Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Penggunaan kimia dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu.
Kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam, yang berkaitan dengan komposisi
materi, termasuk juga perubahan yang terjadi di dalamnya, baik secara alamiah maupun
sintetis. Senyawa-senyawa kimia sintetis inilah yang banyak dihasilkan oleh peradaban
modern, namun materi ini pulalah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang
berbahaya.

Dengan mengetahui komposisi dan memahami bagaimana perubahan terjadi, manusia


dapat mengontrol dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia. Pelepasan bahan
berbahaya pada tahun 1990-an di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah
meningkat menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau
perbandingan antara limbah bahan berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri
secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan
cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China.

Pada permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri Indonesia berasal dari
kegiatan industri yang berlokasi di Pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di Pulau
Jawa berlokasi di daerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1990. Di
empat kota saja (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang) terdapat sekitar 36% dari total
industri di Pulau Jawa, yang setara dengan sekitar 27% dari seluruh hasil industri Indonesia.

Perkembangan industri disamping berdampak positif pada perkembangan ekonomi,


juga menimbulkan dampak negatif tidak hanya pada pusat-pusat industri dan daerah
sekitarnya tetapi juga pada tingkat nasional, regional dan lingkungan secara global. Menurut
World Bank ada 3 pola pertumbuhan industri yang perlu diperhatikan yaitu:
 Kecepatan pertumbuhan sektor industri
 Distribusi spasial yang belum merata
 Pergeseran jenis industri

Sektor lain yang berpotensi dampak negatif pada lingkungan adalah kegiatan
pertambangan - perminyakan, kegiatan medis dan kegiatan pertanian Undang-Undang (UU)
RI Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai pengganti UU No.
4/1982, menempatkan masalah bahan dan limbah berbahaya sebagai salah satu perhatian
utama, akibat dampaknya terhadap manusia dan lingkungan bila tidak dikelola secara baik,
dengan definisi sebagai bahan berbaya dan beracun. Pasal 16 dan Pasal 17 UU-23/1997
mengatur larangan membuang dan mengatur pengelolaan limbah dan B3. Selanjutnya
Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2001 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan bahan
berbahaya dan beracun (B3).

Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah Indonesia,
khusunya sejak dekade terakhir ini, terutama akibat perkembangan industri yang merupakan
tulang punggung peningkatan perekonomian Indonesia. Peraturan-peraturan tentang masalah
ini telah banyak dikeluarkan oleh Pemerintah, tetapi di lapangan banyak mengalami
hambatan. Penanganan limbah merupakan suatu keharusan guna terjaganya kesehatan
manusia serta lingkungan pada umumnya. Namun pengadaan dan pengoperasian sarana
pengolah limbah ternyata masih dianggap memberatkan bagi sebagian industri.

Keaneka ragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri serta penghasil
limbah lainnya. Mulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses produksi, pemilihan
jenis mesin dan sebagainya, akan mempengaruhi karakter limbah yang tidak terlepas dari
proses industri itu sendiri. Sebagian dari limbah industri tersebut berkatagori hazardous
waste. Tetapi jenis limbah ini berasal pula dari kegiatan lain, seperti dari aktivitas pertanian
(misalnya penggunaan pestisida), kegiatan enersi (seperti limbah radioaktif PLTN), kegiatan
kesehatan (seperti limbah infectious dari rumah sakit) atau dari kegiatan rumah tangga
(misalnya penggunaan batere merkuri).

Namun sebagian besar jenis limbah yang dihasilkan, biasanya berasal dari kegiatan
industri. Limbah berkatagori non-hazardoustidak perlu ditangani seketat limbah hazardous,
walaupun limbah tersebut berasal dari industri. Sesuai dengan PP 18/99 juncto 85/99,
padanan kata untuk Hazardous Waste yang digunakan di Indonesia adalah Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun dan disingkat menjadi Limbah B3.

Revolusi industri dan penggunaan bahan kimia organik yang terus meningkat setelah
perang dunia ke 2, bukan saja mengakibatkan kenaikan timbulan limbah secara dramatis,
namun pula menimbulkan masalah toksisitas dari limbah tersebut. Penemuan minyak
(petroleum) pada pertengahan tahun 1880 menyebabkan meningkatnya produk kimia organik
disertai limbahnya. Masyarakat industri menghasilkan produk mulai dari gasoline, naphta ke
kerosene. Manusia membutuhkan lebih banyak jenis produk baru yang akhirnya
menghasilkan limbah yang spesifik.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, industri memfokuskan dirinya pada produksi
plastik dan pestisida. Di Amerika Serikat misalnya, timbulan limbah berbahaya pada tahun
1984 diprakirakan sekitar 300 juta ton. Dampak negatif akibat limbah tersebut adalah
kontaminasi sumber-sumber air, terganggunya kesehataan masyarakat serta penurunan
kualitas ekologi lingkungan. Masalah penanganan limbah berbahaya ini juga merupakan
obyek dagang yang tidak terpuji, misalnya pembuangan limbah berbahaya negara maju ke
negara yang sedang berkembang, sehingga biaya pengolahannya dapat ditekan.

Sebelum krisis ekonomi 1997, negara-negara di wilayah Asia and Pasifik secara
keseluruhan memperlihatkan pertumbuhan industri yang kuat bila dibandingkan dengan
tempat-tempat lain di dunia, bahkan pertumbuhan industri negara-negara sedang berkembang
di wilayah ini lebih menonjol. Industrialisasi yang cepat telah menciptakan sebuah peluang
baru untuk mendistribusikan hasil-hasil pembangunan dengan lebih efektif di negara-negara
tersebut, sehingga dapat mengurangi kemiskinan.

Walaupun demikian, industrialisasi juga menimbulkan dampak secara langsung, tidak


hanya pada pusat-pusat industri dan daerah sekitarnya, tetapi juga pada tingkat nasional,
regional dan lingkungan secara global. Tingginya jumlah limbah industri yang dihasilkan per
unit hasil industri merupakan salah satu dari masalah-masalah utama yang ada. Beberapa
negara di wilayah ini malah menghasilkan limbah dalam jumlah yang tinggi.Secara
keseluruhan, sektor industri telah mengakibatkan beban pencemaran :
 Melalui peningkatan kuantitas cemaran dalam jangka waktu pendek dan menengah;
dalam jangka waktu panjang kuantitas cemaran mungkin menurun jika terjadi
perubahan yang drastis dengan adanya industri yang lebih bersih lingkungan, atau jika
kontribusi sektor industri itu sendiri menurun;
 Melalui perubahan intensitas pencemaran terhadap hasil industri, yaitu berubahnya
jumlah pencemaran yang ditimbulkan per unit hasil industri. Pengelolaan limbah
berbahaya telah menjadi perhatian Pemerintah Amerika Serikat semenjak penemuan
tempat pengurugan limbah yang tidak memenuhi syarat di Love Canal, New York.
Pada waktu itu juga ditemukan sejumlah besar tempat-tempat yang terkontaminasi
oleh limbah berbahaya di seluruh dunia.

The US Office of Technology and Assessment memprakirakan bahwa biaya


pemulihan semua tempat yang telah diidentifikasi di Amerika Serikat adalah sekitar US $ 500
milyard. Biaya implementasi sebuah program pengontrolan dan penyediaan sarana sebetulnya
akan lebih kecil dibandingkan dengan upaya pemulihan lahan yang tidak dikelola secara
baik.Bahan pencemar berbahaya dan beracun yang dihasilkan oleh industri adalah seperti
logam berat, sianida, pestisida, cat dan zat warna, minyak, pelarut, dan zat kimia berbahaya
lainnya.

Timbulan logam-logam berat dari industri di wilayah Asia dan Pasifik telah dinilai
melebihi nilai batas ambang yang aman. Sampai tahun 1994, pelepasan bahan berbahaya ini
di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah meningkat masing-masing menjadi
sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau perbandingan antara limbah
berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri secara mencolok juga meningkat,
terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara
ASEAN dan China.Pada daerah perkotaan di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung
dan Semarang, dari tahun 1970 sampai 1990 limbah penduduk dan industri telah menurunkan
kualitas air sungai di bagian hilir seperti Cisadane, Ciliwung, Kali Surabaya, Kali Berantas
dan Citarum. Di pulau Jawa khususnya, 70 % industri berlokasi di kawasan-kawasan
perkotaan dan sekitarnya.

Kegiatan industri juga sangat berpotensi menghasilkan limbah berbahaya, yang


diprakirakan akan meningkat kurang dari 200.000 ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1 juta
ton pada tahun 2010. Bila industri yang terlibat dalam komoditi proses terus meningkat di
masa datang, akan menambah beban bagi sumber daya alam, termasuk bertambahnya biaya
dan resiko akibat pencemaran lingkungan.

Menurut analisa Bank Dunia (1994), di Indonesia akan terjadi pergeseran komposisi
industri secara sektoral, yaitu industri proses akan tumbuh lebih lambat dibanding industri
perakitan. Dalam hal ini, industri proses dinilai lebih intensif terhadap pencemaran.
Dilaporkan pula oleh Bank Dunia bahwa intensitas pencemaran dari limbah berbahaya
ternyata cenderung meningkat sejak tahun 1970, yang ditandai dengan meningkatnya
cemaran-cemaran toksik dan logam-logam bioakumulatif.

Bila strategi pengembangan industri tidak berubah seperti periode tersebut, kontribusi
pulau Jawa terhadap cemaran-cemaran toksik akan cenderung stabil, yaitu sekitar 2/3 dari
total cemaran di Indonesia. Lebih dari 75 % diantaranya merupakan cemaran-cemaran logam
yang bioakumulatif, dan 85 % diantaranya akan terkonsentrasi di daerah perkotaan. Secara
keseluruhan, kontribusi industri terhadap pencemaran akan menurun, yaitu dari 70 % pada
saat ini menjadi 60 % pada tahun 2020, namun beban cemarannya secara absolut akan
meningkat sekitar 10 kali.Mengacu pada pengalaman negara industri seperti Amerika Serikat,
peranan sektor industri akan berkontribusi besar dalam produksi limbah berbahaya. Namun
kontribusi sektor-sektor lain juga perlu pula mendapat perhatian terutama dari :

−Kegiatan medikal dan laboratorium, yang berpotensi menghasilkan limbah toksik


daninfectious

−Kegiatan pertanian dan agro-wisata, yang berpotensi menghasilkan limbah biosida. Tingkat
pencemaran pestisida dan pengaruhnya terhadap kesehatan di Indonesia sulit untuk
diprakirakan.

Selama periode 1984-89, Departemen Kesehatan melaporkan sebanyak 1614 kasus


keracunan, diantaranya terdapat 161 kasus (10%) yang menyebabkan kematian. Menurut
WHO telah terjadi 3 juta kasus keracunan pestisida akut dan 220.000 kematian setiap
tahunnya di seluruh dunia. Hampir semua kasus tadi (90-99%) terjadi di negara-negara yang
sedang berkembang. Dengan asumsi rata-rata kasus kematian karena pestisida seluruh dunia
sebesar 0,00005 maka diprakirakan kasus kematian karena pestisida di Indonesia
adalahsekitar 9000 per tahun.

Pengalaman negara industri dengan masalah limbah B3 nya hendaknya memberikan


masukan bagi pengambil keputusan atau fihak-fihak terkait di Indonesia untuk tidak
menyebabkan kasus-kasus yang terjadi di negara industri tersebut terulang lagi di negara
Indonesia. Dalam diktat ini, contoh- contoh tentang masalah limbah B3 dan pengelolaannya
diambil dari pengalaman negara industri, khususnya Amerika Serikat guna memberikan
gambaran kepada mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini pada khususnya, atau pihak-
pihak lain pada umumnya akan pentingnya pengelolaan limbah B3 terutama bagi negara
Indonesia yang diharapkan akan menjadi negara industri dalam masa mendatang. Berikut ini
akan diberikan illustrasi berbagai kasus yang menyangkut bahan atau limbah B3 dari negara
industri, yang secara kenyataan telah lebih maju dari Indonesia baik dari segi keberadaan
industrinya, keberadaan peraturan perundang-undangannya ataupun kesiapan masyarakatnya.
TINJAUAN PUSTAKA

Kepone atau juga yang dikenal sebagai Chlordecone merupakan senyawa


organoklorin yang digunakan dalam pembuatan insektisida dan tidak bisa didegradasi oleh
lingkungan. Senyawa ini tidak berwarna dan banyak diproduksi di berbagai dunia bagian
barat. Kepone dapat berakumulasi 1 juta kali lipat pada hewan dan manusia yang terkena
paparan langsung. Namun, penggunaan kepone saat ini telah menjadi kontrovesional dan
terlarang karena debu yang dihasilkan pada proses pembuatan insektisida ini telah menutup
lantai sampai beberapa inch dan memenuhi udara dalam pabrik. Debu ini membuat para
pekerja kejang parah dan jatuh pingsan. Oleh karena itu, saat ini bahan yang digunakan
sebagai bahan pembuatan insektisida diganti menjadi bahan organik yang mudah didegradasi
oleh lingkungan dan pemerintah lebih mengawasi serta memperketat peraturan mengenai
proses pembuatan pestisida khususnya insektisida.

1. Senyawa Organoklorin
Senyawa Organoklorin (Pestisida organoklorin) atau biasa disebut juga
sebagai hidrokarbon berklorin, merupakan jenis pestisida yang tidak mudah larut
dalam air, namun mudah larut dalam minyak. Pestisida organoklorin merupakan
jenis pestisida yang tidak mudah terurai di alam setelah digunakan, penggunaan
pestisida organoklorin telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1971 karena
sifatnya yang persisten sehingga akan dapat menimbulkan dampak negatif yang
besar tehadap lingkungan dan mahluk hidup sekitarnya. Contoh pestisida
organoklorin yang sering digunakan dalam kehidupan yaitu, Aldrin, Dieldrin
dicofol, Endosulfan, DDT, Heptaklor, Lindane, Benzane hexacloride (BHC) dan
kepone.

2. Dampak negatif senyawa organoklorin


Keracunan senyawa organoklorin seringkali terjadi, pada umunya
keracuan terjadi karena adanya kontak secara langsung dengan racun jenis ini.
Apabila keracunan, pada umumnya racun ini langsung menyerang pada syaraf
pusat yang dapat menyebabkan kejang ataupun bisa menyebabkan koma, sesak
nafas, serta bisa juga berujung pada maut.
Organoklorin masuk ke tubuh korban melalui kulit, bahan racun dapat
memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh, terutama bahan
yang larut minyak (polar). Melalui mulut, racun dapat terserap seperti halnya
makanan, langsung masuk peredaran darah. Melalui saluran pernapasan racun
dapat terserap ke dalam sistem tubuh dan dapat langsung mempengaruhi sistem
pernapasan (pengambilan oksigen dan pembuangan CO2) (Amar. 2013).
Pengaruh racun dapat timbul segera setelah masuknya racun (acute
toxicity), dalam hal ini racun tersebut racun akut. Gejala keracunan dapat pula
terjadi lambat, setelah beberapa bulan atau beberapa tahun – dan di bahan racun
penyebabnya disebut racun kronis (chronic toxicity). Racun jenis organokhlorin
atau hidrokarbon berkhlor seperti DDT, Chlordan, Lindane dll. merupakan racun
kronis yang baru terasa efeknya setelah bertahun-tahun karena diperlukan waktu
yang lama untuk menumpuk (akumulasi) racun ini dalam lemak tubuh.
Sebaliknya, racun akut yang sebagian besar terdiri dari senyawa-senyawa larut
dalam air bekerja sangat cepat tapi tidak bersifat akumulatif dan mudah tercuci
serta terurai menjadi komponen yang tidak beracun (Mansur, Dkk. 2004).
Ciri-ciri keracunan Organoklorin:
 Orang yang terkena racun organoklorin pada awalnya akan mengalami mual
hingga muntah-muntah yang kemudian disusul dengan jeritan-jeritan,
kebingungan, mengalami ketakutan, menggigil, kejang, gangguan pernafasan,
koma dan dimungkinkan untuk meninggal.
 Organoklorin yang terkonsumsi dalam tubuh akan merusak hati serta buah
pinggang yang memiliki kandungan lemak yang tinggi, hal ini dikarenakan
organoklorin mudah larut dalam minyak yang juga termasuk dalam golongan
lemak yang pada akhirnya akan menyebabkan penyakit kanker pada manusia.
 Keracunan akut dari organoklorin dapat langsung menyebabkan sesak nafas,
sehingga korban perlu untuk diberikan nafas buatan.

CONTOH KASUS

Proses pembuatan insektisida dengan kepone ini banyak menghasilkan dampak


negatif pada lingkungan kehidupan manusia dan juga terhadap lingkungan pabrik yang
memproduksi insektisida tersebut, khususnya peristiwa yang terjadi di Virginia, Amerika
Serikat.
Hopewell (Virginia - USA) memprolamirkan dirinya sebagai chemical capital of the
south, dan disanalah dimulainya bencana kimiawi di USA. Pada tahun 1973 Allied Chemical
mensubkontrakkan pembuatan pestisida pada Life Sciences Product (LSP) yang dikenal
dengan nama kepone.

Beberapa saat kemudian, dijumpai masalah kesehatan diantara karyawannya.


Penelitian selanjutnya mengungkapkan bahwa LSP melanggar aturan-aturan kesehatan dan
keselamatan kerja yang berlaku. Disamping itu, baik Allied maupun LSP secara illegal
membuang keponeke sungai James yang bermuara di Chesapeake Bay.

Kepone dikembangkan oleh Allied sekitar tahun 1950-an. Produksinya dikontrakkan


pada Hooker Chemical antara 1950 - 1960. Namun karena pasaran meningkat, Allied juga
memproduksi sendiri. Produksi tahunan meningkat dari 36.000 pound pada tahun 1965
menjadi 400.000 pound pada tahun 1972. Allied memproduksi kepone di Hopewell. Tahun
1973 pembuatan kepone disubkontrakkan pada LSP sementara Allied tetap menangani
polimer.Maret 1974, 2 minggu setelah produksi penuh, secara periodik limbah dari LSP
masuk ke sistem penyaluran air buangan dan pengolahan limbah kota. Dalam 2 bulan, limbah
ini membunuh bakteri di sistem digester pengolah limbah. Lumpur dari pengolah limbah
yang belum terolah secara baik langsung dibuang secara illegal ke lahan-urug.

Dinas kesehatan setempat kemudian menginvestigasi industri kepone tersebut setelah


salah seorang pekerja dinyatakan keracunan kepone. Darah yang diambil dari pekerja tersebut
menunjukkan kandungan kepone antara 2 - 72 ppm, sedangkan konsentrasi tertinggi yang
pernah diamati adalah 5 ppm. Kemudian 31 pekerja yang dirawat di Rumah Sakit, sedang
pabrik keponepada tahun 1975 ditutup.

Yang dijumpai pada pabrik kepone tersebut ternyata lebih buruk dari yang
diperkirakan sebelumnya. Debu kepone menutup lantai sampai beberapa inch dan memenuhi
udara dalam pabrik. Sebetulnya buruh di sana sudah mengeluh terhadap kondisi ini tetapi
manajemen LSP tidak memperhatikan hal ini. Pencemaran udara juga telah meluas ke sekitar
pabrik itu. Agustus 1975 LSP didenda US$ 16500. Tindakan berikutnya melibatkan US EPA
(US Environmental Protection Agency); ternyata LSP telah mengeluarkan efluen kepone
sebesar 500 - 600 ppb, sedangkan standar yang berlaku adalah 100 ppb. EPA kemudian
melakukan sampling air minum, udara, tanaman dan limbah kota Hopewell serta sungai.
Lumpur dari pengolah limbah mengandung kepone 200 - 600 ppm. Ikan di dekat sungai
James mengandung kepone 0,1 - 20 ppm, sedang sungai James sendiri mengandung kepone
0,1 - 4 ppb. Di beberapa tempat, ternyata 40 % dari total partikulat adalah kepone.

Pemerintah akhirnya memutuskan bahwa pabrik itu untuk 'dilucuti', tetapi LSP tidak
sanggup untuk operasi tersebut. Allied diminta untuk bertanggung jawab operasi
detoksifikasi tersebut dengan rencana biaya sebesar US $ 175000. Namun biaya yang
ditanggung Allied untuk operasi tersebut akhirnya menjadi US $ 394000, dan biaya yang
ditanggung akhirnya membengkak berlipat ganda dengan adanya tuntutan dari orang yang
merasa dirugikan, misalnya 120 pedagang ikan yang merasa dirugikan karena mereka
memperoleh ikannya dari sungai James yang tercemar.

Anda mungkin juga menyukai