Editor : Kadarudin
Layout : Ahmad Rizal Ali Samad
Gambar sampul diambil dari :
http://www. bkpp.jogjaprov.go.id
http://www. kadin-indonesia.or.id
SANKSI PELANGGARAN
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.
000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
KATA PENGANTAR v
Ketua Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.
BAB I
PENDAHULUAN 1
BAB II
NEGARA KESEJAHTERAAN & HAM 15
A. Negara Kesejahteraan 15
B. Konsep Hak Asasi Manusia 22
BAB III
KEWAJIBAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA PIHAK
DARI KOVENAN INTERNASIONAL HAK EKOSOB 69
A. Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 70
B. Proses Ratifikasi Kovenan oleh Indonesia 86
C. Kewajiban Negara Pihak 107
D. Implementasi Kovenan dalam Hukum Nasional 113
E. Laporan Negara Pihak kepada Komite 117
F. Pelanggaran terhadap Hak Ekosob 131
G. Hak Ekosob sebagai Justiciable Rights 139
Iin Karita Sakharina vii
BAB IV
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH BERKENAAN
DENGAN HAK ATAS KECUKUPAN PANGAN 149
A. Politik Pangan Pemerintah Indonesia 150
B. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat 158
C. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah 187
BAB V
KEMAJUAN PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN
YANG LAYAK DI INDONESIA 217
A. Kemajuan Implementasi Kovenan Pasca Ratifikasi 217
B. Implementasi di Daerah 250
BAB VI
PENDEKATAN APPROPRIATE PEMERINTAH
DALAM MEMENUHI KEWAJIBAN BAGI WARGA 269
A. Hubungan Pemerintah dan Masyarakat 271
B. Rencana Pemerintah 274
C. Program Pemerintah 278
D. Pola Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan
Hak atas Kecukupan Pangan oleh Pemerintah 315
BAB VII
PENUTUP 321
Nomor XVII/MPR/1998.
2 Iin Karita Sakharina
menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk
melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban yang
paling dasar dan bukan hanya melindungi hak asasi dari
pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap
pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau
pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan
hak asasi tersebut.
Menurut Antonio Cessae bahwa The principle at issue does
not impose on State the obligation to abide by specific regulations on
human rights. Rather it requires States to refrain from seriously and
repeatedly infringing a basic rights (for example, the right not to be
subjected to torture; or the right to a fair trial; or freedom from
arbitrary arrest), and from trampling upon a whole series of rights (for
instance, the fundamental civil and political rights, or social, economic,
rights, and cultural rights).2 Maksud dari pernyataan Antonio
Cessae adalah bahwa prinsip ini tidak membuat negara berdiam
diri pada aturan-aturan khusus dari HAM, dimana lebih
meminta negara untuk menetapkan ulang pelanggaran-
pelanggaran serius HAM, misalnya hak untuk tidak disiksa;
atau hak untuk mendapatkan proses pengadilan yang adil atau
bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang dan peneka-
8 Lihat harian Fajar edisi April 2008: Memberitakan kematian seorang ibu
bernama Dg. Besse yang tengah hamil sekitar 7 bulan bersama putera sulungnya
Bahri, dan juga kematian Darmawati di bulan Maret 2008
Iin Karita Sakharina 11
menunjukkan bahwa dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia
terdapat 100 kabupaten yang termasuk rawan pangan. 30
kabupaten atau 11,32 persen termasuk daerah yang rawan
pangan dan daerah yang sangat rawan pangan juga berjumlah
sama, yaitu 30 kabupaten atau 11,32 persen.9
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak pelaksanaan
dari ratifikasi atas kovenan internasional mengenai Hak Ekosob
khususnya pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak
cenderung tidak optimal sehingga kasus gizi buruk, kelaparan
dan rawan pangan masih banyak terjadi hampir diseluruh
Indonesia, dan jika hal ini dibiarkan maka bukan saja negara
gagal mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warga negaranya
namun negara juga akan gagal mewujudkan pemenuhan HAM
khususnya dibidang ekonomi bagi rakyatnya. Berdasarkan
fenomena yang terjadi sebagaimana di uraikan di atas, maka
telah menimbulkan isu bahwa Pemerintah Republik Indonesia
sebagai representasi dari negara diduga belum secara optimal
melaksanakan kewajiban terhadap hak atas kecukupan pangan
yang layak, oleh karena itu isu hukum yang hendak diteliti
adalah menyangkut kewajiban negara terhadap pemenuhan hak
atas kecukupan pangan yang layak di Indonesia (suatu tinjauan
terhadap kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan
A. Negara Kesejahteraan
Sebagaimana yang dikemukakan Neville Haris bahwa
The social security system a key element of the complex and higly
regulated network of conditional support provided by the state to
citizens who lack the financial or physical means to meet their basic
needs. This overall network of support has traditionally formed the
basic, primary, role of the welfare state. In fact, the “welfare State”
concept is sometimes used to describe part of the character of the
particular state itself in addition to indicating the approach taken by a
national state towards the delivery of welfare provision.11 (Penulis
terjemahkan secara bebas: bahwa sistem jaminan sosial adalah
merupakan elemen kunci dari sebuah regulasi yang kompleks
dan memiliki jaringan yang kuat dimana secara kondisional,
negara akan mendukung atau menyediakan kebutuhan bagi
warga negaranya yang kurang secara finansial atau secara fisik
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Jaringan ini secara
keseluruhan membantu pembentukan dasar, aturan dan
keutamaan dari negara kesejahteraan. Dalam kenyataannya,
Lihat Neville Harris & Parts., Social Law Security, Law in Context,
11
19 Ibid.
Lihat W. Friedman, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy
20
dalam FX. Joko Priyono, Negara dan Rule of Law Dalam Sistem Ekonomi
Campuran, (Makalah), (Semarang: Bagian Hukum Internasional Universitas
Diponegoro, 2002), hlm.1
20 Iin Karita Sakharina
mann, terdapat empat fungsi negara dalam sistem ekonomi
campuran,21 yaitu :
i. Negara sebagai “provider” (penyedia)
Fungsi ini berkaitan dengan konsep negara kesejahte-
raan (welfare state). Dalam kapasitas ini, negara bertang-
gung jawab untuk menyediakan dan memberikan pela-
yanan-pelayanan sosial untuk memberikan jaminan
standar hidup minimal dan memberikan kelonggaran
atau kebebasan kekuatan-kekuatan ekonomi.
ii. Fungsi negara sebagai “regulator” (pengaruh)
Negara menggunakan berbagai pengaruh kontrol khu-
susnya kekuasaan untuk mengatur investasi dalam
pembangunan industri, volume dan jenis ekspor dan
impor, melalui cara-cara seperti kontrol kurs (exchange
control) dan pengadilan lisensi impor dan industri.
iii. Fungsi negara sebagai “enterpreneur” (wirausaha)
Fungsi ini merupakan fungsi yang terpenting dalam
ekonomi campuran. Keterlibatan negara dalam kegia-
tan ekonomi dapat di lakukan melalui departemen
pemerintah semi otonomi maupun melalui korporasi-
korporasi yang dimiliki negara. Keterlibatan negara
dalam fungsi sebagai wirausaha dapat berbentuk pub-
lik dan privat.
iv. Fungsi negara sebagai “umpire” (wasit)
Negara dapat menjalankan fungsi sebagai wasit karena
negara memiliki kekuasaan legislatif, administratif dan
yudisil. Dalam hal ini, negara harus mengembangkan
standar keadilan seperti sektor ekonomi umum yang di
26 Ibid., hlm. 9
27 Lihat Jack Donnelly, Universal Human Rights in The Theory &
Practice, (London: Cornell University Press, 1989), hlm. 9
28Lihat dalam Kovenan Ekosob, General Comment Nomor 17 juga Pasal
15 Paragrap 1 (C) dari Kovenan Ekosob.
24 Iin Karita Sakharina
HAM menurut Mark Gibney29 adalah Human Rights are
core set of rights that human beings posses by simple virtue of their
humanity. (HAM adalah inti dari seperangkat hak yang dimiliki
manusia sebagai suatu kebaikan dari sisi kemanusiaan mereka)
These rights are best spelled out in a number of international human
rights instrumens, most notably, the so called International Bill of
Rights consisting of the Universal Declaration of Human Rights
(UDHR), the international Covenant on Economic, Social and Cultu-
ral Rights, (Economic Covenant), and the international covenant on
Civil and Political Rights (Political Covenant). Without attempting to
provide an exhaustive list, human rights include the following :
(a) The rights to life, liberty, and security of the person (UDHR,
Art. 3);
(b) The right to be free from torture or to cruel, inhuman, or
degrading treatment or punishment (UDHR Art. 5);
(c) The right to an effective remedy by the competent national
tribunal for violations of human rights (UDHR, Art. 8);
(d)The rights to work (UDHR, Art. 23);
(e) The right to education (UDHR, Art. 26);
(f) The right to social security (UDHR, Art. 22).
30 Ibid., hlm. 4
31 Ibid.
26 Iin Karita Sakharina
bukan saja sesuatu yang susah untuk didapatkan walaupun
tujuan yang ingin dicapai HAM sangat luas dan besar, yaitu
mewajibkan setiap perjanjian HAM internasional untuk menga-
tur bahwa HAM harus dinikmati oleh setiap orang dan tidak
boleh ada seorangpun hidup dengan tidak menikmati HAM).
36 Ibid., hlm. 3
37 Ibid.
30 Iin Karita Sakharina
abad ke 18. Usaha untuk melepaskan koloni-koloni itu
dari kekuasaan-kekuasaan Inggris karena disebabkan
adanya pungutan pajak yang sangat besar serta tidak
adanya perwakilan yang duduk dalam parlemen
Inggris, maka para pendiri Amerika Serikat ini
kemudian mencari suatu pembenaran seperti yang
tercantum dalam teori kontrak sosial dan hak-hak
kodrati dari Locke dan para filsuf Perancis. Kemudian
dengan dasar tersebut lahirlah Deklarasi Kemerdekaan
Amerika tahun 1776 yang disusun oleh Thomas
Jefferson, dengan gagasan-gagasan yang diungkapkan
secara tepat dan jelas38 :
“Kami menganggap kebenaran-kebenaran (beri-
kut) ini sudah jelas dengan sendirinya: bahwa
semua manusia diciptakan sama; penciptanya
telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu
yang tidak dapat dicabut; bahwa diantara hak-
hak ini adalah hak untuk hidup, bebas dan me-
ngejar kebahagiaan, bahwa untuk menjamin hak-
hak ini, orang-orang mendirikan pemerintahan,
yang memperoleh kekuasaannya yang benar
berdasarkan persetujuan (kawula) yang diperin-
tahnya. Bahwa kapan saja suatu bentuk pemerin-
tahan merusak tujuan-tujuan ini, rakyat berhak
untuk mengubah atau menyingkirkannya”. 39
38 Ibid, hlm. 4
39 Ibid.
Iin Karita Sakharina 31
Namun setelah itu masih ada lagi Deklarasi Hak Asasi
Virginia (the Virginia Declaration of Rights) yang disu-
sun oleh George Mason sebulan sebelum deklarasi
kemerdekaan, yang mencantumkan hak-hak spesifik
yang harus dilindungi dari campur tangan negara.
Walaupun para penyusun naskah Undang-Undang
Dasar Amerika Serikat memasukkan perlindungan
hak-hak minimum kedalam Undang-Undang Dasar
Amerika Serikat karena terpengaruh oleh Deklarasi
Virginia ini, namun baru pada tahun 1791, Amerika
Serikat mengadopsi Bill of Rights yang memuat semua
daftar hak-hak individu yang dijaminnya.40
40 Ibid., hlm. 5
41 Ibid., hlm. 5-6
32 Iin Karita Sakharina
Rosseau. Babak baru HAM ditandai dengan dikeluar-
kannya deklarasi HAM dan warga negara tahun 1789
yang memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa
pemerintah adalah suatu hal yang tidak menyenang-
kan yang diperlukan dan tidak diinginkan. Deklarasi
mengatakan bahwa kebahagiaan yang sejati haruslah
dicari dalam kebebasan individu yang merupakan hak-
hak manusia yang suci, tak dapat dicabut dan bersifat
kodrati.42
Terdapat persamaan konsep antara Bill of Rights dari
ketiga negara tersebut dalam memperjuangkan HAM
yaitu bahwa hak-hak tersebut adalah secara kodrati
berhubungan satu sama lain, saling melengkapi, ber-
sifat umum dan tidak dapat dicabut karena hak itu
dimiliki oleh individu semata-mata karena ia adalah
manusia dan bukan kawula hukum suatu negara. Ke-
dua bahwa perlindungan terbaik hak-hak itu terdapat
dalam kerangka yang demokratis. Ketiga bahwa batas-
batas pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan atau
dicabut oleh undang-undang. Hal ini dapat dilihat
sebagai bagian dari konsep the rule of law yang mensya-
ratkan bahwa hak harus dilindungi oleh undang-
undang, dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi
hak-hak individu, pemerintah wajib mematuhi persya-
ratan hukum yang konstitusional.43 Namun seperti
42 Ibid., hlm. 6
43 Ibid., hlm. 6-7
Iin Karita Sakharina 33
yang dikatakan oleh Macklem dan Jack Donelly44 dan
disetujui oleh semua ahli hukum bahwa hukum HAM
internasional baru masuk kedalam hukum interna-
sional setelah pecah perang dunia ke dua.
45Lihat lebih jauh dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 70
46 Ibid., hlm. 71
47 Ibid., hlm. 73
Iin Karita Sakharina 35
terdiri atas beberapa negara bagian. Rekayasa ini ditujukan
untuk menciptakan ketergantungan Indonesia sekaligus menja-
min kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.48
PBB akhirnya turun tangan dan mendesak agar diselesai-
kan malalui sebuah jalan damai, yakni konferensi antara
Indonesia dan Belanda dengan melibatkan pihak ketiga BFO
(Byeenkoomst voor Federal Overleg/Federal Consultative assembly)
yakni sebuah ikatan negara-negara bagian hasil bentukan
Belanda. Konferensi tersebut berlangsung di Den Haag dengan
nama konferensi Meja Bundar pada tanggal 23 Agustus sampai
dengan 2 Nopember 1949. Akhirnya setelah penyerahan kedau-
latan yang menjadi dasar berdirinya Negara Republik Indonesia
Serikat, maka direncanakanlah sebuah Undang-Undang Dasar
yang direncanakan oleh delegasi Republik Indonesia dengan
BFO. Rancangan UUD itu diberi nama Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (Konstitusi RIS).49 Secara anatomic, Konstitusi
RIS terdiri atas dua bagian, yakni Pembukaan dan Batang
Tubuh. Berbeda dengan jumlah-jumlah pasal dalam UUD 1945,
Konstutusi RIS memuatnya jauh lebih banyak, yakni 6 Bab dan
197 Pasal, namun demikian Konstitusi RIS hanya dimaksudkan
bersifat sementara.
48 Ibid.,
49 Ibid., hlm. 75
36 Iin Karita Sakharina
c. Perdebatan Ketiga Tahun 1950-1959
UUDS 1950 adalah bukti historis kembalinya Indonesia
kepada negara kesatuan, Hal tersebut, tentunya tidaklah muncul
dengan sendirinya, momentum peringatan hari ulang tahun
kelima RI tanggal 17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru
bagi iklim ketatanegaraan Indonesia.50Pada saat itu, akhirnya
Konstitusi RIS berubah menjadi UUD sementara (UUDS) 1950
yang menjadikan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.51
Era 1950-1959 merupakan periode demokrasi konstitu-
sional, meskipun dalam kurun waktu itu Indonesia hanya
bersandar dibawah UUDS 1950. Menurut Todung Mulya Lubis,
setelah Pemilihan Umum Tahun 1955, di dalam tubuh kons-
tituante terjadi kembali perdebatan sengit mengenai HAM.
Risalah Konstituante, khususnya dari komisi HAM, dengan
sangat lengkap merekam pikiran-pikiran yang berkembang
tentang HAM. Perdebatan mengenai hak-hak asasi manusia
pada periode ini akhirnya terhenti tanpa kelanjutan.
Human Rights, 6th Edition, (New York: Oxford University Press, 2010), hlm. 39
58 This Declaration was adopted by General Assembly Resolution 63 / 116
on 10 December 2008, without a vote, tulisan ini juga ada pada buku Brownlie,
edisi ke-6, hlm. 304
44 Iin Karita Sakharina
dan menghormati setiap martabat manusia, kebebasan
dan persamaan-persamaan yang ada pada setiap manu-
sia, dimana kita semua menyerukan pada negara-negara
untuk mempromosikan dan melindungi semua hak-hak
manusia. Kita harus menjalin kerjasama internasional dan
dialog antar bangsa berdasarkan prinsip saling menghor-
mati dan mengerti satu sama lain untuk tercapainya
tujuan ini)”.
60 Lihat Wenche Barth Eide & Uwe Kracht (eds), 2005, Food And Human
Rights In Development, Volume 1, Legal institution Dimensions And Selected
topic, (Oxford: Intersentia, 2005), hlm. 106
Iin Karita Sakharina 47
untuk menyediakan pendampingan atau pelayanan
guna terealisasinya hak-hak tersebut.61
69 Lihat United Nations, Human Rights, The Right to Food, Fact Sheet
No. 34, (Geneva: FAO, 1945), hlm. 2
70 Komentar Umum Nomor 12 Hak Ekosob.
54 Iin Karita Sakharina
pasar lokal hingga level rumah tangga) harus dapat diterima
secara kultural (sesuai dengan kultur pangan atau pantang
makanan yang berlaku), selain dari itu, tersedianya pasok
pangan harus memenuhi tuntutan gizi secara kuantitas (energy)
dan kualitas (dimana tersedianya semua gizi utama, termasuk
mikronutrisi seperti vitamin dan iodine) dan tak kalah penting-
nya, aman (bebas dari faktor berbahaya dan tercemar) serta
bagus kualitasnya (misalnya rasa dan bentuknya).71 Komite hak
ekosob beranggapan bahwa inti dari hak atas bahan pangan
yang layak72 adalah :
1. Ketersediaan (availability)
Ketersediaan bahan pangan dalam kualitas dan kuan-
titas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
makanan individu, bebas dari subtansi yang meru-
gikan serta bisa diterima dalam budaya setempat.
2. Akses (accessibility)
Aksesibilitas bahan pagan itu berkesinambungan dan
tidak mengganggu pemenuhan HAM lainnya.73 Akses
pangan juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memperoleh manfaat dari sesuatu yang dapat
diolahnya menjadi bahan makanan. Stabilitas pasok
pangan dan akses pangan mengandaikan adanya
71 Lihat Asbjorn Eide dalam Ifdhal Kasim. Op. Cit., hlm. 102
72 Ibid.
73 Lihat Komentar Umum Nomor 12 Hak Ekosob.
Iin Karita Sakharina 55
lingkungan yang lestari, yang berarti bahwa terdapat
kebijaksanaan publik dan manajemen komuniti atas
sumber daya alam yang telah mendukung persediaan
pangan, dan juga ketahanan ekonomi dan sosial dalam
hal kondisi dan mekanisme untuk mengamankan akses
pangan.74
Keberlangsungan ekonomi dan sosial menuntut pem-
bagian pendapatan yang adil dan pasar yang efektif,
termasuk dukungan informal berbagai masyarakat dan
jaringan pengaman. Dukungan itu bisa berupa skim
jaminan pengaman sosial masyarakat dan juga ber-
bagai bentuk transaksi masyarakat, kegiatan-kegiatan
swadaya dan jaringan solidaritas.75 Sekertaris Jenderal
(Sekjen) PBB dalam General Assembly pada bulan
Agustus 2002 menyatakan bahwa76 perdagangan bebas
dan bioteknologi untuk dirinya sendiri juga sulit untuk
memecahkan masalah kelaparan dunia, dan dapat
seringkali menciptakan rintangan bagi realisasi hak
atas pangan, sebagaimana pelapor khusus PBB telah
menjelaskan dalam laporan sebelumnya. Kemudian
Sekjen PBB menyatakan, bahwa Special Rappoteur on the
right to food, percaya bahwa akses ke tanah adalah ele-
men kunci yang penting untuk menghapus kelaparan
di dunia. Hal ini berarti bahwa pilihan kebijaksanaan
seperti reforma agraria harus memainkan peranan
74 Lihat Asborn Eide dalam Ifdhal Kasim. Op. Cit., hlm. 102
75 Ibid.
76 Taufiqul Mujib, Hak Atas Pangan sebagai Hak Konstitusional,
(http//taufiqul mujib.wordpress.com/2001/09/30). Diakses Pada Hari Jumat, 7
Oktober 2011, Pukul: 21:45
56 Iin Karita Sakharina
penting dalam suatu strategi suatu negara dalam hal
keamanan pangan, di mana akses atas tanah adalah
mendasar. Seringkali reforma agraria dinyatakan seba-
gai pilihan yang ketinggalan jaman dan tidak efektif,
tetapi bukti tidaklah mendukung pernyataan itu.77
Rakyat harus mempunyai akses untuk membebaskan
dirinya dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan,
sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan,
dan rasa takut. Untuk itu, rakyat harus punya aset
yang bisa dikelola dan punya akses untuk member-
dayakannya. Petani harus punya tanah dan punya
akses terhadap modal, teknologi, pasar, manajemen
dan seterusnya. Petani harus punya alat-alat produksi,
punya kapasitas dan kemampuan untuk menyuarakan
kepentingan-kepentingannya, punya akses untuk
melahirkan inovasi-inovasi sosial yang menjadi prasya-
rat lahirnya perubahan sosial di pedesaan.
3. Penerimaan (acceptability)
Seluruh sarana produksi pangan harus menghormati
nilai dan budaya setempat. Penerimaan budaya dan
konsumen berarti bahwa juga harus dipertimbangkan,
sebisa mungkin unsur-unsur yang non nutrien yang
terkandung dalam makanan. Juga menginformasikan
pendapat konsumen tentang sifat dari suplai bahan
makanan yang bisa diakses.
77 Ibid.
Iin Karita Sakharina 57
4. Kualitas (quality)
Selain ketiadaan akses seperti telah disebutkan di atas,
persoalan pangan juga tidak terlepas dari fenomena
banjir makanan yang tidak sehat. Sebagian besar mas-
yarakat acapkali dihadapkan pada pilihan pangan
murah tidak sehat, di mana di dalamnya mengandung
bahan tambahan makanan (BTM) dan bahan pengawet
seperti boraks, formalin, sulfit, berbagai pewarna yang
disebarkan bukan hanya oleh pedagang kecil melain-
kan juga oleh pabrik-pabrik besar.
88 Lihat Azizur Rahman Chowdhury & Jahid Hossain Bhuiyan, Op. Cit.,
hlm. 131
70 Iin Karita Sakharina
sipol dan berlaku pada tahun 1976.89 Perjanjian ini adalah
bersifat legally binding (mengikat secara hukum) dan menjadi
kewajiban bagi negara peserta. Kovenan hak ekosob merupakan
perjanjian internasional yang paling penting untuk dikodifikasi
“generasi kedua” HAM dan memuat hak-hak ekonomi yang
penting antara lain hak untuk bekerja, hak untuk kondisi kerja
yang adil dan menyenangkan, kemudian hak-hak sosial ini
antara lain, hak atas standar kehidupan yang layak, meliputi hak
atas atas pangan, sandang, dan papan, hak atas perlindungan
keluarga, dsb. Kemudian hak budaya, antara lain hak-hak atas
atas pendidikan, perlindungan kekayaan intelektual.
Berdasarkan perkembangan historis di atas, Karel Vasak90
membagi HAM ke dalam tiga generasi, yakni:
(a) Generasi pertama, hak-hak sipil dan politik (liberté);
(b) Generasi kedua, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
(egalité);
(c) Generasi ketiga, hak-hak solidaritas.
Lihat Satya Arinanto, Op., Cit., hlm. 78; Lihat juga Irene Hadi Prayitno,
90
93 Ibid.
Iin Karita Sakharina 73
tian yang jauh lebih serius daripada sebelumnya. Apalagi di
dalam praktik, khususnya di negara-negara dunia ketiga, hak
ekosob biasanya terabaikan. Indonesia, dalam konteks ini,
merupakan salah satu bagian dari negara yang belum memak-
simalkan diri menjamin hak ekosob94.
Kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memenuhi
hak ekosob bagi warga negaranya didasarkan atas komitmen
internasional yang terkandung dalam perjanjian internasional
tentang hak Ekosob. Negara Republik Indonesia berkewajiban
memenuhi hak-hak ekosob bagi warga negara Indonesia.
Kendati sama-sama sebagai HAM maupun satu sama lain tidak
dapat dipisahkan, tetapi pemenuhan atau pelaksanaan hak
ekosob berbeda dengan pelaksanaan hak sipol. Perbedaan
terletak pada peran negara dalam menjalankan kewajiban dan
tanggung jawabnya.95
Pelaksanaan hak sipol akan menjadi optimal jika peran
atau campur tangan negara sangat minimamal. Jika negara
mencampuri kebebasan setiap orang, maka hak atas kebebasan
pasti terancam. Peran negara cukup menjamin pelaksanaan hak-
hak ini melalui konstitusi dan Undang-Undang. Berbeda dengan
101 Lihat F. Viljoen dalam buku Ida-Eline Engh. Op. Cit., hlm. 199
78 Iin Karita Sakharina
tentang hak atas perumahan pada Pasal 11 ayat (1) Kovenan,
diberlakukan secara sama pada laki laki maupun perempuan
sehingga dengan demikian, perempuan mempunyai hak yang
sama atas pewarisan rumah, suatu yang tidak terjadi pada
beberapa Negara. Dengan demikian, Pasal 3 dan Pasal 2 ayat (2)
secara bersama-sama memberikan perlindungan hukum yang
signifikan terhadap segala bentuk diskriminasi dalam mengejar
hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Selain mengatur tentang persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan, kovenan internasional ini juga memuat bebe-
rapa pembatasan-pembatasan untuk negara yang telah dan akan
menjadi negara pihak pada kovenan ini. Pembatasan-pemba-
tasan tersebut diatur di dalam beberapa pasal yang ada dalam
kovenan ini.
Pasal 4
Negara Pihak Kovenan ini mengakui bahwa, kalau
pemenuhan hak yang dijamin oleh Negara sesuai dengan
Kovenan ini, Negara hanya dapat mengenakan pemba-
tasan terhadap hak tersebut sesuai dengan ketentuan
hukum yang sesuai dengan sifat hak tersebut, dan
semata-mata di lakukan untuk meningkatkan kesejah-
teraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pasal 5
1. Kovenan ini tidak boleh ditafsirkan sebagai membe-
rikan hak kepada suatu negara, perorangan atau
Iin Karita Sakharina 79
kelompok, untuk terlibat dalam suatu kegiatan apapun
atau melaksanakan suatu tindakan apapun, yang
bertujuan merusak hak atau kebebasan yang diakui
dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak tersebut
dalam tingkat yang lebih besar dari pada yang
tercantum dalam Kovenan ini.
2. Tidak ada pembatasan atau pengurangan apapun ter-
hadap HAM yang diakui atau terdapat di suatu nega-
ra berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau
kebiasaan, dapat diterima dengan alasan bahwa kove-
nan ini tidak mengakui hak itu atau mengakuinya
pada tingkat yang lebih rendah.
105 Lihat Lord Mac Nair, The Law of Treaties (London: Oxford Clorendon
Press, 1967), hlm. 215
106 Lihat Eddy Damian, Beberapa Pokok Materi Konvensi Wina Tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional
Universitas Indonesia, Volume 2 Nomor 3, Desember 2003, hlm. 25
86 Iin Karita Sakharina
a. Ratum habere dan ratum ducere
b. Ratum facere dan ratum alicui case.
118 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op., Cit., hlm. 131
119 Ibid.
120 Damos Dumoli Agusman, Op. Cit., hlm. 2
94 Iin Karita Sakharina
penyerahan instrumen ratifikasi. Dalam perjanjian bilateral,
biasanya ini di lakukan dengan pertukaran instrumen yang
dibutuhkan antara dua negara yang bersangkutan, sedangkan
dalam perjanjian multilateral, biasanya ditunjuk satu pihak yang
mengumpulkan instrumen ratifikasi dari semua negara dan
memberitahukan kepada semua pihak mengenai keadaan itu.
Misalnya, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan
bertindak sebagai penyimpan (depositary) instrumen ratifikasi.121
berkaitan dengan hal ini Anthony Aust menyatakan bahwa:
“Ratification consists of (1) the execution of an instrumen of
ratification by the executive and (2) either its exchange for the
instrumen of ratification of the other state (bilateral treaty) or
its lodging with the depositary (multilateral treaty)".122
Tabel 1
Jadwal Acara Pembahasan RUU Pengesahan
Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob
134 Lihat Komentar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 10, 11, 12, dan 13
Iin Karita Sakharina 109
Bantuan kerjasama internasional dimungkinkan dalam
hal pemenuhan hak-hak ekonomi sesuai dengan prinsip yang
terkandung dalam Pasal 55 dan 56 Piagam PBB, yang diakui
sebagai prinsip-prinsip dalam hukum internasional, ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Kovenan, kerjasama Internasional
untuk pembangunan dan oleh karena perwujudan hak ekosob
adalah kewajiban dari segala bangsa, khususnya dibebankan
kepada negara-negara yang mampu memberikan bantuan kepa-
da negara lain sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi
Hak atas Pembangunan yang telah diadopsi oleh Sidang Umum
PBB dalam resolusinya nomor 41/28 tanggal 4 Desember 1986.135
Berkaitan dengan kewajiban Indonesia terhadap hak atas
pangan, sebagaimana topik dalam tulisan ini, maka Indonesia
sebagai negara peratifikasi harus menempuh langkah-langkah
sebagai kewajiban utamanya untuk secara progresif mewujud-
kan secara penuh hak atas bahan pangan yang layak, seperti
halnya yang termuat dalam komentar umum nomor 12 paragraf
(14)136, bahwa setiap negara diwajibkan untuk menjamin semua
orang di wilayahnya dapat mengakses bahan makanan pokok
yang memadai, layak dan aman secara gizi, untuk menjamin
144 Hasil korespondensi penulis melalui email dengan Staf pada Direktorat
Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI pada hari
Senin, 05 November 2012.
145Lihat laporan periodik Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia
Tahun 2011
Iin Karita Sakharina 127
kemajuan yang telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia dalam
pemenuhan hak atas pangan, antara lain, bahwa Pemerintah
Indonesia berkomitmen untuk memastikan ketersediaan bahan
makanan yang memenuhi kebutuhan gizi, baik ditingkat pusat
maupun daerah, terutama mengurangi adanya perbedaan antar
daerah, komitmen ini, ditunjukkan dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan, yang mensyaratkan pemerintah untuk memasukkan
dasar pangan yang dibutuhkan dalam hal pemenuhan kualitas
dan kuantitas. Kemajuan yang dibuat melalui beberapa program
dibidang produksi hasil-hasil pertanian, distribusi, akses dan
sistem yang biasa menyelesaikan masalah dibidang pangan
sebagaimana halnya dengan pendampingan terhadap provinsi-
provinsi yang masuk dalam kategori miskin dengan kasus
tingkat kelaparan yang tinggi.146
Kemudian juga disebutkan bahwa proporsi dari populasi
penduduk yang mengkonsumsi lebih dari 2000 kalori masih
tinggi. Berdasarkan pada rata-rata konsumsi energi yang dibu-
tuhkan setiap harinya perkapita, terlihat peningkatan yang
cukup signifikan dalam hal pengurangan kekurangan gizi di
Indonesia. Data dari Sensus Nasional Tahun 2002-2008 menun-
Lihat Right to Food, Laporan Nomor 156 Laporan Periodik Hak ekosob
146
Tabel 2
Kebutuhan Kalori Tahun 2002 – 2008
147 Laporan Nomor 157 tentang Right to Food, Ibid. Source: Ministry of
National development Planning/National Development Planning Agency of the
Republic of Indonesia, The Roadmap to Accelerate Achievement of the MDGs in
Indonesia, 2010.
Iin Karita Sakharina 129
Dari tabel diatas, terlihat ada peningkatan yang signifikan
terhadap kebutuhan kalori yang dikeluarkan sejak tahun 2002
sampai pada tahun 2008. Grafik pada tabel menunjukkaan ada-
nya peningkatan kalori yang dikeluarkan mengalami pening-
katan tiap dua tahunnya. Hal ini tentunya memperlihatkan
bahwa ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal
pemenuhan kalori warganya sejak tahun 2002, yang belum
memenuhi standar minimum pemenuhan kebutuhan kcal
perkapita sampai pada tahun 2008 yang telah menjadi 2,038 kcal
peracpita dari standar kebutuhan sebesar 2000 kcal perkapita.
Kemudian ada beberapa peraturan kebijaksanaan yang
dibuat oleh pemerintah berkaitan dengan implementasi dari
hak-hak ekosob khususnya dibidang pangan, seperti Instruksi
Presiden Nomor 3 Tahun 2010 yang mensyaratkan Rencana Aksi
Nasional (RAN) untuk Pangan dan Nutrisi yang mencakup
pelaksanaan di daerah dan Provinsi-Provinsi. RAN Pangan dan
Nutrisi untuk tahun 2011-2016, terdiri dari 5 pilar :
1. upaya untuk meningkatkan kelompok nutrisi
2. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan
3. meningkatkan kuality kontrol dan ketahanan pangan
4. menigkatkan kebersihan dan gaya hidup sehat
5. penguatan terhadap lembaga yang bergerak dibidang
pangan dan nutrisi.148
159 Ibid.
160 Lihat Eleanoor Roosevelt dalam Cristopher Golay, Ibid., hlm. 29
161 Lihat Right to Food Guideline, 7.1 and 7.3; Lihat juga : Cristopher
Golay, Ibid., hlm. 29
Iin Karita Sakharina 143
sebagai hak yang dapat diajukan secara hukum seperti yang
dikatakan Golay dalam tulisannya bahwa :
“in all legal system in which access to justice is ensured in cases
of violations of the right to food, in India, South Afrika,
argentina, Colombia, Switzerland, The African and American
continents, and at the international level, the right to food is
enshrined legal remedies are available, and judicial and quasi
judicial bodies recognize the justiciability of the right to
food”.162
163lihat Bab XV, Ketentuan Pidana Pasal 133 sampai 148, UU Nomor 18
Tahun 2012 Tentang Pangan
146 Iin Karita Sakharina
undang-undang pangan yang baru ini juga mengatur sanksi
kepada pejabat atau penyelenggara negara yang membantu
terjadinya tindak pidana164
167 Ibid.
168 Ibid.
152 Iin Karita Sakharina
Pangan lokal dikembangkan karena Indonesia memiliki
keragaman hayati yang sangat kaya dan belum dimanfaatkan
secara optimal. Keanekaragaman tersebut mencakup tingkat
ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetik, yang melibatkan
makhluk hidup beserta interaksi dengan lingkungannya. Pro-
dusen pangan nasional sudah saatnya menghidupkan kembali
sumber-sumber pangan lokal untuk menghentikan kemerosotan
keragaman varietas jenis pangan yang dibudidayakan oleh
petani. Apabila kondisi ini terus dikembangkan di seluruh wila-
yah nusantara, maka kemampuan nasional untuk meningkatkan
produksi pangan pasti akan meningkat sekaligus menghin-
darkan ketergantungan terhadap jenis pangan tertentu.169
Kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah konsu-
men domestik yang besar menjadi pasar dalam negeri yang
potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Disamping
itu pemerintah telah berhasil dalam melakukan pengendalian
tingkat inflasi, penurunan tingkat kemiskinan dan pengang-
guran. Di sisi lain, situasi dunia akibat perubahan iklim dan
faktor-faktor yang lain, seringkali menyebabkan supply pangan
global terganggu sehingga menimbulkan fluktuasi harga secara
cepat. Perdagangan bebas dan Free Trade Area akan menciptakan
global economic connectivity dan borderless state. Asia menjadi
169 Ibid.
Iin Karita Sakharina 153
pusat pertumbuhan ekonomi di dunia sehingga posisi Indonesia
yang strategis akan mendapatkan keuntungan. Dependency ratio
negara maju meningkat seiring dengan majunya pertumbuhan
ekonomi negara Asia. Situasi ini mengharuskan Indonesia
memenuhi kecukupan pangannya diutamakan dari produksi
dalam negeri. Potensi sumber pangan yang beragam dan letak
geografis Indonesia di jalur khatulistiwa menyebabkan Indo-
nesia relatif aman dari dampak global climate change, merupakan
opportunity yang tidak boleh dilewatkan. Diperkuat dengan
meningkatnya kesadaran terhadap green economy memberikan
peluang Indonesia khususnya sebagai negara penyuplai pangan
dunia (feed the world).170
Kemampuan memproduksi pangan nasional diimbangi
dengan keberadaan lembaga pemerintah yang menjalankan
fungsi sebagai stabilisator harga pangan strategis di pasar dalam
negeri sekaligus mengelola sistem logistik pangan pemerintah.
Pemerintah saat ini telah menetapkan Perum Bulog menjalankan
fungsi tersebut, agar harga pangan tidak berfluktuasi dan
cadangan pangan untuk kondisi darurat tetap terjaga. Bulog
diharapkan mampu menjaga harga pangan di pasar lokal
sehingga petani menerima harga jual yang tetap memberikan
keuntungan bagi usaha taninya dan konsumen dapat membeli
170 Ibid.
154 Iin Karita Sakharina
pangan dengan harga terjangkau. Setidaknya untuk beberapa
produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula,
daging sapi dan minyak goreng.171
Indonesia juga saat ini tengah menjalankan 4 strategi
politik pangan172, yaitu :
Pertama, Regulasi. Harmonisasi implementasi Peraturan
dan Undang-Undang antar kementerian lembaga/legislatif dan
antara pusat/daerah; Sinergitas program Kementerian/Lem-
baga, fokus pada sektor pertanian dalam arti luas (mencakup
pertanian tanaman pangan, peternakan, hortikultura, perkebu-
nan, perikanan, dan kehutanan) ; Alokasi anggaran APBD untuk
pembangunan sektor pertanian yang signifikan; Penguatan
Kelembagaan yang terkait dengan pertanian, seperti R & D,
Perbankan dan penyuluhan; dan Sinergitas Akademisi, Bisnis,
Government (ABG) dan LSM untuk peningkatan inovasi dan
produktivitas.
Kedua, Ketersediaan. Kesungguhan Pemerintah Daerah
untuk mengembangkan potensi pangan lokal di wilayah
masing-masing; Revitalisasi BUMN pangan guna meningkatkan
produksi untuk mendapatkan economy of scale sehingga dapat
menjamin ketersediaan pangan; dan dukungan pemerintah
171 Ibid.
172 Ibid.
Iin Karita Sakharina 155
untuk pengembangan sistem perbenihan dan perbibitan melalui
pemanfaatan hasil riset baik oleh lembaga pemerintah, pergu-
ruan tinggi, swasta, maupun masyarakat.
Ketiga, Keterjangkauan. Melakukan penataan sistem
logistik melalui perbaikan infrastruktur jalan, perhubungan dan
pergudangan agar dapat menurunkan biaya logistik untuk
meningkatkan daya saing; Memperpendek supply chain pangan
melalui peningkatan peran Bulog untuk stabilisasi harga
komoditas pangan strategis dan menekan pasar yang bersifat
oligopoli; dan Membangun Sistem Pengawasan terhadap
distribusi pangan dan berbagai subsidi input produksi.
Keempat, Ketercukupan Gizi. Perbaikan gizi masyarakat
melalui peningkatan konsumsi protein dan menurunkan kon-
sumsi karbohidrat sesuai dengan Pola Pangan Harapan; Pening-
katan diversifikasi konsumsi pangan lokal melalui pengemba-
ngan dan pemanfaatan sumber pangan di masing-masing wila-
yahnya; Modernisasi industri pangan lokal mulai dari pengo-
lahan hingga pengemasan sehingga dapat menjadi kebanggaan
dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat daerah; Pening-
katan keamanan pangan untuk menjamin keselamatan konsu-
men melalui pemberdayaan Badan POM dan Laboratorium
Universitas di masing-masing daerah.
177 Ibid.
178 Ibid., hlm. 2
179 Ibid.
Iin Karita Sakharina 159
Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian
tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan pangan yang
semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecende-
rungan kenaikan harga pangan pokok dan volume impor
pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan
kedelai tetapi juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras
dan garam yang sebelumnya dianggap cukup melimpah di
dalam negeri. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menya-
takan bahwa indikator makro tidak lagi mencerminkan gam-
baran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan kecuku-
pan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri.
Terlebih lagi, pada saat perubahan iklim, akan berakibat pada
kekeringan dan kegagalan panen di sebagian besar wilayah
lumbung pangan nasional, kondisi ini akan menjadi ancaman
atas produksi pangan. Kita harus memiliki sikap kritis dalam
memahami penyajian data statistik karena berimplikasi terhadap
persoalan paradox di sektor pertanian Indonesia. Anggaplah
perhitungan produktivitas telah cukup akurat jika dilakukan
dengan melakukan pendataan langsung di beberapa lokasi
panen.180
Persoalan yang kemudian muncul adalah, bahwa sejak
tahun 2008 BPS tidak pernah lagi memunculkan data luasan
180 Ibid.
160 Iin Karita Sakharina
lahan sawah. Walaupun, data tentang luasan lahan panen tersaji
dan selalu menunjukkan perluasan lahan panen yang cukup
signifikan. Misalnya, dari luasan lahan panen 12,347 juta hektar
(ha) pada tahun 2008 menjadi 13,566 juta ha di tahun 2011.
Paradoxal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan dari sebagian
kalangan yang menyakini bahwa tingkat konversi lahan
pertanian terjadi secara massive di wilayah lumbung pangan di
Jawa, akibat desakan permintaan lahan untuk permukiman dan
kawasan Industri. Kementerian Pertanian memang telah
menargetkan tambahan lahan sawah baru sebesar 100.000 ha per
tahunnya, akan tetapi Ketua KTNA, Winarno Tohir menyatakan
bahwa laju konversi lahan mencapai 110.000 ha per tahun atau
terjadi setidaknya defiit 10.000 ha per tahun. Terlepas dari data
mana yang lebih layak dipercaya, akumulasi perhitungan
produksi dari hasil estimasi tingkat produktivitas, luasan lahan
produktif dan luasan panen jika diagregasi secara makro dapat
menimbulkan bias data yang semakin besar.181
Untuk mengetahui kemampuan produksi dalam meno-
pang kebutuhan pangan masyarakat, harus dilihat dari data
peningkatan produksi padi dibandingkan dengan data konsum-
si pangan. Namun, persoalan lagi-lagi muncul dalam proses
pendataan konsumsi pangan. Paparan data menunjukkan,
181 Harian Kompas, edisi Jumat, 14 Oktober 2011
182 Ibid.
162 Iin Karita Sakharina
rakan konsumsi pangan beras menurun menjadi 113 kg per
kapita183.
Dengan data konsumsi pangan yang baru, maka total
konsumsi beras nasional turun menjadi 26,781 juta ton atau
berarti terdapat tambahan surplus beras dari 6,162 juta ton
menjadi 14,056 juta ton beras pada tahun 2011 ini. Surplus beras
sebesar 14,056 juta ton merupakan surplus yang cukup besar,
karena berarti tingkat stok pangan beras mencapai 52,5 persen
dari total kebutuhan pangan beras nasional. Over supply yang
begitu besar tersebut tidak menghalangi niat pemerintah untuk
tetap melakukan rencana impor beras yang mencapai 1,6 juta
ton184.
Alasan yang dibuat pemerintah, karena impor beras
merupakan bentuk dari upaya pemerintah untuk membangun
kepercayaan terhadap stok pangan yang cukup, alasan itu sulit
diterima karena stok beras yang berlimpah. Terlebih-lebih jika
pemerintah juga akan melakukan kenaikan harga pangan pada
saat kondisi stok melimpah. Pemerintah bisa saja berdalih
bahwa distribusi, biaya transportasi, dan ulah pedagang
spekulan yang mempengaruhi kenaikan harga pangan. Dalam
hal ini, ada persoalan akurasi data produksi dan konsumsi
183 Ibid.
184 Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI. Op. Cit., hlm. 3
Iin Karita Sakharina 163
pangan yang menyebabkan adanya bias data produksi perta-
nian. Data peningkatan harga komoditi beras kualitas medium
(IR 64) secara nasional juga menunjukkan kecenderungan
peningkatan dari Rp 7139/kg pada 3 Januari 2008 meningkat
menjadi Rp 7600/kg, dan untuk beras kualitas medium per 20
Oktober 2011 terjadi peningkatan yang lebih besar dari
perkiraan laju inflasi sepanjang tahun 2011. Pembentukan harga
beras di tahun 2011 merupakan akumulasi kenaikan harga beras
yang selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
misalnya untuk beras kualitas medium harganya Rp. 4360/kg
pada tahun 2006, lalu meningkat menjadi Rp. 5444/kg pada
tahun 2008 dan mencapai Rp. 6507/kg pada tahun 2010.185
Selain terjadi bias data produksi dan konsumsi, ada data
peningkatan produksi beras namun tidak diikuti dengan
peningkatan kesejahteraan petani selaku produsen pangan. Hal
ini menunjukkan, tidak adanya korelasi positif antara pening-
katan produksi pangan dengan tingkat kesejahteraan petani dan
adanya kesenjangan yang tinggi di sektor pertanian yang
berpotensi sebagai ancaman bagi penurunan daya tarik sektor
pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Dalam jangka
panjang, kondisi ini dapat memperburuk kemampuan Indonesia
dalam memproduksi pangan. Selain itu, kenaikan harga
186 Ibid.
Iin Karita Sakharina 165
(yang pada bulan Juli 2011 sudah mencapai Rp 4067/kg untuk
gabah kering giling di tingkat harga penggilingan).187
Oleh karena itu, selama institusi BPS belum mencatat
adanya kenaikan harga gabah dan tidak dalam kondisi cuaca
ekstrim, maka Bulog tak akan punya dasar dalam menaikkan
tawarannya atas komoditi gabah/beras tersebut yang tentu saja
berdampak pada daya serap Bulog dalam mempertahankan stok
pangan. Selain itu, pembelian gabah/beras oleh Bulog tidak
dilakukan secara langsung kepada petani produsen tetapi
melalui mitra kerja Bulog yang umumnya merupakan pedagang
atau pemilik penggilingan gabah skala besar sehingga petani
sama sekali tidak menikmati keuntungan.188
Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian menuju
kepada penguatan ketahanan pangan sudah cukup banyak.
Berbagai peraturan kebijaksanaan dan program di sektor perta-
nian sudah dilakukan dalam upaya meningkatkan hasil pro-
duksi pertanian, seperti pemanfaatan benih unggul, penyediaan
pupuk dan obat-obatan hingga pengolahan lahan pertanian.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah merealisasikan
anggaran belanja dalam kurun waktu 2005-2010 yang terus
meningkat rata-rata 25,1 persen per tahun, yaitu dari Rp 2,7
187 Ibid.
188 Ibid.
166 Iin Karita Sakharina
dalam tahun 2005 dan menjadi Rp 8,2 triliun (0,1 persen
terhadap PDB) dalam tahun 2010. Porsi alokasi anggaran belanja
Kementerian Pertanian terhadap total belanja Kementerian/
Lembaga Pemerintah Indonesia, meningkat sebesar 0,1 persen,
yaitu dari 2,2 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 2,3
persen dalam tahun 2010.189
Perkembangan realisasi subsidi di bidang pangan
meliputi subsidi beras miskin (raskin) yang meningkat dari Rp
6,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 13,0 triliun pada tahun
2009 atau sebesar 0,2% dari PDB. Subsidi pupuk juga terus
meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 48,8% dari sebesar
Rp. 2,5 triliun menjadi Rp. 18,3 triliun pada periode tahun 2005-
2010. Demikian juga, terdapat peningkatan alokasi subsidi benih
yang cukup besar yaitu dari Rp. 0,1 triliun menjadi Rp. 1,6
triliun pada periode tahun 2005-2009 atau alokasi subsidi benih
tumbuh rata-rata 72,7% per tahun.190
Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian
Pertanian selama kurun waktu 2005-2010, masih tetap berkaitan
dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. yaitu dalam
bentuk penciptaan lapangan kerja terutama di pedesaan, dan
189 Data Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RUU APBN 2011,
(Jakarta: Kementerian Keuangan, 2011).
190 Ibid.
Iin Karita Sakharina 167
pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan ketahanan pangan
nasional. Tingkat ketersediaan pangan minimal 90 persen dari
kebutuhan domestik, hal ini untuk mengamankan kemandirian
pangan. Akan tetapi, persoalan pertanian tidak sebatas pada
aktivitas budidaya semata. Persoalan yang paling mendasar
adalah ketersediaan lahan dan infrastruktur pertanian. Dari sisi
infrastruktur pertanian, diketahui bahwa sebagian besar jari-
ngan irigasi dalam kondisi yang kurang baik. Padahal pada
tahun 2011, alokasi anggaran untuk pengelolaan sumberdaya air
mencapai Rp. 6,3 triliun, sedangkan program penyediaan dan
pengembangan sarana dan prasarana pertanian sebesar Rp. 2,7
triliun. Meskipun, jaringan irigasi terus mengalami peningkatan
dari tahun 2005-2009, namun menurut Nainggolan masih ada
sekitar 22,4 persen jaringan irigasi yang rusak. Kondisi ini tentu
saja mengurangi kapasitas sektor pertanian dalam mening-
katkan hasil produksi. Disamping ketersediaan lahan, infra-
struktur usaha tani merupakan isu penting untuk meningkatkan
produktivitas pertanian.191
Persoalan lain yang selalu menjadi masalah klasik di
sektor pertanian, adalah kondisi kemiskinan di tingkat petani
pedesaan masih cukup tinggi. Data statistik menunjukkan dari
201 Ibid.
208 Ibid.
180 Iin Karita Sakharina
ton per ha per tahun, produksi potensial marikultur laut bisa
mencapai 48 juta ton per tahun.209
Dengan potensi sebesar ini, kecukupan protein bagi
penduduk Indonesia per hari perkapita sebesar 52 g pada
tingkat konsumsi dan 57 g pada tingkat penyediaan seharusnya
bisa dipenuhi. Akan tetapi, walaupun Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1985 tentang Perikanan telah diganti dengan Undang-
Undang Nomor 31 tahun 2004, ketersediaan ikan sebagai
sumber protein nabati tetap saja masih belum dapat dipenuhi.
Ironisnya, salah satu kelompok penduduk miskin yang rentan
rawan pangan adalah para nelayan.210
Peraturan Kebijaksanaan pemerintah guna menunjang
ketahanan pangan nasional yang dibuat dalam bentuk peraturan
perundang-undangan diuraikan dalam tabel sebagai berikut211 :
209 Ibid.
210 Ibid.
211 Kementerian Pertanian. Kompendum / Kodifikasi Hukum Bidang
Pangan. (Jakarta: Jaringan Komunikasi dan Informasi Hukum, Biro Hukum dan
Humas, 2010), hlm. ix
Iin Karita Sakharina 181
Tabel 3
Peraturan Bidang Pangan Sebelum Ratifikasi
2. Undang-Undang Pangan
Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1996
3. Peraturan Pemerintah Ketahanan Pangan
Republik Indonesia
Nomor 68 Tahun 2002
4. Undang-Undang Perkebunan
Nomor 18 tahun 2004
5. Peraturan Pemerintah Keamanan Mutu dan Gizi
Republik Indonesia Pangan
Nomor 28 Tahun 2004
212 Ibid.
184 Iin Karita Sakharina
Tabel 5
Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan Setelah Ratifikasi
215 Ibid.
216 Ibid.
Iin Karita Sakharina 189
Adapun Kebijaksanaan umum ketahanan pangan Pro-
vinsi Sulawesi Selatan mencakup: 1) ketersediaan pangan dan
cadangan pangan yang cukup; 2) kemudahan dan kemampuan
mengakses pangan; dan 3) konsumsi pangan
Sementara kebijaksanaan Badan Ketahanan Pangan Dae-
rah Provinsi Sulawesi Selatan217 adalah :
1. Pembangunan ketahanan pangan dalam penyediaan
pangan dan cadangan pangan:
a. Menjamin ketersediaan pangan terutama produksi
dalam negeri dalam jumlah dan keragaman yang cukup
untuk mendukung konsumsi pangan sesuai dengan
kaidah kesehatan dan gizi seimbang.
b. Mengembangkan kemampuan dalam peningkatan dan
pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan
masyarakat.
c. Meningkatkan kapasitas produksi pangan daerah untuk
mendukung pangan nasional melalui penetapan lahan
abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang
wilayah dan meningkatkan kualitas lingkungan serta
sumberdaya lahan dan air.
Tabel 6
Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan Daerah
Propinsi Sulawesi Selatan
221Ibid.
Lihat juga Pasal 4 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 6 Tahun 2011
tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Pertanian Kabupaten Maros.
Tahun 2003 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan
Ketahanan Pangan dan Sumber Daya Pertanian Kabupaten Maros.
Iin Karita Sakharina 203
nangan Pemerintah Daerah di Badan Ketahanan Pangan Sumber
Daya Pertanian serta tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah yang menjadi tanggung jawabnya”.230
Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Desa
Marumpa Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros diperoleh data
penduduk sebanyak 410 (empat ratus sepuluh) Keluarga, 51
(lima puluh satu) keluarga diantaranya tergolong masyarakat
tidak mampu (miskin), implementasi kebijaksanaan pemerintah
lokal terkait dengan ketahanan pangan masyarakat desa
diwujudkan dalam bentuk bantuan dari aparat desa guna
menanggulangi masyarakatnya yang tidak mampu tersebut
dengan memberikan bantuan berupa beras miskin (raskin) dan
beberapa kebutuhan dapur (minyak sayur, telur dan mie
instant).231
Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data
yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Marumpa Keca-
matan Marusu, Kabupaten Maros merupakan pengrajin (baik itu
dalam bidang alat-alat rumah tangga maupun dalam bidang
237 Ibid.
238 Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada
masyarakat Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, pada
tanggal 20 sampai dengan 25 September 2012.
Iin Karita Sakharina 207
rata masyarakat yang tinggal di desa Gunung Perak kabupaten
Sinjai adalah bekerja sebagai petani sehingga walaupun tidak
pernah terjadi kasus kelaparan di desa tersebut, namun sebagian
masyarakatnya tergolong tidak mampu dan masih mengan-
dalkan bantuan dari pemerintah daerah setempat dalam hal
konsumsi pangan. Hal ini tentu saja terlihat ironis karena dari
data yang ada, diketahui Kabupaten Sinjai merupakan salah satu
kabupaten Penghasil beras di Sulawesi Selatan, namun dengan
masih adanya masyarakat sinjai yang hidup dalam kemiskinan
sehingga dapat dikatakan bahwa dari tingkat perekonomian
yang ada belum merata sehingga memang peran pemerintah
daerah dalam hak pemenuhan kecukupan pangan di Kabupaten
Sinjai masih sangat diperlukan. Begitupula yang terjadi di
Kabupaten Maros dan kota Makassar. Dari Desa dan kelurahan
yang dipilih oleh penulis untuk diambil sampelnya memper-
lihatkan bahwa untuk kabupaten Gowa sendiri, di Desa Borong
Pa’lala yang telah dipilih oleh penulis, ditemukan bahwa 50%
(lima puluh persen) penduduk di desa tersebut tergolong tidak
mampu sehingga masih mengandalkan bantuan pangan berupa
pasokan beras miskin (raskin) dan juga uang santunan dari
Pemda Gowa untuk masyarakat yang tidak mampu dan tidak
bisa mengakses bahan pangan sendiri karena ketidakmampuan
daya beli. Latar belakang pekerjaan dari penduduk di Desa
239 Hasil Wawancara dengan Ibu Andi Dahniar (Kepala Seksi Peme-
rintahan Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar) Pada hari
Rabu, 19 September 2012.
Iin Karita Sakharina 209
atas kecukupan pangan di daerahnya setalah bersinergi dengan
langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah pusat dalam hal
penetapan kebijaksanaan di bidang ketahanan pangan nasional
dalam rangka pemenuhan hak-hak ekosob warga negaranya
khususnya dibidang kecukupan pangan yang layak, maka penu-
lis mengambil sampel Provinsi Kalimantan Barat, kabupaten
Kubu Raya240 sebagai perbandingan dalam hal melihat kebijak-
sanaan yang telah ditetapkan oleh Pemda masing-masing berke-
nan dengan pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Komnas
HAM mengenai pemenuhan hak atas kecukupan pangan di
salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan adalah sebagai
berikut. Di tingkat daerah, Pemerintah Kabupaten Kubu Raya
(sebagai kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten
Pontianak pada 2008) mencoba menerapkan ketentuan di tingkat
nasional, dengan melakukan inisiatif pengaturan di tingkat
kabupaten, berupa Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 60
Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Hasil Produksi Beras Lokal
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Pemerintahan
Kabupaten Kubu Raya. Ketentuan ini sebagai sebuah upaya agar
produk lokal dapat terserap oleh konsumsi di tingkat Kabupaten
242 Ibid.
243Di Kabupaten Kapuas Hulu juga telah dilakukan hal yang sama
(konsumsi beras bagi PNS dari produksi beras Kapuas Hulu).
212 Iin Karita Sakharina
membeli dan mengkonsumsi beras lokal, pada Pasal 1 huruf h
dijelaskan bahwa, “Beras lokal adalah beras yang diproduksi
dari hasil budidaya masyarakat tani/petani di wilayah
Kabupaten Kubu Raya”.244
Kabupaten Kubu Raya merupakan daerah lumbung
gabah atau beras di Kalimantan Barat, akan tetapi untuk
keperluan sehari-hari banyak yang didatangkan oleh para
pedagang dari Pulau Jawa. Termasuk juga Raskin, pemerintah
(Bulog) tidak menggunakan beras lokal (Kubu Raya). Hal inilah
yang melatarbelakangi lahirnya peraturan bupati tersebut. Pada
Pasal 3 dan Pasal 4, disebutkan maksud dan tujuan dari
kebijaksanaan bupati (Muda Mahendrawan), yaitu:
Pasal 3;
“Maksud pemanfaatan beras lokal bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat khususnya para petani di wilayah Kabupaten
Kubu Raya, meliputi:
1. Pemberian sertifikasi benih/padi yang akan diguna-
kan untuk dikembangkan dan atau dibudidayakan
dengan tujuan ekonomis;
2. Memberikan dukungan peningkatan produksi, pro-
duktivitas, dan kualitas secara komprehensif dan
terkonsentrasi mulai dari sistem budidaya, panen,
dan pasca panen sampai dengan pemasaran.”
245 Ibid.
214 Iin Karita Sakharina
yang ditetapkan secara nasional melalui beberapa peraturan dan
kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah menun-
jukkan bahwa adanya langkah-langkah yang telah diambil oleh
Pemerintah Daerah untuk bersinergi dengan Pemerintah Pusat
dalam rangka melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan
hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warganya.
Tabel 7
Kewajiban Negara Pihak untuk Mengakui dan
Menjamin HAM dalam Kovenan Hak Ekosob
Tabel 8
Pengaturan Pelaporan Pelaksanaan Kovenan Hak Ekosob
248 Ibid.
249 Ibid.
234 Iin Karita Sakharina
sanakan perannya menghadapi tugas ganda yakni di satu pihak
birokrasi harus mampu melakukan kiat-kiat strategis dalam
rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masya-
rakat (outward looking), di lain pihak birokrasi juga harus mampu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam lingku-
ngannya (inward looking).250
250 Ibid.
252 Ibid
236 Iin Karita Sakharina
Perempuan, sejumlah CSO maupun dokumen relvan lainnya.253
Dalam siaran Pers komnas Perempuan juga menyatakan bahwa
komite memberikan apresiasi kepada Indonesia atas kemajuan
yang dicapai setelah peratifikasin kovenan internasional hak-hak
ekosob ini. Kemajuan yang dicapai, diantaranya adalah diratifi-
kasinya beberapa konvensi internasional yaitu konvensi 1990
tentang perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan
keluarganya; konvensi hak-hak penyandang disabilities dan
protocol opsional hak-hak anak mengenai keterlibatan anak-
anak dalam konflik bersenjata, prostitusi anak dan pornografi
anak, serta kebijakan lainnya.254
Selain itu, dalam siaran pers komnas perempuan juga
memaparkan bahwa komite juga menyampaikan beberapa
catatan diantaranya minimnya informasi dalam laporan tentang
akses keadilan ekonomi, sosial dan budaya secara khusus
dipengadila. Serta ada beberapa catatan yang digaris bawahi
dan didesak kepada kepala negara untuk di implementasikan
seperti beberapa issu dibawah ini255 :
255 Ibid
Iin Karita Sakharina 237
1. Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Migran;
Pengakuan dan perlindungan hak PRT sama seperti
pekerja lainnya yaitu mendapatkan hak untuk menda-
patkan kerja dan pengupahan yang layak, perlin-
dungan dari pemecatan yang tidak adil, kesehatan dan
keselamatan kerja, jam istirahat dan libut. Pembatasan
jam kerja dan jaminan sosial. PRT memerlukan per-
lindungan khusus mengingat kerentanannya terhadap
kerja paksa, kekerasan dan pelecehan seksual. Penye-
diaan mekanisme efektif untuk melaporkan tindakan
kekerasan dan eksploitasi yang dialami oleh PRT dan
perlunya pemerintah untuk memonitor konidisi kerja
PRT. Terkait PRT migrant, persoalan peran agen dan
kerentanan eksploitasi PRT oleh agen juga mendapat
perhatian. Pengawasan terhadap agen dan mengatur
biaya penempatan. Ada upaya membangun kesepa-
katan dengan negara tujuan kerja harus terus dilan-
jutkan dengan menempatkan prinsip menentang eks-
ploitasi dan kekerasan serta memastikan pemenuhan
hak-hak ekosob PRT migran. Komite juga mereko-
mendasikan pemerintah Republik Indonesia untuk
meratifikasi konvensi ILO 189 tentang Kerja yang
Layak bagi PRT.
2. Kekerasan terhadap perempuan dan kematian ibu.
Komite member perhatian pada praktek impunitas dan
penanganan kekerasa terhadap perempuan. Penigka-
tan kesadaran diantara para penegak hukum dan
aparat tentang pola tindak pindah terhadap kekerasan
terhadap perempuan, serta pada masyarakat. Lebih
luas melalui kampanye “zero tolerance” untuk keke-
B. Implementasi di Daerah.
1. Implementasi di Kabupaten Barru dan Bone
Berdasarkan data dari masyarakat Desa Lompo Tengah
(yang penulis jadikan sampel penelitian untuk wilayah Sulawesi
Selatan), Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru dari hasil
penyebaran kuisioner menunjukan hasil bahwa masyarakat di
wilayah tersebut umumnya merasa tercukupi atas ketersediaan
pangan dan akses pangan yang ada. Hal ini tidak mengheran-
kan, karena Kabupaten Barru juga merupakan wilayah yang
memiliki lahan pertanian yang cukup luas, selain itu juga
pekerjaan mayoritas warga di wilayah ini adalah sebagai petani.
Bantuan pemerintah terkait dengan program bantuan beras
262 Ibid.
Iin Karita Sakharina 255
tahun 2007-2012 (sebagaimana yang tertuang dalam RPJMD
Propinsi Banten Tahun 2007-2012).
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi
Banten merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Banten Nomor
3 Tahun 2012. Tugas pokok Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Propinsi Banten melaksanakan penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang ketahanan pangan dan
penyuluhan (Pasal 101 Perda Nomor 3 Tahun 2012). Bidang
ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pemba-
ngunan daerah karena :
i. akses terhadap pangan dengan gizi yang cukup
merupakan hak paling mendasar bagi manusia;
ii. kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi merupakan
unsur penting dalam pembentukan sumber daya
manusia yang berkualitas; dan
iii. ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama
yang menopang ketahanan nasional yang berkelanjutan.
265 Ibid.
Iin Karita Sakharina 261
yang terus menurun setiap tahunnya. Berdasarkan Data Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan diperoleh data
dengan persentase sejumlah 1,67% penduduk miskin di Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2010, namun angka ini turun
menjadi 1,50% di tahun selanjutnya (2011), dan terus mengalami
penurunan hinga berjumlah 1,33% persentase jumlah penduduk
miskin di Kota Tangerang Selatan. Hal ini tentu menjadi
kegembiraan tersendiri bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan
dan menjadi penyemangat dalam menjalankan roda peme-
rintahan selanjutnya.
Lain halnya dengan yang terjadi di wilayah Propinsi
Banten lainnya (yang penulis juga jadikan salah satu sampel
penelitian), yakni Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidmar,
Kabupaten Rangkas. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang
sangat kekurangan beras. Sebenarnya pekerjaan sebagian besar
masyarakat Desa Kanekes adalah berkebun, namun lahan
pertanian yang kalah luas dengan lahan perkebunan menye-
babkan desa ini kekurangan bahan makanan pokok seperti
beras. Namun untuk jenis pangan lainnya umumnya tercukupi
karena masyarakat Desa Kanekes lebih banyak bekerja di
perkebunan, baik itu kebun jagung, kacang-kacangan, dan
sayur-mayur.
270 Ibid.
271 Ibid.
Iin Karita Sakharina 273
B. Rencana Pemerintah
Hak atas pangan (right to food) merupakan sesuatu yang
sangat penting bagi perkembangan suatu negara. Hak atas
pangan dapat dimaknai sebagai hak bagi tiap orang atau seke-
lompok orang dalam suatu masyarakat, wilayah atau negara
untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan,
bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya dalam batas-
batas yang memenuhi ukuran kesehatan. Makanan yang dibu-
tuhkan bagi masyarakat harus dapat dipenuhi dan makanan
yang dimaksud merupakan makanan yang aman dan sehat.
Oleh karena itu, maka diperlukan suatu rencana program agar
makanan (aman dan sehat) yang dibutuhkan bagi masyarakat
dapat dipenuhi. seperti rencana program yang akan diuraikan,
sebagai berikut :
B.1 Rencana Program Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Sulawesi Selatan
Rencana program Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Sulawesi Selatan yaitu :
1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaan
pangan di Sulawesi Selatan;
2. Meningkatkan kualitas distribusi dan akses masyarakat
Sulsel terhadap pangan;
3. Meningkatkan kualitas pemanfaatan pangan oleh
masyarakat Sulsel dan menjamin setiap individu
C. Program Pemerintah
Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 45.751,
91 km², penggunaan lahan dalam jumlah yang terbesar adalah
hutan negara yang luasnya mencapai 28,45% dari total wilayah
atau mencapai 13.014,56 km², kemudian lahan sawah yang
secara keseluruhan luasnya mencapai 5.983,89 km² atau 13,08%
dari total luas lahan di Provinsi Sulawesi Selatan yang terdiri
dari lahan sawah seluas 5.983,89 km² dan lahan bukan sawah
seluas 39.768,91 km². Penggunaan lahan lain yang cukup
signifikan adalah kebun/tegalan yang luasnya mencapai 12,10%
275 Ibid.
280 Iin Karita Sakharina
Tabel 9
Penggunaan Lahan di Propinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2005
277 Ibid.
Iin Karita Sakharina 283
masalah pangan ternyata masih membayang-bayangi program
di sektor pertanian. dengan jumlah penduduk 205 juta kita
memerlukan beras paling tidak 30 juta ton per tahun,jumlah
yang luar biasa besarnya, namun bukan tidak mungkin dipenu-
hi sendiri. perkuatan basis penyediaan pangan dari dalam negeri
sendiri merupakan agenda utama menegakkan kemandirian.278
Untuk itu menyongsong era globalisasi Provinsi Sulawesi
Selatan yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional sangat
perlu mengembangkan potensi agribisnisnya termasuk komoditi
beras. meskipun dilihat dari proporsinya persawahan Sulawesi
Selatan hanya 10% dari total wilayah seluas 6.248.254 ha atau
sekitar 645.381 ha namun mampu menghasilkan gabah-rata-rata
sebanyak 4,6 juta ton atau sekitar 2,5 juta ton setahun. karena
untuk kebutuhan 8.162.816 jiwa penduduknya cukup dipenuhi
sekitar 1,08 juta ton beras, maka setiap tahunnya Provinsi
Sulawesi Selatan ini mengalami surplus beras sekitar 1,42 juta
ton.279
Sebagai salah satu lumbung pangan nasional, Sulawesi
Selatan mempunyai potensi untuk pengembangan pangan lokal
yang ditunjang oleh iklim dan agroekosistem yang memadai.
Disisi lain, banyak bahan pangan alternatif di daerah yang
278 Ibid.
279 Ibid.
284 Iin Karita Sakharina
belum mendapatkan sentuhan teknologi, baik teknologi budi-
daya, maupun teknologi pengolahan pangan. Terkait hal ini,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Peme-
rintah Provinsi Sulawesi Selatan sepakat untuk bekerjasama
dalam mewujudkan teknologi budidaya dan pengolahan
pangan.280
Bicara mengenai ketahanan pangan tidak hanya menca-
kup ketersediaan pangan saja, yang penting adalah kemampuan
untuk mengakses (membeli) pangan dan tidak terjadinya keter-
gantungan pangan pada pihak manapun. Oleh sebab itu,
diperlukannya diversifikasi pola konsumsi pangan untuk memi-
nimalisir ketergantungan pangan terhadap produk tertentu.
Penganekaragaman konsumsi pangan merupakan salah satu
langkah didalam meningkatkan ketahanan pangan rumah tang-
ga dan nasional. Proses pengembangan konsumsi pangan perlu
diarahkan agar kita tidak tergantung kepada satu jenis pangan
saja, tetapi memanfaatkan bermacam-macam bahan pangan.
Banyak bahan pangan lokal di Sulawesi Selatan yang dapat
dijadikan pangan alternatif, antara lain seperti sukun, sagu, ubi
jalar, ubi kayu, dan talas.281
282 Ibid.
286 Iin Karita Sakharina
pertemuan untuk membahas kerjasama lainnya yang mungkin
bisa dilakukan, dan semoga MoU ini bisa segera ditindaklanjuti
dengan kegiatan nyata.283
Namun satu hal yang menggembirakan bagi ketahanan
pangan di Sulawesi Selatan yakni Badan Ketahanan Pangan
Sulawesi Selatan memperoleh penghargaan Adi Karya Pangan
Nusantara. Penghargaan tertinggi dalam bidang pangan ini
diberikan pada tanggal 6 Desember 2011 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.284
Kepala Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan Asri
Pananrang mengungkapkan "Penghargaan ini diberikan kepada
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam prestasinya yang
dianggap mampu mempertahankan ketersediaan pangan
nasional". Selain itu Sulawesi Selatan dianggap mampu mem-
pertahankan ketersediaan pangan selama 3 tahun terakhir.
"Sejak 2009 hingga 2010, Sulawesi Selatan berhasil meningkatkan
produksi pangan dari 3 sektor yang menjadi penilaian dalam
283 Ibid.
284 Harian Tempo On Line, Sulawesi Selatan Raih Penghargaan Tertinggi
Bidang Pangan (http://www.tempo.co/read/news/2011/12/04/090369823/
Sulawesi-Selatan-Raih-Penghargaan-Tertinggi-Bidang-Pangan). Diakses pada
hari Selasa, 18 September 2012.
285 Ibid.
286 Ibid.
288 Iin Karita Sakharina
100. Angka ini mengalami perbaikan dibandingkan tahun lalu.
Selain produktivitas pangan, Sulawesi Selatan juga dianggap
sebagai pelopor inovasi teknologi pertanian.287
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu Provinsi
penyangga pangan di Indonesia dan mensuplai kebutuhan beras
untuk konsumsi Timur Indonesia. Setiap tahun Sulawesi Selatan
mengantar pulaukan beras di Provinsi lain seperti Kalimantan
Timur, NTT, Maluku, Papua dan Pulau Jawa. Situasi ketersedia-
an pangan menggambarkan apakah produksi pangan yang
dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk
Sulawesi Selatan. Secara umum produksi beberapa komunitas
pangan Tahun 2010 pertumbuhan produksi pangan, sumber
pangan nabati mengalami peningkatan.288
Hasil analisis ketersediaan pangan Tahun 2010 menun-
jukkan bahwa beras dengan tingkat kebutuhan konsumsi
sebesar 109,7 kg/kapita/tahun atau 881,415 ton, dapat dicapai
surplus sebesar 1.582.035 ton atau mencapai 1,88 persen bila
dibanding tahun 2009 yang mencapai 1.552.708 ton. Daerah yang
memberikan kontribusi cukup besar adalah daerah sentra
produksi seperti Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, dan Pinrang.
287 Ibid.
288Badan Ketahanan Pangan Daerah, Laporan Evaluasi Program /
Kegiatan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011, (Makassar:
Tahun Anggaran 2012), hlm. 1
Iin Karita Sakharina 289
Sedang untuk wilayah perkotaan seperti Makassar, Parepare
dan Palopo mengalami defisit karena lahan pertaniannya tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Selain itu,
Kabupaten Selayar juga mengalami defisit karena wilayah ini
sebagian besar daerahnya merupakan pulau-pulau sehingga
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harus mendatangkan
dari daerah lainnya.289
Pertanaman jagung di Sulawesi Selatan tahun 2010
mencapai 303.375 Ha, dimana potensi pertanam jagung cukup
besar berada di Kabupaten Gowa, Jeneponto, Bone dan
Bantaeng. Walaupun luas tanam tahun 2010 ini mengalami
kenaikan dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 299.669 Ha
atau 1,24 persen. Untuk tahun 2009 produksi mencapai 1.395,744
ton turun menjadi 1.343.043 ton tahun 2010 atau 3,78 persen.
Berdasarkan Susenas 2010 konsumsi jagung mengalami
penurunan cukup tajam yaitu hanya 2,3 kg/kapita/tahun bila
dibandingkan dengan Susenas tahun 2009 yang jumlahnya
mencapai 3,36 kg/kapita/tahun, sehingga kebutuhan konsumsi
hanya sekitar 18.480 ton. Hal tersebut memperhatikan bahwa
Sulawesi Selatan mengalami surplus cukup besar mencapai
1.170.761 ton.290
291 Ibid.
Iin Karita Sakharina 291
dibanding tahun 2009 dari 25.792 Ha menjadi 23.641 Ha atau
8,3%, akan tetapi produksi yang dicapai mengalami penurunan
yang cukup signifikan, dari 41.278 ton menjadi 35.710 ton turun
15,6%. Turunya produksi tersebut disebabkan oleh menurunnya
produktifitas sebesar 0.6 ton/Ha. Hasil analisis menunjukkan
dengan jumlah kebutuhan sebesar 16.873 ton diperoleh surplus
sebesar 15.984 ton.292
Tanaman kacang tanah selain diusahakan di lahan kering,
juga sering di tanam di lahan sawah, biasanya setelah
pertanaman padi. Produksi kacang tanah yang cukup besar di
Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Bone, Bulukumba dan
Sinjai. Adapun produksi yang dicapai tahun 2010 adalah 41.889
ton naik dibanding tahun 2009 sebesar 32.330 ton atau naik
29,57%. Berdasarkan hasil analisis tahun 2010 surplus kacang
tanah mencapai 28.522 ton sedangkan tahun 2009 sebesar 23.548
ton atau 21,12%. Meningkatnya surplus tersebut disebabkan
karena konsumsi kacang tanah mengalami kenaikan dari 0,65
kg/kapita/tahun menjadi 1,1 kg/kapita/tahun (Susenas
2010).293
Walaupun secara wilayah masing mengalami surplus,
masih terdapat daerah yang mengalami kekurangan akan
295 Ibid.
296 Ibid., hlm. 6
294 Iin Karita Sakharina
Daging ruminansia berasal dari ternak besar seperti sapi,
kerbau, kambing, domba, kuda dan babi. Produksi daging tahun
2010 mencapai 14.158 ton meningkat dibanding tahun 2009 yaitu
13.089 ton naik menjadi tinggi yakni 8,12%. Produksi daging
diperoleh dari produksi daging menurut pemotongan tercatat di
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan di luar RPH per
kabupaten/kota se Sulawesi Selatan tahun 2010. Hasil analisis
menunjukkan bahwa surplus daging tahun 2010 yaitu 7.366 ton
mengalami kenaikan dari tahun 2009 yaitu 7.023 ton atau 4,88%.
Adapun penyebabnya adalah meningkatnya konsumsi pendu-
duk dari 0,88 kg/kapita/tahun menjadi 1,00 kg/kapita/tahun
sehingga kebutuhan konsumsi menjadi cukup besar yaitu 22.497
ton. Walaupun secara wilayah mengalami kelebihan, tetapi
apabila ditelusuri sampai ke tingkat kabupaten beberapa daerah
masih kekurangan seperti Jeneponto, Takalar, Soppeng, Pinrang,
Luwu Utara dan Luwu Timur. 297
Daging unggas terdiri dari ayam buras, ayam ras dan itik,
perkembangan daging unggas dari tahun ke tahun menunjuk-
kan penurunan walaupun tidak terlalu besar yakni 18.101 ton,
tahun 2010 sedangkan produksi tahun 2009 sebesar 19.672 ton.
Daerah yang merupakan sentra pengembangan unggas teruta-
ma ayam ras terdapat di kabupaten Maros, Sidrap, Palopo dan
297 Ibid.
Iin Karita Sakharina 295
Parepare. Hasil analisis menunjukkan bahwa surplus yang
dicapai tahun 2010 mengalami penurunan dibanding tahun 2010
yaitu 2.733 ton sedangkan tahun 2009 sebesar 2.295 ton.
Kebutuhan konsumsi tahun 2010, 1,8 kg/kapita/tahun turun
dibanding kebutuhan konsumsi tahun 2009 yaitu 2.07 kg/kapita
/tahun. Kebutuhan konsumsi menjadi lebih kecil dibanding
tahun 2009. Hampir seluruh daerah di Sulawesi Selatan masa-
lahnya mengalami kekurangan produksi, kecuali beberapa
kabupaten seperti Selayar, Bantaeng, Gowa, Sinjai, Pangkep dan
Barru, itupun surplusnya tidak terlalu signifikan.298
Potensi produksi perikanan di Sulawesi Selatan cukup
besar karena terdiri dari laut, perairan umum, dan tambak/air
payau. Produksi ikan tahun 2010 memperlihatkan hasil yang
cukup besar yaitu 1.629.078 ton tahun 2010 sedangkan tahun
2009 sebesar 1.142.366 ton meningkat 42,61%. Hal ini terjadi
karena adanya peningkatan kebutuhan konsumsi 34,2 kg/kapita
/tahun terdapat surplus sebesar 1.109.928 ton. Walaupun demi-
kian masih terdapat daerah yang masih kekurangan seperti
Gowa, Maros, Barru, Soppeng, Tana Toraja, Enrekang dan Tora-
ja Utara, hal tersebut disebabkan wilayah ini merupakan
299 Ibid.
300 Ibid.
Iin Karita Sakharina 297
Adapun Program Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan terkait dengan ketahanan daerah Provinsi didelegasikan
kepada Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi. Badan
Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan telah
mengidentifikasi 17 (tujuh belas) program utama301, yaitu:
Meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaan pangan
di Sulsel
1. Peningkatan ketersediaan dan cadangan pangan serta
penanganan kerawanan pangan;
2. Pemberdayaan petani melalui teknologi informasi;
3. Pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP);
4. Pengembangan usaha ekonomi pedesaan (PUEP);
5. Pengembangan produk unggulan pangan lokal/maka-
nan tradisional;
6. Pemberdayaan penyuluhan pertanian.
301 Badan Ketahanan Pangan Daerah Sulawesi Selatan, Op. Cit., hlm. 63-
64
298 Iin Karita Sakharina
asupan zat gizi dengan jumlah dan keseimbangan yang
cukup serta aman
10. Percepatan diversifikasi konsumsi pangan melalui
pengembangan pangan lokal;
11. Peningkatan mutu dan kemanan pangan;
12. Pengembangan otoritas kompeten keamanan pangan
daerah.
Ia menambahkan :
“Karena ratifikasi merupakan tindakan internasional
dengan cara mana suatu negara pada taraf internasional,
memberikan persetujuannya untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional, oleh sebab itu kewajiban negara
secara Internasional pasca ratifikasi Kovenan Hak Eko-
nomi, Sosial, dan Budaya adalah Pemerintah Indonesia
merealisasikan isi kovenan terhadap warganya (Indone-
sia), hanya saja realisasi ini sejauh dengan kemampuan
yang Indonesia miliki, hal-hal yang masih banyak keku-
rangan disana-sini namun itu semua jangan dijadikan hal
negatif bagi pemenuhan pemerintah terhadap isi kove-
nan. Pemerintah terus mengupayakan semaksimal mung-
kin guna terpenuhinya kebutuhan warga akan Hak Eko-
nomi, Sosial, dan Budaya”.314