tertentu dan terdapat
interval waktu tanpa atau rendah emisi.
Contoh : emisi dari lalu lintas dalam sehari, pada jam sibuk, terjadi emisi
gas buangan kendaraan bermotor yang tinggi.
3. Peak emissions
Emisi polutan dalam jumlah besar, yang terjadi dalam waktu singkat, tetapi
jarak antar emisi dapat terjadi dalam waktu yang lama.
Contoh : emisi spent liquid setelah isolasi suatu substansi dalam batch
process.
B. Transpor
Setelah masuk ke dalam lingkungan, bahan kimia ditranspor dan dapat
ditransformasi menjadi bahan kimia yang lain. Transpor dapat terjadi dalam suatu
kompartemen, misalnya dalam udara atau tanah, atau antar kompartemen, antara
air udara, udara - tanah, dan air - tanah (Gambar 4).
Mekanisme transpor :
1. Transpor Intramedia (dalam suatu kompartemen)
Transpor intramedia terjadi dalam kompartemen yang mobile, yaitu air dan
udara, melalui mekanisme adveksi dan dispersi. Adveksi menyebabkan bahan
kimia berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, sebagai hasil aliran atau
pergerakan medium (kompartemen). Sedangkan dispersi menyebabkan
terjadi perpindahan bahan kimia, yang disertai dengan penurunan gradien
konsentrasi.
2. Transpor Intermedia (antar kompartemen)
Transpor intermedia jugs terjadi melalui mekanisme adveksi dan dispersi.
Proses adveksi terjadi jika suatu bahan kimia ditranspor dari suatu
kompartemen ke kompartemen lain oleh adanya physical carrier, misalnya
deposisi fog, raindrop, dan aerosol dari udara ke tanah atau air. Intermedia
dispersi terjadi seperti intramedia dispersi, misal volatilizasi dan absorpsi gas
(udara - air dan udara - tanah).
Gambar 6. Kow merupakan rasio konsentrasi bahan kimia dalam octanol dan
air pada saat ekuilibrium. Kow digunakan untuk estimasi
biokonsentrasi, sorption, dan toksisitas (Leeuwen and Hermens
1995).
3. Vapour pressure
The compound's tendency to evaporate into the air compartment to
affect partitioning and transport of chemicals between environmental media
(compartment).
4. Henry's law constant
Volatilization affect transport of chemicals between the air and water
compartment. Henry's law partitioning of a chemical between a gaseous
phase and a liquid phase Henry's law (H, Pa.m3/mol).
5. Stabilitas molekular
Molekul rekalsitran mempunyai resistensi (stabilitas) tinggi terhadap
transformasi biokimiawi dan mempunyai waktu paruh yang lama dalam biota,
tanah, sedimen, dan air.
Contoh : p,p' — DDE, dieldrin, beberapa PCB, dan dioxin.
C. Nasib (fate) polutan dalam Iingkungan
Polutan yang masuk ke dalam suatu Iingkungan dapat mengalami proses
abiotik dan biotik, yang dapat mengubah struktur kimiawi polutan tersebut.
1. Proses abiotik
a. Hidrolisis
Perubahan struktur kimiawi melalui reaksi dengan air secara langsung
b. Oksidasi
Proses transformasi, elektron ditransfer dari bahan kimia pada spesies
penerima elektron
c. Reduksi
Transfer elektron terjadi dari reduktan ke bahan kimia, untuk direduksi
d. Degradasi fotokimiawi
Transformasi melalui interaksi dengan cahaya
2. Proses biotik
a. Biodegradasi
Pemecahan (breakdown) suatu bahan kimia secara enzimatis
b. Biotransformasi
Konversi suatu bahan kimia menjadi satu atau lebih produk dengan
mekanisme biologis
Minggu IV
A. Individu
Polutan organik yang masuk ke dalam suatu ekosistem, dapat teruptake oleh
organisme, sebagai konsekuensi adanya mekanisme difusi pasif melalui natural
barrier (lipid bilayer). Sebagai contoh, masuknya polutan melalui dawn dan akar
tumbuhan; melalui kulit, saluran pencernaan, dan paru-paru pada vertebrate;
tracheae pada invertebrate terestrial, dan insang pada ikan.
Proses pergerakan polutan melalui lipid bilayer tergantung pada solubilitas
polutan. Polutan yang mempunyai keseimbangan antara solubilitas dalam lipid dan
air (Kow 1), akan dengan mullah melalui lipid bilayer. Selain itu, proses difusi
juga ditentukan fluiditas lipid bilayer. Pada suhu rendah, lipid bilayer kehilangan
fluiditas, sehingga proses difusi tidak terjadi.
Setelah melalui proses uptake, selanjutnya, polutan tersebut dapat mengalami
proses distribusi, metabolisme, dan penyimpanan dalam tubuh organisme serta
ekskresi dari tubuh organisme. Keseluruhan proses ini disebut toksikokinetik.
dimana :
X = O, COO or NH
UDPGA = uridine diphosphoglucuronic acid
GT = glucuronyltransferase
3. Ekskresi
Beberapa vertebrata akuatik dapat mengekskresikan polutan
lipofilik melalui difusi. Ikan dapat mengekskresikan polutan tersebut melalui
insang, sedangkan katak melalui kulit yang permeabel. Burung dan
mamalia air tidak mempunyai kulit yang permeabel, sehingga ekskresi
dilakukan melalui feses atau urin. Ekskresi polutan lipofilik melalui urin
merupakan hasil proses reaksi fase I dan II biotransformasi.
Minggu V
4. Konsep Model
Model tiruan ekosistem sebagai alat analisis
interaksi komponen dalam ekosistem
seharusnya tidak dipandang sebagai tujuan akhir dalam
studi ekologis
Model dan real (realita) dihubungkan melalui dua prosedur, yaitu abstraksi
dan interpretasi
abstraction
real system model
interpretation
Modelling strategy :
1. Select optimal level of complexity
2. Never plan model development for more than 1 year
3. Avoid the temptation to incorporate all available information into the model
4. Follow specific objectives, don't try to make a universal model
5. If possible, incorporate already existing models
Menurut Berg et al. (1995), Widianarko dan Straalen (1996), dan Hattum
(1995), peningkatan atau penurunan konsentrasi toksikan dalam organisme
akuatik dapat dinyatakan dalam fungsi waktu :
dCo/dt = kwCw - keCo (persamaan 1)
dimana,
Co = konsentrasi toksikan dalam tubuh organisme (mol/kg)
Cw = konsentrasi toksikan dalam air (mol/L)
kw = laju uptake toksikan (L/kg.d)
ke = laju eliminasi toksikan (l/d)
Bila organisme secara kontinu terdedah oleh suatu toksikan, maka
Laju uptake dapat diperoleh dari inisial uptake toksikan, dengan asumsi, tidak terjadi
eliminasi toksikan, sehingga
Co = kwCwt (persamaan 3)
Dalam t , e-ke.t mendekati nol, dan steady — state akan dicapai (dC o/dt = 0),
sehingga faktor biokonsentrasi (BCF) dapat ditentukan,
Rasio konsentrasi toksikan dalam organisme akuatik dan air (C o/Cw) (persamaan 4),
hanya merepresentasikan biokonsentrasi pada steady — state. Jika konsentrasi
dalam organisme dan air ditentukan sebelum steady— state diperoleh, maka rasio
Co/Cw akan mengunderestimate nilai BCF. Tetapi, jika rasio ditentukan dalam
kondisi, yaitu konsentrasi dalam air menurun lebih cepat dibandingkan konsentrasi
dalam organisme, maka rasio C o/Cw akan mengoverestimate nilai BCF.
Dalam lingkungan akuatik, organisme dapat mengalami pendedahan dalam
periode waktu yang pendek. Penghentian pendedahan dan penurunan
konsentrasi toksikan dalam air (atau C w = 0), akan menyebabkan toksikan
tereliminasi dari organisme. Laju eliminasi dapat ditentukan dari persamaan 1,
dengan C w = 0, sehingga akan menghasilkan penurunan konsentrasi toksikan
dalam organisme dan diperoleh persamaan
dimana, Co(t=0) merupakan konsentrasi toksikan dalam organisme, saat awal periode
eliminasi (mol/kg) (Berg et al. 1995).
Minggu VI
6. Toksikodinamik
Dalam tubuh organisme, polutan mengalami fase kinetik
(toksikokinetik) dan dinamik (toksikodinamik). Toksikodinamik merupakan
interaksi polutan dengan sel, jaringan atau organ, dalam bentuk respon
toksik. Fase dinamik dapat dibedakan menjadi
1. Reaksi polutan dengan reseptor atau organ target
2. Respon biokimiawi
3. Efek yang dapat diobservasi (Gambar 11)
Biochemical effect
Enzyme inhibition
Cell membrane disruption
Malfunction of protein biosynthesis
Disruption of lipid metabolism
Disruption of carbohydrate metabolism
Inhibition of respiration (02 utilization)
Behavioural or physiological response
Alteration of vital signs
Central nervous system
Teratogenesis
Mutagenesis
Carcinogenesis
Effects on immune system
2. Ekosistem daratan
Pestisida merupakan polutan penting dalam tanah pertanian. Polutan
tersebut langsung mengkontaminasi tanah atau melalui transfer residu dari
tanaman yang telah mengalami aplikasi pestisida.
Beberapa pestisida merupakan senyawa organik. Distribusi senyawa
organik tersebut dalam tanah tergantung pada solubilitas (Kow), vapour
pressure, dan stabilitas kimiawi. Polutan tersebut akan mengalami hidrolisis,
oksidasi, isomerasi, dan apabila terdapat di permukaan tanah akan
mengalami degradasi secara fotokimiawi. Degradasi tersebut umumnya
mengarah pada penurunan toksisitas, tetapi beberapa senyawa menjadi
bersifat lebih toksik, misalnya isomerasi senyawa organofosfat malathion
menjadi isomalathion. Senyawa yang bersifat polar mullah larut dalam soil
water dengan konsentrasi rendah dan cenderung secara kuat teradsorbsi
pada permukaan partikel tanah. Senyawa yang mempunyai vapour
pressure tinggi cenderung mengalami volatilisasi ke dalam soil water atau
atmosfer (Gambar 12). Pengikatan molekul organik (polutan) pada
permukaan koloid tanah membatasi pergerakan polutan dalam tanah dan
availibilitas pada organisme tanah.
Bioindikator
Respon yang diinduksi secara antropogenik, yang dikaji melalui parameter
biomolekular, biokimiawi atau fisiologis, yang dihubungkan dengan efek
biologis pada tingkat organisasi biologis, dari individu-ekosistem.
Biomarker
Respon biologis terhadap adanya polutan di lingkungan pada tingkat individu
pengukuran secara biokimiawi, fisiologis, histologis, dan morfologis.
Gambar 14. Kondisi fisiologis organisme terhadap adanya polutan pada tiap zona
stres. Indikator dalam zona stres 1 lebih sensitif terhadap polutan, sedangkan indikator
pada zona stres 3 kurang sensitif terhadap polutan, tetapi mempunyai relevansi
ekologis lebih tinggi (Anonymous 2001).
Tabel 5. Bioindikator dalam tiap zona stres (Anonymous 2001)
Zona stres 1 Zona stres 2 Zona stres 3
(paling sensitif) (moderately sensitive) (kurang sensitif)
Enzim detoksifikasi Bioenergetik Parameter populasi
Kerusakan DNA Sistem imunitas Parameter komunitas
Enzim antioksidan Pertumbuhan Perubahan rasio seks
Protein stres Parameter reproduksi Perubahan food web
Gambar 15. Efek langsung dan tidak langsung polutan terhadap organisme
(Anonymous 2001).
Kriteria pemilihan bioindikator (Anonymous 2001) :
1. Relevansi - hubungan kausal terhadap endpoints yang signifikan secara ekologis
2. Sensitivitas - responsiveness dosis terhadap stressor/polutan spesifik
3. Spesifisitas - respon terhadap stressor/polutan spesifik
4. Broad applicability - over temporal and spatial scales
5. Representativeness - role as surrogate for other responses
6. Variabilitas - variabilitas relatif rendah terhadap adanya gangguan dalam sistem
7. Biaya - reasonable for available resources and scope of study
Pendahuluan
Bivalvia air tawar mempunyai sejumlah atribut fisiologis, perilaku, life history
(sejarah hidup), dan anatomis, yang dapat digunakan sebagai indikator adanya polusi
logam yang masuk ke dalam ekosistem akuatik (Tabel 6).
Investigasi terhadap beberapa spesies bivalvia air tawar Australia, yaitu Velesunio
angasi, Velesunio ambiguus, dan Hyridella depressa, telah menunjukkan bahwa
spesies tersebut relevan untuk studi polusi logam, termasuk sebagai indikator dalam
monitoring tingkat (level) logam yang bioavailable dalam ekosistem akuatik.
Tabel 6. Atribut biologis bivalvia air tawar yang relevan dalam studi polusi
logam (Jeffree et al. 1995 : 33 — 41)
Atribut biologis Relevansi terhadap polusi logam
Fisiologis
Membran mempunyai permeabilitas Laju influx yang tinggi Ca dan
tinggi terhadap medium akuatik potensial logam yang analog dengan Ca ke dalam
jaringan, terjadi bioakumulasi
Granula kalsium fosfat ekstraseluler Logam yang mengalami bioakumulasi
terdeposit dalam jaringan dengan konsentrasi tinggi dalam
jaringan, mempunyai waktu paruh
biologis yang lama
Perilaku
Filtrasi air dalam volume yang besar Derajat kontak yang tinggi dengan
polutan dalam medium akuatik
Siklus hidup dan anatomi
Struktur cangkang berkapur Rekaman mengenai tingkat
terlaminasi, yang bertambah, dan logam bioavailable di lingkungan akuatik
berkaitan dengan panjangnya lama dalam periode panjang
hidup
Siklus hidup kompleks, memerlukan Probabilitas pemajanan (exposure) lebih
ikan sebagai host species, dan besar pada konsentrasi polutan yang
pemajanan tahap- tahap siklus hidup ditingkatkan dengan konsekuensi
pada media lingkungan yang berbeda mengganggu siklus hidup
Tabel 7. Respon protektif dan non protektif terhadap polutan (Walker et al 2001)
Tipe respon Contoh Konsekuensi
Induksi monooxygenases Peningkatan laju metabolisme
(mixed function oxidases- polutan menjadi lebih larut dalam air
Protektif MFO) dan peningkatan laju ekskresi
Induksi metallothionein Peningkatan laju pengikatan logam
untuk menurunkan bioavailibilitas
Penghambatan AChE Efek toksik timbul apabila terjadi
Non —
penghambatan AChE sebesar 50 %
protektif
Formasi DNA adduct Dapat menyebabkan mutasi
(Walker et al 2001)
Gambar 18. Jalur aktivasi dan detoksifikasi bahan kimia (Walker et al 2001).
Gambar 18 menunjukkan jalur aktivasi dan detoksifikasi bahan kimia.
Dalam gambar tersebut, bahan kimia dapat mengalami proses detoksifikasi dan
aktivasi yang dikatalisis oleh monooxigenase (MFO). Reaksi detoksifikasi yang
terjadi merupakan reaksi fase I biotransformasi.
+ + + ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ + +
−
Tabel 8. Beberapa spesifitas respon terhadap bahan kimia tertentu (Walker et al 2001)
Respon Biologis Bahan Kimia
Penghambatan ALAD (Amino- Lead
Laevulinic
Penghambatan siklus vitamin K
Acid Dehydratase) Anticoagulant rodenticides
Organophosphorous (OPs) compounds
Penghambatan AChE
and carbamates
Metallothionein
Gambar 22. Mekanisme aksi AChE. Dalam kondisi normal, asetilkolin berikatan
dengan asetilkolonesterase dan dihidrolisis menghasilkan asam
asetat dan kolin. Organofosfat mengikat gugus hidroksil, yang
menyebabkan enzim dihambat dan tidak dapat menghidrolisis
asetilkolin (Walker et al. 2001).
Minggu IX
Polutan/toksikan
Efek sublethal/lethal
populasi target
Interaksi antar spesies (hubungan predator-prey dan kompetisi)
Gambar 24. Efek toksikan pada interaksi antar spesies (Stine and Brown
1996: 189).
Minggu X
Pengujian toksisitas
Untuk mengevaluasi konsentrasi/dosis pencemar (toksikan) dan durasi
pendedahan, . yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek tertentu.
Organisme uji
1. mempunyai kisaran sensitifitas yang lebar
2. merepresentasikan kondisi Iingkungan yang tercemar
3. mudah diperoleh (melimpah)
4. mudah dipelihara dalam kondisi laboratorik, termasuk untuk culturing dan rearing.
1. Organisme Uji
a. Vertebrata, ikan : Cyprinus carpio dan Tilapia nilotica, tikus : Mus
musculus dan Rattus norvegicus
Efek aditif merupakan efek yang diharapkan akibat adanya pencampuran bahan
kimia. Sinergisme (greater than additive) terjadi apabila pencampuran bahan kimia
mengakibatkan peningkatan toksisitas atau efek toksik pada organisme. Sedangkan
antagonisme (less than additive) terjadi apabila pencampuran bahan kimia
mengakibatkan penurunan toksisitas pada organisme.
Dalam pengujian toksisitas campuran bahan kimia, efek aditif, sinergisme atau
antagonisme yang dihasilkan, dapat dipelajari dengan menghitung indeks aditif, melalui
pengujian toksisitas akut setiap bahan kimia, baik secara individu maupun campuran.
Pengujian secara campuran dengan memperhatikan konsep isobol, yaitu
menggunakan beberapa konsentrasi campuran dengan rasio tertentu. Selanjutnya,
hasil kedua pengujian tersebut dihitung dengan menggunakan rumus :
+ =
Keterangan :
i dan m toksisitas bahan kimia A dan B secara individu dan campuran
Apabila nilai :
S 1, maka indeks aditif = − 1.0
Gambar 26. Penentuan efek campuran bahan kimia. Titik 0 menunjukkan efek aditif
(Marking 1985).
Minggu XII
Toksisitas kronik merupakan potensi suatu bahan kimia untuk menimbulkan efek
merugikan pada organisme melalui masa pendedahan organisme secara terus
menerus dalam jangka waktu lama.
3. Organisme uji
a. Permasalahan menentukan jenis spesies yang akan digunakan dalam
pengujian toksisitas kronik
b. Organisme uji yang digunakan
1) Invertebrata, Daphnia magna, Mysidopsis bahia, Acartia tonsa,
Palaemonetes pugio, Gammarus pseudolimnaeus, Chironomus tentans,
Tanytarus dissimilis, Neanthes arenaceodentata, dan Capitella capitata.
2) Vertebrata, Pimephales promelas, Cyprinodon variegatus, Jordanella
floridae, dan Salvelinus fontinalis.
4. Tipe pengujian toksisitas kronik
a. Life - cycle toxicity test
Mengukur efek pendedahan kronik suatu bahan kimia pada reproduksi,
pertumbuhan, kesintasan, dan parameter lain, dalam satu atau lebih generasi
suatu populasi organisme uji.
b. Sensitive life stage test
Mengukur efek pendedahan kronik pada kesintasan dan pertumbuhan, scat
organisme uji berada pada tahapan siklus hidup yang paling sensitif.
c. Functional test
Mengukur efek bahan kimia pada fungsi biokimiawi atau fisiologis suata
organisme uji.
5. Desain Pengujian
a. Terdiri dari minimum 5 konsentrasi bahan kimia dan 1 kontrol negatif
b. Pemilihan konsentrasi berdasarkan hasil flow through acute toxicity
c. Konsentrasi yang digunakan berkisar 0.01 - 0.05 dari hasil pengujian akut
d. Sistem pendedahan dengan flow through
e. Hasil pengujian yang diharapkan konsentrasi bahan kimia yang tinggi dapat
menimbulkan efek merugikan, sesuai dengan kriteria spesifik (standar).
Sedangkan pada konsentrasi bahankimia yang rendah, efek (respon) yang
diharapkan sesuai dengan kontrol. Hal ini bertujuan untuk menentukan MATC
(Maximum Acceptable Toxicant Concentration - kisaran konsentrasi toksikan
yang menimbulkan efek merugikan), berdasarkan nilai NOEC (No Observed
Effect Concentration konsentrasi bahan kimia tertinggi yang secara statistik
tidak menyebab efek merugikan, dengan membandingkan kontrol) dan LOEC
(Low Observed Effect Concentration - konsentrasi bahan kimia terendah yang
secara statistik signifikan menyebabkan efek merugikan, dengan
membandingkan kontrol).
Tabel 9. Hasil pengukuran biologis pada pengujian toksisitas akut bahan kimia X
Minggu XIII
BIOMONITORING
Biomonitoring
Biomonitoring (pemantauan biologis) merupakan pengukuran dan evaluasi
kondisi sistem kehidupan (biota). Hasil kegiatan tersebut merupakan
parameter/metrik yang dapat memberikan gambaran kondisi sistem biologis,
dari tingkat individu ekosistem, dan jugs landscape (abiotik), terutama akibat
aktivitas manusia (Tabel 10).
Tabel 10. Tipe metrik (parameter) merefleksikan multidimensi sistem biologis (Karr and
Chu 1999 : 63)
Tipe metrik lndividu Populasi Komunitas Ekosistem Landscape
Kekayaan taksa v v v v
Toleransi,
v v
intoleransi
Struktur trofik v v v
Kesehatan
v
individu
Pendekatan
Biomonitoring merupakan "slat" untuk mempelajari dinamika suatu ekosistem,
balk secara meruang maupun mewaktu, sebagai usaha melindungi ekosistem dan
kepentingan manusia. Kegiatan pemantauan tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan parameter fisik, kimiawi, dan biologis. Usaha pemantauan secara fisik
dan kimiawi, relatif lebih mudah dan cepat diketahui, tetapi kurang memberikan
keakuratan mengenai kondisi atau masalah ekosistem yang sebenarnya. Penggunaan
organisme dalam pemantauan tersebut (biomonitoring) mempunyai kelebihan
dibandingkan jenis pemantauan yang lain, yaitu organisme sungai tertentu dapat
memberikan respon biologis, dari tingkat molekuler — komunitas, terhadap perubahan
yang terjadi dalam ekosistem.
Dalam kegiatan biomonitoring, respon biologis pada tingkat populasi dan
komunitas paling mudah dipelajari dibandingkan respon biokimiawi dan fisiologis,
meskipun respon pada tingkat tersebut merupakan respon yang diperoleh dalam
jangka waktu yang lebih lama dibandingkan respon biokimiawi atau fisiologis. Respon
tingkat komunitas, yaitu kekayaan taksa, jumlah genus dominan, jumlah total individu,
kesamaan dan keanekaragaman komunitas, merupakan jenis respon atau parameter
biologis yang umum digunakan dalam menilai atau merefleksikan kondisi suatu
ekosistem.
Usaha biomonitoring diawali dengan pemilihan jenis parameter/respon biologis
(metrik), dengan mempelajari respon biologis tingkat komunitas, pada berbagai
kondisi ekosistem. Jenis parameter biologis yang dipilih berdasarkan adanya
perubahan respon signifikan sejalan dengan perubahan kondisi ekosistem
(Gambar 27). Pemilihan tersebut melibatkan pemilihan bioindikator yang tepat,
yang dapat merefleksikan dinamika kondisi ekosistem.
Gambar 27. Pemilihan metrik dalam biomonitoring. Metrik A merupakan indikator yang baik untuk
biomonitoring, dibandingkan metrik B (Karr and Chu 1999 : 50).