1. Izinkan terlebih dahulu saya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih yang telah melinmpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kita
sekarang dapat berkumpul di sini dalam rangka merayakan Dies Natalis FH
UNPAR ke 51. Selayaknya juga kita bersyukur atas Rahmat yang telah
dilimpahkan Tuhan Yang Maha Pengasih itu kepada FH UNPAR yang hanya
karena perkenan-Nya juga hingga kini masih yang mempertahankan eksistensi,
sekalipun telah menghadapi berbagai rintangan, gangguan, rongrongan dan
kesulitan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Selanjutnya saya
mengucapkan terima kasih kepada Bapak dekan FH UNPAR yang telah meminta
saya untuk mengucapkan Oratio Dies FH UNPAR 2009 ini. Ini adalah sebuah
penghargaan dan kehormatan bagi seorang alumni yang telah dibesarkan oleh
alma-mater yang dicintainya. Kepada Dekan, para Wakil Dekan, seluruh staf
karyawan FH UNPAR, para alumni dan seluruh warga keluarga besar Fakultas
Hukum Universitas Katolik, saya mengucapkan Selamat Merayakan Dies Natalis
ke 51.
2. Tahun yang lalu Prof. Dr Mr C.F.G. Sunaryati-Hartono yang diminta untuk
mengucapkan Oratio Dies FH UNPAR yang ke 50. Saya sangat menyesal pada
perayaan Dies Natalis yang sangat penting itu, saya tidak dapat menghadiri
pengucapan Oratio Dies itu, karena harus melaksanakan tugas sebagai penguji
eksternal pada sidang ujian terbuka promosi doktor ilmu hukum di Universitas
Hasanudin, di Makassar. Ketidak hadiran penguji eksternal dapat menyebabkan
sidang ujian tersebut diundur. Oratio Dies yang tidak dapat saya hadiri itu
membahas masalah tentang hubungan antara sistem hukum nasional, budaya
hukum dan Pancasila yang diberi judul “Membangun Budaya Hukum Pancasila
sebagai bagian dari Sistem Hukum Nasional Indonesia di Abad 21.” Saya merasa
menyesal tidak menghadiri pembacaan oratio itu, karena materi yang dibahas
dalam pidato itu sangat penting, dan juga karena orang yang berpidato itu adalah
orang yang, di samping Prof. Tuti Nurhadi, karya-karyanya telah membuka jalan
sehingga memungkinkan saya menulis disertasi saya. Kepada Prof. Sunaryati-
Hartono, saya memohon maaf atas ketidak hadiran saya itu.
3. Prof. Sunaryati-Hartono memulai uraiannya dengan pernyataan bahwa setelah 63
tahun bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan melalui Sukarno-Hatta: “ …
keadaan dan kehidupan nasional pada saat ini sungguh sangat menyedihkan dan
memprihatinkan.” dan “ … watak (Volksgeist) dan solidaritas bangsa Indonesia
pada saat ini justru semakin memburuk.” (2008: 2) Selanjutnya beliau
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan keadaan yang
memprihantinkan itu a.l. adalah tuntutan yang berlebihan (exploding demands),
egoisme dan individualisme orang Indonesia di abad 21 sangat meningkat, dan
peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat. (2008: 2)
1
2
4. Konstatasi Prof. Sunaryati yang cermat tentang keadaan di Indonesia dewasa ini
yang sangat memprihatinkan itu, tidaklah terlepas dari proses-proses perubahan
yang sedang berlangsung secara global, yang semuanya itu terjadi di bawah
pengaruh filsafat Positivisme yang lewat pengolahan filsuf-filsuf Amerika yang
menganut Pragmatisme, telah memunculkan cara berpikir yang pragmatik-
instrumentalistik di Barat yang juga langsung mendominasi dan dengan cepat
mewarnai cara berpikir dunia, yang kemudian menimbulkan kecenderungan
nihilistik dan emansipatorik. Cara berpikir pragmatik-instrumentalistik ini
menyebabkan terjadinya perkembangan ilmu, khususnya ilmu-ilmu alam, dan
teknologi termasuk teknologi komunikasi, yang semakin akseleratif.
Perkembangan yang cepat ini dengan sendirinya mendorong terjadinya proses-
proses globalisasi yang kini sudah tidak mungkin dielakkan lagi oleh negara
manapun. Proses-proses globalisasi ini pada gilirannya mendorong terjadinya
liberalisasi ekonomi dan berkembangnya pasar bebas, yang dengan sendirinya
membuka peluang bagi hidup dan berkembangnya pasar bebas dengan persaingan
bebasnya, bahkan rumah sakit dan perguruan tinggi pun didorong atau terdorong
memasuki arena persaingan itu. Semuanya itu menyebabkan kapitalisme global
mendominasi kehidupan sosial-ekonomi di mana pun juga. Perkembangan ini
menyebabkan terjadinya interaksi kultural antar-berbagai bangsa di dunia yang
semakin intensif, yang dengan sendirinya mengakibatkan pergeseran nilai dan
perubahan sikap serta perilaku para warga masyarakat, terutama pada bangsa-
bangsa yang baru merdeka sejak abad 20, yang karena kolonialisme dalam suatu
jangka waktu yang lama terisolasi dari perkembangan dan kemajuan zaman. Para
warga bangsa yang baru merdeka dan menjadi negara-bangsa itu yang proses
pembentukan bangsanya masih belum mencapai kristalisasi sehingga cukup
terintegrasi dan kuat, dan karena itu masih hidup dalam tradisi lama, seperti
bangsa Indonesia, secara langsung dihadapkan pada masalah-masalah modern
yang rumit yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat
pesat itu. Karena itu, kecenderungan nihilistik dalam kultur barat pun melanda
bangsa Indonesia yang masih muda itu.
5. Perubahan-perubahan dan dinamika dalam kehidupan ekonomi serta pergeseran
nilai yang berlangsung cepat itu menyebabkan terjadinya krisis nilai yang
memunculkan sikap yang mengutamakan rasionalitas (khususnya rasionalitas
efektivitas dan rasionalitas efisiensi dengan sepenuhnya mengabaikan rasionalitas
nilai dan rasionalitas berkaidah), kecenderungan sangat menonjolkan otonomi
subyek, memudarnya kewibawaan tradisi dan agama, dan berkembangnya
pandangan bahwa kebaikan dan kebenaran hanya sekedar sebuah “option” saja
dan putusan diambil berdasarkan pertimbangan “cost and benefit”. Budi-nurani
manusia tampak mulai menumpul yang membuka peluang bagi tumbuhnya
nihilisme di dalam masyarakat. Dalam bidang hukum, situasi krisis nilai ini
tampak dari munculnya gejala apa yang oleh Nonet-Selznick disebut “legal
moralism” (hukum yang sok moralis;), yang akan menumbuhkan kemunafikan
(ingat saja Uu Pornografi dan kasus pedophilia di Semarang). Dalam situasi krisis
nilai itu, kita semua dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan
keberadaan diri sendiri, “the challenge of survival”, yang dalam situasi yang
diwarnai kapitalisme, memaksa orang untuk berkompetisi dan untuk itu orang
2
3
3
4
pada waktu itu ditumpukan pada pinjaman luar negeri. Namun pembangunan
ekonomi itu ternyata gagal membangun kemampuan ekonomi rakyat, jadi gagal
melakukan empowering. Pada masa itu terjadi korupsi besar-besaran hampir di
semua bidang dan pada semua tataran (horisontal dan vertikal). Sebaliknya, pada
waktu itu juga, hampir tidak ada seorangpun koruptor yang diadili dan dijatuhi
hukuman pidana; jadi, Indonesia adalah negara yang paling koruptif namun tanpa
koruptor. Maka tidak mengherankan jika fundasi keadaban bangsa mengalami
goncangan yang sangat hebat. Karena itu juga dapat dipahami mengapa upaya
untuk mewujudkan reformasi di semua bidang tidak berjalan lancar, sebab,
memang sulit untuk mendirikan ”bangunan” di atas fundasi yang sudah
berantakan. Masalahnya adalah mengapa sampai dapat terjadi hal yang demikian
memprihatinkan itu?
9. Prof. Sunaryati-Hartono, sesudah mengemukakan bahwa keadaan di Indonesia
dewasa ini adalah sangat menyedihkan dan memprihatinkan, yang disebabkan
antara lain karena ”egoisme dan individualisme orang Indonesia di abad 21”,
kemudian mengajukan pertanyaan: ”Mungkinkah perubahan teknologi, materi,
dan kehidupan sosial yang lebih maju dan terbuka akibat kecepatan komunikasi
antar-bangsa secara global itu tanpa terasa juga menimbulkan pergeseran
identitas? Yaitu pergeseran dari identitas nasional ke identitas asing atau
internasional di satu pihak? Tetapi untuk orang lain atau kelompok tradisional,
mencari kebahagiaannya dari identitas nasional ke identitas lokal/kedaerahan, di
lain pihak?” (2008: 3) Untuk kemudian beliau menyatakan: ”Kalau begitu,
apakah membangun identitas dan watak atau budaya bangsa Indonesia itu (nation
and character building) tidak lebih penting daripada membanguan segala aspek
dan sarana fisik, seperti gedung bertingkat, mall-mall yang mewah, bahkan juga
Sistem Hukum, Sistem Ekonomi dan sebagainya, sebagaimana setiap tahun
digariskan dalam Rencana-rencana Pembangunan Nasional kita?” (2208: 3, 4)
Selanjutnya, berkenaan dengan bidang hukum, beliau menyatakan: ”Kalau benar,
maka untuk membangun Sistem Hukum Nasional, sebenarnya harus dibina suatu
budaya Hukum Nasional terlebih dahulu yang akan mempengaruhi kekuatan dan
efektivitas berlakunya dan ditetapkannya berbagai kaidah Hukum Nasional.”
(2008: 10) Kemudian beliau menyatakan: ” ... apabila benar-benar kita bertekad
mempertahankan identitas kita sebagai bangsa Indonesia ..... maka tidak ada jalan
lain daripada tetap setia pada nilai-nilai Pancasila yang ..... harus kita jiwai dan
terapkan sebagai volksgeist Indonesia; ... ” (2008: 10) Lebih jauh beliau
menyatakan: ” ... Filsafah Pancasila itulah yang paling besar kemungkinannya
memungkinkan bangsa Indonesia bertahan dalam pertarungan antar-bangsa.
Sehingga Pancasila itulah yang sudah tepat menjadi kompas bagi pembangunan
bangsa dan negara di abad ke-21 ini.” (2008: 16)
10. Setelah membaca dan mempelajari seluruh isi naskah Oratio Dies Prof. Sunaryati-
Hartono, dan membaca ulang kalimat-kalimat yang dikutip di atas, maka yang
pertama-tama muncul dalam pikiran saya adalah nama Prof. Mr Soediman
Kartohadiprodjo. Mengapa, dan siapa beliau ini?
11. Prof. Mr Soediman Kartohadiprodjo dilahirkan pada tanggal 3 September 1908 di
Jatirogo. Ayahnya bernama R. Toemenggoeng Bawadiman Kartohadiprodjo,
Asisten Wedana Jatirogo yang kemudian menjadi Bupati Pasuruan. Ibunya
4
5
5
6
6
7
terbentuk melalui sistem pendidikan Barat dan ilmu yang diajarkan pun berasal
dari Barat. Dengan demikian, untuk membangun masa depan bangsa Indonesia
pada masa kini kita harus melakukannya dengan menggunakan ilmu yang
memang kita terima dari Barat dan sudah diteruskan dari generasi pertama orang
Indonesia terdidik sampai ke generasi kelima.
14. Namun, upaya membangun hari esok bangsa itu harus dilakukan ketika kita
sekarang tengah mengalami krisis yang sangat dahsyat, krisis moral yang
berintikan krisis identitas seperti digambarkan di atas. Ini berarti, bahwa upaya
untuk merancang masa depan itu harus dilakukan dengan menemukan terlebih
dahulu apa landasan pikiran yang akan dijadikan titik tolaknya. Kita perlu
menentukan terlebih dahulu apa pandangan hidup dan cara berpikir yang mau kita
gunakan merumuskan rancangan pembangunan masa depan kita. Berkenaan
dengan hal ini, maka tepatlah jika Prof. Sunaryati-Hartono dalam Oratio Dies-nya
itu menyarankan untuk ”tetap setia pada nilai-nilai Pancasila yang ... harus kita
jiwai dan terapkan sebagai volksgeist Indonesia.” (2008: 10) Itu sebabnya, di atas
saya mengatakan pokok-pokok pikiran yang dilontarkan oleh Prof. Sunaryati-
Hartono langsung memunculkan nama Prof. Soediman Kartohadiprodjo, karena
berkaitan dengan apa yang akan dikemukakan di bawah ini.
15. Prof. Soediman Kartohadiprodjo bersama-sama dengan Prof. Notonagoro
termasuk ke dalam sedikit orang di antara sarjana-sarjana hukum Indonesia
generasi pertama yang memberikan perhatian khusus pada Pancasila sebagai
filsafat hidup bangsa Indonesia. Dari para gurubesarnya yang orang Belanda,
beliau memperoleh pelajaran bahwa hukum yang berkaitan dengan kehidupan
manusia bermasyarakat bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Namun beliau
melihat keanehan dalam sistem hukum dari bangsa Belanda yang diajarkan
kepada beliau, yaitu bahwa sistem hukum Belanda memberikan tempat pada
kolonialisme, padahal jelas bahwa kolonialisme itu secara diametral bertentangan
dengan rasa keadilan. Sebagai warga dari suatu bangsa yang selama ratusan tahun
dijajah, beliau sangat merasakan ketidak-adilan itu.
16. Upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap hal yang dirasakannya ganjil itu
dikemukakan dalam Oratio Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan pada
tanggal 17 Januari 1962 yang berjudul ”PENGLIHATAN MANUSIA TENTANG
TEMPAT INDIVIDU DALAM PERGAULAN HIDUP (Suatu Masalah).” (jadi,
47 yahun yang lalu). Setelah itu beliau mengembangkan lebih lanjut
pemikirannya tentang hubungan antara Pancasila dan hukum dalam berbagai
artikel dan makalah, yang pada tahun 1965 diterbitkan dalam buku
”KUMPULAN KARANGAN”. Dalam oratio dies itu, Prof. Soediman
Kartohadiprodjo mengemukakan bahwa dalam tiap ketentuan dalam bidang
hukum terdapat unsur keadilan. Bagi beliau, hukum itu bertjuan untuk
mewujudkan masyarakat manusia yang tertib berkeadilan. Unsur keadilan yang
menjadi unsur esensial dalam hukum itu adalah suatu penilaian yang dilakukan
oleh manusia tentang perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama manusia
dalam suatu pergaulan hidup. Jadi, yang melakukan penilaian itu adalah manusia.
Yang dinilai adalah perilaku manusia. Perilaku manusia yang dinilai itu adalah
perilaku yangberlangsung atau yang terjadi dalam pergaulan hidup manusia, di
dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan antar-manusia. Karena itu, Prof.
7
8
8
9
9
10
10
11
dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai
oleh Pacasila.
23. Pada berbagai kesempatan, Ir. Sukarno menyatakan bahwa beliau bukan pencipta
Pancasila, melainkan hanya pengutara atau perumusnya saja. Beliau menyatakan
bahwa Pancasila itu diciptakan oleh bangsa Indonesia. Beliau hanya mengakui
bahwa ia menggali Pancasila dari buminya bangsa Indonesia. Pancasila itu yang
tadinya cemerlang kemudian terbenam kembali di dalam buminya bangsa
Indonesia selama 350 tahun oleh penjajahan Belanda. Menurut Sukarno,
Pancasila itu adalah ”Isi Jiwa Bangsa Indonesia”, intisari peradaban bangsa
Indonesia, Filsafat Bangsa Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, landasan
kefilsafatan, Weltanschauung bangsa Indonesia.
24. Dari apa yang telah dikemukakan tadi, tampak bahwa Undang-undang Dasar
1945 tidak dibuat berdasarkan ajaran dan pemahaman tentang hukum, negara dan
politik sebagaimana yang dikembangkan di barat, jadi tidak berdasarkan dan tidak
dijiwai individualisme yang dikembangkan oleh John Locke, Rousseau,
Montesquieu, Kant, Hegel dan pemikir-pemikir barat lain yang lebih kemudian.
Undang-undang Dasar 1945 oleh para pembentuknya (Prof. Sunaryati: founding
parents) secara sadar disusun berdasarkan suatu falsafah yang berbeda dengan
falsafah yang melandasi dan menjiwai undang-undang dasar yang ditemukan di
dunia barat (Amerika, Eropa, Australia, dll.) dan di negara-negara lain yang
dipengaruhi oleh dunia pemikiran barat. Karena itu, sekali lagi, seyogyanya
Undang-undang Dasar 1945 dibaca, dipahami dan diimplimentasikan berdasarkan
dan dalam semangat Pancasila. Namun, betulkah harus demikian. Bukankah
filsafat barat dan cara berpikir bara itu telah menyebabkan negara-negara barat
dan negara-negara lain yang ikut menggunakannya telah berjaya, sudah
memperlihatkan hasil yang gilang gemilang. Mungkin saja.
25. Namun, ketika kemudian Prof. Soediman Kartohadiprodjo berupaya untuk
menelusuri lebih dalam lagi untuk menemukan akar-akar terdalam yang telah
menyebabkan dalam sistem hukum yang lahir dalam kebudayaan barat itu
memberikan tempat untuk sistem kolonialisme yang tidak adil itu, beliau bertemu
dengan buku-buku karya penulis-penulis besar dari Barat yang terbit pada
permulaan abad 20 yang cukup menggemparkan. Dimulai dengan karya Ostwald
Spengler berjudul ”Der Untergang des Abendlandes” (1918), kemudian Pitirim
Sorokin berjudul ”The Crisis of our age” (1941), Johan Huizinga berjudul ”In de
schaduwen van morgen. Een diagnose van het geestelijk lijden van onze tijd”
(1935) dan ”Geschonden Wereld. Een beschouwing over den kansen op herstel
van onze beschaving” (1943), Jan Romein berjudul ”De Crisis van onze
beschaving in historisch perspectief” (1944), Jose Ortega y Gasset berjudul ”La
Rebelion de las Masas” (1926). Buku-buku tersebut semuanya memaparkan
bahwa kebudayaan barat sedang mengalami krisis berat, krisis yang sangat
mendasar. Jan Romein mengatakan bahwa kebudayaan barat dalam hakikatnya
sudah mencapai titik jenuhnya pada pertengahan abad 20 yang ditandai dengan
terjadinya Perang Dunia I dan II hanya dalam jangka waktu 50 tahun. Ortega y
Gasset dalam ”Mission of the University” (1944) mengatakan bahwa manusia
modern itu terdiri atas orang-orang yang ”uncultured” yang disebutnya juga ”the
new barbarian”. Beliau mengatakan ”This new barbarian is above all the
11
12
professional man, more learned than ever before, but at the same time more
uncultered – the engineer, the physician, the lawyer, the scientist.”
26. Krisis yang tengah melanda dunia dan bangsa kita itu adalah krisis yang sangat
fundamental yang dampaknya akan dapat sangat dahsyat pula, dan berbahaya.
Berkaitan dengan krisis yang hebat yang melanda kita semua itu, tidak keterlaluan
jika kita diingatkan lagi dengan apa yang dikatakan oleh George Meredith (1828–
1909) seorang pujangga Inggeris:
“In tragic life, God wot No villain need be.
Passion spin the plot.
We are betrayed by what was false within.”
(Dalam tragedi kehidupan manusia, tidak dibutuhkan seorang penjahat, tetapi
hawa nafsu manusia sendiri sudah menjadi jebakan baginya, dan manusia
dikhianati oleh apa yang palsu di dalam dirinya.”
27. Jadi, jika kita begitu saja “menjiplak” filsafat dan cara berpikir barat dengan
segala produk turunannya, bukankah itu berarti kita menceburkan diri ke dalam
suatu arus yang sedang dilanda krisis yang mendasar. Ke mana perkembangan
krisis tersebut akan membawa kita, masih belum dapat dibayangkan. Namun, P.J.
Bouman, dalam bukunya Van Renaissance tot Wereldoorlog (Dari Renaissance ke
Perang Dunia) mengatakan bahwa Renaissance Abad 15/16 di Eropa yang telah
melahirkan filsafat individualisme dan telah berhasil mendominasi seluruh dunia
itu pada akhirnya “voorbeschikt om ten gronde te gaan aan de middelen, waaraan
het zijn historische invloed te danken had” (ditakdirkan untuk hancur atau kandas
karena sarana atau unsur-unsur, yang pada permulaannya telah membuatnya
menjadi sangat berpengaruh dalam lintasan sejarah) Tetapi, pernyataan yang
dikemukakan oleh Ortega y Gasset dan P.J. Bouman perlu dipertimbangkan
dengan penuh kesungguhan. Namun saya sendiri lebih setuju pada upaya untuk
menempuh jalan baru seperti yang dicita-citakan oleh Para Pendiri Negara
Republik Indonesia lewat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945-nya.
28. Karena kelompok orang terpelajar Indonesia memperoleh pendidikannya dari
barat (Belanda) melalui sistem dan pola pendidikan barat, maka cara berpikir
yang terbentuk pun dalam hakikatnya adalah cara berpikir barat. Karena itu juga
cara orang Indonesia dalam membaca, memahami dan kemudian menerapkan
Undang-undang Dasar 1945 pun juga dilakukan dengan cara berpikir dan konsep-
konsep barat tentang hukum, kenegaraan, politik dan ekonomi. Jika filsafat barat
atau individualisme itu bertolak dari keyakinan bahwa “men are created free and
equal”, maka filsafat Pancasila justru bertolak dari keyakinan bahwa manusia itu
diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya. Padahal sudah jelas bahwa
Undang-undang Dasar 1945 itu disusun berdasarkan filsafat yang berbeda, bahkan
berlawanan dengan filsafat dan cara berpikir barat, yakni berdasarkan filsafat
Pancasila. Karena itu tidak mengherankan, jika terjadi interpretasi, pemahaman
dan cara menerapkan Undang-undang Dasar 1945 yang keliru. Bahkan ada
(banyak) yang berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
undang-undang itu memberi peluang atau menjadi landasan bagi pemerintahan
yang otoriter. Semuanya ini adalah akibat dari cara membaca Undang-undang
Dasar 1945 dengan menggunakan kacamata barat, lebih-lebih jika disertai dengan
mengaitkan pada kepentingan pribadi dan keluarga dari para pengemban
12
13
13
14
kehidupannya adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu, bertaqwa
dan mengabdi Tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar, yang sudah dengan
sendirinya harus begitu. Manusia diciptakan Tuhan dengan kodrat sebagai mahluk
bermasyarakat. Artinya, kehadiran manusia di dunia dikodratkan dalam kebersa-
maan dengan sesamanya. Dalam kebersamaannya itu, tiap manusia memiliki
kepribadian yang unik yang membedakan yang satu dari yang lain. Keseluruhan
pribadi-pribadi dengan keunikannya masing-masing mewujudkan satu kesatuan,
yakni kemanusiaan. Dalam masing-masing pribadi yang unik itu terdapat atau
terjelma kemanusiaan. Karena itu, kehadiran manusia dalam kebersamaannya
memperlihatkan kodrat adanya kesatuan atau kesamaan, yakni kemanusiaan
dalam pribadi-pribadi yang unik, yang berbeda. Jadi, kesatuan dalam perbedaan.
Sebaliknya, kebersamaan itu memperlihatkan kodrat kepribadian tiap manusia
individual yang unik, yakni perbedaan-perbedaan, di dalam kesatuan kemanu-
siaan. Jadi, perbedaan dalam kesatuan. Dalam Lambang Negara Republik
Indonesia, kodrat itu dirumuskan dalam seloka: "Bhinneka Tunggal Ika". Dilihat
dari jalan pikiran tadi, Bhinneka Tunggal Ika itu merumuskan asas pertama atau
titik tolak (postulat) dalam menetapkan pendirian tentang kedudukan tiap manusia
di dalam masyarakat. Manusia adalah subyek yang memiliki kepribadian yang
unik sebagai kodratnya. Kodrat berkepribadian ini tidak dapat disangkal tanpa
meniadakan juga kodrat kemanusiaannya. Karena itu, setiap manusia untuk dapat
menjadi manusia harus mengakui dan menerima adanya kepribadian itu, termasuk
kepribadian manusia-manusia lain. Hal ini berlaku juga bagi masyarakat. Artinya,
untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat manusia yang
berkemanusiaan, maka masyarakat harus mengakui dan memelihara serta melin-
dungi kepribadian masing-masing anggotanya, yakni manusia-manusia, melalui
siapa kemanusiaan diwujudkan. Maksudnya, di dalam diri tiap manusia,
masyarakat mewujudkan kemanusiaan. Sebaliknya, hal itu tidak berarti bahwa
masing-masing individu manusialah yang terpenting, dan karena itu kepentingan
tiap manusia masing-masing secara bersendiri harus didahulukan dari masyarakat.
Sebab, terbawa oleh kodrat kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan
sesamanya, manusia hanya dapat mewujudkan kemanusiaannya dalam
masyarakat yang di dalamnya tiap manusia menjadi anggotanya.
32. Terbawa oleh struktur kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan sesamanya
itu, maka sifat hubungan antar-manusia dan antara tiap manusia dengan
masyarakat dilandasi dan dijiwai oleh cinta-kasih. Sifat cinta-kasih yang menjiwai
hubungan manusiawi itu yang terbawa oleh kodrat kebersamaannya itu, juga pada
akhirnya bersumber pada Sang Maha Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Sifat hubungan manusiawi yang demikian itu dinamakan juga kekeluargaan.
Karena itu, Pandangan Hidup Pancasila dapat juga disebut Pandangan Hidup
Kekeluargaan. Asas Kekeluargaan adalah rumusan asas hidup yang didasarkan
atas pemikiran yang konkret. Dasar pemikiran yang konkret ini adalah kenyataan
bahwa tiada manusia yang kehadiran dan kehidupannya terlepas dari kaitan
kebersamaan dengan manusia-manusia lain dalam kesatuan masyarakat. Dalam
asas itu tercakup juga kesadaran dan pengakuan bahwa hidup manusia tergantung
pada lingkungannya seperti alam, sesama manusia dan pola perilaku tertentu yang
sudah diinstitusionalisasikan (adat istiadat), juga tergantung pada sesuatu yang
14
15
ada di atas segala-galanya (Tuhan Yang Maha Esa, Dunia Supranatural, Dunia
Transenden). Karena itu, kebahagiaan pribadi dan upaya untuk mewujudkannya
tidak dapat diisolasi dari kebahagiaan manusia-manusia lain yang bersama-sama
mewujudkan kebahagiaan bersama; serta upaya pribadi dan bersama itu tidak
diisolasi dari ketergantungan kepada Tuhan Yang Maha Esa; kebahagiaan pribadi
dan kebahagiaan masyarakat sebagai satu keseluruhan adalah berintegrasi.
15