Bab 2-1
Bab 2-1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
6
7
1. Model simulasi lazimnya adalah besar dan rumit sehingga memerlukan biaya
mahal pada proses penyusunan.
2. Model simulasi yang komplek menimbulkan kesukaran untuk dimengerti.
Latin adalah vektor utama penyakit rabies selain anjing.Rubah juga merupakan
hewan penular terpenting di Eropa, sedangkan di Asia dan Afrika, anjing
merupakan vector terbanyak ditemukan.
Penyakit rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan,
kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang-orang
yang terpapar.Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi
karena biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya
postexposuretreatment.Kerugian akibat pembatalan kunjungan wisatawan,
terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata penting di dunia, seperti Balidapat
saja terjadi jika tingkat kejadian rabies sangat tinggi.Rabies telah ada di Indonesia
sejak abad ke-19 dan telah tersebar disebagian besar wilayah.Rabies dilaporkan
pertama kali oleh Stchorl pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi,
Jawa Barat. Hasil penelitian pada hewan peliharaan seperti anjing, kucing dan
kera, didapatkan data bahwa 12.581 gigitan hewan tersangka rabies sebanyak,
1.112 hewan positif rabies, dan 120 orang meninggal, dengan kasus tertinggi di
NTT, Sumatera Barat, dan Riau. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan
pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning tahun
1890 di Tangerang.Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh Eilerts de Haan
pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun 1894.
Rabies dilaporkan semakin menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia,
yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953, Sulawesi Selatan
tahun1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI Yogyakarta
dilaporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974, Riau tahun 1975 dan di
Kalimantan Tengah tahun 1978. Rabies pada dekade 1990-an dan 2000-an masih
terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu
Flores tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Pulau Bengkalis
dan Pulau Rupat di Provinsi Riau tahun 2009 (Depkes RI, 2009).
Bali merupakan provinsi terbaru tertular rabies di Indonesia dan Bali
dinyatakan tertular secara resmi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.
1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008. Secara laboratorium rabies pada anjing
di Bali didiagnosis pertama kali pada tanggal 27 November 2008 yaitu pada satu
ekor anjing asal Kelurahan Kedonganan, dengan mengkaji kasus pada manusia
17
dan hewan serta, masa inkubasi rabies sudah ditemukan menyebar ke beberapa
wilayah antara lain di Kota Denpasar pada tanggal 19 Desember 2008
Pertengahan tahun 2009 wabah sudah menyebar ke Kabupaten Tabanan,
Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Bangli dan Kabupaten
Gianyar. Kabupaten Klungkung tertular akhir Maret 2010, dan akhirnya
Kabupaten Juni 2010 Kabupaten Jembrana dinyatakan tertular rabies.Dengan
demikian saat ini, semua kabupaten/kota di Provinsi Bali sudah tertular
rabies.Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan
eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping program sosialisasi, dan pengawasan
lalu lintas Hewan Penular Rabies (HPR).
Vaksinasi massal merupakan cara efektif untuk pencegahan dan
pengendalian rabies. Vaksinasi rabies pada anjing di Kabupaten Badung Provinsi
Bali sudah dilakukan sejak tanggal 4 Desember 2008, yang dilanjutkan dengan
vaksinasi massal pada tangal 21 sampai 22 Desember 2008.Vaksinasi massal terus
dilakukan sampai saat ini (Juni 2011) di seluruh Bali.Vaksin rabies yang
digunakan adalah vaksin Rabivet Supra92 dan Rabisin.Upaya untuk
mengendalikan rabies dngan vaksinasi dan eliminasi anjing tidak optimal tidak
banyak memberikan hasil.Kasus rabies di daerah tertentu behkan semakin
meningkat (Adjid et al., 2005), demikian juga halnya yang terjadi di Bali.Hal itu
terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies.Hal tersebut
mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang tidak memadai.Cakupan
vaksinasi merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pengendalian suatu
penyakit, disamping kualitas vaksin, teknik aplikasi dan waktu pelaksanaan
vaksinasi (CDC, 2012).
Berdasarkan data yang ada di Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet
Denpasar), 3 ekor anjing yang didiagnosis positif rabies ternyata sudah pernah
mendapatkan vaksin rabies. Hal yang hampir sama juga dilaporkan oleh Wilde
dan Tepsumethanon (2010), bahwa 3 sampai 6% kasus anjing rabies di Thailand
memiliki sejarah sudah pernah divaksinasi. Hal tersebut menimbulkan
kecurigaanbahwa kasus-kasus tersebut kemungkinan disebabkan oleh virus isolat
vaksin itu sendiri. Penyebab lainnya yang perlu dikaji antara lain rentang waktu
kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin yang dipakai terlalu singkat, penanganan
18
yang tidak baik (misalnya rantai dingin yang tiak terpenuhi), salah aplikasi,
ataukah terjadi perbedaan struktural gen pada glikoprotein virus rabies yang ada di
Bali dapat menyebabkan vaksin yang diberikan tidak mampu lagi memberikan
protektivitas pada anjing yang divaksin. Diketahui bahwa glikoprotein virus rabies
merupakan protein yang berperan dalam menginduksi produksi antibodi
netralisasi yang bersifat protektif setelah vaksinasi.Glikoprotein juga sebagai
faktor penting dalam pathogenesitas virus rabies (Benmansour et al.m 1991;
Susetya, 2005; Nagarajan et al., 2006; Maillard dan Gaudin, 2002). Masalah-
masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan surveilans serologis untuk
deteksi antibodi pasca vaksinasi dan analisis genetika terhadap gen penyandi
glikoprotein virus rabies yang ada di Bali. Deteksi antibodi rabies sangat penting
dilakukan untuk mengetahui efektivitas vaksin rabies.Jenis vaksin tampaknya
menghasilkan respons imun yang berbeda.Hasil penelitian (Minke et al., 2009)
menunjukkan bahwa vaksin Rabisin menginduksi respons kebal tertinggi pada
hari 14 setelah vaksinasi yaitu 87%. Vaksin yang lain, yaitu Nobivac, disebutkan
menginduksi kekebalan yang lebih seragam yang mencapai 100% (CDC, 2012).
2.3.3 Etiologi
penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40oC dapat tahan selama
beberapa tahun (Akoso Tri Budi, 2008).
Masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing berkisar antara 10 sampai 8
minggu.Masa inkubasi rabies pada sapi, kambing, kuda dan babi berkisar antara 1
sampai 3 bulan. Biasanya berlangsung 3-8 minggu, jarang sekali sependek 9 hari
atau 7 tahun; masa inkubasi sangat tergantung pada tingkat keparahan luka, lokasi
luka yang erat kaitannya dengan kepadatan jaringan saraf dilokasi luka dan jarak
luka dari otak, dan tergantung pula dengan jumlah dan strain virus yang masuk,
21
serta tergantung dari perlindungan oleh pakaian dan faktor-faktor lain. Masa
inkubasi yang panjang terjadi pada individu prepubertal.
2.3.6 Patogenesis
Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi,
kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau
mukosa).Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena
binatang menjilati kuku-kukunya.Saliva yang ditempatkan pada permukaan
mukosa seperti konjungtiva mengkin infeksius.Ekskreta kelelawar yang
mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka
yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh
kelelawar.Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan
ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah
direkam dengan cukup sering.
Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang
terdokumentasi dan jarang terjadi. Luka gigitan biasanya merupakan tempat
masuk virus melalui saliva, virus tidak bias masuk melalui kulit utuh. Setelah
virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal
pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung
serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan fungsinya. 21 bagian otak
yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn. Sesampainya di
otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian
neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak.Setelah memperbanyak diri dalam neuron sentral,
virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun saraf otonom. Dengan demikian, virus tersebut menyerang hampir tiap
organ dan jaringan di dalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti
kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam
infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam
sitoplasma sel ganglion besar.
Air liur binatang sakit yang mengandung virus menularkan virus melalui
gigitan atau cakaran (dan sangat jarang sekali melalui luka baru di kulit atau
melalui selaput lender yang utuh).Penularan dari orang ke orang secara teoritis
dimungkinkan oleh karena liur dari orang yang terinfeksi dapat mengandung
virus, namun hal ini belum pernah didokumentasikan.Transplantasi organ
(cornea) dari orang yang meninggal karena penyakit system saraf pusat yang tidak
terdiagnosis dapat menularkan rabies penerima organ tadi.
Penyebaran melalui udara telah dibuktikan terjadi di suatu gua dimana
terdapat banyak kelelawar yang hinggap dan pernah juga terjadi di laboratorium,
namun kejadiannya sangat jarang.Penularan rabies di Amerika Serikat kelelawar
pemakan serangga jarang menularkan rabies kepada binatang didarat baik kepada
binatang domestic maupun biantang liar. Sumber penularannya 90% dan anjing,
6% dan kucing, dan 4% dan monyet dan hewan lainnya. Setelah menyerang dan
mengakibatkan radang otak, virus akan menyebar ke air liur penderita rabies.
Rabies pada anjing, virus ditemukan kurang dan lima hari sebelum munculnya
gejala. Gigitan hewan terinfeksi bias langsung menularkan penyakit. Cakaran
kuku hewan terinfeksi perlu diwaspadai karena kebiasaan hewan yang menjilati
cakarnya.
dari mereka yang menerima dosis vaksin 1,0 cc. dan reaksi sistemik
sedang seperti sakit kepala, mual, sakit pada otot, pusing dan sakit perut
dilaporkan terjadi pada 20% penerima vaksin. Reaksi “serum sickness”
seperti urtikaria primer gatal di seluruh tubuh dan dengan ronchi pada
paru-paru jarang dilaporkan terjadi. Namun dilaporkan 6% dari orang
yang menerima dosis booster profilaksis prapajanan timbul reaksi
hipersensitivitas 2-21 hari setelah pemberian HDCV. Gejala
hipersensitivitas tersebut berupa timbul ruam seluruh tubuh disertai gatal,
urtikaria, arthralgia, arthritis, angioedema, nausea, muntah, demam,
dan malaise.
Gejala tersebut dapat diatasi dengan pemberian antihistamin,
responsnya cukup baik; namun beberapa kasus memerlukan
corticosteroid atau epinephrine.Mereka yang terpajan dengan rabies dan
menunjukkan reaksi hipersensitivitas seperti tersebut diatas, pemberian
imunisasi harus diteruskan sampai dosis lengkap dengan catatan reaksi
hipersensitivitas tersebut dapat diobati.Hanya 1% dari mereka yang
menerima dosis booster RVA yang menunjukkan reaksi alergi sistemik.
Belum pernah dilaporkan adanya reaksi hipersensitivitas yang bermakna
setelah pemberian HRIG (berasal dari manusia), namun 5-40% dari 434
mereka yang diberikan antisera yang berasal dari serum binatang
menunjukkan reaksi hipersensitivitas berupa “serum sickness”.
Globulin imun yang telah dimurnikan dan yang beredar saat ini
terutama yang dibuat dari serum kuda, hanya 1% dari orang yang
menerima globulin imun yang menunjukkan reaksi
hipersensitivitas.Seluruh risiko terhadap kemungkinan timbulnya reaksi
hipersensitivitas seperti yang diuraikan diatas harus dipertimbangkan
dengan risiko kemungkinan terkena rabies. Tatalaksana terhadap luka
gigitan binatang diambil dari “the Eight Report of the WHO Expert
Committee on Rabies”, tahun 1992 dan dari USPHS Advisory Committee
on Immunization Practice(MMWR, Rabies Prevention-United States,
1999;48 No.RR-1; Januari 1999). Tata laksana terhadap luka gigitan
seperti yang diuraikan berikut ini:
29