Anda di halaman 1dari 14

Agama Adalah Nasehat 5. Imam an-Nasâ-i (VII/156-157).

6. Imam Ahmad (IV/102-103).


7. Imam Ibnu Hibbân. Lihat at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân
(Oleh : Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)  (no. 4555) dan Ra-udhatul- ‘Uqalâ` (no. 174).
  8. Imam al-Baihaqi (VIII/163).
ِ ِّ ‫عن أَيِب ر َقيَّةَ مَتِي ِم ب ِن أَو ٍس الدَّا ِر‬ 
ُ‫ي َرض َي اهللُ َعْنه‬
9. Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish-
ْ ْ ْ ُ ْ َْ Shalâh (II/681 no. 747,749,751,755).

َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ ق‬


‫ال‬ ِ ِ
َ ‫ع ْن َر ُس ْول اهلل‬ 
َ
10. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 1260-1268).
11. Imam al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (XIII/93, no. 3514).
ِ ‫ الدِّين الن‬،ُ‫َّصيحة‬
ُ‫َّصْي َحة‬ ِ ِ
ُْ َ ْ ‫ الدِّيْ ُن الن‬،ُ‫الدِّيْ ُن النَّصْي َحة‬ Hadits ini memiliki syawâhid (penguat) dari beberapa sahabat, yaitu:

ِ ‫ لِمن يا رسو َل‬: ‫قَالُوا‬


‫اهلل ؟‬  Abu Hurairah; diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ-i (VII/157), at-Tirmidzi
ُْ َ َ ْ َ ْ (no. 1926), Ahmad (II/297), dan Ibnu Nashr al-Marwazi, dalam Ta’zhîm
ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ َوألَئ َّمة الْ ُم ْسلمنْي‬،‫ َولَر ُس ْوله‬،‫ َولكتَابِه‬،‫ للَّه‬: َ‫قَاأل‬ 
Qadrish-Shalâh (II/682 no. 748). At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan
shahih.”
‫ َو َع َّامتِ ِه ْم‬، َ ‫لم ْؤ ِمنِنْي‬ِ 
ُ ‫أ َْو ل‬
Ibnu Umar; diriwayatkan oleh Imam ad-Dârimi (II/311) dan Ibnu Nashr
al-Marwazi (no. 757-758).
Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri radhiyallâhu'anhu,  Ibnu ‘Abbas; diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/351) dan ath-Thabrani
dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda: dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 11198). 
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Para ulama ahli hadits menjelaskan bahwa hadits di atas shahih.
Mereka (para sahabat) bertanya, ”Untuk siapa, wahai Rasûlullâh?”
 
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin,  BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.” Beliau adalah seorang sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu
  Ruqayyah, Tamîm bin Aus bin Kharijâh bin Su-ud bin Jadzimah al-Lakhmi al-
Falasthini ad-Dâri. Dahulu, beliau seorang yang beragama Nasrani dan
TAKHRIJ HADITS
sebagai rahib dan ahli ibadah penduduk Palestina. Kemudian pindah ke
Hadits ini diriwayatkan dari jalan Suhail bin Abi Shalih, dari ‘Atha’ bin Yazid Madinah lalu masuk Islam bersama saudaranya, Nu’aim, pada tahun 9H.
al-Laitsi, dari Abu Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri radhiyallâhu'anhu. Beliau menetap di Madinah sampai akhirnya pindah ke Syam setelah
Hadits ini diriwayatkan oleh: terjadinya pembunuhan Khalifah ‘Utsmân bin ‘Affân radhiyallâhu'anhu.
1. Imam Muslim (no. 55 [95]). Beliau adalah seorang yang tekun melakukan shalat Tahajjud, selalu
2. Imam Abu ‘Awanah (I/36-37). menghatamkan Al-Qur‘ân. Beliau pernah menceritakan tentang kisah
3. Imam al-Humaidi (no. 837).
Jassasah dan Dajjal kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, kemudian
4. Imam Abu Dawud (no. 4944).
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyampaikan kisah tersebut kepada para AGAMA ADALAH NASIHAT
sahabat di atas mimbar. Ini menunjukkan keutamaan beliau. Beliau juga ikut Hadits ini merupakan ucapan singkat dan padat, yang hanya dimiliki Nabi
berperang bersama RasûlullâhShallallâhu 'Alaihi Wasallam. Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Ucapan singkat, namun mengandung berbagai
Tamim ad-Dâri adalah orang yang pertama kali memasang lampu di dalam
nilai dan manfaat penting. Semua hukum syari’at, baik ushul (pokok) maupun
masjid dan membacakan kisah-kisah. Ini dilakukan pada zaman furu’ (cabang) terdapat padanya. Bahkan satu kalimat “wa li Kitâbihi” saja, ia
pemerintahan ‘Umar bin al-Khaththâb radhiyallâhu'anhu. Beliau sudah mencakup semuanya. Karena Kitab Allâh mencakup seluruh
meriwayatkan delapan belas hadits dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi permasalahan agama, baik ushul maupun furu’, perbuatan maupun
Wasallam. Satu hadits diantaranya terdapat dalam Shahîh Muslim. Beliau keyakinan.
wafat di Palestina pada tahun 40 H.  [1]

Allâh Ta'ala berfirman:


 
PENGERTIAN NASIHAT
Kata “nasihat” berasal dari bahasa Arab. Diambil dari kata kerja “nashaha” (
‫ص َح‬
َ َ‫)ن‬, yang maknanya “khalasha” (‫ص‬
َ َ‫)خل‬.
َ Yaitu murni serta bersih dari segala Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Kitab ini. 
kotoran. Bisa juga bermakna “khâtha” ( ‫)خا َط‬,
َ yaitu menjahit. [2]

(Qs al-An’âm/6:38)
Imam al-Khaththabi rahimahullâh menjelaskan arti kata “nashaha”,
sebagaimana dinukil oleh Imam an- Nawawi rahimahullâh : Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat hadits ini merupakan poros
ajaran Islam.
“Dikatakan bahwa “nashaha” diambil dari “nashahar-rajulu tsaubahu” ( ‫الر ُج ُل‬
َّ ‫ص َح‬
َ َ‫ن‬
Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menamakan agama
ُ‫ )َث ْوبَ ه‬apabila dia menjahitnya. Maka mereka mengumpamakan perbuatan
penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya, sebagai nasihat. Padahal beban syari’at sangat banyak dan tidak terbatas
dengan usaha seseorang memperbaiki pakaiannya yang robek.” [3]
hanya pada nasihat. Lalu apakah maksud Beliau Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam tersebut?
Imam Ibnu Rajab rahimahullâh menukil ucapan Imam al-Khaththabi
rahimahullâh: Para ulama telah memberikan jawaban.

“Nasihat, ialah kata yang menjelaskan sejumlah hal. Yaitu menginginkan Pertama, hal ini bermakna, bahwa hampir semua ajaran agama Islam
kebaikan pada orang yang diberi nasihat”. adalah nasihat, sebagaimana halnya sabda Beliau Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam:
Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnul-Atsîr rahimahullâh . [4]

Kesimpulannya, nasihat adalah kata yang dipakai untuk mengungkapkan ُ‫احْلَ ُّج َعَرفَة‬
keinginan memberikan kebaikan pada orang yang diberi nasihat.
Haji itu adalah wukuf di ‘Arafah. [5]

 
sendiri. Yang demikian itu, bila dua hal dihadapkan pada diri seseorang,
Kedua, agama Islam itu seluruhnya adalah nasihat. Karena setiap amalan yang pertama untuk kepentingan dirinya sendiri dan yang lain untuk Rabb-
yang dilakukan tanpa disertai ikhlas, maka tidak termasuk agama Islam. [6]
nya, maka dia memulai mengerjakan sesuatu untuk Rabb-nya terlebih
Setiap nasihat untuk Allâh Ta'ala menuntut pelaksanaan kewajiban agama dahulu dan menunda semua yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri."
secara sempurna. Inilah yang disebut derajat ihsân. Tidaklah sempurna Demikian ini penjelasan nasihat untuk Allâh Ta'ala secara global, baik yang
nasihat untuk Allâh tanpa hal ini. Tidaklah mungkin dicapai, bila tanpa wajib maupun yang sunnah. Adapun perinciannya akan kami sebutkan
disertai kesempurnaan cinta yang wajib dan sunnah, tetapi juga diperlukan sebagiannya agar bisa dipahami dengan lebih jelas.
kesungguhan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala, yaitu dengan
melaksanakan sunnah-sunnah secara sempurna dan meninggalkan hal-hal Nasihat yang wajib untuk Allâh, ialah menjauhi larangan-Nya dan
yang haram dan makruh secara sempurna pula. [7]
melaksanakan perintah-Nya dengan seluruh anggota badannya selagi
Ketiga, nasihat meliputi seluruh bagian Islam, iman, dan ihsân, sebagaimana mampu melakukannya. Apabila ia tidak mampu melakukan kewajibannya
telah dijelaskan dalam hadits Jibril. karena suatu alasan tertentu, seperti sakit, terhalang, atau sebab-sebab
lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh untuk
Dengan demikian jelaslah keterangan para ulama tentang maksud sabda melaksanakan kewajiban tersebut, apabila penghalang tadi telah hilang.
beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam “agama itu nasihat”. Karena nasihat, Allâh Ta'ala berfirman:
adakalanya bermakna pensifatan sesuatu dengan sifat kesempurnaan Allâh,
Kitab-Nya, dan Rasul-Nya. Adakalanya merupakan penyempurnaan
kekurangan yang terjadi, berupa nasihat untuk pemimpin dan kaum Muslimin
pada umumnya, sebagaimana rincian selanjutnya dalam hadits ini.
 
SYARAH HADITS
1. Nasihat untuk Allâh Ta'ala.

Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullâh (wafat 294H)


berkata:
"Nasihat hukumnya ada dua. Yang pertama wajib, dan yang kedua sunnah.
Adapun nasihat yang wajib untuk Allâh. Yaitu perhatian yang sangat dari
pemberi nasihat untuk mengikuti semua yang Allâh cintai, dengan
melaksanakan kewajiban, dan dengan menjauhi semua yang Allâh
haramkan. Sedangkan nasihat yang sunnah, adalah dengan mendahulukan
perbuatan yang dicintai Allâh daripada perbuatan yang dicintai oleh dirinya
Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah,  maksiat, dan cinta kepada ketaatan orang yang taat kepada Allâh Ta'ala dan
atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang  Rasul-Nya.
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, 
Sedangkan nasihat yang sunnah (bukan yang wajib), ialah dengan berjuang
apabila mereka menasihati kepada Allah dan Rasul-Nya (cinta kepada Allah dan
sekuat tenaga untuk lebih mengutamakan Allâh Ta'ala daripada segala apa
Rasul-Nya). 
yang ia cintai dalam hati dan seluruh anggota badan bahkan dirinya sendiri,
Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.  lebih-lebih lagi dari orang lain. Karena seorang penasihat, apabila
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
bersungguh-sungguh kepada orang yang dicintainya, dia tidak akan
(Qs at-Taubah/9:91) mementingkan dirinya, bahkan berupaya keras melakukan hal-hal yang
membuat orang yang dicintainya itu merasa senang dan cinta, maka begitu
Allâh Ta'ala menamakan mereka sebagai “al-muhsinîn” (orang-orang yang pula pemberi nasihat untuk Allâh Ta'ala.
berbuat kebaikan), karena perbuatan mereka berupa nasihat untuk Allâh
Ta'ala dengan hati mereka yang ikhlas ketika mereka terhalang untuk Barangsiapa yang melakukan ibadah nafilah (sunnah) untuk Allâh Ta'ala
berjihad dengan jiwa raganya. tanpa dibarengi dengan kerja keras, maka dia adalah penasihat berdasarkan
tingkatan amalnya, tetapi tidak melaksanakan nasihat dengan sebenarnya
Dalam kondisi tertentu, terkadang seorang hamba dibolehkan meninggalkan secara sempurna. [8]

sejumlah amalan, tetapi tidak dibolehkan meninggalkan nasihat untuk Allâh Imam an-Nawawi rahimahullâh menyebutkan, termasuk nasihat untuk Allâh
Ta'ala, meskipun disebabkan sakit yang tidak mungkin baginya untuk Ta'ala adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya
melakukan sesuatu dengan anggota tubuhnya, bahkan dengan lisan, dan dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allâh Ta'ala. Adapun makna
lain-lain, namun akalnya masih sehat, maka belum hilang kewajiban nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah beriman kepada Allâh Ta'ala, menafikan
memberikan nasihat untuk Allâh Ta'ala dengan hatinya. Yaitu dengan sekutu bagi-Nya, tidak mengingkari sifat-sifat- Nya, mensifatkan Allâh Ta'ala
penyesalan atas dosa-dosanya dan berniat dengan sungguh-sungguh untuk dengan seluruh sifat yang sempurna dan mulia, mensucikan Allâh Ta'ala dari
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allâh Ta'ala semua sifat-sifat yang kurang, melaksanakan ketaatan kepada-Nya,
kepadanya, dan meninggalkan apa-apa yang di larang Allâh Ta'ala. menjauhkan maksiat, mencintai karena Allâh Ta'ala, benci karena-Nya, loyal
(mencintai) orang yang taat kepada-Nya, memusuhi orang yang durhaka
Jika tidak (yaitu tidak ada amalan hati, berupa cinta, takut, dan harap kepada kepada-Nya, berjihad melawan orang yang kufur kepada-Nya, mengakui
Allâh Ta'ala dan niat untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan nikmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat-Nya … [9]

larangan-Nya), maka ia tidak disebut sebagai pemberi nasihat untuk Allâh Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan, termasuk nasihat untuk Allâh Ta'ala,
Ta'ala dengan hatinya. ialah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan
Juga termasuk nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah taat kepada Rasul-Nya berdakwah mengajak manusia ke jalan Allâh Ta'ala. [10]

dalam hal yang beliau wajibkan kepada manusia berdasarkan perintah Rabb- Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh (wafat 1163 H) berkata,
nya. Dan termasuk nasihat yang wajib untuk Allâh Ta'ala, ialah dengan
membenci dan tidak ridha terhadap kemaksiatan orang yang berbuat
”Maksud nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah agar seorang hamba menjadikan Hal ini diwujudkan dalam bentuk iman kepada Kitab-kitab samawi yang
dirinya ikhlas kepada Rabb-nya dan meyakini Dia adalah Ilah Yang Maha diturunkan Allâh Ta'ala dan meyakini Al-Qur‘ân merupakan penutup dari
Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan, semua Kitab-kitab tersebut. Al-Qur‘an adalah Kalâmullâh yang penuh
penyerupaan, serta segala apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allâh Ta'ala dengan mukjizat, yang senantiasa terpelihara, baik dalam hati maupun
mempunyai segala sifat kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan- dalam lisan. Allâh Ta'ala sendirilah yang menjamin hal itu.
Nya. Seorang muslim harus mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya Allâh Ta'ala berfirman:
pengagungan, melakukan amalan zhahir dan batin yang Allâh Ta'ala cintai
dan menjauhi apa-apa yang Allâh Ta'ala benci, mencintai apa-apa yang Allâh
Ta'ala cintai dan membenci apa-apa yang Allâh Ta'ala benci, meyakini apa-
apa yang Allâh Ta'ala jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur‘ân) 
dan yang bathil itu sebagai suatu kebathilan, hatinya dipenuhi dengan rasa dan Kami sendiri yang menjaganya.
cinta dan rindu kepada-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, sabar atas (Qs al-Hijr/15:9)[13]

bencana yang menimpanya, serta ridha dengan taqdir-Nya.” [11]


Menurut Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh, nasihat untuk
kitab-Nya adalah dengan meyakini Al-Qur‘ân itu Kalâmullâh. Wajib
2. Nasihat untuk Kitâbullâh. mengimani apa-apa yang ada di dalamnya, wajib mengamalkan,
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata, memuliakan, membacanya dengan sebenar-benarnya, mengutamakannya
”Sedangkan nasihat untuk Kitabullah, ialah dengan sangat mencintai dan daripada selainnya, dan penuh perhatian untuk mendapatkan ilmu-ilmunya.
mengagungkan kedudukannya karena Al-Qur’an itu adalah Kalâmullâh, Dan di dalamnya terdapat ilmu-ilmu mengenai Uluhiyyah Allâh yang tidak
berkeinginan kuat untuk memahaminya, mempunyai perhatian yang besar terhitung banyaknya. Dia merupakan teman dekat orang-orang yang berjalan
dalam merenunginya, serius dan penuh konsentrasi membacanya untuk menempuh jalan Allâh, dan merupakan wasilah (jalan) bagi orang-orang
mendapatkan pemahaman maknanya sesuai dengan yang dikehendaki Allâh yang selalu berhubungan dengan Allâh. Dia sebagai penyejuk mata bagi
untuk dipahami, dan setelah memahaminya ia mengamalkan isinya. Begitu orang-orang yang berilmu. Barangsiapa yang ingin sampai di tempat tujuan,
pula halnya seorang yang menasihati dari kalangan hamba, dia akan maka ia harus menempuh jalannya. Karena kalau tidak, ia pasti tersesat.
mempelajari wasiat dari orang yang menasihatinya. Apabila ia diberi sebuah Seandainya seorang hamba mengetahui keagungan Kitâbullâh, niscaya ia
buku dengan maksud untuk dipahaminya, maka ia mengamalkan apa-apa tidak akan meninggalkannya sedikitpun. [14]

yang tertulis dari wasiat tersebut. Begitu pula pemberi nasihat untuk Secara rinci, nasihat untuk Kitâbullâh dilakukan melalui beberapa hal berikut.
Kitâbullâh, dia dituntut untuk memahaminya agar dapat mengamalkannya aMembaca dan menghafal Al-Al-Qur‘ân.
karena Allâh; sesuai dengan apa yang Allâh cintai dan ridhai, kemudian .
menyebarluaskan yang dia pahami kepada manusia, dan mempelajari Al- Dengan membaca al-Al-Qur‘ân akan didapatkan berbagai ilmu dan
Qur-an terus-menerus didasari rasa cinta kepadanya, berakhlak dengan pengetahuan. Disamping itu akan melahirkan kebersihan jiwa, kejernihan
akhlaknya, serta beradab dengan adab-adabnya.” [12]
perasaan, dan mempertebal ketakwaan. Membaca Al-Qur‘ân merupakan
kebaikan dan merupakan syafa’at yang akan diberikan pada hari Kiamat
orang yang tidak membaca Al-Qur‘ân dengan irama. [17]

kelak.
 
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Mentadabburi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayatnya.
Allâh Ta’ala berfirman:
Bacalah Al-Qur‘ân, karena pada hari Kiamat ia akan datang 
untuk memberi syafa’at kepada orang yang membacanya. [15]

Sedangkan menghafal Al-Qur‘ân merupakan keutamaan yang besar. Melalui


hafalan, hati akan lebih hidup dengan cahaya Kitâbullâh, manusia juga akan
Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur‘ân 
segan dan menghormatinya. Bahkan dengan hafalan itu, derajatnya di
ataukah hati mereka terkunci? 
akhirat akan semakin tinggi, sesuai dengan banyaknya hafalan yang dimiliki.
(Qs Muhammad/ 47:24)
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: b

Mengajarkannya kepada generasi muslim agar ikut berperan dalam
menjaga Al-Qur‘ân.
Mempelajari dan mengajarkan Al-Qur‘an adalah kunci kebahagiaan dan
Dikatakan kepada orang yang shahib (orang yang mengilmui  ‘izzah (kejayaan) umat Islam.
dan mengamalkannya) Al-Qur‘ân, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
”Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil 
sebagaimana engkau membacanya di dunia dengan tartil. 
Karena kedudukanmu (di surga) 
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari 
sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca”. [16]

dan mengajarkan Al-Qur‘ân. [18]

c
Membacanya dengan tartil dan suara yang bagus, sehingga bacaannya . 
dapat masuk dan diresapi. dMemahami dan mengamalkannya.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: .
Seorang muslim wajib membaca Al-Qur‘ân dan harus berusaha
memahaminya serta berusaha untuk mengamalkannya. Bagaimanapun,
buah membaca Al-Qur‘ân baru akan kita peroleh setelah memahami dan
Bukan golongan kami  mengamalkannya. Oleh karena itu, alangkah buruknya jika kita memahami
seorang sahabat yang menemani Beliau sesaat di malam atau siang hari,
ayat Al-Qur‘ân namun tidak mau mengamalkannya.
dan dengan mengikuti tuntunan beliau dalam hal berpenampilan dan
Allâh Ta'ala berfirman: berpakaian."[20]

Yang dimaksud dengan nasihat untuk Rasul-Nya, ialah dengan meyakini


Beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya. Allâh mengutusnya
kepada para hamba-Nya, agar Beliau mengeluarkan mereka dari segala
kegelapan kepada cahaya, menjelaskan kepada mereka semua yang
membuat mereka bahagia dan semua yang membuat mereka sengsara,
menerangkan kepada mereka jalan Allâh yang lurus agar mereka lulus
mendapatkan kenikmatan surga dan terhindar dari kepedihan api neraka,
Wahai orang-orang yang beriman, 
dan dengan mencintainya, memuliakannya, mengikutinya serta tidak ada
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? 
kesempitan di dadanya terhadap semua yang Beliau putuskan. Tunduk serta
Amat besar kebencian di sisi Allâh bahwa kamu mengatakan 
patuh kepada Beliau, seperti orang yang buta mengikuti petunjuk jalan orang
apa-apa yang tidak kamu kerjakan. 
yang tajam matanya.
(Qs ash-Shaff/61:2-3) [19]

Orang yang menang, adalah orang yang menang membawa kecintaan dan
3. Nasihat untuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ketaatan pada Sunnahnya. Dan orang yang rugi, adalah orang yang
terhalang dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang taat kepada Beliau,
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata:
maka ia taat kepada Allâh. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah
"Sedangkan nasihat untuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pada menentang Allah dan kelak akan diberi balasan setimpal. [21]

masa hidupnya, ialah dengan mengerahkan segala kemampuan secara


Hal ini diaplikasikan dalam bentuk membenarkan risalahnya, membenarkan
sungguh-sungguh dalam rangka taat, membela, menolong, memberikan
semua yang disampaikan, baik dalam Al-Qur‘an maupun as-Sunnah, serta
harta (untuk perjuangan menegakkan agama Allâh) bila beliau
mencintai dan mentaatinya. Mencintai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
menginginkannya, dan bersegera untuk mencintai beliau. Adapun setelah
Wasallam ialah dengan ittibâ’ (mengikuti) beliau dan taat kepadanya.
Beliau wafat, maka dengan perhatian dan kesungguhan untuk mencari
Sunnah-nya, akhlak, dan adab-adabnya, mengagungkan perintahnya, Allâh Ta’ala berfirman:
istiqâmah dalam melaksanakannya, sangat marah dan berpaling dari orang
yang menjalankan agama yang bertentangan dengan Sunnah-nya, marah
terhadap orang yang menyia-nyiakan Sunnah beliau hanya untuk
mendapatkan keuntungan dunia, meskipun ia meyakini akan kebenarannya, Katakanlah (hai Muhammad): 
mencintai orang yang memiliki hubungan dengan Beliau, dari kalangan karib “Jika kalian mencintai Allâh, maka ikutilah aku (Muhammad), 
kerabat atau familinya, juga dari kaum Muhajirin dan Anshar, atau dari
niscaya kalian dicintai Allâh”. kemungkaran, serta mendo’akan mereka agar mendapatkan kebaikan.
(Qs Ali ‘Imran/3:31) Karena, dalam kebaikan mereka berarti kebaikan bagi rakyat, dan dalam
kerusakan mereka berarti kerusakan bagi rakyat.” [23]

Ketaatan kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam merupakan bentuk


ketaatan kepada Allâh Ta’ala. Yang dimaksud dengan pemimpin kaum Muslimin, ialah para penguasa,
wakil-wakilnya, atau para ulama. Agar penguasa ditaati, maka penguasa
Allâh Ta’ala berfirman:
tersebut harus dari orang Islam sendiri.
Allâh Ta’ala berfirman:

Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka ia telah mentaati Allâh. 


(Qs an- Nisâ‘/4:80)

4. Nasihat untuk Para Pemimpin Kaum Muslimin. Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allâh, 
taatlah kepada Rasul dan penguasa dari kalian.
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata,
(QS. An-Nisaa’: 59)
”Sedangkan nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin, ialah dengan
Nasihat untuk pemimpin, ialah dengan mencintai kebaikan, kebenaran, dan
mencintai ketaatan mereka kepada Allâh, mencintai kelurusan dan keadilan
keadilannya, bukan lantaran individunya. Karena, melalui
mereka, mencintai bersatunya umat di bawah pengayoman mereka, benci
kepemimpinannyalah kemaslahatan kita bisa terpenuhi. Kita juga senang
kepada perpecahan umat dengan sebab melawan mereka, mengimani
dengan persatuan umat di bawah kepemimpinan mereka yang adil dan
bahwa taat kepada mereka ialah demi ketaatan kepada Allâh, membenci
membenci perpecahan umat di bawah penguasa yang semena-mena.
orang yang keluar dari ketaatan kepada mereka (yaitu membenci orang yang
tidak mengakui kekuasaan mereka dan menganggap darah mereka halal), Nasihat untuk para pemimpin dapat juga dilakukan dengan cara membantu
dan mencintai kejayaan mereka dalam taat kepada Allâh.” [22]
mereka untuk senantiasa berada di atas jalan kebenaran, menaati mereka
dalam kebenaran, dan mengingatkan mereka dengan cara yang baik.
Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh berkata,
Termasuk prinsip Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, ialah tidak melakukan
”Makna ‘nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin’, ialah nasihat yang provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa,
ditujukan kepada para penguasa mereka. Yaitu dengan menerima perintah meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi,
mereka, mendengar, dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan baik dari atas mimbar, tempat khusus maupun umum, atau media lainnya.
maksiat, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
kepada Al-Khaliq. Tidak memerangi mereka selama mereka belum kafir, dan Salafush-Shalih.
berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka, membersihkan kerusakan
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
mereka, memerintahkan mereka kepada kebaikan, melarangnya dari
Kepada para ulama, hendaklah mereka terus-menerus berusaha datang
menyampaikan kebenaran dan nasihat yang baik kepada pemerintah
(penguasa) dan sabar dalam melakukannya, karena menyampaikan kalimat
yang baik termasuk seutama-utama jihad.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, 


janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. 
Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. 
Bila penguasa itu mau mendengar nasihat tersebut maka itu yang terbaik.
Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima) Jihad yang paling utama adalah mengatakan keadilan (dalam riwayat lain:
maka sungguh ia telah melaksanakan  kebenaran) 
kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya. [24] di hadapan penguasa yang semena-mena. [25]

Sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi masyarakat yang tidak mau


Para ulama juga akan dimintai pertanggung-jawaban, jika mereka justru
menasihati penguasanya dengan cara yang baik. Juga tidak ada kebaikan,
memuji penguasa yang semena-mena, bahkan kemudian menjadi corong
bagi penguasa yang menindas rakyatnya dan membungkam orang-orang
mereka. Sedangkan nasihat kita untuk para ulama, ialah dengan senantiasa
yang berusaha menasihatinya, bahkan menutup telinganya rapat-rapat agar
mengingatkan mereka akan tanggung jawab tersebut, mempercayai hadits-
tidak mendengar suara-suara kebenaran. Dalam kondisi seperti ini, yang
hadits yang mereka sampaikan, jika memang mereka orang yang bisa
terjadi justru kerendahan dan kehancuran. Ini sangat mungkin terjadi jika
dipercaya. Juga dengan jalan tidak mencerca mereka, karena hal tersebut
masyarakat muslim telah menyeleweng dan jauh dari nilai-nilai Islam.
dapat mengurangi kewibawaan dan membuat mereka sebagai bahan
Adapun para ulama, nasihat yang dilakukan untuk Kitâbullâh dan Sunnah tuduhan.
Rasûlullâh, dilakukan dengan jalan membantah berbagai pendapat sesat
berkenaan dengan Al-Qur‘an dan as-Sunnah. Menjelaskan berbagai hadits, 5. Nasihat untuk Kaum Muslimin.
apakah hadits tersebut Makna “nasihat untuk kaum Muslimin pada umumnya”, ialah dengan
shahih atau dha’if. menolong mereka dalam kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan,
Para ulama juga mempunyai tanggung-jawab yang besar untuk selalu membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat
menasihati para penguasa, dan senantiasa menyerukan agar para penguasa tenaga dari kesesatan, dan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana
berhukum dengan hukum Allâh dan Rasul-Nya. Jika mereka lalai dalam ia mencintainya untuk diri sendiri, karena mereka semua adalah hamba-
mengemban tanggung jawab ini sehingga tidak ada seorang pun yang hamba Allâh. Maka seorang hamba harus memandang mereka dengan
menyerukan kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allâh akan landasan yang satu, yaitu kacamata kebenaran. [26]

menghisabnya.
Nasihat untuk masyarakat muslim, dilakukan dengan cara menuntun mereka Aku menyampaikan amanat-amanat Rabb-ku kepadamu 
kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya. Sangat dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu. 
disayangkan, kaum Muslimin telah mengabaikan tugas ini. Mereka tidak mau (Qs al-A’râf/7: 68)
menasihati muslim yang lain, khususnya berkaitan dengan urusan akhirat.
Allâh Ta'ala juga menceritakan Nabi Shalih 'alaihissalam yang berbicara
Nasihat yang dilakukan seharusnya tidak terbatas dengan ucapan, tetapi
kepada kaumnya:
harus diikuti dengan amalan. Dengan demikian, nasihat tersebut akan terlihat
nyata dalam masyarakat muslim, sebagai penutup keburukan, pelengkap
kekurangan, pencegah terhadap bahaya, pemberi manfaat, amar ma’ruf
nahyu mungkar, penghormatan terhadap yang besar, kasih sayang terhadap
yang lebih kecil, serta menghindari penipuan dan kedengkian. [27]

6. Nasihat yang Paling Baik Di antara Kaum Muslimin.


Nasihat yang paling baik, ialah nasihat yang diberikan ketika seseorang
Maka Shalih meninggalkan mereka seraya berkata:
dimintai nasihat.
“Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabb-ku, 
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: dan aku telah memberi nasihat kepadamu,
tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat”.
(Qs Al-A’râf/7:79)
Jika seseorang meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia. [28]

Seseorang seharusnya merasa cukup mulia dengan melaksanakan amalan


Termasuk nasihat yang paling baik, yaitu nasihat yang dilakukan seseorang hamba-hamba Allâh yang paling mulia, yaitu para nabi dan rasul.
kepada orang lain ketika orang tersebut (yang dinasihati) tidak ada di Demikianlah hakikat nasihat. Mudah-mudahan Allâh Ta'ala menjadikan kita
hadapannya. Yaitu dilakukan dengan cara menolong dan membelanya. sebagai hamba-Nya yang selalu saling menasihati. Sehingga memiliki
sebagian sifat-sifat orang yang beruntung, sebagaimana telah digariskan
7. Kedudukan Orang yang Memberikan Nasihat. Allâh Ta'ala dengan firman-Nya:

Amal para rasul ialah menasihati manusia kepada sesuatu yang bermanfaat
bagi dunia dan akhirat.
Allâh Ta'ala berfirman menceritakan hamba-Nya, Nabi Hud 'alaihissalam :
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthân berkata,
”Saya berpendapat, hukum memberi nasihat dengan maknanya yang
menyeluruh sebagaimana sudah dijelaskan, ada yang fardhu ‘ain, ada yang
fardhu kifayah, ada yang wajib, dan ada juga yang sunnah. Karena
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan, agama adalah nasihat.
Sedangkan hukum-hukum agama ada yang wajib, sunnah, fardhu ‘ain, dan
Demi masa.  fardhu kifayah.”
[30]

Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,   


kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih 
ADAB-ADAB MEMBERI NASIHAT
dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran 
dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.  Di antara adab memberi nasihat dalam Islam, yaitu menasihati saudaranya
(Qs al-‘Ashr/103:1-3) dengan tidak diketahui orang lain. Karena, barangsiapa menutupi keburukan
saudaranya maka Allâh Ta'ala akan menutupi keburukannya di dunia dan
 
akhirat. Sebagian ulama berkata, barangsiapa menasihati seseorang dan
  hanya ada mereka berdua, maka itulah nasihat yang sebenarnya.
HUKUM MEMBERIKAN NASIHAT Barangsiapa menasihati saudaranya di depan banyak orang maka yang
Diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallâhu'anhu, ia berkata:  demikian itu mencela dan merendahkan orang yang dinasihati. Fudhail bin
Iyadh rahimahullâh berkata,
"Seorang mukmin, ialah orang yang menutupi aib dan menasihati.
Sedangkan orang fasik, ialah orang yang merusak dan mencela." [31]

Al-Imam Ibnu Hibbân rahimahullâh (wafat 354 H) berkata,


"Sebagaimana telah kami sebutkan, memberi nasihat merupakan kewajiban
Aku membai’at Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam 
seluruh manusia, tetapi dalam cara menyampaikannya -tidak boleh tidak-
(dengan isi kandungan bai'at, aku akan) tetap mengerjakan shalat, 
harus secara rahasia. Karena, barangsiapa menasihati saudaranya di
menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim. [29]

hadapan orang lain, berarti ia telah mencelanya. Dan barangsiapa yang


menasihatinya secara rahasia, berarti ia telah memperbaikinya.
Imam Nawawi rahimahullâh berkata,
Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh perhatian kepada saudaranya
”Hukum memberi nasihat ialah fardhu kifayah. Artinya, apabila ada sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya
seseorang yang sudah mengerjakannya maka gugurlah kewajiban atas yang untuk diterima daripada menyampaikan dengan maksud mencelanya."
lain. Dan nasihat ini adalah wajib menurut kadar kemampuan.”
Kemudian al-Imam Ibnu Hibban rahimahullâh menyebutkan dengan
sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata:
"Saya bertanya kepada Mis’ar, ‘Apakah engkau suka bila ada orang lain
memberitahukan kekurangan-kekuranganmu?’
Ia menjawab, ’Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan
kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka aku
Tutupilah kesalahanku dengan nasihatmu ketika aku seorang diri. 
tidak senang. Tetapi bila yang datang kepadaku seorang pemberi nasihat,
Hindarilah menasihatiku di tengah khalayak ramai. 
maka aku senang’.”
Karena memberikan nasihat di hadapan banyak orang. 
Sama saja dengan memburuk-burukkan, aku tidak sudi mendengarnya. 
Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullâh mengatakan,
Jika engkau menyalahiku dan tidak mengikuti ucapanku. 
”Nasihat, apabila dilakukan seperti apa yang telah kami sebutkan maka akan
Maka janganlah engkau kaget bila nasihatmu tidak ditaati. 
[34]

melanggengkan kasih sayang dan menjadi penyebab terwujudnya hak


ukhuwah (persaudaraan).” [32]  
Al-Imam Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id Ibnu FAWAID HADITS
Hazm rahimahullâh (wafat 456 H) berkata, 1. Nasihat memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam agama
”Maka wajib bagi seseorang untuk selalu memberi nasihat, baik yang diberi Islam.
nasihat itu suka maupun benci, tersinggung maupun tidak tersinggung. 2. Nasihat ditujukan kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul- Nya, pemimpin
kaum Muslimin, dan kepada kaum Muslimin pada umumnya.
Apabila engkau memberikan nasihat maka sampaikan secara rahasia,
3. Wajib ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
jangan di hadapan orang lain dan cukup dengan memberikan isyarat, tanpa 4. Wajib ikhlas dalam memberikan nasihat.
secara terus-terang. Kecuali, orang yang dinasihati tidak memahami 5. Tidak boleh khianat dalam memberikan nasihat.
isyaratmu maka harus secara terus-terang. Janganlah memberi nasihat 6. Bolehnya mengakhirkan keterangan dari waktu ketika menyampaikan
dengan syarat harus diterima. Jika engkau melampaui batas adab-adab nasihat.
tersebut maka engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat, dan gila 7. Nasihat dikatakan sebagai agama, karena iman terdiri dari perkataan
ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak dan perbuatan.
8. Nasihat termasuk dari iman. Karena itulah Imam al-Bukhari berkata
ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan,
dalam Shahîh-nya, dalam Kitâbul- Imân.
melainkan hukum rimba seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan 9. Baiknya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam mengajarkan
tuan dengan hamba sahayanya.” [33]
agama kepada para sahabatnya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullâh berkata dalam sya’irnya: 10. Para sahabat radhiyallâhu'anhum sangat berkeinginan keras untuk
mendapatkan ilmu.
11. Dakwah itu harus dimulai dari yang paling penting kemudian yang
penting.
 
Marâji’: [3] Syarah Shahîh Muslim (II/37).
1. Al-Wâfî fî Syarhil-Arba’în an-Nawawiyyah, Dr. Musthafa al-Bugha dan Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/219). Lihat juga an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadits
Muhyidin Mustha. [4] (V/63).
2. An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts, Ibnul-Atsîr. HR Abu Dawud (no. 1949), an-Nasâ-i (V/256), at-Tirmidzi (no. 2975). Lihat
3. Fiqih Nasihat, Fariq bin Ghasim Anuz. [5] Fat-hul Bâri (I/138).
4. Fat-hul Bâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani. [6] Fat-hul Bâri (I/138).
5. Irwâ-ul Ghalîl fii Takhriiji Ahâdîts Manâris-Sabîl, Syaikh Muhammad [7] Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/218).
Nashiruddin al-Albani. [8] Ta’zhîmu Qadrish-Shalâh, (II/691-692).
6. Jâmi’ul ‘Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syaikh [9] Syarah Shahîh Muslim (II/38) oleh Imam an-Nawawi.
Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis. [10] Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/222).
7. Qawâ’id wa Fawâ-id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya: Syaikh [11] Syarhul-Arba’în an-Nawawiyah, hlm. 47-48.
Nazhim Muhammad Sulthan. [12] Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/693).
8. Shahîh Muslim, dan lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam [13] Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 42.
takhrij hadits. [14] Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
9. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al- HR Muslim (no. 804), dari Sahabat Abu Umamah al-
Albani. [15] Bahili radhiyallâhu'anhu.
10. Syarah Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir HR Abu Dawud (no. 1464) dan at-Tirmidzi (no. 2914), dari Sahabat
Jawas. [16] ‘Abdullah bin ‘Amrradhiyallâhu'anhu.
11. Syarah Shahîh Muslim, karya: al-Imam an-Nawawi [17] HR al-Bukhari (no. 7527), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
12. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, al-‘Allamah Muhammad Hayat as- HR al-Bukhari (no. 5027), dari Sahabat ‘Utsman bin
Sindi. Tahqiq: Hikmat bin Ahmad al-Hariri, Daar Ramaadi, Cetakan I, [18] ‘Affan radhiyallâhu'anhu.
Tahun 1415 H. [19] Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 42-43.
13. Syarhul- Arba’în an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih [20] Ta’zhîmu Qadrish-Shalâh (II/693).
al-‘Utsaimin. [21] Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
14. Syarhus-Sunnah, al-Imam al-Baghawi. [22] Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/693-694).
15. Ta’zhîm Qadrish-Shalâh, Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi. [23] Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
Tahqiq dan Takhrij: Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdul-Jabbar al-Fariyuwa’i, HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil-
Maktabah ad-Dâr Madinah an-Nabawiyyah, Cetakan I. Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-
16. Dan kitab-kitab lainnya yang disebutkan dalam catatan kaki. [24] Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm rahimahullâh.
HR Abu Dawud (no. 4344), at-Tirmidzi (no. 2174), dan Ibnu Majah (no.
  4011), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri. Lihat Silsilah al- Ahâdîts ash-
[25] Shahîhah, no. 491.
[26] Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
Siyar ‘Alâmin Nubalâ (II/442-448), al-Ishâbah fî Tamyîzish-Shâhâbah [27] Al-Wâfî fî Syarah al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hlm. 45.
[1] (I/183-184), dan Tahdzîbut- Tahdzîb (I/449, no. 951).
[28] HR Muslim (no. 2162), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
Lisânul-Arab (XIV/158-159) bagian kata “Nashaha”. Daar Ihyâ-ut Turats
[29] HR al-Bukhari (no. 57) dan Muslim (no. 56 [97]).
[2] al-‘Arabi, Cetakan I, Tahun 1408H.
[30] Qawâ’id wa Fawâ-id minal-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 95.
[31] Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 46.
[32] Raudhatul-‘Uqalâ’ wa Nuzhatul-Fudhalâ`, hlm. 176-177.
[33] Akhlâq was Siyar fî Mudâwâtin Nufûs (hal. 45).
Diwân Imam asy-Syafi’i, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad
[34] ‘Abdur-Rahim, Darul-Fikr, hlm. 275.

Anda mungkin juga menyukai