LATAR BELAKANG
Penggunaan kimia dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu.
Kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam, yang berkaitan dengan komposisi
materi, termasuk juga perubahan yang terjadi di dalamnya, baik secara alamiah maupun
sintetis. Senyawa-senyawa kimia sintetis inilah yang banyak dihasilkan oleh peradaban
modern, namun materi ini pulalah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang
berbahaya.
Pada permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri Indonesia berasal dari
kegiatan industri yang berlokasi di Pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di Pulau
Jawa berlokasi di daerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1990. Di
empat kota saja (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang) terdapat sekitar 36% dari total
industri di Pulau Jawa, yang setara dengan sekitar 27% dari seluruh hasil industri Indonesia.
Sektor lain yang berpotensi dampak negatif pada lingkungan adalah kegiatan
pertambangan - perminyakan, kegiatan medis dan kegiatan pertanian Undang-Undang (UU)
RI Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai pengganti UU No.
4/1982, menempatkan masalah bahan dan limbah berbahaya sebagai salah satu perhatian
utama, akibat dampaknya terhadap manusia dan lingkungan bila tidak dikelola secara baik,
dengan definisi sebagai bahan berbaya dan beracun. Pasal 16 dan Pasal 17 UU-23/1997
mengatur larangan membuang dan mengatur pengelolaan limbah dan B3. Selanjutnya
Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2001 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan bahan
berbahaya dan beracun (B3).
Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah Indonesia,
khusunya sejak dekade terakhir ini, terutama akibat perkembangan industri yang merupakan
tulang punggung peningkatan perekonomian Indonesia. Peraturan-peraturan tentang masalah
ini telah banyak dikeluarkan oleh Pemerintah, tetapi di lapangan banyak mengalami
hambatan. Penanganan limbah merupakan suatu keharusan guna terjaganya kesehatan
manusia serta lingkungan pada umumnya. Namun pengadaan dan pengoperasian sarana
pengolah limbah ternyata masih dianggap memberatkan bagi sebagian industri.
Keaneka ragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri serta penghasil
limbah lainnya. Mulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses produksi, pemilihan
jenis mesin dan sebagainya, akan mempengaruhi karakter limbah yang tidak terlepas dari
proses industri itu sendiri. Sebagian dari limbah industri tersebut berkatagori hazardous
waste. Tetapi jenis limbah ini berasal pula dari kegiatan lain, seperti dari aktivitas pertanian
(misalnya penggunaan pestisida), kegiatan enersi (seperti limbah radioaktif PLTN), kegiatan
kesehatan (seperti limbah infectious dari rumah sakit) atau dari kegiatan rumah tangga
(misalnya penggunaan batere merkuri).
Namun sebagian besar jenis limbah yang dihasilkan, biasanya berasal dari kegiatan
industri. Limbah berkatagori non-hazardoustidak perlu ditangani seketat limbah hazardous,
walaupun limbah tersebut berasal dari industri. Sesuai dengan PP 18/99 juncto 85/99,
padanan kata untuk Hazardous Waste yang digunakan di Indonesia adalah Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun dan disingkat menjadi Limbah B3.
Revolusi industri dan penggunaan bahan kimia organik yang terus meningkat setelah
perang dunia ke 2, bukan saja mengakibatkan kenaikan timbulan limbah secara dramatis,
namun pula menimbulkan masalah toksisitas dari limbah tersebut. Penemuan minyak
(petroleum) pada pertengahan tahun 1880 menyebabkan meningkatnya produk kimia organik
disertai limbahnya. Masyarakat industri menghasilkan produk mulai dari gasoline, naphta ke
kerosene. Manusia membutuhkan lebih banyak jenis produk baru yang akhirnya
menghasilkan limbah yang spesifik.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, industri memfokuskan dirinya pada produksi
plastik dan pestisida. Di Amerika Serikat misalnya, timbulan limbah berbahaya pada tahun
1984 diprakirakan sekitar 300 juta ton. Dampak negatif akibat limbah tersebut adalah
kontaminasi sumber-sumber air, terganggunya kesehataan masyarakat serta penurunan
kualitas ekologi lingkungan. Masalah penanganan limbah berbahaya ini juga merupakan
obyek dagang yang tidak terpuji, misalnya pembuangan limbah berbahaya negara maju ke
negara yang sedang berkembang, sehingga biaya pengolahannya dapat ditekan.
Sebelum krisis ekonomi 1997, negara-negara di wilayah Asia and Pasifik secara
keseluruhan memperlihatkan pertumbuhan industri yang kuat bila dibandingkan dengan
tempat-tempat lain di dunia, bahkan pertumbuhan industri negara-negara sedang berkembang
di wilayah ini lebih menonjol. Industrialisasi yang cepat telah menciptakan sebuah peluang
baru untuk mendistribusikan hasil-hasil pembangunan dengan lebih efektif di negara-negara
tersebut, sehingga dapat mengurangi kemiskinan.
Timbulan logam-logam berat dari industri di wilayah Asia dan Pasifik telah dinilai
melebihi nilai batas ambang yang aman. Sampai tahun 1994, pelepasan bahan berbahaya ini
di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah meningkat masing-masing menjadi
sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau perbandingan antara limbah
berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri secara mencolok juga meningkat,
terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara
ASEAN dan China.Pada daerah perkotaan di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung
dan Semarang, dari tahun 1970 sampai 1990 limbah penduduk dan industri telah menurunkan
kualitas air sungai di bagian hilir seperti Cisadane, Ciliwung, Kali Surabaya, Kali Berantas
dan Citarum. Di pulau Jawa khususnya, 70 % industri berlokasi di kawasan-kawasan
perkotaan dan sekitarnya.
Menurut analisa Bank Dunia (1994), di Indonesia akan terjadi pergeseran komposisi
industri secara sektoral, yaitu industri proses akan tumbuh lebih lambat dibanding industri
perakitan. Dalam hal ini, industri proses dinilai lebih intensif terhadap pencemaran.
Dilaporkan pula oleh Bank Dunia bahwa intensitas pencemaran dari limbah berbahaya
ternyata cenderung meningkat sejak tahun 1970, yang ditandai dengan meningkatnya
cemaran-cemaran toksik dan logam-logam bioakumulatif.
Bila strategi pengembangan industri tidak berubah seperti periode tersebut, kontribusi
pulau Jawa terhadap cemaran-cemaran toksik akan cenderung stabil, yaitu sekitar 2/3 dari
total cemaran di Indonesia. Lebih dari 75 % diantaranya merupakan cemaran-cemaran logam
yang bioakumulatif, dan 85 % diantaranya akan terkonsentrasi di daerah perkotaan. Secara
keseluruhan, kontribusi industri terhadap pencemaran akan menurun, yaitu dari 70 % pada
saat ini menjadi 60 % pada tahun 2020, namun beban cemarannya secara absolut akan
meningkat sekitar 10 kali.Mengacu pada pengalaman negara industri seperti Amerika Serikat,
peranan sektor industri akan berkontribusi besar dalam produksi limbah berbahaya. Namun
kontribusi sektor-sektor lain juga perlu pula mendapat perhatian terutama dari :
−Kegiatan pertanian dan agro-wisata, yang berpotensi menghasilkan limbah biosida. Tingkat
pencemaran pestisida dan pengaruhnya terhadap kesehatan di Indonesia sulit untuk
diprakirakan.
1. Senyawa Organoklorin
Senyawa Organoklorin (Pestisida organoklorin) atau biasa disebut juga
sebagai hidrokarbon berklorin, merupakan jenis pestisida yang tidak mudah larut
dalam air, namun mudah larut dalam minyak. Pestisida organoklorin merupakan
jenis pestisida yang tidak mudah terurai di alam setelah digunakan, penggunaan
pestisida organoklorin telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1971 karena
sifatnya yang persisten sehingga akan dapat menimbulkan dampak negatif yang
besar tehadap lingkungan dan mahluk hidup sekitarnya. Contoh pestisida
organoklorin yang sering digunakan dalam kehidupan yaitu, Aldrin, Dieldrin
dicofol, Endosulfan, DDT, Heptaklor, Lindane, Benzane hexacloride (BHC) dan
kepone.
CONTOH KASUS
Yang dijumpai pada pabrik kepone tersebut ternyata lebih buruk dari yang
diperkirakan sebelumnya. Debu kepone menutup lantai sampai beberapa inch dan memenuhi
udara dalam pabrik. Sebetulnya buruh di sana sudah mengeluh terhadap kondisi ini tetapi
manajemen LSP tidak memperhatikan hal ini. Pencemaran udara juga telah meluas ke sekitar
pabrik itu. Agustus 1975 LSP didenda US$ 16500. Tindakan berikutnya melibatkan US EPA
(US Environmental Protection Agency); ternyata LSP telah mengeluarkan efluen kepone
sebesar 500 - 600 ppb, sedangkan standar yang berlaku adalah 100 ppb. EPA kemudian
melakukan sampling air minum, udara, tanaman dan limbah kota Hopewell serta sungai.
Lumpur dari pengolah limbah mengandung kepone 200 - 600 ppm. Ikan di dekat sungai
James mengandung kepone 0,1 - 20 ppm, sedang sungai James sendiri mengandung kepone
0,1 - 4 ppb. Di beberapa tempat, ternyata 40 % dari total partikulat adalah kepone.
Pemerintah akhirnya memutuskan bahwa pabrik itu untuk 'dilucuti', tetapi LSP tidak
sanggup untuk operasi tersebut. Allied diminta untuk bertanggung jawab operasi
detoksifikasi tersebut dengan rencana biaya sebesar US $ 175000. Namun biaya yang
ditanggung Allied untuk operasi tersebut akhirnya menjadi US $ 394000, dan biaya yang
ditanggung akhirnya membengkak berlipat ganda dengan adanya tuntutan dari orang yang
merasa dirugikan, misalnya 120 pedagang ikan yang merasa dirugikan karena mereka
memperoleh ikannya dari sungai James yang tercemar.