Anda di halaman 1dari 43

RESUME

“REDISTRIBUSI PENDAPATAN NEGARA”


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis Keuangan Negara
Dosen Pengampu:
Yulia Maris Herdianti, S.E., M.E

Disusun oleh Kelompok 2 :

1. Riza Nur Fitriani (12402193005)


2. Ayu Elyna Putri (12402193010)
3. Annisa Dwi Nur Aini (12402193039)
4. Reni Amalia Fitri (12402193040)
5. Milatul Khazanah (12402193042)

SEMESTER 6A
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
MARET 2022
DAFTAR ISI

Cover ..................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................... ii
A. Pengertian Redistribusi Pendapatan ....................................... 1
B. Kesulitan Pengukuran Derajat Distribusi Pendapatan ......... 5
C. Teknik Redistribusi Pendapatan ............................................. 6
D. Pengaruh Redistribusi Pendapatan Terhadap Keinginan
Untuk Bekerja Dan Biaya Sosial.............................................. 10
Review Jurnal ....................................................................................... 16
Daftar Pustaka ....................................................................................... 25
RESUME
REDISTRIBUSI PENDAPATAN NEGARA
A. Pengertian Redistribusi Pendapatan
Beberapa alasan dapat dikemukakannya bahwa pembagian kembali
pendapatan (income redistribution) sebaiknya dilakukan oleh pemerintah :
a. Seperti alasan yang dikemukakan oleh Adam Smith bahwa pemerintah
perlu campur tangan dalam bidang keadilan. Karena distribusi penghasilan
lebih merata itu sangat diperlukan dan dipandang baikatas keadilan, maka
sebaiknya pendistribusian kembali pendapatan itu ditangani oleh
pemerinta. Hal ini karena manusia secara perorangan kurang tertarik untuk
mengusahakan keadilan ini dan seringkali tidak mampu untuk
merealisasikan usaha tersebut berhubung ia hanya merupakanbagian kecil
dari masyarakat dan lebih baik membonceng saja (free rider) artinya kalau
orang lain sudah melakukannya maka ia lebih senang untuk tidak
melakukannya.
b. Bahwa dalam redistribusi pendapatan terdapat unsur barang publik. Dalam
hal ini bukan redistribusi pendapatan yang merupakan barang publik, akan
tetapi akibat yang ditimbulkan merupakan ciri sebagai barang publik.
Seperti telah dikemukakan bahwa barang publik atau barang kolektif ini
mempunyai sifat “non rivaly consumtion” dan “non exclusion”1.
Redistribusi pendapatan juga merupakan usaha yang dilakukan oleh
pemerintah agar pendapatan masyarakat terbagi merata secara maksimal
diantara warga masyarakat. Artinya, semua warga masyarakat memperoleh
kesempatan yang sama untuk memperoleh pendapatan.
Pendistribusian pendapatan bertujuan mengurangi pendapatan
kelompok kaya dan memberikannya kepada kelompok miskin.
Pendistribusian Kembali pendapatan akan ditangani oleh pemerintah.
Pada retridibusi pendapatan terdapat unsur barang publik (public
goods). Akan tetapi, bukan retridibusi pendapatannya yang merupakan barang
public, melainkan akibat yang ditimbulkannya memiliki ciri sebagai barang
public. Seperti yang telah dikemukakan bahwa barang public atau barang
1
Suparmoko, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: BPFE, 2016),
hlm. 305-306

1
kolektif mempunyai sifat non-rivalry consumption dan non-exclusion.
Artinya, jika barang public ini dikonsumsi oleh seseorang, maka tidak akan
mengurangi tersedianya barang tersebut bagi konsumen lainnya, serta bagi
mereka yang tidak sanggup membayarnya tidak mungkin dapat dikeluarkan
dari konsumsi barang tersebut. Dengan adanya redistribusi pendapatan,
golongan miskin akan memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi serta
tingkat keresahan dalam masyarakat dan kriminalitas akan berkurang.
Adapun alasan yang berkaitan dengan kekuatan politik, bahwa
golongan orang kaya mempengaruhi jalannya politik disuatu negara. Oleh
sebab itu, untuk menghindari adanya kemungkinan tersebut pemerintah harus
mendistribusikan Kembali pendapatan sehingga terdapat distribusi
pendapatan yang lebih merata. Dengan demikian, kebijakan pemerintah tidak
akan dikuasai atau dipengaruhi oleh kelompok pendapatan tinggi. Selain itu
beberapa alasan lainnya sebagai berikut :
1. Keadilan, yaitu bahwa kita harus menghargai ambisi, kemauan bekerja
keras, kerajinan dan kecakapan dalam hubungannya dengan pendapatan.
Adanya korelasi yang positif antara kemauan bekerja keras, kerajinan
dan kecakapan dengan tingkat pendapatan, sehingga pantaslah bagi
mereka yang mempunyai sifat-sifat di atas mendapatkan imbalan yang
sesuai. Sebaliknya tidak pantas bahwa orang malas dan orang bodoh
mendapatkan penghasilan yang tinggi karena redistribusi pendapatan.
2. Redistribusi pendapatan akan mengurangi dorongan atau insentif untuk
bekerja keras. Hal ini sesuai dengan pemikiran umum bahwa pendapatan
adalah imbalan terhadap jerih payah atau usaha seseorang. Dengan
redistribsi pendapatan, laju pertumbuhan ekonomi akan terhambat karena
menurunnya tingkat investasi di negara yang bersangkutan. Pada
umumnya dana investasi datang dari tabungan yang dilakukan oleh
kelompok pendapatan tinggi. Oleh karena itu, jika ada redistribusi
pendapatan, jumlah tabungan di negara yang bersangkutan dan tingkat
investasinya akan menurun. Dengan rendahnya tingkat investasi, laju
pertumbuhan ekonomi terganggu.

2
3. Dengan adanya transfer pendapatan dari kelompok kaya kepada
kelompok miskin, guna total (total utility) dari seluruh pendapatan
yang ada dalam masyarakat akan menjadi lebih tinggi2.
4. Dengan redistribusi pendapatan, laju pertumbuhan ekonomi akan
terhambat karena menurunnya tingkat investasi dinegara yang
bersangkutan. Pada umumnya dana investasi datang dari tabungan
yang dilakukan oleh kelompok pendapatan tinggi. Oleh karena itu bila
ada redistribusi pendapatan maka jumlah tabungan dinegara yang
bersangkutan menurun dan demikian pula investasinya. Dengan
rendahnya tingkat investasi maka laju pertumbuhan ekonomi juga
akan terganggu.
Dengan adanya redistribusi pendapatan maka golongan miskin akan
mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan sebagai akibatnya tingkat
keresahan dalam masyarakat dan kriminalitas akan berkurang. Demikian pula
tingkat Kesehatan golongan miskin menjadi semakin baik, sehingga
kemungkinan berjangkitnya penyakit menular akan berkurang. Ini semua
merupakan barang publik yang kalau diinginkan untuk lebih baik adanya dalam
masyarakat, tentu harus diusahakan oleh pemerintah.
Dengan semakin sehatnya golongan miskin serta berkurangnya
kriminalitas, berarti kesejahteraan golongan kaya meningkat juga karena
mereka hidup lebih tentram dan tenang. Hal ini dapat dilukiskan dengan
gambar 11.1 dibawah ini

2
Sahya Anggara, Administrasi Keuangan Negara, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016) hlm.
285-287

3
Gambar ini menunjukan bahwa dalam masyarakat ada dua kelompok
pendapatan yaitu kelompok kaya dan kelompok miskin. Kelompok kaya
digambarkan pada sumbu vertikal dan kelompok miskin pada sumbu
horizontal. Seandainya di masyarakat itu ada total pendapatan sebesar Rp220
miliar, dengan distribusi Rp200 miliar diterima oleh kelompok kaya dan Rp20
miliar, diterima kelompok miskin. Kepuasan kelompok kaya digambarkan oleh
kurva tak acuh 1, sedangkan kurva tak acuh kelompok miskin tak digambarkan
disini. Kemudian setelah ada redistribusi pendapatan yautu transfer pendapatan
dari kelompok kaya sebesar Rp40 miliar dan diterimakan pada kelompok
miskin, maka posisi yang baru adalah pada titik B di mana pendapatan
kelompok kaya tinggal Rp160 miliar dan pendapatan kelompok miskin
menjadi Rp60 miliar. Tampak pada gambar tersebut bahwa kelompok kaya
berada pada kurva tak acuh 2, lebih tinggi daripada kurva tak acuh 1. Ini berarti
kepuasan kelompok kaya meningkat.
Sebenarnya memang sulit untuk mengatakan bahwa posisi B itu adalah
posisi distribusi pendapatan yang terbaik, sebab tidak ada ukuran yang obyektif
untuk menyatakannya. Mungkin dengan posisi B kelompok pendapatan rendah
masih belum berada pada kepuasan kepuasan tertinggi dan menghendaki agar
diadakan redistribusi pandapatan lebih jauh lagi. Tetapi kalau ini dilaksanakan
dapat membuat kelompok kaya lebih rendah tingkat kepuasannya dibanding
dengan posisi B pada kurva tak acuh 2.
Atas dasar pendapat yang setuju (pros) dan pendapat yang tidak setuju
(cons) maka sulit untuk menimbang atau menyatakan perlunya redistribusi
pendapatan. Namun dari teori guna batas (marginal utility) bagi satuan uang
yang terakhir adalah lebih tinggi bagi orang miskin daripada bagi orang kaya.
Dengan adanya transfer pendapatan dari kelompok kaya kepada kelompok
miskin akan berarti bahwa guna total (total utility) dari seluruh pendapatan
yang ada dalam masyarakat akan menjadi lebih tinggi. Sehingga perlu tidaknya
ada redistribusi pendapatan sebenarnya tergantung pada sejauh mana tidak
meratanya distribusi pendapatan pada masyaraka, sejauh mana pula pemerintah
telah melaksanakan distribusi pendapatan itu, serta sejauh mana aspirasi

4
masyarakat terhadap pendapatan uang: semua ini adalah besar-besaran yang
sulit diukur3.
B. Kesulitan Pengukuran Derajat Distribusi Pendapatan
Standar yang dijadikan ukuran dalam dejarat redistribusi pendapatan
sering menjadi kendala. Dalam praktiknya hal tersebut mempersulit
pengelolaan distribusi pendapatan. Kesulitan tersebut salah satunya
disebabkan oleh adanya ragam pendapat para ahli mengenai distribusi
pendapatan.
Suparmoko menyatakan bahwa pada umumnya tinggi-rendahnya
pendapatan bergantung pada tinggi-rendahnya produksi barang dan jasa
dikalikan dengan harga pasarnya. Perbedaan pendapatan dalam arti uang ini
tidak mencerminkan perbedaan pendapatan dalam arti riil. Faktor-faktor
seperti slera, kenikmatan, atau kesenangan kerja belum diperhitungkan dalam
melihat kepincangan distribusi pendapatan.
Perbedaan Pendidikan dan tempat bekerja menentukan pendapatan.
Seorang doctor yang menjadi PNS akan memperoleh gaji pokok yang sama
dengan seorang sarjana yang juga PNS apabila golongannya sama. akan
tetapi, seorang sarjana Teknik yang bekerja diperusahaan asing gajinya akan
lebih besar dibandingkan dengan seorang sarjana Teknik yang bekerja di
Indonesia, misalnya menjadi buruh pabrik. Seorang PNS memiliki waktu
senggang yang lebih banyak daripada seorang kuli bangunan, tetapi
penghargaan terhadap jenis pekerjaan tersebut tidak meningkatkan
pendapatan seorang kuli bangunan, termasuk tunjangan lainnya.
Suparmoko mengemukakan bahwa dalam mengukur distribusi
pendapatan pada umumnya berdasarkan perhitungan pendapatan dalam waktu
tertentu dan tidak melihat pendapatan selama hidup seseorang. Hal ini
merupakan teori pendapatan yang berkaitan dengan siklus kehidupan
seseorang. Teori siklus kehidupan seseorang menyebutkan bahwa seseorang
itu, biasanya mimiliki tingkat pendapatan yang rendah pada usia muda,
kemudian meningkat pada usia menengah, selanjutnya menurun lagi pada
usia relative tua. Dengan demikian ada kelompok orang yang tergolong

3
Suparmoko...., hlm. 306-310

5
miskin pada sauatu periode tertentu, tetapi kemudian tergolong kaya pada
waktu lain4.
C. Teknik Redistribusi Pendapatan
Ada beberapa teknik atau cara untuk pembagian kembali pendapatan
(redistribusi pendapatan) yang pada pokoknya dapat digolongkan menjadi
tiga macam yaitu yang berupa transfer tunai, transfer barang, dan pemberian
kesempatan kerja.5
a. Transfer Tunai
1. Pajak Pendapatan Negatif
Dalam transfer tunai ini ada beberapa macam pendekatan guna
mendistribusikan pendapatan antara lain yang disebut dena
pembayaran transfer (Negative Income Tax) atau disebut juga
pendapatan tahunan yang dijamin (guaranteed annual income). Ini
berupa suatu program transfer uang tunai kepada keluarga-keluarga
yang berhak dengan jumlah transfer tergantung pada besarnya
keluarga6. Bagi suatu kelurga dengan jumlah anggota tertentu,
transfer uang tunai itu akan semaakin besar dengan semakin
rendahnya jumlah pendapatan. Jadi semakin besar dengan semakin
rendahnya jumlah pendapatan. Jadi suatu miskin suatu keluarga akan
semakin banyak bantuan keuangan yang diterima dari pemerintah.
Dengan menggunakan data hipotesis program NIT ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pendapatan Sebelum Jaminan Pendapatan Pendapatan
Transfer (Yi) Transfer Disposible (Yg)

0 40 40

10 35 45

20 30 50

30 25 55

4
Sahya Anggara....,hlm. 287-288
5
Suparmoko...., hlm. 311
6
Sahya Anggara....,hlm. 288

6
40 20 60

50 15 65

60 10 70

70 5 75

80 0 80

Dalam tabel tersebut dilukiskan bila suatu keluarga memiliki


pendapatan sebesar nol, maka ia kan memperoleh transfer uang
sebesar Rp40.000 semakin tinggi tingkat pendapatn akan semakin
rendah transfernya ini sebesar nol bila pendapatan mencapai Rp
80.000.
Program pajak pendapatan negatif ini mengandung tiga
unsur/variabel kebijakan yaitu :
a. Jaminan Pendapatan (income guarantee)yaitu jumlah transfer
yang diterima bila pendapatan sebesar nol dan dalam tabel
jaminan pendapatan (Yg) itu sebesar Rp40.000
b. Tingkat pajak marginal (Marginal Tax Rate)(r) merupakan
variabel kedua. Ini menunjukan berapa besarnya penurunan
transfer tunai dengan meningkatkan pendapatan sebelum transfer.
Dalam contoh angka ini sebesar0,5.
c. Variabel ketiga adalah tingkat pendapatan pas-pasan (breakeven
income) (Yb) yaitu tingkat pendapatan dimana besarnya
penurunan transfer adalah nol. Dalam tabel, pendapatan pas-pasan
adalah Rp80.000
Dengan variabel-variabel berikut maka besarnya transfer yang
akan diterima suatu keluarga yang berpendapatannya lebih renah
daripada pendapatan pas-pasan adalah :
T = r(YB-Yi)
keterangan:
T = pembayaran transfer
r = tingkat pajak marginal

7
YB = pendapatan pas-pasan
Yi = pendapatan keluarga sebelum ada transfer.
Sebagai contoh bila Yi = 50, r = 0,5, Yb = 80, maka besarnya
transfer adalah T = 0, 5 (80-50)=15
Jadi jika pendapatan pas-pasan dan tingkat pajak marginal
diketahui yaitu Yg = Yb.r dimana Yg adalah besar jaminan
pendapatan dan Ya adalah pendapatan pas-pasan sebagai contoh bila
Yb = 80 dan r = 0,5, maka Yg = 80x0,5=407.
2. Demogrant
Demogrant adalah bentuk transfer tunai, yang semua anggota
dan sekelompok demografi menerima transfer yang sama. Jumlah
transfer tidak akan menurun dengan bertambahnya tingkat
pendapatan. Jadi dengan Demogrant sebesar Rp 10.000 per orang,
maka keluarga dengan anggota 5 orang akan menerima transfer
sebesar kalau untuk demogrant ini diperlukan pungutan pajak maka
demogrant ini tak ubahnya dengan pajak pendapatan negatif.
Misalnya, demogrant yang diberikan sebesar Rp50.000,-/keluarga,
sedangkan rata-rata pendapatan dari setiap keluarga
Rp200.000,-/keluarga. Artinya, pengeluaran total untuk demogrant
adalah 25% dari pendapatan rata-rata keluarga dan harus dibiayai
dengan pajak setinggi 25% dari pendapatan rata-rata keluarga
tersebut. Jadi, ini sama halnya dengan memberikan jaminan
pendapatan (YG) setinggi Rp50.000,- dengan tingkat pajak marginal
(r) sebesar 25% dan pendapatan pas-pasan (YB) setinggi
8
Rp200.000,-
3. Subsidi Upah (Wage Rate Subsidy)
Bentuk lain dari transfer tunai adalah melalui insentif kerja
dengan subsidi tingkat upah (wage rate subsidy). Subsidi upah
memberikan transfer pendapatan dengan cara meningkatkan tingkat
upah netto yang diterima pekerja. Transfer ini berbentuk tambahan
terhadap tingkat upah per hari. Dengan tingkat upah yang lebih
7
Suparmoko...., hlm. 312-314
8
Sahya Anggara....,hlm. 289

8
tinggi, subsidi pemerintah akan lebih rendah, tetapi dengan jumlah
yang lebih kecil daripada perubahan tingkat upah tersebut mendorong
seseorang untuk berusaha mencari tingkat upah yang semakin tinggi.
Pendapatan keseluruhan akan semakin tinggi jika seseorang bekerja
semakin lama dan tidak ada hari untuk menganggur. Tabel dibawah
yakni seorang pekerja yang dibayar Rp1.000 per hari, ia akan
mendapatkan subsidi sebesar Rp1.500 per hari.
Dengan tingjat upahyang lebih tinggi, subsidi pemeritah akan
lebih rendah daripada perubahan tingkat upah itu sendiri. Ia
mendorong seseorang untuk berusaha mencari tingkat upah yang
semakin tinggi. Pendapatan keseluruhan akan semakin tinggi jika
seseorang bekerja semakin lama dan tidak ada hari-hari untuk
menganggu. Berikut Tabel Subsidi Upah :
Upah Pasar Subsidi Upah Neto
1.000 1.500 2.500
1.500 1.250 2.750
2000 1.000 3.000
2.500 750 3.250
3.500 500 3.500
9

b. Transfer Tunai dan Transfer Innatura


Untuk mengadakan redistribusi pendapatan transfer dapat
dilaksanakan secara tunai ataupun secara innatura (dalam bentuk barang).
Jika transfer tersebut dalam bentuk tunai, uang tunai itu dapat
dibelanjakan terhadap barang atau jasa yang dikehendakinya. Pada pihak
lain pemerintah dapat langsung memberikan barang dan/atau jasa kepada
penerima subsidi. Misalnya, menyediakan sekolah murah, beras,
transportasi, perumahan, dan sebagainya10.
Pada umumnya para ekonom berpendapat bahwa subsidi tunai lebih
baik daripada subsidi innaturakarena seorang penerima subsidi akan

9
Suparmoko...., hlm. 314-315
10
Sahya Anggara....,hlm. 290

9
memiliki kebebasan dalam membelanjakan transfer tunai tersebut dan
tidak demikian bila subsidi itu dalam bentuk barang tertentu. Tetapi para
pendukung subsidi innatura akan mengatakan bahwa perlu sifat
paternalistis dari pemerintah yang mengetahui bahwa kalau kelompok
pendapatn rendah diberi transfer tunai, maka mereka akan
mengonsumsinya untuk barang-barang yang kurang potensial seperti
rokok, minuman keras, dan sebagainya. Disamping alasan itu, dengan
adanya transfer innatura mendorong konsumsi barnag yang bersangkutan
untuk meningkatkan dan konsumsi oleh kelompok miskin itu akan
menimbulkan “eksternal benefits” bagi kelompok pembayar pajak11.
a. Program Kesempatan Kerja
Bantuan dalam bentuk uang tunai dapat digunakan oleh oang-orang
yang tidak dapat bekerja. Adapun bagi orang-orang yang dapat bekerja
dan tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup, pemerintah harus
menyediakan lapangan kerja dengan tingkat upah tertentu12.
D. Pengaruh Redistribusi Pendapatan Terhadap Keinginan Untuk Bekerja,
Biaya Sosial (Welfare Cost)
a. Negative Income Tax (NIT)
NIT adalah suatu program redistribusi pendapatan dengan uang tunai
kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan, di mana besarnya transfer
tersebut tergantung kepada besarnya pendapatan keluarga.
a) Pengaruh NIT Terhadap Keinginan Untuk Bekerja
NIT mempengaruhi insentif kerja melalui dua cara, yakni:
“Income effect" dan “substitution effect". Bila dilihat dari sudut
income effect maka NIT tersebut akan mengurangi insentif kerja,
sebab dengan menerima transfer, pendapatan keluarga tersebut
menjadi lebih baik, sehingga dapat dipergunakan untuk membeli lebih
banyak barang dan jasa, termasuk waktu santai (feisure) Dengan
dikonsumsinya leisure berarti akan mengurangi kemauan bekerja
(insentif kerja).

11
Suparmoko...., hlm. 316
12
Sahya Anggara....,hlm. 290

10
Bila dilihat dari sudut substitution effect, maka NIT tersebut
juga mengurangi kemauan bekerja, sebab dengan makin tingginya
pendapatan, transfer yang diterima oleh suatu keluarga akan semakin
rendah. Sehingga untuk tetap memperoleh transfer yang tinggi
keluarga tersebut akan cenderung tidak mau bekerja demi untuk
menambah penghasilan. Jadi secara keseluruhan NIT bersifat
disinsentif.
b) Pengaruh NIT Terhadap Welfare Cost
NIT mengakibatkan penyimpangan pada tingkat upah di pasar
pada tingkat netto, sehingga akan mengakibatkan adanya welfare cost.
Untuk mencapai suatu efesiensi (MR = MC) para pengusaha akan
menambahkan jam kerja. T etapi di pihak lain, para pekerja tidak
bersedia menambah jam kerja mereka, karena dianggap upahnya
terlalu rendah, sehingga terjadi kesenjangan antara tingkat upah di
pasar dan tingkat upah netto. NIT mengakibatkan tingkat upah neto
menjadi rendah, dan hal ini akan mempengaruhi jam kerja. Misalnya
dengan MTR = 0,5, maka tingkat upah pasar sebesar $4 perjam
(marginal benefits akan menjadi net wage rate sebesat $2 Per jam, dan
harga waktu senggang sama dengan $2 (jadi marginal cost=$2)Untuk
mencapai efisiensi. (MR=MC) para pengusaha akan menambah jam
kerja. Tetapi dipihak lain, para pekerja tidak bersedia menambah jam
kerja mereka, karena dianggap uapahnya terlalu rendah, sehingga
terjadi kesenjangan antara tinkat upah dipasar dan tingkat upah neto;
dan ini menimbulkan welfare cost.
c) Pengaruh NIT Terhadap Tax Incidence
NIT cenderung mendorong pengusaha untuk mengurangi
tingkat upah yang dibayarkan. NIT akan menyebabkan para penerima
transfer mengurangi penawaran jam kerja mereka, sekalipun upah di
pasar tidak berubah. Maka kurva penawaran tenaga kerja bergeser ke
kiri atas (supply tenaga atau jam kerja oleh para penerima transfer
berkurang) dari keseimbangan baru. Kenyataannya, NIT akan
menyebabkan para penerima transfer mengurangi penawaran jam

11
kerja mereka, sekalipun upah dipasar tidak berubah. Hal ini berarti
kurva penawaran tenaga kerja bergeser ke kiri atas (supply tenaga atau
jam kerja oleh para penerima transfer berkurang) dari keseimbangan
semula. Karena permintaan pengusaha akan tenaga kerja tetap, maka
upah akan naik ketitik keseimbangan baru. Ini berarti bahwa
penerimaan transfer akan mendapat manfaat yang lebih besar dari
jumlah transfer yang benar-benar mereka terima yaitu yang berujud
kenaikan upah dipasar. Sehingga Tax Incidence dari NIT ditanggung
oleh pengusaha sebesar kenaikan upah yang harus dibayarkan.
b. Demogrant
Demogrant adalah bentuk tranfer di mana semua kelompok
demografik (semua warga negara) akan menerima jumlah transfer yang
sama. Secara sepintas, demogrant tidak mempengaruhi insentif kerja,
karena setiap orang akan menerima transfer yang sama tanpa melihat
tinggi rendahnya penghasilan dan demogrant tidak mengurangi upah
demikian pula besarnya transfer tidak berkurang apabila pendapatan naik
(MTR= -0).
Tetapi untuk membiayai demogrant pemerintah harus melaksanakan
pajak positif, sehingga dengan adanya kombinasi antara pajak dan transfer
, akan menimbulkan pengaruh seperti halnya pada negative income tax
(NIT). Jadi demogrant yang dibiayai dengan pajak mempunyai pengaruh
yang persis sama dengan NIT baik terhadap keinginan untuk bekerja,
wefare cost maupun tax incidance.
c. Wage Rate Subsidies (WRS)
Subsidi tingkat upah adalah transfer yang dilakukan oleh pemerintah
dengan jalan menaikkan tingkat upah neto tenaga kerja. Transfer ini
menambah tingkat upah pasar yang ada. Semakin tinggi tingkat upah
pasar, subsidi ini semakin rendah, namun tenaga kerja yang memperoleh
upah tinggi juga tetap memperoleh WRS ini. dengan cara ini, maka buru
yang bekerja lebih lama akan mendapatkan penerimaan yang lebih tinggi.
1. Pengaruh WRS Terhadap Insentif Kerja

12
Substitution effect yang ditimbulkan oleh WRS justru akan
menambah jam kerja, karena WRS meningkatkan upah. Apabila para
pekerja mengurangi jam kerjanya, akan berarti mereka tidak menerima
subsidi yang besar. WRS ini akan meningkatkan upah sampai sutu
tingkat dimana pekerja akan mengurangi jam kerjanya, bila kurva
penawaran tenaga kerja berbentu”backward bending”.
2. Pengaruh WRS Terhadap Welfare Cost
Oleh karena para pembayar pajak dapat memberikan bantuan
kepada mereka yang berpenghasilan rendah dengan menyediakan uang
yang cukup disertai dengan imbalan kerja maka wefare costnya
relative kecil.
3. Public Employment Program (PEP)
Program kesempatan kerja adalah program kesejahteraan
pemerintahan dalam bentuk program kesempatan kerja di sektor publik
yang dikombinasikan dengan “cash atau in-kind transfer” program.
Dengan program ini diasumsikan bahwa keluarga miskin dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu: Mereka yang tidak dapat
bekerja (atau mereka yang diharapkan tidak dapat bekerja), dan
mereka yang dapat bekerja tetapi tidak dapat memperoleh pendapatan
yang memadai. Bagi mereka yang tergolong tidak dapat bekerja akan
memperoleh bantuan dalam bentuk tunai dengan jaminan pendapatan
yang tinggi, dan bagi mereka yng tergolong dapat bekerja akan
diberikan marginal tax rate yang tidak mengurangi insentif kerja. Bagi
golongan miskin yang dapaat bekerja tetapi tidak dapat memperoleh
penghasilan memadai disektor swasta, akan diberikan pekerjaan
disektor publik dengan tingkat upah yang tetap.
1) Pengaruh PEP Terhadap Insentif Kerja
Program ini memberikan dorongan yang kuat untuk
mengurangi jam kerja (disinsentif kerja), apabila program tersebut
dimanfaatkan oleh suatu keluarga di mana salah seorang anggota
tetap bekerja (yang lain tidak), sehingga jumlah penghasilan
menjadi di bawah garis kemiskinan. Program tersebut salah

13
menempatkan tenaga kerja tidak sesuai dengan bakat dan
kemampuan.
2) Pengaruh PEP Terhadap Welfare Cost
Dengan adanya program PEP, maka banyak tenaga kerja
terdorong untuk bekerja di sektor publik. Berarti alokasi sumber
produksi bias kurang efisien. Penawaran tenaga kerja di sektor
swasta berkurang; berarti produksi barang “privat” terdorong untuk
berkurang. Jadi hal-hal itu dapat mengakibatkan timbulnya walfare
cost masyarakat.
3) Pengaruh PEP Terhadap Tax Incidence
Golongan kaya tidak mau memberikan bantuan yang
melampaui batas kesediaannya kepada golongan miskin, karena
disebabkan oleh adanya penilaian terhadap pemerataan, hak
seseorang atas apa yang diperolehnya serta kemerdekaan dan
sebagainya. Tetapi batasan secara ekonomi yang paling penting
dari redistribusi pendapatan adalah pengaruhnya terhadap insentif
kerja. Redistribusi pendapatan cenderung mengurangi insentif kerja
dan dengan demikian akan mengurangi pendapatan total yang
tersedia untuk dibagikan dalam masyarakat. tambahan pula
redstribusi pendapatan pada umumnya menghasilkan tingkat
marginal tax rate yang tinggi untuk pembayaran pajak maupun unit
penerima transfer. Semakin tinggi tingkat pendapatan pas-pasan
(break event income), maka tingkat pajak untuk penerima bantuan
semakin kecil. Tetapi tax rate bagi pembayar pajak menjadi
semakin tinggi, karena pendapatan yang dapat dikenakan pajak
semakin kecil. Pendapatan yang dikenakan pajak adalah
pendapatan yang bearada diatas pendapatan pas-pasan (break
event).
Jika break event income semakin tinggi, maka taxable
income menjadi lebih kecil. Oleh kare itu tax rate bagi pembayar
pajak semakin tinggi.
4) Pengaruh WRS Terhadap Tax Incidence

14
WRS tidak memuksatkan perhatiannya kepada golongan
miskin. Mereka yang memperoleh tingkat upah yang rendah belum
tentu tergolong miskin. Pembiayaan WRS dengan menggunakan
pajak menimbulkan tax incidence pada konsumen13.

13
Suparmoko...., hlm. 317-322

15
REVIEW JURNAL

Judul: Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan


Pajak Di Indonesia Merespons Pandemi Covid-
19

Nama Jurnal: Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s)

Halaman dan Volume Volume 14, Nomor 1, Januari 2022 Halaman 29-
Jurnal: 44

Tahun: 2022

Penulis: Setiadi Alim Lim

Reviewer: Kelompok 2

Anggota kelompok:

1. Riza Nur Fitriani (12402193005)

2. Ayu Elyna Putri (12402193010)

3. Annisa Dwi Nur Aini (12402193039)

4. Reni Amalia Fitri (12402193040)

5. Milatul Khazanah (12402193042)

Tanggal Review: 17 Maret 2021

Abstrak: Dalam merespons penurunan penerimaan pajak


akibat pandemi Covid-19, pemerintah telah
mengeluarkan peraturan untuk memungut pajak
baru yaitu Pajak Karbon melalui Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Karena Pajak
Karbon ini baru pertama kali diterapkan di
Indonesia dan perhitungannya juga tidak
sederhana, maka keberhasilan pemungutannya

16
diperkirakan memerlukan waktu yang panjang.
Padahal kebutuhan menggali sumber penerimaan
pajak yang baru diperlukan saat ini. dalam
jangka waktu pendek untuk menanggulangi
pengeluaran yang meningkat tajam guna
penanggulangan dampak medis dan dampak
sosial dari pandemi Covid-19. Pemerintah dapat
mempertimbangkan untuk menerapkan Pajak
Kekayaan di samping pajak-pajak yang telah ada
termasuk Pajak Karbon. Pajak Kekayaan di
samping dapat meningkatkan penerimaan pajak
juga dapat dipakai sebagai alat redistribusi
kekayaan guna mengurangi lebar jurang pemisah
antara masyarakat yang kaya dengan yang
miskin. Pajak Kekayaan yang diusulkan adalah
Pajak Kekayaan yang dipungut satu kali saja,
ditujukan untuk orang pribadi, dengan ambang
batas sekaligus Kekayaan Tidak Kena Pajak
(KTKP) sebesar Rp21.000.000.000,00 untuk
wajib pajak tidak kawin dan
Rp22.500.000.000,00 untuk wajib pajak kawin,
menggunakan tarif progresif 0,2%, 0,4%, 0,6%,
dan 0,75%, serta dapat dilunasi secara angsuran
selama 5 tahun. Dasar pengenaan Pajak
Kekayaan adalah kekayaan bersih yaitu jumlah
aset dikurangi dengan jumlah kewajiban yang
dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang
pribadi tahun sebelumnya dikurangi dengan
Kekayaan Tidak Kena Pajak (KTKP). Dengan
menggunakan data kekayaan penduduk
Indonesia tahun 2018, diestimasi pemungutan

17
Pajak Kekayaan ini dapat menghasilkan
tambahan penerimaan pajak sekitar 0,83% dari
Produk Domestik Bruto tahun 2020.

Kata kunci: Pajak Kekayaan, redistribusi


kekayaan, pajak satu kali.

Latar Belakang: a. Pandemi Covid-19 yang masih terus


berlangsung dan belum ada tanda-tanda
a. Alasan Penelitian
akan berakhir, maka pemerintah perlu untuk
melakukan berbagai langkah dan terobosan
guna mempertahankan dan meningkatkan
penerimaan negara, khususnya dari sektor
pajak yang mengalami penurunan cukup
besar.
b. Mempertimbangkan untuk
mengimplementasikan Pajak Kekayaan di
Indonesia sebagai salah satu alternatif untuk
meningkatkan penerimaan negara dari
sektor pajak di tengah situasi penurunan
penerimaan dan peningkatan pengeluaran
b. Tujuan Penelitian
negara untuk mengatasi dampak ekonomi
dan sosial pandemi Covid-19. Penerapan
Pajak Kekayaan diharapkan dapat langsung
secara cepat menghasilkan peningkatan
penerimaan negara dari sektor pajak.
c. Teori dan Hasil
c. Chatterjee et al. (2021) yang menyatakan
Penelitian Sebelumnya
penerapan Pajak Kekayaan juga harus
dipertimbangkan sebagai alat kebijakan
tambahan untuk mengurangi ketimpangan
yang ekstrem. Hasil studi dari Kapeller et al.
(2021) menunjukkan bahwa Pajak
Kekayaan dapat menjadi solusi atas krisis

18
kembar Covid-19 dan perubahan iklim yang
dihadapi Uni Eropa, karena potensi
pendapatan yang dihasilkan berada di antara
alternatif potensial tertinggi di samping juga
untuk mengurangi tingkat ketimpangan
kekayaan yang tinggi secara historis di
Eropa.
Metode:

a. Objek Penelitian a. Pajak Kekayaan


b. b.
c. Teknik Pengumpulan c. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
Data (library research) yang termasuk penelitian
kualitatif,

d. Metode Analisis Data d. Langkah-langkah analisis data :


e. Langkah-langkah 1. Peneliti mencari beberapa data dari data
Analisis Data sekunder yaitu berupa informasi, hasil-hasil
penelitian, observasi, dokumen, dan data
sekunder lainnya yang berhubungan dengan
Pajak Kekayaan yang sudah diberlakukan di
beberapa negara maupun yang masih berupa
proposal dan data-data lainnya.
2. Mendokumentasikan dalam bentuk verbal
simbolik semua data yang berhubungan dengan
pengenaan Pajak Kekayaan.
3. Data yang sudah terkumpuk di analisis dengan
metode analisis isi.
Hasil dan Pembahasan: a. Hasil Penelitian
1. Dengan situasi pandemi covid yang
a. Hasil Penelitian
belum berakhir, pemerintah perlu
melakukan berbagai langkah untuk
meningkatkan penerimaan negara.

19
2. Langkah-langkah pemerintah dalam
meningkatkan penerimaan dari sektor
pajak yakni dengan melakukan
perubahan terhadap beberapa undang-
undang dan juga mengatur perpajakan
baru yaitu pajak karbon
3. Namun pajak karbon perlu jangka waktu
lama karena belum pernah diterapkan di
Indonesia, oleh karena itu pajak
kekayaan dapat digunakan sebagai
alternatif penerimaan baru.
4. Selain sebagai penerimaan baru pajak
kekayaan bisa digunakan sebagai alat
redistribusi kekayaan diantara
masyarakat yang kaya dan miskin
b. Pembahasan
b. Pembahasan 1. Nama pajak adalah Pajak Kekayaan.
2. Subjek pajak adalah orang pribadi
sebagai satu keluarga, bukan individu
3. Objek Pajak Kekayaan adalah kekayaan
bersih yang dimiliki keluarga, bukan
individu, yaitu hasil pengurangan jumlah
aset dengan kewajiban yang dimiliki
keluarga.
4. Pajak Kekayaan diusulkan hanya
dipungut satu kali saja, agar tidak
memberatkan wajib pajak dan khusus
hanya digunakan untuk menutupi biaya
medis dan biaya sosial dari penanganan
dampak dari pandemi Covid-19.
5. Agar sesuai dengan sistem pelaporan
nilai aset dan kewajiban pada Surat

20
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan wajib pajak orang pribadi
yang menggunakan nilai perolehan.
6. Pajak Kekayaan akan dikenakan atas
kekayaan bersih berdasarkan nilai
perolehan yaitu selisih atas aset dan
kewajiban yang dilaporkan di dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Pajak Penghasilan wajib pajak orang
pribadi untuk tahun terakhir sebelum
tahun pemungutan Pajak Kekayaan yang
dipungut satu kali diberlakukan
7. Untuk ambang batas pengenaan Pajak
Kekayaan diusulkan menggunakan acuan
dari ambang batas tertinggi yang
digunakan di beberapa negara Eropa
yaitu sebesar € 1.300.000 untuk orang
pribadi yang tidak kawin dan € 1.400.000
untuk orang pribadi yang kawin. Jika
digunakan kurs tengah Bank Indonesia
tanggal 27 Desember 2021 yaitu sebesar
Rp16.118,68/€, maka ambang batas
tersebut adalah Rp20.954.284.000,00
dibulatkan Rp21.000.000.000,00 untuk
wajib pajak orang pribadi dengan status
tidak kawin dan Rp22.566.152.000,00
dibulatkan Rp22.500.000.000,00 untuk
wajib pajak orang pribadi dengan status
kawin. Batas ambang batas ini sekaligus
difungsikan sebagai Kekayaan Tidak
Kena Pajak (KTPK).
8. Besarnya Pajak Kekayaan adalah hasil

21
perkalian dari tarif Pajak Kekayaan
dengan Kekayaan Kena Pajak (KKP).
Sedangkan Kekayaan Kena Pajak (KKP)
dihitung dengan mengurangkan
kekayaan bersih dari wajib pajak dengan
Kekayaan Tidak Kena Pajak (KTKP).
9. Tarif Pajak Kekayaan yang digunakan
adalah tarif pajak progresif dengan 4
lapisan

10. Untuk menjaga agar pembayaran pajak


tidak mengganggu likuiditas dari wajib
pajak, maka pembayaran pajak dapat
diangsur maksimal dalam waktu 5 tahun
tanpa dikenakan denda atau bunga.
Pembayaran setelah jangka waktu lebih
dari 5 tahun akan dikenakan sanksi denda
dan bunga.
Kesimpulan: a. Akibat pandemi Covid-19, setiap negara
meresponsnya dengan berbagai macam cara.
a. Kesimpulan Penelitian
Walaupun langkah-langkah yang diambil
masing-masing negara berbeda, Indonesia
sendiri mengambil langkah peraturan baru
untuk pemungutan Pajak Karbon. Pajak
Karbon ini diharapkan akan dapat
memberikan kontribusi terhadap
penerimaan negara dari sektor pajak.
Namun karena Pajak Karbon ini masih baru
pertama kali diterapkan di Indonesia dan
cara perhitungannya cukup kompleks, ada

22
kemungkinan belum dapat memberikan
kontribusi yang signifikan bagi penerimaan
negara dalam jangka waktu yang pendek ini.
Pajak Kekayaan adalah pajak yang
dikenakan terhadap kekayaan bersih yang
dimiliki oleh orang pribadi. Pajak ini dapat
dipertimbangkan dalam merespons
penurunan penerimaan dari sektor pajak
akibat dari pandemi Covid-19. Secara
umum, pemungutan Pajak Kekayaan
mempunyai 2 tujuan, yaitu: (i)
meningkatkan penerimaan pajak; (ii)
redistribusi kekayaan dalam rangka
meminimalkan jurang pemisah antara
masyarakat yang kaya dengan yang miskin.
b. Saran atau b. Untuk merespons penurunan penerimaan
Rekomendasi dari sektor pajak akibat dari pandemi
dalam Jurnal Covid-19, pemerintah dapat
mempertimbangkan untuk menerapkan
Pajak Kekayaan yang hanya dipungut satu
kali saja. Karena hanya dipungut satu kali
saja diharapkan pemungutan Pajak
Kekayaan tidak akan mempengaruhi
pemungutan pajak-pajak lainnya termasuk
Pajak Karbon yang baru akan diterapkan.

23
Komentar Reviewer a. Karena penelitian ini menggunakan metode
terhadap Jurnal: penelitian kualitatif penelitian kepustakaan
(library research) sehingga hasil yang
a. Kekuatan Penelitian
didapatkan tidak hanya secara presepsi
tetapi juga konseptual berdasarkan fakta-
fakta.
b. Karena penelitian ini menggunakan

b. Kelemahan Penelitian kepustakaan, masih harus banyak sumber-


sumber yang digunakan untuk memperkuat
penelitian. Selain itu dalam pembahasan ada
beberapa kalimat pengulangan yang kurang
efektif.
c. Memperbanyak referensi kepustakaan, dan
c. Saran dan
melakukan penelitian lebih cermat lagi.
Rekomendasi

24
DAFTAR PUSTAKA

Anggara, Sahya. 2016. Administrasi Keuangan Negara. Bandung: CV Pustaka


Setia.
Suparmoko. 2016. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta:
BPFE.
Alim Lim, Setiadi. 2022. “Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak
di Indonesia Merespon Pandemi Covid-19”. Jurnal Bisnis Perspektif. 14(1):
29-44, diakses 17 Maret 2022.

25
Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s) p-ISSN 1979-4932
Volume 14, Nomor 1, Januari 2022 e-ISSN 2715-2596
Halaman 29-44
http://jurnal.ukdc.ac.id/index.php/BIP

PAJAK KEKAYAAN, ALTERNATIF SUMBER PENERIMAAN


PAJAK DI INDONESIA MERESPONS PANDEMI COVID-19

Setiadi Alim Lim


Program Studi Akuntansi Politeknik Ubaya
Jalan Ngagel Jaya Selatan 169, Surabaya
Corresponding Author: setiadi.alim@gmail.com

ABSTRACT
In response to the decline in tax revenue due to the Covid-19 pandemic, the
government has issued a regulation to collect a new tax, namely the Carbon Tax
through Law Number 7 of 2021 concerning Harmonization of Tax Regulations.
Because this Carbon Tax is being implemented for the first time in Indonesia and
its calculation is also not simple, it is estimated that the successful collection of it
will take a long time. Whereas the need to explore new sources of tax revenue is
needed at this time in the short term to cope with sharply increasing expenditures
in order to overcome the medical and social impacts of the Covid-19 pandemic.
The government could consider implementing a Wealth Tax in addition to existing
taxes including the Carbon Tax. Wealth Tax in addition to increasing tax
revenues can also be used as a means of redistribution of wealth in order to
reduce the wide gap between the rich and the poor. The proposed Wealth Tax is a
Wealth Tax that is levied only once, intended for individuals, with a threshold as
well as Non-Taxable Wealth (NTW) of Rp21,000,000,000.00 for unmarried
taxpayers and Rp22,500,000,000.00 for marriage taxpayers, using progressive
rates of 0.2%, 0.4%, 0.6%, and 0.75%, and can be repaid in installments for 5
years. The basis for imposition of Wealth Tax is net assets, namely the total assets
minus the total liabilities reported in the Annual Income Tax Return (SPT) of the
previous year's individual taxpayers minus the Non-Taxable Wealth (NTW). Using
data on the wealth of the Indonesian population in 2018, it is estimated that the
collection of this Wealth Tax can generate additional tax revenues of around
0.83% of the Gross Domestic Product in 2020.

Keywords: Wealth Tax, redistribution wealth, one-time tax.

ABSTRAK
Dalam merespons penurunan penerimaan pajak akibat pandemi Covid-19,
pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk memungut pajak baru yaitu Pajak
Karbon melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan. Karena Pajak Karbon ini baru pertama kali diterapkan di
Indonesia dan perhitungannya juga tidak sederhana, maka keberhasilan
pemungutannya diperkirakan memerlukan waktu yang panjang. Padahal
kebutuhan menggali sumber penerimaan pajak yang baru diperlukan saat ini

29
Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak di Indonesia Merespons Pandemi Covid-19
Setiadi Alim Lim

dalam jangka waktu pendek untuk menanggulangi pengeluaran yang meningkat


tajam guna penanggulangan dampak medis dan dampak sosial dari pandemi
Covid-19. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menerapkan Pajak
Kekayaan di samping pajak-pajak yang telah ada termasuk Pajak Karbon. Pajak
Kekayaan di samping dapat meningkatkan penerimaan pajak juga dapat dipakai
sebagai alat redistribusi kekayaan guna mengurangi lebar jurang pemisah antara
masyarakat yang kaya dengan yang miskin. Pajak Kekayaan yang diusulkan
adalah Pajak Kekayaan yang dipungut satu kali saja, ditujukan untuk orang
pribadi, dengan ambang batas sekaligus Kekayaan Tidak Kena Pajak (KTKP)
sebesar Rp21.000.000.000,00 untuk wajib pajak tidak kawin dan
Rp22.500.000.000,00 untuk wajib pajak kawin, menggunakan tarif progresif
0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,75%, serta dapat dilunasi secara angsuran selama 5
tahun. Dasar pengenaan Pajak Kekayaan adalah kekayaan bersih yaitu jumlah aset
dikurangi dengan jumlah kewajiban yang dilaporkan di dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi tahun
sebelumnya dikurangi dengan Kekayaan Tidak Kena Pajak (KTKP). Dengan
menggunakan data kekayaan penduduk Indonesia tahun 2018, diestimasi
pemungutan Pajak Kekayaan ini dapat menghasilkan tambahan penerimaan pajak
sekitar 0,83% dari Produk Domestik Bruto tahun 2020.

Kata kunci: Pajak Kekayaan, redistribusi kekayaan, pajak satu kali.

PENDAHULUAN
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia mulai akhir tahun 2019
sampai dengan saat ini masih terus berlangsung, tanpa ada suatu kepastian kapan
pandemi ini akan berakhir, walaupun vaksin yang diperkirakan akan
menyelesaikan masalah pandemi ini telah ditemukan. Salah satu dampak yang
sangat serius dari pandemi Covid-19 adalah pertumbuhan ekonomi di hampir
semua negara mengalami kontraksi yang akan berdampak pada penerimaan dari
sektor pajak. Arndt et al. (2020) menyatakan penerimaan pajak di Afrika Selatan
turun sebesar 32,5% dibandingkan dengan kondisi sebelum adanya pandemi
Covid-19. Kontraksi ekonomi juga terjadi di Indonesia, di mana angka
pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2020 mengalami kontraksi/penurunan sebesar
2,07% (Badan Pusat Statistik-a, 2021: 45-48). Kondisi ini memberi tekanan pada
penerimaan pajak di Indonesia pada tahun 2020. Ada penurunan yang cukup
signifikan jumlah penerimaan pajak di Indonesia pada tahun 2020 dibandingkan
dengan tahun 2019. Penerimaan pajak dalam tahun 2019 berjumlah sebesar
Rp1.332.659.150.000.000,00 dan untuk tahun 2020 berjumlah sebesar
Rp1.069.980.000.000.000,00 atau mengalami penurunan sebesar 19,71% dari
tahun 2019 ke tahun 2020 (Direktorat Jenderal Pajak, 2019; Direktorat Jenderal
Pajak, 2020).
Oleh karena pandemi Covid-19 masih terus berlangsung dan belum ada
tanda-tanda akan berhenti dalam jangka waktu pendek, maka kebutuhan
pengeluaran pemerintah untuk penanggulangan pandemi Covid-19 berupa

30
Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), Volume 14, Nomor 1, Januari 2022

pembayaran biaya perawatan pasien Covid-19, bantuan langsung untuk


masyarakat terdampak, bantuan untuk dunia usaha, berbagai insentif pajak, dan
non pajak cukup menguras kas negara yang bila tidak dibarengi dengan
peningkatan penerimaan negara dari segala sektor, termasuk sektor pajak akan
membahayakan posisi keuangan negara. Pada saat yang sama penerimaan dari
sektor pajak justru mengalami penurunan, karena adanya penurunan aktivitas
ekonomi sebagai efek dari berbagai pembatasan yang harus dilakukan untuk
mencegah percepatan penyebaran virus Covid-19.
Dalam kondisi demikian, pemerintah harus melakukan berbagai terobosan
untuk mengamankan jumlah penerimaan pajak. Salah satu terobosan yang telah
dilakukan pemerintah adalah mengubah beberapa pasal dari Undang-Undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah. Di samping itu pemerintah juga akan melakukan
pemungutan Pajak Karbon. Semuanya ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan tujuan
meningkatkan penerimaan pajak yang selama ini merupakan tulang punggung
penerimaan negara.
Inisiasi pemerintah untuk memungut Pajak Karbon harus diapresiasi dan
merupakan salah satu langkah yang baik untuk menaikkan penerimaan dari sektor
pajak. Namun karena Pajak Karbon ini baru pertama kali diterapkan di Indonesia
serta cara perhitungan dan pemungutannya tidak terlalu sederhana, maka tingkat
keberhasilannya dalam menghasilkan jumlah penerimaan pajak yang cukup
signifikan sepertinya memerlukan usaha yang keras dan waktu yang panjang.
Padahal saat ini Indonesia membutuhkan penerimaan yang lebih besar dari pada
tahun-tahun sebelum terjadinya pandemi Covid-19 untuk membiayai pengeluaran
yang semakin membesar karena adanya beban pengeluaran tambahan untuk
penanggulangan pandemi Covid-19 serta dampak-dampak ekonomi dan sosial
yang ditimbulkan pandemi Covid-19.
Untuk mendukung langkah-langkah yang telah dilakukan, pemerintah dapat
mempertimbangkan guna menerapkan pajak lain yang hasilnya diharapkan dapat
lebih terlihat dalam jangka pendek. Pajak tersebut adalah Pajak Kekayaan (Wealth
Tax). Sesuai dengan namanya, Pajak Kekayaan akan dikenakan terhadap
kekayaan yang dimiliki. Londoño-Vélez and Ávila-Mahecha (2019) menyatakan
Pajak Kekayaan progresif sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan dan
mengekang terjadinya ketidaksetaraan. Hal senada diungkapkan Chatterjee et al.
(2021) yang menyatakan penerapan Pajak Kekayaan juga harus dipertimbangkan
sebagai alat kebijakan tambahan untuk mengurangi ketimpangan yang ekstrem.
Hasil studi dari Kapeller et al. (2021) menunjukkan bahwa Pajak Kekayaan dapat
menjadi solusi atas krisis kembar Covid-19 dan perubahan iklim yang dihadapi
Uni Eropa, karena potensi pendapatan yang dihasilkan berada di antara alternatif
potensial tertinggi di samping juga untuk mengurangi tingkat ketimpangan
kekayaan yang tinggi secara historis di Eropa. Pada saat kampanye nominasi
presiden dari Partai Demokrat di Amerika Serikat pada tahun 2019-2020, Senator
Bernard Sanders dan Senator Elizabeth Warren mengajukan proposal guna
menerapkan Pajak Kekayaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan

31
Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak di Indonesia Merespons Pandemi Covid-19
Setiadi Alim Lim

pemerintah (Scheuer and Slemrod, 2021). Jadi selain dimaksudkan untuk


menambah penerimaan dari sektor pajak, implementasi Pajak Kekayaan juga
dimaksudkan guna mengurangi kesenjangan ekonomi antara masyarakat yang
kaya dengan yang miskin.
Oleh karena itu, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk
mengimplementasikan Pajak Kekayaan di Indonesia sebagai salah satu alternatif
untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak di tengah situasi
penurunan penerimaan dan peningkatan pengeluaran negara untuk mengatasi
dampak ekonomi dan sosial pandemi Covid-19. Penerapan Pajak Kekayaan
diharapkan dapat langsung secara cepat menghasilkan peningkatan penerimaan
negara dari sektor pajak. Di samping untuk meningkatkan penerimaan pajak
dalam jangka waktu yang pendek, penerapan Pajak Kekayaan juga diharapkan
akan dapat berfungsi sebagai redistribusi pendapatan agar dapat mempersempit
jurang pemisah antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang
dimaksudkan untuk meneliti mengenai penerapan Pajak Kekayaan di Indonesia.
Dalam penelitian akan dianalisis manfaat penerapan Pajak Kekayaan di Indonesia.
Manfaat berupa proyeksi penerimaan negara yang akan dihasilkan. Penelitian juga
akan membahas desain mengenai Pajak Kekayaan yang akan diterapkan di
Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pajak Kekayaan
Pajak Kekayaan menurut Richard Bird adalah salah satu instrumen fiskal
tertua di sebagian besar negara. Meskipun kuno, Pajak Kekayaan relatif diabaikan
tahun-tahun terakhir ini (Rudnick and Gordon, 1996). Pajak Kekayaan adalah
pajak berbasis luas atas kepemilikan kekayaan bersih. Pengertian berbasis luas
adalah pajak atas sebagian besar (atau semua) jenis aset, bukan hanya jenis
tertentu seperti properti, dan kekayaan bersih yang dimaksud adalah aset
dikurangi hutangnya (Advani et al., 2020). Menurut Actionaid (2018) Pajak
Kekayaan dapat dikenakan pada kepemilikan kekayaan, transfer kekayaan, atau
apresiasi kekayaan.
Drometer et al. (2018) menyoroti bahwa dalam beberapa tahun terakhir,
yang lebih mendapatkan perhatian adalah ketidaksetaraan pendapatan
dibandingkan dengan ketidaksetaraan kekayaan. Hal ini mendorong timbulnya
pemikiran untuk melakukan pemajakan terhadap kekayaan. Pendapat senada
disampaikan oleh Brülhart et al. (2016) yang menyebutkan meningkatnya
ketidaksetaraan yang terlihat di banyak negara maju selama empat dekade terakhir
telah mendorong minat baru dalam perpajakan terhadap kekayaan. Scheuer and
Slemrod (2021) menyatakan alasan utama pengenaan Pajak Kekayaan adalah
untuk mengalihkan beban pajak ke rumah tangga yang paling kaya.
Di samping bertujuan menambah penerimaan negara dari sektor pajak,
penerapan Pajak Kekayaan juga dimaksudkan untuk mengurangi jurang
ketimpangan antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin dan
menghindarkan terjadinya konsentrasi kekayaan pada segelintir kelompok
masyarakat tertentu. Karena konsentrasi kekayaan dan dominasi ekonomi pada

32
Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), Volume 14, Nomor 1, Januari 2022

sebagian kecil komunitas tertentu akan menyebabkan ketimpangan dalam


distribusi kekayaan yang mana hal ini dalam jangka panjang akan sangat
berbahaya.
Walaupun diyakini akan dapat mengurai permasalahan dari ketimpangan
penyebaran kekayaan, ternyata saat ini sudah tidak banyak negara yang
menerapkan Pajak Kekayaan. Berbagai kesulitan dan permasalahan yang muncul
di dalam implementasi Pajak Kekayaan menyebabkan banyak negara akhirnya
tidak lagi menerapkan Pajak Kekayaan. Salah satu yang sering menjadi
pertimbangan suatu negara dalam menerapkan Pajak Kekayaan adalah
kekhawatiran pelarian kekayaan ke luar negeri agar tidak dikenakan Pajak
Kekayaan. Namun dengan manajemen dan pengelolaan yang baik dari pemerintah
berbagai masalah seharusnya dapat diatasi dengan baik, termasuk berbagai
penghindaran yang mungkin dilakukan oleh wajib pajak.

Jangka Waktu Pengenaan Pajak Kekayaan


Pajak Kekayaan dapat dikenakan secara permanen dan rutin dipungut setiap
tahun terhadap kekayaan dari wajib pajak. Namun dapat pula Pajak Kekayaan
hanya dikenakan dalam periode satu tahun tertentu saja, setelah itu kekayaan
wajib pajak tidak dikenakan Pajak Kekayaan lagi. Biasanya pengenaan Pajak
Kekayaan satu kali saja ditujukan untuk memperoleh penerimaan negara guna
mengatasi suatu hal tertentu. Advani et al. (2020) menyatakan fitur yang
menentukan dari Pajak Kekayaan satu kali adalah bahwa itu akan menjadi respons
luar biasa satu kali untuk krisis tertentu. Ketidaksetaraan kekayaan yang sudah
ada sebelumnya dapat dikurangi secara lump-sum melalui Pajak Kekayaan satu
kali yang tidak terduga (Scheuer and Slemrod, 2021).
Pengenaan Pajak Kekayaan yang bersifat rutin setiap tahun akan
memberikan kontribusi rutin yang cukup membantu dalam penerimaan negara
dari sektor pajak. Namun implementasi pemungutan Pajak Kekayaan yang
dipungut setiap tahun akan dapat memberikan motivasi yang lebih besar kepada
wajib pajak untuk melakukan penghindaran pembayaran Pajak Kekayaan dan atau
pelarian kekayaan ke luar negeri. Pajak Kekayaan yang dipungut secara rutin akan
dapat menjadi alat redistribusi kekayaan yang lebih efektif dibandingkan dengan
pemungutan yang hanya dilakukan satu kali saja.
Sebaliknya jika Pajak Kekayaan hanya dipungut satu kali saja, maka
kontribusinya kepada penerimaan negara hanya berlaku untuk satu periode
tertentu di mana pemungutan Pajak Kekayaan dilakukan. Hal ini berarti
penerimaan Pajak Kekayaan tidak dapat terlalu diharapkan dalam memberikan
kontribusi terhadap penerimaan negara secara kontinu karena hanya terjadi pada
suatu periode tertentu saja. Demikian pula peranan Pajak Kekayaan sebagai
instrumen untuk redistribusi kekayaan juga tidak dapat maksimal karena hanya
diterapkan satu kali dalam satu periode tertentu saja.

Dasar Pengenaan Pajak Kekayaan


Pajak Kekayaan dikenakan terhadap kekayaan yang dimiliki oleh wajib
pajak. Pada prinsipnya, dasar pengenaan Pajak Kekayaan adalah kekayaan bersih,
yaitu nilai aset dikurangi utang (Scheuer and Slemrod, 2021; Advani et al., 2020).

33
Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak di Indonesia Merespons Pandemi Covid-19
Setiadi Alim Lim

Kekayaan keluarga adalah nilai total semua aset yang dimiliki anggota keluarga
dikurangi utang mereka, yang juga dikenal sebagai kewajiban (Leiserson, 2019).
Menurut OECD (2018), Pajak Kekayaan secara teori dikenakan atas dasar akrual
dan basis Pajak Kekayaan terus diperbarui melalui penilaian aset reguler setiap
tahun.
Pajak Kekayaan dapat dikenakan terhadap kekayaan individu atau kekayaan
rumah tangga. Pajak Kekayaan di Swiss, Norwegia, Perancis, dan Jerman
dikenakan atas kekayaan rumah tangga, karena keluarga secara keseluruhan
dianggap mendapat manfaat dari kekayaan. Namun, ini adalah saat ketika
pasangan dinilai bersama untuk Pajak Penghasilan (lebih tepatnya, penghasilan
istri adalah dinilai sebagai suaminya) dan konteks sosialnya agak berbeda (Advani
et al. 2020). Setiap aset atau kekayaan yang dimiliki oleh wajib pajak dapat
dikenakan atas dasar harga perolehan atau berdasarkan harga pasar yang berlaku.
Penggunaan harga perolehan dari aset atau kekayaan sebagai dasar pengenaan
Pajak Kekayaan lebih sederhana dibandingkan dengan harga pasar. Karena
penggunaan harga pasar biasanya relatif sulit diimplementasikan, disebabkan
kesulitan untuk mendapatkan harga pasar yang wajar dan objektif. Penggunaan
harga pasar yang tidak seragam atas objek kekayaan yang hampir sama akan
menyebabkan bias di dalam perhitungan besarnya Pajak Kekayaan.

Ambang Batas Pengenaan Pajak Kekayaan


Besarnya ambang batas pengenaan Pajak Kekayaan harus ditentukan
dengan sangat hati-hati. Kesalahan dalam menentukan besarnya ambang batas
akan berdampak pada kegagalan dalam implementasi Pajak Kekayaan. Ambang
batas yang ditetapkan terlalu rendah akan mengakibatkan banyak individu yang
terjaring sebagai wajib pajak. Dengan jumlah wajib pajak yang besar, maka besar
pula kemungkinan jumlah wajib pajak yang tidak patuh dan melakukan
penghindaran pajak. Di sisi lain, otoritas pajak akan mengeluarkan biaya
administrasi yang besar untuk melakukan pemantauan kepatuhan dari wajib pajak
jika ambang batas ditentukan terlalu rendah.
Sebaliknya, ambang batas yang ditentukan terlalu tinggi akan menyebabkan
jumlah masyarakat yang terjaring sebagai wajib pajak jumlahnya tidak terlalu
banyak. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi jumlah pajak yang dapat
diperoleh dari penerimaan Pajak Kekayaan. Dengan jumlah wajib pajak yang
relatif tidak terlalu banyak, maka otoritas pajak dapat lebih fokus di dalam
melakukan pemantauan atas kepatuhan wajib pajak yang berarti biaya
administrasi yang dikeluarkan juga tidak terlalu besar.
Di samping terkait dengan masalah kepatuhan wajib pajak dan besarnya
biaya administrasi yang akan dikeluarkan oleh otoritas pajak, penentuan ambang
batas juga harus mempertimbangkan masalah likuiditas dari wajib pajak. Seperti
yang dinyatakan oleh Loutzenhiser and Mann (2020), pengenaan pajak atas
kekayaan statis dapat mengakibatkan kesulitan bagi wajib pajak dalam membayar
pajak, terutama jika aset yang dikenakan pajak tidak menghasilkan pendapatan
yang cukup, tidak dapat dengan mudah diubah menjadi uang tunai, atau di mana
mungkin sulit atau tidak diinginkan bagi wajib pajak untuk melepaskan hartanya
dalam rangka membayar pajak. Wajib pajak yang memiliki kekayaan yang besar

34
Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), Volume 14, Nomor 1, Januari 2022

tetapi kekayaannya tersebut banyak berupa aset yang tidak menghasilkan


pendapatan tunai, sedangkan di lain pihak wajib pajak tersebut juga tidak
memiliki penghasilan tunai lain yang cukup membayar Pajak Kekayaan, maka
akan timbul masalah kesulitan bagi wajib pajak tersebut untuk melakukan
pembayaran Pajak Kekayaan. Dalam hal ini bila tidak ada solusi dari otoritas
pajak, maka akan timbul banyak wajib pajak yang sebetulnya mempunyai
motivasi untuk membayar Pajak Kekayaan, namun karena mengalami kesulitan
likuiditas menjadi tidak patuh untuk memenuhi kewajibannya membayar Pajak
Kekayaan. Ambang batas pengenaan Pajak Kekayaan yang pernah diterapkan
beberapa negara Eropa dan usulan dari Senator Bernard Sanders dan Senator
Elizabeth Warren seperti terlihat pada Tabel 1.

Tarif Pajak Kekayaan


Salah satu faktor yang juga harus dipertimbangkan dalam impelementasi
Pajak Kekayaan adalah penentuan tarif Pajak Kekayaan. Tarif Pajak Kekayaan
yang ditetapkan terlalu tinggi akan mendorong wajib pajak untuk menjadi tidak
patuh, karena merasa terlalu berat menanggung beban membayar Pajak Kekayaan.
Wajib pajak mungkin akan melakukan perlawanan yang bersifat pasif untuk tidak
membayar pajak. Hal ini akan membuat otoritas pajak harus melakukan upaya dan
kerja yang lebih keras agar wajib pajak patuh membayar Pajak Kekayaan. Otoritas
pajak dapat melakukan upaya-upaya dari persuasif sampai dengan represif,
khususnya untuk wajib pajak yang mempunyai kemampuan membayar pajak
tetapi tidak patuh karena merasa tarif Pajak Kekayaan terlalu tinggi. Namun,
semua hal ini tentu saja akan mengeluarkan biaya administrasi yang tinggi karena
kemungkinan jumlah wajib pajak yang tidak patuh cukup besar.
Di lain sisi jika tarif Pajak Kekayaan ditetapkan terlalu kecil, maka
kontribusi penerimaan Pajak Kekayaan terhadap penerimaan negara secara
keseluruhan menjadi tidak signifikan. Apalagi jika pengenaan Pajak Kekayaan
tidak bersifat rutin setiap tahun, tetapi hanya dilakukan satu kali saja pada suatu
periode atau tahun tertentu. Namun dengan penetapan tarif Pajak Kekayaan yang
rendah akan mendorong wajib pajak untuk lebih patuh di dalam membayar Pajak
Kekayaan yang menjadi tanggungannya. Hal ini akan mempermudah kerja dari
otoritas pajak dan menurunkan biaya administrasi untuk memantau kepatuhan dari
wajib pajak. Tarif Pajak Kekayaan yang digunakan dapat berupa tarif tunggal
dengan satu tarif atau tarif progresif dengan lebih dari satu tarif. Tarif Pajak
Kekayaan yang pernah diterapkan beberapa negara Eropa dan usulan dari Senator
Bernard Sanders dan Senator Elizabeth Warren seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1
Pajak Kekayaan di Beberapa Negara Eropa serta Proposal Sanders dan Warren
No. Nama Negara Tahun Pendapatan Tarif Pajak Kekayaan Ambang Batas
Penerapan Pajak Tarif Tarif Tidak Kawin Kawin
Kekayaan Terakhir Pernah (€) (€)
dari PDB Diterapkan
1. Austria 1954-1994 0,14% 1% 1% Tidak Ada Tidak Ada
2. Denmark 1903-1997 0,06% 0,70% 2,20% € 320.657 € 641.314
3. Finlandia 1919-2006 0,08% 0,80% 4% € 250.000 € 500.000
4. Perancis 1982-1986 0,22% 1,50% 1,80% € 1.300.000 € 1.300.000
1989-2017

35
Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak di Indonesia Merespons Pandemi Covid-19
Setiadi Alim Lim

5. Jerman 1952-1997 0,11% 1% 2,50% € 61.355 € 122.710


6. Islandia 1096-2006 0,48% 2% 2% € 473.248 € 630.997
2010-2015
7. Irlandia 1975-1978 0,10% 1% 1% € 88.882 € 126.974
8. Luksemburg 1934-2006 0,55% 0,50% 0,50% € 2.500 € 5.000
9. Belanda 1965-2001 0,18% 0,70% 0,80% € 90.756 € 113.445
10. Norwegia 1892- 0,45% 0,85% 1,10% € 157.833 € 315.666
sekarang
11. Spanyol 1977-2008 0,18% **) 0%- 3,75% **) € 400.000- **) € 800.000-
2011- 3,75% € 700.000 € 1.400.000
sekarang
12. Swedia 1947-1991 0,19% 1,50% 4% € 166.214 € 221.619
1991-2007
13. Swiss (1840-1970)- 1,08% **) 0,1%- 3,72% **) € 25.380- **) € 51.150-
sekarang 1,1% € 116.250 € 232.500
14. Proposal Sanders n/a 1,56% 8% n/a $ 16.000.000 $ 32.000.000
15. Proposal Warren n/a 1,34% 6% n/a $ 50.000.000 $ 50.000.000
Terendah *) 0,06% 0,50% 0,50% € 2.500 € 5.000
Tertinggi *) 1,08% 3,75% 4% € 1.300.000 € 1.400.000
Rata-rata *) 0,29% 1,08% 2,18% € 271.712 € 401.504

Sumber: Scheuer and Slemrod (2021)


*) Perhitungan terendah, tertinggi, dan rata-rata tidak termasuk proposal dari
Sanders dan Warren.
**) Untuk angka yang berada dalam suatu rentang interval, perhitungan rata-rata
menggunakan nilai tengah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang
termasuk penelitian kualitatif, bekerja pada tataran analitik, dan mendapatkan data
bukan berdasarkan pada persepsi peneliti, tetapi dari fakta-fakta konseptual
maupun teoritis (Hamzah, 2020). Penelitian kepustakaan melakukan pengumpulan
informasi dan data dengan bantuan bahan-bahan yang ada di perpustakaan seperti
dokumen, jurnal, buku, majalah, dan lain sebagainya (Mardalis, 1999).
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu berupa
informasi, hasil-hasil penelitian, observasi, dokumen, dan data sekunder lainnya
yang berhubungan dengan Pajak Kekayaan yang sudah diberlakukan di beberapa
negara maupun yang masih berupa proposal dan data-data lainnya. Semua data
diperoleh melalui unduh dari berbagai situs internet. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah dokumentasi yaitu mendokumentasikan dalam bentuk
verbal simbolik semua data yang berhubungan dengan pengenaan Pajak
Kekayaan. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah metode analisis
isi.

Data Penelitian
Produk Domestik Bruto di Indonesia
Seperti halnya negara-negara lain di dunia yang saat ini mengalami
kontraksi ekonomi nasionalnya akibat dari pandemi Covid-19, Indonesia juga
mengalami hal yang sama. Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2020
mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2019. Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia tahun 2019 sebesar Rp10.949.037.800.000.000,00 turun menjadi
Rp10.722.442.700.000.000,00 pada tahun 2020 atau turun sebesar 2,07% (Badan
Pusat Statistik-a, 2021: 45-48).

36
Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), Volume 14, Nomor 1, Januari 2022

Penerimaan Pajak di Indonesia


Dalam menahan laju penyebaran virus Covid-19, Indonesia telah melakukan
berbagai langkah pencegahan, antara lain memberlakukan protokol kesehatan
yang diberi nama 5M, yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak,
menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas masyarakat. Untuk menghindari
kerumunan dan mengurangi mobilitas masyarakat, pemerintah memberlakukan
program PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dengan
berbagai level. Pemberlakuan PPKM ini membawa konsekuensi pada kegiatan
ekonomi masyarakat yang mengalami penurunan. Wajib pajak baik orang pribadi
maupun badan yang melakukan kegiatan usaha mengalami penurunan penjualan
dan laba usahanya. Hal ini berdampak pada penerimaan pemerintah dari sektor
pajak yang juga mengalami penurunan. Penerimaan pajak di Indonesia pada tahun
2019 dan 2020 seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2
Realisasi Pendapatan Pajak Tahun 2019-2020 per Jenis Pajak
(dalam miliar rupiah)
No. Jenis Pajak Penerimaan Penerimaan Kenaikan/
Tahun 2019 Tahun 2020 (Penurunan)
1. PPh Non Migas 713.110,50 560.670,00 (21,38%)
2. PPN terdiri dari: 515.954,72 439.140,00 (14,89%)
- PPN Dalam Negeri 344.429,65 298.840,00 (13,24%)
- PPN Impor 171.362,69 140.300,00 (18,13%)
- PPN Lainnya 162,38 - (100%)
3. PPn BM terdiri dari: 15.605,68 9.250,00 (40,73%)
- PPn BM Dalam Negeri 10.847,41 6.250,00 (42,38%)
- PPn BM Impor 4.725,16 3.000,00 (57,51%)
- PPn BM Lainnya 33,11 - (100%)
4. PBB 21.145,90 20.950,00 (0,93%)
5. Pajak Lainnya 7.677,47 6.790,00 (11,56%)
6. PPh Migas 59.164,88 33.180,00 (43,92%)
TOTAL 1.332.659,15 1.069.980,00 (19,71%)
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak (2019) dan Direktorat Jenderal Pajak (2020)

Tingkat Kesenjangan Kekayaan di Indonesia


Dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara yang terkaya dan yang
lainnya di Indonesia telah tumbuh lebih cepat daripada di negara lain di Asia
Tenggara. Empat orang terkaya di Indonesia kini memiliki kekayaan lebih dari
100 juta orang termiskin. Ketimpangan memperlambat pengentasan kemiskinan,
menghambat pertumbuhan ekonomi, dan mengancam kohesi sosial (Gibson et al.,
2017). Masih besarnya kesenjangan antara masyarakat yang kaya dengan yang
miskin juga ditegaskan oleh World Bank (2016) yang menyatakan ada
kesenjangan pendapatan yang semakin besar antara 10% penduduk terkaya dan
penduduk lainnya, dan kesenjangan ini didorong oleh banyak jenis
ketidaksetaraan lainnya di Indonesia. Untuk mengukur tingkat kesenjangan

37
Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak di Indonesia Merespons Pandemi Covid-19
Setiadi Alim Lim

ekonomi salah satu ukuran yang banyak dipakai adalah Gini Ratio yang berada di
interval 0-1 dengan nilai Gini Ratio semakin kecil semakin baik. UNDP (2013)
menunjukkan Gini Ratio rata-rata per kelompok negara berdasarkan tingkat
pendapatan suatu negara seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3
Rata-rata Gini Ratio per Kelompok Negara Berdasarkan Status Penghasilan
No. Kelompok Negara Jumlah Negara Gini Index Awal Gini Index Akhir
Tahun 1990-an Tahun 2000-an
1. Low Income 33 36,0 39,9
2. Lower-Middle Income 47 41,1 43,9
3. Upper-Middle Income 12 53,4 49,7
4. High Income 24 41,9 45,7
5. All 116 39,0 42,1
Sumber: UNDP (2013)

Indonesia sejak tahun 2012 berada pada kelompok negara Lower-Middle Income
dengan Gini Ratio sebesar 37,7 pada awal tahun 1990-an dan sebesar 38,5 pada
akhir tahun 2000-an (UNDP, 2013). Pada Maret 2021, Badan Pusat Statistik-b
(2021) menyatakan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang
diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 38,4.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Dalam situasi pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung dan belum
ada tanda-tanda akan berakhir, maka pemerintah perlu untuk melakukan berbagai
langkah dan terobosan guna mempertahankan dan meningkatkan penerimaan
negara, khususnya dari sektor pajak yang mengalami penurunan cukup besar.
Penerimaan pajak di Indonesia pada tahun 2020 turun sebesar 19,71% seperti
ditunjukkan pada Tabel 2. Pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk
meningkatkan penerimaan dari sektor pajak dengan melakukan perubahan
terhadap Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah melalui diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Di
samping perubahan terhadap 3 Undang-Undang Perpajakan tersebut, Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan juga
mengatur tentang pemungutan jenis pajak baru yaitu Pajak Karbon. Mengingat
bahwa Pajak Karbon belum pernah diterapkan di Indonesia dan perhitungannya
cukup kompleks serta sasaran yang menjadi wajib pajak belum terlalu jelas, maka
keberhasilan pemungutan Pajak Karbon kemungkinan besar akan membutuhkan
jangka waktu yang panjang. Padahal dalam situasi saat ini, pemerintah
memerlukan sumber penerimaan baru yang segera dapat meningkatkan
penerimaan dari sektor pajak.
Pajak Kekayaan dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alternatif sumber
penerimaan baru yang dapat segera meningkatkan penerimaan dari sektor pajak
dalam situasi sulit saat ini. Walaupun belum pernah diterapkan di Indonesia, tetapi
Pajak Kekayaan lebih mudah untuk diimplementasikan, sehingga diharapkan

38
Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), Volume 14, Nomor 1, Januari 2022

dapat langsung memberikan kontribusi bagi penerimaan negara dari sektor pajak
secara signifikan. Pemungutan Pajak Kekayaan ini diharapkan tidak akan
mengganggu pemungutan pajak lainnya.
Di samping dapat menjadi salah satu sumber penerimaan baru dari sektor
pajak, pemungutan Pajak Kekayaan juga diharapkan dapat berfungsi sebagai alat
redistribusi kekayaan di antara kelompok masyarakat yang kaya dan yang miskin.
Berdasarkan data terakhir, Gini Ratio di Indonesia per Maret 2021 sebesar 38,4,
suatu angka rasio yang sudah cukup baik, karena data dari UNDP (2013)
menunjukkan rata-rata Gini Ratio negara-negara yang tergolong Lower-Middle
Income sebesar 43,9 pada akhir tahun 2000-an. Indonesia sebagai negara Lower-
Middle Income memiliki Gini Ratio yang jauh lebih baik dari rata-rata Gini Ratio
negara-negara yang tergolong Lower-Middle Income. Bahkan Gini Ratio
Indonesia sebesar 38,4 masih jauh lebih baik dari rata-rata Gini Ratio kelompok
negara-negara yang memiliki Gini Ratio terbaik sebesar 39,9 yaitu kelompok
negara-negara Low Income.
Walaupun kesenjangan kekayaan di Indonesia tergolong cukup baik, namun
berbagai usaha untuk mempersempit jurang kesenjangan kekayaan antara
golongan masyarakat yang kaya dengan yang miskin tetap harus dilakukan
dengan berbagai cara dan instrumen. Penerapan Pajak Kekayaan diharapkan dapat
membantu untuk menurunkan kembali tingkat kesenjangan kekayaan di Indonesia
hingga Gini Ratio yang sudah cukup baik menjadi lebih baik lagi. Data yang
diungkapkan oleh Gibson et al. (2017) yang menyatakan kesenjangan di Indonesia
tumbuh lebih cepat dari negara lain di Asia Tenggara dan temuan dari World
Bank (2016) bahwa ada kesenjangan pendapatan yang semakin besar antara 10%
penduduk terkaya dan penduduk lainnya menunjukkan bahwa kesenjangan
kekayaan di masyarakat Indonesia masih harus tetap ditangani dengan serius.
Berdasarkan uraian di atas, maka Pajak Kekayaan sangat mungkin
diimplementasikan di Indonesia, karena dapat menjadi salah satu sumber baru
penerimaan dari sektor pajak yang akan membantu penerimaan negara secara
keseluruhan yang mengalami penurunan sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Di samping itu, penerapan Pajak Kekayaan juga dapat digunakan sebagai
instrumen untuk redistribusi kekayaan yang diharapkan akan mengurangi jurang
kesenjangan antara kelompok masyarakat yang kaya dengan yang miskin.
Mengenai Pajak Kekayaan yang diusulkan untuk diterapkan di Indonesia
desainnya adalah sebagai berikut:
1. Nama pajak adalah Pajak Kekayaan.
2. Subjek pajak adalah orang pribadi sebagai satu keluarga, bukan individu. Hal
ini untuk mempermudah penerapannya agar sesuai dengan laporan wajib
pajak orang pribadi dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan wajib pajak orang pribadi, di mana sebagian besar wajib pajak
orang pribadi menggunakan status KK (Kepala Keluarga) yang berarti
seluruh aset dan kewajiban dari wajib pajak orang pribadi digabung antara
suami dan isteri. Dengan demikian nilai kekayaan bersih dapat langsung
diambil dari data aset dan kewajiban yang dilaporkan oleh wajib pajak orang
pribadi di dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan
wajib pajak orang pribadi.

39
Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak di Indonesia Merespons Pandemi Covid-19
Setiadi Alim Lim

3. Objek Pajak Kekayaan adalah kekayaan bersih yang dimiliki keluarga, bukan
individu, yaitu hasil pengurangan jumlah aset dengan kewajiban yang
dimiliki keluarga.
4. Pajak Kekayaan diusulkan hanya dipungut satu kali saja, agar tidak
memberatkan wajib pajak dan khusus hanya digunakan untuk menutupi biaya
medis dan biaya sosial dari penanganan dampak dari pandemi Covid-19.
Pemungutan Pajak Kekayaan harus dilakukan dengan tiba-tiba tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu untuk meminimalkan terjadi penghindaran
terhadap pengenaan Pajak Kekayaan.
5. Agar sesuai dengan sistem pelaporan nilai aset dan kewajiban pada Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi
yang menggunakan nilai perolehan, maka penilaian dasar pengenaan Pajak
Kekayaan juga menggunakan nilai perolehan bukan nilai pasar.
6. Pajak Kekayaan akan dikenakan atas kekayaan bersih berdasarkan nilai
perolehan yaitu selisih atas aset dan kewajiban yang dilaporkan di dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang
pribadi untuk tahun terakhir sebelum tahun pemungutan Pajak Kekayaan
yang dipungut satu kali diberlakukan.
7. Untuk ambang batas pengenaan Pajak Kekayaan diusulkan menggunakan
acuan dari ambang batas tertinggi yang digunakan di beberapa negara Eropa
yaitu sebesar € 1.300.000 untuk orang pribadi yang tidak kawin dan
€ 1.400.000 untuk orang pribadi yang kawin. Jika digunakan kurs tengah
Bank Indonesia tanggal 27 Desember 2021 yaitu sebesar Rp16.118,68/€,
maka ambang batas tersebut adalah Rp20.954.284.000,00 dibulatkan
Rp21.000.000.000,00 untuk wajib pajak orang pribadi dengan status tidak
kawin dan Rp22.566.152.000,00 dibulatkan Rp22.500.000.000,00 untuk
wajib pajak orang pribadi dengan status kawin. Batas ambang batas ini
sekaligus difungsikan sebagai Kekayaan Tidak Kena Pajak (KTPK).
8. Besarnya Pajak Kekayaan adalah hasil perkalian dari tarif Pajak Kekayaan
dengan Kekayaan Kena Pajak (KKP). Sedangkan Kekayaan Kena Pajak
(KKP) dihitung dengan mengurangkan kekayaan bersih dari wajib pajak
dengan Kekayaan Tidak Kena Pajak (KTKP).
9. Tarif Pajak Kekayaan yang digunakan adalah tarif pajak progresif dengan 4
lapisan dengan rincian tarif sebagai berikut:

Tabel 4
Usulan Tarif Pajak Kekayaan
Jumlah Kekayaan Kena Pajak Tarif Pajak
Kekayaan
Rp0,00 s.d. Rp500.000.000.000,00 0,2%
> Rp500.000.000.000,00 s.d. Rp5.000.000.000.000,00 0,4%
> Rp5.000.000.000.000,00 s.d. Rp25.000.000.000.000,00 0,6%
> Rp25.000.000.000.000,00 0,75%

10. Untuk menjaga agar pembayaran pajak tidak mengganggu likuiditas dari
wajib pajak, maka pembayaran pajak dapat diangsur maksimal dalam waktu

40
Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), Volume 14, Nomor 1, Januari 2022

5 tahun tanpa dikenakan denda atau bunga. Pembayaran setelah jangka waktu
lebih dari 5 tahun akan dikenakan sanksi denda dan bunga.
Data World Bank (2021) menunjukkan bahwa kekayaan rata-rata per kapita
penduduk Indonesia pada tahun 2018 adalah sebesar US$ 48.046 dengan jumlah
penduduk sebesar 267.663.435 orang. Perhitungan estimasi jumlah Kekayaan
Kena Pajak (KKP) berdasarkan data jumlah kekayaan tahun 2018 dengan estimasi
10% dari kekayaan tersebut dapat dikenakan Pajak Kekayaan terlihat pada Tabel
5.

Tabel 5
Perhitungan Estimasi Jumlah Kekayaan Kena Pajak
Berdasarkan Data Jumlah Kekayaan Tahun 2018
Jumlah Kekayaan per Kapita Penduduk Indonesia US$48.046
Jumlah Penduduk Indonesia 267.663.435 orang
Total Kekayaan Penduduk Indonesia US$ 12.860.157.398.010
Kurs Tengah Bank Indonesia per 27 Desember Rp14.219,00/US$
2021
Total Kekayaan Penduduk Indonesia Rp182.858.578.042.304.000,00
Estimasi Jumlah Kekayaan Kena Pajak (KKP) Rp18.285.857.804.230.400,00
(10% dari Total Kekayaan Penduduk Indonesia)

Dari Tabel 5 terlihat bahwa estimasi jumlah Kekayaan Kena Pajak (KKP)
adalah sebesar Rp18.285.857.804.230.400,00. Jika digunakan tarif rata-rata yang
diusulkan yaitu sebesar 0,4875% ((0,2% + 0,4% + 0,6% + 0,75%)/4), maka
estimasi jumlah Pajak Kekayaan yang dapat dihasilkan adalah sebesar
Rp89.143.556.795.623,00. Jumlah estimasi penerimaan Pajak Kekayaan ini bila
dibandingkan dengan jumlah penerimaan pajak tahun 2020 sebesar
Rp1.069.980.000.000.000,00 adalah sama dengan 8,33%. Estimasi jumlah
penerimaan Pajak Kekayaan ini merupakan penerimaan yang jauh lebih besar
dibandingkan penerimaan pajak lainnya di tahun 2020 selain Pajak Penghasilan
dan Pajak Pertambahan Nilai. Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto
Indonesia tahun 2020 sebesar Rp10.722.442.700.000.000,00 adalah sama dengan
0,83%. Persentase estimasi penerimaan Pajak Kekayaan sebesar 0,83% dari
Produk Domestik Bruto jauh lebih tinggi dari rata-rata beberapa negara Eropa
seperti terlihat pada Tabel 1 yang hanya sebesar 0,29%.

SIMPULAN
Dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19,
setiap negara meresponsnya dengan berbagai macam cara yang mungkin tidak
sama antara satu negara dengan negara lainnya. Walaupun langkah-langkah yang
diambil masing-masing negara berbeda, tetapi pada dasarnya mempunyai tujuan
yang sama yaitu meningkatkan kembali penerimaan negara yang menurun tajam
akibat dari pandemi Covid-19. Indonesia merespons penurunan penerimaan
negara tersebut, khususnya dari sektor pajak dengan mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan guna

41
Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak di Indonesia Merespons Pandemi Covid-19
Setiadi Alim Lim

melakukan perubahan berbagai peraturan perpajakan yang sudah ada dan


mengeluarkan peraturan baru untuk pemungutan Pajak Karbon. Pajak Karbon ini
diharapkan akan dapat memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara dari
sektor pajak. Namun karena Pajak Karbon ini masih baru pertama kali diterapkan
di Indonesia dan cara perhitungannya cukup kompleks, ada kemungkinan belum
dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan negara dalam
jangka waktu yang pendek ini.
Pajak Kekayaan adalah pajak yang dikenakan terhadap kekayaan bersih
yang dimiliki oleh orang pribadi. Pajak ini dapat dipertimbangkan dalam
merespons penurunan penerimaan dari sektor pajak akibat dari pandemi Covid-19.
Secara umum, pemungutan Pajak Kekayaan mempunyai 2 tujuan, yaitu: (i)
meningkatkan penerimaan pajak; (ii) redistribusi kekayaan dalam rangka
meminimalkan jurang pemisah antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin.
Karena mudah untuk dipahami, implementasi Pajak Kekayaan diharapkan akan
dapat langsung memberikan kontribusi yang nyata terhadap kenaikan penerimaan
pajak dalam jangka pendek. Tetapi dengan mempertimbangkan banyaknya negara
yang gagal dalam menerapkan Pajak Kekayaan, maka Pajak Kekayaan yang akan
diimplementasikan harus didesain dengan baik dengan menghilangkan berbagai
kemungkinan negatif dari penerapannya.

SARAN
Untuk merespons penurunan penerimaan dari sektor pajak akibat dari
pandemi Covid-19, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menerapkan
Pajak Kekayaan yang hanya dipungut satu kali saja. Karena hanya dipungut satu
kali saja diharapkan pemungutan Pajak Kekayaan tidak akan mempengaruhi
pemungutan pajak-pajak lainnya termasuk Pajak Karbon yang baru akan
diterapkan. Di samping dapat menjadi salah satu pajak alternatif untuk
meningkatkan penerimaan pajak, Pajak Kekayaan juga diharapkan dapat
memberikan pengaruh terhadap redistribusi kekayaan dalam rangka
mempersempit jurang pemisah antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin.
Pajak Kekayaan yang diusulkan mempunyai ambang batas
Rp21.000.000.000,00 untuk orang pribadi tidak kawin dan Rp22.500.000.000,00
untuk orang pribadi berstatus kawin. Ambang batas ini sekaligus menjadi
Kekayaan Tidak Kena Pajak (KTKP). Tarif yang digunakan adalah tarif progresif
sebesar 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,75%. Dasar pengenaan pajak adalah kekayaan
bersih yaitu jumlah aset dikurangi kewajiban yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi tahun terakhir
dikurangi dengan Kekayaan Tidak Kena Pajak (KTKP). Pembayaran Pajak
Kekayaan ini dapat diangsur sampai dengan 5 tahun. Berdasarkan perhitungan
kasar, implementasi Pajak Kekayaan diestimasi dapat memberikan kontribusi
sekitar 8,33% dari total penerimaan pajak tahun 2020 dan 0,83% dari Produk
Domestik Bruto tahun 2020.

DAFTAR PUSTAKA
Actionaid. 2018. Wealth Taxes. Progressive Taxation Briefing. Actionaid
International Secretariat. Johannesburg. South Africa.

42
Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), Volume 14, Nomor 1, Januari 2022

Advani, Arun, Emma Chamberlain, and Andy Summers. 2020. A Wealth Tax for
The UK. Wealth Tax Commission Final Report. Wealth Tax Commission.
Arndt, Channing, Rob Davies, Sherwin Gabriel, Laurence Harris, Konstantin
Makrelov, Boipuso Modise, Sherman Robinson, Witness Simbanegavi, Dirk
van Seventer, and Lilian Anderson. 2020. Impact of Covid-19 on The South
African Economy: An Initial Analysis. SA-TIED Working Paper 111.
Badan Pusat Statistik-a. 2021. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut
Pengeluaran 2016-2020. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik-b. 2021. Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk
Indonesia Maret 2021. Berita Resmi Statistik. No. 54/07/Th. XXIV. Badan
Pusat Statistik. Jakarta.
Brülhart, Marius, Jonathan Gruber, Matthias Krapf, and Kurt Schmidheiny. 2016.
Taxing Wealth: Evidence from Switzerland. Working Paper 22376. National
Bureau of Economic Research. 1050 Massachusetts Avenue Cambridge. MA
02138.
Chatterjee, Aroop, Léo Czajka, and Amory Gethin. 2021. A Wealth Tax for South
Africa. World Inequality Lab. Working Paper N 2021/02.
Direktorat Jenderal Pajak. 2019. Laporan Tahunan 2019. Direktorat Jenderal
Pajak. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pajak. 2020. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak
2020. Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta.
Drometer, Marcus, Marco Frank, Maria Hofbauer Pérez, Carla Rhode, Sebastian
Schworm, and Tanja Stitteneder. 2018. Wealth and Inheritance Taxation: An
Overview and Country Comparison. ifo DICE Report 2/2018. Vol. 16, pp. 45-
54.
Gibson, Luke, Dini Widiastuti, Andhika Maulana, Siti Khoirun Nikmah, Sugeng
Bahagijo, Nezar Patria, Maria Dolores Bernabe, Deborah Hardoon, Nick
Galasso, Didier Jacobs, Anna Marriott, Chiara Mariotti, and Mohga Kamal-
Yanni. 2017. Towards A More Equal Indonesia. Oxfam Briefing Paper. Oxfam
GB for Oxfam International. Oxfam GB. Oxfam House. John Smith Drive.
Cowley. Oxford, OX4 2JY. UK.
Hamzah, Amir. 2020. Metode Penelitian Kepustakaan: Kajian Filosofi, Aplikasi,
Proses, dan Hasil Penelitian. Edisi Revisi. Literasi Nusantara. Batu. Jawa
Timur.
Kapeller, Jakob, Stuart Leitch, and Rafael Wildauer. 2021. A European Wealth
Tax for A Fair and Green Recovery. Policy Study. FEPS (Foundation for
European Progressive Studies). Brussels.

43
Pajak Kekayaan, Alternatif Sumber Penerimaan Pajak di Indonesia Merespons Pandemi Covid-19
Setiadi Alim Lim

Leiserson, Greg. 2019. Wealth Taxation: An Introduction to Net Worth Taxes and
How One Might Work in The United States. The Washington Center for
Equitable Growth. Washington DC.
Londoño-Vélez, Juliana and Javier Ávila-Mahecha. 2019. Can Wealth Taxation
Work in Developing Countries? Quasi-Experimental Evidence from Colombia.
Loutzenhiser, Glen and Elizabeth Mann. 2020. Liquidity Issues: Solutions for The
Asset Rich, Cash Poor. Wealth Tax Commission Evidence Paper No. 10.
Wealth Tax Commission.
Mardalis. 1999. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara.
Jakarta.
OECD. 2018. The Role and Design of Net Wealth Taxes in the OECD. OECD Tax
Policy Studies No. 26. OECD Publishing. Paris.
Rudnick, Rebecca S. and Richard K. Gordon. 1996. Tax Law Design and
Drafting. Volume 1. Editor Victor Thuronyi. International Monetary Fund.
Washington D.C.
Scheuer, Florian and Joel Slemrod. 2021. Taxing Our Wealth. Journal of
Economic Perspectives, Vol. 35, No. 1, pp. 207-230.
UNDP. 2013. Humanity Divided: Confronting Inequality in Developing
Countries. United Nations Development Programme. Bureau for Development
Policy. New York.
World Bank. 2016. Indonesia’s Rising Divide. The World Bank. Washington DC.
World Bank. 2021. The Changing Wealth of Nations 2021: Managing Assets for
The Future. The World Bank. Washington DC.

44

Anda mungkin juga menyukai