Anda di halaman 1dari 5

Mungkin sebagian orang Indonesia masih asing dengan Sorgum.

Sorgum adalah salah satu


tanaman bahan makanan pokok dari jenis rumput-rumputan, serupa dengan padi, gandum, dan
jagung. Saat ini, Indonesia masih menjadikan beras dan gandum sebagai bahan makanan pokok
utama sampai produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi permintaan sehingga berakhir
pada kegiatan impor. Padahal, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan Sorgum
sebagai bahan makanan pokok. Hal ini dimungkinkan karena secara general, Sorgum memiliki
bentuk dan tekstur yang hampir sama dengan beras dan jagung.

Selain itu, komposisi gizi Sorgum pun tidak kalah baiknya dengan bahan makanan pokok lain
seperti beras, jagung, dan kedelai. Kandungan karbohidrat, protein, dan vitamin B1 dalam
Sorgum menjadi yang terbaik diantara bahan pangan lainnya. Dari segi karakteristik tanaman,
Sorgum pun termasuk tanaman yang mudah dibudidayakan karena mampu bertahan dalam
lingkungan basah atau kering dan lebih resisten terhadap hama. Sorgum juga dapat dipanen 2-3
kali dalam setahun dengan produktivitas yang cukup baik, yaitu sekitar lebih dari 2 ton untuk 1
hektar lahan tanam. Ditambah lagi, keadaan alam Indonesia yang sesuai dengan karakteristik
Sorgum membuat bisnis pangan ini begitu potensial untuk dilakukan di Indonesia.

Produk beras Sorgum dan tepung Sorgum berpeluang besar untuk berhasil diterapkan di
Indonesia mengingat memang dibutuhkannya pasokan bahan makanan pokok Indonesia yang
dapat diproduksi secara mandiri. Produk pangan dari Sorgum juga diyakini memiliki nilai jual
yang jauh lebih terjangkau dan menjanjikan karena dalam penanaman dan proses produksinya
pun sangat sederhana. Dari sisi pemasaran pun produk dari Sorgum juga dapat menjangkau
seluruh segmen masyarakat.

Dalam pendekatan kepada low classdan middle class consumer, produk Sorgum dapat
memanfaatkan harganya yang lebih terjangkau dibanding produk bahan pokok lainnya.
Sedangkan pendekatan untuk high class consumer,produk Sorgum dapat memanfaatkan
keunggulan produknya yaitu dapat dikonsumsi oleh orang-orang yang concern atau alergi
dengan protein gluten sehingga sesuai dengan kebutuhan Gluten Diet Free.

Kelayakan investasi bisnis dari Sorgum dapat diasumsikan sebagai berikut, dengan umur
usaha 15 tahun dan nilai investasi awal sebesar Rp 11 Milyar untuk memproduksi 13.900 ton
Sorgum dengan harga jual pada range Rp 7.000,- untuk beras Sorgum dan Rp 12.000,- untuk
tepung Sorgum, sedangkan asumsi total pengeluaran tahunan sebesar Rp 93 M, diperoleh hasil
NPV sebesar Rp 17.156.101.054,- Profitability Index sebesar 2,3 dan IRR sebesar 12% dengan
telah memperhitungkan persentase produksi normal (bukan optimal 13.900 ton) dan bunga
peminjaman sebesar 11% dari proporsi 60% investasi awal. Dengan menjanjikannya bisnis
Sorgum untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia, mari kita mulai untuk
mengembangkan Sorgum!

Angka stunting di Provinsi NTT masih menjadi yang tertinggi, yakni 37,2 % sejak tahun 2013.

Menurutnya, ada 3 persoalan pokok dalam mengatasi stunting yakni pangan, gizi dan
kesehatan.
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi setiap manusia yang harus dipenuhi setiap
saat. Pangan memiliki arti dan peran penting bagi kehidupan suatu bangsa karena pangan
sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia. Indonesia merupakan salah satu
negara yang memiliki ketahanan pangan yang kurang stabil karena masalah pangan di
Indonesia tidak terlepas dari beras dan terigu. Hal tersebut disebabkan oleh ketergantungan
masyarakat terhadap beras dan terigu yang begitu tinggi, sehingga harus mengimpor bahan
pangan dari luar ketika kebutuhan tidak dapat tercukupi.

Rata-rata kebutuhan terigu perusahaan kue dan roti terbesar di Indonesia mencapai 20 ton per
tahun. Indonesia perlu mengembangkan bermacam jenis tanaman potensial yang dapat
mendukung ketahanan pangan melalui program diversifikasi pangan, salah satu diantaranya
adalah sorgum. Sorgum merupakan salah satu bahan pangan yang berpotensi dijadikan sebagai
alternatif pengganti terigu dan beras karena masih tergolong satu famili dengan gandum dan
padi, sehingga mutu dari produk olahan sorgum tidak jauh berbeda dengan produk olahan yang
berbahan dasar dari tepung terigu.
Mungkin sebagian orang Indonesia masih asing dengan Sorgum. Sorgum adalah salah satu
tanaman bahan makanan pokok dari jenis rumput-rumputan, serupa dengan padi, gandum, dan
jagung. Saat ini, Indonesia masih menjadikan beras dan gandum sebagai bahan makanan pokok
utama sampai produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi permintaan sehingga berakhir
pada kegiatan impor. Padahal, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan Sorgum
sebagai bahan makanan pokok. Hal ini dimungkinkan karena secara general, Sorgum memiliki
bentuk dan tekstur yang hampir sama dengan beras dan jagung.

Selain itu, komposisi gizi Sorgum pun tidak kalah baiknya dengan bahan makanan pokok lain
seperti beras, jagung, dan kedelai. Kandungan karbohidrat, protein, dan vitamin B1 dalam
Sorgum menjadi yang terbaik diantara bahan pangan lainnya. Dari segi karakteristik tanaman,
Sorgum pun termasuk tanaman yang mudah dibudidayakan karena mampu bertahan dalam
lingkungan basah atau kering dan lebih resisten terhadap hama. Sorgum juga dapat dipanen 2-3
kali dalam setahun dengan produktivitas yang cukup baik, yaitu sekitar lebih dari 2 ton untuk 1
hektar lahan tanam. Ditambah lagi, keadaan alam Indonesia yang sesuai dengan karakteristik
Sorgum membuat bisnis pangan ini begitu potensial untuk dilakukan di Indonesia.

Produk beras Sorgum dan tepung Sorgum berpeluang besar untuk berhasil diterapkan di
Indonesia mengingat memang dibutuhkannya pasokan bahan makanan pokok Indonesia yang
dapat diproduksi secara mandiri. Produk pangan dari Sorgum juga diyakini memiliki nilai jual
yang jauh lebih terjangkau dan menjanjikan karena dalam penanaman dan proses produksinya
pun sangat sederhana. Dari sisi pemasaran pun produk dari Sorgum juga dapat menjangkau
seluruh segmen masyarakat. Produksi sorgum di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 3-4 juta
ton per hektar dengan daerah penghasil utamanya yaitu Jateng, Jatim, dan NTT. Sedangkan
produksi sorgum mulai tahun 2005 hingga 2018 menunjukkan peningkatan setiap tahun
sebesar 6,5%.

Dalam konteks lokal, di wilayah Kabupaten Flores Timur sendiri, sejak 2009 yang lalu, Sorgum
sudah mulai dibudidayakan. Tahun 2014, lewat kerjasama dengan beberapa NGO, YASPENSEL
(Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi Larantuka) Keuskupan Larantuka suskses
mengembangkan sorgum di lahan kering tandus seluas 70 hektar dan menghasilkan 200 ton
sorgum pada panen perdananya. Hingga akhirnya 2018, sorgum sudah berhasil dikembangkan
di atas lahan seluas 770 hektar yang tersebar di berbagai lokasi di Flores Timur dengan tingkat
produksi yang terus meningkat setiap tahunnya.

Salah satu fakta yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa dari tahun ke tahun, keberadaan sorgum
ini semakin mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat lokal. Dalam berbagai event,
semisal lomba pengolahan pangan local ataupun pameran rakyat, sorgum selalu menjadi
primadona. Situasi ini, secara otomatis menaikan daya jual dari sorgum itu sendiri. Di wilayah
Kecamatan Demon Pamong, sebagai salah satu sentra produksi sorgum, omsetnya sudah
mencapai ratusan juta Rupiah per bulan. Di daerah ini, bahkan ada 2 perusahaan asal Jakarta
dan Bali yang langsung datang dan membeli sorgum dari sentra petani. Untuk pasaran local,
gabah sorgum dikisaran Rp.20.000 – Rp.25.0000 per kilo, tepung sorgum Rp.50.0000 per kilo.
Tingginya harga sorgum akhir-akhir ini, terkhusus untuk produk tepung sorgum, selain karena
meningkatnya permintaan pasar, juga karena masih belum banyaknya petani ataupun
pengusaha lokal yang memproduksi tepung sorgum ini sehingga keberadaannya di pasaran
lokal terkadang sulit didapat.
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaan alam dan kesuburan tanahnya.
Semestinya, dengan kondisi itu, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan rakyatnya, apalagi jika menyangkut masalah pangan (nota Pastoral KWI 2018, 5.1).
Namun menurut data dari BPS dan Global Hunger Index (GHI) tahun 2017, memperlihatkan
masih ada sekitar 26,58 juta penduduk miskin dan dari jumlah tersebut masih ada 19,4 juta
berada dalam situasi kekurangan pangan atau kekurangan gizi. Kasus kelaparan dan kekurangan
gizi yang terjadi di tanah Asmat Papua pada bulan Januari 2018 yang lalu, berdampak pada
berbagai penyakit dan berujung pada kematian, menunjukkan salah satu fenomena bahwa
kelaparan dan kekurangan gizi di Indonesia masih menjadi masalah serius (Harian Kompas
Januari dan Februari 2018). Namun ada hal lain yang cukup memprihatinkan dan mengejutkan,
bahwa Indonesia ternyata masuk urutan kedua dengan tingkat food waste dan food loss
terbesar di dunia, dengan nilai index 42,11. Food waste dan food loss dapat diartikan sebagai
sampah makanan, atau sisa makanan yang terjadi dari proses produksi maupun yang
diakibatkan dari perilaku konsumen itu sendiri. Jika menelaah perhitungan tersebut, semakin
besar nilai yang didapat, semakin kecil sisa makanan atau sampah makanan yang di produksi
sebuah negara. Ini berarti nilai 42,11 yang dimiliki Indonesia masih jauh dari kata berhasil dalam
mengurangi produksi sampah atau sisa makanan (Sumber: www.foodsustainability.eiu.com).

Situasi di atas memperlihatkan kepada kita semua, di tengah masih begitu banyaknya saudara
kita yang berkekurangan pangan (makanan), ada banyak pula saudara kita yang berkelebihan
makanan dan membuangnya. Paus Fransiskus menyebutnya budaya ‘membuang’ yang
mewarnai perilaku hidup kita (LS 22). Situasi tersebut berakar pada praktek ekonomi pasar yang
menciptakan manusia menjadi konsumeris dan hedonis, mengabaikan nilai-nilai moral dan
agama, budaya, sosial dan keluarga. Buah-buah dari pengabaian nilai-nilai tersebut adalah
kerakusan, ketamakan, pemborosan dan egoisme. Oleh karena itu penanaman dan
penghayatan nilai-nilai menghargai pangan sebagai berkat dari Allah untuk semua mahluk dan
semangat solidaritas pangan memang harus ditumbuhkan mulai dari lingkungan keluarga, dan
berbagai komunitas atau kelompok dalam masyarakat

Anda mungkin juga menyukai