Anda di halaman 1dari 17

KETERAMPILAN MENYIMAK UNSUR-UNSUR PEMBANGUN

CERITA RAKYAT DENGAN MEDIA FILM

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengembangan Media Berbasis TI
Dosen Pengampu : Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum.

Disusun Oleh:

Novia Nur Afsani

K1217052 / B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019
KETERAMPILAN MENYIMAK UNSUR-UNSUR PEMBANGUN

CERITA RAKYAT DENGAN MEDIA FILM

1. Pengertian Menyimak
Dalam kehidupan sehari-hari menyimak menjadi salah satu keterampilan berbahasa
yang sangat penting dibandingkan dengan keterampilan yang lain. Hal ini dikarenakan
menyimak termasuk keterampilan awal yang lebih dahulu dilaksanakan sebelum berbicara,
membaca, dan menulis. Menyimak adalah kemampuan memahami suatu pesan yang
disampaikan oleh pembicara. Menyimak merupakan suatu proses kegiatan mendengarkan
lambang-lambang bunyi dengan penuh pemahaman, perhatian, serta interpretasi yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan informasi, memahami dan
menangkap isi pesan, serta merespon makna yang disampaikan pembicara. Saddhono dan
Slamet (2012:8) menyimak (listening) dikatakan sebagai kegiatan berbahasa reseptif dalam
suatu kegiatan bercakap-cakap (talking) dengan medium dengar (aural) maupun medium
pandang (visual). Anderson menyatakan menyimak sebagai proses besar mendengarkan,
mengenal, serta, menginterspretasikan lambang-lambang lisan. Menyimak bermakna
mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi (Russel & Russell;
Anderson dalam Tarigan 2008:30). Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan
lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi
untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan, serta memahami makna komunikasi
yang telah disampaikan sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan (Tarigan 2008:31).
Kamidjan dan Suyono mengemukakan menyimak adalah suatu proses mendengarkan
lambang-lambang bahasa lisan dengan sungguh-sungguh penuh perhatian, pemahaman,
apresiatif yang dapat disertai dengan pemahaman makna komunikasi yang disampaikan
secara nonverbal (Antoro, 2015).
Akhadiah mengungkapakan kata “menyimak” dalam bahasa Indonesia memiliki
kemiripan makna dengan “mendengar” dan “mendengarkan”. Oleh karena itu, ketiga istilah
itu sering menimbulkan kekacauan pemahaman, bahkan sering dianggap sama sehingga
dipergunakan secara bergantian. Bahkan Kridalaksana menggunakan istilah mendengar untuk
istilah menyimak, sebagai terjemahan listening (Ngalimun dan Alfulaila 2014:130). Ketiga
istilah tersebut memang agak berkaitan dengan makna. Namun, tetap berbeda dalam
penerapan dan penggunaanya. Moeliono menjelaskan mendengar diartikan sebagai
menangkap bunyi dengan suara dengan telinga. Mendengarkan berarti menangkap sesuatu
bunyi dengan sungguh-sungguh. Berbeda halnya dengan menyimak. Menyimak berarti
memperhatikan bai-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang (Saddhono dan Slamet
2012:8).

2. Tujuan Menyimak
Hakikat Menyimak adalah mendengarkan dan memahami isi bahan yang disimak.
Dalam menyimak memiliki tujuan, antara lain untuk memperoleh informasi, menemukan
kata-kata atau ide baru, membedakan struktur kalimat, memecahkan masalah, menilai sesuatu
yang disimak (mengevaluasi), dan mengomunikasikan gagasan pokok pikiran. Fungsi utama
bahasa adalah sebagai alat komunikasi di dalam masyarakat (Saddhono, 2012). Dengan
menyimak, maka akan mempermudah dalam mengomunikasikan apa yang menjadi pokok
pikiran dalam bermasyarakat. Hunt menyatakan bahwa tujuan menyimak adalah : (1) Untuk
memperoleh informasi yang bersangkut paut dengan pekerjaan profesi. (2) Agar menjadi
lebih efektif dalam hubungan antarpribadi dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di tempat
kerja, dan di dalam kehidupan bermasyarakat (3) Untuk mengumpulkan data agar dapat
mebuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal dan, (4) Agar dapat memberikan respons
yang tepat terhadap segala sesuatu yang didengar (Saddhono dan Slamet 2012 :13).
Sedangkan Anderson mengatakan bahwa tujuan menyimak adalah sebagai berikut : (1) Untuk
membedakan dan menemukan unsur-unsur fonetik dan struktur kalimat lisan. (2) Untuk
menemukan dan memperkenalkan bunyi-bunyi, kata-kata atau ide-ide baru kepeda penyimak.
(3)Menyimak secara terperenci agar dapat menginterpretasikan ide pokok dan menanggapinya
secara tepat. (4) Menyimak ide utama yang diyantakan dalam kalimat topik atau kalimat
penunjuk (Maradonah, 2017).
Tujuan menyimak menurut Logan dan Shrope : (1) Ada orang yang menyimak dengan
tujuan utama agar dapat memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara; dengan
perkataan lain, menyimak untuk belajar. (2) Ada orang yang menyimak dengan penekanan
pada penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau diperdengarkan atau
dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni); pendeknya dia menyimak untuk
menikmati keindahan audio maupun visual (audiovisual). (3) Ada orang yang menyimak
dengan maksud agar dapat menilai apa-apa yang disimak itu (baik-buruk, indah-jelek, tepat-
ngawur, logis-tak logis, dan lain-lain); singkatnya, menyimak untuk mengevaluasi. (4) Ada
orang menyimak agar dapat menikmati serta menghargai apa-apa yang disimak itu (misalnya:
pembaca cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog, diskusi panel, perdebatan); pendek
kata, orang itu menyimak untuk mengapresiasi materi simakan. (5) Ada orang yang
menyimak dengan maksud agar dapat mengkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, maupun
perasaan-perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. Banyak contoh dan ide yang
dapat diperoleh dari sang pembicara dan semua ini merupakan bahan penting untuk
menunjang dalam mengomunikasikan ide-idenya sendiri. (6) Ada pula orang yang menyimak
dengan maksud dan tujuan agar dapat membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; mana bunyi
yang membedakan arti (distingtif) mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya ini
terlihat nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang asyik mendengarkan
ujaran pembicara asli (native speaker). (7) Ada lagi orang yang menyimak dengan maksud
agar dapat memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari sang pembicara
mungkin memperoleh banyak masukan berharga. (8) Selanjutnya ada lagi orang yang tekun
menyimak sang pembicara untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat
yang selama ini diragukan; dengan perkataan lain, dia menyimak secara persuasif. Sutari
menyatakan tujuan menyimak adalah : (1) mendapatkan fakta (2) menganalisis fakta (3)
mengevaluasi fakta (4) mendapatkan inspirasi (5) mendapatkan hiburan (6) memperbaiki
kemampuan berbicara (Rosdia, 2016).

3. Jenis- jenis Menyimak


Menyimak memiliki tujuan, antara lain untuk memperoleh informasi,
mengomunikasikan gagasan pokok pikiran, dan menemukan kata-kata atau ide baru. Di
samping tujuan menyimak tersebut, terdapat pula tujuan khusus yang meyebabkan adanya
jenis-jenis menyimak. Dalam kegiatan menyimak ada bergai jenis yang bisa dibedakan dalam
kategori menyimak. Secara garis besar, Tarigan (2008:38) membagi jenis menyimak itu
menjadi dua kategori, yaitu: (1) menyimak ekstensif dan (2) menyimak intensif. Menyimak
ekstensif dibagi menjadi menyimak sosial, menyimak sekunder, menyimak ekstetis, dan
menyimak pasif. Sedangkan menyimak Intensif dibagi mejadi menyimak kritis, menyimak
konsentratif, menyimak kreatif, menyimak eksploratif, menyimak interogatif, menyimak
selektif. Kedua jenis menyimak itu sangat berbeda. Perbedaan itu tampak dalam cara
melakukan kegiatan menyimak. Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis
kegiatan menyimak terkait hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran,
tidak perlu bimbingan langsung dari seoorang guru. Menyimak Esktensif lebih banyak
dilakukan oleh masyarakat secara umum. Misalnya: orang tua dan anak-anak menyimak
tayangan sinetron dari sebuah televisi, berita radio, dan lain sebagainya. Menyimak intensif
(intensive listening) diarahkan pada suatu kegiatan yang jauh lebih diawasi, dikontrol
terhadap suatu hal tertentu. Menyimak intensif lebih menekankan kemaampuan memahami
bahan simakan. Misalnya: dalam menyimak pelajaran di sekolah, guru biasanya menuntut
agar siswa memahami penjelasannya. Selanjutnya, untuk mengukur daya serap siswa, guru
memberikan pertanyaan.
Jenis menyimak yang memberikan respons mental dan fisik ini perlu
dikembangkan melalui pembelajaran bahasa bagi para siswa di sekolah. Logan dkk.
membedakan jenis menyimak tersebut sebagai berikut. (a) Menyimak untuk belajar.
Penyimak mempelajari berbagai hal yong diperlukan. Seperti pelajaran atau perkuliahan di
kampus, pelajaran sesuatu lewat televise, radio, video, dan sebagainya (b) Menyimak untuk
menghibur. Penyimak bermaksud untuk mendapatkan hiburan dan kepenatannya. Misalnya
menyimak lawakan, cerita, drama, dan sebagainya. (c) Menyimak unuk menilai. Penyimak
memperhatikan dan memahami isi simakan, kemudian menelaah, mengkaji, menguji,
membandingkan dengan pengetahuan dan pengalamanya. (d) Menyimak apresatif. Penyimak
memahami, menghayati, mengapresiasi simakan, misalnya puisi, cerita, sandiwara, dan
sebagainya. (e) Menyimak untuk mengkomunikasikan ide dan perasaan. Penyimak
memahami, merasakan ide, gagasan, perasaan, pembicara sehingga terjadi sambung rasa
pembicara-penyimak. (f) Menyimak deskriminatif. Penyimak ingin membedakan bunyi suara,
misalnya dalam belajar bahasa asing. (g) Menyimak pemecahan masalah. Penyimak
mengıkuti uraian pemecahan masalah yang disampaikan pembicara. Dari sini penyimak
mendapat sesuatu yang bermanfat untu memecahkan masalah yang dihadapi (Saddhono dan
Slamet 2008:18).

4. Tahapan Menyimak
Menyimak merupakan suatu kegiatan berbahasa yang berarti mendengarkan untuk
memperoleh informasi melalui sebuah proses atau tahapan-tahapan. Menyimak cerita terdapat
tahapan-tahapan mendengarkan, mengerti/memahami, tahap menginterpretasi, tahap menilai,
dan tahap menanggapi terhadap cerita yang dibacakan. Hunt mengatakan bahwa tahap-tahap
dalam menyimak antara lain: (1) Tahap isolasi. Pada tahap ini sang menyimak mencatat
aspek-aspek individual kata lisan dan memisah-misahkan atau mengisolasikan bunyi-bunyi,
ide-ide, fakta-fakta, organisasi-organisasi khusus, begitupula stimulus-stimulus lainnya. (2)
Tahap identifikas. Sekali stimulus tertentu telah dapat dikenal maka suatu makna, atau
identitas pun diberikan kepada setiap butir yang berdikari itu. (3) Tahap integrase.
Mengintegrasikan atau menyatukan pasukan apa yang didengar dengan informasi lain yang
telah disimpan dan rekam dalam otak. (4) Tahap inspeksi. Pada tahap ini informasi baru yang
telah diterima dikontraskan dan dibandingkan dengan segala informasi yang telah dimiliki
mengenai hal-hal tersebut. (5) Tahap interprestasi. Pada tahap ini, secara aktif mengevaluasi
apa-apa yang didengar dan menelusuri dari mana datangnya semua itu. (6) Tahap interpolasi.
Selama tidak ada pesan yang membawa makna dalam dan mengenai informasi, maka
tanggung jawab kitalah untuk menyediakan serta memberi data-data dan ide-ide penunjang
dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman kita sendiri untuk mengisi serta memenuhi
butir-butir pesan yang kita dengar. (7) Tahap introspeksi. Dengan cara merefleksikan dan
menguji informasi baru, kita berupaya untuk mempersonilkan informasikan informasi
tersebut, menerapkannya pada situasi kita sendiri (Maradonah, 2017).
Logan dkk membagi tahapan menyimak mejadi beberapa tahapan sebagai berikut: (1)
Tahap mendengarkan (hearing), pada tahap ini penyimak baru mendengarkan pembicaraan
seseorang. (2) Tahap memahami (understanding), setelah mendengarkan suatu tuturan atau
pembicaraan, penyimak melalukan tahap yang lebih tinggi yakni memahami apa yang
disampaikan oleh pembicara. (3) Tahap menginterpretasi, pada tahap ini si penyimak akan
melakukan interpretasi, penafsiran terhadap fakta yang disimaknya. Seorang penyimak yang
baik tidak bisa menerima begitu saja apa yang didengarnya tetapi harus ditafsirkan terlebih
dahulu sebelum memutuskan untuk mengikuti apa yang disimaknya. (4) Tahap menilai
(evaluating), setelah memahami, menafsirkan isi pembicaraan, penyimak melanjutkan ke
tahap penilaian gagasan yang dikemukakan pembicara. Dalam tahap penilaian ini, penyimak
sudah menimbang kelemahan, kelebihan apa yang dituturkan seseorang dengan berbagai
acuan atau standar yang telah ditetapkan penyimak. (5) Tahap menanggapi (responding),
merupakan tahap yang paling tinggi dalam proses menyimak di mana penyimak menyambut,
mencamkan, menyerap melalui empat proses sebelumnya. Dengan demikian pada tahap
menanggapi ini merupakan tahap memutuskan untuk diterima atau ditolah apa yang sudah
disimak (Tarigan, 2008:63).

5. Pengertian Cerita Rakyat


Cerita rakyat adalah cerita yang terjadi di suatu daerah tanpa diidentifikasi nama
pengarangnya, yang berkembang secara lisan (dari mulut ke mulut) menggambarkan
kehidupan dan kebudayaan masyarakat pendukungnya, secara turun temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dapat juga dikatakan bahwa cerita rakyat adalah cerita yang
hidup dalam sebuah kepercayaan masyarakat. Cerita rakyat disebut juga Folklore. Yusuf
mengemukakan kebutuhan masyarakat yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun
dan biasanya dilakukan secara lisan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Brunvad
menyatakan bahwa Folklore adalah bagian dari kebudayaan yang tersebar dan diwariskan
secara turun temurun secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda, baik berwujud lisan
maupun disertai dengan perbuatan (Bakiyatusolichah dan Sari, 2015).
Danandjaja menjelaskan bahwa cerita rakyat merupakan bagian dari folklor, yakni
tergolong folklor lisan yang dapat menggambarkan kehidupan dan kebudayaan masyarakat
pendukungnya. Zaidan dkk berpendapat cerita rakyat adalah kisahan yang aslinya beredar
secara lisan dan kepercayaan masyarakat. Cerita rakyat atau sastra lisan merupakan cerita
bersifat anoni dan fiksi yang disampaikan secara turun temurun melalui lisan, mengandung
nilai moral dan nasehat, dan tokoh yang dimunculkan dalam cerita umumnya diwujudkan
dalam bentuk binatang, manusia atau dewa (Paisal dkk, 2018). Djamaris mengungkapkan
bahwa Cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dikatakan sebagai cerita rakyat karena
cerita ini hidup dikalangan masyarakat, dan semua lapisan masyarakat mengenal cerita ini
(Wigati, 2012). Cerita rakyat adalah bagian integral dari budaya apa pun. Olajide (2010)
mendefinisikannya sebagai "... kumpulan nyanyian, mnemonik, mantera, lagu, musik, dan
cerita yang berasal dari mitos pengantar tidur, pepatah, tabu dan totem". Ishala menjelaskan
cerita rakyat berasal dari pengalaman sehari-hari orang biasa. Munculnya pendidikan barat di
Afrika (terutama, selatan Sahara) telah menyebabkan formalisasi dan sistemisasi cerita rakyat
Afrika. Para ahli seperti Adeyemi dan Olajide percaya bahwa media penulisan mungkin telah
mengurangi rasa asli cerita rakyat (Olajide, 2010).

6. Jenis-jenis Cerita Rakyat


Cerita rakyat berkembang secara turun menurun dari satu generasi ke generasi lainnya
yang perkembangannya dari mulut ke mulut. Ada beberapa jenis cerita rakyat yang beredar di
kehidupan masyarakat. Cerita rakyat dapat berhubungan dengan suatu tempat, nama sebuah
tempat atau bentuk tipografi (bentuk suatu daerah) yang terbentuk bukit-bukit, jurang, danau,
lautan, dan sebagainya. Sukirno (2010: 163) menjelaskan bahwa cerita rakyat terbagi menjadi
empat kelompok. Keempat kelompok tersebut terdiri dari (a) cerita rakyat keagamaan, (b)
cerita rakyat alam gaib, (c) cerita rakyat perseorangan, (d) cerita rakyat setempat.
Cerita rakyat keagamaan adalah legenda orang-orang suci (sainst) Nasrani. Cerita
rakyat demikian itu jika diakui dan disahkan oleh Gereja Katolik Roma akan menjadi
kesusastraan agama yang disebut hagiography (legends of the saints), yang berarti tulisan,
karangan, atau buku mengenai penghidupan orang-orang shaleh. Walaupun hagiografi sudah
ditulis namun ia masih tetap merupakan folklor karena variasi asalnya masih tetap hidup
diantaranya rakyat sebagai tradisi lisan, tidak salah jika dikatakan bahwa hagiografi
sebenarnya adalah transkripsi cerita rakyat orang-orang shaleh. Di bawah ini akan membahas
mengenai macam-macam cerita rakyat sebagai berikut. Cerita rakyat alam gaib ialah cerita
rakyat yang biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami
oleh seorang. Fungsi cerita rakyat semacam ini adalah untuk mengarahkan kebenaran
“takhayul” atau kepercayaan rakyat sedangkan cerita rakyat perseorangan adalah cerita
mengenai tokoh-tokoh tertentu, yang dianggap oleh empunya cerita yang benar-benar terjadi.
Cerita rakyat setempat adalah cerita rakyat yang berhubungan dengan suatu tempat, nama
tempat dan bentuk tipografi, yaitu bentuk suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjurang dan
sebagainya (Sulastri, 2014).

7. Unsur Pembangun Cerita Rakyat


Cerita rakyat merupakan cerita yang bersumber dari kehidupan masyarakat yang
dibangun dari unsur yang mendukung. Cerita rakyat adalah cerita yang mengisahkan tentang
asal muasal suatu tempat atau suatu kejadian di suatu tempat. Tokoh-tokoh yang dimunculkan
dalam cerita rakyat dapat berwujud binatang, manusia ataupun dewa. Cerita rakyat selain
sebagai hiburan juga berfungsi sebagai suri tauladan terutama cerita rakyat yang mengandung
nilai-nilai pendidikan moral. Indonesia memiliki banyak cerita rakyat dikarenakan cerita
rakyat menyebar dari mulut ke mulut yang diwariskan dari generasi ke generasi. Teew
mengungkapkan karya sastra merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika
dibaca. Jakob dan Saini mengatakan karya sastra merupakan struktur pikiran yag tersusun dan
memiliki unsur-unsur yang padu. Analisis strukturalisme merupakan prioritas utama sebelum
menerapkan analisis yang lain. Tanpa analisis struktural maka kebulatan makna instrinsik
tidak akan lengkap. Unsur pembentuk cerita rekaan atau peristiwa cerita (alur), tokoh cerita
(karakter), tema cerita, suasana cerita (setting), sudut pandang penceritaan dan gaya (Sulastri,
2014).
Unsur-unsur pembangun cerita rakyat meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan,
setting, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. (1) Tema. Ide, gagasan, atau pikiran utama
yang mendasari suatu cerita. Atau gampangnya, tema adalah sesuatu yang menjadi dasar
cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita.
Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Karena itu tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita (Kurniasih, 2015). (2) Alur. Rene Wellek menyatakan bahwa
alur ialah struktur penceritaan. Forster mengemukakan sebuah plot (alur cerita) terdapat
hubungan sebab akibat dari suatu urutan cerita yang mengembangkan konflik cerita (Sulastri,
2014). (3) Tokoh dan Penokohan. Tokoh adalah orang yang mengalami kejadian-kejadian
dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, namun dapat pula
berwjud binatang atau benda yang diinsankan (Kurniasih, 2015). Penokohan disebut dengan
gambaran pengungkapan dari tokoh yang dideskripsikan melalui beberapa karakter dan sifat
yang bermacam-macam (Hartiani dan Fathurohman, 2018). (4) Setting /Latar. Waluyo
menyatakan bahwa setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat
berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek spikis. Namun setting juga dapat
dikaitkan dengan tempat dan waktu. Jika dikaitkan dengan tempat, dapat dirinci dari tempat
yang luas, misalnya negara, propinsi, desa, dan sebagainya. Yang berkaitan dengan waktu,
misalnya sekarang, dahulu tahun berapa, jam berapa, siang atau malam, dan seterusnya
(Sulastri, 2014). (5) Sudut Pandang/ Point of view. Amminudin menuturkan Poin of view atau
yang sering disebut dengan sudut pandang merupakan cara atau posisi penulis dalam
menceritakan tokoh yang ada dicerita (Hartiani dan Fathurohman, 2018). (6) Gaya
Pengungkapan /Gaya Bahasa. Aminuddin menjelaskan gaya pengungkapan merupakan teknik
suatu pengarang dalam menyampaikan gagasan cerita dari awal sampai akhir cerita
menggunakan ciri-ciri yang khas oleh masing-masing pengarang (Hartiani dan Fathurohman,
2018). Nurgiyantoro menyatakan bahwa stile / gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa
dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan. Dengan demikian, stile dapat bermacam-macam sifatnya, tergantung konteks di
mana dipergunakan, selera pengarang, namun juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri
(Sulastri, 2014). (7) Amanat. Ajaran moral atau pesan yang ingin di sampaikan oleh
pengarang melalui karyaya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit
yaitu dengan cara memberikan ajara moral atau pesan daam tingkah laku atau peristiwa yang
terjadi pada tokoh menjelang cerita berarkhir dan dapat pula disampaikan secara eksplisit
yaitu dengan menyampaikan seruan, sasaran, peringatan, nasihat, anjuran, atau larangan yang
berhubungan dengan gagasan utama cerita (Kurniasih, 2015).

8. Pengertian Media
Media berasal dari bahasa latin dan bentuk jamak dari bahasa latin medium yang
secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Fungsi media pembelajaran ialah memberikan
kesempatan berasosiasi kepada peserta didik untuk memperoleh serta memperkaya
pengetahuan dengan menggunakan berbagai alat, buku, narasumber, atau tempat, dan dapat
meningkatkan perkembangan peserta didik dalam berbahasa melalui komunikasi dengan
mereka yang berhubungan dengan hal-hal berkaitan sumber belajar. Gagne menyatakan
bahwa media adalah adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat
merangsangnya untuk belajar (Lagandesa dkk, 2016). Sementara Sadiman, dkk (2007:9)
menyatakan media ialah perantara atau pengantar pesan pengirim ke penerima pesan, segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga
dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian
rupa sehinga proses belajar terjadi. Wiwi menyatakan bahwa penggunaan media dalam proses
belajar mengajar secara garis besar adalah alat untuk memperjelas materi pembelajaran pada
saat guru menyampaikan pelajaran (Fransiska, 2013). Penggunaan dari media dalam proses
pembelajaran adalah untuk dapat menyampaikan informasi yang dapat didengar (audio) dan
dapat dilihat (visual), sehingga dapat mendeskripsikan prinsip, konsep, proses atau prosedur
yang bersifat abstrak dan tidak lengkap menjadi lebih jelas dan lengkap (Octavian, 2014).
Fungsi media berguna sebagai alat bantu visual dalam kegiatan pembelajaran, yaitu
sebagai sarana yang dapat memberikan pengalaman visual kepada siswa di antaranya untuk
mendorong motivasi belajar, mempermudah dan memperjelas konsep yang abstrak, serta
mempertinggi daya serap atau retensi belajar. Hamalik mengatakan ada fungsi media
pembelajaran, di antaranya: (1) mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para
peserta didik, (2) dapat melampau batasan ruang kelas, (3) memungkinkan adanya interaksi
langsung antara peserta didik dengan lingkungannya, (4) dapat menanam konsep dasar yang
benar, konkret, dan realitas. Kegunaan media dalam proses pembelajaran adalah peserta didik
dapat menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada saat lampau. Peranan
media tidak akan terlihat jelas apabila penggunaannya tidak sejalan dengan isi tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan, karena tujuan pembelajaran harus sebagai pangkal
acuan untuk menggunakan media. Sudjana dkk menyatakan tentang tujuan pemanfaatan
media adalah (1) pengajaran akan lebih perhatian peserta didik sehingga dapat menimbulkan
motivasi, (2) bahan akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami, (3) metode
belajar akan lebih bervariasi, dan (4) peserta didik akan lebih banyak melakukan kegiatan
belajar (Wulandari, 2013).

9. Media Film
Film adalah alat penghungung berupa gambar hidup yang merupaka gambar-gambar
dalam frame yang dapat dipandang mata dan didengar telinga untuk mempengaruhi pikiran
mereka. Film dapat membantu siswa lebih mudah dalam mengikuti pembelajara menyimak,
karena dengan adanya media film akan lebih menarik untuk disimak dengan adanya gambar-
gambar hidup, yang memudahkan merangsang mata dan telinga untuk mempengaruhi pikiran.
Arsyad mengemukakan film atau gambar hidup merupakan gambar-gambar dalam frame di
mana frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar
terlihat gambar itu hidup. Hamalik menjelaskan film adalah gambar hidup yang terlihat pada
gambar. Gambar yang terlihat tersebut merupakan hasil proyeksi melalui lensa proyektor
secara mekanis. Film itu bergerak dari frame ke frame di depan lensa pada layar, gambar-
gambar itu juga secara cepat bergantian dan memberikan proses visual yang kontinyu di
antara gambar demi gambar tak ada celah-celah, bergerak dengan cepat dan pada layar terlihat
gambar-gambar yang berurutan dan melukiskan suatu peristiwa, cerita-cerita, benda-benda,
dan murni seperti pada aslinya (Antoro, 2015). Kemp dan Dayton menuturkan media film
merupakan media audio-visual yang memiliki keindahan efek suara dan gambar yang
bergerak mampu melahirkan minat dan ketertarikan seseorang yang bersifat aktif dan
penasaran untuk melihatnya atau memperhatikannya dengan nyaman (Faradinna, 2018).
Munadi mengatakan film adalah alat komunikasi yang sangat membantu proses pembelajaran
efektif. Apa yang terpandang oleh mata dan terdengar oleh telinga, lebih cepat dan lebih
mudah diingat daripada apa yang hanya dapat dibaca atau hanya di dengar. Sementara
menurut Triantin menyatakan media film adalah alat penghubung yang berupa film; media
massa alat komunikasi seperti radio, televisi, surat kabar, majalah yang memberikan
penerangan kepada orang banyak (massa) dan mempengaruhi pikiran mereka (Widiani,
2018).
Sanjaya berpendapat mengenai keuntungan menggunakan media audiovisual (film),
yaitu: 1) dapat memberikan pengalaman belajar yang tidak mungkin dapat dipelajari secara
langsung; 2) memungkinkan belajar lebih bervariatif sehingga dapat menambah motivasi dan
gairah belajar; 3) dapat berfungsi sebagai sumber belajar secara mandiri tanpa sepenuhnya
tergantung pada kehadiran guru (Andyani dkk, 2016). Hamalik mengemukakan bahwa ciri-
ciri film yang layak digunakan sebagai media pembelajaran sebagai berikut: (1) dapat
menarik minat siswa, (2) benar dan autentik, (3) up to date dalam setting, pakaian, dan
lingkungan, (4) sesuai dengan tingkat kematangan audiens, (5) perbendaharaan bahasa yang
digunakan benar, (6) kesatuan dan rangkaiannya cukup teratur, dan (7) teknis yang digunakan
cukup memenuhi persayaratan dan cukup memuaskan (Astuti dan Mustadi, 2014).

10. Menyimak Cerita Rakyat Menggunakan Media Film


Pembelajaran menggunakan media film dalam keterampilan menyimak, membuat
siswa akan lebih mudah memahami isi cerita serta menentukan unsur-unsur pembangun
dalam cerita rakyat karena siswa dapat melihat objek tentang apa yang mereka akan tulis
secara langsung. Sehinga setelah kegiatan menyimak, maka siswa akan ditugasi dengan
mengindentifikasi unsur-unsur pembangun cerita rakyat dari isi yang dipahami sebagai
sebuah penilaian. Ada lima aspek yang dinilai dalam keterampilan menyimak cerita rakyat di
antaranya (1)Menentukan garis besar isi cerita (2)Menentukan tema (3)Menentukan tokoh
(4)Menemukan hal-hal menarik dari tokoh (5)Menentukan amanat. Dengan demikian
penerapan media fim sebagai media pembelajaran akan membantu siswa dalam memahami
pembelajaran menyimak dengan suasana yang menyenangkan serta menarik perhatian siswa,
sehingga kemampuan menyimak siswa akan lebih meningkat dan dapat meningkatkan
kualitas proses serta hasil pembelajaran keterampilan menyimak pada siswa. Minat yang
besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar untuk mencapai atau memperoleh tujuan
yang diminati. Siswa yang memiliki minat belajar yang tinggi akan senantiasa memberikan
perhatian penuh dalam usahanya mencapai tujuan pembelajaran (Yahya dkk, 2018). Tarigan
(2008:140) dalam kenyataan praktik, survei menyatakan bahwa pada umumnya kita
menggunakan waktu untuk menyimak hampir tiga kali sebanyak waktu untuk membaca,
namun anehnya sangat sedikit perhatian yang diberikan untuk melatih orang menyimak. Pada
sekolah-sekolah di Detroit, Runkin menemukan bahwa dalam penekanan pembelajaran
dikelas: membaca memperoleh 52% dan menyimak hanya memperoleh 8% .
Cara penyampaian materi kepada siswa harus menarik sehingga siswa dapat menerima
materi dengan maksimal. Keefektifan penyampaian materi kepada siswa dapat dilakukan
dengan menggunakan media dan metode yang sesuai dengan materi yang diajarkan (Setiawan
dkk, 2018). Media film adalah suatu perantara audio visual untuk menyampaikan pesan,
informasi, materi ajar kepada peserta didik sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian, dan minatnya dalam suatu proses pembelajaran yang dilakukan yang tersusun dari
rangkaian gambar tak hidup yang berurutan pada frame yang diproyeksikan secara mekanis
elektronis sehingga tampak hidup pada layar. Siswa dapat memahami materi pemahaman
menggunakan indera pendengar dan indera pengelihatan sekaligus. Media film dalam
pembelajaran menyimak cerita rakyat dapat meningkatkan rasa ingin tahu, motivasi, serta
prestasi belajar siswa. Siswa yang termotivasi akan mengikuti pembelajaran dengan lebih
maksimal. Sehingga, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan menyimak cerita rakyat
pada siswa yang dapat diidentifikasi dari hasil belajar siswa dan perupahan sikap siswa kearah
yang lebih positif. Kompetensi menyimak cerita anak ini diharapkan mampu mengubah
pandangan siswa mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya keterampilan
menyimak yang seringkali diremehkan, dianggap kurang penting, sekaligus dirasa masih
menyulitkan siswa. Kompetensi tersebut sesungguhnya sangat dekat dengan dunia siswa yang
masih anak-anak, sehingga mampu meningkatkan kemampuan menyimak (Susanti, 2016).
REFERENSI

Alfulaila, N., & Ngalimun (2014). Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Indonesia.


Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Andyani, N., Saddhono, K., & Mujyanto, Y. (2016). Peningkatan Kemampuan Menulis Teks
Eksplanasi Dengan Menggunakan Media Audiovisual Pada Siswa Sekolah
Menengah Pertama. Basastra Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan
Pengajarannya. 4(2):161–174.
Antoro, H. (2015). Peningkatan Keterampilan Menyimak Cerita dengan Menggunakan
Media Film Animasi Pada Siswa Kelas V SD N 2 Jonggrangan Kecamatan
Girimulyo Kulon Progo. Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan PGSD Universitas
Negeri Yogyakarta.
Astuti, Y.W., & Mustadi, A. (2014). Pengaruh Penggunaan Media Film Animasi Terhadap
Keterampilan Menulis Karangan Narasi Siswa Kelas V SD. Jurnal Prima Edukasia.
2(2):250-262. https://doi.org/10.21831/jpe.v2i2.2723.
Bakiyatusolichah, & Sari, K. P. (2015). Penggunaan Media Audio Visual untuk
Meningkatkan Kemampuan Menyimak Cerita Rakyat di MI Al Islam Kalisalak
Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. Jurnal Tarbiyatuna. 6(2):121-134.
Dewi, I. A. N. Y. (2016). Kemampuan Menyimak Cerita Rakyat Lubdaka Siswa SMP PGRI 8
Denpasar. Jurnal Kajian Pendidikan Widya Accarya FKIP Universitas Dwijendra.
5(1):77-85.
Faradinna, A. R. (2018). Penerapan Media Film Dalam Pembelajaran Menulis Bahasa Jerman
Siswa Kelas XII IBB SMAN 2 Sidoarjo. Jurnal Laterne Pendidikan Bahasa Jerman.
7(1):101-114.
Fransiska, C. (2013). Peningkatan Kemampuan Menyimak Isi Cerita dengan Menggunakan
Audio story telling terekam di kelas V SDN 3 Panarung Palangkaraya. Jurnal
Pendidikan Humaniora. 1(3):289-297.
Frutescen, D., Halidjah, S., & Rosnita. (2016). Pengaruh Penggunaan Media Film Kartun
Cerita Rakyat Terhadap Kemampuan Menulis Karangan Narasi Kelas IV. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran. 5(1):1-10
Gusmaidar. (2016). Peningkatan Keterampilan Menyimak Dongeng dengan Menggunakan
Media Animasi Audiovisual Melalui Metode Think Pairs Share pada Siswa. Jurnal
Penelitian Guru Indonesia. 1(1):15-24. 10.29210/0243jpgi0005.
Hartiani, A., & Fathurohman, I. (2018). Peningkatan Kualitas Pembelajaran Menyimak
Cerpen melalui Model Picture and Picture Berbantuan Media CD Cerita Pada Siswa
Kelas V SD. Jurnal Kredo. 2(1):17-38. https://doi.org/10.24176/kredo.v2i1.2576.
Jezernik, J. F. (2019). Introduction : The Cultural Heritage of The Isonzo Front. Journal
Folklore. 73(1)7-14. https://doi.org/10.7592/FEJF2018.73.introduction.
Kurniasih, I. (2015). Pengaruh Penggunaan Media Audio Terhadap Hasil Menyimak Unsur
Unsur Cerita Rakyat. Jurnal Saung Guru. 7(3):245-254.
Lagandesa, R., Effendi, & Sunaji. (2016). Peningkatan Keterampilan Menyimak Cerita
Rakyat Melalui Media Audio Pada Siswa Kelas V SDN No. 1 Pancamukti. Jurnal
Kreatif Tadulako Online. 3(4):121-134.
Maradonah, E. (2017). Peningkatan Kemampuan Menyimak Cerita Anak Dengan Metode
Latihan Siswa kelas 1 SDN 006 Pagaran Tapah Darussalam. Jurnal Primary
Program Studi PGSD FKIP Universitas Riau. 6(1):58-68.
Mardiah, A. (2013). Penggunaan Media Film untuk Meningkatan Menyimak pada Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas VII SMPLB. Jurnal Assesmen dan
Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. 12(2):113-122.
Octavian, W. A. (2014). Peranan Pengunaan Media Film Pada Proses Pembelajaran PKn
Dalam Mengembangkan Sikap Nasionalisme Siswa. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial.
23(1):69-76. http://dx.doi.org/10.17509/jpis.v23i1.2064.
Olajide, S.B. (2010). Folklore and Culture as Literacy Resource for National Emancipation.
Journal International Education Studies. 3(2):200-204.
Omih. (2017). Penerapan Metode Bercerita dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan
Menyimak Cerita Rakyat Pada Siswa Kelas V SDN Panyingkiran 3 Kabupaten
Sumedang. Jurnal Mimbar Pendidikan Dasar. 8(1):60-69.
Paisal, A., Salem, L., & Ramdani, D. (2018). Kemampuan Menyimak Teks Cerita Rakyat
Pada Siswa Kelas X SMA N 5 Pontianak. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran.
7(1):1-8.
Rahim, N. A., Pawi, A. A. A., & Affendi, N. R. N. M.  (2018). Integration of Value and
Culture in Malay Folklore Animation. Journal Social Science & Humanities.
26(1):359-374.
Rosdia. (2016). Peningkatan Kemampuan Menyimak Melalui Metode Mendongeng Siswa
Kelas VI SDN Sese. Jurnal Kreatif Tadulako Online. 4(8):250-267.
Sadiman, A. dkk .(2009). Media Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Saddhono, K. (2012). Bentuk dan Fungsi Kode dalam Wacana Khotbah Jumat. Jurnal
Adabiyyāt. 11(1): 71-92. https://doi.org/10.14421/ajbs.2012.11104.
Saddhono, K. & Slamet, St. Y. (2012). Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Indonesia.
Bandung: Karya Putra Darwati.
Setiawan, B., Wardani, N. E., & Saddhono, K. (n.d.). (2018). Bercerita dengan Media
Wayang Kulit Untuk Siswa SMP di Kabupaten Magelang. INA-Rxiv.
http//:doi.org/10.31227/osf.lu/vhcdf.
Sukirno. (2010). Belajar Cepat Menulis Berbasis Kuantum. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Sulastri. (2014). Peningkatan Keterampilan Menyimak Cerita Rakyat Menggunakan Media
Film Pada Siswa Kelas X4 SMA N 4 Purworejo Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal
Surya Bahtera. 2(20):1-9.
Sulastri. (2014). Peningkatan Keterampilan Menyimak Cerita Rakyat Menggunakan Media
Film Pada Siswa Kelas X4 SMA N 4 Purworejo Tahun Pelajaran 2013/2014.
Skripsi. FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Susanti, W. (2016). Peningkatan Kemampuan Menyimak Cerita Anak Melalui Pengunaan
Media Film Animasi. Jurnal PGSD. 5(9):904-912.
Tarigan, H.G. (2008). Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Percetakan Angkasa.
Thompson, T. (2018). Foklore Beyond the Human : Toward a Trans-Special Understanding
of Culture, Comunication, and Aesthetics. Journal of Folklore Research. 55(2):70-
90.
Tugiyo. (2016). Pembelajaran Menyimak Cerita Rakyat Melalui Model Pembelajaran
Kooperatif. Jurnal Penelitian Tindakan Kelas. 17(2):53-59.
Vukmanović, A. (2018).Constructing Alien Space in South Slavic Oral Lycic. Journal
Folklore.74(1)52-71. https://doi.org/10.7592/FEJF2018.74.vukmanovic.
Widiani, L.S., Darmawan, W., & Ma’mur, T. (2018). Penerapan Media Film Sebagai Sumber
Belajar Untuk Meningkatkan Kemampuan Mengelola Informasi Siswa dalam
Pembelajaran Sejarah. Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah. 7(1):123-132.
Wigati, L. (2012). Peningkatan Kemampuan Menyimak Cerita Rakyat Menggunakan Strategi
Pembelajaran Ekspositori Pada Siswa Kelas VII MTS Al-Islam Bojongsari
Kedungrejo. Skripsi. FKIP UNY.
Wulandari, S. F. (2013). Implementasi Penggunaan Media Pada Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMP Negeri 18 Palu. Jurnal Bahasa dan Sastra. 2(1):1-13.
Yahya, M., Andayani, & Saddhono, K. 2018. Studi Kesalahan Penulisan Kalimat dalam
Karangan Pelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Jurnal Bahasa,
Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 5(1): 1-20.
https://doi.org/10.15408/dialektika.v5i1.6295.
Yasri, H. L., & Mulyani, E. (2016). Efektivitas Penggunaan Media Film Untuk Meningkatkan
Minat dan Hasil Belajar Ekonomi Siswa Kelas X. Jurnal Pendidikan IPS. 3(1):138-
149. https://doi.org/10.21831/hsjpi.v3i2.7931.

Anda mungkin juga menyukai