Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH EKOTOKSIKOLOGI

Dosen Pengampu:

Dr. Ir. Edison Harteman, M.Si

Disusun oleh:

Yuliana Ambarita

CDA 118 016

PRODI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PALANGKARAYA

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadira Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
yang dilimpahkan kepada saya , sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
EKOTOKSIKOLOGI” pada waktunya. Makalah ini saya buat secara bersama-
sama dengan pola kerjasama satu sama lain.

saya menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari sempurna, hal
ini tidak lepas dari kurangnya pengetahuan serta pengalaman saya sebagai
penyusun makalah ini. Untuk itu saya dengan terbuka menerima segala kritik dan
saran.

saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah


wawasan bagi kita semua khususnya bagi teman-teman mahasiswa Universitas
Palangkaraya jurusan perikanan.

Palangkaraya.November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................3

1.2 Tujuan Penulisan.............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................4

2.1 Pengertian Bahan Organik...............................................................................4

2.2 Bahan Dasar Bahan Organik...........................................................................17


2.3 Daur Bahan Organik........................................................................................22

BAB III PENUTUP............................................................................................25

3.1 Kesimpulan......................................................................................................25

3.2 Saran................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Butler, 1987 dalam Principles of Ecotoxicology, ekotoksikologi


adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada mahluk hidup,
khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan masuknya
agen dan interaksi dengan lingkungan . Sedangkan menurut Andhika Puspito
Nugroho, M.Si dalam buku ajar Ekotoksikologi , ekotoksikologi mempelajari efek
toksik substansi (substances) pada non human species dalam suatu kompleks
sistem (system).

Gambar 1. 1 Ekotoksikologi merupakan studi multidisipliner mengenai efek toksik substansi pada
species dalam kompleks system (Leuween 1995 dalam Buku Ajar Andhika Puspito Nugroho,
M.Si).

Adanya polutan dalam suatu lingkungan (ekosistem), dalam waktu


singkat, dapat menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya
perubahan tersebut dapat mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon
organisme, perubahan populasi, komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem.
Perubahan biokimiawi sampai dengan ekosistem menunjukkan adanya
peningkatan waktu respon terhadap bahan kimia, peningkatan kesulitan untuk

1
mengetahui hubungan respon dengan bahan kimia spesifik, dan increasing
importance.

Gambar 1. 2 Sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan serta respon terhadap polutan
pada organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem (Francis 1994 dalam Buku Ajar Andhika
Puspito Nugroho, M.Si).

Berdasarkan gambar 1.2 di atas, polutan dilepaskan dari sumber polutan


ke dalam ekosistem, selanjutnya mengalami proses distribusi dan transpor melalui
daur atau siklus biogeokimia serta mengalami transformasi, balk secara fisik atau
biologis. Polutan tersebut kemudian dapat diuptake oleh organisme dan dapat
menyebabkan efek lethal (kematian) dan sublethal. Dalam tubuh organisme,
polutan dapat mengalami biotransformasi dan bioakumulasi. Selanjutnya, terjadi
perubahan karakteristik dan dinamika populasi (reproduksi, imigrasi, recruitment,
mortalitas), struktur dan fungsi komunitas (diversitas spesies, perubahan
hubungan predator — prey), dan fungsi ekosistem (respirasi terhadap rasio
fotosintesis, laju siklus nutrien, dan pola aliran nutrien).

2
Masuknya polutan ke dalam lingkungan terbagi 2 yaitu secara alami dan
sumber dari aktivitas manusia. Secara alami dapat dari daur biogeokimia dan
pelapukan batuan, sedangkan yang disebabkan aktivitas manusia dapat dari
pelepasan unintended (kecelakaan nuklir, penambangan, kecelakaan kapal),
pembuangan berbagai jenis limbah ke lingkungan secara sengaja maupun tidak
sengaja dan aplikasi biocide dalam penanganan hama dan vector (Nugroho,2004).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan ekotoksikologi dalam penetapan baku mutu kualitas


lingkungan ?
2. Bagaimana penerapan ekotoksikologi pada rekayasa teknologi dalam
lingkungan ?
3. Bagaimana penerapan ekotoksikologi dalam biomonitoring ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui penerapan ekotoksikologi dalam penetapan baku mutu


kualitas lingkungan.
2. Mengetahui penerapan ekotoksikologi pada rekayasa teknologi dalam
lingkungan.
3. Mengetahui penerapan ekotoksikologi dalam biomonitoring .

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Penerapan Ekotoksikologi dalam Penetapan Baku mutu Kualitas


Lingkungan.

Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik


pada mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem,
termasuk jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan. Pengaruh
pengaruh racun dapat berupa letalitas (mortalitas) serta pengaruh subletal seperti

4
gangguan pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, tanggapan farmakokinetik,
patologi, biokimia, fisiologi, dan tingkah laku (Butler, 1987).

Dengan mempelajari ekotoksikologi dapat diketahui keberadaan


polutan dalam suatu lingkungan (ekosistem) yang dalam waktu singkat, dapat
menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya perubahan
tersebut dapat mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon organisme,
perubahan populasi, komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem. Perubahan
biokimiawi sampai dengan ekosistem menunjukkan adanya peningkatan waktu
respon terhadap bahan kimia, peningkatan kesulitan untuk mengetahui hubungan
respon dengan bahan kimia spesifik, dan increasing importance (Puspito,2004).

Pengangkutan dan perubahan bentuk bahan toksik di lingkungan baik


di udara, air, tanah maupun dalam tubuh organisme (merupakan bagian utama
penyususn ekosfer bumi) sangat dipengaruhi oleh sifat fisika-kimia bahan
tersebut. Perilaku serta pengaruh bahan toksik di lingkungan berhubungan dengan
dinamika keempat bagian utama penyusun ekosfer tersebut. Bahan toksik yang
ada di lingkungan pada umumnya mengalami perpindahan dari satu bagian utama
ekosfer ke bagian utama ekosfer lainnya. Perpindahan atau transformasi bahan
toksik di lingkungan dapat berupa transformasi fisik, kimia dan biologik
(Puspito,2004).

Transformasi atau perpindahan bahan toksik di lingkungan yang


terjadi secara fisik antara lain dapat melalui proses: perpindahan meteorologik,
pengambilan biologik, penyerapan, volatilisasi, aliran, pencucian dan jatuhan.
Transformasi kimia dapat melalui proses fotolisis, oksidasi, hidrolisis dan reduksi,
sedangkan transformasi biologik berlangsung melalui proses biotransformasi.
Penyebaran bahan toksik di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sejumlah
proses pengangkutan seperti evaporasi (penguapan), presipitasi, pencucian dan
aliran. Penguapan akan menurunkan konsentrasi bahan toksik dalam air,
sedangkan presipitasi, pencucian dan aliran cenderung meningkatkan konsentrasi
bahan toksik. (Connel dan Miller, 1995).

5
Dalam ekotosikologi diketahui bahan bahan toksik yang berupa
senyawa kimia organik yang dapat bersifat toksik atau menimbulkan pengaruh
merugikan lingkungan perairan antara lain: protein, karbohidrat, lemak dan
minyak, pewarna, asam-asam organik, fenol, deterjen dan pestisida organik.
Pengaruh negatif senyawa kimia organik terhadap organisme perairan dipengaruhi
oleh banyak faktor, seperti konsentrasi senyawa kimia, kualitas fisika-kimia air,
jenis, stadia dan kondisi organisme air serta lama organisme terpapar senyawa
kimia tersebut (Aryani et al., 2004).

Berikut ini adalah bahan-bahan senyawa kimia organic dan efeknya


terhadap lingkungan :

 Protein

Kehadiran senyawa protein di dalam badan perairan berasal dari


sampah domestik dan buangan industri. Beberapa jenis industri yang
mengeluarkan buangan mengandung protein antara lain: industri susu,
mentega, keju, pengolahan makanan/minuman, tekstil, penyamakan kulit dan
industri pertanian. Kehadiran protein di lingkungan perairan umumnya tidak
langsung bersifat toksik tetapi dapat menimbulkan pengaruh atau efek
negatif, antara lain terbentuknya media pertumbuhan berbagai organisme
patogen, menimbulkan bau tidak sedap dan meningkatkan kebutuhan BOD
(Biological Oxygen Demand) (Dix, 1981).

 Karbohidrat

Selain berasal dari sampah domestik, karbohidrat juga dapat berasal


dari buangan industri. Masuknya karbohidrat ke dalam air dapat
menyebabkan peningkatan BOD dan menimbulkan warna pada air.

6
 Lemak dan minyak

Buangan yang mengandung lemak dan minyak dapat berasal dari


berbagai kegiatan industri. Perairan laut juga dapat kemasukan minyak yang
berasal dari pengoperasian kapal, kilang minyak, sisa pembakaran bahan
bakar minyak di atmosfer yang jatuh bersama air hujan, buangan industri,
limbah perkotaan, kecelakaan kapal tanker serta pecah atau bocornya sumber
minyak lepas pantai (Laws, 1981).

Seperti halnya dampak masuknya senyawa protein dan


karbohidrat ke dalam lingkungan perairan, senyawa lemak dan minyak juga
dapat berpengaruh negatip terhadap kehidupan akuatik. Adanya lemak dan
minyak dalam badan air dapat menyebabkan peningkatan turbiditas air
sehingga mengurangi ketersediaan cahaya yang sangat diperlukan organisme
fotosintetik di dalam air. Disamping itu, molekul lemak dan minyak
berukuran besar akan mengendap di dasar perairan sehingga dapat
mengganggu aktivitas serta merusak kehidupan bentos dan daerah pemijahan
ikan (spawning ground) dan meningkatkan BOD.

 Pewarna

Terdapatnya pewarna dalam suatu perairan antara lain berasal dari


buangan industri (tekstil, penyamakan kulit, kertas dan industri bahan kimia).

7
Menurut Santaniello (1971) warna air yang Iebih dari 50 unit akan membatasi
aktivitas organisme fotosintetik sehingga akan mengurangi kandungan
oksigen terlarut atau DO (Dissolved Oxygen) serta mengganggu kehidupan
berbagai organisme air.

 Asam-asam organik

Asam-asam organik berada dalam air antara lain dapat berasal dari
buangan industri (bahan kimia dan industri pertanian). Keberadaan senyawa
asam organik dapat menyebabkan penurunan derajat keasaman (pH) air dan
pada nilai pH tertentu (acid dead point) dapat mengakibatkan kematian ikan
maupun organisme air lainnya.

 Fenol

Fenol dapat terkandung dalam limbah berbagai industri seperti:


industri tekstil, bahan kimia, petrokimia, minyak dan industri metalurgi.

 Deterjen

Terdapatnya deterjen dalam suatu perairan dapat berasal dari


buangan rumah tangga dan industri (susu, mentega, keju, tekstil, dan industri
pertanian). Nickless (1975) menyatakan bahwa sebagian besar deterjen dapat
menimbulkan dampak negatip terhadap ekosistem perairan yaitu dapat
menghambat aktivitas atau bahkan membunuh berbagai jenis

8
mikroorganisme. Selain itu, deterjen juga menyebabkan pengkayaan nutrien
pada suatu badan air sehingga dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi
yang sangat merugikan lingkungan perairan.

 Pestisida organic

Pestisida organik yang masuk ke dalam lingkungan air dapat berasal


dari aktivitas pertanian, perkebunan dan dari buangan industri pengolahan
makanan/ minuman. Diantara sejumlah besar pestisida yang diproduksi dan
diperdagangkan, yang paling banyak digunakan masyarakat yaitu pestisida
yang termasuk golongan organoklorin dan organoposfat. Pestisida
organoklorin sangat berbahaya karena mempunyai toksisitas bersifat kronik,
stabil, dan tahan urai dalam lingkungan. Salah satu contoh organoklorin yang
sangat berbahaya yaitu DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloro-ethane). Jenis
pestisida yang pertama kali dibuat oleh Zeidler pada tahun 1874 tersebut
apabila berada dalam air mempunyai waktu paruh antara 2,5-5 tahun tetapi
residunya dapat bertahan hingga lebih dari 25 tahun.

Pestisida yang tahan urai seperti DDT dapat terakumulasi dalam


rantai makanan (biomagnification) sehingga dalam tubuh udang dan ikan
dapat mengandung konsentrasi pestisida sebanyak 1000-10.000 kali lebih
besar daripada yang terkandung dalam perairan di sekelilingnya. Hewan yang
di dalam rantai makanan mempunyai arcs trofik (trophic level) lebih tinggi
seperti burung, anjing laut, dan lumba-lumba dapat mengandung hingga 55
ppm DDT dalam jaringan Iemaknya. Berdasarkan penelitian menunjukkan
kandungan DDT dalam jaringan lemak tubuh manusia di berbagai negara
besarnya sangat bervariasi, misalnya: di Inggris lebih kurang 1 ppm, di
Amerika Serikat lebih kurang 2 ppm, dan di India dapat lebih tinggi dari 10
ppm (Benn & McAuliffe 1975).

9
Selain itu, bahan-bahan anorganik juga dapat menjadi toksik dila
melebihi konsentrasi tertentu dalam lingkungan. Berikut ini adalah bahan-bahan
toksik yang berupa senyawa kimia anorganik :

 Asam dan alkali

Asam dan alkali dapat berasal dari buangan industri tekstil, bahan
kimia, rekayasa dan industri metalurgi. Asam dan alkali jika masuk ke dalam
tubuh organisme dapat mempengaruhi aktivitas berbagai enzim sehingga
menimbulkan gangguan fisiologik, membinasakan organisme serta
mempengaruhi Jaya racun atau toksisitas zat toksik lainnya.

 Logam dan garam-garam logam

Berbagai unsur logam dan garam logam yang ada dapat berasal dari
pelapukan tanah atau batuan, letusan volkanik, penambangan dan industri
(penyamakan kulit, kertas, bahan kimia, rekayasa, metalurgi dan industri
pertanian). Dalam jumlah kecil beberapa jenis logam tertentu memang
diperlukan organisme tetapi dalam konsentrasi tinggi semua jenis logam
bersifat toksik. Logam-logam berat, yaitu unsur logam yang mempunyai
massa atom lebih dari 20 seperti: besi (Fe), timbal (Pb), merkuri (Hg),
kadmium (Cd), seng (Zn), tembaga (Cu), nikel (Ni) dan arsen (As) umumnya
berpengaruh buruk terhadap proses-proses biologi.

Beberapa dampak keracunan logam berat antara lain:

10
1) Bereaksinya kation logam berat dengan fraksi tertentu pada mukosa
insang sehingga insang terselaputi oleh gumpalan lendir-logam berat dan
hal tersebut dapat mengakibatkan organisme air mati lemas.
2) Keracunan fisiologik karena logam berat berikatan dengan enzim yang
berperanan penting dalam metabolisme.
3) Merkuri (Hg) dan timbal (Pb) dapat berikatan dengan gugus sulfhidril (-
SH) dalam protein sehingga akan mengubah bagian-bagian katalitik
suatu enzim.
4) Merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd) dan tembaga (Cu) dapat
menghambat pembentukan ATP dalam mitokondria serta dapat berikatan
dengan membran sel sehingga mengganggu proses transpor ion antar sel.
5) Seng (Zn) dapat menghambat kerja sistem sitokrom dalam mitokondria
karena terganggunya transpor elektron antar sitokrom-b dan sitokrom-c.
6) Timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dapat menggantikan kedudukan Ca
dalam tulang sehingga menyebabkan terjadinya kerapuhan tulang
7) Timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg) dan krom (Cr) dapat
terakumulasi dalam hati (hepar) dan ginjal (ren) sehingga dapat
menyebabkan kerusakan dan gangguan fungsi kedua organ tersebut
8) Merkuri (Hg), timbal (Pb) dan tembaga (Cu) dapat mengakibatkan
kerusakan otak dan sistem saraf tepi (Dix, 1981).

 Posfat dan nitrat

Posfat dan nitrat dapat berasal dari erosi dan dekomposisi sisa-sisa
bahan organik serta industri (susu/mentega/keju, bahan kimia, tungku kokas,
rekayasa, metalurgi, dan industri pertanian). Akibat masuknya posfat dan
nitrat ke dalam lingkungan perairan antara lain:

1) Eutrofikasi yang dicirikan oleh tingginya produksi biologik antara lain


berupa ledakan komunitas alga (algal blooms). Jika suatu perairan

11
dipenuhi oleh tumbuhan air baik makrofita maupun mikrofita (plankton),
maka hal tersebut akan mengurangi penetrasi cahaya dan menghalangi
proses difusi oksigen dari udara ke dalam air. Kematian massal algae
yang diikuti dengan perombakan biologik akan menyebabkan terjadinya
defisiensi oksigen terlarut dan menimbulkan bau tidak sedap.
2) Dalam usus manusia beberapa jenis bakteri dapat mereduksi nitrat
menjadi nitrit yang dapat berikatan dengan haemoglobin (Hb)
membentuk methaemoglobin. Dengan terbentuknya methaemoglobin
dalam darah akan menyebabkan penurunan kapasitas angkut 02 oleh
darah. Jika penurunan kemampuan darah mengangkut oksigen tersebut
terus berlanjut dan makin parch, maka dapat menyebabkan anoksia
(methaemoglobin anemia atau penyakit blue baby).
3) Dalam tubuh manusia nitrit dapat mengalami perubahan lebih lanjut
menjadi amin atau nitrosamin yang dapat merangsang timbulnya kanker
perut.

 Garam-garam lain

Berbagai senyawa garam yang masuk ke dalam air dapat berasal dari
buangan industri (susu/mentega/keju, tekstil, penyamakan kulit, kertas dan
industri bahan kimia).

 Obat pengelantang (bleaches)

Obat pengelantang dengan rumus kimia Ca (C10)2 banyak


terkandung dalam buangan industri tekstil, kertas dan laundry.

12
 Sianida dan sianat

Sianida dan sianat di suatu perairan dapat berasal dari buangan


industri. Sianida dan sianat bersifat sangat toksik, terutama pada pH rendah
dan merupakan racun pernafasan yang sangat mematikan. Reaksi CN dengan
logam akan menghasilkan senyawa yang sangat beracun.

 Kromat

Masuknya kromat ke dalam lingkungan perairan dapat berasal dari


buangan berbagai jenis industri seperti penyamakan kulit, petrokimia,
metalurgi dan industri rekayasa. Toksisitas kromat umumnya tidak setoksik
kation logam berat lainnya. Kromium (Cr) bervalensi 6 (kromat atau
dikromat) toksisitasnya tidak seakut kromium bervalensi 3 (garam-garam
kromium).

 Mineral (lempung dan tanah)

Mineral yang terkandung dalam partikel-partikel lempung dan tanah


yang masuk ke dalam perairan dapat berasal dari buangan industri seperti
industri pengolahan makanan/minuman, kertas dan industri pertanian.

13
Berdasarkan uraian diatas diketahui zat-zat yang dapat menimbulkan
dampak negative apabila jumlah atau konsentrasinya di lingkungan telah melebihi
baku mutu. Salah satu upaya untuk menanggulangi pencemaran lingkungan perlu
baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan adalah ambang batas atau batas
kadar maksimum suatu zat atau komponen yang diperbolehkan berada di
lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negative. UU RI No. 23 tahun 1997
tentang pengelolaan lingkungan hidup mendefinisikan baku mutu lingkungan
sebagai ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energy, atau komponen yang
ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

Menurut pengertian secara pokok, baku mutu adalah peraturan


pemerintah yang harus dilaksanakan yang berisi spesifikasi dari jumlah bahan
pencemar yang boleh dibuang atau jumlah kandungan yang boleh berada dalam
media ambien. Secara objektif, baku mutu merupakan sasaran ke arah mana suatu
pengelolaan lingkungan ditujukan. Kriteria baku mutu adalah kompilasi atau hasil
dari suatu pengolahan data ilmiah yang akan digunakan untuk menentukan apakah
suatu kualitas air atau udara yang ada dapat digunakan sesuai objektif penggunaan
tertentu.

Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh


berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian
terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
Salah satu cara penetapan baku mutu lingkungan dilakukan melalui uji toksisitas.
Adanya peraturan perundangan (nasional maupun daerah) yang mengatur baku
mutu serta peruntukan lingkungan memungkinkan pengendalian pencemaran
lebih efektif karena toleransi dan atau keberadaan unsur pencemar dalam media
(maupun limbah) dapat ditentukan apakah masih dalam batas toleransi di bawah
nilai ambang batas (NAB) atau telah melampaui.

14
2.1.1 Prosedur Penetapan Baku Mutu Kualitas Lingkungan

Apabila pada suatu saat ada industri yang membuang limbahnya ke


lingkungan dan telah memenuhi baku mutu lingkungan, tetapi kualitas lingkungan
tersebut mengganggu kehidupan manusia, maka yang dipersalahkan bukan
industrinya. Apabila hal tersebut terjadi, maka baku mutu lingkungannya yang
perlu dilihat kembali, hal ini mengingat penjelasan dari Undang-undang No. 4
Tahun 1984 Pasal 15, seperti tersebut di atas.

Adapun langkah-langkah penyusunan baku mutu lingkungan:

1) Identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang harus
dilindungi (objektif sumber daya tersebut tercapai).
2) Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan
pengolahan dari berbagai informasi ilmiah.
3) Merumuskan baku mutu ambien dari hasil penyusunan kriteria.
4) Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dilepas ke dalam lingkungan
yang akan menghasilkan keadaan kualitas baku mutu ambien yang telah
ditetapkan.
5) Membentuk program pemantauan dan penyempurnaan untuk menilai apakah
objektif yang telah ditetapkan tercapai.

2.1.2 Jenis-Jenis Baku Mutu Lingkungan

Sehubungan dengan fungsi baku mutu lingkungan maka dalam hal


menentukan apakah telah terjadi pencemaran dari kegiatan industri atau pabrik
dipergunakan dua buah sistem baku mutu lingkungan yaitu:

 Effluent Standard, merupakan kadar maksimum limbah yang diperbolehkan


untuk dibuang ke lingkungan.

15
 Stream Standard, merupakan batas kadar untuk sumberdaya tertentu, seperti
sungai, waduk, dan danau. Kadar yang diterapkan ini didasarkan pada
kemampuan sumberdaya beserta sifat peruntukannya. Misalnya batas kadar
badan air untuk air minum akan berlainan dengan batas kadar bagi badan air
untuk pertanian.

Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam


keputusannya No. KEP-03/MENKLH/II/1991 telah menetapkan baku mutu air
pada sumber air, baku mutu limbah cair, baku mutu udara ambien, baku mutu
udara emisi dan baku mutu air laut.

Dalam keputusan tersebut yang dimaksud dengan:

 Baku mutu air pada sumber air, disingkat baku mutu air, adalah batas kadar
yang diperolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam air, namun
air tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
 Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada
sumber air, sehingga tidak menyebabkan dilampauinya baku mutu air.
 Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan
terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan benda.
 Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara,
sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien.
 Baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain yang ada atau harus ada, dan zat atau bahan pencemar yang
ditenggang adanya dalam air laut.

16
2.1.3. Baku Mutu Air dan Limbah Cair

Baku mutu air telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Kriteria
mutu air diterapkan untuk menentukan kebijaksanaan perlindungan sumberdaya
air dalam jangka panjang, sedangkan baku mutu air limbah (effluent standard)
dipergunakan untuk perencanaan, perizinan, dan pengawasan mutu air limbah dan
pelbagai sektor seperti pertambangan dan lain-lain. Kriteria kualitas sumber air di
Indonesia ditetapkan berdasarkan pemanfaatan sumber-sumber air tersebut dan
mutu yang ditetapkan berdasarkan karakteristik suatu sumber air penampungan
tersebut dan pemanfaatannya. Badan air dapat digolongkan menjadi 5, yaitu:

 Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara
langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.
 Golongan B, yaitu air baku yang baik untuk air minum dan rumah tangga dan
dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk
golongan A.
 Golongan C, yaitu air yang baik untuk keperluan perikanan dan peternakan,
dan dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk
keperluan tersebut pada golongan A dan B.
 Golongan D, yaitu air yang baik untuk keperluan pertanian dan dapat
dipergunakan untuk perkantoran, industri, listrik tenaga air, dan untuk
keperluan lainnya, tetapi tidak sesuai untuk keperluan A, B, dan C.
 Golongan E, yaitu air yang tidak sesuai untuk keperluan tersebut dalam
golongan A, B, C, dan D.

Untuk melindungi sumber air sesuai dengan kegunaannya, maka perlu


ditetapkan baku mutu limbah cair dengan berpedoman kepada alternatif baku
mutu limbah cair yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENKLH/II/1991. Baku
mutu limbah cair tersebut ditetapkan oleh gubernur dengan memperhitungkan
beban maksimum yang dapat diterima air pada sumber air.

17
Baku mutu air dan baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan oleh
gubernur dimaksudkan untuk melindungi peruntukan air di daerahnya. Dengan
demikian harus diperhatikan dalam setiap kegiatan yang menghasilkan limbah cair
dan yang membuang limbah cair tersebut ke dalam air pada sumber air. Limbah
cair harus memenuhi persyaratan:

1) Mutu limbah cair yang dibuang ke dalam air pada sumber air tidak boleh
melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan.
2) Tidak mengakibatkan turunnya kualitas air pada sumber air penerima limbah.

Hal tersebut mengharuskan agar setiap pembuangan limbah cair ke dalam air pada
sumber air, mencantumkan kuantitas dan kualitas limbah.

2.1.4. Baku Mutu Udara


Baku mutu udara ambien dan emisi ditetapkan dengan maksud untuk
melindungi kualitas udara di suatu daerah. Baku mutu udara ambien dan emisi
limbah gas yang dibuang ke udara harus mencantumkan secara jelas dalam izin
pembuangan gas. Semua kegiatan yang membuang limbah gas ke udara
ditetapkan mutu emisinya dalam pengertian:

1. Mutu emisi dari limbah gas yang dibuang ke udara tidak melampaui baku mutu
udara emisi yang telah ditetapkan.

2. Tidak menyebabkan turunnya kualitas udara.


Tabel 2. 1 Baku Mutu Udara Ambien Nasional

No Parameter Waktu Baku Mutu Metode Peralatan


. Pengukura Analisis
n

18
1 SO2 1 Jam 900 ug/Nm3 Pararosanilin Spektrofotomete
r
(Sulfur 24 Jam 365 ug/Nm3
Dioksida)
1 Thn 60 ug/Nm3
2 CO 1 Jam 30.000 NDIR NDIR Analyzer
ug/Nm3
(Karbon 24 Jam 10.000
Monoksida) ug/Nm3
1 Thn -
3 NO2 1 Jam 400 ug/Nm3 Saltzman Spektrofotomete
r
3
(Nitrogen 24 Jam 150 ug/Nm
Dioksida)
1 Thn 100 ug/Nm3
4 O3 1 Jam 235 ug/Nm3 Chemilumines Spektrofotomete
cent r
3
(Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm
5 HC 3 Jam 160 ug/Nm3 Flame Gas
Ionization
(Hidro Chromatogarfi
Karbon)
6 PM10 24 Jam 150 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Partikel < 10
um )
PM2,5 (*) 24 Jam 65 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Partikel < 2,5 1 Thn 15 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
um )
7 TSP 24 Jam 230 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Debu) 1 Thn 90 ug/Nm3
8 Pb 24 Jam 2 ug/Nm3 Gravimetric Hi � Vol
(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm3 Ekstraktif
Pengabuan AAS
9. Dustfall 30 hari
(Debu Jatuh ) 10 Gravimetric Cannister
Ton/km2/Bul
an
(Pemukiman)
20
Ton/km2/Bul

19
an
(Industri)
10 Total Fluorides 24 Jam 3 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau
(as F)
90 hari 0,5 ug/Nm3 Electrode Countinous
Analyzer
11. Fluor Indeks 30 hari 40 u g/100 Colourimetric Limed Filter
cm2 dari Paper
kertas limed
filter
12. Khlorine & 24 Jam 150 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau
Khlorine Electrode Countinous
Dioksida Analyzer
13. Sulphat Indeks 30 hari 1 mg Colourimetric Lead
SO3/100 cm3
Dari Lead Peroxida Candle
Peroksida

Sumber : PP No. 41/199 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.Catatan :


Nomor 10 s/d 13 Hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia
Dasar Contoh : - Industri Petro Kimia  - Industri Pembuatan Asam Sulfat.

2.2 Penerapan Ekotoksikologi Pada Rekayasa Teknologi dalam Lingkungan


Teknologi dapat didefinisikan teknik yang bersumber dari keadaan
pengetahuan manusia saat ini tentang bagaimana cara untuk memadukan sumber-
sumber, guna menghasilkan produk-produk yang dikehendaki, menyelesaikan
masalah, memenuhi kebutuhan, atau memuaskan keinginan , meliputi metode
teknis, keterampilan, proses, teknik, perangkat dan bahan mentah. Rekayasa
adalah proses berorientasi tujuan dari perancangan dan pembuatan peralatan dan

20
sistem untuk mengeksploitasi fenomena alam dalam konteks praktis bagi manusia,
seringkali menggunakan hasil-hasil dan teknik-teknik dari ilmu. Teknologi
seringkali merupakan konsekuensi dari ilmu dan rekayasa.

Salah satu contoh rekayasa teknologi dalam lingkungan yaitu


fitoremediasi, fitotoksikologi, bioremediasi dan lain-lain.

Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation. Kata ini


sendiri tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani
phyton yaitu tumbuhan dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium
yang berarti menyembuhkan. Fitoremediasi berarti juga menyelesaikan masalah
dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan. Dengan demikian
fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk
meminimalisasi dan mendetoksifikasi bahan pencemar, karena tanaman
mempunyai kemampuan menyerap logam-logam berat dan mineral yang tinggi
atau sebagai fitoakumulator dan fotochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan dan
mikroorganisme untuk meremediasi tanah terkontaminasi bahan pencemar adalah
pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat
diaplikasikan pada limbah organik maupun anorganik juga unsur logam
(As,Cd,Cr,Hg,Pb,Zn,Ni dan Cu) dalam bentuk padat, cair dan gas
(Darliana,2009).

Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik


dengan cara biokimia dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritive
organik yang dilakukan pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan
dimetabolisme atau diimobolisasi melalui sejumlah proses termasuk reaksi
oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis. Mekanisme fisiologi fitoremediasi
dibagi menjadi :

1. Fitoekstraksi : pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi bahan pencemar


untuk memindahkan logam berat atau senyawa organik dari tanah dengan
cara mengakumulasikannya di bagian tumbuhan yang dapat dipanen.

21
2. Fitodegradasi : pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme untuk
mendegradasi senyawa organik.
3. Rhizofiltrasi : pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap bahan
pencemar, terutama logam berat, dari air dan aliran limbah.
4. Fitostabilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi bahan pencemar
dalam lingkungan.
5. Fitovolatilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan bahan
pencemar, atau pemanfaatan tumbuhan untuk memindahkan bahan
pencemar dari udara (Darliana,2009).

Menurut Corseuil & Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam


menghadapi bahan pencemar beracun adalah :

1. Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada


tanaman musiman, tanaman dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada
musim yang cocok.
2. Ekslusi, yaitu tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan
mencegah penyerapan sehingga tidak mengalami keracunan.
3. Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi
berusaha meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukan
khelat (chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
4. Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat
berfungsi pada konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim

Tingkat pencemaran logam berat dalam tanah sebagai akibat kegiatan


manusia yang tidak terkendali tampak pula dari hasil penelitian di sekitar kawasan
industri. Di daerah yang kegiatan industrinya menonjol dan telah berlangsung
dalam jangka lama tingkat pencemaran timbal dan kromium di tanah
masingmasing mencapai 206-449 mg/kg dan 56-266 mg/kg. Sebaliknya, di
wilayah suburban yang jauh dari kegiatan industri kadar timbal dan kromium di
tanah hanya sebesar 24 dan 1 mg/kg. Konsentrasi logam berat yang tinggi di

22
dalam tanah dapat masuk ke dalam rantai makanan dan berpengaruh buruk pada
organism (Darliana,2009).

Di kawasan industri, kadar Cd setinggi 10 mg/kg ditemukan di dalam


ginjal tikus, sedangkan kadar Cd di dalam ginjal dan hati rusa adalah 5 kali lebih
tinggi daripada yang ditemukan di tubuh rusa yang hidup di daerah 180 km
kawasan industri. Demikian pula ditemukan, bahwa kadar seng yang tinggi di
tanah bekas penambangan logam mengakibatkan reduksi produksi kedelai hingga
40%. Tindakan pemulihan (remediasi) perlu dilakukan agar lahan yang tercemar
dapat digunakan kembali untuk berbagai kegiatan secara aman. Di samping
metode remediasi yang biasa digunakan yang berbasis pada rekayasa fisik dan
kimia, pada satu atau dua dasawarsa terakhir ini perhatian peneliti dan perusahaan
komersial serta industri terhadap penggunaan tumbuhan sebagai agensia
pembersih lingkungan tercemar telah meningkat, diharapkan pemulihan dengan
menggunakan organisme hidup dapat dijadikan alternatif teknologi untuk
pemulihan lingkungan (Darliana,2009).

Untuk prosfek dari fitoremediasi ,walaupun teknologi fitoremediasi masih


dalam tahap perkembangan dan banyak hal belum terjawab, penerapan teknologi
fitoremediasi untuk pemulihan lingkungan merupakan alternatif terbaik saat ini
karena biaya yang relatif murah dibanding dengan teknologi berbasis fisika dan
kimia.Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan dan mikroorganisme
yang besar. Dalam suatu pertemuan yang diadakan di LIPI, Bandung, sebuah tim
peneliti dari Inggris mengungkapkan bahwa mereka berhasil mengisolasi >120
jenis mikroorganisme dari segumpal tanah yang mereka peroleh dari lantai hutan
di Ujung Kulon. Dan beberapa di antara mikroorganisme tersebut mempunyai
kemampuan untuk mendegradasi xenobiotika seperti senyawa organik aromatik
berkhlor. Hal ini menunjukkan potensi alam Indonesia yang perlu dimanfaatkan
(Darlina,2009).

Dalam hubungannya dengan pemanfaatan tumbuhan sebagai agensia


pemulihan lingkungan tercemar, yaitu :

23
(1) laju akumulasi harus tinggi.

(2) Mempunyai kemampuan mengakumulasi beberapa macam logam.

(3) Mempunyai kemampuan tumbuh cepat dengan produksi biomassa tinggi

(4) Tanaman harus tahan hama dan penyakit.

Pemilihan tumbuhan yang mempunyai daya serap dan akumulasi tinggi


terhadap logam berat merupakan priorotas yang sangat penting. Karena walaupun
telah disebutkan sebelumnya bahwa beberapa tumbuhan bersifat hiperakumulator,
namun kebanyakan tumbuhan tersebut berasal dari wilayah beriklim sedang.
Sehingga perlu dicari tumbuhan asli yang tentunya sudah beradaptasi baik dengan
iklim Indonesia (Darliana,2009).

Sedangkan Fitotoksikologi merupakan kajian terhadap potensi efek negatif


zat terhadap tumbuhan. Peranan penting dari fitotoksikologi menentukan batasan
dari kontaminan yang ditentukan oleh jumlah (konsentrasi) dan waktu (durasi)
paparan kontaminan serta kondisi lingkungan lainnya dimana kontaminan tersebut
dapat memberikan efek negative bagi tumbuhan dan menjadi berkualitas sebagai
pencemar atau toksikan tumbuhan.

2.2.1 Penerapan Fitoremidasi


Penerapan teknologi fitoremediasi menggunakan tumbuhan sebagai
agensia pembersih lingkungan bukanlah hal yang baru. Sejak lama kita telah
mengenal manfaat tumbuhan sebagai pengusir zat beracun dari udara, sehingga
adanya tumbuhan dianggap sebagai penyegar udara di sekitarnya. Dengan
semakin dipahami fisiologi dan genetika dari tumbuhan, maka pemanfaatan
tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan dapat makin diperluas
cakupannya dan diperhitungkan manfaatnya dari segi rekayasa serta nilai
ekonominya. Pemanfaatan tumbuhan untuk remediasi lingkungan sangat
ditentukan oleh pemahaman tentang penyerapan logam serta penyerapan dan atau

24
degradasi senyawa organik oleh tumbuhan. Tumbuhan harus bersifat hipertoleran
agar dapat mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam batang serta
daun. Tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam larutan tanah
dengan laju penyerapan yang tinggi.Tumbuhan harus mempunyai kemampuan
untuk mentranslokasi logam berat yang diserap akar ke bagian batang serta daun
(Darliana,2009).

Beberapa jenis tumbuhan mempunyai sifat hiperakumulator yang luar


biasa. Namun biasanya tumbuhan yang teradaptasi di tanah berkadar logam tinggi
dan toleran terhadap logam mempunyai sifat tumbuh lambat. Penggunaan
tumbuhan hiperakumulator juga lebih menguntungkan bila kita harus mendaur
ulang logam yang telah dihimpun di dalam biomassa tumbuhan, karena dengan
kadar akumulasi tinggi biomassa yang harus ditangani jelas jauh lebih sedikit.
Usaha untuk meningkatkan akumulasi logam berat, khususnya timbal, telah
dilakukan di beberapa laboratorium. AgBiotech Center berusaha menaikkan
tingkat akumulasi Pb oleh Brassica juncea dengan memberikan zat pengkhelat ke
dalam tanah hasilnya menunjukkan, bahwa dengan memberikan khelator EDTA
ke dalam tanah yang mengandung 600 mg Pb/kg, tumbuhan Brassica juncea
mampu mengakumulasi Pb hingga 1,5% biomassanya (Darliana,2009).

Selain mempunyai kemampuan menyerap logam berat, tumbuhan mampu


menyerap dan mendegradasi zat organik serta hara. Kemampuan ini dimanfaatkan
dalam pengendalian serta pemulihan lingkungan yang tercemar.dengan
memadukan berbagai jenis tumbuhan mengingat keunggulan yang dipunyai oleh
masing-masing jenis tanaman. Pemilihan jenis tanaman adalah yang toleran dan
mampu mengolah limbah. Untuk mengetahui tingkat toleransi tanaman terhadap
limbah maka perlu diketahui konsentrasi nutrisi dalam limbah. Kemampuan
dalam mengolah limbah meliputi kapasitas filtrasi dan efisiensi serapan nutrisi.
Salah satu contoh tanaman yang digunakan pada proses fitoremediasi lahan
perairan adalah tumbuhan timbul dan tumbuhan mengapung seperti Scirpus
californicus, Zizaniopsis miliaceae, Panicum helitomom, Pontederia cordata,
Sagittaria lancifolia, dan Typha latifolia adalah yang terbaik digunakan pada

25
ekosistim perairan untuk mengolah limbah. Spesies tumbuhan mengapung
digunakan karena tingkat pertumbuhannya yang tinggi, dan kemampuannya untuk
langsung menyerap hara langsung dari kolom air. Akarnya menjadi tempat filtrasi
dan adsorpsi padatan tersuspensi dan pertumbuhan mikroba yang menghilangkan
unsur-unsur hara dari kolom air.Tanaman tenggelam tidak direkomendasikan pada
pengolah limbah, karena produksinya rendah, banyak spesies yang tidak tahan
terhadap kondisi eutrofik dan memiliki efek yang merugikan bagi alga dalam
kolom air. Namun tumbuhan tenggelam mungkin memiliki peran yang penting
bila dikombinasikan dengan jenis tanaman lain dalam sistem pengolah limbah
(Darliana,2009).

2.3 Penerapan Biomonitoring


Biomonitoring merupakan "slat" untuk mempelajari dinamika suatu
ekosistem, balk secara meruang maupun mewaktu, sebagai usaha melindungi
ekosistem dan kepentingan manusia. Kegiatan pemantauan tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan parameter fisik, kimiawi, dan biologis. Usaha
pemantauan secara fisik dan kimiawi, relatif lebih mudah dan cepat diketahui,
tetapi kurang memberikan keakuratan mengenai kondisi atau masalah ekosistem
yang sebenarnya. Penggunaan organisme dalam pemantauan tersebut
(biomonitoring) mempunyai kelebihan dibandingkan jenis pemantauan yang lain,
yaitu organisme sungai tertentu dapat memberikan respon biologis, dari tingkat
molekuler — komunitas, terhadap perubahan yang terjadi dalam ekosistem.
Dalam kegiatan biomonitoring, respon biologis pada tingkat populasi dan
komunitas paling mudah dipelajari dibandingkan respon biokimiawi dan
fisiologis, meskipun respon pada tingkat tersebut merupakan respon yang
diperoleh dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan respon biokimiawi
atau fisiologis. Respon tingkat komunitas, yaitu kekayaan taksa, jumlah genus
dominan, jumlah total individu, kesamaan dan keanekaragaman komunitas,

26
merupakan jenis respon atau parameter biologis yang umum digunakan dalam
menilai atau merefleksikan kondisi suatu ekosistem.

Usaha biomonitoring diawali dengan pemilihan jenis parameter/respon


biologis (metrik), dengan mempelajari respon biologis tingkat komunitas, pada
berbagai kondisi ekosistem. Jenis parameter biologis yang dipilih berdasarkan
adanya perubahan respon signifikan sejalan dengan perubahan kondisi ekosistem.
Pemilihan tersebut melibatkan pemilihan bioindikator yang tepat, yang dapat
merefleksikan dinamika kondisi ekosistem.

2.3.1 Penerapan Ekotoksikologi pada Konservasi Terumbu Karang


Penyebab pencemaran pada terumbu karang antara lain adalah minyak
yang tertumpah dilaut yang mengalami absorbs, pertukaran ion, penguapan dan
pengendapan. Tumpahan minyak akan tersebar dipermukaan air laut, sebagian
tumpahan minyak dipermukaan akan terseret ke pantai saat ada arus angina
sedangkan yang melekat pada sedimen akan tenggelam ke dasar laut dan
mengenai karang. Tumpahan minyak tidak melekat begitu saja pada karang, tetapi
tergantung efektifitas reaksi pembersihan karang (jenis karang) dan jenis
pencemar.

Bahan pencemar lain yang dikenal berpengaruh terhadap kehidupan


terumbu karang adalah tailing. Limbah tailing berasal dari batu-batuan dalam
tanah yang telah dihancurkan hingga menyerupai bubur kental. Proes ini dikenal
dengan sebutan penggerusan. Batuan yang mengandung mineral seperti emas,
perak, tembaga dan lainnya diangkut dari lokasi galian menuju tempat pengolahan
yang disebut processing plant. Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian
adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya yang
masuk dalam kategori limbah B3. Tailing yang menyebar ke daerah yang lebih
dangkal dan produktif secara biologis dapat mendatangkan lebih banyak masalah
dari yang diperkirakan yaitu mengusir spesies ikan , menyebabkan kerusakan
permanen di dasar laut, memusnahkan spesies asli, menghilangkan organisme
langka dan mengurangi keanekaragaman organisme termasuk terumbu karang.

27
Untuk memulihkan terumbu karang dibutuhkan waktu yang cukup lama,
yaitu antara 50 hingga 100 tahun, tergantung dari kualitas perairan, tingkat
tekanan terhadap lingkungan, letak terumbu karang yang akan menjadi individu
kerang baru dan lain lain. Keberadaan herbivora dan vertebrata laut
mempengaruhi kesehatan terumbu karang. Vertebrata laut sangat penting dalam
hal pendegradasian biomassa suatu spesies.

28
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan mempelajari ekotoksikologi dapat diketahui keberadaan polutan
dalam suatu lingkungan (ekosistem) yang dalam waktu singkat, dapat
menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya perubahan
tersebut dapat mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon organisme,
perubahan populasi, komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem. Untuk
mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas
industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap
pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
Salah satu contoh rekayasa teknologi dalam lingkungan yaitu
fitoremediasi, fitotoksikologi, bioremediasi dan lain-lain. Penerapan teknologi
fitoremediasi menggunakan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan.

29
Ekotoksikologi berperan dalam konservasi terumbu karang dan pengolahan
sampah menjadi kompos.
Biomonitoring merupakan "slat" untuk mempelajari dinamika suatu
ekosistem, balk secara meruang maupun mewaktu, sebagai usaha melindungi
ekosistem dan kepentingan manusia. Kegiatan pemantauan tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan parameter fisik, kimiawi, dan biologis. Salah satu
penerapan biomonitoring adalah biomonitoring degradasi ekosistem akibat limbah
CPO di muara sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan metode Elektromorf
Isozim Esterase.

3.2 Saran
Pada ekotokologi dapat diketahui toksisitas suatu bahan, sehingga dapat
dibuat baku mutu lingkungan dan teknologi konservasi lingkungan. Berdasarkan
hasil studi literature ini, penerapan dan pengembangan teknologi dalam
konservasi lingkungan masih sedikit ditemukan. Oleh karena itu disarankan untuk
terus mempelajari dan menemukan alternative konservasi lingkungan yang lebih
baik dan mudah diterapkan. Mengingat konservasi lingkungan merupakan
tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Aryani, Yanu, Sunarto dan Tertri. 2004. Toksisitas Akut Limbah Cair Pabrik
Batik CV. Giyant Santoso Surakarta dan Efek Sublethalnya terhadap
Struktur Mikroanatomi Branchia dan Hepar Ikan Nila (Oreochromis
niloticus T.). Jurnal Bio Smart Vol.6 No.2. ISSN: 1412-033X
Butler, G.C., ed., 1978. Principles of Ecotoxicology. Scope 12. John Wiley &
Sons, Chichester, 349 pp: New York.
Connel, D.W. and G. J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Diterjemahkan oleh Yanti Koestoer. UI Press: Jakarta.
Darliana, Ina. 2009. Fitoremediasi Sebagai Teknologi Alternatif Perbaikan
Lingkungan. Universitas Bandung Raya : Bandung
Dix, H.M. 1981. Environmental Pollution. John Willey & Sons: New York.

30
Laws EA. 1981. Aquatic pollution. John Willey and Sons : New York.
Maruru, Stevi Mardiani M. 2012. Studi Kualitas Air Sungai Bone Dengan Metode
Biomonitoring di Kota Gorontalo. Skripsi. Jurusan Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri
Gorontalo, Gorontalo.

Nickless, G., 1975. Detergents. In Chemistry and Pollution. F.R. Benn and C.A.
McAuliffe (eds.). The MacMillan Press: London.
Nugroho, Andika. 2004. Pengendalian Pencemaran Lingkugan. Universitas Gajah
Mada: Yogjakarta.
Pranoto, 2013. Fitoteknologi Dan Ekotoksikologi Dalam Pengolahan Sampah
Menjadi Kompos. Universitas Sebelas Maret : Surakarta
Puspito, Andhikan. 2004. Ekotoksikologi. Universitas Gajah Mada: Yogjakarta.
Rumahlatu, Dominggus. 2011. Konsentrasi Logam Berat Kadmium Pada Air,
Sedimen dan Deadema setosum (Echinodermata, Echinoidea) di Perairan
Pulau Ambon. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol. 16 (2) : 78-85
Setyono, Prabang, dkk. 2008. Biomonitoring Degradasi Ekosistem Akibat Limbah
CPO di Muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan Metode
Elektromorf Isozim Esterase. Jurnal Biodiversitas. Vol. 9 (3) : 232-236

31

Anda mungkin juga menyukai