Anda di halaman 1dari 3

TUGAS MULTIKULTURALISME

Dibuat Oleh:
Celina Angeline (12017000413/201701020039)
UAJ 180
Seksi E
No. Urut: 17

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
JAKARTA
2019
Masyarakat multikulturalistik tentunya terbentuk dari beraneka ragam budaya. Dalam upaya
pembangunan masyarakat multikulturalistik yang bisa saling memahami dan menghargai, bahasa
bersama sangat dibutuhkan untuk menjadi wadah ataupun tempat untuk mengkomunikasikan diri dan
saling berinteraksi serta berdialog. Pokok bahasannya tidak akan jauh dari kepentingan bersama
sebagai sebuah masyarakat.
Bahasa bersama adalah suatu sarana yang digunakan untuk berkomunikasi dalam masyarakat
multikulturalistik untuk bisa saling berbagi, berinteraksi, berkomunikasi agar adanya keterbukaan satu
sama lain untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan memahami. Beberapa sikap yang menjadi
bahasa bersama untuk membangun multikulturalisme, yaitu saling menghargai, keadilan dan
keberadaban, kejujuran, serta rendah hati. Nilai-nilai ini adalah nilai yang harus dibangun dalam
masyarakat multikulturalistik.
Untuk menumbuhkan nilai-nilai yang telah disebutkan sebelumnya, bahasa bersama akan
diperlukan. Bahasa bersama diperlukan karena adanya perbedaan kultur yang terjadi karena Indonesia
mempunyai beragam budaya. Selain itu, masalah-masalah atau persoalan bersama yang ada di sekitar
kita dapat kita jadikan sebagai bahasa bersama yang harus kita bahas bersama untuk mencari jalan
keluarnya.
Bahasa bersama dapat kita temukan dari budaya-budaya kita yang beraneka ragam dan tidak
harus diciptakan dari luar. Bahasa bersama muncul dari adanya perbedaan budaya yang sebenarnya
mempunyai kesamaan jika kita dapat menariknya dalam suatu benang merah. Lebih lengkapnya
mengenai budaya akan dibahas di paragraf selanjutnya.
Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya, ada tiga level budaya menurut Nitza Hidalgo.
Yang pertama adalah level konkret yang merupakan level yang paling berwujud. Contoh dari level
konkret adalah rumah orang Minang berbeda dengan rumah orang Toraja dan kain tenun Kaliuda asal
Sumba berbeda dengan kain tenun Ulos dari Medan. Level kedua adalah level perilaku. Level ini
mengklarifikasi cara kita mendefiniskan peran sosial kita, bahasa yang kita pakai, serta merefleksikan
nilai-nilai. Contoh dari level kedua adalah tampilan fisik, tata krama, serta perilaku orang dari suku
Ambon pasti berbeda dengan orang Jawa. Level yang terakhir adalah level simbolik. Level ini yang
mencakup nilai-nilai dan keyakinan yang bersifat abstrak. Level ini merupakan cara kita untuk dapat
lebih mampu memahami kedua level sebelumnya karena berupa simbol-simbol. Pada level ini lebih
banyak kesamaan yang diperlihatkan. Contohnya adalah nilai kejujuran dianut oleh semua budaya,
tetapi disimbolkan secara berbeda dalam masing-masing budaya. Ada budaya yang melakukan
kejujuran dengan sikap blak-blakan atau secara langsung, ada juga yang melakukannya dengan cara
lebih santun dan berputar-putar. Contoh berikutnya adalah nilai keadilan. Ada budaya yang
menganggap adil jika laki-laki boleh sekolah tinggi sementara perempuan tidak perlu. Suami
disimbolkan sebagai kepala rumah tangga, sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga. Keadilan
menurut budaya tertentu berarti seseorang menempati posisi sesuai dengan hak dan perannya. Pada
intinya, perbedaan yang ada adalah perbedaan penekanan yang membuat adanya hierarki nilai,
contohnya ada budaya tertentu yang mengutamakan kejujuran dibanding keharmonisan.
Sissela Bok juga merumuskan mengenai bahasa bersama dengan membaginya menjadi dua
hal, yaitu nilai minimalis dan nilai maksimalis. Nilai minimalis adalah nilai yang paling dasar yang
menjadi tuntutan untuk bisa hidup bersama. Nilai ini biasa dikemukakan secara negatif. Contoh paling
umum dari nilai minimalis adalah jangan mencuri, jangan berbohong, jangan membunuh, dan jangan
mengkhianati. Nilai ini sudah biasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak ada yang
mengatakan bahwa nilai ini salah. Nilai ini harus disepakati agar masyarakat dapat hidup bersama
secara harmonis. Seringkali kita juga mendengar abstraksi mengenai nilai minimalis tersebut.
Abstraksi adalah tindakan yang menarik keluar inti sarinya. Abstraksi-abstraksi yang ada berdasarkan
contoh diatas adalah keadilan (abstraksi dari jangan mencuri), kejujuran (abstraksi dari jangan
berbohong), cinta (abstraksi dari jangan membunuh), dan kesetiaan (abstraksi dari jangan
mengkhianati). Nilai abstraksi tersebut adalah yang kita sebut sebagai nilai maksimalis. Nilai
maksimalis merupakan nilai-nilai yang mendasar yang menuntut kita untuk bisa digunakan selama
hidup bersama. Nilai tersebut harus bisa menjadi bahasa bersama dalam menjalin kehidupan bersama
yang harmonis dalam masyarakat multikultural. Nilai minimalis dan maksimalis merangkum semua
nilai yang kita anut bersama dan menjadi bahasa bersama bagi semua manusia.
Dalam kehidupan yang menjunjung bahasa bersama, diperlukan etika sebagai landasan paling
pokok pada kemanusiaan. Etika digunakan sebagai refleksi kritis terhadap tindakan-tindakan moral
manusia yang tidak bisa dilepaskan dari gerakan multikulturalisme. Ketika kehidupan bersama yang
tidak harmonis terjadi, salah satu faktor penyebabnya adalah pelanggaran etis dalam budaya manusia,
termasuk agama, keyakinan, ajaran moral, serta adat istiadat. Salah satu contoh nyatanya adalah
gerakan feminisme. Gerakan ini memberi catatan penting karena menyangkut tuntutan
multikulturalisme untuk menghargai berbagai budaya. Hal yang perlu kita pikirkan adalah apakah
budaya yang merendahkan martabat manusia perlu dihargai dan ditolerir? Gerakan ini terang-terangan
menolak untuk menghargai praktik-praktik budaya seperti pernikahan dini, poligami, serta penolakan
bayi perempuan.

Anda mungkin juga menyukai