Anda di halaman 1dari 360

KEWAJIBAN NEGARA TERHADAP PEMENUHAN

HAK ATAS KECUKUPAN PANGAN YANG LAYAK


DI INDONESIA
(Suatu Tinjauan Terhadap Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)

Oleh : Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A.

Editor : Kadarudin
Layout : Ahmad Rizal Ali Samad
Gambar sampul diambil dari :
http://www. bkpp.jogjaprov.go.id
http://www. kadin-indonesia.or.id

Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia, oleh :


Pustaka Pena Press
Anggota IKAPI Sul-Sel
Jl. Kejayaan Selatan Blok K, No. 85 BTP, Makassar 90245
Telp. 08124130091, E-mail: pustakapena@yahoo.com

Cetakan Kesatu, Juni 2016


Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
ISBN: 978-602-6332-02-8
xiv + 341 hlm

Hak Cipta@2016, ada pada penulis


Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
All right reserved
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
Isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit

ii Iin Karita Sakharina


KEWAJIBAN NEGARA TERHADAP PEMENUHAN
HAK ATAS KECUKUPAN PANGAN YANG LAYAK
DI INDONESIA
(Suatu Tinjauan Terhadap Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)

DR. IIN KARITA SAKHARINA, S.H., M.A.

Penerbit Pustaka Pena Press, Makassar, 2016

Iin Karita Sakharina iii


UNDANG-UNDANG RI NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA
Pasal 8
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.
Pasal 9
1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: (a) penerbitan Ciptaan; (b)
Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; (c) penerjemahan Cip-
taan; (d) pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian
Ciptaan; (e) Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; (f) pertunjukan
Ciptaan; (g) Pengumuman Ciptaan; (h) Komunikasi Ciptaan; dan (i)
penyewaan Ciptaan.
2. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta.
3. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dila-
rang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial
Ciptaan.

SANKSI PELANGGARAN
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.
000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

iv Iin Karita Sakharina


KATA PENGANTAR
Ketua Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesem-


patan baik yang telah diberikan sehingga Buku dengan judul
“Kewajiban Negara terhadap Pemenuhan Hak atas Kecukupan
Pangan yang Layak di Indonesia (Suatu Tinjauan terhadap
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)” ini
dapat hadir di tengah-tengah kita semua. Kehadiran buku ini
sangat penting khususnya bagi para mahasiswa program sarjana
(S1), magister (S2), dan mahasiswa program Doktor (S3) yang
ingin mendalami masalah hak asasi manusia khususnya
dibidang pangan.
Tidak hanya bagi para mahasiswa, buku ini juga sangat
cocok dibaca oleh para praktisi hak asasi manusia yang bergerak
dibidang ketahanan pangan warga, birokrat, dan bagi para
peneliti serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerja-
kerja sosialnya membantu warga dan para petani dalam
memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara. Buku ini
merupakan pengembangan dari Disertasi Doktor penulis,
dimana dalam perjalanan studinya penulis sangat intens
melakukan kajian-kajian mengenai ketahanan pangan sehingga
dalam buku ini cukup komprehensif dalam membahasa
mengenai hak atas kecukupan pangan yang layak di Indonesia.
Saya selaku Ketua Departemen Hukum Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin menyambut baik akan
kehadiran buku ini dan semoga buku ini dapat bermanfaat

Iin Karita Sakharina v


dalam pengembangan hak asasi manusia internasional, khu-
susnya dibidang hak atas pangan.

Makassar, 15 Mei 2016

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

vi Iin Karita Sakharina


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
Ketua Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

DAFTAR ISI vii


DAFTAR TABEL ix
DAFTAR SINGKATAN xi

BAB I
PENDAHULUAN 1

BAB II
NEGARA KESEJAHTERAAN & HAM 15
A. Negara Kesejahteraan 15
B. Konsep Hak Asasi Manusia 22

BAB III
KEWAJIBAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA PIHAK
DARI KOVENAN INTERNASIONAL HAK EKOSOB 69
A. Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 70
B. Proses Ratifikasi Kovenan oleh Indonesia 86
C. Kewajiban Negara Pihak 107
D. Implementasi Kovenan dalam Hukum Nasional 113
E. Laporan Negara Pihak kepada Komite 117
F. Pelanggaran terhadap Hak Ekosob 131
G. Hak Ekosob sebagai Justiciable Rights 139
Iin Karita Sakharina vii
BAB IV
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH BERKENAAN
DENGAN HAK ATAS KECUKUPAN PANGAN 149
A. Politik Pangan Pemerintah Indonesia 150
B. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat 158
C. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah 187

BAB V
KEMAJUAN PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN
YANG LAYAK DI INDONESIA 217
A. Kemajuan Implementasi Kovenan Pasca Ratifikasi 217
B. Implementasi di Daerah 250

BAB VI
PENDEKATAN APPROPRIATE PEMERINTAH
DALAM MEMENUHI KEWAJIBAN BAGI WARGA 269
A. Hubungan Pemerintah dan Masyarakat 271
B. Rencana Pemerintah 274
C. Program Pemerintah 278
D. Pola Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan
Hak atas Kecukupan Pangan oleh Pemerintah 315

BAB VII
PENUTUP 321

DAFTAR PUSTAKA 327


TENTANG PENULIS
TENTANG EDITOR

viii Iin Karita Sakharina


DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jadwal Acara Pembahasan RUU Pengesahan


Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob 98

Tabel 2 : Kebutuhan Kalori Tahun 2002 – 2008 129

Tabel 3 : Peraturan Bidang Pangan Sebelum Ratifikasi 182

Tabel 4 : Peraturan Bidang Pangan Setelah Ratifikasi 183

Tabel 5 : Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan


Setelah Ratifikasi 185

Tabel 6 : Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan


Daerah Propinsi Sulawesi Selatan 193

Tabel 7 : Kewajiban Negara Pihak untuk Mengakui dan


Menjamin HAM dalam Kovenan Hak Ekosob 220

Tabel 8 : Pengaturan Pelaporan Pelaksanaan Kovenan


Hak Ekosob 230

Tabel 9 : Penggunaan Lahan di Propinsi Sulawesi


Selatan Tahun 2005 281

Iin Karita Sakharina ix


x Iin Karita Sakharina
DAFTAR SINGKATAN

ABG : Akademisi, Bisnis, Government


AKG : Angka Kecukupan Gizi
AKPN : Adi Karya Pangan Nusantara
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ARAM : Angka Ramalan
AS : Amerika Serikat
BKPD : Badan Ketahanan Pangan Daerah
BOP : Balance of Payment
BPP : Balai Penyuluhan Pertanian
BPPS : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BPS : Badan Pusat Statistik
BTM : Bahan Tambahan Makanan
BULOG : Badan Urusan Logistik
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CEDAW : Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination
Against Woman
CPPD : Cadangan Pangan Pemerintah Desa
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DUHAM : Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
EKOSOB : Ekonomi, Sosial, dan Budaya
FAO : Food and Agriculture Organization
FEATI : Farmer Endeaforing Agriculture Technology and Information
FIA : Food Insecurity Atlas
FGD : Focuss Group Discussion
FMA : Farmer Managed Activities
GAPOKTAN : Gabungan Kelompok Tani
HAM : Hak Asasi Manusia
HPP : Harga Pokok Pembelian
ICCPR : International Covenant on Civil and Political Rights
ICESCR : International Covenant on Economic, Social, and Cultur Rights
ILC : International Law Commission
INPRES : Instruksi Presiden

Iin Karita Sakharina xi


IR : Instruction Register
KEPGUB : Keputusan Gubernur
KEPMEN : Keputusan Menteri
KEPPRES : Keputusan Presiden
KG : Kilo Gram
KK : Kartu Keluarga
KOMNAS : Komisi Nasional
KPPKP : Kebiajkan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
KTNA : Kontak Tani Nelayan Andalan
KUAT : Kawasan Usaha Agropolitan Terpadu
LAKU : Latihan dan Kunjungan
LHP : Lanjut Hasil Pemeriksaan
LKPJ : Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
LPPD : Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
LQ : Liquid
MPR : Majelis Permusyawatan Rakyat
MOU : Memorandum of Understanding
NGO : Non Governmental Organization
NTT : Nusa Tenggara Timur
OKD : Organisasi Keamanan Desa
OKKPD : Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah
ORBA : Orde Baru
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDB : Produk Domestik Bruto
PERBUP : Peraturan Bupati
PERDA : Peraturan Daerah
PERGUB : Peraturan Gubernur
PERMEN : Peraturan Menteri
PERMENDAGRI : Peraturan Menteri Dalam Negeri
PERPRES : Peraturan Presiden
PERUM : Perusahaan Umum
PLPB : Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan
PNS : Pegawai Negeri Sipil
POM : Pengawas Obat-Obatan dan Makanan
PP : Peraturan Pemerintah
PPH : Pola Pangan Harapan

xii Iin Karita Sakharina


PPP : Penyelenggaraan Pendidikan Pertanian
PT : Perseroan Terbatas
PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara
P3TIP : Program Pemberdayaan Petani Melalui Teknologi dan
Informasi Pertanian
PUAP : Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
PUEP : Pengembangan Usaha Ekonomi Pedesaan
PUGS : Pedoman Umum Gizi Seimbang
PUSKESMAS : Pusat Kesehatan Masyarakat
RANHAM : Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
RASKIN : Beras Bagi Keluarga Miskin
RDK : Rencana Definitif Kelompok
RDKK : Rencana Definitif Kebutuhan Pokok
RFG : Right to Food Guideline
RI : Republik Indonesia
RMP : Rice Milling Plant
RP : Rupiah
RRC : Republik Rakyat Cina
RTRWP : Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah Provinsi
RUB : Rencana Usaha Bersama
SAW : Sallallahu Alaihi Wasallam
SDL : Sumber Daya Lokal
SEKJEN : Sekertaris Jenderal
SI : Sidang Istimewa
SK : Surat Keputusan
SKMB : Surat Keputusan Menteri Bersama
SKP : Surat Keputusan Menteri
SKPG : Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
SIPOL : Sipil dan Politik
SM : Sebelum Masehi
SUSENAS : Survei Sosial Ekonomi Nasional
SWT : Subhanahu Wa Taala
TGHK : Tata Guna Hutan Kesepakatan
UDHR : Universal Declaration of Human Rights
UPTB : Unit Pelaksana Teknis Badan
UN : United Nations
USSR : Union of Soviet Socialist Republics

Iin Karita Sakharina xiii


UU : Undang-Undang
UUD NRI 1945 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
WFP : World Food Programme

xiv Iin Karita Sakharina


BAB I
PENDAHULUAN

Hak atas pangan merupakan hak dasar yang menjadi


suatu kebutuhan bagi setiap manusia yang harus dipenuhi, dan
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut
HAM). Hak atas pangan menjadi penting artinya dalam rangka
pemenuhan hak-hak asasi lainnya karena hak atas pangan atau
the right not to be hungry memiliki hakekat yang paling urgen
diantara hak-hak asasi lainnya seperti hak hidup, hak untuk
mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan kehidupan
dan pekerjaan yang layak, dan hak kesejahteraan karena jika
hak atas pangan seseorang dapat terpenuhi maka dia akan bebas
untuk melakukan hal-hal lain yang berguna bagi dirinya terma-
suk dalam memperjuangkan hak-hak asasinya.
HAM dimiliki oleh setiap orang sejak ia dilahirkan dan
merupakan anugerah atau pemberian dari Tuhan kepada setiap
umat-Nya sehingga tidak ada seorangpun yang berhak meram-
pasnya. HAM berlaku secara universal bagi setiap orang, indi-
vidu maupun kelompok yang ada di bumi ini. Setiap orang
berhak menikmati hak asasinya baik dia perempuan, laki-laki,

Iin Karita Sakharina 1


anak-anak, orang tua dalam keadaan sehat maupun cacat secara
mental dan psikis.
Sebagaimana dimuat dalam Piagam HAM1 secara kodra-
ti, universal dan abadi meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak
berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang oleh
karena itu tidak boleh dirampas oleh siapapun. Dalam hukum
HAM, negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah mem-
punyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer).
Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu
menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi
(to fulfil).
Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect)
adalah kewajiban negara menahan diri untuk tidak melakukan
intervensi, kecuali berdasarkan hukum yang sah (legitimate).
Sebagai contoh, negara tidak melakukan intervensi terhadap hak
pilih warga saat pemilihan umum. Kewajiban ini harus
diterapkan pada semua hak, baik hak hidup, integritas personal,
privasi. Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill)
adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah
legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk

Lihat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia


1

Nomor XVII/MPR/1998.
2 Iin Karita Sakharina
menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk
melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban yang
paling dasar dan bukan hanya melindungi hak asasi dari
pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap
pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau
pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan
hak asasi tersebut.
Menurut Antonio Cessae bahwa The principle at issue does
not impose on State the obligation to abide by specific regulations on
human rights. Rather it requires States to refrain from seriously and
repeatedly infringing a basic rights (for example, the right not to be
subjected to torture; or the right to a fair trial; or freedom from
arbitrary arrest), and from trampling upon a whole series of rights (for
instance, the fundamental civil and political rights, or social, economic,
rights, and cultural rights).2 Maksud dari pernyataan Antonio
Cessae adalah bahwa prinsip ini tidak membuat negara berdiam
diri pada aturan-aturan khusus dari HAM, dimana lebih
meminta negara untuk menetapkan ulang pelanggaran-
pelanggaran serius HAM, misalnya hak untuk tidak disiksa;
atau hak untuk mendapatkan proses pengadilan yang adil atau
bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang dan peneka-

2 Lihat Antonio Cessase, International Law, 2nd Edition, (New York:


Oxford University Press, 2005), hlm. 59
Iin Karita Sakharina 3
nan terhadap seperangkat serial HAM, misalnya hak dasar
dibidang sipil dan politik atau ekonomi, sosial dan budaya.
Negara selaku pemegang otoritas tertinggi wajib menja-
min, melindungi dan memenuhi hak dari setiap warganya
termasuk Indonesia. Sebagaimana yang termaktub dalam rumu-
san Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM, bahwa:
“HAM adalah seperangkat hak yang melekat dan kebe-
radaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara
hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehorma-
tan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Selain itu Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), hasil
amandemen telah mengatur mengenai HAM khususnya hak
kesejahteraan yang termasuk didalamnya adalah hak atas
pangan, yang diatur dalam :
 Pasal 28A, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
 Pasal 28C ayat (1), “Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi

4 Iin Karita Sakharina


meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia”.
 Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.
 Pasal 28H ayat (2), “Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”.
 Pasal 28H ayat (3), “Setiap orang berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat”.

Berdasarkan pengaturan yang ada dalam UUD NRI 1945


khususnya Pasal 28 hasil amandemen jelaslah bahwa negara
menjamin perlindungan dan penghormatan terhadap terlaksa-
nanya HAM bagi warga negaranya khususnya dibidang hak-hak
sosial, dimana jika di hubungkan antara Pasal 28 A dengan hak
untuk hidup (the right to life) yang menjadi bagian dari hak-hak
sipil adalah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, the
right to life dapat juga diartikan bahwa setiap orang berhak atas
hidupnya dan untuk meneruskan hidupnya tentunya harus
ditunjang dengan kesejahteraan, dimana dapat diartikan bahwa
setiap orang dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar
dalam hidupnya yaitu dengan mendapatkan hak atas pangan
yang layak.
Iin Karita Sakharina 5
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (selanjutnya disebut
Hak Ekosob) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hukum
HAM. Hak-hak itu merupakan pokok masalah dari suatu
kewajiban negara terhadap suatu perjanjian di berbagai
instrumen internasional, terutama pada Kovenan Internasional
tentang Hak Ekosob. Hak ekonomi meliputi, hak untuk
mendapatkan pekerjaan, hak untuk mendapatkan upah yang
seimbang dengan pekerjaan, tidak boleh ada pemaksaan tenaga
kerja, hak untuk melakukan negosiasi, hak untuk menggunakan
waktu istirahat, hak untuk mendapatkan standar hidup yang
seimbang, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk
mendapatkan kesehatan, hak untuk mendapatkan perumahan,
hak untuk mendapatkan pendidikan. Sementara hak dibidang
budaya, meliputi: hak untuk mengambil bagian dalam kehidu-
pan budaya, hak untuk menikmati/memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahuan, perlindungan terhadap kebebasan menga-
rang dan hak cipta, kebebasan dalam meneliti ilmu pengetahuan
dan berkreasi.
Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR atau
Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekosob pada bulan
September tahun 2005 melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun
2005. Ratifikasi ini telah menandai babak baru keseriusan

6 Iin Karita Sakharina


pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebutuhan sosial
ekonomi warganya. Dengan diratifikasinya kovenan internasio-
nal ini membuat Indonesia terikat secara hukum pada perjanjian
internasional mengenai Hak Ekosob dan telah menjadi kewa-
jiban bagi Indonesia dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang
kuasa eksekutif untuk memenuhi dan melaksanakannya.
Salah satu kasus yang sering mencuat dan menjadi bahan
perbincangan setiap tahunnya dalam wacana terhadap pemenu-
han Hak Ekosob ini adalah kasus rawan pangan. Hak atas
pangan dapat juga di istilahkan rights not to be hungry. Peme-
rintah dituntut untuk serius menyikapi masalah kasus rawan
pangan dalam hubungannya dengan tanggung jawab terhadap
pemenuhan hak atas pangan yang layak dalam konteks
perlindungan terhadap HAM. UUD 1945 pada Pasal 27 ayat (2)
secara tegas juga mengatur bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Secara tekstual, pasal ini mengandung arti bah-
wa negara dituntut secara aktif menyediakan kebutuhan pokok
bagi warganya. Yang dimaksud dengan hak atas pangan disini
adalah hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap dan
bebas, baik secara langsung atau dengan membeli pangan yang
memadai dan cukup, baik secara kualititatif dan kuantitatif yang

Iin Karita Sakharina 7


berhubungan secara langsung pada masyarakat dimana kon-
sumsi itu berasal.
Sebagai anti tesanya, secara terminologi dapat di definisi-
kan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan individu atau
kelompok individu untuk memenuhi kebutuhan pangan mini-
mal untuk hidup sehat dan aktif3. Berbagai kondisi, selain
kekurangan pangan, seperti kurangnya nutrisi, buta huruf,
tiadanya kebebasan sipil dan hak-hak berdemokrasi, diskrimi-
nasi, pengidapan penyakit, dan berbagai bentuk perampasan
hak-hak milik (entitlement) pribadi, adalah bentuk-bentuk
kemiskinan yang menciptakan penderitaan.4 PBB mencatat dari
enam milliar penduduk dunia terdapat 1,2 milliar jiwa yang
hidup dibawah garis kemiskinan atau hidup dengan biaya
kurang dari 1 dollar AS (Rp. 9000/hari). Jika indikator kemis-
kinan dinaikkan menajdi 2 dollar AS/hari, maka jumlah kaum
papa mencapai 2 milliar orang.5
Kemiskinan masih menjadi masalah utama di Indonesia,
pada beberapa media di Indonesia baik elektronik maupun cetak

3 Lihat Kaman Nainggolan, Pengaturan & Realisasi Pemenuhan Hak


Atas Pangan Yang Layak, (Jakarta: Komnas HAM, 2006), hlm. 3

4Lihat Amartya Sen, Masih adakah harapan Bagi kaum Miskin ?,


(Bandung: Mizan Pustaka, 2001), hlm. xiv
5 Lihat Witoro, Pengurangan Kelaparan dan Kemiskinan Sebagai
Agenda Utama (www.forumdesa.org). Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober
2011, Pukul: 19:00
8 Iin Karita Sakharina
sering sekali memuat mengenai kasus-kasus kemiskinan yang
menyebabkan terjadinya busung lapar dan juga gizi buruk. Pada
awal tahun 2011, pemberitaan media massa ramai-ramai
memuat mengenai kasus dari satu keluarga yang ke-enam
anaknya tewas setelah keracunan tiwul untuk mengganti nasi
yang sudah tidak dapat terbeli, pada kasus lain pasangan suami
isteri yang nekat bunuh diri dan tega meninggalkan anak-
anaknya karena tidak mampu menanggung biaya hidup.6
Kelaparan dalam hal yang paling fundamental yaitu tidak
terpenuhinya atau tersedianya kebutuhan makanan dasar seba-
gai bahan pokok untuk kehidupan manusia, misalnya masya-
rakat yang kesehariannya mengonsumsi nasi sebagai bahan
pokok, dalam situasi rawan pangan akan mengalami kesulitan
mendapatkan beras, begitu juga dengan masyarakat yang me-
ngonsumsi beragam bahan pokok lainnya. Untuk sampai pada
kondisi kelaparan, suatu daerah sebelumnya tentu telah dimulai
dengan gejala rawan pangan, yang dimaksud dengan rawan
pangan disini adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu
atau kelompok dalam suatu wilayah untuk mendapatkan
pangan sedikit diatas minimum yang cukup dan sesuai demi
mencapai hidup sehat dan aktif.7

6 Harian Kompas, edisi Senin, 10 Januari 2011.


7 Witoro, Loc. Cit.
Iin Karita Sakharina 9
Bahkan dalam konteks global, isu rawan pangan telah
menjadi masalah serius ditiap negara, utamanya negara-negara
yang masuk kategori miskin dan berkembang. Sebagai bagian
dari HAM, khususnya Hak Ekosob, sudah cukup banyak
instrumen dan mekanisme HAM internasional dan nasional
yang bisa dijadikan acuan (guideline). Diluar instrumen utama
HAM internasional, yaitu Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights/UD
HR), dan Konvensi Internasional Hak Ekosob, World Food
Summit, dalam konteks mekanisme HAM internasional, Special
Rapporteur on Rights to Food yang dibentuk Komisi HAM PBB,
telah menawarkan kerangka acuan bagi perlindungan hak atas
pangan dan mengeluarkan rekomendasi bahwa tanpa reformasi
dibidang agraria, maka kelaparan dan kemiskinan tidak bisa
diatasi, khusus dalam Kovenan ICESCR/Ekosob, yakni Pasal 11
ayat (2) yang mengatur bahwa negara-negara pihak telah
mengakui bahwa hak dasar setiap orang untuk bebas dari
kelaparan, maka kewajiban negara-negara yang turut mera-
tifikasi dinyatakan bahwa :
“Negara-negara peserta perjanjian, . . akan mengambil
berbagai tindakan, baik secara individual maupun mela-
lui kerjasama internasional, termasuk program-program
khusus yang diperlukan bagi perbaikan terhadap meto-
de-metode produksi, konservasi, dan distribusi pangan

10 Iin Karita Sakharina


dengan menggunakan secara penuh pengetahuan ilmiah
dan teknis, dengan penyebaran pengetahuan tentang
prinsip-prinsip nutrisi dan dengan mengembangkan atau
memperbaharui sistem-sistem agraria (reforming agrarian
system) sedemikian rupa sehingga mampu mencapai pe-
ngembangan dan penggunaan berbagai macam sumber-
daya alam dengan sangat efisien…”

Selain itu kaidah-kaidah Limburg (Limburg Principles)


tentang pelaksanaan kovenan internasional mengenai Hak
Ekosob juga mengatur bahwa kewajiban negara untuk secara
bertahap mencapai realisasi sepenuhnya hak-hak tersebut,
dimana mengharuskan bagi negara peserta untuk bergerak
secepat mungkin kearah terwujudnya hak-hak tersebut. Semua
negara peserta mempunyai kewajiban untuk segera mulai
mengambil langkah-langkah dalam memenuhi kewajiban-ke-
wajiban mereka berdasarkan kovenan.
Maraknya kasus gizi buruk dan kelaparan yang terjadi di
Indonesia dari tahun ke tahun yang tidak jarang menyebabkan
kematian secara aktual telah terjadi seperti kasus yang terjadi
pada bulan April 2008 di Kota Makassar.8 Selain itu, peta
kerawanan pangan di Indonesia yang dibuat oleh Badan
Ketahanan Pangan dan World Food Programme tahun 2005

8 Lihat harian Fajar edisi April 2008: Memberitakan kematian seorang ibu
bernama Dg. Besse yang tengah hamil sekitar 7 bulan bersama putera sulungnya
Bahri, dan juga kematian Darmawati di bulan Maret 2008
Iin Karita Sakharina 11
menunjukkan bahwa dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia
terdapat 100 kabupaten yang termasuk rawan pangan. 30
kabupaten atau 11,32 persen termasuk daerah yang rawan
pangan dan daerah yang sangat rawan pangan juga berjumlah
sama, yaitu 30 kabupaten atau 11,32 persen.9
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak pelaksanaan
dari ratifikasi atas kovenan internasional mengenai Hak Ekosob
khususnya pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak
cenderung tidak optimal sehingga kasus gizi buruk, kelaparan
dan rawan pangan masih banyak terjadi hampir diseluruh
Indonesia, dan jika hal ini dibiarkan maka bukan saja negara
gagal mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warga negaranya
namun negara juga akan gagal mewujudkan pemenuhan HAM
khususnya dibidang ekonomi bagi rakyatnya. Berdasarkan
fenomena yang terjadi sebagaimana di uraikan di atas, maka
telah menimbulkan isu bahwa Pemerintah Republik Indonesia
sebagai representasi dari negara diduga belum secara optimal
melaksanakan kewajiban terhadap hak atas kecukupan pangan
yang layak, oleh karena itu isu hukum yang hendak diteliti
adalah menyangkut kewajiban negara terhadap pemenuhan hak
atas kecukupan pangan yang layak di Indonesia (suatu tinjauan
terhadap kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan

9 Witoro, Loc. Cit.


12 Iin Karita Sakharina
budaya) bagi setiap warga negara sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan dari kovenan internasional mengenai Hak Ekosob
yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas,
maka secara lebih konkret dalam buku ini akan mengulas
tentang hal-hal berikut: Pertama, Sejauhmanakah kewajiban
Indonesia sebagai negara pihak dari kovenan internasional hak
ekosob dapat memenuhi hak warga negara Indonesia atas
kecukupan pangan yang layak ? Kedua, Sejauhmanakah kebijak-
sanaan yang ditetapkan oleh negara berkenaan dengan hak atas
kecukupan pangan yang layak di Indonesia ? Ketiga, Bagaima-
nakah pendekatan appropriate yang dapat dilakukan pemerintah
dalam memenuhi kewajiban konstitusional bagi warganya
khususnya hak atas pangan ?
Indonesia dalam kajian buku ini hanya mengambil
sampel dan memfokuskan hasil penelitian pada Provinsi Sula-
wesi Selatan (Kabupaten Sinjai, Kabupaten Gowa, Kabupaten
Maros dan Kota Makassar) dan sebagai bahan perbandingan
maka penulis menyertakan hasil penelitian dari Komnas HAM
tentang ketahanan pangan di Kabupaten Kubu Raya (Provinsi
Kalimantan Barat). Selain itu, dalam Bab V dijelaskan pula
mengenai kemajuan pemenuhan hak atas pangan yang layak di
Indonesia, dalam materi tersebut adalah merupakan hasil

Iin Karita Sakharina 13


penelitian postdoctoral tim peneliti yang didanai oleh Direktorat
Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
pada tahun 2014, dan diketuai oleh penulis sendiri.10

10 Adapun anggota peneliti pada penelitian postdoctoral tersebut adalah


Prof. Dr. S.M., Noor, S.H., M.H., Trifenny Widayanti, S.H., M.H., dan Kadarudin,
S.H., M.H.
14 Iin Karita Sakharina
BAB II
NEGARA KESEJAHTERAAN & HAM

A. Negara Kesejahteraan
Sebagaimana yang dikemukakan Neville Haris bahwa
The social security system a key element of the complex and higly
regulated network of conditional support provided by the state to
citizens who lack the financial or physical means to meet their basic
needs. This overall network of support has traditionally formed the
basic, primary, role of the welfare state. In fact, the “welfare State”
concept is sometimes used to describe part of the character of the
particular state itself in addition to indicating the approach taken by a
national state towards the delivery of welfare provision.11 (Penulis
terjemahkan secara bebas: bahwa sistem jaminan sosial adalah
merupakan elemen kunci dari sebuah regulasi yang kompleks
dan memiliki jaringan yang kuat dimana secara kondisional,
negara akan mendukung atau menyediakan kebutuhan bagi
warga negaranya yang kurang secara finansial atau secara fisik
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Jaringan ini secara
keseluruhan membantu pembentukan dasar, aturan dan
keutamaan dari negara kesejahteraan. Dalam kenyataannya,

Lihat Neville Harris & Parts., Social Law Security, Law in Context,
11

(New York: Oxford University Press, 2000), hlm. 1-2


Iin Karita Sakharina 15
konsep “Negara Kesejahteraan” juga kadang di gunakan untuk
menjelaskan bagian-bagian dari karakter negara itu sendiri
untuk menunjukkan pendekatan yang dapat di gunakan oleh
suatu negara dalam menjalankan penegakan undang-undang
kesejahteraan).
Sementara R. Mishra mengatakan An accurate and perhaps
more all embracing definition of a welfare state today than Brigss’s is
Mishra simpler dual conceptualization: the state accepts responsibility
for welfare and (via legislation and other constitutional means) provi-
des mechanisms institutions and procedures for the delivery of the
services and other forms of provisions required to meet basic need.12
Maksud dari konsep Mishra ini adalah sebuah konsep mengenai
definisi dari negara kesejahteraan saat ini, dikemukakan oleh
Mishra sebagai dua konsep bahwa negara menerima tanggung
jawab untuk mensejahterakan rakyatnya melalui undang-un-
dang dan aturan lainnya yang dibentuk, mengatur mekanisme
dan prosedur untuk menjalankan pelayanan ini sehingga
kebutuhan dasar mereka dapat terpenuhi.
Ajaran negara hukum yang kini dianut oleh negara-
negara di dunia, khususnya setelah perang dunia kedua adalah
negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara ini muncul
sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara

12 Lihat R. Mishra dalam Neville Harris & Parts., Ibid., hlm. 5


16 Iin Karita Sakharina
penjaga malam. Dalam konsep legal state ini terdapat pada
prinsip staatsonthouding atau pembatasan peranan negara dan
pemerintah dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil “the
least government is the best government” dan terdapat prinsip
“laissez faire laissez aller” dalam bidang ekonomi yang melarang
negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi
masyarakatnya.13
Akibat pembatasan ini pemerintah atau administrasi
negara menjadi pasif, sehingga sering disebut sebagai negara
penjaga malam. Adanya pembatasan negara dan pemerintah ini
dalam praktiknya ternyata berakibat menyengsarakan warga
negara, yang kemudian memunculkan reaksi dan kerusuhan
sosial. Dengan kata lain konsep negara sebagai penjaga malam
telah gagal dalam implementasinya. Kegagalan implementasi
negara penjaga malam ini kemudian memunculkan gagasan
yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertang-
gung jawab atas kesejahteraan rakyatnya yaitu Welfare State. Ciri
utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah
untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya.14

13 Lihat Marwati Riza, Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia


di luar Negeri (Makassar: AS Publishing, 2009), hlm. 5.
14 Lihat Ridwan HR. dalam Marwati Riza, Ibid., hlm. 68
Iin Karita Sakharina 17
Sejak turut campurnya negara dalam pergaulan kemasya-
rakatan, maka E. Utrecht menyatakan bahwa pekerjaan peme-
rintah makin lama makin luas, administrasi diberikannya tugas
“Bestuurszorg” ini maka membawa konsekuensi yang khusus
bagi administrasi negara agar dapat menjalankan tugas
penyelenggaraan pengajaran bagi semua warga negara secara
baik, bagi administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk
dapat bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam penyele-
saian soal genting yang timbul dan peraturan penyelengga-
raannya ada yaitu dibuat oleh badan-badan kenegaraan yang
diserahi fungsi legislatif.15 Campur tangan negara oleh peme-
rintah adalah setiap aktifitas pemerintah yang bertujuan untuk
mempengaruhi proses interaksi dalam masyarakat atau komu-
nitas tertentu dalam masyarakat. Perbuatan pemerintah dapat
juga dikatakan campur tangan, apabila pemerintah memenuhi
wilayah yang bukan merupakan bagian dari fungsi atau ling-
kungan yang sebenarnya.16
Tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana diama-
natkan dalam alinea ke empat pembukaan UUD NRI 1945 yakni:
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

15 Marwati Riza. Ibid., hlm. 68


16Lihat Muh Guntur, Pengaturan Hukum dan Pelaksanaan Tata Niaga
Produk Pertanian (Disertasi), (Surabaya: Universitas Airlangga, 2002), hlm. 25
18 Iin Karita Sakharina
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Makna dari tujuan nega-
ra Indonesia menunjukkan bahwa negara Indonesia sebagai
negara yang bercirikan “welfare state” karena itu dalam penye-
lenggaraan pemerintahan negara, Pemerintah Indonesia harus
campur tangan dalam kehidupan sosial ekonomi rakyatnya.17
Menurut Mishra bahwa the two chief models of welfare
system are conceptualised as the residualist and institutional models
(Terdapat 2 model utama dari sistem kesejateraan ini yaitu
sebagai model residu dan model institusi). Lebih lanjut Mishra
berpendapat bahwa Below there is discussion of welfare state is
premised on the nation that welfare provision is a normal and primary
function of a modern industrial society. The ideal on which the
institutional model is based is that the welfare state should aim to
maintain a reasonable standard of living for all, with a guarantee of
more or less unconditional citizenship rights. The institutional model is
associated with redistributive function of welfare, in the sense that
public welfare provision aims to redistribute resources in favour of
those who derive the least advantage from the chief mechanism for
wealth distribution the market-based economic system.18 Bahwa dis-

17 Marwati Riza. Op. Cit., hlm. 78


18 Lihat R. Mishra dalam Neville Harris. Op. Cit., hlm. 6
Iin Karita Sakharina 19
kusi mengenai konsep negara kesejahteraan adalah berpusat
pada anggapan bahwa negara kesejahteraan memiliki fungsi
utama dalam sebuah kelompok industri modern. Konsep yang
ideal berdasarkan pada model bahwa negara kesejahteraan
harus memiliki tujuan untuk menentukan standar kehidupan
yang layak bagi semua orang dengan jaminan lebih atau kurang-
nya dari kondisi warga negaranya. Model institusional ini ada-
lah berasosiasi dengan fungsi distributif dari negara kesejahte-
raan, dalam konteks kesejateraan umum yang bertujuan untuk
membagi-bagi atau mendistrubusikan sumber daya tersebut ke-
pada mereka yang memperoleh keuntungan yang paling sedikit
dari mekanisme pembagian kesejahteraan yang berpusat pada
sistem ekonomi pasar.19
“Rule of Law” diartikan dengan “justice” (keadilan) meski-
pun keadilan bukanlah sesuatu yang absolut. Namun demikian,
Friedmann memfokuskan pada aspek terbatas dari “rule of law”
yaitu fungsinya dalam masyarakat bukan totaliter yang memi-
liki sistem ekonomi campuran (mixed economy), yang mendasar-
kan pada kapitalisme dan “free enterprise”.20 Menurut Fried-

19 Ibid.

Lihat W. Friedman, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy
20

dalam FX. Joko Priyono, Negara dan Rule of Law Dalam Sistem Ekonomi
Campuran, (Makalah), (Semarang: Bagian Hukum Internasional Universitas
Diponegoro, 2002), hlm.1
20 Iin Karita Sakharina
mann, terdapat empat fungsi negara dalam sistem ekonomi
campuran,21 yaitu :
i. Negara sebagai “provider” (penyedia)
Fungsi ini berkaitan dengan konsep negara kesejahte-
raan (welfare state). Dalam kapasitas ini, negara bertang-
gung jawab untuk menyediakan dan memberikan pela-
yanan-pelayanan sosial untuk memberikan jaminan
standar hidup minimal dan memberikan kelonggaran
atau kebebasan kekuatan-kekuatan ekonomi.
ii. Fungsi negara sebagai “regulator” (pengaruh)
Negara menggunakan berbagai pengaruh kontrol khu-
susnya kekuasaan untuk mengatur investasi dalam
pembangunan industri, volume dan jenis ekspor dan
impor, melalui cara-cara seperti kontrol kurs (exchange
control) dan pengadilan lisensi impor dan industri.
iii. Fungsi negara sebagai “enterpreneur” (wirausaha)
Fungsi ini merupakan fungsi yang terpenting dalam
ekonomi campuran. Keterlibatan negara dalam kegia-
tan ekonomi dapat di lakukan melalui departemen
pemerintah semi otonomi maupun melalui korporasi-
korporasi yang dimiliki negara. Keterlibatan negara
dalam fungsi sebagai wirausaha dapat berbentuk pub-
lik dan privat.
iv. Fungsi negara sebagai “umpire” (wasit)
Negara dapat menjalankan fungsi sebagai wasit karena
negara memiliki kekuasaan legislatif, administratif dan
yudisil. Dalam hal ini, negara harus mengembangkan
standar keadilan seperti sektor ekonomi umum yang di

21 Ibid., hlm. 1-2


Iin Karita Sakharina 21
lakukan oleh perusahaan negara. Oleh karena itu,
negara harus membedakan antara fungsinya sebagai
wasit dengan fungsinya sebagai wirausaha.

B. Konsep Hak Asasi Manusia


1. Pengertian HAM
Fortman menjelaskan bahwa Human Right reflect a deter-
mined effort to protect the dignity of each and every human being
against abuse of power trough fundamental rights. The spiritual source
of this endeavour lies in the crucial belief that the protection of
universal human dignity is a responsibility of society at all its different
layers and levels. This principle should generally limit and govern any
use of power over human beings. Its starting point is acknowledgement
of every person’s right to exist. People count and in principle no
individual counts more, or less, than any other. No one, in other words,
is to be excluded from the typical human rights term everyone.22
Maksudnya bahwa refleksi dari HAM diartikan sebagai sebuah
dampak yang menentukan terhadap perlindungan martabat
setiap manusia dari kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan
melalui hak yang paling mendasar. Semangat ini bersumber dari
suatu kepercayaan bahwa perlindungan derajat dan martabat
manusia adalah bersifat universal dan menjadi tanggung jawab
semua masyarakat di berbagai lapisan dan tingkatan. Prinsip ini

22 Lihat Bas de Gaay Fortman, Political Economy of Human Rights


(Rights, Realities and Realization), (Routldge, 2011), hlm. 5
22 Iin Karita Sakharina
secara umum dibatasi dan diatur dari penggunaan kekuasaan
yang berlebihan. Dimulai dari menghargai keberadaan dari
setiap manusia, dengan kata lain, tidak seorangpun yang berada
diluar perlindungan HAM.
Lebih lanjut Fortman menyebutkan bahwa notably, in the
global political idea of human rights that emerged after the Second
World War, two genealogies converged:
a. The fight for universal recognition and equal protection of
the dignity of each and every human being; and
b. Struggle for fundamental rights as way to protect citizens
against abuse of power, in particular by their own sovereign
(the State).23

Pada masa-masa awal diasumsikan, sesuai teori status


dari George Jellinek (status negatives = hak-hak liberal untuk
tidak dicampur tangani, status activus = hak-hak partisipasi
demokrasi, status positivus = hak-hak sosial yang menuntut aksi
positif dari negara) dan teori 3 generasi HAM, bahwa berkaitan
dengan hak-hak sipil, negara berkewajiban untuk tidak melaku-
kan intervensi, sedangkan berkaitan dengan hak-hak ekosob,
negara berkewajiban memberikan layanan-layanan positif saja.24
Sebelum lebih lanjut membahas mengenai kewajiban negara
dalam hal pemenuhan HAM, maka terlebih dahulu dibahas apa
23 Bas De Gaay Fortman, Ibid., hlm. 5-6
24 Lihat Manfred Nowak, Op. Cit, hlm. 50
Iin Karita Sakharina 23
yang dimaksud dengan HAM. Beberapa ahli juga cukup
kesulitan memberikan definisi mengenai HAM, namun secara
umum HAM dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berhubu-
ngan dengan hal yang paling mendasar dan melekat dalam
hidup karena dia adalah manusia25.
Menurut Donelly, HAM adalah hak dari setiap orang
karena ia adalah manusia26 tanpa ada tuntutan apa-apa yang
harus diikutinya. Dalam bukunya, Donelly berpendapat bahwa
Human rights are literally the rights one has simply because one is a
human being-droits de l’ home, Menschenrechtie, “the rights of
man”.27 Sementara menurut Kovenan Hak Ekosob :
“HAM adalah hak yang mendasar, tidak dapat
dihilangkan dan mengikat secara universal pada setiap
individu dan dibawah situasi tertentu, dari sekelompok
individu dan suatu komunitas. HAM itu adalah hak dasar
yang melekat pada diri setiap manusia.28

25 Sebagaimana dikatakan oleh Manisuli Ssenyonjo : “Human Rights are


difficult to define, but in general terms, they are regarded as fundamental and inalienable
claims or entitlements which are essential for life as a human being” dalam bukunya
yang berjudul Economic, Social and Cultural Rights in International Law,
(Oxford: Oregon, 2009), hlm. 9

26 Ibid., hlm. 9
27 Lihat Jack Donnelly, Universal Human Rights in The Theory &
Practice, (London: Cornell University Press, 1989), hlm. 9
28Lihat dalam Kovenan Ekosob, General Comment Nomor 17 juga Pasal
15 Paragrap 1 (C) dari Kovenan Ekosob.
24 Iin Karita Sakharina
HAM menurut Mark Gibney29 adalah Human Rights are
core set of rights that human beings posses by simple virtue of their
humanity. (HAM adalah inti dari seperangkat hak yang dimiliki
manusia sebagai suatu kebaikan dari sisi kemanusiaan mereka)
These rights are best spelled out in a number of international human
rights instrumens, most notably, the so called International Bill of
Rights consisting of the Universal Declaration of Human Rights
(UDHR), the international Covenant on Economic, Social and Cultu-
ral Rights, (Economic Covenant), and the international covenant on
Civil and Political Rights (Political Covenant). Without attempting to
provide an exhaustive list, human rights include the following :
(a) The rights to life, liberty, and security of the person (UDHR,
Art. 3);
(b) The right to be free from torture or to cruel, inhuman, or
degrading treatment or punishment (UDHR Art. 5);
(c) The right to an effective remedy by the competent national
tribunal for violations of human rights (UDHR, Art. 8);
(d)The rights to work (UDHR, Art. 23);
(e) The right to education (UDHR, Art. 26);
(f) The right to social security (UDHR, Art. 22).

Human rights are universal that is every person has human


rights. What does not matter is person’s nationality, where a person
resides, how much money a person has (or does not have), or even

29Lihat Mark Gibney, International Human Rights Law, Returning to


Universal Principles, (UK: Rowman & Little Field Publiseher Inc, 2008), hlm. 3
Iin Karita Sakharina 25
whether one’s government has become a state party to any particular
human rights treaty or not.30 Maksudnya adalah HAM bersifat
universal, dimana setiap orang tanpa melihat kebangsaannya,
dimana dia berada, berapa banyak uang yang dia punya atau
tidak memilki uang sekalipun atau walaupun negaranya telah
menjadi atau tidak menjadi anggota dari suatu perjanjian HAM
internasional, seseorang tetap memiliki HAM yang sama dimu-
ka bumi ini.
Human rights are not complicated, nor should they be made to
be complicated. Human rights are sometimes derived for being utopian
wish list of human desires; however, the exact opposite is true. Human
rights are not about luxuries, and they are certainly not about mere
desire either. Rather, human rights are better thought of as basic
minimum that each individual has to have in order to live in a human
(rather than an inhuman) existence. Even with these modest and
achievable aims, and despite the repeated promise in every single
international human rights treaty that human rights are to be enjoyed
by “everyone” and denied to “no one”, vast number of people are left
without human rights protection.31 (HAM bukanlah suatu hal yang
komplikatif dan seharusnya tidak dibuat komplikatif. HAM
bukanlah sesuatu yang luar biasa atau barang mewah dan

30 Ibid., hlm. 4
31 Ibid.
26 Iin Karita Sakharina
bukan saja sesuatu yang susah untuk didapatkan walaupun
tujuan yang ingin dicapai HAM sangat luas dan besar, yaitu
mewajibkan setiap perjanjian HAM internasional untuk menga-
tur bahwa HAM harus dinikmati oleh setiap orang dan tidak
boleh ada seorangpun hidup dengan tidak menikmati HAM).

2. Sejarah dan Perkembangan HAM


2. 1. Sejarah HAM
Perkembangan HAM jika kita perhatikan sama dengan
sejarah peradaban manusia, dimana HAM awalnya merupakan
norma atau kaidah kemasyarakatan yang harus dihormati dan
harus dilindungi. HAM bersifat universal dan tidak hanya
sebagai norma tetapi juga menjadi aturan atau hukum yang
tertulis.
Awal lahirnya konsep HAM berasal dari keinsafan
terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya,
karena sesungguhnya HAM itu dikodratkan lahir didunia yang
dapat ditemukan pada setiap kebudayaan dan peradaban,
agama dan tradisi. Pada Tahun 2000 Sebelum Masehi (SM) di
Babylonia dikenal adanya hukum “Hamurabi” yang merupakan
hukum untuk menjamin peradilan bagi warga negara atau
masyarakatnya, yang merupakan jaminan terhadap HAM. Di
Athena pada tahun 600 SM, Solon mengadakan pembaruan

Iin Karita Sakharina 27


dengan menyusun perundang-undangan yang memberikan
perlindungan keadilan. Menganjurkan warga negara yang
diperbudak karena kemiskinan dimerdekakan. Solon dianggap
sebagai bapak ajaran demokrasi yang kemudian membentuk
Mahkamah Keadilan yang disebut “Heliaea”, sedangkan masya-
rakatnya disebut “Ecclesia”32.
Filosof Yunani seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato
(428-348 SM) meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan
diakuinya HAM. Konsepnya menganjurkan masyarakat melaku-
kan kontrol sosial kepada penguasa yang tidak mengakui nilai-
nilai keadilan dan kebenaran. Pada ajaran Aristoteles (348-322
SM), pemerintah berdasarkan kekuasaannya memenuhi kemau-
an dan kehendak warga negaranya. Sedangkan dalam ajaran
kitab suci Al-Qur’an (lebih kurang 1400 tahun yang lalu), yang
diwahyukan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia
melalui Nabi Muhammad SAW, mengajarkan dalam firman-
Nya “Tidak ada paksaan dalam beragama” (Laa Iqraha Fiddien),
yang merupakan cerminan nilai-nilai asasi bagi manusia.33

32Lihat Aswanto, Penegakan HAM sebagai Perwujudan Demokrasi,


(Makalah, 2007), hlm. 8
33 Ibid.
28 Iin Karita Sakharina
Lebih jauh kita bisa melihat perkembangan konsep dan
sejarah HAM yang dapat dijumpai pada revolusi Inggris,
Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.
(a)Pengalaman Inggris
Seperti yang selama ini kita kira, bahwa piagam Magna
Charta adalah sumber dari adanya perkembangan
HAM di Inggris yaitu dimulainya kebebasan warga
negara Inggris, ternyata keliru karena sesungguhnya
piagam Magna Charta ini hanyalah kompromi pemba-
gian kekuasaan antara Raja John dan para bangsawan-
nya dan setelah itu muncul ketentuan baru yang
disebut Bill of Rights tahun 1689, yang mengatur me-
ngenai perlindungan terhadap hak-hak atau kebebasan
individu.34
Namun perkembangan inipun harus dilihat dalam
konteksnya, Bill of Rights, sebagaimana yang tertuang
dalam judul aslinya “An Act Declaring The Rights and
Liberties of The Subject and Setting the Succession of the
Crown” yang merupakan hasil perjuangan Parlemen
melawan pemerintahan raja-raja yang sewenang-
wenang pada abad ke- 17. Bill of Rights ini disahkan
setelah Raja James II dipaksa turun tahta dan William
III serta Mary II naik ke singgasana menyusul adanya
revolusi gemilang tahun 1688.35
Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai dekla-
rasi undang-undang yang ada dan bukan merupakan

34 LIhat Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, (terjemahan), (Jakarta:


Pustaka Utama Grafiti, 1994), hlm. 2
35 Ibid., hlm. 2
Iin Karita Sakharina 29
undang-undang baru, menundukkan monarki diba-
wah kekuasaan parlemen, dengan menyatakan bahwa
kekuasaan raja untuk membekukan dan memberla-
kukan seperti yang diklaim oleh raja adalah illegal.
Undang-undang ini juga melarang pemungutan pajak
dan pemeliharaan pasukan tetap pada masa damai
oleh raja tanpa persetujuan parlemen.36
Salah satu yang diatur dalam Bill of Rights ini adalah
uang jaminan tidak bisa terlalu tinggi atau mahal,
begitu pula jika ada denda, tidak boleh terlalu tinggi,
serta hukuman yang kejam dan tidak manusiawi juga
harus dihapuskan, sementara jika dilihat dari unsur
hak asasinya sebenarnya sangat sedikit dan cenderung
tidak seimbang karena hanya menguntungkan seba-
gian dari warga negara tersebut. Namun mengapa Bill
of Rights ini tetap dianggap penting karena dengan
adanya undang-undang ini telah menggugurkan ke-
kuasaan raja yang absolute dan sewenang-wenang,
selain itu dengan adanya revolusi gemilang ini menun-
jukkan bahwa penguasa dapat saja diturunkan oleh
rakyat jika terbukti gagal melaksanakan aturan yang
ada dalam konstitusi.37

(b) Pengalaman Amerika Serikat


Perkembangan HAM di Amerika serikat ditandai
dengan adanya pemberotakan dari pemimpin-pemim-
pin koloni Inggris di Amerika Utara pada pertengahan

36 Ibid., hlm. 3
37 Ibid.
30 Iin Karita Sakharina
abad ke 18. Usaha untuk melepaskan koloni-koloni itu
dari kekuasaan-kekuasaan Inggris karena disebabkan
adanya pungutan pajak yang sangat besar serta tidak
adanya perwakilan yang duduk dalam parlemen
Inggris, maka para pendiri Amerika Serikat ini
kemudian mencari suatu pembenaran seperti yang
tercantum dalam teori kontrak sosial dan hak-hak
kodrati dari Locke dan para filsuf Perancis. Kemudian
dengan dasar tersebut lahirlah Deklarasi Kemerdekaan
Amerika tahun 1776 yang disusun oleh Thomas
Jefferson, dengan gagasan-gagasan yang diungkapkan
secara tepat dan jelas38 :
“Kami menganggap kebenaran-kebenaran (beri-
kut) ini sudah jelas dengan sendirinya: bahwa
semua manusia diciptakan sama; penciptanya
telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu
yang tidak dapat dicabut; bahwa diantara hak-
hak ini adalah hak untuk hidup, bebas dan me-
ngejar kebahagiaan, bahwa untuk menjamin hak-
hak ini, orang-orang mendirikan pemerintahan,
yang memperoleh kekuasaannya yang benar
berdasarkan persetujuan (kawula) yang diperin-
tahnya. Bahwa kapan saja suatu bentuk pemerin-
tahan merusak tujuan-tujuan ini, rakyat berhak
untuk mengubah atau menyingkirkannya”. 39

38 Ibid, hlm. 4
39 Ibid.
Iin Karita Sakharina 31
Namun setelah itu masih ada lagi Deklarasi Hak Asasi
Virginia (the Virginia Declaration of Rights) yang disu-
sun oleh George Mason sebulan sebelum deklarasi
kemerdekaan, yang mencantumkan hak-hak spesifik
yang harus dilindungi dari campur tangan negara.
Walaupun para penyusun naskah Undang-Undang
Dasar Amerika Serikat memasukkan perlindungan
hak-hak minimum kedalam Undang-Undang Dasar
Amerika Serikat karena terpengaruh oleh Deklarasi
Virginia ini, namun baru pada tahun 1791, Amerika
Serikat mengadopsi Bill of Rights yang memuat semua
daftar hak-hak individu yang dijaminnya.40

(c) Pengalaman Perancis


Meskipun Revolusi Perancis dan perjuangan kemer-
dekaan Amerika Serikat mempunyai banyak ciri yang
sama, namun ada satu perbedaan yang penting. Jika
koloni-koloni yang memberontak di Amerika Serikat
semata-mata berusaha menjadi suatu bangsa yang
merdeka dan berdaulat, kaum revolusioner Perancis
bertujuan menghancurkan suatu sistem pemerintahan
yang abosulut dan sudah tua serta mendirikan suatu
orde yang demokratis.41
Kemudian perkembangan HAM di Perancis ini dimu-
lai setelah pecahnya revolusi Perancis dimana mencer-
minkan teori kontrak sosial serta hak-hak kodrati dari
Locke dan para Filsuf Perancis, Montesquie dan

40 Ibid., hlm. 5
41 Ibid., hlm. 5-6
32 Iin Karita Sakharina
Rosseau. Babak baru HAM ditandai dengan dikeluar-
kannya deklarasi HAM dan warga negara tahun 1789
yang memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa
pemerintah adalah suatu hal yang tidak menyenang-
kan yang diperlukan dan tidak diinginkan. Deklarasi
mengatakan bahwa kebahagiaan yang sejati haruslah
dicari dalam kebebasan individu yang merupakan hak-
hak manusia yang suci, tak dapat dicabut dan bersifat
kodrati.42
Terdapat persamaan konsep antara Bill of Rights dari
ketiga negara tersebut dalam memperjuangkan HAM
yaitu bahwa hak-hak tersebut adalah secara kodrati
berhubungan satu sama lain, saling melengkapi, ber-
sifat umum dan tidak dapat dicabut karena hak itu
dimiliki oleh individu semata-mata karena ia adalah
manusia dan bukan kawula hukum suatu negara. Ke-
dua bahwa perlindungan terbaik hak-hak itu terdapat
dalam kerangka yang demokratis. Ketiga bahwa batas-
batas pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan atau
dicabut oleh undang-undang. Hal ini dapat dilihat
sebagai bagian dari konsep the rule of law yang mensya-
ratkan bahwa hak harus dilindungi oleh undang-
undang, dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi
hak-hak individu, pemerintah wajib mematuhi persya-
ratan hukum yang konstitusional.43 Namun seperti

42 Ibid., hlm. 6
43 Ibid., hlm. 6-7
Iin Karita Sakharina 33
yang dikatakan oleh Macklem dan Jack Donelly44 dan
disetujui oleh semua ahli hukum bahwa hukum HAM
internasional baru masuk kedalam hukum interna-
sional setelah pecah perang dunia ke dua.

2. 2. Perkembangan HAM Nasional


Perkembangan HAM di Indonesia dapat dilihat dalam
aturan atau perundang-undangan diawali dengan :
a. Perdebatan Pertama Tahun 1945
Pada tahun 1945 dalam proses pembuatan UUD 1945,
tokoh Nasional Mochammad Hatta dan Mochammad Yamin
sangat gigih memperjuangkan masuknya HAM dalam UUD
1945, akan tetapi pada akhirnya yang tercapai adalah sejumlah
kompromi, yang cenderung merugikan wawasan HAM. Dimana
ketika proses pembahasan rancangan UUD tanggal 15 Juli 1945,
terdapat dua kubu pendapat tentang keberadaan HAM dalam
rancangan UUD tersebut, satu kubu yaitu Soekarno dan
Soepomo dan kubu lainnya adalah pihak Mochammad Yamin
dan Mochammad Hatta. Pihak pertama menolak memasukkan
HAM, terutama yang individual, ke dalam UUD karena menu-
rut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluar-
gaan, sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu

44 Lihat Azizur Rahman Chowdhury & J.H. Bhuiyan (ed), An


Introduction to International Human Rights Law, (Leiden-Boston: Martinus
Nijhoff Publisher, 2010), hlm.1
34 Iin Karita Sakharina
memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.45 Namun
akhirnya pada tanggal 16 Juli 1945 perdebatan di dalam BPUPKI
ini menghasilkan sebuah kompromi sehingga diterimanya
beberapa ketentuan dalam UUD. Pasca Proklamasi Kemer-
dekaan Indonesia, 17 Agutus 1945. PPKI segera menggelar
sidang pertamanya dan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam
keputusannya mengesahkan UUD yang telah dirancang (RUUD)
oleh BPUPKI dengan beberapa perubahan tambahan.46

b. Perdebatan Kedua Tahun 1949 (Konstitusi RIS)


Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekannya
pada 17 Agustus 1945, namun tidaklah berarti kondisi sosial
politik Indonesia semakin kondusif. Era 1945-1949, pasca keka-
lahan Jepang tanpa syarat atas sekutu memberikan implikasi
politik bagi Indonesia. Belanda dengan segala caranya berupaya
menancapkan kembali politik kolonialismenya atas Indonesia.47
Akibat Peperangan yang terus bergejolak, pemerintah Belanda
kemudian mengambil langkah strategis baru untuk memecah
belah dengan politiknya yang terkanal devide et empera negara
kesatuan Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat yang

45Lihat lebih jauh dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 70
46 Ibid., hlm. 71
47 Ibid., hlm. 73
Iin Karita Sakharina 35
terdiri atas beberapa negara bagian. Rekayasa ini ditujukan
untuk menciptakan ketergantungan Indonesia sekaligus menja-
min kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.48
PBB akhirnya turun tangan dan mendesak agar diselesai-
kan malalui sebuah jalan damai, yakni konferensi antara
Indonesia dan Belanda dengan melibatkan pihak ketiga BFO
(Byeenkoomst voor Federal Overleg/Federal Consultative assembly)
yakni sebuah ikatan negara-negara bagian hasil bentukan
Belanda. Konferensi tersebut berlangsung di Den Haag dengan
nama konferensi Meja Bundar pada tanggal 23 Agustus sampai
dengan 2 Nopember 1949. Akhirnya setelah penyerahan kedau-
latan yang menjadi dasar berdirinya Negara Republik Indonesia
Serikat, maka direncanakanlah sebuah Undang-Undang Dasar
yang direncanakan oleh delegasi Republik Indonesia dengan
BFO. Rancangan UUD itu diberi nama Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (Konstitusi RIS).49 Secara anatomic, Konstitusi
RIS terdiri atas dua bagian, yakni Pembukaan dan Batang
Tubuh. Berbeda dengan jumlah-jumlah pasal dalam UUD 1945,
Konstutusi RIS memuatnya jauh lebih banyak, yakni 6 Bab dan
197 Pasal, namun demikian Konstitusi RIS hanya dimaksudkan
bersifat sementara.

48 Ibid.,
49 Ibid., hlm. 75
36 Iin Karita Sakharina
c. Perdebatan Ketiga Tahun 1950-1959
UUDS 1950 adalah bukti historis kembalinya Indonesia
kepada negara kesatuan, Hal tersebut, tentunya tidaklah muncul
dengan sendirinya, momentum peringatan hari ulang tahun
kelima RI tanggal 17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru
bagi iklim ketatanegaraan Indonesia.50Pada saat itu, akhirnya
Konstitusi RIS berubah menjadi UUD sementara (UUDS) 1950
yang menjadikan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.51
Era 1950-1959 merupakan periode demokrasi konstitu-
sional, meskipun dalam kurun waktu itu Indonesia hanya
bersandar dibawah UUDS 1950. Menurut Todung Mulya Lubis,
setelah Pemilihan Umum Tahun 1955, di dalam tubuh kons-
tituante terjadi kembali perdebatan sengit mengenai HAM.
Risalah Konstituante, khususnya dari komisi HAM, dengan
sangat lengkap merekam pikiran-pikiran yang berkembang
tentang HAM. Perdebatan mengenai hak-hak asasi manusia
pada periode ini akhirnya terhenti tanpa kelanjutan.

50 W.F.Wertheim, dalam Majda El-Muhtaj, Ibid., hlm. 76


51 M.C.Ricklefts dalam Majda El-Muhtaj, Ibid.
Iin Karita Sakharina 37
d. Perdebatan Keempat Tahun 1966-1998
Awal bangkitnya Orde Baru, dengan komitmen akan
melaksanakan Undang-undang Dasar Republik Indonesia de-
ngan murni dan konsekuen, maka perdebatan mengenai HAM
begitu intens dan melibatkan semua pihak, pemerintah dan
masyarakat, sehingga ada yang berpendapat adanya kebang-
kitan kembali (Revival) terhadap perlindungan dan penghor-
matan HAM.
Peraturan-peraturan yang terkait dengan perlindungan
HAM yang lahir dalam periode Orde Baru (1959-1998) :
1. Ketetapan MPR Nomor I Tahun 1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai acuan
mendasar dalam perlindungan HAM di Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Keten-
tuan pokok kekuasaan Kehakiman. (diubah dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Keha-
kiman)
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, tentang Penge-
sahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimi-
nasi Terhadap Wanita, (The Convention On The Elimina-
tion On All Forms Of Discrimination Againts Women/
CEDAW).
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara.

38 Iin Karita Sakharina


6. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang
Komisi Nasional hak asasi manusia (disingkat Komnas
HAM)

Pada akhir kekuasaan Orde Baru ditandai dengan mun-


culnya pelanggaran berat HAM yang terjadi di Propinsi Aceh,
Maluku, Irian Jaya dan tempat-tempat lain di Indonesia, dan
terjadi pergantian pimpinan pada 21 Mei 1998 (Presiden B.J.
Habibie).

e. Perdebatan Kelima Mulai tahun 1999 hingga 2003 (Era Refor-


masi)
Dalam era reformasi, pembangunan HAM di Indonesia
memperoleh landasan hukum yang signifikan semenjak diberla-
kukannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia
Nomor 129 Tahun 1998 tentang ”Rencana Aksi Nasional Hak-
Hak Asasi Manusia atau lebih dikenal dengan istilah RAN
HAM, yang di tetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1998.
Di mana dalam Keppres tersebut ditegaskan 4 pilar utama
pembangunan HAM di Indonesia, yaitu :
1. Persiapan pengesahan perangkat-perangkat interna-
sional HAM
2. Diseminasi dan pendidikan HAM
3. Pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai prioritas

Iin Karita Sakharina 39


4. Pelaksanaan isi atau ketentuan-ketentuan berbagai
perangkat internasional HAM yang telah disahkan
Indonesia52

Kemudian diterbitkannya instruksi Presiden (Inpres)


Nomor 26 tahun 1998 tentang ”Menghentikan Penggunaan
Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam semua Perumusan dan
Penyelenggaran Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan”53
Selanjutnya pada tanggal 9 Oktober 1998, Presiden BJ Habibie
juga mengeluarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tentang
”Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan”.
Keppres ini dikeluarkan dalam rangka pencegahan dan
penanggulan masalah kekerasan terhadap perempuan, dimana
dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa Komisi ini bersifat
independen54
Perkembangan HAM di era reformasi ini, ditandai pula
dengan penetapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia (MPR RI) Nomor XVII/MPR/1998 tentang

52 Dikutip dalam Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi


Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 6
53 Instruksi Prsedien Republik Indonesia, tentang Penghentikan
Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan
Penyelenggaraan kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan
Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, Inpres Nomor 25 tahun 1998,
dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 16 September 1998
54 Satya Arinanto, Op., Cit. hlm. 7
40 Iin Karita Sakharina
”Hak Asasi Manusia”, yang ditetapkan dalam Sidang Istimewa
(SI) MPR pada tanggal 13 November 199855
Pada era reformasi Peraturan atau Undang-undang yang
lahir di Indonesia yang berkaitan dengan perlindungan HAM,
yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifi-
kasi Kovensi Anti Penyiksaan.
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, tentang Kemer-
dekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum.
3. Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasio-
nal Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifi-
kasi Konvensi Anti Ras dan Diskriminasi.
5. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (termasuk tugas-tugas Komnas HAM).
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Penga-
dilan Hak Asasi Manusia.
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Peng-
hapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
8. Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia
(RanHAM) Tahun 2004-2009.
9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifi-
kasi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

55 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI),


Ketetapan- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1998),
hlm. 81-96; lihat Juga Satya Arinanto, Op., Cit., hlm. 7
Iin Karita Sakharina 41
10. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Rati-
fikasi Hak Sipil dan Politik.

2. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948


HAM sering dilihat sebagai sesuatu yang universal, sebe-
narnya dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dan budaya
telah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa di dunia melalui cerita
tentang sejarah mereka. Dalam setiap budaya masyarakat sebe-
narnya telah lama menganut konsep HAM, hal ini dapat
ditemukan dalam berbagai buku atau literatur-literatur sejarah
kehidupan setiap masyarakat di dunia, sehingga konsep HAM
ini tidak bisa dikatakan hanyalah konsep dari barat saja.
Referensi HAM dapat ditemukan dalam piagam PBB,
yaitu terdapat dalam pembukaannya dan pada Pasal 1, 13, 55,
56, 62, 68, dan 76 yang mengatur elaborasi berdasarkan isi dari
standar dan mekanisme untuk implementasi HAM.56 Pada
tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi
sebuah deklarasi umum HAM melalui Resolusi Nomor 217 (III).
Melalui pemungutan suara (voting) sebanyak 48 negara yang
mendukung terbentuknya deklarasi umum mengenai HAM ini,
satu negara menentang dan delapan negara memilih abstain,
negara-negara tersebut yaitu Byelorussian, Czechoslovakia,
Poland, Saudi Arabia, Ukraina, U.S.S.R., Union of South Africa,

56 Lihat Rhona K.M. Smith, hlm. 122-128


42 Iin Karita Sakharina
dan Yugoslavia. Deklarasi ini bukanlah instrumen yang mengi-
kat secara hukum melainkan hanya berupa imbauan atau seruan
moral bagi negara-negara untuk menghormati HAM. Namun
demikian, beberapa pasal di dalamnya adalah mengatur
mengenai prinsip umum dari hukum, seperti halnya Statuta
Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1) bagian C, dan yang
lebih penting adalah deklarasi ini di gunakan sebagai acuan
umum untuk menginterpretasikan Piagam PBB karena meru-
pakan produk dari Majelis Umum, dan kapasitas dari deklarasi
ini juga memiliki pengaruh hukum secara tidak langsung seperti
yang sering di gunakan oleh majelis dan juga para ahli hukum
sebagai bagian dari hukum PBB.
The Declaration has its own importance and cannot be regarded
as having merely a historical significance. In particular, many States
are not yet parties to the International Covenants (see below). The
Universal Declaration is also given Prominence in among others, the
Proclamation of Teheran, adopted by the United Nations Conference on
Human Rights : see the Final Act of the International Conference on
Human Rights, 22 April-13 May 1968 : UN doc. A / Conf. 32 / 41;
the Vienna Declaration and Programme of Action, adopted by the
World Conference on Human Rights on 25 June 1993; UN doc. A /
Conf. 157 / 23, 12 July 1993 (below p.151); and the Beijing Declara-
tion and Platform of Action adopted by Fourth UN World Conference

Iin Karita Sakharina 43


on Women Beijing 4-15 September 1995; UN doc. A / Conf. 177 /
20, 17 October 1995 (below p.211). See also the General Assembly‘s
Declaration on the Sixtieth Anniversary of the UDHR, 2008, (below
p.303).57
Selanjutnya pada ulang tahun yang ke-60 dari DUHAM
tahun 2008, dikeluarkan lagi sebuah deklarasi untuk memperi-
ngati 60 tahun adanya DUHAM, yang dikenal dengan nama:
Declaration on the Sixtieth Anniversary of the Universal Declaration
of Human Rights, 2008 (Deklarasi memperingati 60 tahun DU-
HAM).58 Isi dari deklarasi ini hanyalah memuat pernyataan-
pernyataan yang menegaskan penghormatan, martabat, kebeba-
san dan juga prinsip persamaan yang berlaku bagi semua
manusia di dunia seperti yang tertuang dalam paragrap dua
dari deklarasi ini :
“the UDHR calls upon to recognize and respect the dignity,
freedom and equality of all human beings. We applaud the
efforts undertaken by the states to promote and protect all
human right for all. We must strive to enhance international
cooperation and the dialogue among peoples and nations on the
basis of mutual respect and understanding towards this goal.
(Bahwa keberadaan DUHAM selama ini untuk mengakui

Lihat Ian Brownlie & Guy S. Goodwin-Gill, Brownlie’s Documents On


57

Human Rights, 6th Edition, (New York: Oxford University Press, 2010), hlm. 39
58 This Declaration was adopted by General Assembly Resolution 63 / 116
on 10 December 2008, without a vote, tulisan ini juga ada pada buku Brownlie,
edisi ke-6, hlm. 304
44 Iin Karita Sakharina
dan menghormati setiap martabat manusia, kebebasan
dan persamaan-persamaan yang ada pada setiap manu-
sia, dimana kita semua menyerukan pada negara-negara
untuk mempromosikan dan melindungi semua hak-hak
manusia. Kita harus menjalin kerjasama internasional dan
dialog antar bangsa berdasarkan prinsip saling menghor-
mati dan mengerti satu sama lain untuk tercapainya
tujuan ini)”.

Namun deklarasi ini hanyalah deklarasi untuk memperi-


ngati dan menghormati 60 tahun lahirnya UDHR sejak tahun
1948, sehingga hanya berupa pernyataan umum saja dan berupa
penegasan-penegasan secara umum, namun tidak memuat pa-
sal-pasal atau pun mengubah ketentuan dalam UDHR 1948.

3. Teori Kewajiban Negara Terhadap Hukum HAM Interna-


sional.
Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada
kewajiban untuk menghindari tindakan intervensi oleh negara,
ini mensyaratkan bahwa yang disebutkan terakhir tadi tidak
dapat diterima berdasarkan klausul-klausul tentang keterba-
tasan dan kondisi hukum yang relevan. Intervensi-intervensi
yang tidak dapat dijustifikasi dianggap sebagai pelanggaran
terhadap HAM. Oleh karena itu hak untuk hidup berkores-
pondensi dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan

Iin Karita Sakharina 45


pembunuhan. Sementara hak untuk mendapatkan pekerjaan
berkorespondensi dengan kewajiban negara untuk tidak
menyingkirkan orang lain secara sewenang-wenang dari sistem
tenaga kerja, dan sebagainya.
Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada
kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif,
administratif, peradilan dan praktis yang diperlukan untuk
memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan
sebesar mungkin.59 Kewajiban untuk melindungi HAM juga
menuntut aksi negara yang positif namun berbeda dari
kewajiban-kewajiban untuk memenuhi yang disebutkan diatas
untuk menghindari pelanggaran HAM oleh orang sebagai pri-
badi. Meskipun pada prinsipnya diakui cakupan sesungguhnya
dari perlindungan negara terhadap orang-orang sebagai pribadi
sangatlah kontroversial dan tidak jelas baik dalam teori maupun
praktiknya.
Wenche Barth Eide dan Uwe Kracht dalam bukunya
menjelaskan bahwa The ultimate responsibility for the realization of
human rights with states parties to the various treaties. This respon-
sibility must not be misinterpreted as a straightforward welfare

59 Manfred Nowak. Op., Cit., hlm. 51


46 Iin Karita Sakharina
function on the state vis a vis the citizens its jurisdiction.60 Kewajiban
untuk merealisasikan HAM oleh negara-negara anggota pada
berbagai perjanjian HAM yang telah ada. Tanggung jawab ini
tidak bisa disalah artikan sebagai fungsi langsung negara ter-
hadap kesejahteraan terhadap warga negaranya dalam yuris-
diksinya.
Ada 3 (tiga) tingkatan kewajiban negara dalam hukum
HAM internasional, yaitu :
i. Menghormati (to respect) yaitu negara diminta untuk
berulang kali melakukan intervensi langsung ataupun
tidak langsung dalam halam menikmati hak-hak
tersebut.
ii. Melindungi (to protect) yaitu negara diminta untuk
mengambil tindakan yang tepat sehingga dapat
mencegah pihak luar dari anggota untuk melakukan
intervensi dalam hal menikmati hak-hak tersebut.
iii. Untuk memenuhi (to fulfill), untuk menfasilitasi (to
facilitate) dan untuk menyediakan (to provide), yaitu
negara diminta untuk memasukkan secara tepat keda-
lam sistem hukum, administrasi, keuangan, proses
hukum, promosi dan tindakan lain yang dapat mendu-
kung terpenuhinya hak-hak tersebut, sementara untuk
penyediaan yaitu negara diminta secara langsung

60 Lihat Wenche Barth Eide & Uwe Kracht (eds), 2005, Food And Human
Rights In Development, Volume 1, Legal institution Dimensions And Selected
topic, (Oxford: Intersentia, 2005), hlm. 106
Iin Karita Sakharina 47
untuk menyediakan pendampingan atau pelayanan
guna terealisasinya hak-hak tersebut.61

Eide dan Kracht menjelaskan bahwa How state (and society


as a whole) meet their obligation and responsibility will vary
significantly from country to country, and states will have a margin of
discretion in choosing their approaches. But essentially states, and in
particular states parties to the ICESCR need to act on four fronts
(bagaimana negara dan masyarakat secara keseluruhan meme-
nuhi kewajiban dan tanggung jawab mereka adalah berbeda
dari satu negara ke negara lainnya, dan setiap negara mempu-
nyai standar masing-masing untuk memilih pendekatan yang di
lakukannnya, walaupun demikian tetap ada standar yang
ditetapkan oleh kovenan internasional hak ekosob bagi negara-
negara yang telah menjadi anggota di dalam kovenan tersebut,
yaitu62 :
- Adopt a national strategy to ensure food and nutrition
security for all, compliant with human rights principles
(mengadopsi strategi nasional untuk memastikan
ketersediaan bahan makanan dan gizi yang seimbang
untuk semua berdasarkan prinsip-prinsip HAM);

61 Lihat Oliver De Schuttler, International Human Rights Law, (New


York: Cambridge University Press, 2010), hlm. 242; lihat juga Manisuli Ssenjoyo,
hlm. 23-25
62 Wenche Barth Eide & Uwe Kracht (eds), Op. Cit., hlm. 108
48 Iin Karita Sakharina
- Set verifiable targets and benchmark for subsequent moni-
toring and accountability evaluation (mengatur sasaran
variabel dan jumlah untuk kepentingan monitoring
dan evaluasi);
- Adopt framework legislation and corresponding accountabi-
lity and remedy mechanism as key instrumens in the
implementation of the national strategy (mengadopsi ke-
rangka hukum dan akuntabilitas serta mekanisme
perbaikan sebagai kunci utama dalam melaksanakan
strategi nasional);
- Develop and maintain monitoring mechanism to gauge
progress towards target and benchmark and compliance with
obligations, and facilitate corrective legislation and adminis-
tration measures. (membangun dan menentukan meka-
nisme monitoring untuk perkembangan kedepan de-
ngan kewajiban dan ukuran fasilitas hukum dan
administrasi yang benar).

Di dalam Piagam PBB di atur bahwa The state also has


obligation at international level. This is enshrined in several human
rights instrumen. The UN Charter, in its preamble, article 1 and
chapter IX, commits the organization and its member states to inter-
national cooperation in promoting economic and social advancement.63
Sedangkan Deklarasi tentang hak atas pembangunan dijelaskan
bahwa The declaration on the right to development recognize a
collective international obligation to promote development. It requires

63 United Nations (1945): Charter of the United Nations, United Nations


Conference on International Organization, 26 June, San Francisco.
Iin Karita Sakharina 49
states to cooperate with each other ensuring development and elimi-
nating and obstacles to development64. Maksudnya adalah bahwa
negara memiliki kewajiban pada level internasional, Hal ini
termuat dalam beberapa instrumen dalam pembukaan piagam
PBB Pasal 1 pada bagian IX, memuat komitmen Internasional
untuk bekerjasama diantara negara-negara anggota untuk
memajukan ekonomi dan sosial. Deklarasi hak-hak untuk
kemajuan diakui sebagai kewajiban internasional bersama untuk
memajukan pembangunan. Negara-negara di minta untuk saling
bekerja sama dalam hal menghapuskan dan menghilangkan
rintangan yang ada untuk pembangunan.
Ida Eline Engh dalam bukunya menjelaskan bahwa state
parties to the ICESR are obliged to recognize the essential role of
international cooperation. Futrthermore, the state should comply with
its commitments to achive the full realization of the right to adequate
food and it should consider the development of further international
legal instrumens regarding the right to adequate food. States should
also refrain, at all times, from food embargoes or similar measures that
endanger condition for food production and access to food in other
countries, and should never use food as an instrumen of political and

64 Declaration on the Right to Development, General Assembly, New York


dalam Ida-Eline Engh, Developing Capacity to Realise Socio-Economic Rights,
(Portland: Intersentia, 2008), hlm. 147.

50 Iin Karita Sakharina


economic pressure65. Negara-negara anggota ICESCR wajib untuk
menyadari pentingnya kerjasama internasional. Lebih jauh,
negara-negara peserta harus memiliki komitmen untuk mening-
katkan realisasi penuh dari hak atas pangan dan hal ini harus
berdasarkan pada pembangunan jangka panjang dari instrumen
internasional yang mengikat secara hukum yang mengatur
mengenai hak atas pangan. Negara harus selalu menghindari
adanya pemberhentian suplai bahan makanan atau yang dapat
dikategorikan hal tersebut bahwa bahan makanan yang berba-
haya untuk suatu produksi dan juga akses terhadap makanan
dibeberapa Negara, selain itu tidak boleh menggunakan maka-
nan sebagai alat untuk menekan ekonomi dan politik suatu
negara.
Dalam pemenuhan Hak Ekosob, negara juga memiliki
kewajiban untuk menyediakan atau memenuhi hak-hak terse-
but ketika individu atau kelompok tidak dapat memenuhinya
sendiri, pada alasan yang paling mendasar adalah diluar dari
kontrol mereka, yang berarti mereka akan merusaknya. Hal ini
terjadi terutama pada kasus yang menimpa orang-orang yang
kurang beruntung atau rentan seperti orang miskin.66 Oleh

65 Ibid., hlm. 147


66Lihat Komentar Umum No.19 dari Kovenan Ekosob, Paragragh 48; Juga
lihat Manusuli Ssenjoyo, Op. Cit., hlm. 25
Iin Karita Sakharina 51
karena itu kewajiban negara pihak berdasarkan Kovenan Inter-
nasional Hak Ekosob secara spesifik harus memenuhi 2 (dua)
hal, yaitu :
i. Obligation of Conduct yaitu kewajiban bagi negara pera-
tifikasi untuk mengambil tindakan, kewajiban menge-
nai tindakan membutuhkan tindakan yang diper-
hitungkan dengan cermat untuk melaksanakan dipe-
nuhinya suatu hak tertentu.
ii. Obligation of Result yaitu kewajiban bagi negara pera-
tifikasi mengenai hasil, kewajiban mengenai hasil
mengharuskan negara untuk mencapai target tertentu
guna memenuhi standar substantif terinci.67

4. Hak Atas Pangan yang Layak


Hak atas bahan pangan yang layak diakui dalam bebe-
rapa instrumen hukum internasional, dimana kovenan interna-
sional hak ekosob mengatur mengenai hak ini secara lebih
komprehensif dibandingkan instrumen-instrumen lain. Hak atas
pangan yang layak ini merupakan hak fundamental atas kebe-
basan dari kelaparan dan kekurangan gizi. “The right to food is an
exclusive right, it is not a simply a right to a minimum ration of
calories, proteins and other specific nutrient. It is a rights to all
nutrients elements that a person needs to live a healthy and active life
and to the means to access them”. Bahwa hak atas pangan adalah

67 Ifdhal Kasim dkk (editor), Hak ekonomi, Sosial, Budaya, Esai-Esai


Pilihan, (Jakarta: Elsam, 2001), hlm. 375-376
52 Iin Karita Sakharina
hak yang ekslusif, tidak hanya sebatas pada hak untuk kalori
minimum, protein atau nutrisi khusus lainnya. Hak atas pangan
adalah termasuk juga hak untuk semua elemen nutrisi yang
diperlukan manusia untuk hidup sehat dan beraktifitas dan juga
bagaiamana mereka dapat mengakses hak atas pangan tersebut.
Hak atas bahan pangan yang layak dapat terwujud ketika setiap
laki-laki, perempuan dan anak-anak, sendiri atau dalam komu-
nitas, mempunyai akses fisik dan ekonomis sepanjang waktu
terhadap bahan pangan yang layak atau cara mendapatkannya.
Oleh karena itu, hak atas bahan pangan yang layak tidak bisa
diartikan dalam artian yang sempit dan terbatas yang menya-
makannya dengan paket minimum kalori, protein serta nutrien-
nutrien spesifik lainnya. Hak atas bahan pangan yang layak
haruslah diwujudkan secara progresif. Meski demikian, negara-
negara mempunyai kewajiban inti untuk mengambil tindakan-
tindakan yang diperlukan untuk mengurangi dan meringankan
kelaparan seperti diatur dalam Paragraf 2 pada Pasal 11, bahkan
dikala bencana alam atau lainnya.68
Sementara hak atas pangan yang layak menurut pelapor
khusus PBB mengenai hak atas pangan adalah :
“The right to have regular, permanent and free access, either
directly or by means of financial purchases, to quantitaively and

68 Komentar Umum Nomor 12 Mengenai Hak Ekosob.

Iin Karita Sakharina 53


qualitatively adequate and sufficient food corresponding to the
cultural traditions of people to which the consumer belongs, and
which ensure a phisical and mental, individual and collective
fulfilling and diginified life free of fear”.69

Maksudnya adalah bahwa hak atas pangan adalah hak


yang dimiliki secara permanen, regular dan bebas akses baik
secara langsung atau yang diartikan dengan pembelian terhadap
jumlah maupun kualitas dari kecukupan kelayakan makanan
yang berhubungan dengan tradisi budaya yang dimiliki setiap
orang dan termasuk di dalamnya secara fisik dan mental, secara
individu dan kelompok dengan jaminan terbebas dari rasa takut
akan kelaparan. Konsep kelayakan mempunyai hal yang signi-
fikan dalam kaitan hak secara khusus jika dikaitkan dengan hak
atas bahan pangan karena hal ini biasa di gunakan untuk mene-
gaskan banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan apakah suatu bahan pangan atau makanan tertentu
yang bisa didapatkan dapat dianggap yang paling layak dalam
suatu keadaan tertentu sesuai Pasal 11 kovenan internasional.70
Pangan yang layak pada gilirannya dapat diuraikan menjadi
beberapa elemen: kelayakan pasok pangan berarti bahwa jenis-
jenis bahan pangan yang tersedia (secara nasional, di pasar-

69 Lihat United Nations, Human Rights, The Right to Food, Fact Sheet
No. 34, (Geneva: FAO, 1945), hlm. 2
70 Komentar Umum Nomor 12 Hak Ekosob.
54 Iin Karita Sakharina
pasar lokal hingga level rumah tangga) harus dapat diterima
secara kultural (sesuai dengan kultur pangan atau pantang
makanan yang berlaku), selain dari itu, tersedianya pasok
pangan harus memenuhi tuntutan gizi secara kuantitas (energy)
dan kualitas (dimana tersedianya semua gizi utama, termasuk
mikronutrisi seperti vitamin dan iodine) dan tak kalah penting-
nya, aman (bebas dari faktor berbahaya dan tercemar) serta
bagus kualitasnya (misalnya rasa dan bentuknya).71 Komite hak
ekosob beranggapan bahwa inti dari hak atas bahan pangan
yang layak72 adalah :
1. Ketersediaan (availability)
Ketersediaan bahan pangan dalam kualitas dan kuan-
titas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
makanan individu, bebas dari subtansi yang meru-
gikan serta bisa diterima dalam budaya setempat.

2. Akses (accessibility)
Aksesibilitas bahan pagan itu berkesinambungan dan
tidak mengganggu pemenuhan HAM lainnya.73 Akses
pangan juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memperoleh manfaat dari sesuatu yang dapat
diolahnya menjadi bahan makanan. Stabilitas pasok
pangan dan akses pangan mengandaikan adanya

71 Lihat Asbjorn Eide dalam Ifdhal Kasim. Op. Cit., hlm. 102
72 Ibid.
73 Lihat Komentar Umum Nomor 12 Hak Ekosob.
Iin Karita Sakharina 55
lingkungan yang lestari, yang berarti bahwa terdapat
kebijaksanaan publik dan manajemen komuniti atas
sumber daya alam yang telah mendukung persediaan
pangan, dan juga ketahanan ekonomi dan sosial dalam
hal kondisi dan mekanisme untuk mengamankan akses
pangan.74
Keberlangsungan ekonomi dan sosial menuntut pem-
bagian pendapatan yang adil dan pasar yang efektif,
termasuk dukungan informal berbagai masyarakat dan
jaringan pengaman. Dukungan itu bisa berupa skim
jaminan pengaman sosial masyarakat dan juga ber-
bagai bentuk transaksi masyarakat, kegiatan-kegiatan
swadaya dan jaringan solidaritas.75 Sekertaris Jenderal
(Sekjen) PBB dalam General Assembly pada bulan
Agustus 2002 menyatakan bahwa76 perdagangan bebas
dan bioteknologi untuk dirinya sendiri juga sulit untuk
memecahkan masalah kelaparan dunia, dan dapat
seringkali menciptakan rintangan bagi realisasi hak
atas pangan, sebagaimana pelapor khusus PBB telah
menjelaskan dalam laporan sebelumnya. Kemudian
Sekjen PBB menyatakan, bahwa Special Rappoteur on the
right to food, percaya bahwa akses ke tanah adalah ele-
men kunci yang penting untuk menghapus kelaparan
di dunia. Hal ini berarti bahwa pilihan kebijaksanaan
seperti reforma agraria harus memainkan peranan
74 Lihat Asborn Eide dalam Ifdhal Kasim. Op. Cit., hlm. 102
75 Ibid.
76 Taufiqul Mujib, Hak Atas Pangan sebagai Hak Konstitusional,
(http//taufiqul mujib.wordpress.com/2001/09/30). Diakses Pada Hari Jumat, 7
Oktober 2011, Pukul: 21:45
56 Iin Karita Sakharina
penting dalam suatu strategi suatu negara dalam hal
keamanan pangan, di mana akses atas tanah adalah
mendasar. Seringkali reforma agraria dinyatakan seba-
gai pilihan yang ketinggalan jaman dan tidak efektif,
tetapi bukti tidaklah mendukung pernyataan itu.77
Rakyat harus mempunyai akses untuk membebaskan
dirinya dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan,
sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan,
dan rasa takut. Untuk itu, rakyat harus punya aset
yang bisa dikelola dan punya akses untuk member-
dayakannya. Petani harus punya tanah dan punya
akses terhadap modal, teknologi, pasar, manajemen
dan seterusnya. Petani harus punya alat-alat produksi,
punya kapasitas dan kemampuan untuk menyuarakan
kepentingan-kepentingannya, punya akses untuk
melahirkan inovasi-inovasi sosial yang menjadi prasya-
rat lahirnya perubahan sosial di pedesaan.

3. Penerimaan (acceptability)
Seluruh sarana produksi pangan harus menghormati
nilai dan budaya setempat. Penerimaan budaya dan
konsumen berarti bahwa juga harus dipertimbangkan,
sebisa mungkin unsur-unsur yang non nutrien yang
terkandung dalam makanan. Juga menginformasikan
pendapat konsumen tentang sifat dari suplai bahan
makanan yang bisa diakses.

77 Ibid.
Iin Karita Sakharina 57
4. Kualitas (quality)
Selain ketiadaan akses seperti telah disebutkan di atas,
persoalan pangan juga tidak terlepas dari fenomena
banjir makanan yang tidak sehat. Sebagian besar mas-
yarakat acapkali dihadapkan pada pilihan pangan
murah tidak sehat, di mana di dalamnya mengandung
bahan tambahan makanan (BTM) dan bahan pengawet
seperti boraks, formalin, sulfit, berbagai pewarna yang
disebarkan bukan hanya oleh pedagang kecil melain-
kan juga oleh pabrik-pabrik besar.

Prinsip umum dari hak atas pangan adalah yang pertama


bahwa pemenuhan hak atas pangan rakyat adalah tanggung
jawab negara, kedua ketahanan pangan hanya bisa dicapai jika
ada kecukupan lahan bagi produksi pangan, distribusi yang
baik, produksi pangan dan ketersediaan pangan yang dikon-
sumsi. Sementara ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik mutu dan jumlahnya,
aman, merata dan terjangkau.78 Hak atas pangan yang layak
juga diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Univer-
sal Declaration of Human Rights), Pasal 25 ayat (1) menyatakan
bahwa :
“Everyone has the right to a standard of living adequate for
health and well being of himself and of his family, including

78 Kaman Naiggolan, Op. Cit., hlm. 4


58 Iin Karita Sakharina
food, clothing, housing and medical care and necessary social
services, and the right to security in the event of unemploy-
ment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of
livelihood in circumstances beyond his control.79 (setiap orang
berhak atas taraf hidup yang layak untuk kesehatan dan
kesejahteraan diri dan keluarganya termasuk hak atas
pangan…”

Kemudian pada Pasal 11 Kovenan ICESCR yang


mengatakan :
“The state parties to the present covenant recognize the right of
everyone to an adequate standard living for himself and his
family, including adequate food, clothing and housing to conti-
nuos improvement living conditions. The state parties will take
appropriate steps to ensure the realization of this right, recog-
nizing to this effect, the essential importance of international
cooperations based on free consent”.80 (negara penanda-
tangan kovenan mengakui hak setiap orang atas standar
hidup yang layak untuk drinya dan keluarganya, negara
pihak akan mengambil langkah-langkah untuk memas-
tikan terealisasinya hak ini, mengakui efek dan kerjasama
yang penting dengan berdasar pada kepentingan yang
bebas).

Pasal 27 Konvensi Hak-Hak Anak (International Conven-


tion on the Right of The Children) “Negara penandatangan menga-

79 Lihat Ian Brownlie & Guy S. Goodwin-Gill, Op. Cit., hlm. 43


80 Ibid., hlm. 374
Iin Karita Sakharina 59
kui hak setiap anak atas standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosialisai
anak”. Dalam hal ini walaupun istilah standar hidup yang layak
belum di berikan definisi yang yang lebih tepat dalam intrumen-
instrumen tersebut diatas, namun menurut Asbjorn Eide,81 da-
pat diartikan secara lebih luas dengan pemahaman bahwa yang
dimaksud dengan “kesehatan dan kesejahteraan yang layak”
disini adalah pangan, perumahan dan perawatan medis dan
pelayanan sosial bila diperlukan. Kelayakan pangan menjadi
utama demi tercapainya suatu kesejahteraan bagi setiap orang
karena pangan adalah hak yang paling fundamental yang harus
dipenuhi karena dia bisa menjadi sumber kehidupan yang
utama. Orang tidak akan bisa melakukan apa-apa jika dalam
keadaan lapar.
Konsep kelayakan mempunyai signifikansi secara khusus
dalam kaitan hak atas bahan pangan karena ini bisa dipergu-
nakan untuk menegaskan banyak faktor yang harus dipertim-
bangkan dalam menentukan apakah suatu bahan pangan atau
makanan tertentu yang didapatkan bisa dianggap yang paling
layak dalam suatu keadaan tertentu sesuai Pasal 11 kovenan.
Gagasan mengenai kesinambungan secara intrinsik berkaitan
dengan gagasan mengenai bahan pangan yang layak atau
81 Lihat Ifdhal Kasim dkk, Op., Cit. hlm. 100

60 Iin Karita Sakharina


jaminan bahan pangan, dimaksudkan bahwa bahan pangan bisa
didapatkan baik untuk generasi saat ini maupun yang akan
datang. Arti sesungguhnya dari “kelayakan” secara luas ditentu-
kan oleh keadaan sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekologis dan
lain-lain yang terjadi saat ini, sedangkan “kesinambungan”
berkaitan dengan gagasan persediaan dan aksesibilitas jangka
panjang.82
Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia memerlukan lebih
dari sekedar kebutuhan dasar pangan, pakaian dan perumahan
agar bisa menjalani kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Kela-
yakan standar hidup dapat diartikan sebagai cara memper-
tahankan tingkat kehidupan diatas garis kemiskinan. Dimana
realisasi HAM ini adalah penuntutatan atas dihapuskannya
kemiskinan di seluruh dunia, seperti yang digambarkan dalam
Four Freedom Address pada tahun 1941 yang akhirnya menjadi
salah satu inspirasi dari DUHAM 1948 serta instrumen HAM
lainnya83.
Sementara dalam peraturan hukum nasional sendiri, hak-
hak atas pangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun
2012 tentang Pangan, dimana undang-undang tersebut menyata-
kan bahwa pangan adalah kebutuhan dasar yang pemenu-

82 Lihat Komentar Umum Nomor 12 Hak Ekosob.


83 Ifdhal Kasim, Op. Cit., hlm. 100-101
Iin Karita Sakharina 61
hannya menjadi hak asasi bagi setiap rakyat Indonesia dalam
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
melaksanakan pembangunan nasional. Pelanggaran terhadap
hak atas pangan dapat terjadi jika negara gagal memuaskan, hal
yang paling kecil adalah pada kebutuhan ditingkatan level
minimum untuk bebas dari rasa lapar. Dalam menentukan suatu
tindakan atau jumlah pembiaran mengenai hak atas pangan, hal
yang penting untuk membedakan ketidakmampuan dari keti-
daksungguhan suatu negara untuk menyetujuinya. Apakah
sudah seharusnya negara pihak mendesak sumber yang paling
dekat untuk membuat suatu hal yang mustahil dalam hal
penyediaan makanan bagi mereka yang tidak mampu untuk
mengakses, negara harus menunjukkan bahwa hasil yang telah
dibuat, di gunakan untuk semua sumber yang dapat mengha-
silkan sebuah kepuasan sebagai prioritas utama.84
Selain itu pemerintah Indonesia juga sudah mengeluar-
kan undang-undang mengenai ketahanan pangan pada tahun
2002. Definisi ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, me-

84 Wenche Bart Eide. Op. Cit., hlm. 107

62 Iin Karita Sakharina


rata dan terjangkau.85 Dalam undang–undang ini juga memba-
has pengertian pangan, bahwa yang dimaksud dengan pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan
bahan lain yang di gunakan dalam proses penyiapan, pengo-
lahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman86.
Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan pemenu-
han syarat gizi, masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin
di Indonesia. Bila kerawanan pangan diukur dari kriteria
kebutuhan konsumsi minimum 2.100 Kkal/hari, maka pada
tahun 2011, 60 persen penduduk Indonesia yang berpenghasilan
rendah mengalami rawan pangan, jumlah anak yang menderita
busung lapar dan gizi buruk akan terus meningkat.

5. Hubungan antara Hak Atas Pangan dengan HAM lainnya


HAM memiliki hubungan saling ketergantungan satu
dengan lainya, tidak terpisahkan dan saling berhungan. Hal ini
berarti bahwa melanggar hak atas pangan juga dapat merusak

85 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 2002 tentang


Ketahanan Pangan.
86 Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 68 Tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan.
Iin Karita Sakharina 63
HAM-HAM lainnya, seperti hak atas kesehatan, pendidikan dan
lainnya.
Menurut Catatan FAO,87 ada 10 komponen HAM yang
berhubungan dengan hak atas pangan, yaitu :
1. Hak atas Kesehatan
Nutrisi adalah sebuah komponen baik pada hak atas
pangan dan juga hak atas kesehatan, ketika seorang
ibu hamil atau ibu menyusui tidak mendapatkan akses
pada makanan, maka dia dan bayinya akan kekura-
ngan gisi walaupun dia mendapatkan perawatan sebe-
lum dan setelah melahirkan. Ketika anak-anak mende-
rita diare namun tidak mendapatkan akses untuk pera-
watan kesehatan, juga tidak bisa menikmati nutrisi
yang layak walaupun anak tersebut memiliki akses
terhadap makanan.

2. Hak atas Kehidupan


Ketika orang tidak bisa mendapatkan makanan maka
resiko yang dihadapinya adalah kematian akibat kela-
paran, gizi buruk atau gangguan penyakit lainnya,
maka hak mereka untuk hidup menjadi terancam.

3. Hak atas Air


Hak atas pangan tidak dapat terealisasi jika orang ke-
kurangan akses untuk mendapatkan air bersih baik
untuk penggunaan secara individu, kebutuhan rumah

87FAO, Voluntary Guidelines; to Support the Progressive Realization of


the Right to Adequate Food in the Context of National Food Security, (Rome:
Adopted by the Session of the FAO Council, 2004), hlm. 5-6
64 Iin Karita Sakharina
tangga yang biasanya di gunakan untuk mencuci
pakaian, memasak dan untuk kebutuhan lainnya.

4. Hak atas Perumahan yang Layak


Ketika seseorang memiliki fasilitas (ruangan) di dalam
rumahnya yang tidak layak di gunakan untuk mema-
sak atau menyimpan makanan misalnya, maka hak
atas pangan dapat terganggu begitupun jika harga
perumahan sangat mahal maka orang akan memang-
kas pengeluarannya untuk membeli makanan yang
bergisi tinggi.

5. Hak atas Pendidikan


Kelaparan dan kekurangan gizi dapat merusak ke-
mampuan anak-anak untuk belajar dan dapat memak-
sa mereka untuk berhenti sekolah dan akhirnya memi-
lih untuk bekerja diusia dini. Hal ini tentu menggang-
gu pada hak untuk menikmati pendidikan. Bagaimana-
pun untuk bebas dari rasa lapar dan kekurangan gizi,
setiap orang harus mengetahui bagaimana mengatur
nutrisi yang ada dan harus memiliki kemampuan dan
kapasitas untuk menghasilkan makanan bagi kehidu-
pan sehar-harinya. Akses terhadap pendidikan, terma-
suk pendidikan kejuruan adalah penting untuk menik-
mati hak atas pangan.

6. Hak atas Pekerjaan dan Jaminan Sosial


Pekerjaan dan jaminan sosial juga kadang sangat
menentukan untuk memperoleh makanan, dengan
kata lain, upah minimum dan jaminan sosial kadang
Iin Karita Sakharina 65
menjadi acuan dalam menentukan harga-harga bahan
dasar pangan di pasaran.

7. Hak atas Kebebasan untuk Berkumpul dan Mengambil


Peran di Depan Publik
Hak ini juga penting untuk kelompok marginal dan
orang-orang pinggiran untuk membuat suara mereka
didengar di depan publik terutama mengenai kebija-
kan yang berkaitan dengan hak atas pangan sehingga
hak atas pangan mereka akan terlindungi.

8. Hak atas Informasi


Informasi adalah suatu hal yang juga krusial pada hak
atas pangan, dimana membuat individu mengetahui
tentang makanan dan nutrisinya, pasar dan alokasi
sumberdayanya. Hal ini diperkuat dengan adanya
partisipasi publik dan kebebasan kostumer untuk me-
milih. perlindungan dan promosi mengenai hak untuk
mencari, menerima dan mengetahui informasi untuk
menikmati hak atas pangan.

9. Hak atas Kebebasan dari Bentuk-Bentuk Terburuk


Pekerja Anak
Anak-anak dan orang tua yang menderita kelaparan
dan gizi buruk kadang lebih rentan untuk direkrut
pada bentuk-bentuk terburuk dari pekerjaan anak
untuk dapat bertahan hidup seperti tentara anak dan
prostitusi anak.

66 Iin Karita Sakharina


10. Hak untuk Bebas dari Penyiksaan, Penganiayaan dan
Perlakuan yang Tidak Berperikemanusian
Kekurangan akses terhadap bahan makanan yang
layak bagi para narapidana di penjara dapat menga-
rah adanya kekerasan atau perlakuan yang tidak ma-
nusiawi.

Iin Karita Sakharina 67


68 Iin Karita Sakharina
BAB III
KEWAJIBAN INDONESIA SEBAGAI
NEGARA PIHAK DARI KOVENAN
INTERNASIONAL HAK EKOSOB

Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari anggota


masyarakat internasional, sehingga Indonesia juga seharusnya
tunduk pada hukum dan kebiasa5an internasional yang ada.
Salah satu bentuk perwujudan negara untuk menghormati
kaidah-kaidah dalam hukum internasional yang berlaku adalah
dengan cara consent to be bound by international treaty yaitu setuju
untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional
yang ada. Setuju untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional tentunya dengan segala konsekuensi yaitu tunduk
dan menghormati aturan-aturan yang ada dalam suatu hukum
internasional mengenai suatu hal atau masalah. Seperti yang
dikaji penulis dalam tulisan ini yaitu kovenan internasional
mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Adapun cara untuk mengikatkan diri dalam suatu per-
janjian internasional yaitu melalui ratifikasi. Selain itu dalam
melihat konteks hubungan antara hukum internasional dan
hukum nasional yaitu dengan adanya dua paham yang berkem-
Iin Karita Sakharina 69
bang. Pertama adalah paham monisme, yaitu antara hukum
internasional dan hukum nasional dipandang sebagai satu
hukum yang sama dengan memandang hukum internasional
sebagai primat yang utama, sementara paham dualisme adalah
memandang antara hukum internasional dan hukum nasional
sebagai dua aliran hukum yang berbeda. Negara Republik
Indonesia menganut paham dualisme sehingga untuk terikat
dalam sebuah intrumen hukum internasional maka harus
melalui proses ratifkasi, karena dengan diratifikasinya suatu
perjanjian internasional maka suatu negara secara sukarela akan
tunduk pada hukum internasional yang berlaku mengenai suatu
masalah tertertu. Seperti halnya dengan kovenan internasional
mengenai hak ekosob ini.

A. Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya


Kovenan Internasional Hak Ekosob secara umum meru-
juk pada elaborasi poin-poin penting dari hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, khususnya kodifikasi yang lebih mendalam
pada tingkatan internasional dan domestik.88 Hak ekosob adalah
hak yang tidak terpisahkan dari hukum HAM internasional,
kovenan internasional ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB
pada tahun 1966, bersamaan dengan kovenan internasional hak

88 Lihat Azizur Rahman Chowdhury & Jahid Hossain Bhuiyan, Op. Cit.,
hlm. 131
70 Iin Karita Sakharina
sipol dan berlaku pada tahun 1976.89 Perjanjian ini adalah
bersifat legally binding (mengikat secara hukum) dan menjadi
kewajiban bagi negara peserta. Kovenan hak ekosob merupakan
perjanjian internasional yang paling penting untuk dikodifikasi
“generasi kedua” HAM dan memuat hak-hak ekonomi yang
penting antara lain hak untuk bekerja, hak untuk kondisi kerja
yang adil dan menyenangkan, kemudian hak-hak sosial ini
antara lain, hak atas standar kehidupan yang layak, meliputi hak
atas atas pangan, sandang, dan papan, hak atas perlindungan
keluarga, dsb. Kemudian hak budaya, antara lain hak-hak atas
atas pendidikan, perlindungan kekayaan intelektual.
Berdasarkan perkembangan historis di atas, Karel Vasak90
membagi HAM ke dalam tiga generasi, yakni:
(a) Generasi pertama, hak-hak sipil dan politik (liberté);
(b) Generasi kedua, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
(egalité);
(c) Generasi ketiga, hak-hak solidaritas.

89 This appears in the annex to General Assembly Resolution 2200 A (XXI) of 16


December 1966; for the text in various languages, see 993 UNTS 3. The covenant entered
into force on 3 January 1976, in accordance with article 27. The Committee on Economic,
Social and Cultural Rights was established under Ecosoc Resolution 1985 / 17, 28 May
1985, to carry out the monitoring functions assigned to Ecosoc in Part IV of the
Covenant. See http:www2.ohcr.org/English/bodies/cescr/index.htm. Diakses
Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 20:00

Lihat Satya Arinanto, Op., Cit., hlm. 78; Lihat juga Irene Hadi Prayitno,
90

Hazard or Right, (Portland: Intersentia, 2009), hlm. 31


Iin Karita Sakharina 71
Generasi pertama yang sering disebut hak sipol berasal
dari teori-teori kaum reformis di awal abad ke-17 dan 18 yang
berkaitan dengan revolusi di Inggris, Amerika Serikat dan
Perancis. Generasi ini dipengaruhi filsafat individualisme liberal
dan doktrin sosial-ekonomi laissez-faire (filsufnya seperti Hob-
bes dan Locke). Generasi ini meletakkan posisi HAM lebih pada
terminologi yang negatif (“bebas dari”) daripada terminologi
yang positif (“hak dari”). Dalam konsepsi ini, ketiadaan
intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia lebih
dihargai. Termasuk generasi ini adalah hak-hak yang dirumus-
kan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 21 Deklarasi HAM
PBB.91
Generasi kedua ialah yang tergolong pada hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya yang berakar pada tradisi sosialis
seperti Saint Simonians pada awal abad ke-19 di Perancis.
Generasi ini timbul sebagai bagian dari kritik terhadap perkem-
bangan kapitalisme yang mengeksploitasi kelas pekerja dan
masyarakat kolonial. Ini diadopsi oleh Pasal 22-27 Deklarasi
HAM PBB.92 Generasi ketiga yang mencakup hak-hak solidaritas

91 Lihat Satya Arinanto dalam buku R. Muhammad Mihradi, Pengantar


Memahami Hak Ekosob, (Uni Eropa: Pusat Telaah dan Informasi Regional
bekerja sama dengan European Initiative for Democracy and Human Rights /
EIDHR, 2005), hlm.5
92 Ibid.
72 Iin Karita Sakharina
merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebe-
lumnya. Ia dapat dipahami dengan cara terbaik sebagai suatu
produk, sekalipun sebagian masuk dalam proses pembentukan
dari kebangkitan dan kejatuhan negara dan bangsa dalam paruh
kedua dari abad ke-20. Tercantum dalam Pasal 28 Deklarasi
HAM PBB, ia mencakup enam hak sekaligus. Tiga di antaranya
merefleksikan bangkitnya nasionalisme negara dunia ketiga dan
keinginan untuk mendistribusikan kembali kekuatan, kekayaan,
dan nilai-nilai lain yang penting.93
Hak ekosob dapat dirumuskan berdasarkan berbagai
ketentuan internasional, khususnya kovenan internasional hak-
hak ekosob (ICESR), sebagai hak dasar manusia di bidang
ekonomi, sosial dan budaya yang harus dilindungi dan dipenuhi
agar manusia terlindungi martabat dan kesejahteraannya. Kove-
nan Internasional hak-hak ekosob itu sendiri diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan the International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights. Hak ekosob secara penuh diakui masyarakat
internasional dan hukum internasional mengenai HAM. Meski-
pun ketika itu hak ini mendapat perhatian lebih sedikit diban-
dingkan hak sipol, namun kini hak ekosob memperoleh perha-

93 Ibid.
Iin Karita Sakharina 73
tian yang jauh lebih serius daripada sebelumnya. Apalagi di
dalam praktik, khususnya di negara-negara dunia ketiga, hak
ekosob biasanya terabaikan. Indonesia, dalam konteks ini,
merupakan salah satu bagian dari negara yang belum memak-
simalkan diri menjamin hak ekosob94.
Kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memenuhi
hak ekosob bagi warga negaranya didasarkan atas komitmen
internasional yang terkandung dalam perjanjian internasional
tentang hak Ekosob. Negara Republik Indonesia berkewajiban
memenuhi hak-hak ekosob bagi warga negara Indonesia.
Kendati sama-sama sebagai HAM maupun satu sama lain tidak
dapat dipisahkan, tetapi pemenuhan atau pelaksanaan hak
ekosob berbeda dengan pelaksanaan hak sipol. Perbedaan
terletak pada peran negara dalam menjalankan kewajiban dan
tanggung jawabnya.95
Pelaksanaan hak sipol akan menjadi optimal jika peran
atau campur tangan negara sangat minimamal. Jika negara
mencampuri kebebasan setiap orang, maka hak atas kebebasan
pasti terancam. Peran negara cukup menjamin pelaksanaan hak-
hak ini melalui konstitusi dan Undang-Undang. Berbeda dengan

94 R Muhammad Mihradi, Ibid., hlm. 6

95 Lihat Hendardi, Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Sebagai Hak


Legal, Jurnal Dinamika HAM, Volume 3 Nomor 3, Oktober 2003, PusHAM
Ubaya, hlm. 217
74 Iin Karita Sakharina
hak sipol, maka hak ekosob membutuhkan peran kekuasaan
negara yang lebih besar. Dasarnya, sumber-sumber ekonomi
dan sosial bagi pemenuhan kebutuhan manusia selalu bersifat
terbatas, sehingga ada sejumlah yang menganggur, kekurangan
pangan bahkan sama sekali tidak dapat menikmati hak atas
perumahan, karena itu dalam pemenuhan hak ekosob, peranan
pemerintah harus lebih besar. Pemerintah harus mengeluarkan
sejumlah peraturan kebijaksanaan96 yang berorientasi pada
kepentingan umum agar distribusi hasil-hasil pengelolaan sum-
ber daya ekonomi dan sosial lebih merata. Pemerintah perlu
mengatur langkah-langkah kebijaksanaannya agar pengelolaan
sumber-sumber ekonomi dan sosial tak terkonsentrasi pada
tangan segelintir orang.97
Hak Ekosob dibuat dengan tujuan menjamin perlindu-
ngan terhadap manusia berrdasarkan pemahaman bahwa setiap
96 Istilah kebijaksanaan hampir serupa dengan istilah kebijakan, namun
menurut Girindo Priggodigdo, dalam Abdul Razak ;memberikan penjelasan
bahwa ada perbedaan antara istilah kebijaksanaan (policy beleid) dan kebijakan
(wisdom wisjheid). Menurut Pringgodigdo, kebijksanaan adalah serangkaian
tindakan atau kegiatan yang direncanakan dibidang hukum untuk mencapai
tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Orientasinya pada pembentukan dan
penegakan hukum masa kini dan masa depan. Adapun kebijakan adalah tinda-
kan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta siatuasi/
kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan di bidang huku bersifat
pengaturan yang dapat bersifat penaguturan (tertulis) dan/atau keputusan
tertulis atau lisan yang antara lain berdasarkan kewenangan/kekuasaan diskresi
(discretionary power/freies Ermessen), Abdul Razak, Peraturan Kebijakan
(Beleidsregels), (Yogyakarta: Republik dan Rangkang Education, 2013), hlm. 24
97 Ibid., hlm. 218
Iin Karita Sakharina 75
orang berhak untuk menikmati hak, kebebebasan dan keadilan
sosial secara bersama-sama98
Isi dari Kovenan Hak Ekosob ini terdiri dari 3 (tiga)
bagian, yaitu :
1. Bagian I: memuat hak setiap penduduk untuk menen-
tukan nasib sendiri dalam hal status politik yang bebas
serta pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.
2. Bagian II: memuat kewajiban atau obligasi negara
pihak untuk melakukan semua langkah yang diper-
lukan dengan berdasar pada sumber daya yang ada
untuk mengimplementasikan kovenan dengan cara-
cara yang efektif, termasuk mengadopsi kebijakan
yang diperlukan.
3. Bagian III: memuat jaminan hak-hak warga negara:
a. Hak atas pekerjaan
b. Hak mendapatkan program-program pela-
tihan teknis dan vokasional ;
c. Hak untuk mendapatkan kenyamanan dan
kondisi kerja yang baik
d. Hak untuk membentuk serikat buruh
e. Hak untuk menikmati jaminan sosial ter-
masuk asuransi sosial
f. Hak untuk menikmati perlindungan pada
saat dan setelah melahirkan
g. hak atas standar hidup yang layak, terma-
suk pangan, sandang, pakaian dan peru-
mahan

98 Lihat R Muhammad Mihradi, Op. Cit., hlm. 6

76 Iin Karita Sakharina


h. hak untuk terbebas dari kelaparan
i. hak untuk menikmati standar kesehatan
fisik dan mental yang tinggi
j. hak atas pend, idikan, termasuk pendidi-
kan dasar secara cuma-cuma

Melihat isi dari kovenan Ekosob tersebut, jelas bahwa


pengaturan mengenai hak atas pangan adalah termasuk dari
pemenuhan hak ekosob bagi setiap invidu oleh negara, sebagai-
mana yang dikatan Eide99 bahwa adalah kewajiban negara
sebagai konsekuensinya menjadi bagian dari masyarakat inter-
nasional dan tunduk di dalam instrumen HAM internasional
untuk menjalankannya dengan itikad baik100. Hal ini telah
menjadi aturan standar dalam semua sistem HAM internasional.
Merujuk pada Pasal 26 Konvensi Wina tentang Perjanjian
internasional 1969 bahwa: “every treaty in force is binding upon the
parties to the treaty and must be performed by them in good faith”
(Setiap perjanjian telah mengikat para pihak dan wajib dilak-
sanakan dengan itikad baik).

99Lihat Asbjorn Eide, Economi, Social Culture Rights, at Text Book


Second Revised Edition, (Martinus Nijhoff Publisher, 2001), hlm. 9

100 Obligation undertaken by states, and consequently by international


community, under international human rights instrumens shall be implemented in good
faith.

Iin Karita Sakharina 77


Menurut F. Viljoen bahwa The inclusion of socio-economic
right in constitution comes in two forms; the rights may be part of a
Bill of rights and consequently directly enforceable in courts, or they
may be Directive Principles and mere guides to policy and law making
or interpretation of other provision and laws. 101 Kovenan juga
mengatur adanya persamaan hak antara laki-laki dan perem-
puan dalam hal pemenuhan hak ekosobnya sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 3, yaitu: “Negara Pihak Kovenan ini
akan menjamin hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan
untuk menikmati seluruh hak ekonomi, sosial, dan budaya yang
tercantum dalam Kovenan ini”.
Perempuan sering menderita kesulitan besar dan tidak
sebanding dalam mempertahankan hak asasinya, termasuk hak
ekosob. Pasal 3 memberikan jaminan bahwa laki laki dan
perempuan memiliki hak hukum yang sama atas hak sebagai-
mana dicantumkan dalam Kovenan, dan bahwa, apabila diper-
lukan, upaya-upaya khusus akan di lakukan oleh Negara Pihak
untuk menjamin tercapainya kedudukan yang sama ini.
Kovenan ini memberi kerangka kerja untuk menganjur-
kan langkah-langkah bertahap dan yang segera mungkin
sehingga perempuan dapat menikmati hak yang sama yang
seringkali tidak mereka dapatkan. Sebagai contoh, ketentuan

101 Lihat F. Viljoen dalam buku Ida-Eline Engh. Op. Cit., hlm. 199
78 Iin Karita Sakharina
tentang hak atas perumahan pada Pasal 11 ayat (1) Kovenan,
diberlakukan secara sama pada laki laki maupun perempuan
sehingga dengan demikian, perempuan mempunyai hak yang
sama atas pewarisan rumah, suatu yang tidak terjadi pada
beberapa Negara. Dengan demikian, Pasal 3 dan Pasal 2 ayat (2)
secara bersama-sama memberikan perlindungan hukum yang
signifikan terhadap segala bentuk diskriminasi dalam mengejar
hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Selain mengatur tentang persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan, kovenan internasional ini juga memuat bebe-
rapa pembatasan-pembatasan untuk negara yang telah dan akan
menjadi negara pihak pada kovenan ini. Pembatasan-pemba-
tasan tersebut diatur di dalam beberapa pasal yang ada dalam
kovenan ini.
Pasal 4
Negara Pihak Kovenan ini mengakui bahwa, kalau
pemenuhan hak yang dijamin oleh Negara sesuai dengan
Kovenan ini, Negara hanya dapat mengenakan pemba-
tasan terhadap hak tersebut sesuai dengan ketentuan
hukum yang sesuai dengan sifat hak tersebut, dan
semata-mata di lakukan untuk meningkatkan kesejah-
teraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal 5
1. Kovenan ini tidak boleh ditafsirkan sebagai membe-
rikan hak kepada suatu negara, perorangan atau
Iin Karita Sakharina 79
kelompok, untuk terlibat dalam suatu kegiatan apapun
atau melaksanakan suatu tindakan apapun, yang
bertujuan merusak hak atau kebebasan yang diakui
dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak tersebut
dalam tingkat yang lebih besar dari pada yang
tercantum dalam Kovenan ini.
2. Tidak ada pembatasan atau pengurangan apapun ter-
hadap HAM yang diakui atau terdapat di suatu nega-
ra berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau
kebiasaan, dapat diterima dengan alasan bahwa kove-
nan ini tidak mengakui hak itu atau mengakuinya
pada tingkat yang lebih rendah.

Perancang Kovenan tidak bermaksud agar negara dapat


secara bebas menggunakan Pasal 4 dan 5 untuk melakukan
pembatasan terhadap hak yang diberikan, melainkan, keten-
tuan-ketentuan ini dirumuskan sedemikian rupa untuk melin-
dungi hak individu. Pasal-pasal itu juga tidak dirancang untuk
mengajukan pembatasan atas hak yang dapat mempengaruhi
penghidupan atau kelangsungan hidup individu atau integritas
seseorang.
Bila suatu Negara Pihak merasa perlu untuk menggu-
nakan ketentuan pasal ini, negara itu hanya dapat melaku-
kannya bilamana dilandasi hukum dan hanya bila langkah-
langkah itu sejalan dengan Kovenan. Langkah-langkah itu tidak
dapat diterapkan sewenang-wenang, tanpa alasan yang layak

80 Iin Karita Sakharina


ataupun dengan cara yang diskriminatif. Lagipula, individu-
individu harus diberi jaminan hukum dan ganti rugi yang layak
menghadapi penerapan pembatasan yang melawan hukum
ataupun yang melanggar hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Istilah “masyarakat demokratis” (Pasal 4) lebih jauh membatasi
pemberlakuan suatu batasan berdasarkan kovenan, dan kare-
nanya menjadi kewajiban negara untuk membuktikan bahwa
pembatasan yang ada tidak merugikan fungsi demokrasi dalam
masyarakat.
Tidak satupun ketentuan dalam hukum yang berhu-
bungan dengan pembatasan dapat diartikan untuk meniadakan
suatu hak atau kebebasan yang diakui kovenan. Maksud utama
Pasal 5 ayat (2) adalah memberi jaminan agar ketentuan-
ketentuan dalam Kovenan ini tidak diberi tafsiran yang meru-
gikan ketentuan hukum dalam negeri ataupun instrumen-
instrumen hukum lain yang telah berlaku atau yang akan ber-
laku yang menjanjikan perlakuan yang lebih baik pada orang-
orang yang dilindungi.
Hak ekosob mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam hukum HAM internasional, hak ekosob menjadi acuan
pencapaian bersama dalam pemajuan ekonomi, sosial, dan

Iin Karita Sakharina 81


budaya.102 Paling tidak ada 3 (tiga) alasan kenapa hak ekonomi,
sosial, dan budaya mempunyai arti yang sangat penting :
1. Hak ekosob mencakup berbagai masalah paling utama
yang dialami manusia sehari-hari : makanan yang
cukup, pelayanan kesehatan, dan perumahan yang
layak adalah yang diantara kebutuhan pokok (basic
necessities) bagi seluruh umat manusia;
2. Hak ekosob tidak bisa dipisahkan dengan HAM yang
lainnya; interdependensi HAM adalah realitas yang
tidak bisa dihindari saat ini. Misalnya saja, hak untuk
memilih dan kebebasan mengeluarkan pendapat akan
tidak banyak artinya bagi mereka yang berpendidikan
rendah karena pendapatan mereka tidak cukup untuk
membiayai sekolah;
3. Hak ekosob mengubah kebutuhan menjadi hak :
seperti yang telah diulas di atas, atas dasar keadilan
dan martabat manusia, hak ekosob memungkinkan
masyarakat menjadikan kebutuhan pokok mereka
sebagai sebuah hak yang harus di klaim (rights to claim)
dan bukannya sumbangan yang didapat (charity to
receive).103

Kovenan seringkali disalahartikan bahwa pemenuhan


hak ekosob akan terwujud setelah atau apabila suatu negara

102 Lihat Ifdhal Kasim dalam El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM,


Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2008), hlm. xxv
103 El Muhtaj, Tanggung Jawab Negara Dalam Hal Pemenuhan Hak
Ekosob, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 2
82 Iin Karita Sakharina
telah mencapai tingkat perkembangan ekonomi tertentu.
Padahal yang dimaksudkan dengan rumusan tersebut adalah
mewajibkan semua negara peserta untuk mewujudkan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, terlepas dari tingkat perkembangan
ekonominya atau tingkat kekayaan nasionalnya.104

1. Komite Hak Ekosob


Pembentukan dan komposisi komite tidak seperti lima
badan perjanjian HAM lainnya, Komite Hak Ekosob tidak ber-
diri atas kesepakatan instrumennya. Tetapi Dewan Ekonomi dan
Sosial membentuk Komite, akibat hasil kerja yang tidak me-
muaskan dari dua dewan sebelumnya, yang dipercaya untuk
mengawasi kovenan. Komite didirikan 1985, bertemu pertama
kali pada 1987 dan sampai sekarang telah menyelenggarakan 14
kali persidangan. Pertemuan di lakukan tahunan, saat ini komite
melakukan pertemuan dua kali dalam setahun, melaksanakan
sidang selama dua sampai tiga minggu, umumnya pada Mei
dan November/Desember. Seluruh pertemuan ini dilaksanakan
di kantor PBB di Jenewa.
Komite beranggotakan 18 orang yang merupakan para
ahli dengan kemampuan yang telah diakui dalam bidang HAM.
Anggota Komite adalah orang-orang yang independen dan

104 Ibid., hlm. 3


Iin Karita Sakharina 83
mengabdi berdasarkan kemampuannya masing-masing, bukan
merupakan perwakilan dari pemerintahnya. Saat ini komite
terdiri dari 13 (tiga belas) orang laki-laki dan 5 (lima) orang
perempuan. Komite memilih sendiri ketuanya, tiga wakil ketua
dan pelapor. Anggota komite dipilih oleh Dewan Ekonomi dan
Sosial untuk masa empat tahun dan dapat dipilih kembali bila
yang bersangkutan masuk nominasi lagi. Jadi Komite meru-
pakan bagian dari Dewan Ekonomi dan Sosial dan kewenangan
resminya berasal dari dewan tersebut. Pemilihan di lakukan
melalui pemilihan suara rahasia berdasarkan daftar nama calon
yang diajukan Negara Pihak kovenan.
Negara yang belum meratifikasi kovenan tidak dapat
mencalonkan warganya untuk menduduki jabatan dalam komi-
te. Prinsip persamaan berdasarkan penyebaran wilayah, dan
perwakilan dari semua sistem sosial dan hukum menjadi pedo-
man proses pemilihan. Komite dilayani oleh Pusat Hak Asasi
Manusia PBB.

2. Tugas Komite Hak Ekosob


Fungsi utama Komite adalah memantau penerapan kove-
nan oleh negara pihak. Komite berusaha membangun komuni-
kasi yang baik dengan negara pihak dan berusaha menentukan
melalui berbagai macam masukan yang didapat, apakah pera-

84 Iin Karita Sakharina


turan dalam kovenan telah diterapkan dengan memadai oleh
negara pihak serta bagaimana pelaksanaan dan kebijaksanaan
dapat ditingkatkan sehingga semua orang yang berhak atas hak
yang tercantum dalam kovenan dapat benar-benar menikmati
sepenuhnya.
Berdasarkan keahlian dan pengalaman hukum dari
anggotanya, komite dapat pula membantu pemerintah untuk
memenuhi kewajibannya berdasarkan kovenan dengan membe-
rikan masukan yang spesifik tentang peraturan, kebijaksanaan
atau usulan dan rekomendasi lainnya seperti rekomendasi agar
dapat lebih menjamin hak ekosob. Oleh karena itu indikator
yang di gunakan dalam pelaksanaan kovenan hak ekosob
menggunakan (1) Indikator struktural (mencerminkan ratifikasi
dan adopsi instrumen-instrumen hukum dan keberadaan meka-
nisme institusional dasar yang dianggap perlu untuk memfa-
silitasi perwujudan hak asasi manusia yang bersangkutan), (2)
Indikator proses (mengaitkan instrumen-instrumen kebijakan
negara dengan tonggak-tonggak dikumpulkan menjadi hasil
setelah periode waktu tertentu), serta (3) Indikator hasil (me-
nangkap pencapaian, individu dan kolektif, yang menggam-
barkan status perwujudan hak asasi manusia dalam konteks
yang diberikan).

Iin Karita Sakharina 85


B. Proses Ratifikasi Kovenan oleh Indonesia
Salah Satu bentuk kesepakatan untuk mengikatkan diri
terhadap suatu perjanjian internasional seperti yang telah dise-
butkan pada halaman sebelumnya adalah ratifikasi. Sebagai-
mana Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak
Ekosob melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Kata
ratifikasi tidak hanya diartikan sebagai pengesahan atau penan-
datanganan, tetapi ada beberapa arti dari ratifikasi menurut
para ahli hukum internasional.
Lord Mac Nair105 menjelaskan bahwa “The word ‘ratifica-
tion’ is used in several different sense, of which the following must be
mentioned”. Namun demikian akar ratifikasi diperoleh secara
bersama bahwa kata ini berasal dari kata “ratifficare” dalam
Bahasa Latin artinya pengesahan (confirmation) atau persetujuan
(approval). Selanjutnya dalam Bahasa Latin Klasik ratifikasi
sering pula dinyatakan dengan “ratum habere”, “ratum ducere”,
“ratum facere”, dan “ratum alicui case”, yang kesemuanya berarti
persetujuan.106 Selanjutnya jika melihat ratificare di dalam
Bahasa Latin maka ratificare mempunyai dua arti, yaitu:

105 Lihat Lord Mac Nair, The Law of Treaties (London: Oxford Clorendon
Press, 1967), hlm. 215
106 Lihat Eddy Damian, Beberapa Pokok Materi Konvensi Wina Tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional
Universitas Indonesia, Volume 2 Nomor 3, Desember 2003, hlm. 25
86 Iin Karita Sakharina
a. Ratum habere dan ratum ducere
b. Ratum facere dan ratum alicui case.

Ratum habere dan ratum ducere mempunyai arti perse-


tujuan yang memandang berlakunya suatu akta. Jadi bila dihu-
bungkan dengan perjanjian, penetapan berlakunya suatu perjan-
jian itu secara formil, karena tandatangannya wakil berkuasa
penuh telah menyebabkan negara yang diwakili terikat pada
perjanjian yang bersangkutan. Ratifikasi dalam arti ini lebih
bersifat deklaratif, karena hanya mengesahkan yang telah
disetujui wakil-wakil, sedangkan ratum facere dan ratum alicul
esse di lain pihak menunjuk pada berlakunya suatu akta.
Persetujuan mana umumnya akan meningkatkan suatu rencana
perjanjian menjadi perjanjian yang berlaku dan mengikat negara
peserta. Ratifikasi menurut pengertian ini lebih bersifat kons-
titutif, karena merupakan pengesahan semua ketentuan-keten-
tuan yang tercantum dalam perjanjian.107 Jadi dari pengertian
latin tersebut ratifikasi mempunyai arti:
a. Persetujuan formal terhadap perjanjian;

107 Lihat Priyatna Abdurrasyid, Instrumen Hukum Nasional bagi


Peratifikasian Perjanjian Internasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 1,
(Jakarta: BPHN, 1991), hlm. 29

Iin Karita Sakharina 87


b. Persetujuan peningkatan rencana perjanjian menjadi
perjanjian yang berlaku dan mengikat bagi negara
peserta.108

Ratum habere dan ratum ducere di satu pihak mengandung


pengertian “persetujuan yang memandang berlakunya suatu
akta”, Jika dihubungkan dengan perjanjian, maka penetapan
berlakunya perjanjian itu adalah secara formal, karena tanda-
tangan wakil-wakil berkuasa penuh telah menjadi negara yang
diwakili terikat pada isi perjanjian tadi. Edy Suryono menga-
takan ratifikasi menurut arti tersebut lebih bersifat deklarasi
karena hanya mengesahkan tanda tangan wakil berkuasa.
Dalam hal ini seakan-akan dipandang bahwa suatu ratifikasi
hanya bisa berwujud dalam bentuk penandatanganan dari ma-
teri atau isi perjanjian yang di lakukan secara tertulis. Perjanjian
dalam bentuk naskah tertulis memiliki keabsahan yang lebih
valid. Dari segi ini dapat dipersoalkan, apakah layak perjanjian
internasional tak tertulis (unwritten agreement) diterima keabsa-
hannya setara dengan perjanjian intemasional tertulis.
Sesungguhnya mengingat sifatnya, persetujuan antara
negara dengan negara yang bersifat lisan tidak jelas dan sama
permanennya seperti halnya perjanjian tertulis, serta apapun
kedudukannya, secara lisan sudah dapat mengikatkan diri

108 Eddy Damian, Op., Cit.


88 Iin Karita Sakharina
dalam suatu ikatan persetujuan, yang berarti tindakan dua
orang tersebut mengikat jutaan warga negaranya tanpa campur
tangan atau keturut sertaan dari badan yang berwenang dari
negara tersebut, sekalipun mengalami praktek tak lazim, unwrit-
ten agreement agaknya sukar dipakai sebagai dasar pembuktian
dalam sengketa perjanjian, demikian pula halnya jika ditarik
dalam artian ratifikasi sederhana bagaimanapun sifatnya, karena
yang diperlukan dalam ratifikasi adalah bentuk naskah tertulis
dan ditandatangan serta dicap.109
Definisi ratifikasi berdasarkan hukum positif internasio-
nal adalah sebagaimana yang dicantumkan dalam Vienna Con-
vention on the Law of Treaties 1969 sebagai berikut : "Ratification
means in each case the international act so named whereby a state
establishes on the international plans its consent to be bound by a
treaty".110 Ratifikasi merupakan tindakan internasional dengan
cara mana suatu negara pada taraf internasional, memberikan
persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian interna-
sional. Sehingga pada dasarnya Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969 menekankan pada persetujuan yang akan mening-
katkan rencana perjanjian menjadi perjanjian yang berlaku
mengikat bagi negara-negara peserta atau dalam bahasa Latin
109 Ibid.
110 Lihat Pasal 1 ayat (2) huruf b Vienna Convention on the Law of Treaties
1969
Iin Karita Sakharina 89
Klasik disebut "ratum facere" dan "ratum alicui case" sebagaimana
disebutkan di atas.111
Ratifikasi berasal dari konsepsi hukum perjanjian inter-
nasional yang diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu
negara terhadap perbuatan hukum utusan atau wakilnya yang
telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda perse-
tujuan untuk terikat pada perjanjian itu. Konfirmasi ini dibutuh-
kan karena pada era permulaan berkembangnya perjanjian
internasional, masalah komunikasi serta jarak geografis antar
negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang
bagi setiap negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang
telah ditandatangani oleh utusannya.112
Pengesahan tandatangan yang di lakukan oleh wakil
negara yang turut serta dalam perundingan berasal dari zaman
dahulu ketika kepala negara perlu meyakinkan dirinya bahwa
utusan yang telah diberi kuasa penuh olehnya tidak melampaui
batas wewenangnya. Pada masa itu kepala negara atau peme-
rintah yang bersangkutan tidak dapat terus-menerus mengikuti
langkah utusan yang dikirimnya, menyebabkan bahwa ratifikasi

111 Eddy Damian, Op., Cit.


112 Lihat Damos Dumoli Agusman, Arti Pengesahan / Ratifikasi Perjan-
jian Internasional, Status Perjanjian Internasional dalam Tata Perundang-
undangan Nasional: Kompilasi Permasalahan, (Jakarta: Direktorat Perjanjian
Ekonomi Sosial dan Budaya, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Departemen Luar Negeri RI, 2008), hlm. 1
90 Iin Karita Sakharina
dirasakan perlu sebelum kepala negara dapat mengikat dirinya
dengan perjanjian yang bersangkutan. Oppenheim mendefi-
nisikan ratifikasi sebagai konfirmasi akhir (the final confirmation)
dari para pihak atau negara peserta atas perjanjian internasional
yang sudah disepakati atau ditandatangani oleh para utusannya
dan pada umumnya disertai dengan pertukaran dokumen seba-
gai perwujudan ungkapan konfirmasi tersebut. 113
Berdasarkan pernyataan di atas, walaupun ratifikasi
dianggap sebagai sekedar konfirmasi suatu negara atas tindakan
para utusannya dalam pembuatan perjanjian internasional,
namun tindakan konfirmasi ini sangat menentukan ketentuan
mengikatnya suatu perjanjian internasional. Pada dasarnya
fungsi ratifikasi itu sendiri adalah untuk mengikatkan suatu
negara peserta pada suatu perjanjian internasional. Sepanjang
ratifikasi belum diberikan oleh suatu negara maka perjanjian
internasional tersebut walaupun sudah disepakati oleh para wa-
kil negara peserta, belum sempurna sebagai instrumen hukum
yang mengikat negara yang bersangkutan sehingga kekuatan
hukumnya pun belum sempurna. Sebagai suatu tindakan
konfirmasi, ratifikasi juga diartikan sebagai tindakan yang ber-
sifat formalitas, namun bukan berarti formalitas yang tidak

113 Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum


Internasional, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hlm. 130
Iin Karita Sakharina 91
penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Lard Stowell, ratifikasi
walaupun dapat dianggap sebagai formalitas, namun formalitas
yang sangat esensial. Ratifikasi merupakan syarat esensial dan
konfirmasi kuat karena wewenang para utusan negara yang
memiliki kuasa penuh (full powers) untuk melakukan pembuatan
perjanjian internasional dibatasi oleh adanya syarat ratifikasi
tersebut.114
Dalam praktik modern, ratifikasi diartikan bukan hanya
sekedar tindakan konfirmasi suatu negara untuk membenarkan
atau menguatkan apa yang sudah di lakukan utusannya dalam
pembuatan perjanjian internasional, melainkan sekaligus seba-
gai pernyataan resmi suatu negara tentang persetujuannya
untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.115 Berkaitan
dengan ini, T.O. Elias menyatakan bahwa sebelumnya ratifikasi
merupakan tindakan konfirmasi yang diberikan oleh suatu
negara atas tindakan wakilnya yang memiliki kuasa penuh
dalam pembuatan perjanjian internasional. Ratifikasi bukan
merupakan persetujuan atas perjanjian itu sendiri melainkan
merupakan tindakan konfirmasi yang diberikan oleh suatu
negara, sebagai the treaty-making power body, bahwa utusan

114 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, terjemahan Bambang


Iriana Djajaatmaja, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2007), hlm. 601
115 Ibid.
92 Iin Karita Sakharina
negara yang bersangkutan telah memiliki kewenangan yang sah
untuk melakukan perundingan dan telah melaksanakan tugas
sebagaimana mestinya sesuai dengan kewenangan yang dimili-
kinya.116
Dalam perkembangan selanjutnya, pada umumnya rati-
fikasi tidak lagi dipandang sebagai sekedar konfirmasi melain-
kan lebih diartikan sebagai penyerahan kekuasaan lembaga ek-
sekutif dalam pembentukan perjanjian internasional (the treaty-
making power) kepada lembaga perwakilan (parlemen) untuk
melakukan pengawasan. Lembaga perwakilan bukan sekedar
memberikan konfirmasi atas tindakan wakil negara dalam
pembuatan perjanjian tetapi juga memberikan persetujuan atas
perjanjian internasional yang sudah disepakati. Dengan demi-
kian, doktrin ratifikasi mengalami perubahan yang mendasar,
yaitu bukan sekedar konfirmasi suatu negara atas tindakan
wakil/utusannya melainkan juga sebagai tindakan persetujuan
suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian interna-
sional.117
Berkaitan dengan ini, Mochtar Kusumaatmadja menya-
takan bahwa suatu negara mengikatkan dirinya pada suatu

116Taslim Olawale Elias, The Modern Law of Treaties, (New York:


Oceana Publications Inc., 1974), hlm. 24
117 Ibid.
Iin Karita Sakharina 93
perjanjian internasional dengan syarat bahwa persetujuan yang
demikian harus disahkan oleh badan yang berwenang di nega-
ranya. Penandatangan perjanjian oleh wakil atau utusan negara
hanya bersifat sementara dan masih harus disahkan. Pengesahan
oleh badan yang berwenang tersebut dinamakan dengan rati-
fikasi.118 Bertolak dari praktik yang demikian, persoalan ratifi-
kasi bukan hanya merupakan persoalan hukum perjanjian
internasional melainkan juga merupakan persoalan hukum tata
negara. Hukum internasional sekedar mengatur dalam hal apa
saja persetujuan yang diberikan suatu negara pada satu per-
janjian memerlukan ratifikasi. Adapun cara ratifikasi itu di
lakukan semata-mata merupakan persoalan intern menurut
ketentuan hukum tata negara masing-masing negara.119
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran bahwa ratifikasi
mencakup dua prosedur yang terpisah namun saling terkait satu
sama lain, yaitu prosedur eksternal (berdasarkan hukum
internasional) dan prosedur internal (berdasarkan hukum
nasional).120 Komisi Hukum Internasional menyadari adanya
perbedaan ini dan bahkan mengakui bahwa kedua perspektif ini
selalu membingungkan. Proses ratifikasi adalah pertukaran atau

118 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op., Cit., hlm. 131
119 Ibid.
120 Damos Dumoli Agusman, Op. Cit., hlm. 2
94 Iin Karita Sakharina
penyerahan instrumen ratifikasi. Dalam perjanjian bilateral,
biasanya ini di lakukan dengan pertukaran instrumen yang
dibutuhkan antara dua negara yang bersangkutan, sedangkan
dalam perjanjian multilateral, biasanya ditunjuk satu pihak yang
mengumpulkan instrumen ratifikasi dari semua negara dan
memberitahukan kepada semua pihak mengenai keadaan itu.
Misalnya, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan
bertindak sebagai penyimpan (depositary) instrumen ratifikasi.121
berkaitan dengan hal ini Anthony Aust menyatakan bahwa:
“Ratification consists of (1) the execution of an instrumen of
ratification by the executive and (2) either its exchange for the
instrumen of ratification of the other state (bilateral treaty) or
its lodging with the depositary (multilateral treaty)".122

Selanjutnya, hal yang juga perlu digarisbawahi dalam


pembahasan mengenai ratifikasi adalah bahwa walaupun
negara telah menandatangani suatu perjanjian melalui utusan-
nya, negara tersebut tidak dapat diwajibkan untuk meratifikasi
perjanjian tersebut. Negara yang sudah menandatangani suatu

121 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta:


PT. Tata Nusa, 2008), hlm. 59
122 Taslim Olawale Elias, Op. Cit., hlm. 107
Iin Karita Sakharina 95
perjanjian internasional melalui utusannya tetap memiliki hak
untuk menolak meratifikasi perjanjian tersebut.123
Dalam hal hak menolak ratifikasi diterapkan dalam
hubungan yang normal di antara para negara-negara. Dalam
hubungan antar negara yang sifatnya khusus, seperti hubungan
antara negara anggota Dewan Eropa (Council of Europe), ratifi-
kasi suatu konvensi ditingkatkan menjadi suatu keharusan.
Misalnya, European Convention on Human Rights diharuskan
untuk diratifikasi oleh negara anggota Dewan Eropa. Statuta
Dewan Eropa memang tidak menyatakan secara tegas keharu-
san untuk meratifikasi konvensi tersebut, namun meratifikasi
konvensi tersebut merupakan kewajiban moral dan politik yang
sangat kuat. Kewajiban ini dikuatkan kembali melalui "Resolu-
tion 1013 Parliamentary Assembly, 14 April 1994" yang menya-
takan "accesion to the Council of Europe must go together with
becoming a party to the European Convention on Human Rights".124
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Negara
Republik Indonesia telah meratifikasi 2 (dua) kovenan utama
internasional HAM, bersama dengan Duham sering disebut

123Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi


dalam Era Dinamika Global, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 119

124Anna-Lenna Svensson-Mc Carthy, The International law of Human


Rights and States of Exception: With Special Reference to The Travaux
Preparatoires and Case-Law of the International Monitoring Organs, (The
Hague: Martinus Nijhoff Publishing, 1998), hlm. 121
96 Iin Karita Sakharina
sebagai bill of rights yaitu Kovenan Internasional mengenai Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui Undang-Undang Nomor 11
tahun 2005 dan Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan
Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 pada
tanggal 28 Oktober 2005 dan didaftarkan pada Majelis Umum
PBB di New York pada tanggal 23 Februari 2006. Sebelum
meratifikasi kedua kovenan internasional ini, Pemerintah Indo-
nesia telah mendapat banyak desakan baik dari dalam negeri
maupun juga dari masyarakat internasional. Dari dalam negeri
sendiri banyak sekali aktivis HAM yang mendesak pemerintah
untuk segera meratifikasi dua kovenan utama HAM tersebut,
baik dari organisasi lembaga Non Pemerintah yang bergerak di
bidang HAM, tidak terkecuali para aktivis yang bergerak pada
perlindungan hak-hak perempuan sampai lembaga pemerintah
seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan. Karena banyaknya
desakan dari dalam dan luar negeri sehingga akhirnya Peme-
rintah Indonesia dengan melalui beberapa pertimbangan seperti
sosialisasi jajak pendapat pada diskusi-diskusi yang dilakukan
di berbagai ibukota Provinsi diantaranya Kota Makassar dengan
dihadiri beberapa elemen masyarakat, mulai wakil dari aktivis
HAM, akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk
mendengar secara langsung pertimbangan-pertimbangan me-
ngenai perlunya meratifikasi dua kovenan utama ini.

Iin Karita Sakharina 97


Atas dasar pertimbangan-pertimbangan diatas, maka
DPR RI mengagendakan rapat pembahasan Rancangan Undang-
Undang tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipol
dan Kovenan Internasional Hak Ekosob selama 8 (delapan) hari
kerja dengan mengundang beberapa elemen yang dianggap bisa
memberikan pertimbangan yang penting menuju proses penge-
sahan dua buah kovenan internasional ini.
Rapat pembahasan RUU pengesahan kovenan interna-
sional yang dimaksud, selengkapnya digambarkan dalam tabel
di bawah ini :

Tabel 1
Jadwal Acara Pembahasan RUU Pengesahan
Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob

NO. HARI/ WAKTU KEGIATAN ACARA TEMPAT


TANGGAL
1. Jum’at, 09.00 RDPU dengan Mencari Ruang
9 September Direktur masukan- Rapat
2005 HAM, masukan Komisi I
Kemanusiaan terhadap
dan Sosial RUU
Budaya Pengesahan
Departemen Konvensi
Luar Negeri Internasioan
dan Prof. al tentang
Hikmahanto, Hak-hak
S.H., LL.M., Sipil dan
Ph.D (Guru Politik dan
Besar Fakultas Konvensi

98 Iin Karita Sakharina


Hukum Internasional
Universitas tentang Hak-
Indonesia) hak
Ekonomi,
Sosial dan
Budaya
2. Kamis, 09.00 RDPU Komisi Mencari Ruang
15 September 1 DPR RI masukan- Rapat
2005 dengan Para masukan Komisi I
Pakar dan terhadap
Lembaga RUU
Swadaya Pengesahan
Masyarakat Konvensi
Internasioan
al tentang
Hak-hak
Sipil dan
Politik dan
Konvensi
Internasional
tentang Hak-
hak
Ekonomi,
Sosial dan
Budaya
3. Jumat, 09.00 Rapat Intern Mempersiap Ruang
16 September Poksi kan Rapat
2005 Pemandanga Komisi I
n Umum
Fraksi-fraksi
terhadap
RUU tentang
Pengesahan
Konvensi
Internasional
tentang Hak-
hak Sipil dan

Iin Karita Sakharina 99


Politik dan
Konvensi
Internasional
tentang Hak-
hak
Ekonomi,
Sosial dan
Budaya
4. Senin, 09.00 Rapat Kerja 1. Pembuk Ruang
19 September Komisi I DPR aan oleh Rapat
2005 RI dengan Ketua Komisi I
Menlu Rapat
2. Pengesa
han
jadwal
kegiatan
dan
mekanis
me
pembah
asan
3. Pemand
angan
Umum
Fraksi-
fraksi
4. Jawaban
Pemerint
ah
terhadap
Pemand
angan
Umum
Fraksi-
fraksi
5. Pembah
asan

100 Iin Karita Sakharina


Materi

5. Senin, 09.00 Rapat Ruang


20 September Paripurna Rapat
2005 DPR RI Paripurn
a
19.00 Rapat Kerja 1.
Komisi I DPR Pembahasan
RI dengan Materi RUU
Menlu
(lanjutan) 2.
Pembahasan
Panja
6. Rabu, 09.00 Rapat Panja Pembahasan Ruang
21 September Materi Panja Rapat
2005 Komisi I
7. Jumat, Rapat Intern Mempersiap Ruang
16 September Poksi kan Rapat
2005 Pandangan Komisi I
Akhir
Fraksi-Fraksi
terhadap
RUU tentang
Pengesahan
Konvensi
Internasional
tentang Hak-
hak Sipil dan
Politik dan
Konvensi
Internasional
tentang Hak-
hak
Ekonomi,
Sosial dan
Budaya

Iin Karita Sakharina 101


8. Senin, 09.00 Rapat Kerja 1. Pembuk Ruang
19 September Komisi I DPR aan oleh Rapat
2005 RI dengan Ketua Komisi I
Menlu Rapat
2. Laporan
Panja
3. Pendapa
t Akhir
Fraksi-
fraksi
DPR-RI
4. Pengam
bilan
Keputus
an
terhadap
RUU
5. Penanda
tanga-
nan
Naskah
RUU
6. Sambuta
n
Pemerint
ah
7. Penutup
an oleh
Ketua
Rapat

Mereka yang diundang memberikan paparannya adalah


perwakilan Pemerintah, perwakilan Lembaga Swadaya Masya-
rakat yang bergerak dibidang pendampingan untuk pemajuan
dan perlindungan HAM, Para Pakar dibidang Hukum Interna-

102 Iin Karita Sakharina


sional dan HAM, serta Komnas HAM. Dalam rapat dengar pen-
dapat antara DPR dengan Pemerintah dari Kementerian Luar
Negeri125 yang diwakili oleh I Gusti Agung Wesaka Puja126 pada
rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR RI pada
tanggal 9 September 2005127 menyampaikan beberapa pertimba-
ngan penting yang mendasari sehingga Pemerintah Indonesia
perlu untuk meratifikasi kedua kovenan internasional utama
tersebut. Makalah yang disampaikan oleh wakil dari Kemen-
trian Luar negeri ini, diantaranya adalah; Isi pokok dari ICCPR
dan ICESCR, isu-isu penting dan kontroversial dalam ICCPR
dan ICESCR, yaitu self determination dan hukuman badan,
pertimbangan-pertimbangan mengapa Indonesia perlu menjadi
pihak pada ICCPR dan ICESCR, konsekuensi bila meratifikasi
kedua kovenan tersebut serta implikasi dari ratifikasi itu
sendiri.128

125 Ketika itu masih menggunakan penamaan Departemen Luar Negeri


126 Pada saat itu menjabat sebagai Direktur HAM, Kemanusiaan dan
Sosial Budaya Departemen Luar Negeri

127 DPR RI, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang


Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi
Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2005).
128 I Gusti Agung Wesak Puja, Pentingnya Indonesia Mengesahkan
International Covenant on Civil and Political rights (ICCPR) dan International
Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights (ICECSR),Papaaran Disampai-
kan Pada Rapat Dengar Pendapat.
Iin Karita Sakharina 103
Adapun pertimbangan-pertimbangan penting yang dike-
mukakan oleh pemerintah Indonesia, antara lain bahwa Indo-
nesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan sejak kela-
hirannya pada tahun 1945 menjujung tinggi HAM. Selain itu
gerakan reformasi yang dimulai tahun 1997 telah membang-
kitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi
terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk
menjunjung tinggi dan menegakkan kembali penghormatan
HAM. Langkah maju pertama kali diambil oleh Indonesia segera
setelah bergulirnya gerakan reformasi adalah pencanangan
Rencana Aksi Nasional di Bidang HAM tahun 1898-2003
(melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia/Keppres RI
Nomor 129 Tahun 1998) serta keputusaan dari Majelis Permu-
syawaratan Rakyat (MPR) yaitu mengesahkan Ketetapan Maje-
lis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/
MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya
memuat ”Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak
Asasi Manusia” dan ”Piagam Asasi Manusia”, pada tanggal 13
November 1998. Selain itu dipaparkan juga bahwa dengan
meratifikasi kedua kovenan utama HAM ini, kiranya dapat
meningkatkan citra Indonesia dimata masyarakat internasional

104 Iin Karita Sakharina


tentang kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan
perlindungan HAM.129
Kemudian keinginan dari Pemerintah ini disambut baik
oleh Komnas HAM yang memang sudah sangat lama mendesak
Pemerintah dan DPR untuk secepatnya memproses pengesahan
dari Kovenan ICCPR dan ICECSR bahkan Optional Protokolnya.
Bahkan untuk membantu mempercepat proses pengesahan
kedua Kovenan Utama HAM tersebut, pada hari selasa, tanggal
31 Mei 2005, dengan nomor surat 142/TUA/V/2005, Komnas
HAM telah menyampaikan kepada Pemerintah dan DPR draf
rancangan undang-undang tentang pengesahan ketiga instru-
men HAM internasional, lengkap dengan draf penjelasannya,
serta terjemahan instrumen-instrumen yang bersangkutan,
sehingga Komnas HAM sangat gembira ketika memperoleh
undangan DPR dalam acara rapat Dengar Pendapat Umum
Sidang guna membahas masalah tersebut.130
Proses ratifikasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia tentunya sangat menggembirakan tidak saja bagi war-
ga negara Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional,

129 Lihat lebih lanjut pada Pertimbangan-Pertimbangan Mengapa


Indonesia Perlu Menjadi Pihak Pada ICCPR dan ICECSR dalam I Gusti Agung
Wesak Puja, Op. Cit., hlm. 15-19
130 Baca lebih lanjut pada penjelasan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
untuk disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi I DPR
RI, tanggal 15, September 2005.
Iin Karita Sakharina 105
karena seperti yang telah dipahami dan juga ikut menjadi salah
satu pertimbangan Pemerintah Republik Indonesia pada saat
memaparkan alasan-alasan penting perlunya meratifikasi dua
buah kovenan ini adalah untuk dapat meningkatkan citra
Negara Republik Indonesia sebagai negara yang juga ikut
menghormati, melindungi dan memenuhi kewajibannyanya
sebagai negara dibidang HAM. Sehingga proses ratifikasi dari
kovenan utama HAM ini tentunya membawa dampak yang
sangat positif bagi penegakan HAM di Indonesia, karena kedua
kovenan ini memuat hak-hak asasi dari setiap orang atau warga
negara untuk dihormati, dilindungi dan dipenuhi termasuk hak
ekonomi warganya khususnya dalam hal pemenuhan kecuku-
pan pangan yang layak. Dengan adanya peratifikasian dari
kovenan utama ini maka dapat menjadi acuan bagi pemerintah
dan elemen masayarakat terkait untuk menjadikannnya sebagai
acuan dalam standar atau indikator dari terpenuhinya suatu
hak.
Indikator pertama yang digunakan untuk mengukur
pemenuhan HAM dibidang hak ekosob yaitu dengan menggu-
nakan indikator struktural yaitu merefleksikan proses ratifikasi/
penetapan dari instrumen-instrumen hukum serta eksistensi
dari mekanisme-mekanisme kelembagaan dasar yang dianggap
perlu untuk memfasilitasi realisasi dari hak-hak asasi manusia

106 Iin Karita Sakharina


terkait. Sehingga proses ratifikasi dari kovenan internasional
mengenai hak ekosob ini dinilai adalah langkah yang paling
tepat yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk
memenuhi kewajibannya dalam hal pemenuhan hak-hak warga
negara dibidang ekonomi, sosial, dan budaya khususnya dalam
pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warga
negaranya.

C. Kewajiban Negara Pihak


Sifat-sifat kewajiban negara pihak (anggota) diatur dalam
komentar umum nomor 3131 untuk kovenan internasional hak-
hak ekosob dengan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) bahwa:
“Setiap negara Pihak Kovenan ini berjanji mengambil
langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan
dan kerjasama internasional terutama bantuan teknik dan
ekonomi dan sejauh dimungkinkan sumber daya yang
ada guna mencapai secara progresif realisasi sepenuhnya
hak-hak yang diakui dalam kovenan ini dengan menggu-
nakan semua upaya-upaya yang memadai, termasuk
pembentukan langkah-langkah legislatif”.

Menurut Komite, Pasal 2 mempunyai nilai penting bagi


pemahaman Kovenan secara utuh dan mempunyai kaitan satu

131Lihat Komentar Umum Nomor 3, Sifat-Sifat Kewajiban Negara


Anggota, Komite Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Hak-hak ekonomi, Sosial dan
Budaya, HRI/GEN/1/REV.1 at 45 (1994)
Iin Karita Sakharina 107
sama lain, pasal ini menjelaskan sifat-sifat kewajiban hukum
umum yang harus di laksanakan oleh negara-negara penandata-
nganan kovenan. Kewajiban-kewajiban itu termasuk apa yang
didefinisikan sesuai dengan hasil kerja Komisi Hukum Interna-
sional sebagai kewajiban perilaku (to conduct) dan kewajiban
atas hasil (to result), dimana kovenan juga membebankan be-
berapa kewajiban yang harus di laksanakan secepatnya.132 Selan-
jutnya Komite juga mengatur bahwa cara-cara yang digunakan
untuk memenuhi kewajiban “mengambil langkah-langkah”
seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu “semua cara
yang dianggap layak, termasuk didalamnya pengambilan tinda-
kan-tindakan legislatif”. Komite berpendapat bahwa untuk pe-
laksanaan hak-hak di negara pihak, maka peraturan perun-
dang-undangan sangat dibutuhkan.133
Dalam hal pemenuhan kewajiban oleh negara-negara
pihak maka komite juga menyadari bahwa kewajiban atas hasil
sebagaimana yang diwajibkan oleh kovenan (obligation to con-
duct) tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, perlu sebuah
proses karena itu maka dikatakan bahwa negara pihak perlu
mengambil langkah-langkah yang bertujuan mencapai secara
progresif perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui. Dalam

132 Lihat Komentar Umum Nomor 3, Ibid., Paragraf 1


133 Lihat Komentar Umum Nomor 3, Ibid., Paragraf 3
108 Iin Karita Sakharina
hal ini, Kovenan memberikan kesempatan kepada negara-
negara pihak untuk melakukan tindakan secara bertahap dalam
hal perwujudan hak-hak ekosob, namum ditegaskan oleh
Komite bahwa negara tetap harus bertindak secara cepat dan
efektif untuk mencapai tujuan tersebut.
Lebih lanjut komite juga berpendapat bahwa negara tidak
bisa menjadikan alasan keterbatasan sumber daya sebagai alasan
tidak melakukan upaya menuju pemenuhan hak-hak ekosob ini,
sehingga ketika suatu negara dianggap gagal untuk memenuhi
kewajiban minimum pokoknya dalam hal pemenuhan hak
ekosob maka negara tidak bisa beralasan tentang keterbatasan
sumber daya di negara itu. Untuk itu komite juga menegaskan
bahwa seandainya negara anggota berada dalam keadaan keter-
batasan yang bersifat gawat, apakah disebabkan oleh suatu
proses penyesuaian, resesi ekonomi atau oleh faktor-faktor lain,
kelompok-kelompok rentan dalam komunitas tetap bisa atau
lebih tepatnya harus dilindungi dengan pelaksanaan program
yang secara relatif tidak membutuhkan banyak biaya, selain itu
komite juga menganjurkan dalam upaya pemenuhan hak eko-
sob, maka negara anggota dimungkinkan untuk mendapatkan
bantuan dan kerjasama internasional.134

134 Lihat Komentar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 10, 11, 12, dan 13
Iin Karita Sakharina 109
Bantuan kerjasama internasional dimungkinkan dalam
hal pemenuhan hak-hak ekonomi sesuai dengan prinsip yang
terkandung dalam Pasal 55 dan 56 Piagam PBB, yang diakui
sebagai prinsip-prinsip dalam hukum internasional, ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Kovenan, kerjasama Internasional
untuk pembangunan dan oleh karena perwujudan hak ekosob
adalah kewajiban dari segala bangsa, khususnya dibebankan
kepada negara-negara yang mampu memberikan bantuan kepa-
da negara lain sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi
Hak atas Pembangunan yang telah diadopsi oleh Sidang Umum
PBB dalam resolusinya nomor 41/28 tanggal 4 Desember 1986.135
Berkaitan dengan kewajiban Indonesia terhadap hak atas
pangan, sebagaimana topik dalam tulisan ini, maka Indonesia
sebagai negara peratifikasi harus menempuh langkah-langkah
sebagai kewajiban utamanya untuk secara progresif mewujud-
kan secara penuh hak atas bahan pangan yang layak, seperti
halnya yang termuat dalam komentar umum nomor 12 paragraf
(14)136, bahwa setiap negara diwajibkan untuk menjamin semua
orang di wilayahnya dapat mengakses bahan makanan pokok
yang memadai, layak dan aman secara gizi, untuk menjamin

135 Lihat Komnetar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 14


136Lihat Komentar Umum Nomor 12, Hak Atas Bahan Pangan Yang
Layak, Komite Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, E/C.12/1999/5
110 Iin Karita Sakharina
mereka bebas dari rasa lapar. Dalam komentar umum, diatur
juga bahwa meskipun hanya negara yang ikut menandatangani
namun yang berkewajiban untuk mematuhi kovenan adalah
seluruh anggota masyarakat-individu, keluarga, komunitas
lokal, organisasi non pemerintah, organisasi masyarakat sipil
dan juga badan usaha swasta, semua bertanggung jawab dalam
hal perwujudan hak atas bahan pangan yang layak, dimana
negara harus menyediakan suatu lingkungan yang memfasilitasi
implementasi dari tanggung jawab ini. Badan usaha swasta
nasional atau transnasional harus melakukan aktifitasnya dalam
kerangka pedoman perilaku yang kondusif bagi penghormatan
atas bahan pangan yang layak.137
Tentu saja setiap negara pihak memiliki cara yang ber-
beda-beda dalam hal mewujudkan pemenuhan hak atas bahan
pangan yang layak, termasuk juga Indonesia, hal ini dibenarkan
oleh kovenan, hanya saja kovenan tetap menekankan bahwa
setiap negara pihak harus mengambil tindakan apapun untuk
menjamin setiap orang bebas dari rasa lapar dan dapat menik-
mati hak atas bahan pangan yang layak, tentunya hal ini menen-
tukan strategi nasional untuk menjamin jaminan pangan dan
gizi bagi semua orang, dimana negara dituntut untuk meng-
identifikasi sumberdaya yang dimilikinya untuk mencapai

137 Lihat Komentar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 20


Iin Karita Sakharina 111
tujuan tersebut serta memilih cara paling murah yang dapat
digunakan.138
Selain itu komite juga mengatur bahwa dalam hal peme-
nuhan kewajiban internasional atas hak atas pangan yang layak,
merujuk pada Pasal 56 Piagam PBB, ketentuan khusus yang
dimuat dalam Pasal 11 dan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 23 dari
Kovenan Ekosob, serta Deklarasi Roma dalam pertemuan
pangan sedunia, dimana negara pihak harus mengakui peran
penting kerjasama internasional serta bekerja sesuai dengan
komitmen mereka untuk bertindak, sendiri-sendiri atau ber-
sama-sama, untuk mencapai perwujudan penuh dari hak atas
bahan pangan yang layak. Dalam mengimplementasikan
komitmen ini, Negara pihak harus mengambil langkah-langkah
untuk menghormati pemenuhan hak atas pangan di negara lain,
melindungi hak tersebut, memfasilitasi akses kepada bahan
pangan serta memberikan bantuan yang diperlukan bila di-
minta. Negara pihak harus, disetiap perjanjian internasional
yang relevan, memastikan bahwa hak atas bahan pangan yang
layak memperoleh perhatian yang memadai serta memper-
timbangkan perkembangan instrumen hukum internasional
menuju kearah itu,139 Selain itu komite juga menekankan bahwa

138 Lihat Komentar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 21


139 Lihat Komentar Umum Nomor 12, Op. Cit., Paragraf 36
112 Iin Karita Sakharina
negara pihak harus menghentikan embargo bahan pangan atau
tindakan-tindakan serupa yang membahayakan produksi bahan
pangan dan akses kepada bahan pangan di negara lain. Bahan
pangan seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai alat
penekan politis dan ekonomis.140
Jadi Pemerintah Indonesia dalam hal ini bertindak
sebagai wakil negara dalam hal melaksanakan kewajiban seba-
gai negara pihak dan diatur dalam kovenan wajib mengambil
langkah-langkah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) , sehingga untuk mencapai realisasi penuh dari hak-hak yang
termuat dalam kovenan internasional ekosob khususnya hak
atas kecukupan pangan yang layak, maka langkah-langkah yang
harus di ambil oleh Pemerintah Indonesia juga harus mencakup
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi kemis-
kinan di Indonesia yang dapat menyebabkan kelaparan, me-
ningkatkan standar gizi pangan bagi warganya serta menjamin
adanya keamanan pangan dan ketersediaan bahan pangan serta
adanya aksesibilitas terhadap bahan pangan yang layak.

D. Implementasi Kovenan dalam Hukum Nasional


Komite Hak Ekosob dapat membantu penerapan kovenan
melalui perspektif internasional, namun efektivitas utama ins-

140 Lihat Komentar Umum Nomor 12, Op. Cit., Paragraf 37


Iin Karita Sakharina 113
trumen ini tergantung pada upaya-upaya yang diambil peme-
rintah untuk mengaktifkan secara nyata kewajiban hukum
internasional mereka. Dalam hal ini komite telah mengakui
betapa pentingnya bagi negara untuk menetapkan upaya-upaya
legislatif yang tepat dan ketentuan mengenai penyelesaian
melalui pengadilan, yang menunjukkan sifat hukum yang sa-
ngat nyata terhadap hak ekosob.
Pentingnya menerapkan ketentuan-ketentuan kovenan
melalui perundang-undangan dalam negeri sejalan dengan
Pasal 27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional
tahun 1969, yang menyatakan bahwa :
“suatu pihak tidak dapat menggunakan ketentuan hu-
kum dalam negerinya sebagai pembenaran dari kelalaian-
nya dalam mematuhi suatu perjanjian”.

Bahkan, kovenan sering meminta agar dilakukan lang-


kah-langkah legislatif kalau perundang-undangan yang ada
ternyata melanggar kewajiban yang disebut dalam Kovenan.
Prinsip Limburg mengenai penerapan Kovenan Internasional
tentang Hak Ekosob menekankan bahwa “negara-negara pihak
harus menyediakan upaya-upaya penyelesaian yang efektif
termasuk, bila memungkinkan, penyelesaian melalui penga-
dilan” (Prinsip 19). Karena sampai saaat ini belum ada prosedur
pengaduan oleh perorangan yang diatur berdasarkan kovenan.

114 Iin Karita Sakharina


Penerapan sepenuhnya atas hak yang terdapat dalam instrumen
ini menjadi semakin tergantung pada ketentuan-ketentuan
hukum yang tepat dan upaya-upaya penyelesaian pada tingkat
nasional.
Setidaknya, penegak hukum di tingkat nasional dan lokal
dari negara-negara pihak harus mempertimbangkan hukum
internasional tentang HAM seperti kovenan sebagai bantuan
interpretatif pada hukum dalam negeri dan menjamin bahwa
hukum dalam negeri diterjemahkan dan diterapkan sesuai
dengan ketentuan instrumen internasional tentang HAM yang
telah diratifikasi oleh negara tersebut. Dari perspektif hukum
internasional, prinsip dasarnya adalah bahwa pengadilan harus
menghindari agar tidak menempatkan pemerintahnya dalam
suatu posisi yang dapat melanggar perjanjian internasional yang
telah diratifikasi.
Mengenai dapat diajukannya hak yang dicantumkan
dalam Kovenan ke pengadilan, yakni kemungkinan hak itu
menjalani judicial review, dalam Komentar Umum Nomor 3
mengenai Hak Ekosob tahun 1990, Komite telah menyatakan
sebagai berikut:
“... di antara langkah-langkah yang mungkin dianggap
tepat, selain adanya peraturan perundang-undangan,
adalah ketentuan tentang upaya penyelesaian hukum
yang berkenaan dengan penghormatan atas hak dianggap
Iin Karita Sakharina 115
dapat diajukan ke pengadilan menurut sistem hukum
nasional yang bersangkutan…” (ayat 5).

Dalam hal ini, Komite telah menunjukkan bahwa bebe-


rapa pasal dalam Kovenan dapat segera diterapkan, termasuk
Pasal 3, Pasal 7 sub ayat (a) (I), Pasal 8, Pasal 10 ayat (3), Pasal 13
ayat (2) (a), 3 dan 4, Pasal 15 ayat (3). Ketentuan Komite
menekankan pula, sehubungan dengan penghormatan pada hak
memperoleh perumahan yang layak, misalnya, bahwa “kasus-
kasus pengusiran dengan paksa prima facie tidak sesuai dengan
kehendak kovenan, dan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan
yang sangat luar biasa, dan sesuai dengan ketentuan yang
relevan berdasarkan hukum internasional”.
Jika kita merujuk pada konsep hubungan hukum
internasional dengan hukum nasional, dimana dalam paham
monisme dan paham dualisme ada 3 (tiga) teori aplikasi yang
berkembang atau dapat dipakai dalam hal memasukkan hukum
internasional kedalam hukum nasional, salah satu diantaranya
adalah teori transformasi: jika hukum internasional menjadi
bagian hukum nasional maka hukum internasional harus
ditransformasikan. Misalnya; di Indonesia, hukum internasional
berupa perjanjian-perjanjian internasional ditransformasikan
menjadi undang-undang. Artinya bahwa instrumen interna-
sional mengenai hak-hak ekosob yang telah diratifikasi oleh
116 Iin Karita Sakharina
pemerintah Indonesia kemudian diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2005 telah di implementasikan kedalam hukum
nasional Indonesia dalam bentuk undang-undang. Sehingga
dalam rangka melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut
betul-betul telah diterapkan di dalam negeri, maka pengadilan
nasional harus benar-benar memainkan peran penting dalam
memastikan penghormatan terhadap hak-hak tersebut.

E. Laporan Negara Pihak Kepada Komite


Konsekuensi dari peratifikasian atau menjadi anggota
dari kovenan internasional mengenai hak ekosob ini, adalah
menurut ketentuan yang diatur dalam kovenan ini, maka semua
negara pihak wajib melaporkan kepada komite secara berkala,
hal-hal apa saja yang telah dicapai dalam realisasi dari
pemenuhan atas hak-hak yang diatur dalam kovenan tersebut.
Hal ini diperlukan untuk melihat seberapa jauh keseriusan
negara pihak setelah ratifikasi, bagaimana suatu negara dapat
memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap pemenuhan hak-hak
ekosob warga negaranya,kemajuan yang telah dilakukan oleh
negara pihak dalam hal pemehuhan hak-hak warga negaranya
dibidang ekosob, serta kendala-kendala yang dihadapi oleh
negara pihak dalam hal melaksanakan kewajibannya terhadap
pemenuhan hak terhadap warganya juga kewajiban negara

Iin Karita Sakharina 117


pihak sebagai negara yang telah meratifikasi kovenan ini.Untuk
itu maka ada beberapa mekanisme yang ditetapkan oleh komite
dalam hal pembuatan laporan bagi semua negara pihak. Meka-
nisme tersebut diuraikan sebagai berikut.
a. Mekanisme Pelaporan
Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 Kovenan, negara pihak
berjanji untuk menyampaikan laporan berkala kepada komite
dalam waktu dua tahun sejak kovenan diterapkan di negara itu
dan setelah itu satu kali dalam lima tahun untuk menguraikan
peraturan, hukum dan upaya lain yang telah dilakukan untuk
menjamin pemenuhan hak yang tercantum dalam kovenan.
Negara pihak juga diminta untuk memberikan data rinci menge-
nai sejauh mana hak tersebut telah diterapkan dan wilayah di
mana dijumpai kesulitan terhadap penghormatan atas hak ini.
Komite telah membantu negara pihak dalam memper-
siapkan laporan dengan membagi buku pedoman laporan, 22
halaman, berisi spesifikasi informasi yang dibutuhkan Komite
dalam rangka memantau pelaksanaan Kovenan secara efektif.
Kewajiban membuat laporan ini bukan merupakan formalitas
belaka. Walaupun dalam proses pembuatan laporan ditemukan
banyak kesulitan, termasuk banyak negara pihak yang tidak
menyerahkan laporan dan masalah yang berhubungan dengan
minimnya sumberdaya yang dihadapi negara pihak, mekanisme

118 Iin Karita Sakharina


ini mempunyai banyak fungsi penting di antaranya fungsi
pemeriksaan awal, fungsi pengawasan, fungsi perumusan
kebijaksanaan, fungsi penelitian masyarakat, fungsi evaluasi,
fungsi pemahaman masalah, dan fungsi pertukaran informasi.
Komite telah menekankan bahwa kewajiban membuat
laporan berdasarkan Kovenan berisi tujuh tujuan utama. Dalam
Komentar Umum Nomor 1 tahun 1989, komite menyatakan
tujuan-tujuan ini adalah sebagai berikut :
a) Memastikan bahwa Negara Pihak melaksanakan pe-
ngujian komprehensif terhadap perundang-undangan
nasional, aturan, prosedur dan praktik penyelengga-
raan negara dalam rangka menyamakan sebisa mung-
kin dengan kovenan;
b) Memastikan bahwa Negara Pihak secara berkala me-
mantau situasi yang sebenarnya dengan menghormati
setiap hak yang disebutkan dalam Kovenan dalam
rangka mengukur sejauh mana hak tersebut telah
dapat dinikmati oleh semua individu dalam Negara
tersebut;
c) Memberi dasar bagi uraian pemerintah mengenai kebi-
jaksanaan yang dinyatakan dengan jelas dan ditarget-
kan secara hati-hati dalam menerapkan Kovenan;
d) Memfasilitasi penelitian masyarakat mengenai kebijak-
sanaan pemerintah menyangkut penerapan Kovenan,
dan mendorong keterlibatan semua bagian masyarakat
dalam merumuskan, menerapkan dan melakukan pe-

Iin Karita Sakharina 119


ngujian terhadap relevansi suatu peraturan kebijak-
sanaan;
e) Memberikan dasar agar baik Negara Pihak maupun
Komite dapat mengevaluasi secara efektif kemajuan ke
arah perwujudan atas kewajiban yang terdapat dalam
kovenan;
f) Memberi kesempatan kepada Negara Pihak untuk
mengembangkan pengertian yang lebih baik mengenai
masalah dan krisis yang mengancam pelaksanaan hak
ekonomi, sosial dan budaya;
g) Memfasilitasi pertukaran informasi di antara Negara
Pihak dan membantu mengembangkan pengertian
lengkap atas persoalan bersama dan jalan keluar yang
mungkin dilakukan dalam penerapan setiap hak yang
terdapat dalam kovenan.

Komite biasanya membahas lima atau enam laporan dari


Negara Pihak setiap sidang. Bila Negara Pihak yang telah
menyampaikan laporan yang telah dijadwalkan akan dibahas
Komite pada saat sidang meminta penundaan presentasi
laporan itu pada menit-menit terakhir, Komite tidak akan
mengabulkannya dan tetap memberi pertimbangan walaupun
tanpa kehadiran wakil negara yang bersangkutan. Komite juga
harus bergulat dengan masalah yang berhubungan dengan tidak
masuknya laporan dan laporan yang diserahkan melampaui
batas waktu. Menanggapi situasi tersebut, komite memberitahu
Negara Pihak yang belum menyerahkan laporan niat Komite
120 Iin Karita Sakharina
untuk menunda pembahasan laporan persidangan berikut yang
ditentukan. Bila laporan tidak juga masuk, Komite lalu
meneruskan pertimbangan dengan memperhatikan keadaan hak
ekonomi, sosial, dan budaya dalam Negara tersebut melalui
semua informasi yang tersedia.

1. Penyerahan Laporan dan Kelompok Kerja Pra Sidang


Ketika Negara Pihak menyerahkan laporan, komite mem-
bahasnya berdasarkan prosedur standar. Begitu diterima,
diproses dan diterjemahkan oleh sekretariat, laporan Negara
Pihak diperiksa oleh kelompok kerja prasidang Komite yang
terdiri dari lima orang, yang bertemu enam bulan sebelum
laporan diberi pertimbangan oleh seluruh anggota Komite.
Kelompok kerja prasidang memberikan pertimbangan awal
terhadap laporan, menunjuk salah satu anggota untuk memberi
pertimbangan penting pada setiap laporan, dan membuat daftar
pertanyaan tertulis berdasarkan temuan yang berbeda dalam
laporan yang disampaikan Negara yang bersangkutan. Negara
Pihak kemudian diminta menjawab secara tertulis pertanyaan-
pertanyaan ini sebelum presentasi mereka di depan Komite.

Iin Karita Sakharina 121


2. Presentasi Laporan
Wakil dari negara yang menyerahkan laporan sangat
dianjurkan untuk hadir saat sidang Komite membahas lapo-
rannya. Terlihat bahwa delegasi-delegasi selalu hadir saat hal ini
diproses, yang umumnya berlangsung selama dua hari.
Pertama-tama, delegasi memberikan keterangan pembuka dan
tanggapan atas pertanyaan tertulis dari kelompok kerja pra
sidang. Hal ini diikuti dengan pemberian informasi oleh badan
khusus PBB yang relevan dengan laporan yang sedang dibahas.
Anggota Komite lalu membuat pertanyaan dan tinjauan
terhadap kehadiran Negara Pihak sebelumnya, setelah itu wakil
Negara Pihak diberi kesempatan memberikan tanggapan, biasa-
nya tidak pada hari yang sama dengan saat pertanyaan dan
pandangan disampaikan pada mereka, secermat mungkin.
Bila pertanyaan tidak terjawab dengan memadai, bia-
sanya Komite meminta informasi tambahan dari Negara Pihak
untuk dipertimbangkan pada sidang yang akan datang.

3. Pandangan Akhir : Komite Memberikan Keputusan


Saat Komite menyempurnakan analisa atas laporan dan
kehadiran negara anggota, Komite menyimpulkan pembahasan
terhadap laporan Negara Pihak dengan menyampaikan “panda-
ngan akhir” yang mensahkan keputusan Komite berdasarkan

122 Iin Karita Sakharina


kedudukan Kovenan dalam Negara Pihak. Pandangan akhir
dibagi dalam lima bagian:
a) Pembukaan;
b) Aspek positif;
c) Faktor dan kesulitan yang membahayakan penerapan
Kovenan;
d) Perhatian atas masalah prinsip; dan
e) Saran dan rekomendasi.

Pandangan akhir ditetapkan dalam sidang tertutup dan


diumumkan kepada masyarakat pada hari terakhir setiap masa
persidangan. Dalam sejumlah kesempatan Komite menyim-
pulkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Kovenan, dan
berulang kali mendesak Negara Pihak untuk menghentikan
tindakan pelanggaran yang lebih jauh atas hak tersebut.

4. Laporan Negara Republik Indonesia Sebagai Negara Pihak


Kepada Komite.
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu dari negara
pihak terhadap kovenan internasional mengenai hak ekosob ini
tentunya juga harus mengirimkan laporannya mengenai hal-hal
yang telah dicapai. Langkah-langkah kongkret yang telah
dilakukan oleh pemerintah dalam hal memenuhi kewajibannya
di bidang pemenuhan hak ekosob bagi warga negaranya.
Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Pemerintah Indo-

Iin Karita Sakharina 123


nesia setelah meratifikasi perjanjian internasional mengenai hak
ekosob ini, kendala-kendala apa saja yang dialami oleh
pemerintah Indonesia dalam menjalankan kewajibannya dalam
hal pemenuhan hak-hak ekosob bagi warga negaranya khusus-
nya hak atas kecukupan pangan yang layak.
Dibawah ini penulis akan menguraikan mengenai
laporan pemerintah Indonesia terhadap komite hak ekosob.
Termasuk capaian-capaian yang telah dihasilkan oleh Pemerin-
tah Indonesia dalam hal pemenuhan hak-hak ekosob. Namun
karena bahasan penulis mengenai hak-hak ekosob ini terbatas
pada hak atas kecukupan pangan yang layak saja, sehingga
capaian-capaian yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Indo-
nesia dalam laporannya terhadap komite hak ekosob, penulis
batasi hanya dengan laporan mengenai hak atas kecukupan
pangan yang layak saja.
Laporan Indonesia sebagai negara pihak dari kovenan
mengenai pelaksanaan hak-hak ekosob dan implementasinya
dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia tahun 2011 dan telah
dikirim kepada komite hak ekosob.141 Dimana pada hal pen-

141Laporan ini telah dimasukkan oleh negara pihak sebagai laporan


periodik kepada komite hak asasi manusia (E/C.12/2008/2) Lihat : The Report of
The Government of The Republic Indonesia On the Implementation Of International
Covenant On Economic, Social, And Cultural Rights, Initial And First Periodic Report,
Government Of The Republic Of Indonesia, 2011

124 Iin Karita Sakharina


dahuluan disebutkan bahwa walaupun pemerintah Indonesia
baru menjadi anggota terhadap kovenan (state parties) sejak
tanggal 23 Mei tahun 2006,142 namun berkomitmen untuk
mengimplementasikan secara sungguh-sungguh upaya-upaya
terhadap promosi dan perlindungan HAM sebagaimana yang
tercantum dalam kovenan, dimana hak-hak yang terdapat
dalam kovenan juga telah menjadi bagian penting dari semangat
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17
agustus 1945, juga sebagaimana yang tercantum dalam
pembukaan UUD NRI 1945 serta salah satu sila yang terdapat
dalam Pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” yang juga menjadi dasar dalam pembangunan
nasional bagi rakyat dan bangsa.
Pemerintah Indonesia juga melaporkan dalam laporan
pertamanya mengenai kemajuan-kemajuan yang telah dicapai
dalam hal pelaksanaan hak-hak ekosob dalam beberapa aspek
kehidupan masyarakat, seperti hak untuk menentukan nasib
sendiri, yang antara lain ditafsirkan oleh Pemerintah Indonesia,
seperti halnya ketika Bangsa Indonesia memproklamirkan diri
sebagai bangsa yang merdeka dan bebas dari segala bentuk

142 Walaupun Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan


Internasional Hak Ekosob pada tanggal 28 bulan Oktober tahun 2005 melalui
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005, namun baru memasukkan dokumen
ratifikasi pada Majelis Umum di New York pada tanggal 23 Februari tahun 2006.
Iin Karita Sakharina 125
penjajahan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana ketika itu,
seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bersatu
untuk membangun bangsa yaitu Indonesia. Selain itu disebut-
kan juga bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri diwujud-
kan oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Otonomi Daerah yang dibuat bahkan sebelum ratifikasi kovenan
yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang kemudian
diubah kedalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 dan
kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008.143
Menurut Staf Direktorat Hukum dan Perjanjian Interna-
sional, Kementerian Luar Negeri RI :
“Indonesia memberikan laporan secara continue kepada
Komite, sebagai konsekuensi dari diratifikasinya ICESCR,
laporan ini berupa keadaan-keadaan real Indonesia yang
terkait dengan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya warga.
Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri bekerjasama
dengan kementerian-kementerian lain (yang terkait)
khususnya Kementerian Hukum dan HAM dalam me-
nyusun laporan Indonesia. Secara garis besar Indonesia
melaporkan hal-hal yang urgen untuk dilaporkan, bebe-
rapa diantaranya, yaitu : Reformasi Pemerintahan dan
Birokrasi; Pendidikan; Kesehatan; Keamanan Pangan;
Infrastruktur; Perubahan iklim bisnis dan investasi; Ino-

143Lihat laporan periodik Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia


Tahun 2011
126 Iin Karita Sakharina
vasi; Serta yang paling essensial untuk dilaporkan adalah
komitmen pemerintah untuk memenuhi Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya warga Negara Indonesia”. 144

Pemerintah Indonesia juga melaporkan adanya kebijaksa-


naan yang dibuat dalam hal pembangunan tanpa adanya
dikriminasi dan prioritas pembangunan bagi kelompok-kelom-
pok rentan, persamaan gender, hak untuk bekerja, kebebasan
untuk medirikan serikat pekerja, asuransi-asuransi sosial, hak
untuk membina keluarga, hak untuk meningkatkan kualitas
kehidupan yang layak, hak atas pangan, hak atas air dan
sanitasi, hak atas perumahan yang layak, hak atas kesehatan,
hak atas pendidikan, hak menikmati kebudayaan sampai
terhadap pembatasan-pembatasan hak ekosob yang diterapkan
terhadap orang asing, seperti dalam hal pemilikan hak milik atas
tanah dan bangunan di Indonesia.145
Sehubungan dengan topik yang dibahas dalam tulisan
ini, maka penulis tidak akan membahas kemajuan-kemajuan
yang telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia dalam laporan
periodiknya seperti yang disebut diatas kecuali kemajuan-

144 Hasil korespondensi penulis melalui email dengan Staf pada Direktorat
Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI pada hari
Senin, 05 November 2012.
145Lihat laporan periodik Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia
Tahun 2011
Iin Karita Sakharina 127
kemajuan yang telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia dalam
pemenuhan hak atas pangan, antara lain, bahwa Pemerintah
Indonesia berkomitmen untuk memastikan ketersediaan bahan
makanan yang memenuhi kebutuhan gizi, baik ditingkat pusat
maupun daerah, terutama mengurangi adanya perbedaan antar
daerah, komitmen ini, ditunjukkan dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan, yang mensyaratkan pemerintah untuk memasukkan
dasar pangan yang dibutuhkan dalam hal pemenuhan kualitas
dan kuantitas. Kemajuan yang dibuat melalui beberapa program
dibidang produksi hasil-hasil pertanian, distribusi, akses dan
sistem yang biasa menyelesaikan masalah dibidang pangan
sebagaimana halnya dengan pendampingan terhadap provinsi-
provinsi yang masuk dalam kategori miskin dengan kasus
tingkat kelaparan yang tinggi.146
Kemudian juga disebutkan bahwa proporsi dari populasi
penduduk yang mengkonsumsi lebih dari 2000 kalori masih
tinggi. Berdasarkan pada rata-rata konsumsi energi yang dibu-
tuhkan setiap harinya perkapita, terlihat peningkatan yang
cukup signifikan dalam hal pengurangan kekurangan gizi di
Indonesia. Data dari Sensus Nasional Tahun 2002-2008 menun-

Lihat Right to Food, Laporan Nomor 156 Laporan Periodik Hak ekosob
146

Pemerintah Indonesia, mengenai Hak atas Pangan, dimana penulis menterje-


mahkan sesuai dengan bahasa yang penulis pahami.
128 Iin Karita Sakharina
jukkan bahwa rata-rata kebutuhan kalori yang dikeluarkan pada
tahun 2002 adalah sebesar 1,986 kcal perkapita perhari dimana
masih dibawah dari ketentuan minimum yaitu 2000 kcal per
kapita per hari.
Namun telah mengalami peningkatan menjadi 2,038 kcal
per kapita perhari pada tahun 2008 sebagaimana yang diperli-
hatkan pada tabel berikut ini147 :

Tabel 2
Kebutuhan Kalori Tahun 2002 – 2008

147 Laporan Nomor 157 tentang Right to Food, Ibid. Source: Ministry of
National development Planning/National Development Planning Agency of the
Republic of Indonesia, The Roadmap to Accelerate Achievement of the MDGs in
Indonesia, 2010.
Iin Karita Sakharina 129
Dari tabel diatas, terlihat ada peningkatan yang signifikan
terhadap kebutuhan kalori yang dikeluarkan sejak tahun 2002
sampai pada tahun 2008. Grafik pada tabel menunjukkaan ada-
nya peningkatan kalori yang dikeluarkan mengalami pening-
katan tiap dua tahunnya. Hal ini tentunya memperlihatkan
bahwa ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal
pemenuhan kalori warganya sejak tahun 2002, yang belum
memenuhi standar minimum pemenuhan kebutuhan kcal
perkapita sampai pada tahun 2008 yang telah menjadi 2,038 kcal
peracpita dari standar kebutuhan sebesar 2000 kcal perkapita.
Kemudian ada beberapa peraturan kebijaksanaan yang
dibuat oleh pemerintah berkaitan dengan implementasi dari
hak-hak ekosob khususnya dibidang pangan, seperti Instruksi
Presiden Nomor 3 Tahun 2010 yang mensyaratkan Rencana Aksi
Nasional (RAN) untuk Pangan dan Nutrisi yang mencakup
pelaksanaan di daerah dan Provinsi-Provinsi. RAN Pangan dan
Nutrisi untuk tahun 2011-2016, terdiri dari 5 pilar :
1. upaya untuk meningkatkan kelompok nutrisi
2. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan
3. meningkatkan kuality kontrol dan ketahanan pangan
4. menigkatkan kebersihan dan gaya hidup sehat
5. penguatan terhadap lembaga yang bergerak dibidang
pangan dan nutrisi.148

148 Laporan Nomor 167 tentang Right to Food, Ibid.


130 Iin Karita Sakharina
Selain itu dalam laporannya, pemerintah Indonesia me-
masukkan juga kebijaksanaan kunci untuk meningkatkan nutrisi
bagi anak-anak (Key Policies to Improve Nutrition for Children),
Strategi dan program umum untuk promosi dan perlindungan
hak atas pangan (General Strategies and Programs to Promote and
Protect The Right to Food), seperti, subsidi beras untuk masya-
rakat miskin, peningkatan teknologi dibidang pertanian, proses
pengolahan bahan makanan, dan penganekaragaman bahan
makanan.

F. Pelanggaran terhadap Hak Ekosob


Suatu Kegagalan oleh Negara Pihak untuk memenuhi
suatu kewajiban yang tercantum dalam kovenan, berdasarkan
Hukum Internasional adalah suatu pelanggaran terhadap Kove-
nan. Dalam menentukan apa yang merupakan suatu kegagalan
untuk memenuhi, harus diingat bahwa Kovenan memberikan
kepada suatu Negara Pihak suatu keleluasaan kebijaksanaan
untuk memilih sarana guna melaksanakan tujuannya, dan
bahwa faktor-faktor yang masuk akal berada diluar kuasa dari
suatu negara, sebaliknya dapat membawa pengaruh yang

Iin Karita Sakharina 131


merugikan bagi kemampuannya untuk melaksanakan hak-hak
khusus.149
Kemudian Prinsip Limburg juga menetapkan bahwa
Negara Pihak dikatakan akan melanggar kovenan, antara lain
jika :
a) Gagal mengambil langkah yang dikehendaki oleh
Kovenan;
b) Gagal menghilangkan hambatan dengan cepat padahal
merupakan kewajiban negara untuk menghapuskan-
nya agar hak dapat dipenuhi dengan segera;
c) Gagal menerapkan hak tanpa penundaan, yang
Kovenan wajibkan agar diberikan segera;
d) Sengaja tidak mencapai prestasi minimum yang
diterima umum, yang sebenarnya dapat dicapai;
e) Menerapkan pembatasan terhadap hak yang diakui
Kovenan dengan cara yang tidak sesuai dengan
Kovenan;
f) Sengaja menghambat kemajuan pelaksanaan suatu
hak, kecuali dilakukan dalam batasan yang diizinkan
Kovenan atau yang terjadi karena kekurangan sumber
daya; dan
g) Gagal menyerahkan laporan yang diminta sesuai
Kovenan.

Lihat Pelanggaran-Pelanggaran terhadap Hak-Hak Ekosob, Prinsip


149

Limburg tentang Pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial


dan Budaya tahun 1986.
132 Iin Karita Sakharina
Selanjutnya pada peringatan ulang tahun ke-10 Prinsip
Limburg tentang pelaksanaan kovenan internasional untuk hak-
hak ekosob, sekelompok ahli yang terdiri lebih dari 30 orang
bertemu di Maastrich pada tanggal 22-26 Januari 1997 dalam
sebuah pertemuan yang diadakan oleh Komisi Internasional
Ahli Hukum (Jenewa, Swiss), Lembaga HAM Urban Morgan
(Cincinnati, Ohio, AS) dan Pusat Studi HAM (PUSHAM) Fakul-
tas Hukum Universitas Maastricht (Belanda), dengan tujuan
untuk menguraikan Kaidah Limburg, mengingat sifat dan ruang
lingkup pelanggaran hak-hak ekosob serta tanggapan dan
penanganan yang tepat.150 Pada pertemuan ini seluruh peserta
menyetujui untuk mengikuti pedoman yang mereka pahami
sebagai refleksi evolusi hukum internasional sejak 1968.
Pedoman Maastrich inilah yang dirancang untuk mengatur pe-
langgaran-pelanggaran terhadap hak-hak ekosob serta penye-
diaan penanganan lanjutan dalam hal pengawasan dan kepu-
tusan tertentu dari badan-badan ditingkat nasional, regional dan
internasional.
Dalam Pedoman Maastricht ini diatur bahwa pelanggaran
terhadap hak ekosob yang dilakukan oleh negara pihak dalam
hal kebijaksanaan negara adalah jika suatu pelanggaran terha-

150 Lihat Pedoman Maastricht tentang Pelanggaran Hak-hak Ekonomi


Sosial dan Budaya, 1997
Iin Karita Sakharina 133
dap hak-hak ekosob terjadi ketika negara menempuh lewat
perbuatan atau tidak melakukan perbuatan, suatu kebijaksanaan
atau praktek yang secara sengaja bertentangan atau mengabai-
kan kewajiban yang ada dalam kovenan, atau gagal untuk
mencapai standar pelaksanaan atau hasil yang diwajibkan, juga
termasuk didalamnya adalah diskriminasi yang dilakukan oleh
negara berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau paham lain asal bangsa atau sosial, keka-
yaan, kelahiran, atau status lain dengan tujuan atau pengaruh
yang menghapus atau menghalangi pemenuhan atau pelak-
sanaan hak-hak ekosob.151
Sementara pelanggaran negara pihak dalam hal ketidak-
mampuan memenuhi adalah dalam menentukan perbuatan atau
tidak melakukan perbuatan mana yang termasuk pelanggaran
terhadap hak-hak ekosob, penting membedakan antara ketidak-
mampuan dan keengganan negara pihak untuk melaksanakan
kewajiban dalam perjanjian. Negara yang menyatakan dirinya
tidak sanggup melaksanakan kewajibannya karena alasan-ala-
san diluar kekuasaannya mempunyai beban untuk membuk-
tikan bahwa memang hal itu benar adanya. Penutupan semen-
tara lembaga pendidikan karena gempa bumi, sebagai contoh
keadaan diluar kendali negara, sementara penghapusan rencana

151 Lihat Pedoman Maastrich, Paragraf 11


134 Iin Karita Sakharina
keamanan sosial tanpa program pengganti yang memadai dapat
menjadi contoh dari keenganan negara itu untuk memenuhi
kewajibannya.152
Kemudian Pelanggaran melalui tindak perbuatan terha-
dap obligation to conduct adalah jika pelanggaran hak ekosob
terjadi melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang
tidak diatur secara memadai oleh negara. Contoh pelanggaran
ini termasuk :
a) Penghapusan secara formal atau penundaan undang-
undang yang penting bagi kelanjutan pemenuhan hak
ekosob yang dinikmati saat ini;
b) Pengingkaran aktif atas hak tersebut bagi individu atau
kelompok tertentu, entah melalui diskriminasi undang-
undang ataupun paksaan;
c) Dukungan aktif atas tindakan yang diambil pihak
ketiga yang tidak sejalan dengan hak-hak ekosob;
d) Pemberlakuan undang-undang atau peraturan kebijak-
sanaan yang jelas-jelas tidak sejalan dengan kewajiban
hukum yang sudah ada sebelumnya sehubungan de-
ngan hak-hak ini, kecuali jika hal ini dilakukan dengan
tujuan dan akibat yang meningkatkan persamaan dan
memperbaiki pelaksanaan hak-hak ekosob bagi kelom-
pok rentan;
e) Pelaksanaan tindakan yang berlaku surut secara senga-
ja yang menurunkan tingkat dimana setiap hak terse-
but dijamin;

152 Lihat Pedoman Maastricht, Paragraf 13


Iin Karita Sakharina 135
f) Hambatan yang diperhitungkan, atau penghentian
terhadap kemajuan pelaksanaan secara bertahap atas
hak-hak yang dilindungi kovenan, kecuali jika negara
bertindak dalam batasan yang dijinkan oleh kovenan
atau negara bertindak begitu karena kekurangan
sumber daya atau keadaan diluar kendali; dan
g) Pengurangan atau pengalihan pengeluaran publik
khusus, ketika pengurangan atau pengalihan tersebut
berakibat pada tidak dipenuhinya hak tersebut dan
tidak dibarengi oleh tindakan yang cukup untuk
menjamin penghasilan minimum bagi setiap orang.153

Sementara pelanggaran oleh negara pihak karena tidak


bertindak adalah pelanggaran terhadap hak ekosob yang dapat
terjadi karena negara tidak melakukan suatu tindakan atau
kegagalan negara untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang
perlu atas kewajiban hukum. Contoh dari pelanggaran ini
termasuk :
a) Kegagalan untuk mengambil langkah tepat seperti
yang disyaratkan oleh kovenan;
b) Kegagalan untuk mengubah atau mencabut undang-
undang yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kewajiban
negara terhadap kovenan;
c) Kegagalan untuk memberlakukan undang-undang
atau melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
dirancang untuk melaksanakan ketetapan dalam
kovenan;

153 Lihat Pedoman Maastricht, Paragraf 14


136 Iin Karita Sakharina
d) Kegagalan untuk mengatur kegiatan dari perorangan
atau kelompok sehingga mencegah mereka agar tidak
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ekosob;
e) Kegagalan memanfaatkan pemaksimalan sumber daya
yang tersedia kearah pelaksanaan penuh dari kovenan;
f) Kegagalan memantau pelaksanaan hak-hak ekosob
termasuk perkembangan dan penerapan kriteria dan
indikator untuk menilai kepatuhan terhadap pelaksa-
naannya;
g) Kegagalan untuk menghilangkan dengan segera ham-
batan dimana negara yang bersangkutan berkewajiban
untuk menghilangkannya, sehingga memungkinkan
dipenuhinya dengan segera hak-hak yang dijamin oleh
kovenan;
h) Kegagalan untuk melaksanakan tanpa ditunda-tunda
lagi hak yang dikehendaki oleh kovenan untuk segera
di laksanakan;
i) Kegagalan untuk memenuhi standar minimum penca-
paian yang diterima dunia internasional secara umum
yang berada dalam kekuasaan negara untuk memenu-
hinya; dan
j) Kegagalan suatu negara untuk memperhitungkan
kewajiban hukum internasionalnya dalam bidang hak
ekosob ketika mengadakan perjanjian bilateral dan
multirateral dengan negara lain, organisasi interna-
sional atau perusahaan multinasional.154

154 Lihat Pedoman Maastricht, Paragraf 15


Iin Karita Sakharina 137
Dari pemaparan diatas akan terlihat sangat jelas pelang-
garan-pelanggaran yang terjadi atau yang dilakukan negara
pihak terhadap kewajiban-kewajibannya untuk melakasanakan
pemenuhan hak-hak ekosob bagi warga negara. Negara Indo-
nesia sebagai negara pihak juga dapat dikatakan melakukan
pelanggaran jika dengan sengaja tidak melakukan salah satu
ketentuan yang ditetapkan oleh kovenan internasional hak
ekosob dalam rangka mewujudkan pemenuhan hak bagi warga
negaranya.
Jika kita merujuk pada indikator struktural dalam rangka
pemenuhan hak-hak ekosob warga negaranya maka indikator
struktural harus berfokus pada hukum domestik yang relevan
dengan kebijaksanaan terhadap pemenuhan hak atas kecukupan
pangan yang layak misalnya. Indikator-indikator struktural
juga diperlukan untuk melihat pada kerangka-kerangka kebijak-
sanaan dan strategi-strategi yang terindikasi dari negara yang
relevan dengan hak-hak yang bersangkutan,155 misalnya hak
atas kecukupan pangan yang layak. Salah satu contoh indikator-
indikator struktural adalah jangka waktu pelaksanaan dan
pelaporan di media tentang pernyataan kebijaksanaan nasional

Komnas HAM, Pelatihan dan Diskusi Terfokus dalam Rangka


155

Penyusunan Human Rights Index, (Jakarta: Komnas HAM, 2008), hlm. 6


138 Iin Karita Sakharina
tentang keamanan pangan dan perlindungan konsumen berkai-
tan dengan hak atas pangan yang layak.
Pemerintah Indonesia dapat dikatakan melakukan pe-
langgaran, dalam konteks negara dapat dinilai gagal bertindak
menurut kovenan adalah jika adanya kasus kelaparan atau
kematian warga yang disebabkan kelaparan, maka pemerintah
dapat dianggap gagal untuk melakukan tindakan menurut atu-
ran yang ditetapkan oleh kovenan dan membiarkan warganya
meninggal akibat kelaparan.

G. Hak Ekosob Sebagai Justiciable Rights


Banyak pakar berpendapat bahwa perbedaan antara hak
ekosob dan hak sipol adalah pada mekanisme penyelesaian
pelanggaran terhadap kedua hak tersebut. Hak Sipol sering
dikatakan sebagai negative rights dimana, Pemerintah dituntut
untuk tidak melakukan intervensi terlalu jauh kedalam peme-
nuhan hak tersebut, namun jika terjadi pelanggaran didalam
pelaksanaan dan pemenuhannya maka bisa menempuh meka-
nisme hukum dan mengajukan tuntutan ke pengadilan baik oleh
individu atau kelompok, sementara Hak ekosob, sering disebut
sebagai positive rights, dimana negara dituntut untuk melakukan
intervensi dalam pelaksanaan hak tersebut guna terwujudnya
pemenuhan dari hak-hak ekosob ini, namum jika terjadi pelang-

Iin Karita Sakharina 139


garan di dalamnya maka tidak bisa dituntut ke pengadilan
untuk proses tuntutan terhadap pelanggaran yang terjadi dan
karena itu hak ini sering dipandang sebagai hak non justiciable.
Dalam kovenan memang tercantum ketentuan bahwa
pelaksanaan pemenuhan hak ekosob dilakukan secara bertahap.
Selain itu mekanisme monitoring hak ekosob di tingkat
internasional juga masih lemah karena belum ada mekanisme
pengaduan terhadap pelanggaran hak ekosob. Namun walau-
pun kovenan tidak menyediakan atau mengatur mekanisme
hukum jika terjadi pelanggaran terhadap hak ekosob tersebut
namun jika melihat dari General Comment No. 3156 dimana negara
pihak diberi kebebasan untuk memilih cara untuk melaksanakan
kovenan diwilayah mereka masing-masing dibawah yurisdiksi
suatu negara. Sehingga seharusnya negara dapat mengatur
berdasarkan hukum yang berlaku dinegaranya mengenai meka-
nisme penuntutan hukum dipengadilan jika terjadi pelanggaran
terhadap hak-hak ekosob tersebut. Namun tentunya untuk
menerapkan mekanisme tuntutan hukum dipengadilan, maka
sosialisasi akan hak-hak ekosob menjadi penting, agar mereka
mengetahui hak-hak apa saja yang dimiliki masyarakat dan

156 Lihat Komentar Umum Nomor 3, Pelaksanaan di Tingkat Nasional


(sesi ketiga belas, 1981), Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi Umum
yang Diadopsi oleh badan-badan Perjanjian Hak Asasi Manusia, UN.DOC>HR/
GEN/1/Rev.1at 4 (1994).
140 Iin Karita Sakharina
dijamin oleh hukum di negaranya terkait dalam pemenuhan hak
ekosob bagi masyarakat. Selain itu para Hakim dan penegak
hukum lainnya juga harus mengetahui mengenai ratifikasi dari
hak-hak ekosob tersebut sehingga dapat memutuskan hak-hak
apa saja dalam pemenuhan hak ekosob yang bisa diselesaikan
melalui jalur hukum atau melalui jalur non hukum.
Di beberapa negara, mekanisme penyelesaian pelangga-
ran hak ekosob sudah ada yang diselesaikan melalui jalur
pengadilan. Contoh kasus terhadap pelanggaran hak atas pa-
ngan yang terjadi di Afrika Selatan yang dikenal dengan kasus
Kenneth George and others vs Minister of Environmental affairs &
tourism, 2007, dimana pada kasus tersebut Kenneth George
(seorang nelayan tradisional) dari kelompok nelayan tradisional
kehilangan akses ke laut sehubungan dengan adanya peraturan
yang dibuat oleh Pemerintah Afrika Selatan yang berhubungan
dengan sumber daya laut, sehingga dia dan teman-temannya
mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Afrika Selatan atas
hilangnya hak akses ke laut dimana Kenneth menafsirkan
kehilangan akses kelaut sebagai pelanggaran terhadap kewa-
jiban untuk menghormati hak seseorang atas bahan makanan
yang harus dipenuhi oleh negaranya sebagai negara pihak dari
kovenan. Akhirnya pengadilan memutuskan tertanggal 27 Mei
2007, bahwa kelompok nelayan tradisional tersebut dapat

Iin Karita Sakharina 141


sesegera mungkin mendapatkan haknya terhadap akses ke laut,
kemudian pemerintah juga membuat suatu rancangan undang-
undang yang baru, dimana para nelayan tradisional ikut ambil
bagian didalamnya untuk memastikan adanya penghormatan
terhadap hak atas pangan bagi warga negaranya.157
Begitu pula di negara-negara Eropa, hak-hak ekosob telah
menjadi justiciable rights, dimana dibeberapa kasus yang terjadi
di Eropa mengenai pelanggaran hak ekosob, Pengadilan HAM
Eropa menetapkan bahwa kewajiban untuk melindungi hak-hak
ekosob ini adalah fully justiciable.158 Sama halnya yang terjadi di
India, bahwa Mahkamah Agung India telah menetapkan
putusan untuk melindung hak-hak kelompok nelayan tradisi-
onal terhadap hak akses atas laut, tanah dan air dari kegiatan-
kegiatan industri yang juga memanfaatkan sumber daya laut
untuk mencari keuntungan secari pribadi seperti terlihat dalam
keputusan Mahkamah Agung India yaitu: The Supreme Court of
India, protected the sea, land, and water rights of traditional fishing
communities against the activities of the shrimping industry and the

157Afrika Selatan, Pengadilan Tinggi, kasus Kenneth George dan rekan


Versus Kementrian Lingkungan Hidup dan Pariwisata, 2007, Paragraph 1-7,10
dalam Cristopher Golay, The Right to food and Access to Justice (Examples, at
National, Regional and International Levels), Food And Agriculture
Organization Of The United Nations, Rome, 2009), hlm. 22
158 Ibid., hlm. 23
142 Iin Karita Sakharina
subsistence activities of tribal populations against State concessions
granted to private enterprises.159
Adanya akses hukum terhadap pemenuhan hak atas
pangan membuat hak ini lebih efektif dan terasa. Seperti yang
diungkapkan oleh Eleanor Roosevelt bahwa :
“Acces to justice makes the right to food more effective and
tangible. By calling the responsible parties to account and
enabling victims to claims their rights, access to justice shines a
light on is commonly identified as the primary obstacle to the
realization of the right to food and the strunggle against hunger
the lack of political will”.160

Dalam Right to Food Guideline (panduan hak atas pangan),


negara pihak diminta untuk memasukkan hak atas pangan
kedalam hukum nasionalnya, termasuk kedalam konstitusi
mereka dan menyediakan sistem kelayakan, efektif dan penye-
lesaian yang memuaskan jika terjadi kasus pelanggaran ter-
hadap hak atas pangan, terutama untuk masyarakat yang
rentan.161
Dapat disimpulkan bahwa hak ekosob, termasuk di
dalamnya hak atas pangan yang layak dapat dimasukkan

159 Ibid.
160 Lihat Eleanoor Roosevelt dalam Cristopher Golay, Ibid., hlm. 29
161 Lihat Right to Food Guideline, 7.1 and 7.3; Lihat juga : Cristopher
Golay, Ibid., hlm. 29
Iin Karita Sakharina 143
sebagai hak yang dapat diajukan secara hukum seperti yang
dikatakan Golay dalam tulisannya bahwa :
“in all legal system in which access to justice is ensured in cases
of violations of the right to food, in India, South Afrika,
argentina, Colombia, Switzerland, The African and American
continents, and at the international level, the right to food is
enshrined legal remedies are available, and judicial and quasi
judicial bodies recognize the justiciability of the right to
food”.162

Berdasarkan pemaparan di atas tentang perdebatan


apakah hak ekosob sama dengan hak sipol sebagai justiciable
rights, dapat dijelaskan bahwa dalam hal pemenuhan, hak
ekosob sama halnya dengan hak sipol yaitu dapat bersifat
justiciable dimana jika terjadi pelanggaran terhadap hak tersebut
maka dapat mengajukan tuntutan untuk pemenuhan dan
perlindungannya di pengadilan. Hal ini tentu saja dapat berlaku
di Indonesia, sehingga Pemerintah Indonesia harus menyiapkan
peraturan sendiri serta mekanisme pengaduan atas pelanggaran
hak ekosob di pengadilan. Selain itu sosialisasi mengenai hak-
hak ekosob sangat diperlukan agar masyarakat khususnya
masyarakat rentan menjadi lebih paham dan tahu mengenai
hak-hak ekosobnya. Selain itu pemahaman para hakim terhadap
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekosob

162 Ibid., hlm. 29-30


144 Iin Karita Sakharina
juga menjadi penting didalam memutuskan kasus-kasus pelang-
garan terhadap hak ekosob yang diajukan ke pengadilan.
Dimana pada prinsipnya pengadilan harus menjadi institusi
negara yang dapat menghindarkan negaranya melakukan
pelanggaran terhadap perjanjian yang telah diratifikasi.
Walaupun di Indonesia sangat sering kita mendengar
mengenai adanya kasus kelaparan atau gizi buruk yang ter-
jadi,baik melalui media cetak atau elektronik, bahkan kasus
kelaparan yang pernah terjadi di kota Makassar pada tahun 2008
yang menyebabkan kematian ibu hamil dan ramai diberitakan
oleh media cetak dan elektronik beberapa waktu yang lalu,
namun sampai sekarang belum pernah ada gugatan yang masuk
dipengadilan mengenai pemenuhan hak atas kecukupan pangan
yang layak. Hal ini mungkin disebabkan karena pemahaman
masyarakat mengenai pemenuhan haknya dibidang kecukupan
pangan masih sangat kurang. Belum adanya sosialisasi menge-
nai dimungkinkannya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
dalam pemenuhan hak ekosob diajukan kepengadilan.Ataupun
masih kurangnya lembaga-lembaga non pemerintah yang ber-
gerak pada pendampingan masyarakat di bidang hak kecuku-
pan pangan, sehingga walaupun seringkali terdengar adanya
kasus gizi buruk atau kelaparan yang terjadi di Indonesia,
namun belum pernah ada gugatan yang dilakukan oleh kelom-

Iin Karita Sakharina 145


pok masyarakat atau lembaga non pemerintah yang bergerak
pada pendampingan masyarakat di bidang hak atas kecukupan
pangan yang layak. Selain itu karena negara belum meratifikasi
protokol tambahan dari kovenan internasional hak-hak ekosob
yaitu Optional Protocol to the International Covenant on Economic,
Social and Culutral Rights yang dikeluarkan oleh Majelis Umum
PBB pada tanggal 10 Desember 2008 sehingga mekanisme
pengaduan individu dalam hukum internasional belum bisa
digunakan untuk menggugat pemerintah jika terjadi pelang-
garan terhadap hak-hak ekosob khususnya mengenai peme-
nuhan hak atas pangan yang layak.
Dalam undang-undang Pangan yang baru, yaitu Undang-
Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, sudah diatur
mekanisme hukum jika terjadi pelanggaran di bidang pangan163,
berarti dalam hal ini, jika terjadi pelanggaran-pelanggaran
dalam pemenuhan hak atas pangan yang dapat merugikan
warga masyarakat maka sudah bisa mengajukan tuntutan
berdasarkan apa yang diatur di dalam uu ini. Walaupun
sebenarnya UU Pangan sebelumnya yaitu UU No.7 Tahun 1996
tentang pangan juga sudah memasukkan ketentuan tindak
pidana bagi pelanggaran di bidang pangan, namun dalam

163lihat Bab XV, Ketentuan Pidana Pasal 133 sampai 148, UU Nomor 18
Tahun 2012 Tentang Pangan
146 Iin Karita Sakharina
undang-undang pangan yang baru ini juga mengatur sanksi
kepada pejabat atau penyelenggara negara yang membantu
terjadinya tindak pidana164

164 Setiap pejabat atau penyelenggara negara yang melakukan atau


membantu tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dala Pasal 133 sampai
Pasal 145 dikenai pidana dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari
ancaman pidana masing-masing.
Iin Karita Sakharina 147
148 Iin Karita Sakharina
BAB IV
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
BERKENAAN DENGAN HAK ATAS
KECUKUPAN PANGAN

Berkenan dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan


Pemerintah Indonesia khususnya dalam hal pemenuhan terha-
dap hak atas kecukupan pangan yang layak, maka ada 2 (dua)
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu :
1. Kebijaksanaan di bidang Politik Pangan
2. Kebijaksanaan di bidang Hukum

Berikut ini adalah uraian mengenai dua kebijaksanaan


tersebut yang penulis coba uraikan secara panjang lebar untuk
melihat bagaimana keterkaitan antara dua kebijaksanaan ini
yaitu kebijaksanaan di bidang politik pangan dan kebijaksanaan
dibidang hukum dalam mengukur proses yang telah dilakukan
oleh pemerintah terhadap adanya kewajiban yang harus dipe-
nuhi sebagai konsekuensi dari ratifikasi kovenan internasional
mengenai hak ekosob. Sebagaiamana indikator dari pemenuhan
HAM yaitu indikator proses yang mengaitkan instrumen-
instrumen kebijaksanaan negara dengan tonggak-tonggak yang

Iin Karita Sakharina 149


dikumpulkan menjadi hasil setelah periode waktu tertentu.
Dimana dalam hal ini, jika dikaitkan dengan pemenuhan HAM,
maka instrumen-instrumen kebijaksanaan negara akan merujuk
pada semua langkah, termasuk program-program publik dan
intervensi-intervensi khusus yang dapat dilakukan bahwa suatu
negara bersedia melakukan guna memberi dampak pada
komitmen dan penerimaannya terhadap standar-standar HAM
untuk mencapai hasil-hasil yang diidentifikasikan dengan
perwujudan HAM khususnya dibidang hak atas kecukupan
pangan yang layak.

A. Politik Pangan Pemerintah Indonesia


Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang
ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang
berbasis Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan. Kedaula-
tan Pangan mencerminkan hak menentukan kebijaksanaan
secara mandiri, menjamin hak atas pangan bagi rakyat, dan
memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha
sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan
Kemandirian Pangan merupakan wujud kemampuan negara
memproduksi pangan di dalam negeri secara bermartabat.
Terwujudnya ketahanan pangan hanyalah ultimate goal, karena

150 Iin Karita Sakharina


sejatinya pencapaian akhir yang diharapkan dari kondisi
tersebut adalah ketahanan nasional yang tangguh.165
Politik Pangan ini penting karena pangan merupakan
kebutuhan pokok manusia yang paling dasar, sehingga semua
bangsa berupaya untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh
warga negaranya dan menyimpan sebagian untuk cadangan
pangan nasional. Indonesia memerlukan politik pangan berbasis
kedaulatan dan kemandiran pangan didasarkan atas pertimba-
ngan kondisi lingkungan internal dan eksternal serta analisis
kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang dihadapi
Indonesia. Indonesia tetap konsisten di jalurnya. Sektor perta-
nian/pangan menjadi prioritas dalam pembangunan. Produksi
pangan dalam negeri terus ditingkatkan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi masyarakat yang terus tumbuh baik
jumlah maupun keragaman jenis pangannya.166
Golongan menengah di Indonesia juga meningkat, ini
berarti konsumsi bahan pangan lebih banyak lagi. Saat ini
Indonesia memiliki 45 juta pangsa klas konsumen dan pada
tahun 2030, akan tumbuh menjadi 135 juta. Demikian pula
market opportunities dari 0,5 miliar menjadi 1,8 miliar di tahun

165Jusuf, Politik Pangan Indonesia: Ketahanan Pangan Berbasis Kedau-


latan dan Kemandirian, http://www.setkab.go.id/artikel-6833-.html, Diakses
pada hari Kamis, 20 September 2012.
166 Ibid.
Iin Karita Sakharina 151
2030. Sistem logistik dan distribusi pangan menjadi perhatian
pemerintah dalam politik pangan nasional untuk memastikan
bahwa ketahanan pangan dinikmati oleh setiap orang di
Indonesia hingga ke pulau terdepan dan di daerah yang sulit
terjangkau sekalipun. Untuk menghubungkan antar wilayah
dan mempersingkat waktu tempuh bahan pangan, pemerintah
memfokuskan pada pembangunan infrastruktur dan konek-
tivitas antar wilayah Indonesia.167
Indonesia diuntungkan oleh demografi, dengan tingginya
jumlah angkatan muda dan mulai dirasakan pengaruhnya pada
perekonomian nasional. Arus urbanisasi menyebabkan partum-
buhan daerah perkotaan sehingga menambah pangsa kelas
konsumen. Indonesia juga terbukti mampu mengendalikan laju
inflasi, menurunkan tingkat kemiskinan dan angka pengang-
guran. Untuk mengimbanginya, maka pemenuhan pangan ha-
rus dilakukan dengan cara meningkatkan produksi dan produk-
tivitasnya melalui intensifikasi (bukan ekstensifikasi), diversify-
kasi konsumsi melalui pengembangan pangan lokal, pening-
katan daya saing, dan menurunkan kehilangan paska panen dan
value-chain.168

167 Ibid.
168 Ibid.
152 Iin Karita Sakharina
Pangan lokal dikembangkan karena Indonesia memiliki
keragaman hayati yang sangat kaya dan belum dimanfaatkan
secara optimal. Keanekaragaman tersebut mencakup tingkat
ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetik, yang melibatkan
makhluk hidup beserta interaksi dengan lingkungannya. Pro-
dusen pangan nasional sudah saatnya menghidupkan kembali
sumber-sumber pangan lokal untuk menghentikan kemerosotan
keragaman varietas jenis pangan yang dibudidayakan oleh
petani. Apabila kondisi ini terus dikembangkan di seluruh wila-
yah nusantara, maka kemampuan nasional untuk meningkatkan
produksi pangan pasti akan meningkat sekaligus menghin-
darkan ketergantungan terhadap jenis pangan tertentu.169
Kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah konsu-
men domestik yang besar menjadi pasar dalam negeri yang
potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Disamping
itu pemerintah telah berhasil dalam melakukan pengendalian
tingkat inflasi, penurunan tingkat kemiskinan dan pengang-
guran. Di sisi lain, situasi dunia akibat perubahan iklim dan
faktor-faktor yang lain, seringkali menyebabkan supply pangan
global terganggu sehingga menimbulkan fluktuasi harga secara
cepat. Perdagangan bebas dan Free Trade Area akan menciptakan
global economic connectivity dan borderless state. Asia menjadi

169 Ibid.
Iin Karita Sakharina 153
pusat pertumbuhan ekonomi di dunia sehingga posisi Indonesia
yang strategis akan mendapatkan keuntungan. Dependency ratio
negara maju meningkat seiring dengan majunya pertumbuhan
ekonomi negara Asia. Situasi ini mengharuskan Indonesia
memenuhi kecukupan pangannya diutamakan dari produksi
dalam negeri. Potensi sumber pangan yang beragam dan letak
geografis Indonesia di jalur khatulistiwa menyebabkan Indo-
nesia relatif aman dari dampak global climate change, merupakan
opportunity yang tidak boleh dilewatkan. Diperkuat dengan
meningkatnya kesadaran terhadap green economy memberikan
peluang Indonesia khususnya sebagai negara penyuplai pangan
dunia (feed the world).170
Kemampuan memproduksi pangan nasional diimbangi
dengan keberadaan lembaga pemerintah yang menjalankan
fungsi sebagai stabilisator harga pangan strategis di pasar dalam
negeri sekaligus mengelola sistem logistik pangan pemerintah.
Pemerintah saat ini telah menetapkan Perum Bulog menjalankan
fungsi tersebut, agar harga pangan tidak berfluktuasi dan
cadangan pangan untuk kondisi darurat tetap terjaga. Bulog
diharapkan mampu menjaga harga pangan di pasar lokal
sehingga petani menerima harga jual yang tetap memberikan
keuntungan bagi usaha taninya dan konsumen dapat membeli

170 Ibid.
154 Iin Karita Sakharina
pangan dengan harga terjangkau. Setidaknya untuk beberapa
produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula,
daging sapi dan minyak goreng.171
Indonesia juga saat ini tengah menjalankan 4 strategi
politik pangan172, yaitu :
Pertama, Regulasi. Harmonisasi implementasi Peraturan
dan Undang-Undang antar kementerian lembaga/legislatif dan
antara pusat/daerah; Sinergitas program Kementerian/Lem-
baga, fokus pada sektor pertanian dalam arti luas (mencakup
pertanian tanaman pangan, peternakan, hortikultura, perkebu-
nan, perikanan, dan kehutanan) ; Alokasi anggaran APBD untuk
pembangunan sektor pertanian yang signifikan; Penguatan
Kelembagaan yang terkait dengan pertanian, seperti R & D,
Perbankan dan penyuluhan; dan Sinergitas Akademisi, Bisnis,
Government (ABG) dan LSM untuk peningkatan inovasi dan
produktivitas.
Kedua, Ketersediaan. Kesungguhan Pemerintah Daerah
untuk mengembangkan potensi pangan lokal di wilayah
masing-masing; Revitalisasi BUMN pangan guna meningkatkan
produksi untuk mendapatkan economy of scale sehingga dapat
menjamin ketersediaan pangan; dan dukungan pemerintah

171 Ibid.
172 Ibid.
Iin Karita Sakharina 155
untuk pengembangan sistem perbenihan dan perbibitan melalui
pemanfaatan hasil riset baik oleh lembaga pemerintah, pergu-
ruan tinggi, swasta, maupun masyarakat.
Ketiga, Keterjangkauan. Melakukan penataan sistem
logistik melalui perbaikan infrastruktur jalan, perhubungan dan
pergudangan agar dapat menurunkan biaya logistik untuk
meningkatkan daya saing; Memperpendek supply chain pangan
melalui peningkatan peran Bulog untuk stabilisasi harga
komoditas pangan strategis dan menekan pasar yang bersifat
oligopoli; dan Membangun Sistem Pengawasan terhadap
distribusi pangan dan berbagai subsidi input produksi.
Keempat, Ketercukupan Gizi. Perbaikan gizi masyarakat
melalui peningkatan konsumsi protein dan menurunkan kon-
sumsi karbohidrat sesuai dengan Pola Pangan Harapan; Pening-
katan diversifikasi konsumsi pangan lokal melalui pengemba-
ngan dan pemanfaatan sumber pangan di masing-masing wila-
yahnya; Modernisasi industri pangan lokal mulai dari pengo-
lahan hingga pengemasan sehingga dapat menjadi kebanggaan
dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat daerah; Pening-
katan keamanan pangan untuk menjamin keselamatan konsu-
men melalui pemberdayaan Badan POM dan Laboratorium
Universitas di masing-masing daerah.

156 Iin Karita Sakharina


Jadi jika kita merujuk pada indikator pemenuhan pangan
yang layak, dapat dikatakan bahwa pemerintah sebagai penye-
lenggara negara telah menetapkan dalam strategi politik
pangannya yaitu ketersediaan dengan melihat kesungguhan
dari pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi pangan
lokal di wilayah masing-masing hal ini juga berkaitan dengan
penerimaan, yaitu penyediaan pangan juga harus menghormati
nilai-nilai dan budaya dari warga masyarakat setempat dengan
menghasilkan pangan yang sesuai dengan pangan yang bia-
sanya dikonsumsi oleh warga setempat tanpa mengabaikan
nutrisi yang ada, serta hak akses terhadap pangan melakukan
penataan pada sistem logistik agar masyarakat dapat mengakses
pangan lebih mudah begitupula dengan kualitas dari pangan
yang dihasilkan yaitu dengan memperhatikan ketercukupan gizi
yang terkandung dalam makanannya utamanya untuk anak-
anak sebagai generasi masa depan, penerus kehidupan bangsa
sehingga dengan menyediakan gizi yang berkualitas baik bagi
anak- anak akan menghasilkan pula sumber daya-sumber daya
manusia yang sehat, cerdas dan berkualitas untuk meneruskan
pembangunan untuk memajukan negara Indonesia. Selain itu
dalam undang-undang pangan yang baru yaitu UU Nomor 18
tahun 2012, juga diatur mengenai ketersediaan pangan, dalam
Pasal 12 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertang-

Iin Karita Sakharina 157


gung jawab atas ketersediaan pangan. Kemudian dalam hal
keterjangkauan pangan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bertanggung jawab dalam mewujudkan keterjangkauan
pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan.173
Sementara untuk distribusi pangan sebagaimana yang diatur
oleh undang-undang pangan bahwa distribusi pangan dilaku-
kan untuk memenuhi pemerataan ketersediaan pangan ke
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
berkelanjutan.174 Selain itu Pemerintah juga menetapkan menge-
nai Gizi dan perbaikan gizi di masyarakat jika terjadi laporan
adanya kasus kekurangan gizi di dalam masyarakat.175

B. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat


Negara Indonesia seringkali mengalami krisis pangan,
seperti terjadi pada tahun 2007 sampai tahun 2008. Krisis
pangan itu melahirkan satu pemahaman umum di banyak
kalangan masyarakat dunia bahwa “agriculture should be the main
agenda in economic development”.176 Dalam rangka pembangunan

173 Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan

174 Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan


175 Pasal 59 – Pasal 66 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
176Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI, Penerapan Kebijakan Ketahanan
Pangan Bagi Pencapaian Kedaulatan Pangan, (Makalah yang disampaikan pada
kongres KIPNAS). Hlm.1
158 Iin Karita Sakharina
ekonomi itu, pertanian haruslah menjadi agenda utama yang
digarap, karena terkait dengan pemenuhan ketahanan pangan
nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus menga-
lami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi
pangan dan pertambahan penduduk (saat ini sudah mencapai
237,641 juta jiwa).177
Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang men-
duduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian,
karena beras telah menjadi komoditas politik dan menguasai
hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat telah menjadikan
beras sebagai makanan pokok, sehingga beras menjelma menjadi
sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan juga ketahanan
pangan nasional.178
Indikator makro sektor pertanian Indonesia berdasarkan
data statistik menunjukkan gambaran yang cukup baik. Dalam
hal mana, produksi padi menurut Angka Ramalan (ARAM) II
akan mencapai 68,061 juta ton. Dan target produksi padi sebesar
70,6 juta ton pada tahun 2011 rasanya ini akan sulit dicapai
walau sudah mengalami kenaikan sekitar 2,4 persen dibanding-
kan produksi tahun 2010.179

177 Ibid.
178 Ibid., hlm. 2
179 Ibid.
Iin Karita Sakharina 159
Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian
tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan pangan yang
semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecende-
rungan kenaikan harga pangan pokok dan volume impor
pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan
kedelai tetapi juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras
dan garam yang sebelumnya dianggap cukup melimpah di
dalam negeri. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menya-
takan bahwa indikator makro tidak lagi mencerminkan gam-
baran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan kecuku-
pan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri.
Terlebih lagi, pada saat perubahan iklim, akan berakibat pada
kekeringan dan kegagalan panen di sebagian besar wilayah
lumbung pangan nasional, kondisi ini akan menjadi ancaman
atas produksi pangan. Kita harus memiliki sikap kritis dalam
memahami penyajian data statistik karena berimplikasi terhadap
persoalan paradox di sektor pertanian Indonesia. Anggaplah
perhitungan produktivitas telah cukup akurat jika dilakukan
dengan melakukan pendataan langsung di beberapa lokasi
panen.180
Persoalan yang kemudian muncul adalah, bahwa sejak
tahun 2008 BPS tidak pernah lagi memunculkan data luasan

180 Ibid.
160 Iin Karita Sakharina
lahan sawah. Walaupun, data tentang luasan lahan panen tersaji
dan selalu menunjukkan perluasan lahan panen yang cukup
signifikan. Misalnya, dari luasan lahan panen 12,347 juta hektar
(ha) pada tahun 2008 menjadi 13,566 juta ha di tahun 2011.
Paradoxal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan dari sebagian
kalangan yang menyakini bahwa tingkat konversi lahan
pertanian terjadi secara massive di wilayah lumbung pangan di
Jawa, akibat desakan permintaan lahan untuk permukiman dan
kawasan Industri. Kementerian Pertanian memang telah
menargetkan tambahan lahan sawah baru sebesar 100.000 ha per
tahunnya, akan tetapi Ketua KTNA, Winarno Tohir menyatakan
bahwa laju konversi lahan mencapai 110.000 ha per tahun atau
terjadi setidaknya defiit 10.000 ha per tahun. Terlepas dari data
mana yang lebih layak dipercaya, akumulasi perhitungan
produksi dari hasil estimasi tingkat produktivitas, luasan lahan
produktif dan luasan panen jika diagregasi secara makro dapat
menimbulkan bias data yang semakin besar.181
Untuk mengetahui kemampuan produksi dalam meno-
pang kebutuhan pangan masyarakat, harus dilihat dari data
peningkatan produksi padi dibandingkan dengan data konsum-
si pangan. Namun, persoalan lagi-lagi muncul dalam proses
pendataan konsumsi pangan. Paparan data menunjukkan,
181 Harian Kompas, edisi Jumat, 14 Oktober 2011

Iin Karita Sakharina 161


terjadi peningkatan produksi namun tidak diikuti dengan
peningkatan konsumsi pada level yang sama, maka seharusnya
ada selisih data berupa supply dan demand yang besar dalam
konteks penyediaan stok pangan ataupun surplus pangan.
Tetapi terjadi inkonsistensi dari data yang ditampilkan, karena
peningkatan produksi lebih tinggi dari peningkatan konsumsi,
sementara surplus stok pangan relatif tidak banyak mengalami
perubahan.182
Hal ini dapat dilihat dari stabilitas harga dan komposisi
impor pangannya. Dari pembacaan data yang inkonsisten
tersebut, kesan yang muncul adalah adanya situasi dimana
“mau tidak mau” konsumsi pangan juga harus naik agar
menjaga keseimbangan data stok pangan. Hal ini terbukti dari
adanya data konsumsi beras yang sempat dihitung mencapai
139 kg per kapita, atau berarti terdapat kebutuhan 32,943 juta
ton beras bagi sekitar 237 juta penduduk Indonesia. Kebutuhan
ini sebetulnya dapat tercukupi oleh konversi 68,061 juta ton padi
atau sebanyak 40,837 juta ton beras (60 persen dari produksi
padi). Berarti, stok pangan masih dalam kondisi surplus
sebanyak 7,894 juta ton beras. Namun kemudian, data konsumsi
ini mengalami proses penghitungan ulang sehingga diperki-

182 Ibid.
162 Iin Karita Sakharina
rakan konsumsi pangan beras menurun menjadi 113 kg per
kapita183.
Dengan data konsumsi pangan yang baru, maka total
konsumsi beras nasional turun menjadi 26,781 juta ton atau
berarti terdapat tambahan surplus beras dari 6,162 juta ton
menjadi 14,056 juta ton beras pada tahun 2011 ini. Surplus beras
sebesar 14,056 juta ton merupakan surplus yang cukup besar,
karena berarti tingkat stok pangan beras mencapai 52,5 persen
dari total kebutuhan pangan beras nasional. Over supply yang
begitu besar tersebut tidak menghalangi niat pemerintah untuk
tetap melakukan rencana impor beras yang mencapai 1,6 juta
ton184.
Alasan yang dibuat pemerintah, karena impor beras
merupakan bentuk dari upaya pemerintah untuk membangun
kepercayaan terhadap stok pangan yang cukup, alasan itu sulit
diterima karena stok beras yang berlimpah. Terlebih-lebih jika
pemerintah juga akan melakukan kenaikan harga pangan pada
saat kondisi stok melimpah. Pemerintah bisa saja berdalih
bahwa distribusi, biaya transportasi, dan ulah pedagang
spekulan yang mempengaruhi kenaikan harga pangan. Dalam
hal ini, ada persoalan akurasi data produksi dan konsumsi

183 Ibid.
184 Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI. Op. Cit., hlm. 3
Iin Karita Sakharina 163
pangan yang menyebabkan adanya bias data produksi perta-
nian. Data peningkatan harga komoditi beras kualitas medium
(IR 64) secara nasional juga menunjukkan kecenderungan
peningkatan dari Rp 7139/kg pada 3 Januari 2008 meningkat
menjadi Rp 7600/kg, dan untuk beras kualitas medium per 20
Oktober 2011 terjadi peningkatan yang lebih besar dari
perkiraan laju inflasi sepanjang tahun 2011. Pembentukan harga
beras di tahun 2011 merupakan akumulasi kenaikan harga beras
yang selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
misalnya untuk beras kualitas medium harganya Rp. 4360/kg
pada tahun 2006, lalu meningkat menjadi Rp. 5444/kg pada
tahun 2008 dan mencapai Rp. 6507/kg pada tahun 2010.185
Selain terjadi bias data produksi dan konsumsi, ada data
peningkatan produksi beras namun tidak diikuti dengan
peningkatan kesejahteraan petani selaku produsen pangan. Hal
ini menunjukkan, tidak adanya korelasi positif antara pening-
katan produksi pangan dengan tingkat kesejahteraan petani dan
adanya kesenjangan yang tinggi di sektor pertanian yang
berpotensi sebagai ancaman bagi penurunan daya tarik sektor
pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Dalam jangka
panjang, kondisi ini dapat memperburuk kemampuan Indonesia
dalam memproduksi pangan. Selain itu, kenaikan harga

185 Ibid., hlm. 4


164 Iin Karita Sakharina
komoditi pangan seharusnya menguntungkan petani selaku
produsen, namun ternyata marjin keuntungan usaha tani masih
kalah dengan marjin keuntungan yang dinikmati oleh pedagang
komoditi sehingga menggambarkan adanya persoalan di sisi
hulu dan hilir pertanian.186
Pemerintah telah menetapkan harga pokok pembelian
(HPP) untuk komoditi pangan beras, namun penetapan ini
ternyata tidak efektif dalam menyerap komoditi pangan karena
tidak mampu bersaing dengan harga pasar komoditi pangan.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2011 tentang Kebija-
kan Pengamanan Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerin-
tah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim memberikan
keleluasaan kepada Perum Bulog (selaku pihak yang diberi
kewenangan untuk dapat melakukan pembelian gabah/beras
petani) untuk membeli gabah / beras pada harga pasar yang
lebih tinggi dari HPP dengan memperhatikan harga pasar yang
dicatat oleh BPS dalam kondisi iklim yang ekstrim. HPP terakhir
yang dikeluarkan pemerintah melalui Inpres Nomor 7 tahun
2009 tentang Kebijakan Perberasan adalah sebesar Rp. 2.685/kg,
sehingga dengan adanya ketentuan Inpres Nomor 8 nomor 2011
seharusnya Bulog bisa membeli Gabah lebih tinggi dari HPP

186 Ibid.
Iin Karita Sakharina 165
(yang pada bulan Juli 2011 sudah mencapai Rp 4067/kg untuk
gabah kering giling di tingkat harga penggilingan).187
Oleh karena itu, selama institusi BPS belum mencatat
adanya kenaikan harga gabah dan tidak dalam kondisi cuaca
ekstrim, maka Bulog tak akan punya dasar dalam menaikkan
tawarannya atas komoditi gabah/beras tersebut yang tentu saja
berdampak pada daya serap Bulog dalam mempertahankan stok
pangan. Selain itu, pembelian gabah/beras oleh Bulog tidak
dilakukan secara langsung kepada petani produsen tetapi
melalui mitra kerja Bulog yang umumnya merupakan pedagang
atau pemilik penggilingan gabah skala besar sehingga petani
sama sekali tidak menikmati keuntungan.188
Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian menuju
kepada penguatan ketahanan pangan sudah cukup banyak.
Berbagai peraturan kebijaksanaan dan program di sektor perta-
nian sudah dilakukan dalam upaya meningkatkan hasil pro-
duksi pertanian, seperti pemanfaatan benih unggul, penyediaan
pupuk dan obat-obatan hingga pengolahan lahan pertanian.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah merealisasikan
anggaran belanja dalam kurun waktu 2005-2010 yang terus
meningkat rata-rata 25,1 persen per tahun, yaitu dari Rp 2,7

187 Ibid.
188 Ibid.
166 Iin Karita Sakharina
dalam tahun 2005 dan menjadi Rp 8,2 triliun (0,1 persen
terhadap PDB) dalam tahun 2010. Porsi alokasi anggaran belanja
Kementerian Pertanian terhadap total belanja Kementerian/
Lembaga Pemerintah Indonesia, meningkat sebesar 0,1 persen,
yaitu dari 2,2 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 2,3
persen dalam tahun 2010.189
Perkembangan realisasi subsidi di bidang pangan
meliputi subsidi beras miskin (raskin) yang meningkat dari Rp
6,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 13,0 triliun pada tahun
2009 atau sebesar 0,2% dari PDB. Subsidi pupuk juga terus
meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 48,8% dari sebesar
Rp. 2,5 triliun menjadi Rp. 18,3 triliun pada periode tahun 2005-
2010. Demikian juga, terdapat peningkatan alokasi subsidi benih
yang cukup besar yaitu dari Rp. 0,1 triliun menjadi Rp. 1,6
triliun pada periode tahun 2005-2009 atau alokasi subsidi benih
tumbuh rata-rata 72,7% per tahun.190
Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian
Pertanian selama kurun waktu 2005-2010, masih tetap berkaitan
dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. yaitu dalam
bentuk penciptaan lapangan kerja terutama di pedesaan, dan

189 Data Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RUU APBN 2011,
(Jakarta: Kementerian Keuangan, 2011).
190 Ibid.
Iin Karita Sakharina 167
pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan ketahanan pangan
nasional. Tingkat ketersediaan pangan minimal 90 persen dari
kebutuhan domestik, hal ini untuk mengamankan kemandirian
pangan. Akan tetapi, persoalan pertanian tidak sebatas pada
aktivitas budidaya semata. Persoalan yang paling mendasar
adalah ketersediaan lahan dan infrastruktur pertanian. Dari sisi
infrastruktur pertanian, diketahui bahwa sebagian besar jari-
ngan irigasi dalam kondisi yang kurang baik. Padahal pada
tahun 2011, alokasi anggaran untuk pengelolaan sumberdaya air
mencapai Rp. 6,3 triliun, sedangkan program penyediaan dan
pengembangan sarana dan prasarana pertanian sebesar Rp. 2,7
triliun. Meskipun, jaringan irigasi terus mengalami peningkatan
dari tahun 2005-2009, namun menurut Nainggolan masih ada
sekitar 22,4 persen jaringan irigasi yang rusak. Kondisi ini tentu
saja mengurangi kapasitas sektor pertanian dalam mening-
katkan hasil produksi. Disamping ketersediaan lahan, infra-
struktur usaha tani merupakan isu penting untuk meningkatkan
produktivitas pertanian.191
Persoalan lain yang selalu menjadi masalah klasik di
sektor pertanian, adalah kondisi kemiskinan di tingkat petani
pedesaan masih cukup tinggi. Data statistik menunjukkan dari

Kaman Nainggolan. Isu-Isu Kemiskinan dan Penguatan Ketahanan


191

Pangan Dalam Mengatasi Krisis Global. (Jakarta: LIPI, 2009), hlm. 28


168 Iin Karita Sakharina
jumlah 30,018 juta penduduk miskin Indonesia pada tahun 2011,
sebanyak 18,900 juta di antaranya adalah penduduk miskin yang
tinggal pedesaan. Penurunan laju penduduk miskin di pedesaan
juga lebih lambat daripada di perkotaan, dimana persentase
penduduk miskin di perkotaan hanya ada 9,23%, sedangkan di
pedesaan ada sebesar 15,72% penduduk miskin. Padahal, sektor
pertanian masih menjadi mata pencaharian utama bagi sekitar
41.611.840 penduduk yang tinggal di pedesaan, dan sektor
pertanian ini telah memberikan kontribusi sebesar 39,68% dari
total 104.870.663 penduduk yang bekerja. Apabila upaya
peningkatan pembangunan sektor pertanian tidak menyentuh
persoalan peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak akan
merubah kondisi kemiskinan di pedesaan.192
Sehingga, penduduk miskin di pedesaan yang menggan-
tungkan hidupnya dari sektor pertanian akan tetap menjadi
kaum marginal dan seringkali terabaikan oleh intervensi prog-
ram dan bantuan penanggulangan kemiskinan. Padahal, kondisi
kemiskinan dapat mempengaruhi ketahanan pangan apabila
dikaitkan dengan kemampuan daya beli masyarakat miskin
dalam mengakses kebutuhan pangannya. Karena, konsumsi
pangan secara umum merupakan pengeluaran terbesar dari

192 Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI. Op. Cit., hlm. 5

Iin Karita Sakharina 169


rumah tangga di wilayah pedesaan yang rata-rata mencapai
58,57% dari total pengeluaran rumah tangga.193
Khususnya untuk konsumsi padi-padian, rumah tangga
di pedesaan harus menyediakan 13,25% dari total penda-
patannya untuk membeli komoditi pangan ini. Kondisi demi-
kian menunjukkan terjadinya ketergantungan yang tinggi
terhadap konsumsi pangan padi-padian telah menyebabkan
besarnya alokasi pendapatan rumah tangga. Pada tingkat
nasionalpun negara Indonesia sangat tergantung kepada sumber
pangan karbohidrat seperti beras dan gandum/tepung terigu.
Kondisi itu dibuktikan dengan upaya melakukan impor pangan
karbohidrat beras secara berkesinambungan yang melebihi
kuota yang ditetapkan pemerintah, yakni lebih dari 62%.
Ketergantungan negara akan pangan beras ini, merupakan
cerminan dari pola konsumsi pangan masyarakat (foodhabits)
yang cenderung ke beras, padahal sumber pangan non beras
masih melimpah ruah, seperti ketela, ubi jalar, jagung, kedele
dan umbi-umbi lainnya. Menyikapi kondisi demikian, peme-
rintah berupaya mendorong diversifikasi pangan untuk mengu-
rangi beban konsumsi pangan karbohidrat kepada komoditi
pangan lain yang lebih murah dan terjangkau.194

193 Ibid., hlm. 6


194 Ibid.
170 Iin Karita Sakharina
Ketergantungan terhadap beras tidak hanya dialami oleh
Indonesia, seperti disinyalir oleh Food and Agriculture Organi-
sation (FAO), beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan
dimakan oleh sekitar 3 miliar orang setiap harinya. Sedangkan
di Asia, beras merupakan makanan pokok untuk sekitar 600 juta
penduduk.195 Lebih dari 60 persen penduduk dunia atau satu
milyar orang yang tinggal di Asia tergantung pada beras sebagai
makanan pokok dan hidup dalam kemiskinan serta kekurangan
gizi.196
Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi padi,
maka berarti akan lebih banyak orang tergelincir ke dalam
jurang kemiskinan dan kelaparan. Jika Indonesia mampu
melakukan diversifikasi pangan tentu akan mengurangi kon-
sumsi beras antara 90 sampai 100 kilogram per kapita per tahun.
Selama ini, konsumsi beras rata-rata mencapai 139 kilogram per
kapita per tahun. Thailand produksi beras sebanyak 20 juta ton,
namun konsumsi beras hanya 70 kilogram per kapita per tahun.
Begitu pula negara Vietnam produksi beras sebanyak 17 ton,

Ahmad Taufiqurrakhman. Beras Adalah Salah Satu Pangan Kunci Di


195

Dunia (www.okezone.com) Diakses pada hari Kamis, 20 September 2012


196Ruddabby. Orang Asia Tergantung Pada Beras Sebagai Makanan
Pokok (Ruddabby.files.wordpress.com/2010/8.) Diakses pada hari Kamis, 20
September 2012
Iin Karita Sakharina 171
namun kebutuhan konsumsi hanya 90 kilogram per kapita
pertahun.197
Tuntutan atas pemerataan dan keadilan dalam bidang
pangan, merupakan HAM yang harus ditingkatkan dalam per-
dagangan domestik dan internasional yang transparan. Selain
itu, penanganan rawan pangan harus diatasi dengan cepat.
Pembangunan ketahanan pangan kedepan nanti pun akan
menghadapi berbagai tantangan baik itu disebabkan oleh
pengaruh alam seperti adanya perubahan iklim, hama penyakit,
dan perubahan kebijaksanaan pangan dari beberapa negara
penghasil pangan seperti Brazil dan Uni Eropa yang
mengeluarkan kebijaksanaan untuk melarang ekspor pangan ke
negara lain karena dipergunakan sebagai bahan bakar (biofuel).198
UUD NRI 1945 yang menjadi dasar berdirinya negara
Republik Indonesia menyatakan, antara lain, bahwa setiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan (Pasal 27, Ayat 2); bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat (Pasal 33, Ayat( 3)); bahwa fakir miskin dan anak-anak

197 Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI. Op. Cit., hlm. 6


198BPPT. 2012, Ketahanan Pangan Perlu didukung Sentuhan IPTEK,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
172 Iin Karita Sakharina
yang terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 Ayat (1)).
Kemudian Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang
Pangan menyatakan bahwa (a) bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenu-
hannya merupakan bagian dari HAM yang dijamin dalam UUD
NRI tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas.; (b) bahwa negara
berkewajiban untuk mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan,
dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu,
bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah
hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan meman-
faatkan sumber daya kelembagaan, dan budaya lokal ; (c) bahwa
sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan sisi
lain memiliki sumber daya alam dan sumber pangan yang
beragam, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya
secara berdaulat dan mandiri. Dengan adanya pernyataan yang
jelas di dalam UU atas pangan yang baru dan juga dengan
melihat pada pasal-pasal dalam UUD NRI yang mengatur
mengenai hak setiap warga untuk hidup yang layak dan
sejahtera maka dapat dikatakan bahwa ini adalah jaminan
negara terhadap seluruh rakyat Indonesia khususnya dalam hak
atas kecukupan pangan.

Iin Karita Sakharina 173


Undang-undang pangan yang baru ini menggantikan
Undang- Undang pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan
sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan kondisi
eksternal dan internal demokrasi, desentralisasi, globalisasi,
penegakan hukum, dan beberapa peraturan perundangan lain
yang dihasilkan kemudian sehingga perlu diganti dengan UU
Pangan yang lebih lengkap yaitu Undang-Undang Nomor 18
tahun 2012 tentang pangan. Tentunya UU ini diharapkan lebih
lengkap dan UU sebelumnya baik dalam pengaturan, penye-
lenggaran, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap
ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu-
nya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya
beli masyarakat.
Untuk memberikan jaminan bagi persediaan dan pelak-
sanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan
rawan pangan, telah dilakukan revisi terhadap Instruksi
Presiden (Inpres) RI Nomor 9 tahun 2002 tentang Penetapan
Kebijakan Perberasan dengan Inpres RI Nomor 2 tahun 2005
tentang Kebijakan Perberasan. Dalam Inpres tersebut ditegaskan
kembali bahwa pemerintah memberikan jaminan bagi perse-
diaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masya-
rakat miskin dan bagi daerah yang mengalami rawan pangan.
Sistem perberasan kemudian menjadi penentu sistem pangan

174 Iin Karita Sakharina


nasional, pemenuhan hak pangan dan kelangsungan hidup
rakyat. Sistem perberasan juga merupakan bagian penting
kebudayaan serta penentu stabilitas ekonomi dan politik
Indonesia sehingga disebut sebagai komoditas “strategis.”
Hampir semua pemerintah di dunia, baik di negara berkembang
maupun negara maju, selalu melakukan kontrol dan intervensi
terhadap komoditas pangan strategis seperti beras untuk
ketahanan pangan dan stabilitas politik.199
Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin,
terus dilanjutkan upaya penyediaan beras bersubsidi yang
ditujukan untuk membantu kelompok masyarakat miskin dalam
memenuhi kebutuhan pokok pangan. Beras bagi keluarga
miskin (raskin) bertujuan untuk menyediakan beras bersubsidi
kepada keluarga miskin sebagai upaya meringankan beban
mereka dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok. Pada tahun
2005, raskin di laksanakan dengan menyalurkan sebesar
1.992.000 ton beras untuk 8.3 juta KK (Kartu Keluarga). Rea-
lisasinya di seluruh Indonesia sampai Juli 2005 telah mencapai
1.152.306 ton atau 57.85 persen dari rencana setahun. Selain itu,
juga disepakati pengembangan teknologi hibrida (bibit unggul)
untuk meningkatkan produksi pertanian melalui kerja sama

199 Witoro. Kebijakan Perberasan Nasional dan Pemenuhan Hak


Pangan. Majalah Asasi Edisi September – Oktober 2008, hlm. 8
Iin Karita Sakharina 175
dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Kelangsungan usaha padi
yang dilakukan para petani sangat ditentukan oleh akses dan
kontrol mereka terhadap sumber-sumber produksi padi,
terutama lahan, air, benih, dan pupuk. Akses terhadap sumber
produksi pangan, khususnya tanah yang cukup merupakan
elemen kunci terpenuhinya hak pangan.200
Poerwo Soedarmo pada tahun 1950 menciptakan slogan
"Empat Sehat Lima Sempurna", yaitu: (1) makanan pokok, (2)
lauk-pauk, (3) sayur-sayuran, (4) buah-buahan, dan (5) susu.
Logo berbentuk lingkaran menempatkan kelompok makanan 1
sampai dengan 4 di sisi dalam lingkaran mengelilingi kelompok
ke-5, yaitu susu, di bagian tengah. Selanjutnya, Direktorat Bina
Gizi Masyarakat dari Departemen Kesehatan menyusun
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) pada tahun 2002. Sesuai
dengan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998,
dibuat satu logo PUGS yang berbentuk kerucut atau “tumpeng”
yang terdiri dari empat tingkat. Secara berturut-turut, tingkat
dasar menggambarkan kelompok makanan sumber zat tenaga
atau energi, yaitu padi-padian, umbi-umbian dan tepung-
tepungan; tingkat kedua berisi kelompok makanan sumber zat
pengatur, yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan; tingkat ketiga
berisi kelompok makanan sumber zat pembangun, yaitu

200 Ibid., hlm. 10


176 Iin Karita Sakharina
makanan hewani (termasuk susu) dan nabati; dan tingkat
tertinggi berisi minyak dan lemak.201
Pada tahun 2005, Menteri Kesehatan202 mengeluarkan
tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk rakyat Indonesia.
Tabel itu mencantumkan unsur-unsur dalam satuan jumlah
yang ideal untuk dikonsumsi rakyat Indonesia per hari : Enerji,
Protein, Vit A, Vit D, Vit E, Vit K, Thiamin, Riboflavin, Niacin,
Asam Folat, Piridoksin, Vit B12, Vit C, Kalsium, Fosfor, Magnesium,
Besi, Yodium, Seng, Selenium dan Mangan.203 Walaupun nama
unsur-unsur dan angka dalam tabel tersebut tidak banyak
artinya bagi awam, namun keputusan tersebut menunjukkan
bahwa otoritas kesehatan di negara ini mengakui bahwa
kecukupan pangan bukanlah sekedar terisinya perut rakyat
dengan “sesuatu.” Ada kandungan komposisi unsur-unsur
tertentu dan dalam satuan jumlah tertentu untuk dapat
menyatakan bahwa “sesuatu” dapat disebut sebagai pangan
yang bermutu dan bergizi. Salah satu bentuk sederhana adalah
semangkuk bubur dari tanaman lokal seperti singkong, tapioka,

201 Ibid.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1593/


202

Menkes/SK/XI/2005 tentang Angka Kecukupan Gizi Bagi Bangsa Indonesia.


203 Keputusan tersebut secara khusus menyatakan bahwa rata-rata
kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia per hari per kapita
masing-masing adalah 2000 Kal dan 52 g pada tingkat konsumsi, dan 2200 Kal
dan 57 g pada tingkat penyediaan.
Iin Karita Sakharina 177
ubi, sukun, sagu, jagung atau beras (kalau ada) dicampur dua
genggam sayuran daun hijau ditambah sepotong ikan, telur,
tahu atau tempe serta seiris buah seperti manga, pepaya atau
segelas jus buah jambu biji. Untuk sekarang ini, rumusan PUGS
memberi pegangan tentang apa saja yang harus diperhatikan
ketika membahas Kebijaksanaan Pangan Nasional.204
Berdasarkan PUGS, sumber zat tenaga atau enerji adalah
berbagai jenis tanaman dalam kelompok padi-padian, umbi-
umbian dan tepung-tepungan. Akan tetapi, ketika ada pernya-
taan internasional tentang kerawanan pangan yang hebat di
seluruh dunia pada tahun 1960-1970, Pemerintah Indonesia
mencanangkan program swasembada beras pada tahun 1980-an.
Ketika pulau Jawa tidak mampu menyangga beban produksi
pangan akibat industrialisasi pada tahun 1990-an, lahir kebi-
jaksanaan pembukaan sawah sejuta hektar di Kalimantan.
Setelah tahun 1990-an, ketika masyarakat miskin dianggap tidak
mampu memenuhi kebutuhan pangan, muncul program
raskin.205
Tiga contoh kebijaksanaan nasional itu menunjukkan
bahwa pemerintah menerjemahkan pangan = beras. Persamaan-

204 Lefidus Malau. Op. Cit., hlm. 5


205Sisparyadi. 2005. Desa Rawan Pangan dan Program Raskin. Warta
Pedesaan PSPK UGM Nomor 05/XXIII/Mei 2005.
178 Iin Karita Sakharina
nya, rawan pangan = rawan beras. Semua itu menjelaskan
mengapa seluruh potensi, strategi dan peraturan kebijaksanaan
pangan nasional diarahkan untuk meningkatkan produksi beras
dan / atau import beras. Akibatnya, diversifikasi produksi dan
konsumsi bahan sumber zat tenaga lambat-laun menghilang
dari kelompok-kelompok masyarakat Indonesia.206
Bagaimana perhatian pemerintah terhadap tingkat kedua
tumpeng PUGS yang berisi kelompok makanan sumber zat
pengatur, yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan. Survei Peman-
tauan Status Gizi dan Kesehatan oleh Helen Keller Foundation
selama 1998-2002 menunjukkan kenyataan tentang 10 juta anak
balita, setengah dari populasi anak balita di Indonesia pada
masa itu menanggung resiko kekurangan Vitamin A. Disebut-
kan, makanan sehari-hari anak-anak tersebut berada di bawah
angka kecukupan Vitamin A yang ditetapkan untuk anak balita,
yaitu 350-460 Retino Ekivalen per hari. Tragedi ini tidak akan
menimpa jutaan balita di Indonesia bila sayuran daun hijau
menjadi bagian makanan sehari-hari. Padahal, sehelai daun
singkong mengandung cukup karoten untuk keperluan seorang
anak perhari.207

206 Lefidus Malau. Op. Cit., hlm. 6


207 Ibid.
Iin Karita Sakharina 179
Tragedi di negara dengan wilayah membentang sepan-
jang garis khatulistiwa dengan iklim yang cocok untuk mena-
nam segala jenis sayuran hijau dan buah-buahan tropis sepan-
jang tahun, ada 10 juta bayi menanggung resiko kekurangan
Vitamin A. Sementara, pemerintah daerah di era otonomi lebih
tertarik mengerahkan segala potensi untuk mengembangkan
tanaman cokelat, kopi, kacang mede, rami, karet dan kelapa
sawit di tanah yang mestinya ditumbuhi tanaman pangan.208
Selanjutnya tentang kecukupan kelompok makanan
sumber zat pembangun (protein). Sejak awal, pembicaraan
mengenai pangan masih bertumpu pada sumber daya alam di
daratan. Padahal, sebagai negara dengan potensi garis pantai
sepanjang 81.000 km dengan ekosistem perairan laut semi
tertutup (semi-closed waters) yang cukup banyak dan kekayaan
sumber daya hayati laut terbesar kedua di dunia, sumber daya
ikan (fin fish dan shell fish) dan budidaya kelautan (marikultur)
seharusnya dapat menjadi salah satu tumpuan penyedia pangan
nasional. Pada tahun 2003, total produksi ikan Indonesia
mencapai 5,92 juta ton (FAO, 2006) dan produksi perikanan
budidaya sampai tahun 2005 mencapai 1.295.300 ton. Dengan
garis pantai sepanjang itu, luas potensial perairan laut untuk
marikultur bisa mencapai 24 juta hektar. Dengan produktivitas 2

208 Ibid.
180 Iin Karita Sakharina
ton per ha per tahun, produksi potensial marikultur laut bisa
mencapai 48 juta ton per tahun.209
Dengan potensi sebesar ini, kecukupan protein bagi
penduduk Indonesia per hari perkapita sebesar 52 g pada
tingkat konsumsi dan 57 g pada tingkat penyediaan seharusnya
bisa dipenuhi. Akan tetapi, walaupun Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1985 tentang Perikanan telah diganti dengan Undang-
Undang Nomor 31 tahun 2004, ketersediaan ikan sebagai
sumber protein nabati tetap saja masih belum dapat dipenuhi.
Ironisnya, salah satu kelompok penduduk miskin yang rentan
rawan pangan adalah para nelayan.210
Peraturan Kebijaksanaan pemerintah guna menunjang
ketahanan pangan nasional yang dibuat dalam bentuk peraturan
perundang-undangan diuraikan dalam tabel sebagai berikut211 :

209 Ibid.
210 Ibid.
211 Kementerian Pertanian. Kompendum / Kodifikasi Hukum Bidang
Pangan. (Jakarta: Jaringan Komunikasi dan Informasi Hukum, Biro Hukum dan
Humas, 2010), hlm. ix
Iin Karita Sakharina 181
Tabel 3
Peraturan Bidang Pangan Sebelum Ratifikasi

No. Uraian Materi


1. Undang-Undang Budidaya Tanaman
Nomor 12 tahun 1992

2. Undang-Undang Pangan
Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1996
3. Peraturan Pemerintah Ketahanan Pangan
Republik Indonesia
Nomor 68 Tahun 2002
4. Undang-Undang Perkebunan
Nomor 18 tahun 2004
5. Peraturan Pemerintah Keamanan Mutu dan Gizi
Republik Indonesia Pangan
Nomor 28 Tahun 2004

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebelum adanya


ratifikasi kovenan hak ekosob, dalam bidang pemenuhan hak
atas kecukupan pangan yang yang telah, telah ada beberapa
kebijaksanaan hukum yang dibuat oleh Pemerintah, khususnya
dalam bidang ketahanan pangan yang dapat menunjang
ketecukupan pangan di Indonesia, serta menjamin mutu dan
gizi dari suatu produk pangan.

182 Iin Karita Sakharina


Tabel 4
Peraturan Bidang Pangan Setelah Ratifikasi
No. Uraian Materi
1. Undang-Undang Pengesahan Kovenan
Republik Indonesia Internasional Hak
Nomor 11 Tahun 2005 Ekonomi, Sosial, dan
Budaya
2. Peraturan Presiden Dewan Ketahanan Pangan
Republik Indonesia
Nomor 83 Tahun 2006
3. Peraturan Pemerintah Pembagian Urusan
Nomor 38 Tahun 2007 Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
4. Undang-Undang Perlindungan Lahan
Nomor 41 Tahun 2009 Pertanian Berkelanjutan

5. Peraturan Presiden Kebijakan Percepatan


Republik Indonesia Penganekaragaman
Nomor 22 Tahun 2009 Konsumsi Pangan Berbasis
Sumber Daya Lokal
6. Peraturan Pemerintah Penertiban dan
Nomor 11 Tahun 2010 Pendayagunaan Tanah
Terlantar
7. Undang-Undang Pangan
Nomor 18 Tahun 2012
Iin Karita Sakharina 183
Dari tabel diatas terlihat bahwa setelah ratifikasi kovenan
internasional mengenai hak ekosob ini, terlihat adanya pera-
turan yang di keluarkan oleh Pemerintah, berkaitan dengan
pemenuhan hak atas kecukupan pangan yaitu adanya peraturan
mengenai kebijaksanaan percepatan penganekaragaman kon-
sumsi pangan berbasis sumber daya lokal, adanya penertiban
dan penyagunaan tanah terlantar, adanya pengaturan dibidang
perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, adanya peraturan
mengenai pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupa-
ten/kota, dibentuknya dewan ketahanan pangan, dimana untuk
pusat diketuai langsung oleh Presiden, untuk tingkat provinsi
oleh Gubernur dan untuk tingkat kabupatenoleh bupati. Dari
adanya sejumlah kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerin-
tah setelah adanya ratifikasi memperlihatkan adanya sejumlah
kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sehubu-
ngan dengan pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang
layak ini.
Selain itu sejumlah aturan pemerintah yang dibuat guna
menunjang ketahanan pangan nasional dalam bentuk diluar
peraturan perundang-undangan, adalah sebagai berikut212 :

212 Ibid.
184 Iin Karita Sakharina
Tabel 5
Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan Setelah Ratifikasi

No. Jenis Peraturan Tentang


1. Peraturan Menteri Pelaksanaan Sistem
Pertanian Nomor Standarisasi Nasional Di
58 / Permentan / Bidang Pertanian;
OT. 140 / 8 / 2007
2. Peraturan Menteri Cadangan Pangan Pemerintah
Dalam Negeri Desa
(Permendagri)
Nomor 30 Tahun
2008
3. Peraturan Menteri Syarat dan Tata Cara
Pertanian Nomor Pendaftaran Pangan Segar
51 / Permentan / Asal Tumbuhan
OT. 140 / 10 / 2008
4. Inpres Nomor 7 Kebijakan Perberasan
tahun 2009

5. Peraturan Presiden Kebijakan Percepatan


(Perpres) Nomor 22 Penganekaragaman Pangan
Tahun 2009 berbasis sumber daya local
6. Peraturan Menteri Pengawasan Keamanan
Pertanian Nomor Pangan Terhadap Pemasukan
27 / Permentan / dan Pengeluaran Pangan
PP. 340 / 5 / 2009 Segar Asal Tumbuhan
7. Peraturan Menteri Perubahan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor Pertanian Nomor
38 / Permentan / 27/Permentan/PP.340/5/2009
Iin Karita Sakharina 185
PP. 340 / 2009 tentang Pengawasan
Keamanan Pangan Terhadap
Pemasukan dan Pengeluaran
Pangan Segar Asal Tumbuhan
8. Peraturan Menteri Gerakan Percepatan
Pertanian Nomor Penganekaragaman Konsumsi
43 / Permentan / Pangan Berbasis Sumber Daya
OT. 140 / 10 / 2009 Lokal

9. Peraturan Menteri Pedoman Sistem


Pertanian Nomor Kewaspadaan Pangan dan
43 / Permentan / Gizi
OT. 140 / 7 / 2010
10. Peraturan Menteri Sistem Jaminan Mutu Pangan
Pertanian Nomor Hasil Pertanian
20 / Permentan /
OT. 140 / 2 / 2010
11. Inpres Nomor 8 Kebijakan Pengamanan
nomor 2011 Cadangan Beras Yang
Dikelola Oleh Pemerintah
Dalam Menghadapi Kondisi
Iklim Ekstrim

Tabel diatas menunjukkan ada 11 kebijaksanaan hukum


yang dikeluarkan pemerintah pusat berupa peraturan-peraturan
diluar perundang-undangan namun untuk menunujang ketaha-
nan pangan yang sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia,
khususnya setelah ratifikasi dari kovenan.

186 Iin Karita Sakharina


Sehinggga Jika kita melihat pada tabel-tabel kebijak-
sanaan hukum yang ada diatas, terlihat bahwa adanya beberapa
peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat setelah
ratifikasi Kovenan hak ekosob ini, khususnya peraturan-pera-
turan dibidang Pangan. Hal ini menunjukkan adanya proses
yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pemenuhan hak
atas kecupukan pangan yang layak bagi warganya yaitu dengan
mengeluarkan sejumlah peraturan yang nantinya dapat dija-
dikan acuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya
dalam rangka pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang
layak sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam kovenan
internasional hak ekosob.

C. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah


Kebijaksanaan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
sendiri terkait dengan hak atas kecukupan pangan yang layak
bagi warga miskin di Sulawesi Selatan adalah dengan dikeluar-
kannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pangan. Kondisi ketahanan pangan di Provinsi
Sulawesi Selatan yang tercermin dari 3 pilar ketahanan pangan
yaitu Ketersediaan, Distribusi, serta Konsumsi dan Keamanan
Pangan yang dinilai berhasil berkat diraihnya Penghargaan

Iin Karita Sakharina 187


tertinggi dalam bidang pangan yaitu penghargaan Adi Karya
Pangan Nusantara pada tahun 2011.213
Ketahanan pangan sebagai salah satu strategi pembangu-
nan pertanian daerah Sulawesi Selatan diarahkan pada upaya
menjamin tersedianya pangan yang cukup dan terjangkau oleh
masyarakat, baik melalui diversifikasi pangan, intensifikasi,
pemberdayaan masyarakat, dan kinerja lain yang dapat mening-
katkan kinerja produksi pangan di daerah Sulawesi Selatan,
serta mengakhiri ketergantungan pangan masyarakat terhadap
satu jenis komoditi seperti beras dan menekankan pada kebu-
tuhan gizi bagi setiap orang.214
Untuk mencapai pemenuhan pangan dan gizi di tingkat
rumah tangga, Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan yang biasa juga disebut BKPD SulSel dalam
menyusun program kerja ketahanan pangan dirancang secara
holistik yang berdasarkan pada 6 dimensi yaitu:
a) Dimensi fisik yaitu peningkatan produksi (penye-
diaan),
b) Dimensi ekonomi yang berorientasi pasar dan harga
(daya beli),
c) Dimensi pemenuhan kebutuhan yaitu kecukupan
standar (gizi),

213 Harian Tempo. Loc. Cit.

Hasil wawancara penulis dengan Hasnawati Habibie (Kepala UPTB


214

OKKPD Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan).


188 Iin Karita Sakharina
d) Dimensi pola konsumsi yaitu cara dan kebiasaan
(budaya),
e) Dimensi keamanan yaitu aman dan baik (sehat), halal
dari segi agama,
f) Dimensi waktu yaitu tersedia sepanjang tahun (berke-
sinambungan).215

Dalam upaya pelaksanaan hal tersebut di atas, diperlukan


kinerja dan kebijaksanaan dalam bidang ketahanan pangan yang
sinergik dengan sektor lainnya hal ini telah terwujud dalam
tugas dan fungsi Badan Ketahanan Pangan Daerah Sulawesi
Selatan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah Sulawesi
Selatan dengan cara sebaik-baiknya dalam menunjang kebutu-
han nasional dalam 5 tahun mendatang, dibutuhkan 3 syarat
utama yaitu:
 Dari waktu-kewaktu jumlah total pangan yang tersedia
secara umum seimbang dengan jumlah total yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
masyarakat.
 Harga pangan (selain beras) harus tejangkau dan
cukup stabil.
 Daya beli untuk memperoleh pangan harus tersebar
merata di antara penduduk sehingga akses terhadap
suplai pangan merata.216

215 Ibid.
216 Ibid.
Iin Karita Sakharina 189
Adapun Kebijaksanaan umum ketahanan pangan Pro-
vinsi Sulawesi Selatan mencakup: 1) ketersediaan pangan dan
cadangan pangan yang cukup; 2) kemudahan dan kemampuan
mengakses pangan; dan 3) konsumsi pangan
Sementara kebijaksanaan Badan Ketahanan Pangan Dae-
rah Provinsi Sulawesi Selatan217 adalah :
1. Pembangunan ketahanan pangan dalam penyediaan
pangan dan cadangan pangan:
a. Menjamin ketersediaan pangan terutama produksi
dalam negeri dalam jumlah dan keragaman yang cukup
untuk mendukung konsumsi pangan sesuai dengan
kaidah kesehatan dan gizi seimbang.
b. Mengembangkan kemampuan dalam peningkatan dan
pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan
masyarakat.
c. Meningkatkan kapasitas produksi pangan daerah untuk
mendukung pangan nasional melalui penetapan lahan
abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang
wilayah dan meningkatkan kualitas lingkungan serta
sumberdaya lahan dan air.

2. Peningkatan kemampuan dan kemudahan mengakses


pangan:
a. Meningkatkan daya beli dan mengurangi kemiskinan.

217Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Rencana


Strategik (RENSTRA) Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2008 – 2013, (Makassar: Satuan Kerja Badan Ketahanan Pangan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008), hlm. 60-63
190 Iin Karita Sakharina
b. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi
pangan dan perdagangan pangan melalui pengem-
bangan sarana dan prasaranan distribusi serta menghi-
langkan hambatan distribusi pangan antar daerah.
c. Mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengo-
lahan dan pemasaran pangan untuk menjaga kualitas
produk pangan dan mendorong peningkatan nilai
tambah.
d. Meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan
kelembagaan ekonomi pedesaan dalam rangka me-
ngembangkan skema distribusi pangan kepada kelom-
pok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan
pangan.

3. Penganekaragaman konsumsi pangan dalam memenuhi


kuantitas dan kualitas gizi yang seimbang:
a. Menjamin pemenuhan asupan pangan bagi setiap
anggota rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang
memadai, aman dan halal dikonsumsi serta bergizi
seimbang.
b. Mendorong, mengembangkan dan membangun serta
memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenu-
han pangan.
c. Mengembangkan program perbaikan gizi yang cost
efective, diantaranya melalui peningkatan dan pengua-
tan program fortifikasi pangan dan program suplemen-
tasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A.
d. Mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat
untuk pemenuhan hak atas pangan dan gizi.

Iin Karita Sakharina 191


e. Meningkatakan efisiensi dan efektivitas intervensi
bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat
golongan miskin terutama anak-anak dan ibu hamil
yang bergizi kurang.

4. Peningkatan mutu dan keamanan pangan:


a. Meningkatkan pengawasan keamanan pangan.
b. Melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan
di bidang mutu dan keamanan pangan.
c. Meningkatkan kesadaran produsen, importir, distribu-
tor dan ritel terhadap keamanan pangan.
d. Meningkatkan kesadaran konsumen terhadap keama-
nan pangan.
e. Mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna
makanan yang aman dan memenuhi syarat kesehatan
serta terjangkau oleh usaha kecil dan menengah pro-
dusen makanan dan jajanan.

5. Pemantapan Koordinasi Perencanaan dan Pengendalian


Ketahanan Pangan:
a. Meningkatkan kualitas koordinasi antar lintas sektor
dalam kegiatan perencanaan dan pengendalian ketaha-
nan pangan.
b. Meningkatkan kapasitas sumberdaya aparatur yang
berkualitas.
c. Meningkatkan kualitas saran dan prasarana perkanto-
ran.

Implementasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah


(Pemda) Provinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pemenuhan
192 Iin Karita Sakharina
hak atas pangan yang layak di Sulawesi Selatan adalah dengan
menjalankan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pangan, implementasi
yang dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
dinilai sukses dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dari
hasil penelitian penulis ditetapkan 3 (tiga) Kabupaten (Kabu-
paten Sinjai, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros) dan 1
(satu) kota (Kota Makassar) di Sulawesi Selatan sebagai sampel
dalam menilai hasil yang telah dicapai oleh Pemerintah Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pangan warganya terkait dengan sistem ketahanan pangan
nasional.
Dalam lingkup Pemerintahan Daerah (Pemda), Pemda
Provinsi Sulawesi Selatan guna menunjang ketahanan pangan
daerah provinsi membuat sejumlah regulasi sebagai berikut :

Tabel 6
Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan Daerah
Propinsi Sulawesi Selatan

No. Uraian Materi


1. Peraturan Gubernur Gerakan Percepatan
Sulawesi Selatan Penganekaragaman
Nomor 42 tahun Konsumsi Pangan Berbasis
2010 Sumber Daya Lokal.

Iin Karita Sakharina 193


2. Peraturan Gubernur Pengelolaan Pangan
Sulawesi Selatan
Nomor 2 tahun 2011
3. Peraturan Gubernur erubahan Atas Peraturan
Sulawesi Selatan gubernur Sulawesi Selatan
Nomor 36 tahun Nomor 96 Tahun 2009
2011 Tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis
Badan (UPTB) Otoritas
Kompeten Keamanan Pangan
Daerah (OKKPD) Pada Badan
Ketahanan Pangan Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan
4. Keputusan Pembentukan Kelompok
Gubernur Sulawesi Kerja Dan Sekretariat Tim
Selatan Nomor 1313 Koordinasi Jejaring
/ V / Tahun 2012 Keamanan Pangan Provinsi
Sulawesi Selatan

Jika kita melihat tabel diatas, bahwa dari sejumlah pera-


turan kebijkasanaan hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dalam bentuk peraturan-
peraturan dan keputusan, dapat terlihat bahwa peraturan-
peraturan dan keputusan yang dikeluarkan adalah peraturan
dan keputusan antara tahun 2010 dan tahun 2012, hal ini
menunjukan bahwa peraturan dan keputusan yang dikeluarkan
oleh Pemda Provinsi Sulawesi Selatan adalah setelah adanya

194 Iin Karita Sakharina


ratifikasi dari kovenan internasional mengenai hak ekosob hal
ini tentunya merujuk pada kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat mengenai keterkaitannya dengan Kebijaksa-
naan Pangan Nasional mengenai pemenuhan hak atas kecu-
kupan pangan, sehingga dapat dikatakan bahwa Pemda Pro-
vinsi Sulawesi Selatan mau bersinergi dengan Pemerintah Pusat
untuk menjalankan kewajibannya sesuai yang diamanatkan oleh
kovenan khususnya dalam pemenuhan hak atas kecukupan
pangan yang layak.
Agar dapat bersinergi antara pemerintah daerah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota maka dibutuhkan kesamaan
peraturan kebijaksanaan secara terstruktur, dan kebijaksanaan
beberapa daerah di kabupaten/kota yang ada di wilayah Pro-
vinsi Sulawesi Selatan mengenai ketahanan pangan daerahnya,
dijelaskan sebagai berikut :

1. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai


Masalah kebijaksanaan ketahanan pangan yang di tetap-
kan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai tertuang dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai Nomor 2 Tahun 2009
tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Kabupaten Sinjai, dalam Pasal 3 diatur bahwa ada
31 urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah

Iin Karita Sakharina 195


Daerah Kabupaten Sinjai, diantaranya pada nomor 26 yaitu
bidang pertanian dan ketahanan pangan.218
Selain Perda Nomor 2 Tahun 2009, Pemerintah Daerah
Kabupaten Sinjai juga sebelumnya telah mengeluarkan Perda
Nomor 21 Tahun 2002 tentang Kantor Ketahanan Pangan
Kabupaten Sinjai yang mengatur fungsi Badan Ketahanan
Pangan Daerah Kabupaten Sinjai, yakni :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang ketahanan
pangan;
b. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian di bidang
ketahanan pangan yang menjadi kewenangannya;
c. Pengendalian penanganan pangan dan gizi;
d. Perumusan kebijaksanaan pengadaan, pengelolaan
distribusi dan peganeka ragaman konsumsi pangan;
e. Perhitungan persediaan kebutuhan pangan penduduk;
f. Pemetaan potensi pengadaan dan kebutuhan antar
waktu serta antar daerah untuk menanggulangi kera-
wanan pangan;
g. Pendataan dan analisis harga pangan strategis;
h. Pelayanan teknis dan administrasi kepada instansi
terkait dalam rangka peningkatan ketahanan pangan;
i. Pelaksanaan tugas-tugas pembantuan dan tugas-tugas
dekonstrasi yang diberikan oleh pemerintah dan atau
pemerrintah provinsi;
j. Pengelolaan administrasi umum dan ketatalaksanaan;

218Hasil Wawancara dengan Aparat Desa Gunung Perak, Kecamatan


Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai Pada hari Rabu, 22 Agustus 2012.
196 Iin Karita Sakharina
k. Pelaksanaan dan pembinaan pengelolaan hutan dan
kawasan pantai;
l. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan pangan;
m. Pelaksanaan koordinasi dalam arti membina hubungan
kerjasama dengan dinas/lembaga teknis daerah lain-
nya atau dengan pihak ketiga dalam rangka pengem-
bangan di bidang ketahanan pangan.219

Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Desa


Gunung Perak Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai
diperoleh data penduduk sebanyak 425 (empat ratus dua puluh
lima) Keluarga, 71 (tujuh puluh satu) keluarga diantaranya
tergolong masyarakat tidak mampu (miskin), implementasi
kebijaksanan pemerintah lokal terkait dengan ketahanan pangan
masyarakat desa diwujudkan dalam bentuk bantuan dari aparat
desa guna menanggulangi masyarakatnya yang tidak mampu
tersebut dengan memberikan bantuan berupa beras miskin
(raskin), bibit padi, bibit jagung dan bibit kopi.220
Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data
yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Gunung Perak
Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai merupakan salah satu
Kabupaten penghasil beras di Sulawesi Selatan, oleh karena itu

219Ibid.Lihat juga Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai Nomor 21 Tahun


2002 tentang Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Sinjai.
220Ibid.

Iin Karita Sakharina 197


98% (sembilan puluh delapan persen) masyarakatnya mengon-
sumsi nasi sebagai bahan makanan pokok, selain itu pula guna
memenuhi gizi masyarakatnya, aparat desa juga bekerjasama
dengan dinas kesehatan setempat untuk memberikan penyu-
luhan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin (2X / bulan)
kepada masyarakat baik itu dibalai desa maupun di pusat
kesehatan masyarakat (puskesmas) pembantu yang berada di
setiap pelosok desa.221
Namun untuk makanan 4 sehat 5 sempurna belum dapat
dipenuhi oleh masyarakat desa secara keseluruhan, selain ter-
kendala dalam memenuhi kebutuhan akan buah-buahan,
masyarakat juga tidak semua dapat membeli susu akibat penda-
patan sebagian masyarakat desa yang tidak menentu, karena
65% (enam puluh lima persen) masyarakat Desa Gunung Perak
bekerja sebagai petani.222.

2. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa


Masalah kebijaksanaan ketahanan pangan yang di tetap-
kan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa yaitu mengacu
kepada Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2

221Ibid.

222 Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada


masyarakat Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, pada
tanggal 22 sampai dengan 27 Agustus 2012.
198 Iin Karita Sakharina
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pangan, belum adanya instru-
men hukum yang dibuat dalam bentuk peraturan daerah mem-
buat Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa masih mengacu
kepada perda Provinsi, khususnya yang terdapat pada Pasal 2
yang mengatur bahwa tujuan Pengelolaan Pangan adalah untuk:
a. tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan
keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan
manusia;
b. terciptanya sistem produksi dan perdagangan pangan
yang jujur dan bertanggungjawab;
c. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga
yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
d. terciptanya perlindungan produk pangan lokal dari
pangan inport;
e. terciptanya perlindungan atas varietas pangan lokal;
f. terciptanya ketahanan pangan.223

Selain Pasal 2, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi


Sulawesi Selatan juga dijadikan acuan Pemerintah Daerah
Kabupaten Gowa dalam hal acuan kebijaksanaan terkait dengan
ketahanan pangan warga Kabupaten Gowa, Pasal 4 ayat (1)
mengatur bahwa Kegiatan Pengelolaan Pangan meliputi :

223Hasil Wawancara dengan Bapak Abd. Hafid, S.Sos. (Sekertaris Desa


Borong Pa’la’la, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa) Pada hari Kamis, 30
Agustus 2012. Lihat juga Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pangan.
Iin Karita Sakharina 199
a. Budidaya;
b. Proses produksi;
c. Penyimpanan;
d. Pengangkutan;
e. Ritel pangan;
f. Pemasukan pangan ke wilayah Sulawesi Selatan
(Kabupaten Gowa); dan
g. Pengeluaran pangan dari wilayah Sulawesi Selatan
(Kabupaten Gowa).

Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Desa Borong


Pa’la’la Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa diperoleh
data penduduk sebanyak 398 (tiga ratus sembilan puluh dela-
pan) Keluarga, 197 (seratus sembilan puluh tujuh) keluarga
diantaranya tergolong masyarakat tidak mampu (miskin), angka
ini sangat mengejutkan karena 50% (lima puluh persen) warga
Desa Borong Pa’la’la tergolong masyarakat tidak mampu,224
implementasi kebijaksanaan pemerintah lokal terkait dengan
ketahanan pangan masyarakat desa diwujudkan dalam bentuk
bantuan dari aparat desa guna menanggulangi masyarakatnya
yang tidak mampu tersebut dengan memberikan bantuan
berupa beras miskin (raskin) dan uang santunan yang diambil

224 Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada


masyarakat Desa Borong Pa’la’la, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa,
pada tanggal 30 Agustus sampai dengan 6 September 2012.
200 Iin Karita Sakharina
dari kas desa yang berasal dari bantuan Pemerintah Kabupaten
Gowa melalui setiap kecamatan.225
Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data
yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Borong Pa’la’la
Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa merupakan salah
satu Kabupaten penghasil beras di Sulawesi Selatan, oleh karena
itu 95% (sembilan puluh lima persen) masyarakatnya mengon-
sumsi nasi sebagai bahan makanan pokok dan sisanya (5%)
warga khususnya masyarakat tidak mampu hanya mengon-
sumsi singkong dan jagung sebagai makanan pokok, selain itu
pula guna memenuhi gizi masyarakatnya, aparat desa juga
bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat untuk membe-
rikan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin
(2X/bulan) kepada masyarakat baik itu dibalai desa maupun di
pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pembantu yang
berada di setiap pelosok desa.226
Namun untuk makanan 4 sehat 5 sempurna belum dapat
dipenuhi oleh masyarakat desa secara keseluruhan, selain
terkendala dalam memenuhi kebutuhan akan buah-buahan,
daging dan ikan, masyarakat juga tidak semua dapat membeli

225Hasil Wawancara dengan Bapak Abd. Hafid, S.Sos. (Sekertaris Desa


Borong Pa’la’la, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa) Pada hari Kamis, 30
Agustus 2012.
226 Ibid.
Iin Karita Sakharina 201
susu akibat pendapatan sebagian masyarakat desa yang tidak
menentu, karena 75% (tujuh puluh lima persen) masyarakat
Desa Borong Pa’la’la bekerja sebagai petani dan buruh bangu-
nan.227

3. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kabupaten Maros


Masalah kebijaksanaan ketahanan pangan yang di tetap-
kan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maros tertuang dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 6 Tahun 2011
tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Pertanian Kabupaten
Maros, dalam Pasal 4 diatur bahwa dalam melaksanakan tugas
dan memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Melakukan sebagian kewenangan Pemerintah Kabupa-
ten Maros di Bidang Pengelolaan penyediaan, pengu-
sahaan lapangan usaha pelayanan umum di bidang
pengelolaan pertanian;
2. Menyiapkan bahan untuk perumusan kebijakan umum
Pemerintah Kabupaten Maros dibidang pengelolaan
pertanian.
3. Pelaksanaan fungsi ekonomi dengan tidak mengabai-
kan fungsi sosial.228

227 Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada


masyarakat Desa Borong Pa’la’la, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa,
pada tanggal 30 Agustus sampai dengan 6 September 2012.

Hasil Wawancara dengan Bapak Bakri Saleh (Kepala Desa Marumpa,


228

Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros) Pada hari Senin, 10 September 2012.


202 Iin Karita Sakharina
Selain Perda Nomor 6 Tahun 2011, Pemerintah Daerah
Kabupaten Maros juga sebelumnya telah mengeluarkan Perda
Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan dan Sumber Daya
Pertanian Kabupaten Maros, Pasal 2 mengatur bahwa kedudu-
kan badan ini adalah :
1. Dengan Peraturan Daerah ini dibentuk Badan
Ketahanan Pangan Sumber Daya Pertanian Kabupaten
Maros;
2. Badan berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas
Pemerintah Daerah sesuai dengan bidang tugasnya;
3. Dinas dipimpin oleh seorang Kepala Badan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya yang berada
dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati
melalui Sekretaris Daerah;
4. Badan adalah bagian Perangkat Daerah;229

Selain Pasal 2, Pasal 3 Perda Nomor 7 Tahun 2003 juga


dijadikan acuan Pemerintah Daerah Kabupaten Maros dalam hal
acuan kebijaksanaan terkait dengan ketahanan pangan warga
Kabupaten Maros, Pasal 3 mengatur bahwa “Badan mempunyai
tugas pokok membantu Bupati melaksanakan sebagian kewe-

Lihat juga Pasal 4 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 6 Tahun 2011
tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Pertanian Kabupaten Maros.

Ibid. Lihat juga Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 7


229

Tahun 2003 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan
Ketahanan Pangan dan Sumber Daya Pertanian Kabupaten Maros.
Iin Karita Sakharina 203
nangan Pemerintah Daerah di Badan Ketahanan Pangan Sumber
Daya Pertanian serta tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah yang menjadi tanggung jawabnya”.230
Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Desa
Marumpa Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros diperoleh data
penduduk sebanyak 410 (empat ratus sepuluh) Keluarga, 51
(lima puluh satu) keluarga diantaranya tergolong masyarakat
tidak mampu (miskin), implementasi kebijaksanaan pemerintah
lokal terkait dengan ketahanan pangan masyarakat desa
diwujudkan dalam bentuk bantuan dari aparat desa guna
menanggulangi masyarakatnya yang tidak mampu tersebut
dengan memberikan bantuan berupa beras miskin (raskin) dan
beberapa kebutuhan dapur (minyak sayur, telur dan mie
instant).231
Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data
yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Marumpa Keca-
matan Marusu, Kabupaten Maros merupakan pengrajin (baik itu
dalam bidang alat-alat rumah tangga maupun dalam bidang

230Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 7 Tahun 2003


tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan
Pangan dan Sumber Daya Pertanian Kabupaten Maros.

Hasil Wawancara dengan Bapak Bakri Saleh (Kepala Desa Marumpa,


231

Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros) Pada hari Senin, 10 September 2012.


204 Iin Karita Sakharina
kuliner),232 selain itu 99% (sembilan puluh sembilan persen)
masyarakatnya mengonsumsi nasi sebagai bahan makanan
pokok, selain itu pula guna memenuhi gizi masyarakatnya,
aparat desa juga bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat
untuk memberikan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan
secara rutin (1X / bulan) kepada masyarakat baik itu dibalai
desa maupun di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di
Desa Marumpa.233
Untuk makanan 4 sehat 5 sempurna sudah dapat
dipenuhi oleh masyarakat desa secara keseluruhan, karena
mampu memenuhi kebutuhan akan buah-buahan, daging, ikan
dan susu akibat pendapatan sebagian masyarakat desa diatas
rata-rata, karena 80% (delapan puluh persen) masyarakat Desa
Borong Marusu bekerja sebagai pengrajin.234

232 Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada masya-


rakat Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, pada tanggal 11
sampai dengan 16 September 2012.

233Hasil Wawancara dengan Bapak Bakri Saleh (Kepala Desa Marumpa,


Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros) Pada hari Senin, 10 September 2012.
234 Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada
masyarakat Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, pada
tanggal 11 sampai dengan 16 September 2012.
Iin Karita Sakharina 205
4. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota Makassar
Masalah kebijaksanaan ketahanan pangan yang di tetap-
kan oleh Pemerintah Daerah Kota Makassar tertuang dalam
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota
Makassar, yang didalamnya diatur tentang Badan Ketahanan
Kota Makassar.235
Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Kelurahan
Bangkala Kecamatan Manggala, Kota Makassar diperoleh data
penduduk sebanyak 448 (empat ratus empat puluh delapan)
Keluarga, 112 (seratus dua belas) keluarga diantaranya tergo-
long masyarakat tidak mampu (miskin), implementasi kebijak-
sanaan pemerintah lokal terkait dengan ketahanan pangan
masyarakat kota diwujudkan dalam bentuk bantuan dari
pegawai kelurahan guna menanggulangi masyarakatnya yang
tidak mampu tersebut dengan memberikan bantuan berupa
beras miskin (raskin).236
Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data
yang menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Bangkala
Kecamatan Manggala, Kota Makassar 98% (sembilan puluh

235 Hasil Wawancara dengan Ibu Andi Dahniar (Kepala Seksi


Pemerintahan Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar) Pada
hari Rabu, 19 September 2012.
236 Ibid.
206 Iin Karita Sakharina
delapan persen) masyarakatnya mengonsumsi nasi sebagai
bahan makanan pokok, selain itu pula guna memenuhi gizi
masyarakatnya, pegawai kelurahan juga bekerjasama dengan
dinas kesehatan kota dan Provinsi untuk memberikan penyu-
luhan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin (1X/bulan)
kepada masyarakat baik itu di dinas kesehatan maupun di pusat
kesehatan masyarakat (puskesmas) yang berada di Kelurahan
Bangkala.237
Untuk makanan 4 sehat 5 sempurna sudah dapat dipe-
nuhi oleh masyarakat Kelurahan Bangkala secara keseluruhan,
selain itu masyarakat juga sudah dapat memenuhi kebutuhan
akan buah-buahan, daging sayur dan susu akibat pendapatan
sebagian masyarakat desa yang tidak menentu, karena 70%
(tujuh puluh persen) masyarakat Kelurahan Bangkala adalah
wiraswasta.238 Dari hasil penelitian lapangan yang telah
dilakukan penulis dengan cara menyebarkan kuisioner di 4
wilayah dalam Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan, terlihat
dengan jelas bahwa latar belakang pekerjaan berpengaruh
terhadap kemampuan masyarakat untuk mengakses bahan
pangan yang cukup.Seperti yang tergambar bahwa untuk rata-

237 Ibid.
238 Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada
masyarakat Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, pada
tanggal 20 sampai dengan 25 September 2012.
Iin Karita Sakharina 207
rata masyarakat yang tinggal di desa Gunung Perak kabupaten
Sinjai adalah bekerja sebagai petani sehingga walaupun tidak
pernah terjadi kasus kelaparan di desa tersebut, namun sebagian
masyarakatnya tergolong tidak mampu dan masih mengan-
dalkan bantuan dari pemerintah daerah setempat dalam hal
konsumsi pangan. Hal ini tentu saja terlihat ironis karena dari
data yang ada, diketahui Kabupaten Sinjai merupakan salah satu
kabupaten Penghasil beras di Sulawesi Selatan, namun dengan
masih adanya masyarakat sinjai yang hidup dalam kemiskinan
sehingga dapat dikatakan bahwa dari tingkat perekonomian
yang ada belum merata sehingga memang peran pemerintah
daerah dalam hak pemenuhan kecukupan pangan di Kabupaten
Sinjai masih sangat diperlukan. Begitupula yang terjadi di
Kabupaten Maros dan kota Makassar. Dari Desa dan kelurahan
yang dipilih oleh penulis untuk diambil sampelnya memper-
lihatkan bahwa untuk kabupaten Gowa sendiri, di Desa Borong
Pa’lala yang telah dipilih oleh penulis, ditemukan bahwa 50%
(lima puluh persen) penduduk di desa tersebut tergolong tidak
mampu sehingga masih mengandalkan bantuan pangan berupa
pasokan beras miskin (raskin) dan juga uang santunan dari
Pemda Gowa untuk masyarakat yang tidak mampu dan tidak
bisa mengakses bahan pangan sendiri karena ketidakmampuan
daya beli. Latar belakang pekerjaan dari penduduk di Desa

208 Iin Karita Sakharina


Borong Pa’Lala ini adalah petani dan buruh bangunan. Hal ini
menunjukkan bahwa keadaan petani di Indonesia pada saat ini
sebagian masih sangat memprihatinkan terutama jika dia
bekerja hanya sebagai penggarap dan bukan pemilik sawah atau
lahan. Sementara Keadaan penduduk di Kota Makassar juga
tidak jauh berbeda, dari kelurahan yang dipilih oleh penulis
menunjukkan setengah dari jumlah penduduk yang tinggal di
kelurahan tersebut adalah masayarakat yang tidak mampun dan
hanya mengandalkan bantuan pemerintah kota dalam hal
pemenuhan terhadap hak atas pangannya. Kota Makassar
termasuk salah satu ibukota provinsi di Indonesia dengan
jumlah penduduk yang cukup besar dan terdiri dari masyarakat
yang homogen. Pada tahun 2010 dikota Makassar pernah terjadi
kasus kelaparan dan gizi buruk yang menyebabkan seorang ibu
dan bayinya meninggal dunia karena ketidakmampuannya
untuk membeli makanan namun namun pemerintah kota terus
berbenah diri dan mengupayakan agar kejadian tersebut tidak
terulang kembali di masa yang akan datang.239
Untuk melihat sejauh mana Pemda Provinsi Sulawesi
Selatan melakukan tindakan dalam hal membuat atau menetap-
kan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam rangka pemenuhan hak

239 Hasil Wawancara dengan Ibu Andi Dahniar (Kepala Seksi Peme-
rintahan Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar) Pada hari
Rabu, 19 September 2012.
Iin Karita Sakharina 209
atas kecukupan pangan di daerahnya setalah bersinergi dengan
langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah pusat dalam hal
penetapan kebijaksanaan di bidang ketahanan pangan nasional
dalam rangka pemenuhan hak-hak ekosob warga negaranya
khususnya dibidang kecukupan pangan yang layak, maka penu-
lis mengambil sampel Provinsi Kalimantan Barat, kabupaten
Kubu Raya240 sebagai perbandingan dalam hal melihat kebijak-
sanaan yang telah ditetapkan oleh Pemda masing-masing berke-
nan dengan pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Komnas
HAM mengenai pemenuhan hak atas kecukupan pangan di
salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan adalah sebagai
berikut. Di tingkat daerah, Pemerintah Kabupaten Kubu Raya
(sebagai kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten
Pontianak pada 2008) mencoba menerapkan ketentuan di tingkat
nasional, dengan melakukan inisiatif pengaturan di tingkat
kabupaten, berupa Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 60
Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Hasil Produksi Beras Lokal
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Pemerintahan
Kabupaten Kubu Raya. Ketentuan ini sebagai sebuah upaya agar
produk lokal dapat terserap oleh konsumsi di tingkat Kabupaten

240Sampel ini adalah hasil penelitian Komnas HAM yang dilakukan


untuk melihat Kerangka Konsep Indikator Hak Asasi Manusia tahun 2012
210 Iin Karita Sakharina
Kubu Raya itu sendiri. Selanjutnya, saat ini tengah diupayakan
agar pembagian beras miskin (raskin) di Kabupaten Kubu Raya
dapat menyerap (menggunakan) beras lokal.241
Ketentuan perundang-undangan nasional menjadi sentral
bagi upaya pemenuhan hak atas pangan bagi masyarakat.
Beberapa ketentuan perundang-undangan yang menjadi acuan,
adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Budi-
daya Tanaman;
2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
3) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Per-
kebunan;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
5) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 30 Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan
Pemerintah Desa;
6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan;
7) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009
tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman
Pangan berbasis sumber daya lokal; dan
8) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

241 Lihat Laporan Komnas Komnas HAM, Op. Cit., hlm. 42


Iin Karita Sakharina 211
Pengaturan mengenai pangan diarahkan untuk mewu-
judkan ketahanan pangan yang mencakup ketersediaan, cada-
ngan pangan, dan keterjangkauan konsumsi. Untuk mewujud-
kan ketahanan pangan, maka pemerintah provinsi dan peme-
rintah kabupaten/kota wajib menyelenggarakan pelayanan
(Pasal 7 ayat (2) huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerin-
tah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota).242
Perwujudan dari pelaksanaan kewajiban tersebut belum
direalisasikan sama sekali dalam bentuk peraturan daerah oleh
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, baik itu terkait dengan
ketersediaan, cadangan, maupun keterjangkauan pangan yang
juga menjadi indikator dalam General Comment Nomor 12 Kove-
nan Hak Ekosob.243 Sedangkan untuk Kabupaten Kubu Raya,
perwujudan terkait ketersediaan pangan telah diatur dalam
Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 60 Tahun 2009 tentang
Pemanfaatan Hasil Produksi Beras Lokal Bagi PNS. Pada
peraturan tersebut, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di ling-
kungan Pemerintahan Kabupaten Kubu Raya diharuskan

242 Ibid.
243Di Kabupaten Kapuas Hulu juga telah dilakukan hal yang sama
(konsumsi beras bagi PNS dari produksi beras Kapuas Hulu).
212 Iin Karita Sakharina
membeli dan mengkonsumsi beras lokal, pada Pasal 1 huruf h
dijelaskan bahwa, “Beras lokal adalah beras yang diproduksi
dari hasil budidaya masyarakat tani/petani di wilayah
Kabupaten Kubu Raya”.244
Kabupaten Kubu Raya merupakan daerah lumbung
gabah atau beras di Kalimantan Barat, akan tetapi untuk
keperluan sehari-hari banyak yang didatangkan oleh para
pedagang dari Pulau Jawa. Termasuk juga Raskin, pemerintah
(Bulog) tidak menggunakan beras lokal (Kubu Raya). Hal inilah
yang melatarbelakangi lahirnya peraturan bupati tersebut. Pada
Pasal 3 dan Pasal 4, disebutkan maksud dan tujuan dari
kebijaksanaan bupati (Muda Mahendrawan), yaitu:

Pasal 3;
“Maksud pemanfaatan beras lokal bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat khususnya para petani di wilayah Kabupaten
Kubu Raya, meliputi:
1. Pemberian sertifikasi benih/padi yang akan diguna-
kan untuk dikembangkan dan atau dibudidayakan
dengan tujuan ekonomis;
2. Memberikan dukungan peningkatan produksi, pro-
duktivitas, dan kualitas secara komprehensif dan
terkonsentrasi mulai dari sistem budidaya, panen,
dan pasca panen sampai dengan pemasaran.”

244 Lihat Laporan Komnas Komnas HAM, Op. Cit., hlm. 43 - 44


Iin Karita Sakharina 213
Pasal 4;
“Tujuan pemanfaatan hasil produksi beras lokal bagi PNS
adalah:
1. Meningkatkan pendapatan pelaku usaha, baik bagi
para petani maupun pengusaha, PPK dan koperasi;
2. Meningkatkan ketersediaan aneka ragam pangan
segar dan olahan melalui pengembangan bisnis dan
industri;
3. Penguatan dan peningkatan partisipasi dalam
pengembangan dan pelaksanaan program ketahanan
pangan berbasis sumber daya lokal.”245

Adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah


daerah dalam hal pemenuhan hak atas pangan yang layak
dengan memenuhi indikator-indikator pada pemenuhan hak
atas pangan yang layak, yaitu mengatur ketersediaan bahan
pangan dan makanan yang cukup bagi warga masyarakatnya,
mengatur adanya aksesibilitas dan keterjangkauan terhadap
pangan dan bahan pangan yang layak sehingga mudah di
jangkau oleh masyarakat sekitar termasuk pengaturan mengenai
harga pokok bahan pangan, berikut pengaturan mengenai
pengembangan bahan pangan lokal yang disesuaikan dengan
kebiasaan atau makanan apa saja yang biasa dikonsumsi
masyarakat setempat sampai dengan perbaikan kualitas dari
pangan dan bahan itu sendiri dengan memenuhi unsur gizi

245 Ibid.
214 Iin Karita Sakharina
yang ditetapkan secara nasional melalui beberapa peraturan dan
kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah menun-
jukkan bahwa adanya langkah-langkah yang telah diambil oleh
Pemerintah Daerah untuk bersinergi dengan Pemerintah Pusat
dalam rangka melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan
hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warganya.

Iin Karita Sakharina 215


216 Iin Karita Sakharina
BAB V
KEMAJUAN PEMENUHAN HAK ATAS
PANGAN YANG LAYAK DI INDONESIA

Sebagaimana telah penulis singgung pada bagian akhir


Bab 1 dalam buku ini, bahwa pada Bab V ini adalah merupakan
hasil penelitian postdoctoral tim peneliti yang didanai oleh
Direktorat Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, pada tahun 2014.

A. Kemajuan Implementasi Kovenan Pasca Ratifikasi


1. Pengaturan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, dan penulis
telah singgung pada bab-bab sebelumnya, bahwa Indonesia
telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya pada tahun 2005 melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2005. Dengan diratifikasinya kove-
nan internasional tersebut, Pemerintah Indonesia mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan isi dari kovenan internasional
dimaksud dan melaporkan pelaksanaannya kepada Komite Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya secara berkala. Hal ini merupakan
kewajiban dan konsekuensi bagi setiap negara yang meratifikasi

Iin Karita Sakharina 217


Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Kewajiban negara dalam hal melaksanakan isi dari kovenan
internasional ini dapat dilihat dari beberapa peraturan kebijak-
sanaan atau aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Pusat sampai Pemerintah daerah sebagai satu kesatuan perang-
kat eksekusi bagi negara. Adanya peraturan-peraturan baru
yang dikeluarkan oleh pemerintah atau kebijaksanaan-kebijak-
sanaan yang diambil oleh pemerintah dapat dianggap sebagai
adanya upaya atau itikad baik dari pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan isi kovenan utama HAM ini dibidang ekosob dan
juga turut serta memajukan hak-hak tersebut, sehingga setiap
warga negara berhak menikmati hak-hak yang diatur dalam
hak ekosob dengan nyaman. Selain daripada itu pelaksanaan di
lapangan juga sangat di perlukan, bagaimana Pemerintah
mengimplementasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sudah
diambil atau peraturan-peraturan yang sudah dikeluarkan
dalam bentuk nyata di lapangan, sehingga setiap warga negara
dapat merasakan betul maanfaat dari peratifikasian hak-hak
ekosob mereka dengan dapat mengakses serta menikmati hak
tersebut dengan rasa aman tanpa rasa gangguan apapun. Seperti
pengadaan beras murah bagi warga negara yang tidak mampu
atau pendapatan perkapita perbulannya sangat kurang, memu-
dahkan akses untuk mendapatkan beras murah tersebut bagi

218 Iin Karita Sakharina


setiap masyarakat tanpa terkecuali, memastikan bahwa perang-
kat kerja satuan pemerintah dalam hal ini lurah, camat
mengadakan pengontrolan dengan baik terhadap pendistri-
busian beras murah di setiap kelurahan, kecamatan atau bahkan
di pedesaan, agar dalam pendistribusiannya tidak ada unsur
kecurangan atau diskriminasi terhadap warga masyarakat yang
seharusnya memang memiliki hak untuk mendapatkan beras
murah, selain itu memastikan beras murah didistribusikan
dengan baik sehingga tidak ada penyembunyian beras di
gudang-gudang kelurahan yang dilakukan oleh oknum yang
tidak bertanggung jawab seperti yang biasanya sering di
beritakan di media cetak maupun elektronik.
Di dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
kewajiban Negara Pihak untuk mengakui dan menjamin hak-
hak asasi termuat pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 15, seperti
hak atas pekerjaan, hak untuk jaminan sosial dan asuransi sosial,
hak atas perlindungan dan bantuan seluas mungkin bagi keluar-
ga, ibu, anak dan orang muda, hak atas standar kehidupan yang
memadai dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya,
hak atas standar kesehatan fisik dan mental serta hak atas
pendidikan.246 Hak-hak tersebut merupakan cerminan dari

246 Laporan Pelaksanaan Rapat Koordinasi Dalam Rangka Implementasi


Instrumen HAM yang Telah Diratifikasi Indonesia (Kovenan Hak Ekonomi,
Iin Karita Sakharina 219
kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang terkait dengan aspek
ekonomi, sosial, dan budaya. Berikut tabel uraian lengkap dari
pasal-pasal tersebut :

Tabel 7
Kewajiban Negara Pihak untuk Mengakui dan
Menjamin HAM dalam Kovenan Hak Ekosob

Pasal 6 1. Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak


atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas
kesempatan untuk mencari nafkah melalui
pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara
bebas, dan akan mengambil langkah-langkah
yang memadai guna melindungi hak ini.
2. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Nega-
ra Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai
perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi
juga bimbingan teknis dan kejuruan serrta
program-program pelatihan, kebijakan, dan
teknik-teknik untuk mencapai perkembangan
ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta
lapangan kerja yang penuh dan produktif,
dengan kondisi-kondisi yang menjamin kebeba-
san politik dan ekonomi yang mendasar bagi
perorangan.
Pasal 7 Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak
setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang

Sosial, dan Budaya), Penyempurnaan Hasil Implementasi Tahun Anggaran 2010,


(Jakarta: Direktorat Kerja HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2004), hlm. 1
220 Iin Karita Sakharina
adil dan menguntungkan, dan khususnya menja-
min:
(a)Bayaran yang memberikan semua pekerja,
sekurang-kurangnya :
1. Upah yang adil dan imbalan yang sesuai
dengan pekerjaan yang senilai tanpa pembe-
daan dalam bentuk apapun, khususnya bagi
perempuan yang harus dijamin kondisi
kerja yang tidak lebih rendah daripada yang
dinikmati laki-laki dengan upah yang sama
untuk pekerjaan yang sama.
2. Kehidupan yang layak bagi mereka dan
keluarga mereka, sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Kovenan ini;

(b) Kondisi kerja yang aman dan sehat;


(c) Kesempatan yang sama bagi setiap orang
untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih
tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun
selain senioritas dan kemampuan.
(d) Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja
yang wajar, dan liburan berkala dengan gaji
maupun imbalan-imbalan lain pada hari libur
umum.
Pasal 8 1. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk
menjamin:
a) Hak setiap orang untuk membentuk serikat
pekerja dan bergabung dalam serikat pekerja
pilihannya sendiri, berdasarkan peraturan or-
ganisasi yang bersangkutan, demi memajukan
Iin Karita Sakharina 221
dan melindungi kepentingan ekonomi dan
sosialnya. Pembatasan dalam pelaksanaan hak
ini tidak diperbolehkan kecuali yang diten-
tukan hukum, dan yang diperlukan dalam
suatu masyarakat demokratis demi kepen-
tingan keamanan nasional atau ketertiban
umum, atau untuk perlindungan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan orang lain;
b) Hak setiap pekerja untuk membentuk fede-
rasi-federasi atau konfederasi-konfederasi na-
sional dan hak konfederasi nasional untuk
membentuk atau bergabung dengan organisasi
serikat pekerja internasional;
c) Hak serikat pekerja untuk bertindak secara
bebas, yang tidak dapat dikenai pembatasan-
pembatasan apapun selain yang ditentukan
oleh hukum, dan yang diperlukan dalam suatu
masyarakat demokratis untuk kepentingan
keamanan nasional atau ketertiban umum,
atau untuk perlindungan hak-hak dan kebe-
basan-kebebasan orang lain;
d) Hak untuk melakukan pemogokan, asalkan
pelaksanaannya sesuai dengan hukum negara
yang bersangkutan;
2. Pasal ini tidak menghalangi dikenakannya pem-
batasan-pembatasan yang sah dalam pelaksanaan
hak-hak tersebut di atas, oleh anggota-anggota
angkatan bersenjata atau kepolisian atau penye-
lenggara suatu Negara.
3. Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang memberi
222 Iin Karita Sakharina
kewenangan pada Negara-Negara Pihak dalam
"Konvensi Internasional Organisasi Perburuhan
Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Ber-
serikat dan Perlindungan Hak Berserikat" untuk
mengambil langkah legislatif atau menerapkan
hukum apapun sedemikian rupa yang akan
mengurangi jaminan-jaminan yang telah dibe-
rikan Konvensi itu.
Pasal 9 Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak
setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi
sosial.
Pasal Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa:
10 1. Perlindungan atas bantuan seluas mungkin harus
diberikan kepada keluarga yang merupakan
kelompok alamiah dan mendasar dari satuan
masyarakat, terutama terhadap pembentukannya,
dan sementara itu keluarga bertanggung jawab
atas perawatan dan pendidikan anak-anak yang
masih dalam tanggungan. Perkawinan harus
dilangsungkan berdasarkan persetujuan yang
sukarela dari calon mempelai.
2. Perlindungan khusus harus diberikan kepada
para ibu selama jangka waktu yang wajar
sebelum dan sesudah melahirkan. Selama jangka
waktu itu para ibu yang bekerja harus diberrikan
cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial
yang memadai.
3. Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan
bantuan harus diberikan untuk kepentingan
semua anak dan remaja, tanpa diskriminasi apa-
Iin Karita Sakharina 223
pun berdasarkan keturunan atau keadaan-kea-
daan lain. Anak-anak dan remaja harus dilindu-
ngi dari eksploitasi ekonomi dan sosial. Peman-
faatan mereka dalam pekerjaan yang merrugikan
moral atau kesehatan, atau yang membahayakan
kehidupan mereka, atau yang sangat mungkin
menghambat perkembangan mereka secara
wajar, harus dikenai sanksi hukum. Negara-
negara juga harus menetapkan batas umur di
mana mempekerjakan anak di bawah umur
tersebut dengan imbalan, harus dilarang dan
dikenai sanksi hukum.
Pasal 1. Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak
11 setiap orang atas standar kehidupan yang layak
baginya dan keluarganya, termasuk pangan,
sandang dan perumahan, dan atas perbaikan
kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan
mengambil langkah-langkah yang memadai
untuk menjamin perwujudan hak ini dengan
mengakui arti penting kerjasama internasional
yang berdasarkan kesepakatan sukarela.
2. Negara Pihak pada Kovenan ini, dengan
mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk
bebas dari kelaparan, baik secara individual
maupun melalui kerjasama internasional, harus
mengambil langkah-langkah termasuk program-
program khusus yang diperlukan untuk;
a) Meningkatkan cara-cara produksi, konser-
vasi dan distribusi pangan, dengan sepe-
nuhnya memanfaatkan pengetahuan teknik
224 Iin Karita Sakharina
dan ilmu pengetahuan, melalui penyebar-
luasan pengetahuan tentang asas-asas ilmu
gizi, dan dengan mengembangkan atau
memperbaiki sistem pertanian sedemikian
rupa, sehingga mencapai suatu perkem-
bangan dan pemanfaatan sumber daya alam
yang efisien;
b) Memastikan distribusi pasokan pangan
dunia yang adil yang sesuai kebutuhan,
dengan memperhitungkan masalah-masa-
lah Negara-negara pengimpor dan pengeks-
por pangan.
Pasal 1. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak
12 setiap orang untuk menikmati standar tertinggi
yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan
mental.
2. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara
Pihak pada Kovenan ini guna mencapai perwu-
judan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal
yang diperlukan untuk mengupayakan:
a) Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat
kelahiran-mati dan kematian anak serta perkem-
bangan anak yang sehat;
b) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan
dan industri;
c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala
penyakit menular, endemik, penyakit lainnya
yang berhubungan dengan pekerjaan;
d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin
semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal
Iin Karita Sakharina 225
sakitnya seseorang.
Pasal 1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui
13 hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menye-
tujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada
perkembangan kepribadian manusia seutuhnya
dan kesadaran akan harga dirinya, dan memper-
kuat penghormatan atas hak-hak asasi dan
kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selan-
jutnya setuju bahwa pendidikan harus memung-
kinkan semua orang untuk berpartisipasi secara
efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, me-
ningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persa-
habatan antar semua bangsa dan semua kelom-
pok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan
kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk memelihara perdamaian.
2. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui
bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara
penuh:
a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan
tersedia secara cuma-cuma bagi semua
orang;
b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai ben-
tuknya, termasuk pendidikan teknik dan
kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya,
harus tersedia dan terbuka bagi semua
orang dengan segala cara yang layak, dan
khususnya melalui pengadaan pendidikan
cuma-cuma secara bertahap;
c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi
226 Iin Karita Sakharina
semua orang secara merata atas dasar ke-
mampuan, dengan segala cara yang layak,
khususnya melalui pengadaan pendidikan
cuma-cuma secara bertahap;
d) Pendidikan mendasar harus sedapat
mungkin didorong atau ditingkatkan bagi
orang-orang yang belum mendapatkan
atau belum menyelesaikan pendidikan da-
sar mereka;
e) Pengembangan suatu sistem sekolah pada
semua tingkatan harus secara aktif diupa-
yakan, suatu sistem beasiswa yang mema-
dai harus dibentuk dan kondisi-kondisi
materiil staf pengajar harus terus menerus
diperbaiki.
3. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk
menghormati kebebasan orang tua dan wali yang
sah, bila ada, untuk memilih sekolah bagi anak-
anak mereka selain yang didirikan oleh lembaga
pemerintah, sepanjang memenuhi standar mini-
mal pendidkan sebagaimana ditetapkan atau
disetujui oleh negara yang bersangkutan, dan
untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan
moral anak-anak mereka sesuai dengan keya-
kinan mereka.
4. Tidak satupun ketentuan dalam Pasal ini yang
dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk
mencampuri kebebasan individu dan badan-
badan untuk mendirikan dan mengurus lembaga-
lembaga pendidikan sepanjang prinsip-prinsip
Iin Karita Sakharina 227
yang dikemukakan ayat (1) Pasal ini selalu
diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendi-
dikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga itu
memenuhi standar minimum yang ditetapkan
oleh Negara.
Pasal Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang pada
14 saat menjadi Pihak belum mampu menyeleng-
garakan wajib belajar tingkat dasar secara cuma-
cuma di wilayah perkotaan atau wilayah lain di
bawah yurisdiksinya, harus berusaha dalam jangka
waktu dua tahun, untuk menyusun dan menetap-
kan rencana kegiatan rinci untuk diterapkan secara
progresif, dan dalam beberapa tahun yang layak
harus melaksanakan prinsip wajib belajar dengan
cuma-cuma bagi semua orang, yang harus dima-
sukkan dalam rencana kegiatan tersebut.
Pasal 1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui
15 hak setiap orang:
a) Untuk berpartisipasi dalam kehidupan
budaya;
b) Untuk menikmati manfaat dari kemajuan
ilmu pengetahuan dan penerapannya;
c) Untuk memperoleh manfaat dari perlindu-
ngan atas kepentingan moral dan material
yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau
seni yang telah diciptakannya.
2. Langkah-langkah yang harus diambil oleh Negara
Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwu-
judan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi
pula langkah-langkah yang diperlukan guna
228 Iin Karita Sakharina
melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
3. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk
menghormati kebebasan yang mutlak diperlukan
untuk penelitian ilmiah dan kegiatan yang krea-
tif.
4. Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui
manfaat yang akan diperoleh dari pemajuan dan
pengembangan hubungan dan kerjasama interna-
sional di bidang ilmu pengetahuan dan kebuda-
yaan.

Sifat dari pelaksanaan hak-hak dalam Kovenan Ekonomi,


Sosial, dan Budaya adalah kesetaraan dan non diskriminasi.
Sedangkan ketentuan yang mengatur masalah pelaporan
pelaksanaannya terdapat pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 20.
Dalam pelaksanaan kovenan tersebut, maka yang bertanggung
jawab atas hak-hak tersebut secara keseluruhan adalah
Pemerintah Indonesia, yang secara substansi ditangani oleh
Kementerian/ Lembaga yang terkait, sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi instansi yang bersangkutan. Komite Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya menjelaskan bahwa kewajiban negara peserta
meliputi kewajiban untuk melakukan maupun kewajiban mela-
porkan hasilnya. Ini diperlukan untuk mengetahui sampai
sejauhmana instrumen HAM yang telah diratifikasi tersebut

Iin Karita Sakharina 229


sudah dilaksanakan247 oleh negara, sehingga dapat diketahui
dengan mudah ketika dianalisis, apakah suatu negara
melaksanakan kewajibannya (baik kewajiban untuk melakukan/
melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun
kewajiban untuk melaporkan hasil/capaian dari pelaksanaan
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tersebut).
Terkait dengan kewajiban suatu negara untuk melapor-
kan hasil/capaian dari pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya, maka pengaturan terhadap pelaporan tersebut
secara lengkap akan dijabarkan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 8
Pengaturan Pelaporan Pelaksanaan Kovenan Hak Ekosob

Pasal 1. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji, sesuai


16 dengan bagian dari Kovenan ini, untuk menyam-
paikan laporan mengenai langkah-langkah yang
telah diambil, dan kemajuan yang telah dicapai
dalam pematuhan hak-hak yang diakui dalam
Kovenan ini.
a) Semua laporan harus disampaikan pada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang akan menyampaikan salinan
kepada Dewan Ekonomi dan Sosial, untuk
dipertimbangkan sesuai ketentuan Kove-

247 Laporan Direktorat Kerja HAM, Ibid. hlm. 1


230 Iin Karita Sakharina
nan ini;
b) Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa juga harus menyampaikan salinan
laporan atau bagian laporan yang relevan
dari Negara-negara Pihak kovenan ini
yang juga adalah anggota dari Badan
Khusus, kepada Badan-Badan Khusus
tersebut sepanjang laporan-laporan terse-
but atau bagian darinya berhubungan
dengan masalah-masalah yang menjadi
kewenangan dari Badan Khusus tersebut
sesuai dengan instrumen konstitusinya.
Pasal 1. Negara Pihak pada Kovenan ini harus mem-
17 berikan laporan mereka secara bertahap, sesuai
dengan program yang ditetapkan oleh Dewan
Ekonomi dan Sosial dalam jangka waktu satu
tahun sejak Kovenan ini mulai berlaku, setelah
berkonsultasi dengan Negara Pihak dan Badan
Khusus yang bersangkutan.
2. Laporan demikian dapat menunjukkan faktor-
faktor dan kesulitan-kesulitan yang mempe-
ngaruhi tingkat pemenuhan kewajiban-kewajiban
dalam Kovenan ini.
3. Apabila sebelumnya telah diberikan informasi
yang relevan kepada Perserikatan Bangsa-
Bangsa atau pada suatu Badan Khusus oleh
Negara Pihak pada Kovenan ini, maka informasi
tersebut tidak lagi perrlu diberikan, tetapi cukup
dengan merujuk secara jelas pada informasi yang
pernah diberikannya tersebut.
Iin Karita Sakharina 231
Pasal Sesuai dengan tanggung jawabnya menurut Piagam
18 Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang hak-hak asasi
dan kebebasan manusia yang mendasar, Dewan
Ekonomi dan Sosial bersama- sama dengan Badan-
badan Khusus dapat menyusun laporan tentang
kemajuan yang dicapai dalam mematuhi ketentuan-
ketentuan dalam Kovenan ini dalam hal-hal yang
termasuk dalam ruang lingkup kegiatan mereka.
Laporan-laporan ini dapat mencakup hal-hal khusus
dari keputusan dan rekomendasi terhadap pene-
rapan tersebut yang telah disetujui oleh organ-
organ yang berwenang.
Pasal Dewan Ekonomi dan Sosial dapat menyampaikan
19 pada Komisi Hak Asasi Manusia, laporan- laporan
mengenai hak asasi manusia yang disampaikan oleh
Negara-negara Pihak sesuai dengan Pasal 16 dan 17,
dan laporan-laporan mengenai hak asasi manusia
yang disampaikan oleh Badan-Badan Khusus sesuai
dengan Pasal 18, untuk dipelajari dan diberikan
rekomendasi umum, atau sekedar untuk informasi
belaka.
Pasal Negara Pihak pada Kovenan ini dan Badan-badan
20 Khusus yang terkait, dapat menyampaikan tangga-
pan-tanggapan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial
tentang rekomendasi sesuai dengan Pasal 19, atau
mengenai rujukan terhadap rekomendasi umum
tersebut, dalam setiap laporan Komisi Hak Asasi
Manusia atau dokumen yang dirujuk di dalamnya.

232 Iin Karita Sakharina


Dengan melihat kewajiban-kewajiban negara peserta,
khususnya negara peratifikasi kovenan hak ekosob ini, untuk
dilaksanakan kepada warganya, serta pengaturan tentang
pelaporan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
oleh negara bagi warganya, maka dapat dikatakan bahwa
sebenarnya Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya mengakui bahwa hak-hak tersebut berasal dari
martabat yang melekat pada manusia, dan keadaan ideal dari
manusia yang bebas dari rasa ketakutan akan kemiskinan hanya
dapat dicapai apabila tercipta salah satu kondisi, dimana semua
manusia dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan
budayanya.
Pengaruh dari kebanyakan warga terhadap kebijaksanaan
pemerintah bersifat tidak langsung, sedangkan jalan dari
pembentukan keputusan politik kepada warga perseorangan
melalui jalan hirarki dan birokrasi pemerintah dapat digam-
barkan sebagai suatu proses yang panjang dan memakan waktu
lama. Dalam bidang pemerintah, masalah pelayanan menjadi
sangat penting karena menyangkut kepentingan umum bahkan
kepentingan rakyat secara keseluruhan karena peranan pela-
yanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah melibatkan
seluruh aparat pegawai negeri dalam rangka peningkatan kesa-
daran bernegara danbermasyarakat, sehingga pelayanan kepada

Iin Karita Sakharina 233


masyarakat menjadi suatu hak, yaitu hak atas pelayanan
(termasuk diantaranya hak masyarakat untuk mendapatkan
pangan yang layak dan tercukupi).248
Dalam pelaksanaan pelayanan umum terdapat beberapa
faktor pendukung yang penting, diantaranya faktor kesadaran
para pejabat serta petugas yang terkait dalam pelayanan umum,
faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan, faktor
organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memung-
kinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan, faktor pen-
dapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum,
faktor keterampilan petugas, dan faktor sarana dalam pelak-
sanaan tugas pelayanan. Keenam faktor itu masing-masing
mempunyai peranan yang berbeda tapi saling berpengaruh dan
secara bersama-sama akan mewujudkan pelaksanaan pelayanan
secara baik, berupa pelayanan verbal, pelayanan tulisan atau
pelayanan dalam bentuk gerakan/tindakan dengan atau tanpa
peralatan.249
Pentingnya peran aparat birokrasi dalam penyeleng-
garaan pemerintahan dan menunjang keberhasilan pembangu-
nan telah mendorong berbagai upaya ke arah langkah penyem-
purnaan. Berkaitan dengan masalah ini, birokrasi dalam melak-

248 Ibid.
249 Ibid.
234 Iin Karita Sakharina
sanakan perannya menghadapi tugas ganda yakni di satu pihak
birokrasi harus mampu melakukan kiat-kiat strategis dalam
rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masya-
rakat (outward looking), di lain pihak birokrasi juga harus mampu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam lingku-
ngannya (inward looking).250

2. Kemajuan Implementasi di Indonesia Pasca Ratifikasi


Pada sesi ke 52 sidang komite Hak ekosob PBB yang
dilaksanakan pada tanggal 28 April 2014 dan telah berakhir
tanggal 23 Mei 2014, dikantor PBB di Jenewa, Swiss. Laporan
Pemerintah Indonesia telah diserahkan pada tahun 2012. Pada
tahun 2013, komite hak ekosob mmeberikan list of issues yang
merupakan pertanyaan-pertanyaan lanjutan atas beberapa isu
yang ada dalam laporan Pemerintah. Pada bulan Maret 2014,
Pemerintah Indonesia memberikan respon atas beberapa
pertanyaan dalam list of issue yang kemudian diserahkan kepada
komite Sebagaimana yang dilaporkan oleh Yuni Asrriyanti
dalam Siaran Pers Komnas Perempuan mengenai pemantauan
dan memastikan implementasi kovenan hak ekosob251pada sesi

250 Ibid.

Yuni Asriyanti (Koordinator Gugus Kerja Pekerja Migran) per 23 Juli


251

2014, www.komnasperempuan.or.id/2014/07-memantau dan memastikan


Iin Karita Sakharina 235
sidang tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang
ditinjau atas hasil pelaksanaan dari ratifikasi kovenan hak
ekosob tersebut. Ini adalah laporan pertamakali dari Pemerintah
Indonesia pasca ratifikasi kovenan internasional mengenai hak
ekosob ini. Pada sesi siding ke 52 dari kovenan hak-hak ekosob
ini, delegasi Pemerintah Indonesia yang hadir berjumlah 28
orang, dimana merupakan perwakilan dari beberapa lembaga
kementerian antara lain; Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Hukum dan HAM, BAPPENAS, Kementerian Perumahan
Rakyat, Kementerian Kesehatan, Kementrian Tenaga Kerja,
Kementerian Dalam Negeri, Kementrian Pendidikan, BNPP,
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat
(UP4AB), Perwakilan tetap RI di Jenewa.252
Pada sidang sesi ke 52 ini oleh komite Hak-hak ekosob
PBB, dilakukan peninjauan oleh komite hak ekosob yang
beranggotakan 18 orang, terdiri dari para ahli dibidang-bidang
terkait isu hak ekosob. Pada simpulan observasi (concluding
observation) dari laporan dan dialog dengan negara, lembaga-
lembaga HAM nasional yaitu Komnas HAM dan Komnas

implementasi kovenan-internasional hak-hak ekosob, diakses tanggal 1


November 2014, pukul. 19.00. WITA

252 Ibid
236 Iin Karita Sakharina
Perempuan, sejumlah CSO maupun dokumen relvan lainnya.253
Dalam siaran Pers komnas Perempuan juga menyatakan bahwa
komite memberikan apresiasi kepada Indonesia atas kemajuan
yang dicapai setelah peratifikasin kovenan internasional hak-hak
ekosob ini. Kemajuan yang dicapai, diantaranya adalah diratifi-
kasinya beberapa konvensi internasional yaitu konvensi 1990
tentang perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan
keluarganya; konvensi hak-hak penyandang disabilities dan
protocol opsional hak-hak anak mengenai keterlibatan anak-
anak dalam konflik bersenjata, prostitusi anak dan pornografi
anak, serta kebijakan lainnya.254
Selain itu, dalam siaran pers komnas perempuan juga
memaparkan bahwa komite juga menyampaikan beberapa
catatan diantaranya minimnya informasi dalam laporan tentang
akses keadilan ekonomi, sosial dan budaya secara khusus
dipengadila. Serta ada beberapa catatan yang digaris bawahi
dan didesak kepada kepala negara untuk di implementasikan
seperti beberapa issu dibawah ini255 :

253Siaran Pers Komnas Perempuan Mengenai Desakan Komite Hak-hak


Ekosob PBB yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia, Per 6 Juni
2014, www.komnasperempuan.or.id/2014/06, diakses tanggal 1 November 2014,
Pukul 20.00 Wita

254 Siaran Pers Komnas Perempuan, Ibid

255 Ibid
Iin Karita Sakharina 237
1. Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Migran;
Pengakuan dan perlindungan hak PRT sama seperti
pekerja lainnya yaitu mendapatkan hak untuk menda-
patkan kerja dan pengupahan yang layak, perlin-
dungan dari pemecatan yang tidak adil, kesehatan dan
keselamatan kerja, jam istirahat dan libut. Pembatasan
jam kerja dan jaminan sosial. PRT memerlukan per-
lindungan khusus mengingat kerentanannya terhadap
kerja paksa, kekerasan dan pelecehan seksual. Penye-
diaan mekanisme efektif untuk melaporkan tindakan
kekerasan dan eksploitasi yang dialami oleh PRT dan
perlunya pemerintah untuk memonitor konidisi kerja
PRT. Terkait PRT migrant, persoalan peran agen dan
kerentanan eksploitasi PRT oleh agen juga mendapat
perhatian. Pengawasan terhadap agen dan mengatur
biaya penempatan. Ada upaya membangun kesepa-
katan dengan negara tujuan kerja harus terus dilan-
jutkan dengan menempatkan prinsip menentang eks-
ploitasi dan kekerasan serta memastikan pemenuhan
hak-hak ekosob PRT migran. Komite juga mereko-
mendasikan pemerintah Republik Indonesia untuk
meratifikasi konvensi ILO 189 tentang Kerja yang
Layak bagi PRT.
2. Kekerasan terhadap perempuan dan kematian ibu.
Komite member perhatian pada praktek impunitas dan
penanganan kekerasa terhadap perempuan. Penigka-
tan kesadaran diantara para penegak hukum dan
aparat tentang pola tindak pindah terhadap kekerasan
terhadap perempuan, serta pada masyarakat. Lebih
luas melalui kampanye “zero tolerance” untuk keke-

238 Iin Karita Sakharina


rasan terhadap perempuan. Penguatan legislasi keke-
rasan terhadap perempuan, termasuk pemidanaan
segala bentuk kekerasan terhadap seksual. Sedangkan
mengenai kematian ibu melahirkan, Komite meminta
Pemerintah mengatasi soal disparitas ketersediaan
layanan kesehatan bagi ibu melahirkan yang berkua-
litas, memastikan akses atas layanan kesehatan seksual
dan reproduksi bagi perempuan baik yang belum
menikah, remaja puteri dan perempuan yang sudah
menikah tanpa perlu persetujuan dari pasangannya
untuk perlindungan hidupnya.
3. Hak ekosob di Papua dan daerah terpencil. Komite
meminta akselerasi penyediaan layanan publik di
Papua dan daerah terpencil lain, dengan mengaloka-
sikan sumber daya manusia dan sumber dan. Memas-
tikan layanan tersebut dinikmati oleh masyarakat,
Komite juga meminta Pemerintah mengumpulkan
informasi mengenai situasi hak ekosob dari suku-suku
di pegunungan, daerah terpencil dan perbatasan
berkerjasama dengan lembaga HAM Nasional dan
Organisasi Masyarakat Sipil.
4. Lembaga HAM Nasional, dimana Komite secara tegas
meminta Pemerintah untuk mendengar dan menin-
daklanjuti rekomendasi dan hasil investigasi lembaga
HAM Nasional dalam hal ini Komnas HAM dan
Komnas Perempuan. Pemerintah juga diminta untuk
memberikan Komnas Perempuan Independensi admi-
nistrasi dalam pengelolaan sumber daya manusia
sejalan dengan Paris Principle.

Iin Karita Sakharina 239


Terlepas dari beberapa catatan yang telah diberikan oleh
Komite Hak Ekosob PBB di Jenewa pada sidang sesi 52,
mengenai pembahasan dan tinjauan laporan pelaksanaan Hak-
hak ekosob di Indonesia pasca ratifikasi, penulis tetap melihat
ada beberapa kemajuan yang signifikan yang telah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia pasca meratifikasi kovenan hak
ekosob kedalam Undang-Undang No.11 tahun 2005. Hal ini
dapat dilihat dari dikeluarkannya sejumlah peraturan baru dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan baru untuk beberapa hak yang
dianggap penting untuk dilaksanakan guna memenuhi kewaji-
ban negara dalam hal penghormatan, pemenuhan, perlindungan
hak-hak tersebut secepatnya. Penulis menemukan 3 (tiga) kema-
juan penting, kemajuan-kemajuan tersebut dijelaskan sebagai
berikut :
Pertama, khusus dibidang regulasi pangan. Regulasi
mengenai pengaturan tentang pangan ini telah di ubah dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996
(yang dirasa sudah tidak dapat mengakomodasi kebutuhan
warga masyarakat) menjadi Undang-Undang Republik Indone-
sia Nomor 18 Tahun 2012 (yang lebih pro terhadap rakyat),
dimana perubahan dalam regulasi tersebut mengatur tentang
Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebu-
tuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil,

240 Iin Karita Sakharina


merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan,
Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan (Pasal 3 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012), yang
sebelumnya hal tersebut hanya mengatur tentang pembangunan
pangan, dan bukan penyelenggaraan pangan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1996, Pembangunan pangan diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat
secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak
bertentangan dengan keyakinan masyarakat, dari hal tersebut
saja sudah tidak menggambarkan jangkauan regulasi dibidang
pangan dalam jangka panjang bagi warganya, karena tidak
sampai pada tahap Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan,
dan Ketahanan Pangan.
Dari hal tersebut diatas barulah salah satu pasal saja yang
dikemukakan dalam undang-undang pangan yang baru, namun
begitu komprehensifnya pengaturan yang diatur dalam undang-
undang tersebut, ini dapat menandakan bahwa adanya
kemauan negara, dalam hal ini diwakili pemerintah untuk
mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan
Ketahanan Pangan bagi warganya dari sisi regulasi dengan
mengubah undang-undang pangan yang lama. Dari sisi regulasi
itulah kemudian pemerintah dapat menjabarkan dan mengim-

Iin Karita Sakharina 241


plementasikan hal-hal yang dianggap ideal dalam mensejah-
terakan warganya dari sektor pangan. Walaupun dalam imple-
mentasi ke depan dikarenakan undang-undang ini masih
tergolong baru, maka belum diketahui apakah hal ini berjalan
dengan lancar atau tidak, akan tetapi dalam sisi regulasi inilah
yang paling penting, karena regulasi ini yang dijadikan dasar
hukum bagi negara dalam melaksanakan setiap kebijaksanaan-
nya agar sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh undang-
undang.
Undang-Undang Pangan tahun 2012 ini pula yang dapat
dijadikan acuan bagi warga negara dalam menuntut hak-hak
yang seharusnya ia dapatkan sesuai apa yang diatur dalam
aturan tersebut. Sehingga negara tidak bisa sewenang-wenang
dalam menjalankan setiap kebijaksanaannya terhadap masya-
rakat di sektor pangan, dan sebagai Negara Hukum, maka
Indonesia dari sisi ini sudah mengupayakan terlaksananya
pemenuhan hak atas pangan warganya sebagai bagian dari
pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya dari sisi regulasi. Bahkan di dalam Pasal 5 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 mengatur
bahwa Lingkup pengaturan Penyelenggaraan Pangan meliputi
dimana pada undang-undang sebelumnya yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 hal ini tidak

242 Iin Karita Sakharina


diatur sama sekali. Adapun Lingkup Penyelenggaraan Pangan
meliputi :
 perencanaan Pangan;
 Ketersediaan Pangan;
 keterjangkauan Pangan;
 konsumsi Pangan dan Gizi;
 Keamanan Pangan;
 label dan iklan Pangan;
 pengawasan;
 sistem informasi Pangan;
 penelitian dan pengembangan Pangan;
 kelembagaan Pangan;
 peran serta masyarakat; dan
 penyidikan.

Selain itu cakupan UU Nomor 18 Tahun 2012 tersebut


juga meliputi lingkup penyelenggaraan pangan dan ketahanan
pangan, struktur UU pangan, beberapa pengaturan penting
dalam UU pangan, kewajiban daerah sesuai UU Nomor 18
tahun 2012, tindak lanjut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang
pangan, dan peran strategis daerah dalam ketahanan pangan.
Kedua, khusus regulasi dibidang kesehatan. Regulasi
mengenai pengaturan tentang kesehatan ini telah diubah dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992,
yang dirasa sudah tidak dapat mengatur jaminan kesehatan
warga masyarakat, menjadi Undang-Undang Republik Indo-

Iin Karita Sakharina 243


nesia Nomor 36 Tahun 2009 yang diharapkan lebih mengede-
pankan kesehatan sebagai bagian hak asasi manusia yang harus
dipenuhi oleh negara, perubahan dalam regulasi tersebut
mengatur tentang Pembangunan kesehatan diselenggarakan
dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,
pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban,
keadilan, gender dan non-diskriminatif dan norma-norma
agama, dan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mening-
katkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yaitu
terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009, dimana Undang-Undang
sebelumnya yaitu UU RI Nomor 23 Tahun 1992, Pasal 3 hanya
mengatur tentang pembangunan kesehatan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang optimal.
Jika dilihat dari konsideran terbentuknya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 menggatikan
peran dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23

244 Iin Karita Sakharina


Tahun 1992, maka paling tidak ada 5 (lima) hal pokok yang
dipertimbangkan, yakni :
1. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah
satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa
bagi pembangunan nasional;
3. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menim-
bulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan
setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masya-
rakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara;
4. Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan
wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional
harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan me-
rupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah
maupun masyarakat; dan
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kese-
hatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan,
tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat
sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang tentang Kesehatan yang baru.

Iin Karita Sakharina 245


Tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang kesehatan
yang baru, sangat menjunjung tinggi hak-hak warganegara yang
harus dipenuhi oleh negara, selain itu, hal ini juga dapat
menandakan bahwa adanya kemauan negara dalam mewujud-
kan keterjangkauan atas akses kesehatan bagi semua warganya
tanpa adanya diskriminasi dari sisi regulasi dengan mengubah
undang-undang kesehatan yang lama, dimana undang-undang
tersebut sudah tidak dapat memenuhi tuntutan hak kesehatan
bagi warganya dimana diatur di dalam Kovenan Internasional
Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dari sisi regulasi itulah
kemudian pemerintah dapat menjabarkan dan mengimplemen-
tasikan hal-hal yang dianggap ideal dalam memenuhi hak-hak
warganya dibidang kesehatan. Walaupun dalam implementasi
belum begitu terlihat secara signifikan, namun dengan adanya
kebijakan-kebijakan tentang jaminan kesehatan yang dicanang-
kan oleh Pemerintah Indonesia melalui instansi yang terkait
(salah satunya dengan menjalankan program BPJS bagi semua
lapisan masyarakat).
Dilihat sisi regulasi inilah yang paling penting, karena
regulasi ini yang dijadikan dasar hukum bagi negara dalam
melaksanakan setiap kebijaksanaannya agar sesuai dengan apa
yang diamanatkan oleh undang-undang kesehatan. Undang-
Undang Kesehatan tahun 2009 ini pula yang dapat dijadikan

246 Iin Karita Sakharina


acuan bagi warganegara dalam menuntut hak-hak yang
seharusnya ia dapatkan sesuai apa yang diatur dalam aturan
tersebut. Sehingga negara tidak bisa sewenang-wenang dalam
menjalankan setiap kebijakannya terhadap masyarakat dibidang
kesehatan. Carut-marutnya program kesehatan gratis, pelaksa-
naan BPJS yang kurang optimal, kurangnya kerjasama beberapa
rumah sakit swasta dengan pihak pemerintah, membuat
terhambatnya pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya dari sisi implementasi. Walaupun
dalam hal kematian ibu melahirkan, komite HAM PBB untuk
hak-hak ekosob masih memberikan catatan mengenai tingkat
kejadiaan yang dianggap masih cukup tinggi, dimana komite
masih meminta pemerintah untuk mengatasi soal disparitas
ketersediaan layanan kesehatan bagi ibu melahirkan yang
berkualitas untuk mengurangi ataupun mencegah kematian ibu
melahirkan. Namun sebagai Negara Hukum, maka Indonesia
dari sisi ini sudah mengupayakan terlaksananya pemenuhan
hak atas akses kesehatan dan pemenuhan hak-hak kesehatan
bagi warganya,sebagai bagian dari pelaksanaan Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Ketiga, program strategis yang selama ini dijalankan oleh
Badan Ketahanan Pangan Nasional di Indonesia. Berdasarkan
kondisi Indonesia secara umum pasca ratifikasi Kovenan

Iin Karita Sakharina 247


Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun
2005 yang lalu, kondisi ketahanan pangan nasional tahun 2005-
2009 cenderung semakin baik dan kondusif, walaupun kualitas
konsumsi pangan masyarakat berdasarkan Pola Pangan
Harapan (PPH) pada tahun 2009 mengalami penurunan. Kondisi
ketahanan pangan yang cenderung semakin baik, ditunjukkan
oleh beberapa indikator ketahanan pangan berikut:256
a. Beberapa produksi komoditas pangan penting menga-
lami pertumbuhan positif dari tahun 2005, dan khusus
beras mulai tahun 2008 sudah mencapai swasembada;
b. Harga-harga pangan lebih stabil, baik secara umum
maupun pada saat menjelang hari-hari besar nasional
pada saat Puasa, Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru;
c. Pendapatan masyarakat meningkat, yang diukur dari
nilai upah buruh tani dan upah pekerja informal di
sektor industri;
d. Peran serta masyarakat dan pemerintah daerah me-
ningkat, yang ditunjukkan oleh semakin meningkatnya
kreativitas dan dukungan pemerintah daerah dan
masyarakat dalam pemantapan ketahanan pangan;
e. Proporsi penduduk miskin dan rawan pangan semakin
menurun.

Peran serta Badan Ketahanan Pangan dalam mendorong


pemantapan ketahanan pangan tersebut, dilakukan melalui

256 Revisi Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010-2014,


hlm. 1
248 Iin Karita Sakharina
pelaksanaan koordinasi perumusan kebijakan dan langkah-
langkah implementasi pemantapan ketahanan pangan masya-
rakat, melalui pengembangan desa mandiri pangan, penanga-
nan daerah rawan pangan, pemberdayaan lumbung pangan
masyarakat, penguatan lembaga ekonomi pedesaan (LUEP),
penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM),
percepatan penganeka-ragaman/diversifikasi konsumsi pangan
serta dukungan pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran
pembangunan serta berkembangnya peran kelembagaan keta-
hanan pangan yang mengelola kegiatan-kegiatan ketahanan
pangan baik melalui dukungan APBN (dana Dekonsentrasi di
Provinsi, dan Tugas Pembantuan di Provinsi dan Kabupaten/
Kota) maupun dukungan APBD semakin meningkat.257
Badan Ketahanan Pangan pada periode tahun 2005-2009
telah melaksanakan koordinasi dan sinergi kebijakan dan
program ketersediaan pangan, meliputi: peningkatan kualitas
sumberdaya aparat pusat dan daerah dalam menyiapkan bahan
rumusan program dan kebijakan, menyajikan data dan infor-
masi ketersediaan pangan sebagai bahan evaluasi dan penyu-
sunan kebijakan, memantau ketersediaan pangan pada hari-hari
besar nasional dan keagamaan, melakukan prognosa keter-
sediaan pangan pokok, serta mengkoordinasikan kegiatan

257 Ibid., hlm. 2


Iin Karita Sakharina 249
pengelolaan cadangan pangan. Selain itu, Badan Ketahanan
Pangan pusat juga melaksanakan advokasi dan sosialisasi ke
daerah dalam rangka peningkatan kualitas hasil analisis keter-
sediaan pangan, merumuskan cadangan pangan pemerintah dan
masyarakat terutama di daerah rawan pangan, dan memfa-
silitasi penyusunan Neraca Bahan Makanan provinsi dan
kabupaten/kota, analisis pola distribusi produksi, serta perenca-
naan dan evaluasi ketersediaan pangan berdasarkan Pola
Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Gizi (AKG).258

B. Implementasi di Daerah.
1. Implementasi di Kabupaten Barru dan Bone
Berdasarkan data dari masyarakat Desa Lompo Tengah
(yang penulis jadikan sampel penelitian untuk wilayah Sulawesi
Selatan), Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru dari hasil
penyebaran kuisioner menunjukan hasil bahwa masyarakat di
wilayah tersebut umumnya merasa tercukupi atas ketersediaan
pangan dan akses pangan yang ada. Hal ini tidak mengheran-
kan, karena Kabupaten Barru juga merupakan wilayah yang
memiliki lahan pertanian yang cukup luas, selain itu juga
pekerjaan mayoritas warga di wilayah ini adalah sebagai petani.
Bantuan pemerintah terkait dengan program bantuan beras

258 Ibid., hlm. 6


250 Iin Karita Sakharina
miskin kepada warganya tidak begitu dibutuhkan oleh warga,
oleh karena itu khusus kepada beberapa masyarakat yang Desa
Lompo Tengah yang tergolong kurang mampu, pemerintah
menyiapkan program-program unggulan, salah satu diantara-
nya adalah bantuan untuk memelihara sapi pemerintah.
Menurut Jamaluddin :
“warga Desa Lompo Tengah disini umumnya tercukupi
masalah beras, oleh karena itu pemerintah setempat
mensiasati program yang dirasa bermanfaat oleh warga
dengan memberikan program bagi warga yang kurang
mampu untuk memelihara sapi pemerintah, yang
nantinya jika sapi tersebut sudah besar dan di jual maka
hasil penjualannya dibagi dua (antara pemerintah dengan
warga yang memelihara sapi pemerintah tersebut),
bantuan tersebut sangat diminati warga di wilayah ini,
karena sangat membantu perekonomian mereka yang
tidak memiliki lahan persawahan dan tidak memiliki
keterampilan yang mumpuni untuk bekerja di profesi
lain”259

Program Pemerintah Kabupaten Barru ini tergolong


sukses karena manfaatnya sangat dirasakan oleh warga Barru
pada umumnya dan bagi warga masyarakat Desa Lompo
Tengah pada khususnya. Hal ini dapat dilihat dengan banyak-
nya warga yang berminat ketika program pemerintah terkait

Hasil wawancara dengan Bapak Jamaluddin (salah satu Staf di Kantor


259

Desa Lompo Tengah, Kecamatan tanete Riaja, Kabupaten Barru).


Iin Karita Sakharina 251
dengan pemeliharaan sapi ini setiap kali mulai dicanangkan.
Selain program tersebut, pemerintah juga memberikan bantuan
Sembilan bahan pokok (sembako murah) kepada warga yang
secara ekonomi tergolong tidak mampu, cara mendistribusikan
agar program ini tepat sasaran, maka pemerintah melakukan
penyebaran kupon ke rumah-rumah yang terdata kurang
mampu melalui data yang dimiliki oleh Kantor Desa Lompo
Tengah.
Selain itu juga sosialisasi terhadap perlunya ketercuku-
pan gizi serta akses pangan warga menjadi perhatian khusus
yang terus dijalankan pemerintah setempat secara berkelanjutan,
hal tersebut menjadikan program-program Pemerintah Kabupa-
ten Barru khususnya yang terkait dengan ketersediaan dan
ketercukupan pangan sangat di apresisasi oleh warga setempat.
Sejalan dengan apa yang terjadi di Kabupaten Barru, di
Kabupaten Bone, juga sebagai salah satu wilayah yang dijadikan
sampel penelitian, tepatnya di Desa Unra, Kecamatan Awang-
bone. Di wilayah tersebut walaupun lahan pertanian tidak
seluas dengan apa yang ada di Kabupaten Barru namun akses
terhadap pangan warga relatif mudah, ini dikarenakan adanya
program-program bantuan pangan, ketersediaan pangan baik
yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bone maupun

252 Iin Karita Sakharina


Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan melalui Badan Ketahanan
Pangan.
Berdasarkan data dari masyarakat Desa Unra, Kecamatan
Awangbone dari hasil penyebaran kuisioner menunjukan hasil
bahwa masyarakat di wilayah tersebut umumnya merasa
tercukupi atas ketersediaan pangan dan akses pangan yang ada.
Selain adanya pasar murah, dan sembako murah, Pemerintah
juga senantiasa memberikan bantuan beras miskin dan program
bantuan langsung tunai kepada warga yang secara perekono-
mian tergolong tidak mampu. Menurut Muhammad Yusuf :
“Koordinasi pemerintah kabupaten, aparat kecamatan,
dan aparat desa berjalan dengan baik, atas dasar
koordinasi yang baik itulah sehingga program-program
pemerintah yang dijalankan selama ini merata di setiap
desa, sehingga masyarakat pada umumnya merasakan
setiap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah Kabu-
paten Bone, beberapa diantaranya ialah pasar murah,
penjualan sembako murah, bantuan beras miskin dan
bantuan langsung tunai yang langsung diberikan kepada
masyarakat desa sesuai dengan peruntukkan sebagai-
mana data yang tertera di kantor desa”.260

Namun dari pemaparan di atas, adalah perlu kiranya


pemerintah setempat terus mengupayakan inovasi dari prog-

260 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Yusuf (Kepala Desa


Unra, Kecamatan Awangbone, Kabupaten Bone).
Iin Karita Sakharina 253
ram-program yang sudah ada dan berjalan saat ini, selain
mempertahankan program yang dirasakan langsung dan dinilai
positif oleh warga, pemerintah juga harus terus berupaya
memonitoring setiap program bantuan kepada masyarakat, agar
program-program tersebut dapat tepat sasaran bagi yang
memang membutuhkan, dan juga agar program tersebut tidak
disalahgunakan oleh oknum-oknum aparat pemerintahan yang
tidak bertanggungjawab.

2. Implementasi di Propinsi Banten


Perangkat daerah mempunyai kewajiban dalam penyia-
pan rencana kerja untuk jangka waktu lima tahunan, sebagaima-
na amanat dalam UU No. 32 Tahun 2004 pada Pasal 151 Ayat 1
bahwa :
“Satuan Kerja Perangkat Daerah menyusun rencana
strategis yang selanjutnya disebut Renstra SKPD memuat
visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegia-
tan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya,
berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Mene-
ngah Daerah (RPJMD) dan bersifat indikatif”. Sedangkan
dalam UU No. 25 Tahun 2004 pada Pasal 1 Ayat 7
ditetapkan ketentuan umum mengenai “Renstra SKPD
sebagai dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat
Daerah untuk periode 5 (lima) tahun”.261

261 Data Dokumen Badan Ketahanan Pangan & Penyuluhan (BKPP)


Propinsi Banten
254 Iin Karita Sakharina
Berdasarkan kerangka tersebut, Badan Ketahanan Pangan
dan Penyuluhan sebagai salah satu SKPD di Propinsi Banten,
sesuai tugas dan fungsinya untuk melaksanakan penyusunan
dan pelaksanaan kebijakan di bidang ketahanan pangan.
Rencana Strategis (Renstra) 2012-2017 Badan Ketahanan Pangan
dan Penyuluhan Propinsi Banten bersama-sama instansi terkait
lainnya mempunyai peran strategis dalam mendorong perwu-
judan ketahanan pangan daerah termasuk dalam mengurangi
angka kemiskinan dan kerawanan pangan serta berjalannya
tugas dan fungsi koordinasi penyuluhan pertanian, perikanan
dan kehutanan.262
Dalam rangka memelihara kesinambungan proses
pembangunan dan melanjutkan berbagai pencapaian pemba-
ngunan yang telah dilaksanakan serta sebagai upaya untuk
mewujudkan kondisi yang diharapkan oleh Badan Ketahanan
Pangan dan Penyuluhan Propinsi Banten pada masa mendatang
maka diperlukan Renstra Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Propinsi Banten Tahun 2012-2017. Penyusunan
Renstra Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi
Banten Tahun 2012-2017 juga diharapkan mampu mendukung
dan mewujudkan pencapaian pembangunan Propinsi Banten

262 Ibid.
Iin Karita Sakharina 255
tahun 2007-2012 (sebagaimana yang tertuang dalam RPJMD
Propinsi Banten Tahun 2007-2012).
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi
Banten merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Banten Nomor
3 Tahun 2012. Tugas pokok Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Propinsi Banten melaksanakan penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang ketahanan pangan dan
penyuluhan (Pasal 101 Perda Nomor 3 Tahun 2012). Bidang
ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pemba-
ngunan daerah karena :
i. akses terhadap pangan dengan gizi yang cukup
merupakan hak paling mendasar bagi manusia;
ii. kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi merupakan
unsur penting dalam pembentukan sumber daya
manusia yang berkualitas; dan
iii. ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama
yang menopang ketahanan nasional yang berkelanjutan.

Sedangkan peran strategis dari koordinasi penyuluhan


adalah bahwa : (1) penyuluhan sebagai bagian dari upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan
umum merupakan hak asasi warga negara; (2) pembangunan
pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan
merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan

256 Iin Karita Sakharina


pangan, papan, dan bahan baku industri; memperluas lapangan
kerja dan lapangan berusaha; meningkatkan kesejahteraan
rakyat khususnya petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi
daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan hutan; mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan khususnya di perdesaan; meningkatkan pendapatan
nasional; serta menjaga kelestarian lingkungan; dan (3) untuk
lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan
kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas,
andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan
organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian,
perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu
sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu
berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup
sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Badan Ketahananan Pangan dan Penyuluhan Propinsi
Banten menyiapkan dan menyusun Rencana Strategis sebagai
acuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
menjadi tugas dan fungsinya dalam jangka waktu lima tahunan,
juga sebagai bentuk implementasi untuk melaksanakan amanat
peraturan perundangan dan pelaksanaan visi dan misi Kepala
Daerah Propinsi Banten untuk periode 2007-2012. Rencana
Strategis Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi

Iin Karita Sakharina 257


Banten Tahun 2012-2017 adalah dokumen perencanaan untuk
periode 5 (lima) tahun yang memuat visi, misi, tujuan, sasaran,
strategi, kebijakan, program, dan indikasi kegiatan pem-
bangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsinya
serta berpedoman kepada RPJMD Propinsi Banten Tahun 2007-
2012 dan bersifat indikatif.
Kelurahan Rempoa (yang dijadikan salah satu sampel
penelitian) merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan
Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Propinsi Banten dengan
luas wilayah 219,50 Ha. Kelurahan Rempoa terdiri dari 12 RW,
72 RT, dan 7.185 Kepala Keluarga (KK). Tri Sulistyaningsih
menjelaskan bahwa :
“Kelurahan Rempoa merupakan salah satu kelurahan
yang dijadikan percontohan bagi wilayah-wilayah di
Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, ini
dikarenakan persawahan yang ada di Keluarahan
Rempoa masih mencukupi untuk menghidupi para
warganya. Namun demikian, bantuan pemerintah tetap
terus diberikan kepada warga di Kelurahan Rempoa
khususnya bagi warga yang tergolong tidak mampu”.263

Setiap tahunnya, fungsi lahan pertanian di Kota


Tangerang Selatan terus menerus berkurang seiring perkem-
bangan zaman. Sawah-sawah sudah banyak berubah menjadi
263Hasil Wawancara dengan Ibu Tri Sulistyaningsih (salah satu Staf di
Kantor Kelurahan Rempoa, Kecamatan Ciputat Timur).
258 Iin Karita Sakharina
ruko, apartemen, dan sebagainya. Berdasarkan data tahun 2012,
total luas sawah yang ada di Kota Tangerang Selatan tercatat
ada 170 hektar. Jumlah tersebut terus berkurang hingga saat ini.
Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota
Tangerang Selatan (Dadang Raharja) menyatakan bahwa "Tahun
2013 lalu, luasnya tinggal 150 hektar. Tahun ini sangat mungkin
akan kembali berkurang sekian hektar. Tak menutup kemung-
kinan lama-lama akan hilang sama sekali".
Berdasarkan data dari masyarakat Kelurahan Rempoa,
Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan dari hasil
penyebaran kuisioner menunjukan hasil bahwa masyarakat di
wilayah tersebut umumnya merasa tercukupi atas ketersediaan
pangan dan akses pangan yang ada. Bantuan pemerintah yang
secara berkala terus diberikan kepada beberapa masyarakat
yang tergolong kurang mampu, menjadikan wilayah Kelurahan
Rempoa tidak pernah diberitakan terjadi kasus busung lapar.
Pemerintah Kota Tangerang Selatan terus berupaya
melakukan inovasi-inovasi terkait dengan ketahanan pangan,
akses pangan, serta keamanan pangan yang tersedia di wilayah
Tangerang Selatan, salah satu upaya inovasi tersebut adalah
dengan membuat program Neraca Bahan Makanan (NBM).
Pemerintah Kota Tangerang Selatan melalui Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan (DPKP) segera membuat neraca bahan

Iin Karita Sakharina 259


makanan (NBM). Neraca ini dibuat untuk mengetahui sejauh
mana ketersediaan dan kebutuhan pangan bagi warga
Tangerang Selatan.
Kepala DPKP Kota Tangerang Selatan (Dadang Rahardja)
mengatakan saat ini belum diketahui ada berapa jenis pangan
yang dikonsumsi secara reguler oleh masyarakat Kota
Tangerang Selatan. Maka itu, dengan dibuatnya neraca bahan
makanan itu bakal diketahui apa saja kebutuhan masyarakat,
stok bahan yang dikonsumsi dan daerah penyuplainya.
Menurutnya :
“Melalui neraca bahan makanan ini, nanti akan diketahui
kebutuhan pangan yang sudah terdata itu terpenuhi atau
tidak. Nantinya, akan ada tim analisis yang mengecek.
Kami juga melibatkan statistik (Badan Pusat Statistik),
Litbang dan Bulog.”264

Dadang mengaku, tim analisis neraca bahan makanan


sudah terbentuk melalui Dewan Ketahanan Pangan Kota
Tangerang Selatan yang diketuai Walikota. Hasil analisis tim
tersebut menyatakan bahwa hal itu menjadi embrio untuk
dibahas dalam rapat koordinasi Badan Ketahanan Pangan Kota
Tangerang Selatan. Dadang juga mengungkapkan bahwa “Kami
juga melibatkan beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat

264 Website resmi Kota Tangerang Selatan


260 Iin Karita Sakharina
Daerah) yang terkait, selain itu pegawai kecamatan dan
kelurahan. Nantinya, mereka akan membantu menginforma-
sikan kepada masyarakat,” Senada dengan hal tersebut, Kepala
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan mengatakan
neraca bahan makanan sangat penting bagi suatu daerah.
Pasalnya, hal ini untuk mengetahui stok ketersediaan pangan di
suatu daerah. “Sangat penting. Nanti akan diketahui, berapa
yang dikonsumsi. Cukup atau tidak, kalau tidak cukup, ada
langkah lanjutan,” menurutnya. Oleh karena itu disarankan agar
analisis bahan makanan harus melingkupi semua bahan pangan
yang dikonsumsi masyarakat Kota Tangerang Selatan. Jangan
sampai, bahan makanan yang tidak dikonsumsi dimasukan juga
dalam neraca bahan makanan, sebagai contoh beras, berapa ton
yang dibutuhkan untuk 1,4 juta masyarakat Tangerang Selatan.
Cukup atau tidak. Jadi peran NBM ini nantinya mencari sentra
produksi padi, jika Bulog tidak sanggup memenuhi stok
persediaan beras bagi masyarakat.265
Oleh karena itu program-program Pemerintah Kabupaten
Tangerang Selatan terkait dengan pangan warga dirasa efektif
oleh masyarakat Tangerang Selatan (umumnya) dan masyarakat
di wilayah Rempoa (khususnya), hal tersebut berbanding lurus
(sejalan) dengan angka kemiskinan di Kota Tangerang Selatan

265 Ibid.
Iin Karita Sakharina 261
yang terus menurun setiap tahunnya. Berdasarkan Data Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan diperoleh data
dengan persentase sejumlah 1,67% penduduk miskin di Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2010, namun angka ini turun
menjadi 1,50% di tahun selanjutnya (2011), dan terus mengalami
penurunan hinga berjumlah 1,33% persentase jumlah penduduk
miskin di Kota Tangerang Selatan. Hal ini tentu menjadi
kegembiraan tersendiri bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan
dan menjadi penyemangat dalam menjalankan roda peme-
rintahan selanjutnya.
Lain halnya dengan yang terjadi di wilayah Propinsi
Banten lainnya (yang penulis juga jadikan salah satu sampel
penelitian), yakni Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidmar,
Kabupaten Rangkas. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang
sangat kekurangan beras. Sebenarnya pekerjaan sebagian besar
masyarakat Desa Kanekes adalah berkebun, namun lahan
pertanian yang kalah luas dengan lahan perkebunan menye-
babkan desa ini kekurangan bahan makanan pokok seperti
beras. Namun untuk jenis pangan lainnya umumnya tercukupi
karena masyarakat Desa Kanekes lebih banyak bekerja di
perkebunan, baik itu kebun jagung, kacang-kacangan, dan
sayur-mayur.

262 Iin Karita Sakharina


Berdasarkan data dari masyarakat Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidmar, Kabupaten Rangkas, dari hasil penye-
baran kuisioner menunjukan hasil bahwa masyarakat di wilayah
tersebut umumnya merasa sangat kekurangan atas ketersediaan
pangan (utamanya beras), oleh karena itu, masyarakat Desa
Kanekes sangat bergantung pada bantuan Pemerintah Kabu-
paten Rangkas. Jaro Daenah menjelaskan bahwa :
“Masyarakat Desa Kanekes umumnya berkebun, dan
hasil perkebunannya mereka jual ke pasar untuk membeli
beras dan ikan, karena di wilayah ini sangat kurang atas
ketersediaan beras yang ada, ini dikarenakan susahnya
alih fungsi lahan perkebunan menjadi lahan pertanian di
wilayah ini, selain susahnya pengairan, letak geografis
Desa Kanekes yang berupa perbukitan juga menyebabkan
kurangnya lahan pertanian di wilayah ini”.266

Masyarakat Desa Kanekes sangat bergantung pada


program bantuan beras miskin yang dicanagkan oleh
Pemerintah Kabupaten Rangkas. Oleh karena itu peran
pemerintah setempat sangat dibutuhkan oleh warga Kanekes.
Namun tidak hanya program bantuan beras miskin saja yang
dicanagkan oleh Pemerintah Kabupaten Rangkas, bantuan
Sembilan bahan pokok (sembako) murah dan survey di
beberapa pasar yang ada di wilayah ini guna memastikan
266Hasil Wawancara dengan Bapak Jaro Daenah (Kepala Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidmar, Kabupaten Rangkas).
Iin Karita Sakharina 263
ketersediaan pangan pokok menjadi program utama Pemerintah
Kabupaten Rangkas.
Akses terhadap pangan juga tetap dijaga oleh Pemerintah
Kabupaten Rangkas, hal ini dilakukan dengan cara terus
mendatangi tempat-tempat berkumpul warga (saung masya-
rakat) untuk melakukan sosialisasi, guna masyarakat Rangkas
pada umumnya dan masyarakat Kanekes pada khususnya
mengetahui tentang pentingnya makanan sehat dan dibutuh-
kannya gizi yang cukup agar kelangsungan hidup masyarakat
dapat berjalan dengan baik.
Dilihat dari pemaparan data-data imlementasi pemenu-
han hak atas pangan, baik itu di Propinsi Sulawesi Selatan
maupun di Propinsi Banten, maka jika di sinkronkan, maka ada
korelasi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah
propinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dengan aparat
kecamatan dan aparat desa (sebagai manifestasi pemerintah di
tingkat yang paling bawah), sehingga program-program, baik
itu yang diamanatkan di dalam undang-undang maupun yang
tercermin dari kebijakan-kebijakan nasional dan daerah yang
dijalankan selama ini dapat terlaksana dengan cukup baik,
walaupun masih terdapat beberapa kekurangan. Namun dengan
seiring dengan telah diratifikasinya Kovenan Internasional
mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya berarti ini

264 Iin Karita Sakharina


menunjukkan adanya keseriusan dan kemauan pemerintah
dalam mewujudkan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya di Indonesia (salah satunya di sektor pangan).
Kondisi umum mengenai ketahanan pangan yang ada
pasca ratifikasi menunjukkan tren yang baik, berdasarkan
laporan badan ketahanan pangan yang telah penulis paparkan
pada bab-bab sebelumnya, sehingga ini menandakan bahwa
terjadi kemajuan-kemajuan penting di sektor pangan, khususnya
dibidang ketahanan pangan dan pemenuhan hak atas pangan
bagi warganegara Indonesia. dikirimnya laporan Indonesia
kepada Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya, menunjukkan juga
adanya komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya yang diatur dalam kovenan.
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan dalam bab
V ini, maka dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan sebagai berikut :
1. Kemajuan implementasi pemenuhan hak-hak ekono-
mi, sosial, dan budaya pasca ratifikasi kovenan eko-
sob, maka kemajuan yang dialami oleh Indonesia dari
tahun 2005 hingga saat ini, terdapat 3 (tiga) kemajuan
penting. Pertama, dari sisi regulasi tentang pangan,
dengan lahirnya Undang-Undang Pangan yang baru
yaitu Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012,
menunjukkan bahwa adanya kemauan negara dalam
mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian
Pangan, dan Ketahanan Pangan bagi warganya.

Iin Karita Sakharina 265


Kedua, lahirnya Undang-Undang Kesehatan yang
baru yaitu Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2009.
Dimana undang-undang kesehatan yang baru ini,
sangat menjunjung tinggi hak-hak warganegara yang
harus dipenuhi oleh negara, khususnya dalam
mewujudkan keterjangkauan atas akses kesehatan
bagi semua warganya tanpa adanya diskriminasi.
Ketiga, program strategis yang selama ini dijalankan
oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional. Berdasarkan
kondisi Indonesia secara umum pasca ratifikasi
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya pada tahun 2005 yang lalu, kondisi ketahanan
pangan nasional 2005-2009 cenderung semakin baik
dan kondusif. Walaupun di sektor-sektor lain masih
terdapat kekurangan.
2. Imlementasi pemenuhan hak atas pangan yang layak
di Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Banten, ada
korelasi yang baik antara pemerintah daerah propinsi,
pemerintah daerah kabupaten/kota, dengan aparat
kecamatan dan aparat desa, sehingga program-
program, baik itu yang diamanatkan di dalam
undang-undang maupun yang tercermin dari kebijak-
sanaan-kebijaksanaan daerah yang dijalankan selama
ini dapat terlaksana dengan cukup baik, walaupun
masih terdapat beberapa kekurangan.

Dari 2 (dua) kesimpulan di atas, maka dapat dikemu-


kakan beberapa rekomendasi sebagai berikut :

266 Iin Karita Sakharina


1. Agar Pemerintah Pusat dapat mengontrol kebijaksa-
naan-kebijaksanaan yang selama ini telah dijalankan
sesuai amanat Kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, agar kebijaksanaan
tersebut dapat tepat sasaran.
2. Agar pemerintah daerah melalui badan ketahanan
pangan daerah dapat menjalankan tugas pokok dan
fungsinya sesuai yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Pangan dan Peraturan Daerah yang terkait
dengan pembentukan badan ketahanan pangan
daerah.

Iin Karita Sakharina 267


268 Iin Karita Sakharina
BAB VI
PENDEKATAN APPROPRIATE
PEMERINTAH DALAM MEMENUHI
KEWAJIBAN BAGI WARGA

Dalam konsep Welfare State (Negara Kesejahteraan) yang


berkembang saat ini terdapat dua model dari sistem kesejah-
teraan yaitu model residu dan model institusi, dimana model
institusional ini adalah berasosiasi dengan fungsi distributif dari
negara kesejahteraan, dalam sistem ini, negara berperan untuk
membagi-bagi atau mendistribusikan sumber daya tersebut
kepada mereka yang memperoleh keuntungan yang paling
sedikit dari mekanisme pembagian kesejahteraan yang berpusat
pada sistem ekonomi pasar. Keterlibatan negara dalam hal ini
Indonesia dalam konsep Welfare State adalah bagaimana negara
melibatkan diri dalam memenuhi kewajibannya atas hak-hak
ekosob warga negaranya khususnya dibidang pangan, dimana
justifikasi dari peratifikasian instrumen hukum internasional ke
dalam hukum nasional yang mengatur mengenai hak atas
kecukupan pangan merupakan manifestasi dari perwujudan
negara kesejahteraan, yang mana dalam hal ini keutamaan dari

Iin Karita Sakharina 269


konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban negara untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya.
Dalam konteks pemenuhan hak atas kecukupan pangan
yang layak bagi warga negaranya, maka pemerintah pusat
dapat menyerahkan sebagaian wewenangnya kepada pemerin-
tah daerah dan pihak swasta. Selain itu untuk melihat adanya
pencapaian atas hasil yang telah dicapai oleh negara dalam hal
pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak maka
penulis menggunakan indikator hasil yaitu dengan menangkap
pencapaian, individu dan kolektif, yang menggambarkan status
perwujudan HAM yang diberikan.Hal ini tidak hanya sekedar
langkah-langkah langsung untuk mewujudkan suatu HAM,
namun hal tersebut juga mencerminkan pentingnya indikator
dalam hal mengevaluasi penikmatan hak teserbut. Hal ini
dikarenakan indikator hasil mengumpulkan dampak berbagai
proses-proses dasar dalam jangka waktu tertentu, dimana suatu
indikator hasil seringkali merupakan indikator yang bergerak
lambat, kurang sensitif dalam menggambarkan suatu perubahan
ketimbang indikator proses.267 Untuk melihat adanya capaian
yang dihasilkan pemerintah dalam hal pemenuhan hak atas
kecukupan pangan yang layak berdasarkan indikator hasil yang
ditetapkan oleh Human Rights indicators in Development, maka

267 Komnas Ham (2012), Op.Cit.


270 Iin Karita Sakharina
pertama-tama kita melihat dari adanya pola hubungan yang
terbentuk antara pemerintah dan masyarakatnya, bagaimana
bentuk hubungan yang ada antara pemerintah dan masyarakat
dalam kaitannya dengan pemenuhan hak atas kecukupan
pangan yang layak, kemudian rencana dan program yang
dilakukan pemerintah berkenaan dengan pemenuhan hak atas
kecukupan pangan yang layak dan juga bentuk pemenuhan
seperti apa yang telah dilakukan oleh pemerintah , sebagaimana
yang akan diuraikan dalam pemaparan dibawah ini.

A. Hubungan Pemerintah dengan Masyarakat


Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat secara
konkret dapat dilihat dalam proses pembuatan kebijaksanaan
pemerintah sebab dalam proses ini, kedua belah pihak dapat
saling bertemu serta mendiskusikandan memutuskan tindakan
yang harus diambil untuk kebaikan bersama. Untuk sebagian
besar masyarakat, pengaruh terhadap formulasi dan pelaksana-
an kebijaksanaan pemerintah berbentuk pengaruh yang tidak
langsung, yaitu melalui perwakilan. Ketidaklangsungan hubu-
ngan antarawarga dengan pemerintah dapat disebut sebagai

Iin Karita Sakharina 271


jarak yang merupakanciri khas pokok dari suatu sistem politik
yang muncul pada berbagaitahap dari proses kebijaksanaan.268
Pengaruh dari kebanyakan warga terhadap kebijaksanaan
pemerintah bersifat tidak langsung, sedangkan jalan dari
pembentukan keputusan politik kepada warga perseorangan
melalui jalan hirarki dan birokrasi pemerintah dapat digambar-
kan sebagai suatu proses yang panjang dan memakan waktu
lama. Dalam bidang pemerintah, masalah pelayanan menjadi
sangat penting karena menyangkut kepentingan umum bahkan
kepentingan rakyat secara keseluruhan karena peranan pela-
yanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah melibatkan
seluruh aparat pegawai negeri dalam rangka peningkatan
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, sehingga pelayanan
kepada masyarakat menjadi suatu hak, yaitu hak atas pelayanan
(termasuk diantaranya hak masyarakat untuk mendapatkan
pangan yang layak dan tercukupi).269
Dalam pelaksanaan pelayanan umum terdapat beberapa
faktor pendukung yang penting, diantaranya faktor kesadaran
para pejabat serta petugas yang terkait dalam pelayanan umum,
faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan, faktor

268 Anonim, Hubungan Pemerintah dan Masyarakat http://massofa.


wordpress.com/2008/03/04/hubungan-pemerintah-dan-masyarakat/, Diakses
Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 19:00.
269 Ibid.
272 Iin Karita Sakharina
organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memung-
kinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan, faktor
pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum,
faktor keterampilan petugas, dan faktor sarana dalam pelak-
sanaan tugas pelayanan. Keenam faktor itu masing-masing
mempunyai peranan yang berbeda tapi saling berpengaruh dan
secara bersama-sama akan mewujudkan pelaksanaan pelayanan
secara baik, berupa pelayanan verbal, pelayanan tulisan atau
pelayanan dalam bentuk gerakan/tindakan dengan atau tanpa
peralatan.270
Pentingnya peran aparat birokrasi dalam penyeleng-
garaan pemerintahan dan menunjang keberhasilan pembangu-
nan telah mendorong berbagai upaya ke arah langkah penyem-
purnaan. Berkaitan dengan masalah ini, birokrasi dalam melak-
sanakan perannya menghadapi tugas ganda yakni di satu pihak
birokrasi harus mampu melakukan kiat-kiat strategis dalam
rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masya-
rakat (outward looking), di lain pihak birokrasi juga harus mampu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam lingku-
ngannya (inward looking). 271

270 Ibid.
271 Ibid.
Iin Karita Sakharina 273
B. Rencana Pemerintah
Hak atas pangan (right to food) merupakan sesuatu yang
sangat penting bagi perkembangan suatu negara. Hak atas
pangan dapat dimaknai sebagai hak bagi tiap orang atau seke-
lompok orang dalam suatu masyarakat, wilayah atau negara
untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan,
bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya dalam batas-
batas yang memenuhi ukuran kesehatan. Makanan yang dibu-
tuhkan bagi masyarakat harus dapat dipenuhi dan makanan
yang dimaksud merupakan makanan yang aman dan sehat.
Oleh karena itu, maka diperlukan suatu rencana program agar
makanan (aman dan sehat) yang dibutuhkan bagi masyarakat
dapat dipenuhi. seperti rencana program yang akan diuraikan,
sebagai berikut :
B.1 Rencana Program Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Sulawesi Selatan
Rencana program Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Sulawesi Selatan yaitu :
1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaan
pangan di Sulawesi Selatan;
2. Meningkatkan kualitas distribusi dan akses masyarakat
Sulsel terhadap pangan;
3. Meningkatkan kualitas pemanfaatan pangan oleh
masyarakat Sulsel dan menjamin setiap individu

274 Iin Karita Sakharina


memperoleh asupan zat gizi dalam jumlah dan
keseimbangan yang cukup serta aman;
4. Meningkatkan kapasitas lembaga dan kualitas
koordinasi antar lembaga/stakeholder.

Pendekatan yang digunakan untuk melihat apakah suatu


kelompok masyarakat sudah mampu mencukupi pangannya
adalah pendekatan hak (right-based) berarti bahwa pemerintah
wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi atau
memfasilitasi dan menyediakan pangan yang cukup. Pende-
katan right-based mengandung arti/makna sebagai berikut :
1) Menghormati berarti pemerintah tidak boleh meng-
hilangkan akses masyarakat terhadap pangan yang
cukup.
2) Melindungi berarti bahwa pemerintah harus melin-
dungi masyarakat dari kehilangan akses.
3) Pada masyarakat yang tidak tercukupi kebutuhan
pangannya, pemerintah secara proaktif harus mencip-
takan lingkungan yang memungkinkan masyarakat
untuk dapat mandiri, apabila masyarakat belum mam-
pu malakukannya, maka pemerintah harus menjamin
ketersediaan pangannya.

Strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan akan di


laksanakan melalui strategi jalur ganda (twin track strategy) yaitu:

Iin Karita Sakharina 275


1) Membangun ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan
yang menyediakan lapangan kerja dan pendapatan;
dan
2) Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin
dan rawan pangan melalui pemberian bantuan
langsung agar tidak terpuruk, serta pemberdayaan
agar mereka semakin mampu mewujudkan ketahanan
pangannya secara mandiri.

Kedua strategi tersebut dijalankan dengan menggerakkan


seluruh komponen bangsa yaitu pemerintah, masyarakat ter-
masuk LSM, organisasi profesi, organisasi massa, koperasi, orga-
nisasi sosial serta pelaku usaha untuk melaksanakan kewajiban
sosialnya serta membantu memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat miskin, rawan pangan dan gizi, golongan usia lanjut
dan cacat ganda.
Sementara itu, Rencana Program Badan Ketahanan
Pangan Provinsi Kalimantan Barat. Kesinambungan pangan
adalah pemenuhan hak atas pangan dari ketersediaan, aksesibi-
litas yang berlangsung terus-menerus yang dalam jangka
panjang dapat terpenuhi. Beberapa program yang dibuat oleh
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan Barat dalam
mengupayakan program-program ketahanan pangan yang
berbasis pada kemandirian pangan, direncanakan dalam bentuk:

276 Iin Karita Sakharina


1. Kebijaksanaan keanekaragaman pangan, dengan upa-
ya sosialisasi kepada masyarakat mengenai keanekara-
gaman pangan, yaitu dengan mempopulerkan pangan
non beras dan non gandum. Selain itu juga dibuat
lomba cipta membuat panganan non beras dan non
gandum;
2. Kebijaksanaan sosialisasi pemanfaatan pekarangan
rumah untuk ditanami tanaman pangan yang dapat
dikonsumsi oleh keluarga (berbasis pada kebutuhan
keluarga, tidak untuk diperdagangkan). Akan dilaku-
kan bantuan benih, tenaga penyuluh;
3. Kebijaksanaan untuk menggalakan kembali kebera-
daan lumbung desa, mengingat letak geografis antar
wilayah di Kalimantan Barat yang berjauhan dan
kondisi infrastruktur penghubung (jalan, jembatan)
yang kurang baik. Untuk itu dengan ketersediaan
lumbung desa, setiap desa diharapkan memiliki
ketahanan pangan pada saat terjadi kondisi yang tidak
diinginkan (bencana, paceklik, dan lain sebagainya).272

Dalam hal melaksanakan kewajibannya terhadap peme-


nuhan hak atas kecukupan pangan yang layak, maka baik
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat sama- sama membuat rencana program kerja
melalui kantor Badan Ketahanan Pangan masing-masing provin-
si dengan tujuan agar makanan yang sehat, dalam hal ini
tercukupi standar gizi yang telah ditentukan dan aman sesuai

272 Lihat Laporan Komnas HAM, Op. Cit., hlm. 45


Iin Karita Sakharina 277
yang dengan kebutuhan warga masyarakat dapat dipenuhi.
Terdapat perbedaan diantara kedua provinsi tersebut dalam
menyusun rencana program dalam pemenuhan hak atas kecu-
kupan pangan yang layak. Jika Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan lebih menekankan pada peningkatan kualitas dan kuan-
titas dalam hal ketersediaan pangan, distribusi dan pemanfaatan
pangan dan adanya hubungan antar lembaga terkait sementara
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menekankan pada ada-
nya kebijaksanaan diversifikasi pangan serta kegiatan untuk
memanfaatkan pekarangan rumah dengan tanaman yang dapat
dikonsumsi oleh keluarga, serta kebijak-sanaan untuk mengga-
lakkan kembali keberadaan lumbung desa.

C. Program Pemerintah
Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 45.751,
91 km², penggunaan lahan dalam jumlah yang terbesar adalah
hutan negara yang luasnya mencapai 28,45% dari total wilayah
atau mencapai 13.014,56 km², kemudian lahan sawah yang
secara keseluruhan luasnya mencapai 5.983,89 km² atau 13,08%
dari total luas lahan di Provinsi Sulawesi Selatan yang terdiri
dari lahan sawah seluas 5.983,89 km² dan lahan bukan sawah
seluas 39.768,91 km². Penggunaan lahan lain yang cukup
signifikan adalah kebun/tegalan yang luasnya mencapai 12,10%

278 Iin Karita Sakharina


dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan
yaitu seluas 5.534,24 km². Penggunaan lahan terendah yang
terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan adalah kolam/empang
yang hanya sebesar 145,79 km² (0,32%) dan rawa seluas 194,12
km² (0,42%).273
Penggunaan lahan sebagai hutan negara terluas terdapat
di Kabupaten Luwu Utara yang mencapai 3.732,79 km² atau
28,68% dari total luas hutan negara yang terdapat di Provinsi
Sulawesi Selatan. Selain Kabupaten Luwu Utara, daerah yang
memiliki hutan negara yang relatif luas adalah Kabupaten Luwu
Timur 2.311,25 km² atau 17,75% dari total luas hutan negara dan
Kabupaten Bone yang memiliki hutan seluas 1.489,71 km² atau
11,45% dari total luas hutan negara di Provinsi Sulawesi Selatan.
Terdapat dua kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang
tidak memiliki hutan negara yaitu Kota Makassar dan
Kabupaten Takalar.274
Penggunaan lahan sebagai sawah terbesar terdapat di
Kabupaten Bone dan Kabupaten Wajo. Luas lahan sawah di
Kabupaten Bone mencapai 983,46 km² atau 16,44% dari total luas
sawah sedangkan luas lahan sawah di Kabupaten Wajo

273 Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Rencana Program


Jangka Menengah Daerah, (Makassar: Tahun Anggaran 2012), hlm. 1
274 Ibid.
Iin Karita Sakharina 279
mencapai 861,42 km² atau 14,40% dari total luas sawah di
Provinsi Sulawesi Selatan. Dari keseluruhan luas sawah di
kedua kabupaten tersebut, sebagian besar berupa sawah tadah
hujan yang luasnya mencapai 641,95 km² di Kabupaten Bone
dan 657,80 km² di Kabupaten Wajo. Penggunaan lahan sebagai
sawah yang menggunakan irigasi teknis terbesar terdapat di
Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Sidenreng Rappang.
Penggunaan lahan sawah irigasi mencapai 375,75 km² di
Kabupaten Pinrang dan 298,90 km² di Kabupaten Sidenreng
Ranppang. Penggunaan lahan sawah terendah terdapat di Kota
Parepare yang lahan sawahnya haya mencapai 9,33 km². Selain
Kota Parepare, daerah yang memiliki lahan sawah yang relatif
sedikit adalah Kabupaten Selayar, Kota Palopo, dan Kota
Makassar. Luas areal sawah di ketiga wilayah tersebut masing-
masing 26,18 km² di Kabupaten Selayar, 29,84 km² di Kota
Palopo, dan 30,33 km² di Kota Makassar.275 Selengkapnya akan
diuraikan pada tabel di bawah ini :

275 Ibid.
280 Iin Karita Sakharina
Tabel 9
Penggunaan Lahan di Propinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2005

No. Kabupaten / Lahan Lahan Jumlah


Kota Sawah Bukan
Sawah
1 Selayar 26,18 877,17 903,35
2 Bulukumba 240,56 914,11 1.154,67
3 Bantaeng 72,53 323,30 395,83
4 Jeneponto 168,98 580,81 749,79
5 Takalar 163,14 403,37 566,51
6 Gowa 343,68 1.539,65 1.883,33
7 Sinjai 138,36 681,60 819,96
8 Maros 257,21 1.361,94 1.619,15
9 Pangkep 161,67 950,62 1.112,29
10 Barru 134,16 1.040,55 1.174,71
11 Bone 983,46 3.575,54 4.559,00
12 Soppeng 250,75 1.249,25 1,500,00
13 Wajo 861,42 1.644,77 2.506,19
14 Sidrap 469,85 1.413,40 1.883,25
15 Pinrang 466,15 1.495,62 1.961,77
16 Enrekang 88,19 1.697,82 1.786,01
17 Luwu 362,51 2.637,74 3.000,25
18 Tana Toraja 271,26 2.934,51 3.205,77
19 Luwu Utara 247,82 7.254,76 7.502,58
20 Luwu Timur 206,51 6.738,37 6.944,88
21 Makassar 30,33 145,44 175,77
22 Parepare 9,33 90,00 99,33

Iin Karita Sakharina 281


23 Palopo 29,84 217,68 247,52
Jumlah 5.983,89 37.768,02 45.751,91
Sumber : BPS Sulawesi Selatan 2006 & BPS Kabupaten-
Kabupaten di Sulawesi Selatan (dalam Buku Rencana
Strategik Badan Ketahanan Pangan Daerah Sulawesi
Selatan Tahun 2008 -2013).

Tabel diatas menunjukkan penggunaan lahan baik lahan


yang berupa sawah dan juga lahan yang bukan merupakan
sawah di 23 ( dua puluh tiga) kabupaten yang ada di Sulawesi
Selatan, pada tahun 2006 dengan merujuk pada data yang
dikeluarkan oleh BPS, Baik BPS Sulawesi Selatan, maupun BPS
pada Kabupaten-Kabupaten yang ada di Sulwesi Selatan.
Sulawesi selatan sebagai salah satu daerah sektor perta-
nian yang cukup luas dan selama ini sangat banyak potensi
sumber daya alamnya tentunya dikenal sebagai daerah yang
sangat mengandalkan sektor pertaniannya dalam pembangunan
dan dari sektor ini pulalah Sulawesi Selatan dikenal sebagai
daerah pertanian selain Kalimantan dan Jawa. hal inilah yang
kemudian menjadikan pertimbangan pemerintah untuk selalu
menjaga ketahanan pangan di Sulawesi Selatan.276

276Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola


Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi
Volume 23, Nomor 1, Juni 2005, hlm. 5
282 Iin Karita Sakharina
Tantangan besar yang dihadapi saat ini khususnya
negara-negara sedang berkembang adalah persoalan kekura-
ngan pangan dan kerusakan lingkungan hidup. Kekurangan
pangan bukan hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi
manusia yang tidak seimbang sebagaimana teori Malthus ten-
tang kependudukan “Manusia untuk hidup memerlukan bahan
makanan, sedangkan laju pertumbuhan makanan jauh lebih
lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk”.
tetapi persoalan degradasi lahan dan hutan yang berdampak
pada menurun dan terbatasnya produksi pangan. Sektor
pertanian sebagai salah satu sektor andalan penghasil devisa
negara mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
menunjang pembangunan nasional secara keseluruhan. Salah
satu manfaat yang diharapkan dapat diberikan dari proses
pembangunan pertanian adalah tersedianya kebutuhan pangan
bagi seluruh penduduk Sulawesi Selatan pada umumnya,
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke
tahun.277
Masalah utama dalam menghadapi globalisasi berkaitan
dengan tantangan terbesar bagi negara dengan lebih 200 juta
jiwa adalah masalah pangan. Sejak pembangunan ekonomi
dicanangkan awal orde baru (orba) hingga pasca orba hari ini,

277 Ibid.
Iin Karita Sakharina 283
masalah pangan ternyata masih membayang-bayangi program
di sektor pertanian. dengan jumlah penduduk 205 juta kita
memerlukan beras paling tidak 30 juta ton per tahun,jumlah
yang luar biasa besarnya, namun bukan tidak mungkin dipenu-
hi sendiri. perkuatan basis penyediaan pangan dari dalam negeri
sendiri merupakan agenda utama menegakkan kemandirian.278
Untuk itu menyongsong era globalisasi Provinsi Sulawesi
Selatan yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional sangat
perlu mengembangkan potensi agribisnisnya termasuk komoditi
beras. meskipun dilihat dari proporsinya persawahan Sulawesi
Selatan hanya 10% dari total wilayah seluas 6.248.254 ha atau
sekitar 645.381 ha namun mampu menghasilkan gabah-rata-rata
sebanyak 4,6 juta ton atau sekitar 2,5 juta ton setahun. karena
untuk kebutuhan 8.162.816 jiwa penduduknya cukup dipenuhi
sekitar 1,08 juta ton beras, maka setiap tahunnya Provinsi
Sulawesi Selatan ini mengalami surplus beras sekitar 1,42 juta
ton.279
Sebagai salah satu lumbung pangan nasional, Sulawesi
Selatan mempunyai potensi untuk pengembangan pangan lokal
yang ditunjang oleh iklim dan agroekosistem yang memadai.
Disisi lain, banyak bahan pangan alternatif di daerah yang

278 Ibid.
279 Ibid.
284 Iin Karita Sakharina
belum mendapatkan sentuhan teknologi, baik teknologi budi-
daya, maupun teknologi pengolahan pangan. Terkait hal ini,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Peme-
rintah Provinsi Sulawesi Selatan sepakat untuk bekerjasama
dalam mewujudkan teknologi budidaya dan pengolahan
pangan.280
Bicara mengenai ketahanan pangan tidak hanya menca-
kup ketersediaan pangan saja, yang penting adalah kemampuan
untuk mengakses (membeli) pangan dan tidak terjadinya keter-
gantungan pangan pada pihak manapun. Oleh sebab itu,
diperlukannya diversifikasi pola konsumsi pangan untuk memi-
nimalisir ketergantungan pangan terhadap produk tertentu.
Penganekaragaman konsumsi pangan merupakan salah satu
langkah didalam meningkatkan ketahanan pangan rumah tang-
ga dan nasional. Proses pengembangan konsumsi pangan perlu
diarahkan agar kita tidak tergantung kepada satu jenis pangan
saja, tetapi memanfaatkan bermacam-macam bahan pangan.
Banyak bahan pangan lokal di Sulawesi Selatan yang dapat
dijadikan pangan alternatif, antara lain seperti sukun, sagu, ubi
jalar, ubi kayu, dan talas.281

280 BPPT. Op.Cit.


281 Ibid.
Iin Karita Sakharina 285
Penandatangan kerjasama yang dilakukan BPPT ini pun
sangat penting untuk menunjang kemandirian pangan di
Sulawesi Selatan, dalam menunjang kemandirian pangan di
Sulawesi Selatan dalam upaya mendukung ketahanan pangan
nasional. Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) ini dida-
sari dari program kerjasama antara Pemerintah Provinsi Sulawe-
si Selatan dan BPPT yang telah berjalan sebelumnya. Kerjasama
ini adalah dalam rangka pembangunan pertanian terpadu yang
ramah lingkungan, yang berfokus pada pengolahan limbah
pertanian yang ramah lingkungan sehingga menjadi hal yang
bermanfaat bagi sistem pertanian terpadu.282
Pengembangan pangan lokal seperti sukun di Kabupaten
Bone merupakan langkah awal kerjasama antara BPPT dengan
Sulawesi Selatan, kedepan nanti diharapkan bisa berlanjut
dengan perekayasaan teknologi lain dan dikerjasamakan dengan
kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan. Selain di bidang TIK,
BPPT telah banyak menghasilkan perekayasaan lainnya, sebut
saja pengembangan pupuk organik dan bio fertilizer, teknologi
listrik arus laut, pembangkit listrik tenaga surya, biofuel,
biodiesel, pengembangan obat herbal, dan berbagai bidang
lainnya. Banyak potensi dan kerjasama yang bisa di laksanakan.
Sebagai tindak lanjut dari MoU ini diharapkan diadakan sebuah

282 Ibid.
286 Iin Karita Sakharina
pertemuan untuk membahas kerjasama lainnya yang mungkin
bisa dilakukan, dan semoga MoU ini bisa segera ditindaklanjuti
dengan kegiatan nyata.283
Namun satu hal yang menggembirakan bagi ketahanan
pangan di Sulawesi Selatan yakni Badan Ketahanan Pangan
Sulawesi Selatan memperoleh penghargaan Adi Karya Pangan
Nusantara. Penghargaan tertinggi dalam bidang pangan ini
diberikan pada tanggal 6 Desember 2011 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.284
Kepala Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan Asri
Pananrang mengungkapkan "Penghargaan ini diberikan kepada
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam prestasinya yang
dianggap mampu mempertahankan ketersediaan pangan
nasional". Selain itu Sulawesi Selatan dianggap mampu mem-
pertahankan ketersediaan pangan selama 3 tahun terakhir.
"Sejak 2009 hingga 2010, Sulawesi Selatan berhasil meningkatkan
produksi pangan dari 3 sektor yang menjadi penilaian dalam

283 Ibid.
284 Harian Tempo On Line, Sulawesi Selatan Raih Penghargaan Tertinggi
Bidang Pangan (http://www.tempo.co/read/news/2011/12/04/090369823/
Sulawesi-Selatan-Raih-Penghargaan-Tertinggi-Bidang-Pangan). Diakses pada
hari Selasa, 18 September 2012.

Iin Karita Sakharina 287


pemberian penghargaan ini, yakni pertanian, peternakan, dan
perikanan.285
Sulawesi Selatan selama 3 tahun terakhir selalu menga-
lami peningkatan produksi beras. Tahun 2010, Sul-Sel menga-
lami over stok produksi sebesar 2 juta ton. kestabilan pangan di
Sulawesi Selatan juga didukung pengembangan Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan). Sejauh ini, jumlah Gapoktan di
Sulawesi Selatan mencapai 58 unit dan setiap Gapoktan
memiliki lumbung padi dalam bentuk gudang penyimpanan.
Pengadaan gudang ini untuk mencegah ketergantungan
terhadap tengkulak. Sejauh ini, jumlah lumbung yang ada di
Sulawesi Selatan mencapai 106 unit yang tersebar di 106 desa,
setiap desa memiliki 1 lumbung.286
Ada 3 jenis pangan yang menjadi kriteria penilaian, yakni
beras, jagung, dan kedelai. Sulawesi Selatan juga dianggap
konsisten dalam hal penganekaragaman konsumsi pangan.
Selain itu, masalah pendistribusian pangan di Sulawesi Selatan
juga dinilai berhasil. Kalaupun ada kendala distribusi, kadang
kala hanya disebabkan oleh cuaca. Sedangkan dari segi skor
pola pangan harapan (PPH), secara nasional, Sulawesi Selatan
menempati urutan pertama dengan skor 84,4, dari skor tertinggi

285 Ibid.
286 Ibid.
288 Iin Karita Sakharina
100. Angka ini mengalami perbaikan dibandingkan tahun lalu.
Selain produktivitas pangan, Sulawesi Selatan juga dianggap
sebagai pelopor inovasi teknologi pertanian.287
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu Provinsi
penyangga pangan di Indonesia dan mensuplai kebutuhan beras
untuk konsumsi Timur Indonesia. Setiap tahun Sulawesi Selatan
mengantar pulaukan beras di Provinsi lain seperti Kalimantan
Timur, NTT, Maluku, Papua dan Pulau Jawa. Situasi ketersedia-
an pangan menggambarkan apakah produksi pangan yang
dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk
Sulawesi Selatan. Secara umum produksi beberapa komunitas
pangan Tahun 2010 pertumbuhan produksi pangan, sumber
pangan nabati mengalami peningkatan.288
Hasil analisis ketersediaan pangan Tahun 2010 menun-
jukkan bahwa beras dengan tingkat kebutuhan konsumsi
sebesar 109,7 kg/kapita/tahun atau 881,415 ton, dapat dicapai
surplus sebesar 1.582.035 ton atau mencapai 1,88 persen bila
dibanding tahun 2009 yang mencapai 1.552.708 ton. Daerah yang
memberikan kontribusi cukup besar adalah daerah sentra
produksi seperti Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, dan Pinrang.

287 Ibid.
288Badan Ketahanan Pangan Daerah, Laporan Evaluasi Program /
Kegiatan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011, (Makassar:
Tahun Anggaran 2012), hlm. 1
Iin Karita Sakharina 289
Sedang untuk wilayah perkotaan seperti Makassar, Parepare
dan Palopo mengalami defisit karena lahan pertaniannya tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Selain itu,
Kabupaten Selayar juga mengalami defisit karena wilayah ini
sebagian besar daerahnya merupakan pulau-pulau sehingga
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harus mendatangkan
dari daerah lainnya.289
Pertanaman jagung di Sulawesi Selatan tahun 2010
mencapai 303.375 Ha, dimana potensi pertanam jagung cukup
besar berada di Kabupaten Gowa, Jeneponto, Bone dan
Bantaeng. Walaupun luas tanam tahun 2010 ini mengalami
kenaikan dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 299.669 Ha
atau 1,24 persen. Untuk tahun 2009 produksi mencapai 1.395,744
ton turun menjadi 1.343.043 ton tahun 2010 atau 3,78 persen.
Berdasarkan Susenas 2010 konsumsi jagung mengalami
penurunan cukup tajam yaitu hanya 2,3 kg/kapita/tahun bila
dibandingkan dengan Susenas tahun 2009 yang jumlahnya
mencapai 3,36 kg/kapita/tahun, sehingga kebutuhan konsumsi
hanya sekitar 18.480 ton. Hal tersebut memperhatikan bahwa
Sulawesi Selatan mengalami surplus cukup besar mencapai
1.170.761 ton.290

289 Ibid., hlm. 2


290 Ibid.
290 Iin Karita Sakharina
Luas pertanaman ubi jalar di Sulawesi Selatan dalam 3
tahun terakhir ini (2008-2010) memperlihatkan penurunan. Pada
tahun 2008 luas pertanaman sebesar 5.966 Ha, kemudian tahun
2009 menurun menjadi 5.370 Ha dan tahun 2010 ini menurun
lagi menjadi 5.058 Ha. Walaupun demikian, produksi yang
dicapai mengalami kenaikan sebesar 66.547 ton pada tahun 2008,
kemudian tahun 2009 sebesar 68.372 ton dan tahun 2010
menurun menjadi 57.513 ton. Daerah yang merupakan potensi
pertanaman ubi jalar adalah Gowa, Tana Toraja, Bone, Takalar,
Enrekang, dan Luwu Utara. Komoditi ini umumnya diusahakan
di lahan kering. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan
kebutuhan konsumsi sebesar 1,5 kg/kapita/tahun atau 12.052
ton, Sulawesi Selatan masih terdapat surplus sebesar 38.599 ton,
sedangkan pada tingkat kabupaten daerah yang mengalami
defisit adalah kota Makassar, Parepare, Pinrang dan Kabupaten
Soppeng.291
Kedelai merupakan komoditi pangan yang banyak
mengandung protein nabati. Kedelai umumnya dikonsumsi
dalam bentuk tempe, tahu, tauco, kecap, minyak goreng, susu
dan lain-lain. Sentra pengembangan kedelai terbesar berada di
Kabupaten Bone, Wajo, Soppeng, Jeneponto dan Maros. Luas
pertanaman kedelai tahun 2010 juga mengalami penurunan

291 Ibid.
Iin Karita Sakharina 291
dibanding tahun 2009 dari 25.792 Ha menjadi 23.641 Ha atau
8,3%, akan tetapi produksi yang dicapai mengalami penurunan
yang cukup signifikan, dari 41.278 ton menjadi 35.710 ton turun
15,6%. Turunya produksi tersebut disebabkan oleh menurunnya
produktifitas sebesar 0.6 ton/Ha. Hasil analisis menunjukkan
dengan jumlah kebutuhan sebesar 16.873 ton diperoleh surplus
sebesar 15.984 ton.292
Tanaman kacang tanah selain diusahakan di lahan kering,
juga sering di tanam di lahan sawah, biasanya setelah
pertanaman padi. Produksi kacang tanah yang cukup besar di
Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Bone, Bulukumba dan
Sinjai. Adapun produksi yang dicapai tahun 2010 adalah 41.889
ton naik dibanding tahun 2009 sebesar 32.330 ton atau naik
29,57%. Berdasarkan hasil analisis tahun 2010 surplus kacang
tanah mencapai 28.522 ton sedangkan tahun 2009 sebesar 23.548
ton atau 21,12%. Meningkatnya surplus tersebut disebabkan
karena konsumsi kacang tanah mengalami kenaikan dari 0,65
kg/kapita/tahun menjadi 1,1 kg/kapita/tahun (Susenas
2010).293
Walaupun secara wilayah masing mengalami surplus,
masih terdapat daerah yang mengalami kekurangan akan

292 Ibid., hlm. 4


293 Ibid.
292 Iin Karita Sakharina
kacang tanah, yaitu Takalar 159 ton, Pinrang 308 ton, Luwu 111
ton, Toraja Utara 74 ton, Luwu Utara 113 ton, Luwu Timur 101
ton, Palopo 163 ton dan Makassar 1.469 ton. Luas pertanaman
kacang hijau di Sulawesi Selatan mencapai 21.009 Ha hanya
mengalami kenaikan dibanding tahun 2009 yang mencapai
17.966 Ha. Produksi yang dicapai pada tahun 2009 berjumlah
23.299 ton dan tahun 2010 yang berjumlah 26.457 ton atau
13,55%. Dengan memperhitungkan kebutuhan konsumsi sebesar
0,7 kg/kapita/tahun diperoleh kebutuhan konsumsi sebesar
5.624 ton sehingga terjadi surplus sebesar 18.455 ton atau 15,07%
untuk tahun 2009 surplus mencapai 16,038 ton.294
Daerah yang surplus kacang hijau terbesar adalah
Kabupaten Wajo 10.506 ton, Gowa 1.062 ton, Jeneponto 5.321
ton, Takalar 432 ton, dan Bone 2.789 ton. Sedangkan daerah yang
mengalami defisit Sinjai, Barru, Pinrang, Erekang, Tana Toraja,
Luwu serta 3 Kota di Sulawesi Selatan. Sentra penghasil buah-
buahan yang cukup besar di Sulawesi Selatan adalah Pinrang
34.336,51 ton, Gowa 17.814,94 ton, Jeneponto 21.140,56 ton, Bone
17.772,73 ton dan Enrekang 28.972,68 ton. Hasil analisis
menunjukkan dengan kebutuhan konsumsi sebesar 387.276 ton,
masih terdapat surplus yang cukup besar yaitu 51.273 ton. Jenis
sayuran yang cukup banyak diproduksi di Sulawesi Selatan

294 Ibid., hlm. 5


Iin Karita Sakharina 293
adalah kubis, kentang, tomat, kangkung, bayam, cabai, kacang
panjang, dan berbagai jenis lainnya. Potensi pertanaman sayuran
cukup besar terdapat di Kabupaten Enrekang, Gowa, Bantaeng
dan Tana Toraja yang diusahakan di daerah dataran tinggi.
Produksi yang dicapai tahun 2009 mencapai 205.261 ton, dan
pada tahun 2010 mencapai 257.088 ton mengalami kanaikan
sebesar 2,5%.295
Hasil analisis sayuran menunjukkan dengan tingkat
kebutuhan sebesar 391.294 ton (48,7 kg/kapita/tahun, susenas
2010) terjadi kekurangan sebesar 159.984 ton. Jika ditelusuri
sampai ditingkat kabupaten, hampir seluruh kabupaten menga-
lami defisit kecuali Bantaeng, Takalar, Gowa dan Enrekang yang
merupakan sentra produksi sayur-sayuran. Perkembangan
produksi telur dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan.
Pada tahun 2009 produksi telur sebesar 68.932 ton, menjadi
69.930 ton pada tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar 1,5%.
Terjadinya kenaikan produksi ini berasal dari meningkatnya
produksi telur utamanya telur ayam ras di daerah sentra
produksi seperti Kabupaten Sidrap, Pinrang dan Maros dan
Kota Parepare. 296

295 Ibid.
296 Ibid., hlm. 6
294 Iin Karita Sakharina
Daging ruminansia berasal dari ternak besar seperti sapi,
kerbau, kambing, domba, kuda dan babi. Produksi daging tahun
2010 mencapai 14.158 ton meningkat dibanding tahun 2009 yaitu
13.089 ton naik menjadi tinggi yakni 8,12%. Produksi daging
diperoleh dari produksi daging menurut pemotongan tercatat di
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan di luar RPH per
kabupaten/kota se Sulawesi Selatan tahun 2010. Hasil analisis
menunjukkan bahwa surplus daging tahun 2010 yaitu 7.366 ton
mengalami kenaikan dari tahun 2009 yaitu 7.023 ton atau 4,88%.
Adapun penyebabnya adalah meningkatnya konsumsi pendu-
duk dari 0,88 kg/kapita/tahun menjadi 1,00 kg/kapita/tahun
sehingga kebutuhan konsumsi menjadi cukup besar yaitu 22.497
ton. Walaupun secara wilayah mengalami kelebihan, tetapi
apabila ditelusuri sampai ke tingkat kabupaten beberapa daerah
masih kekurangan seperti Jeneponto, Takalar, Soppeng, Pinrang,
Luwu Utara dan Luwu Timur. 297
Daging unggas terdiri dari ayam buras, ayam ras dan itik,
perkembangan daging unggas dari tahun ke tahun menunjuk-
kan penurunan walaupun tidak terlalu besar yakni 18.101 ton,
tahun 2010 sedangkan produksi tahun 2009 sebesar 19.672 ton.
Daerah yang merupakan sentra pengembangan unggas teruta-
ma ayam ras terdapat di kabupaten Maros, Sidrap, Palopo dan

297 Ibid.
Iin Karita Sakharina 295
Parepare. Hasil analisis menunjukkan bahwa surplus yang
dicapai tahun 2010 mengalami penurunan dibanding tahun 2010
yaitu 2.733 ton sedangkan tahun 2009 sebesar 2.295 ton.
Kebutuhan konsumsi tahun 2010, 1,8 kg/kapita/tahun turun
dibanding kebutuhan konsumsi tahun 2009 yaitu 2.07 kg/kapita
/tahun. Kebutuhan konsumsi menjadi lebih kecil dibanding
tahun 2009. Hampir seluruh daerah di Sulawesi Selatan masa-
lahnya mengalami kekurangan produksi, kecuali beberapa
kabupaten seperti Selayar, Bantaeng, Gowa, Sinjai, Pangkep dan
Barru, itupun surplusnya tidak terlalu signifikan.298
Potensi produksi perikanan di Sulawesi Selatan cukup
besar karena terdiri dari laut, perairan umum, dan tambak/air
payau. Produksi ikan tahun 2010 memperlihatkan hasil yang
cukup besar yaitu 1.629.078 ton tahun 2010 sedangkan tahun
2009 sebesar 1.142.366 ton meningkat 42,61%. Hal ini terjadi
karena adanya peningkatan kebutuhan konsumsi 34,2 kg/kapita
/tahun terdapat surplus sebesar 1.109.928 ton. Walaupun demi-
kian masih terdapat daerah yang masih kekurangan seperti
Gowa, Maros, Barru, Soppeng, Tana Toraja, Enrekang dan Tora-
ja Utara, hal tersebut disebabkan wilayah ini merupakan

298 Ibid., hlm. 7


296 Iin Karita Sakharina
wilayah yang tidak mempunyai laut, sehingga konsumsi ikan
hanya mengandalkan dari perairan umum dan tambak saja.299
Gula pasir merupakan produksi turunan dari tebu.
Produksi tebu di Sulawesi Selatan hanya diusahakan di Kabupa-
ten Bone, Gowa, Wajo serta Kabupaten Takalar dan sekitarnya
tempat berdirinya pabrik gula (PTPN). Perkembangan produksi
gula pasir tahun 2010, mencapai 31.128 ton naik dibanding ta-
hun 2009 yang berjumlah 29.774 ton. Bila dibandingkan dengan
kebutuhan penduduk yang relatif tinggi yaitu sekitar 8.034.776
ton pertahun (susenas 9,2 kg/kapita/tahun) maka Sulawesi
Selatan masih kekurangan gula pasir sekitar 42.792 ton yang
harus didatangkan dari luar Sulawesi Selatan. Minyak sawit
atau lebih dikenal sebagai minyak goreng merupakan kebutu-
han utama dalam rumah tangga terutama dalam masak-
memasak. Minyak sawit merupakan produksi turunan dari
kelapa sawit menghasilkan produksi sekitar 16.542 ton (konversi
20%) tahun 2010. Bila dibandingkan dengan kebutuhan 23.301
ton, maka kekurangan yang cukup besar sekitar 7.015 ton.
Daerah penghasil utama kelapa sawit hanya diusahakan di
daerah Luwu meliputi Kabupaten Luwu Utara, Luwu Timur,
Luwu dan Sidrap.300

299 Ibid.
300 Ibid.
Iin Karita Sakharina 297
Adapun Program Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan terkait dengan ketahanan daerah Provinsi didelegasikan
kepada Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi. Badan
Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan telah
mengidentifikasi 17 (tujuh belas) program utama301, yaitu:
 Meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaan pangan
di Sulsel
1. Peningkatan ketersediaan dan cadangan pangan serta
penanganan kerawanan pangan;
2. Pemberdayaan petani melalui teknologi informasi;
3. Pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP);
4. Pengembangan usaha ekonomi pedesaan (PUEP);
5. Pengembangan produk unggulan pangan lokal/maka-
nan tradisional;
6. Pemberdayaan penyuluhan pertanian.

 Meningkatkan kualitas distribusi dan akses pangan


masyarakat terhadap pangan
7. Pengembangan desa mandiri pangan;
8. Peningkatan distribusi dan akses pangan;
9. Peningkatan koordinasi kelembagaan dan program
ketahanan pangan.

 Meningkatakan kualitas pemanfaatan pangan oleh


masyarakat dan menjamin setiap individu memperoleh

301 Badan Ketahanan Pangan Daerah Sulawesi Selatan, Op. Cit., hlm. 63-
64
298 Iin Karita Sakharina
asupan zat gizi dengan jumlah dan keseimbangan yang
cukup serta aman
10. Percepatan diversifikasi konsumsi pangan melalui
pengembangan pangan lokal;
11. Peningkatan mutu dan kemanan pangan;
12. Pengembangan otoritas kompeten keamanan pangan
daerah.

 Meningkatakan kapasitas lembaga dan kualitas koordi-


nasi antar stakeholder / lembaga
13. Peningkatan kualitas dan pengembangan sistem
laporan kinerja dan keuangan;
14. Peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur;
15. Peningkatan disiplin aparatur;
16. Peningkatan kualitas dan relevansi sarana prasarana;
17. Peningkatan kualitas pelayanan administrasi
perkantoran.

Secara rinci, tujuan maupun kegiatan pendukung pada


masing-masing program utama302 diuraikan berikut ini.
 Meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaan
pangan di Sulsel
1. Peningkatan ketersediaan dan cadangan pangan
serta penanganan kerawan pangan
Tujuan dari program ini adalah: a) tersedianya pa-
ngan yang cukup, merata dan aman sebagai energi;
b) terbentuknya lumbung sebagai cadangan pangan
masyarakat pada wilayah-wilayah rawan pangan; c)

302 Ibid., hlm. 67-74


Iin Karita Sakharina 299
terjaganya situasi pangan dan gizi di kabupaten/
kota.
Untuk mencapai tujuan ini, program didesain
sehingga mencakup kegiatan-kegiatan: pemantauan
situasi ketersediaan dan keragaman pangan, analisis
ketersediaan pangan dan penyusunan neraca bahan
makanan, pembinaan cadangan pangan masyarakat,
koordinasi pencegahan dan pengendalian masalah
pangan, pembinaan dan analisis sistem kewaspa-
daan pangan dan gizi (SKPG), penyusunan peta
rawan pangan (FIA), pengendalian daerah rawan
pangan.
2. Pemberdayaan petani melalui pemanfaatan teknologi
informasi
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kapasitas petani sehingga memiliki kontribusi yang
relevan untuk mencukupi dalam rangka mendukung
ketersediaan pangan di Sulawesi Selatan.
Kegiatan yang memungkinkan tercapainya tujuan ini
adalah: a) pendampingan FEATI; b) pelatihan mana-
jemen agribisnis bagi penyuluh pertanian; c) memfa-
silitasi pembentukan asosiasi petani/pelaku usaha
agribisnis; d) membangun perencanaan tahunan ke-
giatan P3TIP/FEATI; e) penyelenggaraan kampanye
penyuluhan strategis; f) pemberian bantuan lang-
sung hibah FMA; g) monitoring dan pengawasan
pelaksanaan program kegiatan.
3. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)
Program ini dimaksudkan untuk mengubah pola
pikir petani sehingga seluruh kegiatan usaha taninya

300 Iin Karita Sakharina


dikelola secara efisien dan sejalan prinsip bisnis.
Untuk mencapai hal ini, program ini akan diikuti
dengan aktivitas mulai dari sosialisasi program,
pelatihan bagi Gapoktan penerima dana PUAP
sampai pada pembinaan, monitoring evaluasi dan
pelaporan.
4. Pengembangan Usaha Ekonomi Pedesaan (PUEP)
Sejalan dengan peningkatan pemahaman petani atas
kegiatan agribisnis, program usaha ekonomi pede-
saan akan diintroduksi sehingga pertumbuhan eko-
nomi pedesaan semakin tinggi. Untuk mendorong
program ini, kegiatan-kegiatan yang akan diprio-
ritaskan adalah penguatan modal usaha kelompok
dan pembinaan tentang pemahaman distribusi harga
pangan. Untuk menjamin implementasi kegiatan ini,
maka monitoring dan evaluasi akan dilakukan secara
periodik.
5. Pengembangan produk unggulan pangan lokal/
makanan tradisional
Untuk menjamin peningkatan ketersediaan pangan,
maka pengembangan produk-produk makanan lokal
akan semakin strategis, dari program ini diharapkan
kuantitas dan kualitas produk unggulan semakin
meningkat. Untuk itu, diperlukan usaha-usaha anta-
ra lain: a) inventarisasi produk unggulan pangan
lokal/makanan tradisional; b) kajian teknologi
olahan pangan yang berorientasi pasar; c) intensi-
fikasi koordinasi dan pembinaan peningkatan citra
pangan lokal/makanan tradisional; d) mengintensif-
kan lomba cipta menu berbasis potensi wilayah; e)
Iin Karita Sakharina 301
sosialisasi, apresiasi pengembangan pangan lokal/
makanan tradisional; f) intensifikasi pameran dan
promosi produk unggulan pangan lokal/makanan
tradisional; g) memfasilitasi pengembangan pasar
tani; dan h) pembuatan outlet ketahanan pangan
untuk produk unggulan.
6. Pemberdayaan Penyuluhan Pertanian
Peran penyuluhan pertanian untuk membantu dan
membangun kapasitas petani sehingga pelaksanaan
kegiatan usaha tani menjadi lebih efisien dan efektif
serta memberikan nilai tambah yan signifikan sangat
penting dalam membangun ketahanan pangan. Un-
tuk itu, program ini harus diikuti dengan kegiatan-
kegiatan yang relevan dan berkualitas, paling tidak
meliputi: pemberian dukungan operasional terhadap
Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian,
penyusunan program penyuluhan pertanian yang
berkualitas dan relevan, pembinaan penyuluhan dan
musyawarah tudang sipulung, menginventarisasi ke-
lompok tani dan gabungan kelompok tani, melak-
sanakan gerakan penyusunan RDK/RDKK sebagai
basis penyusunan Rencana Usaha Bersama, sosiali-
sasi dan advokasi program pembangunan ketahanan
pangan bagi penyuluh dan stakeholder terkait,
membangun dan mengefektifkan forum komunikasi
pertanian, perikanan dan kehutanan di tingkat Pro-
vinsi dan kabupaten/kota, mengintensifkan gerakan
pemasaran hasil pertanian melalui kemitraan usaha
dan pengembangan poktan dan gapoktan, pengem-
bangan sistem kerja LAKU, penyebaran informasi

302 Iin Karita Sakharina


pertanian perikanan dan kehutanan, pengadaan
biaya operasional penyuluh (non impassing), Pembi-
naan dan penyelenggaraan penyuluh pertanian
(BOP, BPP Model, Surat Kabar Sinar Tani, Monev)
dan penyelenggaraan pendidikan pertanian (3 SPP
Daerah).
 Meningkatkan kualitas distribusi dan akses masyarakat
terhadap pangan
7. Pengembangan desa mandiri pangan
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan
jumlah desa yang mampu mandiri dari sisi keterse-
diaan pangan. Untuk itu langkah yang harus dila-
kukan paling tidak meliputi: a) penetapan lokasi
desa mandiri pangan; b) sosialisasi program desa
mandiri pangan; c) pembinaan dan pengembangan
program desa mandiri pangan; dan d) monitoring
dan evaluasi kinerja desa mandiri pangan.
8. Peningkatan koordinasi kelembagaan dan program
ketahanan pangan
Tujuan dari program ini adalah terlaksananya
koordinasi kelembagaan ketahanan pangan pusat
dan daerah, sinkronnya program ketahanan pangan
antara pusat dan daerah, tersedianya rumusan
kebijaksanaan ketahanan pangan melalui Dewan
Ketahanan Pangan, tersedianya informasi tingkat
ketahanan pangan, dan terlaksanannya operasional
Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian.
 Meningkatkan kualitas pemanfaatan pangan oleh
masyarakat dan menjamin setiap individu memperoleh

Iin Karita Sakharina 303


asupan zat gizi dengan jumlah dan keseimbangan yang
cukup serta aman
9. Percepatan diversifikasi konsumsi pangan melalui
pengembangan pangan lokal.
Program ini memiliki target untuk menurunkan kon-
sumsi beras sebesar 3,8 kg/kapita/tahun, mening-
katkan skor mutu konsumsi pangan yang sesuai
dengan Pola Pangan Harapan (PPH), dan mening-
katnya konsumsi pangan hewani, sayur-sayuran,
umbi-umbian dan kacang-kacangan. Hal yang dapat
dilakukan untuk mewujudkan program ini adalah: a)
pemberdayaan ekonomi dan gizi rumah tangga
melalui pemanfaatan pekarangan, b) penyusunan
pola menu berdasarkan potensi wilayah, c) analisis
perkembangan konsumsi pangan, d) koordinasi dan
pembinaan percepatan diversifikasi konsumsi pa-
ngan, e) gerakan makan beragam, bergizi seimbang
dan aman, dan f) sosialisasi, promosi, pameran
pangan beragam, bergizi seimbang dan aman.
10. Peningkatan mutu dan keamanan pangan
Dua tujuan pokok dari program ini, yaitu menurun-
nya jumlah kasus keracunan makanan di masya-
rakat dan meningkatnya jumlah produk pangan
segar (sayur dan buah) yang tersertifikasi dan
terlabel.
Program ini akan di laksanakan dalam beberapa
kegiatan seperti: pembinaan, pemantauan dan pe-
ngawasan keamanan pangan, pengembangan dan
pembinaan warung sekolah sehat di kabupaten/
kota, pembinaan dan pemantauan preferensi

304 Iin Karita Sakharina


pangan masyarakat, koordinasi, sosialisasi dan apre-
siasi mutu pangan dan gizi serta pengembangan
sistem informasi mutu pangan dan gizi.
11. Pengembangan otoritas kompeten keamanan pa-
ngan daerah
Tujuan dari program ini adalah terbentuknya
lembaga yang memiliki otoritas dan kompeten
dalam hal keamanan pangan di daerah. Kegiatannya
akan meliputi: sertifikasi dan pelabelan produk
pangan segar (sayur dan buah), peningkatan uji
residu pestisida, pembinaan kelompok tani dalam
penerapan prima 3, pelatihan inspektor, auditor,
fasilitator dan petugas pengambil contoh, memfasi-
litasi produsen pangan segar dalam penerapan
prima 3 melalui magang, dan intensifikasi pemanfa-
atan organisasi OKD.
 Meningkatkan kapasitas lembaga dan kualitas koor-
dinasi antar stakeholder/lembaga
12. Peningkatan kualitas dan pengembangan sistem
laporan kinerja keuangan. program ini dimaksud-
kan untuk meningkatkan kualitas transparansi dan
akuntabilitas sistem keuangan lembaga. Kegiatan-
nya akan meliputi: penyusunan laporan evaluasi
kinerja, laporan pertanggungjawaban pemerintah
daerah (LPPD), penyusunan laporan keterangan
pertanggujawaban gubernur (LKPJ) dan laporan
tahunan, sinkronisasi pengelolaan keuangan, moni-
toring tindak lanjut hasil pemeriksaan (LHP), dan
penyusunan laporan keuangan.
13. Peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur.
Iin Karita Sakharina 305
Tujuan dari program ini adalah untuk membangun
kapasitas aparatur sehingga mampu menjalankan
tugas dan fungsinya secara profesional. Kegiatan
yang akan dilakukan dalam program ini akan terfo-
kus pada kegiatan pendidikan baik yang bergelar
maupun yang tidak bergelar bagi staf yang relevan.
14. Peningkatan disiplin aparatur.
Tujuannya adalah membangun kedisiplinan apara-
tur sehingga menjadi tauladan dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya. Kegiatan yang terkait dengan
program ini akan lebih banyak ditekankan pada
ketaatan pegawai menjalankan aturan-aturan yang
ada, termasuk ketaatan memakai pakaian dinas atau
pakaian lainnya yang diatur oleh lembaga ini.
15. Peningkatan kualitas dan relevansi sarana
prasarana.
Program ini dimaksudkan agar sarana dan prasa-
rana pada lembaga ini selalu dapat dijamin kualitas
dan relevansinya dalam mendukung usaha-usaha
lembaga ini membangun ketahanan pangan Provin-
si Sulawesi Selatan. Kegiatan investasi yang akan
dimasukkan dalam program ini adalah: pengadaan
sarana dan prasarana aparat BKPD, pembangunan
dan pemeliharaan/operasional gedung di Benteng
Somba Opu, dan penunjang pemeliharaan rutin/
berkala gedung kantor dan kendaraan operasional
BKPD.
16. Peningkatan kualitas pelayanan administrasi per-
kantoran.

306 Iin Karita Sakharina


Sejalan dengan keinginan memberikan pelayanan
yang berkualitas, lembaga ini diharapkan akan
memiliki sistem pelayanan administrasi yang efisien
dan efektif. Untuk mencapai hal ini dukungan
fasilitas dan pendanaan harus mencukupi.

Sementara untuk Program Pemerintah KalimantanBarat


dalam hal pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang ditetap-
kan oleh Badan Ketahanan Pangan Kalimantan Barat adalah
dengan menekankan pada 7 program, diantaranya Program Pe-
ningkatan Ketahanan Pangan Pertanian, Pemasaran Hasil Pro-
duksi Pertanian, Penerapan Teknologi Pertanian, Peningkatan
Produksi Pertanian, Pencegahan dan penanggulangan Penyakit
Ternak, Peningkatan Produksi Hasil Peternakan, dan Penerapan
Teknologi Peternakan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pada prog-
ram Peningkatan Ketahanan Pangan Pertanian dan program
Peningkatan Produksi Pertanian di Kabupaten Kubu Raya303,
diantaranya:
1. Pembagian benih padi unggul jenis Ciherang pada
12.000 Ha untuk mengganti varietas yang selama ini
digunakan;
Tanaman padi di Kecamatan Sungai Kakap terdiri dari
berbagai jenis varietas, selain Ciherang yang merupa-
kan varietas nasional, ada juga Simpang, Siam Malay-
sia, Pance, Ketumbar, Getek, Bulan Berayun, Sirendah,

303 Ibid., hlm. 52-54


Iin Karita Sakharina 307
Syngenta, dan lain-lain. Hal itu tidak lepas di wilayah-
nya tersebut banyak ditemukan lahan percontohan
benih yang dikembangkan perusahaan yang nantinya
dijual ke petani (promosi), petani bisa melihat benih
padi yang dibudidayakan perusahaan misalnya Syn-
genta, mulai dari penanaman sampai dengan hasil
panennya. Saat ini Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Kubu Raya sedang mengujicobakan benih
padi jenis Inparah (padi musim rendengan), sebagai
substitusi jenis Ciherang di masa depan.
2. Pembuatan sumur air tanah dalam (sumur pantek)
sebanyak 20 unit;
3. Pengadaan alat mesin pengolahan tanah sebanyak 20
unit;
Saat ini di Kecamatan Sungai Kakap sudah terdapat 58
buah hand tractor, tapi jumlahnya dirasa kurang karena
banyak yang rusak atau tidak terawat (tidak adanya
rasa memiliki, ketika sudah dipakai dibiarkan begitu
saja/disimpan di ruang terbuka).
4. Pengadaan 20 unit pompa air;
Di Kecamatan Sungai Kakap sudah ada 23 buah mesin
air.
5. Pengadaan 40 unit Power Threser
Power Threser atau mesin perontok padi menjadi gabah
dirasa sangat kurang pula di Kecamatan Sungai Kakap,
saat ini hanya terdapat 60 buah. Untuk 1 ton, mereka
dibebankan biaya sebesar Rp. 170.000,00- (Seratus
Tujuh Puluh Ribu Rupiah), uang tersebut dibayarkan
kepada kelompok tani (Poktan) yang nantinya diguna-
kan untuk biaya operasional dan biaya pemeliharaan.

308 Iin Karita Sakharina


6. Pengadaan 12 unit Dryer Box;
Setelah padi dirontokan menjadi gabah, gabah tersebut
harus dikeringkan untuk bisa dijual dan mendapatkan
harga yang tinggi (standar kadar air maksimal gabah
kering panen sebesar 25 % dan gabah kering giling =
14 %).
7. Pengadaan 9 unit Corn Seller;
8. Pengadaan 1 unit Rice Milling Plant, di Kecamatan
Sungai Kakap sendiri telah ada 53 unit penggilingan
padi.
Hal ini di sebabkan karena isu mengenai pangan
selalu terkait dengan ketersediaan pangan dan atau
ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi
kebutuhan pangan. Ketersediaan pangan diidentikan
dengan penyediaan beras karena ketahanan pangan
masih bertumpu pada beras yang menjadi prioritas
utama dari kebijaksanaan pemerintah dan tradisi
sebagian besar masyarakat Indonesia yang menem-
patkan beras sebagai bahan pangan sumber karbo-
hidrat. Padahal banyak bahan pangan alternatif lain
yang tidak kalah nilai gizinya dari beras, seperti;
jagung, sagu, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.304

Ketersediaan pangan yang cukup akan menentukan


pelaksanaan pembangunan suatu daerah. Dengan semakin
meningkatnya produksi di sub sektor ini, diharapkan adanya
ketahanan pangan yang baik dan nantinya daerah tersebut

304 Laporan Komnas HAM. Op. Cit., hlm. 46


Iin Karita Sakharina 309
mampu menjadi swasembada pangan. Akan tetapi tantangan
didalam penyediaan bahan pangan terasa semakin sulit dengan
gencarnya pembangunan sektor industri yang menyebabkan
pengalihfungsian lahan pertanian terutama di Pulau Jawa.
Akibatnya keberlanjutan konsumsi bahan pangan masyarakat
Indonesia menjadi penting untuk dihasilkan di daerah lain di
luar Pulau Jawa, salah satunya Kecamatan Sungai Kakap.
Kabupaten Kubu Raya, daerahnya terkenal sebagai sentra
produksi pertanian yang cukup besar di Provinsi Kalimantan
Barat, bahkan telah diusulkan menjadi Kawasan Usaha Agropo-
litan Terpadu (KUAT) dengan daya dukung lahan yang mema-
dai.305
Fenomena produksi, perdagangan, dan konsumsi pangan
menuntut peran pemerintah untuk melindungi produsen dan
konsumen domestik. pemerintah diharapkan dapat menjaga
stabilitas harga pangan sehingga dapat mengurangi ketidakpas-
tian petani dalam pemasaran komoditas pertanian dan menja-
min konsumen memperoleh pangan dengan harga yang wajar.
Tingginya harga pangan yang dikeluhkan konsumen, tidak serta
merta dapat dinikmati petani, justru para spekulan (pedagang
dan penggilingan) mengambil untung, saat produksi berlebih
atau panen raya, mereka bisa leluasa menentukan harga (alasan

305 Ibid., hlm. 46-47


310 Iin Karita Sakharina
kadar air dari gabah). Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah
yang harus mau memikirkan kesejahteraan petani dengan
meningkatkan harga pembelian. Jika tidak seharusnya dibuat
suatu pemberdayaan dan fasilitas gratis yang dikhususkan
kepada para petani.306 Dalam hal ini tentulah pemerintah seba-
gai pemangku kewajiban harus berperan penting dalam hal
pemerataan kesejahteraan bagi warganya.
Lahan merupakan aset utama bagi masyarakat. Berda-
sarkan data dari Kantor Pertanahan Kabupaten Kubu Raya,
sebagian besar penggunaan lahan/tanah di Kabupaten Kubu
Raya didominasi oleh hutan belukar seluas 247.565,02 Ha (28,09
% dari luas Kabupaten Kubu Raya), sedangkan perkebunan
rakyat seluas 110. 628,54 Ha (12,55 %), dan untuk luas areal
sawah sekitar 29.787,69 Ha (3,38 %) dan ladang 38.473,03 Ha.
Lahan pertanian di Kabupaten Kubu Raya merupakan tadah
hujan (16.700 Ha) dan pasang surut (48.250 Ha), hanya 1.900 Ha
yang dialiri irigasi sederhana. Berbeda dengan sistem pertanian
di Pulau Jawa, saluran irigasi di Kabupaten Kubu Raya khusus-
nya di Kecamatan Sungai Kakap dibuat sederhana, airnya bera-
sal dari Sungai Kakap dan Sungai Kapuas. Rata-rata penguasaan
lahannya sekitar 0,89 Ha/KK.50 Sedangkan di Kecamatan
Sungai Kakap, terdapat 4.765 Ha lahan tadah hujan dan 6.333 Ha

306 Ibid., hlm. 47


Iin Karita Sakharina 311
adalah lahan pasang surut.51 Berdasarkan hasil in depth interview
dengan petani di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan
Sungai Kakap terungkap bahwa sebagian dari petani di kecama-
tan ini merupakan petani penggarap, mereka harus menyewa
lahan kepada pemilik lahan, dengan biaya sewa ± Rp.
1.000.000/tahun. rata-rata penguasaan para petani atas lahan
(padi) sekitar 1 hektar.307
Jika melihat luas areal tanam, lahan pertanian di Kecama-
tan Sungai Kakap didominasi untuk tanaman padi sawah,
selebihnya 1.209 Ha adalah tanaman jagung, 29 Ha ubi kayu,
dan 35 Ha ditanami ubi jalar. Dari Tabel 3.3, dapat kita ambil
suatu kesimpulan awal bahwa daerah sentra penghasil komo-
ditas sektor pertanian (bahan makanan pokok) selain Kecamatan
Sungai Kakap, adalah Kecamatan Terentang, Kecamatan Batu
Ampar, Kecamatan Rasau Raya, Kecamatan Kubu, dan Kecama-
tan Teluk Pakedai. Wilayah Kecamatan Sungai Kakap terdiri
dari wilayah pertanian dan non pertanian. Sebagian besar
wilayahnya merupakan wilayah pertanian. Wilayah tersebut
meliputi; Desa Sungai Kakap, Desa Sungai Itik, Desa Sungai
Belida, Desa Kalimas, Desa Sungai Rengas, Desa Sungai Kupa,
Desa Pal 9, Desa Punggur Besar, dan Desa Punggur Kecil. Wila-

307 Ibid., hlm. 49


312 Iin Karita Sakharina
yah non pertanian (nelayan, ternak, penggarap kebun) meliputi;
Desa Sepuk Laut dan Desa Tanjung Saleh.308
Lahan-lahan yang digarap para petani di Kubu Raya
khususnya di Kecamatan Sungai Kakap, rawan dari tindak
penyerobotan, terutama dari para pengusaha perkebunan. Oleh
sebab itu, pemerintah daerah setempat berupaya untuk melin-
dungi lahan pangan baik dari pengusaha perkebunan karet,
jarak / kelapa sawit maupun pengalihan menjadi lahan peruma-
han. Menurut hasil Focuss Group Discussion (FGD) dengan
kelompok tani di BPP Kecamatan Sungai Kakap, Pemkab Kubu
Raya memulai sosialisasi kepada para notaris untuk lebih
berhati-hati dalam membuat akta tanah untuk mencegah
penyerobotan lahan pertanian.309
Selain itu Pemerintah Kabupaten Kubu Raya Provinsi
Kalimantan Barat sudah mengupayakan pemenuhan anggaran
untuk produksi masyarakat penyedia pangan skala kecil dan
menengah. Berdasarkan temuan lapangan, Pemerintah Kabupa-
ten Kubu Raya mengalokasikan belanja langsung sebesar 70,89
%. Untuk mendukung produksi padi, Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Kubu Raya memfokuskan perhatian
kepada pemenuhan kebutuhan pupuk petani melalui program

308 Ibid., hlm. 50


309 Ibid.
Iin Karita Sakharina 313
subsidi pupuk kepada petani, mendorong penggunaan pupuk
organik yang lebih murah, dan membangun fasilitas penunjang
kawasan sentra pangan di tujuh lokasi yaitu: Kuala Mador A,
Sungai Asam, Teluk Empening, Teluk Nangka, Sungai Nibung,
Mengkalang, dan Punggur Besar.310
Akses petani terhadap sarana pertanian setidaknya sama
penting dengan kebutuhan atau konsumsi masyarakat akan
bahan pangan. Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan
hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses agar
setidaknya petani dapat menyediakan sendiri makanannya.
Petani khususnya petani padi sebagai konsumen utama produk
pupuk, selalu dihadapkan pada kelangkaan pupuk setiap akan
mulai tanam, sehingga harga melambung dan akibatnya
berpengaruh pada turunnya kualitas dan kuantitas padi yang
dihasilkan. Dalam kondisi ini jelas sulit bagi petani untuk
meningkatkan produktivitas lahan. Kelangkaan ini terjadi selain
karena faktor penyelewengan, tetapi juga karena prakiraan yang
keliru atas kebutuhan pupuk (kuota) yang sering dibuat secara
agregat dengan memperhitungkan luas tanam dan takaran
pupuk secara umum saja (Kuota pupuk yang ditetapkan SK.
Bupati sebagai patokan penyaluran oleh produsen pupuk).311

310 Ibid., hlm. 51


311 Ibid.
314 Iin Karita Sakharina
Kenyataannya, takaran penggunaan pupuk bervariasi,
tergantung pada luas lahan maupun tingkat kesadaran petani
terhadap manfaat pupuk. Akibatnya, kebutuhan riil dengan
ketersediaan pupuk sering berbeda sehingga ada daerah yang
kelebihan dan banyak yang kekurangan. Pupuk yang beredar di
Kabupaten Kubu Raya khususnya Kecamatan Sungai Kakap
berasal dari Pupuk Sriwijaya (Pusri). Guna mengantisipasi
kekurangan tersebut, pemerintah daerah telah memfasilitasi
dalam pemberian pupuk kepada petani (subsidi pupuk).312
Dari total anggaran APBD Kabupaten Kubu Raya, sekitar
1,39 % atau Rp. 6.379.040.000,- dialokasikan untuk anggaran
Dinas Pertanian dan Peternakan. Dari jumlah tersebut, Rp.
1.856.851.000,- (29,11 %) digunakan untuk belanja tidak lang-
sung, sedangkan 70,89 % atau sebesar Rp. 4.522.189.000,- (70,89
%) digunakan untuk belanja langsung.

D. Pola Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak


atas Kecukupan Pangan oleh Pemerintah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada 3
tingkatan kewajiban negara dalam hukum HAM internasional,
terkait dengan ketahanan pangan, maka implementasi yang
dilakukan pemerintah yaitu :

312 Ibid., hlm. 52


Iin Karita Sakharina 315
1. Menghormati (to respect) yaitu negara diminta untuk
berulang kali melakukan intervensi langsung ataupun
tidak langsung dalam hal hak-hak pangan warga, ini
dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah
regulasi untuk menjamin ketahanan pangan warga, sejalan
dengan hal tersebut, pemerintah daerah Provinsi Sulawesi
Selatan dan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat,
telah mengeluarkan beberapa regulasi salah satunya dalam
bentuk peraturan daerah agar ketahanan pangan warga
dapat terjaga dan berlangsung secara berkesinambungan.
2. Melindungi (to protect) yaitu negara diminta untuk
mengambil tindakan yang tepat sehingga dapat mencegah
pihak luar dari anggota untuk melakukan intervensi
dalam hal hak-hak pangan warga, hal ini dilakukan baik
oleh pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan
Pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan
membuat membuat beberapa rencana program dan
program yang telah dijalankan melalui badan ketahanan
pangan daerah agar ketahanan pangan warga dapat
terjamin.
3. Untuk memenuhi (to fulfill), untuk menfasilitasi (to facili-
tate) dan untuk menyediakan (to provide), ini dilakukan
pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan

316 Iin Karita Sakharina


pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat yang dija-
dikan dengan menjalankan sejumlah program yang
bertujuan untuk memberikan kualitas dan terjaminnya
keamanan pangan, meningkatkan partisipasi masyarakat
dan investasi swasta dalam pengembangan bisnis pangan,
tersedianya akses pangan bagi warga miskin dan pemutak-
hiran data daerah rawan pangan, serta memfasilitasi para
petani agar tidak kesulitan dalam mengelola hasil perta-
niannya.

Menurut Staf Direktorat Hukum dan Perjanjian


Internasional Kementerian Luar Negeri RI, secara umum
implementasi pemerintah Indonesia adalah :
“Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusional-
nya dilakukan dengan bentuk penghormatan (to respect)
dengan dikeluarkannya beberapa regulasi baik dalam
bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam
bentuk peraturan lainnya (diluar peraturan perundang-
undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011) agar ketahanan pangan
warga dapat terjaga dan berlangsung secara berkesinam-
bungan, perlindungan (to protect) yang dilakukan
pemerintah dengan membuat membuat beberapa rencana
program jangka menengah dan rencana program jangka
panjang yang telah dijalankan melalui badan-badan
terkait agar ketahanan pangan warga dapat terjamin, dan
Iin Karita Sakharina 317
pemenuhan (to fullfil) hak atas kecukupan pangan warga
yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dilakukan dengan
menjalankan sejumlah program yang bertujuan untuk
memberikan kualitas dan terjaminnya keamanan pangan
nasional”.313

Ia menambahkan :
“Karena ratifikasi merupakan tindakan internasional
dengan cara mana suatu negara pada taraf internasional,
memberikan persetujuannya untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional, oleh sebab itu kewajiban negara
secara Internasional pasca ratifikasi Kovenan Hak Eko-
nomi, Sosial, dan Budaya adalah Pemerintah Indonesia
merealisasikan isi kovenan terhadap warganya (Indone-
sia), hanya saja realisasi ini sejauh dengan kemampuan
yang Indonesia miliki, hal-hal yang masih banyak keku-
rangan disana-sini namun itu semua jangan dijadikan hal
negatif bagi pemenuhan pemerintah terhadap isi kove-
nan. Pemerintah terus mengupayakan semaksimal mung-
kin guna terpenuhinya kebutuhan warga akan Hak Eko-
nomi, Sosial, dan Budaya”.314

Selain kewajiban Indonesia terhadap hukum HAM yang


telah diuraikan diatas, kewajiban Indonesia berdasarkan
Kovenan Internasional Hak Ekosob dilakukan dengan :

Hasil korespondensi penulis melalui email dengan Staf pada Direktorat


313

Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI pada hari


Senin, 05 November 2012.
314 Ibid.
318 Iin Karita Sakharina
1. Obligation of Conduct yaitu kewajiban bagi negara pera-
tifikasi untuk mengambil tindakan, hal ini telah dilakukan
oleh Indonesia dengan membuat sejumlah peraturan dan
juga telah menjalankan 4 strategi politik pangan (regulasi,
ketersediaan, keterjangkauan, dan ketercukupan gizi) agar
ketahanan pangan warga dapat terjaga dan berlangsung
secara berkesinambungan.
2. Obligation of Result yaitu kewajiban bagi negara peratifikasi
mengenai hasil, hal ini telah dilakukan pemerintah, khu-
susnya pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam pres-
tasinya yang mampu mempertahankan ketersediaan
pangan nasional, walaupun secara keseluruhan imple-
mentasinya dilapangan khususnya dibidang pendistri-
busian pangan, serta kemampuan masyarakat untuk meng-
akses pangan dalam hal ini kemampuan terhadap daya beli
belum memuaskan dan terdapat masih banyak keku-
rangan, dimana kasus-kasus gizi buruk dan kelaparan ma-
sih sering terjadi di beberapa daerah dan umumnya
menimpa anak-anak.

Jadi jika kita melihat pada konsep yaitu adanya peran


sosial negara yang besar serta tanggung jawab yang besar pula
untuk menyediakan kebutuhan sosial dasar serta mendistribu-
sikan ulang sumber daya ekonomi kepada warga negaranya
tanpa mengecualikan status ekonomi dan sosial dari warganya,
tentunya model ini sangat bergantung pada peran besar dan

Iin Karita Sakharina 319


kemampuan negara untuk mengelola ekonomi nasional.315
Tentunya dalam konteks negara Kesejahteraan di Indonesia kita
bisa merujuk pada alinea ke 4 pembukaan UUD NRI 1945 bah-
wa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, serta sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) bahwa tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan serta Pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta ber-
hak memperoleh pelayanan kesehatan, maka dapat dikatakan
bahwa peran negara dalam konsep negara kesejahteraan adalah
dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya dalam mewu-
judkan pemenuhan hak asasi warga negaranya termasuk hak
atas kecukupan pangan yang layak.

315 Nanang Indra Kurniawan, Globalisaasi Dan Negara Kesejahteraan


(Perspektif Institusionalisme), (Yogyakarta: UGM, 2009), hlm. 2
320 Iin Karita Sakharina
BAB VII
PENUTUP

Sebagai peutup dalam buku ini, penulis menyimpulkan


pokok-pokok pikiran yang menjadi inti dari tulisan ini, yakni
Pertama, Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari anggota
masyarakat internasional, sehingga Indonesia juga seharusnya
tunduk pada hukum dan kebiasaan internasional yang ada.
Salah satu bentuk perwujudan negara untuk menghormati
kaidah-kaidah dalam hukum internasional yang berlaku adalah
dengan cara consent to be bound by international treaty yaitu setuju
untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional
yang ada. Peratifikasian kovenan internasional hak-hak ekosob
oleh Pemerintah Indonesia berarti Indonesia telah terikat secara
hukum pada kovenan interna-sional tersebut, dimana keterika-
tan ini melahirkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pemerintah Indonesia dalam hal penghormatan, perlindu-
ngan dan pemenuhan hak-hak ekosob bagi warga negaranya.
Jika negara gagal melakukan tindakan yang seharusnya dilaku-
kan menurut kovenan dalam rangka pemenuhan hak-hak
ekosob warga negaranya maka akan melahirkan tanggung
jawab negara, dimana hak ekosob ini juga dapat bersifat
Iin Karita Sakharina 321
justiciable rights yatu jika terjadi pelanggaran terhadap hak
tersebut maka dapat mengajukan tuntutan untuk pemenuhan
dan perlindungannya di pengadilan.
Kedua, Berdasarkan indikator proses yang ada dalam
indikator pembangunan HAM, maka Kebijaksanaan Pemerintah
Indonesia berkenaan dengan hak atas kecukupan pangan yang
layak di Indonesia, dimasukkan dalam kategori proses yaitu
langkah-langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah terha-
dap adanya kewajiban yang harus dipenuhi sebagai konsekuen-
si dari ratifikasi kovenan internasional mengenai hak ekosob.
Berkenaan dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan Peme-
rintah Indonesia khususnya dalam hal pemenuhan terhadap hak
atas kecukupan pangan yang layak, maka ada 2 (dua) kebijak-
sanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu : (a) Kebijak-
sanaan dibidang Politik Pangan yaitu merupakan komitmen
pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pa-
ngan nasional yang berbasis Kedaulatan Pangan dan Keman-
dirian Pangan. Politik Pangan ini penting karena pangan meru-
pakan kebutuhan pokok manusia yang paling dasar, sehingga
semua bangsa berupaya untuk mencukupi kebutuhan pangan
seluruh warga negaranya dan menyimpan sebagian untuk
cadangan pangan nasional. Seperti halnya dibidang sistem
logistik, distribusi pangan dan juga diversifikasi pangan; (b)

322 Iin Karita Sakharina


Kebijaksanaan dibidang Hukum yaitu menyelenggarakan
pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terha-
dap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh
daya beli masyarakat, serta memberikan jaminan bagi perse-
diaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masya-
rakat miskin dan rawan pangan, hal itu didasarkan pada
sejumlah peraturan daerah propinsi maupun peraturan daerah
kabupaten / kota yang secara garis besar mengatur tentang
ketahanan pangan warga daerahnya masing-masing.
Ketiga, Pendekatan appropriate pemerintah dalam meme-
nuhi kewajiban konstitusionalnya adalah dengan melihat bahwa
dalam konsep Welfare State (Negara Kesejahteraan) yang ber-
kembang saat ini terdapat dua model dari sistem kesejahteraan
yaitu model residu dan model institusi, dimana model
institusional ini adalah berasosiasi dengan fungsi distributif dari
negara kesejahteraan, dalam sistem ini, negara berperan untuk
membagi-bagi atau mendistribusikan sumber daya tersebut
kepada mereka yang memperoleh keuntungan yang paling
sedikit dari mekanisme pembagian kesejahteraan yang berpusat
pada sistem ekonomi pasar. Keterlibatan negara dalam hal ini
Indonesia dalam konsep Welfare State adalah bagaimana negara
melibatkan diri dalam memenuhi kewajibannya atas hak-hak

Iin Karita Sakharina 323


ekosob warga negaranya khususnya dibidang pangan, dimana
justifikasi dari peratifikasian instrumen hukum internasional ke
dalam hukum nasional yang mengatur mengenai hak atas
kecukupan pangan merupakan manifestasi dari perwujudan
negara kesejahteraan, yang mana dalam hal ini keutamaan dari
konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban negara untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Dalam
konteks pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak
bagi warga negaranya, maka pemerintah pusat dapat menyerah-
kan sebagaian wewenangnya kepada pemerintah daerah dan
pihak swasta. Selain itu untuk melihat adanya pencapaian atas
hasil yang telah dicapai oleh negara dalam hal pemenuhan hak
atas kecukupan pangan yang layak maka penulis menggunakan
indikator hasil yaitu dengan menangkap pencapaian, individu
dan kolektif, yang menggambarkan status perwujudan HAM
yang diberikan. Hal ini tidak hanya sekedar langkah-langkah
langsung untuk mewujudkan suatu HAM, namun hal tersebut
juga mencerminkan pentingnya indikator dalam hal mengeva-
luasi penikmatan hak tesebut. Hal ini dikarenakan indikator
hasil mengumpulkan dampak berbagai proses-proses dasar
dalam jangka waktu tertentu, dimana suatu indikator hasil
seringkali merupakan indikator yang bergerak lambat, kurang

324 Iin Karita Sakharina


sensitif dalam menggambarkan suatu perubahan ketimbang
indikator proses.
Berdasarkan hal tersebut, maka sudah seharusnyalah
Pemerintah Indonesia menyiapkan peraturan sendiri serta
mekanisme pengaduan atas pelanggaran hak ekosob di pengadi-
lan dan sosialisasi mengenai hak-hak ekosob sangat diperlukan
agar masyarakat rentan menjadi lebih paham dan tahu menge-
nai hak-hak ekosobnya. Selain itu pemahaman para hakim
terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
ekosob juga menjadi penting didalam memutuskan kasus-kasus
pelanggaran terhadap hak ekosob yang diajukan ke pengadilan.
Dimana pada prinsipnya pengadilan harus menjadi institusi
negara yang dapat menghindarkan negaranya melakukan
pelanggaran terhadap perjanjian yang telah diratifikasi. Untuk
mengoptimalkan pemenuhan hak-hak ekosob khususnya dibi-
dang hak atas kecukupan pangan yang layak maka Pemerintah
seyogiyanya mempertimbangkan untuk meratifikasi optional
protocol mengenai hak-hak ekosob ini. Pemerintah pusat seyog-
yanya bersinergi dengan pemerintah daerah untuk meng-
optimalkan rencana program-program badan ketahanan pangan
yang dirasa sudah cukup baik pada tataran regulasi, namun
implementasi dilapangan yang harus dimaksimalkan agar
rencana program tersebut dapat berjalan dengan baik, terutama

Iin Karita Sakharina 325


pada hal akses pangan terhadap warga miskin di daerah-daerah
yang dikenal dengan daerah rawan pangan. Pemerintah seyog-
yanya berupaya untuk memaksimalkan bentuk penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak atas kecukupan pangan bagi
warga negaranya, utamanya dengan menekan laju pengalih-
fungsian lahan yang saat ini marak terjadi di beberapa daerah di
Indonesia, khususnya lahan pertanian yang kini sudah semakin
minim sehingga dalam rangka memenuhi hak atas kecukupan
pangan yang layak bagi warga negaranya, Pemerintah dapat
memaksimalkan lahan-lahan yang ada untuk dimanfaatkan
dalam hal menghasilkan macam-macam pangan yang ada untuk
memenuhi kebutuhan warga negara dalam hal pangan sehingga
impor beras dan bahan pangan lainnya, dapat ditekan jika perlu
dihentikan.

326 Iin Karita Sakharina


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, artikel, dan karangan lainnya

Abdurrasyid, Priyatna, Instrumen Hukum Nasional bagi


Peratifikasian Perjanjian Internasional, Majalah Hukum
Nasional, Nomor 1, Jakarta: BPHN, 1991.
Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Interna-
sional Jakarta: CV. Rajawali.
Agusman, Damos Dumoli, Arti Pengesahan / Ratifikasi
Perjanjian Internasional, Status Perjanjian Internasional
dalam Tata Perundang-undangan Nasional: Kompilasi
Permasalahan, (Jakarta: Direktorat Perjanjian Ekonomi
Sosial dan Budaya, Direktorat Jenderal Hukum dan
Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri RI,
2008.
Amarta, Ragil dkk, Kedaulatan Pangan dan Hak-Hak Petani,
Jurnal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Edisi III
November 2007.
Ardhiwisastra, Yudha Bakti, Hukum Internasional (Bunga
Rampai), Bandung: PT Alumni, 2003.
Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di
Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Aswanto, Penegakan HAM sebagai Perwujudan Demokrasi,
Makalah, 2007.
Budigusdian, Sam, Keunggulan Komoditas Pangan Dalam
Perspektif Ketahanan Nasional Dapat Meningkatkan

Iin Karita Sakharina 327


Kemandirian Pangan, Artikel, Ambon: Fakultas Hukum
Universitas Pattimura, 2012.
Badan Ketahanan Pangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan,
Rencana Strategik (RENSTRA) Badan Ketahanan
Pangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 –
2013, Makassar: Satuan Kerja Badan Ketahanan Pangan
Daerah Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008.
___________________________________________________,
Laporan Evaluasi Program / Kegiatan Ketahanan Pangan
Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011, Makassar: Tahun
Anggaran 2012,
BPPT. 2012, Ketahanan Pangan Perlu didukung Sentuhan
IPTEK, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Brownlie, Ian & Guy S. Goodwin-Gill, Brownlie’s Documents
On Human Rights, 6th Edition, New York: Oxford
University Press, 2010.
Carthy, Anna-Lenna Svensson-Mc, The International law of
Human Rights and States of Exception: With Special
Reference to The Travaux Preparatoires and Case-Law
of the International Monitoring Organs, The Hague:
Martinus Nijhoff Publishing, 1998.
Chowdhury, Azizur Rahman & Jahid Hossain Bhuiyan (ed), An
Introduction to International Human Rights Law,
Ledisen: Martinus Nijhoff Publishers, 2010.
Cessase, Antonio, International Law, 2nd Edition, New York:
Oxford University Press, 2005.
Dammian, Eddy, Beberapa Pokok Materi Konvensi Wina
Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional,
Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 Nomor 3,
Desember 2003.

328 Iin Karita Sakharina


Data Dokumen Badan Ketahanan Pangan & Penyuluhan (BKPP)
Propinsi Banten
Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia, (terjemahan), Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1994.
Dixon, Martin, International Law, 5th Edition, New York: Oxford
University Press, 2005.
Donnelly, Jack, Universal Human Rights in The Theory &
Practice, London: Cornell University Press, 1989.
DPR RI, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik, dan Konvensi Internasional Tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta:
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2005.
Edi, Kebijakan Ketahanan Pangan, Makalah disampaikan pada
Lokakarya Kedaulatan Pangan dengan Tema
“Mensukseskan Terwujudnya Desa Mandiri Pangan”,
Jawa Tengan 20 Mei 2006.
Eide, Asbjorn, Economi, Social Culture Rights, at Text Book
Second Revised Edition, Martinus Nijhoff Publisher, 2001.
Eide, Wenche Barth & Uwe Kracht (eds), 2005, Food And
Human Rights In Development, Volume 1, Legal
institution Dimensions And Selected topic, Oxford:
Intersentia, 2005.
Elias, Taslim Olawale, The Modern Law of Treaties, New York:
Oceana Publications Inc., 1974.
Engh, Ida-Eline, Developing Capacity to Realise Socio-
Economic Rights, Portland: Intersentia, 2008.
FAO, Voluntary Guidelines; to Support the Progressive
Realization of the Right to Adequate Food in the

Iin Karita Sakharina 329


Context of National Food Security, Rome: Adopted by
the Session of the FAO Council, 2004.
Fitzmaurice, Malgosia & Olufemi Elias, Contemporary Issues in
the Law of Treaties, Utrecht: Eleven International
Publishing, 2005.
Fortman, Bas de Gaay, Political Economy of Human Rights
(Rights, Realities and Realization), Routldge, 2011.
Gibney, Mark, International Human Rights Law, Returning to
Universal Principles, UK: Rowman & Little Field
Publiseher Inc, 2008.
Golay, Cristopher, The Right to food and Access to Justice
(Examples, at National, Regional and International
Levels), Food And Agriculture Organization Of The
United Nations, Rome, 2009.
Gunawan, Realisasi Progresif Perlindungan Hak Atas Pangan
dan Hak Petani, E. Artikel “Desa Sejahtera”, Februari
2012.
Guntur, Muh., Pengaturan Hukum dan Pelaksanaan Tata
Niaga Produk Pertanian (Disertasi), Surabaya:
Universitas Airlangga, 2002.
Harris, Neville & Parts., Social Law Security, Law in Context,
New York: Oxford University Press, 2000.
Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada
Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994.
Hendardi, Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Sebagai Hak
Legal, Jurnal Dinamika HAM, Volume 3 Nomor 3,
Oktober 2003, PusHAM Ubaya.
Irawan, B., 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak,
Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005.

330 Iin Karita Sakharina


Kasim, Ifdhal dkk. (editor), Hak ekonomi, Sosial, Budaya, Esai-
Esai Pilihan, Jakarta: Elsam, 2001.
Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RUU APBN 2011,
Jakarta: Kementerian Keuangan.
Kementerian Pertanian. Kompendum / Kodifikasi Hukum
Bidang Pangan. Jakarta: Jaringan Komunikasi dan
Informasi Hukum, Biro Hukum dan Humas, 2010.
Komnas HAM, Pelatihan dan Diskusi Terfokus dalam Rangka
Penyusunan Human Rights Index, Jakarta: Komnas
HAM, 2008.
____________, Laporan Kerangka Konsep Indikator Hak Asasi
Manusia, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
2012.
Komentar Umum Kovenan Hak Sipil dan Politik-Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Cetakan Pertama (Terjema-
han), Jakarta: Komnas HAM, 2009.
Kurniawan, Nanang Indra, Globalisaasi Dan Negara Kesejah-
teraan (Perspektif Institusionalisme), Yogyakarta: UGM,
2009.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum
Internasional, Bandung: PT. Alumni, 2003.
Laporan Pelaksanaan Rapat Koordinasi Dalam Rangka
Implementasi Instrumen HAM yang Telah Diratifikasi
Indonesia (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya),
Penyempurnaan Hasil Implementasi Tahun Anggaran
2010, Jakarta: Direktorat Kerja HAM, Kementerian
Hukum dan HAM RI, 2004.

Iin Karita Sakharina 331


Laporan Periodik Hak Ekosob Pemerintah Indonesia, mengenai
Hak atas Pangan, Right to Food, Laporan Nomor 156,
2011.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI),
Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1998.
Malau, Lefidus, Sistem Pangan Nasional, Majalah Asasi Edisi
September – Oktober 2008.
Muhtaj, El, Tanggung Jawab Negara Dalam Hal Pemenuhan
Hak Ekosob, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.
_________, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2008.
Mujib, Taufiqul, Hak Atas Pangan Sebagai Hak Konstitusional,
Jurnal AGRICOLA, volume 2 / Agustus 2011, diterbitkan
oleh Yayasan Bina Desa Sadajiwa.
Nainggolan, Kaman, Pengaturan & Realisasi Pemenuhan Hak
Atas Pangan Yang Layak, Jakarta: Komnas HAM, 2006.
________________, Isu-Isu Kemiskinan dan Penguatan
Ketahanan Pangan Dalam Mengatasi Krisis Global.
Jakarta: LIPI, 2009.
Nair, Lord Mac, The Law of Treaties, London: Oxford
Clorendon Press, 1967.
Nowak, Manfred, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional
(Terjemahan), Jakarta: Raoul Wallenberg Institute
Kerjasama DepkumHAM, 2003.
Riza, Marwati, Perlindungan Hukum Pekerja Migran
Indonesia di luar Negeri, Makassar: AS Publishing, 2009.

332 Iin Karita Sakharina


Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan
Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT.
Alumni, 2008.
Mihradi, R. Muhammad, Pengantar Memahami Hak Ekosob,
Uni Eropa: Pusat Telaah dan Informasi Regional bekerja
sama dengan European Initiative for Democracy and Human
Rights / EIDHR, 2005.
Parthiana, I. Wayan, Pengantar Hukum Internasional,
Bandung: Mandar Maju, 1990.
________________, Hukum Perjanian Internasional Bagian 1,
Bandung: Mandar Maju, 2002.
Paryadi, Erfan, Reforma Agraria Merupakan Prasyarat
Mendasar Bagi Berlangsungnya Kedaulatan Pangan,
Jurnal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Edisi III
November 2007.
Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan, Rencana Program
Jangka Menengah Daerah, Makassar: Tahun Anggaran
2012.
Prayitno, Irene Hadi, Hazard or Right, Portland: Intersentia,
2009
Priyono, FX. Joko, Negara dan Rule of Law Dalam Sistem
Ekonomi Campuran, Semarang: Bagian Hukum
Internasional Universitas Diponegoro, 2002.
Puja, I. Gusti Agung Wesak, Pentingnya Indonesia Menge-
sahkan International Covenant on Civil and Political rights
(ICCPR) dan International Covenant On Economic, Social,
and Cultural Rights (ICECSR), Paparan Disampaikan Pada
Rapat Dengar Pendapat.

Iin Karita Sakharina 333


Rahayu, Kewajiban Negara Indonesia Mengimplementasikan
Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Makalah, 2010.
Razak, Abdul, Peraturan Kebijakan (Beleidsregels), Yogyakarta:
Republik dan Rangkang Education, 2013,
Revisi Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010-
2014,
Schuttler, Oliver De, International Human Rights Law, New
York: Cambridge University Press, 2010.
Sefriani, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Sen, Amartya, Masih adakah harapan Bagi kaum Miskin ?,
Bandung: Mizan Pustaka, 2001.
Sisparyadi. 2005. Desa Rawan Pangan dan Program Raskin.
Warta Pedesaan PSPK UGM No. 05/XXIII/Mei 2005.
Smith, Rhona K.M. dkk, Hukum HAM, Cetakan Pertama,
Yogyakarta: Pusham UII, 2008.
Soekamto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif, Jakarta: Rajawali, 1995.
Ssenyonjo, Manisuli, Economic, Social and Cultural Rights in
International Law, Oxford: Oregon, 2009.
Starke, J.G., An Introduction to International Law, 8th ed,
London: Butterworths, 1984.
__________, J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional ‘1’
(Terjemahan), Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
__________, Pengantar Hukum Internasional 2, (terjemahan
Bambang Iriana Djajaatmaja), Jakarta: PT. Sinar Grafika,
2007.

334 Iin Karita Sakharina


Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Perjanjian Internasional,
Jakarta: PT. Tata Nusa, 2008.
The Report of The Government of The Republic Indonesia On the
Implementation Of International Covenant On Economic,
Social, And Cultural Rights, Initial And First Periodic Report,
Government Of The Republic Of Indonesia, 2011
Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI, Penerapan Kebijakan
Ketahanan Pangan Bagi Pencapaian Kedaulatan Pangan,
Makalah yang disampaikan pada kongres KIPNAS.
United Nations, Human Rights, The Right to Food, Fact Sheet
No. 34, Geneva: FAO, 1945.
Widijantoro, J., Hak Atas Pangan Sehat dan Aman, E. Jurnal
“Logo LKY”, Agustus 2012.
Witoro. Kebijakan Perberasan Nasional dan Pemenuhan Hak
Pangan. Majalah Asasi Edisi September – Oktober 2008.
Zchwarzenberger, Georg, International Law and Order, Lon-
don: Steven & Sons Ltd., 1971.
____________________, A Manual of International Law, Fourth
Edition, London: Steven & Sons Ltd., 1960.

B. Perjanjian Internasional, Peraturan Perundang-Undangan


dan Peraturan terkait lainnya.

Universal Declaration of Human Rights, 1948


International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969
Limburg Principle, 1986
Maastricht Guidelines, 1997

Iin Karita Sakharina 335


United Nations (1945): Charter of the United Nations, United
Nations Conference on International Organization, 26
June, San Francisco.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Budidaya
Tanaman.
Surat Keputusan Menteri Bersama Menteri Pertanian dan
Menteri Kesehatan Nomor 881/MENKES/SKB/VII/1986
dan Nomor 711/Kpts/TP.120/8/1996 tentang Batas
Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian Batas
Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004
tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Eko-
nomi, Sosial, dan Budaya
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1593/Menkes/SK/XI/2005 tentang Angka Kecukupan
Gizi Bagi Bangsa Indonesia.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2006
tentang Dewan Ketahanan Pangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota.

336 Iin Karita Sakharina


Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58 / Permentan / OT. 140
/ 8 / 2007 tentang Pelaksanaan Sistem Standarisasi
Nasional Di Bidang Pertanian.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 30
Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51 / Permentan / OT. 140 /
10 / 2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran
Pangan Segar Asal Tumbuhan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Kon-
sumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Inpres Nomor 7 tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27 / Permentan / PP. 340 /
5 / 2009 tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terha-
dap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 / Permentan / PP. 340 /
2009 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 27/Permentan/PP.340/5/2009 tentang Pengawa-
san Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan
Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 / Permentan / OT. 140 /
10 / 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekara-
gaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 60 Tahun 2009 tentang
Pemanfaatan Hasil Produksi Beras Lokal Bagi PNS.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Iin Karita Sakharina 337


Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 / Permentan / OT. 140 /
2 / 2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil
Pertanian.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 / Permentan / OT. 140 /
7 / 2010 tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan
dan Gizi.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 yang mensyaratkan
Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Pangan dan Nutrisi.
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 42 tahun 2010
tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Kon-
sumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Inpres Nomor 8 nomor 2011 tentang Kebijakan Pengamanan
Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerintah Dalam
Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim.
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2 tahun 2011
tentang Pengelolaan Pangan.
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 36 tahun 2011
tentang Perubahan Atas Peraturan gubernur Sulawesi
Selatan Nomor 96 Tahun 2009 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan (UPTB) Otoritas
Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) Pada
Badan Ketahanan Pangan Daerah Propinsi Sulawesi
Selatan.
Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 1313 / V / Tahun
2012 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Dan
Sekretariat Tim Koordinasi Jejaring Keamanan Pangan
Propinsi Sulawesi Selatan.

338 Iin Karita Sakharina


C. Media Massa / Internet

Anonim, Hubungan Pemerintah dengan Masyarakat


http://massofa .wordpress.com/2008/03/04/hubungan-
pemerintah-dan-masyarak at/, Diakses Pada Hari Jumat,
7 Oktober 2011, Pukul: 19:00.
Adrian, Status Hukum Internasional dan Perjanjian
Internasional dalam Hukum Nasional (http://perjanjian
internasional.blogspot.com/html.) Diakses pada hari
Jumat, 21 September 2012.
Ahmad Taufiqurrakhman. Beras Adalah Salah Satu Pangan
Kunci Di Dunia (www.okezone.com) Diakses pada hari
Kamis, 20 September 2012.
Appears in the annex to General Assembly Resolution 2200 A
(XXI) of 16 December 1966; for the text in various
languages, see 993 UNTS 3. The covenant entered into
force on 3 January 1976, in accordance with article 27. The
Committee on Economic, Social and Cultural Rights was
established under Ecosoc Resolution 1985 / 17, 28 May
1985, to carry out the monitoring functions assigned to
Ecosoc in Part IV of the Covenant. See
http:www2.ohcr.org /English/bodies/cescr/index.htm.
Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 20:00.
Erlangga Djumena, ADB: 2012 Pertumbuhan Indonesia 6,4
Persen, (Harian Kompas).
Harian Fajar edisi April 2008: Memberitakan tentang kematian
seorang ibu bernama dg. Besse yang tengah hamil sekitar
7 bulan bersama putera sulungnya Bahri, dan juga
kematian Darmawati di bulan Maret 2008.
Harian Kompas, edisi Senin, 10 Januari 2011.
Iin Karita Sakharina 339
Harian Kompas, edisi Jumat, 14 Oktober 2011.
Harian Tempo On Line, Sulawesi Selatan Raih Penghargaan
Tertinggi Bidang Pangan (http://www.tempo.co/read
/news/2011/12/04/0903 69823/Sulawesi-Selatan-Raih-
Penghargaan-Tertinggi-Bidang-Pangan). Diakses pada
hari Selasa, 18 September 2012.
Jusuf, Politik Pangan Indonesia: Ketahanan Pangan Berbasis
Kedaulatan dan Kemandirian, http://www.setkab.
go.id/artikel-6833-.html, Diakses pada hari Kamis, 20
September 2012.
Ruddabby. Orang Asia Tergantung Pada Beras Sebagai
Makanan Pokok (Ruddabby.files.wordpress.com/2010
/8.) Diakses pada hari Kamis, 20 September 2012.
Siaran Pers Komnas Perempuan Mengenai Desakan Komite
Hak-hak Ekosob PBB yang harus ditindaklanjuti oleh
Pemerintah Indonesia, Per 6 Juni 2014, www.komnas
perempuan.or.id/2014/06, diakses tanggal 1 November
2014, Pukul 20.00 Wita
Taufiqul Mujib, Hak Atas Pangan sebagai Hak Konstitusional,
(http//taufiqulmujib.wordpress.com/2001/09/30).
Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 21:45.
The Report of the International Law Commision, on its fifty-
third Session; 23 April - 1 June and 2 July - August (001),
Chapter IV, “State Responsibility”, at 126 General
Assembly, Official Records, Fifty-Fifth Session, Suplement
No. 10 (UN Doc. A / 56 / 10) see (http://www.un.org/
law/ilc/report.htm). Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober
2011, Pukul: 19:30.
Website resmi Kota Tangerang Selatan www.tangsel.go.id

340 Iin Karita Sakharina


Witoro, Pengurangan Kelaparan dan Kemiskinan Sebagai
Agenda Utama (www.forumdesa.org). Diakses Pada Hari
Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 19:00.
Yuni Asriyanti (Koordinator Gugus Kerja Pekerja Migran) per 23
Juli 2014, www.komnasperempuan.or.id/2014/07-
memantau dan memastikan implementasi kovenan-
internasional hak-hak ekosob, diakses tanggal 1
November 2014, pukul. 19.00. WITA

Iin Karita Sakharina 341


342 Iin Karita Sakharina
PENULIS
Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A., lahir di
Ujung Pandang, 20 Januari 1977, adalah
Dosen di Departemen Hukum Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
(Unhas), Pengajar pada program Strata Satu
(S1) di Fakultas Hukum Unhas, dan Program
Strata Dua (S2) di Pascasarjana Unhas. Saat
ini menjabat sebagai Sekertaris Departemen
Hukum Internasional pada almamater yang sama. Selain
mengajar di Fakultas Hukum juga mengajar untuk matakuliah
pengantar hukum, hukum internasional, dan hukum diplomatik
Jurusan Hubungan Internasional Universitas Fajar (Unifa)
Makassar. Banyak menulis pada beberapa jurnal, seperti Jurnal
Amanna Gappa, Jurnal Jurishdictionary, dan Jurnah Hukum
Internasional FH Unhas.
Tamat Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Unhas
(2010) dengan mengambil jurusan hukum internasional, Master
of Art (M.A) di Postgraduate Oslo University, Norwegia (2003),
specialised in Theory and Practice of International Human
Rights Law, dan Doktor (Dr.) Ilmu Hukum di Pascasarjana
Unhas (2013).
Pengalaman internasionalnya adalah Siswa Pertukaran
Pelajar (AFS) di Kaikohe, New Zealand (1994-1995), Post Gra-
duate Students Work Experienced in United Office, Geneva,
Switzertland, (May, 2003), Peserta Sandwich Like Program
Beasiswa Dikti, di Utrecht University, Belanda (September-
December 2011).

Iin Karita Sakharina 343


Aktif menjadi pembicara pada seminar nasional dan
konferensi internasional. Penulis Dapat dihubungi melalui E-
mail : ik.sakharina@gmail.com

344 Iin Karita Sakharina


EDITOR
Kadarudin, Lahir di Ujung Pandang, 14
Mei 1989. Menyelesaikan studi Strata
Satu (S1) dan meraih gelar Sarjana Hu-
kum (S.H.) pada bulan Januari 2010
dengan predikat lulusan Cum Laude.
Magister Ilmu Hukum (M.H). pada tahun
2012 dari Program Pascasarjana Universi-
tas Hasanuddin yang di danai oleh Bakrie
Centre Foundation (Beasiswa dari Yayasan
Bakrie). Lulus Pelatihan Mediator Bersertifikat Mahkamah
Agung (Tahun 2015), saat ini dalam tahap penyelesaian studi
Program Doktor/Strata Tiga (S3) Ilmu Hukum Pada Pasca-
sarjana Universitas Hasanuddin. Dapat dihubungi melalui E-
mail: kadarudin. alanshari@gmail.com.

Iin Karita Sakharina 345


346 Iin Karita Sakharina

Anda mungkin juga menyukai