Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH TENTANG

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN


KEMISKINAN

OLEH:

KELOMPOK 5 :
1. ANSI ARIANTI RIWU (33118183)
2. MARIA VIRGINIA MANEK (33117059)
3. KAROLINA UTARI (33118173)
4. APLONIA ENJELINA HADIA (33118154)
5. MATEUS RIDO GELI (33118207)
6. ERNI TRISNA SERAN (33118119)
7. STEFANIA B. DJUMA (33118145)
8. AKNESIA K. MANEHAT (33118215)
9. MEGA ACHAB (33118217)
10. GRESENTYA VENNY SEPTIARA TSE (33118122)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS KATOLIK WYDIA MANDIRA

KUPANG

2019
KATA PENGANTAR

puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena rahmat-Nya penyusun dapat
menyelesaikan makalah tentang KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN
KEMISKINAN Selain sebagai tugas, makalah yang penulis buat ini bertujuan memberi
informasi kepada para pembaca tentang KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN
KEMISKINAN. Banyak sekali hambatan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu,
selesainya makalah ini bukan semata karena kemampuan penulis, banyak pihak yang mendukung
dan membantu. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-
pihak yang telah membantu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan agar kedepannya kami
mampu lebih baik lagi.

Kupang, Oktober 2019


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …................................................................................... i

DAFTAR ISI ….................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

5.1 MENGUKURKETIMPANGAN DAN KEMISKINAN ……………………..


5.2 KEMISKINAN, KETIMPANGAN DAN KESEJATERAAN SOSIAL……...
5.3 KEMISKINAN ABSOLUD…………………………………………………...
5.4 KARAKTERISTIK EKONOMI MASYARAKAT MISKIN…………………
5.5 PILIHAN KEBIJAKSANAAN DALAM KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN
KEMISKINAN………………………………………………………………..

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN…………………………………………………………….
B. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi
pendapatan. Hal ini bisa terjadi bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki
oleh setiap individu dimana satu individu/kelompok lain, sehingga ketimpangan distribusi
pendapatan tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi di Negara di dunia. Kita
menyaksikan bahwa kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di Negara Negara
berkembang, meskipun telah terjadi perbaikan- perbaikan yang signifikan selama lebih dari
separuh abad terakhir. Sudah jelas bahwa pembangunan memerlukan GNI yang lebih tinggi
dan pertumbuhan yang cepat. Namun masalah dasarnya bukan hanya bagaimana
menumbuhkan GNI, sejumlah besar masyarakat yang ada dalam sebuah Negara ataukah
hanya segelintir orang didalamnya. Jika yang menumbuhkan hanyalah orang –orang kaya
yang berjumlah sedikit,maka manfaat pertumbuhan GNI itu pun hanya dinikmati oleh
mereka saja, sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun akan semakin parah.
Namun jika pertumbuhannya dihasilkan oleh orang banyak, mereka pulalah yang akan
memperoleh manfaat terbesarnya, dan buah pertumbuhan ekonomi akan terbagi secara
merata. Oleh karena itu, banyak Negara berkembang yang dalam sejarahnya menikmati
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi menemukan bahwa pertumbuhan semacam itu
kurang memberikan manfaat kepada kaum miskin.karena penanggulan kemiskinan dan
ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan
merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak Negara, maka kita melihat
bagian dua dengan berfokus pada hakikat kemiskinan dan masalah ketimpangan pendapatan
di Negara – negara berkembang. Meskipun focus utama kita adalah kemiskinan ekonomi
dan ketimpangan dalam hal distribusi pendapatan asset,perlu diinagatkan bahwa hal tersebut
hanyalah bagian kecil dari masalah ketimpanagan yang sebenarnya lebih luas di Negara
berkembang.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka dikemukakan perumusan
yang ada, maka dikemukakan perumusan masalah yaitu pengaruh ketimpangan distribusi
pendapatan terhadap kemiskinan.

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ekonomi Pembangunan.
2. Untuk mengetahui dan lebih memahami tentang ketimpangan Distribusi pendapatan.
BAB II

PEMBAHASAN

KETIMPANGAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

 Ketimpangan adalah suatu keadaan ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat yang
menjadikan suatu perbedaan yang mencolok.
 Distribusi Pendapatan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk melihat beberapa
pembagian dari pendapatan nasional yang diterima masyarakat.
 Kemiskinan adalah suatu keadaan atau ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan primer seperti makanan, air, pakaian serta tempat tinggal.

5.1 MENGUKUR KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN


5.1.1 Mengukur Ketimpangan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan,
yang keduanya digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif: distribusi pendapatan
perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan dan distribusi pendapatan “fungsional” atau
pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi.
A. Distribusi Ukuran
Distribusi pendapatan perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan merupakan
ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung
menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga.
Cara mendapatkan penghasilan itu tidak dipermasalahkan. Yang dapat diperhatikan
disini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari
mana sumbernya, entah itu hanya berasal dari gajinya karena bekerja, atau berasal dari
sumber yang lain seperti bunga tabungan, laba, hasil sewa, hadiah ataupun warisan.
Oleh karena itu, para ekonom dan ahli statistik cenderung mengurutkan semua
individu tersebut hanya berdasarkan pendapatan yang diterimanya, lantas membagi total
populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran. Biasanya populasi dibagi menjadi
lima kelompok, atau kuntil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile)
sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan beberapa proporsi
yang diterima oleh masing-masing kelompok dari pendapatan nasional total.
B. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz adalah kurva tentang ketidakmerataan pembagian kekayaan atau
pendapatan. Semakin dekat kurva dengan garis diagonal, semakin kecil tingkat
ketidakmerataan arau makin sempurna pembagian pendapatannya. Koefisien ini adalah
ketidakmerataan pembagian pendapatan dalam suatu rasio.
Jumlah penerimaan pendapatan dinyatakan pada sumbu horizontal, tidak dalam
arti absolute melainkan dalam presentase kumulatif. Misalnya pada titik 20 kita
mendapati populasi terendah (penduduk yangpaling miskin) yang jumlahnya meliputi
20% dari jumlah total penduduk pada titik 60 terdapat 60% kelompok bawah, demikian
seterusnya sampai pada sumbu yang paling ujung yang meliputi 100% atau seluruh
populasi atau jumlah penduduk. Sedangkan sumbu vertical menyatakan bagian dari
pendapatan total yang diterima oleh masing-masing persentase kelompok penduduk
tersebut. Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100%, sehingga itu berarti bahwa
kedua sumbu(vertical dan horizontal) sama panjangnya. Peraga ini secara keseluruhan
berbentuk bujur sangkar, dan dibelah oleh sebuah garis diagonal yang ditarik dari titik 0
pada sudut kiri bawah(titik asal) menuju kesudut kanan atas. Pada setiap titik yang
terdapat pada garis diagonal itu, persentase pendapatan yang diterima persis sama
dengan persentase penerimaannya misalnya, titik tengah garis diagonal melambangkan
50% pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50% dari jumlah penduduk. Titik
yang terletak pada posisi tiga perempatan garis diagonal melambangkan 75%
pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75% dari jumlah penduduk. Dengan
kata lain, garis diagonal dalam 6.1 melambangkan “pemerataan sempurna” (perfect
equality) dalam distribusi dalam ukuran pendapatan. Masing-masing persentase
kelompok penerima pendapatan menerima persentase pendapatan total yang sama
besarnya; contohnya, 40% kelompok terbawah akan menerima 40% dari pendapatan
total, sehingga 5% kelompok teratas hanya menerima 5% dari pendapatan total.
100

Garis pemerataan

Garis pemerataan

Kurva Lorenz Kurva Lorenz

0 Presentase populasi 100 Presentase populasi

a.Distribusi pendapatan yang relative merata b.Distribusi pendapatan yang relative tidak merata

Misalnya, satu tahun peraga 6.1 memuat kurva Lorenz yang menggunakan data desil
(populasi terbagi menjadi sepuluh kelompok)yang termuat dalam tabel 6.1.dalam kalimat
lain,sumbu horizontal dan sumbu vertikal dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama,sesuai
dengan 10 kelompok desil.titik A menunjukan bahwa sepuluh persen terbawah (termiskin)
dari total penduduk hanya menerima 1,8% pendapatan total, titik B menunjukan bahwa 20%
kelompok terbawah hanya menerima 5% dari pendapatan total, demikian seterusnya bagi
masing-masing 8 kelompok lainya.perhatikanlah bahwa titik tengah, yang menunjukan 50%
penduduk hanya menerima 19,8% dari pendapatan total.

Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis
pemerataan sempurna), maka seakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya.
Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurna (yaitu, apabila hanya seorang saja yang
menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang-orang lainnya sama sekali tidak
menerima pendapatan) akan diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu
horizontal sebelah bawah dan sumbu vertikal disebelah kanan.oleh karena tidak ada satu
Negara pun yang memperlihatkan pemerataan sempurna atau ketidak merataan sempurna
didalam distribusi pendapatannya, semua kurva Lorenz dari setiap Negara akan berada
disebelah kanan garis diagonal seperti ditunjukan pada Peraga 6.1. Semakin parah tingkat
ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan disuatu Negara maka bentuk kurva
Lorenznya pun akan semakin melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah. Dua
macam bentuk kurva Lorenz yang melambangkan kondisi distribusi pendapatan yang jauh
berbeda dapat dilihat pada Peraga 6.2. Peraga 6.2a menunjukan suatu distribusi pendapatan
yang relatif merata (ketimpangannya tidak parah) sedangkan Peraga 6.2b menunjukan
distribusi yang relative tidak merata (ketimpangan parah).

Garis pemerataan

Kurva lorenz

C. Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat


Perangkat yang terakhir dan sangat mudah digunakan untuk mengukur derajat
ketimpangan pendapatan relatif disuatu Negara, adalah dengan menghitung rasio bidang
yang terltak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segi
empat dimana kurva Lorenz itu berada.
Koefisien gini adalah ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol
(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Pada prakteknya
koefisien Gini untuk Negara yang derajat ketimpanganya tinggi berkisar antara 0,50
hingga 0,70, sedangkan untuk Negara –negara yang distribusi pendapatannya relatif
merata, angkanya berkisar antara 0,20 hingga 0,35. Koefisien Gini distribusi pendapatan
hipotesis kita pada tabel 6.1 mendekati 0,61 (menunjukan distribusi pendapatan yang
sangat timpang.
Empat kurva Lorenz yang biasa ditemui dalam data distribusi pendapatan
diberbagai Negara ditampilkan pada Peraga 6.4. dalam “criteria Lorenz “mengenai
distribusi pendapatan, ketika sebuah kurva Lorenz terletak diatas kurva Lorenz yang
lain distribusi pendapatan di Negara yang pertama dikatakan lebih merata, sedangkan
distribusi pendapatan di Negara kedua dikatakan lebih tidak merata. Sehinnga, dapat
dikatakan bahwa perekonomian Negara A tidak diragukan lagi lebih merata
dibandingkan dengan perekonomian Negara D. ketika dua kurva Lorenz saling
berpotongan, seperti kurva B dan C, kriteria Lorenz menyatakan bahwa kita
“memerlukan infomasi lebih banyak “atau asumsi tambahan sebelum kita dapat
memutuskan manakah yang lebih merata.misalnya, kita dapat berpendapat bahwa kurva
B lebih merata jika kita lebih memprioritaskan untuk menaggulangi kemiskinan, karena
kaum miskin dinegara ini lebih kaya, meskipun golongan kayanya juga lebih kaya lagi
(sehingga golongan menengahnya hanya sedikIt).
Kita juga dapat menggunakan ukuran agregat seperti koefisien gini untuk
mengukur tingkat pemerataan hal – hal lain di luar pendapatan. Telah diketahui bahwa
koefisien Gini merupakan salah satu ukuran yang memenuhi empat criteria yang sangat
dicari, yaitu prinsip anonimitas, indenpendensi skala, indenpendensi populasi.
D. Distribusi fungsional
Ukuran distribusi pendapatan kedua yang lazim yang digunakan oleh kalangan
ekonom adalah distribusi pendapatan fungsional atau pangsa dsitribusi pendapatan per
faktor produksi (functional or factor share distribution of income). Ukuran ini berfokus
pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing – masing faktor
produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi fungsional ini pada dasarnya
mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai
unit- unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan
membandingkannya dengan presentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk
sewa, bunga, dan laba (maing–masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang,dan
modal fisik). Walaupun indivudu–individu tertentu mungkin saja menerima seluruh
hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukan merupakan perhatian dari
analisis pendapatan fungsional.
5.2 KEMISKINAN, KETIMPANGAN, DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Masalah yang ditimbulkan oleh kemiskinan absolut sudah jelas. Tidak ada masyarakat
beradab yang dapat merasa nyaman dengan kondisi di mana rekan-rekan senegaranya berada
didalam kesengsaraan absolut karena kemiskinan yang dideritanya. Mungkin karena alasan
itulah mengapa setiap agama besar selalu menekankan pentingnya bekerja untuk
menanggulangi kemiskinan dan paling tidak juga merupakan salah satu alasan mengapa
bantuan pembangunan internasional didukung secara universal oleh setiap bangsa yang
demokratis. Namun masuk akal juga bila dinyatakan, jika prioritas utama kita adalah
pemberantasan kemiskinan absolut, mengapa ketimpangan relatif juga harus diperhatikan?
Jika ketimpangan di antara golongan miskin merupakan faktor penting untuk memahami
kedalam kemiskinan dan dampak perubahan kebijakan pada rakyat miskin, mengapa kita
juga harus memperhatikan ketimpangan yang terjadi di anatara oarang-orang yang berada di
atas garis kemiskinan? Terdapat tiga jawaban utama untuk pertanyaan ini. Pertama,
ketimpangan pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi. Penyebabnya
sebagian adalah, pada tingkat pendapatan rata-rata berapa pun, ketimpangan yang semakin
tinggi akan menyebabkan semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk
mendapatkan pinjaman atau sumber kredit yang lain. Di samping itu, salah satu defenisi dari
kemiskinan relatif adalah ketiadaan kolateral. Ketika individu yang berpenghasilan rendah
(terlepas dari apakah meraka miskin secara secara absolut attau tidak) tidak dapat meminjam
uang, pada umumnya mereka tidak dapat menyediakan pendidikan yang memadai anak
meraka atau melalui dan mengembangkan bisnis. Lebih lanjut, dengan tingkat ketimpangan
yang tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan didalam perekonomian cenderung rendah,
karena tingkat tabungan marjinal tertinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah.
Meskipun orng kaya dapat menabung dalam jumlah yang lebih besar, mereka biasanya
menabung dalam bagian yang lebih kecil dari pendapan mereka, dan tentunya menabung
dengan bagian yang lebih kecil lagi dari pendapatan mereka pada barang-barang impor
mewah, emas, perhiasan, rumah yang mahal, dan berpergian keluar negeri atau justru
menyimpan kekayaaannya di luar negeri dalam bentuk pelarian modal (capital flight).
Tabungan dan investasi dari mereka itu tidak menambah sumber daya produktif nasional;
bahkan, tabungan mereka mencerminkan kebocolan substansial pada sumber daya ini, dalam
arti bahwa pendapatan mereka berasal dari keringat dan jerih payah para pekerjaan biasa,
yang tidak terdidik dan tidak terampil.
Ketimpangan dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien. Ketimpangan yang
tinggi menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi dengan
mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar; dan hal ini pada gilirannya
menyebabkan kesenjngan pendapatan yang semakin lebar lagi. Ketimpangan yang tinggi
atas kepemilikkan tanah yang di rincikan dengan keberadaan latifundio (perkebunan) yang
besar di samping minifindio-minifuldio yang mungil yang bahkan tidak memadai untuk
menyokong sebuah keluarga juga menyebabkan inefisiensi, karena skala yang paling efisien
untuk pertanian adalah sawah yang berukuran keluarga (family size) dan menengah.
Hasilnya adalah pendapatan rata-rata yang lebih rendah, dan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang lebih rendah, ketika ketimpangannya lebih tinggi.
Alasan kedua yang harus dipertimbangkan menyangkut ketimpangan yang terjadi
diantara penduduk yang berada diatas garis kemiskinan adalah bahwa, disperitas pendapatan
yang ekstrim melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas. Lebih celaka lagi ketimpangan
yang tinggi memperkuat kekuatan politis golongan kaya disamping kekuatan tawar menawar
ekonomi mereka. Dahsyatnya kekuatan ini akan digunakan untuk mengarahkan berbagai
hasil pembangunan demi kepentingan mereka sendiri. Ketimpangan pangan yang tinggi
mempermudah “pemmburuan rente”, yang meliputi berbagai tindakan seperti lobi,
sumbangan politis yang besar, penyuapan, dan krooisme. Ketika berbagai sumber daya
dialokasikan untuk memburu rente, sumber daya tersebut dialihkan penggunannya dari
tujuan-tujuan produktif yang dapat mempercepat pertumbuhan. Ketimpangan yang tinggi
juga dapat membuat kaum miskin mendukung kebijakan yang populis yang sebenarny
adapat merugikan mereka sendiri. Negara yang mempunyai ketimpangan yang tinggi, seperti
El Savador dan Iran, telah mengalami berbagai guncangan dalam negeri atau konflik sipil
yang berkepanjangan yang telah menelan banyak jiwa dan memundurkan kemajuan
pembangunan selama beberapa dekade.
Akhirnya, ketimpangan yang ekstrim pada umumnya dipandang tidak adil. Akibatnya,
sebagian besar orang akan memilih negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan tertentu,
dengan asumsi bahwa tingkat ketimpangan berhubungan dengan insetif untuk bekerja keras
atau berinovasi. Namun demikian, sebagian besar orang akan memilih negara dengan tingkat
ketimpangan yang lebih kecil daripada yang sekarang terjadi di dunia. Mengapa? Karena
banyak ketimpangan yang kita lihat di dunia ini disebabkan oleh keberuntungan atau faktor-
faktor eksternal, seperti kemampuan untuk memukul bola dengan tongkat yang dibawa sejak
lahir, atau hanya mendapatkan warisan sifat keturunan dari nrnrk buyutnya.
Untuk semua alasan ini, pada bagian analis ini kita akan menuliskan rumus
kesejahteraan, W, sebagai berikut:

W= W (W, I, P)

Dimana Y adalah pendapatan per kapita dan berhubungan positif dengan fungsi
kesejahteraan kita, I adalah ketimpangan dan berhubungan negatif, dan P adalah kemiskinan
absolut dan juga berhubungan negatif. Ketika komponen ini mempunyai signifikasi yang
berbeda-beda, dan kita perlu mempertimbangkan ketiga elemen ini semua untuk
mendapatkan penilaian menyeluruh terhadap kesejahteraan di negara berkembang.

Pembangunan Dualistik dan pergeseran kurva Lorenz: sejumlah tipologi khusus

Dalam buku klasiknya yang berjudul Poverty, Inaquality, and Development, Gariy S.
Fielsds menunjukan penggunaan kurva Lorenz untuk menganalisis tiga kasus terbatas
dalampenggunaan dualistik. Ia membedakannya menjadi tiga tipologi pembangunan:

1. Tipologi pertumbuhan perluasan sektor moderen (moderen-sektor enlargament), dimana


usaha pengembangan ekonomi dua-sektor (sektor industri moderen dan sektor pertanian
tradisonal) bertumpu pada pembinaan dan pemekaran ukuran sektor moderen dengan
mempertahankan tingkaat upah di kedua sektor.
2. Tipologi pertumbuhan pengayaan (Enrichment) sektor moderen. Disini perekonomian
memang tumbuh, akan tetapi yang benar-benar menikmti buah pertumuhan itu hanya
terbatas pada segelintir orang yang berkecimpung di sektor moderen, sedangkan jumlah
pekerjaan maupun tingkat upah pekerja di sektor tradisional tetap.
3. Tipologi pertumbuhan pengayaan (Enrichment) sektor moderen. Dalam tipologi
pertumbuhan ini, hampir semua manfaat pertumbuhan tercurah secara merata kepada
pekerja di sektor tradisional, dan hanya sedikit saja atau bahkan tak ada yang dinikmati
pleh sektor industri moderen. Secara kasar, proses ini menggambarkan pengalaman
berbagai negara dan kebijakannya berfokus pada penurunan kemiskinan absolut secara
substansial, walaupun ditempuh dengan pendapatan nasional yang sangat rendah dan
dengan tingkat pertumbuhan yang relatif rendah.
Dengan menggunakan ketiga tipologi pertumbuhan tersebut dan kurva-kurva Lorenz
fields ternyata menunjukkan keabsahan pertanyaan-pertanyaan dibawah ini yang
berlawanan dengan ketiga uraian diatas:
1. Pada tipologi pertumbuhan pengayaan sektor tradisional, ternyata pertumbuhan
penghasilan pendapatan yang lebih tinggi, distribusi pendapatan yang relatif lebih merata,
dan mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan yang memperkaya sektor tradisional ini
ternyata mendorong kurva lorenz bergeser secara serentak keatas dan mendekati garis
pemerataan (garis lurus diagonal) sebagai mana tampak pada Peraga 6.7
2. Pada tipologi pertumbuhan pengayaan sektor modern, pertumbuhan penghasilan
pendapatan yang lebih tinggi, distribusi pendapatan yang relatif semakin timpang,
sedangkan kondisi kemiskinan tidak mengalami perbaikan sedikit pun. Pertumbuhan yang
memperkaya sektor modern justru menyebebkan kurva Lorenz bergeser kebawah dan
menjauh garis pemerataan, seperti yang tampak pada Paraga 6.8.
3. Yang terakhir, menurut konsepsi pertumbuhan perluasan sektor modern seperti dalam
model Lewis, pendapatan absolut meningkat dan kemiskinan absolut menurun, tetapi kurva
Lorenz akan selalu berpotongan, sehingga untuk kasus ini kita sulit untuk memperoleh
suatu gambar atau pernyataan yang tegas mengenai perubahan atas ketimpangan
pendapatan relatif. disini, distribusi pendapatan bisa dikatakan membaik, tetapi bisa pula
dikatakan memburuk. Fialds mengatakan bahwa pada prakteknya, yang bermula-mula
terjadi adalah memburuknya kondisi distribusi pernapasan. Namun, pada tahapan
pembangunan yang selanjutnya distribusi pendapatannya akan membaik. Bentuk kurva
Lorenz yang saling berpotongan tampak pada paragama 6.9.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai bentuk dua kurva Lorenz yang saling
berpotongan pada paragama 6.9: penduduk miskin yang bertahan di sektor tradisional tidak
mengalami perubahan tingkat pendapatan, namun pendapatan mereka ini sekarang hanya
merupakan bagian kecil dari pendapatan total yang lebih besar, sehingga kurva Lorenz
Perage 6.7 Pemerataan Distribusi Pendapatan dalm Tipologi Pertumbuhan Pengayaan
Sektor Tradisional

100

0 100

Persentase penerima pendapatan


yang baru, yakni L2, berada dibawah kurva Lorenz sebelumnya, L1, pada ujung bawah
dari skala distribusi pendapatan. Pendapan absolut yang diterima oleh para pekerja di
sektor modern tidak mengalami perubahan, namun pendapatan yang diterima oeleh
kelompok yang penghasilan yang paling tinggi secara relatif menjadi lebih kecil, sehingga
kurva Lorenznya yang baru akan beraa di atas kurva sebelumnya pada ujung atas skala
distribusi pendapatan. Karena itu di suatu titik teertentu, kurva Lorenz yang lama dan yang
baru pasti berpotongan.

Ketiga tipologi ini menawarkan prediksi yang berbeda-beda mengenai apa yang
akan terjadi terhadap ketimpangan pendaptan akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan
pengayaan sektor modern, ketimpangan akan semakin meningkat, sementara dalam kondisi
yang memperkaya sektor tradisional, ketimpangan akan semakin menurun. Sebaliknnya,
dalam perluasan sektor-modern, mula-mula ketimpangan akan meningkat dan setelahnya
menurun. Jika proses pembangunan khusus ini memang terjadi, kita tidak usah merisaukan
meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan sementara, karena di samping sifatnya
hanya sementara, proses pembangunan ini mencerminkan naiknya pendapatan yang di
nikmatai masing-masing penduduk di atas garis kemiskinan absolut.

Pengamatan ini menegaskan bahwa kita harus sedikit mengubah kesimpulan yang
menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan itu buruk. Khususnya, dalam sejumlah khasus
tertentu, ketimpangan mungkin akan meningkat sementara waktu akibat hal-hal yang pada
gilirannya akan membuat semua orang diuntungkan dan pada akhirnya menurunkan
ketimpangan pendapatan. Namun di sisi lain, dengan pertumbuhan yang disebabkan oleh
pengayaan sektor modern, dan penduduk miskin tidak akan terlepas dari kemiskinan.
Akibatnya, kita harus berhati-hati dalam menyimpulkan penyebab perubahan jangka

Peraga 6.8 Memburuknya Distribusi Pendapatan pada Tipologi Pertumbuhan


Pengayaan

Sektor Modern
100

0 100
Persentase Penerimaan Pendapatan

Kurva-kurva Lorenz yang Saling Berpotongan pada Tipologi Pertumbuhan Pendapatan


Penerima Pendapatan

Pendek dalam statistika ekonomi, sebelum kita mengenai lebi banyak mengenai
perubahan-perubahan mendasar dalam ekonomi riil yang menghasilkan statistika ini.
Proses pertumbuhan yang di sebebkan perluasan sektor modern menyiratkan kemungkinan
mekanisme yang dapat mengakibatkan hipotesis “kurva-U-terbalik” Kuznets.

Hipotesis Kurva U-Terbalik Kuznets

Simon Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi
pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatannya
akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-
terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan seperti
yang diukur misalnya, oleh koefisien Gini-tampak seperti kurva berbentuk U-terbalik,
sering dengan naiknya GNP, pada beberapa khasus penelitian Kuznets, seperti terlihat pada
gambar 6.10.

Dewasa ini, terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada taha-
tahap awal pembangunan distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun kemudian
membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannya dengan kondisi-kondisi dasar
pertumbuhan yang bersifat struktural. Menurut model Lewis, tahapan pertumbuhan awal
akan berpusat di sektor industri modern, yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun
tingkat upah dan produktivitas terhitung tinggi.

Seperti yang telah kita lihat, kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan
berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan
perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern.
Disamping itu, imbalan yang diperoleh dari investasi disektor pendidikan mungkin akan
meningkatkan terlebih dahulu, karena sektor modenr yang muncul memerlukan tenaga
kerja terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik menurun. Sehingga
walapun

Peraga 6.10 Kurva Kuznets “U-Terbalik”

0.75-

0.50-

0.35-

0.25

Produk Nasional Bruto Per kapita


Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang dapat menghasilkan kurva U-terbalik ini,
secara prinsip hipotensi ini kosisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi.
Namun kita telah melihat bahwa, dampak pengayaan sektor tradisional dan sektor modern
terhadap ketimpangan pendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah, sehingga
hasil netonya pada ketimpangan bersifat mendua (ambiguous), dan validitas empiris kurva
Kuznets masih patut dipertannyakan.

Terlepas dari perdebatan metodologisnya, beberapa ekonom pembangunan tetap


terdapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunan ketimpangan pendapatan
yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari. Sekarang ini sudah cukup banyak studi
kasus dan contoh-contoh speisfik dari berbagai negara seperti Taiwan, Korea Selatan,
Cina, Kosta Rika, dan Sri Lanka yang menunjukan bahwa peningkatan pendapatan
nasional dapat dibarengi dengan penurunan ketimpangan pendapatan atau pemerataan.
Namun seperti yang akan kita lihat, ini semua tergantung pada karakter proses
pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara.

Bukti Hiptesis Kurva-U Terbaik

Walaupun metode pengumpulan, tidak cakupan, dan defenisi spesifik tentang


pendapatan pribadi bisa sja berbeda-beda antarnegara dapat memberikan gambaran
pertama mengenai ketimpangan pendapatan (income inequality) yang terjadi di negara-
negara berkembang ini. Contohnya, dari bris terakhir kita dapat melihat bahwa dengan
menghitung rata-rata pangsa pendapatan yang di terima oleh kelompok-kelompok
masyarakat yang berbeda di 15 negara, 20% penduduk termiskin (kuintil pertama) dari
populasi rata-rata hanya menerima 5,2% dari pendapan, sementara 10% dan 20%
kelompok terkaya (kuintil kelima) masing-masing menerima 36% dan 51,8%. Sebaliknya,
di dalam sebuah negara maju seperti jepang, 20 persen penduduk termiskin menerima
pangsa pendapatan yang lebih tinggi, sekitar 8,7%, sementara 10% dan 20% penduduk
terkaya masing-masing hanya menerima 22,4% dan 37,5%.

Berikutnya, simaklah hubungan, kalau memang ada, antara tingkat pendapatan


perkapita dengan kadar ketimpangan distribusi pendapatan. Apakah peningkatn pendapatan
cenderung memperparah, atau sebaliknya memperbaiki, ketimpangan tersebut? Ataukah
memang tidak ada suatu korelasi yang jelas dan buku antara kedua variabel itu? Di sini,
distribusi pendapatan diukur dalam tiga cara: sebagai persentase atau porsi pendapatan
yang diterima oleh 40 persen penduduk termiskin terhadap pendapatan nasional, sebagai
rasio pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk termiskin; serta sebagai ukuran
berdasarkan sebagai koefisien gini, urutan-urutan negara dalam tabel tersebut diatur dari
yang terkecil hingga tertinggi menurut pendapatan per kapita 1996.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan, bahwa di berbagai negara-negara berkembang


tidak terdapat hubungan yang kuat antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingakat
ketimpangan distribusi pendapatan. Walaupun ketimpangan tidak mempunyai korelasi
yang tinggi dengan pendapatan per kapita, namun masih ada sedikit kemungkinan terdapat
korelasi nonlinear, seperti yang disyaratkan oleh hipotesis kurva U-terbalik, jika negara-
negara berpendapat tinggi ikut dimasukkan ke dalam pembahasan.

Selama bertahun-tahun, validitas kurva Kuznets selalu diliputi kontroversi dalam


penelitian cross-section, sering disebutkan bahwa banyak negara-negara berpendapatan
menengah ditemukan di Amerika Latin, suatu daerah yang sejak dulu dikenal mempunyai
ketimpangan pendapatan tertinggi di dunia. Apakah kurva Kuznets yang ditunjukkan oleh
data-data tersebut hanyalah sebuah kebetulan statistika yang disebabkan oleh fakta bahwa
karena alasan historis yang tidak diketahui.

Pertumbuhan dan Ketimpangan

Seusai menyoroti hubungan antara kesenjangan dengan tingka pendapatan per kapita
tersebut, mari kita simak hubungan, jika memang ada, antara pertumbuhan ekonomi
dengan ketimpangan. Laju pertumbuhan GNP dengan standar perbaikan tingkat
pendapatan relatif penduduk yang paling miskin. Data dari masing-masing negara di
gambarkan dalam peraga tersebut dengan satu titik guna mencerminkan kombinasi antara
pertumbuhan GNP dan pertumbuhan pendapatan dari 40 persen penduduk yang paling
miskin.

Hubungan yang jelas atau kuat antara laju pertumbuhan GNI dan distribusi
pendapatan. Laju pertumbuhan yang tinggi tidak selalu memperburuk disrtibusi
pendapatan, seperti yang di pernah dikatakan sejumlah pengamat. Di negara berkembang
seperti India, Peru, dan Filipina, laju pertumbuhan GNI yang merendah di sertai pula
dengan memburuknya distribusi pendapatan bagi 40 persen penduduknya yang paling
miskin.

Ketimpangan, seperti diukur oleh koefesien gini, nampaknya tidak berhungan sama
sekali dengan laju pertumbuhan GNI per kapita agregat. Selama periode tersebut
pertumbuhan GNI per kapita di Asia Timur rata-rata mencapai 5,5 persen, sementara
pertumbuhan GNI per kapita Afrika menurun sebesar 0,2 persen, namun koefesien Gini
kedua area tersebut tetap tidak berubah. Karakter pertumbuhan ekonomi (character of
economiv growth) yaitu bagamaimana cara mencapainya siapa yang perperan serta, sektor-
sektor yang mana saja mendapat prioritas, lembaga-lembaga yang menyusun dan yang
mengatur dan sebagainya, yang menentukan apakah pertumbuhan ekonomi mempengaruhi
perbaikan taraf kehidupan masyarakat miskin atau tidak.

5.3 KEMISKINAN ABSOLUT:


 CAKUPAN DAN ATURAN
Seperti kebanyakan persoalan pembangunan ekonomi, disatu sisi, permasalahan
peberantasan kemiskinan absolut merupakan berita buruk, namun disisi lain adalah berita
baik; sebuah gelas dapat dilihat sebagai setengah kosong, namun juga bisa dilihat sebagai
setenganh penuh.
Cakupan kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak
mampumendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka
hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau dibawah garis kemiskinan
internasional. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antarnegara, tidak tergantung
pada tingkat pendapatan perkapita di suatu negara, dan juga memperhitungkan perbedaan
tingkat harga antarnegara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup
kurang dari US $1atau US $2 per hari dalam dolar PPP. Kemiskinan absolut dapat dan
memang terjadi di NewYork seperti juga di Kalkuta, Kairo, Lagos, atau Bogota,
walaupun kadarnya jauh lebihrendah dilihat dalam persentase terhadap jumlah
penduduk.Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau hitungan per kelapa,
untukmengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis
kemiskinan absolut. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara
riil, sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi
kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari penetapan
level ini adalah suatu standar minimum dimana seseorang hidup dalam “kesengsaraan
absolut manusia”, yaitu ketika kesehatan seseorang sangat buruk. Tentu saja,
mendefinisikan “standar kesehatan minimum” yang sebenarnya berbeda-
beda sepanjang sejarah adalah hal yang mustahil, sebagian karena teknologi berubah-
ubah sepanjang waktu. Misalnya, dewasa ini kita mempunyai paket terapi rehidrasi oral
sebesar 15 sen yang dapat menyelamatkan hidup seorang anak di Malawi. Namun
beberapa tahun yang lalu, kematian seorang anak karena penyakit diare sudah dianggap
bagian dari kehidupan, sementara pada saat ini hal tersebut dianggap sebagai bencana
moral komunitas internasional.
Namun demikian, kita tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menetapkan,
standar minimum yang masuk akal yang bisa berlaku selama beberapa dekade, sehingga
kita dapat mengukur kemajuan yang telah dibuat dengan skala yang (lebih) absolut dan
bukan skala yang (sangat) relatif secara lebih teliti. Dampak guncangan perekonomian
terhadap kemiskinan dapat sangat berbeda, tergantung pada tingkat dan sumber daya
diantara kaum miskin. Sebagai contoh, jika
harga beras naik, petani berpendapatan rendah, yang menjual sedikit berasnya kepasar.
Lokal dan memiliki pendapatan di bawah, namun tidak terlalu jauh dibawah garis
kemiskinan absolut, akan menemukan bahwa kenaikan harga beras ini meningkatkan
pendapatannya sehingga mereka dapat terangkat keluar dari kemiskinan absolut. Di sisi
lain, bagi mereka yang tanahnya sangat sempit sehingga tidak mampu menjual sebagian
berasnya dan orang-orang yang merupakan pembeli beras murni di pasar, kenaikan harga
ini sangat memperparah kemiskinan mereka. Karena itu, ukuran kemiskinan yang paling
tepat seharusnya juga sensitif terhadap distribusi pendapatan di antara kaum miskin.
Ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin kecilnya
bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit
yang lain. Disamping itu, salah satu definisi dari kemiskinan relatif adalah ketiadaan
kolateral. Ketimpangan dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien, ketimpangan
yang tinggi dapat menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi
dengan mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar. Alasan kedua yang harus
dipertimbangkan adalah disparitas pendapatan yang ekstrim melemahkan stabilitas sosial
dan solidaritas. Lebih celaka lagi kekuatan yang tinggi justru memperkuat kekuatan
politis golongan kaya disamping kekuatan tawar-menawar ekonomi mereka. Akhirnya
ketimpangan yang ekstrim pada umumnya dipandang tidak adil.
 PERTUMBUHAN DAN KEMISKINAN
Ada 5 alasan kenapa kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus
memperlambat laju pertumbuhan.
1. Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak
mempunyai akses untuk pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan
anaknya, dan dengan tidak adanya peluang investasi fisik maupun moneter,
mempunyai banyak anaksebagai sumber keamanan keuangan dimasa tua nanti. Faktor
ini secara bersama-sama menyebabkan pertumbuhan perkapita lebih kecil dari pada
jika distribusi pendapatan lebih merata.
2. Akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris yang baru menyaksikan
fakta bahwa, tidak seperti sejarah pernah dialami oleh negara-negara yang sekarang
sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal karena
hematnya atau hasrat mereka untuk menabung dan menginvestasikan bagian yang
besar dari pendapatan mereka dari perekonomian dari negara mereka sendiri.
3. Pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk dialami oleh golonganmiskin
yang tercermin dari kesehatan gizi dan pendidikan yang rendah dapat
menurunkan produktifitas ekonomi mereka dan akibatnya perekonomian tumbuh
lambat.
4. Perningkatan pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan
produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal seperti makanan dan pakaian secara
menyeluruh. Sementara golongan kaya cendrung membelanjakan sebagian
besar pendapatannya untuk barang-barang mewah impor.
5. Penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang
lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologis yang kuat bagi
meluasnya partisipasi publik di dalam proses pembangunan. Dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan penanggulangan kemiskinan bukanlah
tujuan yang saling bertentangan. Jurang kemiskinan menyempit seiring dengan
naiknya seluruh pendapatan per kapita seuatu negara. Tentu saja, hubungan yang
dekat antara pertumbuhan ekonomi dengan kemajuan yang terjadi di antara golongan
miskin tidak begitu saja mengindikasikan hubungan sebab akibat. Sebagian dari
kemajuan yang dinikmati golongan miskin dapat saja berasal dari pendapatan,
pendidikan dan kesehatan yang lebih baik diantara golongan miskin untuk
mempercepat pertumbuhan secara menyeluruh. Lebih lanjut, pengurangan
kemiskinan tanpa pertumbuhan yang tinggi. Namun apapun sebabnya, pertumbuhan
dan pengurangan kemiskinan merupakan dua tujuan yang bisa dicapai secara
bersamaan.
5.4 KARAKTERISTIK EKONOMI MASYARAKAT MISKIN
1. Kemiskinan di pedesaan
Salah satu generalisasi yang terbilang paling banyak mengenai penduduk miskin
adalah penduduk yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan, dengan mata
pencaharian pokok di bidang bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat
hubungannya dengan sektor ekonomi nasional (biasa di lakukan secara bersama-sama),
mereka kebanyakan wanita dan anak-anak daripada laki-laki dewasa. Contohnya telah
diketahui sejak lama bahwa sekitar dua pertiga penduduk miskin di negara-negara
berkembang masih menggantungkan hidup mereka pada pola pertanian yang subsisten
baik sebagai petani kecil atau uruh tani yang berpenghasilan rendah. Selanjutnya,
sepertiga mengandalkan hidupnya dari usaha kecil-kecilan dan sebagian lagi bertempat
tinggal di daerah-daerah sekitar atau pinggiran kota atau kampung-kampung kumuh di
pusat kota dengan berbagai mata pencaharian pedangang kaki lima.kuli kasar atau
dagang kecil-kecilan. Secara keseluruhan, bisa kita simpulkan bahwa negara-negara di
asia dan afrika, sekitar 80% kelompok pendudduk miskin bertempat tinggal di daerah-
daerah pedesaan sadangkan dinegara amerika latin mencapai 50%, walaupan sebagian
besar penduduk dengan kemikinan absolute tinggal di daerah pedesaan, bagian terbesar
dari pengeluaran sebagian pemerintah negara berkembang lebih tercurah ke daerah-
daerah perkotaan dan berbagai sector ekonominya, yakni sektor-sektor manufaktor
modern dan sector komersial.
Oleh karena itu, sebagian besar penduduk miskin yang tinggal di daerah
pedesaan, harus mendapat kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menanggulangi
kemiskinan seharusnya sebahian besar di tunjukan ke program-progam pembangunan
pedesaan.
2. Kaum wanita dan kemiskinan
Mayoritas penduduk miskin di dunia adalah kaum wanita. Di banndingkan
standar hidup penduduk di berbagai negara-negara berkembang, fakta bahwa hampir di
semua tempat, yang paling menderita adalah kaum wanita berserta anak-anaknya. Akses
kaum wanita sangat terbatas untuk memperoleh kesempatan menikmati pendidikan,
pekerjaan yang layak di sektor formal, berbagai tunjangan sosial, dan program-program
penciptaan lapangan kerja yang di lancarkan oleh pemerintah. Kenyataan ini
mempersempit sumber-sumber keuangan bagi mereka, sehingga posisi mereka secara
finansial kurang stabil. Karena potensu kaum wanita dalam mebuat pendapatan sendiri
jauh lebih rendah dari pada potensi yang di miliki kaum pria, maka mereka pada
umumnya merupakan anggota tetap kelompok masyarakat yang paling miskin. Di
daerah-daerah perkotaan perkotaan, kaum wanita lebih sulit mendapatkan pekerjaan-
pekerjaan formal di perusahaan-perusahaan swasta maupun di lembaga-lembaga
pemerintah.
Selain itu,tingkat kesulitan ekonomi yang di alami masing-masing anggota
keluarga di dalam sebuah rumah tangga sebenarnya sangat bervariasi.kita sebelumnya
sudah mempelajari bahwa angka GNI per kapita merupakan ukuran pembangunan yang
tidak sempurna karena GNI tidak dapat merefleksikan cakupan kemiskinan absolute
tersebut.tingkat pendapatan rumah tangga juga merupakan indikator yang tidak bisa di
andalkan untuk engukur tinggi atau rendahnya kesejahteraan seseorang karena distribusi
pendapatana dalam keluarga juga berbeda-beda. Berbagai penelitian tentang alokasi
sumber daya dalam setiap rumah tangga menunjukan kecukupan gizi, pelayanan
kesehatan dan taraf pendidikan,dan warisan yang diterima oleh kaum wanita lebih
rendah dari pada kaum pria.faktor internal atau ketimpangan distribusi pendapatan
dalam masing-masing rumah tangga banyak di pengaruhi oleh status kaum
wanita.berbagai penelitian mendapati bahwa sumbangan financial wanita di suatu
keluarga meningkat atau relative lebih tinggi, maka diskriminasi yang berlangsung
terhadap anak permpuan akan lebih rendah dan kaum wanita lebih mampu
kebutuhannya sendir dan anak-anak mereka. Jika pendapatan itu dangat rendah, maka
seluruh hasil kerja atau pendapatan sang ibu akan di habiskanuntuk memenuhi
kebutuhan pangan dan aktivitas mereka h sedangkan apabila yang bertambah adalah
penghasilan pria, maka bagian penghasilan keluarga yang akan digunakan untuk
mencukupi kebutuhan gizi keluarga tidak akan bertambah terlalu banyak.
Control wanita terhadap penghasilan dan sumber daya alam keluarga juga relative
masih sangat terbatas karena sejumlah alasan. Alasan yang paling utama adalah bahwa
sebagian besar pekerjaan yang di lakukan oleh kaum wanita tidak memberikan imbala
uang misalnya,mencari kayu bakar di hutan dan memasak ,bahkan kaum wanita yang
bekerja di ladang atau melakukan kegiatan usaha milik keluarga,mereka tidak akan
mendapatkan upah. Sebagai contohnya: Di meksiko 22,5% kaum wanita yang bekerja
di sector pertanian dan 7,63% yang bekerja di sector nonpertanian, setiap harinya
bekerja penuh tanpa memperoleh imbalan upah. Semuanya ini merupakan faktor-faktor
yang mengakibatkan terus bertahannya status ekonomi kaum wanita yang rendah, yang
semakin membatasi control mereka terhadap tingkat pengasilan atau sumber-sumber
daya ekonmi keluarga.
Kesejahteraan wanita dan anak-anak sangat di pengaruhi oleh rancangan
kebijakan ekonomi yang menggaris bawahi pentingnya memasukan kaum wanita
kedalam berbagai program pembangunan. Guna memperbaiki tarif hidup penduduk
termiskin, peran ekonomi wanita haris diperhitungkan. Pemerintah juga dituntut untuk
mebuka akses yang sama besar kepada kaum wanita dalam progam-program
pendidikan, bidang pelayanan sosial, penyediaan kesempatan kerja dan kesejahteraan
social. Sector-sktor lapangan kerja informal di mana kaum wanita harus banyak
berkiprah, juga perlu dilegalisikan agar status kaum wanita benar-benar terangkat.
Konsekuensi atas rendahnya status wanita, baik secara relative maupun absolute. Dalam
jangka panjang, rendahnya statu ekonomi pada kaum wanita pada gilirannya akan
mamperlambat petumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, investasi sumber daya
manusia hanya akan berhasil di teruskan ke generasi mendatang jika menyertakan
upaya-upaya perbaikan status dan kesejahteraan kaum wanita dalam proses
pertumbuhan. Karena sumber daya manusia merupakan syarat terpenting bagi
terciptanya proses pertumbuhan yang berkesinambungan, maka pendidika dan upaya-
upaya peningkatan dan kesejahteraan kaum wanita merupakan suatu Fktor yang sangat
penting demi tercapainya tujuan pembangunan jangka panjang.
3. Etnik Minoritas, Penduduk Pribumi, dan Kemiskinan
40% dari seluruh negara-negara didunia ini memiliki lebih dari lima etnik, salah
satu atau lebih di antaranya sering klai mengalami berbagai bentuk diskriminasi social,
politik maupun ekonomi yang serius. Kemiskinan yang relative diderita oleh etnik
minoritas dan penduduk pribumi sulit diperoleh. Hasilnya secara jelas menunjukan
bahwa sebagian besar penduduk pribumi itu sangat miskin danmengalami malnutrisi,
buta huruf, hidup dalam lingkungan kesehatan yang buruk, serta menganggur,
contohnya para peneliti menemukan bahwa dimeksiko, lebih dari 80% penduduk
pribuminya adalah kaum miskin, padahal hanya 18% dari penduduk nonpribumi di
negara itu yang masih bergulat. dari semua itu, jelas bahwa yang mengalami nasib
paling buruk adalah kaum wanita dari etnis minoritas atau penduduk pribumi.

5.5 PILIHAN KEBIJAKASANAAN DALAM KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN


KEMISKINAN
1. Cakupan Pilihan Kebijakan: Beberapa pertimbangan Dasar
Negara-negara berkembangan yang berkeinginan untuk mengentaskan
kemiskinan serta menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan haruslah
mengetahui segenap pilihan cara yang tersedia, dan memilih yang tebaik diantaranya,
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Apabila prioritas usaha dicurahkan pada
perbaikan tingkat pendapatan dari, misalnya, 40 persen penduduk yang paling miskin
pada khususnya, maka kita dituntut untuk mengetahui atau memahami segenap faktor
penentu atau determinan dari distribusi pendapatan dalam suatu perekonomian, dan juga
memahami dalam bidang apa saja intervensi pemerintah akan dapat menimbulkan
pengaruh yang benar-benar efektif.
2. Bidang-bidang Intervensi
Kita dapat mengidentifikasi empat bidang luas yang terbuka bagi intervensi
kebijakan pemerintah yang memungkinkan, yang Masing-masingnya berkaitan erat
dengan keempat elemen pokok yang merupakan faktor-faktor penentu utama atas baik
tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan dinegara-negara berkembang. Adapun
keempat elemen pokok tersebut adalah sebagi berikut:
a. Mengubah distribusi fungsional tingkat hasil yang diterima dari faktor-faktor
produksi tenaga kerja,tanah,dan modal yang sangat dipengaruhi oleh harga dari
masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat pendayagunaan,dan bagian atau
presentase dari pendapatan nasional yang diperoleh para pemilik masing-masing
faktor tersebut.
b. Memeratakan distribusi ukuran distribusi pendapatan fungsional dari suatu
perekonomian yang dinyatakan sebagai distribusi ukuran, yang didasarkan pada
pemilikan dan pengusahaan atas asset produktif serta keterampilan sumber daya
manusia yang terpusat dan tersebar kesegenap lapisan masyarakat.ditribusi
kepemilikan asset dan keteampilan tersebut pada akhirnya akan menentukan merata
atau tidaknya distribusi pendapatan secara perorangan.
c. Meratakan (mengurangi) distribusi ukuran golongan penduduk penghasilan tinggi
melalui pemberlakuan pajak progresif terhadap pendapatan dan kekayaan pribadi
mereka. Pajak tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pemerintah dan
dapat mengubah tingkat pendapatan orang-orang yang semula ditentukan sepenuhnya
oleh kekuatan-kekuatan pasar dan kepemilikan asset, menjadi pendapatan
disposable (disposable income). Pendapatan “disposebel” milik perseorangan atau
keluarga merupakan jumblah aktual yang tersedia baginya untuk melakukan kegiatan
belanja (konsumsi) aneka barang, jasa-jasa, atau utuk ditabung.
d. Meratakan (meningkatkan) distribusi ukuran golongan penduduk berpenghasilan
rendah, Melalui pengeluaran publik yang dananya bersumber dari pajak untuk
meningkatkan pendapatan kaum miskin secara langsung (misalnya, melalui
“pembayaran transfer” atau disebut pula money transfer) atau tidak langsung
(misalnya, melalui penciptaan lapangan pekerjaan, pembebasan uang sekolah,
pemberian subsidi pendidikan dasar, dan pelayanan kesehatan bagi pria maupun
wanita). Segenap kebijakan publik semacam itu akan meningkatkan pendapatan
semula yang semata-mata ditentukan oleh mekanisme pasar.
3. Pilihan-pilihan Kebijakan.
Pemerintah Negara-negara berkembang mempunyai banyak pilihan dan alternatif
kebijakan yang memungkinkan mereka untuk melaksanakan intervensi positif pada ke
empat bidang tersebut.
Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan
yang khusus dirancang untuk mengubang harga-harga relative faktor produksi
perbaikan distribusi pendapatan fungsional adalah pendekatan khas yang sering
dianjurkan oleh para tokoh ilmu ekonomi internasional. Pendekatan ekonnomi tradisional
tersebut menyatakan sebagai akibat dari adanya kendala-kendala kelembagaan dan
kekeliruan kebijakan pemerintah harga relative tenaga kerja (atau tingkat upah) akan
menjadi lebih tinggi daripada yang ditenyukan oleh mekanisme pasar (kekuatan
penawaran dan permintaan). Sebagai contoh, kekuatan serikat buru untuk menaikan upah
(diatas tingkat keseimbanga yang dihasilkan dar kekuatan penawaran dan permintaan)
yang bahkan bisa terjadi ditengah angka pengangguran yang tinggi, sering dikemukakan
sebagai contoh “distorsi” harga tenaga kerja. Para penganut ilmu ekonomi tradisonal
lebih lanjut mengatakan penurunan harga tenaga kerja relatif terhadap harga modal
(misalnya, melalui penantuan upah sector public dengan mekanisme pasar atau
pemberian subsudi upah publik bagi para pengusaha) akan dapat mendorong para usaha
untuk menguunakan lebih banyak tenaga kerja termasuk memilih teknologi padat karya
untuk menggatikan teknologi yang padat modal dalam aktivitas produksi mereka. Itu
berarti kesempatan kerja akan meningkat secara keseluruhan dan sejalan dengan itu, juga
akan meningkatkan pendapatan golongan miskin, yang biasanya tersisih dari lapangan
kerja sector modern dan merupakan kelompok pekerja yang hanya mengandalkan
ototnya. Dengan kata lain, upah sector modern yang dinaikkan secara sengaja (seperti
pengaturan upah minimum) akan mengurangi tingkat terhadap dan perluasan sector
modern, dan akibatnya justru berdampak negative terhadap kesejahtraan kaum miskin.
Perhatikan bahwa di sector tradisional, upah minimum tidak pernah diberlakukan.
Namun, benar juga jika sering dikatakan bahwa harga barang ditetapkan terlau murah
(di bawah harga pasar). Penetapan ini biasanya dilakukan secara kelembagaan atau
“institusional” melalui berbagai kebijakan public seperti pemberian kemudahan prosedur
investasi, keringanan pajak, subsidi tingkat bunga, penetapan kurs valuta asing yang
terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor barang-barang modal seperti traktor
dan mesin-mesin otomatis relative terhadap barang konsumsi. Bila kemudahan dan
subsidi modal ini dihapuskan, maka harga barang tersebut akan naik sesuai dengan
“tingkat harga sebenarnya”.
Mengingat harga-harga faktor produksi berfungsi sebagai sinyal dan insentif utama
dari suatu perekonomian, maka langkah penyesuaian harga-harga faktor tersebut (dengan
menurunkan harga tenaga kerja dan meningkatkan harga modal secara relative).
Hal tersebut juga akan mengurangi pendapatan pemilik modal yang sebelumnya
terlampau tinggi. Jadi, menurut ilmu ekonomi tradisional, penghilangan distorsi harga
faktor-faktor produksi (factor prize distortions) akan memacu pertumbuhan ekonomi
dan efesiensi, sekaligus akan menyediakan kesempatan kerja yang lebih banyak,
mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kondisi ditribusi pendapatan secara
keseluruhan.
Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan asset-
aset. Jika tingkat harga dan utilisasi (penyalagunaan) atas setiap jenis faktor produksi
(tenaga kerja, tanah, serta modal) sudah optimal, maka kita dapat dengan mudah
memperkirakan penerimaan total dari masing-masing asset tersebut. Namun, untuk
mengubah pendapatan fungsional ini menjadi pendapatan personal atau per kapita, kita
harus mengetahui distribusi dan pola pemilikan aset (sumber daya atau faktor produksi)
diantara berbagai kelompok masyarakat.
Penyebab nomor satu atas timpangnya distribusi pendapatan per kapita di hampir
Negara berkembang adalah tidak sangat meratanya kepemilikkan aset/kekayaan (asset
ownership) di Negara-negara ini. Alasan dasar mengapa kurang dari 20% penduduk
terkaya menerima lebih dari 50% pendapatan nasional adalah karena kelompok ini
memiliki atau menguasai lebih dari 90% aset atau sumber daya keuangan dan produktif
yang terdapat di dalam masyarakat bersangkutan, terutama modal fisik dan tanah juga
modal finansial, saham dan obligasi, serta sumber daya manusia (dalam bentuk
pendidikan dan kesehatan yang lebih baik). Dalam kondisi seperti ini, penghapusan
distorsi harga faktor saja jelas belum memadai untuk mengurangi ketimpangan distribusi
pendapatan serta mengentaskan kemiskinan yang meluas atau menaikkan taraf hidup
segmen penduduk termiskin, sementara kepemilikan aset fisik, finansial, dan pendidikan
sangat terpusat pada segelintir orang.
Oleh karena itu, strategi kebijakan kedua yang mungkin lebih penting dalam rangka
mengentaskan kemiskinan serta memperbaiki distribusi pendapatan adalah upaya
pengurangan pemusatan penguasaan atau kepemilikan aset tersebut, distribusi kekuasaan
yang timpang, serta ketimpangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan
pekerjaan (penghasilan) yang layak yang merupakan ciri-ciri Negara berkembang. Bentuk
klasik kebijakan redustribusi (redrisbution policies) semacam itu, khususnya yang
menyangkut nasib golongan muskin di perdesaan, yang merupakan 70-80% dari total
penduduk miskin di suatu Negara, adalah reformasi hak tanahan (land reform). Tujuan
utama land reform adalah mengubah petani penggarap (buruh tani) atau penyewaan tanah
menjadi pemilik tanah. Kepemilikan tanah diyakini merupakan insentif yang besar untuk
meningkatkan produksi dan pendapatan mereka.
Disamping usaha redistribusi aset produktif, pemerintah Negara-negara berkembang
juga perlu menerapkan kebijakan redistribusi yang dinamis. Sebagai contoh, pemerintah
Negara berkembang perlu mengalihkan sebagian dari investasi dan tabungan tahunannya
kepada kelompok-kelompok penghasilan rendah untuk menciptakan pemerataan
distribusi aset tambahan, yang pemerintah kumpulkan sepanjang waktu, secara bertahap
dan secara politik lebih bisa diterima inilah yang sering disebut sebagai “redistribusi dari
pertumbuhan” (redistribution form growth). Redistribusi dari pertumbuhan secara
bertahap ini memang belum tentu lebih efektif daripada redistribusi aset, apalagi jika
struktur politik yang sangat timpang.
Pengurangan distribusi ukurang golongan atas melalui pajak pendapatan dan
kekayaan yang progresif setiap kebijakan nasional yang mencoba memperbaiki standar
hidup 40% penduduknya yang paling miskin harus didukung oleh sumber-sumber
finansial yang memadai agar setiap rencana pemerataan diatas kertas bisa diwujudkan
menjadi program-program yang nyata. Salah satu sumber utama yang sangat potensial
bagi pembiyaan pembangunan itu adalah pengenaan pajak langsung dan progresif
terhadap pendapatan maupun kekayaan. Pajak pendapatan progresif (progressive
income tax) langsung itu ditujukan pada pendapatan perusahaan maupun individu,
dimana yang kaya diminta membayar pajak yang semakin besar presentasenya dari
penghasilan total mereka dibandingkan dengan yang miskin.
Struktur pajak progresif, dalam pelaksanaannya, sering berubah secara ajaib menjadi
pajak regresif (regressive tax).Sehingga kelompok masyarakat berpendapatan rendah
dan menengah membayar pajak dalam proporsi yang lebih besar dari pendapatan mereka
dibandingkan kelompok penghasilan tinggi. Alasannya, kelompok penduduk miskin
langsung dikenai pajak pada sumber pendapatan atau pengeluarannya. Upah mereka
langsung dipotong di muka, pajak kekayaan langsung dihitung, dan mereka jugalah yang
paling banyak menanggung pajak-pajak tidak langsung (indirect taxes) setiap kali
membeli sebuah produk, seperti rokok dan bir. Sebaliknya, penduduk kaya mendapatkan
sebagian besar pendapatannya dari aset fisik dan finansialnya, yang sering kali justru
sering dilacak.
Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan
jasa public.Penyediaan berbagai macam barang dan jasa konsumsi public (public
consumption) yang dibiayai oleh pajak bagi kelompok penduduk paling miskin,
merupakan instrumen lain yang cukup berpotensi untuk mnegentaskan kemiskinan.
Contohnya antara lain pengadaan proyek-proyek perbaikan fasilitas kesehatan public di
daerah-daerah pedesaan serta pinggiran dan pusat permukiman kumuh di kota-kota.
Transfer uang secara langsung dan program subsidi pangan bagi orang-orang miskin di
pedesaan maupun perkotaan.
Transfer langsung dan subsidi dapat menjadi sangat efektif, namun program
semacam itu harus dirancang denga cermat. Terdapat empat masalah yang harus
mendapat perhatian dengan sungguh-sungguh, yaitu :
 Ketika sumber daya untuk daya untuk menanggulangi kemiskinan terbatas
jumlahnya –seperti yang selalu terjadi –sumber daya tersebut harus dipastikan agar
jatuh ke tangan masyarakat yang benar-benar kurang mampu
 Penting juga untuk diperhatikan agar golongan orang-orang yang menerima bantuan
itu tidak seterusnya tergantung pada program pengentasan tersebut; dengan kata lain,
kita tidak ingin memberi insentif kepada kaum miskin tersebut untuk bermalas-
malasan dan tidak mau berusaha membangun aset seperti pendidikan, yang nanti
dapat menolong dirinya sendiri keluar dari kemiskinan
 Kita tidak menghendaki orang-orang yang sudah berkarya di sector-sektor produktif
untuk berpartisipasi dan memanfaatkan program pengentasan kemiskinan.

Rencana subsidi barang-barang yang dikonsumsi oleh penduduk yang kurang mampu
harus ditujukan ke daerah-daerah yang banyak ditinggali kaum miskin dan harus berupa
barang-barang yang tidak dikonsumsi oleh penduduk yang tidak miskin.

Disamping itu, mungkin ada baiknya jika orang-orang yang kurang mampu itu
diharapkan bekerja dahulu sebelum memperoleh bantuan makanan. Dalam program ini,
orang-orang tidak mampu ditempatkan dilokasi pembangunan infrastruktur, seperti
pekerjaan membangun jalan yang menghubungkan denga pasar di kota besar, yang pada
akhirnya akan memberikan manfaat bagi penduduk miskin itu sendiri maupun bagi
masyarkat berada di daerah itu secara keseluruhan. Tuntutan pekerjaan yang tinggi dan
bayaran yang berupa bahan makanan membuat orang-orang yang mampu tidak bersedia
berpartisipasi di dalam pekerjaan infrastruktur itu, sehingga menghemat sumber daya.
Karakter seperti ini dikenal sebagai fungsi “penyaringan” dari program bantuan
ketenagakerjaan (workfare program).

Program bantuan tenaga kerja seperti food for work program merupakan kebijakan
yang lebih baik daripada program kesejahtraan atau bantuan langsung yang lain jika
syarat-syarat ini dipenuhi:

1) Program tersebut tidak mengurangi atau menghalangi dorongan/kesempatan bagi


penduduk miskin untuk mendapatkan pendidikan dan aset-aset yang lain.
2) Terdapat manfaat netto yang lebih besar atas output pekerjaan yang dihasilkan oleh
program tersebut.
3) Tanpa keharusan untuk bekerja, akan sulit untuk menyaring orang-orang yang benar-
benar tidak mampu dengan orang-orang yang sebenarnya tidak membutuhkan
bantuan.
4) Terdapat biaya opportunitas waktu yang lebih rendah bagi orang-orang miskin
(sehingga perekonomian tidak akan banyak mengalami kerugian output jika orang-
orang tersebut bekerja di dalam program ini).
5) Terdapat biaya opportunitas waktu yang lebih tinggi bagi orang-orang yang lebih
mampu (sehingga mereka tidak ikut memanfaatkan program ini).
6) Bagian pemduduk yang hidup dalam kemiskinan relative lebih kecil daripada
keseluruhan populasi (sehingga biaya ekstra untuk menyediakan skema kesehjatraan
umiversal akan tinggi).
7) Partisipasi dalam program bantuan tenaga kerja ini tidak menimbulkan konotasi yang
jelek, sehingga kaum miskin tidak merasa terhina atau bahkan merendah diri dalam
mendapatkan bantuan yang dibutuhkan keluarganya (jika tidak, subsidi kesehjatraan
mungkin lebih disukai daripada skema bantuan kerja yang sebetulnya lebih bagus
itu).

Strategi lain yang layak dipertimbangkan untuk memberantas kemiskinan adalah dengan
membantu penduduk miskin mengembangkan usaha mikro mereka, yang menjadi
andalan penduduk miskin yang tidak bekerja di sector pertanian. Dengan menigkatkan
modal kerja dan aset-aset lain dalam usaha mikronya, kaum miskin dapat meningkatkan
produktivitas dan pemdapatan secara substansial. Strategi pendirian bank kampung untuk
mencapai tujuan ini, dicontohkan oleh grameen bank di Bangladesh.

.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sebagai rangkuman atas segenap pembahasan kita mengenai alternatif pendekatan
kebijakan atas masalah kemiskinan serta ketimpangan distribusi pendapatan di Negara –
Negara berkembang, dapat ditegaskan disini bahwa yang kita perlukan bukanlah bukanlah
satu atau dua kebijakan yang saling terpisah atau berdiri sendiri,melainkan satu peket
kebijakan yang komponen – komponen bersifat saling melengkapi dan saling menunjang,
yang meliputi empat unsur fundamental berikut.
1. Adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang guna mengoreksi berbagai
distorsi harga – harga relative dari masing –masing faktor produksi demi lebih
terjaminnya pembentukan harga pasar yang selanjutnya akan mampu memberikan sinyal
–sinyal dan insentif yang tepat (sesuai dengan kepentingan social) bagi parah produsen
maupun pemasok sumber – sumber daya.
2. Adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang untuk menghasilkan berbagai
perubahan stuktural dalam distribusi asset, kekuasaan dan kesempatan memperoleh
pendidikan serta penghasilan (pekerjaan ) yang lebih merata.
3. Adanaya satu serangkaian kebijakan yang khusus dibuat untuk memodifikasi ukuran
distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui pajak
progresif atas pendapatan dan kekayaan mereka pada kelompok masyarakat
berpendapatan rendah melalui tunjangan langsung maupun melalui upaya – upaya
penyedian berbagai barang konsumsi dan peningkatan jasa – jasa pelayanan yang
dibiayai oleh pemerintah.
4. Adanya seperangkat target kebijakan yang secara langsung memperbaiki kaum miskin
dan komunitasnya.
DAFTAR PUSTAKA

Todaro Micheal P. 1995

  Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan.

Erlangga:Jakarta.Apriyani Sari. 2013.

Upaya Pemerintah untuk Mengatasi Kemiskinan di Indonesia

- Diaksestanggal 9 Juni 2013 dalam (http://apriyanis.blogspot.com/2013/04/upaya-


pemerintah-untuk-mengatasi.html)
- https://www.academia.edu/9207654/Kemiskinan

Anda mungkin juga menyukai