Anda di halaman 1dari 15

1

Oratio Dies FH-UNPAR 2009


Revisitasi Pemikiran Prof. Mr Soediman Kartohadiprodjo
Tentang Pancasila Berkaitan Dengan Pengembangan
Tatanan Hukum Nasional Indonesia
(B. Arief Sidharta)

1. Izinkan terlebih dahulu saya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih yang telah melinmpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kita
sekarang dapat berkumpul di sini dalam rangka merayakan Dies Natalis FH
UNPAR ke 51. Selayaknya juga kita bersyukur atas Rahmat yang telah
dilimpahkan Tuhan Yang Maha Pengasih itu kepada FH UNPAR yang hanya
karena perkenan-Nya juga hingga kini masih yang mempertahankan eksistensi,
sekalipun telah menghadapi berbagai rintangan, gangguan, rongrongan dan
kesulitan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Selanjutnya saya
mengucapkan terima kasih kepada Bapak dekan FH UNPAR yang telah meminta
saya untuk mengucapkan Oratio Dies FH UNPAR 2009 ini. Ini adalah sebuah
penghargaan dan kehormatan bagi seorang alumni yang telah dibesarkan oleh
alma-mater yang dicintainya. Kepada Dekan, para Wakil Dekan, seluruh staf
karyawan FH UNPAR, para alumni dan seluruh warga keluarga besar Fakultas
Hukum Universitas Katolik, saya mengucapkan Selamat Merayakan Dies Natalis
ke 51.
2. Tahun yang lalu Prof. Dr Mr C.F.G. Sunaryati-Hartono yang diminta untuk
mengucapkan Oratio Dies FH UNPAR yang ke 50. Saya sangat menyesal pada
perayaan Dies Natalis yang sangat penting itu, saya tidak dapat menghadiri
pengucapan Oratio Dies itu, karena harus melaksanakan tugas sebagai penguji
eksternal pada sidang ujian terbuka promosi doktor ilmu hukum di Universitas
Hasanudin, di Makassar. Ketidak hadiran penguji eksternal dapat menyebabkan
sidang ujian tersebut diundur. Oratio Dies yang tidak dapat saya hadiri itu
membahas masalah tentang hubungan antara sistem hukum nasional, budaya
hukum dan Pancasila yang diberi judul “Membangun Budaya Hukum Pancasila
sebagai bagian dari Sistem Hukum Nasional Indonesia di Abad 21.” Saya merasa
menyesal tidak menghadiri pembacaan oratio itu, karena materi yang dibahas
dalam pidato itu sangat penting, dan juga karena orang yang berpidato itu adalah
orang yang, di samping Prof. Tuti Nurhadi, karya-karyanya telah membuka jalan
sehingga memungkinkan saya menulis disertasi saya. Kepada Prof. Sunaryati-
Hartono, saya memohon maaf atas ketidak hadiran saya itu.
3. Prof. Sunaryati-Hartono memulai uraiannya dengan pernyataan bahwa setelah 63
tahun bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan melalui Sukarno-Hatta: “ …
keadaan dan kehidupan nasional pada saat ini sungguh sangat menyedihkan dan
memprihatinkan.” dan “ … watak (Volksgeist) dan solidaritas bangsa Indonesia
pada saat ini justru semakin memburuk.” (2008: 2) Selanjutnya beliau
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan keadaan yang
memprihantinkan itu a.l. adalah tuntutan yang berlebihan (exploding demands),
egoisme dan individualisme orang Indonesia di abad 21 sangat meningkat, dan
peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat. (2008: 2)

1
2

4. Konstatasi Prof. Sunaryati yang cermat tentang keadaan di Indonesia dewasa ini
yang sangat memprihatinkan itu, tidaklah terlepas dari proses-proses perubahan
yang sedang berlangsung secara global, yang semuanya itu terjadi di bawah
pengaruh filsafat Positivisme yang lewat pengolahan filsuf-filsuf Amerika yang
menganut Pragmatisme, telah memunculkan cara berpikir yang pragmatik-
instrumentalistik di Barat yang juga langsung mendominasi dan dengan cepat
mewarnai cara berpikir dunia, yang kemudian menimbulkan kecenderungan
nihilistik dan emansipatorik. Cara berpikir pragmatik-instrumentalistik ini
menyebabkan terjadinya perkembangan ilmu, khususnya ilmu-ilmu alam, dan
teknologi termasuk teknologi komunikasi, yang semakin akseleratif.
Perkembangan yang cepat ini dengan sendirinya mendorong terjadinya proses-
proses globalisasi yang kini sudah tidak mungkin dielakkan lagi oleh negara
manapun. Proses-proses globalisasi ini pada gilirannya mendorong terjadinya
liberalisasi ekonomi dan berkembangnya pasar bebas, yang dengan sendirinya
membuka peluang bagi hidup dan berkembangnya pasar bebas dengan persaingan
bebasnya, bahkan rumah sakit dan perguruan tinggi pun didorong atau terdorong
memasuki arena persaingan itu. Semuanya itu menyebabkan kapitalisme global
mendominasi kehidupan sosial-ekonomi di mana pun juga. Perkembangan ini
menyebabkan terjadinya interaksi kultural antar-berbagai bangsa di dunia yang
semakin intensif, yang dengan sendirinya mengakibatkan pergeseran nilai dan
perubahan sikap serta perilaku para warga masyarakat, terutama pada bangsa-
bangsa yang baru merdeka sejak abad 20, yang karena kolonialisme dalam suatu
jangka waktu yang lama terisolasi dari perkembangan dan kemajuan zaman. Para
warga bangsa yang baru merdeka dan menjadi negara-bangsa itu yang proses
pembentukan bangsanya masih belum mencapai kristalisasi sehingga cukup
terintegrasi dan kuat, dan karena itu masih hidup dalam tradisi lama, seperti
bangsa Indonesia, secara langsung dihadapkan pada masalah-masalah modern
yang rumit yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat
pesat itu. Karena itu, kecenderungan nihilistik dalam kultur barat pun melanda
bangsa Indonesia yang masih muda itu.
5. Perubahan-perubahan dan dinamika dalam kehidupan ekonomi serta pergeseran
nilai yang berlangsung cepat itu menyebabkan terjadinya krisis nilai yang
memunculkan sikap yang mengutamakan rasionalitas (khususnya rasionalitas
efektivitas dan rasionalitas efisiensi dengan sepenuhnya mengabaikan rasionalitas
nilai dan rasionalitas berkaidah), kecenderungan sangat menonjolkan otonomi
subyek, memudarnya kewibawaan tradisi dan agama, dan berkembangnya
pandangan bahwa kebaikan dan kebenaran hanya sekedar sebuah “option” saja
dan putusan diambil berdasarkan pertimbangan “cost and benefit”. Budi-nurani
manusia tampak mulai menumpul yang membuka peluang bagi tumbuhnya
nihilisme di dalam masyarakat. Dalam bidang hukum, situasi krisis nilai ini
tampak dari munculnya gejala apa yang oleh Nonet-Selznick disebut “legal
moralism” (hukum yang sok moralis;), yang akan menumbuhkan kemunafikan
(ingat saja Uu Pornografi dan kasus pedophilia di Semarang). Dalam situasi krisis
nilai itu, kita semua dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan
keberadaan diri sendiri, “the challenge of survival”, yang dalam situasi yang
diwarnai kapitalisme, memaksa orang untuk berkompetisi dan untuk itu orang

2
3

memerlukan kompetensi. Maka pendidikan pun kini lebih diarahkan untuk


mengajarkan kompetensi untuk melakukan kegiatan tertentu (competency based)
agar lulusannya mampu berkompetisi dan memenangkan kompetisi itu.
Kurikulum pendidikan tinggi juga tampak lebih menonjolkan aspek pelatihan
kemahiran, ketimbang mengembangkan kemampuan berpikir secara ilmiah.
Keberadaan “keluarga” juga mulai tampak menjadi problematis (yang dipelopori
oleh perilaku para selebritis). Idealisme tampaknya semakin ‘tergilas” oleh
pragmatisme. Pada saat yang sama, perubahan sikap itu dihadapkan pada berbagai
tawaran kemewahan materiial dan kenikmatan jasmaniah, kepuasan afektif dan
psikologikal, yang semuanya itu dapat diperoleh asal mempunyai banyak uang.
Kesemuanya itu dengan segera mempengaruhi aspek moralitas dalam kehidupan
bermasyarakat (membawa dampak demoralisasi).
6. Perkembangan yang cepat ini telah menyebabkan timbulnya berbagai masalah
kemasyarakatan (social issues), terutama di negara-negara yang baru berkembang.
Masalah-masalah kemasyarakatan tersebut mencakup: kemiskinan, kesenjangan
sosial, kejahatan, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, terorisme, protes
masyarakat, premanisme, hooliganism, tawuran, mutu pendidikan dan sumber
daya manusia, perlindungan anak dan perempuan, pertambahan jumlah penduduk
dan transformasi demografik, keadilan sosial, penyalahgunaan kewenangan dan
kekuasaan, kerusakan ekologik, dan hak asasi manusia.
7. Apa yang digambarkan di atas tampak mencerminkan sesuatu yang lebih dalam,
yakni bahwa masyarakat sedang dilanda berlangsungnya krisis moral yang
menunjukkan sedang terjadinya dekadensi moral, kerakusan, materialisme,
hedonisme, nir-etika dalam berpolitik, kecenderungan otoritarianisme, dan
pemiskinan kehidupan spiritual. Gejala-gejala krisis moral ini pada dasarnya
berintikan krisis identitas atau krisis harga diri, artinya orang sudah tidak mampu
lagi menghormati dirinya sendiri sesuai dengan status dan martabatnya. Orang
cenderung lupa menjaga reputasi baiknya. Misalnya: anggota DPR yang lebih
banyak memperjuangan kenaikan penghasilannya sendiri ketimbang
memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, kegiatan pembentukan
undang-undang dijadikan proyek dan untuk pelaksanaannya masih meminta uang
insentif, menerima suap untuk menggolkan suatu RUU, peer-group yang
karakternya berubah menjadi kelompok kekuasaan yang memandang calon
anggota baru bukan sebagai calon penggantinya yang harus dibina melainkan
sebagai calon saingan yang membahayakan kedudukannya dan harus disingkirkan
atau dicegah masuk, dokter dan advokat yang melihat pasien atau klien lebih
sebagai “sapi perahan” ketimbang sebagai orang yang memerlukan pertolongan
keahlian ilmiahnya, dan masih banyak lagi contoh lain. Tentu saja tidak semua
anggota kelompok itu bersifat demikian, tetapi cukup banyak. Krisis yang
mendasar ini menampilkan diri ke dalam berbagai aspek kehidupan
kemasyarakatan, yakni krisis hukum, krisis kepercayaan, krisis legitimasi
kekuasaan, dan semuanya itu akhirnya bermuara ke dalam krisis ekonomi/
moneter.
8. Situasi di Indonesia yang juga memperlihatkan gejala-gejala yang sama seperti
yang digambarkan di atas bermula dari masa pemerintahan Orde Baru yang
otoriter. Pembangunan ekonomi yang menjadi program pemerintahan yang utama

3
4

pada waktu itu ditumpukan pada pinjaman luar negeri. Namun pembangunan
ekonomi itu ternyata gagal membangun kemampuan ekonomi rakyat, jadi gagal
melakukan empowering. Pada masa itu terjadi korupsi besar-besaran hampir di
semua bidang dan pada semua tataran (horisontal dan vertikal). Sebaliknya, pada
waktu itu juga, hampir tidak ada seorangpun koruptor yang diadili dan dijatuhi
hukuman pidana; jadi, Indonesia adalah negara yang paling koruptif namun tanpa
koruptor. Maka tidak mengherankan jika fundasi keadaban bangsa mengalami
goncangan yang sangat hebat. Karena itu juga dapat dipahami mengapa upaya
untuk mewujudkan reformasi di semua bidang tidak berjalan lancar, sebab,
memang sulit untuk mendirikan ”bangunan” di atas fundasi yang sudah
berantakan. Masalahnya adalah mengapa sampai dapat terjadi hal yang demikian
memprihatinkan itu?
9. Prof. Sunaryati-Hartono, sesudah mengemukakan bahwa keadaan di Indonesia
dewasa ini adalah sangat menyedihkan dan memprihatinkan, yang disebabkan
antara lain karena ”egoisme dan individualisme orang Indonesia di abad 21”,
kemudian mengajukan pertanyaan: ”Mungkinkah perubahan teknologi, materi,
dan kehidupan sosial yang lebih maju dan terbuka akibat kecepatan komunikasi
antar-bangsa secara global itu tanpa terasa juga menimbulkan pergeseran
identitas? Yaitu pergeseran dari identitas nasional ke identitas asing atau
internasional di satu pihak? Tetapi untuk orang lain atau kelompok tradisional,
mencari kebahagiaannya dari identitas nasional ke identitas lokal/kedaerahan, di
lain pihak?” (2008: 3) Untuk kemudian beliau menyatakan: ”Kalau begitu,
apakah membangun identitas dan watak atau budaya bangsa Indonesia itu (nation
and character building) tidak lebih penting daripada membanguan segala aspek
dan sarana fisik, seperti gedung bertingkat, mall-mall yang mewah, bahkan juga
Sistem Hukum, Sistem Ekonomi dan sebagainya, sebagaimana setiap tahun
digariskan dalam Rencana-rencana Pembangunan Nasional kita?” (2208: 3, 4)
Selanjutnya, berkenaan dengan bidang hukum, beliau menyatakan: ”Kalau benar,
maka untuk membangun Sistem Hukum Nasional, sebenarnya harus dibina suatu
budaya Hukum Nasional terlebih dahulu yang akan mempengaruhi kekuatan dan
efektivitas berlakunya dan ditetapkannya berbagai kaidah Hukum Nasional.”
(2008: 10) Kemudian beliau menyatakan: ” ... apabila benar-benar kita bertekad
mempertahankan identitas kita sebagai bangsa Indonesia ..... maka tidak ada jalan
lain daripada tetap setia pada nilai-nilai Pancasila yang ..... harus kita jiwai dan
terapkan sebagai volksgeist Indonesia; ... ” (2008: 10) Lebih jauh beliau
menyatakan: ” ... Filsafah Pancasila itulah yang paling besar kemungkinannya
memungkinkan bangsa Indonesia bertahan dalam pertarungan antar-bangsa.
Sehingga Pancasila itulah yang sudah tepat menjadi kompas bagi pembangunan
bangsa dan negara di abad ke-21 ini.” (2008: 16)
10. Setelah membaca dan mempelajari seluruh isi naskah Oratio Dies Prof. Sunaryati-
Hartono, dan membaca ulang kalimat-kalimat yang dikutip di atas, maka yang
pertama-tama muncul dalam pikiran saya adalah nama Prof. Mr Soediman
Kartohadiprodjo. Mengapa, dan siapa beliau ini?
11. Prof. Mr Soediman Kartohadiprodjo dilahirkan pada tanggal 3 September 1908 di
Jatirogo. Ayahnya bernama R. Toemenggoeng Bawadiman Kartohadiprodjo,
Asisten Wedana Jatirogo yang kemudian menjadi Bupati Pasuruan. Ibunya

4
5

bernama R. Ayoe Oemi Kartohadiprodjo. Pada tahun 1915 Prof. Soediman


Kartohadiprodjo belajar di Openbare Europese Lagere School (ELS) di
Bojonegoro. Setelah lulus dari ELS itu, beliau melanjutkan pelajarannya ke
Hogere Burgerschool (HBS) di Semarang. Setelah menyelesaikan HBS-nya pada
tahun 1927, beliau melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Kedokteran atau
Geneeskundige Hogeschool (GH) di Jakarta. Tetapi, karena merasa tidak sesuai
dengan bakatnya, beliau pindah ke Sekolah Tinggi Hukum atau Rechtshogeschool
(RH), juga di Jakarta. Menjelang akhir studinya di Rechtshogeschool, R.
Toemenggoeng Bawadiman Kartohadiprodjo meninggal dunia, yang hampir
menyebabkan studinya terhenti. Namun, dengan bantuan Prof. Dr J.H.A
Logemann dan Prof. Mr B. Ter Haar Bzn., beliau berhasil menyelesaikan studinya
pada tahun 1936 dengan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr). Pada
tanggal 26 Desember 1936 beliau menikah dengan R. Ajeng Oetariah Koesoemo
Oetojo, putri dari R.M. A.A. Koesoemo Oetojo. Pernikahan ini menghasilkan
tujuh putra dan dua putri. Beliau mulai bekerja sebagai hakim di Garut, Tanjung
Karang, Semarang dan Jakarta. Beliau mengakhiri kariernya di lingkungan
peradilan pada tahun 1947 dalam kedudukan sebagai Hakim Tinggi Republik
Indonesia di Jakarta. Kemubian beliau berkiprah di bidang pendidikan tinggi
hukum, dan dapat dipandang sebagai salah seorang yang meletakkan landasan dan
dasar-dasar bagi pengorganisasian pendidikan tinggi hukum di Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan.
12. Prof. Soediman Kartohadiprodjo dikenal sebagai pribadi yang pada masa kini
tergolong kelompok orang yang tidak banyak jumlahnya. Keseluruhan hidup
beliau mencerminkan ciri-ciri watak orang yang sederhana, jujur, setia dan adil.
Beliau adalah intelektual yang memiliki keutuhan pribadi yang lengkap dengan
keberanian moral yang selalu terpelihara dalam keadaan apapun. Kehidupannya
juga memancarkan semangat nasionalisme, patriotisme, idealisme dan
kemanusiaan yang sudah menyala sejak masa sekolahnya di HBS Semarang.
Beliau adalah aktivis Tri Koro Darmo, Jong Java dan Indonesia Muda, dan turut
serta pada Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada tahun
1928. Semangat nasionalismenya tetap menyala semasa menjabat hakim,
pengacara, jaksa dan gurubesar. Semangat nasionalisme, idealisme, kemanusiaan,
kejujuran, keberanian moral dan keadilan yang hidup dalam pribadinya itu selalu
ditiupkan kepada para mahasiswa asuhannya, baik dengan kata-kata tetapi
terutama dengan teladan. Dalam kuliah sering dikatakannya agar para mahasiswa
setelah lulus kelak jangan menjadi ahli hukum atau advokat ”ter kwader trouw”
(beritikad buruk). Sebagai gurubesar Ilmu Hukum, beliau selalu berupaya
menanamkan dan mengembangkan kemampuan berpikir sistematis-logis kepada
para mahasiswanya. Beliau selalu akrab dengan para mahasiswa asuhannya, dan
beliau selalu hadir dalam setiap kegiatan kemahasiswaan dengan senyumnya yang
khas, ”senyum pak Diman”. Baginya, menumbuhkan dan membina benih
kepemimpinan pada mahasiswa sebagai calon pemimpin di kemudian hari
haruslah juga menjadi perhatian dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Karena
itu, segera setelah beliau mulai menjalankan tugas sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan, salah satu langkah pertama yang
dilakukannya adalah mengadakan pertemuan dengan Senat Mahasiswa Fakultas

5
6

Hukum. Melalui kuliah, tulisan dan teladan, beliau mengupayakan untuk


menanamkan filsafat kekeluargaan (Pancasila) sebagai sikap hidup dan pola pikir
pada Civitas Academica Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. Di
bawah pimpinannya terciptanya suasana pergaulan hidup yang dijiwai
semangat kekeluargaan, persatuan dan kesatuan nasional, yang bebas dari
kesukuan, segala jenis diskriminasi atau sikap primordial lainnya. Prof. G.J.
Resink dalam artikel berjudul ”RECHTSHOGESCHOOL, JONGERENEED,
STUW EN GESTUWDEN” yang dimuat dalam buku ”LIMA PULUH TAHUN
PENDIDIKAN HUKUM DI INDONESIA” (Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1974: 658), menulis: ”Soediman was veel meer ’guru’ dan geleerde
...” (Soediman lebih merupakan seorang guru ketimbang seorang ilmuwan).
Namun, ini tidak berarti bahwa beliau tidak menghasilkan karya-karya ilmiah,
melainkan bahwa watak sebagai guru dalam arti yang sebenarnya yang sangat
atau lebih kuat dirasakan orang. Dan, pada masa sekarang ini justru diperlukan
lebih banyak guru yang dalam diri dan kehidupannya mampu menghayati dan
mewujudkan dengan tindakan nyata apa yang pernah dikatakan oleh Ir. Soekarno:
”Tidak, goeroe tidak bisa ’main koemidi’, goeroe tidak bisa mendoerhakai
iapoenya djiwa sendiri. Goeroe hanjalah dapat mengasihkan apa dia itoe
sebenarnja. Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat
men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is!” (”MENJADI GOEROE
DIMASA KEBANGOENAN” terdapat dalam ”DIBAWAH BENDERA
REVOLUSI”, I, 1963), yang dalam hakikatnya berarti bahwa guru itu tidak bisa
atau tidak boleh munafik, tidak boleh menggunakan double standard. Apa yang
mau ”diajarkan” oleh Prof. Soediman Kartohadiprodjo kepada para
mahasiswanya tentang semangat kebangsaan, patriotisme, idealisme,
kemanusiaan, kejujuran, kesetiaan, dan keadilan adalah apa yang dijalani dan
diwujudkannya sendiri dalam kehidupan sehari-hari manusia Soediman
Kartohadiprodjo sebagai suami, sebagai ayah, sebagai sahabat, sebagai aktivis
organisasi, sebagai dosen, sebagai Dekan, sebagai hakim, sebagai jaksa, sebagai
pengacara.
13. Prof. Soediman Kartohadiprodjo termasuk ke dalam kelompok generasi pertama
sarjana hukum orang Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang memiliki
keahlian di bidang hukum yang terdidik secara akademik. Beliau mempelajari
hukum di Rechtshogeschool di Jakarta yang dibentuk oleh orang Belanda. Para
gurubesar yang mengajar pun adalah orang-orang Belanda. Kurikulum dan sistem
pengajarannya dan obyek yang diajarkannya (hukum dan Ilmu Hukum) adalah
juga sama dengan yang dijalankan di Belanda. Jadi, hukum, Ilmu Hukum dan cara
berpikir yuridik yang dipelajari, baik yang di Jakarta maupun yang di Belanda
(Leiden), adalah hukum dan Ilmu Hukum serta cara berpikir yuridik Belanda
(civil law). Dan, Ilmu Hukum, hukum dan cara berpikir hukum itulah juga yang
kemudian diajarkan kepada generasi-generasi berikutnya. Dan, pada masa kini
juga cara berpikir yuridik Amerika (common law) mulai mempengaruhi cara
berpikir para ahli hukum orang Indonesia. Jadi, para ahli hukum Indonesia itu
terbentuk melalui sistem pendidikan Barat, dan dengan demikian cara berpikir
yang tertanam ke dalam para ahli hukum itu adalah cara berpikir Barat. Secarea
lebih umum, dapat dikatakan bahwa kelompok orang-orang terdidik Indonesia

6
7

terbentuk melalui sistem pendidikan Barat dan ilmu yang diajarkan pun berasal
dari Barat. Dengan demikian, untuk membangun masa depan bangsa Indonesia
pada masa kini kita harus melakukannya dengan menggunakan ilmu yang
memang kita terima dari Barat dan sudah diteruskan dari generasi pertama orang
Indonesia terdidik sampai ke generasi kelima.
14. Namun, upaya membangun hari esok bangsa itu harus dilakukan ketika kita
sekarang tengah mengalami krisis yang sangat dahsyat, krisis moral yang
berintikan krisis identitas seperti digambarkan di atas. Ini berarti, bahwa upaya
untuk merancang masa depan itu harus dilakukan dengan menemukan terlebih
dahulu apa landasan pikiran yang akan dijadikan titik tolaknya. Kita perlu
menentukan terlebih dahulu apa pandangan hidup dan cara berpikir yang mau kita
gunakan merumuskan rancangan pembangunan masa depan kita. Berkenaan
dengan hal ini, maka tepatlah jika Prof. Sunaryati-Hartono dalam Oratio Dies-nya
itu menyarankan untuk ”tetap setia pada nilai-nilai Pancasila yang ... harus kita
jiwai dan terapkan sebagai volksgeist Indonesia.” (2008: 10) Itu sebabnya, di atas
saya mengatakan pokok-pokok pikiran yang dilontarkan oleh Prof. Sunaryati-
Hartono langsung memunculkan nama Prof. Soediman Kartohadiprodjo, karena
berkaitan dengan apa yang akan dikemukakan di bawah ini.
15. Prof. Soediman Kartohadiprodjo bersama-sama dengan Prof. Notonagoro
termasuk ke dalam sedikit orang di antara sarjana-sarjana hukum Indonesia
generasi pertama yang memberikan perhatian khusus pada Pancasila sebagai
filsafat hidup bangsa Indonesia. Dari para gurubesarnya yang orang Belanda,
beliau memperoleh pelajaran bahwa hukum yang berkaitan dengan kehidupan
manusia bermasyarakat bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Namun beliau
melihat keanehan dalam sistem hukum dari bangsa Belanda yang diajarkan
kepada beliau, yaitu bahwa sistem hukum Belanda memberikan tempat pada
kolonialisme, padahal jelas bahwa kolonialisme itu secara diametral bertentangan
dengan rasa keadilan. Sebagai warga dari suatu bangsa yang selama ratusan tahun
dijajah, beliau sangat merasakan ketidak-adilan itu.
16. Upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap hal yang dirasakannya ganjil itu
dikemukakan dalam Oratio Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan pada
tanggal 17 Januari 1962 yang berjudul ”PENGLIHATAN MANUSIA TENTANG
TEMPAT INDIVIDU DALAM PERGAULAN HIDUP (Suatu Masalah).” (jadi,
47 yahun yang lalu). Setelah itu beliau mengembangkan lebih lanjut
pemikirannya tentang hubungan antara Pancasila dan hukum dalam berbagai
artikel dan makalah, yang pada tahun 1965 diterbitkan dalam buku
”KUMPULAN KARANGAN”. Dalam oratio dies itu, Prof. Soediman
Kartohadiprodjo mengemukakan bahwa dalam tiap ketentuan dalam bidang
hukum terdapat unsur keadilan. Bagi beliau, hukum itu bertjuan untuk
mewujudkan masyarakat manusia yang tertib berkeadilan. Unsur keadilan yang
menjadi unsur esensial dalam hukum itu adalah suatu penilaian yang dilakukan
oleh manusia tentang perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama manusia
dalam suatu pergaulan hidup. Jadi, yang melakukan penilaian itu adalah manusia.
Yang dinilai adalah perilaku manusia. Perilaku manusia yang dinilai itu adalah
perilaku yangberlangsung atau yang terjadi dalam pergaulan hidup manusia, di
dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan antar-manusia. Karena itu, Prof.

7
8

Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan bahwa penilaian tentang


perilaku manusia itu dalam intinya akan tergantung pada pandangan hidup
manusia yang memunculkan penilaian itu, yakni pada penglihatan manusia yang
melakukan penilaian dan manusia yang perilakunya dinilai tentang tempat
manusia individual di dalam pergaulan hidup. Dengan keyakinan itu, Prof.
Soediman Kartohadiprodjo mulai memfokuskan penelusurannya pada substansi
pandangan hidup yang dianut yang tercermin ke dalam sistem hukum yang
ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersangkutan. Jadi, sistem hukum
Belanda atau Barat pada umumnya, pasti mencerminkan pandangan hidup dan
cara berpikir yuridik yang dianut oleh bangsa Belanda sebagai suatu bagian dari
bangsa-bangsa barat. Cara berpikir yuridik itulah yang juga meresap ke dalam
alam pikiran para sarjana hukum Indonesia sampai sekarang.
17. Dalam upaya untuk menelusuri sebab musababnya agar dapat menjelaskan
mengapa sistem hukum yang sudah maju memberikan tempat pada penjajahan
yang menindas keadilan dan kemanusiaan, Prof. Soediman menemukan
jawabannya dalam karya Jacob Burckhardt yang berjudul “Civilization of the
Renaissance in Italy” (aslinya berjudul “Die Kultur der Renaissance in Italien”).
Dalam buku tersebut, Jacob Burckhardt mengatakan bahwa hingga akhir Abad
Pertengahan “Man was conscious of himself only as a member of a race, people,
party, family, or corporation – only through some special category.” Jadi manusia
hanya mempunyai makna sebagai anggota dari suatu pengelompokan tertentu. Di
luar keanggotaannya itu, manusia invidual itu tidak mempunyai makna sama
sekali. Tetapi keadaan itu berubah. Pada suatu waktu yang oleh para ahli sejarah
disebut Zaman Renaissance, manusia mulai menyadari bahwa keberadaannya
mempunyai makna penuh terlepas dari keanggotaannya pada suatu kelompok
apapun. Burckhardt mengatakan “man became a spiritual individual and
recognized himself as such.” Jadi, dengan mengacu pada karya-karya para
pemikir di bidang sejarah, Prof. Soediman Kartohadiprodjo melihat bahwa
pandangan hidup barat bertolak dari keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai
mahluk otonom yang bebas dan terpisah dari manusia-manusia invidual lainnya,
dan karena itu masing-masing mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan
sendiri jalan hidupnya masing-masing. John Locke mengatakan “ … man are
naturally … in … a state of perfect freedom to order their actions.” Jadi, apa yang
terjadi dalam zaman Renaissance itu adalah bahwa manusia menemukan kembali
kepribadiannya, individualitasnya. Prof. Soediman merumuskan titik tolak yang
diyakini dalam pandangan hidup barat dengan ungkapan bahwa “man are created
free and equal”, dan pandangan hidup yang demikian itu disebut individualisme
yang lahir pada zaman Renaissance. Demikianlah para filsuf pada zaman itu dan
sesudahnya pada umumnya mempunyai keyakinan yang sama, termasuk Karl
Marx.
18. Tentu saja, para filsuf itu melihat bahwa dalam kenyataan, manusia-manusia
individual itu menjalani kehidupannya secara berkumpul dan mendiami satu
wilayah yang sama. Para filsuf itu berupaya untuk menunjukkan sekurang-
kurangnya ada dua sebab yang dapat menjelaskan gejala tersebut. Pertama, dalam
diri setiap manusia individual terdapat naluri untuk bergaul dengan manusia-
manusia lain yang mendorong mereka saling mencari sesamanya. Kedua, dalam

8
9

diri setiap manusia individual terdapat keyakinan bahwa kepentingannya akan


terpenuhi (akan terpenuhi dengan lebih baik) jika bekerja sama dengan manusia-
manusia lain. Karena bekerjanya dua faktor itu yang berinteraksi dengan faktor-
faktor lain, tiap manusia invidual terdorong untuk saling mencari sesamanya dan
membentuk masyarakat. Agar hidup bermasyarakat itu dapat berlangsung dengan
baik maka diperlukan adanya pengaturan dan pihak yang melakukan pengaturan
itu. Untuk itu, maka tiap manusia individual harus melepaskan kekuasaan yang
sudah dimilikinya secara alamiah dan menyerahkannya kepada orang (satu orang
atau sekelompok orang) yang akan melakukan tindakan-tindakan pengaturan itu.
Demikianlah, melalui apa yang disebut kontrak sosial terbentuklah organisasi
kemasyarakatan, yang sekarang disebut negara. Itu sebabnya, dalam pandangan
barat, negara itu adalah organisasi kekuasaan. Kemudian, yang menjadi masalah
adalah pertanyaan seberapa banyak kekuasaan dari tiap individu yang harus
dilepaskan dan diserahkan kepada orang atau sekelompok orang untuk
dipergunakan melakukan tindakan pengaturannya itu? Thomas Hobbes
menjawab, agar efektif harus semuanya, sehingga dengan demikian terbentuklah
kekuasaan mutlak. Penguasa memegang kekuasaan mutlaknya itu selama ia
mampu menggunakan dan memaksakan kekuasaannya. John Locke menjawab
hanya sebagian saja, karena ada sebagian kekuasaan yang melekat pada
keberadaan tiap manusia yang bersangkutan, sehingga jika dilepaskan maka
kemanusiannya akan hilang. Bagian yang tidak dapat dilepaskannya itu adalah
apa yang sekarang disebut hak-hak asasi manusia (HAM). Negara dibentuk justru
untuk melindungi hak asasi manusia itu.
19. Filsafat individualisme yang bertolak dari keyakinan “men are created free and
equal" yang lahir pada zaman Renaissance (Rene Descartes dengan titik tolak
berpikirnya: cogito ergo sum), kemudian dimantapkan oleh para filsuf penganut
aliran naturalisme rasional (Hugo Grotius, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-
Jaques Rousseau, Montesquieu, dsb.), diterapkan dan dikembangkan ke dalam
berbagai bidang kehidupan: politik, hukum, ekonomi, dan berbagai bidang lain
termasuk ilmu-ilmu yang mempelajarinya. Pemikiran dalam berbagai bidang
kehidupan yang dijiwai oleh individualisme itu selama 200 sampai 300 tahun
terakhir mengalami pengolahan, pengembangan dan pematangan sehingga
menghasilkan pemikiran-pemikiran dalam berbagai bidang kehidupan itu yang
mengagumkan semua orang terutama kalangan yang terpelajarnya (para
intelektual dan elite masyarakat). Juga mengagumkan para intelektual dan elite
masyarakat dari kalangan bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan oleh
bangsa-bangsa barat. Mereka, yang semuanya juga memperoleh pendidikan dan
pengajaran melalui sistem pendidikan barat yang membentuk pola dan cara
berpikir mereka, pada umumnya menghendaki agar apa yang dihasilkan oleh
pemikiran barat itu (yang mencakup berbagai institusi dan organisasi pada semua
aspek/bidang kehidupan, termasuk cara bekerjanya) juga diwujudkan di
lingkungan bangsanya masing-masing. Demikian juga kaum terpelajar dan elite
Indonesia menganut pandangan dan keinginan yang pada dasarnya sama.
20. Pada permulaan tahun 1945 para pemimpin pergerakan nasional dan tokok elite
Indonesia memperoleh kesempatan untuk membahas persiapan memperoleh
kemerdekaan dengan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan

9
10

Kemerdekaan (BPUPK) oleh Penguasa Perang Jepang. Pada masa persidangan


yang pertama (29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945), para anggota BPUPK diminta
untuk mengemukakan pendapat masing-masing tentang dasar-dasar falsafah bagi
penyusunan organisasi Negara Indonesia Merdeka. Sebagai pembicara terakhir, Ir
Sukarno mengusulkan lima dasar untuk dijadikan dasar falsafah bagi negara yang
akan dibentuk. Lima dasar yang diusulkannya itu adalah: Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan
Sosial, dan Ketuhanan. Lima dasar itu dinamakan Pancasila, yang dapat dijadikan
Trisila yang terdiri atas Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan, dan
dapat dijadikan satu, yakni paham gotong-royong atau kekeluargaan. Pokok-
pokok pikiran yang diajukan oleh Ir. Sukarno itu secara aklamasi diterima oleh
semua anggota BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 itu.
21. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar yang sekarang dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Dasar 1945. Pada alinea keempat dari Pembukaan
Undang-Undang Dasar itu termuat rumusan berikut : “…, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia”. Kata-kata ” … dengan berdasarkan kepada … ” dalam alinea keempat
dari Pembukaan itu menunjukkan, bahwa keseluruhan pasal-pasal dari Undang-
undang Dasar itu disusun berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain, Undang-
undang Dasar (1945) itu dijiwai oleh, dan karena itu pemahamannyapun harus
didasarkan pada Pancasila. Dengan demikian, maka Pancasila itu adalah asas atau
“guiding principle” dalam menegara di Indonesia. Sebagai asas menegara,
Pancasila dapat dikatakan adalah dasar-dasar Filsafat Negara atau dasar-dasar
Ideologi Negara. Secara yuridis, Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang
fundamental (Notonegoro). Dengan demikian, sebagai guiding principle,
Pancasila itu adalah norma kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan
dan putusan di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan ekonomi.

Hadirin yang yang saya muliakan,


22. Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan, bahwa proses
perumusan Pancasila adalah hasil usaha para pemimpin pergerakan nasional
untuk menetapkan dasar-dasar atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan
dan menyusun serta menyelenggarakan kemerdekaan itu dalam suatu negara
nasional. Dilihat dari sudut politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan
dari konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap insan politik indonesia
dalam menjalankan kegiatan politik sebagai ‘’guiding principle’’. Penempatan
dalam pembukaan dan kedudukannya dalam Undang-Undang Dasar,
menyebabkan Pancasila juga mempunyai kekuatan hukum. Karena itu pula,
perilaku dalam menjalankan kegiatan politik yang secara konstitusional konsisten

10
11

dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai
oleh Pacasila.
23. Pada berbagai kesempatan, Ir. Sukarno menyatakan bahwa beliau bukan pencipta
Pancasila, melainkan hanya pengutara atau perumusnya saja. Beliau menyatakan
bahwa Pancasila itu diciptakan oleh bangsa Indonesia. Beliau hanya mengakui
bahwa ia menggali Pancasila dari buminya bangsa Indonesia. Pancasila itu yang
tadinya cemerlang kemudian terbenam kembali di dalam buminya bangsa
Indonesia selama 350 tahun oleh penjajahan Belanda. Menurut Sukarno,
Pancasila itu adalah ”Isi Jiwa Bangsa Indonesia”, intisari peradaban bangsa
Indonesia, Filsafat Bangsa Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, landasan
kefilsafatan, Weltanschauung bangsa Indonesia.
24. Dari apa yang telah dikemukakan tadi, tampak bahwa Undang-undang Dasar
1945 tidak dibuat berdasarkan ajaran dan pemahaman tentang hukum, negara dan
politik sebagaimana yang dikembangkan di barat, jadi tidak berdasarkan dan tidak
dijiwai individualisme yang dikembangkan oleh John Locke, Rousseau,
Montesquieu, Kant, Hegel dan pemikir-pemikir barat lain yang lebih kemudian.
Undang-undang Dasar 1945 oleh para pembentuknya (Prof. Sunaryati: founding
parents) secara sadar disusun berdasarkan suatu falsafah yang berbeda dengan
falsafah yang melandasi dan menjiwai undang-undang dasar yang ditemukan di
dunia barat (Amerika, Eropa, Australia, dll.) dan di negara-negara lain yang
dipengaruhi oleh dunia pemikiran barat. Karena itu, sekali lagi, seyogyanya
Undang-undang Dasar 1945 dibaca, dipahami dan diimplimentasikan berdasarkan
dan dalam semangat Pancasila. Namun, betulkah harus demikian. Bukankah
filsafat barat dan cara berpikir bara itu telah menyebabkan negara-negara barat
dan negara-negara lain yang ikut menggunakannya telah berjaya, sudah
memperlihatkan hasil yang gilang gemilang. Mungkin saja.
25. Namun, ketika kemudian Prof. Soediman Kartohadiprodjo berupaya untuk
menelusuri lebih dalam lagi untuk menemukan akar-akar terdalam yang telah
menyebabkan dalam sistem hukum yang lahir dalam kebudayaan barat itu
memberikan tempat untuk sistem kolonialisme yang tidak adil itu, beliau bertemu
dengan buku-buku karya penulis-penulis besar dari Barat yang terbit pada
permulaan abad 20 yang cukup menggemparkan. Dimulai dengan karya Ostwald
Spengler berjudul ”Der Untergang des Abendlandes” (1918), kemudian Pitirim
Sorokin berjudul ”The Crisis of our age” (1941), Johan Huizinga berjudul ”In de
schaduwen van morgen. Een diagnose van het geestelijk lijden van onze tijd”
(1935) dan ”Geschonden Wereld. Een beschouwing over den kansen op herstel
van onze beschaving” (1943), Jan Romein berjudul ”De Crisis van onze
beschaving in historisch perspectief” (1944), Jose Ortega y Gasset berjudul ”La
Rebelion de las Masas” (1926). Buku-buku tersebut semuanya memaparkan
bahwa kebudayaan barat sedang mengalami krisis berat, krisis yang sangat
mendasar. Jan Romein mengatakan bahwa kebudayaan barat dalam hakikatnya
sudah mencapai titik jenuhnya pada pertengahan abad 20 yang ditandai dengan
terjadinya Perang Dunia I dan II hanya dalam jangka waktu 50 tahun. Ortega y
Gasset dalam ”Mission of the University” (1944) mengatakan bahwa manusia
modern itu terdiri atas orang-orang yang ”uncultured” yang disebutnya juga ”the
new barbarian”. Beliau mengatakan ”This new barbarian is above all the

11
12

professional man, more learned than ever before, but at the same time more
uncultered – the engineer, the physician, the lawyer, the scientist.”
26. Krisis yang tengah melanda dunia dan bangsa kita itu adalah krisis yang sangat
fundamental yang dampaknya akan dapat sangat dahsyat pula, dan berbahaya.
Berkaitan dengan krisis yang hebat yang melanda kita semua itu, tidak keterlaluan
jika kita diingatkan lagi dengan apa yang dikatakan oleh George Meredith (1828–
1909) seorang pujangga Inggeris:
“In tragic life, God wot No villain need be.
Passion spin the plot.
We are betrayed by what was false within.”
(Dalam tragedi kehidupan manusia, tidak dibutuhkan seorang penjahat, tetapi
hawa nafsu manusia sendiri sudah menjadi jebakan baginya, dan manusia
dikhianati oleh apa yang palsu di dalam dirinya.”
27. Jadi, jika kita begitu saja “menjiplak” filsafat dan cara berpikir barat dengan
segala produk turunannya, bukankah itu berarti kita menceburkan diri ke dalam
suatu arus yang sedang dilanda krisis yang mendasar. Ke mana perkembangan
krisis tersebut akan membawa kita, masih belum dapat dibayangkan. Namun, P.J.
Bouman, dalam bukunya Van Renaissance tot Wereldoorlog (Dari Renaissance ke
Perang Dunia) mengatakan bahwa Renaissance Abad 15/16 di Eropa yang telah
melahirkan filsafat individualisme dan telah berhasil mendominasi seluruh dunia
itu pada akhirnya “voorbeschikt om ten gronde te gaan aan de middelen, waaraan
het zijn historische invloed te danken had” (ditakdirkan untuk hancur atau kandas
karena sarana atau unsur-unsur, yang pada permulaannya telah membuatnya
menjadi sangat berpengaruh dalam lintasan sejarah) Tetapi, pernyataan yang
dikemukakan oleh Ortega y Gasset dan P.J. Bouman perlu dipertimbangkan
dengan penuh kesungguhan. Namun saya sendiri lebih setuju pada upaya untuk
menempuh jalan baru seperti yang dicita-citakan oleh Para Pendiri Negara
Republik Indonesia lewat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945-nya.
28. Karena kelompok orang terpelajar Indonesia memperoleh pendidikannya dari
barat (Belanda) melalui sistem dan pola pendidikan barat, maka cara berpikir
yang terbentuk pun dalam hakikatnya adalah cara berpikir barat. Karena itu juga
cara orang Indonesia dalam membaca, memahami dan kemudian menerapkan
Undang-undang Dasar 1945 pun juga dilakukan dengan cara berpikir dan konsep-
konsep barat tentang hukum, kenegaraan, politik dan ekonomi. Jika filsafat barat
atau individualisme itu bertolak dari keyakinan bahwa “men are created free and
equal”, maka filsafat Pancasila justru bertolak dari keyakinan bahwa manusia itu
diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya. Padahal sudah jelas bahwa
Undang-undang Dasar 1945 itu disusun berdasarkan filsafat yang berbeda, bahkan
berlawanan dengan filsafat dan cara berpikir barat, yakni berdasarkan filsafat
Pancasila. Karena itu tidak mengherankan, jika terjadi interpretasi, pemahaman
dan cara menerapkan Undang-undang Dasar 1945 yang keliru. Bahkan ada
(banyak) yang berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
undang-undang itu memberi peluang atau menjadi landasan bagi pemerintahan
yang otoriter. Semuanya ini adalah akibat dari cara membaca Undang-undang
Dasar 1945 dengan menggunakan kacamata barat, lebih-lebih jika disertai dengan
mengaitkan pada kepentingan pribadi dan keluarga dari para pengemban

12
13

kewenangan berdasarkan undang-undang dasar itu. Untuk dapat melaksanakan


Undang-undang Dasar 1945 secara benar, maka undang-undang dasar itu harus
dipahami dan diterapkan berdasarkan filsafat yang melandasinya, yakni filsafat
Pancasila. Karena itu, jika kita benar-benar ingin mewujudkan tujuan bangsa
Indonesia memperjuangkan kemerdekan dan mendirikan Negara Republik
Indonesia seperti yang dirumuskan dalam alinea ke-empat Pembukaan Undang-
undang Dasar 1945, maka seperti dikatakan oleh Prof. Sunaryati-Hartono, kita
“harus tetap setia pada nilai-nilai Pancasila …” yang harus kita “ … terapkan
sebagai volksgeist Indonesia”. Untuk itu, maka upaya untuk membina “suatu
budaya hukum nasional” kita, perlu disertai dengan upaya mempelajari kembali
dan memahami Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena
itulah, pada kesempatan ini saya ingin mengajak untuk merevisitasi dan
mempelajari kembali tulisan-tulisan Prof. Soediman Kartohadiprodjo tentang
Pancasila yang sudah dipublikasi melalui buku KUMPULAN KARANGAN pada
tahun 1965, juga mempelajari kembali karya-karya teman-teman seangkatan
beliau tentang materi yang kurang lebih sama, misalnya karya-karya Dr Ir
Sukarno, Dr Mohammad Hatta, Prof. Notonagoro, Ki Hadjar Dewantara, Prof.
Koentjaraningrat, dan juga Prof. Van Vollenhoven, dan sebagainya. Upaya untuk
mempelajari kembali pemikiran-pemikiran tentang Pancasila dan hal-hal yang
berkaitan dengan kultur dan cara berpikir bangsa Indonesia melalui tulisan orang-
orang yang disebut tadi, pada masa kini sangat relevan sehubungan dengan
kemungkinan akan dilakukan lagi amandemen terhadap Undang-undang Dasar
1945. Masalahnya adalah apa kita mau menjadi kita sendiri, atau menjadi orang
barat berkulit sawo mateng (berkulit tidak bulé)? Selain itu, perkembangan pada
tataran global juga memperlihatkan gejala-gejala yang mendekati cara
melaksanakan gagasan-gagasan atau pikiran yang sesungguhnya tercantum dalam
Pancasila. Misalnya terbentuknya Uni Eropa, cara pengambilan putusan dengan
musyawarah.
29. Sebagai penutup, berikut ini akan dipaparkan secara singkat Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia, yang disimpulkan dari tulisan-tulisan Prof.
Soediman Kartohadiprodjo yang tercantum dalam buku KUMPULAN
KARANGAN (1965) yang sudah disebut di atas.
30. Pandangan Hidup Bangsa Indonesia telah dirumuskan secara padat dalam bentuk
kesatuan rangkaian lima sila yang dinamakan Pancasila. Dengan sadar dan
sengaja Pancasila itu ditempatkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945
sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai penyusunan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dasar itu. Dengan
demikian, maka Pancasila melandasi dan (seharusnya) menjiwai kehidupan
kenegaraan di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan melaksanakan
politik hukumnya. Karena itu, penyusunan dan penerapan Tata Hukum di
Indonesia sejak berlakunya undang-undang dasar itu tadi harus dilandasi dan
dijiwai oleh Pancasila.
31. Pandangan Hidup Pancasila berpangkal pada keyakinan bahwa alam semesta
dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai suatu keseluruhan yang terjalin
secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Juga manusia diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa. Manusia berasal dari Tuhan dan tujuan akhir dari

13
14

kehidupannya adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu, bertaqwa
dan mengabdi Tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar, yang sudah dengan
sendirinya harus begitu. Manusia diciptakan Tuhan dengan kodrat sebagai mahluk
bermasyarakat. Artinya, kehadiran manusia di dunia dikodratkan dalam kebersa-
maan dengan sesamanya. Dalam kebersamaannya itu, tiap manusia memiliki
kepribadian yang unik yang membedakan yang satu dari yang lain. Keseluruhan
pribadi-pribadi dengan keunikannya masing-masing mewujudkan satu kesatuan,
yakni kemanusiaan. Dalam masing-masing pribadi yang unik itu terdapat atau
terjelma kemanusiaan. Karena itu, kehadiran manusia dalam kebersamaannya
memperlihatkan kodrat adanya kesatuan atau kesamaan, yakni kemanusiaan
dalam pribadi-pribadi yang unik, yang berbeda. Jadi, kesatuan dalam perbedaan.
Sebaliknya, kebersamaan itu memperlihatkan kodrat kepribadian tiap manusia
individual yang unik, yakni perbedaan-perbedaan, di dalam kesatuan kemanu-
siaan. Jadi, perbedaan dalam kesatuan. Dalam Lambang Negara Republik
Indonesia, kodrat itu dirumuskan dalam seloka: "Bhinneka Tunggal Ika". Dilihat
dari jalan pikiran tadi, Bhinneka Tunggal Ika itu merumuskan asas pertama atau
titik tolak (postulat) dalam menetapkan pendirian tentang kedudukan tiap manusia
di dalam masyarakat. Manusia adalah subyek yang memiliki kepribadian yang
unik sebagai kodratnya. Kodrat berkepribadian ini tidak dapat disangkal tanpa
meniadakan juga kodrat kemanusiaannya. Karena itu, setiap manusia untuk dapat
menjadi manusia harus mengakui dan menerima adanya kepribadian itu, termasuk
kepribadian manusia-manusia lain. Hal ini berlaku juga bagi masyarakat. Artinya,
untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat manusia yang
berkemanusiaan, maka masyarakat harus mengakui dan memelihara serta melin-
dungi kepribadian masing-masing anggotanya, yakni manusia-manusia, melalui
siapa kemanusiaan diwujudkan. Maksudnya, di dalam diri tiap manusia,
masyarakat mewujudkan kemanusiaan. Sebaliknya, hal itu tidak berarti bahwa
masing-masing individu manusialah yang terpenting, dan karena itu kepentingan
tiap manusia masing-masing secara bersendiri harus didahulukan dari masyarakat.
Sebab, terbawa oleh kodrat kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan
sesamanya, manusia hanya dapat mewujudkan kemanusiaannya dalam
masyarakat yang di dalamnya tiap manusia menjadi anggotanya.
32. Terbawa oleh struktur kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan sesamanya
itu, maka sifat hubungan antar-manusia dan antara tiap manusia dengan
masyarakat dilandasi dan dijiwai oleh cinta-kasih. Sifat cinta-kasih yang menjiwai
hubungan manusiawi itu yang terbawa oleh kodrat kebersamaannya itu, juga pada
akhirnya bersumber pada Sang Maha Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Sifat hubungan manusiawi yang demikian itu dinamakan juga kekeluargaan.
Karena itu, Pandangan Hidup Pancasila dapat juga disebut Pandangan Hidup
Kekeluargaan. Asas Kekeluargaan adalah rumusan asas hidup yang didasarkan
atas pemikiran yang konkret. Dasar pemikiran yang konkret ini adalah kenyataan
bahwa tiada manusia yang kehadiran dan kehidupannya terlepas dari kaitan
kebersamaan dengan manusia-manusia lain dalam kesatuan masyarakat. Dalam
asas itu tercakup juga kesadaran dan pengakuan bahwa hidup manusia tergantung
pada lingkungannya seperti alam, sesama manusia dan pola perilaku tertentu yang
sudah diinstitusionalisasikan (adat istiadat), juga tergantung pada sesuatu yang

14
15

ada di atas segala-galanya (Tuhan Yang Maha Esa, Dunia Supranatural, Dunia
Transenden). Karena itu, kebahagiaan pribadi dan upaya untuk mewujudkannya
tidak dapat diisolasi dari kebahagiaan manusia-manusia lain yang bersama-sama
mewujudkan kebahagiaan bersama; serta upaya pribadi dan bersama itu tidak
diisolasi dari ketergantungan kepada Tuhan Yang Maha Esa; kebahagiaan pribadi
dan kebahagiaan masyarakat sebagai satu keseluruhan adalah berintegrasi.

Bandung, 17 Oktober 2009.

15

Anda mungkin juga menyukai