Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AGROINDUSTRI TANAMAN PANGAN UBI KAYU

Di Susun Oleh:

IMAM PRATAMA 71200712037


IBNU SYAIDINA ALI HRP

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang maha kuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini atas rahmat dan hidayah-nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah berjudul Agroindustri tanaman pangan ubi kayu tepat waktu,
makalah agroindustri tanaman pangan ubi kayu disusun guna memenuhi tugas dosen pada
bidang studi Pengantar agroindustri di kampus. Selain itu, penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang agroindustri tanaman pangan
ubi kayu.
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada ibu selaku dosen mata kuliah.
Tugas yang diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang
ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini.
penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Prospek usaha yang jelas merupakan faktor pendukung untuk mewujudkan tujuan.
Dengan demikian berlandaskan pada prospek, diharapkan semua pelaku usaha bisa
bersemangat dalam menjalankan fungsinya. Gambaran yang jelas terhadap prospek
menyebabkan semua anggota dalam suatu usaha mempunyai ambisi dan motivasi untuk
meraih prospek tersebut. Untuk kegiatan agribisnis, selama manusia di bumi ini masih
membutuhkan sandang, pangan dan perumahan dalam kehidupannya tentu kegiatan agribisnis
masih mempunyai prospek yang cukup menjanjikan ( Krisnamurthi, 2009).
Persepsi agribisnis yang selama ini banyak dimengerti oleh masyarakat luas adalah
kegiatan budidaya atau non-farm activity yang sebetulnya dalam defenisi lebih tepat
dikatakan sebagai kegiatan pertanian di bidang pertanian secara khusus, kegiatan budi daya
pertanian yang dapat digarap pun sangat bervariasi. Rentang usaha dimulai dari skala sangat
kecil atau skala hobi hingga skala industri dengan teknologi yang cukup canggih
(Krisnamurthi, 2009).
Pengembangan agribisnis mengimplikasikan perubahan kebijakan di sektor pertanian.
Produksi sektor pertanian harus berorientasi kepada permintaan pasar domestik, tetapi juga
pasar internasional. Pola pertanian harus mengalami tranformasi dari sistem pertanian
subsistem yang berskala kecil dan pemenuhan kebutuhan keluarga ke usahatani dalam skala
yang lebih ekonomi. Hal ini merupakan keharusan jika produk pertanian harus di jual ke
pasar dan jika sektor pertanian harus menyediakan bahan baku bagi sektor industri (Husodo,
2004).
Salah satu jenis agribisnis yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah agribisnis ubi
kayu. Ubi kayu adalah sayuran pokok penting karena kontribusinya yang tinggi sebagai
sumber kalori harian bagi jutaan orang. Seluruh produksi ubi kayu terutama di Negara
berkembang dan bagian terbesar berasal dari pertanian kecil yang sering memiliki lahan yang
di olah seadanya. Ubi kayu sangat penting bagi penduduk pedesaan miskin sebagai tanaman
tumpuan bahkan juga selama musim kemarau dikarenakan tanaman ini toleransi terhadap
kekeringan dan
periode panen yang fleksibel menjadikan ubi kayu sebagai tanaman pangan cadangan
yang sangat bernilai bagi penduduk miskin (Rubatzky, 1998).
Ubi kayu merupakan makanan pokok nomor tiga setelah padi dan jagung di indonesia.
Penyebaran tanaman ubi kayu meluas ke semua propinsi di indonesia. Dalam hal ini ubi kayu
baik lokal maupun luar negeri sangat besar. Dimana ubi kayu untuk bahan pakan ternak,
farmasi dan lain sebagainya yang jumlahnya selama ini terus meningkat secara terus menerus
dengan peningkatan populasi daripada konsumen (Anonimous, 2009).
Ubi kayu merupakan tanaman umbi umbian yang dapat tumbuh di dataran rendah
dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi. Biasanya tanaman ini di panen setelah berumur
sekitar 10 bulan. Produksi ubi kayu Indonesia menepati urutan kelima dunia. Ubi kayu
sebagai sumber pati yang merupakan bahan baku industri (Anonimous, 2009).
Sebagai bahan kaya pati, ubi kayu (kasava) merupakan bahan olahan penting bagi
pembuatan gula cair, khususnya sirup glukosa. Potensi pasarnya cukup kuat karena semakin
luas penggunaannya oleh berbagai industri makanan dan industri obat obatan. Masyarakat
berpeluang pula menambah nilai tambah produksi ubi kayu mereka dengan mengolah
menjadi sirup glukosa (Anonimous, 2009).
Disamping itu terdapat beberapa aneka ragam produk turunan dari ubi kayu, sebagai
berikut :

Adapun produk turunan ubi kayu yang di perdagangkan di pasar dunia antara lain
adalah gaplek, tepung singkong (cassava starch), tapioka dan beberapa produk kimia seperti
alkohol, gula cair (maltose, glukosa, fruktosa) sorbitol, siklodekstrin, asam sitrrat serta bahan
pembuatan edible coating dan biodegradable serta bioetanol. Negara tujuan ekspor RRC, UN,
Eropa, Taiwan dan Korea Selatan (Anonimous, 2009 ).
Oleh karena banyaknya produk yang dapat di hasilkan dari ubi kayu, maka
pengembangan agribisnis ubi kayu menjadi sangat penting. Program pengembangan
agribisnis itu sendiri bertujuan untuk mengembangkan agribisnis yang mampu menghasilkan
produk pertanian yang berdaya saing, meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat petani.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa paham dan
mengerti mengenai pengolahan dari tanaman ubi kayu.

1.3. Metode Penulisan

Metode penelitian yang kami gunakan adalah dengan studi literatur melalui media
elektronik yang kemudian kami bahas bersama dalam kelompok belajar.
BAB II
PEMBAHASAN

Ubi kayu merupakan salah satu sumber pangan karbohidrat alternatif terhadap beras.
Komoditas ini juga dapat dikembangkan menjadi sumber devisa negara. Namun demikian,
hingga kini potensinya belum dikembangkan secara optimal. Kemampuan tanaman ubi kayu
untuk dapat tumbuh pada kondisi sedikit air dan teknik budidaya tanaman yang relatif
sederhana dan murah melahirkan anggapan bahwa menanam dan bahkan mengonsumsi ubi
kayu selalu diartikan sebagai kemiskinan, karena ubi kayu akan dikonsumsi sebagai sumber
pangan alternatif terakhir, atau akan dikonsumsi apabila kekurangan pangan. Anggapan
seperti ini telah berdampak pada kurangnya upaya untuk mendorong ubi kayu sebagai
tanaman andalan ekspor. Pada kenyataannya budidaya tanaman ubi kayu di daerah sentra
produksi, seperti di Lampung, umumnya dilakukan secara tradisional sehingga produktivitas
yang dicapai masih jauh dari potensi yang seharusnya dapat dicapai (sekitar 50% dari potensi
maksimalnya).
Kondisi di sub sistem hilir (pasca panen, pengolahan dan pemasaran) ubi kayu saat ini
juga belum menggembirakan. Industri pengolahan ubi kayu yang berkembang masih sangat
terbatas pada produk-produk tertentu, seperti gaplek, chip, dan tepung, sedangkan untuk
produk olahan lainnya seperti starch (pati) yang banyak dibutuhkan industri pengolahan lebih
lanjut (pangan dan non pangan) belum berkembang dengan baik.

2.1 Produksi dan Produktivitas Ubi Kayu


Indonesia merupakan produsen ubi kayu terbesar ke-4 di dunia setelah Nigeria, Brasil, dan
Thailand. Dibandingkan dengan produksi tahun 2002 yang hanya sekitar 16,9 juta ton,
produksi ubi kayu pada tahun-tahun selanjutnya menunjukkan peningkatan, yakni menjadi
sekitar 19,3 juta ton pada tahun 2005. Produksi ubi kayu Indonesia pada on farm selalu
berimbang dengan Thailand, bahkan pernah sedikit melampaui produksi Thailand (18,47 juta
berbanding 18,43 juta ton). Meskipun luas panen ubi kayu sejak tahun 2000 hingga 2005
tidak menunjukkan peningkatan, namun total produksi ubi kayu dapat ditingkatkan

melalui peningkatan produktivitas. Tingkat produktivitas pada tahun 2005 masih


cukup rendah, berkisar 16 ton/ha, padahal potensi hasil dapat mencapai 40 ton/ha umbi segar.
Namun demikian, produktivitas tersebut telah meningkat dua kali lipat dibandingkan
produktivitas pada tahun 1973.
Sebagian besar produksi ubi kayu Indonesia dihasilkan dari tiga propinsi di Pulau
Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), mencapai 53% ; sedangkan sisanya diproduksi di Lampung
(sekitar 20%), dan propinsi lainnya (NTT, Sulsel, dll) sebesar 27%. Propinsi Lampung adalah
yang paling besar kontribusinya dalam memasok ubi kayu nasional. Total luas tanam ubi
kayu di propinsi Lampung pada tahun 2006 diperkirakan mencapai 266.645 ha dengan
tingkat produktivitas sekitar 19,67 ton/ha (lebih tinggi dari rata-rata nasional) dan total
produksi sebesar 5.084.195 ton (BPS 2005).
Sejak dua dekade terakhir, propinsi Lampung sudah dikenal sebagai sentra produksi
ubi kayu dan sentra produk pangan berbasis ubi kayu. Namun demikian, secara umum peran
ubi kayu sebagai sumber pendapatan petani belum menggembirakan. Harga ubi kayu di
tingkat petani selalu pada kondisi sub-optimal dan tidak menguntungkan, baik bagi petani
maupun bagi industri pengguna ubi kayu. Rendahnya kemampuan petani ubi kayu di propinsi
Lampung dalam penerapan teknologi usahatani menyebabkan rendahnya produktivitas.
Akibatnya pendapatan yang diterima petani relative rendah dan berfluktuasi. Di samping itu,
belum terintegrasinya pola kawasan agribisnis mulai dari hulu, on farm, pasca panen,
pengolahan hingga pemasaran dalam menangani ubi kayu, dan keterbatasan modal usaha
mengakibatkan belum optimalnya peran ubi kayu dalam perekonomian petani dan industri
berbasis ubi kayu.

2.2 Kondisi Industri Pengolahan Ubi kayu


Selain dikonsumsi langsung, ubi kayu merupakan bahan baku industry pengolahan,
baik industri pangan maupun non pangan, di dalam dan luar negeri. Jenis olahan ubi kayu
yang berkembang di Indonesia (meskipun belum optimal), antara lain adalah: (1) cassava
dried (gaplek) untuk industry makanan dan pakan ternak, (2) cassava starch (pati) untuk
bahan baku industry kertas dan cat, (3) tepung cassava (Tapioka), (4) etanol, dan (5) olahan
pangan lainnya seperti sanjai melalui peningkatan produktivitas. Tingkat produktivitas pada
tahun 2005 masih cukup rendah, berkisar 16 ton/ha, padahal potensi hasil dapat mencapai 40
ton/ha umbi segar. Namun demikian, produktivitas tersebut telah meningkat dua kali lipat
dibandingkan produktivitas pada tahun 1973.
Sebagian besar produksi ubi kayu Indonesia dihasilkan dari tiga propinsi di Pulau
Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), mencapai 53% ; sedangkan sisanya diproduksi di Lampung
(sekitar 20%), dan propinsi lainnya (NTT, Sulsel, dll) sebesar 27%. Propinsi Lampung adalah
yang paling besar kontribusinya dalam memasok ubi kayu nasional. Total luas tanam ubi
kayu di propinsi Lampung pada tahun 2006 diperkirakan mencapai 266.645 ha dengan
tingkat produktivitas sekitar 19,67 ton/ha (lebih tinggi dari rata-rata nasional) dan total
produksi sebesar 5.084.195 ton (BPS 2005).
Sejak dua dekade terakhir, propinsi Lampung sudah dikenal sebagai sentra produksi
ubi kayu dan sentra produk pangan berbasis ubi kayu. Namun demikian, secara umum peran
ubi kayu sebagai sumber pendapatan petani belum menggembirakan. Harga ubi kayu di
tingkat petani selalu pada kondisi sub-optimal dan tidak menguntungkan, baik bagi petani
maupun bagi industri pengguna ubi kayu. Rendahnya kemampuan petani ubi kayu di propinsi
Lampung dalam penerapan teknologi usahatani menyebabkan rendahnya produktivitas.
Akibatnya pendapatan yang diterima petani relative rendah dan berfluktuasi. Di samping itu,
belum terintegrasinya pola kawasan agribisnis mulai dari hulu, on farm, pasca panen,
pengolahan hingga pemasaran dalam menangani ubi kayu, dan keterbatasan modal usaha
mengakibatkan belum optimalnya peran ubi kayu dalam perekonomian petani dan industri
berbasis ubi kayu.

2.3. Masalah Dalam Aspek Pasca Panen dan Pengolahan Ubi Kayu
Pada umumnya industri pengolahan ubi kayu skala perdesaan seperti ITTARA masih
menerapkan metoda tradisional dengan teknologi sederhana, yakni dengan menggunakan
peralatan pengolahan yang sederhana dan proses pengolahan hasil yang belum sesuai
standard GHP (Good Handling Practices) dan GMP (Good Manufacturing Practices) dan
tidak efisien. Oleh karenanya mutu produk yang dihasilkan masih rendah dan sangat
bervariasi. Beberapa kondisi yang mendasar dan harus diperbaiki untuk dapat menerapkan
persyaratan standard tersebut antara lain: (1) kemampuan teknis dan manajemen petani
(penanganan pasca panen dan proses pengolahan ubi kayu berlangsung tanpa memperhatikan
persyaratan mutu), (2) kurangnya informasi tentang teknologi pasca panen dan pengolahan
yang mampu menjaga mutu dan kebersihan produk, (3) terbatasnya peralatan dan mesin
pasca panen dan pengolahan ubi kayu yang sederhana tetapi mampu menghasilkan produk
bermutu, dan (4) terbatasnya modal usaha sehingga petani tidak mampu menerapkan
teknologi dan peralatan mesin dalam menangani pasca panen dan pengolahan ubi kayu. Di
sisi lain, industri pengolahan ubi kayu skala besar masih sangat terbatas, sedangkan industri
pengolahan makanan dan minuman maupun non pangan berbahan baku olahan ubi kayu
cukup berkembang. Kondisi ini telah berdampak pada meningkatnya impor olahan ubi kayu
seperti starch untuk memenuhi kebutuhan industri kertas dan industri makanan lainnya yang
ada di Indonesia. Jumlah kebutuhan industri tersebut tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri
karena di samping jumlah industri yang mengolah ubi kayu menjadi produk olahan yang
terbatas, juga karena pada

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1.Agroindustri pengolahan keripik ubi kayu memberikan keuntungan yang diterima adalah
sebesar Rp.6.115.500 per lima kali proses produksi selama satu bulan.
2.Efisiensi usaha pengolahan ubi kayu mentah menjadi keripik ubi kayu di desa lamahu,
kecamatan bulango selatan, kabupaten bone bolango, adalah sebesar 2,20. Hal ini berarti
bahwa pengolahan keripik ubi kayu di desa lamahu, kecamatan bulango selatan kabupaten
bonebolango menunjukan sudah efisien.
3. Pengolahan ubi kayu menjadikeripik ubi kayu pada UKM keripik barokah memberikan
Nilai tambah bruto sebesar Rp.8.450.000, nilai tambah netto sebesar Rp.8.040.500, nilai
tambah per bahan baku sebesar Rp.37.555,55/Kg, dan nilai tambah pertenaga kerja sebesar
Rp. 33.800/JKO.

3.2. Saran

1. Sebaiknya agroindustri pengolahan ubikayu menjadi keripik ubikayu di di Desa Lamahu


Kecamatan Bulango Selatan Kabupaten Bone Bolango selain melakukan pemasarannya
melalui agen juga memasarkan sendiri ke konsumen sehingga agroindustri bisa memperoleh
penerimaan yang lebih besar.
2. Sebaiknya agroindustri pengolahan ubikayu menjadi keripik ubikayu dalam memproduksi
keripik ubikayu tidak hanya memproduksi keripikubi tetapi ada juga keripik pisang. tetapi
masih bisa mengunakan rasa olahan seperti manis, asam, gurih, atau paduan dari kedua dari
kesemuanya hal ini dapat meninggatkan selera konsumen.
3. Untuk meningkatkan pendapatan usaha sebaiknya agroindustri pengolahan ubikayu
menjadi keripik ubikayu memanfaatkan limbahnya seperti dijadikan pakan ternak.
4. Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan dan mengembangkan usaha pengolahan
ubikayu menjadi keripik ubikayu, dikarnakan usaha ini mampu memberikan keuntungan bagi
pengelola Agroindustri keripik ubikayu dan masyarakat dapat menentukan harga pasar.

DAFTAR PUSTAKA

Oka, Nyoman. 2011. Kebijakan dan Program Pengembangan Agroindustri Ubi Kayu.
Jakarta: Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Novedtri, Rani. 2010. Analisis Kelayakan Usaha Tani dan Pengolahan Ubi Kayu. Medan:
Universitas Sumatera Utara. [Diakses melalui http://repository.usu.ac.id pada tanggal
17 Oktober 2011].

Anda mungkin juga menyukai