PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Butler, 1987 dalam Principles of Ecotoxicology, ekotoksikologi
adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada mahluk hidup,
khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan masuknya
agen dan interaksi dengan lingkungan . Sedangkan menurut Andhika Puspito
Nugroho, M.Si dalam buku ajar Ekotoksikologi , ekotoksikologi mempelajari efek
toksik substansi (substances) pada non human species dalam suatu kompleks
sistem (system).
Gambar 1. 1 Ekotoksikologi merupakan studi multidisipliner mengenai efek toksik substansi pada
species dalam kompleks system (Leuween 1995 dalam Buku Ajar Andhika Puspito Nugroho,
M.Si).
biokimiawi
sampai
dengan
ekosistem
menunjukkan
adanya
Gambar 1. 2 Sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan serta respon terhadap polutan
pada organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem (Francis 1994 dalam Buku Ajar Andhika
Puspito Nugroho, M.Si).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Protein
Kehadiran senyawa protein di dalam badan perairan berasal dari
Karbohidrat
Selain berasal dari sampah domestik, karbohidrat juga dapat berasal
halnya
dampak
masuknya
senyawa
protein
dan
Pewarna
Terdapatnya pewarna dalam suatu perairan antara lain berasal dari
buangan industri (tekstil, penyamakan kulit, kertas dan industri bahan kimia).
Menurut Santaniello (1971) warna air yang Iebih dari 50 unit akan membatasi
aktivitas organisme fotosintetik sehingga akan mengurangi kandungan
oksigen terlarut atau DO (Dissolved Oxygen) serta mengganggu kehidupan
berbagai organisme air.
Asam-asam organik
Asam-asam organik berada dalam air antara lain dapat berasal dari
Fenol
Deterjen
Terdapatnya deterjen dalam suatu perairan dapat berasal dari
buangan rumah tangga dan industri (susu, mentega, keju, tekstil, dan industri
pertanian). Nickless (1975) menyatakan bahwa sebagian besar deterjen dapat
menimbulkan dampak negatip terhadap ekosistem perairan yaitu dapat
menghambat
aktivitas
atau
bahkan
membunuh
berbagai
jenis
Pestisida organic
Pestisida organik yang masuk ke dalam lingkungan air dapat berasal
termasuk
golongan
organoklorin
dan
organoposfat.
Pestisida
kimia, rekayasa dan industri metalurgi. Asam dan alkali jika masuk ke dalam
tubuh organisme dapat mempengaruhi aktivitas berbagai enzim sehingga
menimbulkan
gangguan
fisiologik,
membinasakan
organisme
serta
3) Merkuri (Hg) dan timbal (Pb) dapat berikatan dengan gugus sulfhidril (SH) dalam protein sehingga akan mengubah bagian-bagian katalitik
suatu enzim.
4) Merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd) dan tembaga (Cu) dapat
menghambat pembentukan ATP dalam mitokondria serta dapat berikatan
dengan membran sel sehingga mengganggu proses transpor ion antar sel.
5) Seng (Zn) dapat menghambat kerja sistem sitokrom dalam mitokondria
karena terganggunya transpor elektron antar sitokrom-b dan sitokrom-c.
6) Timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dapat menggantikan kedudukan Ca
dalam tulang sehingga menyebabkan terjadinya kerapuhan tulang
7) Timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg) dan krom (Cr) dapat
terakumulasi dalam hati (hepar) dan ginjal (ren) sehingga dapat
menyebabkan kerusakan dan gangguan fungsi kedua organ tersebut
8) Merkuri (Hg), timbal (Pb) dan tembaga (Cu) dapat mengakibatkan
kerusakan otak dan sistem saraf tepi (Dix, 1981).
Garam-garam lain
Berbagai senyawa garam yang masuk ke dalam air dapat berasal dari
industri. Sianida dan sianat bersifat sangat toksik, terutama pada pH rendah
dan merupakan racun pernafasan yang sangat mematikan. Reaksi CN dengan
logam akan menghasilkan senyawa yang sangat beracun.
Kromat
Masuknya kromat ke dalam lingkungan perairan dapat berasal dari
10
11
Negara
Kependudukan
dan
Lingkungan
Hidup
dalam
Baku mutu air pada sumber air, disingkat baku mutu air, adalah batas kadar
yang diperolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam air, namun
Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara
13
Golongan C, yaitu air yang baik untuk keperluan perikanan dan peternakan,
dan dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk
ditetapkan baku mutu limbah cair dengan berpedoman kepada alternatif baku
mutu limbah cair yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENKLH/II/1991. Baku
mutu limbah cair tersebut ditetapkan oleh gubernur dengan memperhitungkan
beban maksimum yang dapat diterima air pada sumber air.
Baku mutu air dan baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan oleh
gubernur dimaksudkan untuk melindungi peruntukan air di daerahnya. Dengan
demikian harus diperhatikan dalam setiap kegiatan yang menghasilkan limbah cair
dan yang membuang limbah cair tersebut ke dalam air pada sumber air. Limbah
cair harus memenuhi persyaratan:
1) Mutu limbah cair yang dibuang ke dalam air pada sumber air tidak boleh
melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan.
2) Tidak mengakibatkan turunnya kualitas air pada sumber air penerima limbah.
Hal tersebut mengharuskan agar setiap pembuangan limbah cair ke dalam air pada
sumber air, mencantumkan kuantitas dan kualitas limbah.
14
1. Mutu emisi dari limbah gas yang dibuang ke udara tidak melampaui baku mutu
udara emisi yang telah ditetapkan.
2. Tidak menyebabkan turunnya kualitas udara.
Tabel 2. 1 Baku Mutu Udara Ambien Nasional
No
Parameter
Waktu
Baku Mutu
Pengukura
Metode
Peralatan
Analisis
n
1
SO2
1 Jam
900 ug/Nm3
(Sulfur
24 Jam
365 ug/Nm3
1 Thn
60 ug/Nm3
1 Jam
30.000
24 Jam
ug/Nm3
10.000
1 Thn
ug/Nm3
-
1 Jam
400 ug/Nm3
Pararosanilin
Spektrofotomete
r
Dioksida)
2
CO
(Karbon
Monoksida)
NO2
NDIR
NDIR Analyzer
Saltzman
Spektrofotomete
r
(Nitrogen
24 Jam
150 ug/Nm
1 Thn
100 ug/Nm3
O3
1 Jam
235 ug/Nm3
(Oksidan)
1 Thn
50 ug/Nm3
HC
3 Jam
160 ug/Nm3
Dioksida)
4
Chemilumines
Spektrofotomete
cent
Flame
Gas
Ionization
(Hidro
Chromatogarfi
Karbon)
6
PM10
24 Jam
(Partikel < 10
um )
PM2,5 (*)
24 Jam
150 ug/Nm3
Gravimetric
Hi - Vol
65 ug/Nm3
Gravimetric
Hi - Vol
15
15 ug/Nm3
Gravimetric
Hi - Vol
um )
7
TSP
(Debu)
24 Jam
1 Thn
230 ug/Nm3
90 ug/Nm3
Gravimetric
Hi - Vol
Pb
(Timah Hitam)
24 Jam
1 Thn
2 ug/Nm3
1 ug/Nm3
Gravimetric
Ekstraktif
Pengabuan
Hi Vol
Gravimetric
Cannister
n
(Industri)
3 ug/Nm3
Spesific Ion
Impinger atau
0,5 ug/Nm3
Electrode
Countinous
9.
Dustfall
(Debu Jatuh )
AAS
30 hari
10
Ton/km2/Bula
n
(Pemukiman)
20
Ton/km2/Bula
10
11.
Fluor Indeks
30 hari
40 u g/100 Colourimetric
Analyzer
Limed
Filter
cm2
Paper
dari
kertas limed
filter
12. Khlorine &
Khlorine
24 Jam
150 ug/Nm3
Spesific Ion
Electrode
Dioksida
13. Sulphat Indeks
Impinger atau
Countinous
Analyzer
30 hari
mg Colourimetric
SO3/100 cm3
Dari
Lead
Lead
Peroxida Candle
Peroksida
Sumber : PP No. 41/199 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.Catatan :
Nomor 10 s/d 13 Hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia
Dasar Contoh : - Industri Petro Kimia - Industri Pembuatan Asam Sulfat.
16
satu
contoh
rekayasa
teknologi
dalam
lingkungan
yaitu
adalah
pemanfaatan
tumbuhan,
mikroorganisme
untuk
dan
Cu)
dalam
bentuk
padat,
cair
dan
gas
(Darliana,2009).
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik
dengan cara biokimia dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritive
organik yang dilakukan pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan
dimetabolisme atau diimobolisasi melalui sejumlah proses termasuk reaksi
17
19
pengendalian
serta
pemulihan
lingkungan
yang
tercemar.dengan
21
sebenarnya.
Penggunaan
organisme
dalam
pemantauan
tersebut
23
BAB III
ISI
3.1 Desain Operasi Pengomposan dibeberapa Wilayah Provinsi
Contoh kompos matang diambil secara acak dari pengomposan sekunder
untuk 8 kota, salah satu operasi pengomposan yang ada, terdapat dalam komposisi
fisik sampah kota di wilayah provinsi-provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan
Banten terdapat 55 % sampah compostable dan 45 % sampah non-kompos. Secara
24
kimiawi komposisi C/N sampah kota adalah berkisar 35/1 sehingga cukup layak
untuk proses pengomposan tanpa penambahan limbah hewani (CN = 20).
Sehingga dibuat desain operasi pengomposan secara diagram alir (Gambar 3.1).
Kajian kualitas kompos ini terkendala belum ada standar kualitas kompos
untuk Indonesia. Standar internasional kualitas kompos tersedia untuk negaranegara industri maju, namun standar tersebut tidak dapat sepenuhnya diadopsi
oleh karena terdapat perbedaan struktur tanah antara negaranegara subtropik dan
tropik. Oleh karena itu, kualitas kompos kajian di sini digunakan kriteria
kematangan kompos, dimana kadar air < 45 %, C/N < 22, dan kandungan zat-zat
anorganik < 1,5 % berat kering.
Berdasarkan kriteria 3 kematangan kompos dan untuk menilai kualitas
kompos menurut kandungan zat-zat anorganik maka kompos perlu dianalisis
tingkat keasaman (pH) dan beberapa zat-zat mikronutrien yaitu kalsium,
magnesium, besi dan mangan. Kualitas kompos terdapat dalam (tabel 3.1) yang
sesuai dengan hasil penelitian laboratorium (Pranoto,2013).
25
26
Sumber : (Pranoto,2013)
3.2 Ekotoksikologi Sebagai Teknologi Produksi Kompos
Ekotoksikologi adalah kajian efek destruktif zat terhadap suprabiota
(individu, populasi dan komunitas) dalam suatu ekosistem. Kajian ini dapat
diterapkan dalam skala kecil laborat, misalnya menggunakan serial pot uji (dalam
hal ini media uji adalah kompos), mikrokosmos, dan skala lapangan mesokosmos.
Dalam skala besar dapat diterapkan menggunakan skala lapangan mesokosmos,
makrokosmos dan sistem pemantauan ekosistem (survey, surveillance dan
pemantauan). Kajian skala kecil pada umumnya digunakan untuk waktu pendek,
mulai dari skala waktu jam sampai minggu. Kajian efek zat dalam waktu pendek
(< 10 % waktu siklus hidup biota uji) digunakan untuk uji toksisitas akut (segera
menampakkan hasil efek). Kajian skala besar digunakan untuk jangka waktu
panjang, mulai dari skala bulan hingga berkelanjutan. Kajian efek zat dalam
waktu panjang (> 10 % waktu siklus hidup biota uji) digunakan untuk uji
toksisitas kronik (hasil efek muncul dalam jangka panjang) (Pranoto,2013).
Biota uji dipilih berdasarkan kualitas kompos yang diinginkan misalnya
produk kompos tidak ditumbuhi gulma, tidak mengandung bakteri patogen, dan
lain-lain, atau penggunaan kompos misalnya kompos untuk kondisi tanah, media
tanam tanaman, dan lain-lain. Dalam hal inipun sekaligus dapat ditetapkan kriteria
efek kompos apakah untuk kematian biota ataukah untuk mendukung kehidupan
biota. Secara umum biota akan memberikan respon struktur dan fungsi
biologisnya terhadap paparan zat. Perubahan struktur biota misalnya jumlah
Gambar 3. 2 Ekotoksikologi Kompos Mesokosmos (Pranoto,2013).
kemudian
ditumbuhkan
tanaman.
Ilustrasi
ekotoksikologi
kompos
diketengahkan pada Gambar 2.2 . Selain uji kualitas dan beban kompos,
ekotoksikologi ini juga diterapkan untuk pengolahan lindi. Untuk ekotoksikologi
lindi, tumbuhan bukanlah faktor pembatas, artinya tumbuhan yang digunakan bisa
mati. Tujuan utama ekotoksikologi lindi ini adalah dekontaminasi polutan lindi
yang dapat diambil oleh tumbuhan. Penerapan ekotoksikologi lindi adalah
penggunaan proses rizofiltrasi sesuai Gambar 2.3 (Pranoto,2013).
28
dan
ekotoksikologi.
Rekonstruksi
desain
operasi
kompos
diketengahkan pada Gambar 2.4. Satuan instalasi pengomposan sekunder dan juga
lindi adalah tepat untuk digantikan intalasi fitoteknologi dan ekotoksikologi.
Produk fitoteknologi dan ekotoksikologi inilah yang kemudian diambil untuk
dipilah menjadi kompos siap pasar (Pranoto,2013).
29
Gambar 3. 4 Rekonstruksi diagram alir desain operasi pengomposan sampah untuk produk
kompos dengan jaminan kualitas (Pranoto,2013).
30
ekosistem
menghubungkan
lain
adalah
kehidupan
kedudukannya
ekosistem
sebagai
laut
dan
mata
rantai
ekosistem
yang
daratan.
Makrozoobentos merupakan salah satu bagian dari mata rantai tersebut. Mangrove
maupun makrozoobentos merupakan komponen biotik estuarin yang sangat
strategis untuk dijadikan bioindikator pencemaran karena memiliki daya adaptasi
terhadap dampak pencemaran tumpahan CPO yang terjadi.
Secara umum limbah dari pabrik kelapa sawit terdiri atas tiga macam
yaitu limbah cair, padat dan gas. Limbah cair pabrik kelapa sawit berasal dari unit
proses pengukusan (sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan dari hidrosiklon.
Pada umumnya, limbah cair industri kelapa sawit mengandung bahan organik
yang tinggi sehingga berpotensi mencemari air tanah dan badan air, sedangkan
limbah padat pabrik kelapa sawit dikelompokan menjadi dua yaitu limbah yang
berasal dari proses pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah
cair. Limbah padat yang berasal dari proses pengolahan berupa Tandan Kosong
Kelapa Sawit (TKKS), cangkang atau tempurung, serabut atau serat, sludge atau
lumpur, dan bungkil. TKKS dan lumpur yang tidak tertangani menyebabkan bau
busuk, tempat bersarangnya serangga lalat dan potensial menghasilkan air lindi
(leachate). Limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa lumpur
aktif yang terbawa oleh hasil pengolahan air limbah.
CPO berasal dari pengolahan Tandan Buah Segar (TBS). Setiap ton TBS
yang diolah dapat menghasilkan 140 200 kg CPO dan limbah/produk samping,
antara lain: limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah cair yang dihasilkan cukup
banyak, yaitu berkisar antara 600 700 kg. Bilamana limbah/produk samping ini
tidak diolah akan menimbulkan masalah berupa; penumpukan limbah dan resiko
cairan dan gas.
31
32
Satuan
ppm
Rerata kontrol
4,4
Rerata terpapar
2,7
33
oxygen)
pH
o
Suhu
C
Daya hantar listrik air S
3,5
30,1
52
4,7
32,6
98
(water
electric conductifity)
TDS (total dissolved
ppm
58
26
solid)
BOD
(biological
ppm
16
oxygen demand)
COD
(chemical
ppm
20
65
101
42
5,96
6,49
oxygen demand)
Potensial
redoks mV
sedimen
pH tanah
Sumber: Jurnal Setyono, 2008
34
Sungai tersebut memiliki fungsi penting dalam berbagai aspek kehidupan yaitu
sebagai sumber bahan baku air minum, mandi, pengairan, daerah wisata. Oleh
karena peranannya yang begitu banyak kepada masyarakat, dilakukan penelitian
untuk menguji tingkat pencemaran pada sungai tersebut. Pada penelitian ini yang
akan diukur untuk parameter fisik adalah suhu, dan kekeruhan, serta pH untuk
pengukuran parameter kimia, sedangkan untuk parameter biologis dilakukan
dengan metode biomonitoring. Bioindikator pada penelitian ini adalah
makroinvertebrata. Makroinvertebrata ini merupakan komponen biotik. indeks
biotik yang akan diguanakan sebagai dasar dalam penentuan kualitas air dengan
metode biomonitoring, adalah sebagai berikut:
Tabel 3. 3 Interpretasi FBI Untuk Menilai Kualitas Air
FAMILI BIOTIK
INDEKS
KUALITAS AIR
TINGKAT
PENCEMARAN
35
0,00 3,75
Sangat baik
3,76 4,25
Baik sekali
organik
Sedikit terpolusi bahan
4, 26 5,00
Baik
organik
Terpolusi
Cukup
Agak buruk
Buruk
Buruk sekali
bahan organik
Terpolusi agak banyak
Terpolusi banyak
Terpolusi sangat banyak
Terpolusi berat bahan
5,01 5,75
5,76 6,50
6,51 7,25
7,26 10,00
beberapa
organik
Sumber: Hilsenhoff (1987) dalam Jurnal Maruru, 2012
Tabel 3. 4 Klasifikasi Kualitas Air Berdasarkan Bisel Biotik Indeks.
Kelas
I
Biotik Indeks
10 9
Kode Warna
Biru
Tingkat Pencemaran
Terpolusi ringan atau
II
III
87
65
Hijau
Kuning
tidak terpolusi
Sedikit terpolusi
Terpolusi dalam jumlah
sedang
IV
43
Jingga
Terpolusi berat
V
21
Merah
Terpolusi sangat berat
0
Hitam
Mati secara biologi
Sumber : Biotic Index Manual For Secondary School,University Gent,
Belgium(1999) dalam Jurnal Maruru, 2012
Perhitungan indeks biotik ini sampai sekarang masih digunakan dan dapat
dijadikan pendugaan awal terhadap status kualitas air sungai.
Hasil dan pembahasan dari penelitian kasus ini adalah:
1. Pengamatan fisik dan kimia
Hasil pengamatan dengan parameter fisik dan kimia, yaitu dengan
mengukur suhu, pH, dan kekeruhan.
Tabel 3. 5 Tabel Hasil Pengamatan Fisik dan Kimia.
Parameter
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Date
24
Maret
7 April
14 April 2012
Location
2012
Suwawa
2012
Kabila
Turbidity
12
13
80
25
36
(NTU)
Water
24
24
25
20-26
8,09
7,86
7,78
6,5-9,0
Temperature
(C)
Ph
Nama
Ordo
Famili
Jumlah
Nilai
Xi.Ti
(Xi)
Toleransi
64
24
18
1
2
3
Nepidae
Hemiptera
Gerridae
Hemiptera
Parathelphu Decapoda
8
3
3
(Ti)
8
8
6
sidae
Palaemonid Decapoda
48
5
6
7
ae
Thiaridae
Viviparidae
Libellulida
230
20
3
6
6
7
1380
120
28
27
3
1763
81
e
Aeshnidae
Gastropoda
Gastropoda
Odonata
8
Odonata
JUMLAH
303
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
37
Skor
Makroinve
Jumlah
Frekuensi
Taksa
Ditemukan
Indeks
>2
rtebrata
Indikator
Hemiptera
Ditemukan 2 taksa
famili
Hemiptera
>2
nilai
indeks 3
Ditemukan 2 taksa
famili
Decapoda
Decapoda
memiliki
Gastropoda
>2
nilai
indeks 4
Ditemukan 2 taksa
famili Gastropoda
lebih dari 2 kali
selama
pengamatan.
Berarti Gastropoda
memiliki
Odonata
>2
nilai
indeks 4
Ditemukan 2 taksa
famili
Odonata
pengamatan.
Berarti
Odonata
memiliki
nilai
indeks 4
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Berdasarkan tabel standar BBI, disimpulkan bahwa nilai biotik stasiun
1 yang didapatkan berkisar antara 3-4, kemudian diambil nilai maksimumnya,
yaitu 4 dan termasuk dalam kategori terpolusi berat atau agak buruk.
Tabel 3. 8 Hasil Pengamatan Makroinvertebrat Pada Stasiun 2 Berdasarkan
Famili Biotik Indeks.
No
Nama
Ordo
Famili
Jumlah
Nilai
(Xi)
Toleransi
Xi.Ti
1
2
Gerridae
Thiaridae
Hemiptera
Gastropod
17
200
(Ti)
8
6
136
1200
Viviparida
a
Gastropod
159
954
e
Sundathel
a
Decapoda
20
120
pusidae
Aeshnidae
Tipulidae
Dytiscidae
5
Odonata
14
3
42
6
Diptera
1
3
3
7
Coleoptera 5
5
25
JUMLAH
416
2480
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Jadi, untuk stasiun 2 termasuk dalam kategori agak buruk, dengan
tingkat pencemaran terpolusi banyak.
Tabel 3. 9 Hasil Pengamatan Makroinvertebrata Pada Stasiun 2 Berdasarkan
BISEL Biotik Indeks.
Kelompok
Makroinver
Skor
Jumlah
Frekuensi
Taksa
Ditemukan
Indeks
tebrata
Indikator
39
Hemiptera
>2
Ditemukan 1 taksa
famili
Hemiptera
Hemiptera
>2
3
Ditemukan 1 taksa
famili
Decapoda
Decapoda
>2
4
Ditemukan 2 taksa
famili
Gastropoda
Gastropoda
>2
4
Ditemukan 1 taksa
famili Odonata lebih
dari 2 kali selama
pengamatan. Berarti
Odonata
Coleoptera
>2
memiliki
nilai indeks 4
Ditemukan 1 taksa
famili
Coleoptera
Coleoptera
40
3
Diptera
Ditemukan 1 taksa
famili Diptera 1 kali
selama pengamatan.
Berarti
Diptera
Nama
Ordo
Famili
Hemiptera
Coleoptera
Decapoda
Jumlah
Nilai
Xi.Ti
(Xi)
Toleransi
10
5
10
(Ti)
8
7
6
80
35
60
1
2
3
Nepidae
Scirtidae
Sundathelp
usidae
Palaemonid Decapoda
10
60
5
6
7
ae
Thiaridae
Viviparidae
Lymnaeida
320
12
5
6
6
6
1920
72
30
Gastropoda
Gastropoda
Gastropoda
e
JUMLAH
372
2257
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Jadi, untuk stasiun 3 termasuk dalam kategori agak buruk, dengan
tingkat pencemaran terpolusi banyak.
Tabel 3. 11 Hasil Pengamatan Makroinvertebrata Pada Stasiun 3 Berdasarkan
BISEL Biotik Indeks.
Kelompok
Makroinvert
Skor
Jumlah
Frekuensi
Taksa
Ditemukan
Indeks
41
ebrata
Indikator
Hemiptera
>2
Ditemukan 1
taksa famili
Hemiptera
lebih dari 2
kali
selama
pengamatan.
Berarti
Hemiptera
memiliki
Decapoda
>2
nilai indeks 3
Ditemukan 2
taksa famili
Decapoda
lebih dari 2
kali
selama
pengamatan.
Berarti
Decapoda
memiliki
Gastropoda
>2
nilai indeks 4
Ditemukan 3
taksa famili
Gastropoda
lebih dari 2
kali
selama
pengamatan.
Berarti
Gastropoda
memiliki
Coleoptera
>2
nilai indeks 4
Ditemukan 1
42
taksa famili
Coleoptera
lebih dari 2
kali
selama
pengamatan.
Berarti
Coleoptera
memiliki
Sumber: Jurnal Maruru, 2012
Berdasarkan tabel standar BBI, disimpulkan bahwa nilai biotik stasiun
3 yang didapatkan berkisar antara 3-4, kemudian diambil nilai maksimumnya,
yaitu 4 dan termasuk dalam kategori terpolusi berat atau agak buruk.
Memperhatikan hasil pengamatan makroinvertebrata, terlihat bahwa makin ke
hilir, kondisi kualitas air semakin menurun. Ini terlihat dari nilai FBI (family
biotic index) lebih besar pada bagian hilir dibandingkan di hulu. Ini menandakan
bahwa aktivitas di sepanjang aliran sungai semakin mempengaruhi kondisi
kualitas air di hilir. Berdasarkan hasil pengamatan, keadaan aliran sungai di
daerah hulu memang relatif lebih baik. Pemukiman yang berbatasan langsung
dengan tepi sungai tidak sebanyak di hilir. Di hilir, selain pemukiman yang sangat
dekat dengan badan air, aktivitas MCK dari penduduk dan pemukiman juga
semakin padat, dan beragam.
Selain itu faktor
lain
yang
mempengaruhi
keberadaan
makroinvertebrata, dan penurunan kualitas air Sungai Bone, adalah aliran air
Sungai Bone yang banyak melewati daerah perkebunan dan pemukiman, sehingga
hampir sebagian besar kegiatan masyarakat dan limbah yang dihasilkan
berdampak pada Sungai Bone baik dampak yang secara langsung ataupun tidak
langsung dari setiap kegiatan masyarakat disekitaran Sungai Bone.
Limbah domestik maupun non domestik banyak berasal dari
pemukiman dan perkebunan. Contohnya saja seperti limbah deterjen dan pestisida
organik. Pada deterjen, dapat menimbulkan dampak negatip terhadap ekosistem
perairan yaitu dapat menghambat aktivitas atau bahkan membunuh berbagai jenis
mikroorganisme. Selain itu, deterjen juga menyebabkan pengkayaan nutrien pada
suatu badan air sehingga dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yang sangat
merugikan lingkungan perairan. Kemudian pada pestisida organik yang masuk ke
43
dalam lingkungan air dapat berasal dari aktivitas pertanian, perkebunan dan dari
buangan industri pengolahan makanan/ minuman. Diantara sejumlah besar
pestisida yang diproduksi dan diperdagangkan, yang paling banyak digunakan
masyarakat
yaitu
pestisida
yang
termasuk
golongan
organoklorin
dan
44
45
waktu pengambilan sampel pada pagi, siang, dan sore hari. Dari 12 individu D.
setosum.
Analisis data secara deskriptif menggunakan metoda kuantitatif dalam
bentuk persentase untuk menggambarkan konsentrasi logam berat Cd dalam Air
laut, sedimen dan bagian tubuh D. Setosum. Analisis statistic inferensial regresi
satu jalur digunakan untuk menjelaskan hubungan antara logam berat Cd pad air,
sedimen dan D. Setosum. Penggunaan analisis regresi ganda didasarkan pada
jumlah unit analisis mengikuti rumus (t-1)(r-1) 15, dimana t adalah jumlah
lokasi penelitian dan r adalah jumlah sampel (Hanafiah, 2010 dalam jurnal
Rumahlatu, 2011).
Hasil dan pembahasan yang didapat pada penelitian tersebut adalah:
1. Konsentrasi logam berat Cd dalam air laut dan sedimen
Hasil analisa sampel air pada 4 stasiun penelitian di perairan pantai pulau
Ambon menunjukan bahwa konsentrasi logam berat Cd dalam air laut relatif
sama. Konsentrasi Cd pada air laut (0,01-0,03 ppm) lebih rendah dari pada di
sedimen (0,17-0,32 ppm). Rendahnya konsentrasi Cd dalam air dibandingkan
sedimen disebabkan sebagian besar logam berat termasuk Cd yang berasal dari
lingkungan umumnya terendapkan dalam sedimen sehingga sedimen sangat
representatif untuk merekam akumulasi logam berat di perairan. Menurut Amin et
al., 2009 dalam jurnal Rumahlatu, 2011, 90% logam berat yang mengontaminasi
lingkungan perairan akan terendap di dalam sedimen. Logam berat mempunyai
sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan
bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi
dibanding dalam air.
Sumber-sumber logam berat Cd di laut, berasal dari sumber yang bersifat
alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang berasal dari
sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang, masukan dari laut
dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut dalam, dan masukan
dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-partikel debu. Logam berat
Cd juga dapat berasal dari aktifitas manusia, seperti limbah pasar dan limbah
rumah tangga, aktivitas transportasi laut dan aktivitas perbaikan kapal laut.
46
47
kadar logam berat Cd pada bagian tubuh D. setosum, walaupun diketahui bahwa
proses masuknya kadar logam berat Cd ke dalam bagian tubuh D. setosum
dipengaruhi proses pernapasan. Proses masuknya logam berat ke dalam tubuh
organisme perairan terjadi melalui proses penyerapan. Dengan demikian, air laut
tidak representative untuk menggambarkan akumulasi Cd pada bagian tubuh D.
setosum, karena sifat air laut yang mobile atau dipengaruhi oleh pola arus dan
gelombang di perairan pulau Ambon.
Hasil analisis hubungan antara kadar logam berat Cd pada sedimen dengan
kadar logam berat Cd pada bagian tubuh D. setosum, yaitu duri, cangkang, gonad,
dan usus di 4 stasiun penelitian menunjukan hubungan yang signifikan Hasil ini
menunjukan bahwa kadar logam berat Cd pada sedimen di perairan pulau Ambon
memberikan sumbangan yang berarti terhadap meningkatnya atau menurunnya
kadar logam berat Cd pada bagian tubuh D. setosum. Dengan demikian, sedimen
sangat representative untuk menggambarkan akumulasi Cd pada bagian tubuh D.
setosum, karena kebiasaan organisme tersebut dalam mencari makan (feeding
habit) di dasar perairan. Sedimen yang telah tercemar logam berat Cd,
terakumulasi di dalam kelenjar saluran pencernaan, insang, dan usus besar siput
Littorina brivicula. Bila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, maka bagian tubuh
D. Setosum, yaitu duri, cangkang, gonad, dan usus sangat representative
menggambarkan kondisi logam berat pada sedimen di laut. Penelitian lainnya
yang menggunakan echinoidea jenis Paracentrotus lividus oleh Soualili et al.,
2007, dalam jurnal Rumahlatu, 2011, menemukan bahwa gonad betina dapat
mengakumulasi logam berat dengan konsentrasi yang tinggi dan berhubungan
dengan konsentrasi logam berat dalam sedimen.
Hasil analisis data penelitian ini menunjukan bahwa Deadema setosum dapat
merepresentase kondisi ini, karena selain ikan, spesies ini juga dominan dalam
populasi hewan perairan pulau Ambon serta dapat bertahan pada semua musim.
Bulu babi berduri panjang Deadema setosum merupakan spesies kunci dalam
ekosistem perairan pulau Ambon dan secara ekologis mempengaruhi komunitas
lamun. Selain itu, Deadema setosum juga toleran terhadap polutan yang ditandai
dengan hasil analisis hubungan kadar logam berat Cd pada sedimen dengan kadar
logam berat Cd pada bagian tubuh D. setosum, yaitu duri, cangkang, gonad, dan
48
usus. Dibandingkan dengan perairan laut lain, Deadema setosum juga dipakai
untuk menentukan status menilai kontaminasi logam berat Zn, Pb, Cd, Fe, Cr, Cu
and Ti di perairan Singapore, laut Pasifik Hindia Barat , dan bagian barat laut
Mediterania dengan menggunakan gonad Deadema setosum Selain gonad pada
Deadema setosum, duri, cangkang, dan usus dapat digunakan sebagai alat untuk
biomonitoring kualitas perairan sekaligus sebagai spesies biomonitoring dalam
lingkungan laut yang terpolusi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dengan mempelajari ekotoksikologi dapat diketahui keberadaan polutan
dalam suatu lingkungan (ekosistem) yang dalam waktu singkat, dapat
menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya perubahan
49
yaitu
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, Yanu, Sunarto dan Tertri. 2004. Toksisitas Akut Limbah Cair Pabrik Batik
CV. Giyant Santoso Surakarta dan Efek Sublethalnya terhadap Struktur
Mikroanatomi Branchia dan Hepar Ikan Nila (Oreochromis niloticus T.).
Jurnal Bio Smart Vol.6 No.2. ISSN: 1412-033X
Butler, G.C., ed., 1978. Principles of Ecotoxicology. Scope 12. John Wiley &
Sons, Chichester, 349 pp: New York.
50
Nickless, G., 1975. Detergents. In Chemistry and Pollution. F.R. Benn and C.A.
McAuliffe (eds.). The MacMillan Press: London.
Nugroho, Andika. 2004. Pengendalian Pencemaran Lingkugan. Universitas Gajah
Mada: Yogjakarta.
Pranoto, 2013. Fitoteknologi Dan Ekotoksikologi Dalam Pengolahan Sampah
Menjadi Kompos. Universitas Sebelas Maret : Surakarta
Puspito, Andhikan. 2004. Ekotoksikologi. Universitas Gajah Mada: Yogjakarta.
Rumahlatu, Dominggus. 2011. Konsentrasi Logam Berat Kadmium Pada Air,
Sedimen dan Deadema setosum (Echinodermata, Echinoidea) di Perairan
Pulau Ambon. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol. 16 (2) : 78-85
Setyono, Prabang, dkk. 2008. Biomonitoring Degradasi Ekosistem Akibat Limbah
CPO di Muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan Metode
Elektromorf Isozim Esterase. Jurnal Biodiversitas. Vol. 9 (3) : 232-236
52
53