Anda di halaman 1dari 321

Edaran Untuk Khalifah jamaah maiyah Nusantara (kenduricinta.

com)

Kepada semua Khalifah Jamaah Maiyah Nusantara (KJMN)


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Dimulai bulannya Rasulullah SAW, terutama dalam jangka pendek menyongsong bulan
Maret dan Mei 2012, serta untuk seterusnya, saya mohon kepada para KJMN untuk  bersama-
sama bahu membahu menyangga Nusantara.
Khalifah Jamaah Maiyah Nusantara (KJMN) meneguhkan di dalam hati, fikiran:
1. Selalu eling untuk menjaga kepenuhan Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW di
hati, fikiran dan jiwa.
2. Selalu sadar dan peka untuk tidak berlaku menyakiti Allah SWT dan membuat sedih hati
Rasulullah Muhammad SAW.
3. Memohon kepada Allah SWT perlindungan dan keselamatan bagi semua yang hidupnya
menomersatukan Allah dan mensyukuri kecukupan rahmat-Nya serta nikmat syafaat Rasul-
Nya, yang berupa wujud sunnah qudroh keduniaan apapun asalkan di dalam rohani cinta
kepada Beliau berdua.
4.  Memohon perkenan Allah SWT untuk meneguhkan mandat khilafah kepada kesungguhan
perjuangan dan cita-cita rahmatan lil’alamin para KJMN.
5. Memohon peneguhan kuasa dan keadilan yang maujud atas semua yang membelakangi
Allah dan Rasul-Nya, yang merusak bumi dan memperhinakan martabat manusia.
6. Memohon anugerah ma’rifatul-jihad, hidayatul-jihad dan hifdhul-jihad, sebatas hak
kekhalifahan, agar menolong KJMN dalam menyusun langkah-langkah Jihad Ilahiyah yang
sudah dan sedang dijalankan.
7. Memohon  keluangan waktu atau kelonggaran kesempatan karena menurut batas ilmu yang
diselami oleh KJMN dari hamparan ilmu Allah, diperlukan era-era yang tidak pendek untuk
mewujudkan jihadul-ma’iyah.
8. Memohon tambahan ilmu, quwwah dan ‘sulthan’, memohon tuntunan dan panduan, agar
para KJMN diperjalankan oleh Allah SWT di jalur yang tepat sebatas daya dan skala yang
Allah perkenankan.
9. Memohon perlindungan bagi akar dan pohon Maiyah, bagi hutan-hutan dan taman-taman
Maiyah, dari segala marabahaya dari bumi maupun angkasa.

Khalifah Jamaah Maiyah Nusantara (KJMN) meneguhkan di dalam lelaku:


1. Banyak melakukan puasa seikhlasnya dan sekuatnya.
2. Meningkatkan kesungguhan ibadah makhdloh serta memperdalam kekhusyukannya.
3. Memperluas dan memperdalam manfaat di dalam setiap persentuhan dan keterlibatan
individu, keluarga maupun masyarakat.
4. Memperbanyak tadarrus Al-Quran serta shalawat pada setiap kesempatan yang
memungkinkan.
5. Secara khusus menyempatkan membaca semua atau yang mana saja di antara Surah Yasin,
Surah Al-Khasyr, Surah Muhammad, Al-Ahzab, Al-Hajj dan Al-Waqi’ah.
6. Bagi yang kemampuannya terbatas mohon banyak-banyak membaca ayat-ayat terpenting
dari Allah SWT yang menyangkut kekuasaan, penjagaan dan keadilan-Nya, seperti Ayat
Kursi, doa atau firman yang berkaitan dengan Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi
Yunus, Nabi Musa, serta doa-doa Rasulullah Muhammad SAW.
7. Sebanyak mungkin membangun atmosfir rumah dan lingkungan dengan lantunan qiro’atul-
Qur’an, shalawat-shalawat, serta suara-suara dari ‘Sohibu Baiti’.
8. Tidak berpikir, berorientasi dan melangkah ke arah tujuan kekuasaan dan kehebatan
keduniaan, karena dua hal tersebut adalah milik Allah, yang wajib diterima oleh para
Khalifah jika Allah SWT meminjamkannya, namun tidak boleh disentuh oleh para KJMN
pada posisi sebagai sesuatu yang diinginkan dan dikejarnya.
9. Sehari-hari, membaca Al-Fatihah untuk Rasulullah Muhammad SAW, untuk Syekh al
Kurdi al-akbar Bahauddin Syah Naqsyaband, serta utk Syekh Nursamad Kamba, kemudian
membaca 11 kali:
‫ي‬ َ ‫ك ا ْل‬
ْ ِ‫خاف‬ ْ ‫اف أَ ْد ِر ْك َنابِ ُل‬
َ ‫ط ِف‬ ِ َ‫ي اأْل ْلط‬
َ ‫خ ِف‬َ ‫يَا‬
‫ال‬ ‫و‬
ِ َ ْ‫ح‬ َ ‫أْل‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫س‬
ِ َ ْ ‫ح‬ َ ‫أ‬ ‫ي‬ َ ‫ل‬ِ َ َ ْ ِّ َ ْ َ ْ َ ‫ال َواأْل‬
‫اإ‬ ‫ن‬َ ‫ل‬ ‫ا‬‫ح‬ ‫ل‬ ‫ِو‬‫ح‬ ‫ال‬ ‫و‬‫ح‬ َ ‫ل ا ْل‬
ِ ‫ح‬ َ ‫ح ِِّو‬
َ ‫يَا ُم‬
[Ya khafiyyal althaf adriknaa biluthfikal khafiy;
Ya muhawwilal hawli wal ahwal hawwil haalana ila ahsanil ahwal]
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Muhammad Ainun Nadjib


Kadipiro, 4 Pebruari 2012.

KENDURI CINTA

Kenduricinta ala emha.

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS KENDURI CINTA


Komunitas Kenduri Cinta merupakan wadah silaturahmi yang tidak
hanya berisikan kesenian namun juga mengedepankan pencerahan
pada segi pendidikan politik, kebudayaan dan kemanusiaan yang
multikultur. Gerakan Cinta dalam forum Maiyah Kenduri Cinta
menjembatani kebaikan antar manusia, kemesraan dan cinta kasih
agar nila-nilai cinta yang hakiki tidak diabaikan apalagi
ditinggalkan.
Kenduri Cinta memberikan suasana iklim yang sehat. Panggung
dalam forum KenduriCinta bukan suatu pementasan tetapi suatu
gerak bersama sehingga pada akhirnya tdak ada penonton dan
yang ditonton, bukan wadah 'show of force' perorangan atau
golongan, melainkan sebuah forum yang mengedepankan interaksi
dan komunikasi yang jernih, pikiran obyektif dan hati nurani yang
diliputi kasih.
Komunitas KenduriCinta terbentuk sejak pertengahan tahun 2000.
Komunitas KenduriCinta adalah bagian dari komunitas Maiyah
Nusantara yang telah lama dirintis oleh komunitas maiyah secara
rutin bersama pada kota-kota besar di Indonesia, antara lain:
Jombang (Padhang Mbulan), Surabaya (BangBang Wetan),
Semarang (Gambang Syafaat), Jogjakarta (Mocopat Syafaat),
Malang (Obor Ilahi) dan Makassar (Paparandang Ate).
Gambaran:
"lnna ma'ya Robbi", tutur Musa, Nabi alaihissalaam, untuk
meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad
Rasulullah saw, juga menggunakan kata sama -di gua Tsur- tatkala
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 4
dikejar-kejar oleh pasukan musuh untuk menghibur dan
memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita
Rodhlialloohu'anhu: "La takhof wa la tahzan, innalloha ma'anaa".
Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.
Bahasa kenegaraan Maiyah itu: Nasionalisme. Bahasa mondialnya:
Universalisme. Bahasa peradabannya: Pluralisme. Bahasa
kebudayaannya: Heterogenisme, atau kemajemukan yang
direlakan, dipahami dan dikelola. Metode atau manejemen
pengelolaan itu namanya: Demokrasi.
Di dalam teori Maiyah Nasionalisme, selalu ditemukan adanya
banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak
kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan
wamanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan
kecenderungan sendiri-sendiri.
Setiap mereka menghidupi dan menampilkan dirinya masingmasing.
Sehingga pada semuanya tampak sebagai bhinneka.
Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu
sama lain, karena diikat dan prinsip ke-ika-an, yakni komitmen
kolektif untuk saling menyelamatkan dan mensejahterakan.
Demikianlah berita gembira berdirinya Republik lndonesia dulu.
Sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan
untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk
semua.
Yang Budha, berpakaianlah Buddha. Yang Katholik, Katholiklah.
Yang lslam, lslamlah. Omswastiatu tak usah diganti Padamu Negeri.
Haleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalaatullaah
salaamullaah tak usah diganti lbu Kita Kartini. Heterogenitas itu
cukup dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi
kebersamaan. ltulah Maiyah.
Website: http://www.kenduricinta.com
Facebook: http://www.facebook.com/#!/pages/Komunitas-
Kenduri-Cinta/34798057138?v=info
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Panggillah “Mbah Nun...!”


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 22 Februari 2010 jam 9:54
Catatan: Münzir Màdjid
TIBA-TIBA, plak-plak, pukulan mendarat ke mulut seorang anak muda. “Tidak
sopan, jangan panggil Cak Nun, panggillah dengan hormat, Mbah Nun...!”
SATU:
Pernah dengar nama KH Muslim Rifa’i Imam Puro? Nama lengkap ini tidaklah
begitu populer. Namun jika disebut “Mbah Lim” banyak kalangan yang
mengenalnya, paling tidak sering mendengar.
Apalagi bagi kalangan nahdliyyin, mereka sangat mengenal sosok Mbah Lim.
Bahkan kiai-kiai NU sangat takzim terhadap beliau, termasuk Gus Dur (Allah
yarham). Karena Mbah Lim sangat rajin menghadiri helatan-helatan yang yang
diselenggarakan NU, terutama Muktamar. Kecenderungan pilihan Mbah Lim
terhadap sosok yang kelak memimpin NU biasanya itulah suara Nahdliyyin.
Jika pertama kali berjumpa pasti tak akan mempercayai bahwa orang ini sangat
disegani dari berbagai kalangan. Sangat nyentrik. Berpakaian dengan padu padan
sangat tidak pas. Bertutup kepala topi (bukan peci) dipadu dengan sorban. Yang
tak pernah ketinggalan, mencangklong tas kain lusuh. Nama pesantrennya aneh,
tidak biasa: Pondok Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti, Desa Karang Anom,
Klaten. Dengan penampilan yang “mboys” ini, tidak aneh, jika banyak yang
beranggapan bahwa Mbah Lim adalah seorang wali.
Cara berbicaranya tidak jelas, cedal (cadel). Sukar dipamahami. Maka sering
didampingi oleh santri atau keluarganya sebagai juru bicara.
Suatu hari, pesantrennya mengadakan acara dengan mengundang Emha Ainun
Nadjib untuk memberikan ceramah. Tibalah saatnya, Emha harus naik ke atas
podium. Seorang santri yang bertindak sebagai MC memanggil Emha.
"Kami persilakan Cak Nun dari..."
Belum juga MC selesai berbicara, Mbah Lim berlari-lari sambil teriak-teriak ke
arah MC. Tiba-tiba, plak-plak, tangan Mbah Lim mendarat di mulut MC, sambil
tetap berteriak-teriak, "Bukan Cak Nun, Mbah Nun. Ingat itu Mbah Nun!"
“Iya Mbah.”
Jawab santri agak gemetar. Bukan sakitnya ditampar kiainya. Tapi kaget dan sama
sekali tak terduga. Tamparannya tidak keras, karena sesungguhnya Mbah Lim
sangat menyayangi semua santrinya.
Jamaah geger. Tapi tidak lama. Berganti dengan gelak tawa karena Emha sangat
pandai merubah suasana.
Mbah Lim sendiri tetap mendampingi MC sampai usai acara, berjaga-jaga agar
kesalahan ucap tak terulang lagi.

DUA:
Pernah menyaksikan bapak dan anak saling ejek, sindir menyindir? Itulah jika
Emha Ainun Nadjib satu panggung dengan Sabrang Mowo Damar Panuluh,
anaknya.
“Pergaulan yang aneh,” begitu komentar Dik Doank suatu saat
Jangan anggap mereka ada konflik. Emha sangat mencintai Sabrang, sebaliknya
Sabrang juga sangat menghormatinya. Mereka saling share tentang berbagai hal.
Banyak pengetahuan-pengetahuan baru, atau penemuan-penemuan ilmiah (baru)
yang disampaikan Sabrang kepada Emha. Sebaliknya Emha-pun sering memberi
arahan-arahan --jelas bapaknya lebih berpengalaman, ditularkan kepada Sabrang.
Jaman SMA, setahu saya, Sabrang tidak mengenal rokok. Emha sendiri, siapapun
tahu, adalah penikmat rokok.
“Jika sakit jangan merokok!” kata Emha.
“Rokok hanya untuk orang sehat,” lanjutnya. Lho?
Logika ini mungkin saja ditentang oleh aktivis anti rokok. Jika ingin sehat jauhilah
rokok, slogannya.
Tamat SMA, saya juga tidak melihat Sabrang menyentuh rokok. Kalau pegang
rokok sangat wagu, hanya diamin-mainkan, diisap tanpa api. Baguslah itu,
batinku.
Usai kuliah dari Kanada, berkumpul lagi dengan kawan-kawan SMA-nya,
belakangan membentuk Grup Band Letto. Saat itulah, mungkin saja, sering
belajaran merokok.
“Liiiil....!”
“Iya Mas,” jawab Kholil.
Kholil, pemuda tanggung yang bertahun-tahun ikut di rumah Emha-Novia. Racikan
kopinya enak. Kental tak terlalu manis.
Bersijingkat Kholil masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu dan diserahkan
kepada Sabrang. Entah “persengkokolan” apa antara Sabrang dan Kholil. Jika
dipanggil oleh Sabrang mafhumlah apa tugas Kholil.
Sampai suatu hari, entah bagaimana ceritanya, Emha mengetahui sesuatu yang
tidak beres.
“Lil,” panggil Emha.
“Nggih Pak...”
“Apa itu?”
“Rokok, Mas Sabrang....”
Bungkusan rokok berwarna kuning ada di gegamannya.
“Oh, mulai kapan?”
“Lami Pak, wonten setahunan.”
(Sudah lama Pak, sekitar setahun).
Emha, biasanya punya simpanan rokok agak banyak. Beli sendiri atau pemberian
dari beberapa kalangan yang berbaik hati. Sesungguhnya, telah lama, tanpa
sepengetahuannya Sabrang meminta tolong Kholil mengambilkan rokok milik
bapaknya secara diam-diam. Kali ini ‘tertangkap basah.’
Maka dalam suatu acara di Kenduri Cinta, beberapa tahun lalu, Emha menagih
Sabrang.
“Coba kalikan hutangmu itu, satu bungkus dikalikan setahun!”
Jamaah-pun tertawa.
“Dicicil saja, tiap pentas Letto, potong 10%....”
Sabrang yang sudah dikenal sebagai vokalis Letto, hanya menanggapi dengan
senyum-senyum.

TIGA:
Surabaya. Emha dan Kiai Kanjeng siap-siap acara. Hari yang sama, Sabrang dan
Letto juga pentas di kota yang sama, Kota Bonek.
Meskipun bapak dan anak masih satu rumah, jarang sekali ketemu. Emha dan Kiai
Kanjeng keliling memenuhi banyak undangan, Sabrang dan Letto-pun padat acara.
Bapak dan anak saling kangen dan janjian bertemu di warung sate, makanan
favorit mereka. Emha yang sudah dulu tiba langsung memesan beberapa porsi
sate. Tak lama kemudian Sabrang datang.
“Ayo Brang, dimakan...!”
“Ntar Pa,” jawab Sabrang sembari buka-buka HP.
Berceritalah mereka dengan asyiknya. Lalu Emha tersadar, hidangannya belum
juga dijamah.
“Lho, kok tidak dimakan, tadi sudah makan ya.”
Sabrang menjawab dengan enteng, “Belum Pa, aku puasa.”
“Asu kowe Brang, lha ngapain saya janjian di sini kalau puasa!”

EMPAT:
Saya ingin mengatakan bahwa Sabrang sudah terlatih rialat. Sebuah ‘lelaku’ yang
pada umumnya anak semuda dia belum merasa perlu menjalani. Pasti banyak
yang mengira bahwa bapaknyalah yang mengajari. Atau minimal memberi contoh
dalam keseharian. Saya berani bilang, bahwa secara langsung kayaknya tidak.
Emha tidak pernah mengajarkan sebagaimana orang tua lain mendidik anaknya.
“Le, kowe puasa ya, rajin shalat!”
Tampaknya tidak pernah seperti itu.
Sampai kemudian saya mendengar bahwa Sabrang punya “guru spiritual.” Keren
ya istilahnya. Maksud saya, guru ngaji. Seorang ustadz atau kiai. Sosoknya jarang
yang kenal, seorang kiai sederhana dan kini bertempat tinggal di Lampung.
Dulu, saat Sabrang masih SMP, memang saya pernah diutus bapaknya mengantar
seorang guru ngaji dari Jogja ke Lampung. Seorang guru ngaji privat selama tiga
bulan untuk mengajari “alif ba ta” dan pelajaran dasar-dasar agama.
Tapi bukan guru ngaji itu.
Namanya KH Mustofa, saya pernah sekali bertemu di kantor, Jakarta. Sabrang
memanggilnya Pakde Mus. Kepada Pakde Mus inilah Sabrang banyak meminta
nasehat.
Saya sendiri kurang tahu sejak kapan Sabrang mengenal dan menjadikan Pakde
Mus sebagai tempat bertanya.
Belakangan juga saya mengetahui bahwa Pakde Mus adalah santrinya Mbah Lim.
Bisa jadi Pakde Mus, kala pertama, tidak menyadari bahwa Sabrang adalah
anaknya Emha, yang oleh Mbah Lim sendiri ditahbiskan sebagai “Mbah Nun.”
Ini agak muter-muter. Pakde Mus sangat takzim terhadap Emha, sebagaimana
santrinya Mbah Lim lain, memanggilnya juga: Mbah Nun.
Hujanpun semakin kerap. Tamu-tamu berlarian. Semua orang menduga bahwa
acara akan berantakan. Emha yang punya gawe berlari naik ke atas panggung.
“Allahu Akbar, Alaahu Akbar.”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” azan digemakan sampai usai.
Resepsi pernikahan Sabrang dengan Uchi (26 Maret 2009) tetap berjalan dengan
lancar di Monjali, Jogja. Hujan mulai reda. Langitpun kembali dipenuhi bintang
gemintang. Di pojokan, entah di mana, Pakde Mus ngumpet sampai acara usai.
Berdoa dengan khusuk untuk “anak” kesayangannya, Sabrang.

LIMA:
Selamat kepada Sabrang dan Uchi untuk kelahiran putri pertamanya, 8 Februari
2010: Rih Anawai Lu'lu' Bodronoyo. []
Jkt-Pwt, Des 2009, Jan, Feb 2010
Tulisan ini untuk bapakku. Semoga cepat sembuh. Anakmu, sungguh
menyayangimu.

ABDURAHMAN WAHID-WAHID
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 18 Juni 2010 jam 11:01
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Lambat atau cepat hegemoni kekuatan persepakbolaan dunia akan bergeser ke
Afrika, meskipun kemudian akan bergilir ke wilayah lainnya. Sejak piala dunia
beberapa kali yang lalu Aljazair, Camerun, Nigeria, Marokko, sudah
ngampingamping
- tetapi memang masih ada semacam nuansa rasisme dalam mekanisme
politik persepakbolaan, yang tercermin pada psikologi wasit atau pengurus
organisasi persepakbolaan.
Sayang Mesir tak masuk, gara-gara Gus Dur di-impeach oleh MPR. Orang Mesir
cinta Indonesia, Sukarno dan merasa memiliki Gus Dur karena sejarah kakek
beliau serta karena pernah kuliah di Cairo. Gus Dur jatuh mengecewakan orang
Mesir, sehingga sampai hari ini belum tentu Megawati diterima di sana.
Sampaisampai
kesebelasan Mesir kacau hatinya dan tidak bisa menang lawan Aljazair.
Skor 1-1, padahal kalau 1-0, Mesir masuk Piala Dunia. Kalau Gus Dur waktu itu
tetap jadi presiden, skor pasti 1-0. 1 itu Wahid. Kalau 1-0 berarti Wahidnya satu.
Kalau skor 1-1 maka nama Gus Dur menjadi Abdurahman Wahid Wahid...Maka
Mesir gagal ke Piala Dunia.
Tapi toh sekarang Senegal memberi lampu kuning, meskipun tidak akan semulus
yang kita impikan. Bagi kita yang berpikiran standar, tentu kaget kok Perancis bisa
kalah oleh Senegal. Meskipun tak ada Zidane tapi ya jan gan lantas begitu loyo,
tidak kreatif, tidak punya daya menaklukkan, permainan individu kalah, tidak
punya aransemen dengan akselerasi gerak dan irama bermain.
Tapi bagi yang sudah punya instink dan tahu bahwa Senegal akan unggul, hasil
pertandingan awal Piala Dunia tadi malam tidak mengejutkan. Namun demikian
saya sarankan sebaiknya kita memilih kaget saja menyaksikan setiap kejadian
selama Piala Dunia, sebab tujuan kita memang untuk terkaget-kaget, sehingga
asyik dan selalu ada dinamika, ada tegangan.
Kalau pada pertandingan perdana Perancis kalah tapi nantinya malah jadi juara,
sebaiknya kita kaget. Kalau ternyata Perancis tak bisa sampai ke final, marilah
tetap kaget. Kalau Senegal menang terus setelah yang awal ini, juga marilah
kaget. Kalau kalah dan tidak bisa masuk ke babak berikutnya, marilah terus kaget.
Kalau tidak kaget, apa gunanya nonton sepakbola.
Hari ini saya bertugas di tiga acara, dan pertandingan perdana Perancis-Senegal
berlangsung pada acara terakhir saya tadi malam. Saya nonton tidak intensif dan
tidak seluruhnya. Sambil kedinginan dalam acara - karena tempatnya dekat Kutub
Selatan - saya bertanya-tanya siapa yang menang, dan tiba-tiba ada SMS masuk
berbunyi :"Itali juara Cak!". Gendeng. Tapi memang nonton sepakbola adalah
peluang sangat indah untuk berkhayal, menciptakan lakon-lakon apa saja di
dalam benak kita, membayang-bayangkan, melampiaskan obsesi, bahkan bisa
nonton sepakbola untuk menerapkan ideology, sentimen-sentimen sejarah atau
selera pribadi. Teman saya yang memandang sepakbola secara professionalestetik,
tidak senang Perancis kalah, karena tidak cocok dengan teori baku
tentang mutu kesebelasan. Tapi bagi teman lain yang pikirannya dipenuhi oleh
romantisme perjuangan kaum tertindas, bersorak-sorak karena Senegal menang,
karena mengidentifikasi Perancis sebagai salah satu negara penjajah pada
abadabad
yang lalu.
Semula dia mencita-citakan finalnya nanti Perancis vs. Kamerun dan akan
dimenangkan kesebelasan negara kaum hitam yang nenek moyangnya dulu
dijajah. Cuma ideologi teman saya ini menjadi agak tidak mantap kalau dia ingat
bahwa Zidan beragama Islam...
Ah, apa Anda pernah mendengar musik Senegal? Tidak ada musik yang asyiknya
melebihi asyiknya musik Senegal serta negara-negara Afrika agak Utara lainnya.
Kreativitas musik di wilayah ini menggabungkan 3 dimansi keindahan: dinamika
Afrika, romantisme Timur Tengah dan kecanggihan Eropa. Beruntung saya pernah
pentas bareng mereka di lapangan pinggir pantai Rotterdam......***

Akal dan Otak


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 23 April 2010 jam 11:01
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Akal tidak sama dengan Otak. Ayam dan kambing juga punya otak, tapi jangan
bilang kambing berakal. Otak itu hanya hardware-machine dari suatu fungsi
berfikir. Adapun akal itu suatu potensialitas rohaniah, kita harus menggalinya
sepanjang zaman, karena yang kita dapatkan darinya hanya gejala-gejalanya saja,
Anda kenal inspirasi, kretivitas, ilham, ide, gagasan. Serpihan-serpihan meloncat
dalam kandungan rahasia akal ke memori dan kesadaran kita. Akal itu bagaikan
ujung jari Tuhan yang menyentuh cintanya kepada kita untuk mentransfer cinta,
silaturahmi, janji kasih, dan berbagai anugrah. Kalau dikatakan ada orang
kehilangan akal, artinya ia mengalami keterputusan kontak dengan hidayah
Tuhan. Pikirannya buntu dan otaknya terbengkalai. Jadi, otak bisa tidak sehat,
cara berpikir bisa khilaf dan terpeleset, tapi akal selalu sehat dan benar. Yang tak
sehat biasanya adalah metode dan mekanisme berpikir.

“Apa tho Nak, Emansipasi itu?”


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 21 April 2010 jam 9:06
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ibu menjaga hasrat baik agar terus
memenuhi desa, berperang melawan
kelapukan akibat tumpahan hujan dari
kekuatan-kekuatan yang mengatasi
desa kita.
Mungkin sekedar ‘kelas’ rukuh, tapi
soalnya ialah kerajinan Ibu untuk
menerobos dan menelusup, di samping
rukuh memang menyediakan rasa tidak
aman bagi kemunafikan. Ibu juga maju
ke Pak Polisi, angkat tangan memotong
pidato Pak Pejabat di mimbar, melayani
segala kesulitan pekerjaan birokratis
yang bisanya ditangani oleh kaum
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

lelaki, menampung pertengkaran


suami istri-suami istri, membendungi
gejala saling benci di antara siapapun,
mempertanyakan sesuatu kepada Pak-
Pak Pamong, tanpa rasa sungkan atau
pakewuh seperti yang lazim diketahui
sebagai lenderteal pembungkus sikap
sosial orang Jawa. Meskipun toh
frekuensi ketidakberesan yang pada
umumnya tumpah dari atas selalu akan
bisa mengubur usaha-usaha hasrat baik
Ibu.
Pasti ada ribuan orang di negeri ini
yang melakukan seperti yang Ibu
lakukan. Ratusan kawan-kawan
anakmu juga mampu mengerjakan
berbagai hal yang penuh arti. Tapi
lihatlah, apa yang lebih bermutu dari
sepak terjang anakmu ini selain
merengek-rengek?
Banyak hal pada kegiatan kaum wanita di desa kita yang membuat segala
pembicaraan tentang masyarakat
patrimonial menjadi terasa aneh. Tetapi
toh Ibu juga tak bosan-bosan bertanya
kepada anak-anakmu atau kepada
kawan-kawan anak-anakmu yang
datang ke desa:“apa tho Nak
emansipasi wanita itu?”
(Sumber: “IBU, TAMPARLAH MULUT ANAKMU” Sekelumit Catatan Harian.
23.8.1985. foto oleh: Budhi Ipoeng)

Bakso Khalifatullah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 12 Februari 2010 jam 9:36
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul
mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian
ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso
beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan
bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
 “Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang
merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut
Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq,
qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik
haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa
menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami
orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu
apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata
masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya
bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya
meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya
pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu
memelihara kebaikan urusan-urusannya.
Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di
dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman
yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul.
Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin
siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup
sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan
ikhlas.
Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai
sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas
sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya,
tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika
mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini
terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Peradaban saya masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih
maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak
pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol
yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam
Jakfar Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang
memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua.
Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi
uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya
tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
 “Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap”
“Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah took
kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya.
Ketika dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin
barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi
barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”
Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung
menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun
dan di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul,
terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 25
Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum
Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur
Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai
dan Ulama. **

Bid'ah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 April 2010 jam 9:54
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Bid’ah itu adalah sesuatu yang tidak dilakukan/dipakai oleh Rasulullah, terus kita
pakai. Bid’ah itu berlaku diwilayah mahdhah. Islam itu dibagi 2 berdasarkan
firman Allah, yang satu namanya ibadah mahdhah jumlah firmannya 3,5 %, yang
kedua namanya ibadah muamalah ayat-ayatnya menyeluruh sekitar 96,5%.
Ibadah mahdhah itu apa?, ibadah muamalah itu apa?. Pedomannnya ibadah
mahdhah adalah jangan lakukan apapun kecuali yang Aku perintahkan. Kalau
ibadah muamalah, lakukan apa saja semaumu asalkan tidak melanggar syariat Ku.
Contoh ibadah mahdhah itu: syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji, itu saja yang
tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi.

BU CAMMANA KEKASIH
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 31 Maret 2010 jam 13:03
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Maiyahan terakhir Kiai Kanjeng dengan saya adalah di garis kaki dan 'pantat'
belakang Pulau Selawesi. Dari Makassar menuju utara lewat trans Sulawesi - di sisi
barat sesudah sisi lain ditakuti karena kasus Poso. 5 jam pertama menuju
Tinambung, salah satu titik sisa kerajaan di antara 7 kerajaan pantai dan 7
kerajaan pegunungan.
Serombongan 22 orang, berangkat awalnya enak karena naik pesawat, tapi dari
Makassar kami menyusuri jalanan ratusan kilometer untuk pekerjaan yang kami
beri judul "latihan tawakkal". Medan sangat berat, suhu sangat panas, tidak mesti
bisa mandi, keringatan terus menerus tanpa sempat mencuci atau menjemur
pakaian. Acara formalnya hanya enam kali, tapi yang non-formal - dan di sini letak
konteks maiyah kemasyarakatan kami - bertubi-tubi.
Ibunda Cammana, saat menerima penghargaan Satyalancana dari Presiden RI,
pada Minggu malam lalu, 28 Maret 2010
Maiyahan dengan ribuan masyarakat yang turun dari gunung-gunung dan sudah
tiba di tempat itu satu dua hari sebelumnya karena tidak mudahnya transportasi.
Maiyahan mengidentifikasi masalah-masalah mereka, merundingkannya,
membukakan wacana dan mencari solusi bersama-sama - dibungkus perjanjian
vertical dengan Allah melalui dzikir dan shalawat bersama yang diperindah oleh
musik Kiai Kanjeng.
Maiyahan dengan ribuan masyarakat di pertigaan tengah kota kecil Tinambung -
pusat asal usul Pasukan Balanipa - yang dua puluh tahun yang lalu hampir
menyerbu Majene dan kami hentikan di tengah jalan, kami cegat dan kami giring
pulang untuk berkumpul di Masjid. "Musuh Anda bukan orang lain golongan atau
lain suku" - demikian saya sempat omong waktu itu - "Musuh Anda akan masuk
lewat jembatan yang dua tahun lagi akan di bangun di Sungai Mandar ini. Truktruk
dan fasilitas kekuasaan orang kota akan masuk kesini. Pertanyaan yang harus
Anda jawab adalah apakah jembatan itu akan memasukkan kesejahteraan ke
kampung-kampung Anda ataukah justru akan dipakai untuk menguras kekayaan
Anda ke Jakarta..."
Maiyahan di lapangan Majene, di depan pasar Polewali-Mamassa, di alun-alun
Mamuju. Jika lampu mati - karena PLN belum berpengalaman dengan
penggunaan sound-system yang butuh teknologi los stroom - rembulan
menaburkan cahaya dan keremangan di bawah langit sangat mengkhusyukkan
kehadiran Allah dan Rasulullah.
Di sekitar lapangan maiyah selalu tampak pebukitan yang subur, laut dan
cakrawala remang. Ketika siang hari kami melintasi daerah-daerah itu, tak bisa
menahan hati untuk mengatakan kepada ribuan jamaah maiyah bahwa "Anda
semua di wilayah yang subur ini sesungguhnya tidak butuh Indonesia. Negara ini
jelas lebih banyak mengganggu Anda dar ipada menyayangi dan membantu
kehidupan Anda...." Kemudian diskusi tentu saja menjadi berkepanjangan.
Entah butuh berapa ratus halaman untuk mengisahkan indahnya pengalaman
maiyahan dengan saudara-saudara kita di pelosok itu. Tidak mungkin terucap oleh
rangkaian kata sepuitis apapun maiyahan kami di dusunnya Bu Cemmana - Ibu tua
yang vocalnya seperti terompet, powernya tidak bisa dilawan oleh Ian Gillan,
warna suaranya seperti perawan 14 tahun. Ibu asset bangsa yang bangsanya
sendiri tidak punya ilmu sama sekali untuk menghargainya....
Bangsa ini membiayai putauw dengan uang tak terbatas, membiayai kemaksiatan
tanpa hitungan, membiayai kekonyolan dengan malah membangga-banggakan,
membiayai fitnah dan berita-berita pembodohan dengan trliyunan rupiah. Bu
Cemmana.****

Bulan Purnama Rendra


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 23 Agustus 2009 jam 16:52
Sumber: GATRA
Tuhan memilihkan saat terbaik untuk memanggil kekasih-Nya, Rendra. Malam
Jumat, di bawah cahaya bulan purnama. Orang besar itu telah pergi dengan gagah
sebagaimana ajarannya: ''gagah dalam kemiskinan''. Istrinya, Ken Zuraida,
menyatakan ''ia sangat bahagia'', meskipun pasti bagi setiap yang terlibat
kematian selalu ada semacam ''derita manusiawi'' yang membungkusnya.
Ini adalah puncak tangis mengguguk-guguk seorang pecinta yang air matanya
tumpah di ufuk kesadaran tentang nyawiji. Selama sakit di pembaringan, Rendra
selalu spontan menyebut, ''Ya Lathif, wahai Yang Mahalembut." Di saat-saat
paling menderita oleh sakitnya, ia meneguhkan hatinya dengan ''Qul huwal-Lahu
Ahad, Allahus-Shamad....'' Setengah sadar, sambil saya genggam tangan kirinya,
saya minta ia menambahi, ''Mas, ucapkan juga Qul Huwal-Lahu Wahid....''
Ia berbisik, ''Apa bedanya Ahad dengan Wahid, Nun'', saya jawab, ''Mas, Ahad itu
Allah yang tunggal, yang satu, yang gagah perkasa dengan maha-eksistensi-Nya.
Wahid itu Allah yang manunggal, yang menyatu, yang integral, yang merendahkan
diri-Nya, mendekat ke hamba-Nya, nyawiji....'' Meledak tangis Rendra dalam rasa
dan kesadaran bahwa ia tak berjarak dengan-Nya dan Ia tak berjarak dengan
dirinya. Tatkala mereda gejolak hatinya, Rendra menorehkan puisi yang diakhiri
dengan kalimat, ''Tuhan, aku cinta pada-Mu."
Maka, Rendra tak pergi. Tak pernah pergi. Ia tidak perlu pergi menuju sesuatu
yang ia sudah menyatu dengannya. Mungkin Rendra memang telah pergi
meninggalkan kita, jauh sebelum detik kematiannya, karena kita meletakkan diri
semakin jauh dari titik nyawiji yang Rendra sudah lama menikmatinya.
***
Tapi sudah pasti kemudian terdengar suara dari seluruh penjuru: ''Kita sangat
kehilangan'', ''Bangsa kita ditinggalkan lagi oleh salah seorang putra terbaiknya'',
atau ''Tidak. Rendra tak pernah pergi. Orang besar tak pernah mati''.
Bisa jadi, pekikan-pekikan hati itu sebenarnya tidak terutama tentang Rendra,
melainkan lebih terkait dengan kandungan batin kita sendiri. Semua pernyataan
itu sangat memancarkan kedalaman cinta, semangat mempertahankan
optimisme ke depan. Mungkin juga diam-diam terdapat kandungan kecemasan
dan kebingungan dari dalam ego kita sendiri.
Terutama bagi orang yang semakin berangkat tua seperti saya: mengibarkan
kehidupan Rendra pada momentum kematiannya sesungguhnya diam-diam
sangat tajam mencerminkan kengerian terhadap kehidupan dan kematian saya
sendiri. Kita berduyun-duyun menghadiri pemakamannya, mungkin untuk
menyatakan kepada Tuhan betapa cintanya kita kepada kehidupan kita dan
betapa khawatirnya kita akan datangnya maut sewaktu-waktu atas kita.
Mungkin terdapat semacam raungan di kandungan jiwa setiap pen-takziyah
pemakaman Rendra. Raungan panjang seperti puisi "Rick dari Corona'' atau
''Khotbah''. Tetapi mungkin berakhir sublim dan mengkristal menjadi Drama Mini
Kata Rendra: ''Bip Bop'', ''Rambate Rate Rata''....
Sementara bagi para pen-takziyah yang muda-muda, yang menyangka bahwa
maut ada kaitannya dengan muda dan tua, di kompleks Bengkel Teater
meneriakkan puisi-puisi perjuangan, mengibarkan kepercayaan di dalam diri
mereka bahwa kepergian Rendra bukanlah sirnanya perjuangan sosial,
progresivisme ideologi nasional dan martabat kemanusiaan. Mereka seolah
menghadirkan kembali panggung ''Mastodon dan Burung Kondor'', ''Sekda'',
bahkan ''Kasidah Barzanji'', hingga puisi ''Orang Miskin di Jalan'', ''Bersatulah
Pelacur-pelacur Ibukota'', ''Seonggok Jagung di Kamar''.
***
Wahai maut, siapakah engkau? ''Bukan kematian benar menusuk kalbu,'' kata
Chairil Anwar, penyair terbesar Indonesia di samping Rendra dan Sutardji Calzoum
Bachri. ''Keridaanmu menerima segala tiba. Tak kutahu setinggi itu atas debu. Dan
duka Maha Tuan bertahta...."
Tuhan tak sudi dipergoki. Takdir-Nya tak bisa dicegat. Kehendak-Nya tak mungkin
dibatasi. Hak-Nya atas misteri garis terang dan gelap kehidupan, serta atas
ketentuan detik maut dihadirkan, tak membuka diri sedikit pun untuk dirumuskan
oleh segala ilmu dan pengalaman. Kehidupan sangat mengaitkan sakit dengan
kematian, tetapi maut tidak bersedia dikaitkan dengan sakit.
Orang bisa sakit berkepanjangan tanpa kunjung maut menjemputnya. Orang
sehat walafiat bisa mendadak dihadang oleh kematian. Rendra dipanggil Allah
tidak berdasar akselerasi logis dari sakit demi sakit yang dideritanya: pikiran yang
memberat, jantung bekerja terlalu keras, ginjal menanggung akibatnya, kemudian
tiba-tiba demam berdarah menelusup ke darahnya dan menganiaya jiwanya.
Keadaannya justru membaik, sehingga diperkenankan keluar dari rumah sakit,
kemudian menempuh jalan yang ia menyebutnya: ''Aku pengin membersihkan
tubuhku dari racun kimia. Aku ingin kembali kepada jalan alam. Aku ingin
meningkatkan pengabdian kepada Allah. Tuhan, aku cinta pada-Mu'' (31 Juli
2009).
Rasulullah Muhammad SAW menderita panas badan yang sangat luar biasa
melebihi kebanyakan orang. Beliau menjawab pertanyaan salah seorang
sahabatnya tentang panas yang ekstra itu: bahwa beliau dibebani Allah tanggung
jawab sangat besar melampaui semua yang lain, sehingga Tuhan
menganugerahkan juga kemuliaan yang sangat tinggi melebihi siapa pun, tetapi
harus juga beliau tanggung panas yang amat tinggi dan dahsyat yang orang lain
tak menanggungnya.
Demikianlah juga kadar derita sakit yang dialami Rendra, takaran jenis
kesengsaraan yang menimpanya, yang khalayak ramai tidak perlu mengetahui
atau turut menghayatinya. Rendra bahagia di dalam anugerah kemuliaan yang
diterimanya dalam rahasia. Bahkan lautan kebahagiaan dan kemuliaan Rendra
tidak perlu ''digarami'' oleh pernyataan pers Presiden Republik Indonesia
sebagaimana Mbah Surip dianggap memerlukannya.
Pada hari wafatnya Rendra, di samping menikmati pemandangan indahnya
kemuliaan rahasia Rendra itu, saya mendapat cipratan anugerah yang lain:
menyaksikan seseorang menginfakkan Rp 6,1 trilyun --dengan Allah merebut
seluruh kemuliaan hamba-Nya itu-- dengan cara membiarkan sesama manusia
justru memperhinakannya. Alangkah anehnya metode cinta Tuhan.
Di hadapan akal sehat, presiden berpidato untuk wafatnya Mbah Surip tapi tidak
untuk wafatnya Rendra adalah kehancuran logika dan kebangkrutan parameter
nilai budaya. Tapi, di hadapan karamah Allah, itu justru keindahan yang spesifik.
SBY bikin stempel tegas atas dirinya sendiri.
Ini sama sekali bukan polarisasi antara Rendra dan Mbah Surip. Tiga tahun lebih
saya ikut mengawal dan menjunjung Mbah Surip dan ''Tiga Gorilla''-nya --bersama
Bertha dan almarhum Ndang: melalui forum rakyat rutin bulanan di Jakarta,
Jombang, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.
Sehingga Tak Gendong dan Tidur Lagi sudah sangat dihafal oleh komunitas lima
kota itu dan terus-menerus diulang karena sangat dicintai sebagai ''lagu
kebangsaan'' komunitas kami. Kami ''I love you full'' kepada Mbah Surip,
meskipun dua bulan terakhir menjelang beliau wafat, kami kehilangan diri kami di
penggalan akhir sejarah Mbah Surip, tanpa Mbah Surip pernah hilang dari hati
kami.
***
Rendra dipanggil Allah justru di puncak optimisme keluarganya atas
kesembuhannya. Candle light phenomenon, kata orang. Fenomena lilin yang
apinya membesar dan memancarkan cahaya sangat benderang, sebelum akhirnya
padam. Tapi Tuhan berhak juga bikin lilin membenderang apinya, kemudian tidak
padam. Atau lilin tidak pernah membenderang dan lantas padam.
Tuhan berhak memaparkan suatu gejala yang pada repetisi kesekian
dihipotesiskan oleh manusia sebagai jenis "perilaku" Tuhan atas nasib manusia.
Tapi Tuhan juga berhak kapan saja melanggar rumusan apa pun yang pernah Ia
berikan. Bahkan Tuhan seratus persen tidak berkewajiban untuk berbuat adil
kepada siapa pun, karena Ia tidak terikat atau bergantung pada pola hubungan
apa pun dengan siapa pun, yang secara logis membuat-Nya wajib bertindak adil.
Namun Ia selalu sangat adil kepada siapa pun, dan tindakan adil-Nya itu bukan
karena Ia wajib adil, melainkan karena Ia sangat sayang kepada makhluk-Nya.
Termasuk bagaimana cara maut ditimpakan kepada seseorang, Tuhan menolak
untuk kita rumuskan. Ada bandit mati ketika bersujud. Ada orang sangat alim
saleh pergi ke masjid di tengah malam diserempet motor, kemudian ia dipukuli
pengendara motor itu sampai meninggal. Ada pendosa besar mati ketika
bertawaf, ada true believer pengkhusyuk ibadah mati kecelakaan secara sangat
mengenaskan.
Semua fenomena itu tidak menggambarkan apa-apa kecuali kemutlakan kuasa
Tuhan. Posisi manusia hanya pada dinamika doa: selalu cemas dan memohon
kepada-Nya agar diperkenankan untuk tidak tampak hina di hadapan sesama
manusia.
Pun tak usah merumuskan sebab-akibat antara baik-buruknya manusia dan
jumlah pelayat, volume pemberitaan media, tayangan langsung atau tunda,
tatkala meninggal. Ada ratu lalim diantarkan ke pemakaman oleh puluhan ribu
orang, ada nabi dikuburkan hanya oleh enam orang. Jadi, Rendra tidak bisa kita
ukur kualitas mautnya, tak juga bisa kita takar mutu hidupnya. Tidak ada jenis dan
wilayah ilmu manusia apa pun yang bisa dipakai untuk merumuskan hidup dan
matinya Rendra. Sirrul-asror. Itu misteri seserpih rahasia di antara jagat raya tak
terhingga rahasia iradah-Nya.
Yang mungkin, dan harus, kita lakukan adalah meneliti dan menghitung ulang
karya-karya Rendra, menghormatinya dengan ilmu, merayakannya terus-menerus
dengan cinta, menjunjungnya dengan semangat tanpa henti untuk memelihara
keindahan hidup, serta menghidupkan kembali kandungan karya-karyanya itu di
dalam berbagai modus kreatif kebudayaan kita.
Rendra telah diterima Allah untuk bergabung dalam keabadian. Kelabakanlah kita,
sebab yang kita punyai pada saat ini adalah budaya instan, pola berpikir
sepenggal, perhatian terlalu rendah terhadap sejarah, serta kefakiran yang luar
biasa terhadap kualitas hidup. ''Kami cuma tulang-tulang berserakan,'' kata
Chairil, ''Tapi adalah kepunyaanmu." Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan. Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan
harapan....''
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Obituari, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 13 Agustus 2009]

Bulan Tidak Suci


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 25 Agustus 2009 jam 13:27
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kita menghormati ramadhan dengan selalu menyebutnya sebagai bulan suci
ramadhan. Mungkin karena ramadhan ini memang khas. Ramadhan mengandung
malam seribu bulan. Bulan penuh kekhususan. Padanya al-quran diturunkan, dan
Allah sendiri begitu posesif terhadap ibadah puasa dengan mengemukakan bahwa
ibadah yang satu ini khusus untukNya. Apakah bulan yang selain ramadhan boleh
kita sebut bulan tidak suci? Apakah syawal bukan bulan suci, padahal padanya
justru para pelaku puasa yg sukses mencapai kesucian atau kefitriannya kembali?
Apakah ada bulan yang tidak suci? Apakah ada tahun, hari, jam, menit, detik,
second atau waktu ciptaan Allah yang tidak suci? Apa sesungguhnya konsep dan
pengertian tentang kesucian?. (Dikutip dari hikmah puasa)

Dia mati; Alhamdulillah…………


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 25 Januari 2010 jam 9:01
Petani Pugra berkata, “besok saya akan ke Solo dan mungkin akan tinggal lama
sekali, karena saya akan belajar untuk bisa bertemu dengan aku saya yang sejati”
– dan besoknya ia mati. Ia ketemu aku-nya yang sejati. Ini terjadi tahun 1974, jadi
di kurun kita dimana orang haus akan dunia ini jua. Jadi, Wisanggeni yang lenyap
ke telingan Sang Hyang Tunggal mungkin khayalan, tapi esensinya riil. Para Sufi, di
Arab atau Jawa, yang bercinta terus menerus untuk bertemu dengan Tuhan
kekasihnya, bukan impian atau omong besar belaka. Terkadang oleh keterbatasan
manusiawinya, mereka ingin cepat sampai ke kaki Tuhan (baca dengan ‘bahasa
kita’: ingin cepat mati). Namun inti sikapnya jelas: dunia ini fana belaka, dan tidak
terlalu penting dan sangat naif untuk membikin manusia berduyun jadi binatang
serakah. Ini bukan igauan. Maka sufi itu menguburkan badan rekanya sambil
berkata, “Dia mati; Alhamdulillah………….” [Emha Ainun Nadjib, Indonesia bagian
dari desa saya, hal 208].

Dimaafkan, Memaafkan, dan Tidak Memaafkan


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 09 September 2010 jam 10:47
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Dimaafkan adalah kelegaan memperoleh rizqi, tapi Memaafkan adalah
perjuangan yang sering tidak ringan dan membuat kita penasaran kepada diri
sendiri. Tidak Memaafkan adalah suatu situasi psikologis dimana hati kita
menggumpal, alias menjadi gumpalan, atau terdapat gumpalan di wilayah ruhani-
Nya. Gumpalan itu benda padat, sedangkan gumpalan daging yang kita sebut
dengan hati diantara dada dan perut itu bukanlah hati, melainkan indikator fisik
dari suatu pengertian ruhani tentang gaib. Jika hati hanyalan gumpalan daging; ia
tak bisa dimuati oleh iman atau cinta. Maka gumpalan daging itu sekedar tanda
syari’at hati, sedangkan hakikatnya adalah watak ruhani.
Didalam kehidupan manusia, yang biasanya berupa gumpalan dalam hati,
misalnya, adalah watak dendam. Dendam bersumber dari mitos tentang harga
diri dan kelemahan jiwa. Manusia terlalu ‘GR’ atas dirinya sendiri, dan tidak begitu
percaya bahwa ia ‘faqir indallah’: ’musnah dan menguap’ dihadapan Allah.
Kemudian cemburu. Ini watak yang juga mejadi ‘suku cadang’ dari hakikat cinta
dan keindahan. Namun syari’atnya ia harus diletakkan pada konteks yang tepat.
Hanya karena punya sepeda, saya tidak lantas jengkel dan cemburu kepada setiap
orang yang memiliki mobil. Sambil makan di warung pinggir jalan tak usah kita
hardik mereka yang duduk di kursi mengkilap sebuah restoran.?

Gelar Karya Para Rajawali


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 09 Agustus 2010 jam 9:02
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sebagai penggembira Gelar Karya Para Maestro Yogya, saya ingin turut
merayakan kegembiraan dan optimisme peristiwa ini dengan sebuah wacana
klasik tentang Burung Rajawali.
Pada awalnya saya ingin bersegera mensyukuri dua hal. Pertama, telah lahirny
satu Genre Baru Masyarakat budaya yang otentik dan orisinal, satu dua tahun
terahir ini di Yogyakarta, melalui berbagai peristiwa kreativitas di sejumlah
laboratorium kebudayaan, termasuk Taman Budaya Yogyakarta.
Akan tetapi saya menekan diri saya sendiri untuk bersabar dengan terlebih dahulu
bercerita tentang Rajawali, sebab ada kemungkinan Sang Rajawali itu terdapat
pada Genre baru itu.
Alkisah, burung Rajawali itu oleh Tuhan dikasih rangsum usia relative sama
dengan umumnya makhluk manusia, yakni 60-80an tahun, naik turun. Kalau
manusia Yogyakarta menggunakan wacana “katuranggan” dan menemukan
dirinya adalah Rajawali, bukan mprit atau Cipret, atau sekurang-kurangnya ia
menemukan potensi Rajawali di dalam dirinya : maka ia tinggal bercermin pada
burung itu, karena hidup pada irama dan skala waktu yang relative sama.

Manusia Yogya memiliki potensial untuk “hamengku” alias sikap memangku


berbagai formulasi peradaban. Semua hasil “ijtihad” kosmologi diakomodasikan
olehnya. Berbagai satuan tahun – dari Yunani, Mesir Kuno, Sanskrit, Jawi, Java—
satuan bulan, siklus hari, bahkan weton dan neptu, dielus-elus oleh manusia
Yogya dari pangkuanya.
Sudah pasti itu disebabkan oleh keistimewaan manusia Yogya, sehingga daerah ini
tidak perlu dilegarisir oleh otoritas apapun untuk menjadi istimewa, karena
keistimewaan Yogya sudah lama ‘niscaya’ oleh dirinya sendiri, ada atau tidak ada
NKRI, dengan atau tanpa Indonesia.
Keistimewaan itu akan memuat dan menerbitkan kepantasan kepemimpinan
nasional secara politik dan internasional secara kebudayaan. Hal itu akan
mewujud atau tidak, Yogya tidak pusing, sebab de facto ia tetap istimewa dan
pemimpin. Kalau sejarah tidak menerimanya, maka kehancuran sejarah tidak
akan mengurangi keistimewaan dan kepemimpinan kultural Yogya.
Pada usia 40 tahun, burung Rajawali terbang ke gunung jauh, mencari batu
karang, memilih yang paling baja dari bebatuan itu, mematuknya, menggigitnya,

sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya, dan takkan dilepaskanya sampai


paruhnyatanggal dari mulut dan kepalanya.
Demikian juga cakar-cakar kedua kakinya. Ia cengkeramkan ke batu paling karang,
dengan daya cengkeram sekali seumur hidup, dan takkan dibatalkanya sampai
lepas tanggal kuku-kukunya dari jari-jemari kedua kakinya.
Kemudian dia akan kesakitan, tergeletak, terbang dengan lemah, hinggap di
seberang tempat tanpa kekuatan untuk berpegang. Rajawali mengambil
keputusan untuk menderita, untuk mereguk sakit dan kesengsaraan, sampai
akhirnya hari demi hari paruh dan kuku-kukunya tumbuh kembali.
Nanti setelah sempurna pertumbuhan paruh dan kuku-kuku barunya, maka
barulah itu yang sejati bernama bernama paruh dan kuku-kuku Rajawali, yang
membuatnya pantas disebut Garuda.
Tariklah garis pengandaian: Rajawali itu adalah Anda. Sesungguhnya yang anda
lakukan adalah, pertama : keberanian mental, ketahanan jasad, ketangguhan hati
dan keikhlasan rohani untuk menyelenggarakan perubahan yang bukan hanya
mendasar dan mengakar, melainkan ekstra-eksistensial, kegagahan untuk
merelakan segala perolehan sejarah untuk di-nol-kan kembali, dan itu
probabilitasnya benar-benar terletak diantara hidup dan mati.
Kedua, pengambilan keputusan Anda sang Rajawali itu tidak mempersyaratkan
sekedar keputusan hati, tapi juga keputusan akal dan nalar dengan pengetahuan
yang sempurna tentang alur waktu ke depan. Keputusan itu bukan sekedar
tindakan mental, tapi juga intelektual dan rohaniah. Rajawali diakui dan digelari
Sang Garuda karena mengerti dan berani betapa beratnya menyangga kalimat
sehari-hari yang sederhana dari Bapak Mbok dan para tetangganya di desa : yakni
“mati sakjroning urip”.
Garuda Rajawali atau Rajawali Garuda itu pastilah Anda semua yang kini ada
dihadapan saya. Sebab nyuwun sewu saya tidak menjumpai potensi dan
kecenderungan itu di wilayah pemerintahan, di hamparan keummatan dan
gerombolan-gerombolan kemasyarakatan. Termasuk di kalangan yang disebut
Kaum Intelektual atau Kelas Menengah. Apalagi kaum Selebritis, meskipun gebyar
beiau-beliau sangat penuh dengan kata ‘dahsyat’, ‘super’, ‘luar biasa’ dan banyak
lagi ungapan-ungkapan yang penuh ketidakpercayaan diri.
Kita sedang mengalami hukuman dari suatu Negri yang terlanjur mengalami
kesalahan-kesalahan sangat substansial pada filosofi kebangsaan dan kostitusi
kenegaraanya. Kita sedang berada di dalam berbagai cengkeraman global dan
reaksi kita adalah berjuang untuk siapa tahu bisa menjadi bagian dari
pencengkeram, atau minimal sanggup membangun kenikmatan di dalam
cengkeraman.
Hukuman sejarah itu berupa kehancuran logika, kemusnahan nalar sosial,
ketidakmengertian tentang apa yang layak dikagumi dan apa yang
menghancurkan martabat kemanusiaan, kebutaan untuk menentukan tokoh,
pemimpin, idola, dan panutan. Kita dihukum dengan mengalami Negara yang
hampir selalu gagal sebagai Negara, dengan Pemerintah yang benar-benar tidak
mengerti pada tingkat elementer pun di mana sebenarnya letak Pemerintah,
peranya, fungsinya, hak, dan kewajiban.
Kita dihukum dengan memiliki kekayaan alam yang melimpah dan harus membeli
sangat mahal hasil kekayaan kita sendiri itu, setelah kita sewa para tetangga
mancanegara untuk mengolah kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita
tanggung dengan menelan kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya
menjadi milik mereka.
Bangsa ini sungguh-sungguh memerlukan “pengambilan keputusan paruh dan
kuku Rajawali”. Namun lihatlah, potensi untuk itu betapa rendahnya, kecuali pada
Anda semua yang kini berada di depan saya.
Maka di Yogya kita menggelar karya para Rajawali : Umar Kayam yang
memelihara dan menjaga karakter bangsanya, Kuntowijoyo yang sungguhsungguh
berilmu Rajawali, Nasyah Djamin yang allround sanggup terbang sanggup
pula melata, Muhammad Diponegoro yang mampu memasak nasi sastra di atas
kompor budaya Agama lingkunganya yang hampir tanpa sumbu dan api, Linus
Suryadi AG yang menyelam di latan kemesraan dan estika ‘Jawi’ gen-nya,
Suryanto Sastro atmojo penjaga simpul tali sejarah dari Astinapura, Lemoria
Atlantis, Anglingdharma Batik madrim hingga Kemusu, Romo YB Mangun Wijaya
yang mewasiti manusia dan masyarakat kemanusiaan, Rendra yang tidak sedia
membiarkan anak-anak bangsanya merunduk rendah diri, yang senantiasa gagah
karena menjaga pertanda manusia adalah kreativitasnya, serta Pak Besut yang
dengan suaranyamembangun kegembiraan hidup menjadi kebesaran sehingga
mengatasi segala yang bukan kegembiraan.
Siapakah yang belajar kepada Rajawali, selain Rajawali? Siapakah Rajawali itu,
selain anda yang berkumpul di sini belajar kepada Gelar Karya Para Rajawali?
Itulah yang diawal tulisan ini saya sebut Genre Baru Masyarakat Kebudayaan di
Yogya.
Terhisap oleh hidungku bau darah dari kandungan jiwa Rajawali-Rajawali,
berhembus dari kaum muda yang dating berduyun-duyun, yang hadir dan belajar
dengan otentisitas dan orisinalitasnya, yang melangkahkan kaki mereka dan
mengerubungi medan pembelajaran Rajawali dengan sukses mentransendensikan
dirinya dari arus pusaran sejarah yang terlalu penuh sampah sepuluh tahun
terahir ini.Kadipiro 6 Agustus 2010
*) (Dibacakan untuk membuka acara ‘Repertoar Maestro Sastra Yogya 2010’ di
Gedung Kesenian Sositet Taman Budaya Yogyakarta, jum’at 6 Agustus 2010).

Gunung Jangan Pula Meletus?


by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib,
Sumber: Kiai Bejo Kiai Untung Kiai Hoki, Gramedia Pustaka Utama, 2007
Khusus untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata
mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan
kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilainilai
kandungannya?
Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah
satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan
apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh
ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh
lantak terkeping- keping, akan kubunuh.
“Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!” aku
menyerbu.
“Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran,” Sudrun menyambut
dengan kata-kata, yang seperti biasa, menyakitkan hati.
“Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?”

“Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan
dengan surga.”
“Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita
dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan
kesengsaraan sedalam itu?”
“Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga
derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus
menjalani kerendahan.”
“Termasuk Kiai….”
Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu
kala. Kuusap dengan kesabaran.
“Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada
gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih
kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di
tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?”
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku.
Badannya terguncang-guncang.
“Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan?
Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?” katanya.
Aku menjawab tegas, “Ya”
“Kalau Tuhan diam saja bagaimana?”
“Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus
mempertanyakan.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kapan pun!”
“Sampai mati?”
“Ya!”
“Kapan kamu mati?”
“Gila!”
 “Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa
ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak
tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak
tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan
tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak
secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam
semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!”
“Aku ini, Kiai!” teriakku, “datang kemari, untuk merundingkan hal- hal yang bisa
menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter….”
Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya.
Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
“Kamu jahat,” katanya, “karena ingin menghindar dari kewajiban.”
“Kewajiban apa?”
 “Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.
Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya,
dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya
yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana
pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke tempat sampah.
Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa,
dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat
oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak
harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat
kepadaNya."
"Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini…” -ia meraih lengan saya dan
menyeret ke tembok- “Kupinjamkan dinding ini kepadamu….”
“Apa maksud Kiai?” aku tidak paham.
“Pakailah sesukamu”
 “Emang untuk apa?”
“Misalnya untuk membenturkan kepalamu….”
“Sinting!”
“Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik
untuk cara berpikir yang kau tempuh.”
Ia membawaku duduk kembali.
“Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia
menurut pertimbanganmu?” ia pegang bagian atas bajuku.
“Kamu tahu Muhammad?” ia meneruskan, “Tahu? Muhammad Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup
sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena
sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan
menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 m, lebar 4,62 m. Ia manusia
yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang
kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya
berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun
Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun
istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal
kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer
sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu
takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang
pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik
kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan
nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan
yang kalian salahkan?”
Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke
belakang.
“Kiai .. ” kata saya agak pelan, “Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon
utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim….”
“Sangat benar demikian,” jawabnya, “Apa yang membuatmu tidak yakin?”
“Ya Aceh itu, Kiai, Aceh…. Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi.”
 “Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah
bahwa kamu pantas diludahi.”
“Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu….”
“Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta
lubuk hati. Kenapa?”
“Aceh, Kiai, Aceh.”
“Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi.
Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh
Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan
rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang
ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan
pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini
Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran
mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema
Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan
Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka
selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir
keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak”
 “Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar
dibayangkan akan mampu tertanggungkan.”
“Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang
tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang
dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak
ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara
yang sebaliknya adalah keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh
Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti
ketika kamu mati.”
“Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa,
sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup
nikmat sejahtera?”
“Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak
tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan
kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru
Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati
karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?”
 “Gusti Gung Binathoro!” saya mengeluh, “Kami semua dan saya sendiri, Kiai,
tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang
disuguhkan oleh perilaku Tuhan.”
“Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan.
Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga
politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh
penghinaan atas martabat diri manusia sendiri- maka Tuhan justru menambahi
penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh
lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah
pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan
pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup.”
“Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan….”
“Alangkah dungunya kamu!” Sudrun membentak, “Sedangkan ayam menjadi
riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski
ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur”
“Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?”
 “Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga
selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa
bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi
dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi
pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi
peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum
mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada
kemungkinan….”
“Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!” aku memotong, karena ngeri
membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.
“Bilang sendiri sana sama gunung!” ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor
meninggalkan saya.
“Kiai!” aku meloncat mendekatinya, “Tolong katakan kepada Tuhan agar
beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam….”
“Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa
tak kau pakai istilah bencana Tuhan?”
Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.

Gusti, Kok Pas Sih....!


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 28 Januari 2010 jam 8:51
Catatan: Munzir Madjid
NAMANYA “Muhammad Ainun Nadjib,” diutak-atik sendiri menjadi “Emha Ainun
Nadjib.” Sejak tahun 1970-an namanya mulai dikenal sebagai penyair dari Jogja.
Wilayah jelajah berikutnya sebenarnya tidak melulu di dunia kepenyairan.
Bahkan pertengahan 1960-an, kala masih tercatat sebagai pelajar SMA, sudah
dipercaya mengasuh rubrik “Sastra-Budaya” di sebuah harian lokal Jogjakarta.
Tahun 1980-an mulai melanglang dunia; ke Amerika Serikat, Filipina, Jerman,
Belanda dan lorong-lorong Negara Eropa yang lain. Di tahun 80-an pula,
tulisantulisannya
mulai memenuhi berbagai majalah dan harian nasional. Undangan-pun
berdatangan dari berbagai kalangan untuk dijadikan nara sumber lintas disiplin
keilmuan.
Orang-orang terbiasa memanggilnya “Cak Nun.” Panggilan khas jawatimuran
karena Emha berasal dari Jombang, Jawa Timur. Yang memanggil “Emha” juga
tidak sedikit, terutama dari pergaulan dengan kalangan di luar Jogja dan Jawa
Timur. Emha sendiri tidak terlalu peduli dengan berbagai panggilan itu, bahkan
ada yang menjuluki “Kiai Mbeling.” Barangkali karena dalam berbagai
kesempatan, baik dalam tulisan atau ucapan-ucapannya, Emha sangat fasih
menyitir ayat-ayat Al Qur’an. Mungkin pula orang mau memanggil “Kiai” tanpa
embel-embel “Mbeling” masih agak diragukan, kurang rela dan tidak pantas.
Beda lagi orang Makassar. Emha selalu dipanggil dengan “Cak Nung.” Saya tidak
tahu kenapa lidah orang Makassar susah mengucapkan “Nun,” sebab bila nama
Anda “Agung” akan dipanggil “Mas Agun.” Yang ini kebalik ‘kan, susah melafalkan
“Mas Agung.”
Maka jangan heran jika di suatu tempat Emha dipanggil “Bapak Cak Nun,”
sebagaimana orang keliru memanggil Bung Karno dengan “Bapak Bung Karno”
atau Gus Dur dipanggil “Bapak Gus Dur.” Atau malah dikelira-kelirukan dengan
“Cak Nur” (Nurcholish Madjid, Allah yarham).
<“Cak Nur kan?” seseorang menodong di Bandara Soekarno Hatta.
Emha kebingungan menjawabnya, jika dijawab tidak, kasihan juga.
“Cak Nur kan?”
Emha hanya tersenyum.
“Iya, Nurcholish Ainun Nadjib kan?”
Saya sebenarnya bingung mau menulis apa tentang Emha, memulai dari mana
dan menuju kemana. Banyak sekali memori saya tentang Emha, selama
bertahuntahun
bergaul sampai sekarang. Beberapa kawan menyarankan saya menulis lagi
sebagaimana tulisan-tulisan berseri yang pernah saya tuturkan. Saya bukan orang
yang cerdas menyerap ilmu lalu saya deskripsikan dalam sebuah tulisan dengan
berbagai analisa. Jadi mohon maaf, kalau tulisan ini hanya “wadag,” dan bukan
“ruh.” Terlebih memohon maaf kepada Emha, jika ternyata tuturan saya tidak pas
atau malah berlebihan.
Dalam suatu acara, seorang MC memanggil, “Kami persilakan Bapak KH Emha
Ainun Nadjib, yang kita kenal sebagai Cak Nun...”
Sejak kapan Emha menjadi haji, saya membatin. Memang pada saat itu Emha
belum berangkat haji, bahkan ke Makkah-pun belum pernah. Dan ‘haji’ dalam
pemahaman kita juga bukan titel sebagaimana rukun Islam lain.
Beberapa kali sahabat-sahabatnya ‘memaksa’ Emha untuk berangkat haji, dengan
fasilitas ONH Plus-nya. Dengan cara halus Emha selalu menolaknya. Seorang
pejabat penting mengirim ajudannya dengan membawa amplop berisi ribuan US
Dollar untuk ongkos naik haji. Setelah amplop diterima dan dibuka isinya lalu
Emha menyerahkan kembali kepada sang ajudan. Entahlah, apakah amplop
diserahkan kembali kepada sang pejabat, atau diam-diam tidak diserahkan
dengan alasan jika dikembalikan mendapat resiko dimarahi. Nilai nominalnya
banyak lho, taruhlah misalnya USD 10.000 dikalikan kurs sekarang. Wallahu a’lam.
Barangkali pejabat tadi, yang sangat akrab dengan Emha, melihat Emha belum
juga mau berangkat haji, meminta lagi kepada Emha untuk kesekian kalinya. Kali
ini Emha mau menerima ongkos naik haji, tapi bukan untuk dirinya melainkan
untuk beberapa orang miskin di kampungnya. Kalau Anda bertanya kapan
kejadiannya, saat musim haji berbarengan dengan musibah terowongan Mina.
Lagi, di Bandara Soekarno Hatta. Seseorang wanita paruh baya mendatangi Emha.
Emha sendiri merasa tidak mengenalnya. Emha berencana menuju Surabaya lalu
ke Jombang. Saat sedang beracara di Jakarta dikabari bahwa salah satu kakaknya
mendapat musibah kecelakaan mobil dan di rawat di RSUD Jombang.
“Mas Emha kan?” wanita berwajah oriental itu menyapa.
 “Iya bu,” Emha dengan santun menjawabnya.
“Saya ada titipan, mohon diterima,” wanita itu memohon.
“Terima kasih bu,” Emha menerima amplop dengan ucapan terima kasih.
Aneh. Mereka tidak saling kenal dan tidak saling memperkenalkan diri.
Kejadiannya sangat cepat. Emha tersadar, kok tidak bertanya namanya siapa, dan
ini amplop apa.
Sampailah Emha di RSUD Jombang dan menjenguk sang kakak. Lalu seseorang
menyerahkan kwitansi pembiayaan pengobatan. Buru-buru Emha menuju toilet
dan membuka isi amplop. Amplop berisi uang itu dihitung dan disesuaikan dengan
tagihan biaya rumah sakit. Emha terkejut, nominalnya sangat pas.
“Gusti, syukur Alhamdulillah, tapi mbok yao dilebihin barang limapuluh ribulah...!”
Emha mengucap dalam batin. []
Jkt, 26.01.2010. 11:41

Hijrah dan Kultus Individu


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 Februari 2010 jam 9:44
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini
yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah
sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.
Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli
menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar,
melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja,
adalah hijrah.
Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini
yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah
sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.
Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli
menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar,
melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja,
adalah hijrah.
Inti ajaran Islam adalah hijrah. Icon Islam bukan Muhammad, melainkan hijrah.
Muhammad hanya utusan, dan Allah dulu bisa memutuskan utusan itu Darsono
atau Winnetou, tanpa ummat manusia men-demo Tuhan kenapa bukan
Muhammad. Oleh karena itu hari lahirnya Muhammad saw. Tidak wajib
diperingati. Juga tidak diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir
Muhammad kita ingat dan selenggarakan peringatannya semata-mata sebagai
peristiwa cinta dan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya melaksanakan perintah
Tuhan.
12 Rabiul Awal bukan hari besar Islam sebagaimana Natal bagi ummat Kristiani.
Sekali lagi, itu karena Islam sangat menghindarkan ummatnya dari kultus individu.
Wajah Muhammad tak boleh digambar. Muhammad bukan founding father of
islam. Muhammad bukan pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan. Tahun
Masehi berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, sementara Tahun Hijriyah
berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, yang merupakan momentum terpenting dari
peta perjuangan nilainya. Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari
penyembahan individu, membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran --
siapa pun dulu yang diutus oleh Tuhan untuk membawanya.
Hijrah adalah pusat jaring nilai dan ilmu. Dari gerak dalam fisika dan kosmologi
hingga perubahan dan transformasi dalam kehidupan sosial manusia. Manusia
Muslim tinggal bersyukur bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa
langsung dipakai untuk mempermatang cara memasak makanan, cara menangani
pendidikan anak-anak, cara mengurus organisasi dan negara.
Hijrah Muhammad saw. dan kaum Anshor ke Madinah, di samping merupakan
pelajaran tentang pluralisme politik dan budaya, juga bermakna lebih esoterik
dari itu.
Peristiwa Isra' Mi'raj misalnya, bisa dirumuskan sebagai peristiwa hijrah,
perpindahan, atau lebih tepatnya transformasi, semacam proses perubahan atau
'penjelmaan' dari materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya.
Sebenarnya sederhana saja. Kalau dalam ekonomi: uang itu materi, kalau diputar
atau digerakkan atau 'dilemparkan' maka menjadi enerji. Itu kejadian isro'
namanya. Tinggal kemudian enerji ekonomi itu akan digunakan (dimi'rajkan)
untuk keputusan budaya apa. Kalau sudah didagangkan dan labanya untuk beli
motor: motornya dipakai untuk membantu anak sekolah atau sesekali dipakai ke
tempat pelacuran.
Di dalam teknologi, tanah itu materi. Ia bisa ditransformasikan menjadi genting
atau batu-bata. Logam menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik, atau
apapun. Tinggal untuk apa atau ke mana mi'rajnya.
Peristiwa isro' bergaris horisontal. Negara-negara berteknologi tinggi adalah
pelopor isro' dalam pengertian ini. Pertanyaannya terletak pada garis vertikal
tahap mi'raj sesudahnya. Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau menjadi
cahaya. Artinya produk-produk teknologi didayagunakan untuk budaya kehidupan
manusia dan masyarakat yang menyehatkan jiwa raga mereka dunia akhirat.
Kalau garis vertikalnya ke bawah, berati transform ke atau menjadi kegelapan.
Mesiu Cina diimport ke Eropa menjadi peluru, meriam dan bom. Kita bisa dengan
gampang menghitung beribu macam produk teknologi isro' pemusnah manusia,
perusak mental dan moral masyarakat.
Dalam pengertian umum dan baku selama ini, Isra' Mi'raj selain merupakan
peristiwa besar dalam sejarah, namun pada umumnya berhenti sebagai wacana
dongeng, dan belum digali simbol-simbol berharganya atas idealitas etos
tranformatif.
Dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan rumus di atas, segala sesuatu yang
menyangkut kehidupan manusia-baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya
dan sebagainya-terjadi secara berputar membentuk bulatan. Yang sehari-hari
sajapun: badan kita (materi), tentu, jika tidak diolah-ragakan (dienergikan),
mengakibatkan tidak sehat. Tidak sehat adalah kegelapan.
Setelah badan kita sehat dan menyehatkan, lantas dipergunakan untuk kegiatan
yang baik, yang memproduk cahaya bagi batin kehidupan kita, serta bermanfaat
seoptimal mungkin bagi sesama manusia dan alam-lingkungan.

Humor
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 Juli 2010 jam 11:43
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Humor orisinal dari kehidupan sehari-hari adalah bahasa atau ungkapan budaya
yang paling canggih dalam penggambaran inti realitas zaman. Kalau tulisan atau
buku-buku ilmiah, harus berputar-putar dulu kalau hendak membawa kita ke
realitas. Mesti melalui jalan metodologi dan terminologi yang ruwet, yang hanya
bisa dijangkau oleh hanya sebagian orang yang punya uang untuk sekolah.
Sementara sepotong humor langsung saja membenturkan kita ke inti kenyataan.
Humor adalah sinar laser yang amat tajam, yang mengirimkan kita secara sangat
pragmatis untuk mengerti terhadap sesuatu hal.

Indonesia Maafkan Aku


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 17 Agustus 2010 jam 11:08
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Indonesia
maafkan aku
tak ada yang bisa kuperbuat untukmu
karena engkau terlalu besar untukku
dan aku terlalu kecil untukmu
Indonesia
maafkan aku tak bisa menolongmu
karena engkau terlalu kuat bagiku
dan aku terlalu lemah bagimu
Indonesia
maafkan tak ada peran yang bisa kupersembahkan kepadamu
karena engkau terlalu agung untuk kupahami
dan aku terlalu kerdil dan tak berarti
bahkan memalukan untuk menjadi bagian darimu
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 70
Indonesia
maafkan kakiku tak sanggup melangkah untukmu
tanganku tak mampu bergerak buatmu
engkau semesta gaib yang tak mampu kujangkau
dan aku daun kering layu, mengotori tanah sucimu
Indonesia
maafkan aku tak sanggup mengikuti jalanmu
karena langkahmu langkah cakrawala
sedangkan aku cacing melata
Indonesia
maafkan aku berpaling
karena wajahmu terlalu berkilause
hingga tak sanggup aku menatapmu
Indonesia
karena tak ada satupun dari perilakumu
yang sanggup kumengerti
maafkan aku abstain...
aku abstain...
*) diambil dari pementasan Jangan Cintai Ibu Pertiwi GKJ 2-3 April 2009

Industri dan Sportivitas Sepakbola


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 29 Juni 2010 jam 10:53
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Lucunya, kalau sportivitas nomer satu, industri sepakbola tidak jalan. Sportivitas
hanya aktual di wilayah-wilayah romantik. Masing-masing kita menjagokan
kesebelasan sendiri-sendiri. Pertimbangan kita bukan sportivitas, melainkan
selera pribadi.
Sedangkan orang yang mengerti ilmu sejati, berkata: “Engkau menjadi lemah dan
kelak bisa menjadi celaka kalau menjalankan hidup bersadarkan senang dan tidak
senang, mengandalkan selera pribadi dan kemauan sendiri. Manusia yang kuat
dan akan menemukan hakekat hidup adalah yang melangkahkan kaki berdasarkan
pilihan yang benar, baik dan indah, serta meninggalkan yang salah, buruk, dan
konyol".

”Islamic Valentine Day”


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 14 Februari 2010 jam 8:08
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
JUDUL ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir, karena sesungguhnya itu
istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi iktikad baik tentang cinta
kemanusiaan.
Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan teve Ramadan.
Islam itu substansi nilai, juga metodologi.Ia bisa memiliki kesamaan atau
perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik
yang berasal dari ”agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah
tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entiti, Islam hanya sama dengan
Islam.
Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam.Tidak sama dengan pandangan
pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni,
Syi’i, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir
terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam
yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah.
Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masingmasing
mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan
logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini
atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan ”islamisasi”, ”dakwah Islam”,
”syiar Islam”, bahkan perintisan pembentukan ”Negara Islam Indonesia” – yang
sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masingmasing.
Dan Islamnya si A si B si C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan Islamnya Allah
sejatinya Islam. Demikianlah memang hakekat penciptaan Allah atas kehidupan.
Sehingga Islam bertamu ke rumahmu tidak untuk memaksamu menerimanya. La
ikroha fid-din.Tak ada paksaan dalam Agama, juga tak ada paksaan dalam
menafsirkannya. Tafsir populer atas Islam bahkan bisa menggejala sampai ke
tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.
Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi
seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan
hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi
subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaranpelanggaran
terhadap Islam.
Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran,
kemunafikan, kemalasan pengabdian,korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai
untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah
tampak tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah
kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga,
berdzikir ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan
beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih
bagaikan pasukan Malaikat Jibril.
Sedemikian rupa sehingga kita selenggarakan dan lakukan berbagai formula dunia
modern, industri liberal, mode show, pembuatan film, diskusi pengajian, yang
penting dikasih kostum Islam.Tentu saja tidak usah kita teruskan sampai tingkat
menyelenggarakan tayangan ”Gosip Islami”, ”Lokalisasi Pelacuran Islami”,
”Peragaan Busana Renang Wanita Muslimah” atau pertandingan volley ball
wanita muslimah berkostum mukena putih-putih. Sampai kemudian dengan tolol
dan ahistoris kita resmikan salah satu hari ganjil di tengah sepuluh hari terakhir
Ramadan sebagai Hari Valentine Islami.
Tapi sesungguhnya saya serius dengan makna Hari Kasih Sayang Islam versi
Rasulullah Muhammad SAW. Fathu Makkah, yang diabadikan dalam Al Qur’an
sebagai Fathan Mubiiina, kemenangan yang nyata, terjadi pada Bulan Ramadan,
tepatnya pada tanggal 10 Ramadan tahun ke-8 Hijriyah. Pasukan Islam dari
Madinah merebut kembali kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh
kemenangan besar. Ribuan tawanan musuh diberi amnesti massal.
Rasulullah berpidato kepada ribuan tawanan perang: ”...hadza laisa yaumil
malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah,wa antumut thulaqa....”.Wahai
manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih
sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing.
Pasukan Islam mendengar pidato itu merasa shock juga. Berjuang hidup
mati,diperhinakan dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di
genggaman: malah musuh dibebaskan. Itu pun belum cukup. Rasulullah
memerintahkan papasan perang, berbagai harta benda dan ribuan onta,
dibagikan kepada para tawanan.
Sementara pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sehingga mengeluh dan
memproteslah sebagian pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka dikumpulkan
dan Muhammad SAW bertanya: ”Sudah berapa lama kalian bersahabat
denganku?” Mereka menjawab: sekian tahun, sekian tahun... ”Selama kalian
bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau
tidak mencintai kalian?”
Tentu saja sangat mencintai. Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: ”Kalian
memilih mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?”
Menangislah mereka karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa
dibandingkan bahkan dengan bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di situ
sebagai bagian dari pasukan Islam, kelihatannya kita menjawab agak berbeda:
”Sudah pasti kami memilih cinta Rasulullah... tapi kelau boleh mbok ya juga diberi
onta dan emas barang segram dua gram...” (Sindo, 21/09/2007)

Kangen
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 20 Januari 2010 jam 13:09
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kangen itu baik. Kangen itu mahluk ciptaan Allah yang tergolong paling indah. Ia
mutiara batin, atau api yang menghidupkan jiwa. Karena kangen yang menggebu,
dulu Ibrahim mengembarai bumi dan langit bertahun-tahun, untuk akhirnya
menemukan apa yang paling dibutuhkan oleh hidupnya: Allah.
Oleh kangen yang tak tertahan pula, Musa bermaksud membelah kodrat,
menerobos maqom dan ingin memergoki Allah yang amat dicintainya. Tentu saja
gagal, sebab ketika itu ia masih manusia, masih darah daging.
Kangen membuat seorang istri paham arti kehidupan. Kangen membikin
suaminya, yang pergi nun jauh, membatalkan penyelewengannya sebagai lelaki.
Kangen mendorong seorang gadis menancapkan cintanya lebih dalam. Kangen
membuat pemuda kekasihnya mengerjakan kesibukan-kesibukan baik untuk
memelihara kebersihan rindu yang dinikmatinya. [...]

Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - I


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 19 Mei 2010 jam 11:23
Catatan: Kang Munzir
Yasinan
Seorang berteriak lantang, mengagetkan semua orang. “Api, api....!” Matanya
melotot ke atas seolah melihat hal yang menakjubkan. Kedua tangannya
digerakkan mengikuti irama teriakan bak seorang pembaca puisi. “Lihatlah, aku
melihat api...!”
Orang-orang berdatangan usai magrib. Tikar dan karpet telah tertata rapi di ruang
tamu dan ruang tengah. Sebagian mahasiswa, seniman dan pengangguran.
Beberapa wajahnya tidak terlalu asing karena rutin datang ke Patangpuluhan,
rumah kontrakan Emha Ainun Nadjib.
Entah sejak kapan, tiap Kamis (malam Jumat) diselenggarakan Yasinan, membaca
QS Yasin. “Santri-santri” mahasiswa mengaji, yang lain, mungkin kurang tartil atau
berbeda agama, duduk santun di teras mendengarkan. Salah satu mahasiswa
memimpin dan berdoa. Emha tentu saja ikut di lingkaran, mengaji dan menyimak.
Usai ngaji, orang-orang tidak beranjak. Biasanya ngobrol ngalor ngidul membahas
berita yang menjadi issu nasional. Diskusi. Dari pintu belakang terlihat teh manis
dan nasi kuning mulai dikeluarkan. Sejak sore, seksi dapur yang ditangani Mbak
Roh, Dik In dan Mbak Wik (almarhumah) sudah sibuk belanja dan memasak.
Di tengah pembicaraan yang kadang panas, tiba-tiba Agus Supriyatna, seorang
mahasiswa dari Karawang berteriak seperti orang trance. Mata hampa seolah
melihat sesuatu, entah apa. “Api, api, lihatlah....!” Mulut terus berbunyi. Bagai
melafal bait-bait puisi. Jika hal semacam terjadi, biasanya Emha mendekat,
mengelus punggungnya dan seolah membacakan sesuatu di telinga dan ubunubun.
Lalu berangsur tenang.
Tema-tema obrolan muncul begitu saja. Pelontar umumnya berawal dari
pertanyaan-pertanyaan mahasiswa yang diajukan kepada Emha. Karena
pesertanya berbeda latar belakang, maka diantara mereka sering saling ngotot
mempertahankan argumen masing-masing. Kalangan mahasiswa dengan
bahasabahasa
“planet” yang bagi kalangan awam susah dipahami, nukilan-nukilan text
book dengan istilah-itilah asing. Sementara yang seniman berpuitis dan berbahasa
“nyufi.”
Jika malam makin larut, secara perlahan satu persatu berpamit. Pasti mereka
tidak terbiasa “melek malam.” Yang lain tetap bertahan, bisa jadi dilanjut dengan
permainan gaple. Main gaple seolah menebak nasib, meramal takdir. Kita tidak
sanggup menghitung “balak” apa yang akan muncul. Meski jumlah kartu bisa
dihitung, probabilitasnya agak susah untuk memastikan. Bahkan Emha sering agak
ekstrim mengemukakan bahwa pasti “Tangan Tuhan” ikut berperan. Kartu
dikocok sekian kali, kartu dibagi, masing-masing pemain tidak bisa memilih kartu
terbaik. Seorang pemain ahli-pun bisa kalah jika tandem sisi kiri atau kanan
ngawur cara membuang kartu. Permainan gaple (atau kartu) hampir mirip sopir
taxi atau tukang ojek. Tuhan-lah yang mengatur detik demi detik jalannya rejeki.
Kita tidak bisa memperkirakan seberapa cepat melajukan kendaraan tatkala tiba
di pojok jalan seseorang muncul dan menyetop kendaraan kita. Laju cepat sedikit
orang itu belum keluar dari rumah, diperlambat, kendaraan lainlah yang distop.
Pertemuan di titik antara sopir taxi dan calon penumpang adalah pertemuan
agung yang diatur Tuhan.
Seorang kawan aktifis kebudayaan dari Banten yang berdiam lama di Solo, adalah
lawan ulet Emha. Mereka saling mengalahkan. Saling ejek. Untuk membuktikan
bahwa Tuhan juga ikut “bermain gaple,” Emha berani taruhan dengan receh lima
puluh rupiah (Rp 50,- --mungkin kurs sekarang setara dengan Rp 500,-). Kali ini
Emha menang bagai bandar. Ih, berjudi ya? Jangan khawatir, siapa yang menang
uang receh dikumpulkan untuk makan bersama. Jelas saja kurang, pasti harus ada
yang nombokin kekurangannya. Makan di waktu malam di Jogja sangat
mengasyikkan. Banyak tempat bisa dikunjungi, semuanya serba murah. Mau pilih
menu apa? Oseng-oseng mercon, gudeg Permata, warung “gua hira,” nasi kucing
Mbah Wongso atau sayur brongkos Pojok Beteng?
Kapan sejarah ini berlangsung? Untuk mengingat bulan dan tahun, apalagi
tanggal, saya agak sulit. Tampaknya akhir tahun 1980-an, 1988-1989 atau awal
1990-an. Beberapa orang yang sering muncul adalah Agung Waskito, Seteng Agus
Yuniawan, Jebeng Slamet Jamaluddin, Wahyudi Nasution, Godor, Muhammad
Hadiwiyono, Imam Syuhada, Hamim Ahmad, Irfan Mukhlis, Goetheng Iku Ahkin,
Moh Zainuri, Joko Kamto, Novi Budiyanto, Jemek, Toro, Toto Rahardjo, beberapa
aktifis mahasiswa dan LSM.
Saya tidak berani mengklaim atau men-justifikasi bahwa kelak pengajian Padhang
Bulan ber-embrio dari sini, Yasinan di Patangpuluhan. Lalu gerakan shalawat
menyebar dari Jakarta, yang berawal dari idenya Cak Dil (Adil Amrullah) membuat
wadah HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat), setelah Emha merasa
“gamang” dengan gagalnya reformasi 1).
Itulah proses. Yasinan di Patangpuluhan, Pengajian Padhang Bulan, HAMAS
Jakarta, Mocopat Syafaat 17 Agustus 1999 di Jogjakarta, Kenduri Cinta dan
seterusnya, yang kemudian menjadi Jamaah Maiyah.
Catatan judul. Kawah Api “Universitas Patangpuluhan” istilah ini yang pertama
kali melontarkan Emha sendiri. Universitas Patangpuluhan, harus dengan tanda
petik. Patangpuluhan, bukan Patang Puluhan.
Jkt.09.05.2010, 13:06
Bersambung.
1). Emha sangat aktif ikut membidani jalannya reformasi melalui pertemuan demi
pertemuan dengan berbagai pihak dan mengawal prosesi 21 Mei 1998, sampai
kemudian Pak Harto secara suka rela meletakkan jabatan. Namun reformasi yang
diharapkan benar-benar sebagai momentum perubahan, justru tidak sesuai
harapan. Habibie, wakil presiden, naik menggantikan Pak Harto sebagai presiden
dengan menteri-menteri yang tidak jauh berbeda dengan Orde Baru. Lebih
lengkap tercatat dalam buku kecil “Ikrar Khusnul Khatimah.” Atau “Satu Setengah
Jam Bersama Pak Harto.”
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 81
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - II
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 Mei 2010 jam 9:31
Catatan: Kang Munzir
Guk Nuki
Di Jawa Timur panggilan yang paling populer adalah “Cak,” mengalahkan
panggilan “Mas” untuk Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta). Orang
Sunda terbiasa dengan “Aa.” Panggilan “Cak” lebih egaliter, tidak memandang
strata sosial. Cak Ruslan, Cak Markeso (bukan Markesot), Cak Kandar, Cak Kartolo
atau Cak Nur.
Ternyata ada panggilan yang lebih “ndeso” lagi, kurang populer, mungkin orang
Jawa Timur-pun banyak yang sudah lupa, yaitu “Guk.” Panggilan “Guk” lebih
banyak digunakan di desa-desa untuk petani, pangon, tukang ngarit dst. Saya
sendiri bukan dari Jawa Timur, jika ternyata kurang pas mohon diberi
pembenaran.
Markesot Sang Legenda
Tersebutlah nama Guk Nuki sebagai kawan main Emha sejak kecil. Bukan teman
sekolah, karena Guk Nuki sendiri tidak tamat sekolah tingkat dasar. Bisa jadi
semacam teman “nakal.” Teman mencuri mangga milik tetangga, memindahkan
sandal ke tempat tersembunyi sesama kawan di langgar. Atau, mengikat sebutir
garam dengan benang lalu dimasukkan ke mulut kawannya yang sedang tidur, jika
garam dikecap secara perlahan benang diangkat. Kenakalan yang sungguh
mengasyikkan. Sampai kini Guk Nuki dan Guk Nun masih berkawan akrab.
Nama aslinya, saya kurang begitu paham, Nuchin siapa gitu. Di usia remaja
merantau ke pedalaman Kalimantan. Ia bergaul dengan alam yang ganas dan
lingkungan dari berbagai suku. Ia bisa masuk ke suku melayu, dayak dan madura.
Keahliannya merakit ulang mesin yang rusak, dari berbagai jenis. Dari kipas angin,
diesel, motor, mobil dan kapal yang teronggok. Dengan kreatifitasnya ia bisa
menghidupkan kembali mesin tanpa dengan spare part baru. Bisa dengan cara
kanibal atau rekayasa ketrampilan tangannya.
Konon, kala tidur di bawah pohon tua di hutan pedalaman Kalimantan pernah
mengalahkan para jin yang tiba-tiba mengeroyoknya. Ia “preman” juga rupanya.
Dialek bicaranya sangat kental jawatimuran dan kasar. Raut mukanya dihiasi
kumis dan jenggot tak teratur.
Guk Nuki ini menginspirasi Emha untuk mengangkat menjadi tulisan berseri di
Surabaya Post, akhir 1980-an sampai awal 1990-an: “Markesot Bertutur.” Guk
Nuki ini ya Markesot itu.
Dari cara berpikirnya yang sederhana, menjadi buah-buah pikiran yang sangat
filosofis. Emha seolah menemukan “sumur ilham” untuk menjadikan “Markesot
Bertutur” tulisan yang hidup, jujur, polos dan sangat bernas. Berkat tulisan berseri
ini, fasilitas sekolah dan lembaga pendidikan “Al Muhammady” di Menturo,
Jombang; diperbaiki. Karena Emha menghibahkan hasil honor seluruhnya untuk
kelangsungan pembangunan lembaga pendidikan milik keluarga tsb.
Jkt,12.05.2010, 07:35
Bersambung.
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - III
oleh Kenduri Cinta pada 02 Juni 2010 jam 10:55
Catatan: Kang Munzir
Bengkel Markesot
Yasinan di Patangpuluhan makin hari semakin banyak yang ikut bergabung.
Terutama dari mahasiswa UGM, IAIN (kini UIN) dan beberapa perguruan tinggi
lain; UII dan IKIP Muhammadiyah (UAD, Universitas Ahmad Dachlan).
Mahasiswamahasiswa
ini terutama dari Jamaah Shalahuddin UGM karena Sanggar
Shalahuddin, yang bergiat di teater, aktivitasnya bersentuhan dengan
Patangpuluhan. (Jamaah Shalahuddin lintas perguruan tinggi, tidak hanya UGM).
Di tengah perbincangan serius, tiba-tiba Markesot menyela dan membantah.
Bantahannya kadang sangat tidak konteks dengan apa yang menjadi perdebatan.
Hal ini berulang terjadi. Siapa saja yang berbicara selalu berhadapan dengan
Markesot. Beberapa mahasiswa dibuat jengkel. Bagi mahasiswa, kalimat-kalimat
Markesot tidak tersusun secara sistematis.
Markesot dan Cak Nun
Emha, yang ada di lingkaran, hanya terlihat tersenyum menyimak. Sesekali Emha
meninggalkan forum masuk ke bilik pribadinya. Siapapun tahu, Emha meneruskan
mengetik tulisan yang mendekati deadline beberapa surat kabar dan majalah.
Surabaya Post, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Yogya Post, Suara Merdeka,
Wawasan, Tempo. Beberapa redaktur berkirim surat minta tulisan, untuk secara
temporal dimuat; Kompas, Suara Pembaruan dst.
“Mahasiswa ini bagaimana, katanya orang pintar kok tidak paham omongan
saya,” Markesot protes.
“Orang pintar itu harus memahami bahasanya orang bodoh,” Markesot masih
protes.
Semua hadirin terkesiap. Markesot tidak tamat sekolah dasar tapi omongannya
sangat dalam.
“Kalau saya tidak paham omongan sampeyan, ya wajar, lha saya kan tidak
sekolah!” Markesot terus mencerca para mahasiswa. Matanya memerah.
Tangannya diacung-acungkan. Beberapa mahasiswa di kiri kanan Markesot
berusaha meredam dengan mengelus punggungnya. Markesot secara kasar
membuang tangan yang mengelusnya, “Saya tidak marah...!”
Dari balik pintu Emha ikut melongok, lalu bergabung. Bantah berbantah masih
berlangsung.
“Pertanyaannya adalah orang awam harus memahami orang pintar atau
sebaliknya?” Emha memulai ikut berbicara.
 “Seharusnya mahasiswa, orang-orang pintar, dituntut bisa memahami bahasanya
orang bodoh, bahasanya orang awam. Jangan sebaliknya. Kalian ini orang-orang
beruntung, bisa sekolah tinggi. Tampunglah semua orang, tampunglah Markesot.”
Markesot merasa dibela. Hampir sebagian forum merasa kesal dengan Markesot.
Karena tiap diskusi yang dibangun selalu berantakan jika ada Markesot. Ia
menjadi momok. Sangat menjengkelkan. Markesot dianggap bodoh.
Itulah Guk Nuki, kawan lama “Guk Nun.” Orang yang sangat disayang Emha. Kini
Markesot di Jogja.
Setelah melanglang di hutan Kalimantan, Markesot pulang ke Jombang. Kerja
serabutan di kampungnya atau di Surabaya. Sesekali dipanggil untuk bantu-bantu
service mobilnya Emha.
Keahlian Markesot mbenerin mobil sangat spesial. Tanpa mengganti spare part
baru dengan kecerdasannya sebuah mobil ngadat bisa jalan lagi dan irit bensin.
Repotnya, sewaktu-waktu mobil bermasalah sementara Markesot berhalangan
tidak bisa ke Jogja, maka “terpaksa” mobil harus ditangani montir bengkel
konvensional. Disitulah akan terjadi “pertarungan kultural.” Versi Markesot akan
diganti semuanya oleh montir bengkel. Karena dianggap merepotkan dan tidak
baku teorinya. Jalan pintasnya, ganti spare part baru. Ini kan hukum dagang, rusak
sedikit harus beli yang baru. Mudah kan?
Lalu, Emha meminta tolong Toto Rahardjo untuk mencari tanah kosong untuk
dijadikan tempat mangkalnya Bengkel Markesot... []
Jkt,26.05.2010, 09:32
Bersambung.
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - IV
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 14 Juni 2010 jam 10:50
Catatan: Kang Munzir
Pacar Markesot
SIAPA sih Toto Rahardjo ? Pacar Markesot? Bukan.
Saya menggelar “tikar” dahulu agar cerita ini bisa dinikmati tanpa ada selaan atau
banyak “interupsi.”
Entah sejak kapan Toto “menyatu” dengan Emha. Awalnya saya juga tidak begitu
tahu “makhluk” dari mana, hanya medok banyumasan saja yang mudah dikenali.
Saya dengan dia beda “aliran.” Saya bersama kawan-kawan dari kampus,
sementara Toto adalah tokohnya LSM. Sesekali muncul, 2-3 hari ngendon di
Patangpuluhan, tiba-tiba menghilang entah kemana.
Toto “anak” kesayangan Romo Mangun Widjaya, seorang pastur yang sangat
“islami,” hidup menyatu di perkampungan kumuh Kali Code. Istrinya Toto
semacam sekretaris pribadinya Romo Mangun.
Jangan kaget, di awal kemunculan KiaiKanjeng (1994) -–Toto salah satu pendiri—-
ikut memainkan alat musik Gong. Untuk memainkan alat musik tersebut cukup
sulit, kapan dipukul dan kapan berhentinya. Entah dari mana belajarnya, nyanyi
saja tidak pernah.
Emha memberi mandat kepada Toto untuk mencari lokasi bakal tempat bengkel
Markesot. Sebidang tanah kosong di jalan Bugisan dibangun gubugan, kios tidak
permanen. Yang kerja kita-kita juga di bawah arahan “mandor” Markesot. Lalu bla
bla bla berdirilah Bengkel Markesot, terpampang spanduk: Menerima Service
Mobil/Motor. Dan, “slametan” pun diadakan dengan mengundang tetangga kiri
kanan dan “pekok-pekok” Patangpuluhan.
Satu dua hari masih sepi. Seminggu dua minggu mulai satu dua mobil atau motor
diservice. Itu juga masih orang-orang dekatnya Emha. Emha tidak segan ikut
mempromosikan.
Dalam kehidupan keseharian Markesot memang sering menjengkelkan.
Perbedaan kultur dan budaya “preman” ikut mewarnai. Saya seringkali berantem
omong. Masalahnya juga hal remeh temeh, sama sekali bukan prinsip. Saking
ngeyelnya saya, entah masalah apa, tiba-tiba Markesot mengeluarkan
“simpanan”-nya. Semua terkesiap. Sebilah celurit diambil dari almari. Lha kok ada
celurit di almari? Padahal almari itu pakainya rame-rame, pakaian saya disimpan
disitu juga.

Takut? Jelas mengkeretlah. Markesot memang temperamental. Oleh kawan saya,


Imam Syuhada, Markesot diajak ngobrol hal lain. Diambil hatinya agar emosinya
menurun. Agak lega saya. Terima kasih tak terhingga untuk: Imam Syuhada
Konflik kecil-kecilan ini tanpa sepengetahuan Emha. Pasti dia akan marah.
Seharusnya kitalah yang memahami dan menampung Markesot. Untuk beberapa
saat saya dan Markesot saling diam. Kalau disapa melengos dan diam. Asem. Jelek
banget.
Jangan khawatir, tidak lama kok. Kita hidup satu atap (tanpa perkawinan), di
rumah kontrakan milik Emha, rumah Patangpuluhan. Apa yang disuguhkan di
meja kita makan bersama dalam kesederhanaan. Sesekali jalan mencari soto atau
makanan khas kaki lima.
“Orang Jogja malas!” kata Markesot di warung.
“Kenapa memang?” tanya saya kaget.
“Nyuguhin teh ndak mau ngaduk!”
“Hahaha, oh itu.”
Teh manis di Jogja memang nyamleng. Wangi dan enak. Karena sering dijog ulang,
gulanya hampir setengah gelas. Penjual tidak pernah mengaduk. Penikmatlah
yang mengaduk sesuai selera kadar manisnya. Budaya ini yang belum dipahami
Markesot.
Markesot, kala itu usianya 40-an tahun. Jejaka kasep. Badan tegap, tangan kaki
kekar. Rambut sedikit gondrong dengan kumis dan jambang tak beraturan. Salah
seorang adik laki-lakinya sedang kuliah di Surabaya, bergiat juga di teater.
Sering saya pergoki, Markesot menerima tamu seorang wanita, usianya relatif
sama. Berkelakar dan saling cubit. Ah, sudah tuwek pacaran juga, bikin iri saja.
Siapa wanita “sial” yang, kok, mau-maunya pacaran dengan Markesot? Ia seorang
lulusan sarjana, dan menempati posisi penting di perusahaan Kereta Api yang
berpusat di Bandung. Tiap akhir pekan, Sabtu atau Minggu datang dari Bandung
ke Patangpuluhan, Jogjakarta, menjenguk sang pujaan hati, Markesot. Tidak jelas
kisah asmaranya. Dari beberapa sumber, wanita ini sudah lama sekali menjalin
kasih dengan Markesot, namun Markesot malah merantau belasan tahun. Cinta
lama bersemi kembali. Kelak, wanita ini dipersunting oleh Markesot. Pernikahan
beda status sosial. Why not?
Kembali ke bengkel. Sebulan sudah berjalan, bulan-bulan berikutnya menyusul;
kok bengkelnya masih sepi juga. Maksud saya, konsumen ada satu dua dalam
sehari, tiga empat sampai lima, namun kok pendapatan sekedar untuk makan
minum saja sering nombok.
Wah, jangan-jangan Markesot korupsi. Apa yang didapat tidak berterus terang,
tidak dilaporkan, atau ada sesuatu yang disembunyikan.
Secara tidak sengaja ada yang memberi info, bahwa Markesot “terlalu baik.” Jika
ada orang kena apes, ban motornya gembos kena paku, misalnya, dengan senang
hati Markesot akan menambalnya, meski resminya Bengkel Mobil/Motor; bukan
tambal ban. Anehnya, jika dilihat orang yang kena apes itu potongannya orang
susah, maka Markesot tidak mau dibayar. Oh, ini tho biang keladinya.
Bisa diduga, semua konsumen diperlakukan sama; bayar murah. Apalagi jika
sudah saling mengenal. Gratis.
“Lho kok gak mau dibayar Cak?”
“Mesakno, kena apes masa harus bayar.”
“Lha ini bengkel, siapapun harus bayar.”
“Menolong kan baik!”
Sangat naif. Bengkelnya akhirnya ditutup. Bangkrut. Besar pasak dari pada tiang.
Untuk membayar uang kontrakan tahun berikutnya tidak mencukupi.
“Markesot bukan pedagang,” kata Emha.
Jkt,08.06.2010, 01:00
Bersambung.

Kekuatan Yang Mendasari Kekuatan


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 24 Februari 2010 jam 11:22
Ditulis Oleh: Sabrang Mowo Damar Panuluh
Sembilan tahun yang lalu, ketika masih merantau di negeri orang, ada momentum
di mana saya menggelandang beberapa bulan, tak punya tempat tinggal dan tak
begitu punya uang, sehingga sempat menjadikan sebuah masjid terbesar di kota
itu sebagai tempat tinggal. Tempat di mana saya mendapatkan sebuah jawaban
menarik dari sebuah pertanyaan sederhana. Pertanyaan itu adalah, “kenapa saya
merasa bahwa umat Islam terasa lebih solid di negara non-Islam daripada negara
yang mayoritas beragama Islam?” Jawaban dari Syeikh di mesjid tersebut, ”di
mana pun, minoritas punya kecenderungan untuk berkumpul bersama demi
membangun sebuah kekuatan. Dengan syarat di antara mereka harus mampu
melupakan/menghargai perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka.”
Ini bukan tentang Islam. Ini kecenderungan psikologi manusia di mana yang
merasa minoritas biasanya akan bereaksi dengan berkumpul bersama,
berorganisasi, bikin gank atau apalah, demi mendapatkan sebuah kekuatan dari
jumlah yang besar.
Kalau mau jujur, sepertinya jamaah Maiyah juga bisa dikatakan semacam
‘kumpulan’ orang-orang. Saya pribadi belum berani mengambil kesimpulan
apakah anggotanya adalah kumpulan orang-orang minoritas atau bukan. Yang
pasti kita bisa mencari sebenarnya jenis ‘kekuatan‘ yang mana yang dicari oleh
Jamaah Maiyah ini. Politik, ekonomi, sosial-budaya?

Kekuatan politik. Untuk menjadi sebuah kekuatan politik, sekumpulan orang


seharusnya (harus ala Indonesia) membentuk sebuah partai politik. Ada
anggotanya, ada organisasinya, ada pengurusnya dan tak lupa ada lambangnya
untuk dicoblos. Oh, maksud saya dicontreng. Tapi sepengamatan saya Jamaah
Maiyah belum pernah bergerak ke arah itu. Berarti mungkin bukan kekuatan
politik yang dicari.
Kekuatan ekonomi. Untuk menjadi kekuatan ekonomi, sekumpulan orang
biasanya membuat sebuah perusahaan, atau minimal perjanjian di antara
mereka. Yang efeknya adalah, mereka yang ada dalam perjanjian tersebut
merupakan satu entitas di mata dunia ekonomi. Contohnya begini, saham
perusahaan bisa berfluktuasi sesuai keadaan pasar global. Akan tetapi gaji pekerja
dalam perusahaan tidak fluktuatif seperti sahamnya. Jadi perkumpulan yang
bertujuan sebagai kekuatan ekonomi, paling tidak memiliki komitmen di antara
satu anggota dengan anggota yang lain untuk bersama-sama sebagai satu
kesatuan yang utuh dalam menghadapi pasar luas. Lagi-lagi saya pribadi tidak
melihat ini di Jamaah Maiyah.
Kekuatan sosial budaya. Kemampuan untuk mempengaruhi atau menahan
sebentuk kondisi. Mungkin di Jamaah Maiyah kita bisa mengatakan ‘ada’ tentang
pembentukan kekuatan ini, walaupun untuk mendapatkan ukuran secara pasti
dan kuantitatif akan sangat tidak mudah.
Ketika terlibat di lingkungan ini, dari tindak-tanduk, kebiasaan, dan mekanisme,
saya melihat sebuah potensi yang berbeda. Jamaah Maiyah tidak membentuk
sebuah padatan yang diterjemahkan menjadi kekuatan. Jamaah Maiyahsepertinya
berusaha mencari dan menemukan bahan mentah (cair) yang bisa membentuk
padatan-padatan tersebut.
Semoga tidak terlalu muluk-muluk jika saya mempunyai harapan yang besar
bahwa Jamaah Maiyah mampu membentuk sebuah jenis kekuatan yang baru.
Yaitu kekuatan NILAI. Sebuah kekuatan yang mendasari kekuatan-kekuatan yang
lain. Kekuatan nilai yang matang akan bisa diterjemahkan menjadi
kekuatankekuatan
yang lain. Dan kekuatan-kekuatan yang terbentuk dari kekuatan nilai
akan menjadi sesuatu yang lebih komprehensif untuk (dalam) kebersamaan.
Kekuatan ekonomi yang mampu memaslahatkan banyak orang, kekuatan politik
yang bertanggung jawab, dan kekuatan sosial politik yang cerdas dan tidak
dangkal-romantis.
Tentu itu sekadar harapan dan pandangan. Yang bisa mendefinisikan Jamaah
Maiyah adalah Jamaah sendiri. Ketika ini adalah kekuatan nilai, berarti semua
sudah dewasa menghadapi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sampai titik yang
manakah kita sekarang? []

Konser8
by Komunitas Kenduri Cinta
1. Tahun 1996, brsm #caknun, @kiaikanjeng meluncurkan album "Kado
Muhammad". Hit album itu adlh TOMBO ATI yg dilantunkan dg bait2 puisi.
2. Sambutan masyarakat sangat luar biasa. Mulailah shalawat & syair khasanah
masyarakat Islam mendapatkan perhatian secara nasional.
3. Sampai saat ini, @kiaikanjeng tlah mengunjungi lbh dr 21 propinsi, 384
kabupaten, 1030 kecamatan & ribuan desa di seluruh Indonesia.
4. Gamelan @kiaikanjeng bukan nama grup musik, melainkan nama sebuah
konsep nada pd alat musik gamelan yg diciptakan oleh Novi Budianto.
5. Walau berbagai alat musik dimainkan pd kelompok musik ini, namun GAMELAN
bisa disebut sebagai ciri khas piranti musikal @kiaikanjeng.
6. Meski wujud lahiriah sama persis dengan gamelan Jawa pd umumnya, gamelan
@kiaikanjeng sesungguhnya bukan lagi sekadar gamelan Jawa.
7. Dlm khasanah musik Jawa, (lazimnya gamelan) sistem tangga nadanya adlh
laras pentatonis. Terbagi pd dua jenis nada: pelog dan slendro.
8. Maka gamelan yg digubah oleh Novi Budianto ini (gamelan @kiaikanjeng) tidak
berada pd jalur salah satunya, alias bkn pelog bkn slendro.
9. Meski bila ditinjau dr segi bahan & bentuk, gamelan @kiaikanjeng ttp sama dg
gamelan Jawa pd umumnya. Perbedaan terletak pd jmlh bilahan.
10. Serta, kenyataan bahwa gamelan @kiakanjeng juga merambah ke wilayah
diatonis, meski tidak sepenuhnya. Ini keunikan gamelan @kiaikanjeng.
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 95
11. Keunikan td, memungkinkan eksplorasi musikal @kiaikanjeng merambah ke
mana saja aliran musik. Membuat musik mereka bersifat adaptif.
12. @kiaikanjeng adlh kelompok musik 'plus' mencoba menjalankan kemerdekaan
alias tak terkungkung pada satu-dua jenis aliran musik.
13. Pelarasan nada ini oleh Novi Budianto pd mulanya dipilih atas pengalamannya
menata musik-puisi #caknun sejak berproses brsm di Dinasti.

Kira-kira Tuhan Pilih Yang Mana?


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 09 Desember 2009 jam 10:04
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini?.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid,
tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan
hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat
permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak
korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya,memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya
membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu
namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang
rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang
suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang
sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Komposisi Debu dan Aransemen Ruh


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 20 Oktober 2010 jam 11:07
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Setiap ayat Allah sesungguhnya mengandung dimensi-dimensi yang sangat
kompleks dan sangat penuh ketidakterdugaan. Misalnya, ada ayat yang
kelihatannya cuma perintah perilaku sederhana yang menyangkut akhlak, tapi
ternyata di baliknya tersimpan ilmu fisika, biologi, kimia, dan seterusnya.
Saya dikasih tahu oleh anak saya tentang semacam pemahaman, atau sebut saja
spekulasi, bahwa ruh itu tidak berbeda dengan badan, tidak berbeda dengan
jisim. Jisim itu kulit arinya ruh. Ruh itu pada penampilannya yang paling dangkal,
yang simptoma-simptoma yang sederhana dia itu bernama jisim, tapi seluruhnya
ini sebenarnya adalah dunia ruh. Jadi bukan ini ruh, ini badan, bukan begitu.
Sama dengan jangan ditanyakan apa badan Rasulullah ikut Isra` Mi`raj atau tidak.
Bukan begitu. Karena, ketika beliau naik Buraq dengan percepatan tertentu,
badan beliau berubah atau transformed menjadi energi. Ketika dia memakai
percepatan Mi`raj yaitu kecepatan yang dulu bisa memindahkan istana Bulkis
sekejapan mata sebelum Sulaiman selesai berkedip Istana sudah sampai ke situ.
Dan itulah kecepatan Mi`raj. Pada saat itu tubuh Rasulullah sudah menjadi
barqun, yang menaiki buraqun.
Dia sudah menjadi halilintar, sudah menjadi cahaya maha cahaya.

Jadi ruh dan badan itu tidak berbeda. Bahan dasarnya adalah partikel yang sama.
Yang berbeda adalah komposisi dan aransemennya. Badan itu adalah ketika ruh
mengaransir dan mengkomposisikan diri ke dalam suatu formula yang paling
sederhana, maka dia bernama jisim atau badan.
Siapakah komposer dan arranger? Sehingga kita menyaksikan batu, angin, virus,
buah mangga, dan pada diri kita ini sendiri ada tulang, daging, sungsum, darah,
nanah, ingus, bahkan juga segumpal hati yang berisi ruang tak terhingga, serta
sekepal otak yang sistem hardware sedemikian canggih dan sistem software-nya
sedemikian tak kita kenali - siapakah gerangan Sang Komposer dan Arranger?"
Kata anak saya, kalau manusia bisa menguakkan rahasia amr, rahasia perintah,
yang di genggaman tangan-Nya terdapat 'partitur' segala sesuatu dalam
kehidupan ini -- maka kita bisa meracik pasir dengan campuran tertentu menjadi
emas, bisa mengubah kain celana menjadi nasi goreng.?

Kostum Agama
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 September 2009 jam 12:21
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Budaya keagamaan islam mencapai puncak kemeriahannya terutama pada bulan
Ramadhan. Televisi berlomba menggelar mubaligh dan presenter. Berbagai
busana muslim-muslimah kita tonjolkan. Hiasan dan konsum warna-warni mewah
meriah kita pajang. Saya sendiri berusaha menyesuaikan diri, sehinggak untuk
keperluan shooting saya pinjam sarung untuk kemul-kemul. Untuk siapakah
semua itu dipertunjukkan? Untuk Allah, untuk bulan ramadhan, atau untuk
pemirsa? Kita ber-husnudhan bahwa kita ini semua sangat mencintai dan
menghormati Allah. Hanya saja, seakan-akan hanya pada bulan ramadhan saja
Allah hadir. Seolah-olah hanya pada bulan ramadhan saja kita semua berhadapan
dengan Allah. Dan kalau sesudah selesai acara lantas kita berganti pakaian yang
asli seakan-akan hanya didepan kamera saja kita menghormati Allah. Saya sangat
takut jangan-jangan Allah merasa kita bohongi.(Dikutip dari hikmah puasa)

Lupa dan Salah


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 30 Juli 2010 jam 11:51
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ada 4 jenis Kelupaan atau Kesalahan dalam diri manusia.
Pertama, namanya 'Nisyan', itu artinya lupa, tapi lupa dan melupakan itu berbeda.
Kalau lupa itu gak ada kesalahan, tidak ada pasal hukumnya, pasal akhlak maupun
akidahnya, tapi kalau melupakan itu suatu tindakan moral, suatu tindakan yang
bisa menyentuh batas hukum, baik hukum negara maupun akhlak.
Yang kedua, namanya 'Qoto', itu salah. Kesalahan juga ada 2 macam, kesalahan
teknis manajemen, ada kesalahan dalam arti bermakna moral, misalnya saya ujian
berhitung matematik, saya melakukan kesalahan, saya tidak dosa karena saya ada
kekeliruan ngitung, kalau keliru ngitung-nya ini dalam administrasi negara, dalam
klausul-klausul, policy-policy aturan, ini bukan kesalahan intelektual, ini sebagai
kesalahan moral.
Nomer ketiga, namanya 'Dhulm', itu artinya aniaya, penindasan, penganiayaan.
Jadi ini ketika lupa dan kesalahan sudah pada tingkat dimana kekuatan
berbenturan pada manusia. Yang kuat ke yang lemah dan terjadi pada berbagai
macam lini, bidang atau level pada kehidupan manusia. Ada penganiayaan dalam
arti praksis politik kekuasaan, dalam arti violence, kekerasan. ada kekerasan fisik
pakai peluru, pakai sepatu lars. Ada kekerasan kata-kata, ada kekerasan tayangan,
ada kekerasan religius.
Yang keempat 'junun', namanya Junun itu dari kata jin, jadi 'something outside of
the logics' itu namanya majnun. Jin itu aplikasi kemahlukannya, majnun itu orang
biasa, orang manusia yang ditimpa oleh junun. Kata junun bisa dijelaskan secara
psikiatrik maupun psikologis. Cinta kalau disakiti terus menerus akan menjadi
kebencian, tapi kalau engkau menyelam kedalam apa yang disebut kebencian
sesungguhnya dia adalah cinta yang tulus.[]

Makalah Diskusi Forum Martabat: Pertanyaan


dalam "Bertanya"
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 03 Agustus 2010 jam 12:45
Ditulis Oleh: Sabrang Mowo Damar Panuluh
“Segelas kopi panas, diminum dikala sore hari sambil ngobrol-ngobrol sembari
menikmati rokok yang baru kemarin lusa difatwa haram, benar-benar membuat
sore ini terasa sangat nikmat.”
Jawab dengan jujur, dengan sekali baca cerita diatas, bagaimana reaksi anda ?
membayangkan suasana sore hari yang nikmat, membayangkan gelak canda tawa
sekelompok orang, membayangkan dua orang ngobrol ngga jelas sambil
melamun, atau justru mengkernyitkan dahi?
Prekonsepsi pengalaman sore hari yang biasa pembaca alami sangat
mempengaruhi ‘hantaman imajinasi’ pertama sebagai respon terhadap cerita
diatas. Jika anda diberi kesempatan melontarkan satu pertanyaan untuk menggali
informasi lebih dalam, kira-kira apa yang akan anda tanyakan ?
Dari teori bertanya yang selama ini kita kenal, yaitu 5W 1 H (What, why, where,
who, when dan how), kira-kira yang mana yang akan anda lontarkan ? Atau teori
itu justru tidak menjadi pedoman ketika anda bertanya?
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 103
Ada teori lain tentang ‘pertanyaan’ yang saat ini tidak begitu populer, (mungkin
karena baru dikarang) yang disebut PRWT (Pitakonan Ra Waton Takon), jangan
dikritik dulu, ini juga baru dikarang. Teori ini mengatakan bahwa setiap
pertanyaan harus mempunyai syarat, prasyarat dan kerangka yang jelas pada
peta yang lebih luas. Samasekali bukan untuk menggantikan 5W1H, teori ini justru
mencoba menambahkan apa yang masih belum terdefinisikan dalam 5W1H.
Sebelum menentukan jenis pertanyaan yang akan dilontarkan, adalah wajib
memastikan bahwa si penanya dan yang ditanya mempunyai ‘bahasa’ yang sama
(duh ). Ngga lucu juga si penanya pakai bahasa Jawa sementara yang ditanya
berbahasa Swahili. Bisa saja terjadi, tapi maksud saya adalah ‘bahasa’ pada level
pemahaman. Setiap bangsa, setiap budaya, setiap suku, bahkan setiap orang
mempunyai ‘bahasa’nya sendiri. Kata yang terucap tidak selalu mempunyai
makna yang sama untuk pengucapnya, walaupun tidak sama sekali berbeda. Mari
ambil contoh populer. Cinta, tanyakan definisinya pada 100 orang dan anda akan
mempunyai 100 jenis jawaban.
Jika anda mengatakan bahwa tidak mungkin kita mengkonfirmasi bahwa semua
kata bisa tersampaikan sempurna, saya setuju. Tapi adalah kewajiban penanya
untuk meminimalisir dicrepancy pemahaman kata. Disini kata kuncinya adalah
menghindari ambigu atau bahkan salah faham.
Pernahkah anda berargument dengan diri anda sendiri ? sepertinya tidak harus
menjadi orang gila untuk punya penglaman tersebut. Jika anda belum pernah,
mungkin ada baiknya sekali-sekali dicoba. Paling tidak, berguna ketika tidak ada
lawan ngobrol dikala sepi. usul saya cobalah tanyakan pertanyaan ini pada
pertanyaan yang akan anda tanyakan.

Pertama, tujuan/fungsi pertanyaan ini apa ya ? Untuk menggali informasi,


memancing informasi, memancing emosi, mengerucutkan tema bahasan,
melebarkan tema bahasan, mengganti tema, menghabiskan waktu, mengajak
berkonklusi dst dst … sangat banyak kemungkinan. Dengan modal itu, konsep
pertanyaan akan menjadi lebih terarah karena anda akan siap dengan reaksi
lanjutannya.
Kedua, apakah pertanyaan saya mengandung asumsi pribadi yang belum
terkonfirmasi oleh object yang ditanya ? Kalau ini belum ‘clear’, potensi ambigu
dan salah faham akan meningkat. Contoh : “Ketika bapak sedang tidak kerja, apa
yang bapak lakukan”. Sepertinya pertanyaan yang sangat innocent. Apakah anda
sudah meluruskan bahwa arti kata “kerja” antara anda dan penanya adalah sama
? misalnya dijawab begini : “Loh dik, kapan saya ngga kerja, orang bernafas saja
sudah saya anggap kerja, ibadah kepada Tuhan”. Tambah ruwet pastinya. Jangan
asumsikan si bapak tidak tahu maksud anda, dia hanya berperilaku jujur terhadap
pemahaman dia kepada kata “kerja”. Kewajiban penanya lah mencari kata yang
lebih tajam atau memberi ‘lambaran’ kepada si bapak agar tidak bisa
‘menghindari’ pertanyaan.
Ketiga, apakah pertanyaan saya ‘sesuai’ ? Sesuai memang kata-kata yang sangat
cair, tidak mudah mendefinisikanya. Karena selalu dibutuhkan kesensitifitasan
terhadap konteks, ruang dan waktu. Faktornya bisa kesopanan, kepantasan,
pilihan istilah, ranah bahasan dll. Keempat, dengan apa saya akan menggali
informasi. Jangan lupa alat bertanya tidak hanya kata-kata yang keluar dari mulut.
Hanya dengan mengernyitkan dahi anda bisa membuat orang berbicara lebih
banyak, hanya dengan senyuman anda akan bisa mendapat respon yang lebih
friendly. Hanya dengan tertawa anda akan bisa membuat object yang ditanya
merasa lebih nyaman mengungkapkan informasi. Dari cerita ‘minum kopi sore
sore’ diatas, siapa diantara pembaca yang bertanya : “nikmat karena rokoknya
haram kah ? (sambil tersenyum)” ?. Anda baru saja membuat pencerita
tersenyum atau bahkan tertawa, yang berarti membuka pintu-pintu pertanyaan
lain yang akan dijawab dengan senyuman. Selamat.
Diskusi Martabat kali ke 7 ini mencoba mencari formula yang berhubungan
dengan ‘pertanyaan’ agar setiap kita bertanya, kritis itu menjadi otomatis, tidak
perlu nyinyir atau amis, tapi praktis, pragmatis dan etis. Pisss !!
*) Pengantar Diskusi Martabat 28 Juli 2010
Makna Spiritual Dan Sosial Ibadah Puasa
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 02 September 2009 jam 10:50
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Tulisan ini bisa dimulai dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah hingga
menunaikan haji di rumah suci Allah. Kita mencoba menjelaskan satu per satu
maqam Rukun Islam tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan melihat maqam
ibadah puasa, yang menjadi topik bahasan tulisan ini. Apakah maqam-maqam itu
saling terkait, atau tidak?
‘Alamat’ dan ‘Jurusan’
Syahadah. Salah satu Rukun Islam berarti ketetapan dan penetapan titik pijak dan
sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia Muslim. Semacam ‘alamat’ dan
‘jurusan’. Pertama barangkali pada spektrum kosmologis kemudian teologis, baru
kemudian kedua kultural.
Pandangan tentang ’sangkan paran’, semacam alamat historis-kosmologis,
menurut manusia untuk (melalui akal pikiran maupun melalui informasi wahyu,
mawaddah wa rahmah, juga huda, bayyinat, wa furqan) menentukan alamat
teologis (atau a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka ia berangkat merumuskan
alamat sosialnya, alamat kulturalnya, juga mungkin alamat politiknya, bahkan
bukan tidak mungkin juga alamat geografisnya. Dengan itu, beda pandang
manusia mengenai dunia, akhirat, dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan.

Menduniakan Akhirat, Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan


Kehidupan
Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang disusun dalam
kolektivitas mereka, ada yang memandang dunia ini sebagai tujuan. Seluruh
aktivitas pribadi, gerakan sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan
di antara mereka, dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini adalah
wadah satu-satunya dari segala awal dan segala akhir.
Wadahnya hanya dunia. Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya dunia. Dan,
targetnya juga hanya dunia. Orang lahir, orang bersekolah, orang bekerja, orang
berkuasa, orang berkarier, dalam ‘durasi’ dunia.
Segala sesuatunya akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia
sebagai titik tolak dan titik pijak untuk melangkah ke akhirat. Sejarah di dunia
dikerjakan sebagai jalan (syari’, thariq, shirath), dan produknya adalah akhirat.
Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam sejarah, selama dunia berlangsung,
berlaku sebagai metoda. Berkedudukan tinggi, berjaya, unggul, atau menang di
antara manusia, tidak dipahami sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah
produk dari penyikapan (teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan
tersebut.
Dalam hal ini belum akan kita perdebatan tentang apakah dunia dan akhirat itu
diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda, atau terletak pada rentang waktu
yang sama, yang dibatasi oleh momentum yawm al-qiyamah, ataukah dunia dan
akhirat itu sesungguhnya berlangsung sekaligus.

Ikrar teologis (yang beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan melalui


syahadatain, ibadah lain serta ’syariat’ hidup secara menyeluruh adalah suatu
pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangna atas dunia dan akhirat.
Dengan pijakan sikap ini manusia menggerakkan aktivitas sosialnya,
melaksanakan upaya-upaya hidupnya, serta menja-dikannya sebagai pedoman di
dalam memandang, menghayati dan memperlakukan apapun saja dalam
hidupnya.
Tidak termasuk dalam katagori ini pola sikap manusia yang dalam bersyahadat
seakan-akan mengambil keputusan teologis yang memetodekan dunia untuk
target akhirat, namun dalam praktiknya ia lebih cenderung meletakkan dunia
sebagai target dan tujuan.
Kerancuan sikap semacam ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam kebutaan
(spiritual), oleh inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan (moral), atau oleh tiada
atau tidak tegaknya pengetahuan (intelektual). Yang terjadi padanya adalah
kecenderungan menduniakan akhirat. Sementara pada manusia yang dalam
konteks tersebut tercerahkan spiritualitasnya, yang konsisten sikap mentalnya,
yang teguh moralnya, dan yang tegak pengetahuannya- kecenderungannya
adalah mengakhiratkan dunia, atau dari sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan
kehidupan.
Evolusi Salat dan Idul Fitri-Idul Fitri Kecil
Salat. Ibadah Salat merupakan suatu metode ‘rutin’ kultural untuk proses
pengakhiratan. Momentum-momentum salat lima waktu memungkinkan manusia
pelakunya untuk secara berkala melakukan pengambilan ‘jarak dari dunia’.
Itu bisa berarti suatu disiplin intelektual untuk menjernihkan kembali
persepsipersepsinya,
untuk memproporsionalkan dan mensejatikan kembali pandanganpandangannya
terhadap dunia dan isinya, sekaligus itu bermakna ia menemukan
kembali kefitrian-diri-kemanusiaan. Salat dengan demikian adalah idul fitri-idul
fitri kecil yang bersifat rutin. Sekurang-kurangnya salat mengandung potensi
untuk membatalkan atau mengurangi keterjeratan oleh dunia. Ini sama sekali
bukan pandangan antidunia. Yang saya maksud, sebagai substansi, target, titik
berat atau tujuan kehidupan.
Ibadah salat dengan demikian adalah suatu transisi sistem yang terus-menerus
mengingatkan dan mengkodisikan pelakunya yang memelihara sikap
mengakhiratkan dunia atau menduniaakhiratkan kehidupan. Ibadah salat
menawarkan irama, yaitu proporsi kedunia-akhiratan yang dialektis berlangsung
dalam kesadaran, naluri dan perilaku manusia.
Kalau kita idiomatikkan bahwa salat itu bermakna pencahayaan (’air hujan’, salah
satu jenis air yang disebut oleh al-Qur’an), maka jenis ibadah berkala ini berfungsi
mencahayai dan mencahayakan kehidupan pelakunya. Mencahayai dalam arti
menaburkan alat penjernihan diri dan persepsi hidup. Mencahayakan dalam arti
memberi kemungkinan kepada pelakunya untuk bergerak dari konsentrasi
kuantitas (benda, materi) menuju dinamika kreativitas (energi) sampai akhirnya
menuju atau menjadi kualitas cahaya (Allahu nur al-samawat wa al-ardl).
Ibadah salat bersifat kumulatif dan evolusioner, sebagimana zakat yang
berlambangkan susu (jenis air lain yang disebut oleh al-Qur’an). Kambing tidak
meminum susunya sendiri, melainkan mendistribusi-kannya kepada anak-anak
dan makhluk lain. Etos zakat adalah membersihkan harta perolehan manusia.
Membersihkan artinya memproporsikan letak hak dan wajib harta. Manusia tidak
memberikan zakat, melainkan membayarkan atau menyampaikan hak orang atau
makhluk lain atasnya.
Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan
Puasa. Berbeda dengan salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih ‘revolusioner’
radikal dan frontal. Waktunya pun dilakukan pada masa yang ditentukan, seperti
disebutkan al-Qur’an. Dan, waktu puasa wajib sangat terbatas. Hanya pada bulan
Ramadhan.
Orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung atau mengengkau-
kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak
dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu.
Pada orang salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya,
namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia
ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.
Orang berpuasa disuruh langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan, tidak
minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap ‘tidak’ kepada
isi pokok dunia yang berposisi ‘ya’ dalam substansi manusia hidup. Orang
berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan
sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang frontal terhadap sesuatu yang
sehari-hari meru-pakan tujuan dan kebutuhan.
Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau
mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita
bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri-konsumsi itu mengajak manusia untuk
melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan
mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar, dan akan berperang frontal
jika masing-maisng menjadi lembaga sejarah yang sama kuat.
Sementara ibadah haji adalah puncak ‘pesta pora’ dan demonstrasi dari suatu
sikap, pada saat dunia disepelekan dan ditinggalkan. Dunia disadari sebagai
sekadar seolah-olah megah.
Ibadah thawaf adalah penemuan perjalanan sejati sesudah seribu jenis perjalanan
personal dan personal yang tidak menjanjikan kesejatian dan keabadian. Nanti
kita ketahui gerak melingkar thawaf adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa
inna ilayhi raji’un. Suatu perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan
siklikal, perjalanan yang ‘menuju’ dan ‘kembali’nya searah.
Ihram adalah ‘pelecehan’ habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduniaan
yang palsu status sosial, gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan,
kekayaan, atau apapun saja yang sehari-hari diburu oleh manusia. Sehabis
berihram mestinya sang pelaku mengerti bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir
kembali ke kemegahan-kemegahan dunia–tak lagi untuk disembahnya atau
dinomorsatukannya. Karena ihramlah puncak mutu dan kekayaan.
Tauhid Vertikal dan Tauhid Horisontal
Adapun apa, ke mana, dan bagaimanakah sesungguhnya yang dijalani oleh para
pelaku Rukun Islam, terutama yang ber’revolusi’ dengan puasa?
Pilar utamanya adalah tauhid vertikal (tawhid ilahiyyah) dan tauhid horisontal
(tawhid basyariyyah). Tauhid itu proses penyatuan. Penyatuan (ilahiyyah) ke atau
dengan Allah, serta penyatuan ke atau dengan sesama manusia atau makhluk,
memiliki rumus dan formulanya sendiri-sendiri.
Perlawanan terhadap dunia, penaklukan atas diri dan kehidupan untuk
diduniaakhiratkan yang ditawarkan oleh ibadah puasa–sekaligus berarti proses
deindividualisasi, bahkan deeksistensialisasi. Tauhid adalah perjalanan
deeksistensialisasi, pembebasan dari tidak pentingnya identitas dan rumbairumbai
sosial keduniaan di hadapan Allah. Segala kedudukan, fungsi dan peran di
dunia dipersembahkan atau dilebur ke dalam eksistensi sejati Allah dan kasih
sayang-Nya. Tauhid sebagai perjalanan deindividualisasi berarti menyadari dan
mengupayakan proses untuk larut menjadi satu atau lenyap ke dalam wujudqidam-
baqa’ Allah. Manusia hanya diadakan, diselenggarakan seolah-olah ada,
ada-nya palsu–oleh Yang Sejati Ada.
Yang juga ditawarkan oleh puasa adalah proses dematerialisasi, atau peruhanian
atau dalam konteks tertentu pelembutan dan peragian. Dematerialisasi bisa
dipahami melalui, umpamanya, konteks peristiwa Isra’ Mi’raj. Rasulullah
mengalami proses transformasi dari materi menjadi energi menjadi cahaya. Maka,
dematerialisasi vertikal bisa berarti mempersepsikan, menyikapi dan mengolah
materi (badan, pemilikan, dunia, perilaku, peristiwa) untuk dienergikan menuju
pencapaian cahaya. Fungsi sosial dikerjakan, managemen dijalankan, musik
diciptakan, karier ditempuh, ilmu digali dan buku dicetak, uang dicari dan harta
dihamparkan–tidak dengan orientasi ke kebuntuan dunia sebagai materi yang
fana, melainkan digerakkan ke makna ruhani, pengabdian dan taqarrub kepada
Allah, sampai akhirnya masuk dan bergabung ke dalam ‘kosmos’ dan sifat-Nya.
Proses dematerialisasi, proses ruhanisasi atau proses transformasi menuju
(bergabung, menjadi) Allah, meminta hal-hal tertentu ditanggalkan dan
ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari orang bilang: jangan mati-matian mencari
hal-hal yang tidak bisa dibawa mati.
Menanggalkan dan meninggalkan itu mungkin seperti perjalanan transformasi
padi menjadi beras, dan menjadi nasi. Padi menjadi beras dengan menanggalkan
kulit. Beras juga padi, tapi beras bukan lagi padi, sebagaimana padi belum beras.
Nasi itu substansinya padi atau beras, tapi sudah melalui proses suatu pencapaian
transformatif. Para pemakan nasi tidak antipadi, tapi juga tidak makan padi dan
menanggalkan kulit padi. Pemakan nasi sangat membutuhkan beras, tapi tidak
makan beras dan tidak membiarkan beras tetap jadi gumpalan keras. Pemakan
nasi memproses bahan dan substansi yang sama menjadi atau menuju sesuatu
yang baru.
Jadi, jika pemburu atau pengabdi Allah tidak antidunia, tidak antimateri, tidak
antibenda, tapi juga tidak menyembah benda, melainkan mentransformasikan
(mengamalsalehkannya), meruhanikannya (menyaringnya menjadi bermakna
akhirat). Bahkan manusia akan menanggalkannya dan meninggalkan dirinya
sendiri (gumpalan individu, wajah, badan, performance, eksistensi dunia), karena
‘dirinya’ di akhirat, dirinya yang bergabung ke Allah adalah sosok amal salehnya.
Pada ‘citra’ waktu, dematerialisasi, peruhanian, deindividualisasi, dan
deeksistensialisasi berarti pengabdian. Pembebasan dari kesementaraan. Yang
ditanggalkan dan ditinggalkan adalah kesementaraan. Segumpal tanah bersifat
sementara, tapi ia difungsikan dalam sistem manfaat dan rahmat, maka fungsinya
itu mengabdi. Sebagaimana gumpalan badan kita serta segala materi eksistensi
kita bersifat sementara, yang menjadi abadi adalah produk ruhani pemfungsian
atas semua gumpalan itu.
Melampiaskan dan Mengendalikan
Juga dalam proses tauhid horisontal, penyatuan berarti sosialisasi pribadi. Kalau
masih pribadi yang individualistik (ananiyyah), ia gumpalan. Begitu integral-sosial
(tawhid basyariyyah), ia mencair, melembut. Yang ananiyyah itu temporer dan
berakhir, yang tauhid basyariyah itu baqa’ dan tak berakhir.
Identitas sosial, harta benda, individu, segala jenis pemilikan dunia, dienergikan,
diputar, disirkulasikan, didistribusikan, dibersamakan atau diabadikan ke dalam
keberbagian sosial. Itulah peruhanian horisontal.
Karena itu, proses-proses menuju keadilan sosial, kemerataan ekonomi, distribusi
kesejahteraan, kebersamaan kewenangan dan lain sebagainya–sesungguhnya
merupakan aktualisasi tauhid secara horisontal.
Kita tinggal memperhatikan setiap sisi, segmen dan lapisan dari proses sosial
umat manusia (pergaulan, kebudayaan, negara, sistem, organisasi) melalui
termaterma
materialisasi versus peruhanian, satu versus kemenyatuan,
pensementaraan versus pengabdian, penggumpalan versus pelembutan, sampai
akhirnya nanti pelampiasan versus pengendalian. Budaya ekonomi-industrikonsumsi
kita mengajak manusia untuk melampiaskan. Sementara agama
menganjurkan manusia untuk mengendalikan. Kalau kedua arus itu sama-sama
menemukan lembaga dan kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik
peradaban akan serius.
Ibadah puasa merupakan jalan ‘tol’ bagi perjuangan manusia untuk mencapai
kemenangan di tengah tegangan-tegangan konflik tersebut. Juga dalam
pergulatan antara iradah al-nas dalam arti individualisme individu-kecil dengan
iradah Allah Individu Besar Total.
Kita bisa menolak ke terma sab’a samawat, tujuh langit– Roh-Benda-Tumbuhan-
Hewan-Manusia- Ruhanisasi-Ruh– bisa kita temukan siklus-siklus kecil dan besar
proses peruhanian yang diselenggarakan oleh manusia.
Atau terma Empat ‘Agama’–’agama’intuitif-instinktif, ‘agama’ intelektual, ‘agama’
wahyu, serta ‘agama atas agama’--kita bisa menemukan bahwa ketika penerapan
wahyu –Agama terjebak menjadi berfungsi gumpalan-gumpalan, maka ‘agama
atas agama’ merupakan fenomena peruhanian, kristalisasi substansi. Semua
manusia bekerjasama menempuh nilai-nilai inti peruhanian yang mengatasi
gumpalan-gumpalan aliran, sekte, kelompok, mazhab atau organisasi agama.
Terma lain yang mungkin bisa kita sentuh adalah cakrawala puasa la’allakum
tattaqun. Produk maksimal puasa bagi pelakunya adalah derajat dan kualitas
takwa. Dalam terapan empiriknya, kita mencatat stratifikasi fiqh/hukum-akhlaktakwa.
Kondisi peradaban umat manusia masih tidak gampang untuk sekadar
mencapai tataan manusia fiqh/hukum atau budaya fiqh/hukum. Apalagi naik lebih
lagi ke level akhlak dan takwa. []
__________
arsip/1996

Manajemen adalah.......
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 22 Juli 2010 jam 10:58
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Manajemen bukanlah kita punya sayur-sayuran lantas kita memasaknya.
Manajemen adalah tidak punya apa-apa tapi sanggup menyuguhkan sayur kepada
orang yang memerlukan.
Manajemen adalah ditiadakan namun mampu menjadi lebih ada dibanding pihak
yang meniadakan.
Manajemen adalah kaki diborgol kemudian memenangkan lomba lari melawan
orang yang memborgol.
Manajemen adalah sayapmu dipangkas namun mampu terbang lebih cepat,
tinggi, dan jauh dibanding mereka yang memangkas sayapmu.
Manajemen adalah hampir tak ada air tapi bisa mandi dan menjadi lebih bersih
dibanding pencuri airmu.
Manajemen adalah engkau tak boleh bicara, tak ditampilkan, tak ditayangkan, tak
dianggap ada, namun mampu hadir lebih mendalam dan evergreen didalam kalbu
orang banyak dibanding mereka yang membunuh eksistensimu atau mereka yang
diunggul-unggulkan dimuan-muat ditayang-tayangkan dibesar-besarkan siang
malam oleh penindasmu.[]

MATINYA SANG PENTAFSIR


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 19 Februari 2010 jam 9:37
Ditulis Oleh: Ratri Dian Ariani
Pernah Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) mengatakan bahwa 3,4% dari Alquran
memuat perkara ibadah mahdhoh, sedangkan sisanya yang 96,6%-nya
membicarakan ibadah muamalah. Kitab suci Alquran keberlakuannya universal,
melintasi batas-batas teritori dan rentang waktu. namun nyatanya pada wilayah
tafsir, sangat mungkin menjadi sangat berbeda antara satu kepala dengan yang
lain. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa saja yang ber-'hak'
melakukan penafsiran itu? Di wilayah mana kita memenuhi syarat melalkukan
tafsir?
Pada majlis kali ini kita akan memetakan apa itu sinkretisme, hibridasi, dan
multikulturalisme. Kemudian kita akan menyimpulkan apakah plural itu esensi
dalam aufklarung?
Nursamad Kamba
Filsafat bicara soal apakah kebenaran itu bernilai mutlak atau relatif. Melalui kisah
Nabi Yusuf alaihissalam, Allah mengakui adanya kebenaran yang diliputi

kebathilan. Saudara-saudara Yusuf membajui kebathilan yang mereka rencanakan


melalui logika yang merreka sampaikan pada sang ayah, Ya'qub alaihissalam.
Bisa jadi, Allah membiarkan hamba-nya melakukan perbuatan bathil, dan pada
waktunya Dia akan memberikan balasan yang seberat-beratnya.
Piagam Madinah memberikan pelajaran pada kita bahwa masyarakat tidak usah
repot-repot mencari pemerintahan. Poinnya, tidak ada seorang pun yang boleh
menganggur, dengan maiyah sebagai spiritnya. maka pada waktu itu
perekonomian Madinah demikian maju.
Diajarkan pada kita bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah seorang
tukang fatwa, bicara ini halal itu haram.
Dalam sejarah, ada ilmu Islam yang kemudian dilembagakan sehingga menjadi
doktrin. Pada abad 4 Hijriah, lahir ilmu kalam yang saat ini berkembang menjadi
doktrin. Maka ada beberapa orang yang meng-'kafir'-kan siapa saja yang tidak
mengakui Sifat Duapuluh. Padahal, ilmu kalam adalah sebuah pendekatan untuk
memahami aspek-aspek filsafat.
Al-Muhasiby (tahun 300 H), guru dari Imam Al-Ghazali, mengatakan bahwa
penafsiran Alquran tidak ada rumus baku. Penafsiran merupakan interaksi yang
hidup antara hamba dengan Allah, sehingga bukan sesuatu yang aneh jika tafsir
Alquran bervariasi. Pendapat ya pendapat saja. Keberagaman pikiran tidak akan
menimbulkan dampak apapun kecuali memperkaya.
Yang paling berbahaya dari agama adalah ketika agama dilembagakan dalam
forum-forum tertentu, seperti kependetaan contohnya. Ada di sekitar kita
kelompok-kelompok tertentu yang mengklaim kebenaran. Padahal, ilmu ada di
mana-mana. jangan pernah mempersempit ruang kemungkinan ilmu!
Allah memberikan dua pahala pada mujtahid atas ijtihadnya yang benar.
kemudian ketika ternyata ijtihadnya tidak benar, ia tetap mendapatkan satu
pahala. Dari sini kita dapat menyimpulkan adanya ruang kemungkinan yang
ditawarkan Allah. Yang tidak boleh adalah memaksa orang lain untuk mengikuti
ijtihadnya.
Betapa arifnya Rasululah yang mengatakan, "Hikmah ada di mana-mana, siapa
yang mendapatkan di memetiknya." Kita menjadi sengsara karena mengandalkan
ilmu kita sendiri, padahal ilmu Allah dapat diperoleh dengan cara bermaiyah
dengan Allah, Rasululah, dan makhluk-makhluk-Nya.
Kondisi bangsa kita dapat dianalogikan sebagai perahu. Problem ada bukan pada
penumpang atau nakhodanya saja, melainkan pada perahunya (sistemik).
Sedangkan jika kita bicara kosmologi, problem mungkin ada pada samuderanya.
Baginda Siregar (Masyarakat Hukum Indonesia)
Memberikan antitesis pada apa yang telah disampaikan sebelumnya, Baginda
berpijak pada kenyataan bahwa alquran terdiri dari ayat-ayat muhkamat dan

mutasyabihat. Hukum merupakan seperangkat norma dan sanksi. Berjalannya


hukum mensyaratkan adanya pemerintahan atau kekuasaan.
Hukum Islam bukanlah potong tangan, rajam, jilid, dan sebagainya, melainkan
'dilarang mencuri', dilarang 'berzina'. Poin hukum adalah pada norma yang
berupa perintah dan larangan. Norma-norma itu tetap keberlakuannya.
Indonesia telah bersepakat mengakui KUHP sebagai sistem hukum. yang menjadi
permasalahan adalah kita tidak konsisten dalam menerapkan hukum. Hukum
digunakan untuk akal-akalan, dan yang pertama kali menjual hukum adalah
masyarakat, aparatur hukum hanya berposisi sebagai pembelinya. Maka
kesadaran hukum harus dimulai dari masyarakat.
Setelah itu ada Mas Arya sebagai pembicara, yang menilik persoalan-persoalan
negara ini dari perspektif ekonomi.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang mampu survive pada kondisi apapun,
yang didorong oleh faktor imunitas dan kreativitas. Jangan sampai negara
mengambil langkah-langkah yang dapat berakibat pada terbunuhnya dua potensi
itu.
Dalam bargaining position, ada unsur bargaining power dan bargaining value.
Kalau ditarik bisa sampai pada 'mati sajroning urip'.
Ada tiga konsep Tuhan dalam sejarah tiga nabi. Musa meletakkan Tuhan sebagai
'Dia', Isa sebagai 'Aku', dan Muhammad sebagai 'Engkau'. Hal serupa terjadi juga
dalam agama ardhi. Agama Hindu mengenal tuhan yang banyak, Buddha
mengenal-Nya sebagai seseorang yang telah menjadi brahman sedangkan agama
Jawa mengenal-Nya sebagai Sang Hyang Tunggal.
Pada puncaknya, Kiai Budi menghamparkan 'sajak-sajak'-nya yang --as usual--
mendobrak kedalaman hati. Saya tak mampu menuliskannya di sini. (Kenduri
Cinta tanggal 12 Februari 2010)

Membaca Sajak-Sajak Emha: membaca perjalanan


sujud
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 14 Desember 2009 jam 9:29
Ditulis Oleh: Sedopati Sukandar
Karena hidupku tidak bersih maka selalu kuincar
Engkau untuk jadi muatan utama perjalananku
Sebab kalau toh kelak Engkau tak menerimaku
Aku masih akan berani menangis-nangis
Ke hadiratMu dengan bergumam-gumam
Untuk hatiku sendiri bahwa sekotor-kotor
Hidupku dulu tetap kukejar Engkau (Karena Aku kotor, 5, Emha Ainun Nadjib)
Sepertinya Emha adalah orang yang dengan terus terang dan lantang berkabar
tentang tak ada yang kita miliki selain Allah azza wa jalla, tak ada yang bisa kita
andalkan dalam setiap jangkah kehidupan selain Dia. Puisi-puisi, ceramahceramah
dan segudang ruang yang menampungnya senantiasa bermuatan dan
menempatkan Tuhan sebagai payung utama dalam perjalanan.
Demikian Cak Nun (panggilan khas unutk Emha Ainun Nadjib) menapaki segenap
lorong kehidupannya. Dalam dunia sastra, puisi-puisinya seperti tak berhenti
menyerukan Asma-asma Allah dan persujudan dia. Sebagaimana yang ia tulis :
 ‘hamba bukan sekedar pelayan, hamba buruh Paduka/ Hamba bukan sekedar
pembantu, hamba pekatik paduka’ demikikan 2 baris kalimat yang mengawali
sajak ‘Hamba Budak’ dalam kumpulan puisi Tarian rembulan. Emha senantiasa
konsisten mengusung keyakinan yang direngkuhnya. Dalam setiap acara, tidak
pernah dia tidak menyatakan bahwa yang bisa kita lakukan sekarang adalah
menduwur, transenden, merajuk pada pertolonganNya. Terlebih pada kondisi
bangsa kekinian yang sudah hilang arah.
Membaca sajak-sajak Emha seperti mengantar kita pada ruang dengan suasana
yang sarat akan makna ketuhanan atau lebih pas nilai keIlahian. Sering dalam
sajak-sajaknya kita dihentak pada makna dasar manusia yang menurutnya, kita ini
adalah hamba atau budakNya saja. Meski demikian dalam sajak-sajaknya, Emha
juga tak jarang mengajak pembacanya untuk merangkak perlahan ke rumah
persujudan. Emha, dengan kecerdasan bahasa dan dalam membangun suasana,
mampu menyorong seseorang pada wilayah ketuhanan dengan terkadang tanpa
disadari oleh si pembaca. Semisal dalam sajak Nyanyian Gelandangan, Emha
dengan lantang menyurakan potret dan wajah gelandangan dan pada puncakpuncak
sajak ia mengajak pada sebuah ruang yang tak lain adalah ruang
persujudan yang agak aneh.
Dalam sajak yang panjang itu kita diajak ziarah pada rumah gelandangan sekaligus
pada rumah besar tempat mereka tinggal yang pengap dan berjejal soal. Dengan
selingan dan dialog-dialog yang menggoda, dalam sajak itu kita seakan menjadi
timbul tenggelam di air dan sampai akhirnya kita megap-megap dan percaya
bahwa kita berada pada keadaan yang menyedihkan dan butuh pertolongan.
Memang sebagian besar sajak-sajak Emha akan sangat hidup ketika dibacakan
olehnya dan inilah yang juga menjadi salah satu kelebihan Emha dalam
memindahkan nilai yang ia bawa ke para pembaca ataupun pendengarnya. Emha
juga mempunyai kemampuan yang sangat cukup dalam membawa sajak-sajaknya
pada orang-orang di sekitarnya, lewat pembacaan yang tak jarang dibarengi
alunan dan irama musik.
Menggelinding begitu saja, namun terkadang menderas dan sesekali mendayu.
Kemampuan meramu kata dan menyampaikan menjadikan Emha tidak saja bisa
menulis puisi namun juga membacakannya. Terlepas dari kemampuan yang
sangat cukup itu, yang terasa sangat jelas tentu adalah isi dari sajak-sajaknya yang
sebagian besar adalah refleksi perjalanannya. Baik sisi spiritual. intelektual
ataupun perjalanan sosialnya. Ia mengemasnya dalam rangkaian sajak yang
beraneka ragam namun kemudian seperi menyatu dalam satu warna, satu muara
pada akhirnya : persujudan. Inilah yang kemudian menjadikan pembaca sajaknya
bisa hampir jelas melihat langkah perjalanan yang sedang ditempuh Emha. Para
pembaca hampir bisa melihat apa yang menjadi kegundahan dan cita-cita Emha.
Seperti yang banyak juga ia sampaikan dalam beragam perjumpaan dengan
beragam strata masyarakat, bahwa yang harus dipegang teguh adalah keberanian
kita untuk menjadi khalifah yang mampu membawa setiap yang dijumpa pada
sebuah persujudan padaNya. Dalam sajak-sajaknya Emha konsisten dengan hal
itu. Perjalanan Emha memang tidak hanya pada karya puisi saja, cukup banyak
ruang telah ditempuhnya dan ini tentu juga mencipta ruang tersendiri bagi para
pembaca karya—karyanya untuk setidaknya memandang dia. Namun terlihat saat
membaca sajak-sajaknya, kita mau tidak mau dibawanya pada satu kenyataan
yang mengarahkan bahwa sajak-sajaknya menajdi teropong yang bisa digunakan
untuk melihat gerak dan bahkan kelebat hidupnya.
Membaca sajak-sajak Emha seperti terus membawa kita pada ruang diri dan
permenungan namun juga tindakan. Seperti yang pernah ia tulis dan tanyakan di
baris-baris kalimat pada sebagian puisinya.
Aku bertanya padamu
masih tersediakah ruang
di dalam dada dan akal kepala kita
untuk sesekali berkata kepada diri sendiri
bahwa yang bersalah bukan hanya mereka
bahwa yang melakukan dosa-dosa bukan hanya ia tetapi juga kita
………….
(masih tersediakah ruang, Emha Ainun Nadjib)
Membaca sajak-sajak Emha, seperti mangantar kita pada ruang persujudan yang
tanpa henti, setidaknya bagi saya.

Merendahkan Diri
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 11 Maret 2010 jam 8:24
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Pekerjaan malaikat itu cuma satu, yakni ya’malu ma yu’marun, mengerjakan apa
yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Karena itu, malaikat suci bukan buatan.
Bahkan mereka hanya memiliki kesucian. Tapi kenapa mahluk manusia ditentukan
oleh Allah lebih tinggi daripada malaikat? Kenapa para mahluk suci itu harus sujud
kepada Adam?. Tentulah karena manusia diberi tangan kemungkinan, diberi
peluang untuk memperjuangkan diri menuju puncak kapasitasnya – dihadapan
Allah – yang lebih sophisticated dibanding malaikat. Apalagi dibanding iblis.
Tetapi salah satu nilai kemanusiaan yang sering kita anggap luhur adalah
merendahkan diri. Betul-betul merendahkan diri. Kalau kita melakukan keburukan
kita bilang, “Lho, saya kan bukan malaikat”. Padahal kita bisa lebih tinggi
derajatnya dari malaikat.. padahal merendahkan diri tidaklah sama dengan
tawadhu. (Buku Secangkir Kopi Jon Parkiri)

Merenungkan Mutu Kebudayaan


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 19 Juli 2009 jam 13:44
Ditulis Oleh: WS. Rendra
Membangun kebudayaan pada hakikatnya meningkatkan budi dan daya manusia
di dalam mengembangkan mutu dan kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan
hidup manusia harus mengandung mutu untuk kepuasan batin dan pikiran.
Sebaliknya idealisme mutu harus ada kaitannya dengan kenyataan kesejahteraan.
Kesejahteraan yang diperoleh dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan
mana bisa menimbulkan ketentraman? Mana mungkin kesejahteraan dibangun
dengan merusak kehidupan kaum lemah dan memorak-porandakan lingkungan
alam? Sebaliknya pula, nilai-nilai mutu yang dipertahankan haruslah mengandung
dinamika yang mampu menjawab tantangan zaman. Apakah gunanya nilai-nilai
yang mengekang perkembangan kehidupan sosial kaum perempuan, misalnya?
Dan apakah gunanya pula nilai-nilai yang menyebabkan masyarakat menjadi
kolot? Meningkatkan budi dan daya manusia pada intinya adalah meningkatkan
kesadaran dan kekuatan daya hidup. Totalitas kesadaran manusia tidak terdiri
dari kesadaran pikiran semata, tetapi juga kesadaran batin dan panca indranya.
Oleh sebab itu, olah kepekaan panca indra yang dikembangkan oleh dunia
persilatan dan seni bela diri, juga dunia kanuragan dan dunia kepanduan pantas
untuk dilestarikan. Sebab pancaindra adalah pintu pertama ke arah penyadaran
terhadap kenyataan-kenyataan kebendaan di luar diri kita.
Pengamatan yang total dan teliti atas kenyataan kebendaan dari zat dan jasad di
dalam alam semesta ini telah mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Bagi para seniman hal tersebut bisa melahirkan kemampuan untuk
melukiskan kekayaan detail.
Adapun kepekaan batin adalah unsur kesadaran yang paling dalam pada diri
manusia. Iman, cinta, kedamaian, kepuasan dan sejenisnya tidak bisa ditangkap
oleh pancaindra. Bahkan, kadang luput dari pengertian pikiran. Tetapi bisa
seketika dihayati oleh batin.
Ikatan jodoh antara lelaki dan perempuan, antara seorang dengan bangsa dan
tanah airnya, dengan keluarganya, atau sahabatnya adalah ikatan batin. Semua
pengalaman kita yang hanya menjadi pengalaman panca indra dan pikiran akan
sedikit artinya bagi perkembangan kehidupan apabila tidak mendalam menjadi
pengalaman batin. Tanpa penghayatan batin, tidak ada kenikmatan hidup yang
memuaskan manusia. Membangun kebudayaan yang mengabaikan segi
kehidupan batin justru akan menimbulkan keresahan dan ketegangan.
Glamor kebudayaan Sodom dan Gomorah, atau keperkasaan proyek menara
Babil, bukanlah jawaban untuk kepuasan hidup manusia. Karena, tidak
mengandung masukan terhadap batin. Ternyata tujuan tidak bisa menghalalkan
cara. Karena, kita tidak pernah bisa hindar untuk bertanggung jawab kepada batin
kita mengenai cara-cara kita dalam mencapai tujuan. Macbeth dan Duryudana
harus menanggung derita batin yang berat karena cara-caranya dalam meraih dan
mempertahankan kekuasaan.
Elvis Presley, Marilyn Monroe, dan Michael Jackson menjulang dan kaya raya
sampai akhir hidupnya. Tetapi, karena batin yang sakit, mereka tidak bisa
menikmati kejayaannya itu. Di dalam membangun kebudayaan perhatian kepada

kehidupan batin tidak semata-mata terwujud dalam besaran anggaran belanja,


tetapi terutama di dalam ketulusan untuk menciptakan iklim pertumbuhannya.
Harus ada ketulusan politik untuk menciptakan keadaan yang beradab dan
menyingkirkan kebatilan.
Kebudayaan tidak bisa diciptakan dengan kerakusan dan brutalitas. Sebab, batin
manusia akan tersiksa. Di sisi lain, memuliakan batin kita tidak mungkin dilakukan
tanpa memuliakan batin orang lain di dalam kehidupan bersama.
Apabila kesadaran batin adalah dasar kemantapan kebudayaan, kesadaran pikiran
adalah motor kemajuannya. Ia sumber daya cipta yang bisa menyajikan cita-cita
dan konsep untuk hidup bersama. Pikiran mampu bernalar secara sebab-akibat,
sehingga melahirkan filsafat. Pikiran mampu bernalar secara analisis, sehingga
melahirkan ilmu pengetahuan; atau secara paralel sehingga bisa mendekati batin,
selanjutnya melahirkan mistikisme dan kesenian.
Selalu ada halangan di segenap kurun masa untuk memperkembangkan pikiran.
Suatu penemuan pikiran yang akhirnya bisa diterima oleh masyarakat akan
menjadi kesadaran akal sehat kolektif. Pemikiran baru yang datang kemudian,
kadang-kadang sangat sulit untuk membuka dan memperkembangkan akal sehat
kolektif itu.
Akal sehat kolektif yang pada zaman tertentu dinilai sangat progresif, di kurun
masa sesudahnya bisa dianggap sangat konservatif. Bangsa yang dianggap maju di
dunia pada suatu zaman, apabila terlalu sulit berkembang akal sehatnya, bisa
menjadi bangsa yang mundur dan terbelakang pada zaman berikutnya
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 131
(Bandingkan Tiongkok di zaman Ch’in Shih-Huang Ti dan Tiongkok di permulaan
abad XX). Oleh karena itu, daya dinamik akal sehat kolektif harus selalu dijaga.
Inilah tugas para pemikir dan seniman di dalam masyarakat. Sebab, kesibukan
operasi kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi masyarakat sering
mengesampingkan standar mutu akal sehat kolektif itu.
Bahkan sering terjadi, para pemikir dan seniman-–yang biasanya peka pada mutu
kesadaran pikiran—dengan sengaja dibungkam, sehingga akal sehat kolektif
menjadi beku, pasif, ataupun malah merosot standarnya. Namun keadaan seperti
itu malah dianggap sebagai yang ideal, yang rukun, yang stabil untuk landasan
operasi yang lancar. Tidak pernah disadari bahwa akal sehat kolektif yang beku
dan pasif adalah bom waktu yang akan membuat mobilitas masyarakat menjadi
sekadar mekanis, tidak kreatif. Lalu akhirnya akan mengakibatkan mobilitas itu
tersendatsendat seperti mesin yang bobrok, dan ujungnya menjadi bangsa yang
kalah, tak berdaya, dijajah secara halus ataupun brutal oleh kekuatan-kekuatan
lain di dunia.
Dengan kata lain, apabila keadaan sudah sedemikian parah serupa itu, hanya
dengan susah payah, banyak toleransi, dan kesabaran, bisa diperbaiki. Esensial
Inilah kenyataan yang pedih. Kita ketinggalan perkembangan pikiran. Pedih.
Tetapi kepedihan ini seharusnya bisa menjadi cambuk untuk kebangkitan
Pembangunan struktural sangatlah penting, tetapi dapat menjadi sia-sia bila tidak
disertai secara sekaligus membangun yang esensial, yaitu dunia pikiran dan
kelestarian dunia batin.
Tanpa kelestarian dunia batin, kebudayaan tidak akan mendatangkan
ketenteraman hidup kepada masyarakat. Tanpa dinamika dunia pikiran, struktur
dan infrastruktur akan kehilangan fungsi, sehingga menjadi sekadar berhala
belaka. Sebenarnya di dalam sila-sila kehidupan kita bersama telah tersedia
jawaban yang positif. Melestarikan dunia batin akan ditunjang oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengembangkan filsafat kemanusiaan, mengenal
adanya Kedaulatan Manusia dengan segenap hak dan kewajibannya akan
ditunjang oleh Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dan hak rakyat untuk
mengembangkan akal sehat kolektif dengan mempraktikkan disiplin analisis akan
sesuai dengan kalimat di dalam Preambule UUD 1945 yang berbunyi: Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan batin yang damai dan penuh iktikad baik, kita sebagai suatu bangsa harus
siap bertanggung jawab untuk menjawab pertanyaanpertanyaan itu, tidak
sekadar berdasarkan prinsip, sekaligus berdasarkan pelaksanaan yang operatif.
Itulah salah satu jalan keluar untuk bangkit dan mengejar cakrawala kita.
(Sumber: Media Indonesia, 14 Juli 2009)

Mudik Keluarga, Mudik Bangsa


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 17 September 2009 jam 11:26
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Andaikan kata mudik berasal dari bahasa Arab: dho'a=hilang, mudli'=orang yang
menghilangkan, orang yang kehilangan. Menjelang Lebaran, orang berduyunduyun
pulang dari perantauan ke kampungnya, karena selama setahun mereka
merasa kehilangan. Kemudian, mereka mudik untuk menemukan kembali.
Meskipun sudah tinggal permanen di Jakarta atau di negeri mana pun,
kampungnya adalah rumah sejatinya. Saya punya banyak teman-teman PKI atau
yang di-PKI-kan hidup puluhan tahun di Jerman, Ceko, Prancis, tapi hatinya tetap
berdomisili di kampung kelahirannya. Tak hanya di Indonesia, tapi lebih detail: di
rumah keluarga di kampungnya. Banyak di antara mereka mengimpor istri dari
kampung. Karena rumah mereka di mancanegara haruslah tetap terasa seperti
rumahnya di kampung.
Kalau agak sok ilmiah, katakanlah: ada mudik sosiologis, ada mudik antropologis,
ada mudik kosmologis. Mudik sosiologis itu waktunya ''sekarang'', ruangnya
adalah skala atau teritori sosial budaya. Kita cari hidup, mengembangkan diri, dari
kampung bersekolah keluar, bekerja, sampai jadi presiden atau gelandangan di
tepian jalan protokol Jakarta. Di depan ada masa depan, di belakang ada masa
silam. Masa silam sebenarnya selalu lebih kuat dibandingkan dengan masa depan.
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 134
Masa silam memberi kenikmatan prima karena cukup dikhayalkan, dan mudah
menambah unsur dalam khayalan merdeka setiap orang. Kita jadi presiden
kemudian memitologisasikan kepada seluruh rakyat bahwa asal usul kita adalah
anak petani, sambil meyakin-yakinkan alias menipu diri kita sendiri tentang apa
saja yang kita manipulasikan secara sosial. Atau kita rekayasa bahwa memang
sudah selayaknya kita jadi presiden karena aslinya kita bernasab Keraton Solo
atau Yogya, atau keturunan Prabu Brawijaya, Sunan Giri, atau turunan Rasulullah
Muhammad SAW.
Pandangan ke masa silam sungguh kenikmatan tiada tara. Sementara masa depan
berujung di maut. Kalau kita gagal berkarier, hidup miskin, tak punya keunggulan
apa-apa, menabung kematian dalam kehidupan, mungkin malah agak enteng
memandang ke masa depan. Maut sudah kita akrabi melalui riwayat-riwayat
kesengsaraan dan kegagalan.
Tapi kalau kita sukses, dari sopir meningkat tata usaha meningkat wartawan terus
jadi menteri dalam kabinet dan negara yang nirkualifikasi: kita semakin takut
meninggalkan apa yang kita sangka sukses hidup. Semakin uzur usia semakin
menyesali berkurangnya umur. Semakin tua usia semakin karib dengan
kekosongan dan kengerian berada dalam kubur. Maka upacara mudik kita
perlukan agar para kerabat dan handai tolan di kampung mengerti sukses kita,
dan itu merupakan snack kepuasan sosial budaya sesaat.
Orang tak pernah punya sukses kayak saya terbebas dari post-power syndrome.
Tetapi bisa juga ada dialektika yang sebaliknya. Karena hidup tak begitu sukses,
masa depan terjauh hanya tua dan mati, maka mumpung masih dikasih jatah
hidup oleh Tuhan, mending kita rajin pulang kampung. Dan yang paling efektif
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 135
adalah seusai Ramadan, semua keluarga pasti berkumpul dan kita bisa
bercengkerama beberapa saat untuk menutupi kekecewaan hidup yang
menggumpal di kalbu.
Mudik sosiologis setiap Lebaran menjadi momentum yang jangan sampai
terlewat. Karena masih lebih nikmat mengenang sejenak asal usul sosial budaya
kita di kampung bersama keluarga, dibandingkan dengan menikmati kehidupan
nyata.
Orang sukses sangat membutuhkan mudik antropologis, karena melancong ke
wilayah nasab diri dari Hayam Wuruk sampai Homo sapiens dan mungkin Homo
erectus sungguh menambah bersinarnya ikon eksistensi kita. Sekarang bahkan
sangat banyak kartu ID yang mencantumkan nama plus gelar plus nenek moyang
hebat. Kebanyakan orang akan mengenal nama itu dan kagum kepada pemilik
IDcard
itu. Nama Gus Fullah bin Kiai Haji Fulan keturunan Syekh Falun bin Maulana
Fulun bin Ayatullah Fulus... mudik sangat penting untuk mengisi kekosongan diri
di tengah zaman yang menindas harkat manusia dan derajat kemanusiaan.
Mudik Lebaran setahun sekali, tapi banyak modus mudik yang bisa kita lakukan.
Saya tidak punya prestasi apa-apa tidaklah penting, pokoknya saya keturunan
Nabi Ibrahim.
Adapun mudik kosmologis adalah hakikat setiap detik untuk berproses dalam
lingkar Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Itulah prinsip utama kehidupan yang oleh
kebudayaan manusia dialihkan menjadi tanda kematian. Kalau jalan kaki dari
Jakarta menuju Jakarta, maka rutenya harus melingkar. Orang tak bisa untuk tidak
mudik, karena hidup adalah pergi untuk kembali. Atau, perginya orang hidup,
adalah kembali.
Takkan ke mana-mana engkau pergi, meskipun kau lalui seribu peperangan dan
kemenangan, kau libas setiap pesaing, kau menangkan pemilihan nasional, kau
pertahankan kursi kekuasaan, kau memancar di puncak mercusuar popularitas,
kau bangun segala kemegahan, kau tumpuk gumpalan emas dan kau himpun
seribu dayang menjadi budak yang melayanimu memakaikan baju, menyikat
gigimu dan menceboki tinjamu. Tak kan ke mana engkau pergi kecuali
menyerahkan dirimu kembali, terpaksa atau ikhlas, kepada asal usul yang sejati.
Juga apa pun saja yang kau pikir kau miliki: kekayaan, harta benda, kau
tumpuktumpuk
mereka hanya untuk satu tujuan: mereka meninggalkanmu atau engkau
mendadak meninggalkan mereka. Kalau kau curi uang dan harta milyaran
trilyunan itu untuk kau pergikan ke mana? Sebab setiap momentum pergi adalah
kembali. Engkau mencuri sesuatu dari suatu tempat yang sertifikatnya milik
Tuhan, engkau memindahkannya mentransfernya ke suatu tempat yang juga milik
Tuhan.
Setiap tempat pergi adalah tempat kembali. Setiap barang yang kau curi tidak
punya jalan lain kecuali kau setorkan kembali ke "Tukang Tadah Agung" yang
sesungguhnya tidak menadahi apa-apa kecuali milik-Nya sendiri. Inna lillahi wa
inna ilaihi roji'un. Sesungguh-sungguhnya kita dan apa saja adalah adalah hak-Nya
dan satu-satunya kemungkinan hanyalah kembali ke pangkuan-Nya.
Tak ada kekuasaan yang bisa benar-benar kau raih, karena menjelang engkau lahir
tak kau setorkan apa-apa untuk saham rencana kelahiranmu. Jangan sekadar
katakan bahwa kekuasaan hanyalah titipan: dirimu sendiri pun titipan. Karena
engkau tak mampu menciptakan dirimu sendiri. Bahkan kedua orangtuamu tak
bisa merancang panjang hidungmu, jenis rambutmu, apalagi tingkat kecerdasan
pikiranmu.
Tak ada kemenangan yang sejati engkau raih. Karena setelah seorang petinju
menjatuhkan lawan, tunggu sejam lagi dan pertarungkan mereka kembali:
kemungkinannya bisa berbeda. Kemenangan berlaku sesaat, dan batal
substansinya pada detik berikutnya. Indonesia menjadi Juara Dunia Demokrasi,
memilih presiden langsung dengan rekor jumlah pemilih dan rekor keamanan
kedamaian pemilu. Tetapi apa hasil dari puncak demokrasi itu hari ini?
Bertanyalah kepada hati dan analisis akalmu, mintalah mereka berdua agar tak
terkontaminasi oleh apa pun untuk jujur menjawab.
Maka salah satu impian saya adalah pada pemilu mendatang, semoga Allah
menjadi pencoblos pertama. Semoga coblosan pertama itu adalah hidayah yang
menggiring seluruh pemilih Nusantara "yadhuluna fi dinillahi afwaja", berduyunduyun
memasuki cakrawala kasih sayang Allah. Ratusan kali saya bertanya
langsung kepada ribuan publik di hadapan forum saya di berbagai wilayah
Indonesia: "Saudara-saudara dulu beramai-ramai memilih SBY karena ilmu
pengetahuan tentang beliau atau berdasar sangka-sangka? Karena mengerti siapa
beliau atau kira-kira?"
Demi Allah 100% mereka menjawab: "Kira-kira!", "Dengar-dengar!", "Kayaknya!",
"Kata teman-teman, kata tetangga". Bangsa Indonesia tidak punya akses lebih
dari 10% informasi tentang siapa-siapa tokoh nasionalnya. Andaikanpun ada
cukup informasi, mereka juga tak cukup memiliki parameter untuk mengukur dan
menilai. Rakyat Indonesia sama sekali belum memenuhi syarat untuk menjadi
pelaku kecerdasan demokrasi kenegaraan mereka.
Masuk akal dari sudut itu pujangga Ronggowarsito menyebut kalau SBY adalah
Satrio Pambuko Gerbang, kepemimpinan berikutnya, kalau Indonesia mau bangkit
dari keterpurukan totalnya: sebaiknya mulai mudik, mulai pergi untuk kembali,
mulai belajar memahami dimensi-dimensi nilai di balik idiom Satrio Pinandito
Sinisihan Wahyu.
Sebagaimana dulu Gus Dur afdhal letakkan dirinya sebagai pada posisi "Sunan
Ampel", memimpin peralihan zaman, bukan sebagai "Raden Patah" yang raja. SBY
juga pembuka gerbang: konsep kepemimpinannya membereskan segala sesuatu
agar siap masuk gerbang milenium Nusantara Baru. Sebagaimana Thalut
menyiapkan rakyat Yahudi menuju Era Daud, kebangunan yang sesungguhnya.
Buka saja dulu gerbangnya, segala yang tidur mulai dibangunkan, yang buntu
coba dibor, yang jauh didekatkan, yang flu di-fresh-kan, yang macet dibukakan
jalan. Untuk kebangkitan yang sesungguhnya diperlukan seorang pemimpin yang
kesatria, menguasai peta masalah, jantan tegas, profesional, cakap manajemen.
Satrio. Juga harus pinandito: memiliki kapasitas spiritual, aura, awu, wibawa,
berani menindas dunia di dalam dirinya, ringan menepis nafsu keduniaan. Bahkan
sinisihan wahyu: setiap langkah dan perilakunya relevan dan terbimbing oleh alyad
al-khair, tangan bajiknya Tuhan.(Sumber: Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 4
Oktober 2007, ilustrasi: handaru.light17.com)
MUHAMMADKAN HAMBA YA RABBI
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 16 Agustus 2010 jam 10:16
Puisi: Emha Ainun Nadjib
Di setiap tarikan napas dan langkah kaki
Tak ada dambaan yang lebih sempurna lagi
Di ufuk jauh kerinduan hamba Muhammad berdiri
Muhammadkan hamba ya Rabbi
Muhammmadkan ya Rabbi hamba yang hina dina
Seperti siang dan malammu yang patuh dan setia
Seperti bumi dan martahari yang bekerja sama
Menjalankan tugasnya dengan amat terpelihara
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 140
Sebagai Adam hamba lahir dari gua garba ibunda
Engkau tuturkan pengetahuan tentang benda-benda
Hamba meniti alif-ba-ta makrifat pertama
Mengawali perjuangan untuk menjadi mulia
Ya Rabbi engkau tiupkan ruh ke dalam Nuh hamba
Dengan perahu di padang pasir yang mensamudera
Hamba menangis oleh pengingkaran amat dahsyatnya
Dan bersujud di bawah kebenaran-Mu yang nyata

Sesudah berulangkali bangun dan terbanting


Merenung dan mencarilah hamba sebagai Ibrahim
Menatapi laut, bulan, bintang dan matahari
Sampai gamblang bagi hamba Allah yang sejati
Jadilah hamba pemuda pengangkat kapak
Menghancurkan berhala sampai luluh lantak
Hamba lawan jika pun Fir’aun sepuluh jumlahnya
Karena api sejuk membungkus badan hamba

Kemudian ya Rabbi engkau ajarkan hal kedewasaan


Yakni penyembelihan dan kurban, pasrah dan keikhlasan
Tatkala dengan hati pedih pedang hamba ayunkan
Sukma hamba memasuki Ismail yang menelentang
Ismail hamba membisikkan firman-Mu ya Rabbi
Bahwa dewasa tidak ditandai kegagahan diri
Melainkan rela menyaring dan menyeleksi
Agar secara jernih berkenalan dengan yang inti
Di saat meng-Ismail itu betapa jiwa hamba gemetar
Ego pribadi adalah musuh yang teramat tegar
Jika di hadapan-Mu masih ada sejumput saja pamrih
Maka leher hamba sendiri yang bakal tersembelih
Dan memang kepala hamba tanggal berulangkali
Di medan peperangan modern ini ya Rabbi
Hamba kambing di jalanan peradaban ini
Darah mengucur, daging hamba dijadikan kenduri

Tulus hati dan istiqamah Ismail ya Rabbi


Betapa sering lenyap dari gairah perjuangan ini
Keberanian untuk bersetia kepada kehendak-Mu
Di hadapan musuh gugur satu demi satu
Maka hamba-Mu yang dungu belajar menjadi
Musa Meniti kembali setiap hakikat alif-ba-ta
Belajar berkata-kata, belajar merumuskan cara
Harun hamba membantu mengungkapkannya

Musa hamba membukakan universitas cakrawala


Setiap gejala dan segala warna zaman hamba baca
Dengan seribu buku dan seribu perdebatan
Hamba tuntaskan makna kebangkitan
Tongkat hamba angkat dan tegakkan ya Rabbi
Memusnahkan iklan-iklan takhayul Fir’aun yang keji
Ular klenik pembangunan, sihir gaya kebudayaan
Karena telah hamba genggam yang bernama kebenaran

Ya Rabbi alangkah agung segala ciptaan ini


Kebenaran belaka membuat hidup kering dan sepi
Maka Engkau jadikan hamba Isa yang lembut wajahnya
Dengan mata sayu namun bercahaya, mengajarkan cinta
Isa hamba sedemikian runduknya kepada dunia
Segala tutur kata dan prilakunya kelembutan belaka
Sehingga murid-murid hamba dan anak turunnya terkesima
Tenggelam mesra dalam Isa hamba yang disangka tuhannya

Ya Rabbi, haruslah berlangsung keseimbangan


Antara cinta dan kebenaran
Haruslah ada tuntunan pengelolaan
Atas segala ilmu dan nilai yang Engkau anugerahkan
Karena itu Muhammadkan hamba ya Rabbi
Bukakan pintu kesempurnaan yang sejati
Pamungkas segala pengetahuan hidup dan hati suci
Perangkum bangunan keselamatan para rasul dan nabi

Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan


Agar tak menangis dalam keyatim piatuan
Agar tak mengutuk meski batu dan benci ditimpakan
Agar sesudah hijrah hamba memperoleh kemenangan
Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan hamba
Agar kehidupan hamba jauh melampaui usia hamba
Agar kesakitan tak menghentikan perjuangan
Agar setiap langkah mengantarkan rahmat bagi alam
Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan
Di rumah, di tempat kerja serta di perjalanan
Agar setiap ucapan, keputusan dan gerakan
Menjadi ayat-Mu yang indah dan menaburkan keindahan
Takkan ada lagi sosok pribadi seanggun ia
Dipahami ataupun disalahpahami oleh manusia
Kalau tak sanggup kaki hamba menapaki jejaknya
Penyesalan hamba akan tak terbandingkan oleh apapun saja

Para malaikat sedemikian hormat dan segan kepadanya


Bagai dedaunan yang merunduk kepada keluasan semesta
Para nabi berbaris menegakkan sembahyang
Engkau perkenankan ia berdiri menjadi imam
Ya Rabbi Muhammadkan hamba, Muhammadkan hamba
Perdengarkan tangis bayi padang pasir di kelahiran hamba
Alirkan darah Al-Amin di sekujur badan hamba
Sarungkan tameng Al-Ma’shum di gerak perjuangan hamba

Kalungkan kebencian Abu Jahal di leher hamba


Sandingkan keteduhan Abu Thalib di kaki duka lara hamba
Payungkan awan cinta-Mu di bawah terik politik durjana
Usapkan tangan sejuk Khadijah pada kening derita hamba
Kirimkan Jibril mencuci hati Muhammad hamba
Lahirkan kembali wahyu-Mu di detak gemetar jantung hamba
Dan kucurkan darah luka Muhammad oleh pedang kaum pendusta
Hadiahkan kepada hamba rasa sakitnya

Ya Rabbi ya Rabbi Muhammadkan hamba


Bersujud dan tafakkur di gua Hira jiwa hamba
Berkeliling ke rumah tetangga, negeri dan dunia
Menjajakan cahaya

Pasar dan Pasar Bebas


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 02 Maret 2010 jam 10:09
Ditulis Oleh: Toto Rahardjo
Tulisan ini memang hanya sekadar cerita berdasarkan ingatan, dari apa yang
pernah dilihat, didengar dari cerita orang, maka janganlah berharap Anda akan
menemukan hal-hal ilmiah dalam tulisan ini.
Kalau Anda berasal dari pedesaan pasti memiliki cerita kenangan tentang pasar.
Mayoritas anak-anak di pedesaan selalu berbinar-binar ketika hari pasar tiba,
karena pasar memang tidak setiap hari ada. Apa yang dibayangkan pada saat
menjelang hari pasar—yakni, kesempatan anak-anak bisa jajan, ada secercah
harapan anak-anak, karena akan dibelikan sesuatu oleh orang tuanya. Apalagi
menjelang lebaran, adalah saat akan mendapatkan baju baru. Pasar memang
menjadi peristiwa dan perhelatan bagi orang tua, anak-anak, perempuan, lakilaki.
Bahkan pasar menjadi tempat pertemuan, tempat ngrumpi, silaturahmi,
menjadi pusat informasi selain tentu saja mempunyai fungsi pokok, yakni menjadi
tempat interaksi si penjual dan si pembeli. Maka tidaklah heran jika pasar menjadi
ajang lobby politik, untuk mengetahui perkembangan apa yang sedang terjadi di
desa-desa sekitar pasar, juga perkembangan-perkembangan menarik di daerah
lain.
Rata-rata putaran penyelenggaraan pasar di masing-masing tempat sekitar dua
sampai dengan lima hari sekali. Selain tujuh nama hari yang dikenal diseluruh
penjuru tanah air yakni; Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu), di
Jawa juga dikenal lima hari yang sering dimaknai sebagai hari pasaran (Legi,
Pahing, Pon, Wage dan Kliwon).
Jadi putaran penyelenggaraan pasar terjadi lima hari sekali. Ada pasar Legi di desa
tertentu yang lebih banyak untuk menjual hasil-hasil bumi, ada Pasar Kliwon di
desa anu yang lebih khusus menjual grabah dan alat-alat pertanian, ada Pasar Pon
di wilayah lain yang khusus menjual hewan (maka sering dikenal dengan pasar
hewan). Selain penyelenggaraan pasar yang lumintu itu, juga ada pasar-pasar
khusus yang biasanya terjadi pada saat-saat tertentu, misalnya tepat pada harihari
besar (lebaran misalnya) yang biasanya jauh lebih lengkap barang-barang
dagangan dan jauh lebih besar jumlah dan ragamnya—sering disebut dengan
prepegan. Ada juga pasar malam yang memang diselenggarakan di malam hari
biasanya disertai dengan berbagai pertunjukan atau hiburan—namun perhelatan
seperti ini tidak setiap saat ada (biasanya terjadi pada momen-momen tertentu,
pada hari-hari besar).
Pengertian Pasar dipahami secara arief dan sederhana, sebuah interaksi jual beli
memang sudah diniati sejak dari rumah, karena ada kebutuhan untuk
mendapatkan sesuatu—tanpa dipaksa dan terpaksa, bahkan untuk menjual atau
membeli telah dipikir masak-masak melalui perdebatan di setiap keluarga,
minimal selama lima hari sebelum pasar itu tiba.
Tentu saja di dalam pasar itu ada saja orang-orang yang menipu, ada yang
mengambil barang dengan cara diam-diam dan kecil-kecilan, itu disebut ngutil,
ada yang khusus mengambil uang dari kantong celana atau baju atau dompet
secara cepat, itu disebut copet. Namun profesi-profesi itu biasanya sudah
diketahui oleh khalayak, baik ciri-ciri wajah, pola-pola gerak-geriknya maupun dari

mana asalnya (biasanya dari tempat-tempat tertentu), sehingga kewaspadaan


sesungguhnya telah melekat pada setiap orang yang akan pergi ke pasar. Namun
profesi (ngutil, copet, jambret dll) mengandung resiko besar, tidak jarang para
pelaku itu tertangkap basah di pasar dan pasti akan diadili beramai-ramai,
minimal mereka akan dipermalukan.
Melihat penyelenggaraan pasar, pada mulanya ada kesepakatan kapan dan di
mana pasar itu diselenggarakan, bahkan spesial untuk jenis produk apa yang akan
dijual di pasar itu. Jelas ada sirkulasi produksi, kapan dipasarkan, bukan dengan
cara eksploitatif setiap hari, apalagi setiap jam, menit dan detik.Karena harus
melalui kalkulasi, kapan waktunya produk itu dibutuhkan; misalnya alat-alat
pertanian, grabah, alat-alat rumah tangga tidaklah setiap hari orang akan
membeli.
Pasar bagi masyarakat bukanlah momok apalagi terkesan monster—pasar bahkan
menjadi tempat bercanda bagi ibu-ibu, pasar juga menjadi tempat untuk menukar
benih-benih pertanian antar petani yang akan menanam, tempat menukar sekian
kambing dengan seekor sapi, kelak di zaman modern disebut barter.
Yang jelas sebagian proses penyelenggaraan pasar dikendalikan bersama-sama
oleh masyarakat. Ada banyak kesepakatan-kesepakatan tak tertulis yang ternyata
sangat dipatuhi di pasar itu yang intinya untuk melindungi kepentingan bersama.
Mulailah jaman modern masuk dan menginterfensi, mengatur bahkan
menguasainya. Aturan-aturan yang disepakati secara kolektif berubah, bahkan
secara fisik pasar oleh para modernis dianggap kumuh dan tak teratur maka harus
dibangun. Konsep pembangunan pasar menjadi tak bisa dijangkau lagi oleh
masyarakat, bahkan yang terjadi penghuni asli pasar yang ada selama ini harus
menyingkir, tergusur karena dianggap tak pantas.
Penyelenggaraan pasar tidak lagi harus menunggu setiap hari pasaran, setiap saat
ada pasar (dimana saja, kapan saja ada pasar). Nama-nama hari pasaran sudah
tidak penting lagi. Padahal fungsi hari pasar bagi masyarakat juga terkait dengan
hitungan-hitungan kehidupan lainnya. Orang sering memaknai hari kelahiran
(weton) yang dihitung dari gabungan hari nasional dan pasaran, misalnya Sabtu
Pahing, Jumat Kliwon. Juga terkait dengan hitungan-hitungan kapan hari yang
tepat untuk menanam, untuk mendirikan rumah, untuk bepergian, untuk
menikahkan anaknya, bahkan untuk mengawinkan kambing pun harus dihitung
dengan cara yang sama.
Kini nama-nama hari, apalagi hari pasaran menjadi tidak penting karena setiap
hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik orang boleh menginginkan apa
saja, boleh melakukan apa saja, boleh membeli apa saja, menjual apa saja, artinya
metabolisme tidaklah penting lagi.
Kok sekarang ini ada lagi yang bernama Pasar Bebas! Apakah itu berbeda dengan
pasar di kampungku dulu?!
Mengapa itu disebut pasar bebas? Apakah bebas itu berarti setiap orang bebas
untuk menjual apa saja, atau apakah itu berarti negara bisa menjual apa saja,
ataukah berarti kita juga bebas untuk tidak menjual dan bebas untuk tidak
membeli?

Di pasar kampung ada pencuri kecil-kecilan yang disebut ngutil dan nyopet,
namun menurut pengalaman saya kejadian-kejadian itu bisa diatasi setidaknya
oleh pengurus pasar, bahkan di tingkat masyarakat luas. Terus terang saya tidak
bisa membayangkan bagaimana praktek pencurian yang terjadi dalam dunia pasar
bebas, tentunya tidak setingkat ngutil atau nyopet seperti yang terjadi di pasar
kampung. Di kehidupan pasar kampung, ada juga istilah bank plecit yakni orang
yang meminjamkan uang—yang biasanya untuk modal berdagang kecil-kecilan—
dengan bunga yang cukup tinggi. Untuk pedagang kecil memang berat, kami
semua tahu bahwa rentenir, lintah darat itu dosanya besar. Tapi harus diakui
bahwa bank plecit itu tidak pernah memaksa, dan kadang kala memang itu
berguna. Sebab bagi orang kecil membutuhkan pelayanan cepat, karena untuk
pinjam dari bank pemerintah yang ada, yang bunganya kecil, ternyata juga tidak
mudah bahkan cenderung bertele-tele.
Dipasar kampung juga ada profesi-profesi yang di sebut blantik, yakni orang yang
kerjanya merayu, mempengaruhi pembeli maupun penjual agar memperoleh
upah jasa, sesekali juga bisa mendapatkan keuntungan dari harga bakunya.
Di pasar bebas, ternyata ada juga bank plecit bertaraf besar yang beroperasi
dengan canggih, bahkan tidak tanggung-tanggung melakukan pemaksaan secara
canggih melalui otoritas negara. Dengan cara mengkritik bahwa instrumen pasar
di sebuah negara dianggap ‘tidak sehat’. Ada-ada saja. Istilah ‘tidak sehat’,
parameternya dan obatnya mereka yang menentukan. Jadi kata ‘bebas’ di sini
berarti kira-kira hanya yang kuat saja yang bebas menentukan apa saja, bebas
membeli apa saja dan bebas menjual apa saja. Sementara yang tidak kuat tidak
kuasa untuk menjual dan tidak kuasa pula untuk membeli. Bagi yang lemah,
barang-barang yang penting bagi kehidupannya bisa dipaksa untuk dijual ke yang
kuat, dan bagi si lemah ia bisa dipaksa untuk membeli apa saja yang dijual oleh
yang kuat.
Pasar dalam arti sempit adalah tempat dimana permintaan dan penawaran
bertemu, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar tradisional. Sedangkan dalam
arti luas adalah proses transaksi antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini
lebih condong ke arah pasar modern. Permintaan dan Penawaran dapat berupa
Barang atau Jasa. Maka kata “pasar” mestinya masih sama namun sungguh sangat
jauh melenceng maknanya, walaupun saya sudah dikasih tahu bahwa yang terjadi
dalam pasar bebas itu ada kejahatan-kejahatan terselubung, dan yang terjadi
sudah tidak lagi sekadar menjual atau membeli barang, tetapi yang tak nampak
adalah jual beli pikiran, sikap, prinsip bahkan menjual diri dan rasa kemanusiaan.
Tetap saja saya tidak paham, memang saya ini orang desa.
Pertanyaan-pertanyaan terus saja berkecamuk: “Siapa yang menjadi Kepala Pasar
Bebas?”, “Siapa ya yang menjadi tukang Bea di Pasar Bebas?, siapa yang menjadi
blantik?”. Karena kalau Kepala Pasar di kampung saya itu jelas rumahnya, jelas
alamatnya, tak jauh juga dari rumahku. Sekali lagi semakin tak paham, bahkan
sekarang ini aku tak paham dengan diriku sendiri, “Apakah betul segala
kemauanku, segala keinginanku, niatku sungguh-sungguh dan senyata-nyatanya
aku yang menentukan sendiri?”, Saya semakin tidak mudheng bahwa pikiranku,
segala keinginanku juga telah dikendalikan oleh sesuatu yang tak pernah aku
pahami.
Nah, di manakah letak Maiyah? Sepengetahuan saya, Maiyah menaruh kritisisme
terhadap pasar bebas. [

Pemerintah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 30 November 2009 jam 14:11
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Pemerintah kerjanya melarang dan memerintah. Kalau Tuhan memegang hak
seratus persen memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan
kita dan semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin
hidup manusia. Tapi pemerintah kan menyuruh kita cari makan sendiri-sendiri.
Kalau kita kelaparan atau dikubur utang, kita tidak bisa mengeluh kepada
pemerintah. Hubungan kita dengan pemerintah adalah bahwa kita semua berada
di bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan
lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu.

Pencerahan dan Ketercerahan


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 01 Oktober 2010 jam 10:58
Kalau Anda orang Islam alangkah indahnya kalau serajin dan sedalam mungkin
Anda menggali nilai-nilai Islam untuk Anda kontribusikan kepada seluruh bangsa
kita, agar proses-proses demokrasi, keadilan dan penyejahteraan yang kita
lakukan bareng-bareng ini semakin efektif. Di kulit luar Al-Qur'an bagian belakang,
biasanya ditulis firman Allah La yamassuhu illal muthahharun. Biasanya
ustadzustadz
kita mengartikan bahwa kalau kita sedang dalam keadaan batal dan belum
berwudlu, maka dilarang menyentuh Al-Qur'an. La itu tidak atau jangan. Yamassu
itu menyentuh. Hu itu kata ganti untuk Al-Qur'an. Illa itu kecuali. Muthahharun itu
orang-orang yang dalam keadaan suci.
Sekali lagi, sebelum pegang Qur'an, kita berwudlu dulu, supaya muthahhar. Itu
tidak salah, dan bagus untuk pendidikan dasar etika vertikal keislaman. Tapi
sebaiknya tidak tertutup bagi pengembangan interprestasi. Misalnya, kita ambil
dua hal. Yang pertama, yang disebut Qur'an dalam tafsir dasar di atas sebenarnya
adalah mushaf. Terdiri dari kertas dan goresan tinta. Itu yang jangan dipegang
kalau dalam keadaan batal. Pastilah Qur'an bukan kertas dan tinta.
Qur'an adalah suatu rumusan dan tuturan firman, yang bersifat rohaniah
(intelektualitas itu rohaniah), yang diantarkan oleh bahasa atau peralatan budaya
manusia melalui kertas dan tinta. Dulu malaikat Jibril tidak datang dari langit
kepada Muhammad SAW. membawa berkas buku, melainkan membawa titipan
ucapan Tuhan. Ketika dikatakan 'Bacalah !', bukan berarti Jibril menyodorkan
kertas yang ada tulisannya dan Muhammad disuruh membaca. 'Membaca' di situ
memiliki pengertian yang sangat-sangat luas. Intinya: membaca kehidupan.
Utsman ibn Affan yang kemudian mempelopori pe-mushaf-an rohani Qur'an itu.
Jadi mushaf adalah suatu sarana budaya atau fasilitas teknologi yang
mengantarkan Qur'an kepada manusia. Maka, la yamassuhu, tidak (bisa, boleh)
menyentuh, sasarannya bukan terutama mushaf, melainkan substansi Qur'an itu
sendiri.
Oleh karena itu pengembangan interpretasi atas ayat Allah yang menghiasi kulit
belakang mushaf itu, bisa begini: Kalau jiwamu tidak berada dalam keadaan
muthahhar, enlighted, tersucikan, maka engkau tidak berada di dalam koridor
hidayah dan fungsi Qur'an bagi kehidupanmu.
Katakanlah ada beberapa fungsi Qur'an, umpamanya: ia bukan hanya informasi,
tapi juga informasi yang pasti benar. Ia bukan sekedar pemberitahuan, tetapi
petunjuk. Ia bukan sekedar berita, tapi kabar gembira.
Ia bukan hanya penuturan ilmu, tapi juga rahmat. Ia bukan hanya perintah, tapi
rahasia ilmu. Ia bukan hanya ketegasan kebenaran, tapi juga cinta dan kedamaian
yang matang. Ia bukan hanya selebaran tentang iblis dan setan, tapi juga
rangsangan eksplorasi fisika, biologi, astronomi. Serta banyak lagi.
Manusia yang pikirannya skeptis terhadap Qur'an, yang hatinya blocked-out dari
firman pamungkas Allah itu, yang sikap hidupnya mempergelap dirinya sendiri,
logis kalau tidak memperoleh sentuhan apapun dari multi-probabilitas rahmat
Allah melalui Qur'an. La yamassuhu illal muthahharun.
Tidak memperoleh apa-apa darinya kalau menolak enlightment. Dan kalau
memang kita memilih yang ini, tak ada masalah bagi Tuhan, Muhammad atau
siapa pun saja. Allah tidak menangis, Muhammad tidak merugi, Islam tidak
merasa kurang suatu apa. Sebab Islam tidak akan mendapatkan risiko apa-apa, ia
bukan manusia yang harus bertanggung jawab kepada sumbernya. [EAN].
(Sumber: " Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib " ]?

Peran Tuhan
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 24 Maret 2010 jam 9:57
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Secara empiric, setidaknya ada empat peran Tuhan dalam kehidupan kita
bersama. Pertama, Tuhan sebagai pemberi solusi atau jalan keluar atas semua
problem manusia. Manusia adalah makhluk serba terbatas. Karenanya, apapun
saja yang diupayakannya, suatu saat pasti akan terbentur oleh kendala-kendala,
dan kebuntuan-kebuntuan. Maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk
menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah atas problem dan persoalan
hidupnya. Kedua, Tuhan sebagai sumber dana atau asal-usul rahasia rejeki yang
tak terduga-duga. Prinsip ini begitu mendasar dan penting, dalam konteks upaya
manusia mengejar kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Tuhan adalah Maha
Pengatur Rejeki. Ketiga, Tuhan sebagai akuntan atau manajer ada penghidupan
setiap hamba-Nya. Keempat, Tuhan sebagai public relation atau humas atau
penyampai maksud, impian, kepada siapa saja yang diharapkan terkait dengan
itu. Tuhan adalah harapan terakhir dari apa pun aktivitas yang dilakukan oleh
mahlukNya.
Reciever Lailatul Qadar
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 02 September 2010 jam 11:09
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Yang sepenuhnya harus kita urus dalam ‘menyambut’ Lailatul Qadar adalah
Reciever Spiritual kita sendiri untuk mungkin menerima Lailatul-Qadar. Kesiapan
diri kita. Kebersihan Jiwa kita. Kejernihan Ruh kita. Kepenuhan Iman kita. Totalitas
iman dan kepasrahan kita. Itulah yang harus kita maksimalkan.
Kalau lampumu tak bersumbu dan tak berminyak, jangan bayangkan api. Kalau
gelasmu retak, jangan mimpi menuangkan minuman. Kalau mentalmu rapuh,
jangan rindukan rasukan tenaga dalam. Kalau kaca jiwamu masih kumuh oleh
kotoran-kotoran dunia, jangan minta cahaya akan memancarkan dengan jernih
atasmu.
Jadi, bertapalah dengan puasamu, bersunyilah dengan i’tikafmu, mengendaplah
dengan lapar dan hausmu. Membeninglah dengan rukuk dan sujudmu. Puasa
mengantarkanmu menjauh dari kefanaan dunia, sehingga engkau mendekat ke
alam spiritualitas. Puasa menanggalkan barang-barang pemberat pundak,
nafsunafsu
pengotor hati, serta pemilikan-pemilikan penjerat kaki kesorgaanmu. ?

Sistem Nilai Apakah yang Kita Pilih?


by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Benarkah yang salah selalu adalah ia dan mereka? Sementara yang benar pasti
kita dan saya?
Benarkah yang harus direformasi selalu adalah yang di situ dan di sana, dan bukan
yang di dalam diri kita sendiri?
Mungkinkah reformasi eksternal dikerjakan tanpa berakar pada reformasi
internal?
Apakah sesungguhnya yang sedang berlangsung di dalam syaraf-syaraf hati kita
serta sel-sel otak kita?
Sistem nilai apakah yang sesungguhnya kita pilih untuk mengerjakan gegap
gempita yang kita sebut reformasi ini? Demokrasi, sosialisme, Jawaisme,Islam,
Protestanisme, Yahudisme, Serabutanisme, kebencian, dendam, atau apa.

Supremasi Keselarasan (bagian I)


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 25 November 2009 jam 13:29
Dengan kondisi obyektif manusia Indonesia, masyarakat dan bangsa Indonesia
saat ini, yang merupakan hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya: tidak
mungkin kita bisa menegakkan Supremasi Hukum, atau lebih tinggi lagi Supremasi
Keadilan. Yang kita handal membangun dan sangat lihai menyelengarakan adalah
Supremasi Keselarasan.
Tema ini memerlukan uraian, analisis dan perdebatan yang harus sangat panjang,
sehingga malam ini sekedar kita buka pintu saja. Para ilmuwan sosial dan ahli-ahli
kebudayaan, sebaiknya mengagendakan tema ini untuk riset yang serius. Dan
mohon disiapkan kerja sama penelitian dan diskusi dengan wilayah-wilayah
kepakaran yang lebih luas, misalnya antropologi, biologi dan fisika bahkan
genekologi, sejarah umat manusia, sampai ke konsep dasar Tuhan menciptakan
manusia dan alam semesta.
Semua wilayah itu saling terkait. Manusia dan bangsa Indonesia sedang berada di
puncak ketidak-mengertian atas dirinya sendiri dalam multi-konteks yang barusan
saya deretkan itu, sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang
memadai untuk melakukan kebangkitan dan pembangunan apapun yang
menyangkut dirinya sendiri.
Dengan ganti kepemimpinan berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan
apapun,pembangunan dan kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan
membuat rakyatnya kecele, jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera di
lakukan.

Bangsa Indonesia tidak punya kosa kata untuk hukum dan keadilan. Keduanya kita
import dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa,
Sunda, Bugis, Madura atau manapun, saya mengusulkan kata hukum dan adil itu
segera diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hukum
dan keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri.
Yang kita punya adalah kata laras. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan.
Tak apa mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan. Kita korupsi
barengbareng
di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita samasama
menjaga keselarasan. Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara
Keselarasan Nasional. Siapa harus di hukum dan siapa harus di pertahankan,
pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur di
bangun dan di informasikan, bukan obyektifitas hukum atau keadilan.
Bangsa kita menomersatukan 'norma', menomerduakan 'nilai'. Nilai mengikat
setiap orang untuk tidak mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan
apapun. Norma adalah kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara
mereka yang berkuasa untuk selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang,
hukum dan moral asalkan tetap selaras
dan citranya tetap bisa kita bikin tampak baik-baik saja. Kita jangan lakukan ini
atau itu, prinsipnya bukan ini tidak benar dan itu tidak baik, melainkan yang kita
jaga adalah "apa kata tetangga".
Kalau kita menangkap maling di kampung, kita bentak dia, "Jangan seenaknya
berbuat di kampung kami, kalau mau mencuri jangan di sini!" Prinsipnya bukan
maling itu tidak boleh melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa
jangan ada yang tampak mencuri. Mencuri tidak ada tapi jangan kelihatan
mencuri. Melanggar hukum dan keadilan itu soal tahu sama tahu yang tidak boleh
adalah melanggar keselarasan.
Perbenturan antara KPK dengan POLRI dan Pemerintah secara keseluruhan adalah
perbenturan antara keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu
disadari oleh Bibit dan Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan.
Mereka juga belum faham benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras
Indonesia, hukum dan keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak
boleh merusak pekerjaan para petugas keselarasan nasional. Satu langkah saja
lagi hukum dan keadilan melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan, maka ia
akan diberi label anarkisme atau makar.
....
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009
Supremasi Keselarasan (bagian II)
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 November 2009 jam 15:06
Indonesia Mengejutkan Dunia
Mohon jangan salah sangka, ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi
sekedar titipan salah satu kado kepada Gatra dari guru saya, seorang Kiai yang
bernama Kiai Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan
amanat itu kepada Gatra. Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa
saudaranya Kiai Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?
Ceritanya begini. Gatra saya kenal sejak ia lahir, 19 November 15 tahun silam.
Saya juga mengenal orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir. Tetapi semua itu
pasti itu tidak membuat saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas professional
atau kepatutan budaya untuk berdiri di sini. Saya merasa bahwa yang
menjerumuskan Gatra agar tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan
malam ini adalah 'sekedar' nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Alhasil,
sebenarnya saya kurang percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini,
sehingga saya memerlukan datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi,
meminta restu, syukur ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya.
Ternyata beliau memang sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya di
terima, beliau langsung menyeret saya, didudukan di kursi, kemudian beliau
omong panjang tentang Supremasi Keselarasan itu.
"Tolong disampaikan kepada Gatra sebagai kado dari saya" kata beliau.
Meskipun saya sangat bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan
kado itu, sebenarnya saya tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon
sekedarnya, "Tapi isinya kok penuh pesimisme, Kiai?"
Beliau menjawab, "Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan
pesimisme atau optimisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani
hidup dengan tangguh tanpa terganggu oleh kecengengan yang bernama
pesimisme atau optimisme..."
"Aduh saya kurang paham, Kiai", saya menyela.
"Alhamdulillah tidak masalah, tidak paham itu tidak dosa. Yang penting kau
sampaikan saja kepada Gatra bahwa ulang tahunnya hari ini adalah ulang tahun
yang sangat indah. Gatra berulang tahun tatkala kita semua sedang berada pada
momentum zaman yang sangat menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan
segera datangnya saat dimana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan
tampil dengan keindahan peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia"
"Wah, optimis ya Kiai?" saya menyela lagi.
"Kamu cengeng" jawab Pak Kiai, "Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia
asli itu watak utamanya adalah nekad dan tidak perduli"
"Maksud saya, saya senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang
bangkitnya Indonesia..."
"Hari-hari ini tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah" Kiai Alhamdulillah
melanjutkan, "perhatikan dahsyatnya kepemimpinan negaramu sekarang ini,
amati mozaik penuh cahaya kebudayaan, kejujuran dan kelihaian manusia dan
bangsanya, riuh rendah estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin
pendidikan informasi persnya, progressifitas persekolahan dan kependidikannya,
cakrawala amat luas cara pemelukan keagamaannya, kerendahan hati
olahraganya, sopan santun pariwisatanya, serta yang utama tak terbendungnya
fenomenologi pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui gardagarda
post modernisme. Akumulasi dari seluruh pergerakan dari sejarah dari
nusantara itu akan tak bisa dielakan oleh semua masyarakat dunia bahwa
Indonesia segera akan memimpin lahirnya peradaban baru dunia....."
"Maaf ya Pak Kiai, tadi kata sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan,
karena yang berlangsung selalu adalah Supremasi Keselarasan. Bagaimana
mungkin dengan kondisi itu Indonesia bangkit memimpin dunia?"
"Jangan kawatir, nak" jawab beliau, "Yaumul Qiyamat pasti tiba. Yaum itu Hari,
Qiyamat itu Kebangkitan. Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin
oleh Indonesia"
"Jadi benar akan Kiamat ya Kiai? Apakah itu yang di maksud dengan tahun 2012?"
"Jangan mendahului Tuhan, nanti malah di batalkan"
"Lha ya itu maksud saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus
supaya Tuhan tersinggung sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana
dengan hukum, keadilan dan keselarasan itu, Kiai?"
Bayi Lahir Putra Ibu Pertiwi
Kiai Alhamdulillah tidak langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam
memandang saya, kemudian berkata sangat serius dan pelan:
"Alhamdulillah tolong jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral
kepada Gatra" kata beliau. "Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu
berasal dari gen unggul, sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari hukum,
keadilan dan keselarasan. Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik tangan,
segala sesuatu bisa diubah dan diatur.
Sebentar lagi bayi Indonesia akan segera lahir. Ibu pertiwi yang akan melahirkan,
bayi itu sekarang sudah mengalami "bukaan-2", kalau bukaan sudah sampai ke-
10, bayi akan lahir. Bayi itu bisa merupakan hasil total refresing dari anak bungsu
Ibu Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang
sama sekali baru.
Sangat tergetar hati saya menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu air
ketuban pecah pada 28 oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 --
karena bangsa Indonesia tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua
di muka bumi. Kalau bangsa Yahudi dan Arab yang sekarang menguasai keuangan
dunia adalah keturunan kakek Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa
puluh atau ratus generasi sebelum itu.
Katakanlah mungkin sejak Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya
Kan'nan, Hasyim, Habsyah dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang
lahir tahun 1945, bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara
Indonesia 1945. Bangsa Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban
Lemorian dan Atlantis, Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan
jejak di Somalia, jerman, Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan
Ajisaka, Keling, Kaliswara, Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara atau Salakanagara.
Apalagi sekedar Singasari, Majapahit, Demak dan Mataram.
Berbagai kelompok generasi muda Indonesia saat ini sedang diam-diam
melakukan penelitian dan eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia
media tidak memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs
di dua pertiga bumi, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia,
terutama daratan luas dari yang sekarang di kenal sebagai jazirah Saudi hingga
Irian Jaya, yang memaparkan sebagai identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia
sesungguhnya, dan mereka mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk
ilmiah yang sejauh ini ada.
Sebagian yang lain sedang menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke
peradaban, untuk mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang
berlangsung menuju puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir.
Mereka menguji dan mengkaji kembali apa yang sesungguhnya terselenggara
sejak Revolusi Industri. Mereka sedang mencari garis sambung antara low-tech
replikasi jasad, high-tech replikasi system-logic otak, automation assembly line,
prinsip digital, 0 dan 1, real-number dan imaginary-number, Boolean Logic dan
Fuzzy Logic, 8% dan 92% wilayah fungsi otak, komputer yang secanggihcanggihnya
namun tak sedikitpun mampu membaca kerinduan, amarah,
penasaran, sedih atau gembira dan semua itu coba ditemukan
konstekstualitasnya dengan informasi-informasi langit: bagan struktur misbah dan
zujajah, sistem kerja dinamis ruhullah, dzatullah, sifatullah, jasadullah, hingga ke
regulasi Negara mahdloh dan fenomenologi kebudayaan muamalah.
Beruntunglah ummat manusia yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21
yang di temani oleh wahyu Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam,
ummat manusia mencari Tuhan sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada
wacana firman. Kalian sekarang tinggal menghapalkan Qul huwallohu Ahad, 99
asma Allah, di tambah dua tiga ayat, langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal
buka Kitab Suci untuk menemukan karbon, pertemuan laut asin dan tawar,
interaksi dinamis antara otak dengan hidayah, sumber pemahaman dasar
matematika, fisika, biologi dan hipnotisme. Atau apapun saja. Anak-anak muda itu
tidak mau bangsanya terpuruk tanpa berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian
itu langkah mereka ke depan adalah merumuskan dan meletakkan kembali
dasardasar
Ideologi Negara, Ideologi Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi
Keagamaan, Ideologi Kebudayaan, Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan
Ideologi Pangan dan Kesejahteraan"
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009

Supremasi Keselarasan (bagian III - Selesai)


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 Desember 2009 jam 11:46
Negeri Demokrasi Sufi
Tidak sengaja spontan saya merespon: "Itu makar, Kiai!"
Pak Kiai tertawa. "Alhamdulillah tidak perlu ada makar. Di negerimu rakyat tidak
merasa terancam, sepanjang mereka masih punya sandang pangan, yang mereka
bisa mengusahakannya sendiri, dengan atau tanpa Pemerintah. Pemerintah tidak
perlu melakukan apapun, sebenarnya rakyat tidak masalah. Bahkan banyak rakyat
yang mempersilahkan uang pajak nasional itu dibagi-bagi saja oleh para Pejabat,
tidak ada masalah, asalkan jangan mempremani atau memalak rakyat yang
sedang bekerja mencari nafkah. Jadi, sekali lagi, tidak ada makar. Memang ada
kehancuran nilai, moral, mental, intelektual dan spiritual, tidak itu tidak dianggap
kehancuran. Kehancuran yang dikenal oleh bangsamu hanyalah kehancuran fisik."
"Maka alhamdulillah bayi itu akan lahir. Kita semua berdoa, jika ada yang
berusaha membuntu lubang rahim Ibu Pertiwi, sehingga diharapkan sang Bayi
akan batal lahir, semoga jangan lantas ada keputusan Operasi Cesar oleh
petugaspetugas
Jagad Raya, para Eksekutor Alam Semesta, oleh Kepala-Kepala Dinas
Samudera dan Tsunami, Hujan, Banjir dan Longsor, Gunung, Lempengan Bumi di
perut bumi Nusantara dan Gempa, Pemanasan Global, Gas Metan di Kutub Utara,
anarkisme meteor-meteor, serta ruh-ruh Energi dan Frekwensi yang serabutan
maqamat-nya, serta sejumlah birokrat langit bumi lainnya"
"Akan tetapi bencana-bencana itu bisa tak perlu terjadi, karena semua semua
yang terjadi ini tetap dalam lingkup Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
rohaniah. Bencana-bencana itu bisa batal, meskipun korupsi makin merajalela.
Karena dalam Pancasila terbuka peluang sangat luas untuk menafsirkan nilai-nilai.
Misalnya, sesungguhnya itu semua bukan korupsi, bukan sistem yang korup,
bukan pencurian yang merata — melainkan Shadaqah. Shadaqah adalah
beralihnya uang, dana atau jasa secara sukarela dari satu tangan ke tangan lain.
Ciptakan suatu atmosfir kenegaraan dengan wacana-wacana yang membuat
semua peralihan keuangan itu bersifat sukarela dan bermakna shodaqah.
Sosialisasikan nilai bahwa ridha bir-ridla atau saling sukarela adalah pencapaian
silaturahmi yang ideal. Kalau ada yang belum ridha dan merasa itu adalah
pemerasan, harus dididik sampai bisa mencapai ridha. Kewajiban mendidik
warganegara menuju tingkat ridha itulah tugas Pemimpin, Pemerintah, Para Wakil
Rakyat, Kaum Ulama segala Agama, Pers dan semua pelaku-pelaku utama yang
lain dalam seiarah. Pasanglah spanduk di jalan-jalan yang mendidik publik:
`Relakanlah ke manapun uang Negara pergi, toh yang memakai adalah sesama
manusia, sesama makhluk Allah'.
"Pancasila bisa menggali nilai-nilai Agama, misalnya Sufisme. Kalau perlu
dilegalisir saja pedoman nasional bahwa Negeri kita adalah Negeri Demokrasi Sufi
yang berlandaskan pancasila. Di dalam Negeri Demokrasi Sufi, Presidennya harus
Sufi, seluruh Menteri dan Pejabat-pejabatnya harus Sufi. Demikian juga
Tentaranya, Polisinya, termasuk para Pengusahanya, olahraganya, keseniannya,
harus Sufi. Presiden Sufi adalah Presiden yang sesungguhnya tidak bersedia
menjadi Presiden lagi, tetapi demi Indonesia bersatu maka `Lanjutkan!'. "
"Kabinet Sufi adalah Menteri-Menteri yang rela lilo legowo tidak ditempatkan
atau ditempatkan di penugasan Kementerian manapun, meskipun seandainya
mereka tidak memiliki kompetensi proffesional. Kalau mereka menolak, akan bisa
terjadi pertengkaran antar kelompok politik. Presiden dan Menteri-Menteri Sufi
harus menomersatukan kedamaian, dan menghindarkan segala kemungkinan
konflik."
"Sufisme itu intinya adalah kesanggupan berpuasa. Berpuasa makna luasnya
adalah sanggup melakukan sesuatu yang ia tidak suka, atau mampu tidak
melakukan yang ia suka. Umpamanya saya tidak suka memeras orang, tetapi demi
mengasah kemampuan rohaniah, maka saya memeras"
"Menutupi aib sesama manusia, adalah termasuk nilai Sufi yang tinggi. Apalagi
yang punya aib itu orang dijajaran tugas kita sendiri. Tuhan melarang hamba-Nya
memperhinakan sesamanya. Bahkan dalam berolahraga, sebisa mungkin kita
menjaga hati sesama manusia. Kalau kita menang dalam pertandingan sepakbola
atau bulutangkis, harus kita perhitungkan bahwa lawan main kita pasti kesakitan
hatinya kalau kita kalahkan. Maka yang terbaik adalah kita mengalah. Kalau ada
striker lawan menggiring
bola capk-capek ke gawang kita, Kiper kita harus minggir dan mempersilahkan
bola dimasukkan. Dengan demikian olahraga kita memiliki kwalitas nilai
kemanusiaan yang sangat tinggi".
"Atau ambil contoh lain misalnya Pengusaha, Khusus di Indonesia, para
Pengusaha memiliki peluang sangat besar untuk berjuang mencapai tingkat Sufi
yang tertinggi. Para Pengusaha di Indonesia setiap saat harus siap bersedekah,
setiap langkahnya harus bersedekah kepada Negara yang diberikan melalui para
Pengurus Negara. Pengusaha yang tidak bersedekah, alhamdulillah pasti menjadi
Sufi bangkrut."
"Sebab sedekah itu kemuliaan, bukan keanehan. Kamu tahu artinya sedekah?
Infaq yang tidak wajib itu namanya shadaqah, kalau wajib itu namanya zakat.
Pengusaha Indonesia tidak wajib bershadaqah, tapi mereka perlu meningkatkan
kwalitas rohaniahnya, sehingga yang sebenarnya tidak wajib bisa ditingkatkan
menjadi wajib. Ada yang bertanya: apakah itu bukan pemerasan? Itu pemerasan
hanya bagi Pengusaha yang tidak berhati ikhlas. Jadi ini bukan soal hukum,
melainkan soal keikhlasan hati. Kemudian ada lagi yang bertanya: apakah itu
bukan sogokan? Alhamdulillah sama sekali bukan sogokan, sebab Pejabat yang
menerima sedekah itu niatnya bukan mencari uang, melainkan menguji iman si
Pengusaha"
Kaliber Dunia
"Saya akhiri kado ini", kata Kiai Alhamdulillah akhirnya, "karena saya ingin Gatra
tetap langgeng penerbitannya"
"Sampaikan respek saya kepada Gatra. Pers Indonesia, dan pasti juga Gatra,
adalah salah satu sumber energi sosial dan pendidikan sejarah yang turut
memberi sumbangan besar kepada Kebangkitan Indonesia 2012. Koran-koran dan
Majalah melakukan pencerdasan bangsa 3-5 kali lipat dibanding era-era
sebelumnya. Televisi-televisi bekerja keras 24 jam sehari untuk membuat
bangsanya menjadi sangat dewasa, matang dan berwawasan luas"
"Pers bisa ambil peranan besar dan hampir mutlak dalam hal Yaumul Qiyamat ini.
Apalagi Pers Indonesia adalah pers terbebas di seluruh dunia. Paling merdeka dan

independen. Pers Indonesia tidak punya atasan, semua yang lain adalah
bawahannya: baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jorok, informasi dan
disinformasi, tuhan dan hantu, semuanya patuh kepada kebijakan dan strategi
redaksionalnya. Pers Indonesia sangat independen, berdiri karena dirinya sendiri,
melindungi dirinya sendiri, setia dan memegang sepenuhnya hak untuk
menghukum dirinya sendiri"
"Jangan lupa, mantapkan hati Gatra, bahwa uemokrasi Indonesia adalah
demokrasi paling fenomenal dan gegap gempita di seluruh dunia. Hendaknya
Gatra berbangga memiliki Pemerintah yang paling sukses dan prolifik di seluruh
dunia.
Gatra adalah bagian dari bangsa tertangguh dan paling proffesional me-maintain
kehidupannya masing-masing dibanding seluruh bangsa-bangsa lain di dunia.
Manusia Gatra adalah manusia Indonesia, manusia paling tahan uji, paling banyak
tersenyum dan tertawa, bahagia, penyabar, pemaaf dan pelupa di seluruh dunia.
Gatra adalah pelaku kebudayaan Indonesia, kebudayaan yang terkaya, paling
ragam dan tak terbatas kreativitasnya sehingga tidak memerlukan bentuk dan
kepribadian.
Para pekerja Gatra adalah juga bagian yang indah dari dinamika kehidupan
beragama di Indonesia, yang paling matang di seluruh dunia. Kematangan itu
sedemikian rupa membuat para pemeluknya sudah sempurna prosesnya, tidak
lagi memerlukan pemikiran, penafsiran, pembenahan atau perbaikan apapun"
"Dan akhirnya, jangan pernah lupa bersyukur Gatra dan bangsa Indonesia
memiliki pemimpin seorang Negarawan tingkat tinggi dan Presiden berkaliber
dunia. Gatra jangan ikuti orang-orang yang dangkal berpikirnya dan sempit
pandangannya, yang selalu mengkritik Presidenmu sebagai pemimpin yang
peragu, lamban, tidak punya ketegasan, tidak punya nyali untuk bertindak
obyektif, atau macam-macam lagi kesimpulan-kesimpulan yang cengeng dan
hanya bersifat impressional. Alhamdulillah, beliau itu manusia yang sangat lembut
perasaannya dan tidak hatinya tegaan. Beliau tidak kuat perasaannya
menyaksikan satu saja warganegaranya yang kesakitan. Beliau pasti akan
membela mati-matian siapapun yang akan dijatuhkan atau disakiti, terutama yang
sudah membuktikan kerja keras dan kesetiaan kepada beliau. Beliau adalah
Panglima Keselarasan".
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009

Tak Ada Cinta di Media: Tribute to Mbah Surip


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 29 Juli 2009 jam 16:34
Ditulis Oleh: Muhammad Taufiq
Saya mengenal Mbah Surip sekitar tahun 2004. Waktu itu SCTV yang beberapa
kali menayangkannya. Tetapi “ledakan” kepopulerannya tidak terjadi. Terhitung
hanya beberapa bulan saja orang mengenal dan membicarakannya. Mungkin
karena kemasan entertaining-nya ga “kena” waktu itu.
Lama berselang, kakek yang kabarnya lahir di Mojokerto 60-an tahun yang lalu ini,
tidak saya dengar sama sekali. Hingga sampai akhir tahun 2006 saya mendapati
kembali pria paruh baya dengan penampilan dan gaya khasnya ini di acara
Kenduri Cinta (KC). Dia selalu menjadi “artis tetap” di acara yang dimotori oleh
Cak Nun (panggilan akrab Emha Ainun Nadjib) ini. Waktu itu KC selalu digelar
sebulan sekali. Namun seiring dengan dialektika yang terjalani, acara yang digelar
setiap Jumat kedua ini hanya tentatif saja belakangan. Ia akan hadir di Taman
Ismail Marzuki (TIM) jika memang “sudah waktunya” untuk tampil.
Begitulah. Setiap ada KC maka di situ pula ada Mbah Surip. Jika Cak Nun dengan
Kyai Kanjengnya ditanggap oleh komunitas tertentu pun, Mbah Surip tidak pernah
ketinggalan nimbrung bersama mereka. Lagu yang dibawakannya juga tetap lagu
yang banyak ditembangkan oleh banyak orang sekarang ini. Alhasil lagu “Tak
Gendong” itu sudah amat akrab di telinga ini sejak akhir 2006. Apalagi buat
orangorang
yang suka nongkrong bareng dengannya di Warung Apresiasi (Wapres)
Bulungan atau komunitas awal KC. Dan sebenarnya tidak cuma lagu itu yang
cukup populer dan banyak diminati oleh jamaah KC. Ada lagu namanya “Bangun
Tidur”. Lagu ini malah sudah jadi semacam lagu wajib di acara yang kumpulan
manusianya disebut dengan ma’iyah (kebersamaan) ini. Selain itu ada juga yang
judulnya “Lagu Siluman”. Wah, yang ini malah lebih nyentrik lagi dari “Tak
Gendong”. Pembawaannya juga jauh lebih nyentrik dari pada klip yang ada di TV.
Keberadaan Mbah Surip di acara yang sering disebut maiyahan ini sering menjadi
penyegar disaat jumud menghinggapi para hadir. Jika penat karena diskusi sudah
terasa maka tampillah si Mbah. Yang hadir pun sontak tertawa, padahal belum
lagi dia bernyanyi. Seperti yang sering kita saksikan di TV akhir-akhir ini, segala
tingkah polanya memang selalu mengundang tawa. Bahasanya yang rada-rada
aneh, keterangannya yang lumayan ngawur namun mengandung unsur surprise,
selalu membuat semua yang hadir tertawa. Apalagi jika tawa khasnya keluar,
membuat yang hadir tambah terpingkal-pingkal. Jika sudah demikian, suasana
segar namun hangat terasa kembali.
Saat itulah kami merasakan cinta – sebuah relasi yang tidak dihitung berdasar
logika untung-rugi. Mbah Surip tampil menyanyikan lagunya karena cinta kepada
kami; kami pun menerimanya dengan penuh kecintaan kepadanya. Tidak ada
yang dibayar maupun membayar di acara ini. Tidak tampak rasa bosan meski
setiap bulan selalu lagu itu-itu saja yang disajikan si Mbah. Semua karena
kecintaan yang hadir kepada satu sama lainnya. Berbicara tentang apa saja
asalkan selalu dialasi oleh cinta. Cinta kepada bangsa, negara, sesama, kepada
Tuhan, alam, dan siapapun serta apapun asalkan pantas untuk didekati dengan
cinta. Namanya saja Kenduri Cinta. Pesta dari, oleh, untuk, dan karena cinta.
Bukan hanya rambut gimbalnya yang membuat pria (yang kabarnya pula) beranak
empat ini menarik. Pembawaan Mbah Surip yang “ultra” poloslah yang justru,

menurut saya, membuatnya unik. Bahkan teramat unik. Mbak Bertha, guru vokal
yang wajahnya juga sering nongol di acara Kontes Dangdut TPI (KDI), menilai si
Mbah sebagai sosok yang amat merdeka. Ia bisa tidur dimana saja dia mau. Dia
tidak tergantung pada tempat tidur untuk bisa tidur. Ia tergantung pada matanya,
yang jika merasa ngantuk ia akan pejamkan saat itu pula. Entah itu di halte, di
cafe, atau dimanapun dia berada. Cak Nun sendiri mengumpamakan Mbah Surip
seperti tahi lalat. Keberadaannya mungkin remeh dan tidak penting. Tetapi ia bisa
membuat manis wajah seseorang. Keberadaan Mbah Surip mungkin tidak
penting. Tetapi ia membuat manis hidup ini. Ia membuat banyak orang terhibur
setiap mereka mendapatinya.
Kepolosan itulah yang mungkin menular pada lagu-lagunya. Jika bukan Mbah
Surip yang membawakan lagu “Tak Gendong”, hasilnya pasti tidak akan seperti
Mbah Surip membawakan. Jadi perpaduan diri dan lagu yang poloslah yang,
menurut saya, membuat lagu yang kabarnya sudah menjadi ring back tone (RBT)
lebih dari sejuta pengguna ponsel ini meledak.
Tetapi rasanya bukan itu semata yang membuatnya jadi terkenal. Bahkan faktor
kepolosan bukanlah faktor yang menjadikannya terkenal. Kepolosan hanyalah
nilai uniknya. Kepolosan adalah “nilai jualnya”. Yang membuatnya jadi terkenal
adalah media. Media massa telah membuat si Mbah menjadi lebih tenar dari
sebelumnya. Sekarang hampir setiap orang mengenalnya. Orang-orang dari
Merauke hingga Sabang. Mungkin juga di negeri tetangga. Lagunya dinyanyikan
oleh banyak orang, dijadikan RBT, dan sebagainya.
Jadwal show pun berdatangan. Dari stasiun TV ke TV lainnya. Dari satu kota ke
kota lainnya. Tidak hanya untuk bernyanyi, tetapi juga untuk acara komedi, reality

show, infotainment, dan lain-lain. Managernya sampai kewalahan mengatur


jadwal kabarnya.
Mbah Surip pun jadi OKB (orang kaya baru). Sebuah mobil sudah dimilikinya.
Rumahnya tambah ciamik. TV-nya baru, lebih besar dari sebelumnya. Royalti dari
RBT lagu “Tak Gendong” saja kabarnya sudah 4,5 milyar. Itu pun cuma dari satu
provider, belum dari provider yang lain. Belum lagi honor dari show-show yang
lain. Singkatnya Mbah Surip sudah jadi selebritis baru. Keberadaannya sudah
terima lebih luas. Tidak hanya di komunitas-komunitas yang “kering” saja seperti
selama ini.
Namun itulah yang saya wanti-wanti – sesuatu yang menjadi semacam
kegelisahan saya. Saya teringat sebuah “teori” dari salah seorang teman. Dia
bilang, “siapa yang dibesarkan oleh media, akan dikecilkan oleh media suatu saat
kelak”. Sekelebat kemudian saya teringat pada Aa Gym, dai kondang yang pernah
dimanja oleh media. Di siarkan kemana-mana. Setelah dia mempraktekkan
poligami, media pun seolah “membunuhnya”.
Tentu saja saya berharap itu tidak terjadi pada diri unik si Mbah. Saya berharap
pria nyentrik yang ngakunya sudah jalan-jalan ke banyak negara ini tidak “depend
on” media. Tidak keblinger karena besar oleh media. Tidak lupa diri karena
terkenal. Tidak berubah karena sudah masuk TV, dan tidak-tidak sejenis lainnya.
Pendeknya tidak “kalah” oleh media. Saya tidak mau melihat si Mbah yang
merdeka menjadi terjajah oleh dan karena media yang korporatis seperti
sekarang ini. Lebih dari itu saya berharap Mbah “nyentrik” Surip ini bisa lebih
besar dari kebesaran yang dibuat oleh media padanya.

Kadang-kadang dalam hati kecil saya berdoa agar si mbah tidak lama-lama
“dipake” oleh media. Bukan karena tidak mau si mbah jadi terkenal, kaya, atau
yang lainnya. Tetapi karena media tidak memiliki CINTA.

Tak Pernah Berpikir


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 23 November 2009 jam 10:05
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Saya tak pernah berpikir. Pikiran saya bukanlah saya, sebagaimana peci bukanlah
saya, tangan saya bukan saya. Yang berpikir itu otak saya, artinya tidak seluruh
peralatan diri saya yang lain perlu terlibat berpikir. Jadi energi yang diperlukan
oleh otak saya untuk berpikir dibimbing dan di-supply oleh akal. Akal itu sejumput
rahasia Tuhan yang menyentuh syaraf otak tertentu. Melalui sentuhan ini saya
mendapatkan gagasan, ide, visi, atau apapun yang disebut kreativitas. Jadi saya
tidak kreatif, kreativitas hanyalah supply kepada saya. Kalau gagasan harus diolah,
tinggal kita cemplungkan ke dalam sistem kerja otak, dan nanti ia bekerja sendiri,
kita tinggal menunggu hasilnya, sambil main kartu, mengaji, atau bercanda
dengan anak. Jadi sang Supplier tidak pernah aus. Tuhan tidak pernah berakhir,
tinggal saya siap nempel Dia terus atau tidak.

Terima Kasih: Engkau Jadikan Aku Raja


oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 06 Juli 2009 jam 15:49
Nuwun Sewu,
Istana Negara - 1885
Sebuah tempat tinggal selalu mencerminkan siapa penghuninya. Rumah adalah
tempat tinggal manusia. Sesungguhnya setiap manusia berada dalam derajad
yang sama – awalnya bayi yang fitri. Kemudian manusia merasa perlu berbeda
(being recognized) dan membedakan diri (self recognition) dengan yang lain
dalam berbagai strata. Strata yang dibuat oleh manusia untuk manusia lainnya.
Tempat tinggal orang miskin disebut gubug, orang yang sangat miskin di ‘gubug
reyot’. Tempat tinggal orang kota yang mulai kaya yang bertumpuk-tumpuk yang
disebut apartemen. Tempat tinggal orang kota tidak kaya yang juga
bertumpuktumpuk
disebut ‘rumah susun sederhana’. Tempat tinggal orang bijak yang
mengajarkan kebajikan menyebutnya ‘padepokan’. Dan tempat tinggal seorang
raja disebut “istana (palace)”.
Ratu-ratu dan raja-raja di dunia selalu tinggal di istana.
Indonesia tersurat sebagai Negara dalam tatanan Republik, seperti Amerika
Serikat dimana Presiden disebutkan sebagai kepalanya. Indonesia serupa dengan
Amerika Serikat, yang berputar melingkar dalam “orbit demokrasi” ketika
menjalankan tata pemerintahannya. Serupa dan memang berbeda!.

Pusaran orbit demokrasi Amerika terbatas lagi monoton. Terbatas hanya dua
partai – tak ada pilihan lain. Hanya dengan dua partai ini, berdemokrasi di
Amerika sesungguhnya lebih mudah dan lebih murah. Dan ketika seorang
Presiden sudah terpilih, sang Presiden ini hanya bertempat tinggal di “rumah
putih (white house)”.
Ke-Indonesia-an adalah kreatifitas. Walaupun demokrasi yang berlaku saat ini
adalah hasil contekan, namun kreatifitas politisi Indonesia mampu membuat
demokrasi yang monoton dan membosankan jadi semarak dan mengesankan.
Orang Amerika tidak serius dalam “pesta (party)”, karena orbit demokrasinya
hanya diramaikan hanya oleh dua partai (dual parties).
Demokrasi Amerika adalah demokrasi pelit, sepi dan membelenggu hak azasi.
Bagi politisi Indonesia sebuah pesta harus semarak, tak pelit, sedikit genit dan tak
perlu ‘ngirit’, makin banyak partai makin bergengsi. Para politisi Indonesia
memang “serius pesta”. Sebuah pesta harus meriah dan megah. Tak perlu irit,
walupun ‘ngutang’ mereka tak sayang uang. “Wong untuk rakyat kok sayang
uang!. Biar hutang besar yang penting bukan saya yang bayar! Biar banyak hutang
yang penting nampang!” kira-kira begitu (politisi memang paling suka kira-kira).
Sejak merdeka di tahun 1945, Indonesia diperintah oleh seorang Presiden yang
“dirajakan” oleh rakyatnya sendiri. Presiden Raja ini berkuasa dan bertahta di
istana – Istana Merdeka. Sang Raja didampingi oleh permaisuri (kadang ada
selirnya juga) yang dinobatkan sebagai “Ibu Negara”. Dan anak-anak sang raja
diperlakukan sebagai pangeran (prince/princes) yang selalu menjadi berita,
diberikan “privilege” dan dihormati dimana-mana. Layaknya seorang raja, ia perlu
membangun lingkaran-lingkaran yang teridiri dari para punggawa setia untuk
mengamankan dan menyamankan kedudukannya. Bahkan sang Presiden Raja
memiliki beberapa penasehat spiritual dan perlu “lelaku” untuk menjaga
kewibawaannya.
Bukankah dahulu Pak Amin Rais banyak disebut orang sebagai “the King maker”
yang berhasil menempatkan Gus Dur menjadi Presiden menggantikan Pak BJ
Habibie?. Sebutan ini benar, dan benar-benar “bener” menempatkan Gus Dus
sebagai Presiden Raja yang memerintah dari Istana Merdeka. Bahkan ada sebuah
stasiun Televisi yang menayangkan program “Menuju Istana” bagi calon Presiden
Raja yang hendak bertahta.
Bagi Presiden Raja, telah tersedia pula Istana persinggahan untuk keluarga dan
kerabat kerajaan kepresidenan. Ada Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Tapak
Siring siap dikunjungi untuk besantai.
Istana (palace) adalah tempat raja,ratu atau kaisar – house of emperor. Jika ada
yang mengatakan bahwa sebutan “istana” hanyalah istilah, maka apakah hanya
tersedia “satu istilah” yang layak dan pantas bagi seorang Presiden yang
benarbenar
mempresideni Negara ini – istana?. Man act upon his words and verbal
behavior show the color of his character.
InsyaAllah masih ada sinar mentari di tanggal 8 Juli.
Silahkan mencontreng wajah Presiden Raja, setengah Presiden setengah Raja atau
Raja yang jadi Presiden – Selamat menikmati puncak kreatifitas demokrasi yang
berseni.
Wis bener, wis apik!..Cocok.
Ngapunten,
Salamku yo dongaku,
Pudjidiot
Tiga Substansi Dari Peristiwa Hijrah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 18 Desember 2009 jam 9:54
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Pertama.
Momentum hijrah itulah yang dipakai untuk menandai satuan waktu, awal tahun
dan abad Islam. ‘Ilmu’nya di sini terletak pada kenyataan bahwa bukan hari atau
tahun kelahiran Muhammad saw. yang dipakai sebagai patokan awal abad Islam,
sebab fokus ajaran Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah
yang dititipkan melalui ia.
Islam tidak bersikap feodal dan verted-interest dengan memonumenkan
Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih sayang Allah
yang dibawanya untuk seluruh ummat manusia. Muhammad bukan founding
father of Islam. Agama tidak didirikan oleh Nabi, Rasul atau manusia. Agama
bukan bikinan atau ciptaan yang selain Allah.
Otoritas atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah, dan para
Nabi hanya menyampaikannya. Bagi tradisi sifat Allah, Nabi dan Rasul boleh tidak
ada. Allah berhak tidak menciptakan Muhammad, tidak memilihnya sebagai
kekasih, atau melakukan apapun. Jadi, sekali lagi, yang penting adalah ‘hijrah’nya,
bukan ‘Muhammad’nya meskipun karena etika historis dan logika cinta:
Muhammad kita sayangi sesayang-sayangnya sebagaimana Allah menyayanginya
melebihi sayangNya kepada apapun dan siapapun saja.
Kedua.
Hijrah sebagai acuan pokok ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam.
Anda jualan bakso itu menghijrahkan bakso ke pembeli dan si pembeli
menghijrahkan uang kepada Anda. Anda buang air besar itu menghijrahkan
sampah biologis ke lubang WC. Anda nikah dan bikin anak itu menghijrahkan
sperma ke ovum istri. Anda juga menghijrahkan Suharto ke rumahnya,
menghijrahkan Habibie ke Binagraha dan seterusnya. Anda menghijrahkan uang
Anda ke brangkas bank. Anda menghijrahkan diri Anda ke rumah Allah.
Hidup adalah hijrah dariNya menuju keharibaanNya. Hidup hanya berlangsung
dalam konsep dan mekanisme hijrah. Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau
apapun saja dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah. Yang menjadi masalah dan
pilihan manusia adalah pengakuan dari mana ia berhijrah, ke mana ia sedang dan
akan menghijrahkan dirinya, dengan cara apa ia melakukan hijrah.
Anda menghijrahkan uang dari kas kantor ke kas keluarga: pertanyaannya terletak
pada bagaimana konteks dan nilai (akidah, akhlak, hukum) hijrahnya uang itu.
Yang disebut Era Reformasi, jatuhnya Suharto, kerusuhan Ambon, pekikan Aceh,
kasus Bank Bali, tempe-delenya perilaku politisi, sidang MPR dan apapun diikat
oleh bagaimana nilai seseorang menghijrahkan dirinya, aspirasinya, political willnya.
Di situ terdapat langit nilai baik buruk, benar salah, indah dan jorok; serta
terdapat acuan formal: legal atau illegal, sah atau tidak sah, halal atau makruh
atau haram atau malah wajib, dan seterusnya. Menjadi jelas bahwa empasis nilai
Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada nilai Hijrah. Muhammad wajib
patuh kepada nilai hijrah, terikat untuk menjadi uswatun hasanah atau teladan,

dan tidak boleh melanggar kasih sayang Allah yang sudah Ia rumuskan dalam Al-
Qur’an, serta yang juga dicipratkan melalui subbah-nya atas Muhammad sendiri.
Ketiga,
Metodologi dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh Rasulullah
saw. begitu tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan
Kaum Anshor. ‘Mempersaudarakan’ ini sangat luas maknanya:
mempersaudarakan dalam konteks transaksi kultural, sosiologis, politis dan lain
sebagainya. Negara Indonesia kecolongan kerusuhan di Ambon, Timor Timur dan
Aceh dll. Karena konsep persaudaraan mereka tidak digali, diterjemahkan dan
dirumuskan ke dalam konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan yang jelas.
Ketidakjelasan konsep itu membuahkan ketidakmenentuan komunikasi, etika
pergaulan antar kelompok, kecurangan politik, dan menjadi lebih parah lagi
karena kepemimpinan ilmu kenegaraan Indonesia tidak bersedia mensyukuri ilmu
dan ajaran Allah yang mendialektikakan konteks-konteks horisontal dengan
vertikal. Kalau tidak karena perlindungan dan kasih sayang Allah kepada rakyat
kecil, negara Indonesia tidak akan sanggup menyelamatkan dirinya sendiri.

Warung Jodoh
by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib,
Mungkinkah di warung kopi, pelanggan ketemu jodoh?
Tentu saja mungkin "... lnna khalaqnakum min dzakarin wa untsa . lita'arafu. ." --
kata Tuhan -- ...
Kuciptakan kalian menjadi lelaki dan wanita ...untuk saling berkenalan..."
Saling berkenalan. Boleh di asrama, di terminal, maupun di warung kopi. Mencari
jodoh itu mulia. Dan kalau toh pelanggan masih gagal ketemu jodoh,siapa tahu
malah penjaga warungnya yang ketiban pulung.
Misalnya seorang pelanggan wanita usul: mBok tolong bikin kopi campur jahe!--
Disebut oleh pelanggan lelaki: Lho, kok seleranya sama dengan saya?
Nah, dialog, lita'arafu. tinggal diteruskan.
Saya sendiri beberapa bulan terakhir ini banyak keliling ke berbagai tempat di
Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalam rangka 'mencarikan jodoh'seorang
karib yang nasibnya agak malang. Aduh tapi susahnya. Kalau pas dia mau,
cewenya yang ogah. Kalau cewenya ngebet, dia yang kurang stroom.
Padahal sudah empat bulan ini karib kita itu puasa tak makan, Prihatin.
Apakah ia lelaki tipe Siti Nurbaya decade? Yang jelas ia belum pernah pacaran dan
tampaknya tak becus pacaran. Jadi, cita-citanya bukan pacaran,melainkan kawin.
Kalau bisa bulan ini juga, setidaknya tahun ini.
Lha wong uslanya sama dengan saya. Nanti selak ketuwan banget.*
Ternyata ia juga tak siap untuk "nyiti nurbaya". Artinya ia tak siap untuk tiba-tiba
kawin dan segala risikonya dihadapi dengan segala gairah belajar dan
kematangan. Soal cinta, akan tumbuh bersama kerja dan partisipasi.
Ternyata dia butuh approach. Dialog. Proses, yang sebenarnya biasanya --
ditempuh lewat pacaran. Jadi, susah.
Sementara banyak gadis yang saya pertemukan dengannya segera terjebak oleh
pemandangan kulit luar.
Karib saya ini tidak cakep, pakaian sama sekali tidak ngepop. Pokoknya tak
menarik. Segera dia tak lulus ujian pertama di mata perawan.
Apaagi kalau 'mata ujian'-nya' seperti yang sering terbaca di rubrik. Kontak Jodoh.
Misalnya, "Dicari lelaki usia maksimal 35 tahun, sarjana, punya pekerjaan tetap,
bertanggung jawab..." Dan yang mencari itu gadis 35 tahun,sarjana muda,
pekerjaan tetap dan mengaku setia.
Lha karib saya itu pasti tak lulus. Dia sudah 36 tahun. Bukan sarjana dan tak punya
kerja tetap: dia hanya asisten sutradara film yang sudah cukup kaya dan mampu
mengangkat ekonomi Ibu dan 8 saudara-saudarinya. Apakah ia bertanggung
jawab dan setia? Harus kawin dulu, untuk membuktikan tanggungjawab dan
kesetiaannya? Selebihnya, ia 'sekadar` lelaki yang baik, amat baik, amat santun,
hati lembut, penyabar, rajin shalat. Sedemikian rupa sehingga akan sangat banyak
sahabat-sahabatnya yang cemburu dan merasa kehilangan kalau ia nanti kawin.
Tapi ya Gusti yang dicari wanita mungkin lain, atau mereka tak tahu bagaimana
tahu apa yang dicarinya.
*) Maksudnya, "keburu tua".

Hujan Al Mukarram
Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan
supaya agak sedikit waras.
Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus
saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.
Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya
seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di
Arab Saudi.
Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau
hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.
Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan
hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan.
Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah
kita. Entah kenapa pakaian kik tidak bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala.
Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kitapun lari berhamburan seolah pasukan Israel
datang.
Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati,
sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan
bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.
Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir,
mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi
kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk
menyindir manusia yang pintar berkhianat.
Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.
O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plaastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa
dicuci.
Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya
badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya
untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan
itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.
Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti
menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.
Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!
Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah
memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas
kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu
primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh
sekali nilai-nilai kita ini!
Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja,
masih dianggap belum terlalu gila.
Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuuk beberapa
kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu
secara pribadi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996)

LISTRIK MAJAPAHIT
Apakah satu dua malam akhir-akhir ini listrik di tempat Anda suka ngaso*) juga
seperti di kampung saya?
Derita dan keterpepetan membuat orang sewot, marah, jengkel, atau justru kreatif.
Paling tidak, kita jadinya bisa menyelenggarakan diskusi gratis, tanpa budget
macam-macam termasuk "uang tak terduga" yang sudah kita duga secara persis.
Begitu sang listrik 'tidur', teman-teman di rumah kontrakan saya mengomel. "Terasa
sekali betapa kita ini tergantung kepada alat-alat yang kita ciptakan sendiri," kata
seseorang.
"O, ya! yang lain nyeletuk, "Di zaman Maapahit sudah ada minyak tanah atau belum
ya?"
Kemudian diskusi menjadi riuh, dan saya bersyukur tidak sedang ada tamu seorang
sejarawan. Sebab dia bisa dijawabnya secara persis.
Kita tahu Gajah Mada bersumpah, Ranggalawe cemburu sosial, Raden Wijaya
menjebak pasukan Cina, Suhita didongengkan sebagai Kencanawungu, Perang
Bubat membawa dampak psikologis berabad-abad.

Tapi kita tak tahu, dan tak berminat tahu, bagaimana persisnya kostum harian orang
Majapahlt, apakah mereka pakai jarum untuk dondom,**) atau bagaimana orang
dusun misuh"*) waktu itu, atau apa saja kek.

Kita hanya tahu hal-hal mengenai kekuasaan. Kita membikin buku pelajaran dan
mengisi jiwa siswa-siswa sekolah dengan hal-hal mengenai kekuasaan. Kekuasaan.
Kita mengerti Gajah Mada, karena diejek, cancut tali wanda, rnenggenggami
kerajaan-kerajaan di sekitarnya, nglurug****) sampai Muangthai segala. Termasuk
Ekspedisi Pamalayu yang berkepanjangan.
Lepas dari kita setuju atau tidak, tapi jarang awak berpikir bahwa Gadjah Mada
melakukan itu tanpa walky talky, tanpa teknologi militer yang kini bisa memusnahkan
bumi dengan sejentikan jari, tanpa kapal berapi, tanpa pesawat tempur, tanpa satelit
yang bisa mendeteksi dari angkasa - apakah di Kecamatan Wonokromo ada pabrik
senjata atau tidak.
Lha sekarang ini listrik mati seperti kehilangan Tuhan rasanya. Kalau motor macet,
kita sudah hampir tak punya mentalitas untuk pakai sepeda. Kalau baju robek, malu
pakai - seolah sama dengan dosa tak sembahyang Jumat. Kita juga tak berani jalan-
jalan di Malioboro tanpa sepatu atau sandal.

*) Ngaso: istirahat.
**) Dondom: menjahit tidak dengan mesin.
***) Misuh: mengomel.
****) Nglurug: bertandang.
PRIHATIN DULU, PRIHATIN KEMUDIAN
Tiap hari Anda naik biskota ya? Memang terkadang susah bukan main. Panas,
berjejal-jejal. Apalagi kaiau pada jam orang pergi atau pulang kerja, sekolah, kuliah.
Kita bergelantungan. Padahal babi, sapi atau kuda, diangkut di atas truk dengan
diatur balk-balk. Memang kita tidak ditali seperti binatang-binatang itu, tapi yakin
haqqulyaqin, jelas ada tali yang terasa keras menjerat leher nasib kehidupan kita.
Dan itu amat terasa
tatkala tubuh kita terhimpit-himpit.
Bahkan wanita-wanita merelakan bagian-bagian tubuhnya bertempelan dengan laki-
laki. Ada semacam moralitas khusus dalam budaya naik bis. Moralitas itu tak berlaku
begitu kita turun bis. Kalau kita terus menempel di tubuh wanita sekeluarnya dari bis,
akan terjadi dua kemungkinan. Kita didamprat dan dikeroyok oleh banyak lelaki lain
yang dijamin pasti membela sang wanita. Atau kemungkinan kedua kita justru dapat
jodoh.
Pokoknya naik biskota itu perlambang dari marginalitas. Keterpinggiran,
keterpojokan.
Pusat sosial ekonorni adalah kalau Anda naik kendaraan pribadi. Nukleolusnya
adalah kalau kendaraan pribadi Anda berganti sesuai dengan tawaran mimpi baru
dari produser kendaraan.
Kita bertegur sapa, dalam bas itu, dengan beberapa orang yang berdiri
mernbungkuk karena tipe biskota ini sebenarnya dirancang khusus buat orang Suku
Kerdil.
"Capek membungkuk, Mas?"
"Yaa, kalau tidak salah memang capek...
"Prihatin dulu, Mas"
Lelaki itu tersenyun masam.
Tapi kita mungkin didera oleh pertanyaan kita sendiri: Prihatin dulu, apa
maksudnya? Sekarang menderita dulu, kelak tidak, begitu? Kelak kita bisa punya
kendaraan pribadi? Bagaimana kalau sarnpai tua tak juga bisa bell? Apakah ada di
aritara kita yang ngobyek entah bagaimana--terrnasuk korupsi di kantor--agar
terbebas dari keprihatinan?
Sebenarnya keprihatinan itu apa? Keprihatinan ialah naik biskota? Naik biskota itu
mewah. Bahkan naik sepeda atau jalan kaki itu juga bukan penderitaan.
Keprihatinan ialah makan-minum dan berpakaian bertempat tinggal pas-pasan? Pas:
itu yang ideal menurut semua agarna. Artinya, keadaan pas-lah yang paling
menjamin kebahagiaan.
Tetapi memang, keprihatinan atau penderitaan ialah kalau sebagian manusia punya
lima mobil serumah sementara lainnya harus ngonthel sepeda atau berdesakan di
kendaraan umum. Penderitaan ialah apabila ketidakadilan diciptakan dan disistemi
sendiri oleh sebagian manusia atas banyak manusia lain.
Maka, tuan-tuan, belilah mobil dengan harga kerja objektif Anda. Kasih itu mobil
untuk keperluan siapa saja sekitar Anda yang memerlukan, sementara Anda silakan
tetap naik biskota tanpa merasakan bahwa itu adalah keprihatinan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkor Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Kelugasan Madura vs CV Politik Pribadi


Orang Madura, juga serius dan lugu dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan
sesuatu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya.
Kalau ia megungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang
begitulah muatan yang ada dalam bathinnya. Dan itulah perbedaan utama dengan
misalnya, orang Jawa dan politisi.
Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik --mengatakan
"Ya", jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia
dengarkan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia
masih menyimpan "tidak" di ruang dalam bathin mereka atau minimal dalam
gumpalan mondolan blangkon kepala mereka ; tidak usah terkejut, apabila ia tetap
menyimpan 'tidak' itu sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidakmenentuan "ya" dan
"tidak" mereka bisa disebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan
atas Anda.
Politisi bisanya kan juga begitu. "Ya" dan "tidak"-nya politisi bergantung kepada titik
proyeksi yang diarahkannya, atau kepada tingkat konsesi yang diam-diam
ditergetkan. Politisi yang saya maksud bukanlah pejuang nilai atau pejuang
demokrasi atau pejuang harkat kerakyatan di jalur politik, melainkan ia yang
memperjuangkan keperluan pribadinya di dalam struktur kekuasaan politik, di mana
demokrasi dan kedaulatan rakyat adalah alat produksi atau komoditas dari CV Politik
Pribadi yang didirikannya.
Sedangkan orang Madura, meskipun pasti tidak semua, relatif berbeda.
Kalau ia mengucapkan sesuatu, biasanya karena memang demikianlah isi hati
pikirannya. Kalau ia mengungkapkan sikap tertentu kepada Anda, biasanya karena
memang begitulah muatan batinnya. Memang mungkin juga sih, kita bisa
menemukan orang Madura yang bisa kita kasih uang sekedar sepuluh ribu rupiah
untuk ikut unjuk rasa yang kita rekayasa buat mempertahankan bupati dari
jabatannya, meskipun kesalahan Pak Bupati sudah sangat ironis, memalukan dan
menyangkut nyawa sejumlah rakyatnya sendiri.
Namun juga tidak sukar Anda menemukan seorang Kyai lokal Madura umpamanya,
berkata di depan bupati :
"Anno, Pak Bagus, tolong Pak Bupati jelaskan semua rencana pembangunan
maupun proyek yang sedang berlangsung, rancangan dan konsepnya bagaimana,
biayanya berapa, pengeluarannya untuk apa saja, ada kecelakaan atau tidak, dan
lain sebagainya. Soalnya uang itu, kalau 'dak salah 'kan uang rakyat.
Jadi Pak Bupati harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kalau tidak,
kasihan arakyat, Pak.
Moso' sudah PJPT kedua begini, rakyat dibiarkan buta huruf terhadap
pembangunan. Jangankan terhadap makna pembangunan, lha wong terhadap
angka-angka dan manajemennya saja, buata huruf..."
Pak Kyai itu, saya saksikan dengan kepala sendiri, mengucapkan itu dengan wajah
polos dan hampir tanpa ekspresi. Ia begitu bersungguh-sungguh dengan
ucapannya, dan saya sampai detik ini belum sanggup membayangkan bahwa hal
seperti itu, mungkin terjadi di Jombang, Klaten atau atmosfir budaya kekuasaan
Jawa lainnya. Jawa juga "menguasai" Madura, tetapi di Madura, kebanyakan bupati
atau tokoh-tokoh berwenang lainnya sangat sukar untuk berlaku sebagai "rakyat
kecil" sebagaimana Pak Camat bisa dengan gampang berbuat demikian di Jawa.
Pada kesempatan lain, saya pernah diundang untuk menghadiri dan sedikit urun
bicara dalam acara khaul seorang kyai besar masa silam yang diperingati hari
kewafatannya dengan pengajian dan tahlilan besar.
Terus-terang, biasanya saya sambat dan jengkel oleh bertele-telenya ritus acara-
acara yang diselenggarakan oleh komunitas Muslim Indonesia.
Bahkan pun jika yang menyelenggarakan adalah "kaum modernis" seperti PMII, HMI
dan lain sebagainya. Biasanya, pembawa acara ngomongnya menggunakan bahasa
Indonesia sinetron, urutan acara dijejali oleh sangat banyak sambutan yang isinya
90% pura-pura, dan keseluruhannya ditaburi oleh formalisme dan ritualisme yang
membosankan.
Lha, di Madura ini, tiba-tiba saja ada santri naik podium, kasih salam, kemudian
langsung membacakan ayat-ayat suci Qur'an. Sesudahnya, pembawa acara, yang
tidak naik podium, berkata: "Sekarang langsung saja kita persilahkan kepada Cak
Nun..."
Sambil naik mimbar, saya mikir-mikir. Alangkah efektif dan efisiennya kawan-kawan
Madura ini.
Tapi memang semua yang hadir sejak sebelum berangkat sudah tahu ini acara apa,
dalam rangka apa, maknanya kira-kira apa, dan lain sebagainya, sehingga sama
sekali tak diperlukan orang-orang harus manggung untuk menjelaskan itu semua.
Maka sayapun langsung "nyanyi" dua jam penuh.
Namun, di tengah-tengahnya, tampakmoleh saya sejumlah pejabat, berpakaian
Safari dan lainnya baju batik panjang. Mereka turut mendengarkan dengan serius,
tetapi juga saya mereasakan bahwa ada yang tidak sreg dalam batin mereka. Dan
itu saya ketahui sesudah acara, yakni ketika kami ramai-ramai makan siang.
Tampaknya ada semacam protes dari wilayah birokrasi, kenapa sambutan yang
sudah dipersiapkan capek-capek, tidak diberi kesempatan. Maka saya dengarlah
suara keras dan lugu salah seorang kyai: Lho Pak. Kalau kami diundang ke kantor
Kabupaten, kami disuguhi teh botol, dan snack, lantas kami disuruh mendengarkan
pengarahan. Lha sekarang Bapak-bapak ke sini kami sembelihkan kambing-
kambing dan ayam. Jadi silahkan menikmati keikhlasan kami dan silahkan
mendengarkan!"
Hendaknya Anda ketahui juga, bahwa hanya di Madura saya menjumpai adegan di
mana ketika saya sedang berapi-api bagaikan Nabi Sulaiman yang sedang
berpidato di depan massa jin, mendadak seseorang berdiri dan mengacungkan
tangan sambil berteriak: "Cak! Ucapan ayat Sampeyan itu, keliru!"
(Emha Ainun Nadjib/"Demokrasi Tolol Saridin" (Folklore Madura)/Zaituna
(Progress)/1998/PadhangmBulanNetDok)

Buang Sial ke Singapura


Alkisah, bersepakatlah pengusaha yang muda tiga sekawan untuk ber-weekand ke
singapura. Yang satu, Tigor, berasal dari Batak, lainnya, Sutrimo, asli Jawa, lainnya
lagi, Abdul, dari Madura.
Sabtu sore ngumpul di Cengkareng, langsung bareng ke Singapura, dan paginya,
atau setidaknya siang harinya, balik lagi ke Jakarta. Soal apa alasan kepergian
mereka kepada istri masing-masing, Ente pasti cukup profesional untuk mengarang
sendiri. Terserah saja apa, tergantung bagaimana Ente sendiri biasanya
mengelabuhi istri Ente.
Memang ruginya orang punya istri adalah bahwa ia punya kemungkinan untuk
menyeleweng. Kalau bujangan, pasti bersih dari penyelewengan. Kalau Ente
seorang suami, begitu lirikan Ente ke seorang cewek mengandung sedikit saja virus
napsu, berarti Ente menyeleweng dari istri dan salah-salah bisa dituduh berzina
mata oleh sebuah sekte agama.
Tapi kalau Ente bujangan, biar melirik sampai melorok, biar melilit sampai melotot:
kan tidak menyeleweng namanya. Jadi, lelaki yang kawin, ia bukan saja sendang
menggantikan kemerdekaan dengan penjara, tapi juga memperangkap diri dalam
kans penyelewengan. Kok mau-maunya!
Tetapi apakah tiga pengusaha muda kita ini sendang merancang penyelewengan di
Singapura? Wallahu' alam. Tanyakan saja langusng kepada Tuhan yang tahu persis
apa isi hati mereka, sebab kalau tiga suami muda itu yang Ente tanyai, pasti tidak
ngaku.
Alhasil sampailah mereka di Singapura. Singkat kata, mereka langsung cari hotel
bintang tujuh. Tapi rupanya semua orang se-Asean ini sedang mengincar Singapura
untuk bermalam Minggu. Sehingga di mana-mana hotel penuh. Tiga pengusaha
muda kita ini hanya mendapatkan satu kamar, itu pun tingkat 63. Sudah mepet sama
lapisan ozon. Dan gampang diserempet oleh lalu-lalang makhluk angkasa luar.
"Tapi kenapa susah? Untung masih dapat kamar. Toh kita tidak ke sini untuk tidur.
Toh semalaman nanti kita akan cari hiburan di luar!" kata Sutrimo, mengeluarkan
kebiasaan etnisnya untuk selalu merasa untung dalam situasi macam apapun.
"Ah, kau ini!" sahut Tigor. "Tingkat 63! Jauhnya itu! Lebih jauh dibanding Jakarta-
Singapura, bah!"
"Lho, masih untung kita dapat kamar!"
"Masih untung! Masih untung! Kalau ban mobil kau meledak, kau bilang 'Masih
untung bukan as-nya yang patah!' Kalau as mobil kau patah, Kau bilang 'Masih
untung bukan tulang punggung kita yang patah!"
"Lha maunya kamu dapat kamar di tingkat berapa?" Tiba-tiba Abdul nyeletuk.
"Ya 3 kek, 4 kek, atau 5 okelah!" jawab Tigor.
"Kalau begitu kita pindahkan saja kamar kita ke tingkat yang kamu senangi."
"Sialan kau!"
"Atau tingkat 63 ini kita sepakati saja sebagai tingkat 3."
Tapi memang tak ada pilihan lain. Dan karena itu kita singkat saja cerita ini: mereka
OK di tingkat 63, menaruh koper kecil mereka masing-masing, pesan makanan kecil,
dan telepon sana-sini untuk berorientasi menentukan ke klab malam mana yang
paling manis untuk bermalam Minggu.
Kesepakatan dicapai. Usai makan mereka langsung turun ke lobi, ambil taksi,
berangkat cari restoran yang harganya jangan sampai murah, sambil nunggu waktu
sebelum ke klab malam.
Kemudian segala sesuatunya ditumpahkan. Keringat diperas. Gejolak-gejolak
kelelakian dihempaskan. Minum-minum. Ajojing. Ganti Hostess beberapa kali.
Pokoknya segala kemungkinan kehidupan malam di tempat itu mereka habiskan dan
tuntaskan.
Sehingga ketika dinihari tiba, loyo beratlah mereka. Mereka balik ke hotel dengan
badan Hollyfield di ronde 10 dan 11 pertarungannya dengan Bowe. Dan tatkala tiba
di hotel, badan mereka menjadi lebih parah bagaikan tubuh Razor Ruddock
dihancurkan oleh Lennox Lewwis.
"Lift-nya kebetulan macet," kata Sutrimo kalem.
"Mbahmu!" sahut Tigor menjawa-jawakan diri.
"Ya, jalan kaki. 'Kit-sedikit nanti 'lak sampai!" sambung Abdul.
Mereka terdudu di dekat lift. Runding. Mereka berpendapat bahwa harus diciptakan
situasi bersama agar perjalanan menuju tingkat 63 tidak terlalu melelahkan.
Akhirnya sepakat: setiap orang harus bercerita, mendongeng atau apa saja,
sepanjang 21 tingkat. Jadi ti orang pas 63 tingkat.
Naiklah mereka. Lemes bukan main. Kaki bagai tanpa tulang dan tidak berotot.
Langkah amat berat. Tangan mereka terus berpegangan di tanganan tangga atau
tembok.
Pertama giliran Sutrimo berkisah tentang pertandingan sepakbola antara
kesebelasan Keraton Solo melawan Yogya. Setiap kali striker Solo berhasil
membawa bola ke depan kiper Yogya, sang priyayi Ngayoja ini justru minggir,
membungkuk-kan badan, sebelah tangannya memegang burung sementara tangan
lainnya mempersilahkan: "Monggo Mas, dimasukkan saja bolanya, ndak usah
pakewuh!"
Si striker Solo berhenti dan menjawab: "Ah, nanti saja, gampang. Kami tidak
tergesa-gesa, kok."
Kejadian yang sama berlangsung ketika striker Yogya berhadapan dengan kiper
Solo. Monggo-monggoan dan nanti saja nanti saja. Akhirnya pertandingan berakhir
draw, sehingga diselenggarakan sarasehan di tengah lapangan, dihairi oleh ofisial
kedua kesebelasan, seluruh pengurus PSSI yang hadir, plus pak RW, Danramil,
Penatar P4, dan Ketua Klompencapir. Keputusannya: Juara bersama! Sesuai
dengan asaa yang ada.
Sejumlah kisah yang lain dituturkan oleh Sutrimo. Kemudian memasuki tingkat 22,
giliran Tigor bercerita. Misalnya tentang pidato tokoh masyarakat Batak dalam suatu
upacra sangat resmi memperingati wafatnya Sisingamangaraja sang pahlawan
nasional.
"Hari ini," katanya dengan penuh kekhusukan, "Kita memperingati hari wafatnya
pahlawan kita Sisingamangaraja yang dibunuh oleh Belanda sialan itu...!"
"Wah, payah dia itu!" komentar Sutrimo, "Wong pidato resmi kok pakai ngumpat
segala!"
Demikianlah perjalanan pendakian mereka ke tingkat 63 menjadi tak terlalu
melelahkan. Letih sih, letih, tapi dengan melempar-lemparkan konsentrasi ke
macam-macam hal yang lucu-lucu, kesadaran bahwa mereka sedang letih menjadi
terkurangi.
Apalagi ketika di atas tingkat 43, Abdul mengisahkan tentang pengendara motor di
Sampang yang marah-marah kepada polisi yang menilangnya di jalan karena
melanggar dan ternyata tidak punya SIM.
Memang dia menyodorkan SIM."Tapi ini bukan SIM saudara! Nama dan fotonya
lain!" kata polisi.
Naik pitamlah pengendara motor itu: "Lho Bapak ini kok neh-aneh! Lha wong yang
saya pinjami SIM saja 'dak marah kok malah Bapak yang marah!"
Asyiklah mereka mendengarkan kisah-kisah Abdul. Tapi Abdul ini sendiri malah
keasyikan. Mereka sudah sampai di tingkat 63, sudah berdiri di depan pintu kamar,
Abdul tidak juga berhenti bercerita. Terus saja nerocos.
"Sudah, bah! Bukalah pintu! Mau tidur aku!" protes Tigor tak sabar.
"Nanti dulu," jawab Abdul, "ceritaku belum selesai..."
"Ya, cepat selesaikan saja sekarang," kata Sutrimo.
"Begini..." kata Abdul pelan, "akhir cerita saya ini sungguh-sungguh Happy Ending..."
"Bagaimana itu!" desak Tigor.
Kunci kamar kita tertinggal di mobil..."
(Emha Ainun Nadjib/Folklore Madura (Demokrasi Tolol
Saridin)/Progress/PadhangmBulanNetDok)
Wawancara
SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya
tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan.

Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah
kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari
mempergunjingkan dan menggosipkan orang.

Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa
sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya
saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada
perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau
bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya
sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.

Tuhan mengetahui apa saja,


malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan bukan hanya sekedar tahu ada
peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan hanya sekedar mengerti teknik
wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan tahu persis jumlah korupsi
seorang pejabat. Wartawan tahu tanah yang dikosongkan penduduk itu akan
dikapling untuk proyek apa. Wartawan tahu berapa korban yang sebenarnya dalam
sebuah letusan peristiwa. Wartawan
tahu skenario-skenario apa saja yang disembunyikan dari mata masyarakat.
Wartawan tahu berapa lama lagi akan terjadi devaluasi atau kapan persisnya
seorang raja akan turun takhta. Dan yang terpenting dari semua itu, wartawan tahu
secara mendetail setiap pori tubuh bintang-bintang film tertentu, saya ulangi
--bintang-bintang film
tertentu-- dalam keadaan sangat jujur dan penuh keterbukaan. Foto-foto tubuh yang
innocent, tanpa tedeng aling-aling. Baik yang diambil di lokasi alam, di ranjang
kamar, di atas wastafel, atau sedang bercengkerama dengan kuda.

Saya
buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para bintang
film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film dari
ideologi buka aurat yang makin merajalela.

Kalau
kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran tubuh,
terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi
masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya
sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.

Dan
lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya,
waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya
beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya
mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian
saya memilih jadi wartawan politik saja.

Kenapa?
Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama.
Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum,
dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat
tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur
sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha.
Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah
ditampilkan dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih
indah dari warna aslinya.

Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat
telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan
kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan
kami
juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan pekerjaan,
asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya duit gitu
lho…!

Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan.
Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh
dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya
jumpai
dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia dimana
kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu membeli
celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa sama
sekali.

Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin
menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah
kekurangan lakon. Kita
tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan cara yang lebih canggih.
Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung kita bikin judul yang
mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.

Ternyata,
masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat benci
kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras. Ditambah
dengan makin bodohnya masyarakat modern, buku dan majalahpun harus
mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya
supaya tidak kecelakaan, bagaimana melakukan penyelewengan secara canggih
dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa
keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam hal ini saya telah
mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagogi, pastor dan kiai. Orang bahkan
penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantung
pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup
melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme.
Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme,
lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.

Akan tetapi di
hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal.
Liputan-liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka
pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara
langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang
lelaki bukan seorang wanita.

Kalau mewawancarai presiden atau gubernur, jelas birokrasinya. Tapi


mewawancarai seks? Dimana gerangan seks berada?

Sudah
tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga tinggal
sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.
Seks
itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks, saya
mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin puyeng
oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu memang
religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan manifestasi
dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar dipandang,
didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius hanya
terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan
hewaninya belaka.

Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama?
tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya,
dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa
seks.

Namun,
ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak tahu Mas.
Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun menjawab secara
kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan jalan bersenggama
disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme. Hanya ekstase. Kalau
saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke pelacur begini..!!”

Kemudian di
losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana mahasiswa-mahasiswi
atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa kamar satu dua jam, saya
juga memperoleh jawaban yang mengecewakan,"Gini lho, Mas. Kalau saya sedang
sendiri, saya begitu tergoda oleh seks. Tapi kalau sudah berdua di kamar, paling
jauh yang saya jumpai adalah diri kami sendiri yang berubah menjelma menjadi
kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa yang kami simpan
diam-diam.“

Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak,
jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks.
Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"

"Lho sangat berbeda," kata pemred saya.


"Persenggamaan itu sekedar alat, atau cara, atau tarekat, untuk mencari dan
menemukan
seks. Seks itu suci. Seks itu tinggi derajatnya. Dan derajat kesucian seks tidak
mungkin kamu jumpai di kopel-kopel pelacuran, di losmen penyelewengan atau
wisma skandal, juga tidak di kamar-kamar kost kumpul kebo."

"Ruwet, Pak!” kata saya


"Karena kamu sukanya bersenggama, tapi salah paham terhadaps seks. Kamu
menyamakan
persenggamaan dengan seks seperti menyamakan sembahyang dengan Tuhan,
atau perkawinan dengan kebahagian, atau nasi dengan rasa kenyang. Kalau kamu
sudah tiba di kebahagiaan, perkawinan tak dibutuhkan. Kalau kamu sudah tinggal di
Tuhan, kendaraan sembahyang tak diperlukan. Kalau kamu sudah bersemayam di
dalam seks, persenggamaan tak dibutuhkan.”
"Kalau begitu," kata saya jengkel,"biarlah saya tak pernah tiba pada seks...! []
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Negeri Orang Tertawa
Berpengalaman Dijajah

Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri
saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah,
mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya
potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.

Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya
barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai
negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang
sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang
dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok..
Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka,
dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.

Aliansi anti deportasi di Jakartta melaporkan hanpir 3 juta kasus penindasan atas
tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para
pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air, di
Terminal 3 Cengkareng airpport. Mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh
banyak yang memang menunggu di sana untuk mencari nafkah. Itu membuat
mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan
adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.

Bangsa saya sangat berpengalaman dijajah. Sebagian mereka menunggu penjajah


datang ke kampungnya, sebagian yang lain menyebrang keluar negeri untuk
mencari penjajah.

Tuhan Menyesuaikan Diri Pada Aturan Manusia

Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa
bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekoonmian yang stabil, politik yang
bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami
bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian
sungai, dan kami hiasi dengan pot pot bunga serta burung perkutut.

Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami.
Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada
ilmuwan yang tertarik meneliti frekwensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung,
di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, di tengah kerusuhan,
di gedung parlemen, di rumah ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh
dari motor, kami menudung nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan.
Apalagi orang pintar.

Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala
sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan.
Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat
kuno yang sombong dengan jargon: " MEMBELA YANG BENAR" Kami sudah
menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni " membela
yang bayar".

Tuhan harus menyesuaikan aturan aturan-Nya dengan perkembangan dan


kemajuan hidup kita. Orang orang yang memeluk agama sudah sangat lelah
berabad abad
diancam oleh Tuhan yang maha menghukum, menyiksa, mencampkana ke api
neraka. Tuhan yang boleh masuk kerumah kita sekarang adalah Tuhan yang penuh
kasih
sayang yang suka memaafkan dan memaklumi kesalahan kesalahan kita.
Sebagaimana kata kata kata mutiara - " Manusia itu tempat salah dan maaf".
(Emha Ainun Nadjib/"Negeri Orang Tertawa"/2005/PadhangmBulanNetDok)
Peringatan dan Amarah
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya
bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang
menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatupun
yang pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin mengajar
saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru kepada mereka
dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten untuk marah
kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau
dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya
ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam,
dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami, bahkan seringkali juga
difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu
senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya msuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren
hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan
pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu
seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah sekolah.
Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas saya coba-
coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair? Apa tidak
baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya tidak
berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai sekarang. Saya
dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk dengan
sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu mengabdikan
sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan sastra
saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main dengan
Islam! Jangan campur adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan
sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu
harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa membutakan
mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan ummat dan lain
sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi
semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan lain
orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda
protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai
kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya
terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang
ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak
bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP,
saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu
memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di pengurus
pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota pasukan
berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena suatu bentrokan saya
mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan
anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan:
“Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak
ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra,
politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan
Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan seenaknya
mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentag sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya dijewer:
“Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya mengusahakan
segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok: “Islam tidak
mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak rasional!”.
Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan
dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu
menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu saya
sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu…. Sampai-sampai
Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong
ngunu!”. *****
(Emha Ainun Nadjib/Harian SURYA/2004/PadhangmBulanNetDok)

Konsep Teologi Sepeda Hilang


Pada suatu pagi, sekitar 15 tahun yang lalu, sepeda pancal alias sepeda onthel saya
hilang dari rumah kontrakan saya. Tentu diambil oleh salah seorang dari anak-anak
muda sekitar sini. Banyak dari mereka pengangguran, dan lagi rumah ini memang
dekat dengan pasar.
Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten dan tidak
rasional. Rumah ini memang tak pernah dikunci. Setiap orang gampang sekali
membuka pintu yang sebelah manapun dan mengambil apapun. Jadi, kalau sepeda
hilang, itu logis dan realistis.
Tapi saya tak peduli. Saya ke depan rumah, berdiri bertolak pinggang menghadap
ke arah pasar, dan berteriak: "Kalau sepeda saya tidak kembali sampai nanti sore,
saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang pengkor satu kakinya, cekot sebelah
tangannya, atau pethot mulutnyal"
Orang-orang di sekitar kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera masuk rumah
dan tidur lagi.
Tak disangka tak dinyana, ketika siang belum sempurna, pintu depan diketuk
berulangkali. Saya nongol, seorang anak muda berpakaian butut berdiri dengan
wajah ketakutan dengan sepeda berdiri ter jagang di sebelahnya.
Ketika saya menatapnya, ia menunduk. "Kenapa kamu?" Saya bertanya.
"Maaf, Cak...," ia menjawab tersendat, "saya yang mencuri sepeda Sampeyan. Saya
minta maaf. Sekarang saya kembalikan...."
"Lho, kenapa kamu kembalikan?" Saya bertanya lagi. "Saya dengar dari orang-
orang bahwa Sampeyan marah...." `"I'api kan kamu butuh sepeda?" Saya kejar
terus.
"Iya, siih.:.."
"Untuk apa sepeda?"
"Tempat kerja saya jauh sekali. Kalau saya jalan kaki, kejauhan. Kalau saya pakai
angkutan, gaji saya jadi terlalu sedikit...."
"Jadi kamu butuh sepeda?" "Ya, Cak"
"Kenapa kamu kembalikan sepeda ini?"
"Katanya Sampeyan marah sekali..."
"Tapi kamu kan butuh sepeda?„
"Ya, Cak"
"Ya sudah, kamu bawa saja sepeda ini," kata saya, "sekarang sepeda ini sudali halal
kalau kamu bawa. Saya sudah ikhlas, kamu sudah tidak berdosa. Dan, insya Allah,
kalau yang kamu pakai adalah barang halal, rejekimu akan berkah. Kalau tadi,
karena kamu mencuri, maka kamu berdosa, dan saya kamu tindas. Kamu dikutuk
Tuhan, saya tidak mendapat apa-apa kecuali kemarahan. Sekarang semua sudah
halal dan baik. Silakan pakai, semoga Allah menambah rezekimu dan meringankan
hidupmu."
Dia bengong. Saya masuk rumah dan kembali tidur.
Dengan dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke subyek yang
sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai kalkulasi ekonomi dunia,
maka saya rugi kehilangan sepeda. Maka saya pakai teologi manajemen dunia
akhirat, sehingga beralihnya sepeda saya ke tangan anak itu tidak membuat saya
kehilangan. Malah saya laba banyak, bukan hanya pahala di akhirat, tapi Allah juga
menjanjikan rezeki berlipat ganda, entah berupa apapun, terserah Dia saja.
pokoknya ia-in syakartum la-azidannakum.
Saya ini hampir selalu dikeluarkan dari setiap sekolah yang pernah saya masuki.
Jadi saya ini bukan kaum terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan Kitab Kuning,
maupun di sektor persekolahan modern. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai
banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu saya haqqul yaqin dan 'ainul yaqin
bahwa apa yang saya pahami, sikapi, dan lakukan dalam hal sepeda itu adalah
konsep teologi Islam.
Apapun saja yang saya lakukan di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi berikutnya,
ketika berada di timur atau barat, tatkala berjaga. atau mengantuk, sebisa-bisa saya
tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep teologi yang segamblang-gamblangnya.
Kalau saya menjumpai sebatang kayu melintang, saya sisihkan ke pinggir supaya
tidak menyandungi orang lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai ia untuk
menyangga sesuatu atau untuk apapun yang bermanfaat. Konsep teologi saya ada
lah bahwa segala yang di depan saya itu merupakan amanat Allah untuk saya
Islamkan. Di-Islamkan artinya diubah dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi
kegunaan dan kemashlahatan.
Ingatan, kesadaran, dan formula konsep teologi itu harus terus-menerus saya cari,
saya pahami, dan saya terapkan. Dan itu berlaku untuk pekerjaan yang kecil
maupun yang besar. Untuk soal rumput di halaman rumah sampai soal pekerjaan
sejarah besar yang menyangkut kebudayaan masyarakat.
Saya menyuapi mulut saya dengan nasi tidak karena saya ingin makan, melainkan
karena saya wajib memelihara kesehatan badan yang dimandatkan oleh Pencipta
saya. Saya mencangkuli tanah dan menanam sesuatu bukan sekadar karena saya
menyukai keindahan, melainkan juga karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada
di dalam hidup ini yang namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau ditaruh di
situ lantas tumbuh dengan penuh keajaiban.
Saya berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin menikmatinya, tapi
karena saya wajib bergabung ke dalam irama sunnatullah yang menyangkut badan
dan jiwa saya. Saya bersedia pulang ke rumah hanya beberapa hari dalam sebulan
dan selebihnya diatur orang banyak untuk berada di berbagai tempat dan
melaksanakan kemauan mereka, bukan karena itu karir saya atau profesi saya,
karena saya tidak punya karir dan tidak peduli profesi.
Saya lakukan itu semua karena, pertama, saya ini aslinya tidak ada, kemudian Allah
mengadakan saya, ia satu-satunya yang berhak atas saya, dan karena itu segala
yang saya lakukan bergantung pada kemauan-Nya. Saya diberi wewenang oleh-Nya
untuk berkemauan, tapi saya tidak pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri
saya dan dunia ini akan pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas diri saya
dan dunia ini. Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan apapun sampai yang
sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian pengetahuan tentang apa
yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung Allah SWT itu.
Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan dengan amr-Nya. Terkadang cocok,
terkadang tidak. Terkadang benar, terkadang salah. Tapi, apapun yang terjadi,
iradah itu harus saya lakukan dengan menggunakan qoul-Nya supaya produknya
adalah kun fayakun. Saya tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi
hanya itulah yang saya pahami sebagai konsep teologi.
Maka, sebab kedua, orang-orang yang memintaku untuk melakukan segala macam
pekerjaan itu -ya kesenian, ya keagamaan, ya politik, ya ekonomi, ya pengobatan,
ya konsultasi kejiwaan, ya segala macam jenis partisipasi dan sumbangan sosial-
tidak bisa saya yakini bahwa kemauan mereka itu benar-benar terlepas dari
kemauan Tuhan. Saya harus berspekulasi dan bersangka baik bahwa mereka
adalah penyalur amanat Tuhan kepada saya.
Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin ABRI, tidak berhak dilakukan oleh
manusia yang memiliki hubungan vertikal total dengan Allah- tanpa
memberangkatkannya dari ingatan, kesadaran, dan konsep teologi yang jelas.
Dengan kata lain, tak perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru berpikir
tentang konsep teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin Golkar, bikin negara,
bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan titik tuju teologisnya.
Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika berformalisme Islam,
ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam fotmal dipakai atau disembunyikan, ketika
Islam diletakkan di kultur thok, atau juga di politik resm, semua terikat pada
penyikapan teologis. Apalagi yang namanya Partai Islam, harus terutama dilihat
secara substansial: bisa saja namanya Partai Daun atau Partai Kambing, tapi yang
kita lihat adalah apakah substansi kerjanya Islam atau tiidak. Hanya orang-orang
yang tradisinya berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam hanyalah
partai yang memakai nama dan kata Islam.
Kalau ada parpol yang pilar perjuangannya adalah amar makruf nahi munkar dan
akhlaqul karimah, maka secara substansial ia telah bersyahadat Islam. Bahkan
kalau ada parpol lain yang memperjuangkan demokrasi, kemerataan kesejahteraan,
keadilan sosial, dan penghormatan atas haq asasi manusia, secara substansial ia
bisa kita sebut partai Islam. Masalahnya, tinggal ditunggu proses aktualisasinya
saja: konsisten atau tidak, istiqamah atau tidak.
Kalau misalnya saya sibuk dan mencemaskan berdirinya partai Islam, karena toh
substansi partai-partai yang ada juga relatif sudah substantially Islam, maka berarti
saya berpikir simbolik. Juga berarti saya tidak paham bahwa kalau ada anjuran
tentang partai Islam formal, itu sekadar upaya pembebasan dari tradisi simbolisme:
agar tidak resmi Islam ya boleh, resmi Islam ya boleh. Yang penting, substansinya
Islam atau tidak.
Tidak hanya ketika saya pakai peci saya maka saya terikat oleh teologi Islam.
Tatkala saya pakai kaos oblong dan menjadi gelandangan di tepi jalan pun saya
terikat oleh Allah.
(Emha Ainun Nadjib/Ummat/2005/PadhangmBulanNetDok)

Tuhan Yang Maha Jowo


Kalau Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang
tergolong 'modern'dan 'rasional' -- mungkin saja sering Anda sampai pada
kesimpulan begini : "Panas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha wong
kita ini terlalu baik".
Terlalu 'baikan' sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan
memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya "jowo". Kalau
pelit, itu "ora jowo". Tentulah. Karena kita semua memang pengagum Tuhan, dan
berusaha meniru sifat-sifatNya. Bukankah Tuhan Maha Jowo?
Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowoNya, misalnya pagi ini kurangi anugerah
Nya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di tubuh kita
dan disimpan kembali di gudang Nya.

Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-habisnya
saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada
suatu hari, saya berdebat dengannya menemukannya sebagai seorang materialis sejati.
Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh kehidupan ini hanya
sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya kepada jiwa dan mengenali nilai-nilai
hanya sejauh menyangkut struktur keberadaan materi. Maka manusia dilihatnya hanya
sebagai perut, dan segala uurusan politik hanyalah berkisar pada distribusi nasi. Maka ia
fanatik kepada orang miskin dan 'sentimen' kepada orang kaya.
Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih melarat
dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering tamasya ke luar negeri dan bisa
pelit.
Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup saya, kerena rasa
sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta kemanusiaan.
Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi tulangg punggung
kehidupannya. Saya jadi anyel.
Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena filsafat, karena
ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan. Kalau tak punya itu, dengan takaran materi yang
amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya. Dengan nilai-nilai itu mereka tetap sanggup
memanusiakkan dirinya di tengah derita kemelaratan.
Karena si monco ono memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka dia tak
mampu membantah argumentasi saya. Saya lantas merasa iba, kasihan, dan segera saya
traktir lagi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi jon Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)

DEMOKRASI TOLOL VERSI SARIDIN


Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia memilih nyantri
ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan
mengerti apa yang dilakukannya.
Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student,
sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara tolol. Memang manusia
dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak. Mereka lucu,
dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.
Coba lihat saja. Di dunia modern ada yang namanya universitas . Wah gagahnya
bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini.
Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang di sebut "sarjana"
Padahal sesungguhnya Saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga
pendidikan dunia modern ini ndagel atawa melawak. Mereka pura-pura bikin
universitas adalah manusia universal .
Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala
pandangnya tak lebih dari manusia fakultif .
Anak-anak didik usianya sudah dewasa ini tetap saja kanak-kanak sampai tua,
karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu di kualitas fakultif
atau bahkan jurusan.
Apa begitu itu namanya, kata Saridin, kalau bukan ndagel.
Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu
dari bahasa Arab: kulliyah. Artinya, suatu keberangkatan intelektual, mental, spiritual
dan moral menuju taraf kosmopolitanisme.
Segi lawakannya menurut Saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya
mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz'iyyah. Ya yang diterangkan
di atas tadi: juz'iyyah itu artinya berangkat memahami sesuatu secara sektoral,
secara fakultatif dan parsial.
Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz'iyyah akan
selalu pada akhirnya diorientasikan atau dikembalikan lagi ke spektrum kulliyah atau
universalitas.
Tapi karena tradisi demikian tidak menjadi habitat utama budaya pendidikan
manusia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.
Umpamanya kalau mereka disodori pakaian oleh Saridin dan tanyakan kepada
mereka "apa ini?" mereka paling menjawab "ini baju, " atau ini celana," ini cawet."
Atau ini dasi."
Mereka tidak pernah menjawab-ini kain, ini benang," ini kapas" ini serat-serat," atau
mungkin ini kerjasama antara alam ciptaan Tuhan dengan teknologi ciptaan
manusia."
Pendeknya pada kesimpulan Saridin, jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya
kedalaman pengetahuan mereka itu hanya bisa diterangkan melalui dua
kemungkinan acuan. Kalau tidak bodoh, ya itu: ndagel .
Kalau pembicaraan kita sampai pada soal "dasi" atau "sepatu" , yang merupakan
ciri-ciri terpenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakannya.
Kalau sudah mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dantangisnya
menjadi satu keluar dari mulut dan matanya.
Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah benda yang benar-benar tidak bisa
dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu-waktu
pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan carta menggantung diri atau
menjerat leher.
Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun,
kepribadian dikaitkan atau apalagi ditententukan oleh seutas kain yang dikaitkan
menggelilingi leher.
Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir Tuhan sendiri bisa geleng-gelng kepala
karena kelucuan dasi ini tingkatnya benar-benar rendah. Kepribadian itu maslah
software, soal batin, mutu nilai yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui
seutas dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.
Apalagi masalah sepatu. Pakailah sepatu, kata Saridin menirukan seseorang yang
pernah didengarnya di abad 20, agar kakimu terlindung dari duri atau kerikil tajam."
Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan.
Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki kelantai yang dipakai karpet tebal dan
empuk.
Lantas seseorang melanjutkan, tapi sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaos kaki,
untuk melindungi kakimu dari sepatu, agar tidak mlicet."
Di sinilah, menurut studi Saridin , puncak lawakannya. Orang yang disuruh pakai
sepatu dan kaos kaki pasti
kebingungan, jadi sebenarnya sepatu ini melindungi kaki ataukah mengancam kaki,
sehingga kaki harus dilapisi dengan kaos kaki?"

***
Oleh karena itu,sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak mau di ranjau oleh
kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern.
Maka ia mateg aji menjadi murid.
"Murid" itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya:
seseorang yang berkendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kendak Tuhan.
Saridin menjdai muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk
itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subyek yang menghendaki
segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan dialaminya
dari Sang Sunan.
Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum
kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang datang ke pesantren atau
sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya mengangga melulu menunggu apa
saja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu namanya murad . Artinya, orang
yang kehendaki.
Memang sih pesantrennya Sunan Kudus sudah memiliki kuyrikulum, sistem
pendidikan dan metoda pengajaran tersendiri. Tetapi itu sekedar bahan dan
masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang kemudian mengatur dan
menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.
Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin itu sendiri.
Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas
Saridin berlangsung di dalam metoda dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-
spiritual Saridin sendiri.
Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.
***
Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi
pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia menyediakan diri untuk ditindas.
Padahal Saridin tahu, di dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang
lagi untuk bersedia ditindas.
Tapi jangan lupa pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia
modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin begitu mbagusi
ketika mentertawakan kebudayaan modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak
belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan-bulan di mana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika
mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus.
Ketika Sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qur'annya, satu juz saja,
di depan para santri lainnya-dengan mantap ia menjawab: "Sunan, adalah hak asasi
saya untuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur'an atau tidak."
Demokrasi bagi Saridin ketika itu, bertitik berat pada prinsip hak asasi manusia.
Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, Saridin juga
menjawab: "Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan jurus itu
sekarang . Tidak seorangpun bisa memaksa saya" ."
Tapi sebelum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan
menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontal-pontal, pontang-panting,
terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
"Kalau kamu tidak sanggup menjadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata
demokrasi!" kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-
engah.
(Emha Ainun Nadjib/Demokrasi tolol versi
saridin/Zaituna/1998/PadhangmBulaNetDok)

Tarekat Terjun Bebas dan Jamu Air Gamping


Waktu yang diminta oleh Saridin untuk mempersiapkan diri telah dipenuhi. Dan kini
ia harus membuktikan diri. Semua santri, tentu saja juga Sunan Kudus, berkumpul di
halaman masjid.
Dalam hati para santri sebenarnya Saridin setengah diremehkan. Tapi setengah
yang lain memendam kekhawatiran dan rasa penasaran jangan-jangan Saridin
ternyata memang hebat.
Sebenarnya soalnya di sekitar suara, kefasihan dan kemampuan berlagu. Kaum
santri berlomba-lomba melaksankan anjuran Allah Zayyinul Qur’ana bi
ashwatikum---hiasilah quran dengan suaramu. Membaca syahadat pun
mestiseindah mungkin.
Di pesantren Sunan Kudus hal ini termasuk diprioritaskan. Soalnya, ini manusia
Jawa Tengah : lidah mereka Jawa medhok dan susah di bongkar. Kalau orang Jawa
timur lebih luwes. Terutama orang Madura atau Bugis, kalau menyesuaikan diri
dengan Qur’an, lidah mereka lincah banget.
Lha, siapa tahu Saridin ini malah melagukan syahadat dengan laras slendro atau
pelog jawa.
Tapi semuanya kemudian ternyata berlangsung di luar dugaan semua yang hadir,
Tentu saja kecuali Sunan Kudus, yang menyaksikan semua kejadian dengan
senyum-senyum ditahan.
Ketika tiba saatnya Saridin harus menjalani tes baca syahadat, ia berdiri tegap.
Berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap ke depan.
Ia menarik nafas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya umik-umik [komat-kamit]
entah membaca aji-aji apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat.
Kemudian semua santri terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak ia
berlari kencang. Menuju salah satu pohon kelapa, dan dipilih yang paling tinggi. Ia
meloncat. Memanjat keatas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua
kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa.
Para santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah blarak-
blarak [daun-daun kelapa kering] di puncak batang kelapa. Ia menyibak lebih naik
lagi. Melewati gerumbulan bebuahan. Ia terus naik dan menginjakkan kaki ke tempat
teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriakdan melompat tinggi
melampaui pucuk kelapa , kemudian badannya terjatuh sangat cepat ke bumi.
Semua yang hadir berteriak. Banyak diantara mereka yang memalingkan muka, atau
setidaknya menutupi wajah mereka dengan kedua telapak tangan.
Badan Saridin menimpa bumi. Ia terkapar. Tapi anehnya tidak ada bunyi gemuruduk
sebagai seharusnya benda padat sebesar itu menimpa tanah. Sebagian santri
spontan berlari menghampiri badan Saridin yang tergeletak. Mencoba menolongnya.
Tapi ternyata itu tidak perlu.
Saridin membuka matanya. Wajahnya tetap kosong seperti tidak apa-apa. Dan
akhirnya ia bangkit berdiri. Berjalan pelan-pelan ke arah Sunan Kudus. Membungkuk
di hadapan beliau. Tak lazim mengucapkan sami’na wa atha’na---aku telah
mendengarkan, dan aku telah mematuhi.
Gemparlah seluruh pesantren. Bahkan para penduduk disekitar datang berduyun-
duyun. Berkumpul dalam ketidakmengertian dan kekaguman. Mereka saling
bertanya dan bergumam satu sama lain, namun tidak menghasilkan pengertian
apapun.
Akhirnya Sunan Kudus masuk masjid dan mengumpulkan seluruh santri, termasuk
para penduduk yang datang, untuk berkumpul. Saridin didudukan di sisi Sunan.
Saridin tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Ia datar-datar aja.
“Apakah sukar bagi kalian memahami hal ini?” Sunan Kudus membuka pembicaraan
sambil tetap tersenyum. “Saridin telah bersyahadat. Ia bukan membaca syahadat,
melainkan bersyahadat. Kalau membaca syahadat, bisa dilakukan oleh bayi umur
satu setengah tahun. Tapi bersyahadat hanya bisa dilakukan oleh manusia dewasa
yang matang dan siap menjdai pejuang dari nilai-nilai yang diikrarkannya.”
Para santri mulai sedikit ngeh, tapi belum sadar benar.
“Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan
suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa
ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkan. Dan Saridin memilih salah satu
jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri
dari puncak pohon kelapa.”
Di hadapan para santri, Sunan Kudus kemudian mewawancarai Saridin: “Katamu
tidak takut badanmu hancur, sakit parah atau mati karena perbuatanmu itu?”
“Takut sekali, Sunan.”
“Kenapa kamu melakukannya?”
“Karena syahadat adalah mempersembahkan seluruh diri dan hidupku.”
“Kamu tidak menggunkan otakmu bahwa dengan menjatuhkan diri dari puncak
pohon kelapa itu kamu bisa cacat atau meninggal?”
“Aku tahu persis itu, Sunan.”
“Kenapa kau langgar akal sehatmu?”
“Karena aku patuh kepada akal sehat yang lebih tinggi. Yakni bahwa aku mati atau
tetap hidup itu semata-mata karena Allah menghendaki demikian, bukan karena aku
jatuh dari pohon kelapa atau karena aku sedang tidur. Kalau Allah menghendaki aku
mati, sekarang inipun tanpa sebab apa-apa yang nalar, aku bisa mendadak mati.”
“Bagaimana kalau sekarang aku beri kau minum jamu air gamping yang panas dan
membakar tenggorokan dan perutmu?”
“Aku akan meminumnya demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi
kalau kemudian aku mati, itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah
memang menghendaki aku mati.”
Sunan Kudus melanjutkan: Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan yang
kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, insya Allah, tetapi bisa
membahayakan orang lain?”
“Maksud Sunan?”
“Bagaimana kalau karena kagum kepadamu lantas kelak banyak santri menirumu
dengan melakukan tarekat terjun bebas semacam yang kau lakukan?”
Kalau itu terjadi, yang membahaya-kan bukanlah aku, Sunan, melainkan kebodohan
para peniru itu sendiri, “jawab Saridin, “setiap manusia memiliki latar belakang,
sejarah, kondisi, situasi, irama dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Tuhan
melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk
memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnnya, dengan
keyakinannya, dengan tempat ia berpijak, serta berbagai kemungkinan sunnatullah
atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan
memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda.”
“Orang memang tak akan menyebut-mu kadal, kuda atau kodok, melainkan bunglon.
Apa katamu?”
“Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan
menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang
memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon,
diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya.
(Emha Ainun Nadjib/"Folklore Madura"/Progress/PadhangmBulanNetDok)

Sinar Pragmatis dan Laser ngeh


Saya sangat serius bahwa saya berani bertaruh soal yang akan saya sebutkan
berikut ini. Tapi untuk bertaruh, kita mesti minta izin dulu kepada yang berwenang,
sebab bertaruh itu termasuk perjudian, dan caranya hanya satu: yang berwenang
harus mengizinkan dulu.
Saya berani bertaruh bahwa humor orisinal dari kehidupan kongkrit sehari-hari
adalah bahasa atau ungkapan budaya yang paling canggih dalam menggambarkan
inti realitas zaman.
Kalau tulisan atau buku-buku ilmiah, harus berputar-putar dulu kalau hendak
membawa kita ke realitas. Musti melalui jalan metodologi dan terminologi yang
ruwet, yang hanya bisa dijangkau oleh hanya sebagaian orang yang punya biaya
untuk bersekolah.
Tidak sedikit jumlah ilmuwan atau akademisi yang menghabiskan waktu bertahun-
tahun untuk menjelaskan sesuatu. Hasilnya adalah: yang mendengarkan semakin
tidak paham, sementara si ilmuwan sendiri mendadak menjumpai dirinya setelah
berdiri jauh dari tempat kebenaran dan kenyataan yang coba ia terangkan.
Kalau kesenian, puisi atau teater umpamanya, meminta ongkos kecanggihan akal
budi dan cita rasa, baru kita diantarkannya ke pusat keadaan yang dimaksudkannya.
Jadi, ilmu di kampus-kampus dan kesenian di panggung-panggung itu mewah dan
mahal tapi tidak efektif.
Sementara sepotong cerita humor langsung saja membenturkan kita ke inti
kenyataan. Humor adalah sinar laser yang amat tajam, yang mengirimkan kita
secara sangat pragmatis untuk ngeh terhadap sesuatu hal.
Silahkan pilih contoh-contohnya.
Humor bijak rakyat Ethiopia yang kondang, yang sering saya kutip, misalnya: "Kalau
Sang Raja lewat, bungkukkan badanmu serendah-rendahnya, kemudian kentutlah
sekeras-kerasnya!"
Tidak diragukan lagi maknanya, kan? Tapi sebentar dulu: supaya tidak melanggar
kesopanan, kata 'kentut' itu bagaimana kalau kita ganti 'kentup' saja.
Ilmuwan memerlukan beribu-ribu kata yang kering-kering dan serakan buku-buku di
sekitar mesin ketiknya, untuk menjelaskan kandungan artinya. Dan penyair perlu
topo kungkum di sungai sehari semalam agar memperoleh ilham untuk mampu
menggambarkan keadaan itu secara literer.
Teaterawan mungkin lebih gampang: lansung saja pentasakan adegan itu. Cukup
satu pemeran Raja, tiga pengawal, dan lima rakyat. Tanpa kata, tanpa dialog verbal,
cukup bunyi kentut saja pada klimaksnya. Biar saja running time drama itu hanya
dua menit.
Kalau ada penonton yang protes karena bayar mahal-mahal hanya disuguhi
pertunjukkan drama sesaat, katakan bahwa yang sesaat itu jauh lebih bermakna
dibanding lakon-lakon berkepanjangan yang penuh dialog bertele-tele, sok heroik,
bergaya seperti Nabi Musa, logatnya direndra-rendrakan, padahal ujungnya
ketidakmengertian besar.
Atau Nasrudin Hoja yang mengantarkan seorang konglomerat berburu ke hutan.
Terpeleset beliau di telaga yang dalam, padahal tidak bisa berenang. Para
pengawalnya setengah mati menolong dengan mengeluarkan tangan dan berteriak:
"Tuan! Cepat kasih tangan Tuan! Cepat!"--namun sang beliau tidak bersedia
menjelurkan tangannya meskipun sudah lima liter air sudah masuk ke
tenggorokannya.
Nasrudin yang ahli psikologi, sosiologi dan antropologi sekaligus, segera ambil
peranan. Ia ulurkan tangan dan berkata kalem: "Tuan, cepat ambil tangan saya! Ayo,
Tuan, ambil!"
Kalau sebagai mahasiswa kita harus bikin paper tentang itu, kita harus cari buku-
buku loakan tentang menalitas kapitalisme klasik. Tentang akulturasi dan
ekonomisme yang membuat manusia tidak sadar menomorduakan nyawa dan
kehidupannya sendiri demi suatu etos profit. Atau setidaknya tentang psikologi
kelas-kelas manusia.
Adapun penyair, akan mengalami kesulitan untuk menemukan kosa kata. Dan kalau
ia mencoba mempuisikan adegan itu, biasanya akan menjadi bernuansa tragika
melankolik dan dilebih-lebihkan, serta tak menemukan humornya. Padahal humor
adalah salah satu metoda untuk mengeliminir tradika.
Apalagi konglomerat yang satu itu, beliau berperahu-perahu ria di hari week end di
lepas pantai pulau seribu. Terjatuh beliau ke laut, megap-megap. Istri beliau segera
berteriak memanggil nelayan yang kebetulan sedang mencari ikan tak jauh dari
tempat jatuhnya beliau.
Si nelayan bilang: "Soal nolong itu gampang, Bu! Tapi mosok hanya nolong? Kecut,
dong!"
"Oke, oke! Mau berapa?"
"Sepuluh ribu rupiah!"
"Oke-oke! Tapi cepat tolong suami saya!"
Tiba-tiba sebelum si nelayan terjun untuk menolong, sang konglomerat sambil heap-
heap berteriak kepada istrinya: "Maaa! Ditawar dong, Ma! Seribu limaratus saja....!"
Atau mari kita stel kembali rekaman humor yang paling klasik dan populer dari
Madura. Terjadi dijaman penjajahan Belanda. Yakni tentang seorang penonton layar
tancap yang kesakitan karena kakinya terinjak sepatu orang yang berdiri di
sebalahnya.
Anda sudah tahu bagaimana adegan-nya. Si terinjak malah minta maaf dan berkata
amat sopan kepada si penginjak: "Maaf, Pak..."
"Ada apa?" Si penginjak ganti tanya.
"Ini maaf lho, pak...?"
"Iya, iya, ada apa?"
"Bapak 'dak marah?"
"Lho, gimana, sih?"
"Bener 'dak marah kalau saya tanya?"
"Iya, iya, ada apa!" Si pengijak mulai hilang kesabaran.
Dengan terbata-bata dan wajah pucat di terinjak memberanikan diri dan bertanya:
"Apa Bapak ini morsase?"
"Bukan, bukan!" Jawab si penginjak.
"Anak morsase?"
"Bukan."
"Punya keluarga morsase atau serdadu lain? Famili, keponakan, besan, tetangga,
atau pokoknya ada kenalan serdadu?"
"Tidak! Ah, saudara ini aneh-aneh saja..."
Belum selesai si pengijak dengan kalimatnya, mendadak si terinjak meledakkan
suaranya: "Kalau bukan marsose atau serdadu, kenapa kamu injak kaki saya?!"
Ah, sepotong humor, namun betapa tajam!
Para pakar ilmu, Pak Bill Liddle, Pak Daniel Lev, Pak Faith, sudah capek-capek
berbulan-bulan menulis buku tentang masalah yang sama, namun tak pernah
sanggup membuat kita merasa terinjak seperti sesudah mendengar singkat angin
Madura itu.
(Emha Ainun Nadjib/Folklore Madura/Progress/PadhangmBulanNetDok)
Allah Kita Engkau-kan
Di dalam kehidupan sehari-hari di muka bumi, Allah kita akui adaNya, namun belum
tentu kita posisikan sebagai Pihak Pertama dalam konsentrasi dan kesadaran hidup
kita. Allah belum kita jadikan Pembimbing Utama hidup kita. Allah belum kita jadikan
Panglima Agung yang setiap instruksiNya kita patuhi dan setiap laranganNya kita
jauhi. Allah masih belum kita letakkan di tempat utama dalam urusan-urusan kita,
firman atau ayat-ayatNya belum kita jadikan wacana utama dalam menjalani
kehidupan. Mungkin karena kita masih belum bisa berpikir rasional, atau mungkin
kita belum memperoleh informasi yang cukup untuk membawa kita kepada betapa
pentingnya Ia, atau justru karena kita sudah merasa pandai dengan kesarjanaan
kehidupan kita.

Pada umumnya Allah masih kita letakkan sebagai Pihak Ketiga yang kita sebut 'Dia'
dan sesekali saja kita sebut, utamanya ketika sedang susah dan kepepet oleh suatu
masalah.

Jangankan lagi untuk mencapai kesadaran ke-Isa-an di mana pada konsentrasi


batiniah terdalam kita menyadari bahwa pada hakekatnya kita ini tidak ada dan
semata-mata hanya 'di-ada-kan' olehNya. Sehingga pada konsentrasi yang demikian
kita melebur dan lenyap, sampai akhirnya yang benar-benar ada, yang sejati ada,
hanya Allah. Dan pada saat itu Allah adalah 'Aku', karena 'aku' yang makhluk ini
sudah lenyap sirna bagaikan laron yang terbakar oleh dahsyatnya sinar matahari.

Adapun di dalam Ikrar Husnul Khatimah itu kita memposisikan Allah sebagai
'Engkau'. Kita sadar bahwa kehidupan kita ini berada di hadapanNya. Allah bukan 'di
samping' kita atau 'di sana', melainkan tepat di depan kita.

Sesungguhnya kesadaran meng-Engkau-kan Allah merupakan milik sehari-hari


setiap Muslim yang Mu'min. Di manapun kita berada, apapun yang kita lakukan,
Allah tidak pernah berada 'di sana', melainkan senantiasa berada di hadapan kita.

Bukankah jika melakukan shalat kita berupaya untuk menyadari seolah-olah kita
sedang melihatNya di hadapan kita, dan kalau kita tidak mampu melihatnya maka Ia
yang melihat kita dari hadapan kita sendiri? Dengan demikian Ikrar Husnul Khatimah
adalah suatu peristiwa kesadaran di mana Allah bukan sekedar 'Ia' yang 'di sana'
yang berposisi sebagai pelengkap penderita dari program-program karir sejarah kita.
Melainkan di hadapan kita, dan merupakan konsern utama kehidupan kita.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (215)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Akan Sembuhkah Luka Bangsa Ini ?


Bisakah luka yang teramat dalam ini akan sembuh? Mungkinkah kekecewaan,
bahkan keputusaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara-saudara kita
akan pada suatu hari kikis?

Kapankah kita akan bisa merangkak naik ke bumi, dari jurang yang sedemikian
curam dan dalam?

Benar tahukah kita apa yang sesungguhnya kita alami? Sungguh pahamkah kita apa
yang sesungguhnya kita sedang kerjakan? Mengertikah kita ke cakrawala mana
sebenarnya kaki kita sedang melangkah?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (216)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Sistem Nilai Apakah yang Kita Pilih


Benarkah yang salah selalu adalah ia dan mereka? Sementara yang benar pasti kita
dan saya?

Benarkah yang harus direformasi selalu adalah yang di situ dan di sana, dan bukan
yang di dalam diri kita sendiri?

Mungkinkah reformasi eksternal dikerjakan tanpa berakar pada reformasi internal?

Apakah sesungguhnya yang sedang berlangsung di dalam syaraf-syaraf hati kita


serta sel-sel otak kita?

Sistem nilai apakah yang sesungguhnya kita pilih untuk mengerjakan gegap gempita
yang kita sebut reformasi ini? Demokrasi, sosialisme, Jawaisme, Islam,
Protestanisme, Yahudisme, serabutanisme, kebencian, dendam, atau apa?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (217)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Pilihan Sistem Nilai Reformasi
Selicin apapun jalan reformasi ini, engkau harus jalani.... Selicin apapun pohon
pohon tinggi reformasi ini sang Bocah Angon harus memanjatnya. Harus dipanjat
sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan dan
diperebutkan.

Air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian
nasionalnya. Konsep lima itulah sistem nilai yang menjadi wacana utama gerakan
reformasi, kalau kita ingin menata semuanya ke arah yang jelas, kalau kita mau
memahami segala tumpukan masalah ini dalam komprehensi konteks-konteks:
kemanusiaan, kebudayaan, politik, rohani, hukum, ekonomi, sampai apapun.

Bukankah reformasi selama ini kita selenggarakan sekedar dengan acuan nafsu
reformasi' itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu atau spiritualitas dan profesionalitas
rasional apapun?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (218)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Ilmu Orang Tua : Memilih Yang Sejati dan Abadi
Ilmu orang tua adalah pengetahuan akal dan kesadaran batin bahwa ia akan mati,
dan itu bisa berlaku tidak 30 tahun yang akan datang, melainkan bisa juga besok
pagi-pagi menjelang seseorang masuk kantor. Orang tua yang berpikir efisien tidak
menghabiskan tenaga dan waktunya untuk kesementaran, melainkan untuk
keabadian. Tidak menumpahkan profesionalisme untuk menggapai sesuatu yang
toh tidak akan menyertainya selama-lamanya.

Ilmu orang tua adalah kesanggupan memilih satu dua yang abadi di antara seribu
dua ribu yang temporer. Memilih satu dua yang sejati di tengah seribu dua ribu hal-
hal, barang-barang, pekerjaan-pekerjaan, target-target yang palsu. Manusia yang
paling profesional adalah yang memiliki akar pengetahuan dan daya terapan untuk
bersegera menggunakan ilmu orang tua tanpa menunggu usianya menjadi tua.

Manusia yang paling cerdas dan peka adalah yang mengerti bahwa segala sesuatu
dalam kehidupannya harus diperbaiki sekarang juga, tidak besok atau lusa, karena
bisa keburu mati. Bahwa apapun saja harus segera di-husnul-khatimah-i dan
menghindarkan diri dari kemubaziran-kemubaziran mengurusi hal-hal yang semu,
palsu dan temporer.

Bahwa hutang harus segera dibayar. Bahwa kesalahan harus segera dihapuskan
dengan meminta maaf kepada sesama manusia yang disalahi dan memohon ampun
kepada Tuhan.

Bahwa omset ekonomi berapapun tidak menolong seseorang di garis kematiannya.


Bahwa jabatan setinggi apapun tidak menambahi keberuntungan apapun di
hadapan mautnya. Bahwa kejayaan, kemegahan dan kegagahan macam apapun
tidak akan sanggup mengurusi nasibnya di depan sakaratul maut, yang akan muncul
mendadak dan tiba-tiba.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (206)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Menyongsong Kematian Dengan Hati Tenang
Sakaratul maut itu sedemikian dahsyatnya, sampai Rasulullah Saw menyebutnya
sebagai kiamat kecil. Peristiwa sakaratul maut yang dialami manusia secara
individual itu digambarkan secara dramatis oleh Nabi Saw dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami, "Sesungguhnya seorang hamba akan
mengalami derita pedihnya kematian. Di kala itu masing-masing ruas badannya
saling mengucapkan selamat berpisah dengan ucapan 'alaikas-salam', kita akan
berpisah sampai datangnya hari kiamat".

Dalam beberapa hadits digambarkan bahwa saat seseorang menghadapi sakaratul


maut, kepadanya diberitahukan apakah Allah swt. meridhainya atau mengazabnya
dan diperlihatkan pula tempat kembalinya, yaitu sorga atau neraka. Maka orang
beriman yang memenuhi hidupnya dengan kebaikan, akan menghadapi kematian
dengan ketenangan dan hatinya ridha serta mengingat Allah Swt. Sebaliknya, orang
yang memenuhi hidupnya dengan keburukan, akan menghadapi kematian dengan
kegelisahan yang memuncak, sampai lupa diri, dan melupakan Allah Swt.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (207)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Ber-husnul khatimah Sekarang Juga Karena Tak Ada Jaminan Ketika Maut
Akan tetapi tidak jarang terjadi orang yang pada mulanya ingat kepada Allah Swt
tiba-tiba menjadi lupa kepada-Nya karena dahsyat dan pedihnya sakaratul maut.
Oleh karena itu Rasulullah Saw sendiri pun ketika ajalnya telah dekat memohon
kepada Allah agar dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut, "Allahumma
hawwin 'alaina fi sakarat al-maut".

Dan kepada ummatnya, beliau mengajarkan sebuah doa "Allahumma inna nas-aluka
salamatan fid-din, wa 'afiatan fil-jasad, wa ziyadatan fil-ilmi, wa barakatan fir-rizqi, wa
taubatan qablal maut, wa rahmatan 'indal maut, wa maghfiratan ba'dal maut, hawwin
'alaina fi sakaratil-maut, wan-najata minan-nar, wal'afwa 'indal hisab".

Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa apabila seseorang di akhir hayatnya
mengingat Allah, itulah husnul khatimah. Sebaliknya yang melupakan Allah, itulah
su'ul khatimah. Oleh karena itu Rasulullah menyuruh menalqin (mengajari) orang
yang mendekati ajal dengan kalimat la ilaha illa Allah.

Setiap muslim pasti menginginkan akhir hayatnya husnul khatimah. Tapi tidak
seorang pun dapat menjamin dan memastikan. Akhir hayat setiap manusia adalah
rahasia Allah. Dalam hal ini Rasul bersabda. Dicuplik dari sebuah hadits panjang
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas 咊 d, Rasulullah bersabda
(diterjemahkan secara bebas kurang lebih): "Demi Allah yang tiada sesembahan
selain Ia, bahwa seseorang dari kalian sungguh telah melakukan amal kebajikan
sehingga membawanya sehasta lagi masuk ke sorga, tapi kemudian ia berbuat
kejahatan dan menjerumuskannya ke neraka. Dan bahwa seseorang dari kalian
sungguh telah melakukan perbuatan jahat sehingga membawanya sehasta lagi
masuk ke neraka, tapi keburu ia melakukan amal kebajikan dan membawanya
masuk ke sorga".
(Seri PadangBulan (208)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Apa Besok Pagi Kita Belum Mati ?
Secara harfiah, husnul khatimah berarti akhir atau kesudahan yang baik. Dalam
istilah agama Islam berarti akhir hayat (kehidupan) yang baik. Kebalikannya adalah
su'ul khatimah, artinya akhir hayat yang buruk. Akhir kehidupan yang dialami oleh
manusia itu sering disebut sakaratul maut.

Apakah kita akan mati? Apakah kita akan segera sampai ke garis sakaratul maut ?

Lebih rasional kalau pertanyaannya kita balik: apakah kita akan tidak mati?
Siapakah yang bisa memastikan bahwa nanti sore atau besok pagi, atau bahkan
lima menit yang akan datang, ia pasti akan masih hidup? Puncak ilmu orang hidup
adalah mengenai maut. Yang paling masuk akal bagi segala perjalanan ilmu
manusia adalah kesadaran bahwa sewaktu-waktu akan mati. Pengetahuan yang
paling substansial dan primer adalah bahwa sekarang juga setiap manusia harus
siap untuk berakhir hidupnya. Bahwa jisim (badan) manusia tidak hidup abadi.

Seorang pengusaha bisa menuliskan rancangan-rancangan bisnisnya pada skala


jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, bahkan diproyeksikan
sampai 50 tahun ke depan. Akan tetapi kalimat awal dari teks rancangannya
sesungguhnya berisi kalimat: Dengan catatan bahwa selama jangka waktu tersebut
ia belum meninggal dunia.

Seorang politisi sepenuhnya berhak mentargetkan keinginannya untuk duduk di


kursi kepresidenan. Seorang sarjana mutlak diperbolehkan meniti karirnya sampai
sejauh-jauhnya dan setinggi-tingginya. Tetapi semua itu dengan catatan bahwa
berlakunya hanya kalau mereka pasti masih hidup. Itu namanya ilmu orang tua.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (205)/1999/PadhangmBulanNetDok)
HALAL SATU SAMA LAIN
Kalau aku pernah menyakiti hatimu dan belum meminta maaf kepadamu sehingga
engkaupun belum memaafkanku
Kalau aku pernah mencuri hak-mu dan diam-diam masih kugenggam di tanganku
karena engkau tidak menyadari hakmu itu
Kalau aku pernah memakan nasi rangsummu dan menjadi darah dagingku sehingga
aku berhutang perpanjangan nyawa darimu
Kalau aku pernah menindasmu sehingga sejarahmu terjegal dan aku berpura-pura
melupakan hal itu dalam sujud-sujud sembahyangku
Kalau aku pernah mengurungmu di dalam penjara untuk sesuatu yang engkau tak
bersalah sehingga engkau kehilangan sekian ribu matahari
Kalau aku pernah menghirup udara yang merupakan jatah Allah bagi eksistenmu
dan
kubangun kemegahan hidupku dengan landasan deritamu
Maka hidupku belum halal bagimu
Maka perolehan hidupku adalah kehinaan diri, yang haram disentuh oleh kasih
sayang Allah Yang maha Suci

Emha Ainun Nadjib


12 Ramadlan 1419 H
(Seri PadangBulan (195)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Label: halal
TELAH FITRI-KAH KITA
Telah fitrikah kita, kalau puasa belum merohanikan kehidupan kita
Telah fitrikah kita, kalau badan, harta dan kuasa dunia masih menjadi muatan utama
kalbu kita
Telah fitrikah kita, kalau keberpihakan kita belum kepada orisinalitas diri dan
keabadian
Telah fitrikah kita, kalau masih tumpah ruah cinta kita kepada segala yang tak
terbawa ketika maut tiba
Telah fitrikah kita, kalau kepentingan dunia belum kita khatamkan, kalau untuk
kehilangan yang selain Allah kita masih eman
Telah fitrikah kita, kalau kasih sayang dan ridha Allah masih belum kita temukan
sebagai satu-satunya hakekat kebutuhan

Ya Allah, jangan biarkan Ramadlan meninggalkan jiwa kami


Ya Allah, jangan perkenankan langkah kami menjauh dari kemuliaan berpuasa
Ya Allah, halangilah kami dari napsu melampiaskan, serta peliharalah kami dari
disiplin untuk mengendalikan
Ya Allah, peliharalah Ramadlan dalam kesadaran kami
Ramadlan sepanjang jaman
Ramadlan sejauh kehidupan
Ramadlan sampai ufuk keabadian

Emha Ainun Nadjib


12 Ramadlan 1419 H
(Seri PadangBulan (196)/1999/PadhangmBulanNetDok)

DARI HATI KE HATI


Yang kita lakukan ini adalah dialog dari hati ke hati. Cara hati mengungkapkan dan
mendengarkan sesuatu itu macam-macam. Terkadang menggunakan mulut dan
memakai kata-kata, di saat lain cukup dengan raut muka dan sorot mata, atau
bahkan ungkapan hati cukup dengan bisu dan sunyi: hati lain sudah langsung
menangkapnya.

Ungkapan hati yang sunyi di antara kita tidak bisa dihalangi oleh apapun. Ungkapan
melalui sorot mata dan raut muka memerlukan pertemuan langsung atau melalui
kamera. Tapi yang punya kamera tidak mungkin menyorot tampang saya kalau
hanya membisu dan bengong. Jadi harus menggunakan mulut dan kata-kata. Tapi
penggunaan mulut dan kata-kata bisa terhalang oleh tembok teknologi, tembok
finansial, tembok rasa takut, dan terutama tembok kekuasaan.

Jadi kalau ungkapan hati saya tidak bisa sampai kepada Anda melalui kamera dan
kata-kata, saya yakin hati Anda yang bisu sesungguhnya tetap bertegur sapa
dengan ungkapan hati saya melalui kesunyian yang tanpa kamera dan media
apapun.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (197)/1999/PadhangmBulanNetDok)

BAU DEMOKRASI
Bau yang keluar dari mulut saya ini, kata-kata yang terungkap dari bibir saya ini,
ungkapan yang nongol dari cocor saya ini, terkadang busuk terkadang wangi. Itu
karena yang keluar memang asli busuk atau asli wangi. Atau terkadang tergantung
kondisi mulut saya sendiri. Mungkin kata-kata saya busuk, tapi karena mulut saya
wangi, maka keluarnya wangi. Atau kata-kata saya wangi, namun karena mulut saya
busuk, maka produknya busuk juga.

Nah, tolong jangan lupa di saat lain wangi busuknya segala yang keluar dari mulut
saya tergantung pada situasi hidung Anda. Mungkin yang ungkapkan busuk, tapi
karena lubang hidung Anda ada parfumnya, maka terasa wangi. Atau sebaliknya,
yang saya ungkapkan wangi, tapi karena hidung Anda ketempelan bau busuk --
misalnya karena Anda selalu sibuk mengurusi ayam-ayam di kandang --
maka kata-kata saya menjadi terasa busuk pula.

Tapi itulah resiko demokrasi. Itulah kemungkinan-kemungkinan bau demokrasi.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (189)/1999/PadhangmBulanNetDok)


YANG MANA YANG JANTAN
Saya dipercayai oleh kumpulan koperasi orang sedesa untuk memutar atau
meniagakan uang yang mereka kumpulkan, agar menghasilkan laba yang bisa
menambah daya ekonomi para warga koperasi dan seluruh penduduk desa. Tapi
setelah sekian lama managemennya saya pegang, ternyata akhirnya bangkrut,
sehingga kami semua dililit hutang dan terpaksa mengemis-ngemis lagi cari utangan
yang baru. Saya ingin bersikap jantan, tapi saya bingung yang bagaimana yang
disebut jantan.

Apakah saya harus berkata: "Para anggota koperasi dan warga desa sekalian, kalau
saya melepaskan hak atas managemen ini gara-gara bangkrut, berarti saya tinggal
gelanggang colong playu, alias saya lari dari tanggung jawab". Ataukah saya harus
berkata: "Saudara-saudara sekalian, sebagai bentuk tanggung jawab saya atas
kebangkrutan kita, maka dengan ini saya mengundurkan diri, mengembalikan hak
yang saudara-saudara amanatkan, dan sekarang saya pasrah mau diapakan saja
oleh saudara-saudara..."

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (188)/1999/PadhangmBulanNetDok)


PAHLAWAN SEJATI
Kepada seorang Ibu sederhana di sebuah dusun, yang pekerjaannya mencintai dan
menemani wong cilik di desanya sepanjang hidup, saya mengajukan pertanyaan
yang agak muluk: "Bu, siapakah pahlawan sejati?"

Ia menjawab: "Pahlawan sejati ialah orang yang berani omong tentang perjuangan
sosial dan membela rakyat hanya sesudah ia sendiri sanggup bertanggung jawab
secara mandiri atas perutnya sendiri. Pahlawan sejati ialah orang yang membela
rakyat dengan kekuatan dan uang pribadinya, bukan dengan dana dari luar yang
apalagi ia sendiri diupah untuk apa yang diperjuangkannya. Tapi yang terpenting
adalah bahwa pahlawan sejati tidak pernah sempat menganggap dirinya pahlawan
bahkan tidak punya waktu untuk mengingat kata pahlawan".

Saya bereaksi: "Waduh, Bu, kok berat dan muluk sekali syarat untuk menjadi
pahlawan sejati?" Ibu itu menjawab lagi: "Memang berat dan muluk. Maka tidak akan
berminat. Maka tidak populer dan tidak dipakai. Kalau ada yang memakainya,
mungkin malah dikutuk, dirasani dan difitnah di mana-mana..."

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (187)/PadhangmBulanNetDok)


RW KESEDIHAN RT KEBUNTUAN
Kalau kita sudah berada di pinggir sungai, atau apalagi sudah terlanjur memasukkan
kaki ke tepiannya, kayaknya harus kita perjelas apa niat kita yang sebenarnya.
Apakah kita memang akan menyeberangi sungai, ataukah sekedar mau bermain-
main air di tepian sungai. Kalau mau menyeberangi sungai, sebaiknya kita pilih
apakah akan kita gunakan perahu, jembatan, gethek, ataukah kita akan melompat
untuk sampai ke seberang sungai. Kita juga harus perhitungkan berapa lebar dan
berapa dalam sungai, apa kendala dan tantangan ketika menyeberangi sungai, dan
seterusnya.

Kalau ketentuan dan pilihan itu tidak kita lakukan, sebaiknya kita niati saja bermain-
main air, sekedar untuk belajar berenang dan mengendalikan perahu. Jangan
sampai orang-orang di sekitar sungai menyangka kita akan benar-benar
menyeberang dan menanti-nanti kapan kita benar-benar tiba di seberang sungai.
Orang-orang itu bertempat tinggal di kampung kekecewaan, di RW kesedihan, dan
mungkin juga di RT kebuntuan. Kalau bisa jangan lagi kita tambahi KTP mereka
dengan Rumah Keputusasaan.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (185)/1999/PadhangmBulanNetDok)

METODA KEPAHLAWANAN
Ada tiga metoda dasar untuk menjadi pahlawan. Pertama, ungkapkan sesuatu yang
kritis namun tidak sampai ke tingkat berbahaya, sehingga bisa dimuat di koran.
Kedua, kurangi kadar kesaktianmu di dalam melakukan gerakan-gerakan sosial,
sehingga engkau bisa ditangkap atau ditabrak oleh kekuasaan. Ketiga, dekatkan
dirimu kepada jaringan hero maker, alias lembaga pencipta pahlawan.

Kalau kau omong apa adanya, media tidak akan memuatnya, sehingga semua
orang menganggapmu tidak berani omong apa-apa. Kalau gerakan sosialmu tidak
tersentuh, engkau tidak akan terdaftar sebagai orang yang ditindas, sehingga tidak
akan dibela oleh siapapun.

Tetapi yang alhamdulillah adalah kalau engkau tidak ingin menjadi pahlawan dan
eksistensimu tidak bergantung pada apapun. Harkat kemanusiaan dan harga dirimu
hanya ditentukan oleh tingkat manfaat kemanusiaanmu, baik diketahui oleh manusia
ataupun tidak, baik diungkapkan atau tersembunyi.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (186)/1999/PadhangmBulanNetDok)
GUGUR GUNUNG
Gugur gunung itu artinya bersama-sama orang sekampung bekerja bareng-bareng
untuk memperbaiki segala yang perlu diperbaiki di kampung. Dari merapikan pagar
sampai menata kembali parit-parit saluran air dan lain sebagainya.

Hari-hari ini kampung saya sedang mbembet, saluran air mampet-mampet, distribusi
kesejahteraan nggak karu-karuan, lumbung kami kosong, kebun-kebun kami
terbakar, sawah-sawah kami terbengkalai, lumbung kami kosong mlompong, hutang
kami numpuk menyaingi tingginya gunung.

Ada pemimpin idola kami yang mencoba mengatasi itu semua, namun anehnya
beliau tidak keliling kampung untuk mengajak sebanyak mungkin penduduk
kampung untuk memperbaikinya. Beliau hanya menyapa beberapa penduduk yang
tergolong terhormat dan priyayi.

Kami-kami yang kurang terhormat dan bukan priyayi tidak diajak memperbaiki
saluran parit, padahal tangan kami sudah pegal-pegal untuk ikut memperbaiki
kampung.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (184)/1999/PadhangmBulanNetDok)
MENCIUM TANGAN IBU
Tidak ada kebahagiaan dan kekayaan yang melebihi saat-saat kita mencium tangan
Ibunda kita dan menangis tersengguk-sengguk di pangkuan beliau.

Mudik adalah juga peristiwa tangis gembira di pangkuan Ibunda sejarah hidup kita,
yakni kampung halaman dan sanak keluarga.

Kemudian kampung dan keluarga paling dini dan sejati dari kehidupan kita adalah
hakekat dan kehendak penciptaan Allah atas seluruh alam, atas kita semua makhluk
hidup, serta atas firman-firmanNya. Maka kalau puasa Ramadhan memang telah
kita lalui sebagai perjalanan badan, perjalanan batin, perjalanan mental dan moral
vertikal -- insyaallah kehadiran kita pada hari idul fitri adalah peristiwa menguakkan
pintu rohani di dinding rumah Allah itu sendiri.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (181)/PadhangmBulanNetDok)
PEKERJAAN AGAMA
Saya bersama teman-teman menyimpulkan bahwa yang dimaksud pekerjaan
Agama bukan hanya sembahyang, puasa, zakat dan haji, melainkan juga mandi,
makan yang tepat , berangkat ke tempat kerja mencari nafkah untuk anak istri,
menolong siapa saja yang perlu ditolong, bikin koperasi partikelir, menghimpun
tukang-tukang ojek dan pedagang kakilima, dan seterusnya.

Itu semua adalah pekerjaan Agama, alias menjalankan perintah Tuhan. Termasuk
juga menyelenggarakan perkumpulan bulanan bersama puluhan ribu sahabat-
sahabat sebangsa untuk saling mensinergikan kemampuan ekonomi, mencerahkan
hati, menata pikiran, memperluas wawasan nasional, serta mengungkapkan apa
adanya apa kandungan hati kami tentang kepemimpinan nasional yang berjasa
menciptakan kegelisahan-kegelisahan. Itu semua adalah pekerjaan Agama.

Dan karena pekerjaan Agama, maka teman-teman saya yang lain, yaitu para
pejuang sosial modern di kota-kota, menganggapnya tidak progresif, tidak kritis,
tidak ada hubungannya dengan demokrasi. Maka hanya kami sendiri yang
menikmati manfaatnya, padahal kehidupan kami tidaklah untuk kami sendiri,
melainkan untuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (182)/1999/PadhangmBulanNetDok)

BIKIN BATU - BATA


Hampir tiap hari saya pergi dari desa ke desa, dari kota ke kota, dari lapangan ke
lapangan, dari orang sedikit ke orang banyak, dari orang banyak ke orang sangat
banyak, dari orang kota ke orang dusun, dari wong cilik ke wong tidak gedhe,
pokoknya ke mana saja semampu-mampu saya, dari Tinambung ke Grobogan, dari
Lowokwaru ke Sidayu, dari masyarakat cliwik ke masyarakat santri. Kami selalu
saling bertanya dan saling mengungkap secara terang-terangan di tempat terbuka
apa keresahan kami, apa pendapat kami tentang presiden, menteri, ekonomi dan
politik nasional, pokoknya tentang apa saja tanpa tedheng aling-aling.

Namun itu semua baru memberi barokah bagi pendidikan politik kami sendiri, itu
semua baru menciptakan manfaat bagi pencerahan hati dan perjuangan sosial kami
sendiri -- dan belum bermanfaat secara lebih luas bagi masyarakat Indonesia.
Sebab batu-bata dan gergajian kayu-kayu yang kami bikin dan persiapkan untuk
pembangunan rumah baru nasional itu dinilai kurang bermutu oleh para arsitek dan
pemimpin alternatif yang sekarang mulai memimpin sejarah kita bersama.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (183)/1999/PadhangmBulanNetDok)
MUDIK DUNIA AKHIRAT
Kerinduan untuk pulang ke kampung halaman dan bersilaturahmi dengan sanak
famili, sesungguhnya adalah episode awal dari teater kebutuhan batin manusia
untuk kembali ke asal usulnya.

Mudik Lebaran itu episode pulang secara geografis dan kultural. Dari alam nasional,
global, universal dan liar, manusia beramai-ramai balik ke lingkungan primordial.

Kampung halaman adalah tanah air konkret. Tanah dan air sejarah kelahiran
mereka. Sehingga mudik episode kedua adalah kesadaran atau ikrar kembali bahwa
diri manusia berasal dari tanah dan air yang akan kembali ke tanah dan air.

Episode mudik yang ketiga adalah kesadaran tentang Ibu Pertiwi dalam pengertian
yang lebih batiniah. Yakni kekhusyukan menginsafi kasih sayang Ibunda, kandungan
dan rahim Ibunda.

Betapa di puncak kepusingan hidup ini kita terkadang ingin kembali masuk ke gua
garba Ibunda. Episode mudik berikutnya adalah kembalinya kita semua ke pencipta
tanah air, ke sumber dan asal usul. Jadi, senantiasa siap kembali kepada Allah
adalah puncak mudik, adalah mudik sejati.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (180)/1999/PadhangmBulanNetDok)

MENABUNG SORGA
Diam-diam Allah menganugerahkan anjuran agar manusia tidak mengumbar dan
menghabis-habiskan kegembiraan dan pesta pora sesuai bulan Ramadhan.

Mungkin agar tabungan kebahagiaan kita di sorga bisa bertumpuk sebanyak-


banyaknya.

Makan jangan terlalu banyak. Kita dididik untuk belajar ngincipi sejumput makanan,
dan selebihnya kita nikmati dengan cara memandanginya saja, untuk kita
investasikan untuk kegembiraan yang lebih tinggi kelak. Justru itulah nikmatnya
berpuasa. Menahan diri di depan makanan dan kenikmatan.
Bukankah sehari sesudah Idul Fitri, justru tatkala kita sedang berada di puncak
kemenangan dan pesta -- Allah malah men-sunnat-kan kita untuk melakukan puasa
Syawal, yang produk pahala, kemuliaan dan kenikmatannya berlipat-lipat?

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (179)/1999/PadhangmBulanNetDok)


PERAN SENYUMAN DALAM PEMBANGUNAN
Seorang istri, yang bermurah hati untuk tersenyum tatkala menyambut suaminya
datang, menurut Rasulullah akan diganjar kemuliaan oleh Allah setingkat pahala
orang melakukan shalat tarawih. Tentu saja itu bukan anjuran agar para istri
sebaiknya tak usah bertarawih, asalkan ia selalu tersenyum kepada suaminya.

Sesungguhnya kalau kita murah senyum, pergaulan akan lebih indah, hangat dan
segar. Namun demikian atas seulas senyum, sahabat-sahabat kita bisa selalu tanpa
sadar menyiapkan seribu penafsiran. Kalau sambil jalan di trotoar kita senyum terus,
orang bisa menyangka kita sinting. Kalau dalam situasi berdesakan di bis kota kita
tersenyum dan pandangan mata kita mengarah ke seseorang yang hatinya sedang
gundah, kita bisa ditonjok karena dia tersinggung atau merasa diejek.

Atau kalau sebagai wanita cantik Anda tersenyum kepada saya, lantas ternyata saya
GR dan diam-diam menafsirkan bahwa senyuman Anda itu bermakna cinta atau
naksir - misalnya -- lantas ternyata tidak ada kelanjutan tindakan dari Anda sesuai
dengan logika harapan saya; bisa jadi Anda lantas saya tuduh telah menipu sesudah
memberi saya harapan.

Tapi insyaallah saya tidak akan mencelakakan umpamanya dengan mengumum-


umumkan tuduhan saya itu ke seantero negeri.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (178)/1999/PadhangmBulanNetDok)


MODE BUDAYA AGAMA
Agama, karena di dalamnya terkandung ilmu dan potensialitas budaya, bisa menjadi
cermin yang jernih dan bening. Termasuk bulan Ramadhan, di mana tradisi puasa
dihiasi dengan berbagi bentuk kultur.
Yang terpantul dari cermin bening Ramadhan bukan hanya kadar kesalehan kita,
mutu iman kita, atau kualitas cinta kita kepada Allah -- tetapi bisa juga tercermin
kelemahan kita, kekurangan kita, bahkan kemunafikan kita.

Misalnya, sebagai masyarakat modern kita sangat sayaaaaaang banget terhadap


budaya mode. Sehingga kecenderungan dan muatan mode juga sangat memenuhi
perilaku budaya Agama kita, termasuk Ramadhan.
Kita sering terjebak untuk memperagakan barang tertentu yang dalam kehidupan
nyata tak pernah kita pakai. Kita mengiklankan, mempromosikan dan
mensosialisasikan sesuatu yang kita tak perlu setia kepadanya.

Sungguh sangat menakutkan kalau puasa, Ramadhan dan Agama kita jebak juga
menjadi semacam mode yang kita peragakan -- meskipun tak berarti sepenuhnya
kehadiran kita itu acting belaka.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (177)/1998/PadhangmBulanNetDok)


Besar dan Kecil, Permainan Apa, Bu?
Besar dan kecil. Besar kecil.
permainan apa sesungguhnya itu, Bu?
Ibu mengerjakan besar dan kecil hanya berlaku bagi kedudukan antara Tuhan dan
manusia. Selebihnya kata besar dan kecil kita pakai hanya sebagai bahasa, tidak
sebagai hakekat.
Namun anak-anakmu meniup balonbalon besar untuk menyembunyikan
kekecilannya—tidak di hadapan Allah --melainkan di hadapan manusia atau sesuatu
lainnya. Anak-anakmu belum memerdekakan dirinya dari struktur kasta besar kecil
yang menapasi hampir semua segi perhubungan antara manusia.
Sungguh, di hadapan Ibu anakmu harus bertanya dengan perasaan mendalam,
kenapa belum bisa dihindarkan berlangsungnya tatanan yang demikian keras
membedakan antara yang kecil dengan yang besar?
Orang derajat kecil orang derajat besar?
Ekonomi kecil ekonomi besar? Kesudraan sosial kecil kepriyaian sosial besar?
Serdadu ilmu kecil dan ksatriya ilmu besar? Rendah diri dan besar kepala?
Pertanyaan itu harus dipelihara seperti menjaga mutiara hati kecil yang tak pernah
terlihatdan amat jarang
disadari. Pertanyaan itu menyimpan cita-cita yang tidak masuk akal, namun lebih tak
masuk akal lagi apabila kita membatalkannya sebagai cita-cita.
Pertanyaan itu harus disirami kesuburannya, seperti kita diam-diam tak pernah
melepaskan nurani yang teramat lembut, meskipun ia menjadi bahan tertawaan di
tengah kesibukan pasar, di riuh lalulintas yang pusing kepala. ‘

kita tidak perlu menjadi nabi untuk menanganpanjangi keterangan Allah yang
selama ini diremehkan orang. “Siapa bersyukur akan kutambahkan rahmat- Ku,
siapa ingkar akan kusiksa sedahsyat-dahsyatnya.“ Kita tidak harus beridentitas
Rasul untuk mengabarkan rasa takut kepada- Nya yang menegaskan “Afahasibtum
annama khalaqnakum ‘‘abatsa.“ (kalian pikir Kuciptakan semua ini untuk iseng-
iseng?). (EAN)

(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan


Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)

REMEH DAN KERDIL


Aku mengalami kehidupan yang remeh yang dihuni oleh penduduk kerdil.
Aku warga dari suatu negara yang sangat penuh berisi segala sesuatu yang remeh-
remeh, dengan para penghuni yang sangat mengagumi kekerdilan.
Aku rakyat dari suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh.
Aku bagian dari perjalanan sejarah suatu mesyarakat kerdil yang sangat sibuk
menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang remeh.
Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh.
Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka kehebatan oleh para pemuja kekerdilan.
Oleh pembangunan remeh yang menghasilkan bangunan-bangunan kekerdilan.
Oleh pertimbangan-pertimbangan peradaban yang remeh untuk berpanjang lebar
memperjuangkan monumen-monumen kekerdilan.
Oleh ideologi-ideologi besar yang semakin diterapkan semakin memperjelas
keremehan dan kekerdilan pelakunya.
Oleh karya-karya remeh yang penciptanya merasa besar sehingga kerdil.
Oleh tayangan-tayangan remeh yang pembuatnya sangat membangggakannya dan
memerlukan puluhan tahun serta penderitaan di akhir kehidupan untuk memahami
yang mereka lakukan adalah kekerdilan.
Oleh remehnya kekerdilan kepemimpinan.
Oleh kerdilnya organisasi dan institusi remeh.
Oleh produksi kerdil dan konsumsi remeh.
Oleh sekolahan kerdil dan gelar-gelar remeh.
Oleh diskusi kerdil dan ceramah remeh.
Oleh cita-cita hidup yang remeh yang disangka kehebatan sehingga satu persatu
kaki kekerdilannya tersandung batu zaman.
Bahkan oleh perilaku ibadah dengan penghayatan kerdil an perjuangan yang
pijakannya adalah keremehan sehingga goalnya hanya dua: kekerdilan atau
keremehan.
Oleh suatu bangsa yang sangat bergembira dan menikmati segala yang remeh-
remeh. Dan yang paling remeh dari segala yang remeh itu adalah bahwa kami
semua sama sekali tidak mengerti bahwa itu semua adalah remeh.
Lebih remeh lagi karena kami marah kalau ada yang menyebut kehidupan kami
sangat bergelimang keremehan-keremehan...

(Emha Ainun Nadjib/"Isteriku Seribu"/PROGRESS/2007/PadhangmBulanNetDok)

IBUNDA
Ibumu adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi jimat bagi rizki dan kebahagiaanmu
Tanah air adalah Ibunda alammu
Lepaskan alas kaki keangkuhanmu
Agar setiap pori-pori kulitmu menghirup zat kimia kasih sayangnya
Sentuhkan keningmu pada hamparan debu
Reguklah air murni dari kandungan kalbunya
Karena Ibunda tanah airmu itulah pasal pertama setiap kata ilmu dan lembar
pembangunan hidupmu

Rakyat adalah Ibunda sejarahmu


Rakyat bukan bawahanmu, melainkan atasanmu
Jangan kau tengok mereka ke bawah kakimu, karena justru engkau adalah alas kaki
mereka yang bertugas melindungi kaki mereka dari luka-luka
Rakyat bukan anak buahmu yang engkau berhak menyuruh-nyuruh dan mengawasi
Rakyat adalah Tuanmu, yang di genggaman tangannya terletak hitam putih nasibmu
di hadapan mata Tuhan

Rakyat adalah Ibunda yang menyayangimu


Takutlah kepada air matanya, karena jika Ibunda menangis karena engkau
tusuk perasaannya, Tuhan akan mengubah peranNya dari Sang Penabur Kasih
Sayang
menjadi Sang Pengancam, Sang Penyiksa yang maha dahsyat

Ibunda darahmu
Ibunda tanah airmu
Ibunda rakyatmu
Adalah sumber nafkahmu, kunci kesejahteraanmu serta mata air kebahagiaan
hidupmu
Pejamkanlah mata, rasakan kedekatan cintanya
Sebab ketika itu Tuhan sendiri yang mengalir dalam kehangatan darahnya
Kalau Ibunda membelai rambutmu
Kalau Ibunda mengusap keningmu, memijiti kakimu
Nikmatilah dengan syukur dan batin yang bersujud
Karena sesungguhnya Allah sendiri yang hadir dan maujud
Kalau dari tempat yang jauh engkau kangen kepada ibunda
Kalau dari tempat yang jauh ibunda kangen kepada engkau, dendangkanlah
nyanyian puji-puji untuk Tuhanmu
Karena setiap bunyi kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala ciptaanNya
Kalau engkau menangis Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan
Menangislah banyak-banyak untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun Ibumu menangis karenamu
Kecuali engkau punya keberanian untuk membuat Tuhan naik pitam kepada
hidupmu
kalau ibundamu menangis, para Malaikat menjelma jadi butiranbutiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda membuat para malaikat itu silau
dan marah kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci sehingga Allah tidak
melarang mereka tatkala menutup pintu sorga bagimu
Ibu kandungmu adalah ibunda kehidupanmu
Jangan sakiti hatinya, karena ibundamu akan senantiasa memaafkanmu
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas setiap kesalahanmu akan digenggam erat-
erat oleh para malaikat untuk mereka usulkan kepada Tuhan agar dijadikan kayu
bakar nerakamu
Rakyat negerimu adalah ibunda sejarahmu
Demi nasibmu sendiri jangan pernah injak kepala mereka
Demi keselamatanmu sendiri jangan curi makanan mereka
Demi kemashlahatan anak cucumu sendiri jangan pernah hisap darah
mereka
Jangan pernah rampok tanah mereka
Sebab engkau tidak bisa menang atas Ibundamu sendiri
Dan ibundamu tidak pernah ingin mengalahkanmu
Sebab pemerintahmu tidak akan bisa menang atas rakyatmu
Sebab rakyatmulah ibunda yang melahirkanmu
Serta ia pulalah yang nanti akan menguburkanmu sambil menangis, karena ia tidak
menjadi bahagia oleh deritamu, karena ibu sejarahmu itu tidak bergembira oleh
kejatuhanmu
Ibundamu, tanah airmu, rakyatmu
Tak akan pernah bisa engkau kalahkan
Engkau merasa menang sehari semalam
Esok pagi engkau tumbang
Sementara Ibundamu, tanah airmu, rakyatmu
Tetap tegak di singgasana kemuliaan

Senin, 15.12.1992
(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan
Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)

Bekerja itu Memproduksi Tenaga


Ibu, anakmu bukan berpejam mata terhadap betapa penting perkembangan
pemikiran-pemikiran.
Anakmu belum segila itu.
Tapi ia merasa terlibat di dalam belum berhasilnya manusia memfungsikan ilmu
pengetahuan untuk berpacu melawan laju kebobrokan.
Anakmu memusatkan omongannya ini pada ironi yang anakmu sandang sendiri. Ibu,
kami sibuk merumus-rumuskan keadaan, meniti dan menggambar peta masalah,
mengucapkan dan mengumumkannya.
Pengumuman itu mandeg sebagai pengumuman. tulisan mengabdi kepada dirinya
sendiri.
Sedangkan Ibu, hampir tanpa kata, berada di dalam peta itu, menjawabnya dengan
tangan, kaki dan keringat.
Kami menghabiskan hari demi hari untuk mengeja gejala, dengan susah payah
berusaha menjelaskan kepada diri sendiri, sampai akhirnya kelelahan, lungkrah dan
ngantuk—Ibu pula yang dengan tekun memijiti tubuh kami.
Ibu tak kehabisan tenaga. Apakah Ibu menyewanya langsung dari Tuhan?
Ya, Bu. Bekerja itu memproduksi tenaga. Berpikir, yang hanya berpikir, selalu
menciptakan keletihan, yang belum tentu ada gunanya.
Manusia hendaknya tahu diri, belajar bertawadlu’ dan mencoba mengenali rahasia-
rahasia firman-Nya, atau yang alau memakai bahasa keduniaan manusia; mengenali
retorika dan diplomasi-Nya. Jangan sekali-kali kita terjebak dalam kandungan dan
membayangkan Allah memiliki kepentingan atas kehidupan dan segala pekerjaan
kita.

(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan


Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)

WAWANCARA
SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya
tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan.

Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah
kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari
mempergunjingkan dan menggosipkan orang.

Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa
sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya
saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada
perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau
bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya
sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.

Tuhan mengetahui apa saja, malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan
bukan hanya sekedar tahu ada peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan
hanya sekedar mengerti teknik wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan
tahu persis jumlah korupsi seorang pejabat. Wartawan tahu tanah yang dikosongkan
penduduk itu akan dikapling untuk proyek apa. Wartawan tahu berapa korban yang
sebenarnya dalam sebuah letusan peristiwa. Wartawan tahu skenario-skenario apa
saja yang disembunyikan dari mata masyarakat. Wartawan tahu berapa lama lagi
akan terjadi devaluasi atau kapan persisnya seorang raja akan turun takhta. Dan
yang terpenting dari semua itu, wartawan tahu secara mendetail setiap pori tubuh
bintang-bintang film tertentu, saya ulangi --bintang-bintang film tertentu-- dalam
keadaan sangat jujur dan penuh keterbukaan. Foto-foto tubuh yang innocent, tanpa
tedeng aling-aling. Baik yang diambil di lokasi alam, di ranjang kamar, di atas
wastafel, atau
sedang bercengkerama dengan kuda.

Saya buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para
bintang film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film
dari ideologi buka aurat yang makin merajalela.

Kalau kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran
tubuh, terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi
masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya
sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.

Dan lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya,
waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya
beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya
mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian
saya memilih jadi wartawan politik saja.

Kenapa? Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama.
Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum,
dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat
tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur
sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha.
Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah ditampilkan
dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih indah dari
warna aslinya.

Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat
telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan
kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan
kami juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan
pekerjaan, asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya
duit gitu lho…!

Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan.
Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh
dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya
jumpai dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia
dimana kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu
membeli celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa
sama sekali.

Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin
menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah
kekurangan lakon. Kita tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan
cara yang lebih canggih. Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung
kita bikin judul yang mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.

Ternyata, masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat


benci kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras.
Ditambah dengan makin bodohnya masyarakat modern, buku dan majalahpun harus
mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya
supaya tidak kecelakaan, bagaimana melakukan penyelewengan secara canggih
dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa
keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam hal ini saya telah
mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagogi, pastor dan kiai. Orang bahkan
penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantung
pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup
melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme.
Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme,
lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.

Akan tetapi di hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal. Liputan-
liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka
pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara
langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang
lelaki bukan seorang wanita.

Kalau mewawancarai presiden atau gubernur, jelas birokrasinya. Tapi


mewawancarai seks? Dimana gerangan seks berada?

Sudah tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga
tinggal sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.
Seks itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks,
saya mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin
puyeng oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu
memang religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan
manifestasi dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar
dipandang, didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius
hanya terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan
hewaninya belaka.

Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama?
tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya,
dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa
seks.

Namun, ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak
tahu Mas. Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun
menjawab secara kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan
jalan bersenggama disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme.
Hanya ekstase. Kalau saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke
pelacur begini..!!�

Kemudian di losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana


mahasiswa-mahasiswi atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa
kamar satu dua jam, saya juga memperoleh jawaban yang mengecewakan,"Gini lho,
Mas. Kalau saya sedang sendiri, saya begitu tergoda oleh seks. Tapi kalau sudah
berdua di kamar, paling jauh yang saya jumpai adalah diri kami sendiri yang berubah
menjelma menjadi kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa
yang kami simpan diam-diam.“

Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak,
jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks.
Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"

"Lho sangat berbeda," kata pemred saya.


"Persenggamaan itu sekedar alat, atau cara, atau tarekat, untuk mencari dan
menemukan seks. Seks itu suci. Seks itu tinggi derajatnya. Dan derajat kesucian
seks tidak mungkin kamu jumpai di kopel-kopel pelacuran, di losmen
penyelewengan atau wisma skandal, juga tidak di kamar-kamar kost kumpul kebo."

"Ruwet, Pak!� kata saya


"Karena kamu sukanya bersenggama, tapi salah paham terhadaps seks. Kamu
menyamakan persenggamaan dengan seks seperti menyamakan sembahyang
dengan Tuhan, atau perkawinan dengan kebahagian, atau nasi dengan rasa
kenyang. Kalau kamu sudah tiba di kebahagiaan, perkawinan tak dibutuhkan. Kalau
kamu sudah tinggal di Tuhan, kendaraan sembahyang tak diperlukan. Kalau kamu
sudah bersemayam di dalam seks, persenggamaan tak dibutuhkan.�
"Kalau begitu," kata saya jengkel,"biarlah saya tak pernah tiba pada seks...! []
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Tanahku, Hutanku, Kuburanku
Rencananya, sesudah diskusi ulang tahun ke-52 Lembaga Administrasi Nasional, 4
Agustus pagi itu, saya janji langsung ke Rumah Sakit Mitra Keluarga untuk turut
mengantarkan Rendra pulang ke rumah Clara Shinta, putrinya, di Pesona
Khayangan, Depok. Namun, tiba-tiba Mbah Surip dipanggil Tuhan sehingga seusai
diskusi, saya dengan beberapa teman Kenduri Cinta langsung menuju rumah
Mamiek Slamet di Kampung Makassar, tempat pertama jenazah beliau
disemayamkan.

Memasuki kampung padat gang sempit penuh orang dan wartawan, tiba juga kami
di depan rumah Mamiek. Pintu ditutup rapat. Manohara barusan masuk. Kami tidak
punya "kompetensi" untuk berjuang agar bisa dibukakan pintu sebab kami tidak tahu
posisi kami dalam dunia Mbah Surip: apakah kami termasuk di lingkaran primer
sahabatnya, atau lingkungan sekunder, ataukah fans belaka sebagai ratusan
khalayak yang memadati tempat itu.

Bersama Dr Nursamad Kamba, aktivis Thariqat Naqshabandy Mesir, kami mengaji


dan berdoa di sebuah pojok, kemudian berniat langsung saja ke Cipayung, tempat
Mbah Surip akan disemayamkan. Jalan kami terdesak-desak oleh arus massa yang
berlomba mengerumuni dan menciumi tangan Manohara, tetapi syukur bisa lolos
juga dan langsung menuju kompleks Bengkel Teater Rendra di Cipayung.

Sesampai di sana kami terbentur problem "kompetensi etis" lagi sehingga hanya
berkumpul di sebuah rumah tetangga Rendra untuk berdoa dan shalat gaib
bersama. Kami menyepakati agar Noe "Letto" dan satu dua teman yang masuk ke
tempat jenazah Mbah Surip disemayamkan.

Pukul 20.00, kami cabut menuju Pesona Khayangan Kav-5 untuk menemani Rendra
yang terbaring sakit. Problem jantung dan ginjal beliau semakin mereda sesudah
berpindah tiga rumah sakit, tetapi lalu tiba-tiba terserang demam berdarah sehingga
rencana untuk keluar dari RS Mitra tertunda menunggu trombositnya naik. Syukur
beliau akhirnya diizinkan pulang dan mulai ditangani oleh sebuah klinik herbal di
Jakarta Barat.

"Menonton" Mbah Surip

Rendra telentang, rambutnya dipotong pendek sejak seminggu sebelumnya,


tubuhnya masih kuyu, tetapi wajahnya mulai bersinar.

"Hatinya lebih tenteram di sini, Mas?" saya menyapa sambil memegangi tangannya.
Rendra tersenyum, menganggukkan kepala, dan memancarkan sorot mata
optimisme. Rendra bukan orang yang pernah suka menyembunyikan isi hatinya
sehingga kalau hatinya tidak benar-benar lebih tenteram, ia pasti menjawab dengan
keras dan tegas, "Ora!"

Kami berbisik-bisik mengobrol pendek-pendek, tentang kelegaannya ditangani


dengan metode yang lebih natural, tetapi menyepakati kesiapan seluruh segi untuk
sewaktu-waktu berpindah ke rumah sakit di Singapura, yang memang sudah kami
runding sejak dua minggu sebelumnya.

Ken Zuraida, istri beliau, dan Meme, putri mereka, lalu lalang menyiapkan ini itu
yang diperlukan. A´u alias Clara Shinta, putri Rendra dari istri pertamanya, Sunarti,
tak pernah diperbolehkan papanya lepas beberapa meter saja pun darinya, siang
dan malam. Juga Arifin, semacam asisten pribadi Rendra yang senantiasa siap
ceplas-ceplos bergurau menyegarkan jiwa Rendra, tidak pernah bisa beranjak dari
seputar Rendra. Jika beranjak akan terdengar suara berat memanggil-manggilnya,
"Fiiin! Fiiin!"

Namun, malam itu Rachell, putri Rendra dari Sitoresmi, sedang pamit ke Yogyakarta
sehingga tak terdengar gurauan liberal yang segar antara bapak dan putrinya.

Suasana di pembaringan Rendra kemudian bahkan agak berubah sendu. Di


seberang pandang Rendra, televisi sedang menayangkan siaran langsung prosesi
pemakaman Mbah Surip.

Ribuan orang dan ratusan wartawan memenuhi "rumah Rendra". Rendra menatap
televisi dengan ekspresi wajah yang tidak segera bisa saya raba. Apakah mereka
tahu di mana gerangan tuan rumahnya Mbah Surip berada? Kenapa Rendra tak
tampak turut takziah kepada tamunya? Apakah ada yang tahu bahwa si tuan rumah
sedang terbaring sakit sejak dua bulan sebelum Mbah Surip meninggalkannya?

Anatomi nilai

Tatkala terbaring di rumah sakit, Rendra pernah berbisik, "Kapan saya pulang,
Nun?" Saya agak mengelak, "Kalau pulang, ke mana, Mas?" Ia menjawab, "Ke
Cipayung. Itu tanahku, itu hutanku, itu kuburanku...."

Lalu, tatkala diperkenankan pulang, ia mengambil keputusan, akan pulang ke rumah


putrinya, A´u. Saya memahaminya sebagai ungkapan kearifan dan kemuliaan
hatinya untuk berbagi kegembiraan dan keadilan bagi siapa saja di dalam lingkup
keluarganya. Ternyata kemuliaan hati Rendra itu dituntun Tuhan. Sesudah dua hari
berbaring di rumah putrinya, ia rebah di "tanahku, hutanku, kuburanku".

Tiba-tiba, tatkala bersama Komunitas Padangbulan saya berbincang di bawah


cahaya bulan purnama di Jombang, 6 Agustus pukul 22.05, di panggung saya
memperoleh telepon bahwa Rendra telah dijemput oleh Malaikat Izroil karena
lamaran cintanya diterima Allah SWT. Beberapa jam sebelumnya, tatkala maghrib,
ia memanggil A´u dan Arifin, bertanya, "Kalau aku mati, kamu ikut siapa?" Tentu
saja mereka berdua menjawab, "Papa tidak boleh omong seperti itu."

Hati saya mungkin kotor karena spontan yang muncul di benak saya sesudah
mendengar kepergian Rendra adalah "apakah akan ada siaran langsung juga
sebagaimana Mbah Surip?"

Saya mencoba memaafkan diri sendiri dengan meyakini bahwa pertanyaan itu
muncul tidak dari konteks eksistensialisme dan kemasyhuran, melainkan ujian
berpikir bagi diri saya sendiri, dan syukur bagi seluruh bangsa Indonesia, khususnya
bagi dunia jurnalisme negeri ini. Apakah tidak sebaiknya kita mempertanyakan
kembali parameter-parameter nilai kehidupan yang berlaku.

Bagaimana sebenarnya kita menggambar "anatomi nilai" kebudayaan kita? Yang


mana dan siapa "kepala", yang mana dan siapa "tangan", "kaki", "otak", "nurani",
dan "kelamin"?

Jangan dulu bertanya tentang kaliber karya dan kepribadian Rendra. Kita benahi
dulu: yang primer itu akal ataukah nurani, ataukah kelamin? Yang utama bagi
informasi dan komunikasi kebudayaan kita ini prestasi akal, pencapaian estetika dan
nurani, atau euforia nafsu dangkal kelamin-baik yang diekspresikan dan
diperjualbelikan secara eksplisit kelamin maupun yang implisit dan tak kentara
bahwa sesungguhnya "rating tertinggi" yang kita imani adalah "packaging"
kedangkalan, kekonyolan, kehinaan, dan kerendahan?

Wallahualam. Saya berdebar dari detik ke detik. Di tangan saya tergenggam lembar
kertas yang bertuliskan puisi terakhir Rendra yang ia tulis pada 31 Juli 2009 di RS
Mitra Keluarga....
(Muhammad Ainun Nadjib/Kompas/Sabtu, 8 Agustus 2009/PadhangmBulanNetDok)
Hidup Itu Di Hati
Manusia hidup dari hatinya. Manusia bertempat tinggal dihatinya. Hati adalah
sebuah perjalanan panjang. Manusia menyusurinya, menuju kepuasannya,
kesejahteraannya, kebahagiannya, & Tuhannya. Berbagai
makhluk menghalanginya, terkadang, atau sering kali, dirinya sendirilah yang
merintanginya.

Hati adalah pusat kehendak yang membuat manusia tertawa dan menangis, sedih
dan gembira, suka ria atau berputus asa. Manusia mengembara dihatinya: pikiran
membantunya, maka pikiran harus bekerja sekeras-kerasnya, pikiran bisa perlu ber-
revolusi, pikiran tak boleh tidur, pikiran harus dipacu lebih cepat dari waktu cahaya.

Hati tidak selalu mengerti persis apa yang dikehendakinya. Ia hanya bisa berkiblat
ke Tuhannya untuk memperoleh kejernihan dan ketepatan kemauannya.

Pikiran ikut menolongnya mendapatkan kejernihan dan ketetapan itu, tapi pikiran
tidak bisa menerangkan apa-apa tentang Tuhannya. Pikiran mengabdi kepada
hatinya, hati selalu bertanya kepada Tuhannya. Di
hadapan Tuhan, pikiran adalah kegelapan dan kebodohan. Jika pikiran ingin
mencapai Tuhannya, ia menyesuaikan diri dengan hukum dimensi hatinya. Jika
tidak, pikiran akan menawarkan kerusakan, keterjebakan dan bumerang.

Jika pikiran hanya mampu mempersembahkan benda-benda kepada hatinya, maka


hati akan tercampak ke ruang hampa, dan pikiran sendiri memperlebar jarak dari
Tuhannya.

Badan akan lebur ke tanah. Pikiran akan lebur diruang dan waktu. Hati akan lebur di
Tuhan. Jika derajat hati diturunkan ke tanah, jika tingkat pikiran bersibuk dengan
bongkahan logam, maka dalam keniscayaan lebur ke Tuhan, mereka akan hanya
siap menjadi onggokan kayu, yang terbakar tidak oleh cinta kasih Tuhan, melainkan
oleh api.

Jika hati hanya berpedoman kepada badan, maka ia hanya akan ketakutan oleh
batas usia, oleh mati, oleh kemelaratan, oleh ketidakpunyaan. Jika pikiran hanya
mengurusi badan, jika pikiran tak kenal ujung maka ia akan rakus kepada alam,
akan membusung dengan keangkuhan, kemudian kaget dan kecewa oleh segala
yang dihasilkan.
(Emha Ainun Nadjib/"Dari Pojok Sejarah"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)

Kebijaksanaan Cendol
Karena akan menerima tamu dari Thailand, maka Kiai itu merasa harus
menyuguhkan Jawa. Segala yang nampak pada Pondok Pesantren yang
dipimpinnya, sebenarnya relatif sudah mengekspresikan tradisional Jawa. Potret
desa, model-model bangunan dan irama kehidupannya. Sang tamu besok mungkin
akan mendengarkan para santri berbincang dalam bahasa Arab atau Inggris. Tapi
itu bukan masalahnya. Yang penting Kiai kita ini tidak akan mungkin menyediakan
Coca Cola ke depan hidung tamunya dari tanah Thai itu.

Demikianlah akhirnya sekalian santriyah yang tergabung dalam Qismul Mathbah


(Departemen Dapur) bertugas memasak berbagai variasi menu Jawa. Dari sarapan
grontol, makan siang nasi brongkos, malam gudeg, besoknya pecel, lalu sayur asem
dengan snack lemet dan limpung.

Sang Kiai sendiri “cancut tali wondo” mempersiapkan suguhan siang hari yang
diperkirakan bakal terik. Ia dengan vespa kunonya melaju, membawa semacam
tempat sayur yang besar. Empat kilometer ditempuh, dan sampailah ia ke warung
kecil di tepi jalan. Seorang Bapak tua penjual cendol. Sang Kiai sudah
memperhitungkan waktunya untuk sampai pada bapak cendol ini pada dinihari saat
jualannya. Yakni ketika stock masih melimpah.

Terjadilah dialog dalam bahasa Jawa krama-madya.

"Masih banyak, pak?"

"Masih Den, wong baru saja bukak beberan"

"Alhamdulillah, ini akan saya beli semua. Berapa?"

Pak Cendol kaget, "Lho, Jangan Den!" jawabnya spontan

Sang Kiai pun tak kalah kagetnya: "Kok jangan?"

"Lho, kalau dibeli semua, bagaimana saya bisa berjualan?"

Sang Kiai terbelalak. Hatinya mulai knocked-down, tapi belum disadarinya.

"Lho, kan saya beli semuanya, jadi bapak nggak perlu repot-repot berjualan lagi
disini hari ini."

Pak Cendol tertawa dan sang Kiai makin terperangah.

"Orang jualan kan untuk dibeli. Kalau sudah laku semua kan malah beres?"

Pak Cendol makin terkekeh.


"Panjenengan ini bagaimana tho Den! Kalau dagangan saya ini dibeli semua, nanti
kalau orang lainnya mau beli bagaimana! Mereka kan tidak kebagian!"

Knock-Outlah Sang Kiai.

Ia terpana. Pikirannya terguncang. Kemudian sambil tergeregap ia berkata:


"Maafkan, maafkan saya pak. Baiklah sekarang bapak kasih berapa saja yang
bapak mau jual kepada saya."

Seperti seorang aktor di panggung yang disoraki penonton, ia kemudian


mendapatkan vespanya dan ngeloyor pulang.

Sesampainya di Pondok ia langsung memberikan cendol ke dapur dan memberi


beberapa penugasan kepada santriyah, kemudian ia menuju kamar, bersujud syukur
dan mengucapkan istighfar, lantas melemparkan tubuhnya di ranjang.

Alangkah dini pengalaman batinku gumannya dalam hati. Sembahyang dan latihan
hidupku masih amat kurang. Aku sungguh belum apa-apa di depan orang luar biasa
itu. Ia tidak silau oleh rejeki nomplok. Ia tidak ditaklukan oleh sifat kemudahan-
kemudahan memperoleh uang. Ia terhindar dari sifat rakus. Ia tetap punya dharma
kepada sesama manusia sebagai penjual kepada pembeli-pembelinya.

Ia bukan hanya seorang pedagang. Ia seorang manusia!


(Muhammad Ainun Nadjib/“Indonesia Bagian Dari Desa
Saya”/Bentang/PadhangmBulanNetDok)
Berdzikir Hamba-Ku, Berdzikir!
Kalian berdzikir "Subhanallah"
Maha Suci Allah, Maha Suci Allah
Apa benar kalian mensucikan Aku?
Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku?
Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan dan kemajuan bangsa kalian -
mensucikan Aku?

Kalian berdzikir "Alhamdulillah"


Segala puji bagi Allah, Segala puji bagi Allah
Apa benar perekonomian kalian memuji Aku?
Apa benar gedung-gedung kalian, kantor-kantor kalian, pertimbangan dan
keputusan kalian, kasih dan sepak terjang kalian - memuji Aku?

Kalian berdzikir "Wa lailaha illallah",


Tiada tuhan selain Allah
Hai hamba-Ku, apa benar Akulah yang kalian tuhankan?
Apa benar Aku faktor primer dalam bagan strategi sejarah kalian?
Apa benar Aku yang nomor satu di dalam kerangka akal dan susunan pikiran kalian
Apa benar cinta kalian mendasar kepadaKu?
Apa benar Aku sedang menarik hati kalian, dibanding uang, keuntungan dan
kekuasaan dunia?

Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu di negeri penyembah berhala yang kalian
bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?

Kau lakukan kedhaliman di sana-sini


Merata di seantero negeri
Kedhaliman yang samar sampai yang transparan
Kedhaliman struktural, sistemik
Bahkan kedhaliman yang telanjang dan kasat mata
Kedhaliman bahkan kepada dzatKu
Kepada hakekat dan syariat eksistensiKu
Kemudian kalian ucapkan "Allahu Akbar"
Tanpa sedikitpun rasa malu

Bahkan masjid-masjidmu, yakni rumah-rumah suciKu


Kalian pakai untuk menendangku
Sebagian dari kalian membangun rumahKu dengan sisa-sisa uang perampokan
struktural
Sebagian dari kalian menegakkan rumahKu dengan biaya hasil mengemis-ngemis di
tengah jalan

Kalian mengemis atas namaKu,


Kalian melantikku sebagai Sang Maha Pengemis
Di masjid-masjid kalian tertulis : Allah yang Maha Fakir Miskin.
Oleh karena itu setiap orang perlu menaruh rasa belas kasihan kepadaKu
Dan jika datang seorang koruptor membereskan semua pembiayaan masjid itu,
dialah yang kau puji-puji dan kau sanjung-sanjung

(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)


Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa(ii)
Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak ada kebaikan,
tak ada kejujuran atau kejernihan.
Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin.
Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita mengagumi
kegantengan dan kecantikan wajah kita.
Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita.
Jangan khawatir, Anda tidak termasuk para koruptor, pada level mana pun.
Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan Anda setiap
saat.
Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan kejujuran.
Tuhan tidak Anda "letakkan" di samping, tidak Anda perlakukan sebagai "pihak
ketiga" sehingga Anda sebut "Ia"--dan bukan "Engkau".
Tapi pandanglah wajah-wajah kami!
Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah korupsi di
wajah kami.
Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.
Kami-kami yang orang sentral maupun orang perifekal.
Kami-kami orang atas maupun orang bawah.
Kami-kami orang penting maupun orang tak penting.
Kami-kami para pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat.
Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga demokrasi.
Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini?
Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana lagi?
Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini: "makhluk" bikinan manusia yang jauh lebih
besar dan jauh lebih kuat dbanding manusia ini?
Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisi penilaian sampai
berapa dekade sejarah lagi.
Sudut sistem. Sudut budaya. Sudut antropologi.
Atau segala macam latarbelakang yang sebelah mana lagi yang akan kita papar-
paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi dan memprihatinkan masalah
korupsi--untuk kemudian kita kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak
makin mereda, membosankan untuk dipersoalkan namun menikmatkan untuk terus
dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Atau bertanya apakah engkau, wahai Emha, sedang marah-marah oleh berita
tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal korupsi dan korupsi dan korupsi--
yang dibeberkan, yang diurus, yang dibawa ke altar pengadilan--itu sesungguhnya
hanya sepersekian persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi
dan korupsi?
Emha menjawab: Tidak. Ambillah dunia seluruhnya, genggam di tanganmu,
kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan mulutmu, masukkan padatan
itu, telanlah, suruh ia mengembara di ususmu yang melingkar-lingkar, kemudian aku
doakan: duburmu tidak sobek karena itu.
Ambillah negara ini, tanah ini, tambang ini, aset ini, akses ini, modal ini, perusahaan
ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini- -apapun saja, ambillah.
Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak punya urusan
pribadi dengan semua itu. Aku tak punya kepentingan pribadi terhadap itu semua.
Bertengkarlah manusia.
Bersainglah pembesar-pembesar.
Sikut-sikutanlah kakap-kakap.
Sabot-menyabotlah kalian kaum raksasa. Aku tak punya urusan pribadi dengan itu
semua. Caploklah planet bumi ini, kluwungilah tujuh samudera, rendamlah badanmu
di kawah-kawah gunung.
Jaringlah waktu, zaman, kurun. Cengkeramlah kukumu hinga ke 1998, 2003, dan
nyanyikan lagu penyair romantik "Aku ingin hidup seribu tahun lagi!"
Itu semua tak menyedihkanku. Tak membuat diriku prihatin atau berang. "Aku
pribadi" tak punya urusan dengan keserakahan apapun di sekelilingku. Adapun
kalau engkau mendengarkan ada semacam
keprihatinan, kemarahan atau kesedihan--itu tak berasal dari "diri pribadi"-ku
melainkan dari "diri sosial".
"Diri pribadi"-ku abadi hingga ke Tuhan. "Diri sosial"-ku terbatas: kalau engkau tiba
pada tahap di mana Tuhan mengalungkan tanganmu sendiri di lehermu, sambil
menutup mata, hati, dan telingamu, serta membuatmu "tak bisa kembali"--maka diri
pribadiku akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh Tuhan
untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan, segala ketegangan dan
penyakit jiwa manusia di muka bumi.
Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya mencari harta,
memeras enerjinya untuk menyabet uang siang dan malam, serta yang menjual
harga kemanusiaannya untuk maling hak orang lain alias melakukan korupsi--tak
ada julukan lain kecuali, bodoh, tegang, dan sakit jiwa.
Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang dunia, harta, serta
tentang hidup dan mati--mengalami kekeliruan dan ketidakilmiahan secara
mendasar. Ia sangat tegang terhadap segala yang sudah dimilikinya, yang akan
dimilikinya, yang bisa dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin
dimilikinya.
Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya.

(Emha Ainun Nadjib/Zaituna/"Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam


Negara"/PadhangmBulanNetDok)
DITANYAKAN KEPADANYA
Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta


Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas


Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya sapakah penindas


Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan


Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang lalai


Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar


Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan


Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah pedagang penyihir


Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi


Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta


Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia

1988
(Emha Ainun Najib/PadhangmBulanNetDok)
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari pamong-pamong
desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir, bahkan pun sampai di
sekitar koper dan surban ratusan ribu para calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit, dan detik.
Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi menjadi salah satu
identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang selalu merasa besar ini,
bangsa yang selalu membesarbesarkan dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat merasa "GR", tak
tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsip-prinsip dasar
kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di sel-sel dan
jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan "petunjuk". Kegilaan
nasional kita semua dalam menggunakan kosakata "petunjuk"--tak lain tak bukan--
adalah perbuatan takabur kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak boleh ada dua
atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak diperlukan persatuan atau pun
kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai korupsi atas
kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara, gelondongan kayu,
sampai korupsi atas informasi mengenai para nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon maha indah di
leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu sendiri serta
yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran yang memotong usus nasib
berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di rombongan kloter
sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala orang-orang yang setiap saat
dijunjung-junjung sebagai pemimpin--sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia
memang benar-benar manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung,
dipikul dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan bersama, ditutupi
dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum wewangian retorika dan excusing yang
bisa didaftar berpuluh-puluh dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi "naluri alamiah" tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan pribadi, maupun
karena secara kolektif tak pernah ada jaminan bahwa kalau seseorang tidak korup
maka lainnya pun tidak.

(bersambung ====>>)

(Emha Ainun Nadjib/"Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam


Negara"/1999/Zaituna/PadhangmbulanNetDok)

Ibu, Tamparlah Mulut Anak-anakmu


Ibu, engkau duduk di hadapanku.
Ibu jadilah hakim yang syadid, yang besi, bagi anak-anakmu.
Jika kutulis ini sebagai buku netral, pengadilan akan empuk. Setiap kata dari beribu
bahasa bisa dipakai untuk mementaskan kepalsuan. seratus ahli penyusun kalimat
bisa memproduksi puluhan atau ratusan ribu rangkaian kata yang bebas dari
kenyataan dan dari diri penyusunnya sendiri.
Kebebasan itu bisa sekedar berupa keterlepasan kicauan intelektual dari dunia
empiris, tapi bisa juga merupakan kesenjangan antara semangat ilmu—yang di
antara keduanya membentang kemunafikan, inkonsistensi atau bentuk-bentuk
kelamisan lainnya.
Syair tidak bertanya kepada penyairnya.
Ilmu tidak menguak ilmiawannya.
Pembicaraan tidak menuntut pembicaranya.
Tulisan tidak meminta bukti hidup penulisnya.
Ide tidak kembali kepada para pelontarnya.

Ibu yang duduk di hadapanku, ini adalah kritik anak-anakmu sendiri.


Allah melaknat orang yang mencari ilmu untuk ilmu. Al-‘ilmu lil-‘ilmi.
Ilmu menjadi batu, dan para pencari ilmu menyembah bau-batu, berhala berhala
yang membeku di perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi serta informasi.
Betapa penting dokumentasi, tetapi ilmu tidak dipersembahkan kepada museum
apapun, melainkan kepada apa yang bisa dikerjakan hari ini oleh para penulis di
lapangan, bukan di kahyangan.

Ibu, tamparlah mulut anak-anakmu.


Orang yang bertahun-tahun mempelajari mana yang benar dan mana yang salah
dalam kehidupan, tidak dijamin memiliki kebenaran mental untuk mengemukakan
sesuatu hal itu benar dan sesuatu hal itu salah. Tinggi dan luasnya Ilmu
pengetahuan seorang cendekiawan tidak menjanjikan jaminan moral. Artinya, dari
kenyataan itu tercermin ketidaktahuan kemanusiaan.
Di dalam diri seseorang tidak terdapat keterkaitan positif antara, pengetahuan, ilmu,
mentalitas dan moralitas.

(Emha Ainun Nadjib/Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu - Sekelumit Catatan


Harian/Zaituna/2000/PadhangmBulanNetDok)

Rakyat Sebagai Kekasih Sejati


Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: ”Siapa ya,
sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian mereka menyebut sejumlah nama,
membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama- nama itu
berlalu dalam dialog yang tak selesai.

Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar
belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan,
pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan.
Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada
kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa,
tanah air, dan negara.

Itu berlangsung ya di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu


ronda, juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum
cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja- meja
pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang berdiam diri
bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan presiden yang sedang
berkuasa. Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang harapan ke pemimpin
tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang pernah memimpin dan kembali
mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan lain: pergerakan terjadi ke berbagai
arah, lama maupun baru. Dan, semuanya selalu sangat menggairahkan.

Memiliki pola kearifan

Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala,
memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang
khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu
semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang,
dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah,
tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya
tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.
Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut,
menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi
kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan,
rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut,
dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.

Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran
untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka
baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya
terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk
menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan
kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia
maafkan.

Puncak kekuatan dan cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada


pemerintahnya, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga
jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu
memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa
ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. Rakyat Indonesia selalu bersikap
seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta seluruh jajaran
birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu menyembunyikan rasa
sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak terpuruk hatinya dan merasa
gagal.

Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya
sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan
daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan,
rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi kelanggengan
percintaannya dengan pemerintah si kekasih.

Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden
yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah
yang mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah secara transparan
menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia, takkan sanggup berbuat
setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet
yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi,
resmi maupun tak resmi.

Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat
dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama,
menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban
mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah
pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya
lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan
pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri
jadi pemimpin.

Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap
memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang
tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan
hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya.
(Emha Ainun Nadjib/Kompas, 6 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)

MAIYAH PERAMPOK
Mau ke mana kamu
Kiri kanan tembok
Ke belakang ada jurang
Ke depan dikejar hutang

Pergi ke masa depan yang mana kamu


Perjalananmu dipimpin perampok
Di depan sana kamu ditunggu berbagai kelompok
Yang masing-masing siap menjadi perampok

Kamu dihadang oleh daftar kesengsaraan baru


Orang yang mewakilimu menjualmu
Orang yang kamu percaya mengkhianati cintamu
Karena kamu tak mau belajar apa yang sebenarnya kamu tunggu

Perampok-perampok bergilir memperkosamu


Janji mereka kamu bayar dengan darah bahkan mautmu
Kemudian tetap kamu junjung-junjung di pundakmu
Bahkan terus saja kamu bersujud bersimpuh dengan dungu

Perampok-perampok berbaju malaikat


Perampok-perampok berludah ayat-ayat
Perampok-perampok mencuri jubah kebesaran Tuhan
Yang lain berbaris jadi pengemis dan pekatik

Perampok-perampok berwajah demokrasi


Berkaki kepentingan, bertangan keserakahan
Perampok-perampok mengelus rambutmu dengan cinta
Kemudian menikam punggungmu dengan dengki dan santet

Delapan tahun silam kubilang perahu sudah retak


Lima tahun kemudian kelasi diganti
Perahu retak perahu oleng perahu bocor
Dan setiap kelasi yang baru berlomba menambah bocoran-bocoran

Politik hanya kepentingan


Demokrasi adalah persepsi atas dasar kebencian
Pemilu adalah perebutan buah kuldi
Yang memelorotkan derajat Adam dari sorga ke kehinaan dunia

Mau ke mana kamu


Berpikir untuk juga menjadi perampok
Mengacau negeri ini agar secepatnya membusuk
Atau menguasainya, atau meninggalkannya

Mau ke mana kamu


Di mana gerangan harapan kini bersemayam
Kalau yang sesungguhnya engkau lawan
Adalah kotoran di dalam dirimu sendiri

Tokoh-tokoh yang kau benci


Sebenarnya mainstream dari arus napsumu sendiri
Sementara tokoh-tokoh yang engkau cintai
Kamu perbudak agar membukakan lapangan kerakusanmu

Jadi, berhati-hatilah, jangan percaya kepadaku


Waspadalah kepada setiap yang kukatakan kepadamu
Tak semua diriku bisa kuperkenalkan melalui kata-kata
Sebab beo, komputer dan tape recorder pun gampang membohongimu

Kuajak kamu melingkar, bernyanyi,


Menata hati, menjernihkan pikiran
Belajar dewasa dalam perbedaan
Belajar arif dalam lingkaran keberagaman

Berlatih memohon agar Tuhan menjadi penghuni utama hati


Menjadikan seluruh rakyat sebagai subyek utama dari fungsi akal
Latihan bergembira, latihan tenteram, latihan tak berputus asa
Kita bangun negeri akal, negeri orang dewasa, negeri nurani

Menemukan Indonesia yang sejati


Dan jika yang bernama Indonesia ini tak menerimanya
Tetap cintailah ia. Buka hati dan kesabaranmu
Untuk memaafkannya dan mendengarkan keluhannya

Jogja 17 Juli 2002


(Emha Ainun Nadjib/"Mocopat Syafaat 17 Juli 2002"/PadhangmBulanNetDok)
Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu
Jangankan menjadi Nabi: jadi manusia saja, siapa yang benar-benar lulus?
Alangkah mengagumkan sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata Ulama,
Kiai, Ustadz, Syekh, Maulana, di depan namanya. Yang tanpa hati ragu memakai
surban di kepalanya,

mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi rangkaian butir tasbih di jari-
jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini diri, ataukah setiap kali perlu meyakin-
yakinkan diri.

Adapun ilmuwan, cendekiawan, seniman, budayawan, Begawan, Undagi, Ulil


Abshar, Ulil Albab, Ulin Nuha, terlebih lagi wadag-wadag seperti Profesor, Doktor,
Profesional, Pejabat, Presiden: di satu sisi itu adalah perjalanan kebenaran dan
kemuliaan, di sisi lain itu adalah "mata'ul ghurur", perhiasan dunia, serta "la'ibun wa
lahwun", permainan dan senda gurau.

Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang
dimaksudkan dulu oleh Peciptanya. Adakah tangan telah mengerjakan mendekati
gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal
telah mengolah ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu yang dulu
merupakan visi missi Pihak yang merancangnya. Kata Islam, seseorang adalah Nabi
karena nubuwah. Adalah Rasul karena risalah. Adalah Wali karena walayah. Dan
adalah manusia karena khilafah. Keempat 'ah' itu milik Allah, dilimpahkan alias
diamanahkan kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda,
dengan Ia siapkan tingkat 'human and social penetration'yang juga bertingkat-
tingkat.

Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan,
tidak rasional dan tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai 'icon' suatu
golongan. Begitu engkau bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin,
hewan atau alam, maka engkaulah Khalifah yang menyandang khilafah. Secara
simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah
'memperistri' makhluk-makhlukNya, lelaki 'memperistri' perempuan dan Pemerintah
'dipersuamikan' oleh rakyat -- maka ummat manusia dinobatkan menjadi 'suami' bagi
alam semesta. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan,
menyusun disain dan methodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan
managemen untuk memproduksi "rahmatan lil'alamin".

Sejarah ummat manusia di muka bumi telah mencatat peradaban-peradaban para


suami istri itu dengan penumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan
peperangan yang selalu berlebihan, hipokrisi dan kepalsuan yang bertele-tele,
kebodohan ilmu dan kemandegan akal yang amat memalukan, serta kekerdilan
mental dan kebutaan spiritual yang senantiasa ditutup-tutupi dengan berbagai mode
kesombangan yang mewah namun menggelikan dan menjijikkan. Manusia tidak bisa
disebut pernah sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan,
demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya sendiri.
Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak instan, menimbang
dengan menipu timbangan, tetapi Tuhan sendiri memang 'terlibat' dalam hal ini:
"Inna khalaqnal insana fil'ajal": sesungguhnya Aku ciptakan manusia cenderung
bersikap tergesa-gesa....

Sejarah sekolah dan universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan


tafakkur dan ijtihad ummat manusia melalui tahap-tahap pola berpikir linier, zigzag,
spiral hingga thawaf siklikal. Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif
meskipun kampusnya bernama universitas. Belum tuntas kaum muda menjadi murid
(murid: orang yang menghendaki ilmu), dipaksakan naik ke bangku keangkuhan
dengan menggelari diri maha-siswa. Para pembelajar dan pencari ilmu bersemayam
di 'koma' -- begitu dia maha, finallah dan titiklah sudah perjalanan ilmiahnya.

Di manakah pintu ilmu, babul 'ilmi? Di manakah kota raya ilmu, madinatul 'ilmi?
Siapa kaum terpelajar yang tertarik pada idiom itu, apalagi menjelajahinya? Bagi
kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka. Sambil tiba-tiba menaiki
'maha'-kendaraan yang bernama demokrasi, world class society, pilkada pemilu
pildacil, public figure, album 'religi', Majlis Ulama, clean government, Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang semakin tak pantas menyandang nama itu, di
tengah lautan meluap, gunung meletus, bumi bergoyang-goyang sampai ke urat
syaraf otak manusianya.

Padahal kapasitas sistem syaraf otak manusia itu takkan pernah sanggup
dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Padahal pendaran-pendaran
elektromagnetik 'nur' Allah yang bertebaran bertaburan keseluruh permukaan bumi,
memusat menggumpal di seputar bagian atas ubun-ubun kepala setiap manusia.

Abracadabra! Siapakah yang tak sesat di antara kita? Makan saja sesat sampai ke
propinsi kolesterol, asam urat, jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke.
Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah festival demi festival kesesatan
nasional. Pemilu salah pilih wakil dan pemimpin. 220 juta manusia tersesat ke satu
lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa.

Jalannya beribu-ribu, profesinya berbagai-bagai, icon-nya berjenis-jenis, namun


menuju satu lorong itu juga.

Kesesatan sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya. Kesesatan ilmu. Kesesatan


bermacam-macam kesesatan, dengan kadar yang juga berbeda-beda. Sesat moral
atau akhlak. Sesat fiqih atau hukum. Sesat sosial. Setiap keputusan ekonomi yang
menjerumuskan orang banyak, policy politik yang kontraproduktif terhadap
keharusan kemajuan dan pembangunan, adalah - pinjam bahasa Tuhan - "dhulmun
'adhim", kesesatan yang nyata.

Sesat di segala wilayah: perda, perpres, perdes, di rumah tangga, perusahaan, di


jalanan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis membentur-benturkan kepala ke
lantai, bersujud mohon ampun kepada Allah, 'hanya' karena seekor onta terpeleset
di jalan di wilayah pemerintahannya. Sementara dalam kehidupan kita jumlah
penganggur bertambah puluhan juta tak ada yang merasa bersalah, dilemma
kesengsaraan ribuan penduduk bawah jalan tol belum beres, pemimpinnya tega
nampang mencalonkan diri akan jadi Presiden.

Dan sama sekali tak bisa kita simpulkan bahwa berbagai macam kesesatan yang
sedang kita alami atau sedang menimpa mayoritas bangsa kita kalah berbahaya
dibanding yang kita ributkan dengan kesesatan AlQiyadah.

Hanya saja AlQiyadah menyentuh wilayah 'pamali', 'sirik', 'wadi', 'jimat' hatinya
ratusan ribu orang. Yakni aqidah. Teologi. Wacana sangat privat yang sudah lebih
mendalam di lubuk jiwa -- meskipun mungkin karena saking mendalamnya maka
susah diaplikasikan keluar diri manusia untuk menjadi kebaikan sosial bersama.
Andaikan AlQiyadah mengajak korupsi, ia pasti terpuji dan ke mana-mana pasti
banyak kawan. Andaikan AlQiyadah memakai tabir Parpol, segera para pencoleng
akan berkumpul mengerumuninya. Sebab bagi cara berpikir keagamaan umum:
parpol, uang, korupsi, keculasan -- itu tidak sealamat dengan Allah dan Nabi
Muhammad.

Diam-diam saya pribadi menemukan bahwa alhamdulillah kesesatan-kesesatan


hidup saya tidak diketahui umum atau pihak yang berwajib. Saya mohon dengan
sangat bagi teman-teman yang tahu bahwa selama ini saya mendayung perahu
hidup saya di aliran-aliran sesat karena tidak umum dan bukan mainstream:
hendaklah tak usah melaporkan kepada MUI dan Pemerintah.

Itu semua karena sampai usia menjelang 60 th Allah memperkenankan saya


menjadi penduduk yang tak diperhatikan, tak didengarkan, tak dianggep, selalu
diletakkan di luar garis-garis pemetaan dlam hal apapun saja. Segala yang saya dan
kami lakukan, rekor apapun yang pernah kami capai, ke benua dan kota-kota besar
dunia belahan manapun kami mengibarkan Merah Putih, dengan berapa ribu dan
puluh ribu massapun saya bercengkerama, prestasi dan kualitas apapun yang kami
gapai: saya dan kami tetap di luar peta.

Bahkan rasa syukur tertinggi saya adalah jika kelak saya masuk sorga - sesudah
lewat neraka: orang tetap tidak percaya bahwa saya masuk sorga. Itulah sebabnya
pembicaraan di setiap forum selalu saya awali dengan kalimat "Jangan percaya
pada saya, percayalah sama Allah dan Muhammad". Saya merasa bodoh kalau
saya membaiat orang, karena dengan begitu aku yang melegitimasi kedudukanny,
sehingga aku akan harus turut bertanggujng jawab atas apa yang dilakukan oleh
orang yang saya baiat. Sedangkan di hadapan peradilan Tuhan, tidak logis kalau
aku bisa menolong anakku atau aku bisa ditolong istriku. Tidak ada orang disumpah
atau disyahadati, yang ada adalah orang bersumpah atau bersyahadat dengan
dirinya sendiri.

Saya tidak pernah mengakui diri saya sendiri, karena yang substansial adalah
pengakuan Allah atasku, jika hal itu sekarang atau kelak mungkin terjadi. Saya tidak
tega dan geli kalau orang menjadikan saya sebagai panutan, menyebut saya
Ustadz, Kiai, bahkan ada spanduk berbunyi "Selamat Datang KH Emha Ainun
Nadjib". Ya Allah lucunya.

Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi
untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir, untuk
menganut apa yang saya anut. Setiap orang jangan memandang saya. Pandanglah
Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak
usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri,
sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu
dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya.

Semua Nabi dan Rasul, umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut
dirinya dholim, "Robbana dholamna anfusana", "Inni kuntu minadh-dholimin". Maka
siapakah aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan adalah
milikku sehari-hari. Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa belum pantas.
Andaikanpun aku ini Ahlul Bait keturunan Rasulullah SAW gabung dengan darah
Brawijaya, pasti kututupi sebagaimana kurahasiakan auratku.

Akan tetapi apakah saya menolak keseyogyaan dakwah? O tidak. Saya seorang Da'i
pelaku dakwah. Da'wah artinya panggilan, yad'u artinya memanggil, pelakunya Da'i.
Menyapa. Memanusiakan. Meneguhkan bahwa yang selain saya itu benar-benar
ada. Da'wah itu panggilan pada skala horisontal dengan sesama makhluk. Kalau
vertikal, dari kata yang sama menjadi du'a, bahasa Indonesianya: doa, kata kerjanya
juga yad'u, subyeknya juga Da'i. Berdoa adalah menyapa Allah.
Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu logika berpikir:
tak akan lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya, rajin 'gaul'
sama Dia, 'mentuhankan' Tuhan sebagaimana memanusiakan manusia. Tetangga
lebih simpatik kepada kita yang suka menyapanya dibanding yang sering meminta-
minta -- meskipun menurut pemahaman lain Tuhan tidaklah sama dengan tetangga.

Pinjam puisinya Chairil Anwar: bukan kesesatan benar menusuk kalbu, keridhaanmu
menerima segala tiba, tak setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertahta....

Allah sendiri, Masya Allah memang Maha Menyesatkan. Barang siapa diberi
petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa
disesatkan olehNya tak seorangpun bisa memberinya petunjuk.

Aku yang kedua, Insya Allah Anda yang pertama. ***


(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Penyairpun Bukan
Penyairpun bukan
Aku hanya tukang
Mengembarai hutan
Menggergaji kayu
Bikin ragangan
Mainan pesanan Tuhan

Penyairpun bukan
Aku hanya pelayan
Meladeni cara
Meracik kata
Mengais rahasia
Agar tak mati fana

Penyairpun bukan
Aku hanya penyelam
Menukiki samudera
Pulang ke permukaan
Membawa batu purba
Untuk melempari cakrawala

1986

(Emha Ainun Nadjib/"Cahaya Maha Cahaya"/Pustaka


Firdaus/Jakarta/1993/PadhangmBulanNetDok)
Hancurkan Kebinatanganku
Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap
transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke
qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku'.

Ini acuan pertama.


Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau
sifat Allah swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama
melakukan shalat.
Pertama, tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân
dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya Allah
yang `adhîm dan a`lâ.
***
Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa
lebih besar, dinamika, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan
penemuan kita)—kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai
pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat.
Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan
tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya, melainkan mengasah kita melalui
fungsi-Nya sebagai rabbun.
Sebagai Yang maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang, Rahmân
dan Rahîm. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual Ia dengan Anda,
maupun dalam hubungan yang lebih `heterogen' antara ia dengan komprehensi
kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta.
***
Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja, Ia Mâlik, hakim agung di hari perhitungan. Ia
sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif.
Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh kehidupan itu hanya
dengan diri-Nya yang sendiri, tanpa kita khawatirkan terjadi ketidakadilan dan
ketidakjujuran—yang pada budaya kekuasaan antara manusia dua faktor itu
membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica.
Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai `Adhîm dan A`lâ, Yang Maha besar
(horisontal) dan Maha tinggi (vertikal).
***
Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadari-Nya
sebagai A`lâ, Yang Maha Tinggi itu tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap
sebagai binatang. Artinya, ketika kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam
keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat.
Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku' bagaikan monyet yang seolah
berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki—
yang kita sadari adalah Allah sebagai `Adhîm.
Dan ketika kita berdiri (qiyâm), Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahmân, Rahîm,
dan Mâlik. Binatang yang ruku' dan sujud' tidak memiliki tradisi intelek dan
kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan mâliki yaumiddîn.
Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak
diadili, tidak masuk sorga atau neraka.
Ketika kita menjadi binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud
dan ruku', kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhâna
rabbiya...., bukan subhâna rabbinâ....
Subyek `aku', dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme, dst. lebih
dekat ke kebintangan, dan itu yang harus kita sujudkan kehadapan Allah swt.
Adapun ketika kita berdiri `qiyâm', kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita
ketika itu bukan lagi menjadi `aku' melainkan `kami'. Artinya, tanda-tanda eksistensi
kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas kiri-
kanannya. Kalau binatang, secara naluriyah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah tidak
dituntut atau ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan
itulah yang membedakan antara binatang dan manusia, itu pulalah yang
menghinakan manusia, atau justru memuliakannya.
***
Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ikhram dan berdiri
`sebagai manusia', Allah menyuruh kita untuk terlebih dahulu menyadari potensi
kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku'. Nanti sesudah sujudnya
penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai manusia.
Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang kekuatan
dan kekuasaan di antara sesama manusia—ada baiknya semua pihak
memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir.
Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak
bersujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, lebih takabur.
Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan....[]
(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
MENANGIS
Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan
oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnengajak para
santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat
"iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak
perpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah
Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..."
Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk
ke lantai atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", berkata
Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun
harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik
beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di
mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'.
"Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut parasantri.
"Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan".
"Belum jelas benar bagiku, Abah".
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan
kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti
ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas
mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin
masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami
menyembah, na'budu".
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita
sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat
na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah.
Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam
menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang
kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan
pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan
perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah
hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita
dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus
mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di
dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak
berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara
terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali
dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah,
padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan,
kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah".
"Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-
perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke
pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah,
temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah
kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah
seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena
keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!

(Emha Ainun Nadjib/Panji Masyarakat/2005/PadhangmBulanNetDok)


AIR ZAMZAM DI NEGERI COMBERAN
Untuk Dr. HC-nya Gus Mus

Di usia sepuhnya, Gus Mus makin gantheng wajahnya dan makin bening cahaya
yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat kini menjadi
cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam
kebudayaan di bumi. Itu langit.

Sungguh bikin cemburu. Bagaimana hamba Allah satu ini, semua manusia dari
Sabang hingga Merauke diam-diam pada bingung, ambruk, kuyu, frustrasi dan putus
asa, meskipun ditutup-tutupi ? dia malah makin sumringah hidupnya, wajahnya
tersenyum, seluruh wajahnya tersenyum, bukan hanya bibir beliau: benar-benar
seluruh wajah beliau, lagak-laku dan output karakter beliau adalah senyuman.

Tiba-tiba muncul makhluk yang bernama Doctor Honoris Causa. Menghampirinya.


‘Ngenger’ kepadanya. Melamarnya untuk menjadi sandangannya. Sudah pasti
beliau tersenyum, mengulurkan tangan dan dengan penuh kasih sayang.
Menunjukkan sikap menerima, menampungnya, mengakomodasikannya,
menggendongnya, mengelus-elusnya.

Jauh di dalam kalbunya Gus Mus mengerti betapa inginnya si Doctor Honoris Causa
itu diperkenankan untuk menjadi bagian dari kehidupan Gus Mus. Dan ‘Ma abasa
wa ma tawalla, an ja-ahul a’ma…. tak mungkin beliau berpaling, meremehkan dan
mengabaikan pengemis yang hina dina sekalipun.

Padahal di dalam doa-doanya, Gus Mus selalu meletakkan semua makhluk lemah
itu di shaf terdepan dari aspirasinya. Bahkan jenis hati beliau tidak puas untuk
memohon “Ya Allah, sayangilah para pengemis, mudahkanlah kehidupan mereka,
limpahilah dengan rizqi-Mu yang luasnya tak terhingga kali seluruh jagat raya”. Bunyi
perasaan terdalam beliau agak lebih radikal: “Alangkah mudahnya bagi-Mu ya Allah
untuk sejak awal menciptakan pagar-pagar qadla dan qadar agar dalam peradaban
ummat manusia tak usah ada pengemis, tak usah ada hamba-hamba yang selemah
itu, apalagi sampai dilemahkan, di-pengemis-kan”.

Memang di dalam salah satu cara berpikir tasawuf para pemberi membutuhkan
mereka yang diberi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, sebab orang miskin
adalah jalan memperbanyak pemberian, infaq dan shadaqah. Orang miskin adalah
lahan subur untuk menanam kasih sayang. Gus Mus setahu saya tidak turut
menikmati bermain logika dan simulasi sosial sufisme. Beliau transenden dari pola-
pola adegan itu dengan mempertapakan dambaan cinta alangkah indahnya
kehidupan tanpa orang-orang miskin yang meruntuhkan hati dan memeras airmata.

Bahasa gamblangnya: Gus Mus pada dasarnya tidak merasa krasan juga Doctor
Honoris Causa melamar-lamar dirinya. Dan lebih sangat “haram mu’aqqad” lagi
kalau sampai ada bagian dari kehidupan ini di mana Gus Mus yang melamar gelar
Doktor, mendambakannya, mengambisiinya, merakusinya, merindukannya, apalagi
sampai menyiapkan uang dalam jumlah sangat besar dalam rangka memperhinakan
dirinya.

Lho, apakah gelar Doktor itu hina? O tidak lah yaoo… Ini hanya pernyataan ta’aqqud
dan tafaqquh bahwa yang selain Tuhan selalu menjadi jatuh hina jika diperlakukan
sebagaimana Tuhan. Hanya Allah yang memiliki maqam untuk didambakan untuk
diraih, diserakahi untuk ‘dimiliki’, digadang-gadang serta dicita-citakan untuk
bersanding. Selain Allah, bahkanpun Rasulullah, juga seluruh manusia dan alam
semesta, cocoknya dicintai, disayang.

Gus Mus menyayangi gelar Doktor beliau, tapi insyaallah tak sampai mencintai.
Disayang karena mereka yang memberinya gelar itu juga sangat sayang kepada
Gus Mus. Namun tidak sampai mencintai, karena beliau bukan orang bodoh.

Gelar Doktor mencerminkan pencapaian ilmu maksimal pada ukuran mesin berpikir
manusia. Tidak sempurna dan belum puncak, dalam arti potensialitas yang
dianugerahkan Allah atas daya akal manusia masih menyediakan cakrawala luas
dan langit tinggi yang masih amat jauh di luar jangkauan pencapaian peradaban
berpikir ummat manusia sampai sekian puluh abad. Sedangkan gelar Proffesor
menggambarkan kelulusan komitmen terhadap dunia ilmu dan kesetiaan terhadap
tradisi kemuliaan pemeliharan dan penyebaran ilmu. Tafaqquh ‘ilmi wan-tisyaruh.

Itu idiomatik dan simbol dari dunia persekolahan di mana pencarian ilmu di-
institusionalisasi-kan, dengan ‘syubhan’ politik dan perdagangan ? tetapi yang
terakhir ini tidak menjadi perhatian dalam tulisan ini. Di luar sekolah, masyarakat
(Indonesia, Jawa) membangun sendiri idiomatic dan simbol-simbolnya untuk
mengukuhkan pencapaian manusia di antara mereka: Kiai, Panembahan, Ki,
Begawan, Pendekar, Pandito. Pada tataran yang lebih popular dan sehari-hari
muncul symbol: Mbah, Lurah, Danyang, mBahurekso, dst, yang semuanya
menggambarkan pengakuan umum atas pencapaian tertentu dari seseorang.

Kalau memang ‘terpaksa’, KH. Mustafa Bisri kita lengkapi saja atributnya: Mbah
Lurah Danyang mBahurekso Pandito Begawan Panembahan Ki Kiai Profesor Doktor
Mustafa Bisri, dan saya urun nambahi satu tapi tanpa upacara: Karromallohu
wajhah…. Karena insyaallah beliau karib dan sehabitat dengan Sayyidina Ali ibn Abi
Thalib dalam sejumlah konteks, utamanya ta’aqqudul iman, tafaqquhul ‘ilmi wa
ni’matul ma’rifah serta thariqat ‘suwung’, fana’.

Doktor itu kedewasaan ilmu, namun tidak menjamin kematangan mentalitas dan
spiritualitas. Bahkan tidak menjanjikan kedewasaan sosial dan kultural. Sedangkan
Gus Mus mohon maaf: memiliki semua itu.

Tak akan didengarkan orang kalau ada seorang Doktor berfatwa, sebagaimana
kalau KH Mustafa Bisri (andaikan beliau mau) berfatwa. Sebab ‘fatwa’ arti telanjang
epistemologisnya adalah kedewasaan yang ‘jangkep’. Doktor masih kedewasaan
parsial dan ‘githang’.

Fatwa bukan produk dari rapat sekian ratus Ulama yang naik pesawat dari berbagai
propinsi untuk mengacungkan tangan dan meneriakkan “Setuju!” dalam sebuah
rapat yang berprosedur demokrasi, penjajagan pendapat untuk mencapai
kesepakatan. Atau lebih rendah lagi: pendapat sudah disediakan, dan ratusan
Ulama bersegera menyetujuinya karena hal itu merupakan ujung dari suatu eskalasi
politik, mobilisasi berpikir dan honorarium. Untuk Indonesia, tradisi semacam itu
sudah ma’ruf wa mafhum, dan semua tinggal meng-amin-i.

Sesungguhnya Gus Mus adalah seorang Al-Mufti. Hanya saja beliau terlalu rendah
hati. Sekurang-kurangnya Al-Mufti adalah kwalitas dan maqam beliau. Dan kalau
beliau hampir tidak pernah menduduki kursi itu dan tidak ‘nyuwuk’ fatwa apa-apa
kepada bangsa dan ummat yang tidak mengerti kegelapan (apalagi cahaya) ini, kita
orang dusun tahunya barangkali memang beliau tidak memperoleh ‘wangsit’ untuk
berfatwa. Allah sendiri menerapkan sifat As-Shobur kepada bangsa Indonesia, Gus
Mus nginthil di belakang-Nya.

Dan sungguh saya selalu merasa gatal untuk menggoda Gus Mus, di tengah
perjalanan hidup ‘asyik ma’syuk di tengah hutan belantara penuh comberan ini.

Maka sengaja tulisan menyambut penggelaran Doctor Honoris Causa untuk Gus
Mus ini saya bikin berlama-lama dan terlambat-lambat. Memang sih ada sejumlah
kesibukan, tapi alasan utama saya bukan itu. Motif saya yang sesungguhnya adalah:
saya sangat bernafsu menyiksa Gus Mus, saya sangat cemburu pada beliau, dan
saya berkhayal berlari kencang mendahului Gus Mus.

Saya buka rahasia pribadi: saya ini seorang penakut bin pengecut. Hidup saya tanpa
kekuasaan, baik sebagai warga masyarakat, sebagai suami, sebagai bapak, sebagai
lelaki atau sebagai apapun. Itu gara-gara saya tidak memiliki keberanian sedikitpun
untuk menyentuh orang lain dengan kehendak saya. Tidak sedikitpun saya berani
menyiksa siapapun, baik menyiksa dengan kejahatan maupun dengan kemuliaan,
dengan keburukan atau kebaikan, dengan kesalahan maupun kebenaran.

Jangankan menjadi pemimpin Negara atau wakil rakyat, sedangkan menjadi kepala
rumahtangga saja saya memilih untuk tidak berkuasa. Saya hanya bagian dari
keluarga, bagian dari masyarakat dan Negara. Padahal aslinya di dalam diri saya
terdapat nafsu kekuasaan yang meluap-luap, bahkan ada semacam potensi
kekejaman yang selama ini saya sembunyikan dengan sangat rapi. Nah, terhadap
Gus Mus: saya menemukan peluang sangat besar dan melimpah untuk berkhayal
punya kekuasaan dan menyelenggarakan penyiksaan-penyiksaan semaksimal
mungkin.

Sebab saya tahu dan yakin bahwa beliau tak akan marah. Gus Mus tidak memiliki
hubungan genetik, kefamilian atau keterkaitan sosial dengan kemarahan. Satu point
ini saja sungguh seribu kali lebih penting dan lebih tinggi mencapaian mental
maupun ilmiahnya -- dibanding seribu gelar doktor kepada beliau. Kalau ada orang
marah, itu pasti bukan Gus Mus. Dan kalau para saintis tidak mampu menemukan
keterkaitan dialektis antara fenomena marah dengan kosmos ilmu, maka tidak perlu
ada Sekolahan, Universitas ataupun Pesantren.

Tapi ya siksaan saya kepada Gus Mus sekedar terbatas pada ulur-ulur waktu
jadinya tulisan ini. Celakanya beliau sama sekali tidak marah. Tersiksa sedikitpun
tidak. Padahal kalau sampai beliau tersiksa, betapa indah puisi-puisi yang terungkap
dari ketersiksaan itu. Gus Mus adalah pendekar kehidupan yang bukan sekedar
sanggup menemukan ketenteraman dalam kecemasan, menggali kebahagiaan dari
jurang derita, atau menikmati kekayaan di dalam kemiskinan. Lebih dari itu Gus Mus
bahkan mampu membuat kegelapan itu tak ada, karena yang ada pada beliau, dan
bahkan beliaunya itu sendiri: adalah cahaya.

Kemudian hal cemburu: beliau ini dikejar-kejar dilamar-lamar oleh Doctor Honoris
Causa. Sementara saya orang tua sampai hampir batas jatah usia hari ini tak pernah
dinantikan orang, apalagi dikejar. Tak menggembirakan orang hadirku dan tak
ditangisi orang hilangku. Tak dirindukan oleh siapapun saja kecuali oleh istri dan
anak-anakku.

Maka saya dendam kepada Gus Mus. Dan dengan melambat-lambatkan tulisan ini
saya bisa membangun khayalan bahwa saya bukan hanya juga berposisi dikejar-
kejar, tapi juga ‘GR’ bahwa yang mengejar-ngejar saya adalah orang besar bernama
KH Mustafa Bisri. Dan karena saya dikejar oleh Gus Mus, sedangkan Doctor
Honoris Causa mengejar Gus Mus, maka saya berada dua langkah di depan Doctor
Honoris Causa. Dengan demikian tak mungkin Doctor Honoris Causa akan pernah
mampu mencapai lari kencang saya.

Bagi siapapun yang kebetulan membaca tulisan ini, mudah-mudahan menjadi


paham kenapa sampai setua ini saya tidak pernah “dadi wong”, tak pernah
mencapai apa-apa dan tak pernah menjadi siapa-siapa. Jawabannya sangat
gamblang dengan alinea-alinea di atas: saya sudah sangat bergembira cukup
bermodalkan khayalan-khayalan semacam itu. Puji Tuhan ada kesempatan untuk
membuka rahasia itu, karena hanya Gus Mus yang memiliki keluasan untuk men-
senyum-i khayalan-khayalan saya, sementara lainnya selama ini hanya mencibir dan
meremehkan saya.

Maka di luar itu semua tentulah saya turut mengucapkan ‘mabruk’ atas
penganugerahan gelar Dr. HC kepada Gus Mus, tanpa mempersoalan bahwa -
ibarat baju, gelar itu terlalu kecil atau ‘cekak’ untuk Gus Mus. Atau dengan kata lain
beliau ? dengan segala kwalitas dan bukti-bukti kesalehan dan kreativitas puluhan
tahun hidupnya ? terlalu besar untuk hanya digelari Dr. HC.
Sebenarnya saya sudah menantikan penganugerahan ini 30-40 tahun silam. Atau
mungkin malah diperlukan ijtihad untuk mendirikan lembaga gelar yang lebih tinggi
derajat mutunya, lebih meluas cerminan jangkauan manfaatnya serta lebih
mendalam kasunyatan kekhusyukan komitmennya. Terserah apapun saja nama
gelar khusus itu yang kita gunakan untuk menunjukkan kesadaran kita dalam
mengapresiasi “Manusia Thawaf” dari Rembang ini.

Tetapi omong-omong qulil haqqa walau kana murran KH Mustafa Bisri sebenarnya
juga sama sekali tidak cocok hidup di zaman di mana beliau hidup sekarang ini, di
Negeri ajaib yang Gus Mus menangisinya berurai-urai airmata di hadapan Allah
sambil hati beliau geli setengah mati dan tertawa terpingkal-pingkal.

Minimal ada satu syarat mendasar yang Gus Mus tidak miliki secuilpun untuk
‘relevan’ hidup di zamannya: tidak punya ambisi, tidak memiliki ‘ananiyah’, tidak
punya kesanggupan mental untuk membuang rasa malu, serta terlalu rewel
terhadap martabat dan harga diri ke-insan-an beliau. Sistem nilai yang berlaku
komprehensif dewasa ini akan tiba pada suatu perkenan sosial dan permisivisme
budaya terhadap siapapun untuk bukan hanya memasang gambar wajahnya di
jalanan-jalanan atas niat dan inisiatifnya sendiri, melainkan pelan-pelan kelaminnya
juga sudah siap untuk diiklankan.

Cocoknya Gus Mus ada di antara para sahabat Rasulullah Muhammad SAW: dolan
mengobrol ke kampung-kampung bersama Abu Dzar Al-Ghifari, malamnya majlisan
dengan Babul-‘Ilmi, pintu ilmu pngetahuan: Sayyidina Gagah Ganteng Brillian Ali ibn
Abi Thalib karromallohu wajhah.

Maka atmosfir peristiwa penggelaran Dr.HC untuk Gus Mus ini saya masuki dengan
kegembiraan sebagaimana memasuki pesta setengah “majdzub”. Saya ikut minum
anggur rasa syukur yang menggelegak tanpa alasan apapun kecuali menikmati
kekayaan “qudroh”nya Allah SWT. Saya melintas ke sana kemari menyapa semua
sahabat keindahan dan mengobrol dengan para “mab’utsin” kebenaran dan
kebajikan.

Siapa saja yang tak tahan bersegeralah pergi menjauh dari saya. Sebab saya
melayang-layang surving diving sampai terkadang terpikir di benak saya NU itu
sebaiknya dibagi dua: ada firqoh Nahdloh dan firqoh Ulama. Ketua golongan
Nahdloh bolehlah KH Hasyim Muzadi, tapi Ketua Ulamanya harus KH Mustafa Bisri.

Gus Mus memimpin gairah ta’limul ardl wa ma’rifatussama, yang lain silahkan
memanfaatkan pengetahuan dan legitimasi langit untuk pengetahuan dan
kepentingan di bumi. Harus Gus Mus yang memimpin. Kok harus? Siapa yang
mengharuskan? Ya saya sendiri, lha wong ini tulisan saya sendiri. Terwujud dan
terjadinya Gus Mus jadi Ketua NU ya cukup dalam diri saya sendiri, karena kalau di
kasunyatan NU saya bukan sekedar tidak punya hak apa, tapi juga tidak ada.

Ini tulisan-tulisan saya sendiri, dan yang saya tulis adalah jenis orang yang tidak
akan marah atau berbuat apapun meskipun saya tulis bagaimanapun. Jadi saya
Ketua-NU-kan dia, kalau perlu seumur hidup. SEUMUR HIDUP.
Dan ini sama sekali bukan soal ambisi atau kerakusan, melainkan berdasar feeling
saya dalam hal niteni tradisi sunnah-nya Allah. Manusia dengan kaliber dan kwalitas
macam Rasulullah Muhammad SAW oleh Tuhan diselenggarakan atau dilahirkan
hanya satu kali selama ada kehidupan. Kalau taruhan tidak haram, saya berani
taruhan soal ini.

Jenis Ibrahim AS dan Musa AS bolehlah lima abad sekali. Atau kalaupun saya sebut
10-20 abad juga tak akan pernah ada kemampuan penelitian ilmu manusia untuk
membenarkannya atau menyalahkannya. Salahnya sendiri banyak sekolahan
ummat manusia berlagak-lagak pinter tapi tidak ada peneliti hal-hal beginian, mana
mungkin akan pernah mengenal clue ‘perilaku’ Allah ini.

Lha makhluk yang berperan sebagai Mustafa sesudah Bisri sesudah Mustafa
sesudah Bisri entah yang keberapa ini, yang khalayak umum, kelas menengah
intelektual sampai institusi Negara menyangka ia adalah Ulama dan Seniman ?
tinggal Anda perkirakan maqamnya, keistimewaannya, spesifikasinya,
genekologinya, koordinat kosmologisnya. Dilahirkan 75 tahun sekali? 102 tahun
sekali? 309 tahun sekali?

Saya tidak mau terjebak oleh adagium “La ya’riful Waly illal Waly”: tak ngerti Wali
kecuali Wali. Anda jangan percaya pada rumus yang membuat Anda tersesat
menyangka saya mengerti Gus Mus karena saya sekwalitas dan semaqam dengan
beliau. Jangan coba-coba memompa kepala saya menjadi besar, sebab saya sudah
sangat pusing oleh besar kepala saya.

Rumus lebih tepat untuk ini adalah “hanya kekecilan semut yang mampu
mengagumi kebesaran gajah”.
(Muhammad Ainun Nadjib/2009/PadhangmBulanNetDok)
Sepak Bola Tekno-Birokratik
Sepakbola, sebagai olahraga utama rakyat Indonesia, tergolong komponen garda
depan pembangunan yang – mestinya – merupakan pelopor globalisasi. Saya tidak
main-main. Sepakbola melibatkan uang milyaran rupiah, jutaan konsumen, fasilitas
teknologi tinggi, halaman-halaman khusus media massa, lapangan kerja, pola kreasi
dan rekreasi khas masyarakat industrial, bahkan inherent dengan faktor-faktor
industrial lainnya seperti transportasi stage and lighting system, dokter dan psikolog,
hizib para kiai, jopa-japi para dukun, dan seribu satu faktor lagi yang tidak bisa
disebut satu per satu.

Kalau anda bicara globalisasi berarti memperbincangkan peralihan budaya


masyarakat dari pola budaya tradisional–agraris menuju pola modern–industrial.
Itulah substansi utama globalisasi. Apakah anda menemukan perbedaan antara
sepakbola agraris dengan sepakbola industrial?
Kita selalu menyebut bahwa sepakbola adalah olahraga rakyat. Itu artinya bahwa
sepakbola adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Dalam sepakbola
tradisional–agraris, para pemain mengandalkan bakat alam, intuisi, instink dalam
dimensinya yang paling natural. Cara pengelolaan persepakbolaan juga lebih berupa
paguyuban, kurang mengenal managemen keorganisasian modern–profesional, tak
ada division of labour yang ketat, belum bussiness oriented. Target-target
persepakbolaannya juga tidak nomer satu prestasi, melainkan fungsi
partisipatorisnya dalam kehidupan masyarakat: persahabatan, keakraban, meskipun
terkadang diungkapkan dalam bentuk tawuran.
Kita sebut saja ia sepakbola cultural. Seolah-olah “kesenian hidup” yang diasyiki
seperti ludruk, ketoprak, terbangan, hadrah, dan – pada sebagian masyarakat – juga
teplek dan dadu.

Kemudian Anda tidak bisa mempertahankan pola itu ketika secara serentak kita
bersepakat untuk berangkat modern. Tatanan masyarakat telah berubah. Perhatian
manusia juga lebih ekonomistik. Ketrampilan kaki seorang pemain bola adalah faktor
produtif dan dunia sepakbola itu sendiri adalah pasar dan lahan konglomerasi.
Jutaan pecandu sepakbola harus juga menyadari – dan membeli tiket – bahwa
sepakbola itu posisi industrialnya paralel dengan musik rock dan dangdut atau
bentuk showbiz yang lain.
Dengan kata lain, pada masyarakat tradisional–agraris substansi persepakbolaan
adalah nilai budaya. Sedangkan pada masyarakat modern–industrial substansinya
adalah nilai ekonomi.
Akan tetapi masyarakat kontemporer Indonesia adalah masyarakat transisional.
Masyarakat yang sedang beralih: sebelah kakinya mulai berpijak di “masa kini”
sementara kakinya yang lain masih mengasyiki “masa silam”. Dan berhubung
proses transformasi persepakbolaan kita tampaknya tidak sungguh-sungguh
disadari, maka konsep berpijaknya juga masih rancu. Overlap disana-sini.
Modernisasi dan profesionalisasi sepakbola Indonesia tidak sejak semula
diberangkatkan dari konsepsi yang ilmiah dan matang. Itu menyangkut faktor
internal dari kegamangan ilmu persepakbolaannya itu sendiri, managemen dan
organisasi globalnya, sampai puritanisme dan ketertutupan kita dari – misalnya –
tansfer pemain asing. Itu, sebenarnya, tindakan anti-globalisasi.
Juga faktor eksternalnya. Anda tahu Galatama, pola persepakbolaan profesional-
industrial sudah lama berlangsung. Tetapi secara kualitatif ia tak mampu
menunjukkan kelebihan kualitatifnya dibanding perserikatan. Bukankah perserikatan
sesungguhnya puncak bentuk dari sepakbola paguyuban atau sepakbola kultural,
yang sangat mengandalkan primordialisme kedaerahan? Bahkan kita mengalami
bersama bahwa landasan eksistensi klub-klub Galatama masih juga berkutat pada
unsur emosi kultural. ‘Mobilisasi massa’ yang dilakukan untuk mendukung klub
Galatama selama ini masih sangat mengandalkan faktor-faktor primordialisme yang
sebenarnya bukan merupakan ciri-ciri mekanisme industrial.
Coba anda potret lebih close-up: industrialisasi di Indonesia secara resmi digerakkan
oleh kekuatan-kekuatan politik negara. Kepemimpinan kultural yang terdapat pada
masyarakat tradisional digantikan oleh kepemimpinan institusional dan birokratik.
Faktor “negara” ini menggenggam dan merasuk ke dalam hampir seluruh urusan
masyarakat, termasuk sepakbola. Indikator utamanya: pimpinan tertinggi organisasi
olahraga adalah para menteri atau setidaknya tokoh dari lingkaran birokrasi.
Indikator lainnya terdapat pada makin merambahnya gejala deswastanisasi atau
dekulturalisasi mekanisme berolahraga. Olahraga mungkin masih ‘milik masyarakat’,
tapi sudah sangat diurus oleh kepentingan ekonomi dan oleh tangan birokrasi.
Sekarang ini mungkin Anda tidak gampang lagi menyelenggarakan kompetisi
sepakbola antar-dusun: panitia Anda harus anggota PSSI, harus minta ijin aparat
keamanan, harus ini harus itu.
Kultur sepakbola pada kehidupan rakyat makin menipis karena dua hal. Pertama,
rakyat makin terserap oleh hiburan yang diproduk oleh ‘pusat-pusat globalisasi’.
Kedua, setiap aktivitas rakyat, juga sepakbola, didekati oleh birokrasi dengan
security approach, pendekatan keamanan. Sepakbola kita, dalam kehidupan rakyat
umum, berjalan hanya sejauh memenuhi konsep tekno-birokratik.

Dengan kata lain sepakbola makin tidak lagi merupakan olahraga rakyat. Di desa
saya anak-nak muda hampir sama sekali berhenti mempergaulkan sepakbola
dengan desa-desa lain karena kesulitan birokratis. Tidak bisa lagi dengan santai
mengundang teman-teman dari desa lain untuk memperebutkan kambing cup,
karena jika terpeleset ke lorong birokrasi bisa membuat kita tiba-tiba dapat gelar
‘merongrong keamanan’.
Apalagi Jombang, daerah saya, dewasa ini tampaknya dianggap bukan lahan bibit
sepakbola yang subur, melainkan tenis. Lapangan tenis dibangun di banyak tempat.
Stadion sepakbola kabupatenpun kini dibagi dua sehingga fungsinya untuk
sepakbola berkurang. “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat”, untuk Jombang, agaknya diaksentuasikan ke cabang tenis – entah ada
hubungannya dengan sukses Yayuk Basuki atau tidak. Kami di desa-desa sedang
menunggu keputusan Pak Bupati untuk mendirikan lapangan tenis di setiap desa.
Tenis, untuk Jombang, sudah dan akan tidak merupakan olahraga mahal: semua
rakyat bisa menikmatinya. Jadi kalau untuk sepakbola, kami dari Jombang mohon
maaf tidak merintis infra-struktur teknokratis untuk menyumbangkan pemain-pemain
nasional yang andal.

Sebenarnya di negara-negara industri maju seperti Jerman dan Belandapun


sepakbola bukan lagi olahraga rakyat. Sepakbola adalah urusan sejumlah pekerja
bola yang menjalankan urusan sepakbola dalam konteks profesional: ia sebuah
perusahaan. Hanya saja bedanya, pengolahan sepakbolanya ilmiah dan
profesionalisme mereka prima, sementara yang kita jalani masih tanggung.
Kepemimpinan nasional sepakbola kita seringkali masih belum berpikir modern,
ilmiah, obyektif dan dengan sasaran-sasaran profesional-industrial yang akurat.
Mereka bahkan masih kental dengan kecenderungan ‘kulturalistik’ dan agraris.

Pada tingkat lokal, regional dan apalagi nasional, sungguh kita memerlukan
perundingan menyeluruh tentang rasionalisasi dunia persepakbolaan. Kita butuh
menterjemahkan konteks globalisasi, pengilmiahan, industrialisasi dan
profesionalisasi sepakbola. Kita sudah terlanjur meninggalkan fase ‘sepakbola
kultural’. Kalau tak kita capai fase ‘sepakbola industrial’ secara ilmiah dan mendasar,
mungkin keadaan kita akan seperti ‘melepas ayam di tangan, tak tergapai burung di
angkasa’.****

(Emha Ainun Nadjib/2004/PadhangmbulanNetDok)


Sedang Tuhanpun Berbagi (iv)
Sejauh saya mengerti, yang menjadi pokok soal dalam Islam ialah bagaimana
kekayaan diperoleh dan bagaimana derita kemiskinan sampai diperoleh. Yang
diajarkan oleh Islam bukanlah 'kaya' atau 'miskin', melainkan sikap terhadap
kekayaan dan kemiskinan.
Termasuk juga sikap terhadap kemunkaran sistem yang mengatur adil tidaknya
harta a-lam ini dibagi kepada manusia.
Sikap tersebut tak lain adalah bagian dari spiritualitas. Bagian lain dari spiritualitas
ialah panggraita, meraba lebih dalam terhadap ada tidaknya nasib.
Lihatlah kartu domino. Kartu-kartu sudah tertentu. Berbagai kernungkinan permainan
juga bisa dipelajari. Namun persoalan pembagian kartu, kapasitas manusia hanya
mengocoknya. Silahkan lakukan seratus atau seribu kocokan, tapi Anda tidak bisa
menentukan apa dan bagaimana kartu Anda. Anda tidak bisa menjamin bahwa Anda
akan bebas clan balak-6.
Ada faktor X, peranan lain di Mar diri manusia yang dikandung oleh permainan
domino.
Atau sepakbola. Silahkan bikin coaching yang canggili. Dad ketrampilan individu
sampai pola permaman. Namun coba gambarlah garis larinya bola selama 90 menit.
Anda sama sekali tidak akan pemah bisa merancang bagaimana gambar itu. Di saat
lain Anda hanya
bilang 'bola itu bundar".
Ada faktor X, peranan lain di luar diri manusia yang dikandung oleh permainan
sepakbola.
Tentu saja tidak analog bahwa sistem perekonomian yang kita anut dewasa ini sama
dengan kocokan domino. Namun yang penting peranan manusia itu terbatas sampai
titik tertentu.
Kita tidak bisa menjamin 100% bahwa besok pagi kita masih hidup. Sekian persen
jaminan itu tidak berada ditangan kita. Kita hanya bisa mengusahakan kesehatan
dan ketertiban hidup, namun bukan penolakan atas maut seperti yang kita rindukan
setiap hari.
Di sisi kita, Allah berbagi. Allah menentukan batas fungsiNya sendiri dalam
kehidupan manusia. Kehidupan jangan diserahkan 100% kepadaNya, jangan pula
100% pada diri kita sendiri. Namun itu persoalannya yang bikin hidup kita mudah
karib dengan tuyul.

(selesai)

Yogya. 28 Oktober 1989


(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa
Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

SEPAK BOLA SEBAGAI GEJALA SEJARAH


Saya tidak sungguh-sungguh mengenal – apalagi menguasai seluk beiuk – dunia
sepakbola. Saya sekedar menyukainya.
Pengetahuan saya mengenai tehnik persepakbolaan, sejarahnya, petanya di negeri
ini dan di dunia, siapa saja nama pemain-pemainnya – amat sangat terbatas dan
sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuan Anda. Indikator bahwa di
dalam hidup saya ada sepakbola hanyalah bahwa di kedua kaki saya terdapat
banyak bekas luka karena main sepakbola ndeso di masa kanak-kanak dan masa
muda saya. Selebihnya, saya juga bukan penonton setia pertandingan-pertandingan
sepakbola di level manapun. Bukan pula pemerhati perkembangan dunia sepakbola.
Bahasa jelasnya: dalam soal persepakbolaan, saya sama sekali seorang awam.
Seorang penggembira yang mensyukuri bahwa pernah ada seseorang, suatu
kelompok atau sebuah masyarakat yang kreatif menemukan kenikmatan ‘budaya’
yanq disebut sepakbola.

Adapun kalau sesekali saya menulis di media massa tentang sepakbola, ada
sejumlah sebab. Menulis di koran hanyalah perpanjangan tangan dari obrolan
sehari-hari. Puluhan juta orang mernperbincangkan sepakbola: beda antara saya
dengan mereka hanyalah bahwa obrolan saya terkadang memakai modus ekspresi
yang lain serta dengan daya jangkau yang agak lebih luas. Sebagaimana berpuluh-
puluh juta orang tersebut berhak membicarakan apa saja – dari presiden, Tuhan,
sambal, hingga sepakbola – maka sayapun merasa tidak ada salahnya omong
sepakbola. Negara, menteri-menteri, harga lombok, adalah 'milik' kami yang berhak
kami perbincangkan kapanpun saja.
Sebab yang kedua, teman-teman media massa sukanya minta sih agar terkadang
saya menulis olahraga, terutama kalau pas ada peristiwa-peristiwa olahraga penting.
Saya orangnya amat susah menolak. Permintaan itu terkadang saya penuhi, dengan
persyaratan hendaknya mereka memahami dan mengizinkan bahwa posisi saya
bukanlah sebagai – semacam – kolumnis olahraga. Melainkan sekedar sebagai
seseorang biasa yang kebetulan mencoba menuliskan hal-hal yang sebenarnya
memang merupakan bahan obrolan sehari-hari siapa saja. Termasuk dengan tingkat
– mutu obrolan sehari-hari pula.
***
Akan tetapi di luar itu, mungkin memang ada hal-hal yang agak sedikit lebih penting.
Misalnya, bahwa gejala – sebagaimana segumpal batu, se-uleg-an sambal atau
sebuah revolusi sosial – sepakbola adalah cermin sejarah. Di dalam sepakbola saya
bisa menemukan hampir apa saja yang juga saya temukan di luar lapangan bola,
bahkan di wilayah-wilayah yang lebih serius dibanding sepakbola.
Di dalam sepakbola saya berjumpa dengan gejala sosial. Dengan manusia. Dengan
wataknya. Kualitas kepribadiannya. Kecerdasan atau kedunguan otaknya. Kepekaan
dan spontanitasnya. Refleksi-refleksi dari dunia pendidikan, kebudayaan, keluarga,
nilai-nilai, bahkan juga tercermin akibat-akibat kesekian dari mekanisme politik,
industrialisasi, modernisme, atau apa saja. Lebih dari itu saya bisa yakinkan bahwa
dengan Tuhan, filsafat dan imanpun saya bertegur sapa di dalam sepakbola.
***
Pada suatu hari Anda menyaksikan pertandingan sepakbola nasional kita, atau
pertandingan-pertandingan elite dunia yang bagaikan 'magic’. Lantas barangkali
Anda teringat dahulu kala tatkala Anda bermain sepakbola di kampung: memakai
buah jeruk sebagai bola. Atau kulit luar pohon pisang kering yang Anda bikin sampai
menjadi bulatan bola. Atau bola-bola karet dan plastik biasa yang Anda dapatkan di
Pasar Kecamatan. Sesekali, mungkin bersama Santri-santri dari Pesantren sebelah
Anda mencoba bermain dengan bola api.
Ingatan masa silam Anda itu bukan hanya bermakna sebagai nostalgia yang
romantik. Lebih dari itu, Anda mungkin memperoleh pelajaran tentang mekanisme
transformasi. Transformasi budaya. Transformasi sejarah. Transformasi manusia.
Outline-nya: transformasi budaya manusia dalarn sejarah.

Menjadi pemain sepakbola di tahun 1960an sangat berbeda dengan menjadi pemain
sepakbola tahun 1990an. Menjadi pemain sepakbola di kampung yang bersenang-
senang pada kompetisi 17-an sambil sesekali pukul-pukulan, berbeda dengan ketika
ikut Pelatnas atau berlaga melawan klub-klub sepakbola profesional-industrial.
Menjadi pemain sepakbola dengan kaki telanjang atau saat mulai belajar pakai
sepatu sehingga rasa berlari kita seperti bandit yang kakinya dirantai dan digandholi
beban bulatan besi, berbeda dengan menjadi pemain sepakbola sebagai suatu
pekerjaan dari 'ideologi' modernisme. Menjadi pemain sepakbola nostatgia bersama
para Jago Kapuk alias veteran berbeda dengan tatkala kaki kita siap patah
menyangga misi nasionalisme olahraga, nama baik bangsa atau memperjuangkan
nafkah anak istri melalui tentangan bola.
Anda nyeletuk: "Ya mesti saja! Wak Jan juga tahu kalau itu berbeda!"
Saya memaksudkan perbedaan itu lebih – atau sekurang-kurangnya berbeda –
dengan yang barangkali Anda bayangkan.
Perbedaan pertama mungkin sederhana saja, ialah pada perasaan yang bergolak.
Di kampung, selama main bola hati kita berbunga-bunga menikmati sepakbola as a
fun and enjoyment. Tapi tatkala Anda berdiri di lapangan dan di seberang Anda
adalah Fandy Achmad dari tim nasional Singapura atau apalagi (hiii) Franco Baressi
pendekar AC Milan: gelombang perasaan kita pasti lebih komplit. Bermain tetap
sebagai hiburan dan kenikmatan juga barangkali, tetapi kuda-kuda mental kita harus
lebih dari itu.
Di dalam nasionalisme sepakbola, di dalam profesionalisme sepakbola, di dalam
industrialisme sepakbola: kita haruslah merupakan seorang manusia modern.
Seorang pemain 'sepakbola modern’. Seorang modernis dalam sepakbola. Cara
berpikir kita, sikap mental kita, wawasan dan pengetahuan kita, pola determinasi
budaya kita, setiap kuda-kuda kita, segala sepakterjang kita, haruslah merupakan
endapan atau perasan dari kuda-kuda modernisme.
Bagi kebudayaan sepakbola modern internasional saja antara sepakbola sebagai
kenikmatan (baca: sebagai kesenian, estetika) masih relatif berpolarisasi dengan
sepakbola sebagai 'mesin' profesi (baca: teknologi). Bukankah polarisasi itu pula
yang selama dua dekada terakhir ini menjadi substansi nuansa antara
persepakbolaan Eropa dengan Amerika Latin? Bukankah tim raksasa seperti Brazil
saja selama putaran piala dunia tiga kali berturut-turut masih dihinggapi splits atau
semacam kegamangan antara estetika dengan teknologi sepakbola?

Dalam bahasa populer, polarisasi itu terungkap misalnya lewat perdebatan para
pelatih. Yang satu bilang: "Ini sepakbola manusia, bukan onderdil mesin. Sepakbola
manusia adalah keindahan". Lainnya menyindir: "Indah atau tidak indah itu memang
penting. Tapi yang lebih penting adalah terciptanya gol". Sementara lainnya lagi
berkomentar: "Keindahan dan terciptanya gol sama pentingnya".
Atau dalam bahasa sehari-hari, kita membedakan antara sepakbola tradisional
dengan sepakbola modern dengan istilah sepakbola alamiah yang mengandalkan
naluri dengan sepakbola rasional yang mengandalkan ilmu dan kecerdasan akal.
Bahasa jelasnya: manusia sepakbola di jaman kontemporer ini belum selesai
dengan proses transformasinya. Masih terus berjuang memproses instalasi yang
yang terbaik bagi budaya sepakbolanya. Masih belum menemukan keutuhan antara
'alam'nya dengan 'modernisme'nya. Sejarah sepakbola masih terus bergolak secara
amat dinamis. la masih akan tiba pada inovasi-inovasi, bahkan mungkin juga
invensi.

Bagi kita-kita di Negara Berkembang, seringkali terjumpai: seorang pemain yang


tampak amat berbakat secara alam, namun menjadi bengong ketika memasuki
arena modern persepakbolaan. Tiba-tiba kakinya gagu, tampak tidak memiliki
kecerdasan, sejumlah ketrampilannya mendadak lenyap entah ditelah oleh apa.
Kesimpulannya, di dalam budaya sepakbolapun ternyata harus ditemukan metoda
transformasi yang tepat, yang mempeluangi setiap pemain untuk mengubah dirinya
menuju pemenuhan tuntutan-tuntutan sepakbola modern tanpa kehilangan potensi
alamiahnya. Kalau tidak, Galatama menjadi tidak laris, PSSI kalah terus, dan kita
capek menangis. Apalagi kalau organisasi PSSI lebih merupakan ajang dari
persaingan dan perbenturan kepentingan yang sebenarnya bersifat non-sepakbola.
Mampuslah kita para penggembira sepakbola nasional.
(Emha Ainun Nadjib/2004/PadhangmBulanNetDok)
Sedang Tuhanpun Berbagi(ii)
Saya jadi teringat sebuah diskusi serius di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.
Soal-soal politik, pembangunan, kebudayaan, sistem-sistem rekayasa kesejarahan,
serta berbagai hal 'maha' besar lainnya - diringkas dalam suatu kecamuk
perbincangan yang penuh semangat, penuh protes dan intelectual acrobat maupun
political erection. Serta kemudian rasa letih.
Segala sesuatunya bermuara pada kesimpulan yang pe-nuh keyakinan bahwa
sistem yang mengatur segala sesuatu di negeri ini musti dirombak. Kesimpulan itu
akhimya diburnbui dengan semacam fatwa kepada masyarakat umum yang
dianggap suka berpikir irrasional
dan bersikap konservatif dalam banyak hal. Fatwa itu sederhana namun mendasar.
Yakni, "Saudara-saudara! Ingin saga tegaskan bahwa yang disebut nasib itu
sesungguhnya tidak ada. Yang ada ialah sistem, yang merancang dan mengatur
jalannya roda kehidupan,
yang membikin tetangga Anda naik mobil dan Anda sendiri naik bus kota ...."
Forum lantas menggeremang bagaikan tawon modal (lebah yang tengah keluar dari
sarangnya). Para tawon pulang ke rumah masing-masing membawa
keremangannya masing-masing.
Sudah tentu : "sistem harus dirombak" adalah sesuatu hal dan "nasib itu tak ada"
adalah sesuatu hal yang lain.
Seseorang bersikap santai :Terserah nasib itu ada atau tak ada, yang penting sistem
harus dirombak.
Yang lain keberatan : kepercayaan masyarakat bahwa nasib itu ada merupakan
faktor tidak kecil yang menjadi kendala bagi proses-proses ke arah perombakan
sistem.
Ada yang menamhahkan : sikap terhadap ada tidaknya nasib itu sangat mendasar
bukan karena menghambat atau mendorong proses perombakan sistem, melainkan
karena akan menentukan arah dan model dad sistem yang kelak dikandidatkan
untuk mengganti yang
sekarang berlaku.
Namun di antara semua itu ada satu hal yang klise : tak pernah dicari orang
jawabannya tentang bagairnana sebaiknya perombakan itu dimulai, apa skala
prioritasnya, bagian-bagian mana dari tubuh sejarah yang pertama musti digoyang,
bagaimana proses politiknya, apa mungkin dilakukan rintisan garis-balik sosial
ekonomi untuk menempuh hal itu sebelum sistem globalnya dibikin ambrol
sedemikian rupa. Juga tidak seorangpun merasa bertanggungjawab menjawab
siapa saja yang musti memulai, apa yang harus diberikan dan dilepaskan oleh
manusia ini kelompok sosial itu ; atau juga dalam mengarsiteki suatu gelombang
baru, apa saja yang wajib, apa yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang
haram. Dan akhimya kepada siapa atau apa terletak kunci tanggungjawab utama
suatu usaha perubahan. Soalnya : setiap orang menyalahkan orang lain dan
menganjurkan orang lain.
Jadi mengapa masalah-masalah ini relevan terhadap soal tuyul atau spiritual?
Karena tidak jelasnya letak kunci tanggungjawab itu mencerminkan kebiasaan kita
bahwa dalam membicarakan perubahan-perubahan keadaan : kita kurang
mempersoalkan tanggungjawab manusia. Kurang memperdulikan moral individual
atau kelompok kecuali kita sebut-sebut sebagai akibat dari mekanisme sistem.
Kurang memperhatikan, bahkan kurang mempercayai bahwa hakekat manusia pada
mulanya adalah subyek dari moralitas sendiri.
Dengan kata lain kita tidak mengandalkan kualitas manusia. Mentalitas manusia.
Spiritual manusia.
Saya kira pada titik inilah Islam tidak bisa tidak beranjak lebih kreatif dari 'sekedar'
pandangan-pandangan yang melihat manusia tak lebih sebagai 'kambing-kambing
gembalaan sistem pengendali sejarah'. Tentu saja ada beribu-ribu bukti nyata
betapa manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan sistemik yang mengatasinya.
Tetapi manusia yang ta fa kka ruu 'anil khalq - demi kian Islam setahu saya
mengajarkan - tidak bakalan memberontak terhadap kendali-kendali itu untuk
menyerahkan din kepada ideal-ideal lain, yang tampak manis, tapi juga telah bersiap
dengan kendali-kendali baru serta dengan ketidakpercayaan terhadap hakekat
manusia.

(bersambung)=====>>>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa


Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Sedang Tuhan pun Berbagi (i)
Kalau orang sampai mikir tema spiritualitas pembangunan, itu tak lain karena yang
mengerjakan pembangunan itu memang manusia.
Mungkin saja dibantu dengan jin, dukun, iblis, setan atau bahkan maiaikat, tapi
khalifah utamanya manusia.
Yang membuat jembatan adalah manusia. Yang bikin jalan tol juga manusia. Yang
membeli ratusan hektar tanah dengan sertifikat in absentia ya manusia. Yang
semakin terang-terangan minta sogokan untuk setiap langkah untuk membikin surat
resmi ya manusia juga. Yang dagang kambing ya manusia. Bahkan yang dagang
orang ya manusia.
Ada yang usil "Spiritualitas pembangunan itu apa bisa disebutjuga tuyul
pembangunan?". Jawablah why not? Etos tuyul bukan saja merasuk ke dalam
mentalitas para manusia pembangunan, ia bahkan juga mempola di dalam sistem-
sistem pembangunan. Hal seperti ini tak perlu lagi diterang-jelaskan karena sudah
menjadi pengetahuan bersama, bahkan mungkin sudah menjadi pengalaman kita
bersama, dalam frekwensi masing-masing.
Kalau tuyulisme memiliki.peranan tak kecil dalam proses pembangunan, maka
biarlah kita pakai saja kerangka berpikir 'kampung' untuk melihat tuyul itu keponakan
siapa. Kita sudah kenal Dajjal dan barangkali sudah lama karib dengan syaitan,
gendruwo maupun druhun atau apapun dalam 'zat' dan 'bentuk'nya yang silahkan
diperdebatkan. Tapi jadinya kita juga mengingat citra Allah, kapasitas kemalaikatan
atau apapun didalam din kita.
Cari gendruwo jangan ke kuburan. Cari kemamang jangan ke sawah sepi, Cari
banaspati jangan ke rerimbunan pohon. Cukup menjumpai mereka dengan
membalikkan arah pandang mata : dari luar ke dalam. Tuyul bahkan bergerombol-
gerombol di ujung jari jemari kita.
Jadi kalau tiba-tiba saja kita mentertawakan tema spiritualitas pembangunan, tiba-
tiba juga kita tonton bahwa yang tertawa itu ternyata Oom Tuyul, yang tinggai begitu
krasan di dalam lendir keringat kita yang kumuh.
Kenyataan seperti itu gamblang dan rasional.
Dajjal ditugasi merangkumi sejarah, syaitan dipekerjakan di langkah manusia, tuyul
diberi peran-peran dalam mesin dan birokrasi.
Seperti juga Allah mempekerjakan diriNya, Allah menugasi diriNya, Allah
menentukan fungsi-fungsiNya, dalam konteks dan batasan-batasan yang ia tentukan
sendiri. Mau apa, memang yang bikin seluruh makhluk ini memang Ia sendiri.
(bersambung)====>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa


Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Al-Baqarah Telah Memberi Kita Alarm(v)
Semua itu adalah petunjuk bagi kita untuk merevaluasi berbagai gagasan dan
anggapan, sangkaan kita tentang pengalaman sehari-hari, namun sekaligus bisa
juga membimbing kita di dalam menilai kembali konsep-konsep masyarakat kita
tentang kemajuan, kemakmuran, perkembangan, pembangunan, dan seterusnya.
Kontekstual dengan itu, adalah metafora Allah tentang 'absurditas' watak manusia
ketika Ia menceritakan Bani Israil dan Isa as. dalam hal perintah mencari dan
menyembelih sapi. Tergambar di situ betapa manusia memiliki kecenderungan untuk
menciptakan kesukaran dan problemnya sendiri. Manusia, masyarakat dan
kebudayaannya seringkali gagal memilahkan antara butuh dan mau. Kebutuhan dan
kemauan. Kalau diterobos lagi : antara keperluan yang murni dengan nafsu. Baik
yang tercermin secara individual maupun yang terkandung dalam gagasan-gagasan
suatu sisitim bersama, dalam keputusan politik, kebijakan ekonomi, atau pemilihan
pola kebudayaan.
Maka pentingnya mempertanyakan kembali anggapan-anggapan, sangkaan-
sangkaan tentang kemajuan, modernitas, sukses dan peningkatan. Kita lihat
misalnya menyangkut etos innovasi : gairah terhadap sesuatu yang baru dan terus
baru lagi. Suatu denyut hidup di mana seseorang atau suatu masyarakat senantiasa
memperbaharui diri, senantiasa 'lahir kembali', senantiasa yughoyyiru maa
bianfusihim, untuk mengarah ke 'kiblat', yakni baitullah dalam arti yang kualitatif-
essensial. Jadi usaha innovasi itu suatu mekanisme taqorrub. Cuma taqorrub ke
mana dan ke apa, itu yang menjadi soal. Selama ini yang kita bisa saksikan dalam
dunia ilmu pengetahuan, kesenian, serta berbagai kegiatan adab-budaya
masyarakat, kita dipimpin oleh suatu 'penguasa sejarah' untuk mentaqorrub tidak ke
Allah. Kita, seperti Bard Israil, cenderung menciptakan problemproblem kita sendiri,
mengotak-atik suatu gagasan yang kita sangka itu suatu innovasi padahal semu dan
mubadzir.
Sementara itu, tidak seperti Bani Israil, sesudah bertanya tentang sapi apa wamanya
apa, hakekatnya bagaimana : kita tidak lantas sungguh-sungguh mencarinya, untuk
kita sembelih.
Di Surat Al-Baqoroh sapi betina itu adalah lambang subordinasi manusia terhadap
kebendaan. Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Sedangkan kita, kalau tak
salah lihat, cenderung semakin memelihara sapi itu, 'sapi-sapi modern', untuk kita
sembah, meskipun mulut kita mengaku bahwa hanya Allah satu-satunya
sesembahan kita.
Dalam persoalan ini, Al-Baqoroh telah jauh-jauh hari memberi kita alarm.
Demikianlah, tentu dengan rasa was-was, sesungguhnya apa yang telah saya
paparkan ini sekadar menjilat rasa asin samudera. Sungguh Maha Kaya Allah, yang
ilmuNya hanya bisa saya cicipi amat sedikit namun yang amat sedikit itu pun sudah
sangat menguras keringat jiwa dan raga, serta mampu merenggut seluruh energi
kebahagiaan kita. Ayat terakhir Al-Baqoroh menuntun kita :
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia
memperoleh pahala dari kebajikan yang diperjuangkan serta dari keburukan yang
dikerjakannya. Mereka berdoa : Wahai Tuhanku, janganlah Engkau hukum kami jika
kami lupa atau bersalah. Wahai Tuhan kami janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu
yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami. Engkaulah Penolong kami,
maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang ingkar".
Yogya, 17 Maret 1984
(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongosng Masa
Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Al-Baqarah Telah Memberi Kita Alarm(iv)
Ketika di ayat-ayat awal Allah berfirman dan memberikan gambaran tentang
golongan mu'minin, nafiqiin, musyrikiin dan kaafiriin : kita begitu karib dengan
deskripsi. Rasanya yang digambarkan Allah itu baru berlangsung tadi pagi, tujuh
abad sesudah ayat itu diturunkan, dan di suatu tempat dan lingkup yang kita kenal
sebagai 'dunia modern'.

Membaca Al-Baqoroh ayat 11, tidaklah tertera di kesadaran kita hipokrisi politik
dewasa ini dengan segala anasir dan variabeinya? Itu siapa tahu barang kali juga
menyangkut sebagian pemimpin Kaum Muslimin sendiri, atau justru kita sendiri yang
sedikit banyak juga memiliki saham di dalam 'dosa bersama' penumbuhan
'kemunafikan struktural' meskipun mungkin kita tidak menyadarinya, seperti yang
disebut oleh ayat 12?

Pernah kita memiliki sahabat-sahabat, kenalan-kenalan, gagasan-gagasan yang kita


jumpai di mass media, di forum-forum diskusi, seminar, pidato-pidato, puisi-puisi,
atau dalam obrolan-obrolan lepas sehari-hari, yang sesungguhnya dideskripsikan
Allah melalui Al-Baqoroh ayat 13? Tidakkah getaran kenyataan yang diungkapkan
Allah tersebut kita rasakan kemarin, hari ini, di lingkungan yang karib dengan
kesibukan kita, bahkan juga justru di dalam diri kita sendiri? Kemudian kita sendiri
jugakah, atau handai tolan kita, atau pemikiran-pemikiran lingkungan yang sering
kita dengar, kita baca, kita jumpai, yang sesungguhnya dimaksud oleh ayat 18?
Apakah kita takut mati? Artinya mungkin juga takut pada 'kematian kecil'? Takut
kelaparan? Takut soal jaminan hari depan, sehingga lebih mempercayakannya
kepada 'buah-buah khuldi' yang dilarang Allah, dibanding mempercayakannya
kepada kesetiaan terhadap hukum-hukumNya? Apa gerangan konsep kita tentang
kematian? Etos mati yang bagaimana yang hidup dan kita imani selama ini?

Sesuaikah ia atau bertentangankah ia dengan tuntunan Allah di ayat 94


umpamanya?
Apakah kita merasa kecut karena "tidak mungkin melawan arus"? Apakah kita
'terpaksa' menjadi munafiq kemudian setengah mati berusaha menyembunyikan
kemunafikan itu dengan menyodor-nyodorkan alasanalasan apologetik dan artifisial
untuk dijadikan topeng yang kita pakai di panggung pementasan yang sarat hipokrisi
ini? Apa artinya gerangan resiko miskin, kelaparan, sedikit takut, dikucilkan, 'buntu
masa depan'?

Apa gerangan makna'kesengajaan cobaan' Allah itu, kemudian isyarat bahagia bagi
mereka yang terus setia bersabar, seperti yang diungkapkan oleh ayat 155? Apa
pula arti bimbingan Allah agar kita mengucapkan "Sesungguhnya segala sesuatu
adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya" (ayat 156) apabila kita menerima
musibah-musibah apa pun, tidak hanya 'kematian' ? Dan jika selama ini kita
memakai tradisi mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun" setiap kali ada
ikhwan kita yang meninggal dunia, marilah kita pertanyakan kembali sesuai dengan
konsep Allah kah pengertian kita tentang 'musibah' dan'mati'.

Jangan-jangan apa yang biasanya kita anggap musibah sesunggahnya justru bukan
musibah menurut pengertian Allah yang mestinya wajib kita tiru. Jangan-jangan apa
yang kita takutkan dari kematian bukanlah sesuatu yang selayaknya kita takutkan
berdasarkan konsep Allah. Ayat 216 memperingatkan kita akan hal ini. Mengapa,
dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak 'mendialektikkan' pengalaman-pengalaman
kita dengan rahasia ayat ini. Bahkan di dalam surat lain Allah mengemukakan
bahwa 'keburukan maupun 'kebaikan' yang menimpa kita dariNya, kedua-duanya
adalah cobaan.

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa


Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Al-Baqoroh Telah memberi Kita Alarm (iii)
Kita memang seringkali bersikap konsumtif terhadap jaminan-jaminan Allah. Padahal
jaminan itu memerlukan kreativitas kita : artinya kita harus mengasah radar rokhani
kita dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya,
baru kemudian berjanji Allah itu pantas untuk kita kenyam.
Sikap konsumtif itu nampakjuga pada kebiasaan banyak Muslim yang karena
berbagai konditioning lingkungan ia tidak meletakkan Al Qur'an sebagai buku pokok
atau literatur utama di tengah tumpukan buku-buku bantu yang bisa diperoleh di
toko-toko buku atau di Universitas dan Sekolah. Ibarat batu permata rokhaninya
kurang digosok sehingga tidak cukup mengkilat untuk mampu memantulkan cahaya
Allah.
Ayat 1 Al-Baqoroh, adalah suatu isyarat. Alf Laam Miim. Para Ulama menyerahkan
artinya kepada Allah, sementara Ulama lainnya mencoba menafsirkannya. Ada yang
menyebut itu adalah nama Surat, yang lainnya berpendapat itu semacam atraksi
untuk menarik perhatian pembacanya, lainnya lagi menganggap itu suatu petunjuk
bahwa bukan tidak ada maksud Allah untuk menurunkan Al Qur'an dalam Bahasa
Arab, bukan Bahasa Jawa.
Tentu saja allohu a'lamu bishshowaab. Namun yang jelas : ia adalah suatu misteri,
suatu rahasia. Tidak jelas rahasia macam apa, tapi jelas bahwa rahasia tersebut
adalah rahasia. Mengapa ia suatu isyarat? Karena jika sebuah rahasia terang-
terangan dijadikan intro (ayat pertama) dari Surat terpanjang ini, tentulah itu suatu
tuntunan implisit bahwa memang demikian banyak rahasia yang sebaiknya
kita'survey' di dalam ayat-ayat AlQur'an. Kita tidak paham apa Alif Laam Miim, tetapi
kata ayat 2 : Tak ada keragu-raguan padanya, ia adalah petunjuk bagi orang-orang
bertaqwa.
Adakah kita diberi petunjuk melalui rahasia? Ya, kata ayat 3, apabila kita adalah
benar-benar orang-orang yang beriman kepada ghoib, yang mendirikan
sembahyang serta menafkahkan sebagian rejeki. Dan kita tahu, yang ghoib, yang
menurut para ahli Islam adalah segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh
pancaindera, temyata bukan hanya para Malaikat, hari Akhirat dan lain-lain. Kita bisa
membaca dan menuliskan Alif Laam Miim, namun ghoiblah yang dikandungnya.
Maka sungguh mengherankan mengapa kita amat rajin menelusuri rahasia Al
Qur'an. Maka sesungguhnya justru rahasia Alif Laam Miim itulah yang merangsang
gairah, semangat dan tenaga setiap Muslim untuk dengan penuh sukacita dan rasa
cinta meneruskan membaca ayat-ayat selanjutnya dan seterusnya, agar ia bisa
bergabung dengan rahasianya.
Di bagian atas telah saya sebutkan tentang tidak ada satu gejala kehidupan pun
yang tidak terangkum dalam Al Qur'an, kemudian diperingatkannya dan diberinya
tuntunan. Artinya ayat-ayat Al Qur'an itu selalu aktual. Meskipun ia dulu memang
diturunkan berdasarkan suatu proses kesejarahan tertentu, konteks sosiologis dan
asbabun-nuzul tertentu, tetapi bukan Al Qur'anlah namanya apabila sesudah lewat
suatu era sejarah tertentu lantas ia pun ikut lewat dan kehilangan aktualitas.
Membaca dan menerapkan (dalam rasa dan pikiran) ayat demi ayat Al-Baqoroh
umpamanya, kita segera akan bertemu dengan berbagai potret kehidupan masa kini
yang sering kita alami, kita libati, dan kita amati.
(bersambung)====>>>>
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa
Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Al-Baqarah Telah Memberi Kita Alarm(ii)
Lihat dan bacalah AlQur'an yang amat luar biasa itu, yang terbagi menjadi bagian-
bagian, tetapi antara bagian-bagiannya itu saling merangkum, bagian yang satu
merangkum bagian yang lain, bagian yang lain merangkum bagian yang satunya,
bagian yang ini
mengandung bagian yang itu, demikian pula sebaliknya. Bagian-bagian yang tidak
parsial, tidak sektoral. Bagiannya mengandung keseluruhannya, keseluruhannya
mengandung bagian-bagiannya. Bagian-bagiannya adalah keseluruhannya,
kemenyeluruhannya adalah bagian-bagiannya. Sungguh Allah tidak menggertak-
sambal ketika ia menantang kaum Musyrikin, jika mereka ragu akan Al Qur'an (juga
mungkin menantang keraguan yang kita Kaum Muslimin alarm sendiri), untuk
membuat satu ayat saja yang semisal Al Qur'an.
Lihat dan bacalah Al Qur'an yang tiada suatu gejala kehidupan dan gejala sejarah
pun yang tidak disebutnya, diperingatinya, serta dituntutnya untuk selamat. Ia
sedemikian menyeluruh. Jadi sesungguhnya apa yang saya tulis ini sekedar, dengan
segala keterbatasan, semacam menjilat amat sedikit rasa asin dari samudera.
Surat Al-Baqoroh biasa juga disebut sebagai Fusthaathul-Qur'an, puncak Bacaan
Agung, karena secara eksplisit pokok tuntutan syariat : yakni perintah-perintah yang
menyangkut rukun Islam, Qishash, furgon yang memilahkan hal-hal yang halal dan
haram, aturan-aturan tertentu dalam perhubungan ekonomi, perkawinan dan
kekeluargaan, bukan sampai soal anak yatim, perang dan sihir.
Tuntunan tersurat ini menjadi alasan yang membuat 'Sapi Betina' ini menjadi puncak
Al Qur'an, dan dalam pandangan kita sering dikatakan bahwa surat-surat lain tak
mengandungnya. Apa yang terjadi sesungguhnya ialah bahwa Al-Bagoroh
menyodorkan kepada kita paket-paket hukum tertentu, sedangkan dalam surat-surat
lain banyak bisa dijumpai filsafat dan hakekatnya. jika kita bersedia melihat
tuntunan-tuntunan itu tidak terutama sebagai dogma, melainkan sebagai anugerah
Allah yang tetap mengandung rahasia, maka latar filsafat dan hakekat di balik setiap
aturan tersebut juga selalu bisa kita temui tidak usah di surat lain. Umpamanya pada
ayat 276 Allah menjamin akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Dewasa ini watak perekonomian di sekitar kita penuh nilai riba dan kita mungkin saja
secara sistemik memiliki keterlibatan di dalamnya. Seringkali kita lantas
menyaksikan pemandangan ekonomi yang membikin kita sedikit patah hati terhadap
jaminan Allah itu,
dan barangkali diam-diam kita tengah menuju kearah berkurangnya keyakinan kita
terhadap statemen Allah. Dalam situasi seperti ini kita harus tetap berikhtiar
menguak rahasia pemyataan Allah itu.
Sebutlah barangkali kita-kita yang belum menyesuaikan diri dengan konsep Allah
tentang kesuburan sehubungan dengan Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Kite 'bingung' berada di tengah kehidupan mana "yang tak jujur makmur,
yang jujur terkubur". Dalam fase proses 'kebingungan' itu Allah langsung
menyodorkan ayat berikutnya (277): bahwa yang (benar-benar) beriman, beramal
sholeh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, akan mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Langsung pula Allah melipur
hati kita: Tak ada kekhawatiran kepada mereka dan tak pula mereka bersedih hati.
Artinya, jika masih juga bingung dan nelangsa, hendaknya ia mempertanyakan
kembali imannya, amal-sholehnya,sembahyang dan zakatnya. Yakni kesetiaan dan
stamina intensitas amal-amal baiknya itu.(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa
Depan"/SIPRESS/1995/PadhangmBulanNetDok)

Al-Bagoroh Telah memberi Kita Alarm (i)


Salah satu 'ijaz Al Qur'an ialah bahwa sistematikanya tidak dapat dirumuskan. Kita
bisa misalnya, menyusun klasifikasi per-disiplin : ada ayat hukum, ayat ekonomi,
ayat moralitas, ayat astronomi atau biologi. Ibarat samudra, kita ambil satu ember
airnya untuk kita masukkan ke dalam tabung yang berbeda-beda sesuai dengan
approach yang kita gunakan. Besok pagi kita akan menemukan suatu kenyataan
bahwa pengisian tabung itu bisa kita tukar dan balik atau kita campurkan sekaligus.
Kita mungkin akan mengatakan bahwa Al Qur'an adalah suatu dimensi petunjuk
yang multikompleks, kamil, paripurna namun sesungguhnya lebih dari itu. Al Qur'an
itu tiada 'jarak'nya dengan Allah : dan kita menyebut Allahu Akbar. Akbar bukan
Kabiir. Bukan saja Maha Besar, melainkan lebih dari Maha Besar. Jika kita mampu
membayangkan yang lebih besar lagi dari batas besar yang bisa kita capai, maka Ia
lebih besar. Jika Maha Besar itu seolah-olah bisa kita 'fahami' dengan rasa-
pengertian kita, maka Ia lebih lagi. Kata Maha itu, meskipun tidak terbayangkan,
namun ia memberi kesan statis, tetap, atau berhenti. Tetapi Lebih Besar, memberi
kesan dinamis, hidup, bergerak. Suatu keterus-menerusan dan ketiada-terbatasan.
Dengan permenungan tertentu kita barangkali mampu
menggapai taraf demi taraf kebesaran, tetapi kita akan 'lenyap' di satu level tertentu,
sebab kita tidak akan bakal mencapai ruang dan tak akan dipeluangi waktu untuk
mengejar yang lebih Besar dan terus Lebih Besar.
Maka demikianlah, karena laa roiba fiihi ( (Al-Baqoroh 2) AlQur'an adalah wahyu
Allah, kita tak perlu 'heran' apabila ia senantiasa lebih dari segala yang pernah kita
tafsirkan, kita mafhumi, kita simpulkan atau kita duga-duga. Allah menganugerahkan
kita pamungkas dari segala kitabullah ini kepada kita, suatu jenis makhluk yang
ahsani taqwiim (At-Tien 4), yang dulu diprotes penciptanya oleh para Malaikat
karena "akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (Al-
Baqoroh.30). Terhadap hal tersebut sejak semula jelas pernyataan Allah tentang
keterbatasan kita. JawabNya atas protes itu : "Sesungguhnya Aku. mengetahui apa
yang engkau tidak ketahui" (Al-Baqoroh 30).
Malaikat, yang ghoib, dan wajib kita percayai bahwa ia ghoib, sama sekali tak
mengetahui apa yang Allah ketahui. Maka kita, jenis makhluk yang berdaging tulang
ini, sekurang-kurangnya tak lebih dari itu.
Maka demikian pula terhadap Al Qur'an : tetap berlaku keterbatasan kita. Dengan
demikian sesungguhnya alangkah menggairahkan untuk menjadi seorang mu'min :
betapa melimpah rahasia Allah yang bisa kita dambakan dan kita yakini. Ayat-
ayatNya yang di suatu hari terasa seperti gamblang, temyata mengandung
keghoiban, sedemikian rupa sehingga kita akhimya mengalami bahwa itulah
satusatunya ruang untuk berislam, sumeleh, pasrah dalam arti yang seluas-luasnya,
sedalam-dalamnya, yang multi kompleks, yang gamblang namun tetap ghoib dan
menyimpan misteri, yang ghoib namun juga bisa gamblang.
========>(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa
Depan"/PadhangmBulanNetDok)
Allah dan Slang-slang AC
Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale.
Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan
berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-
orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar
membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka
terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di
losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak
mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati
banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di
rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti
tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal,
menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami
harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas
sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana
mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai
acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat
dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan
kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal
lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun
hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu
bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam
hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari
Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada
orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala
keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya
orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia
hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena
itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran
dan pergaulan kita dengan Al1ah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan
berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-
rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan
pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu
senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar
internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri
pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-
lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di
pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa
menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara
dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Al1ah
Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok
bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang
mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan
tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsi-tek
membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah
atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla.
RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai
tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam.
Ya Al1ah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak
kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai
di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak
dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang
membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini
tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu.
Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung
ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang
menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu..."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan
kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Ma1am ini juga
cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan
pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji.
Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga
bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari
peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya
hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan
religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-
kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab A1-Quran serta
tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel
yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami.
Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke
berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam
nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang
engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan
di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-
slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir –
kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah
disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya
memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga
mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok
tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar,
dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke
kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Ka1au memang yang
dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak
biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan
Injil.****
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2005/PadhangmbulanNetDok)

Allah dan Slang-slang AC


Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale.
Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan
berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-
orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar
membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka
terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di
losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak
mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati
banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di
rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti
tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal,
menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami
harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas
sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana
mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai
acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat
dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan
kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal
lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun
hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu
bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam
hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari
Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada
orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala
keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya
orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia
hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena
itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran
dan pergaulan kita dengan Al1ah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan
berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-
rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan
pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu
senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar
internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri
pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-
lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di
pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa
menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara
dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Al1ah
Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok
bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang
mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan
tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsi-tek
membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah
atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla.
RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai
tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam.
Ya Al1ah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak
kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai
di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak
dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang
membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini
tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu.
Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung
ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang
menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu..."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan
kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Ma1am ini juga
cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan
pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji.
Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga
bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari
peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya
hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan
religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-
kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab A1-Quran serta
tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel
yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami.
Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke
berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam
nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang
engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan
di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-
slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir –
kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah
disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya
memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga
mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok
tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar,
dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke
kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Ka1au memang yang
dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak
biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan
Injil.****
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2005/PadhangmbulanNetDok)
Puisi yang Sengaja Dibikin Gelap Mengenai Harimau
Puisi ini oleh penyairnya sengaja agak digelap-gelapkan, dengan alasan yang
sangat gampang dipahami: yakni karena temanya adalah harimau, dan harimau itu
di era sejarah kapan pun insya Allah selalu menakutkan
Kalau kepergok harimau, manusia selalu bersegera lari dan melingkar-lingkar
mencari keselamatan. Maka demikian pulalah puisi ini. Untunglah menurut para
Suhu, lari ketika ada musuh adalah jurus kependekaran yang tertinggi
Apalagi penyair puisi ini juga tahu persis bahwa akhir-akhir ini setiap orang diam-
diam merasakan dalam kegelapan batinnya bahwa harimau bukan saja menakutkan:
lebih dari itu perilakunya sudah sampai pada taraf mengerikan
Terutama karena di zaman kemajuan ini harimau memiliki kecanggihan bukan saja
dalam memegang pentungan atau menembakkan senapan, tapi juga piawai
mengoperasikan washing machine di mana jutaan gumpalan otak manusia dijejal-
jejalkan di dalamnya
Akan tetapi penyair kita ini tetap dengan penuh kesadaran menggelapkan puisi ini,
sebab meskipun harimau itu tuli telinganya, tapi matanya sedemikian tajam melebihi
ketajaman mata setan yang menginteli kegiatan para malaikat. Dan berkat
kekalahan tajamnya mata itulah maka masyarakat setan sekarang kehilangan
reputasi, bahkan kehabisan lahan untuk peran-perannya yang kini telah digantikan
dan dimonopoli
Penyair kita memohon agar kita membawa pulang puisinya secara diam-diam dan
menyembunyikannya di balik jaket, kemudian ia menyarankan agar kita upayakan
aroma puisi itu jangan sampai tercium oleh indra hidung harimau yang kepekaannya
sudah termasyhur di seantero nusantara. Sebab kalau tidak, jaket dan badan kita
akan dirobek-robek oleh kukunya, minimal dilarang untuk kita pakai, kecuali jika kita
bersedia menyediakan prosentase saham untuk memperdagangkan aroma itu
Namun dengan semua ini jangan menyangka bahwa penyair itu maupun kita semua
merupakan musuh harimau, sebab telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa
harimau adalah sahabat kita, yang membuatkan kita jembatan dan memperbaiki
jalan, bahwa harimau itu berasal dari kita dan untuk kita, bahwa harimau itu telah
manunggal dengan kita semua
Hanya saja ・ini penyair kita selalu terbodoh-bodoh untuk bisa mengerti
・persahabatan dan permusuhan yang dimaksudkan oleh harimau berbeda
dengan yang digagas oleh penyair. Penyair umumnya romantis dan cengeng. Ia
memandang persahabatan secara sentimentil dan selalu melebih-lebihkan
permusuhan. bagi sang harimau, penyair itu anak kecil yang belum memahami hal-
hal yang paling remeh pun dari kehidupan. Sehingga kaau sedikit saja si penyair
atau kita semua berpikiran atau apalagi berperilaku tidak sesuai dengan kehendak
sang harimau, maka wajib dididik, misalnya dengan cara menempelkan plaster di
multunya atau satu tendangan ringan di pantatnya
Memang dulu kita ambil anak harimau itu dari tengah hutan lebat, kita gendong, kita
sayang-sayang, kita kasih makan dan minum, kita bikinkan kandang, kita suburkan
badannya dan kita panjangkan kuku-kukunya, dengan biaya yang sangat mahal dan
kesantunan yangtinggi derajatnya. Tujuan kita adalah agar ia menjaga kita,
memelihara ketenteraman hati dan keamanan rumah kita, dari ancaman-ancaman
yang misalnya datang dari tetangga, dari masyarakat Jin atau Iblis
Harimau itu bertumbuh menjadi makhluk yang sakti dalam hal pengamanan, serta
canggih dalam hal mengatasi ancaman. Sedemikian rupa sehingga ia tidak memiliki
pengetahuan lain kecuali yang menyangkut keamanan. Dan karena kemudian
ternyata dari tetangga maupun dari masyarakat Jin dan Iblis tidak ada ancaman apa
pun yangdatang, maka perlahan-lahan si penyair dan kita semualah yang dianggap
merupakan ancaman
Sebabnya adalah bahwa harimau akan kehilangan peran dan lapangan pekerjaan
jika tidak ada ancaman, dan akibatnya adalah si penyair dan kita semua yang
akhirnya dimasukkan ke dalam kandang

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
BERSARANG
Sebuah tenaga asing bersarang di telapak tangaku
Aku tahu kamu! Alam sedang hamil
Semesta terkatung-katung di lorong buntu
Api zaman menggeliat, menyongsong
hari-hari terakhir pingitannya

Tenaga asing, aku bertanya kepadamu


kenapa musti datang dengan tekateki
Kamu fosil kapak Ibrahim yang
akan memancing api kemudian memadamkannya
Kamu kerak tongkat Musa yang membelah samudera dan
mengantarkan mereka ke zaman di seberang
Kamu terompah Muhammad yang
berderak kembali dari pengasingan
Kamu gigir pedang Ali yang bercabang

Tenaga asing aku tahu siapa kirim kamu ke aku


Tapi sebutkan berapa era kegelapan lagi harus kunantikan
Berapa dekade kesabaran lagi harus
orang-orang malang itu bayarkan
Berapa kurun kearifan lagi harus dipamerkan oleh
siapa pun yang berputus asa

Ke arah mana tenagamu ini harus kulemparkan


Cambuk punggungku sekarang. Bentak telingaku.
Tarik busurmu

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Perjalanan Dusta
Tujuh Wali Kekasih Tuhan, yang terdiri dari Empat Wali materi dan Tiga Wali
Rohani, memutuskan untuk minggat selama-lamanya dari permukaan bumi
Mereka melarikan diri dengan tujuan hendak langsung menemui Tuhan di
pesanggrahan-Nya, untuk mengadakan semacam unjuk rasa dan melontarkan
sejumlah protes keras
Mereka adalah Wali Penjaga Tanah, Wali Penggembala Api, Wali Pemelihara Air,
Wali Penunggu Logam, Wali Penabur Cahaya, Wali Penegak Akal, serta Wali
Pembersih Nurani
Oleh ketujuh Kekasih Allah itu disepakati tiga alasan pokok yang menyebabkan
mereka minggat
Pertama, di wilayah tugas mereka jumlah dusta alias kebohongan sudah hampir tak
terhingga, sampai tak tertampung kapasitas komputer dengan mega-harddisk
berukuran 1,3 trilyun giga byte
Kedua, para pemimpin dan anggota kelompok-kelompok yang memotori proyek-
proyek ketidakadilan, yang mempercanggih manipulasi-manipulasi atas undang-
undang, yang mensistematisasi birokrasi pemiskinan merasa sangat yakin bahwa
justru merekalah calon-calon utama penghuni surga
Dan ketiga, problem-problem yang ditanam sebagai pohon yang terlalu dalam
akarnya di wilayah itu, sudah tak mungkin ditumbangkan oleh kerjasama Lembaga-
Lembaga Bantuan Perjuangan, oleh Pusat-Pusat Penelitian dan Pengembangan
Keselamatan, oleh Komite Nasional Hak Makhluk Hidup, serta oleh Yayasan-
Yayasan Penunda Hari Kiamat
Juga tak bisa dijamin akan bisa diatasi jikapun mereka dibantu oleh Badan-Badan
Strategi Pengobatan Penyakit Zaman, oleh Forum Impian Nirwana, oleh Front
Pemberantasan Rasa Takut, oleh Organisasi Penyadaran dari Situasi Pingsan
Struktural, oleh Nahdlatul Bingung, maupun oleh Pementasan Aktor-Aktor Pengigau
dan Sinetron-Sinetron Perajut Mimpi
Persoalan-persoalan itu, pada tingkat yang sungguh-sungguh, bahkan sudah tidak
bisa disembuhkan oleh pihak-pihak yang menciptakannya itu sendiri. Bahkan tidak
oleh kekuasaan tak terbatas yang berada di genggaman tangan Bapak Stagnasi
Nasional, meskipun kalau beliau batuk pada suatu pagi, ratusan gunung bisa
terguncang-guncang
Jika diibaratkan, persoalan-persoalan itu bagaikan sebuah kota besar, yang
meskipun teguh beriman namun terlalu riuh rendah dan penuh gemerlap sementara
jalanan-jalanannya selalu macet dan yang bisa dilakukan oleh kumpulan semua
kekuatan sejarah itu paling jauh hanyalah memasang papan-papan pengumuman di
sepanjang jalan dan di setiap perempatan yang berbunyi: "Dilarang Macet!"
Tujuh Walu Tuhan itu pergi secara diam-diam tanpa pamit atau minta izin kepada
saya
Tetapi itu tidak mengagetkan karena saya memang tidak memiliki hak untuk mereka
mintai izin, sebab yang menggaji mereka bukan saya, melainkan Tuhan sendiri
Sedangkan makhluk-makhluk lain yang makan minum dan kesejahteraannya
berasal dari pajak saya saja pun tidak pernah berunding dengan saya ketika
menelurkan setiap keputusan
Malah saya yang diperbolehkan ada hanya kalau memiliki Sertifikat Kelakuan Baik,
yang dirilis oleh kelompok yang tidak dijamin berkelakuan baik
Malah saya yang setiap kali hendak bersin harus terlebih dulu meminta izin, karena
saya adalah warga negeri asing yang harus dihadapi dengan praduga bersalah
Akan tetapi ketika Tujuh Wali itu tiba di gerbang Arasy, malaikat Syakhlatusy-Syams
mencegat mereka dan langsung menuding mereka dengan kata-kata paling purba:
"Kalian tidak akan tiba di pesanggrahan Tuhan, melainkan akan terpeleset ke negeri
setan. Karena siapa pun yang berputus asa mitra politiknya, koalisi kulturalnya serta
mazhab teologisnya adalah setan
Kalian membuntuti jejak Yunus yang meratap dan bingung. Kalian akan kalah dalam
undian dekade-dekade maupun kuis era-era. Kalian akan dipojokkan olehsejarah
untuk terpaksa terjun ke laut, kemudian disongsongdan dijadikan makanan oleh
seekor ikan raksasa abad XXI
Kalian sudah tahu bagaimana cara membuat perut ikan abad XXI itu menjadi panas,
sehingga kalian dimuntahkan kembali dan terdampar di pantai masa depan untuk
memulai sebuah orde yang baru. Tetapi melihat wajah dan sorot mata kalian,
tampaknya kalian sudah sangat kecapekan untuk sanggup bertarung sampai ke
ronde sejarah yang sejauh itu"
Tujuh Wali itu terhenti perjalanannya, tidak mampu menembus tembok telapak
tangan malaikat Syakhlatusy-Syams, karena makhluk pengendali matahari ini
memiliki kekuatan yang tak terkirakan dan belum mampu dihitung oleh seribu
laboratorium ikatan cendekiawan
Yang terjadi kemudian adalah sebuah interogasi dan hampir sebuah perdebatan.
Syakhlatusy-Syams bertanya kepada tujuh Wali Tuhan ini satu per satu, tentang
landasan pemikiran mereka, studi fisibilitasnya, aksi lokal dan wawasan globalnya,
target jangka pendek dan jangka panjangnya, bahkan diselidiki juga berapa milyar
per tahun mereka memperoleh pendanaan dari negeri-negeri tetangga
Wali Penjaga Tanah menjawab: "Telah berlangsung perampokan ganda atas tanah-
tanah di dunia. Terlalu banyak tanah yang dicerabut begitu saja dari tangan para
pemilik tradisionalnya tanpa sopan santun dan tawar menawar yang mencerminkan
bahwa mereka adalah makhluk yang bernama manusia. Tetapi terdapat juga
perampokan yang selama ini tersembunyi: Tuhan hanya memberikan kepada
manusia "hak pakai" bukan "hak milik" atas tanah yang Ia ciptakan ini, tetapi
manusia menciptakan hukum yang tidak masuk akal dan merampk otoritas Tuhan,
dengan menciptakan sertifikat hak milik atas tanah-tanah itu. Padahal terbukti
mereka tidak pernah menciptakan tanah, tidak pernah memproduksi tanah,
melainkan tiba-tiba saja menemukan tanah di bawah kakinya. Manusia adalah
peminjam paksa, manusia adalah fakir miskin yang tak tahu diri, manusia adalah
Columbus-Columbus sakit saraf yang merasa yakin bahwa mereka menemukan
sebuah pulau dan memilikinya, seolah-olah tanah itu nongol
begitu saja dari jidatnya. Manusia adalah raja-raja yang mengkhianati logika
historisitas. Manusia adalah makhluk sakit otak yang mencuri hak Tuhan secara
semena-mena
Untunglah Tuhan bukan pendendam dan cenderung bersikap santai. Sehingga
meskipun tiap saat milik-Nya diklaim oleh makhluk-makhluk-Nya, tetap saja Ia setia
menerbitkan matahari, memelihara fasilitas alam dan mengedarkan rezeki-rezeki
misterius di antara manusia
Akan tetapi, terus terang saja, kesantunan Tuhan yang berlebihan itulah yang aku
tidak mengerti!"
Wali Penegak Akal tiba-tiba saja nyelonong meneruskan laporan WaliPenjaga
Tanah:
"Manusia-manusia itu antre di pom bensin tidak dengan membawa konsep tanggung
jawab bahkan sekadar terhadap setetes minyak bakar. Mereka mengucurkan begitu
saja sebanyak-banyaknya benda cair yang langka itu dalam tangki mobil dan
motornya masing-masing, tanpa laporan pertanggungan jawab kepada produser
bensin apa ia sungguh-sungguh memerlukan bensin sebanyak itu, akan digunakan
untuk ke mana dan untuk apa ia berkendaraan. Seolah-olah mereka pernah punya
ilmu dan teknologi untuk memperoduksi minyak sendiri. Seolah-olah minyak adalah
hasil produksi sejarah mereka
Kemudian mereka bahkan menciptakan kecurangan-kecurangan politik internasional
demi pencurian minyak, menyelenggarakan dusta-dusta sejarah di seantero bumi
yang disusun di kantor polisi dunia demi memonopoli minyak
Akui tidak bisa tahan lagi. Wahai Syakhlatusy-Syams! Aku ingin Tuhan mulai
bersikap agak sedikit radikal! Aku yakin Tuhan bukan anggota Musytasyar dari
sebuah Nahdlah besar yang terlalu sabar karena takut dituduh makar, sehingga
akhirnya jenggotnya sendiri pada terbakar!"
Wali Penggembala Api menyahut dengan suara yang berat besar:
"Aku menyaksikan api dicuri dari rumahnya dan ditaburkan ke pasar-pasar!"
Syakhlatusy-Syams bertanya: "Kau menyalahi asas praduga tak bersalah. Apa
mencipratnya api itu bukan karena tingkat kemarau yang kurang ajar?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Tuan boleh ucapkan itu kepada punggawa-
punggawa lembaga bantuan hukum, tapi jangan kepada murid Ibrahim dan Khidlir.
Apakah Tuan akan menangkap Ibrahim dan memasukkannya ke dalam sel tahanan
dengan tuduhan bahwa ia telah melakukan usaha percobaan pembunuhan atas
Ismail putranya sendiri? Ditambah dakwaan bahwa Ismail membuat berita acara
kerelaan untuk disembelih itu karena paksaan Bapaknya?
Apakah Tuan akan meyeret Khidlir ke pengadilan dengan tuduhan bahwa ia
melakukan tindak kriminal katika mencekik seorang anak di tengah jalan,
membocorkan dinding kapal serta ikut campur terhadap kondisi pagar seseorang di
sebuah kampung?"
Syakhlatus-Syams tersenyum: "Jadi rupanya Khidlirlah backing kalian?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Terserah pasal berapa yang Tuan kenakan
atasku, tetapi terhadap semua ini aku memutuskan untuk angkat tangan dan
menyerah. Kasrena api telah membakar dunia dan peradaban manusia. Kekuasaan
dan politik telah mendayagunakan api di laras-laras senapan untuk menghanguskan
hak-hak masyarakat manusia. Industri dan modal telah memompakan api
konsumtivisme massal sebagai satu-satunya kenyataan hidup di abad ini tanpa
peluang untuk kemungkinan yang lain. Para pejuan yang mengasah kapak-kapak itu
dalam proposal dan praksis perjuangan mereka karena sebagai Ibrahim-Ibrahim
abad XX, mereka tak memiliki kekuatan dan ketahanan untuk melawan bara api
Fir'aun yang siap membakar mereka setiap saat sesudah upaya penghancuran
berhala!"
Syakhlatusy-Syams tertawa kecil: "Kamu terlalu tegang. Belajarlah kepada Tuhan
bagaimana bermain dalam kesungguhan dan bersungguh-sungguh dalam
permainan. Mintalah petunjuk kepada Tuhan bagaimana bersenda gurau yang
serius dalam menggembalakan dunia dan alam semesta"
Wali Penggembala Api memotong: "Justru itu yang kami protes! Manusia terlalu
menganggap serius terhadap dunia ini. Manusia terlalu bersungguh-sungguh
terhadap materi. Sehingga bumi mereka gali sumber dayanya dan diboroskan habis-
habisan. Sehingga hutan-hutan mereka patok dan mereka tebangi. Sehingga tanah
mereka pagari tanpa moral jual beli, dan mereka dirikan gedung-gedung yang tidak
jelas hubungannya dengan kesejahteraan manusia yang hakiki
Manusia terlalu tegang kepada benda-benda dan uang, sehingga mereka
perebutkan dengan segala cara. Mereka menyangka materi adalah jalan menuju
rohani, dan menjelang ajal baru mereka mengerti bahwa mereka sesungguhnya
adalah makhluk rohani. Sekarang kami sudah tidak diperlukan lagi di muka bumi,
karena tidak ada suara yang bisa berguna bagi telinga yang tuli!"
Kemudian berturut-turut terdengar suara Wali Pemelihara Air dan Wali Penunggu
Logam:
"Jangankan suara kami para Wali petugas alam yang hina dina, sedangkan suara
Tuhan sendiri pun sudah jarang didengar oleh hampir semua telinga!
Tuhan bukan lagi subyek utama kehidupan ini. Sejauh-jauh posisi Tuhan hanyalah
pihak keempat: pihak pertama adalah pemilik modal dan kekuasaan, pihak kedua
adalah sumber daya alam, pihak ketiga adalah massa pasar dan Tuhan adalah
pihak keempat yang sesekali disebut untuk tiga macam keperluan. Pertama untuk
legitimasi proyek. Kedua untuk keabsahan keputusan kekuasaan. Dan ketiga untuk
mengeluh bagi mereka-mereka yang kepepet
Kami tidak lagi bermimpi bahwa telinga para penggusur bisa mendengarkan suara
tangis orang-orang yang rumah dan tanahnya digusur, sedangkan deru mesin
buldozer yang sebegitu bergemuruh saja pun tidak sanggup menyentuh gendang
telinga mereka. Mereka hanya mampu mendengarkan suara mereka sendiri di
Karaoke!
Air telah sirna dari sungai-sungai. Yang tinggal adalah kotoran yang bercampur
sedikit air. Kebersihan telah dicerabut dari air, karena proses pembersihan air
adalah pasar-pasar perusahaan yang memaksa harga setetes air lebih mahal
dibanding setetes minyak!
Manusia-manusia yang cerdik pandai itu berlagak tidak tahu bahwa hanya beberapa
puluh tahun ke depan Pulau Madura, Sulawesi Selatan dan Jakartaakan mendapat
giliran pertama untuk tenggelam di bawah permukaan laut!
Para cendekiawan yang mewah itu tidak memberitahukan kepada saudara-
saudaranya berapa tingkat kenaikan suhu udara per tahun, sehingga anak cucu
mereka akan menegakkan dendam sejarah di masa depan
Para kaum terpelajar itutidak melaporkan kepada rakyatnya tingkat penyempitan
pulau Jawa setiap tahun.Juga tidak dikemukakan jaminan bahwa bangsa mereka
pada saatnya akan sanggup membayar hutang yang tanpa kendali!"
"Kami telah memutuskan untuk pergi tanpa pamit dari dunia perjalanan dusta
semacam itu," berkata Wali Penegak Akal yang kemudian disusul oleh Wali Penabur
Cahaya dan Wali Pembersih Nurani:
"Akalku sendiri minta ampun. Aku menyaksikan Rahwana-Rahwana yang berwajah
sepuluh bukan hanya merebut kata-kata yang semestinya diucapkan oleh Rama dan
Hanuman, tetapi bahkan Rahwana-Rahwana itu merasa yakin seyakin-yakinnya
bahwa mereka adalah Rama yang suci, adalah Hanuman yang tulus, adalah
Lesmana yang waskita. Dan mereka membawa keyakinan diri yang tidak masuk
akal itu ke dalam sujud-sujud mereka yang khusyu', bahkan sampai ke tanah suci!
Betapa gampang menghadapi pendusta yang memang pendusta dan mengerti
bahwa ia pendusta. Tetapi betapa mustahil dan ruwetnya melayani pendusta yang
merasa dirinya paling mulia justru di antara orang-orang yang tidak berdusta. Betapa
pening akalku menyaksikan para pendusta melontarkan pertanyaan-pertanyaan
yang seharusnya diucapkan oleh alim ulama"
"Sebagai Wali Penabur Cahaya terus terang aku bingung karena hampir tidak ada
satu kata pun yang terang. Tidak lagi bisa dibedakan antara kata penerangan dan
penggelapan, atau antara keterangan dan kegelapan sehingga para petugas
penerangan sebelum melangkah selalu memohon petunjuk, baik petunjuk teknik
maupun petunjuk pelaksanaan
Akalku sudah terpingsan-pingsan penyaksikan tidak jelasnya perbedaan antara
gelap dengan terang. Karena setiap kali ada mulut yang mengusahakan
pembebasan manusia dari kegelapan, yang diterima oleh mulut itu adalah
pemberedelan, dan pemberedelan itu dilakukan oleh tangan yang merasa sangat
bahwa yang ia lakukan adalah penerangan"
"Sebagai Wali Pembersih Nurani terus terang juga aku merasa sudah tidak punya
lagi tugas dan kewajiban, terutama karena nurani adalah barang rongsokan yang
sudah dibuang, dan seandainya ada yang mengambilnya sebagai barang antik ia
tidak akan lolos untuk didaftarkan ke lembaga pelelangan
Hanya orang dungu yang membayangkan akan bisa menjumpai kata nurani terdaftar
di lembaran-lembaran buku ekonomi, perusahaan, supermarket dan konglomerasi.
Hanya pemimpi yang over-optimistik yang memimpikan bahwa nurani merupakan
asas utama sebuah kekuasaan..."
Tiba-tiba terdengar petir menggelegar. Terompet melengking-lengking. Seluruh
penghuni langit meraung-raung, melolong-lolong. Seribu gunung terbatuk-batuk, air
tujuh samudera meluap, seribu gelombang menggelegak. Tapi sesaat kemudian
mendadak seluruhnya itu seperti tidak pernah terjadi. Alam sunyi. Alam senyap
Tujuh Wali Tuhan itu merasakan tatkala mereka menyadari dirinya, tiba-tiba mereka
sudah terjerembab kembali berada di tempat tugasnya semula. Di hadapan mata
mereka kembali terhampar dunia yang setiap pagi dan setiap menjelang tidur
menggoda mereka untuk berputus asa

Karena gejolak perasaan di dalam dada para Wali itu, rasanya mereka hendak memekik, tapi
kemudian terdengar suara entah suara Jibril atau suara Tuhan sendiri: "hi hi hi ..."

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

Di Bayangan Merapi
Tuhan Pengasuh alam dan manusia
Jika gunung berapi memuntahkan lahar
Engkau mengambil alih muntahan itu
dan kalau Engkau yang melahari kami
pasti Engkau sertakan juga makna yang tak terperi

Tuhan Penyantun siang dan malam


Jika gunung gerapi menghembuskan hawa panas
Engkau mengambil alih hembusan itu
dan kalau Engkau yang memanasi kami
pasti panas itu datang disertai arti

Tuhan Pembimbing gelap dan terang


Jika gunung berapi menghantamkan kehancuran
Engkau mengambil alih hantaman itu
dan kalau Engkau yang menghantam kami
pasti Engkau janjikan juga rahmat dan kasih

Tuhan Pengurus segala kesedihan dan kebahagiaan


Ambil-alihlah pikiran kami agar menjadi jernih
Ambil-alihlah hati kami agar membening
Ambil-alihlah kesadaran kami, agar seluruh makna
bencana ini menjadi awal kebangunan kami

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Nasionalisme Burung-burung
Engkau selalu bertanya kepada burung-burung, tanpa engkau sadari bahwa engkau
selalu bertanya kepada burung-burung: "Milik siapakah kalian?"
Dan burung-burung selalu menjawab: "Pemilik kami Tuhan kami, namun Ia
meminjamkan diri kami ini kepada kami, kemudian kami pinjamkan diri kami kepada
kumpulan manusia yang menghuni tanah dan padang-padang di mana kami
beterbangan mencari makan"
Seterusnya engkau bertanya: "Kapan kalian akan mengembalikan diri kalian kepada
Tuhan, dan kapan kumpulan manusia itu akan mengembalikan diri kalian kepada diri
kalian?"
Burung-burung menjawab: "Setiap saat, kapan pun saja, kami siap mengembalikan
diri kami kepada Pemiliknya. Namun kami tak bisa melakukannya, karena manusia
tidak mau mengembalikan diri kami kepada diri kami...."

***

Demikianlah juga jawaban pepohonan, rumput-rumput, gunung dan perbukitan;


demikianlah juga jawaban tanah dan air, darah dan daging, hutan dan sungai-
sungai, jika engkau bertanya: "Milik siapakah kalian?" Sehingga engkau akan
terheran-heran dan melanjutkan pertanyaan:
"Apakah manusia itu sejenis makhluk yang kalau meminjam tidak bersedia
mengembalikan? yang kalau berhutang, selalu menunda-nunda pembayaran,
sampai saat maut menghadang, sampai di bilik pengap penjara ia digeletakkan,
sampai dari singgasananya ia dicampakkan? ataukah manusia itu sejenis ciptaan
Tuhan yang sedemikian dungunya sehingga kalau mencuri malah merasa memiliki,
dan kalau memonopoli malah merasa paling berjasa sendiri?"

***

Maka aku juga ingin engkau selalu membisikkan ke telingaku apa kata burung-
burung itu, apa kata hutan, pegunungan, angin dan lumpur. Aku ingin engkau
membisikkan ke telingaku dendang hati mereka tentang negeri ini. Aku ingin
mendengar nyanyian-nyanyian itu kembali:
Nasionalisme bukanlah tali ikatan antara satu jenis burung yang membedakan diri
dari jenis-jenis burung yang lain
Nasionalisme adalah persentuhan getaran hatinurani seluruh burung-burung,
seluruh burung-burung
Nasionalisme bukanlah pada wilayah hutan belantara mana burung-burung boleh
hinggap dan beterbangan
Nasionalisme adalah kesepakatan antara semua jenis burung tentang bagaimana
memelihara hutan yang indah dan sehat bagi kehidupan setiap burung, setiap
burung
Nasionalisme bukanlah burung dibikinkan sangkar oleh Tuannya, yang diulur naik ke
puncak tiang di pagi hari, kemudian diturunkan dan dimasukkan kandang di sore hari
nasionalisme adalah burung tanpa sangkar, adalah burung di angkasa bebas, yang
dari kebebasan itu hati dan kesadarannya belajar memahami dan merancang
sangkarnya sendiri

***

Nasionalisme bukanlah mengketapel burung, menjerat dan mengurungnya, serta


menjadikannya hiasan karena meskipun engkau mengelus-elus bulu dan sayapnya,
namun engkau berdusta kepada hakikat burung-burung ketika merebut langit dan
alam dari kehidupannya.
Nasionalisme bukanlah membatasi ruang terbang burung-burung, melainkan
membuka peluang belajar dan pelatihan bagi nurani burung-burung untuk sanggup
menciptakan batas-batas ruang terbangnya sendiri.
Nasionalisme bukanlah burung dalam sangkar bambu yang tunduk menghormati
burung sangkar emas, atau burung sangkar emas meludahi burung sangkar bambu.
Nasionalisme adalah burung-burung sangkar langit, burung-burung sangkar alam
semesta, burung-burung sangkar jagat yang tak dibatasi garis kepentingan kelas-
kelas burung, oleh egosentrisme dan penghisapan sejenis burung atas sejenis
burung yang lain
Nasionalisme bukanlah burung-burung yang engkau tawan dan engkau jatah makan
minumnya serta engkau tentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
disantapnya.
Nasionalisme adalah menguakkan kesanggupan burung-burung yang tanpa akal
senantiasa mengerti apa yang berhak dimakannya dan apa yang terlarang untuk
diminumnya.
Nasionalisme burung-burung tidak punya tuan, nasionalisme burung-burung hanya
punya Tuhan.
Nasionalisme adalah burung-burung yang menentukan dan memiliki pemuka-
pemuka. Pemuka-pemuka yang bertugas untuk menjadi pekerja yang memenuhi
keperluan seluruh burung-burung, sehingga seluruh burung-burung itu bersedia
menyisihkan pendapatannya untuk memberi makan kepada pemuka-pemukanya.

***

Burung-burung tak dimiliki oleh Tuan, burung-burung hanya memiliki Tuhan. Sebab
jika Tuan memilikinya, mereka tak boleh memiliki Tuannya, sedang jika mereka
dimiliki Tuhannya, itu berarti Tuhan adalah milik mereka.
Burung-burung sangat mengerti bahwa hak tertinggi yang dimiliki oleh setiap
makhluk hidup adalah memperoleh pinjaman dari Tuhannya sejumlah yang
diperlukannya, adalah makan dan minum sebanyak yang dibutuhkannya
Burung-burung sangat memahami bahwa hanya tatkala lapar ia berhak memetik
makanan dari alam, dan hanya ketika haus ia berhak menimba minum dari alam
Burung-burung sangat bersetia kepada kenyataan betapa Tuhan sangat memiliki
segala sesuatu, namun senantiasa pula ia tak memakainya sendiri melainkan
meminjamkannya
Betapa Tuhan sangat memiliki kesanggupan untuk menggenggam apa pun saja,
untuk merampas apa pun saja, serta untuk mengambil alih apa pun saja, namun ia
tak melakukannya
Sehingga burung-burung selalu sangat merasa heran betapa ada makhluk-Nya yang
tak memiliki namun berlaku sebagai pemilik, yang tak berkewenangan namun
bertindak sebagai penguasa, yang tak berhak namun mengambil apa saja yang
dinafsuinya, yang berkedudukan hanya sebagai hamba namun segala jenis
penghisapan, perbudakan dan penindasan dilakukannya

***

Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan di sarang pepohonan apa


telornya menetas, oleh karena itu segenap burung di muka bumi mencicit-cicit
apabila ada saudara-saudaranya sesama makhluk datang bagai banjir, menebangi
pohon-pohon, sehingga merasa kehilangan tempat untuk membuat sarang-sarang
Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan apa warna telor mereka,
berbentuk lonjong atau bulat, oleh karena itu segenap burung di hamparan tanah ini
mendongakkan paruh-paruh mereka apabila tiba mesin besar entah dari mana yang
menyeragamkan bentuk telor mereka
Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan apa warna bulu atau berapa
besar tubuh mereka, oelh karena itu segenap burung-burung di kehangatan alam ini
mengepak-ngepakkan sayap mereka apabila hadir pisau besar yang memangkas
bulu mereka dan membonsai badan-badan mereka
Nasionalisme burung-burung adalah negeri cinta kasih yang dibatasi hanya oleh
cakrawala dan langit biru, sungai, gunung-gunung, hutan, samudera dan pulau-
pulau hanyalah torehan garis dan warna-warni dalam kanvas lagu pujaan mereka
kepada Tuhan
Nasionalisme burung-burung adalah kesepakatan untuk menjaga kemerdekaan
seluruh alam. Negara burung-burung adalah pembangunan tempat dan
kesejahteraan utnuk saling memerdekakan dan mengasihi

***

Jika burung-burung rajawali, jika burung-burung hantu, jika burung-burung raksasa


lainnya bergerombol untuk mematuki burung-burung kecil dan merampas jatah
makan minum dan kemerdekaan mereka: maka jagat cinta kasih terbelah menjadi
dua negeri. Yang satu negeri para penindas, lainnya negeri para tertindas
Para penindas berlaku sebagai tuhan, sedangkan para tertindas sesak napasnya
tidak hanya oleh kekuasaan yang menindih, tapi juga oleh cinta dan kesantunan
yang tidak disemaikan di bagian manapun dari tanah Tuhan
Nasionalisme burung-burung terluka dan mengucurkan darah, karena seluruh
burung-burung kecil di mana saja di permukaan bumi terjaring menjadi satu negara
rahasia yang tergetar nuraninya, serta bersiap menagih di hari esoknya

1989
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Hati Semesta
Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apa pun tak terwakili:
Ia adalah ia sendiri

Semalam batok kepalaku pecah


Dipukul orang dari belakang
Tatkala bangun di pagi merekah
Hatiku telah memaafkan

Hati bermuatan seribu alam semesta


Dindingnya keremangan
Kalau kau keliru sapa
Ia berlagak jadi batu seonggokan

Kepala negara hingga kuli mengincar


Menjebak dan mencuri hidupmu
Namun betapa ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi

Betapa Tuhan serasa hati ini


Dicacah dilukai berulangkali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Kafilah 190 juta
Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala
Astaga!
Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala

Aku sapa mereka dan bertanya:


"Gerangan apa yang tampak di cakrawala?"
Serempak terdengar jawaban dari mulut mereka:
"Jakarta teguh beriman, Yogyakarya berhati nyaman
Solo berseri, Semarang kota atlas, Salatiga..."

Kafilah 190 juta


Betapa, O, betapa
Kafilah 190 juta cintaku
Bersepakat untuk menempuh
Perjalanan yang berjejal-jejal
Dan penuh sesak

Kulambaikan tanganku dan kutegur :


''Perjalanan macam apakah gerangan
yang kalian tempuh, saudara-saudaraku?"
Bergema jawaban dari seluruh barisan:
"Perjalanan jangka panjang!
Perjalanan bertahap-tahap!"

Kafilah 190 permata jiwaku


Bersepakat untuk mengubah
Perjalanan yang sendiri-sendiri
Menjadi perjalanan bersama-sama

Aku bisikkan ke telinga sebagian mereka:


"Bersama-sama duduk dan bersama-sama berdirikah
kalian dalam perjalanan bahagia ini?"
Dengan berbisik pula sebagian anggota rombongan itu
menjawab: "Sebagian dari kami berhak untuk duduk,
sebagian yang lain berkewajiban untuk berdiri"

Kafilah 190 juta


Berderap langkahnya
Berderak suara kakinya
Lagu-lagu kekompakan mereka bagai hujan
Nyanyian kebulatan tekad mereka bagai sejuta akar tunjang
menancapi tanah di hutan dan ladang-ladang

Tergiur hatiku hendak bernyanyi bersama mereka


Sehingga demi menyatukan nada dan irama, kupastikan
dulu aransemen dengan bertanya:
"Lagu apakah sebenarnya yang kalian dendangkan?"
Orang-orang itu menjawab dengan teguh dan tatapan
mantap ke depan: "Lagu persatuan dan kesatuan"
"Kenapa ada kudengar nada yang agak tidak sama
antara satu barisan dengan lainnya?" kataku
"Karena sebagian kami menyanyikannya dengan raing
gembira, sementara sebagian yang lain melagukannya
dengan tangis dan deraian air mata"

Kafilah 190 juta


Berjuta kaki berjalan
Berjuta kaki berduyun-duyun
Berjuta kaki berayun-ayun

Kepada kaki yang berjalan aku bertanya:


"Berapa tahap lagikah perjalananmu akan tiba?"
Dengan agak malu-malu kaki itu menjawab:
"Kami belum tiba pada jenis pertanyaan itu
Yang kami urus barulah bagaimana mengulur-ulur
perjalanan ini tidak dengan hutang demi hutang"

Kepada kaki-kaki yang berduyun-duyun aku kemukakan


rasa bangga: "Betapa nikmatnya manusia yang membangun!"
Tapi mereka menjawab: "Kami belum membangun, kami
sedang dibangun untuk dijadikan batu-bata pembangunan"

Kepada kaki yang berayun-ayun aku lontarkan rasa


cemburu: "Alangkah nyaman mengayunkan langkah
ke hari depan!"
Tapi yang ini pun menjawab: "Kaki kami terayun-ayun
loncat dari tanah, sawah dan kebun kami; sesudah
tiba-tiba saja hadir siluman yang membelinya dengan
paksa, dengan harga yang mereka sendiri pula yang
menentukannya"

kafilah 190 juta


Bergemuruh!
Bagai putaran baling-baling mesin kemajuan
Di tengah barisan demi barisan berderap
Di tengah 190 juta langkah berderak

Aku berteriak: "Wahai, betapa gegap gempita suara kalian!"


Aku mendengar jawaban: "Yang bersuara ini hati kami,
sedangkan mulut kami terbungkam!"
Aku berteriak: "Wahai, betapa riang gembira
perjalanan kalian!"
Aku mendengar jawaban: "Tentu saja, karena tangis
kesengsaraan sedalam apa pun harus kami ungkapkan
dengan penuh keriangan!"...

1993
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

MEMECAH MENGUTUHKAN
Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan

Lengan tanganmu tanggal sebelah


Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu

Suami dan istri tak saling mengabdi


Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandeng tangan
Bersama-sama mengarungi jejak Tuhan

Kalau berpacu mempersaingkan hari esok


Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia

1997
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
KITA MASUKI PASAR RIBA
Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam

Tak bisa ambil jarak


Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta

Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir

Kita masuki pasar riba


Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan

Telanjur jadi uang recehan


Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati

Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama

Tegantung kepentingannya apa


Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa

(Emha Ainun Najib/1987/PadhangmBulanNetDok)


Kang Karto dan Daeng Kahar
Bagaimana seandainya tanggal 19 Mei 1998 pagi itu Jakarta menjadi jamur api
raksasa? Umpamanya di 16 pom bensin di titik-titik strategis Jakarta dipasangi bom
yang akan diledakkan atau tidak tergantung kepada gejala perilaku Pak Harto di
Istana, yang sedang berunding dengan sembilan orang, antara lain Nurkhalis
Madjid, Yusril, Gus Dur dan tokoh-tokoh lain yang diminta Pak Harto untuk hadir
atas kesepakatan dengan Cak Nur.
Bagaimana kalau berbagai titik tertentu pada posisi jalan tol juga sudah dipasangi
bom. Belum lagi umpamanya gedung Graha Purna Yudha yang peletakan bomnya
diperhitungkan sedemikian rupa sehingga begitu ia roboh maka jalan Gatot Subroto
akan terpotong dan mungkin gedung Polda Metro Jaya tertimpa. Bagaimana kalau
umpamanya sekitar 6 kg supersalatin dijadikan bahan dasar untuk penyebaran
sumber api dan ledakan itu, umpamanya?
Seandainya pagi hari 19 Mei 1998 pukul 10.00 pagi itu terjadi komposisi ledakan di
Jakarta, tentu kasihan banyak orang yang menjadi korban, semua simpul kekuatan
ibukota - politik, ekonomi, apa saja - menjadi lumpuh. Dan satu-satunya yang
memiliki kekuatan dan maintenance untuk berkuasa adalah organisasi tentara.
Mungkin hari ini Republik Indonesia tidak berwajah seperti yang sekarang kita alami
bersama. Reformasi pasti gagal dan kita tentu tidak bisa sebahagia seperti ketika
alhamduluillah kita lantas dipresideni oleh Habibie, tidak bisa senikmat ketika
dipresideni oleh Gus Dur, serta tidak semakmur dan seadil sebagaimana ketika
sekarang kita dipresideni oleh Mbak Mega.
Saking senangnya saya pada kepemimpinan reformasi ini sehingga seandainya dulu
saya dimintai oleh Gus Dur duit 6 trulyun dann sekarang oleh Mbak Mega uang
sebesar 30 trilyunpun - untuk memungkinkan beliau tetap berkuasa - tentu saya
akan usahakan meskipun pasti saya tidak mampu.

***
Kita kembali ke 19 Mei 1998. Jendral Hartono sekilas ikut menemui sembilan orang
itu. Wiranto berwajah sangat tegang. Prabowo mondar-mandir tak menentu -
menurut saya - tapi mungkin san gat tertentu menurut Prabowo sendiri.
Bagi siapapun dan bagi pihak manapun, sipil atau militer - tidak jelas apa yang
mungkin terjadi sesudah pertemuan Pak Harto untuk merundingkan kelengserannya
itu. Apakah akan ada ledakan lagi seperti tanggl 12, 13, 14 dan 15 Mei sebelumnya?
Kekuasaan Pak Harto itu mutlak dan tidak seorangpun manusia Indonesia, termasuk
jendral-jendral, yang waktu itu sanggup memikirkan atau membayangkan bahwa
Indonesia ini akan berlangsung kehidupannya tanpa Pak Harto.
Jadi tema lengsernya Suharto adalah awan gelap, shock sangat berat bagi semua
yang ikut berkuasa. Dan seandainya Anda adalah Panglima Angkatan Bersenjata,
Anda harus berpikir keras untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Bukan hanya
memikirkan, tapi juga saat juga mewujudkan. Negara tidak boleh ada vacuum
kepemimpinan satu detikpun. Lyndon B. Johnson dilantik di pesawat hanya
beberapa menit sesudah John F Kennedy ditembak. Maka apapun yang terjadi
dengan Pak Hartro pagi itu, Anda sebagai senopati kekuatan militer negara - harus
menyiapkan segala sesuatunya untuk memastikan kekuasaan negara tetap
tergenggam di tangan. Atau kalau organisasi militer Anda terpecah menjadi faksi-
faksi, makna semua kelompok itu mau tidak mau pasti juga menyiapkan hal yang
sama meski dalam bentukm yang berbeda.
Bagaimana seandainya berpuluh kamera sudah siap menyorot segala sudut tempat
yang dipakai pertemuan Pak Harto dengan 9 orang serta sekitarnya. Bagaimana
seandainya pandangan seluruh kamera itu dimonitor dari dalam sebuah Tank, yang
misalnya di dalamnya ada seorang perwira komando dan seorang operator yang
memegang remooth sebaran bom-bom yan saya sebut di atas.
Bagaimana seandainya perwira komando itu terus berkoordinasi dengan pimpinan
yang juga ada di Istana untuk siap kapan saja meledakkan bom atau membatalkan
ledakan. Kalau Pak Harto mengalami ketegangan psikologis karena dituntut turun
dari kursi kepresidenannya sehingga beliau gagap atau membisu, kalau lebih dari
dua menit kegagapan atau kebisuan itu berlangsung - dan itu be rarti otoritas puncak
kekuasaan negara menjadi relatif dan bias disambar oleh kekuatan-kekuatan
tertentu - maka remooth harus segera dipencet untuk menjamur-apikan Jakarta
terutama wilayah yang mengelilingi Istana.
Kalau Pak Harto pingsan, tentu remote harus lebih cepat lagi dipencet. Apalagi kalau
Pak Harto sendiri mengindikasikan perintah atau kode untuk meledakkan・
Bagaimana seandainya itu semua benar-benar terjadi? Atau kapan-kapan dibikin
benar-benar terjadi?
Siapa tidak tegang. Jangan-jangan Pak Harto ngamuk dalam pertemuan itu. Cak
Nur dan teman-teman sudah merundingkan dengan Pak Amin Rais dan sepakat Pak
Amin tidak ikut menemui Pak Harto. Sebab Pak Amin hebat dan sering tegas keras,
ibarat macan yang sakti. Kalau macan sakti menemui Pak Harto, dikawatirkan Pak
Harto yang mulai jadi manusia itu malah berubah menjadi macannya macan.
Tapi ternyata pertemuan Pak Harto dengan 9 orang itu tidak ada tegang-tegangnya
sama sekali. Makin lama makin cair, penuh senyum dan akhirnya bahkan penuh
gelak tawa・.Seandainya Anda adalah perwira komando atau operator bom yang
dari dalam monitor tank menyaksikan situasi rileks di istana itu - pasti Anda jengkel
dan sekaligus gembira. Jengkel karena situasi siaga puncak ternyata dihapus oleh
gelak tawa. Gembira karena Jakarta tidak harus menjadi jamur api.
Ah, itu semua hanya seandainya.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa reformasi 1998 itu belum terungkap
secara jujur dan memang tidak ada kecenderungan dari pihak manapun untuk
meneliti secara obyektif fakta-fakta yang sesungguhnya. Bahkan kaum intelektual di
universitas-universitas juga tidak menunjukkan gejala bahwa mereka merasa perlu
meneliti kenyataan sejarah itu.
Dulu Nambi dan Ronggolawe marah dan memisahkan diri dari kekuasaan Raden
Wijaya di Majapahit karena setelah kekuasaan ditegakkan - pelaku perjuangan yang
sesungguhnya justru dikhianati. Demikianlah juga lahirnya Kartosuwiryo atau Kahar
Muzakkar yang naik gunung masuk hutan karena dikhianati - meskipun kita tidak
sepakat pada metoda pemberontakan yang Daeng Kahar dan Kang Karto pilih.
Tapi memang 'manusiawi' kalau pejuang-pejuang sejati disingkirkan oleh teman-
temannya sendiri yang di jaman penjajahan sebenarnya bersikap hipokrit. Maka
reformasi sekarang sebenarnya juga sudah melahirkan Karto dan Kahar・.***
(Emha Ainun Nadjib/2002/PadhangmBulanNetDok)
Bukan Sembarang Presiden
Presiden Reformasi Indonesia bukan sembarang Presiden. Sejak bangkitnya
bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang Presiden terpilih,
jangan dipikir itu sekedar hasil Pilpres satu hari hari, melainkan ujung dari sebuah
proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari tingkat masyarakat RT hingga ke
puncak kursi kenegaraan.

Bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman peradaban selama berpuluh-puluh


abad untuk memilih pemimpinnya. Pemilihan Presiden di abad 21 ini jauh lebih
sederhana karena sekedar melibatkan penduduk atau warganegara. Sedangkan
pengalaman sejarah bangsa Indonesia pernah membawa mereka memilih pemimpin
tertingginya dengan melibatkan Nyi Roro Kidul, Walisongo, ruh-ruh leluhur, pasukan
lebah, lembu atau kerbau, bahkan untuk sebagian secara sembunyi-sembunyi juga
melibatkan masyarakat rekanan hidup manusia yang dikenal dengan nama Jin.

Sejak Reformasi di akhir abad 20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi
dewasa. Maka skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak
warganegara yang berjenis makhluk manusia, sehingga mekanismenya jauh lebih
simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari Malaikat
sampai hewan, tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern
ummat manusia, karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – ibarat Duta Besar
Berkuasa Penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, mandataris
Tuhan di seluruh bumi.

Bahkan Iblis, makhluk sangat ganas dan sakti mandraguna yang bertugas menjadi
antagonis moralnya ummat manusia, semacam ‘sandhi-yudha’ yang memiliki
ketahanan luar biasa dalam tugasnya sebagai partner dialektika kehidupan manusia
– juga tidak melakukan protes apa-apa terhadap demokrasi modern, terutama yang
diselenggarakan di Indonesia.
***

Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya
paling memiliki kedekatan dengan Allah swt. Jumlah Hajinya terbanyak seluruh
dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta’lim, istighotsah, yasinan dan
tahlilan, kursus shalat khusyu, biro pengelolaan kalbu, tafsir-tafsir aplikatif dari surah
dan ayat-ayat quosi emosi dan spirit, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya
yang Iblis ampun-ampun untuk berani menerobosnya.

Maka mekanisme demokrasi modern dijalankan di Indonesia jauh lebih mulus


dibanding Negara manapun di dunia. Ditambah faktor plus yang mendasari
kekokohannya sebagai sebuah sistem bernegara yang hampir bisa dikatakan tak
mungkin bisa digoyahkan oleh apapun saja. Faktor plus itu misalnya tingkat
kependidikan masyarakat Indonesia yang sudah jauh memadai sebagai prasyarat
tumbuhnya kedewasaan demokrasi.

Matangnya kebudayaan bangsa Indonesia, sebagai individu manusia maupun


sebagai kumpulan komunitas, menjadikan pelaksanaan demokrasi sedemikian
gagahnya, penuh kemerdekaan dan kreativitas, penuh kelincahan dan keterampilan,
namun tetap berada dalam kontrol bersama yang komprehensif di antara semua
kelompok, segmen, strata dan kantung-kantung lain bangsa Indonesia.

***

Demokrasi di tangan bangsa Indonesia bagaikan bola di kaki Maradona, tongkat


ganda di tangan Bruce Lee, bola basket di tangan Kareem Abdul Jabbar atau
Michael Jordan, mobil Formula-1 di kendali Schumacher, Ayrton Senna atau
Fernando Alonso. Kalau mau agak puitis, demokrasi bagi bangsa Indonesia itu bak
gelombang di pangkuan samudera, bak panas di ujung lidah api, bak kokok di
tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau.

Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid namun dinamis sejak
dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat pembelajaran dialog-
dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin. Aspirasi dari keluarga-
keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan interaksi masyarakat se
Rukun Tetangga. Kemudian fondasi aspirasi itu meningkat dan meluas hingga ke
skala desa atau kelurahan. Demikian seterusnya sampai ke babak ‘semifinal’ dan
‘final’ di panggung puncak kepemimpinan Nasional.

Jadi kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi Presiden, sesungguhnya itu
hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia sudah
‘memiliki’ Presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang Presiden
sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warganegara sebenarnya
sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden dalam peradaban
bangsa Indonesia adalah seseorang yang sudah diuji oleh seluruh dan setiap
rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal sepuluh tahun. Sistem budaya
masyarakat Indonesia sudah memiliki infrastruktur kualitatif dan mekanisme
identifikasi yang berlangsung mendasar, permanen dan dinamis.
***

Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan
Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi Caleg dan gambar wajah-
wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang bukan
hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturalnya, lebih dari itu mereka
sudah diuji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan pengabdiannya,
keterampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya wawasan dan
tingginya keilmuannya.

Bahkan tatkala seorang Presiden memilih Menteri-Menterinya, dan para Menteri


memilih bawahan-bawahannya, itu sama sekali bukan soal selera, bukan
berdasarkan power-share atau pembagian kekuasaan, bukan berlatar belakang
kepentingan golongan atau penyeimbangan perolehan antar kelompok. Pemilihan
atasan ke bawahan itu juga diselenggarakan dengan terlebih dulu mempelajari data-
data dan fakta-fakta dari lapangan paling bawah, yakni siapa yang benar-benar
sudah lulus dari penyaringan sosial masyarakat.

Kadar keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikan ketat dan
kualitatif oleh sistem sosial masyarakat Indonesia, membuat mustahil muncul
pemimpin-pemimpin yang nyasar dan a-historis. Kepemimpinan nasional dan
perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi dan
mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung jalan, hanya
alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah diproses sangat
matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis parpol juga sangat
memahami hal itu, sehingga mereka sangat bersikap rendah hati dan tidak merasa
dirinya penentu utama kepemimpinan nasional.

***

Presiden Indonesia dan Wakil-wakil Rakyat adalah orang-orang yang memang harus
mereka yang menjadi Presiden dan Wakil-wakil rakyat.

Vox populi vox dei. Demikianlah ‘sabda rakyat’ melalui mekanisme sistem yang
mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun, dari era
ke era, bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan Wakil-wakil rakyat adalah tokoh-
tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri.
Dengan demikian bisa dipastikan merekalah memang yang paling layak
kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannya, paling unggul ilmu dan
wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas wawasannya, paling terampil
kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan direstui oleh semua makhluk-makhluk
Allah non-manusia.

Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak
puluhan abad yang lalu, memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka
yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya. Harus
mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi Tuhan sendiripun tak mungkin
mengganti mereka, karena Ia mengikatkan diri pada kegembiraan dan kebanggaan
menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara
Indonesia.*****
(Emha Ainun Nadjib/Kompas/22 Mei 2009/PadhangmBulanNetDok)
Membaca dan Selimut
Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang diwisuda.

"Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan Barat.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi
kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari anjing kurap.
Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang dipuja orang
melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan."

"Ini kisah aneh apa lagi?" bertanya sang cucu.

"Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk
memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya
sendiri," si kakek melanjutkan, "Maka dipandanglah kebudayaan barat itu oleh
mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang kebudayaan barat
itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan."

"Lagi-lagi soal kemunafikan!"

"Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini," jawab Kiai Sudrun,
"setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang hendak
aku ceritakan kepadamu adalah soal lain."

Sang cucu diam mendengarkan.

"Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan kebudayaan barat
seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat dengan setan.
Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu sendirilah yang
dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam."

"Kakek sembrono, ah."

"Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban iqra', meskipun
kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak ada yang
melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap
kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia
memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk
mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya
mereka memerlukan
perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan
mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung saat itu
juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia untuk mengetahui
yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali lebih lembut dari debu."

"Dimuliakan Allahlah mereka," sahut sang cucu.

"Benar," jawab kakeknya, "kalau saja mereka meletakkan hasil iqra' itu di dalam
kerangka bismi rabbika-lladzi khalaq. Seandainya saja mereka mempersembahkan
ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah.
Seandainya saja ereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam
politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian
kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban."

"Apa rupanya yang mereka lakukan?"

"Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka ketahui sebagai


berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak mereka perlukan, pura-
pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan binatang."

"Anjing kurap!" teriak sang cucu.

"Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi kebanyakan dari
mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada
kebudayaan yang semacam itu."

"Munafik!" sang cucu berteriak lagi.

"Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian
cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja, yakni
kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak ada
sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi
memencilkan diri: melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan
kampung-kampung sendiri - di pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan
mereka sendiri. Mereka menjadi bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan
medan untuk menciptakan dunianya sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil,
tetapi sesungguhnya itu masih lebih baik dibandingkan
kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis 'Kalian sok suci!' atau 'Kami tak
mau munafik!' sementara yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah kekufuran
perilaku dan pilihan. Namun demikian tetaplah Allah Mahabesar dan Mahaadil,
karena tetap pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang
mencoba merintis perlawanan di tengah medan perang. Mereka
menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka ber-iqra', membaca
keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesanggupan
mengolah sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba
dengan kesadaran dan ketakjuban Ilahiah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata
kebudayaan yang bersujud kepada Allah."

"Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim," berkata Kiai Sudrun
selanjutnya, "Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya intelektualisme-
transendental atau intelektualisme-religius, meskipun Kaum Muslim sendiri
menyebutnya gerakan intelektual - itu saja - sebab intelektualitas dan intelektualisme
Islam pastilah religius dan transendental."

"Dongeng kakek menjadi kering ...," sahut sang cucu.

"Itu iqra' namanya. Gerakan iqra', yang ketiga sesudah yang dilakukan oleh
Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui menjadi sumber
pengembangan kebudayaan barat."
Sang cucu tak memrotes lagi.

"Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah - kata Tuhan - orang-orang yang
berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai
kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.
Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan
tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas
dengan lega."

Sang cucu tersenyum.

"Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah berfirman qum!


Berdirilah. Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari ketergantungan dan
ketertindihan. Untuk tiba ke tahap mandiri, seseorang harus keluar terlebih dahulu
dari selimut. Ia tak akan bisa berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri
terbungkus kaki tangannya serta terbungkam mulutnya."

Sang cucu tersenyum lebih lebar.

"Firman berikutnya adalah fa-andzir! Berilah peringatan. Lontarkan kritik, teguran,


saran, anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol segala sesuatu yang wajib
dikontrol." - Sampai di sini Kiai Sudrun tiba-tiba tertawa cekikikan - "Syarat untuk
sanggup memberi peringatan ialah kemampuan untuk mandiri. Syarat untuk mandiri
ialah terlebih dahulu keluar dari selimut.
Namun pada masa itu, cucuku, betapa banyak nenek moyangmu yang tak
memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal belum bisa berdiri
tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih terbungkus dalam selimut... " -
tertawa Kiai Sudrun makin menjadi-jadi.

Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, "Kakek luar biasa!" katanya, "Kakek
memang cerdas luar biasa!"

"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Sudrun di tengah derai tawanya.

"Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek tadi malam
dari buku-buku kuliahku."

Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.


1987
(Emha Ainun Nadjib/"Kiai Sudrun Gugat"/GraffitiPresss/PadhangmBulanNetDok)
Diposkan oleh Sudismandi 17:14Tidak ada komentar: 
Label: membaca
SELASA, 19 MEI 2009
BOO KEBO!
Lawakan sahabat kita itu sebenarnya amat serius. Dengan gaya amat santai dia
mengungkapkan secara jitu soal - soal politik dan kepemimpinan. Itu terjadi di
sebuah acara di kota Bandung.
"Saudara - saudara sebangsa setanah air!" ucapnya, "kumpul kebo sungguh baik
dan merupakan pilihan saya dalam pengelolaan tugas - tugas saya. Marilah kita
selalu kumpul dengan kebo, baik kebodohan, kebohongan maupun kebobrokan..."

Acara itu menjadi amat semarak. Namun, pada hari - hari sesudah acara, saudara
kita itu tidak nampak batang hidung maupun ekornya. Orang- orang mencari ke sana
kemari, bahkan sampai ke kandang - kandang kebo, tak ketemu.

Saya sendiri menjadi sangat khawatir. Jangan jangan ia disruduk oleh seekor atau
beberapa ekor kebo, atau setidaknya hidungnya dicocok seperti kebanyakan kebo.

Tak bisa saya berbuat apa - apa atas hilangnya sahabat kita itu. Akhirnya saya
hanya berdoa semoga ia selamat dari kebonyokan- kebonyokan tertentu di
wajahnya, semoga Allah melindunginya dari kebocoran - kebocoran di kepalanya,
serta jangan sampai perut atau anggota - anggota tubuh yg lain menderita
kebolongan kebolongan.

Sebab, 45 tahun yang lalu, Cak Durasim di Jombang, gara - gara berpantun,
"Bekupon omahe doro, melok Nipon urip sengsoro..."-segera mengalami
kebongkoan alias 'dut' alaias 'koid' oleh 'keboanjingan' serdadu Jepang.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan)
Sang Maha Penganugerah
Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku
Di malam dan siang telingaku mendengar desir lembut suara malaikat-Mu
yang mendendangkan nyanyian-Mu yang melezatkan jiwaku
Di siang dan malam mripatku menyaksikan rahmat-Mu
bertaburan dari langit beribu penjuru.

Jika Engkau bukan Sang Maha Tanpa Pamrih


pastilah bangkrut aku
Jika atas segala anugerah-Mu harus kupersembahkan balasan,
maka tiadalah yang akan mampu aku persiapkan.

Segala yang tergenggam di tanganku adalah milik-Mu,


bahkan tak juga kumiliki diriku sendiri,
karena Engkaulah Maha Empunya semuanya ini.

Maka jika kupasrahkan seluruh jiwa ragaku


bukanlah aku memberikan sesuatu kepada-Mu,
melainkan sekedar menyampaikan hak-Mu.
Dan jika aku memberikan sesuatu kepada keluargaku,
kepada para tetangga dan sekalian orang di dalam jangkauanku,
tak lain itu hanyalah menyalurkan milik-Mu,
agar sampai pada akhirnya ke haribaan-Mu.

Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku


Engkau Maha Memberi, tanpa meminta:
aku lah yang membutuhkan penyerahan segala sesuatu ke hadapan-Mu.
(Emha Ainun Nadjib/"Syair-syair Asmaul Husna"/PadhangmBulanNetDok)
Trotoar Buat Manusia
Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya
Tapi aku tahu sebenarnya engkau tak berdiri, engkau
adalah sehelai daun tua yang melayang-lauang
oleh hembusan angin besar
Engkau tercampak dari sudut ke sudut, dari parit
ke parit, dari kegalauan ke ketidakmenentuan
Caramu berdiri gamang, kerut merut wajahmu tak kuasa
menahan desakan-desakan jiwa tersembunyi, dan
sorot matamu memandang tak ke mana-mana selain
ke balik rahasia sajak dukamu sendiri
Dimanakah engkau bisa temukan hamparan tanah untuk
mendirikan rumah buat hati puisimu yang lunglai?
Pembangunan tak mendukung manusia, kantor dan toko-
toko tak menghendakinya, kendaran di jalanan
tak menghampirinya
Kekuasaan di tengkukmu tidak menyangga janji-janjinya
sendiri, kertas-kertas birokrasi memeras alam dan
darah berjuta saudara-saudarimu, untuk secara
sejarah menyelenggarakan bunuh diri
Aku melihatmu berdiri di tempat yang tak menghendakimu
berdiri, aku melihatmu berdiri di tempat yang
akan mengusirmu pergi
Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya, tetapi siapakah
engkau dan apakah jalan raya, lajur-
lajur, highway, derap pembangunan, mobilitas,
dan gegap gempita?
Adakah trotoar buat manusia, angkring kakilima untuk
puisi dan suara jiwa yang sejati?
Sajakmu tak kunjung lahir, sebab penggusuran kemanusiaan
tidaklah ke pulau seberang, melainkah jauh
ke ruang hampa batin rakyat yang kebingungan

18 Mei 1991
(Emha Ainun Najib/1991/PadhangmBulaNetDok)
Anak-anak yang Diyatimkan
Dzu Walayah lenyap dari rumah kediamannya tanpa seorang pun mengerti ke mana
ia pergi, terkadang bahkan dalam waktu yang lama sekali.

Ia selalu berpamit kepada istrinya dengan kata-kata yang sukar dipahami, "Aku wajib
meluangkan waktu untuk menemui saudara-saudaraku dalam sunyi!"

Orang-orang, karena amat sibuk oleh kerja, uang dan gengsi, tak pernah punya
kesempatan untuk mengenali siapa sebenarnya ia.

Sebagian menyimpulkan ia gila, sebagian lain menyebutnya sebagai orang yang


gemar mencari perkara, lainnya lagi beranggapan bahwa ia adalah lelaki yang suka
berkhalwat dan bergaul dengan rasa derita.

Aku membuntuti Dzu Walayah di suatu siang yang amat terik, berjalan menyusuri
jalanan, berpakaian kumuh, tak memakai alas kaki dan wajahnya bagai orang
kesakitan.

Ini adalah zaman modern yang efisien dan efektif di mana setiap orang memusatkan
diri pada pencarian kejayaan dan kemegahan: oleh karena itu terhadap perangai
lelaki itu aku sungguh penasaran.

Di suatu lorong yang sepi tiba-tiba saja ia membalikkan badan dan memergokiku.

Tapi sebelum sempurna kuurus rasa kagetnya, terdengar ia berkata, "Mari, nak,
berjalan saja bersamaku. Kalau dibuntuti, aku selalu merasa seperti seekor binatang
berbuntut."

Hampir aku tertawa oleh kata-katanya, tapi karena aku salah tingkah, spontan
kuikuti saja ia melangkah.

"Aku selalu mencari kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak yatim," katanya
tanpa kuminta.

"Kenapa tidak langsung ke rumah-rumah panti asuhan anak-anak yatim?" aku


bertanya.

"Ke sanalah memang sebagian dari perjalananku. Kasihan anak-anak itu.


Tinggal di rumah yatim. Rumah yang selalu mengumumkan kepada orang banyak
bahwa ia adalah tempat anak-anak yatim."

"Kenapa kasihan, wahai Dzu Walayah?"

"Karena dengan begitu anak-anak asuh itu tiap hari disuruh merasa yatim.
Disuruh merasa tak punya orangtua. Padahal tujuan panti asuhan adalah
mengembangkan perasaan aman pada anak-anak itu agar mereka sama dengan
anak-anak lain yang punya orangtua."

Ternyata apa yang terjadi pada lelaki ini adalah sesuatu yang sederhana saja.

"Jadi," kataku, "kalau soalnya hanya demikian saja, untuk apa Anda lara lapa
berjalan kaki, berpakaian kumuh dan berlaku seperti ini?'

"Pertama karena aku ingin memasuki jiwa anak-anak itu. Kedua aku ingin
merasakan keyatiman yang dahsyat: dengan penampilan seperti ini, bahkan anak-
anak yatim pun tak menerimaku. Aku tak sanggup berbuat apa pun untuk
menyantuni atau mengurangi jumlah anak-anak yatim. Oleh karena itu aku
memohon kepada Allah hendaknya diperkenankan setidaknya menemani situasi
jiwa mereka."

"Di dunia ini," ia meneruskan, "Allah memuliakan sebagian dari hamba-hambanya


dengan menakdirkan mereka menjadi anak-anak yatim. Setiap Muslim wajib
menyantuni anak-anak yatim, baru kemudian orang miskin. Itulah tanda kemuliaan
anak-anak yatim. Merekalah unsur penguji apakah kita mendustakan agama atau
tidak."
"Anak-anak yatim adalah kendaraan utama yang bisa kita naiki untuk mencari
keluhuran. Tetapi hanya Allah yang berhak meyatimkan seseorang, sebab tindakan
peyatiman oleh Allah itu disertai dengan akal budi dan fasilitas yang diberikan
kepada orang-orang lain untuk menyantuni anak-anak yatim."

"Adapun di dunia yang disebut maju dan modern ini, sebagian pekerjaan penting
dari manusia adalah meyatimkan anak-anak, bahkan anak-anak mereka sendiri.
Orang-orang modern di kota-kota amat sibuk bekerja sehingga anak-anak mereka
teryatimkan. Kapan saja seorang anak tidak memperoleh
perhatian, cinta kasih dan santunan dari orangtuanya, pada jam-jam itu ia menjadi
yatimm. Kalau bapaknya sibuk rapat dan ibunya sibuk arisan, kau bisa hitung sendiri
berapa jam sehari anak itu menjadi yatim piatu. Anak-anak yang diyatimkan oleh
orang-orangtuanya itu lantas mencari orangtua di dunia abstrak, mencari cinta kasih
di tempat-tempat yang mmereka tak tahu bagaimana mencarinya. Mereka menjadi
berandal di jalanan, tidak peka terhadap batas baik buruk, tidak terlatih bagaimana
berlaku baik. Mereka tidak terdidik menghargai sesama manusia, karena bahkan
oleh orangtua mereka sendiri mereka kurang dihargai sebagai manusia. Anak-anak
yatim seperti itu,
yang kalau bertemu denganku selalu merasa jijik, memandang rendah, bahkan
mungkin meludah. Tetapi ketahuilah bahwa tak ada orang yang lebih menanggung
dosa perilaku dan sikap anak-anak itu selain orang-orangtua mereka sendiri."

Telah amat jauh kami berjalan, dan perutku sudah amat terasa kelaparan, tetapi Dzu
Walayah terus menyerbuku dengan pernyataan-pernyataan -

"Adapun engkau pastilah anak yang berpikiran cerdas untuk mengetahui betapa
banyak jenis keyatiman di dunia maju yang gegap gempita ini."

"Jika anak-anak tak memperoleh pendidikan seperti yang Allah memberinya hak dan
kewajiban, yatimlah ia. Jika orangtua terlalu mendikte anaknya dan menjadikan anak
itu hanya sebagai alat dari kemauannya, yatimlah ia. Jika suatu tata perekonomian
memberi kemudahan yang berlebih kepada sebagian orang dan memberi kesulitan
yang berlebih kepada sebagian lainnya, maka yatimlah orang yang disukarkan. Jika
suatu tata politik tak menyediakan ruang bagi anak-anak negerinya untuk
mengembangkan pikiran dan sumbangan jujur bagi kemajuan negerinya, maka
yatimlah pura-putri negeri yang mulutnya dibungkam itu."

"Betapa melimpah anak-anak yatim di sekitarmu, Nak. Jika kau bisa ubah, ubahlah.
Tapi setidaknya berdzikirlah untuk mengingat mereka, seperti yang kulakukan
dengan caraku sendiri ini."
(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)
Nyata dan Tidak Aneh
Kalau Anda menggenggam sebutir telor, dan beberapa puluh detik kemudian telor
itu menjadi matang...
Kalau Anda mengikat roda kereta api, dan tali pengikat itu Anda gigit kemudian roda
itupun terangkat dan Anda ayun-ayunkan...
Kalau ayam Anda dicuri oleh maling, dan Anda nge-sot : "Kalau dalam waktu sehari
semalam ayam tak dikembalikan, si maling akan lumpuh!" -- sehingga ia lumpuh
benar-benar...
Kalau Anda mengisikan jarum, pisau atau keranjang ke dalam perut seseorang yang
Anda benci atau cemburu...
Kalau Anda letakkan telapak tangan dua sentimeter di atas meja dan Anda angkat
meja itu tanpa menyentuhnya...
Kalau anda memangkas nyala api dan membelah air...
Kalau Anda memimpin rapat penting semalam suntuk, dan pada saat yang sama
Anda beredar bersama kelompok siskamling...
Kalau Anda mengucapkan Assalamu'alaikum kepada seekor anjing dan anjing itu
menjawab dengan gerak tubuhnya, atau Anda ,menatap mata harimau sehingga ia
berlari tunggang langgang...
Kalau anda tahu persis siapa tamu yang sejam lagi datang ke rumah Anda dan
mengerti maksud buruk atau baik yang dibawanya...
Kalau Anda mengobrol dengan Ibunda yang bertempat tinggal 300 km dari rumah
domisili Anda...
Kalau Anda menggerakkan pasukan lebah untuk menyerbu musuh yang hendak
memasuki wilayah Anda...
Kalau Anda mengembara semalaman dengan Khidir penggembala utama para wali
Allah yang selalu hidup tersembunyi...
Itu tidak aneh. Itu nyata dan tidak aneh.
Itu wajar dan rasional. Itu lumrah dan ilmiah, meskipun ilmu yang kita ketahui belum
tentu mampu menerangkannya, meskipun pengetahuan yang kita kuasai belum
tentu sanggup membeberkannya.

Manusia itu lebih tinggi kemampuannya dibanding alam. Manusia memiliki rahasia
kemampuanyang mengatasi alam. Apabila hijab rahasia itu terbuka, maka manusia
bukan saja menjadi transendental atau bebas dari kungkungan alam, tapi juga
sekaligus berarti ia menapak ke maqam lebih tinggi yang semestinya memang ia
tempuh.
Manusia bahkan adalah mahluk Allah yang lebih tinggi derajat kemakhlukannya
dibanding para malaikat yang kita kenali sebahai gaib.

Tetapi, kalau kemampuan dan rahasia, difestivalkan, dilombakan: itulah yang aneh.
Apa haknya untuk memamerkan barang yang bukan miliknya? di mana muka
manusia ditaruh dihadapan Tuhannya ketika ia memamerkan dan mantakaurkan
anuugrahNya?
Hanya siswa-siswi Taman Kanak-kanak yang masih pantas untuk pamer gaya dan
suara.
Sesudah bernyanyi, semua teman-teman bertepuk tangan. Tetapi ketika berangkat
dewasa, anak-anak itu belajar tahu bahwa suara itu bukan miliknya. Tak seorang
manusia pun bisa menentukan atau memilih warna suaranya, bentuk tubuhnya,
cakep-tidak wajahnya, dimana ia lahir, menjadi anak siapa atau putra daerah mana.
Allah yagn menentukan dan memilihkan.

Tetapi kita memang tanpa malu-malu, di dunia ini, menjual milik-milik Allah itu untuk
kepentingan pribadi, dengan anggapan seolah-olah diri kita ini seluruhnya adalah
hak milik kita.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Doa Kubangan
Di dalam tasbihnya, para Malaikat Allah senantiasa mendendangkan rasa iba
mereka kepada manusia:
"Ya Allah, jika mereka menjahati sesamanya karena kejahatan, perintahkanlah kami
untuk mencuci jiwa mereka, karena untuk hati jahat kami tidak berani memohonkan
ampunan bagi mereka kepada-Mu. Namun jika mereka mengingkari-Mu karena
kebutaan dan kebodohan, turunkanlah ampunan-Mu yang berupa cambuk yang
membangunkan akal mereka"
"Ya Allah selamatkanlah manusia dari ketidakmengertian mereka atas diri mereka
sendiri serta dari ketidakpahaman pergaulan di antara sesama mereka, sehingga
mereka saling menghisap dan menghardik, memukul serta menginjak satu sama
lain"
Namun seringkali para Malaikat itu tersenyum sendiri dan bergumam:
"Ya Allah, apakah Engkau pernah memberi wewenang kepada sejumlah manusia
untuk berperan sebagai Engkau, sehingga semua manusia lainnya hanya Engkau
perkenankan untuk patuh kepada sejumlah orang itu, tidak Engkau izinkan untuk
bertanya dan Engkau larang untuk membantah?"

Kemudian senyumnya hilang dan ia meratap:


"Ya Allah, manusia tidak akan pernah sanggup memahami keadilan-Mu dan tak
bakalan mampu memaknai kehendak-Mu. Ya Allah, mereka tiap hari merenung
dengan hati sedih: kenapa orang yang bagi mereka harus Engkau angkat naik ke
derajat nikmat-Mu malah Engkau biarkan terkapar di kubangan, dan kenapa orang
yang menurut mereka seharusnya segera Engkau hukum dan Engkau jatuhkan,
malah Engkau pelihara dan manjakan?"
Ada kalanya terdengar oleh para Malaikat itu suara Allah:
"Siapa bilang ia belum jatuh? Sudah lama ia terjerembab dan hampir terkeping-
keping di jurang kerendahan!
Siapa yang membuatnya percaya bahwa kiniia sedang duduk di kursi kejayaan,
sedangkan kemenangan yang ia nikmati itu membuatnya hina sebagai manusia
Hamba-hambaku berdoa agar Aku tidak terlalu mengacuhkannya dengan
membiarkannya merasa takut dan menyangka akan dilindas kehancuran sesaat lagi,
padahal kehancuran telah menjadi pakaian kebesaran sehari-hari orang itu
Hambaku yang tetap buta sampai hari tuanya itu percaya bahwa singgasana yang
tak tergoyahkan adalah kekokohan, padahal itu adalah kekalahan yang amat
memalukan dalam pertarungan melawan hakikat hidupnya sendiri
Ia yakin bahwa segala yang ia miliki serta caranya menghisap dan menimbunnya
dari tanah yang bukan miliknya itu adalah kecanggihan, padahal itulah kedunguan
yang bersarang di otak manusia sejak zaman purba
Ia menikmati jari-jemarinya memainkan seribu wayang, ia gerakkan ke kiri dan ke
kanan, ia angkat dan campakkan, ia gebug dan lemparkan. Ia menyangka sedang
berpesta kekuasaan, kepandaian dan harta, sedangkan yang ia lakukan sebenarnya
adalah membuang habis jatah hari depannya sendiri di dalam kehidupan sejati yang
Aku sediakan

Ia merasa sedang membangun menara-menara, monumen-monumen dan makam


keistanaan, sedangkan yang ia tumpuk sesungguhnya adalah batu-bata
kerendahan, yang ia gali sesungguhnya adalah kubangan sejarah bagi nama
buruknya sendiri yang kelak disebut-sebut oleh jutaan anak cucu dengan hati
mengutuk"
Kemudian para Malaikat itu seolah-olah meneruskan sendiri kalimat-kalimat-Nya:
"Maka sambil kau impikan agar ia memulai bangkit dari kehancuran di kubangan itu,
dengarkanlah kembali suara ruh-ruh dari gundukan-gundukan tanah di kuburan ・
bahwa jika seseorang tak bisa menghentikan dusta sampai di usia senjanya, ia akan
kaget karena dibohongi oleh nasibnya sendiri
Bahwa kalau sekarang tak segera ia letakkan pisau penindasan itu, masa depan dan
kematiannya akan berdarah-darah, kodrat dirinya akan diseret beribu orang di
jalanan, dan namanya akan dijadikan tabung pembuangan ludah masa depan
Bahwa hari ini adalah hari puncak kegelapan
Bahwa gelap sedang menyempurnakan dirinya
Kemudian asap yang mengepul di depanmu itu akan segera menjelma api
Bahwa retak-retak gempa sejarah akan menggurat di wajahmu dan di bumi
Bahwa matahari akan segera selesai dipermandikan oleh putaran alam, untuk
menghadirkan hari baru yang tak ia sangka-sangka"

1994
(Emha Ainun Nadjib/Doa Mohon Kutukan/Risalah
Gusti/1995/PadhangmbulanNetDok)
YANG DATANG
Yang datang dengan ketulusan akan
bertatapan dengan wajahku yang sejati

Yang datang dengan kecurigaan akan


tersesat ke dalam semak-semak

Yang datang dengan kekeruhan Baginda Khidir


akan memain-mainkan kegelapan di matanya

Yang datang dengan kebencian Kanjeng Sunan Bonang


akan menggigilkan sukmanya

Yang datang dengan kebodohan yang


dieman-eman Pangeran Ali akan menyembunyikannya
di balik tembok

Yang datang dengan permusuhan malaikat


Syakhlatus-Syams akan mengikat tangannya

Tetapi yang datang dengan kemesraan akan


terangkut oleh gelombang lagu Daud

1994
(Emha Ainun Nadjib/Doa Mohon Kutukan/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Diposkan oleh Sudismandi 20:42Tidak ada komentar: 
Label: yang datang
RABU, 06 MEI 2009
ISLAM KOK NDAK EKSTREM
Yang bahaya dan ditakuti oleh penguasa bumi ini bukan Kaum Muslimin atau
Ummat Islam. Yang kuat dan hebat juga bukan Ummat Islam. Tidak ada yang perlu
ditakuti dari Ummat Islam. Biarpun Israel hanya sekabupaten yang bertetangga
dengan sepropinsi negara-negara Islam, si kabupaten bisa berbuat apa saja.
Jangankan sekedar mengurung Yasser Arafat di dalam metoda Khondaq, jangankan
sekedar mengancam dan mengebom Masjidil Aqsha, sedangkan kalaupun Ka’bah di
Mekah dan Masjid Nabawi diduduki oleh kumpulan pasukan-pasukan penguasa
dunia – akan tidak banyak yang bisa diperbuat oleh Ummat Islam.
Ummat Islam di timur tengah hidup dalam negara-negara suku yang secara
ideologis dan sosiologis menyalahi prinsip universalisme-plural (rahmatan lil’alamin)
yang merupakan inti ajaran Rasulullah Muhammad saaw. Ada kerajaan suku Arab
Saudi, kerajaan suku Yordan, Kuwait, dlsb. Para khotib Jum’at selalu menyatakan
rasa syukur “Kita panjatkan puja dan puji kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad saaw, yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam nur
yang terang benderang…”
Kalimat itu belum selesai, karena di ekornya masih ada anak kalimat “….kemudian
sesudah Muhammad tiada, kita kembali ke dunia jahiliyah….”
Ummat Islam Indonesia yang jumlahnya terbesar di dunia juga terbagi dalam
berbagai suku dengan fanatisme, kebanggaan dan egosentrismenya masing-
masing. Ada suku NU, suku Muhammadiyah, suku darul Arqam, suku PKB dan sub-
sukunya, suku PPP dan sub-sukunya, suku PBB, PK dan banyak lagi. Firman Allah
“syu’ub wa qaba-il” itu bukan hanya bermakna genekologis atau antropologis – tetapi
juga melebar ke berbagai segmentasi sosial yang jumlahnya tak terbilang. Bahkan di
dalam suku-suku Ummat Islam terdapat pula sub-suku Yahudi, Nasrani, Sekuler,
Kebatinan dan macam-macam lagi – sekurang-kurangnya dalam cara pandang dan
pola sikap kesejarahannya.
Sungguh mengasyikkan isi dunia ini, dan Ummat Islam di muka bumi seluruhnya
atau khusus di Indonesia, dengan modal dasar kebanggaan suku – tidaklah akan
mampu berbuat banyak kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Jika kekuatan di
luar mereka memusuhinya, Ummat Islam akan kalah, dan jika kekuatan di luar
dirinya itu bersahabat dengannya – Ummat Islam akan lebih kalah lagi.
Dan kalau terhadap persepsi saya ini Ummat Islam marah, maka menjadi terbukti
bahwa ternyata keadaan mental dan budaya Ummat Islam jauh lebih parah
disbanding yang tergambar dalam uraian ini.
***
Yang ditakuti oleh dunia, sekali lagi, bukanlah Ummat Islam, melainkan kebenaran
nilai-nilai Islam. Oleh karena itu nanti zaman demi zaman akan berlalu, dan jika
Ummat Islam dimusuhi, lantas mereka ada yang melawan, ada yang tidak melawan
dan bahkan banyak yang justru menjadi alat untuk memusuhi Islam sendiri
meskipun si alat ini naik haji 19 kali dan dikenal sebagai tokoh Islam – maka para
penguasa dunia itu tidak akan bisa dikalahkan oleh Ummat Islam, melainkan akan
dieliminir dan ditaklukkan secara ridho oleh nilai-nilai Islam sendiri yang tumbuh
diam-diam dari dalam diri mereka sendiri.
Anda tidak perlu percaya pada kata-kata saya ini tetapi juga sebaiknya tak usah
tidak percaya, daripada kelak Anda mundur isin untuk mengakuinya. Sebagaimana
kepada sorga dan neraka Anda tidak saya tuntut untuk percaya, tetapi sebaiknya
juga tak usah repot-repot tak percaya – supaya kelak kalau ada sorga beneran Anda
tidak malu-malu kucing untuk mendaftar masuk ke dalamnya.
Sekarang para penguasa dunia silahkan berbuat semaunya kepada Ummat Islam.
Ummat Islam bisa dibunuh, ditembaki, dimusnahkan dengan tidak terlalu sukar
karena dari segala segi maintenance peperangan, Ummat Islam kalah mutlak.
Tetapi yang tak bisa diapa-apakan adalah nilai Islam. Sebab kandungan nilai Islam
tidak bisa ditembak atau dibom. Nilai Islam terletak di lubuk hati setiap orang yang
memusuhinya.
Jadi kalau, umpamanya, Anda ingin menangkap saya, memenjarakan saya,
membunuh saya, memberangus pekerjaan sosial saya, mengucilkan saya,
menghancurkan eksistensi saya, membuang saya, membakar nama saya,
menginjak-injak harga diri saya, menendang kepala saya, bahkan melabuh abu
bakaran mayat saya di pantai selatan – sedikitpun Anda tidak akan mendapatkan
kesulitan. Sebab saya sangat lemah. Tetapi yang tidak akan terbunuh adalah
keyakinan yang saya jalani, sebab keyakinan itu juga berdomisili di dalam diri Anda
sendiri.
***
Nilai Islam sangat ditakuti eksistensinya oleh para penguasa dunia, tetapi Ummat
Islam atau Kaum Muslimin amat diperlukan oleh mereka.
Para penguasa dunia sangat membutuhkan Ummat Islam, tidak akan membiarkan
Ummat Islam kelaparan, tidak membiarkan Ummat Islam kehilangan tokoh serta
penampilan formalnya. NU, Muhammadiyah, MUI atau apa saja, harus terus ada,
jangan sampai tidak ada.
Kalau Ummat Islam sampai mengalami busung lapar dan musnah, itu akan
merugikan para penguasa dunia, karena dengan demikian mereka tidak punya
partner untuk menjalankan dialektika kekuasaan. Ummat Islam harus tetap eksis di
muka bumi, sebab penguasa dunia membutuhkan budak dan orang-orang jajahan.
Budak jangan sampai ndak makan dan loyo, sebab kalau loyo ndak bisa diperintah-
perintah. Kalau kelaparan tidak enak ditempelengi.
Ummat Islam dibutuhkan keberadaannya oleh penguasa dunia, dan manfaat
keberadaan Ummat Islam adalah untuk proses penghancuran dan pelenyapan nilai-
nilai Islam itu sendiri. Ummat Islam dipelihara, digurui, diajari, dididik untuk memiliki
cara berpikir, cara bersikap dan cara hidup yang menghancurkan nilai-nilai Islam.
Dan itu gampang dilaksanakan: kiai-kiai, ulama-ulama, cendekiawan muslim,
mahasiswa islam, jurnalis, budayawan seniman, warga ormas keislaman, anak-anak
muda Islam dll – sangat gampang digiring menjadi pegawai penghancur nilai-nilai
Islam.
Ummat Islam harus dipelihara keberadaannya, sebab mereka yang sangat effektif
untuk mempermalukan nilai-nilai Islam. Kalau ada kelompok Muslimin yang
membangun kesejukan, kebersamaan, demokratisasi, egaliterisasi, defeodalisasi,
menegakkan cinta kasih social – jangan diberi ruang di pemberitaan media massa
dan peta opinion making – sebab mereka ini kontra-produktif untuk proses
mempermalukan nilai-nilai Islam.
Yang dibutuhkan oleh penguasa dunia adalah Muslim Ekstrem, radikal, ngamukan,
berkepala batu, bodoh, terbelakang, suka mengancam, hobi mengasah pedang.
Rumus baku di kampus, media massa dan internet adalah “Islam harus ekstrem”.
Mosok Islam ndak ekstrem. Islam ekstrem adalah Islam ideal bagi para penguasa
dunia, sebab memang itulah senjata bumerang paling ampuh untuk mengeliminir
ketakutan mereka terhadap kebenaran nilai Islam.
Untuk menciptakan muslim ekstrem, maka harus dilaksanakan sejumlah kecurangan
opini dan ketidakadilan di bidang-bidang politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan.
Kalau orang disakiti terus menerus, pasti lama-lama ia akan menjadi keras dan
gampang dipancing untuk mengamuk.
Di setiap segmen social, di tempat kerja, di lingkungan birokrasi, di kampus, di
kampung dan di manapun saja – harus terus menerus diciptakan pencitraan bahwa
orang Islam itu suka menindas. Orang Islam itu mayoritas yang kejam. Meskipun
kalangan Islam yang ditindas tapi opini yang dibangun harus sebaliknya.
Kalau ternyata dipancing-pancing dan dijelek-jelekkan kok orang-orang Islam itu
masih saja bersabar, bersikap lembut dan merangkulkan kemesraan pluralisme –
maka harus pada momentum-momentum yang berkala dan berirama harus
diciptakan skenario seakan-akan ada tokoh ekstremis teroris – umpamanya Abu
Bakar Baasyir -- yang diupayakan untuk dihardik terus menerus di media massa,
dicari-carikan pasal untuk menangkap dan menghukumnya.*****
(Emha Ainun Nadjib/Jawa Pos/2002/PadhangmBulanNetDok)
Serasa Alloh
karena mandul
diri serasa rasul
karena lemah
diri serasa allah

kubangun setinggi-tinggi gedung


sekadar untuk tumbang
segala ilmu berakhir ngungun
manusia terkucil di pengasingan

terima sajalah, jujunganku


hamba yang bidih dan dungu
sebab jika pintu tak kau buka
hendak cari tuhan ke mana

1986
(Emha Ainun Nadjib/"Cahaya Maha Cahaya"/Pustaka
Firdaus/1996/PadhangmBulanNetDok)

BENAR SENDIRI
Ada tiga model kebenaran yang bisa kita temukan. Pertama, model kebenaran yang
dipakai sendiri: benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, kebenaran yang diakui
banyak orang (benere wong akeh), dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus


sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang
pertama. Artinya, orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti
mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama,
dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung,
di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang
lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal
juga berlaku pada monarkisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan firaun-firaun besar dalam skala negara dan dunia, serta
memproduk firaun-firaun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi,
bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi di kalangan yang yakin
bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan pandangan benarnya sendiri. Para
pelaku demokrasi banyak menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya
sendiri tentang arti demokrasi itu. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini
sebagai seorang demokrat sejati, ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di
forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan
--ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf."
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNet)
Manusia dan Pemimpin Sepertiga
Dimensi ketercerahan jiwa manusia yang dimaksud oleh la yamassuhu illal
muthahharun itu, kita misalkan ada tiga.
Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental.
Ketiga ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat,
yakni ketercerahan moral.

Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang
memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya
sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah
kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan.
Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa mandul, ternyata karena kecerahan
intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental.

Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga


ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang
dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak
ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pinter bukan hanya
tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah
memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan
berbangsa yang baik.
Wallahua'lam.

Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan
memiliki keberanian kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau
dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat apa-apa
untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu elementer
untuk meladeni kompleksitas keadaan.
Langkahnya keliru-keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah
tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis - justru karena
terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu.
Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam
dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa.

Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran
pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas
ibadatnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan
sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di
gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk
memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan
kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya.
Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
Masing-masing dari yang saya uraikan di atas itulah manusia-sepertiga atau
pemimpin-sepertiga. Cerah intelektual thok, cerah mental doang, cerah spiritual
melulu. Bangsa kita memerlukan manusia pemimpin yang tidak sepertiga, tetapi
utuh satu, meskipun mungkin saja kita harus melewati 'arisan kepemimpinan
nasional', melewati satu dua pemimpin sepertiga lagi, yang harus dituruti karena
masyarakat kita sedang shakao, dengan tagihan jenis narkoba kelompoknya
masing-masing.

Yang pasti, dari manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga, kita tidak bisa


mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kenegarawanan, kematangan sosial,
kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensi kasih sayang dalam
multi-dimensi kehidupan berbangsa.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

Manusia-Data, Pemimpin-Data
Manusia belum tentu konstan berlaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum
tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi perhubungan sosial tertentu,
pada peristiwa tertentu-- berlaku sebagai monster, kanibal, hewan, setan atau iblis.

Pemimpin belum tentu pemimpin, ia bisa seorang pemberang yang culas. Tokoh
belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh napsu. Panutan
belum tentu panutan, ia bisa juga menjadi seorang penunggang dan kita kudanya.

Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia manipulator logika dan


kebenaran ilmu. Ulama belum tentu ulama, bisa juga ia tidak berbeda dengan blantik
atau preman. Orang hidup musti sangat berhati-hati, penuh kewaspadaan pikiran
dan kerendahan hati, supaya tidak terlalu sengsara dan luka parah.

Di dalam budaya Islam, bahkan orang yang menguasai ilmu agama Islam belum
tentu seorang Muslim. Orang yang pintar mengaji belum tentu berkelakuan baik.
Orang yang sedikit-sedikit beristighatsah dan bershalawat belum tentu gerakannya
itu ada kaitan murni dan substansial dengan makna istighatsah dan shalawat. Orang
pakai peci, surban, jilbab dan tasbih, belum tentu orang yang salih.

Ada yang namanya Islam-data. Khasanah ilmu dan wacana pengetahuan Islam
dimasukkan ke dalam 'hard-disk' di otak seseorang sebagai directories of data.
Seluruh isi Al-Qur'an, dengan software program yang sederhana, tidak memerlukan
lebih dari 1-MB. Atau katakanlah bahwa seluruh ilmu dan pengetahuan yang
menyangkut Islam - dari kandungan teologi, filosofi, ushulul-fiqh dan fiqh, semua
hasil ijtihad dan apa saja --hanya memerlukan tidak lebih dari, sebutlah, 1 Giga-Byte.

Sedangkan otak manusia memiliki kelapangan memori dan kecanggihan operasional


yang beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu persen melebihi kapasitas komputer
yang paling mutakhir dengan segala jenis software-nya.

Seluruh data Islam di dalam diri seseorang bisa tersimpan begitu saja, dan tidak
pasti loading pada operasional hati, batin, psikologi, kepribadian dan perilaku
sosialnya. Singkat kata, orang yang sudah membaca syahadat belum tentu sudah
'bersyahadat'. Orang yang sudah mengucapkan sesuatu, tidak dijamin sudah
melakukannya.

Kalau kita mengukur keislaman seseorang berdasarkan peta data simboliknya


-katakanlah setiap data Islam di otak seseorang kita kasih extension " .isl " (dot isl),
maka bisa saja pakaian sosial dan budaya seseorang penuh dengan dot isl, dot isl:
tetapi itu tidak otomatis berarti ia seorang Muslim yang memberlakukan pada dirinya
kesalihan atau kepemelukan empiris yang teguh di dalam kehidupan nyatanya.

Apalagi 'wajah' seorang tokoh bisa kita masukkan ke PhotoShop atau CorelPaint,
kita manipulir melalui berbagai macam menu yang tersedia, maka nanti - melalui
lalulintas pengolahan di RGV, Indexed Colour, CMYK, kita ciptakan layers, di mana
wajahnya yang cacat bisa kita hapus, teksture-nya yang kasar bisa kita perhalus,
ketersentuhannya dengan gambar kiri kanan yang 'tidak kondusif' bisa kita cropping.
Kita bisa bikin image scenario dengan blur, distort, pengubahan pixel dsb.

Lantas kita print-out dan kita sebar ke masyarakat luas dan membuat khalayak
terkagum-kagum.

Kalau yang kita sosialisasikan sekedar gambar, masih bisa diinvestigasi: apakah
yang memangku dan dipangku itu orisinal ataukah animasi komputer. Tetapi kalau
gambar yang kita maksud adalah citra sosial, dan software programnya adalah
media opinion making, yang perekayasaannya canggih sedemikian rupa --maka
duaratus juta rakyat suatu negeri bisa puluhan tahun tertipu olehnya.

Kemudian kita ribut dan bunuh-bunuhan. Dan tetap memelihara kebodohan untuk
tidak belajar dari kebodohan.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)
JUARA ITU TAK ADA
Sesungguhnya yang disebut juara, atau eksistensi sebuah kemenangan -- itu
hakekatnya tidak berlaku begitu sebuah pertandingan berakhir dan tanda kejuaraan
disematkan kepada sang juara.
Sebuah tim olah raga atau seorang atlet memenangkan pertarungan melawan tim
lainnya sehingga sesudah pertandingan ia dijunjung sebagai juara. Kalau sesusah
penobatan gelar juara diselenggarakan lagi pertandingan antara kedua tim itu, maka
tidak seorangpun bisa memastikan bahwa sang juara akan pasti menang lagi.
Di Manila tahun 1974 Joe Fraizer tidak sanggup bangkit dari kursinya untuk
memasuki ronde ke-15 pertarungannya melawan Muhammad Ali, sehingga petinju
Philadelphia ini dinyatakan kalah TKO dari Ali.
Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa Muhammad Ali memiliki siasat dan
kecerdasan yang Frazier tak punya. Keduanya sudah bertarung habis-habisan
selama 14 ronde. Besoknya Frazier memuji – “Saya sudah timpakan kepada Ali
ratusan pukulan saya yang biasanya merobohkan dinding, tetapi Ali tetap tegak…” –
sehingga secara fisik maupun mental Frazier tidak lagi sanggup berdiri pada ronde
ke-15.
Tetapi Ali masih punya sisa ruang berpikir. Secara fisik ia juga sudah lungkrah,
bahkan mungkin lebih kecapekan dibanding Frazier. Tapi Ali punya kenakalan
intelektual sehingga ia berkata kepada Tuhan : “Wahai Tuhan, tolong pinjamkan
kepadaku sedikit saja tenaga yang Engkau jatahkan kepadaku untuk besok pagi,
supaya aku bisa tampil di ronde terakhir ini dan besok aku tidur sepanjang hari…”
Maka ketika bel ronde ke-15 berdentang, Ali menggagah-gagahkan diri untuk berdiri
dan berlagak seakan-akan ia fit dan siap berkelahi lagi – sementara Frazier terduduk
lunglai dan tidak sanggup berdiri. Ali menang, tapi sesuai dengan janjinya pinjam
tenaga kepada Allah – maka sesudah duel itu Ali terbaring di rumah sakit,
sementara Frazier nyanyi-nyanyi dan berjoget di diskotek.
Jadi, kemenangan Ali itu relatif. Kalau sepuluh menit sesudah kemenangan Ali itu
mereka diduelkan lagi, belum tentu Ali bisa menang. Kalau di piala dunia empat
tahun lalu sepuluh menit sesudah Perancis menjadi juara lantas mereka
dipertandingkan lagi, maka tak ada jaminan bahwa Perancis akan menang.
Lebih tidak bisa dijamin lagi jika waktu kemudian berlalu ke bulan dan tahun.
Kemarin Anda menyaksikan meskipun Zidan dipaksakan main padahal masih belum
OK benar keadaannya – terbukti kesebelasan Perancis hanya mampu tampil di
ronde awal dan itupun secara sangat memalukan.
Jadi, sesungguhnya juara itu tidak ada.
Coa Anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau kesebelasan produser total football
Belanda tidak bisa ikut piala dunia sementara Arab Saudi saja bisa masuk meskipun
dihajar Jerman dengan gol seperti pertandingan sepakbola kampung. Terus
kesebelasan Italia? Betapa tidak konsistennya kekuatan dan kekuasan dalam
kehidupan manusia di muka bumi ini.
Maka ketika kaya, sadarilah miskinmu. Tatkala menang, sadarilah kalahmu. Di
waktu jaya, renungilah keterpurukanmu. Pada saat engkau hebat, ingat-ingatlah
kemungkinan konyolmu….***
(Emha Ainun Nadjib/Jawa Pos/2002/PadhangmBulanNetDok)
KRITERIA KEPEMIMPINAN
Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-
kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta
keberanian mental.

Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung
kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang
stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati
dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan
hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika
pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan,
maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.

Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau
orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk.
Berpikir sederhana saja. Misalnya. syarat menjadi suami. Pertama, harus manusia.
Kedua, harus laki-laki. Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas
banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia.
Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain.
Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa
kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat
menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia.
Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya,
gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal
semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku
kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi
perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada
cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya
pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural
animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan,
informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.

Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak
suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme
politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang
ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh
bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung
parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.

Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap
dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau
perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh
wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud
pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian
kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.
(EMHA Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)
MENANGIS
Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan
oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnengajak para
santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat
"iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak
berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah
Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..."
Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk
ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", berkata
Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun
harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik
beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di
mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'.
"Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut parasantri.
"Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan".
"Belum jelas benar bagiku, Abah".
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan
kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti
ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas
mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin
masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami
menyembah, na'budu".
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita
sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat
na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah.
Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam
menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang
kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan
pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan
perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah
hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita
dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus
mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di
dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak
berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara
terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali
dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah,
padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan,
kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah".
"Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-
perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke
pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah,
temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah
kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah
seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena
keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!

(Emha Ainun Nadjib/Panji Masyarakat/PadhangmBulanNetDok)


TAK ADA AIR YANG TAK BENING
Negara menghendaki stabilitas.Masyarakat menghendaki ketertiban.
Sejarah menghendaki keamanan. Jiwa menghendaki ketenangan. Hati
menghendaki keheningan. Mental menghendaki endapan. Dan seluruh kehidupan
ini, di ujungnya nanti, menghendaki ketentraman, keheningnan, kemurnian.
Karena itu, agama menganjurkan kembali ke fithri.
Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang,
bikin rumah, bersaing dengan tetangga. Yang tertinggi dari itu semua dan yang
paling dirindukan olh jiwa, adalah "air bening hidup".
Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan
Anda adalah arus air sungai yang mencari muaranya.
Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan
masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangnan dan kebeningan.
Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk
pada akhirnya menemukan "air bening".
Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara
langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni. Orang lain
menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan.
Orang yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi
untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.
Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got,
kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang
lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya
sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran. Ketidakmungkinan itu
mungkin karena
memang 'dipilihkan' oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh
kekuatan-keuatan zamn yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir dan
tercampak ke got-got.
Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?
Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya
serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening.
Semua air itu bening. Tidak ada "air kotor", melainkan air bening yang dicampuri
oleh kotoran.
Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan
ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru
kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-
got.
Adakah makna hal itu dalam kehidupan Anda?

(Emha Ainin Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)


AL WALIY
Siapakah yang memerintah jantungmu
Hingga berdenyut,
Atau tiba-tiba membeku
Di suatu sore yang kelabu ?

Siapakah yang sampai hari ini


Tak membiarkan darahmu berhenti
Atau mripatmu kelam dan telingamu tuli ?

Siapakah yang menghembuskan nafasmu


Memberi gerak bagi persendianmu
Untuk memungkinkanmu menapaki waktu ?

Siapakah yang menidurkanmu di malam sunyi


Sementara tak meneruskannya ke kekekalan abadi
Melainkan dibangunkannya engkau di fajar hari
Dan menyodorkan di hadapanmu
Rejeki yang tiada kunjung selesai
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Syair Mahasiswa Menjambret
Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para tetangga,
bertanyalah aku kepada penyairku, “Akir-akhir ini orang makin ribut tentang
pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah puisimu tak
membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal seperti itu memerlukan
puisi?”

“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai
sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau
para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan
mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”

Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering
dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah
bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak
yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang
saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan
perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.

“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”,
penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang
keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor
tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.

Jagat kesenian memerlukan soal-soal besar, umpamanya kesepian hati atau


kembang dan kupu-kupu di pagi hari.
Tapi baiklah. Kalau kaum terpelajar bersedia tak sedemikian tergesa-gesa. Kalau
para pioneer sejarah
sanggup menahan emosi dan sedikit bersabar. Kalau para pemilik utama masa
depan mau belajar baik-baik dan tunggu momentum yang tepat untuk kelak menjadi
penjambret yang canggih tersenbunyi, tanpa orang tahu bahwa mereka adalah
penjambret ? puisiku masih akan membukakan
pintunya untuk suatu tawar-menawar.”

Apa yang sesungguhnya hendak engkau ucapkan, penyairku?


Penyair amat berbakat merusak kehidupan karena begitu gampang menemukan
kata-kata, bahkan pun untuk keadaan yang samar-samar baginya.

Malah mengeras tertawanya, “Samar-samar, katamu?”, ia mendongak, “Kalau


mahasiswa mulai sanggup bertindak kriminal, apakah ia diajari oleh dirinya sendiri?
Ataukah ia dituntun oleh para pejambret yang mampu Melakukan penjambretan
sedemikain rupa sehingga beribu-ribu orang tak merasa bahwa isi kantong
kehidupan mereka terus dijambret dari hari ke hari?”

Kupikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Namun juga berangkat dari
sangka buruk. Adakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang
dimiliki penyair membuatnya tak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring atau
mengendapkan?
“Dengarlah”, ia mendongak lebih tinggi, “Kalau para kaum terpelajar mulai belajar
mengerjakan kejahatan-kejahatan yang wantah, adakah engkau menyangka Tuhan
memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari tata
hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?
Dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.
Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap juga
samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung
tidaklah mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyaput hari-harimu
sebagai hantu yang tanpa asal-usul?”

“Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret di muka orang banyak,” ia tak


memberiku kesempatan untuk menang-gapi, “Siapakah gurunya? Tangan siapakah
yang melontarkan mata tombak kejahatan? Petani manakah yang menanamkan
benihnya dan merabuki kesuburan tetumbuhan-nya? Kalau kaum terpelajar mulai
sanggup melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh,
Apakah karena mereka memang orang jahat?”

“Kebaikan dan keluhuran tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran.


Gedung-gedun sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi
pandai, dan tidak terutama untuk menjadi baik.
Mendaftarlah ke antrian kesempatan sekolah, tinggalkan anak-anak lain yang tolol
dan tak punya biaya. Reguklah Tujuh samudera pengetahuan. Tapi untuk soal-soal
bagaimana membangun kebajikan, sepenuhnya diserahkan kepadamu masing-
masing ? apakah akan mencarinya di
balik tikar-tikar kumuh robek rumah-rumah ibadah, atau di pinggiran kaki lima-kaki
lima kehidupan?”

“Kalau anakmu berangkat sekolah di pagi hari, mulutnya menganga untuk disuapi
pengetahuan tentang kepandaian dan kemenangan, bukan kebijakan dan
kebersamaan.
Anak-anakmu diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain
yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup.
Anak-anakmu diajari untuk terampil memanjat melewati pundak teman-teman
bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang perjalanan
hidupnya tercengkal.
Meninggalkan mereka semua yang mandeg di masa silam.
Pergi berlari, meniti daerah impian, menapaki tangga-tangga kehidupan yang lebih
tinggi dan menjanjikan kemewahan.

Anak-anakmu diajari untuk mengalahkan yang lain.


Untuk melampaui dan meninggalkan sumber-sumber kesejarahan mereka sendiri,
untuk meraih apa yang disebut derajat, kamukten dan kemenangan.
Anak-anakmu berbaris di halaman sekolah, berjajar di bangku-bangku kelas,
punggung mereka dicambuk untuk berlatih menang ? dan jika kemenangan amat
sukar diperoleh secara wajar ? sebab peluang untuk itu menjadi semakin sempit dan
semakin sempit ? maka wajarlah jika mereka lantas menjegal siapa saja di sekitar
mereka yang bisa dijegal: mencopet, menjambret, merampok,
di kampung, dijalanan”
“Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama,
kesadaran utnuk meruwat keadilan dan kemuliaan ? tidak merupakan urusan utama
di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan.

Adapun soal-soal yang berkenaan dengan tubuh besar kemanusiaan, keinsafan


untuk nggemateni nilai dan keilahian ? hanyalah unsur pinggiran bagi pusat-pusat
mimpi dan perjuangan untuk berlomba menang, kontes kemakmuran dan rekor-
rekor kesejahteraan serta kemegahan”

“Anak-anakmu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali kepentingan diri sendiri.
Tangan dan kaki anak-anakmu dilatih tidak untuk apa-apa kecuali untuk beringas
memompa perut dan gengsinya sendiri.
Naluri anak-anak dididik untuk menindak dan memakan orang lain untuk cita-cita
pribadi. Anak-anakmu dipacu untuk berpikir sebagai ego, di mana segala sesuatu di
luar itu hanyalah amat bagi ego-ego.

Anak-anakmu dibikin tak paham kebersamaan. Anak-anakmu dididik untuk menjadi


segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai orang.
Anak-anakmu dididik untuk menjadi pusat-pusat penghisap”

“Anak-anakmu diletakkan di dalam proses salah kaprah untuk berkembang menjadi


penjambret-penjambret yang halus dan sophisticated Maka apabila ada di antara
mereka yang kebelet melakukan
ketololan dengan menjambret di jalanan, itu hanyalah pertanda bahwa daerah-
daerah untuk proyek penjambretan-penjambretan canggih sudah semakin menciut.
Anak-anakmu tidak terlalu siap untuk ragu-ragu terhadap kesempatan, untuk
terlampau berjudi dengan hari depan yang samara-samar; sehingga hari ini juga
mereka merasa harus memperoleh sesuatu, mendapatkan benda-benda, gengsi dan
kenkmatan seperti yang dipunyai orang-orang lain”

“Gerbong-gerbong sekolah dengan sendirinya mengangkut mereka ke hari depan


penjambretan struktural meskipun guru-guru mereka tak mengetahui hal itu.
Guru-guru mereka ? yang toh manusia sehingga tetap tersisa kemanusiaannya ? di
luar paparan kurikulum, memberi nasihat bahwa penjambretan itu tidak baik. Tapi
hendaklah kita catat bahwa di dalam negara dan perusahaan sekolah: penjambretan
diajarkan, sedangkan kejujuran dan kebajikan hanya dianjurkan sesekali”

“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan?
Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan
akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak
sebatang pohon, mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik
untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk
menguasai dan duduk di singgasana”

“Anak-anakmu bertengger di bawah batang timbangan yang timpang antara modal


dan daya tawar menawar yang rendah dengan iming-iming hidup enak yang
meneror mereka dari hari ke hari
Anak-anakmu dikepung oleh gegap gempita orang berebut kejayaan. Orang jegal-
menjegal. Orang menyerimpung dan diserimpung. Anak-anakmu dikepung oleh
uang dan kekuasaan yang menjadi bahasa utama dari yang mereka sangka
kemajuan. Oleh pasal-pasal hokum yang diperjual belikan. Oleh ayat-ayat agama
yang dijual eceran. Oleh tradisi penafsiran yang sepihak. Oleh pemaksaan yang
damai, kemunafikan yang harmonis, manipulasi yang berwajah ramah, kepalsuan
yang cerah dan penghisapan yang nikmat. Anak-anakmu makin tidak menemukan
tempat untuk meneladani kejujuran. Anak-anakmu digiring memasuki komune
tempat perzinaan missal dari sejarah yang
auratnya telanjang tapi wajahnya bertopeng”

Kutinggalkan penyairku. Tampaknya aku mulai memahami kepenyairan bukanlah


sejenis bakat di mana kata-kata amat gampang ia temukan dan pilih. Kepenyairan
adalah - hampir - ketidakmampuan menemukan kata. Sebab kata lebih sanggup
mengaburkan kenyataan dibanding mewakilinya.
Dan penyairku, dengan ratusan kata-katanya itu, kukira telah berbuat curang
terhadap realitas.

Tapi ia justru tertawa keras dan berkepanjangan ketika melepasku pergi,


“Bagaimana engkau bias menjadi sedemikian tolol untuk menyangka bahwa urusan
utama para penyair adalah kata-kata? Dengan kata-kataku itu aku tidaklah berkata-
kata. Ini kehidupan”

1988.
(Emha Ainun Nadjib/"Sesobek Buku Harian Indonesia"/1993/Bentang Intervisi
Utama/PadhangmBulanNetDok)
DILARANG MACET!
Nyenyak sekali tidur si calon Presiden kita itu. Markesot tersenyum-senyum sambil
duduk menjagainya.
"Teruskan saja omong-omong kalian tadi", katanya.
Tetapi ndak bisa. Sudah terlanjur terpotong. Dan lagi mereka takut kalau si tamu
nanti jadi terbangun oleh suara mereka. Sehingga akhirnya Markesot sendiri yang
meneruskan omong. "Saya kebetulan tahu siapa dia", katanya.
"Orang gila dari mana?", tanya Markenyut.
"Bukan orang gila. Dia orang baik. Hatinya lembut. Selalu memikirkan keadaan
masyarakat. Hatinya suka menangis menyaksikan orang yang menderita. Oleh
karena itu tiap saat ia merasa dituntut untuk mengubah keadaan. Dan akhirnya dia
mengambil kesimpulan bahwa cara yang paling praktis untuk mengubah keadaan
adalah kalau dia menjadi Presiden..."
"Lho kok enak?", celonong Markembloh.
"Lho, jadi presiden kok enak gimana! ", jawab Markesot.
"Ya enak dong!"
"Enak dengkulmu! Jadi presiden itu susah. Ndak bisa hidup mbambung seperti kita.
Mau tidur mlungker di trotoar depan toko seperti kita, ya mana mungkin. Dan lagi
tanggungjawabnya terlalu besar, kalau salah sedikit saja dosanya bisa tak
tertanggungkan. Lha wong mempertanggungjawabkan kepemimpinan atas diri
sendiri saja susahnya kayak gini... Kalian merasakan sendiri betapa susahnya
memimpin kepala, memimpin tangan, kaki, perut, syahwat...lha wong rambut saja
sudah dipangkas-pangkas terus masih tidak kapok-kapok untuk tumbuh dan tumbuh
lagl...”
"Tapi terus gimana cerita tentang Calpres Sunardi ini! ", desak Markedet.
"Ya pokoknya dia berkeinginan serius jadi presiden. Tujuannya untuk memperbaiki
keadaan, menolong orang melarat, membela penduduk yang disalahi, pokoknya
untuk mengerjakan segala sesuatu yang baik. Niat orang ini sangat murni. Tapi
sayang sekali tidak diimbangi oleh pemahaman yang mencukupi tentang keadaan.
Dia kan tahunya Presiden itu tertinggi pangkatnya, jadi dia yang paling pegang
segala komando. Pokoknya kalau presiden bilang merah ya merah, biru ya biru. Dia
tidak cukup waktu barangkali untuk mempelajari bahwa kehidupan ini tidak
sederhana. Bahwa ada peta nilai yang ruwet. Ada konstelasi warna dan aliran. Ada
pergulatan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang tampak maupun yang
siluman. Sebuah masyarakat, sebuah negara dan pergulatan-pergulatannya tidak
sama dengan angon bebek di mana seorang penggembala cukup membutuhkan
satu tongkat. Kesimpulannya, tamu kita ini terlalu simplifikatif dan pragmatis dalam
melihat persoalan. Saya termasuk orang yang
tidak setuju kalau dia ini jadi Presiden..."
"Lho, kenapa?", tanya Markenyut.
"Karena caranya mengatasi keadaan, aneh..." "Aneh gimana?"
"Misalnya kalau lalulintas di Jakarta sangat macet di semakin banyak area, maka dia
tinggal pasang papan pengumuman di setiap perempatan jalan yang bunyinya:
'Dilarang Macet!' Tertanda : Su...Presiden RI..."
"Apa ya setolol itu?"
"Mungkin tidak, tapi memang dia ini membayangkan bahwa segala sesuatu dalam
kehidupan bangsa dan negara ini berlangsung hanya dalam mekanisme
instruksional. Maka dia …..
(Emha Ainun Nadjib/"Markesot Bertutur"/PadhangmBulanNetDok)
Slamet Pusarbumi
Siapakah orang Jawa pertama yang mendarat di bulan?
Slamet.
Lho?!
Iya. Bahkan Edwin Aldrin disebut belakangan dan Michell Collin tak seberuntung
Slamet.
Dengarkan berita itu kembali dengan seksama:
"Niels Armstrong telah mendarat di bulan dengan Selamat..."
Tentulah ucapan bahasa Indonesia yang baik dan benar menyebut Slamet dengan
selamat.
Makanya, aja dumeh. Jangan pernah remehkan kami orang Jawa. Bahkan, dulu,
Nabi Nuh itu aslinya orang Jawa. Kalau tidak, bagaimana mungkin beliau bisa bikin
perahu raksasa. Di Timur Tengah hanya ada padang pasir dan kegersangan.
Kemudian dari banjir bandang itu bangsa Jawa belajar bijak dan mengerti segala
filsafat hidup yang baik. Maka Muhammad saw. diturunkan di Arab -- tempat
kumpulan manusia paling berangasan.

Bangsa Jawa sendiri membangun aliran kepercayaannya sendiri diam-dian, kecuali


yang tidak. Orang Jawa menjadi Raja di dalam dirinya sendiri. Mereka selalu unggul.
Raja mereka mampu memangku jagat di pahanya, memaku bumi, bahkan Gunung
Tidar itu tak hanya merupakan pusat pulau Jawa, melainkan pusat bumi ini.
Jangan lupa Prabu Puntadewa dikuburkan di Demak dan Pendeta Anoman hidup
kekal di Pulau Jawa menjaga pasungan Rahwana.
Kami selalu menang. Setidaknya merasa menang. Kami selalu unggul dan tinggal
landas.
Setidaknya merasa begitu.

Kami bisa kaya tanpa harta. Kami bisa mangan tanpa sega. Puasa tanpa puasa.
Beramal tanpa amal....
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/Padhang-mBulanNetDok)
Berdzikir Hamba-Ku, Berdzikir!
Kalian berdzikir "Subhanallah"
Maha Suci Allah, Maha Suci Allah
Apa benar kalian mensucikan Aku?
Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku?
Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan dan kemajuan bangsa kalian -
mensucikan Aku?

Kalian berdzikir "Alhamdulillah"


Segala puji bagi Allah, Segala puji bagi Allah
Apa benar perekonomian kalian memuji Aku?
Apa benar gedung-gedung kalian, kantor-kantor kalian, pertimbangan dan
keputusan kalian, kasih dan sepak terjang kalian - memuji Aku?

Kalian berdzikir "Wa lailaha illallah",


Tiada tuhan selain Allah
Hai hamba-Ku, apa benar Akulah yang kalian tuhankan?
Apa benar Aku faktor primer dalam bagan strategi sejarah kalian?
Apa benar Aku yang nomor satu di dalam kerangka akal dan susunan pikiran kalian
Apa benar cinta kalian mendasar kepadaKu?
Apa benar Aku sedang menarik hati kalian, dibanding uang, keuntungan dan
kekuasaan dunia?

Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu di negeri penyembah berhala yang kalian
bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?

Kau lakukan kedhaliman di sana-sini


Merata di seantero negeri
Kedhaliman yang samar sampai yang transparan
Kedhaliman struktural, sistemik
Bahkan kedhaliman yang telanjang dan kasat mata
Kedhaliman bahkan kepada dzatKu
Kepada hakekat dan syariat eksistensiKu
Kemudian kalian ucapkan "Allahu Akbar"
Tanpa sedikitpun rasa malu

Bahkan masjid-masjidmu, yakni rumah-rumah suciKu


Kalian pakai untuk menendangku
Sebagian dari kalian membangun rumahKu dengan sisa-sisa uang perampokan
struktural
Sebagian dari kalian menegakkan rumahKu dengan biaya hasil mengemis-ngemis di
tengah jalan

Kalian mengemis atas namaKu,


Kalian melantikku sebagai Sang Maha Pengemis
Di masjid-masjid kalian tertulis : Allah yang Maha Fakir Miskin.
Oleh karena itu setiap orang perlu menaruh rasa belas kasihan kepadaKu
Dan jika datang seorang koruptor membereskan semua pembiayaan masjid itu,
dialah yang kau puji-puji dan kau sanjung-sanjung.

(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)


Tiap Kecenderungan Budaya Bergerak ke `Titik Pusat'
Kita mungkin tidak hidup langsung di `titik pusat', setiap kecenderungan akan
menuju ke sana. Ke manapun pergi, akan kembali ke titik itu-tergantung kesabaran
kita dalam memahaminya. Setiap penyakit akan mencari sendiri obatnya, lewat kita.
Indonesia di tahun 60-70 an pernah mengalami kesenian yang melambung ke langit-
absurd, penuh fatamorgana dan romantisme-romantisme abstrak, tapi dengan
tenggang waktu ia kembali mencari `akar'-nya, mencenderungkan diri ke `titik pusat'.

Yang disebut `titik pusat' itu mengejawantahkan dirinya mungkin pada ekspresi
verbal seni religius, atau tahap-tahap ketuhanan seperti seni dengan komitmen
sosial. Gejala itu muncul dalam sastra, teater, seni rupa, bahkan juga tari dan musik.

Para pekerja seni itu seolah-olah menjalani proses pencarian akan Tuhan: semula
mereka sangka Ia adalah sebuah materi. Tuhan yang nun jauh di sana, baru
kemudian mereka mengembalikan diri ke `titik pusat' tempat persemayamannya.
Gejala pengembaraan semacam ini juga paralel dengan apa yang dialami oleh
peradaban masyarakat modern di Eropa Barat atau Amerika. Tanaman di kamar
Anda mengarahkan tubuhnya ke jendela di mana cahaya matahari masuk.

Pernah saya mencemaskan anak-anak dusun saya yang perlahan-lahan


menanggalkan mainan-mainan tradisi budaya desanya dan menggantinya dengan
konsumerisme budaya kota. Tapi kemudian saya jumpai dua hal. Pertama, gejala itu
temporer, dengan tak terlalu sukar mereka kembali ke mainan semula. Kedua, yang
penting bukan apa bentuk permainan mereka, melainkan apakah mainan di tangan
anak-anak dinilai oleh naluri mereka sebagai bisa `membudayakan' mereka atau
tidak. Ditanggalkannya kembali mainan-mainan model kota bukan mencerminkan
kemunduran atau konservatisme atau pembelaan budaya pribumi. Melainkan, setiap
masyarakat manusia memiliki daya saring, daya nilai dan resistensi untuk
mengahayati apakah suatu bentukan produk budaya tertentu berhasil memuaskan
`rasa kebudayaan' mereka atau tidak. Setiap manusia dan masyarakat memiliki alam
rasa dan kesadaran naluriah terhadap `titik pusat'.

Pernah juga saya melihat bahwa untuk masyarakat Indonesia, kebudayaan


berfungsi ganda: sebagai alat pertahanan, sekaligus sebagai penghambat
perkembangan.

Maksud yang pertama ialah dimilikinya suatu pola perilaku budaya oleh masyarakat
kita, yang memungkinkan mereka memiliki ketahanan daya hidup dan `kebal''
terhadap berbagai kondisi. Yang kedua, sudah kita ketahui bersama, banyak sekali
faktor-faktor kultural yang menjadi kendala kemajuan dalam birokrasi negara,
profesionalisme, komunikasi, pengorganisasian masalah, pembinaan olah raga serta
pengamalan ajaran agama.

Karena problem yang muncul pada setiap inisiatif perubahan ialah bagaimana
dimensi-dimensi kebudayaan tertentu yang hendak `diberantas' demi `kemajuan',
tidak `disembuhkan' dengan sekaligus melenyapkan fungsinya sebagai perangkat
pertahanan, sebagai penumbuh daya survive-betapapun ia mungkin naif seperti
yang selama ini kita mengerti dari etos pasrah, nrimo dan seterusnya.

Kemudian saya melihat fungsi pertahanan di atas dimungkinkan oleh suatu sikap
budaya yang memakai pandangan bersahaja terhadap kesejahteraan, kebahagiaan
atau kemakmuran-yang merupakan indikator dari `titik pusat'. Masyarakat
`tradisional' kita menempuh jalan praktis yang menerobos secara lebih langsung ke
`titik pusat'.

Berbeda dengan sikap budaya dunia modern yang lebih cenderung mementingkan
keindahan `permukaan bumi', yang membeli kesejahteraan, kebahagiaan dan
kemakmuran dengan harga ekonomi yang jauh lebih mahal. Kebudayaan modern
bahkan dengan sadar menyelenggarakan `perceraian' dengan orientasi `titik pusat'.
Oleh karena itu sikap budaya tradisi yang lebih `telanjang titik pusat' merupakan
penghambat bagi dinamika kesibukan `permukaan bumi'. Dan karena kebudayaan
modern merupakan pemimpin dan penguasa zaman, maka sikap budaya tradisi
`dipaksa' untuk menanggalkan beberapa pokok sikap budayanya sambil belajar
mengintegrasikan diri ke dalam cara-cara kontemporer untuk mengolah
kesejahteraan dan mendatangi `titik pusat'. Seseorang tak bisa lagi bernikmat-
nikmat dalam situasi kebudayaan santai, yang selama ini ia hidupi baik dengan
alasan kelayakan ekonomi maupun tidak. Kini, untuk leha-leha, ia musti menjadi
seorang yang produktif, merambahi karir sampai jenjang
tertentu-baru memperoleh keabsahan ekonomis dan sosial budaya untuk berleha-
leha.

Tetapi saya tidak melihat bahwa kedua sikap budaya tersebut sedang bertentangan.
Kalau mereka bertentangan, dan kita berpihak kepada yang `modern' saja, kita akan
tak memperoleh pokok-pokok sikap budaya `tradisi' yang mustinya
ditransformasikan: kita bisa kehilangan masa silam tanpa mendapatkan masa
depan. Namun kalau kita juga hanya berpihak kepada yang `tradisi', itu tak lain
adalah konservatisme yang lambat atau cepat akan terlindas.

Maka jalan yang paling rasional dari seluruh kenyataan dan kemungkinan di atas
adalah bagaimana kita memproses modifikasi dengan modifikasi kebudayaan dalam
standar kualitas yang memadai. Proses kebudayaan juga selalu merupakan irama
kontinyuitas: segala yang a-historis akan lenyap dengan sendirinya. Modifikasi dan
kontinyuitas itu merupakan keniscayaan sejarah yang semestinya kita terima dan
selenggrakan tanpa kompleks-kompleks.

Romantisme salah kaprah tentang yang kita sangka orisinalitas, kepribumian,


identitas dari dan apapun, bisa kita sembuhkan dengan menginsyafi bahwa di
sekeliling kita dan di dalam diri kita ternyata justru begitu banyak lapis kebudayaan
yang memang sebaiknya hilang. Ketakutan kita terhadap kemungkinan kepunahan
apa yang kita sebut kebudayaan bangsa kita redam dengan penglihatan terhadap
relativitas akar budaya, keharusan untuk kontinyu serta `kerelaan' modifikasi. Kita
justru akan makin gagal untuk berbangga diri sebagai bangsa yang berkebudayaan
tinggi ketika kita berjalan dengan dua wajah: gairah perubahan yang menggebu-
gebu, dan sikap cemberut puritan dan konservatif.

Dan kalau kita kembali kepada awal tulisan ini kita bisa berkata: kenapa musti kita
ciptakan Nyai Rara Kidul kalau bisa kita temukan samudera ilmu, kebenaran dan
kebijakan dari `titik pusat' yang toh makin kita kenali gejala-gejalanya? Kenapa kita
musti korupsi-kultural dengan men-Tera-kan Waitangkung?

Padahal tak ada dosa apapun dan tak ada kehilangan apapun. Kecuali kita kini
masih seorang `purba' yang melarang anak-anak kita bermain sepak bola hanya
karena permainan itu `milik' Belanda....
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Identitas Adalah Klenik yang Sangat Temporer(ii)
Akar, Kontinyuitas, Modifikasi

Sudah tentu bisa kita bilang kita punya pecel dan rendang sementara orang Taiwan
dan Eskimo tak punya. Tentu saja kita suka gengsot ndangdut dan India sendiri tak.
Tentu saja kita memang punya sepakbola Indonesia yang disiplin `kehidupan
sepakbola'-nya—karena latar kultur—sedikit atau banyak lebih mandul dibanding
yang dipunyai Muangthai. Tentu saja kita punya sastra Indonesia yang gamblang
berbeda dengan sastra Nepal serta teori sastra ala Indonesia yang tidak
mempertimbangkan tipologi kultural masyarakat Ukrania. Kita juga mencari ilmu
sosial Indonesia bukan saja karena bangsa Indonesia itu obyek ilmu yang tak bisa
diparalelkan begitu saja dengan manusia Kenya, tapi juga karena proses
keindonesiaan itu sendiri mengembriokan kerangka metodologi keilmuan sosial yang
entah bagaimana tapi mestinya ada. Kita juga punya film yang Indonesia, yang
menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau apapun.

Tapi dengan kreasi dan konsumsi pecel kita tidak selalu dijadikan `kebudayaan
Indonesia'. Dengan gengsot ndangdut seorang pemuda Madura tidak sedang
menyalahi kemaduraannya. Untuk mempertahankan kebudayaan Indonesia kita
tidak harus memelihara kemandulan sepakbola. Sastrawan suku Sumba yang
menulis dengan bahasa Melayu bukan pengingkar kedaerahannya. Kalau turunan
Empu Gandring kini bersekolah dan jadi pakar ilmu sosial, ia tidak sedang
memproses suatu kebudayaan lain yang melemparkannya dari identitas dirinya. Dan
kalau kita terus-terusan berdukalara memburu film yang Indonesia hendaknya
sambil diingat bahwa media film itu sendiri sebagai fenomena komunikasi bukanlah
milik `kita'.

Selalu yang berlangsung pada kita adalah proses modifikasi. Demikianlah sejak
zaman gelap kerajaan-kerajaan entah apa saja di masa lalu, kita terima tamu demi
tamu: malaikat, Hindu, Budha, Islam, Cina, Belanda, berita Kristus, titisan Marx-
Lenin serta entah siapa dan apa lagi—untuk kita jadikan apa yang kita percaya
sebagai `diri sendiri'. Bahkan Tuhan pun datang dan bertamu dan "kita jadikan diri
sendiri". Bahkan akan ternyata bahwa kita sendiri adalah tamu. Atau, pada akhirnya
tersingkap bahwa tamu-tamu itu adalah kita sendiri, sedemikian rupa sehingga `diri
sendiri' itu tahyul, dan identitas itu klenik yang amat temporer.
Sebab pada kenyataan seperti itu yang disebut akar kebudayaan ialah ekor yang tak
terpegang ujungnya. Yang kita sepakati sebagai akar kemudian adalah penggalan
suatu garis yang menyilang sulur sejarah. Seperti juga akar pepohonan yang hanya
menjangkau beberapa puluh sentimeter di bawah permukaan bumi. Akar bukanlah
titik pusat bumi: kebudayaan hanyalah gejala-gejala temporer dan relatif di sekitar
permukaan tanah kehidupan. Sedikit lebih masuk, kita akan ketemu dan `sama'
dengan beberapa kelompok masyarakat lain. Lebih masuk lagi kita berjumpa
dengan seluruh manusia. Lebih masuk lagi kita ketemu dengan alam dan makhluk-
makhluk lain. Dan ketika sampai di titik pusat, kita tak menjumpai beda antara
manusia, alam dan Tuhan.

Hal-hal di atas mendorong kita untuk tidak usah terlalu terdramatisir oleh kecemasan
akan kehilangan kebudayaan. Urusan kehilangan itu substansial merujuk kepada
`titik pusat' yang tersebut di atas.

(selesai)

(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang


Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)

DEVOLUSI PERANGKAT VITAL


Selalu ada waktu untuk melakukan pekerjaan yang "benar" dan "baik".
Selalu tersedia waktu untuk melakukan "pekerjaan benar" dan "baik"
dengan cara yang benar dan baik pula.
Dan selalu disediakan kesempatan untuk membuat "kebijakan" bagi "kebajikan"
untuk sesama makhluk dunia.

Kebijakan yang tidak membuahkan kebajikan adalah proses "disfungsi perangkat


organik" dari "harkat kemuliaan" manusia.
Harkat adalah derajad sedang kemuliaan adalah potensi.
Potensi yang ditaburkan Tuhan ke dalam `hati´ manusia.
Manusia bukanlah `sosok makhluk mulia´, namun ia diberikan potensi kemuliaan. Ia
akan menjadi makhluk mulia ketika potensi kemuliaannya difungsikan, sebaliknya ia
dapat menjadi makhluk yang hina ketika potensi kemuliaannya diabaikan.

Hati adalah "perangkat -vital" organ kemanusiaan-manusia, dimana terdapat potensi


kemuliaan yang tersimpan di dalamnya. Di dalam potensi kemuliaan terdapat
kemampuan untuk berlaku `bijak (wise)´. Dan ketika perlakuan bijak dilaksanakan,
maka `bajik (goodness)´ dapat dirasakan oleh orang-orang yang tersentuh oleh
taburan kebijakan yang dibuatnya.

Kebijakan bukanlah policy, karena kebijakan dilaksanakan oleh perangkat vital


manusia yang bernama hati, dimana ketulusan dan keikhlasan bersemayam. Policy
adalah produk dari serangkaian olah pikir yang digerakkan oleh energi `ambisi´ dan
dikemas dalam bentuk strategi.
Seperti yang pernah diajarkan, bahwa dalam kemasan "strategi (strategy)" terdapat
siasat, yang di dalamnya juga ada kandungan "taktik (tactic)" dan di dalam taktik
terkandung elemen "trik (trick)" atau bahasa awamnya pengelabuan.
Stategy orang yang berusaha tulus dan ikhlas adalah "Strategi untuk tidak
berstrategi", karena dalam vibrasi keikhlasan tidak terkontaminasi oleh nada
sumbang pengelabuan (tricky). Bagi pendidik yang ikhlas tidak perlu ada `strategi
pendidikan´, karena mendidik adalah pekerjaan mulia yang memerlukan kelapangan
dada. Bagi pemimpin yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pembangunan´, kerena
mensejahterakan rakyat adalah konsekwensi tanggung-jawab pengabdian diri sang
pemimpin kepada TuhanNya.

Devolusi (devolution) adalah serangkaian proses degenerasi yang berlaku secara


massal yang diawali oleh perubahan `kebiasaan mata (what I see)´, `kebiasaan
mulut (what I say, what I eat and what I drink)´ dan `penerimaan telinga (what I hear)
´ yang matang menjadi `persepsi (perception)´ hingga mampu merubah `perilaku
(behavior)´ yang menyimpang dari hakekat, maksud dan fungsi penciptaan dirinya.

Jika burung beo, mampu mengucapkan selamat pagi atau good morning
sebagaimana yang diajarkan tuannya itu namanya Evolusi..
Perilakunya berubah ketika menyapa siapa saja yang ada dihadapannya. Ketika
masyarakat harimau tidak berebut daging yang diberikan tuannya dan tidak berebut
wilayah serta bertarung untuk memperebutkan siapa yang berhak menjadi raja
rimba, maka ia mampu berlaku `mirip´ sebagaimana hakekat penciptaan manusia.
Kedua binatang ini lebih beradab daripada generasi sebelumnya.

Ketika dalam masyarakat manusia, ada tatanan yang mengatur perebutan


kekuasaan dan kekuatan maka fenomena ini disebut devolusi. Hakekat peradaban
masyarakat manusia bukanlah siapa yang berhak menjadi penguasa, melainkan
siapa yang "layak" menjadi "pemimpin (leader)". Dalam tata nilai masyarakat
manusia beradab, seseorang tidaklah perlu mengikuti ukuran siapa yang "kuat
(powerful)", melainkan siapa yang mampu memberikan "manfaat (usefulness)"

Devolusi menghasilkan generasi yang derajatnya lebih rendah (down-grade


generation) dari induknya. Devolution is not only biological fallacy, but is the process
of the tenancy of humanimalization! Demikian kata Gregory R. Mendoza

Bijak, bajik, tulus, ikhlas, pemimpin dan manfaat atau policy, strategi, kekuasaan dan
kekuatan serta ambisi semuanya benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang
perlu disalahkan. Bukan saya benar, anda salah atau anda benar dan saya salah.
Urusannya bukan terletak pada kecerdasan manusia atau kreatifitas dalam berbuat,
melainkan pada tingkat kepekaan hati untuk merasakan koordinat posisi diri dan
memahami ke-arah mana ia sedang menempuh jalan.

Tak layak melarang se-ekor katak untuk berhenti meloncat, karena sesungguhnya ia
sedang berjalan. Tak layak melarang ayam untuk berkokok, karena sesungguhnya
ia sedang menyapa dunia. Namun anda boleh tertawa ketika ada se-ekor Monyet
yang sudah menggenggam pisang lalu dibuang karena menginginkan `banana´ yang
dimakan se-ekor Monkey.

"Laku lampah tumapak ing sadengahing titah. Sitinggil tan keno rinekodoyo
(perjalanan selalu berlaku pada setiap makhluk. Harkat-martabat tak dapat di
rekayasa)"
Identitas Adalah Klenik yang Sangat Temporer(i)
"Kasus" Pancasila dan lubuk sikap budaya kemanusiaan menunjukkan bahwa
sejarah kebudayaan selalu merupakan proses berbagi. Tema orisinalitas dan tanda
identitas menjadi amat relatif. Dalam keadaan ini kita temukan seolah `yang paling
kebudayaan' ialah dimensi-dimensi kedalaman. Tetapi `roh dalam' itu sendiri
universal, bahkan berdimensi (dari dan menuju) transendental.

Kita mungkin akan menyebut masyarakat Baduwi atau Amish Society untuk
`pemihakan' kepada keaslian kebudayaan. Padahal itu bukan `kasus kebudayaan'
seperti yang dimaksud oleh standar pengertian kebudayaan yang biasa kita
maksudkan, melainkan kasus dunia dalam: sikap rohani, prinsip religousitas, pola
tertentu dari ketakwaan dan keimanan.

Kalau umpamanya kita ambil sudut pandang bahwa kebudayaan ialah `kepribadian
masyarakat':
kita mengerti keduanya tidak lahir dan tumbuh secara ekslusif dan `otonom'.
Kebudayaan selalu berupa hasil pergaulan, saling memberi dan meminta, antar
individu, antar kelompok masyarakat. Kita tidak akan pernah bisa `menghentikan'
individu sebagai individu itu sendiri sepenuhnya-apalagi kalau kita percaya
`seseorang lahir dari dan karena orang lain', `engkau ada karena yang lain karena
ada'. Demikian pula kedudukan setiap masyarakat-apabila kita bayangkan ia-
sebagai individu. Kepribadian `individu masyarakat' terbentuk ketika dan karena
pernah meminta dan memberi.

Proses saling berbagi itu berlangsung dalam berbagai konstelasi: masyarakat-


masyarakat, individu-masyarakat, bahkan Tuhan-individu-masyarakat, dst. Di
Indonesia struktur kekuasaan yang jelas berupa negara-masyarakat-individu. Urutan
itu menunjukkan tingkat besarnya kekuasaan. Kekuasaan negara yang besar atas
masyarakat dan individu mencerminkan-misalnya-sistem dan kultur politik di mana
daya tawar-menawar masyarakat dan individu rendah. Meningkatnya daya tawar-
menawar itu hanya dimungkinkan jika sebuah individu merangkak naik bergabung
ke dalam `individu negara'. Meningkatnya daya kekuasaan masyarakat paralel
dengan berlaku tidaknya mekanisme demokrasi.

Kekuasaan masyarakat atas individu muncul dalam kuatnya kontrol masyarakat atas
individu. Batas antara lingkar urusan sosial dan urusan pribadi tak jelas. `Pribadi
masyarakat' sangat ikut campur pada `individu pribadi'. Ketika kita pacaran dengan
mahasiswi kost di kampung itu, kita berlaku sebagai `pribadi individu' yang melawan
`pribadi masyarakat' yang mewajibkan kita pulang sebelum jam sepuluh malam
dalam keadaan utuh. Ketika kita menjadi petugas Siskamling dan menangkap basah
muda-mudi yang hampir berzina di paviliun sebelah itu, kita berlaku sebagai `pribadi
masyarakat'. Atau bisa juga ketika menangkap itu sebenarnya kita berlaku sebagai
`pribadi individu', ialah karena cewek itu sesungguhnya kita senangi tapi diambil
pemuda yang lebih terpelajar dan dibekali Bapaknya, Jimmy yang masih kincling-
kincling.

Individu dan masyarakat kita masih sedang belajar untuk berbagi. Individu
menawarkan demokrasi dan mungkin liberalisme, masyarakat menyodorkan hukum
moral, kesehatan akhlak, atau bukti kebutuhan individu terhadap pendidikan dan
kontrol masyarakat.
Lha Baduwi dan Amish berbagi dengan siapa?

Mungkin dengan penghayatan mereka terhadap alam, Tuhan, individu dan


masyarakat lingkar mereka sendiri. Mungkin mereka berkata: "Tuhan tidak bertanya
kamu pakai baju apa, pernah bikin musik eksperimen atau tidak, tetapi apakah kami
mendorong kehidupanmu kepada-Nya". Atau, "Tuhan bisa saja peduli kepada
pesawat Columbiamu atau rekor-rekor internasionalmu, tetapi yang ditanyakan
bukanlah kecanggihan teknologi dan prestasimu, melainkan nilai apa yang kau
berikan kepada pekerjaan itu". Artinya, tak penting apapun saja model `kebudayaan'
yang dibangun, tapi ia bermakna apa bagi kehidupan.

Yang manakah yang lebih kebudayaan: bangunan budayanya ataukah pemberian


maknanya? Seorang Kiai akan bilang, "Terserah engkau akan berperilaku budaya
seperti apapun atau berkarya budaya sedakik apapun, tetapi yang menjadi pokok
kebudayaan manusia sebenarnya ialah apakah karya dan perilaku tersebut bisa
menjadi perangkat dan penyemangat ketakwaanmu. Kalau engkau memandang
karya sebagai karya itu sendiri, sebenarnya itu adalah kapasitas penyembahan
berhala."

Jadi untunglah kita sudah senantiasa memaparkan bahwa syarat pertama untuk
menjadi menteri, anggota DPR, padagang, tukang bakso, sinden maupun petinju,
ialah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kalau pembicaraan mengenai kebudayaan pada akhirnya tak bisa mengelakkan diri
dari dimensi-dimensi kedalaman, yang universal dan mungkin transendental, maka
tampak betapa relatifnya standar-standar yang selalu kita pakai dalam
membincangkan kebudayaan. Dengan penuh kekhusukan kita selalu merindukan
`Film yang Indonesia', Kritik sastra yang Indonesia', Sistem ekonomi yang
Indonesia', Ilmu Sosial yang Indonesia', bahkan `Sepakbola yang Indonesia'.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak(ii)
Lubuk Sikap Budaya Kemanusiaan

Dengan ringan sering kita kemukakan Pancasila adalah endapan rumusan asli
kebudayaan bangsa Indonesia—meskipun yang diambil ialah lapis filsafatnya. Kalau
itu kita sepakati, berarti kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kemanusiaan
seluruh penduduk di muka bumi.
Pancasila bersifat universal dan kita bisa jumpai Pancasila di alam fikir dan alam
rasa masyarakat manapun di dunia—termasuk kalangan masyarakat yang mungkin
merasa tidak ber-'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sebab apa yang disebut keadilan
sosial, demokrasi, kebijaksanaan atau peradaban, sesungguhnya tak lain dari
dimensi ketuhanan.

Seluruh penduduk bumi berkeberatan Pancasila dihilangkan. Tapi Pancasila bukan


kebudayaan melainkan sebagian butir ayat Tuhan yang ditemukan oleh kreativitas
manusia. Dengan keterbukaan Pancasila terhadap berbagai kemungkinan
penerjemahan makna dan sistemisasi nilai-nilainya, kita bukan saja tidak akan
memusnahkan `kebudayaan Indonesia', melainkan justru sedang mencarinya. Ini
lepas dari kemungkinan bahwa Pancasila dimanipulir, diredusir atau dimonopoli oleh
salah sebuah kekuasaan politik dan pemikiran—sehingga menjadi ekslusif dan
menjadi alat kekuasaan.

Dengan demikian Pancasila tidak menyediakan jawaban bagi pertanyaan


kebudayaan Indonesia. Ia justru menunggu jawaban itu: ia adalah ruh yang
menunggu badannya tiba. Bahkan dengan jujur bisa kita kemukakan bahwa dari
sejarah pra-Indonesia kita hampir tidak memiliki—substansial dan sistemik—
pengalaman yang terkandung di dalamnya, seperti, kerakyatan, keadilan sosial,
hikmat kebijaksanaan dan musyawarah dalam arti sebenar-benarnya. Kita lebih
banyak punya kerajaan, kesepakatan semu, atau kebijaksanaan yang diungkapkan
mewakili realitas yang bermakna sebaliknya.

Dengan fenomena Pancasila yang berposisi mirip `roh terbengkalai' kita justru
dengan sadar sedang membuangi banyak hal yang selama ini kita kenali sebagai
kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan Pancasila seolah kita sedang berusaha
berdoa semoga terjadi kehilangan-kehilangan tertentu dalam yang kita sebut
kebudayaan Indonesia.

Ambil `perilaku sosial' umpamanya. Feodalisme adalah realitas kenegaraan dan


kemasyarakatan yang—pasti—termasuk di antara yang kita maksudkan sebagai
kebudayaan asli Indonesia. Feodalisme, pada masyarakat kita, sudah tidak harus
langsung berkaitan dengan penguasaan tanah atau pola kekuatan lain: ia sudah
bisa terjadi sebagai kebiasaan yang seolah tanpa `sebab'. Ia sudah suatu
keniscayaan soial budaya. Semoga hilang, kan?

Kalau Camat makin cenderung menjadi Raja kecil, kalau seorang dosen makin
malas dan gengsi untuk membawa tasnya sehingga menyuruh pegawai kantor
fakultas untuk mengambilnya di mobil, kalau rumah-rumah menjadi potret kecil
kerajaan kerucut-feodal, kalau sebuah perusahaan stagnan `profesionalisme'-nya
berdasar hirarki usia sehingga untuk bisa maju musti nunggu Boss `modar mampus',
kalau dosen-dosen agen modernitas berperilaku seperti Ibu-ibu kampung cari kutu
sambil ngrasani dan nggosipkan urusan pribadi orang lain, kalau duren itu enak apa
tidak terserah keputusan Bapak, kalau pelajar dan mahasiswa harus mengemis dan
melayani para pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kalau sang
mahasiswi musti bersedia dipacari oleh Pak Dosen supaya lulus, kalau pemimpin
agama dan tokoh partai boleh pesan cepat dapat ijazah sarjana dengan hanya
kuliah setahun dua kali di universitas petualang, kalau dan kalau—maka tentulah
semoga kebudayaan macam itu segera musnah.

Kalau hal-hal macam itu yang kita sebut kebudayaan Indonesia, maka benarlah kita
yang terus berfikir untuk menemukan `kebudayaan lain.

Atau identitas materiil? Kita bisa melihat soal yang sederhana: mungkin kita
bermaksud tidak mengganti batik dengan jeans atau bertahan pada tikar pandan
dan menolak tikar plastik. Di mana kita berdiri? Lebih pada memandang pengusaha
batik sebagai produser identitas budaya pribumi, atau pengusaha batik sebagai
kelas ekonomi yang makin lemah? Memandang industriawan kecil tikar pandan
sebagai pengabdi kebudayaan nasional atau sebagai teri yang ditindih oleh modal
besar? Apakah kita akan berkata: "Biar saja dimelaratkan asal entah bagaimana
bertahan pada pola budaya tradisi," ataukah: "Yang penting ialah meningkatkan
daya negosiasi ekonomi, dan bukan mempertahankan sentimen budaya yang toh
akan punah tergusur." Sesungguhnya pilihan aksentuasi perhatian kita berangkat
dari lubuk sikap budaya kemanusiaan kita. Lubuk sikap itu lebih merupakan indikator
kebudayaan dibanding apa yang telah muncul sebagai `fisik kebudayaan'.

Akan tetapi pandangan terakhir ini terelativisir apabila kita mengejarnya lebih dalam.
Lubuk sikap budaya kemanusiaan itu disumberi mungkin oleh naluri nurani, mungkin
juga oleh prinsip-prinsip agama. Sehingga di sini indikator identitas kebudayaan itu
gugur.

(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak (i)
Alangkah `kekal' persoalan kebudayaan! Alangkah kongkret ia: menguras cinta,
harga diri, tapi juga kecemasan. Dan, pada saat yang sama, alangkah abstrak!
Teramat luas dan rumit pengertiannya, dengan ratusan definisi dan ribuan
pemahaman.Tiap hari kita menggunakan kata kebudayaan, seolah-olah ia
sedemikian jelas. Tiap hari pula kita memperdebatkannya, seolah-olah tak satu
kalipun pernah kita genggam kejelasannya. Bagai sungai deras airnya, mengalir dan
bergerak. Kita terpesona atau cemas. Kita ciduk segelas air darinya: air itu tetap air
sungai itu, tapi juga sudah bukan air sungai itu, melainkan air gelas. Keduanya
sangat berbeda. Seolah-olah kita harus menciduk bukan saja airnya, tapi juga
geraknya, alirannya!
Kita bisa membedakan antara dua skala pengertian: seni-budaya dan kebudayaan.
Seni-budaya itu sempit saja artinya. Yakni ekspresi estetis. Terserah apakah yang
diekspresikan itu bersumber dari keseluruhan dimensi kehidupan manusia, ataukah
bagian tertentu saja. Terserah apakah ia dibagi menjadi yang tradisional dan yang
modern, ataukah dibagi berdasar pendekatan lain yang bermacam-macam. Juga
terserah apakah ekspresi itu dirahimi oleh semangat estetika saja ataukah
dibayitabungkan oleh ideologi, politik dan agama. Yang penting batasnya sebagai
ekspresi estetika.

Adapun kebudayaan itu sedemikian luasnya sehingga mungkin saja tak pernah
sungguh-sungguh bisa dimengerti. Disebut bahwa segala kecenderungan yang
terjadi dalam politik, ekonomi, hukum, birokrasi atau ritus, adalah cermin dari
bagaimana kebudayaan manusia mengolah sejarahnya. Agama, yang `tercampak'
dari langit, di-'budaya'-kan oleh manusia. Dalam jumlah rentang waktu tertentu dari
proses kreatif sejarah, kebudayaan disebut peradaban. Tetapi tradisi kebudayaan
tertentu yang terjumpai secara `mikro' lewat perilaku-kecil seorang dusun, juga
disebut peradaban. Yang jelas sikap dan gaya manusia dalam menghadapi
kehidupan, persoalan, lombok, logam, cinta, langit, Tuhan dan gejala-gejala alam,
mencerminkan apa yang disebut kebudayaan.

Misalnya Anda mungkin terlibat organisasi yang mengelola dan menyantuni


kepentingan beberapa pihak: buruh, petani, nelayan, wanita, dan seniman-
budayawan. Seni-budaya adalah bagian seperti wanita adalah juga bagian. Tapi
kebudayaan, ialah inisiatif, landasan, iman atau apapun yang mendasar bagi
kemanusiaan yang `mengilhami' dan memberi ruh kepada semua segi tersebut.
Kalau kata `ruh' segera kita konotasikan kepada Agama, maka yang dimaksud
tentulah Agama yang telah di-kebudayaan-kan.

Tetapi apakah sesungguhnya yang paling kebudayaan dari seluruh pengertian di


atas?

Apa tanda-tanda yang dipersyaratkan bagi sebuah kebudayaan suatu kelompok


masyarakat? Dengan logika bahwa jika tanda-tanda itu lenyap berarti lenyap pula
kebudayaan masyarakat tersebut? Atau kebudayaan bukanlah tanda-tanda yang
tampil, melainkan `rohani' di belakang tanda apapun?

Kalau orang Aceh nanti mengganti Randai dengan teater modern dan orang Jawa
memproses Ketoprak menjadi bukan lagi ketoprak, apakah Aceh dan Jawa
kehilangan kebudayaannya? Kalau anak Obahorok tak lagi pakai koteka, cucu
Kromoembuh tak lagi pakai blangkon, apakah mereka meninggalkan
kebudayaannya? Kalau Mukini dari Sumenep tak lagi memandang bahwa pohon di
sudut desa itu angker, kalau penduduk Sulawesi Selatan menjadi anti-sirik, apakah
mereka berubah kebudayaan? Kalau Jaka Kendhil kini tak lagi berklenik-klenik dan
mengubah namanya menjadi Jack Kendall sambil suka memegang-megang jidatnya
tanda sudah menjadi intelektual canggih, apakah ia Malin Kundang dari Ibu
kebudayaannya? Kalau lingkungan yang semula penuh dupa menyan kini
bersajadah, yang dulu pecandu tahayul berat kini rasional, dulu primitif kini
pascaprimitif, dulu khusuk mengabdi ke atas kini kenal demokrasi—telah
meninggalkan kebudayaannya?

Adakah modernisasi berjalan bertentangan dengan apa yang kita maksud dengan
kebudayaan? Bagaimana menjelaskan bahwa sesungguhnya kita sedang
mengkerjasamakan inisiatif modernisasi dengan pemeliharaan orisinalitas
kebudayaan?

Alhasil, pada lapis dimensi mana tanda-tanda kebudayaan itu kita temukan?
Perilaku sosial? Kecenderungan umum? Sikap kealamsemestaan? Warna sejarah?
Karya seni? Ketakwaan dan kepercayaan? Cara memasak sayur? Gaya hidup?
Atribut identitas material? Bahasa?

Secara khusus kita juga bertanya bagaimana bisa sekaligus kita berbincang tentang
kebudayaan Indonesia yang belum jelas, `baru dicari' dan `belum ketemu', dengan
tentang `kebudayaan Indonesia yang dikhawatirkan akan punah'? Apa saja yang
sebenarnya kita khawatirkan akan punah?

(bersambung)------>
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Kesedihan Sosial
Beragam tema dalam sedikit banyak tulisan saya seringkali merupakan `tangan
panjang' dari sesambatan [pengaduan, keluh kesah] banyak orang yang
disampaikan melalui saya. Baik yang datang langsung menemui saya maupun yang
menumpahkannya secara tertulis di dalam surat-surat yang `pilu'. Keluhan dari—
kebanyakan—wong cilik. Yang menderita karena nasib-nasib personalnya maupun
karena `musibah' strukturalnya.
Tapi saya memperkirakan bahwa sisa usia saya di dunia ini akan lebih banyak diisi
oleh kesedihan dibanding kegembiraan. Karena kebanyakan problem yang sampai
pada saya itu tidak mampu saya carikan penyelesaiannya. Sebab saya sendiri juga
tidak lebih dari wong cilik [rakyat kecil] juga, yang lemah dan tidak berdaya.

Saya selalu sangat sedih karena betapa banyak saudara-saudara saya yang saya
tidak sanggup menolongnya, tidak mampu mengeluarkannya dari problem yang
menimpa mereka. Jadi, kesedihan hati saya ini kesedihan sosial, bukan kesedihan
pribadi. Kalau pribadi, saya sudah terlanjur mengusahakan diri untuk tidak sedih dan
tidak gembira. Biasa-biasa saja. Meskipun saya diperlakukan seperti seorang
pencopet yang diawasi setiap gerak-gerik saya. meskipun saya (pernah) diisukan
pindah Agama, dituduh mengacau oleh para pengacau, meskipun ada selebaran
gelap menyebut saya iblis atau dajjal, bahkan dengan begitu saya memperoleh
tawaran kemuliaan, yakni dengan mendoakan ampunan Tuhan bagi mereka.

Dan saya jamin di dalam seluruh tabung kesedihan dan kegembiraan itu hanya saya
muatkan rasa syukur yang mutlak kepada Tuhan. Ada juga sih rasa jengkel,
mengkel [marah], gedeg, dan lain sebagainya, tapi selalu saya upayakan untuk saya
tepis. Yakni pasti, harus tidak ada amarah atau rasa dendam, meskipun kepada
orang yang menikam punggung saya ataupun menusuk hati saya.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Kadar Kesetiaan
Sedemikian tinggi dan mendalamkah seorang hamba Allah mesti terbang dan
melayang ke semesta ilmu dan kemuliaan? Tidakkah manusia bisa bersikap wajar
dan biasa-biasa saja? Ataukah itu alibi untuk memaafkan kelemahan diri,
keterbatasan, dan kekurangannya dalam melakukan sesuatu?

Jangan dengarkan suaraku, karena suaraku buruk. Dengarkanlah suara Tuhan...

Kalau suaraku buruk, orang justru akan sangat mengingatnya karena tersiksa. Kalau
suaraku agak bagus, orang mengingatnya, tapi dengan kadar yang lebih rendah
dibanding ingatan terhadap suara buruk -- sebab kecengengan manusia terhadap
penderitaan cenderung lebih besar dibanding rasa syukurnya terhadap
kegembiraan.

Dengan ungkapan dan jawaban saya itu kenapa kau terpaku pada suaraku? Di
situlah letak ketidakberhasilan yang saya maksud.
Orang menikmati terangnya lampu tanpa mengingat kabel listrik.
Orang menikmati makanan enak di warung dan tidak bertanya siapa nama orang
yang memasaknya di dapur. Penyanyi, pembaca puisi, qari, pelukis, muballigh,
penyampai ilmu, pembawa hikmah, atau fungsi-sungsi nilai apa pun, hanyalah 'kabel
listrik'.

Tidaklah senonoh kita menuntut orang untuk mengagumi kita sebagai kabel listrik,
sebab yang sampai ke mereka adalah cahaya. Tukang listrik jangan kasih dan taruh
lilitan kabel-kabel ke wajah orang. Kita para seniman, ulama, pengurus negara,
pekerja sosial, fungsionaris-fungsionaris sejarah, di wilayah mana pun dari
kehidupan umat manusia -- wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia --
hanyalah pengantar cahaya, bukan cahaya itu sendiri. Seperti rembulan, kita hanya
memantulkan cahaya matahari agar menimpa bumi. Terkadang kita malah
merekayasa berlangsungnya gerhana matahari untuk mengantarkan kegelapan,
tetapi sambil memobilisasi orang untuk mengagumi kita.

Seandainya pun sebagai rembulan kita setia memantulkan rahmat Tuhan ke bumi
kehidupan manusia, yang kita andalkan untuk mendapatkan nilai bukanlah cahaya
itu sendiri, melainkan kadar
kesetiaan.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

HIDUP: MEREM ATAU MELEK


Kearifan atau kedalaman penghayatan atas hidup tidak hanya bisa datang dari para
filsuf atau perenung yang "sudah terakreditasi" dari Socrates hingga Damardjati
Supadjar, tapi bisa juga lahir dari orang-orang "biasa" yang seringkali tak terduga.
Alur berpikirnya mungkin tak sesistematis para filsuf kondang, tapi ungkapannya
boleh jadi tak kalah berbobot dengan mereka. Kadangkala apa yang dikatakannya
tampak begitu sederhana meski bukan berarti bersifat menyederhanakan atau
bahkan nggampangke.
Contoh tentang hal itu datang dari seseorang yang pernah saya temui di suatu sore
di sebuah kampung di Yogyakarta yang dengan sangat dalam mengatakan pada
saya bahwa sebenarnya
hidup itu isinya kan cuma dua hal. Apa itu? " Merem atau melek!" , jawabnya. "Ya,
kalau pas melek kalau bisa ya berbuat baik!", tambahnya. Hidup yang begini silang
sengkarut, ramai, riuh rendah dan penuh tetek bengek di matanya cukup berintikan
dua fenomena saja: merem atau melek.
Dalam merem -tidur- tak banyak hal yang terjadi, paling jauh mimpi (baik basah
maupun kering) atau molet alias menggeliat.
Intinya: hilangnya kesadaran dan tidak bekerjanya sebagian besar indra dan organ
tubuh kita, sehingga sangat sedikit aktivitas yang bisa kita lakukan. Tapi dalam
melek , banyak peristiwa kita saksikan, banyak suara-suara kita dengarkan, banyak
makanan minuman kita telan, banyak kegiatan kita kerjakan. Sebab, dalam melek ,
tidak sebagaimana pada waktu merem , sebagian besar indra kita berada dalam
keadaan aktif.
Nah, pencetus "merem atau melek" itu mewanti-wantikan agar dalam situasi melek
kalau bisa kita berbuat baik. Dan, di situlah masalahnya: di tengah banyak indra kita
yang aktif kita dituntut untuk mempunyai kontrol yang kuat untuk bisa
mengendalikan organ dan indra dalam diri kita. Padahal, sadar atau tidak, dalam
keadaan melek banyak hal yang bernilai kurang baik, entah haram atau syubhat,
yang kita kerjakan.
Mungkin mata kita memandang apa yang seharusnya tidak kita pandang. Mungkin
telinga kita mendengarkan apa yang sebaiknya tidak kita dengarkan. Mungkin
pikiran ita habis untuk ngrasani
kejelekan orang lain atau merencanakan hal-hal yang makar kepada Allah. Dan
seterusnya dan seterusnya.
Dalam konteks merem dan melek itulah, Maiyah -sebagai konsep maupun acara-
pada hemat saya bisa kita pandang sebagai sejenis cara yang secara sadar
ditujukan agar kita memiliki kemampuan dalam mengendalikan indra-indra kita pada
saat melek. Maiyah bisa kita hayati sebagai sebuah pengkondisian yang
memungkinkan kita untuk senantiasa terlibat dalam proses kebaikan sehingga melek
yang kita alami benar-benar efektif dan tidak mubadzir dengan terserap kepada hal-
hal yang
tidak-tidak. Ya, meskipun ketika bunyi-bunyian musik dan shalawat itu mengalun kita
mengikutinya dengan merem. Atau, ketika menghadiri acara maiyah, mungkin kita
mengikutinya dengan terkantuk-kantuk alias "merem" seraya, meminjam ungkapan
Ustadz Wijayanto, memproduksi aqua alias ngeces. Wallahu a'lam.
(Emha Ainun Nadjib/2003/PadhangmBulanNetDok)
Dermawan Umar
Teman kita satu ini sering kami juluki sebagai Umar bin Khattob. Bukan saja karena
perangainya yang keras dan sikapnya yang tegas dalam menggenggam nilai
kebenaran dan keadilan. Tapi terutama karena ia 'membuang' hampir 75%
kekayaannya untuk orang banyak yang membutuhkan, sebagaimana Sayyidina
Umar.

Macam-macam cara dia `beramal'. Misalnya ia menjadi "Bank Tanpa Bunga",


meskipun omset kecil-kecilan, untuk para tetangga yang betul-betul membutuhkan.
Terserah para tetangga sendiri mau janji gimana, mau nyicil per-berapa dan berapa
bulan sekali. Sebenarnya sih uang itu mau dia kasihkan saja, tapi kalau metodenya
demikian, akan tidak menguntungkan bagi pendidikan dan etos tanggungjawab bagi
para peminjam.

Macam-macam pula orang datang kepadanya untuk minta bantuan. Uang untuk
mengurangi keterjeratan dari rentenir. Uang untuk membeli tiket menemui Ibu jauh di
seberang pulau. Uang untuk kepanitiaan ini itu. Uang untuk lara-lapa [bersusah
payah, berusaha] mengembara mencari ilmu. Uang untuk menggali tokoh
tersembunyi di daerah sana untuk diwawancari dan dijadikan buku. Uang untuk
biaya rumah sakit. Uang untuk bikin master rekaman musik. Uang untuk tambahan
biaya mau jadi sarjana utama. Uang untuk baca puisi keliling. Dan lain sebagainya.

Dan Umar kita ini tidak bisa tahu sebenarnya siapa saja yang datang kepadanya.
Dia tidak mungkin ngetes [menguji] apakah ia jujur. Uang yang diterimanya nanti
akan digunakan untuk apa. Juga dia tidak menyelidiki apakah orang yang minta
bantuan itu sungguh-sungguh kepepet ataukah ngarang [merekayasa, fiktif] saja.

Sebab bagaimana akan tahu? Betapa tersiksanya untuk tidak percaya kepada
sesama manusia? Untuk menanyakan punya KTP atau tidak, untuk menguji apakah
benar ia sedang menderita. Begitu banyak orang yang datang, dan ia hanya bisa
melakukan satu hal: mempercayai mereka dan mengungkapkan kasih sayang sosial
sejauh yang ia mampu.

Suatu hari sesudah seorang Ibu datang kepadanya nangis-nangis menceritakan


penderitaan hidupnya, lantas ia kasih uang—kawan-kawannya berkomentar, "He!
Kau ditipu. Orang itu acting saja. Biasa modus operandi macam itu!"

Umar kita menjawab, "Kayaknya sejak awal saya sudah tahu bahwa Ibu itu menipu.
Tapi keadaannya memang kongkret memerlukan bantuan. Bahwa untuk
mendapatkan bantuan ia menggunakan cara menipu, itu urusan dia. Saya tidak
punya posisi untuk menuding atau membuktikan bahwa ia menipu, tapi saya juga
tidak bisa sekedar menganggapnya menipu sehingga tidak saya kasih bantuan.
Jadi, biarlah dia menipu, biarlah dia puas bahwa saya seakan-akan percaya pada
tangisnya. Kalau tidak salah, Tuhan sendiri tahu persis bahwa sangat banyak
hamba-hamba-Nya menipu-Nya tiap hari. Mengingkari janji untuk patuh kepada-Nya,
padahal ngapusi [bohong/dusta]. Tapi apakah dengan itu lantas Tuhan
menghentikan terbitnya matahari, gara-gara Dia mangkel [sakit hati] ditipu
manusia?"

Namun akhir-akhir ini si Umar tidak bisa lagi gemagah [merasa paling gagah] dan
mbagusi [merasa paling bagus] dengan memamerkan kebesaran jiwa seperti itu.
Karena perlahan-lahan muncul isyu dan bahkan selebaran gelap yang
mendiskreditkan namanya. Misalnya, dikatakan bahwa amal-amal yang dilakukan itu
sebenarnya sekedar untuk menutupi kenyataan bahwa ia mendapatkan biaya besar
dari suatu pihak yang rahasia untuk menciptakan gerakan-gerakan subversif.
Selebaran dan telepon-telepon gelap lainnya menyatakan bahwa ia membiayai X
dan Y untuk pergi ke suatu tempat membeli sejumlah bahan peledak.

Ketika saya konfirmasikan kepadanya ia menjawab, "Saya hanya didatangi macam-


macam orang yang minta tolong kepada saya. Kalau saya tidak ngasih, nanti
mereka marah. Kalau saya kasih, mungkin saja pemberian saya itu mereka pakai
untuk sesuatu yang tidak saya tahu.

Sekarang saya jadi ingat, terkadang satu dua orang datang mengatasnamakan
kelompok yang memerlukan dana: sesudah saya kasih tahu bahwa tidak semua
yang saya berikan itu disampaikan kepada kelompok. Diunthit [dikorupsi] sebagian
untuk pribadi mereka..."

"Lantas bagaimana?" tanya saya lebih lanjut.

"Saya jusru ingin minta bantuan nasihat kepada Ente," katanya, "Mungkin kalau
orang datang minta sesuatu kepada saya, hanya saya kasih bantuan kalau ia
membawa surat dari pihak yang berwajib yang melegitimasikan permainannya itu.
Juga dalam serah terima bantuan itu harus melalui surat hitam di atas putih yang
jelas. Lucu ya?"
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Indonesia Tak Butuh Iblis
Dalam kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-nyebut kata
iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, tuhan atau Tuhan,
fir’aun, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dlsb.
Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu
sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia.
Misalnya ada lima kategori manusia. Kategorisasi ini memakai idiom fiqih Agama,
tapi tidak dimaksudkan debagai prinsip hukum, melainkan budaya.
Ada ‘manusia wajib’, artinya orang yang orang lain tak mau kehilangan dia, karena
dia baik dan dicintai. Ada ‘manusia sunat’, di mana orang merasa eman kalau nggak
ada dia, meskipun tidak menggebu-gebu mempertahankannya. Ada ‘manusia
mubah’ atau ‘manusia halal’, yakni yang wujuduhu ka’adamihi, ada dia kita nggak
untung, nggak ada dia kita nggak rugi. Ada ‘manusia makruh’, di mana orang
merasa lebih baik nggak ada dia daripada direpoti olehnya.
Terakhir yang paling gawat: ‘manusia haram’. Orang bersikeras agar dia tak ada,
agar dia dijatuhkan dari kursinya, agar ia diadili dan dihukum, bahkan didoakan agar
segera mati. Bahkan kalau ada orang mati, lainnya menyesal: “Kok bukan si Anu itu
yang dipanggil Tuhan...”
Namun harus dicatat, ‘manusia wajib’ di mata manusia, belum tentu sama di mata
Allah. ‘Manusia haram’ di pandangan manusia, belum pasti Tuhan berpandangan
demikian.

***
Seseorang, umpamanya Soeharto, yang dalam proses sejarah tiba pada posisi
“diharamkan” oleh banyak orang, dalam berbagai ungkapan selalu digelari dengan
idiom-idiom itu: iblis, setan, monster, dajjal, fir’aun. Bahkan tokoh Agama seperti Pak
Amin Rais menyebutnya Fir’aun Jawa.
Pak Harto secara eksplisit mengeluh kepada saya tentang gelar dari Pak Amin itu.
“Hati saya ngresulo”, katanya.
Saya coba menjawab seadil mungkin secara ilmu maupun empirik:
“Pak Amin tentu memiliki hujjah atau argumentasinya sendiri dengan penyebutan itu.
Dan itu urusan Pak Amin dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Pada
hakekatnya hanya luthf (kelembutan pandangan) Allah yang paling mampu dengan
detail menakar berapa prosentase kefir’aunan hambaNya. Adapun manusia, sejauh-
jauh prestasinya hanyalah perjuangan untuk berendah hati di dalam kesadaran
bahwa setiap hamba Allah yang bernama manusia memiliki potensi kefir’aunan dan
potensi ke-Musa-an atau ke-Muhammad-an di dalam dirinya masing-masing.
Dengan kata lain, Fir’aun, Musa, Muhammad, Malaikat dll. bisa kita pahami sebagai
potensialitas kejiwaan pada diri manusia, dan tidak harus merupakan oknum atau
pribadi. Ketika Musa diperintahkan oleh Allah agar mendatangi Fir’aun untuk
menanyakan apakah RajaLela itu mau membersihkan diri atau tidak -- bisa kita
maknai bahwa potensi Musa kita mendatangi potensi Fir’aun kita sendiri untuk
menyampaikan tawaran
gratis dari Allah itu. Jadi sekarang masalahnya kembali kepada Pak Harto sendiri.
Seberapa serius Pak Harto menggali potensi dirinya sendiri dan mencoba mengukur
berapa kadar kefir’aunan Pak Harto, dan sudah lahirkan Musa yang akan melawan
kefir’aunan itu, meskipun dulu bayi Musa (bayi lelaki, alias kejantanan dan
kehormatan rakyat) Pak Harto kejar-kejar untuk dibunuh sehingga sang bayi
dihanyutkan ke sungai....tapi kemudian mencengkeramkan tangan kebenarannya ke
leher Pak Harto”.
***
Saya dan kita semua bisa ikut menakar Soeharto: berapa benarnya, berapa
salahnya, mana baiknya, mana buruknya. Di level mana saja benar salah baik
buruknya itu: level moral, level hukum formal, level ilmiah, level kultural, atau
apapun. Sambil wanti-wanti kepada diri sendiri melalui firmah Allah: “Janganlah
kebencianmu kepada seseorang membuatmu bersikap tidak adil”.
Akan tetapi bisa jadi hasil penilaian kita tidak seratus persen sama dengan al-lathif,
Yang Maha Lembut itu. Yang kita ketahui hanya satu, yang tak kita ketahui tak
terhingga jumlahnya. The real judge adalah Allah swt. Kita mungkin tidak pernah
siap untuk melihat dan menerima kenyataan bahwa seseorang yang ‘kita nikmati
dalam kebencian’ dan kita sebut iblis, ternyata bisa juga ingin memperbaiki diri.
Lebih tidak siap lagi membayangkan bahwa ia bertobat. Kita memerlukan orang
jahat tetap sebagai orang jahat, demi kelegaan hati kita. Kita katakan kepada diri kita
sendiri: “Pak Harto itu pengiiin banget lho masuk neraka! Sehingga dia terus
mengincar untuk berkuasa, terus menggalakkan kerusuhan....”
***
Pokoknya Pak Harto harus kita pertahankan sebagai satu-satunya simbol iblis di
Indonesia, sehingga kita yang dulu ikut aktif dalam sistem iblis itu selama berpuluh-
puluh tahun bisa terbebas dari tudingan. Kita langgar persepsi ilmiah bahwa
keiblisan Orde Baru itu kolektif, mustahil individual: kita pertahankan cara pandang
ini dengan segala cara.
Tetapi tidak saya persoalkan apakah pemakaian kata-kata iblis dlsb. itu berangkat
dari hubungan-kesadaran, sampai ke etimologi dan teologi, ataukah sekedar pinjam
istilah. Sebagaimana Pancasila dan UUD-45 menyebut kata ‘Tuhan’ dan ‘Allah’ bisa
jadi sekedar oper idiom, karena kemudian di dalam praksis kehidupan bernegara
kita tidak lagi penting apakah Tuhan dan Allah dijadikan rujukan utama atau tidak
bagi kemungkinan makhraj (solusi) dari masalah-masalah yang menimpa.
Sesungguhnya sangat menarik untuk membicarakan iblis, lengkap dari perspektif
ilmu fisika, biologi, teologi dan budaya. Misalnya bahwa suku cadang kemakhlukan
kita ini sama dengan iblis, setan, malaikat, batu, dan apapun saja makhluk Tuhan.
Hanya saja speed molekular-nya berbeda, komposisi dan aransemen keatomannya
berbeda, sehingga karakter chromosome-nya juga lain, termasuk hak dan kewajiban
yang diberikan oleh Penciptanya juga tak sama -- sehingga habitat dan perilaku,
alias kebudayaan dan peradabannyapun berbeda.
Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali
tidak butuh iblis....
***
Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya.
Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan
kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia
lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.
Sementara kita, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup
menyikat puluhan proyek lain -- sehingga hancurlah Orde Baru. Manusia dipinjami
kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan
kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan
unbounded posessiveness: rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya.
Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik,
tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin
kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan
kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah napsu untuk menang, maka adanya
muatan semacam itu sangat kita kawatirkan.
Semoga kemenangan PKB adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Semoga
kemenangan PDI Perjuangan, PAN, atau Golkar atau apapun, hanya punya satu
arti: ialah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan parpol adalah
hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat.
Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api -- itu jelas watak utama iblis
yang diajarkan kepada manusia. Dan ajaran itu tidak hanya bisa merasuk ke jiwa
Soeharto, tapi juga bisa ke Wagimin, Megawati, Tukijo, Amin Rais, organisasi dan
kumpulan-kumpulan, atau apapun. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi napsu.
Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk
‘sekedar’ berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam melorot
derajatnya dari sorga ke bumi, kitapun melorot izzah (kehormatan) kebangsaan kita
dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Kita kutuk penjarahan oleh
rakyat sesudah sekian puluh tahun kita ajari mereka menjarah. Kita laknat
kerusuhan oleh rakyat sementara terus menerus kita rusuhi hati mereka, pikiran
mereka, telinga mereka, dengan kerusuhan mulut dan sistem budaya kita.
***
Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita
memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan
merasa suci -- sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat -- itupun kita
larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat
sehingga mengamuk.
Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal
memahami konsep tobat, iblis unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan
kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya
kalau punya hutang, harus bayar dulu; kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia,
baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.
Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh
kobaran api dari dalam napsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan,
sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu...”. Sementara pada kita sangat sedikit
indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan
Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun.
Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil
mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan
di depan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan
menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman,
sembako murah, bisa menyekolahkan anak.
Tentang presidennya siapa, silahkan mau Kirun mau Timbul. Dalam hatinya rakyat
berpedoman: yang penting bukan ‘siapa’nya, melainkan apa produk positifnya untuk
kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau jajag pendapat yang
bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan
hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita.

***
Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka,
seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin
karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia, Tuhan memberi
peringatan: “Janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi”, dan manusia
menjawab dengan congkak: “O, tidak, yang kami lakukan ini adalah perbaikan...”
Kalau Tuhan menyebut “orang-orang yang membangun”, kita merasa itu pasti kita.
Kalau Tuhan bilang “orang-orang yang merusak”, kita yakin merekalah yang
dimaksud oleh Tuhan itu. Yang buruk pasti mereka, yang baik pasti kita.
Padahal manusia dijadikan mandataris kehidupan alam semesta dengan
argumentasi bahwa manusia itu dholuman jahula. Lalim dan bodoh. Artinya,
manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah
telah berbuat lalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa
mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup
merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun -- sehingga ia selalu
berendah hati untuk belajar.
Last but not least, tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu
sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar
memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri
(kefir’aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk
mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk
memperoleh yang ia sangka kehormatan.
Walhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas
keiblisan, kesetanan dan kefir’aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan,
iblis dan fir’aun yang asli. Mudah-mudahan saya keliru.
(Emha Ainun Nadjib/1999/PadhangmBulanNetDok)
Fatwa Tukang Becak
Perjalanan ulang alik Yoga-Jombang biasanya kami (saya dan saudara-saudari atau
teman-teman) lakukan di paruh malam yang kedua.
Naik bis yang kecepatannya supir ngedap-ngedapi selama 4-5 jam, subuh
menyongsong kami di tempat tujuan. Terkadang malah hanya tiga setengah jam,
atau malah hanya beberapa kejapan saja - karena kami 'tewas' sepanjang
perjalanan.
Tak pernah terlintas ide di benak saya unuk mencoba menerapkan mekanisme
demokrasi di bis : misalnya, semua unsur merundingkan berapa kecepatan bis
sebaiknya. Saya biasanya pasrah saja. Tak pernah melontarkan kritik kepada
bagaimana sopir menjalankan roda pemerintahannya. Tak perlu mengonrol. Paling
hanya evaluasi, yng toh saya 'peti-es' kan sendiri, tidak saya 'press release' kan.
demikianlah, malam itu, kami menunggu bis ke Solo atauYogya di perempatan
njomplangan atau teteg sepur deka stasiun Jombang. Becak berderet di sana,
menunggu semacam janji hari depan, tanpa batasan siang atau malam.
Kami menunggu bis favori kami. api karena malam, tak bisa langsung tampak bis
apa yang akan lewat. Jadi satu-satunya jalan ialah menjalankan semacam taktik
atau srategi atau penipuan.
Semua bis kami stop. Kalau bis ternyata ke Kediri atau Ponorogo, kami jujur bilang
"Ke Yogya" Kalau yang lewat adalah bis ke Yogya tapi bukan favorit kami, kami
berbohong "Ke Ponorogo!"
Demikian berlangsung berulang-ulang. Para tukang becak guyup membantu
kesibukan kami "memilih masa depan".
Salah seorang tukang becak bahkan berlaku seperti saudara kami sendiri: aktif
menolong menyetopbis dan mengobrol di setiap 'pause'. Dan ketika kemudian hujan
mendadak turun, ia mempersilakan kami berlindung di becaknya, sementara ia
numpang di becak sisinya.
Hujan berkepanjangan. Tiba-tiba tukang becak itu nyeletuk: "Ya inilah hukuman bagi
orang yang berbohong!"
Kami terkesiap. Tak tahu mau berkata apa-apa.
"Tapi memang kalau meningkatkan taraf hidup memang harus pandai bohong" - ia
melanjutkan - "Kalau jujur saja nanti hanya dapat bis yang jelek dan lambat."
Dan ia terus melanjutkan - "Tapi ya untunglah Cak, Tuhan menghukum langsung,
jadi nanti di akhirat lebih ringan. Untung juga Tuhan masih mau menghukum, itu
namanya Dia tresno, kita tidak di-ujo saja..."
Kami benar-benar meenjadi bisu.
Sambil akhirnya bis favorit itu tiba, si tukang becak mempersilakan kami dan berkata
- "Selamat tidur Cak! Mudah-mudahan sudah lunas hukumnya!"
Saya malah tak bisa tidur. Apa benar sudah lunas? Apalagi keadaan hidup sekarang
ini membuat dosa tak terasa sebagai dosa.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Sudah Kubuang-buang
Sudah kubuang-buang tuhan
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir

Sajakku beranak-pinak
Dikungkung tuhan sendirian
Perih cintaku berteriak-teriak
Takut ditolak keabadian

Sudah kubuang-buang tuhan


Sudah kulupa-lupakan
Sampai ingat dan lupa
Lenyap jaraknya

Sampai tahu tak atau menjelma


Baginya tak beda
Sampai gugur mainan ada tiada
Yang menghimpitku di tengahnya

Sudah kubuang-buang
Sudah kubuang-buang
Ia makin saja tuhan
Makin saja Tuhan

1996

(Emha Ainun Nadjib/"Kumpulan Sajak Cahaya Maha


Cahaya"/Salman/PadhangmBulanNetDok)
Para Ahli Kubur Dari Jombang
Tulisan ini saya bikin dengan asumsi dasar bahwa para pembaca percaya ada Allah
dengan kekuasaan-Nya. Di salah satu tayangan televisi, muncul seorang kiai
dengan nasihat sangat bijak, kurang-lebih begini: "Jangan minta kepada Ponari,
Ponari itu makhluk. Jangan minta kepada batu, batu itu makhluk. Jangan berlaku
syirik sehingga menjadi manusia musyrik. Mintalah Khaliq, Allah Swt...."

Sangat pendek tapi cespleng. Media massa sangat mengerti kecerdasan


masyarakat, sehingga cukup pendek saja. Setiap yang mendengarkan fatwa itu
meneruskan sendiri dalam hati dengan logikanya: "Jangan minta kesembuhan
kepada dokter, dokter itu makhluk. Jangan minta kepada pil dan obat-obatan, pil dan
obat-obatan itu makhluk. Jangan berlaku syirik, sehingga menjadi manusia musyrik."

Ya Allah ya Rabbi ya Karim, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.


Kalau Nabi Musa pegang tongkat, bersama pasukannya dikejar tentara Firaun,
mendapat perintah dari Allah, "Pukulkan tongkatmu ke air laut!" Lantas laut terbelah,
pasukan memasuki belahannya, kemudian Firaun dan tentaranya mengejar ke
belahan itu, namun tenggelam karena air menutup kembali, mohon dengan sangat
jangan simpulkan bahwa yang dipegang Musa itu "tongkat sakti", sehingga Nabi
Musa juga "Maha Dukun" yang sakti.

Mohon dengan sangat, jangan rumuskan bahwa tongkat Nabi Musa mampu
membelah laut, mampu menerbitkan mata air dari batu kering, meskipun insya Allah
bisa bikin pecah kepala kita. Apalagi lantas dengan metodologi ilmiah tertentu, para
pakar meneliti tongkat itu mengandung zat dan energi apa sehingga air samudra
terbelah olehnya. Kalau besok paginya Anda minta kepada Nabi Musa untuk
membelah air laut lagi, percayalah air laut tak akan terbelah. Sebab, yang membuat
laut terbelah bukanlah Musa atau tongkatnya, melainkan perintah atau perkenan
Allah.

Lha Allah ini pemegang saham dan the only resources dari seluruh "alam semesta
ini dengan segala ketentuan hukum dan perilakunya”. Hak absolut Allah untuk
menyuruh orang membelah laut dengan tongkat atau dengan meludahinya. Kalau
Musa pukulkan tongkat lagi ke laut tanpa perintah-Nya, dijamin tak terjadi apa-apa.
Atau besoknya Tuhan suruh Musa "Berteriaklah keras-keras!", lantas tiba-tiba laut
terbelah lagi ditambah gunung ambruk dan air sungai membalik arah arus airnya, itu
sepenuhnya terserah-serah Tuhan.

Makhluk, juga dokter atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi sarana
proses menuju kesembuhan. Tapi pengambil keputusan untuk sembuh atau hak dan
kuasa untuk menyembuhkan ada pada Allah. Terserah Dia juga mau bikin sembuh
orang sakit pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa tongkat, bisa batu, bisa air,
bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja semau-mau Tuhan. Yang
diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana penyembuhan terserah Dia juga. Mau
kiai, pendeta, pastor, rabi, tukang sol sepatu, Ponijo, Rasul, Nabi, Markesot, atau
siapa pun dan apa pun saja. Kalau Anda dan saya tidak setuju, Tuhan "tidak
patheken" juga. Dia Maha Pemilik Saham segala sesuatu dalam kehidupan, Dia
berhak ambil keputusan apa saja.

Kalau seorang suami pergi lama tugas ke kota yang jauh, sehingga bawa celana
dalam istrinya, mohon jangan simpulkan bahwa dia penggemar celana dalam,
kemudian Anda coba rebut celana dalam itu untuk Anda selidiki, bahwa dia
mengandung zat-zat dan bebauan apa, sehingga seorang tokoh besar membawa-
bawanya ke mana pun pergi. Kalau pas di kamar hotel sendirian suami itu mencium-
ciumi celana dalam, mohon jangan dikonklusikan bahwa ternyata ia punya penyakit
jiwa dan harus dibawa ke psikiater. Ya Allah ya Rabbi ya Karim, yang diciumi oleh
suami itu bukan celana dalam, melainkan cintanya kepada sang istri dan komitmen
kesetiaan di antara mereka.

Wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, kalau saudara-saudaramu


naik haji dan berebut mencium Hajar Aswad, itu bukan karena mereka stone-mania
atau ngefans sama batu. Mereka sedang meneguhkan kesadaran bahwa mereka
sangat butuh Allah dalam hidupnya, maka mereka mengukuhkan cinta kepada
makhluk yang paling dicintai Allah, yakni Rasulullah Muhammad Saw. Dan karena
dulu Muhammad juga mencium batu hitam itu, padahal jelas beliau tidak punya hobi
makan batu, maka mereka menyatakan di hadapan Allah cinta mereka kepada
Muhammad. Mudah-mudahan dengan itu mereka kecipratan cinta Allah kepada
Muhammad, sehingga Allah memperlakukannya sebagai bagian dari yang paling Ia
cintai.

Kabarnya Nabi Musa ketika memimpin pasukan kejaran Firaun itu mendadak sakit
perut di tengah lari-lari. Musa mengeluh kepada Allah, dan Allah memerintahkan
agar Musa naik bukit ambil daun dari sebatang pohon untuk menyembuhkan sakit
perutnya. Musa naik dan, sebelum menyentuh daun, perutnya sudah sembuh.
Tolong jangan ambil konklusi "Itu daun mujarab banget, belum disentuh, perut udah
sembuh". Musa balik ke pasukannya, mendadak sakit perut lagi. Ia langsung naik ke
bukit, tapi sesudah makan sekian lembar daun perutnya tak sembuh-sembuh juga.
Musa protes kepada Allah. Dalam logika saya, Allah menjawab dengan penuh
kegelian: "Hei, Sa. Emang siapa yang bilang bahwa daun bisa menyembuhkan
perutmu? Meskipun daun itu mengandung unsur-unsur yang secara ilmiah memang
rasional bisa menyembuhkan perutmu, Aku bisa bikin tetap tidak menyembuhkan.
Tadi waktu sakit perut yang pertama kau mengeluh kepadaku, tapi pada yang kedua
kau tak mengeluh dan langsung saja lari ke
bukit ambil daun. Karena kamu salah cara berpikirmu. Salah pandangan ilmu dan
cintamu kepada segala sesuatu. Kamu salah peradaban. Kamu pikir daun bisa
menyembuhkan. Itu tergantung mau-Ku. Aku menyembuhkanmu bisa pakai daun,
air putih, batu, lewat Gaza, Tursina, Jombang, atau mana pun semau-mau-Ku....
Berapa lama sebuah anugerah Kuberikan, itu rahasia-Ku, bisa sesaat, sebulan,
setahun, terserah Aku."

"Datanglah ke dokter, minta obat, sebagaimana ratusan juta orang telah


melakukannya. Datanglah ke kiai, bawa air putih. Atau datanglah ke mana pun
kepada siapa pun. Asalkan kau tak posisikan mereka semua pada maqam-Ku.
Engkau berlaku musyrik atau tidak, terletak tidak pada pil dan dokternya, tongkat
dan Musa, air dan kiai, atau batu dan siapa pun yang kutitipi batu sejenak. Letak
syirik ialah pada pola pandangmu, pada cara berpikirmu. Jangan percaya kepada
Ponari, Dukun, Ponari atau Kiai, tapi hormatilah mereka, karena siapa tahu mereka
adalah hamba-hamba-Ku yang Kutitipi sarana untuk kesembuhanmu. Minumlah pil
dokter dan air batu Ponari dengan kesadaran memohon kepada-Ku...."

Tiba-tiba aku dibentak oleh sebuah suara: "Ngurusi Ponari aja nggak becus! Mau
sok-sok berlagak mengurusi NKRI!" Terperangah aku. Terpaksa kupotong di sini
tulisanku ini, sebab aslinya panjang sekali. Kucari siapa berani-berani
membentakku. Tak ada siapa-siapa. Tapi malam di Kendari menjelang aku tidur
kelelahan usai bersalaman dengan ribuan undangan pengantin anakku, bentakan itu
datang lagi: "He! Perhatikan itu para ahli kubur dari Jombang!" Ahli kubur? Aku tak
ngerti.

"Kemarin pandangan-pandangan dan anggapan-anggapan dalam hidupmu dikubur


habis oleh mutilasi-mutilasi dari tangan seorang yang tersisih secara sosial, yang
menderita secara kejiwaan, yang terasing secara politik dan sejarah. Sekarang
kalian sedang dikubur oleh sebongkah batu yang nenek itu menyebutnya Watu
Gludug, yang dititipkan beberapa waktu kepada anak SLB yang kesepian dan
menderita tatkala dipindahkan ke SD. Pelajarilah hari-hari besok dengan
meluangkan waktu memperhatikan siapa saja dari tempat itu yang tingkat
ketersisihan dan keteraniayaannya lebih dahsyat...." Mendadak ada suara lain yang
membungkam suara itu: "Husysy! Shut up!"
( Emha Ainun Nadjib/Koran Tempo/21 Februari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata…
Saat kita mulai rajin ikut sebuah kelompok pengajian (majelis taklim), jangan kaget
bila suatu saat ada suara “Silahkan ikut pengajian, tapi jangan membentuk kelompok
sendiri”. Itulah suara yang sepintas terkesan bijaksana, namun kenyataannya sering
meruntuhkan niat seseorang, suara seperti itu sering membuat orang yang mulai
rajin ikut pengajian jadi mundur, tidak jadi menuntut ilmu dan malas menambah
wawasan. Seharusnya kita tetap istiqomah, sebelum berangkat tetapkan niat,
“Bismillah, Ya Allah, sesungguhnya saya berniat baik, saya ingin menuntut ilmu….”.
Langkahkan kaki dengan mantap. Insya Allah, selama perjalanan saja sudah
merupakan syiar, dakwah, mengajak pada kebaikan, mengingatkan yang lalai, maka
kalau sampai ada yang bisa membuat langkah kita surut, pulang ke rumah dan
berhenti mengaji, urung menuntut ilmu, dan mandeg total, maka pastikan itu adalah
ajakan syetan !.
Syetan akan senantiasa berdendang untuk melalaikan saat kita berusaha mendekat
kepada Allah SWT. Dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja.
Saat kita mulai belajar menyimak lantunan ayat-ayat Al Qur’an di rumah, baik lewat
kaset/CD/VCD atau apa saja, jangan heran bila suatu saat ada yang bilang “Ah,
kayak di masjid saja pakai ‘nyetel’ ayat suci segala”.
Saat kita mulai membiasakan memutar lagu-lagu islami, nasyid, qasidah atau
sholawat, untuk membantu tercipta suasana islami di rumah. Jangan kaget bila tiba-
tiba muncul komentar “Wah, lagi ada hajatan, nih ?”.

Saat kita berusaha selalu menyisihkan dana untuk infaq dan sedekah, jangan gusar
bila tiba-tiba ada yang menyanyi “Ah, sok sosial amat sih ?!”.
Saat kita terbata-bata karena masih taraf belajar membaca Al Qur’an, tetaplah
istiqomah bila tiba-tiba saja ada yang menukas “Ah, baca Qur’an saja masih kayak
gitu, sudah gitu nggak enak lagi suaranya”.

Saat hati kita terketuk melihat penderitaan saudara-saudara muslim kita di daerah
lain, atau di negara lain, sehingga muncul niat untuk membantu, jangan bingung bila
tiba-tiba ada yang memberi ‘petuah’, “Ah, daerah/negara sendiri saja masih begini
keadaannya, mengapa mesti mikiran yang jauh disana ?”.
Saat kita mulai belajar mendalami islam, jangan patah semangat bila tiba-tiba ada
wejangan, “Mbok jangan fanatik begitu, biasa-biasa sajalah”.
Begitu banyak dan mudah contoh sehari-hari bisa ditemukan. Suatu kegiatan atau
bahkan amalan yang sudah nyata-nyata kita pahami nilai kebaikannya, dan
berpahala bila dikerjakan, akhirnya kita gugurkan begitu saja karena suara-suara
yang menghembus-hembuskan keraguan dalam hati kita.

“Kita tidak bisa sesuci malaikat, sebenar malaikat, sebaik malaikat, tapi kita juga tak
punya cita-cita untuk selaknat syetan, sedurhaka syetan dan segelap syetan.
Malaikat itu makhluk statis, meskipun dia hadir atau diletakkan di tempat pelacuran,
tempat perjudian, tempat minum-minum, tetap baik yang dia lakukan. Syetan juga
makhluk statis, meskipun dia hadir di masjid, di kuil, di gereja, tetap jelek yang dia
lakukan. Sementara kita di tengah-tengahnya.
Kita memiliki pilihan, dua kemungkinan untuk kita pilih. Menuju kebaikan atau
menuju kebrengsekan”.
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

Muhammadkan Hamba ya Rabbi


muhammadkan hamba ya rabbi
di setiap tarikan napas dan langkah kaki
tak ada dambaan yang lebih sempurna lagi
di ufuk jauh kerinduan hamba muhammad berdiri

muhammadkan ya rabbi hamba yang hina dina


seperti siang malammu yang patuh dan setia
seperti bumi dan matahari yang bekerja sama
menjalankan tugasnya dengan amat terpelihara

sebagai adam hamba lahir dari gua garba ibunda


engkau tuturkan pengetahuan tentang benda-benda
hamba meniti alif-ba-ta makrifat pertama
mengawali perjuangan untuk menjadi mulia

ya rabbi engkau tiupkan ruh ke dalam nuh hamba


dengan perahu di padang pasir yang mensamudera
hamba menangis oleh pengingkaran amat dahsyatnya
dan bersujud di bawah bukti kebenaranmu yang nyata

sesudah berulangkali bangun dan terbanting


merenungi dan mencarilah hamba sebagai ibrahim
menatapi laut, bulan, bintang dan matahari
sampai gamblang bagi hamba allah yang sejati

jadilah hamba pemuda pengangkat kapak


menghancurkan berhala sampai luluh lantak
hamba lawan jika pun fir'aun sepuluh jumlahnya
karena api sejuk membungkus badan hamba

kemudian ya rabbi engkau ajarkan hal kedewasaan


yakni penyembelihan dan kurban, pasrah dan keikhlasan
tatkala dengan hati pedih pedang hamba ayunkan
sukma hamba memasuki ismail yang menelentang

ismail hamba membisikkan firmanmu ya rabbi


bahwa dewasa tidaklah ditandai kegagahan diri
melainkan rela menyaring dan menyeleksi
agar secara jernih berkenalan dengan yang inti

di saat meng-ismail itu betapa jiwa hamba gemetar


ego pribadi adalah musuh yang teramat tegar
jika di hadapanmu masih ada sejumput saja pamrih
maka leher hamba sendiri yang bakal tersembelih

dan memang kepala hamba tanggal berulangkali


di medan peperangan modern ini ya rabbi
hambalah kambing di jalanan peradaban ini
darah mengucur, daging hamba dijadikan kenduri

tulus hati dan istiqamah ismail ya rabbi


betapa sering lenyap dari gairah perjuangan ini
keberanian untuk bersetia kepada kehendakmu
di hadapan musuh gugur satu demi satu

maka hambamu yang dungu belajar menjadi musa


meniti kembali setiap hakikat alif-ba-ta
belajar berkata-kata, belajar merumuskan cara
harun hamba membantu mengungkapkannya

musa hamba membukakan universitas cakrawala


setiap gejala dan segala warna zaman hamba baca
dengan seribu buku dan seribu perdebatan
hamba tuntaskan makna kebangkitan

tongkat hamba angkat dan tegakkan ya rabbi


memusnahkan iklan-iklan takhayul fir'aun yang keji
ular klenik pembangunan, sihir gaya kebudayaan
karena telah hamba genggam yang bernama kebenaran

ya rabbi alangkah agung segala ciptaan ini


kebenaran belaka membuat hidup kering dan sepi
maka engkau jadikan hamba isa yang lembut wajahnya
dengan mata sayu namun bercahaya, mengajarkan cinta

isa hamba sedemikian runduknya kepada dunia


segala tutur kata dan perilakunya kelembutan belaka
sehingga murid-murid hamba dan anak turunnya terkesima
tenggelam mesra dalam isa hamba yang disangka tuhannya

ya rabbi haruslah berlangsung keseimbangan


antara cinta dengan kebenaran
haruslah ada tuntunan pengelolaan
atas segala ilmu dan nilai yang engkau anugerahkan

karena itu muhammadkan hamba ya rabbi


bukakan pintu kesempurnaan yang sejati
pamungkas segala pengetahuan hidup dan hati suci
perangkum bangunan keselamatan para rasul dan nambi

muhammadkan hamba ya rabbi muhammadkan


agar tak menangis dalam keyatimpiatuan
agar tak mengutuk meski batu dan benci ditimpakan
agar sesudah hijrah hamba memperoleh kemenangan

muhammadkan hamba ya rabbi muhammadkan hamba


agar kehidupan hamba jauh melampaui usia hamba
agar kematian tak menghentikan perjuangan
agar setiap langkah mengantarkan rahmat bagi alam

muhammadkan hamba ya rabbi muhammadkan


di rumah, di tempat kerja serta di perjalanan
agar setiap ucapan, keputusan dan gerakan
menjadi ayatmu yang indah dan menaburkan keindahan

takkan ada lagi sosok pribadi seanggun ia


dipahami ataupun disalahpahami oleh manusia
kalau tak sanggup kaki hamba menapaki jejaknya
penyesalan hamba akan tak terbandingkan oleh apa pun saja

para malaikat sedemikian hormat dan segan kepadanya


bagai dedaunan yang menunduk kepada keluasan semesta
para nabi berbaris menegakkan sembahyang
engkau perkenankan ia berdiri menjadi imam

ya rabbi muhammadkan hamba, muhammadkan hamba


perdengarkan tangis bayi padang pasir di kelahiran hamba
alirkan darah al-amin di sekujur badan hamba
sarungkan tameng al-ma'shum di gerak perjuangan hamba

kalungkan kebenjian abu jahal di leher hamba


sandingkan keteduhan abu thalib di kaki dukalara hamba
payungkan awan cintamu di bawah terik politik durjana
usapkan tangan sejuk khadijah pada kening derita hamba

kirimlah jibril mencuci hati muhammad hamba


lahirkan kembali wahyumu di detak gemetar jantung hamba
dan kucuran darah luka muhammad oleh pedang kaum pendusta
hadiahkan kepada hamba rasa sakitnya

ya rabbi ya rabbi muhammadkan hamba


bersujud dan tafakkur di gua hira' jiwa hamba
berkeliling ke rumah tetangga, negeri dan dunia
menjajakan cahaya

1988.
Emha Ainun Nadjib

Aku Sakit Kau Tak Menjengukku


Pada saat heningnya malam itu, kawan saya tiba-tiba bertemu dengan Nabi
Muhammad. Ia kaget setengah mati. Bahkan sangat canggung sikapnya.
Barangkali takut, atau, lebih tepat, ia dihinggapi semacam rasa pekewuh yang amat
merepotkan hatinya.

“Nah, sahabatku,” berkata Nabi. “Kamu sebenarnya sayang sama aku atau tidak,
sih?”
Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi.
“Sayang sih, sayang wahai Nabi….”
“Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut
namaku?”
“Aduh, Nabi, gimana yaaa, …”
Ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi.
Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah.
Juga tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati
dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu….”

Sungguh tidak enak rasanya. Kawan saya merasa posisinya sangat ruwet.
Sebetulnya ia ingin menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi mungkinkah Kanjeng
Nabi Muhammad, Rasul Sakti pamungkas segala derajat ilmu itu, tak mengetahui
apa yang ia ketahui? Misalnya, bukankah Muhammad sendiri yang menganjurkan
kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain
Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya.
Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun
sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia?

Pada masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya:


Mengapa orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca salawat Nabi
dalam situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-
dor di sana-sini, kalau ada bahaya mengancam, kok malah disuruh membaca
salawat yang mendoakan keselamatan Muhammad. Padahal justru kita yang perlu
selamat. Sedangkan Muhammad sendiri sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara,
terpilih di singgasana paling karib di sisi Allah. Akhirnya kawan saya memperoleh
penjelasan bahwa konteks bersalawat adalah keseimbangan jual beli kita semua
dengan Muhammad. Semacam take and give. Kita mendoakan Muhammad, berarti
kita “pasang radar” untuk memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan
seluruh umat-Nya. Muhammad itu agung hatinya, amat kasih kepada semua “anak
buah”-Nya di muka bumi, amat merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita
semua.

Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini seolah-olah
hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan,
pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-
Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan
kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak. Maka,
di tengah kegalauan rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan
budaya, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan
saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja, Allah, Allaah,
Allaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.

Tiba-tiba Kanjeng Nabi Muhammad nongol… menagih cinta.


Alangkah tak enak posisi macam ini! Apa yang terjadi!
Ternyata Beliau malah tertawa, “Kamu kok kelihatan takut, sahabatku. Mengapa?”
“Aku merasa pekewuh, Nabi….”
Nabi tertawa lagi. “Mengapa pakai pekewuh segala?
Mungkin kamu orang Jawa, ya? Kamu pikir aku bakal marah atau tersinggung, ya,
karena kamu tidak ada waktu lagi untuk ingat aku?”
Kawan saya tersipu-sipu.
“Coba, apa sih bedanya kamu ingat Allah dengan ingat aku?” berkata Nabi.
“Kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu, sama saja….”

Mendadak Muhammad lenyap dari hadapannya.


Kawan saya menarik napas lega.
Haihaaata! Ini pertemuan agung, pertemuan agung!
Sebenarnya sudah bisa diduga bahwa nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe
manusia cerewet atau pencemburu yang membabi buta.
Ia empan papan, dan mengerti inti jagat. Tapi diam-diam ada yang tetap mengganjal
di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati yang amat diyakininya, namun
belum pernah satu kali pun ia ungkapkan, apalagi kepada manusia, baik di pasar
maupun di mesjid.

Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya
kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau tidak, sih?”
Modarlah kawan saya.

Ketika ia menjawab,”Sayang sih, ya sayang….”


Tuhan terus mengejarnya, persis seperti yang dilakukan oleh Muhammad,
“Mengapa kamu tidak pernah ingat Aku?
Kenapa kamu tidak pernah menyebut nama-Ku?”
Dalam rasa takut yang amat puncak, kawan saya nekad.
“Begini, ya, Tuhan. Aku ini orang melarat. Sekolah saja tidak pernah rampung. Kalah
terus-menerus di segala persaingan, terutama dalam bidang cari pekerjaan. Makan
minumku tak menentu.
Bahkan tempat tinggalku juga selalu darurat. Padahal, aku juga tahu amat banyak
saudaraku yang sama melaratnya dengan aku, bahkan banyak yang jauh lebih
melarat. Aku juga melihat banyak hal yang tidak benar yang dilakukan oleh
penguasa-penguasa manusia dalam manajemen alam semesta ini. Dalam persoalan
ini Tuhan ‘kan jauh lebih mengerti dibandingkan dengan aku. Jadi, aku tidak perlu
omong soal kemiskinan struktural, monopoli ekonomi, atau kebudayaan jahiliyah
modern. Seandainya bisa, aku ini maunya sih, punya tangan yang besar, panjang,
dan kuat, sehingga mampu mengatasi semua problem ketidakadilan dan
ketidakbijaksanaan itu.Tapi aku, Tuhan ‘kan tahu, tidak punya tangan.
Aku tak memiliki kaki. Darahku tak begitu merah lagi. Tulang-belulangku tidak lebih
dari hanya kayu-kayu kering. Mulutku terbungkam.
Aku hanya tinggal memiliki hati untuk menangis
Tapi aku tidak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang
usiaku terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu.
Lalu bagaimana mungkin aku sanggup melunasi utang cintaku kepada-Mu?
Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan kusebut nama-Mu?
Aku ini lapar, kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, Kau tidak menjengukku.
Aku ini kesepian, Kau tidak menyapaku…"

Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah kata-kata-Nya sendiri.


(Emha Ainun Nadjib/"Slilit Sang Kiai"/Grafiti Press/PadhangmBulanNetDok)
Dari Gaza Menuju Iran
MESKIPUN bukan siapa-siapa, saya turut mengucapkan beribu terima kasih kepada
semua Anda di seluruh Indonesia dan dunia yang bersedia bersusah payah,
berkeringat dan keluar biaya untuk melakukan unjuk rasa menentang dan mengutuk
penyerbuan Israel ke Palestina di Gaza.

Meskipun tidak bisa diandalkan di hadapan Allah, tetapi saya mendoakan semoga
pengorbanan Anda semua diganjar Allah dengan tambahan rezeki melimpah,
ketenteraman keluarga, kesejahteraan anak turun, serta terselesaikannya masalah-
masalah apapun yang Anda hadapi.

Tidak penting apakah muatan unjuk rasa Anda itu tepat atau tidak. Tidak masalah
demonya ke mana dan sasaran demonya siapa. Juga tidak persoalan pemahaman
Anda semua dan saya melenceng atau tepat atas apa yang sesungguhnya terjadi di
Timur Tengah.

Yang penting Anda dan saya sungguh-sungguh berniat membela hamba-hamba


Allah dari kezaliman, setia mempertahankan “rahmatan lim’alamin”. Dan itu efeknya
bukan hanya akan sampai ke Palestina, tapi insya Allah merupakan investasi bagi
keselamatan keluarga kita dan kesejahteraan anak cucu kita kelak.

Dan yang lebih penting lagi: berkat ikhtiar Anda, sekarang Israel mengubah sikap
dan program berikutnya. Berkat teriakan Anda semua yang bersambungan
bersahut-sahutan dengan teriakan umat manusia lain di seantero muka bumi, telah
membuat Israel mengambil keputusan untuk –sesudah Palestina ini, membatalkan
serangannya ke Iran.

Kalau yang di Gaza, itu bukan “pertandingan”, tapi pembantaian. Ayyamul


malhamah atau Yaumul Malhamah, hari-hari pembantaian kalau pinjam istilah Nabi
Muhammad SAW dulu setelah menaklukkan Makkah dan menjamin bahwa semua
tentara musuh dimerdekakan, Yaumul Marhamah, Hari Kasih Sayang. Nah, kalau
Israel jadi menyerang Iran, itu baru “duel”.

Israel memanfaatkan posisi “status quo” kekuasaan Pemerintahan Amerika Serikat.


Barack Obama belum tentu nanti akan bagaimana, tapi Bush pasti oke, karena toh
sebentar lagi dia hengkang dan tak ikut menanggung akibat apa-apa. Ini bukan soal
Israel-Palestina. Juga bukan Israel-Arab. Ini adalah perang dingin dan akan bisa jadi
perang sungguhan antara Israel dengan Iran.

Minumlah seteguk air yang mengalir ke dalam badan kita diiringi doa oleh
kedalaman hati kita. Duduk rileks. Tarik napas panjang. Kita luangkan sedikit waktu
untuk menabung pembelajaran tentang itu semua. Pelan-pelan, tidak dengan
kemarahan tapi dengan mesin ilmu dan ketenangan batin.

Katakanlah kita berpendapat bahwa saat-saat ini masalah nasional bangsa dan
negara kita kalah urgen dibanding Gaza. Oke, kapan-kapan kita perdebatkan lagi.
Tetapi pasti bahwa kalau bisa jangan seorang pun dalam kehidupan ini pernah
berbuat sesuatu, membela sesuatu, melawan sesuatu, apalagi sampai ke tingkat
pertentangan kelas dunia – tanpa terlebih dahulu mempelajari segala sesuatunya
dengan objektif, waspada, dan dewasa.

Kalau Gaza itu perang agama, antar pemeluk agama apa? Yahudi lawan Islam?
Kalau ini peta-nya, bagaimana dengan orang Yahudi yang beragama Islam dan
orang bukan Yahudi yang beragama Yahudi? Apakah Israel representasi formal dari
Agama Yahudi dan juga Ras Yahudi? Bagaimana dengan teman kita orang
Indonesia, Muslim, nikah dengan gadis Yahudi, asli Israel, dan tetap bukan Muslim –
dan Islam tidak melarang teman kita itu berposisi demikian?
Banyak sekali “korsleting” dalam konteks itu. Apakah Israel sama dengan Yahudi?
Apakah Yahudi sama dengan Zionis? Apakah Zionis sama dengan Israel? Apakah
rakyat Israel sama dengan Zionis? Kita pening kepala kalau muter-muter di situ.
Kalau ditambah Kristen lebih pecah lagi kepala kita. Kristen Katolik atau Protestan?
Apakah pemeluk Agama Yahudi satu pihak dengan pemeluk Kristen? Istrinya
almarhum Yasser Arafat yang Nasrani kita apakan?

Kalau pokoknya kita anggap saja Umat Islam musuhan sama orang Kristen dan
Yahudi, lantas apa saja langkah-langkah Umat Islam? Membunuhi mereka di mana
saja ketemu? Di perumahan tempat tinggal kita, di pasar, di kantor? Boikot seluruh
produk orang Kristen? Kita pantang naik pesawat yang bukan bikinan Umat Islam?
Pantang pakai handphone, komputer, kulkas, celana jeans? Kita kosongi rumah kita,
masjid kita, kantor kita, sekolahan kita, dari segala macam unsur yang ada
hubungannya dengan Yahudi dan Kristen?

****

Terutama Anda yang sangat mencintai Rasulullah Muhammad SAW, menangis di


Raudlah, beriktikaf di Masjidil Haram, ingin naik Haji tiap tahun, sesekali cobalah
jawab pertanyaan awam seperti ini: Arab Saudi itu “musuhan” sama Israel ataukah
“kompak”? Hati kita cukup kuat mungkin untuk mengucapkan bahwa Arab Saudi
selalu oke dengan Amerika Serikat, keluarga Bin Laden yang memborong
penyelenggaraan haji mulai tahun kemarin bukan benar-benar punya anak bernama
Osamah yang merupakan musuh utama Amerika Serikat.

Tetapi hati kita masih sangat rapuh untuk mengakui bahwa memang tidak benar-
benar ada tanda bahwa Arab Saudi itu bermusuhan dengan Israel. Bagaimana kalau
Anda ditamui orang dan melaporkan: “Israel sudah berunding dengan Saudi Arabia,
Syria, dan Mesir sekitar Juli 2008 tentang rencana penyerbuan ke Gaza sebagai
pemanasan sebelum menyerbu Iran. Ketiga Negara Arab Islam itu sudah menyetujui
atau merestui, sebagaimana dulu Irak diserbu”.

Maka ada baiknya kita mulai belajar memahami masalah secara objektif meskipun
menyakitkan. Yang dekat-dekat dulu: bangsa kita sudah mampu mencapai kualitas
bagus dalam hal memilih ketua RT. Sekarang kita belajar lebih tinggi: belajar
memilih lurah, sampai besok-besok sekitar tiga era lagi insya Allah kita akan punya
kemampuan kualitatif untuk memilih Presiden.
(Emha Ainun Nadjib/"Kaltim Pos"/17 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
SUDRUN GUGAT
BIASANYA Sudrun memang mendadak datang di bilik saya lewat tengah malam,
untuk mengingatkan agar saya jangan sampai tertidur di saat-saat pa!ing bening
seperti itu: justru ketika hampir semua orang terbaring lelap, ketika berbagai jenis
kesibukan-kesibukan duniawi sedang beristirahat.
Tapi tadi malam Sudrun hadir tidak untuk itu. la tidak duduk di bibir ranjang seperi
biasanya, mengusap jidat saya dengan wajah tersenyum. Melainkan berdiri di pojok
ruang, tangannya bersedakap dan matanya melotot merah padam ke arah saya.
"MasyaAlllah...ada apa Drun?", terloncat pertanyaan dari mulut saya.
"Ada apa ada apa ndasmu!", ia membentak dengan ketus.
Saya terhenyak bangun. Terbelalak mata saya karena sungguh-sungguh tidak
paham apa yang terjadi pada sahabat saya ini.
"Kali ini saya tidak bisa memaafkanmu. Saya tidak bersedia memohonkan ampun
kepada Tuhan untukmu!" katanya lagi, "Dan kalau mungkin nanti Tuhan bertanya
kepada saya apakah sebaiknya kamu dimaafkan, saya akan kemukakan pendapat
bahwa kamu harus membayarkan ongkos yang sangat mahal untuk mungkin
memperoleh ampunan. Soalnya kamu ini main-main..."
"Apa-apaan ini? Main-main apa?", saya memotong.
"Kamu ini artis, tapi merasa Kiai. Kamu ini pedagang, tapi merasa jadi juru dakwah!"
"Lho Iho Iho....", saya semakin tidak paham, "Omong apa ini! Artis bagaimana?
Pedagang bagaimana?"
Tapi rupanya Sudrun tidak perduli pada ketidakpahaman saya. la meraih peci saya
di meja dan memasukkan ke dalam tasnya sambil menggerundel: "Kamu pikir peci
ini tanda kemusliman atau kekyaianmu? Dulu salah seorang tokoh PKI juga tiap hari
pakai peci!". Kemudian surban yang tersampir di sandaran kursi diambilnya pula
dengan kasar, ia lemparkan ke atas almari, "Selembar kain yang membuat jutaan
orang terserang tahayul! Sehingga mereka percaya kepada sesuatu yang tidak bisa
dipercaya, sehingga mereka merindukan hal¬-hal yang sesungguhnya tidak ada!"
la terus menyerbu dengan gencar.
"Dan kamu menikmati tahayul itu. Kamu menikmati kebodohan massal orang-orang
yang mengerumunimu. Hanya dengan uluk salam yang fasih dan kutipan satu dua
firman ditambah kelicinan menggelitik telinga, mereka percaya bahwa kamu adalah
segala-galanya..."
Tiba-tiba satu tangannya memegang dagu saya, mendongakkannya dan
menghadapkan airmukanya yang amat keras ke wajahku, "Dan yang paling celaka
dari seluruh celaka rutin massal itu, kamu tahu apa? lalah bahwa kamu sendiri
percaya bahwa kamu adalah segala-galanya bagi ummatmu!"
Saya tertunduk lemas. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti semua ini.
"Kamu adalah manusia makhluk biasa ciptaan Tuhan yang dijunjung-junjung oleh
sejuta orang. Tiap hari dijunjung-junjung, setiap saat disanjung-sanjung, sehingga
kamu sendiri akhirnya yakin bahwa kamu memang pantas dijunjung-junjung dan
disanjung-sanjung. Sejuta orang memusatkan perhatian dan cintanya kepadamu.
Sejuta orang bersetia kepadamu seharian di bawah terik matahari dan guyuran
hujan. Sejuta orang beranggapan bahwa kamu sedemikian pentingnya bagi mereka,
hampir melebihi pentingnya Tuhan itu sendiri. Maka akhirnya kamu sendiri
menomersatukan dirimu, mengutamakan nama besarmu, melahap posisimu. Kamu
lupa bahwa kamu tidak penting. Kamu lupa bahwa jangankan kamu: bahkan alam
semesta dan seluruh isinya inipun tidak pentilng – yakni pada saat kamu tenggelam
di dalam kesunyian cintamu yang tunggal dan utuh kepada Tuhanmu. Kamu lupa
bahwa kamu ini bukan apa-apa...."
"Lantas kamu pikir apa kamu ini apa-apa!?", kali ini saya yang membentak.
"Apalagi aku!", ia mengejek, "Sedangkan kamu saja tidak penting, apalagi aku.
Justru karena aku tahu terus-menerus bahwa aku bukan apa-apa, maka aku punya
posisi dan kewajiban untuk mengingatkanmu bahwa kamu inipun bukan apa-apa.
Mulutmu yang manis bukanlah bikinanmu. Suaramu yang melengking bukanlah
produkmu. Retorika dan orasi romantikmu bukanlah hasil dari kehendakmu. Bahkan
kamu tidak pemah sanggup menciptakan sehelai rambutpun. Jadi kenapa kamu
merasa penting? Sehingga kamu sedemikian dahsyat mengkomoditisasikan
pentingnya kamu di mata berjuta-juta orang itu, lantas managemenmu kacau. Lantas
kamu sanggupi tumpukan keharusan-keharusan yang kamu tidak sanggup
memenuhi. Lantas terpaksa ingkar janji kepada nasabah-nasabah dan konsumen-
konsumen tertentu di suatu daerah? Apa kamu ini bintang film? Apa kamu ini
produser yang memasang brooker-brooker di setiap propinsi yang memperoleh laba
dari perniagaan keartisanmu? Sedangkan pedagang yang asli pedagang
sajapun setia untuk berdisiplin mensuplai pesanan¬pesanan yang sudah
terkonfirmasi. Kalau sebuah toko sudah terlanjur membayarkan uang panjar dan
memesan barang ke sebuah perusahaan pemasok, lantas pada saatnya barang itu
ternyata tidak datang: ia tidak akan menerima alibi ‘manusia merencanakan, tapi
Tuhan jua yang menentukan’. Pedagang saja tidak logis dan tidak etis beralibi
demikian. Apalagi kamu!", ¬ia mengepalkan kedua tangannya, "Aku sudah bosan
mendengar berita semacam itu berulangkali!"
Sudrun terengah-engah sendiri oleh serbuan-serbuan gencarnya kepada saya.
(Emha Ainun Nadjib/"Kiai Sudrun Gugat"/Graffiti Press/PadhangmBulanNetDok)
ENGKAU KACA BUKAN CAHAYA
APABILA berbicara tentang ummat, Sudrun selalu menangis. Sama dengan kalau ia
bersujud selewat dua paruh malam: ia melukisi kesunyian malam dengan isakan-
isakan tangis. Padahal untuk yang selain dua itu ia tak pernah menangis. Terhadap
rasa derita dirinya sendiri Sudrun selalu tertawa. Semakin pribadinya bersedih,
semakin ia tertawa. Tetapi setiap kali ia rasakan tangis ummat di sekitarnya, setiap
kali pula ia menangiskannya bertipat-lipat.
"Pusatkanlah perhatian dan enerji hidupmu kepada ummatmu, karena Allah lebih
bersemayam di kandungan hati mereka dibanding hati pemimpin-pemimpinnya",
katanya, terbata-bata karena isakan tangisnya, "Aku tahu itu dan aku bersaksi atas
pengetahuanku!"
Ya, arnpun. Dia jongkok meringkuk di sisi pintu bilikku.
"Aku sangat kecewa selama ini", ia meneruskan, "karena kamu terlalu asyik
memperhatikan dirimu sendiri. Kamu terlalu tenggelam berkonsentrasi pada
kebesaranmu, pada perusahaan popularitasmu. Padahal ummatmu sangat lapar,
amat sangat lapar, tanpa tahu apa yang sesungguhnya ingin mereka makan – dan
kamu tidak menunjukkan kepada mereka hal itu. Ummatmu sangat merasa
kehausan, amat sangat kehausan, tanpa mereka mengerti apa yang sebaiknya
mereka reguk – dan kamu tidak menyodorkan minuman yang tepat bagi rasa haus
mereka yang telah berkurun-kurun lamanya..."
Sudrun bagai hendak meraung. Dan aku sendiri lebih dari itu: aku ingin memekik-
mekik sekeras-kerasnya untuk menggulung habis seluruh getombang perasaan
yang membelit dadaku. Aku ingin badanku meledak, pecah berantakan dan sirna!
*****
Beberapa waktu yang lalu Sudrun mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan
beruntun yang membuatku tergagap karena kebingungan, sehingga akhirnya ia
jawab sendiri kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu.
"Siapakah kamu?"
Aku menyebut namaku.
"Bukan!", bentaknya, "itu hanya namamu. Itu belum tentu kamu!"
Kemudian ia memegani tanganku, lenganku, pundakku dan seterusnya sambil terus
mencecar: "Ini tanganmu, bukan kamu. Ini lenganmu, bukan kamu. Ini pundakmu,
bukan kamu. Ini otakmu, bukan kamu. Ini hatimu, bukan kamu. Ini semua bukan
kamu, meskipun kamu dan semua orang menyangka ini adalah kamu. Ini semua
bukan kamu. Kamu adalah yang memimpin ini semua!"
"Yang dikerumuni oleh sejuta orang itu juga bukan kamu, bukan namamu, melainkan
suara kerinduan di kedalaman jiwa mereka sendiri. Kamu jangan salah sangka,
jangan GR, jangan mengambil alih dan memonopoli sesuatu yang kamu sangka
kamu dan milikmu. Kamu ini hanya kaca, bukan cahaya. Kamu hanya lempengan
pemantul, bukan sumbernya! Kalau orang membungkuk-bungkuk dan menciumi
tanganmu karena mengagumi, sesungguhnya bukan kamu yang dikagumi. Kamu
hanya petugas yang mengantarkan sesuatu yang dikagumi oleh nurani ummat
manusia. Kalau karnu menyangkua bahwa sesuatu itu adalah kamu sendiri, kamu
akan hangus terbakar!"
Di hadapan Sudrun, mulutku selalu kelu.
"Kamu ini Muslim. Siapa Muslim? Muslim adalah manusia yang merelakan dirinya
dipekerjakan oleh Allah. Dipekerjakan bagaimana? Siap menjalankan amanatNya.
Amanat apa? Serangga-serangga kecilpun diselenggarakan eksistensinya oleh
Tuhan dengan mengamban amanat. Ayam diamanati untuk memasok gizi kepada
manusia dengan daging dan telornya. Laba-laba diamanati untuk melindungi Rasul
Allah dan Sayyid Abu Bakar ketika mereka dikejar saat berhijrah oleh pasukan Abu
Lahab. Dan apa amanat untuk kamu?"
"Ada perbedaan serius antara kamu dengan ayam. Ayam langsung menjalani
amanat itu tanpa jarak ontologis, tanpa eksplorasi intelektual dan tanpa kreativitas
budaya. Laba-laba langsung mengerjakan amanat itu tanpa harus memiliki wawasan
yang matang tentang apa yang sedang berlangsung di dalam sejarah kemarin,
sekarang dan besok. Ular menjalankan amanat itu tanpa kewajiban untuk
mengantisipasi dan menemukan determinasi terhadap struktur-struktur
permasalahan mikro dan makro komunitas manusia. Dedaunan, akar-akar pohon,
sulur di rimba raya, menjalani amanat itu tanpa keharusan untuk berpikir konstan
agar menemukan modus gerakan sejarah yang paling effektif. Kalau kamu
menjalankan amanat di pundakmu tanpa upaya maksimal untuk merancang gerakan
sejarah semacam itu, maka apa beda antara kamu dengan serangga, dengan ayam,
ular dan laba-laba? Padahal di balik amanat itu, Allah telah memberimu fasilitas-
fasilitas yang canggih, yakni yang berupa kesanggupan
magnetikmu untuk menyerap sejuta ummat, serta ummat itu sendiri. Ummat adalah
fasilitas dari Tuhanmu. Ummat adalah pemantul amanatNya untukmu..."
(Emha Ainun Nadjib/"Sudrun Gugat"/Grafitti/PadhangmBulanNetDok)
BAJU ITU TANGGAL DI HADAPAN TUHANMU
ITULAH malam paling menyakitkan yang pernah kualami.Tapi akhirnya aku tahu
bahwa ada perbedaan besar antara rasa sakit dengan penyakit. Penyakit itu
destruksi terhadap hakekat hidup. Tapi sakit justru sanggup membawamu memasuki
sebuah situasi sakral yang misterius. Ada semacam tetesan kebahagiaan yang
diiming-imingkan oleh rasa sakit, oleh luka dan kepedihan. Aku yakin engkaupun
tahu bahwa ternyata rasa sakit dan kepedihan sesungguhnya adalah kebahagiaan
yang tidak menjumpai tempat persemayamannya di dalam jiwamu.

Sudrun menghardikku sepanjang malam, sebelum akhirnya ia mendadak lenyap


entah ke mana tatkala fajar berakhir. la kemudian digantikan kehadirannya oleh
cahaya matahari, yang pagi itu lain sama sekali dengan cahaya yang pernah
kukenali sebelumnya, ketika kutatap dengan mataku dan kuhayati dengan batinku.
Aku merasa bukan aku. Aku merasa lahir kembali sebagai aku yang sama sekali
bukan yang kemarin.

Aku pernah menjadi seorang Bupati dan aku menyangka bahwa aku adalah Bupati,
sehingga ketika aku tak lagi menjabat sebagai Bupati aku merasa kehilangan diriku
sendiri. Aku pernah menjadi seorang Menteri, di saat lain aku menjadi seorang
Jendral dengan jabatan dan kewenangan besar. Aku juga pernah menjadi seorang
bos besar dari sebuah perusahaan, kemudian menjadi pemimpin panutan beribu-
ribu orang yang setiap kali ketemu setia mencium punggung tanganku.

Ketika kemudian aku berangkat tua, aku mulai tak bisa mengelak untuk mengerti
bahwa sesungguhnya aku bukan bos besar, bukan penguasa dan bukan pemimpin.
Dan akhirnya tatkala orang-orang mengakat kerandaku dan memasukkanku ke
lubang kuburan yang begitu amat sempit dibandingkan yang pernah kubayangkan
tentang kebesaran hidupku: aku sungguh-sungguh memahami bahwa yang
dikuburkan ini bukanlah menteri, bukan bos besar, bukan pemimpin masyrarakat.
Yang meringkuk di kuburan dan tak bisa mengelak dari tangan Mungkar dan Nakir
ini adalah diri yang sama sekali lain, yang selama hidupku justru jarang kusapa dan
kuperhatikan.
Pada saat itulah tumbuh kecerahan pikiran dan sekaligus penyesalan. Betapa si
bupati, si menteri, si bos besar dan si pemimpin ummat, seharusnya sudah sejak
awal kukuburkan sendiri; dan semestinya aku melawan habis-habisan apabila
beribu-ribu orang itu mencoba menggali, menghidupkan, mengangkat di atas kepala
mereka sambil menyanjung-nyanjung sesuatu yang telah kukuburkan itu.

Aku bukan bupati, karena yang disebut bupati itu hanyalah bajuku. Aku bukan
menteri, sebab yang bernama menteri itu hanyalah nama dari tugasku. Aku bukan
bos, bukan pemimpin, bukan kiai, bukan ulama, bukan budayawan dan bukan apa
saja – karena semua itu sekedar inisial untuk menandai pekerjaan hidup sosialku.
Baju itu tanggal di hadapan Allah. Dan tanggalnya bajuku tak usah menunggu
mautku. Tak usah menunggu hari tua rentaku. Tak usah menunggu habisnya masa
tugasku. Tak usah menunggu orang lain mencopotnya paksa dariku. Di hadapan
keagungan Allah baju telah tanggal sekarang juga, bahkan sudah tanggal sebelum
ia kukenakan di badanku.
Di hadapan Allah baju itu tanggal. Jadi di manakah ada tempat di mana baju itu tidak
tanggal? Di manakah aku hidup, bertempat tinggal, bekerja, bersujud dan bernyanyi-
nyanyi, selain di hadapan Allah? Adakah tempat untuk mengungsi dari hadapanNya
selain di wilayah¬Nya jua? Adakah alam, kosmos, arasy, galaksi, ruang dan waktu di
mana aku bisa terhindar dari penglihatan-Nya?

Jadi di hadapanNya aku hanya sanggup telanjang.

Aku tidak bisa hidup kecuali di hadapanMu, ya Ailah. Kalau aku berdiri di podium,
Engkaulah itu yang menatapku. Kalau mulutku memekik-mekik dan tanganku
kuacung¬acungkan di hadap beribu orang di lapangan atau stadion, Engkaulah
hadirinku yang nomer satu. Wajahku menatap ribuan orang itu, tapi jiwaku tidak
menghadap mereka, jiwaku bukanlah yang sedang mereka tonton dan kagumi:
karena hanya Engkaulah satu-satunya yang berhak atas segala puji, segala
kekaguman, rasa cinta dan syukur.
Kami semua, berjuta-juta orang, bersama alam, matahari, cahaya dan segala yang
tersembunyi di baliknya, menatap ke satu arah yang sama, yakni Engkau.
Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi pusat perhatian mereka yang berjuta-juta
itu, ya Rabbi, karena aku tak kuasa menjadi pusat perhatian. Aku tidak akan
membiarkan orang berjuta-juta itu melihat kearahku, mengkonsentrasikan jiwanya
kepadaku, ya Rabbi, karena aku akan terbakar luluh sirna jika berani-berani
mengambil alih sesuatu yang menjadi hakMu. Aku akan berlari dari setiap arus
massa yang mengidolakanku, yang memberhalakanku, yang memenjarakanku di
dalam sangkar tahayul mereka. Aku akan memberontak dari setiap enerji sosial
yang menyandera hakekatku untuk dijadikan patung sesuai dengan konsep budaya
dan penyakit jiwa mereka. Kalau mereka memaksaku, aku akan menghilang. Kalau
mereka mendesakku, aku akan terbang. Kalau mereka memojokkanku, aku akan
tiba-tiba berada di balik punggung mereka. Kalau mereka mencengkiwing leherku
dan mencengkeram tengkukku untuk mereka jadikan sesuatu yang berdasarkan
klenik kesengsaraan mereka, aku akan berlaku gila
sampai mereka membenciku.

Ya Allah, ampunilah hambaMu yang bodoh ini. Ampunilah saat-saat ketika aku tidak
sanggup melihat apa-apa kecuali yang kusangka kebesaranku. Ampunilah tahun-
tahun tatkala aku menikmati posisiMu: dipuja-puja, dijadikan bahan histeria sejarah,
sehingga seolah-olah jiwaku bergumam sendiri - 'Laa ilaha illaAna...'
Ampunilah hari-hari kedunguanku di mana yang kunomersatukan adalah namaku,
popularitasku, posisi sejarahku di jenjang kursi yang amat tinggi yang disangga oleh
pundak jutaan orang. Ampunilah kelalaianku yang nikmat membiarkan berjuta-juta
orang menyangka bahwa aku ini besar dan sungguh-sungguh memiliki kebesaran.
AllahuAkbar Wa Lastu...

Tetapi kutuklah dan persiapkan api neraka bagi kejahatanku tatkala aku
memperniagakan kebesaran yang kusangka milikku. Tatkala aku
mengkapitalisasikan, memperdagangkan, dan mengeksploitasikan amanatMu itu
untuk perolehan kemewahan hidup keduniaanku.

Ya Allah, Dzat satu-satunya yang benar-benar ada, betapa terlambat aku mengakui
bahwa pada hakekatnya aku ini tiada. Bahwa segala yang seolah-olah kumiliki ini
adalah milikMu. Bahwa kehidupan, alam semesta, kemanusiaan, dan yang kusebut
diriku sendiri ini sesungguhnya tiada. Engkau meng-ada-kannya, Namun ada-ku
palsu. Engkau sajalah yang sejati ada.
(Emha Ainun Nadjib/"Sudrun Gugat"/Graffiti/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (7-Tamat)
Muhammad adalah sufi teragung yang pemah ada di muka bumi. Ucapan-ucapan
beliau amat puitis dan mengandung keindahan yang kaffah bersama kebaikan dan
kebenaran. Namun yang lebih penting yaitu bahwa beliau tidak hanya berhenti
merenung di gua Hira dan berasyik-asyik sebagai sufi-nabiy yang "masuk sorga
tanpa mengajak orang lain". Muhammad keluar dan gua, tampil membebaskan
masyarakatnya dari belenggu jahiliyah. Ia menjadi manusia pemimpin dalam arti
yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Ia menjalankan fungsinya yang ganda,
tak hanya menjadi sufi-nabiy, namun juga sufi-rasuli dan itulah karya tasauf terbesar.

Maka engkau semua adalah sufi-sufi, sebab bagaimana mungkin kita hindarkan
dirnensi-dimensi tasauf itu dalam proses taqorrub kepada Allah. Aku kira akan
segera kita jelang suatu masa di mana kaum Muslimin makin mampu menemukan
formula kekhalifahan mereka dengan mengorganisir mengerjasamakan pekerjaan-
pekerjaan rasuli dengan pekerjaan-pekerjaan nabi.

Pertumbuhan baru dalam masyarakat Muslimin menunjukkan bahwa term khalifah


dan kullukum roo'in yang diwahyukan oleh Allah, bukan sekedar perintahNya,
melainkan sekaligus janjiNya. Masyarakat Muslimin perlahan-lahan merasakan dan
menyadari bahwa mereka bisa memimpin kehidupan, bahwa kalau organisasi-
organisasi Islam resmi nampak tidak cukup progresif menanggapi perkembangan
tantangan jaman: ummat Muslimin akan mengerjakan pengisian kekurangan
tersebut otomatis dengan sendirinya.

Kini semakin melebar dan teracu berbagai pertanyaan dan terobosan terhadap
pemaknaan-pemaknaan baru atas nilai-nilai Islam. Ummat Islam telah mulai belajar
kembali, menyongsong kewajiban mereka di masa datang untuk memimpin
kebudayaan dunia islami. Pengertian-pengertian yang jumud tentang Islam kini
mulai diurai kembali. Arti sholat dikembangkan sayapnya. Telinga mereka makin
kritis kalau harus mendengar fatwa-fatwa klise tentang puasa yang selalu disebut
"untuk menghayati penderitaan kaum miskin" seolah-olah puasa itu dikhususkan
bagi orang-orang kaya, sehingga puasa bagi orang miskin ialah "untuk menghayati
penderitaan dirinya sendiri". Zakat digugat. Tentu bukan zakatnya yang digugat,
melainkan kebekuan radar kreativitas kita terhadap arti zakat. Islam mulai
menumbuhkan sistemisasi zakat yang lebih realistis, sekaligus merintis pendidikan
manusia-manusia penzakat yang tidak lagi harus ditodong agar berzakat. Dan
puasa, diterjemahkan ke dalam kehidupan
nyata. Orang mulai berkata: Kalau sekedar puasa Ramadhan, tidaklah terlalu berat.
Tetapi justru puasa dalam kehidupan nyata yang berkaitan dengan kesempatan
kerja, penikmatan ekonomi, jabatan, uang pensiun, popularitas, dan seterusnya
sungguh-sungguh merupakan tantangan yang menawarkan kematangan
kemusliman yang baru dan lebih realistis. Akan juga tiba giliran pertanyaan kepada
perolehan air madu haji: bahwa rukun haji bukan hanya menyangkut persoalan
fasilitas. Bahwa haji tidak sekedar nomor unit sesudah syahadat. Haji adalah
merupakan peringkat sesudah mencapai kematangan sholat, puasa dan zakat.
Siapapun silahkan memfungsikan haji sebagai instrumen kepentingan mobilisasi
politik atau investasi bisnis ekonomi, namun anak-anak muda Muslimin mulai peka
saraf-saraf rohaninya terhadap kebenaran tempelan yang berbeda dengan
kebenaran sejati.

Pada saat yang sama proses pemaknaan kembali atas nilai-nilai Islam itu disertai
oleh urgensi keharusan mengatasi problem kaum mustadh'afin. Dan tidak sedikit
anak-anak muda Kaum Muslimin yang sudah terjun langsung ke dalam pekerjaan
melelahkan ini, betapapun organisasi dan strategi-strategi untuk itu belum benar-
benar ditemukan rumusnya. Mereka tidak bisa tahan hati menunggu keputusan
seminar para dewa yang akan mengungkapkan strategi itu, maka meskipun masih
bersifat sporadik, fragmentaris dan ornamental mereka sudah mencoba langsung
mengerjakannya. Untuk mewujudkan perilaku kemusliman tidak hams menunggu
mode baru Ratu Adil yang berupa suksesi tampuk kepemimpinan politik atau
tersedianya wadah kenegaraan bagi sistem nilai baru yang islami. Mereka langsung
menabung

Apa yang saya maksud dengan "tabungan Islam" adalah proses islarnisasi dalam
arti kebudayaan luas serta dalam satuan-satuan nilai yang universal. Mereka
Menabung agar tidak terbawa menjadi lemah tanpa harus menunggu formula
kenabian baru dari atas yang coba dibangun dengan buku-buku dan diskusi-diskusi.
Mereka menabung agar tidak ikut dilemahkan tanpa harus menanti usaha
rekonstruksi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah atau Nandlatul Ulama,
tanpa harus menanti perombakan total isi siaran televisi, lahirya sutradara-sutradara
film yang islami atau keinsyafan kultural edukatif para cukong perdagangan
kebudayaan sekuler. Mereka menabung untuk tidak melemahkan dengan melatih
diri terbiasa berpuasa menahan diri dari segala godaan kesempatan, terutama
kekuasaan, uang dan kemewahan; dengan merintis pemanfaatan kebiasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk suatu langkah yang lebih islami. Mereka
menabung pekerjaan-pekerjaan yang mereka yakini bersifat
islami tanpa harus menunggu keputusan para Ulama dan cerdik cendekia tentang
definisi islami yang paling tepat dan tidak subversif. Mereka menabung untuk tidak
mendmbali jumlah orang yang lemah dan dilemahkan tidak dengan hanya
membayangkan bagaimana memperoleh granat tangan untuk meledakkan gedung
ini dan kantor itu, tidak dengan menyelesaikan dahulu penyelidikan atas rahasia
World Bank, rencana-rencana CIA dan KGB atau apa maksud sebenamya dari
dilimpahkannya uang dengan jumlah yang sangat banyak oleh organisasi-organisasi
non-pemerintah di luar negeri kepada yang disebut pejuang-pejuang penolong kaum
dhu'afa. Mereka menabung untuk tidak menambah jumlah orang yang lemah dan
dilemahkan tidak dengan membayangkan bagaimana meng-genggam seluruh
persoalan dunia ini di sebuah tangannya; melainkan dengan mengerjakan apa yang
dapat is kerjakan sebatas langkah kakinya, jangkauan tangannya dan kapasitas
tenaga hidupnya.

Pada suatu hari kegagapan makro dan hubungan mikro itu akan bertemu dalam
suatu rangka pengelolaan yang lebih artikulatif strateginya. Ummat Islam telah rnulai
bekerjasama dengan janji Allah "wanuriidu an-namunna
'alalladziina-studh'ifuu filardli wanaj'aluhum al-immatan wanaj'aluhumu-
lwaaritsuun ..."

Bandung, 11 September 1986


(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (6)
Dalam skema 'segitiga terpotong' ala rasionalisme dan etos kerja peradaban Barat
(dimana titik puncak A adalah manusia, A ke B adalah penelusuran ilmu
pengetahuan dan B ke C adalah penerjemahan teknologinya serta B ke A adalah
pemfungsian teknologi bagi cita-cita manusia), anak-anak muda Muslimin kini mulai
melihat bahwa kebuntuan garis B ke A (kembali) ala Barat adalah karena tidak
dikawinkannya teknologi dengan etos keimanan. Bahwa bagi aspirasi Islam, A
bukanlah manusia melainkan Allah: dan ini yang menyebabkan kehampaan
modernitas abad-20. Maka kini anak-anak muda Muslimin tergerak untuk ikut
berpacu mematangkan perjalanan ilmu pengetahuan ke B dan berfastabiqul khoirat
mencapai C, tetapi kemudian mengaplikasi garis C ke A dengan Iman, Islam, lhsan.
Artinya, tidak lagi terjebak untuk anti ilmu pengetahuan dan fobi teknologi, sebab
persoalannya 'tangan bagaimana' yang menggenggam ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Itulah thariqat modem. Itulah thariqat islami, yang historis, realists, tidak melarikan
diri.

Bagiku sendiri menjadi kelas beda antara tasauf nabiy dan tasauf rasuli. Kejelasan
itu memberi petunjuk bahwa aku-aku atau engkau-engkau para mujahid yang
sebagian tergolong dalam mujahid-nabiy, sebagian lain mujahid rasuli.
Pertama tetap kupegang kesadaran tentang kepemimpinan rohani tasauf atas
perjalanan hidup manusia. Tasauf memelihara kedalaman, menjaga kemesraan
pergaulan dengan Allah, dan selalu mengingatkan kita untuk mempedomaniNya.
Dimensi tasauf yang ini sama sekali tidak bisa digugat.
Pedoman pada kepemimpinan spiritual tasauf yaitu suatu pekerjaan thariqat yang
realitas dalam urusan-urusan kehidupan manusia dan masyarakat.

Kita senantiasa sudah memahami posisi kekhalifahan muslim, bahkan semua


manusia di muka bumi. Tinggal dibedakan antara kekhalifahan tipe rasul dengan tipe
nabi. Seorang Rasul dibebani kewajiban untuk menjadi penggembala ummat secara
langsung: ia harus menguasai semua persoalan masyarakat, ia mungkin seorang
negarawan, seorang pemimpin politik, bahkan seorang panglima perang, seorang
sosiolog, budayawan, serta segala sesuatu yang memiliki kualitas kaffah sebagai
manusia. Sedangkan seorang Nabi tidak dituntut sejauh itu, meskipun dalam
beberapa segi barangkali ia lebih kental dan mumpuni dibanding manusia Rasul.

Masing-masing tipe ini membawa serta tanggung jawab yang berbeda, perilaku dan
strategi yang berbeda, godaan-godaan yang berbeda, kemudahan-kemudahan dan
kesulitan yang berbeda.

Seorang sufi yang memiliki sifat kenabian (nabiy) mewujudkan kekhalifahannya


dalam bentukan-bentukan sosial budaya yang mungkin eksklusif dan terbatas skala
effektivitasnya. Ia mungkin menuliskan doa-doa puisi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah:
selebihnya ia menjalankan perilaku kehidupan yang seolah sengaja tidak
diintegrasikan kepada bahasa kebudayaan orang banyak, sehingga ia sangat
'strategis' untuk disalahpahami atau bahkan dihukum gantung.

Akan tetapi seorang sufi-rasuli tidak boleh mengingkari alam hidup ummat, bahasa-
bahasa dan idiom-idiomnya. Segala karya tasaufnya harus diterjemahkan ke dalam
bahasa ummat, dengan resiko ia bisa menjadi tidak kental sebagai individu karena
pada hakekatnya yang ia lakukan ialah melebur diri ke dalam hatinuraninya dan
tubuh ummat. Karya tasaufnya tidak diwujudkan dalam sistem format subyektif
individual, melainkan integral dengan keperluan-keperluan Islami sebuah
masyarakat.

Muhammad adalah sufi teragung yang pemah ada di muka bumi. Ucapan-ucapan
beliau amat puitis dan mengandung keindahan yang kaffah bersama kebaikan dan
kebenaran. Namun yang lebih penting yaitu bahwa beliau tidak hanya berhenti
merenung di gua Hira dan berasyik-asyik sebagai sufi-nabiy yang "masuk sorga
tanpa mengajak orang lain". Muhammad keluar dan gua, tampil membebaskan
masyarakatnya dari belenggu jahiliyah. Ia menjadidangkan seorang Nabi tidak
dituntut sejauh itu, meskipun dalam beberapa segi barangkali ia lebih kental dan
mumpuni dibanding manusia Rasul.

Masing-masing tipe ini membawa serta tanggung jawab yang berbeda, perilaku dan
strategi yang berbeda, godaan-godaan yang berbeda, kemudahan-kemudahan dan
kesulitan yang berbeda.

Seorang sufi yang memiliki sifat kenabian (nabiy) mewujudkan kekhalifahannya


dalam bentukan-bentukan sosial budaya yang mungkin eksklusif dan terbatas skala
effektivitasnya. Ia mungkin menuliskan doa-doa puisi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah:
selebihnya ia menjalankan perilaku kehidupan yang seolah sengaja tidak
diintegrasikan kepada bahasa kebudayaan orang banyak, sehingga ia sangat
'strategis' untuk disalahpahami atau bahkan dihukum gantung.

Akan tetapi seorang sufi-rasuli tidak boleh mengingkari alam hidup ummat, bahasa-
bahasa dan idiom-idiomnya. Segala karya tasaufnya harus diterjemahkan ke dalam
bahasa ummat, dengan resiko ia bisa menjadi tidak kental sebagai individu karena
pada hakekatnya yang ia lakukan ialah melebur diri ke dalam hatinuraninya dan
tubuh ummat. Karya tasaufnya tidak diwujudkan dalam sistem format subyektif
individual, melainkan integral dengan keperluan-keperluan Islami sebuah
masyarakat.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (5)
Itu semua semacam thariqat.

Kegagapan sejarah semacam itu juga dialami oleh anak-anak muda berbagai
sejarah dan tempat, namun anak-anak muda Muslimin kini boleh menjalinnya
dengan kesadaran dan sikap nilai yang baru. Bahkan untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman keilahian yang lebih suci dan dewasa sebagai anak-anak
muda itu kini secara naluriah mengambil jarak dari Tuhannya. Kita barangkali
mencemaskan mereka karena sudah lama tak sembahyang, bahkan Allah seperti
dibencinya dan bahkan dianggapnya tidak ada. Kita tinggal terus mengawani
mereka dengan kadar cinta kasih yang lebih tebal, serta dengan menerjemahkan
serinci mungkin kesadaran tharigat itu ke dalam kemungkinan-kemungkinan sistem
nilai manusia dan masyarakat sehingga mereka 'berpapasan' kembali dengan Allah
yang sejati.
Sadar atau tidak sadar kini telah dirintis suatu terobosan pemahaman dan
pengalaman keislaman. Anak-anak muda Muslimin telah lama tidak puas dengan
polo-pola thariqat para pejalan agama tradisional: dzikir-dzikir verbal, gerak-gerak
menuju mabuk, dengan beratus ribu orang lain yang terorganisir, yang akhirnya
terjebak untuk sekedar melarikan diri dari dunia yang tidak mampu dirumuskan dan
diatasinya. Eskapisme tasauf 'budhistik' ini akhirya menjadi kartus-minus bagi
keperluan riil sejarah ummat manusia. Di saat lain kecenderungan ini bahkan
menjadi semacam legalisasi kemunafikan, ingatlah umpamanya suatu model teologi
timbangan (mizan) di mana pada siang hari orang-orang itu suntuk mengerjakan
berbagai kemungkaran yang hampir selengkap malima (maling, madat, minum,
madon dan main), sementara malam harinya mereka bersama-sama berdzikir
verbal, bersujud kepada Allah dan menangis sejadi-jadinya.

Anak-anak muda Muslimin sudah terlanjur diajari mengerjakan penalaran dan akal
sehat, meskipun dengan banyak ironi-ironi sebagai sertaan pendidikan tersebut.
Namun akal sehat mereka membawa kesadaran untuk tidak menerima sebagian
perilaku thariqat tradisional tersebut.

Pada mulanya mereka mengalihkan kepercayaan kepada simbol-simbol dunia


modern: rasionalisme, beragama dengan akal sehat, menolak taqlid buta maupun
tak buta. Namun orientasi pokok modernitas yang ternyata sama parsialnya dengan
kejumudan perilaku tradisional, membikin mereka tidak menemukan kebenaran yang
dikangeni oleh kedalaman jiwa mereka.

Mereka lantas kembali menengok tradisi, namun sudah dilandasi dengan paradigma
sikap, wawasan dan kedewasaan ijtihad yang baru. Mereka menggagas dan
melayani alam tradisi dan alam modern mulai dengan suatu cara bergaul yang
kaaffah. Mereka tidak lagi meninggalkan tradisi tanpa sisa, melainkan melihat bahwa
apa yang terjadi hanyalah mandegnya kreativitas thariqat tradisional. Alam modern
juga tidak dilihatnya sebagai sebuah dunia lain sama sekali, melainkan sebagai
sejarah kreativitas kemanusiaan baru yang sesungguhnya memberi arti dan
fenomena baru bagi thariqat lama yang beku dan kekanak-kanakan.

Anak-anak muda Muslimin bahkan mulai tahu bahwa thariqat-thariqat verbal itu
bukan tak mereka butuhkan. Itu tetap merupakan tehnik penyucian dan
pembongkaran rokhaniah yang praktis. Namun diketahui oleh mereka juga bahwa
bentuk-bentuk thariqat kini sangat berkembang ragam karena tantangan-tantangan
persoalan manusia pun sudah sangat berbeda. Tinggal persoalannya bagaimana
memperlakukan sekolah, buku-buku sekuler, terminologi-terminologi peradaban
buntu, segala pemahaman dan perlawanan terhadap gejala jahiliyah dengan suatu
sikap tharikat yang sadar dan selalu dibersihkan. Sepanjang mereka berwudlu pada
setiap pengalaman kesejarahan, yang kecil maupun besar, maka makna thariqat itu
akan insya Allah mereka peroleh sebagai nuur Allah.

Mereka akan mema'rifati kehidupan, mema'rifati problem-problem secara tepat,


mema'rifati kebenaran yang sejati, serta mema'rifati cara yang penuh hikmah untuk
mengatasinya.

Itu semua merupakan rintisan perwujudan giliran Islam untuk memimpin sejarah
dunia.

Syari'at adalah alam. Hakikat adalah realitas sosial. Thariqat merupakan semacam
kata kerja dialektis yang berada di antara syari'at dan hakikat serta sekaligus
mentrandensi atau mengatasinya. Hanya dengan kekhusyukan thariqat maka
ma'rifat akan dicapai.
Islam sangat lengkap dengan petunjuk. Agama ini sedemikian bercahaya. Anak-
anak muda Muslimin kini makin menyadari bahwa Al-Qur'an adalah kepustakaan
utama. Mereka kini merasuki kitab sucinya dengan pola pendekatan modem yang
mereka peroleh dari keilmuan Barat. Pada suatu hari mereka akan menemukan
bahwa Al-Qur'an itu sendiri adalah sebuah pendekatan, adalah sebuah metodologi,
adalah gambaran dasar dari cara pandang dan terminologi hadiah Allah untuk
melihat dan mengolah dunia, manusia dan proses kembali ke sumbernya.

Alyauma akmaltu lakum diinakum hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu
segala sesuatu yang dimungkinkan oleh jatah kodrat manusia telah dipuncaki oleh
Muhammad dan Al-Qur'an. Kalimat ini kita ucapkan tidak sebagai kamuflase dari
kekalahan kesejarahan Ummat Islam atau sebagai hiburan-hiburan jumud sehabis
kita tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan abad ini secara islami. Kalimat ini
kita ucapkan dengan landasan keyakinan dan iman, dibangun di atasnya rintisan-
rintisan pengislaman diri dan dunia dengan membanting tulang dan memeras
keringat dalam thariqat.
Muhammad telah menjadi pamungkas segala Nabi dan sesudah beliau tidak ada
lagi wahyu diturunkan. Mendengar berita kesempumaan itu lantas anak-anak muda
Muslimin lantas kecewa, dengan rasa pilu seolah-olah mereka hidup amat jauh dari
Muhammad dan wahyu. Seolala-olah sejarah pencahayaan dan Allah telah berhenti
14 abad yang lalu, dan kini mereka hanya menerima pantulan-pantulan dari cahaya
dari tangan yang entah keberapa ribu.

Kini mereka merasakan Muhammad hanya terkubur tulang dagingnya, namun


Muhammad sangat mengendap di hati mereka dengan terprogram amat kuat di
jaringan komputer pikiran mereka. Kesempurnaan kenabian Muhammad adalah
informasi Allah bahwa uswatun hasanah agung itu merupakan cakrawala akhir dari
segala yang mungkin dicapai oleh peradaban manusia. Wahyu selesai pada beliau
berarti segala puncak prestasi pemikiran dan segala kreativitas manusia telah
disediakan sumbernya oleh Al-Qur'an dan terakomodir oleh sistem nilai Islam jika hal
tersebut sungguh-sungguh dithariqati. Wahyu tidak berhenti pada abad ke-8, namun
puncak kualitas petunjuk Allah artinya yang Ia jatahkan bagi manusia telah terjadi di
abad itu atas Muhammad.
Kita sudah lama bagai tidak percaya kepada wahyu, bahkan kepada karomah atau
ilham. Kita menjadi inferior dan bergantung kepada informasi-informasi keilmuan dari
kaum superior. Ini tidak berarti melihat bahwa wahyu itu sebuah kutub dan informasi
'non-Islam' itu sebuah kutub yang lain. Para kaum superior itu telah mengerjakan,
apa yang tidak dikerjakan dari bagian Al-Qur'an, meskipun tak dilandaskan pada
etos keimanan dan ikhsan islami. Kini anak-anak muda Muslimin mulai mengerti
betapa penting menyerap informasi-informasi itu, namun musti secara islami.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (4)
Anak-anak muda yang lain, di atas kapal sejarah yang oleh mereka, mencari
pegangan apa saja, pokoknya pegangan: sesuatu yang bisa menolong mereka
untuk merasa ada dan berdiri, atau hilang sama sekali. Partai-partai oposan? Kalau
menggunakan lensa pandang jangka pendek sesungguhnya mereka hanya terlibat
dalam partai apusan. Organisasi-organissasi sosial yang sejauh ini ada cenderung
hanya siap menjadi perangkat dari mekanisme yang mereka tidak setujui. Bahkan
Tuhan, yang seolah diam abadi, sangat mengecewakan mereka. Dan pada kejadian
krisis semacam itu: ternyata din mereka sendiri tidaklah bisa mereka pegang.

Maka anak-anak berlari ke narkotika kebudayaan, tenggelam ke dasar dangdut dan


musik rock, sentimentalitas mabuk dunia pop, menulikan telinganya dengan
olahraga dan histeria tinju, mengintensifkan eskapisme mistik, atau membikin koloni-
koloni kecil di mana mereka menyembah sujud di hadapan arca kepahlawanan Karl
Marx atau fundarnentalisme Khomeiny.

Pada momen-momen pertama pegangan-pegangan tersebut mereka genggam


dengan tegangan tinggi, sedemikian rupa sehingga dunia tuyul pun bisa dipercayai
untuk digenggam. Mereka mencari kemutlakan, kepastian, karena kemutlakan dan
kepastian adalah lawan kata dari ketidakmenentuan. Maka mata dan telinga
kemutlakan yang juga selalu mereka pakai untuk melihat dan mendengarkan
apapun; sebab kalau sesaat saja mereka kehilangan rasa mutlak, berarti terjerumus
kembali ke dunia ketidakmenentuan.
Ongkos dari mobilitas kemutlakan ini antara lain ialah keterjebakau untuk mengulang
beberapa kegagalan sejarah di masa silam, di Indonesia dan di dunia. Aku merasa
tidak perlu mengungkapkan hal ini dengan bahasa jelas karena aku meyakini
sepenuhnya bahwa apa ini adalah proses menuju kematangan yang sesungguhnya.
Aku merasakan semuanya itu tetaplah ungkapan kemarahan suci, gairah qudus
akan sesuatu yang lebih baik sedemikian suci dan kudusnya sehingga sering tidak
tepat untuk (perubahan) dunia yang sudah penuh dengan lendir.
Mereka sangat mengasihi kaum dhu'afa, dan sekujur tubuh dan jiwanya terasa gatal
untuk segera memperjuangkan nasibnya. Tetapi semua orang mengerti bahwa
mencintai itu amatlah tidak gampang: ia harus sangat memberi, namun pada saat
yang sama ia sangat egoistis. Misalnya egoistis dengan pegangan ideologinya.

Sahabat saya pernah menulis dengan amat erosional dan aku menyetujui emosi
yang memang syah itu. Inilah hasil dari rezim yang terlalu kuat, tetapi ini juga
kebiasaan sejarah. Mayoritas anak-anak muda dijadikan dan menjadi bebek-bebek,
ternak-ternak, angka-angka, barisan robot mesin politik perusahaan negara.
Sementara tumbuh minoritas yang fanatik, puritan, kolot, absolut, penuh 'garis
partai', maunya radikal namun untungnya mereka masih kurang tahan dengan
gigitan nyamuk.

Anak-anak muda itu membuat kelompok-kelompok kecil, berkeping-keping, tak


saling kenal dan belajar bergaul di antara kelompok-kelompok tersebut. Pandangan
mereka parsial, watak mereka stereotip, pengetahuan mereka linier, cekcok satu
sama lain sehingga kurang sempat benar-benar memahami ilmu-ilmu perubahan.
Pada tingkat wawasan intelektual, pada umumnya mereka masih terbengkelai.
Namun pada saat yang sama mereka seolah-olah harus menyelenggarakan
pekerjaan politik, yang juga masih dimuallafinya.

Untuk hadir di tengah-tengah mereka para 'oposan bikirtari konteksnya tentu saja
'dialektika kekuasaan'. Anak-anak suci tersebut digosok sampai nikmat, dikasih
kacamata kuda, dikasih sabun untuk onani politik, dipacu, dijaring, diwuwu, dibikin
merasa berjuang, merasa pahlawan, merasa secara intelektual mereka yang paling
tahu dibanding seluruh penduduk seluruh dunia dan secara politis mereka akan
memimpin perubahan sejarah. Namun pada saat yang sama mereka dibodohkan,
dijadikan seperti ular yang berkulit terlalu lembut dengan kepala mendongak terbuka
untuk pada suatu hari dipukul dengan popor senapan. Setidaknya akan datang para
pekerja publisitas yang memotreti pekerjaan mereka, dan situasi itu memang
memuaskan, karena tidak sedikit dari mereka meletakkan diri tidak pada aksentuasi
kepentingan perubahan melainkan pada ekshibisi bahwa merekalah perubah-
perubah. Artinya, yang mereka artikulir dan mereka perjuangkan, bukanlah kaum
lemah yang selalu
disebut-sebut oleh teriakkan mereka, melainkan supremasi model baru kelas
mereka sendiri.

Kawan itu mengeluh juga soal kesenian. Di satu pihak kesenian asyik onani sendiri
dengan apa yang disebut seni tinggi, lainnya sibuk mengelontongkan ludah indah di
pasar persekutuan kapitalis, lainnya lagi di'partai'kan secara plat sehingga
kehilangan kesenian, kehilangan kebudayaan, dan akhirnya kehilangan manusia.
Ia seolah-olah, ketika itu, berputus asa: sesungguhnya, ia berkata, di hadapan
rakyat miskin, kita bukanlah pemrakarsa perubahan dalam arti yang obyektif historis,
melainkan tidak lebih sebagai pejuang dari pamrih-pamrih ideologis
kita sendiri. Kita ingin memperkosa rakyat dengan fanatisme cara pandang kita,
dengan mimpi-mimpi Eropa atau Iran kita, dengan azas tunggal kebenaran kita...
Namun aku yakin begitulah memang proses mencari kebenaran. Pada suatu hari ia
akan mengendap, dan apa yang perlu diorganisir, akan siap untuk itu.

Aku melihat perubahan memang ada alamnya sendiri. Apalagi dunia anak-anak
muda. Mengapa kita harus menolak gejala-gejala itu. Ada belajar, ada diskusi, ada
percekcokan, ada pertentangan, pendapat nasional diantara para calon pemimpin,
ada bendera yang terlalu cepat dikibarkan, ada penyakit jiwa, ada kelahiran
prematur, ada kcbengongan sejarah. Ada cinta kasih kerakyatan, ada ketololan
perjuangan, ada kesadaran baru, ada karbit, ada kesetengahmatangan, ada muallaf,
ada putus asa, ada harapan, ada belajar, terus ada belajar

(bersambung) =====>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme


Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (3)
Dalam khasanah tasauf, Adam disebut sebagai melambangkan kesehatan.
Kesehatan ialah angka pertama dari pekerjaan dan pencapaian apapun yang
dimungkinkan oleh kehidupan manusia. "Rumah yang melindungi, baju yang
menutup auratnya, sepotong roti serta air" begitu kata Muhammad (Rasul si potret
segala yang mungkin dipuncaki oleh prestasi baik manusia), merupakan rukun awal
dari kehidupan. Hanya dengan tubuh sehat manusia mampu dan jernih
mengucapkan syahadat, mengerjakan sholat, mendidik anak, menjadi pedagang,
memimpin kaum, atau menulis syair. Dengan kesehatan itu pula manusia menyadari
posisi ahsani taqwimnya, mencapai dimensi yang dilambangkan oleh sang Nuh si
derajat, kemudian menggagas dan mengalami keilahian bagi Ibrahim yang
memilihNya dan dipilihNya. Demikian seterusnya sampai ia terbanting bagai Ismail,
kembali belajar merumuskan antum a'lamu bi-umuuri dunyaakum - bagai Musa,
lantas menemukan inti ruh bagai Isa dan menggenggam cahaya puncak
kemakhlukan dan kekhalikan bagai Muhammad kekasih Allah.

Demikianlah jangka gelombang Adam hingga Muhammad adalah gambaran plot


kehidupan individu manusia maupun kelompok masyarakat.

Akan tetapi Iblis yang berusaha keras membuktikan kebenaran peringatannya


kepada Allah tentang ide penciptaan manusia si pengucur darah (tubuh dan jiwa),
cukup sukses dengan program-programnya. Para mujahid bercerita kini ada sekitar
100 juta manusia hidup di jaman pra-Adam; tak memperoleh hak kesehatan dasar,
sementara sisanya tak cukup punya iktikad untuk mencapai Muhammad.

Di depan rumah berarsitektur istana berpagar tinggi berkawat duri, dari balik jeruji
pintu, kita menawar harga belanga dari Rp 250,00 menjadi Rp 100,00. Cita-cita kita
ialah ikut memenuhi jalan-jalan raya dengan mobil-mobil pribadi, sehingga hak
jutaan orang yang berjejal-jejal antri di Bus atas jalan raya tidak sungguh-sungguh
menjadi hak. Kita menyembah manipulasi dan akumulasi, kita menumpahkan tenaga
dengan musik rock atau segala macam kebudayaan penghisap daya rohani yang
sesungguhnya bisa kita pakai untuk urun memperbaiki dunia; sementara nyanyian
Ummi Kaltsurn yang menghimpun energi terasa amat ikut 'penerbang' elite
intelektual. Dan dengan bekal kedewasaannya itu mereka telah secara serius
mengerjakan banyak hal yang mereka sangka sebagai menolong dan mendidik
orang-orang tertindas. 'Blunder'nya terletak pada dua faktor; pertama kualitas
manusia mujahidnya, kedua pada jarak antara pengetahuan dengan realitas.

Itu memprihatinkan, dan kita butuh menyadarinya sebagai keprihatinan, karena kita.
sungguh-sungguh ingin berbuat sesuatu untuk persoalan mendasar itu. Pada saat
yang sama keadaan itu patut disyukuri: semua gejala itu jujur secara sejarah. Itulah
anak jaman kita apa adanya. Dajjalisme dan dajjalisasi sudah sedemikian menjadi
dan mobil kebingungan di tengah-tengahnya adalah situ model langkah yang sama
sekali tidak aneh.

Di dalam perspektif jaman dajjal anak-anak muda merasa diri berada dalam
kurungan imperium raksasa di mana 'atas' menginjak 'bawah', di mana 'utara'
menguasai 'selatan', di mana 'barat' mengalahkan 'timur' - meskipun yang terakhir
mulai cenderung pupus karena lewat kebudayaan orang lebih mampu antisipatif
dibanding kalau mereka menghadapi kerajaan politik atau dominasi ekonomi.

Di dalam struktur pokok itu mereka menjumpai dan langsung menghadapi


penerjemahan-penerjemahannya ke dalam skala-skala yang lebih kecil dengan
berbagai variabel yang saling silang dan sering amat membingungkan daya
terminologis mereka. Aku sendiri amat terlibat dalam kebingungan itu. Sejarah ialah
sungai pasir berwarna-warni dengan arus yang membuat jumlah pasir tak terhitung
itu menjadi kait-mengkait. Aku tidak tahu bagaimana meletakkan rakyat Amerika
dalam tubuh imanku. Aku tidak mampu menjelaskan immanensi dunia politik yang
anti manusia itu kepada hati nuraniku. Aku tidak paham uang Saudi Arabia itu
dipakai untuk apa. Aku tak sanggup menerangkan kepada diriku sendiri tentang
konperensi perdamaian yang dibiayai oleh sebagaian hasil penjualan senjata. Aku
tidak selalu bisa memelihara ingatan yang menyuruh aku melihat tali yang
menghubungkan antara tetanggaku yang selalu terlambat membayar uang bulanan
TK anaknya sebesar Rp 7.500,- dengan Bank Dunia.
Ternyata aku ketahuan tidak memiliki cukup tenaga untuk terus menerus mengejar
munculnya modifikasi barn struktur kekuasaan kota-desa, negara-rakyat, atau
bahkan ulama-ummat dalam konteks kaitan tertentu antara kepemimpinan religius
dengan kekuasaan politik; apalagi untuk senantiasa mendzikirkan keprihatinan yang
menciptakan jarak antara sesisir pisang di gendongan seorang Ibu dari Nglipar
Wonosari dengan sebiji pisang di restoran Cina . Jiwaku terkoyak-koyak ketika
setiap kali harus dipanggang oleh jarak yang terlalu jauh antara kenyataan
masyarakat dengan segala sesuatu yang setiap hari disuarakan oleh dunia
informasi.
Pada saat-saat tertentu amat terasa dunia ini adalah ketidakmenentuan, kegaduhan
yang kosong, kemegahan yang hampa, pegangan-pegangan yang tidak bisa
dipegang namun selalu dipaksakan untuk dipegang.

Dan tidak ada yang lebih menyiksa dalam hidup ini kecuali bermusuhan melawan
ketidakmenentuan. Maka sebagaian anak-anak muda ingin secepatnya menemukan
sosok yang dianggapnya paling jelas mewakili sumber ketidakmenentuan itu, dan
segera pula menabrakkan kepalanya ke dinding karang sosok tersebut. Hal
semacam ini sama sekali tidak aneh, karena sang anak ketidakmenentuan akan
melahirkan juga ketidakmenentuan.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (2)
Aku merasa jelas bahwa aku tak kunjung paham kedua-duanya. Namun aku melihat
jarak itu ada, dan di dalam jarak tersebut aku sering menyaksikan usaha-usaha
santunan dari yang pertama kepada yang kedua mengalami kebuntuan atau
keterjebakan. Oleh jarak itu aku sendiri sering dibikin gagap, tak becus
mendudukkan pikiran, bingung menentukan kuda-kuda sikap, bahkan tidak jarang
aku menjadi kehilangan diriku sendiri. Di dalam perjuangan gencar memerangi
proses pemiskinan itu sering aku menjumpai diriku tak lebih dari sejumlah kalimat
indah yang hampa.

Maka aku juga bersyukur bahwa Para mujahid itu tidak bertanya apa yang telah
kukerjakan untuk ikut mengatasi problem kemiskinan membebaskan kaum dlu'afa?
Sedang kakak-kakakku dalam sejarah lebih mengajariku untuk mensiapakan aku,
untuk memacu siapa aku agar melebihi siapa-siapa pun lainnya di muka bumi ini.
Aku kurang dididik untuk menyerahkan diri kepada kebaikan proses masyarakat,
melainkan dicontohi bagaimana memfungsikan proses masyarakat untuk
kepentingan eksistensialku. Itu bisa ditempuh dengan cara menunggang kuda
kemiskinan orang banyak, atau menunggang kuda baru yang diciptakan untuk
mengantisipasi kuda kemiskinan. Sedemikian rupa, sehingga semakin cepat kuda
kemiskinan berlari, makin cepat pula kudaku memacu diri. Jika kuda kemiskinan
berhenti, akupun tak bisa mengendarai kuda apapun.

Aku berharap hal yang terakhir ini tidak bakal terjadi. Namun kenyataannya banyak
bukti di lapangan memberitahukan kepadaku bahwa para mujahid sehubungan
dengan itu butuh sangat berhati-hati, terutama terhadap dirinya sendiri.

Pikiran semacam itu memperbesar ketakutan dan ketidakrelaanku terhadap diriku


sendiri apabila aku berbicara tentang problem kemiskinan hanya dengan pikiran-
pikiranku.

Sangat nikmat untuk mengepulkan asap warna-wami, menghias angkasa dan koran-
koran dan itu baik, sungguh baik tetapi Allah maha lembut bagai sapuan angin
sekaligus maha besar melampaui alam semesta: di hadapanNya, seorang muslim
menjawab segala sesuatu dengan hidupnya.

Kata-kata dari seseorang, terhindar dari dosa bahkan dosa besar apabila ia
merupakan hidup seseorang itu. Aku mengalami bahwa di antara pikiran-pikiran
dengan kehidupan, terdapat banyak ragam lakon dosa. Pembayangan terhadap
lakon itu merupakan cara yang balk untuk memojokkan diri hanya sungguh-sungguh
ke Allah. Ke Allah, yang dewasa ini nampaknya harus dilalui melewati jalan di mana
keadaan hidup orang-orang miskin muncul di hadapan akidah kemusliman sebagai
amrullah, perintah Allah untuk mengatasinya.

Konteks yang menyatukan orang-orang miskin dengan amrullah ini mungkin berat
kita sangga: jaman ini makin memiliki kecanggihan untuk menghiasi jarak antara
pikiran-pikiran dan bukti, kenyataan hidup

Lihatlah, bukankah ungkapan ini berasal dari cacah jiwa orang miskin: emosi, impian
dan inferioritas? Ketiga faktor psikologis itu tidak pernah dimiliki oleh misalnya
seorang perampok, apapun jenis, nama atau julukan bagi perampok itu.

Aku tidak sedang berbicara tentang term 'kapitalistik' yang menyebut adanya kaum
intelektual profesional', atau pekerjaan-pekerjaan melelahkan membantu orang
miskin yang terjebak oleh kenyataan 'an other trickle down effect'.

Sungguh-sungguh aku berbicara tentang ketakutan bahwa jangan-jangan aku


termasuk dalam golongan kaum mustadh'afin, orang-orang (dalam birokrasi atau
setidaknya dalam suatu organisasi ‘otomatis’) yang melemahkan orang-orang lain.
Banyak orang sudah mencoba berpuasa, yakni sebisa-bisa menghindarkan diri dari
mekanisme pelemahan itu dengan resiko 'eksistensial' sehubungan dengan
kemungkinan perolehan politis, ekonomis dan kultural; namun toh berbagai informasi
dari kaum strukturalis bagai tak menyisakan ruang untuk tak berdosa.

Mungkin ini sentimentil aku saja. Mengapa aku tak bisa tidak mengungkit-ungkit
'manusia'? Apakah karena manusia telah tak bisa menjadi troof perubahan dunia
manusia itu sendiri? Apakah karena segala teori perubahan cenderung
mengandaikan manusia itu tak bisa dipercaya? Dan istiiah 'tabungan manusia' itu
tidak memaksudkan manusia sebagai manusia, melainkan manusia sebagai
instrumen dari abstraksi-abstraksi yang diciptakan oleh manusia sendiri?

Dan anggaran bagi kucing dan anjing Amerika mencapai 3,2 milyar dollars setahun.
Dan ribuan becak yang tak manusiawi itu dikubur di laut. Dan seorang tukang becak
melarikan becaknya pulang kampung, dari Jakarta ke Tegal, siang sembunyi, malam
mengayuh becaknya dengan rasa takut memuncak seolah-olah senapan Kumpeni
mengacu beberapa meter di jidat dan di belakang punggungnya
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (1)
Mengikuti jejak para mujahid, aku harus berbicaradan menjawab pertanyaan
mengenai problem kemiskinan,yakni tema utama yang makin mendesak kehidupan
manusia di atas bumi Allah yang kaya raya ini.

Secara agak licik aku bersyukur mereka tak langsung memojokkanku dengan
pertanyaan apakah aku tidak terlibat langsung maupun dalam proses penciptaan
orang-orang miskin. Apakah aku tidak termasuk dalam golonganorang-orang yang
dimiskinkan dalam arti luas sedemikian rupa sehingga tak ada kemungkinan lain
bagi hidupku selain ikut berpartisipasi dalam organisasi pemiskinan, atau sekurang-
kurangnya aku membonceng hidup dari cipra-tan hasil pekerjaan memiskinkan.
Sebab, kata para piawai, jaringan proses pemiskinan itu tidak cukup kita pahami
melewati gambaran tentang sejarah penjajahan, politik adikuasa, pembukuan
perusahaan-perusahaan besar, tatanan ketergantungan, ketimpangan-ketimpangan
amat tajam dari kesempatan hidup orang, atau segala sesuatu yang seolah-olah
berada nun jauh di sana. Jaringan proses pemiskinan itu menyangkut segala
mekanisme yang tidak pernah kubayangkan tetapi yang memungkinkan aku memiliki
beberapa potong baju rapi sementara banyak
tetanggaku tidak dan aku mau tak mau terdorong untuk memelihara dan
mempertahankan kemungkinan pemi¬likan semacam itu. Bahkan kabarnya jaringan
proses pe¬miskinan itu sangat terkait dengan urat-urat dalam otakku, rencana-
rencana spontan kaki dan tanganku, atau segala sesuatu yang hampir tak
terpisahkan lagi dari nyawaku. Hal-hal mengenai proses pemiskinan itu relatif
gampang untuk sedikit banyak ikut kupercakapkan, selama ini se¬mua kubayangkan
berada jauh di luar diriku apalagi jarak jauh itu dijaga dan dilindungi dengan
seksama oleh akidah dunia ilmu pengetahuan di mana tulisan ini berpartisipasi.

Sesungguhnya itu mengerikan. Namun jauh lebih mengerikan lagi adalah kabar lain
yang menyatakan bahwa jaringan proses pemiskinan itu bukanlah seperti benang
kusut, melainkan justru merupakan rajutan benang yang sedemikian rapinya
sehingga beberapa orang hanya melihat jalan teror untuk mencoba memperoleh
ke¬kusutan-kekusutan kecil.

Jadi, apakah pada suatu hari kemungkinan teror itu akan menimpaku, sebab
memang aku cukup layak untuk itu? Aku berkata: Ya Allah, masukkan saja aku ke
dalam neraka yang bukan ciptaanMu

Aku berlindung kepada Allah, jangan-jangan proses kebiadaban peradaban manusia


yang kini diadili oleh makin banyak orang itu terkandung dalam hidupku, dalam cara
kerja otakku, dalam tas kerja profesiku, dalam bagian dari doa-doa sembahyangku,
bahkan menjadi isi-isi terpenting dari kamar-kamar rumahku. Bersediakah para
malaikat, dengan kesucian mereka, membantu kami meneliti kemungkinan itu?

Pernah kubaca sebagian amat kecil dari ratusan atau mungkin ribuan buku
mengenai persoalan kemiskinan, yang pasti amat sedikit saja mampu kupahami
sehingga dalam kesempatan ini aku sangsi apakah aku tidak sekedar menulis
ulangkan hal-hal yang sama, dengan hasil yang lebih buruk.

Sementara itu aku hidup bersama banyak orang miskin. Bahkan aku sendiri,
menurut ukuran dari konteks persoalan ini, tak lain adalah juga seorang miskin.
Tetapi yang terakhir ini pun tak akan bisa benar-benar kutuliskan, sebab jiwa orang
miskin dipenuhi oleh emosi, impian dan inferioritas betapapun itu mereka sandang
seolah-olah dengan ringan dan kuat sedangkan apa yang diatas kusebut akidah dan
kaidah ilmu pengetahuan: hanya bersedia menulis ketiga hal itu, dan tak
memperkenankan ketiga hal itu menuliskan dirinya.
Sebab yang lain ialah karena aku mengalami jarak yang tidak pendek antara
anatomi persoalan kemiskinan dengan manusia miskin. Yang pertama berasal
terutama dari seolah-olah para dewa yang transenden, atau penerbang yang untuk
memperoleh pandangan yang seluas-luasnya atas skala bumi maka ia melayang
setinggi-tingginya. Banyak kali para penerbang itu memang memusatkan pandangan
matanya ke titik-titik tertentu yang paling tajam, namun jelas bahwa manusia-
manusia di bumi tampak hanya sebagai guratan-guratan di mata mereka. Manusia
hanya terlihat sebagai akibat dari suatu sebab, pergeseran dari suatu gerak, atau
semacam lautan buih di seputar arus gelombang pokok.

Sedangkan yang kedua merupakan suatu dunia immanen, suatu keniscayaan tanpa
jarak: badan kumal yang seolah-olah tubuhku sendiri, bau buruk yang seakan-akan
berasal dari kedalaman hidungku sendiri, keringat pengap yang seperti mengucur
dari punggungku sendiri; atau semacam komposisi yang absurd dan
membingungkan antara derita dan keceriaan, antara kekecutan dan keperkasaan,
antara kepasrahan dan kenekadan, atau antara dunia bayi dan kebijakan seorang
tua yang telah berusia berabad-abad lamanya.
(bersambung)---->
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Rekor Masuk Neraka
Andaikan makhluk yang bernama fatwa sudah sejak dulu menemani bangsa
Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa bergaul dengannya sehingga tidak
mudah uring-uringan seperti yang hari-hari ini terjadi.

Misalnya pada awal 1900-an kaum ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan
Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram
hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardhu
kifayah( semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya).

Sumpah Pemuda itu fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah
bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya. Berikutnya begitu
Hiroshima- Nagasaki dibom atom, ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa
memproklamasi kan kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib sehingga masuk
neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945.

Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: demokrasi itu wajib
(meskipun di dalamnya ada komunisme itu haram).Tidak menaati UUD 1945 itu
haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya. Katakanlah sejak
pra-Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sudah menelurkan lebih dari 5.000 fatwa.

Makhluk Suci dari Langit

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara negara
dengan agama. Kita istirahat tak usah bergunjing ulama itu sejajar dengan umara
(pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis
lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum ulama dibandingkan undang-undang
dan hukum negara.

Entah apa pun namanya makhluk Indonesia ini: negara sekuler, demokrasi religius,
kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis,atau apa pun. Kita mengandaikan saja
bahwa produk kaum ulama,khususnya MUI, berposisi sebagai inspirator bagi laju
pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa.

Sebutlah ulama adalah partner pemerintah. Kaum ulama adalah makhluk suci
berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardli Indonesia.
Kita semua pun bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh
utusan-utusan Tuhan.Dulu para rasul dengan mandat risalah, para nabi dengan
mandat nubuwah, dan para ulama dengan mandat khilafah.

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang
Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan
mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum ulama dalam
majelisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar.

Ada ulama pertanian, ulama ekologi, ulama perekonomian, ulama kehutanan, ulama
kesehatan dan kedokteran, ulama, ulama kesenian dan kebudayaan, ulama fiqih,
ulama tasawuf dan spiritualisme, ulama olahraga, dan segala bidang apa pun saja
yang umat manusia menggelutinya karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas
khilafah atau kekhalifahan.

Tradisi Fatwa dalam Negara

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada.Fatwa terkadang nongol dan sangat sesekali.
Mendadak ada fatwa tentang golput tanpa pernah ada fatwa tentang pemilu, pilkada,
pilpres dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat canggih. Tiba-tiba ada
fatwa tentang rokok tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis
narkoba, suplemen makanan dan minuman,penggusuran,pembangunan mal,
industri, kapitalisasi lembaga pendidikan,serta seribu soal lagi dalam kehidupan
berbangsa kita.

MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa,
tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi
komprehensif antara berbagai soal dan konteks. Itu pun fatwa membatasi diri pada
”benda”. Makan ayam goreng halal atau haram? ”Dak tamtoh,” kata orang
Madura.Tak tentu.Tergantung banyak hal.Kalau ayam curian,ya haram.

Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya
hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goreng secara
demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunah.
Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang
berpuasa.

Sunah karena dia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa. Beli sebotol air untuk
kita minum, halal haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius
berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi
atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kezaliman sosial atau tidak?

Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang
menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan
Allah SWT. Berzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami
rajin salat dan berzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau
kita wiridan keraskeras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.

Hak Tuhan

Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang
menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena
ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan negara
dan hukumnya.Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.
Yang berhak me-wajib-kan, menyunah- kan, me-mubah-kan, memakruh- kan dan
meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan.Ulama dan kita semua hanya menafsiri
sesuatu. Kalau MUI bilang ”rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat
bahwa karena sesuatu dan lain hal, maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak
memperkenankan hal itu diperbuat.

Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan metodologis dan syar’i, berhak


menelurkan pendapat masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan
apa pun. Muhammadiyah dan NU pun tidak merekomendasikan pengharaman
rokok. Artinya, para ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat
yang berbeda.

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk


mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak
persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, sesaksama
mungkin dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail.

Kemudian andaipun persyaratan itu mampu saya penuhi, saya tidak punya hak
untuk mengharuskan siapa pun saja sependapat dengan saya atau apalagi
melakukan dan tidak melakukan sesuatu sejalan dengan pandangan saya.Nabi saja
tidak berhak mewajibkan siapa pun melakukan salat.

Hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekadar menyampaikan dan memelihara
kemaslahatannya. Para ulama dan kita semua bisa kelak teruji, ternyata sependapat
dengan Tuhan,bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: ”Lima tuharrimu
ma ahallallohu lak”,kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan
untukmu?

Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah
haramkan? Mungkin benar rokok itu haram dan saya akan masuk neraka karena itu,
bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka,perokok yang jauh lebih berat
dibandingkan saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di
neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok
empat bungkus sehari. Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai
pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.(*)
(Emha Ainun Nadjib /Koran SINDO/Jumat, 30 Januari 2009/PadhangmBulaNetDok)

Obama-Obama Kita
Sungguh gembira hati ini menyaksikan semakin bermunculan para calon pemimpin
bangsa. Panggung demi panggung terbangun. Terkadang mereka tampak bersaing
ketat, tetapi kemudian nyata sekali bahwa mereka sesungguhnya bukan memikirkan
eksistensi, kepentingan, atau ambisinya masing-masing, melainkan bersama-sama
mengkonsentrasikan diri pada kepentingan bangsa.

Lihatlah itu Dewan Integritas Bangsa: Salahuddin Wahid, Bambang Sulistomo,


Marwah Daud Ibrahim, Rizal Ramli, dan masih banyak lagi. Kompetisi di antara
mereka bukanlah yang terpenting, melainkan kebersamaannya untuk siap
memimpin bangsa. Begitu tampak wajah Gus Sholah, muncul kalimat di hati: "Gus
Dur sudah uzur? Masih ada Gus Sholah." Sekilas wajah Rizal Ramli membuat decak
kagum: "Gila, ini orang berani menantang debat Presiden SBY." Marwah Daud?
"Kartini abad ke-21, intelektual, lihat ketangkasan geraknya di panggung nasional."
Dan Bambang Sulistomo: "Bung Tomo saja sudah bikin geger dunia. Apalagi putra
beliau!"

Megawati gegap-gempita lagi: lantang vokalnya, brilian pemikirannya, keluasan


perspektif gagasan-gagasannya, dari gerakan mega mendung hingga naik turunnya
yoyo. Sri Sultan X membuat dada mongkog dan wajah banyak orang berbunga-
bunga. Prabowo yang mantap, Sutiyoso yang rawe-rawe rantas, malang-malang
tuntas, Wiranto kesatria yang kalem. Hidayat Nurwahid sang ustad ahli ushulul-fiqh
sehingga mendahului Majelis Ulama berpikir tentang halal-haramnya golput. Dan
Pak SBY sendiri, jangan tanya: beliau semakin piawai bagaimana melangkahkan
kaki dan melambaikan tangan.

Sebagian mereka datang ke Mega bukan untuk audisi semacam Pildacil agar dipilih
jadi calon wakil presiden. Kehadiran beliau-beliau mencerminkan kerendahan hati
dan kebesaran jiwa, bahwa yang utama bukanlah self-dignity, melainkan
pengabdian terhadap segala kemungkinan yang terbaik bagi bangsa.

Memang ada sebagian rakyat kita merasa pesimistis, atau apatis, terhadap Pemilu
2009. Itu normal, bisa dimafhumi: hak-hak dasar untuk sejahtera sebagai warga
negara memang belum cukup terpenuhi selama ada negara Indonesia dengan
berkali-kali ganti pemerintahan dan kepemimpinan. Tapi Indonesia akan bangun.
Salah satu tanda-tandanya, sejak tahun lalu sudah bergulir suatu “historical
refreshment”, gagasan pencerahan zaman yang mendambakan kaum muda segera
tampil memimpin bangsa. Itu bagai tembang “Bang-bang Wetan”: matahari baru
semburat di timur.

Memang kecakapan dan kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan usia.
Kalau memang bangsa ini menjumpai ada pemimpin sudah 70 tahun tapi ia paling
capable, apa salahnya. Tapi kan sangat banyak orang usia tua tapi tak dewasa, atau
awet remaja bahkan tetap kekanak-kanakan. Dan bukankah justru banyak anak
muda yang secara mental dan ilmu bergerak cepat melampaui usianya?

Jadi, ayolah: “bang-bang wetan!” A new “install”. Buka pintu anak-anak muda untuk
bikin set-up baru sejarah dan peradaban. Rizal “Chelly” Mallarangeng, Fajrul
Rahman, Ratna Sarumpaet, Marwah Daud Ibrahim, siapa pun kaum muda yang
akan naik panggung? Chelly punya seabrek pengalaman aktivisme dari Yogya
hingga negeri Obama, ia sanggup menarik garis dari penjual wedang, satpam
Akademi AU, hingga istana neoliberalisme. Fajrul penuh nyali dan ilmu yang
memadai. Sarumpaet sangat menguasai “teater global” dan “drama kehidupan”.
Marwah malang-melintang dari high-tech hingga santri Tebuireng.

Mereka bukan hanya layak tanding, tapi pasti unggul secara fenomenologis dan
futurologis. Anak-anak muda ditakdirkan oleh “kebiasaan” Tuhan untuk pada zaman
apa pun membawa paradigma baru. Mereka pelopor dan perintis. Mujtahid, aktivis
ijtihad, kata Islam. Mereka adalah Obama-Obama Indonesia. Andaikan saja ada
persediaan ilmu dan metodologi untuk mengerti apa hubungan kepresidenan Obama
dengan tiga tahun ia di Jakarta. Tetapi jelas anak-anak muda Indonesia, untuk
mencapai puncak kepemimpinan Negara, tidak harus menempuh 12 tahun
persiapan sebagaimana Obama penggemar teks Pancasila membutuhkannya
sebelum menjadi presiden kulit hitam "not too black" pertama di negeri adikuasa
elang macannya jagat raya.

Indonesia adalah anak bungsu suatu bangsa besar yang pernah melahirkan
Bandung Bondowoso yang sanggup membikin seribu candi hanya dalam waktu satu
malam. Kaum muda cucu Bondowoso bisa menjadi presiden kapan saja, bahkan
secara instan, karena kita bukanlah bangsa dengan kemampuan “konvensional”
sebagaimana bangsa-bangsa lain. Penduduk NKRI bukanlah bangsa burung
"emprit", melainkan "garuda".

Bung Karno cukup lulusan Bandung, tidak perlu kuliah di Belanda dan bergabung
dalam kelompok aktivis "Perhimpunan Indonesia" untuk menjadi pemimpin terbesar
mengungguli Bung Hatta dan tokoh-tokoh siapa pun yang lain. Soeharto cukup
menyerap saripati tari Bedoyo Ketawang untuk mempecundangi kita semua selama
32 tahun. Habibie bahkan naik takhta "min haitsu la yahtasib" alias "blessing in
disguise". Gus Dur “wong agung” dengan kebesaran dan kaliber ekstra di mana
Indonesia bergulir-gulir seperti butiran kelereng di genggaman tangannya. Megawati
tidak perlu berkeringat dan mengerahkan ilmu, kekuatan atau aji-aji apa pun saja
untuk sanggup menjadi pemimpin puncak. Dan beliau pemimpin hari ini, Susilo
Bambang Yudhoyono, tangkai bandul, penjaga keseimbangan, pembersih wajah
zaman agar senantiasa resik dan berkilau.

Tentu saja bagi calon-calon pemimpin muda itu bukan ringan bersaing melawan
presiden yang sekarang, yang sangat peka momentum kapan kasih BLT, kapan
menaikkan dan menurunkan harga minyak, kapan tanam pohon, kapan
menggratiskan pendidikan. Ia jugalah konseptor reformasi TNI dan prajurit bangsa
yang paling awal merintis pemikiran dan aspirasi reformasi.

Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sutiyoso, Yusril Ihza Mahendra,
karena mereka juga cucu bangsa besar sebagai adik-adiknya, memiliki ajian
pinunjul-nya sendiri-sendiri. Wiranto gagah perkasa menentang perintah Presiden
Soeharto untuk memberangus gerakan mahasiswa dan makar jarah 1998. Prabowo
tegak punggungnya, tajam pandangan mripatnya, sunyi menanggung risiko
terbanting dari tembok rumah keluarganya, dan ia memiliki keanggunan serta
kegagahannya sendiri jika nanti sebagai presiden berdiri berjejer di hadapannya
para pembalak triliunan rupiah uang rakyatnya.

Sri Sultan jangan diragukan lagi, “keris” di tangan kirinya sebagai "Khalifatullah ing
Bhumi Ngayogyakartahadiningrat" dan “pedang” di tangan kanannya sebagai
Presiden Republik Indonesia: jika kedua “kesaktian” sejarah itu bergerak, rakyat
percaya beliau akan membukakan pintu-pintu perubahan yang tak terduga. “Keris”
itu lambang kesadaran nenek moyang dan estafet pencapaian-pencapaian
peradaban, “pedang” adalah garda depan ilmu dan kecakapan modern.

Sutiyoso dipandang oleh segala parameter rasional modern sangat tepat dan cakap
menjadi presiden, karena sukses besarnya menjaga keseimbangan Ibu Kota selama
dua periode, dengan terobosan-terobosan yang susah dicari tandingannya. Yusril
"Cheng Ho" ahli hukum tata negara adalah “panglima” yang mengerti persis
bagaimana membangunkan kembali sejumlah kebesaran bangsa yang pernah
muncul dalam demokrasi era 1950-an, dengan formula yang terukur dosisnya dan
pada proporsi yang relevan untuk kekinian.

Tua atau muda, bangsa kita bergelimang pemimpin. Si pemuda ganteng Yuddy
Chrisnandi dengan ragam pengalaman aktivismenya, Rizal Ramli dengan
keempuannya di bidang yang paling urgen dari permasalahan bangsa: kebangkitan
ekonomi. Dan Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo yang menggegerkan dunia
dari Surabaya dengan “ilmu sihir” yang menggulingkan rumus ibu perang modern.
Itu baru Bung Tomo, belum putra beliau yang pasti jauh lebih berkaliber
kependekarannya dibanding bapaknya.

Alhasil, kita optimistis menjalani 2009 ke atas. Kalau Anda mengajak bertanding
untuk mengkritik dan menemukan kekurangan atau keburukan para calon pemimpin
kita, saya abstain. Sebab, bagi saya sekarang, yang tepat adalah membesarkan hati
seorang dan setiap calon pemimpin.
(Emha Ainun Nadjib/Koran tempo/31 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Pemilu, Golput, Fatwa
TULISAN ini sekadar mengandaikan bahwa fatwa ulama benar-benar ‘nimbrung’ ke
dalam urusan pemilu, pilkada, dan golput dari segala sisi dan kemungkinannya.

Bagi mereka yang serius mempertimbangkan halal-haram dalam menjalani


kehidupan, jangankan soal golput, sesendok makanan sebelum masuk mulut
dihitung dulu seluruh faktornya sampai sah disebut halal. Beli sebotol air, benda
airnya itu sendiri mungkin tak ada masalah, tapi perusahaan apa produsernya,
bagaimana asal usul keuangannya, posisinya dalam konstelasi keusahaan
masyarakat luas ‘menyakiti’ pihak lain atau tidak.

Identifi kasi dan analisis menuju kepastian halal mungkin bisa lebih luas, detail, dan
ruwet daripada itu. Maka Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim
memerlukan ‘label haram’ bukan ‘label halal’. Di negara-negara yang muslimnya
minoritas memerlukan ‘label halal’ karena di belakangnya terdapat asumsi bahwa
makanan dan minuman umumnya ‘belum tentu halal’. Tapi di negara mayoritas
muslim asumsinya adalah makanan minuman ‘umumnya halal’ sehingga yang
dibutuhkan adalah ‘label haram’.

Pekerjaan utama rakyat Indonesia sejak lima tahun terakhir ini adalah pergi ke kotak
pemilihan, dari level lokal, regional, sampai nasional untuk menentukan sesuatu
yang entah mereka pahami dan kuasai masalahnya atau tidak. Tahun 2009 adalah
kulminasi dari ‘profesi’ massal itu. Maka benar-benar diperlukan kejelasan dari apa
yang Ketua MPR Hidayat Nur Wahid tempo hari pernah menganjurkan. Yakni agar
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Itu telah
disahkan dalam Ijtimak Fatwa Ulama III MUI di Padang Panjang, Sumatra Barat,
akhir pekan lalu. Rakyat Indonesia dan umat Islam pada umumnya kariernya tidak
sukses dan penghidupannya miskin. Kalau bisa, jangan ditambahi dengan kepastian
‘masuk neraka’ hanya karena 2 menit masuk kotak pemilu atau tidur di rumah
karena ogah ke arena pemilihan.

Takkan menjilat ludah

Kalau fatwa itu tidak keluar, apa gerangan artinya? Kalau ada fatwa golput haram,
berarti haram, meskipun itu sebatas pendapat Majelis Ulama Indonesia. Kalau tak
keluar fatwa, apakah berarti golput halal, termasuk bagi MUI? Kita butuh ketegasan
dan kepastian, kalau tidak tentang hukum (fi kih agama) golput, ya tentang apa
pendapat MUI, yang dalam struktur kehidupan berislam menempati posisi al-mufty,
pedoman hukum bagi seluruh umat.

Kalau bagi Hidayat Nur Wahid, pasti golput itu haram, ada fatwa MUI atau tidak,
disepakati atau tidak oleh siapa pun. Sekali haram tetap haram, beliau bukan
intelektual picisan yang bisa menjilat ludahnya. Apakah berarti itu juga pendapat
parpol beliau tidak bisa diklaim siapa pun, kecuali ditentukan secara organisasional
oleh parpol yang bersangkutan.

Fatwa tak sama dengan agama

Tetapi fatwa itu tidak sama dengan agama. Fatwa itu sekian langkah dari
agama.Untuk satu masalah bisa lahir jutaan fatwa sejumlah pemeluk agama Islam
sepanjang mereka memenuhi syarat keilmuan dan metodologis untuk memproduksi
fatwa.

Jangankan fatwa, syariat Islam, atau fikih (hukum) Islam pun tidak sama dan
sebangun dengan Islam. Islam itu karya Allah, sedangkan syariat Islam adalaghasil
penafsiran oleh para ulama. Pun fi kih. Maka ada banyak mazhab dan boleh ada
200 mazhab lagi yang lahir tahun ini dan 300 lagi tahun depan, seiring dengan
makin banyaknya cendekiawancendekiawan ulul albab, ulul abshar, ulun nuha hasil
persekolahan Islam.

Fatwa bahwa sesuatu itu haram tidak sama dengan ‘sesuatu itu pasti haram’. Ia
hanya haram menurut salah satu pendapat. Anda boleh punya pendapat yang sama
atau berbeda. Bahkan kepada para nabi pun Allah memperingatkan, “Kenapa kau
haramkan yang dihalalkan oleh Allah?” Peringatan itu pasti berlaku seribu kali lebih
urgent kepada kita yang bukan nabi. Fatwa bukan fi rman Tuhan. Fatwa adalah hasil
penghayatan manusia terhadap nilai baikburuk, benar-salah, indah-jorok. Adalah
produk dinamika manusia dalam memahami, meneliti, menganalisis, dan mengambil
keputusan tentang sesuatu hal di antara ranah-ranah kebaikan hidup yang begitu
luasnya.

Menjadi dewasa

Fatwa itu huruf Arabnya fa’, ta’, wawu. Kata kerja fataa atau fatiya menjelaskan
situasi seseorang ‘menjadi dewasa’ sudah tidak kanak-kanak lagi. Secara khusus, ia
mengaksentuasi pada nilai bahwa kedewasaan itu perolehan kemuliaan dan
kehormatan. Anjuran untuk mengeluarkan fatwa itu mencerminkan tingkat atau
kadar kedewasaan penganjurnya.

Halal-haram itu mutlak milik Allah. Ia yang memiliki hak asasi untuk mengharamkan
atau menghalalkan sesuatu karena saham-Nya atas kehidupan semua makhluk
hampir 100%. Haram makan babi, berzina, atau mencuri, itu langsung dari Allah,
take it or leave it. Tapi kalau pemilu, golput, bikin negara, itu wilayah yang Allah
mempersilakan manusia untuk berdiskusi.
Jadi, boleh ada fatwa golput haram, dengan hujah bahwa warga negara tidak baik
kalau apatis terhadap urusan negaranya. Bisa juga lahir fatwa golput itu sunah atau
bahkan wajib karena keputusan golput itu justru lahir dari kepedulian yang sangat
serius dan mendalam terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya sendiri menunggu setelah fatwa itu dikeluarkan, kemudian disetujui negara dan
diundang undangkan, terserah pada tingkat mana. Bisa keputusan menteri,
keputusan presiden, atau dibuat khusus undang-undang haram golput. Maka akan
muncul tuntutan agar dikeluarkan fatwa hukum pemilu. Wajib itu kalau sangat
manfaat. Haram itu sangat mudlarat.

Tengahnya mubah atau halal. Yang lumayan manfaat namanya sunah yang
lumayan mudlarat disebut makruh. Yang paling mengalami dan mengerti manfaat
mudlarat-nya pemilu, dan adanya parpol, adalah rakyat langsung. Maka silakan bikin
jajak pendapat ke rakyat, satu pertanyaan saja, adanya parpol dan pemilu sejauh
yang Bapak-Ibu alami lebih banyak manfaatnya atau mudlarat-nya? LSI atau siapa
pun silakan bikin simulasi. Insya Allah sudah relatif tahu kira-kira bagaimana
hasilnya.
(Emha Ainun Nadjib/Media Indonesia/27 January 2009/Padh

Pesta Pemimpin 2009


Puji Tuhan aku ditakdirkan jadi rakyat Indonesia. Sedap nian dipresideni Bung
Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan Pak Sus. Aku syukuri dan
nikmati sedap yang itu ataupun sedap yang lain dari Ratna Sarumpaet, Rizal
Mallarangeng, Sultan HB X, Fajrul Rahman, Wiranto, Marwah Daud, Prabowo,
Sutiyoso, dan sekian lagi… wahai Tuhan, panjangkan umurku agar kualami
sedapnya menjadi rakyat beliau-beliau secara bergiliran.

Kita memiliki stok pemimpin yang berlimpah-limpah. Jumlah di atas 30 kontestan


Pemilu 2009 mencerminkan betapa banyak dan canggih mesin kepemimpinan yang
kita miliki. Sudah enam presiden memberiku kenikmatan, dengan keistimewaan,
kewibawaan, dan keunikannya masing-masing. Tentu saja juga dengan satu-dua
kekurangan, tapi tidak terlalu signifikan.

Dan rasanya, 2009 mempersembahkan kepada kita sedap yang lain lagi dari
pemimpin baru. Kalaupun umpama tetap yang lama, pasti terasa baru: bagaikan Idul
Fitri, baju boleh yang itu-itu juga, tapi pandangan kita terhadap baju itu "refreshed".

Kita pernah punya pemimpin yang sejak masa kanak-kanak mengalami


pengasingan di sebuah dusun pelosok di dekat perbukitan. Ia menggembalakan
kambing, tanpa teman-temannya sesama penyabit rumput pernah mengerti siapa
dia dan dari mana asal usulnya, sampai kelak ia tampil sebagai orang nomor satu.
Dengan sabit (arit, celurit) di tangannya, sudah tampak bakatnya sebagai strategi
ulung. Hampir tak pernah ia menyabit rumput, karena tiap hari ia nantang teman
temannya untuk lempar tepat sabit di batang pohon. Siapa yang lemparannya paling
akurat mendekati titik sasaran mendapat bagian seperempat rumput hasil ngarit
setiap peserta kontes. Dan ia tak pernah kalah. Selalu pulang ke kambingnya
membawa rumput tanpa capek-capek menyabit.
Menjelang usia remaja, ia pindah wilayah dan kerja di kantor semacam bank
pengkreditan untuk rakyat. Kemudian ia belajar berbaris dan menembak. Tetapi ilmu
utamanya untuk menjadi pemimpin bukan dari sekolah dan pengalaman kerja,
melainkan dari pencerapan ilmu nenek moyangnya. Yakni "Ilmu Katuranggan",
metode untuk mengenali, mengidentifikasi, menyelami, memetakan, dan memolakan
watak-watak manusia. Digabung dengan “Ilmu Pranotomongso”, pandangan dan
analisis tentang musim, segala macam musim yang berlaku dalam kehidupan alam
dan manusia. Ia memimpin negara seperti pawang pengendali hujan, pengatur
kemarau, penjinak angin, dingin, dan panas, siang dan malam.

Itu sekadar snapshot kebesaran salah satu pemimpin kita. Enam buku emas tebal
untuk enam pemimpin tertinggi. Aku mencintai mereka semua. Semua rakyat pun
mencintai mereka, dengan macam-macam cara. Ada yang memakai idiom gelas.
Ada pemimpin gelasnya tak pernah kosong, meskipun selalu dituang-tuangkan
menjadi gagasan besar, mimpi besar, dan pernyataan besar yang membahana ke
seantero bumi. Ada pemimpin yang gelasnya juga penuh, tapi dijaga jangan sampai
tumpah: gelas itu kalau ditambahi air akan tumpah, kalau diambil bisa mengurangi
citra kepenuhannya.

Ada lainnya yang gelasnya baru diminum sedikit: mendadak hilang gelas itu.
Lainnya lagi gelasnya bolong, saking jujur dan ikhlasnya, sehingga minuman apa
pun dan seberapa pun saja dituangkan ke dalamnya akan langsung habis karena
bolong bawahnya. Sementara itu, ada yang sampai akhir kepemimpinannya tak
ketahuan gelasnya: bukan karena beliau tak mengerti gelas itu apa, melainkan
karena sangat ketat menyembunyikan gelasnya.

Mahakaya Tuhan dengan ragam rupa ciptaannya. Ada sebagian rakyat yang
mencari watak pemimpinnya melalui cara mengidentifikasi mereka dengan para
pemimpin lama: Majapahit, Demak, Khalifah Empat, para rasul dan nabi, atau
mengambil simbolisme dari dunia pewayangan dengan menyebut tokoh macam-
macam: Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, raksasa Kumbokarno, dan
sebagainya.

Semuanya itu figur baik. Bima jujur gagah perkasa. Arjuna sakti pendiam, Gareng
filsuf guru bangsa, Limbuk pengabdi yang setia tapi kritis, Kumbokarno raksasa
besar pencinta dan pembela tanah air. Ada yang melalui jurusan Joyoboyo Syekh Ali
Syamsu Zen hingga Ronggowarsito: pemimpin 2009 ini mesti dihitung berdasarkan
parameter kualitas “satrio pinandhito sinisihan wahyu”.

Yang memimpin sekarang adalah Satrio Pambuko Gerbang, pembuka paradigma


perubahan ke arah zaman baru. Sesudah itu, pemimpin sejati muncul dengan tiga
syarat berkualitas tinggi. Ia harus "satrio": cakap, ulet, pejuang, prigel, profesional,
menguasai multi-masalah, manajer pembangunan, dan panglima solusi. Tapi
sekaligus harus lebih tinggi dari itu: "pinandhito", tak terpesona oleh harta dan
kedudukan, filosofi hidupnya matang mendalam, punya "wisdom", arif dan adil dalam
kehidupan nyata, "spiritually grounded", berkadar pemimpin rohani, kaliber
"begawan" atau "panembahan".

Itu belum cukup. Ia harus "sinisihan wahyu". Harus tampak indikator bahwa Tuhan
turut aktif dalam Pemilu 2009, terlibat mempengaruhi aspirasi konstituen, ikut
memilih presiden sehingga tak mungkin pilihan Tuhan dikalahkan. Dalam
pandanganku, semua yang tampil dalam kontes pemimpin 2009 memenuhi syarat
Pak Ronggo itu, tinggal Tuhan mempergilirkan siapa duluan. Syukur-syukur Tuhan
kali ini tidak membiarkan rakyat Indonesia memilih pemimpinnya tanpa "informasi"
dari-Nya.
(Emha Ainun Nadjib/GATRA/1 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
CAHAYA AURAT
Ribuan jilbab berwajah cinta
Membungkus rambut, tubuh sampai ujung kakinya
karena hakekat cahaya Allah
Ialah terbungkus di selubung rahasia

Siapa bisa menemukan cahaya?


Ialah suami, bukan asal manusia
JIka aurat dipamerkan di koran dan di jalanan
Allah mengambil kembali cahayaNya

Tinggal paha mulus dan leher jenjang


Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada
Para lelaki yang memelototkan mata
Hanya menemukan benda

JIka wanita bangga sebagai benda


Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya
Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia
Luntur manusianya, tinggal syahwatnya

(Emha Ainun Najib/PadhangmBulanNetDok)


IBUNDA
Kalau ibunda membelai rambutmu
Kalau ibunda mengusap keningmu, memijiti kakimu
Nikmatilah dengan syukur dan bathin yang bersujud
Karena sesungguhnya Allah sendiri yang hadir dan maujud

Kalau dari tempat yang jauh engkau kangen kepada ibunda


Kalau dari tempat yang jauh ibunda kangen kepada engkau,
Dendangkanlah nyanyian puji-puji tuk Tuhanmu Karena setiap bunyi
Kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala ciptaanNya

Kalau engkau menangis


Ibundamu yang meneteskan airmata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan

Menangislah banyak-banyak untuk ibundamu


Dan jangan bikin satu kalipun ibumumenangis karenamu
Kecuali engkau punya keberanian
Untuk membuat Tuhan naik pitam kepada hidupmu
Kalau ibundamu menangis,
Para malaikat menjelma jadi butiran-butiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda
membuat para malaikat itu silau dan marah kepadamu

Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci


sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala
menutup pintu sorga bagimu
Ibu kandungmu adalah ibunda kehidupanmu

Jangan sakiti hatinya, karena


Ibundamu akan senantiasa memaafkanmu.
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas setiap kesalahanmu
akan digenggam erat-erat oleh para malaikat
untuk mereka usulkan kepada Tuhan
agar dijadikan kayu bakar nerakamu

(Emha Ainun Nadjib/"Ibu Tamparlah Mulut Anakmu"/PadhangmbulanNetDok)


Makhluk Dari Planet Mana Israel Ini
Makhluk dari mana Israel ini, adigang adigung adiguna, boleh melakukan apa saja,
pembunuhan massal, penggusuran besar-besaran, pemberangusan dan
pemusnahan atas umat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, kapan saja dia mau,
tanpa sanksi yang memadai dari pihak manapun di muka bumi.

Nama kelompok kebangsaannya disebut paling banyak di Alquran, bahkan dipakai


sebagai nama Surah. Beberapa identifikator sejarah penciptaan oleh Tuhan
menyimpulkan yang disebut ‘’Dajjal’’, perusak dunia kelas wahid, berasal dari suku
Yahudi ini dan berambut keriting. Tapi orang tidak benar-benar berani mengutuknya
karena mereka keturunan Nabi Besar yang amat kita takdzimi, yakni Ibrahim AS,
entah dari beliau Ismail atau Ishaq. Dan kemah ajaran beliau, millah Ibrahim, adalah
induk segala ajaran, teologi monotheisme, nama beliau kita sebut pada rakaat salat
kita semulia kekasih Allah, Muhammad SAW junjungan kita semua.

Mayoritas aset moneter global dan segala jenis modal perekonomian, bank dunia
dan institusi-institusi keuangan primer dunia dipegang oleh turunan beliau dan
strategi pengelolaannya sampai ke Kongres Amerika Serikat berada di genggaman
turunan yang lain dari beliau juga. Sejumlah futurolog ekonomi menganjurkan anak-
anak kecil sekarang mulailah diajari berbahasa Arab karena akan menjadi bahasa
utama dunia: pergilah cari kerja ke Negeri koalisi 16 Pangeran di Jazirah Arab.
Bahasa Ibrani tak perlu dipelajari, karena para fungsionaris dari Israel mungkin lebih
pandai berbahasa Arab dibanding Raja Saudi dan lebih mlipis berbahasa Indonesia
dibanding orang Indonesia.

***

Anda tidak akan paham menemukan peta Indonesia Raya dijadikan center display di
sebuah web Israel dan Amerika Serikat. Juga agak miris melihat tanda warna merah
pada daerah tertentu dari Nusantara. Di Belanda, November 2008 saya ngobrol
panjang dengan pemimpin Yahudi internasional Rabi Awraham Suttendorp yang
sangat mengenal Indonesia lebih detail dari kebanyakan orang Indonesia sendiri,
sebagaimana di kantor Perdana Menteri Israel Anda bisa dolan ke sana dan melirik
ruangan khusus yang berisi segala macam data tentang Indonesia segala bidang
yang di-update setiap pekan.

Israel juga punya situs berbahasa Indonesia. Kepada Rabi saya tanyakan kenapa
disain tengah atas atau puncak mahkota keagamaan yang beliau pakai memimpin
peribadatan di Synagoge sama dengan disain bagian atas rumah-rumah Pulau Jawa
bagian utara. Kenapa ibukota Israel tidak Tel Aviv saja tapi Java Tel Aviv. Kenapa
kantor-kantor Yahudi di berbagai negara pakai kata Java. Apa pula hubungan dua
konsonan yang sama itu: J dan W. Jewish dan Jawa. Mana yang lebih tua: Jewish
atau Jawa. Kalau Sampeyan keturunan Nabi Ibrahim, apakah nenek moyang kami
manusia Nusantara yang seluruhnya berpuluh abad yang lalu disebut Jawa atau
Jawi adalah ‘’keponakan’’-nya Ibrahim ataukah lebih tua dari Ibrahim.

Dari dunia Jawa dimunculkan sedikit informasi bahwa beberapa waktu yang akan
datang akan terjadi hasil ‘’taruhan’’ antara Yahudi (Jewish) dengan Jawa (bukan
Jawa non-Sunda non-Batak dalam pengertian 100 tahun terakhir): Kalau Yahudi
yang memenangkan persaingan memimpin dunia, maka mereka akan ajak Jawa
menjadi rekanan kerja. Kalau Jawa yang ‘’juara’’ mereka akan berguru kepada
Jawa.

***

Apa-apaan itu? Dari bidang ilmu dan teknologi diberitakan bahwa revolusi invensi
atau penemuan-penemuan baru akan mengubah geo-ekonomi, geo-politik dan
kebudayaan dunia dari Cina, Brazil, Jepang dan Indonesia.

Bangsa Indonesia memasuki 2009 sebagai ‘’orang lugu’’ dan tidak perduli pada
dirinya sendiri karena habis waktu dan enerjinya untuk urusan kotak suara. Padahal
sejumlah makhluk Tuhan di luar manusia yang ditugasi menemani pertumbuhan
peradaban ummat manusia sudah menyiapkan dibukanya sejumlah penemuan di
bidang telekomunikasi, energi dan pertanian.

Sengaja saya tuturkan kepada sidang pembaca hal-hal yang ‘’tidak-tidak’’. Nanti kita
akan sampai ke yang lebih ‘’tidak-tidak’’ lagi: Lemorian, banjir Nuh, Parikesit,
terciptanya pulau-pulau Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dst. Dan akan saya
sambung pada tulisan berikutnya pekan depan.

Tapi kita jangan bilang tidak masuk akal dulu sebelum kita bisa menjawab seberapa
masuk akal kelakuan Israel sekarang ini: Dengan lancar dan mulus-mulus saja
menghajar Palestina di depan rumah saudara-saudaranya sendiri sesama bangsa
Arab, di depan hidung PBB.

Berdasarkan sejumlah ‘’khayalan’’ saya di atas, ucapkan: ‘’Ayo, Israel! Kalau berani
jangan hanya berantem sama anak kemarin sore. Datang ke Indonesia, sini kamu,
carok kita!’’.
(Emha Ainun Nadjib/Riau Pos/09 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Kemandirian
Kereta Purbaya mbludag penumpangnya. Ketika itu 'bau' lebaran memang belum
usai. Orang tumpah-ruah sampai ke daerah pintu masuk. Namun Tuhan Maha Baik.
Saya dapat tempat duduk.
Ada toilet yang tak beres. Air luber sampai keluar sehingga tempat sekitar sebuah
pintu masuk jadi becek dan menjijikkan. Belum lagi 'aromannya'
Disitulah saya berdiri sambil berpegangan daun pintu. Sendirian. sebab orang lain
memilih berdesakan ditempat lain dari pada 'berdomosili' di tempat seperti itu.
Tetapi pada dasarnya saya tak bersedia untuk terpaksa berdiri selama '6 jam' dari
Yogja ke Jombang. Saya mau berdiri sepanjang perjalanan, tetapi tak mau terpaksa.
Maka saya harus mencari semacam makna atau alasan kenapa 'perjuangan berdiri'
ini mesti saya lakukan. Dengan demikian 'kalu saya lelah' itu bukanlah kelelahan
oleh keterpepetan keadaan, melaikan karena perjuangan.
Tapi apa makna ? Melatih otot dan ketahanan kaki ? Belajar sabar ?
Menguji stamina ? Memakai keadaan itu untuk mengolah pemikiran tentang sesuatu
hal, misalkan kenapa khalayak ramai jarang yang ingat bahwa negara kita punya
utang yang luar biasa banyaknya.
Nah, sampai Prambanan, perjuangan saya adalah menentukan apa tema
perjuangan yang sebaiknya saya lakukan.
Kemudian Klatenpun menjelang. Dan saya diperintah oleh seorang Ibu tua untuk
pindah tempat agak ke dalam menjauhi pintu. Kaget saya, tentu saja. Sedang Bupati
Jombang pun belum tentu memerintahkan sesuatu pada saya.
Rupanya Ibu itu mempersiapkan sesuatu. Ia, tampaknya, seorang bakul. Mungkin ia
'mracang', dan kulakan macam-macam di pasar Beringharjo atau entah dimana. Ada
tiga paruh karung entah berisi apa disandingnya. Beberapa onggok kayu bakar.
Dua tumpukan kardus. Belum lagi semacam tenggok yang, saya lihat, segera di
gendongnya dengan jarit di punggung.
Tentulah ia akan turun di Klaten.
Saya bilang saya tak usah pindah, nanti saya bantu menurunkan itu semua dari
kereta. Tapi sang Ibu, atau lebih tepat Nenek, begitu acuh tak acuh terhadap
tawaran saya. Ia bersikeras agar meminta saya bergeser ke tengah. Dan sebelum
kereta berhenti, ia lemparkan karung itu satu persatu, juga kardus dan kayu.
Sedemikian rupa sehingga satu karung sudah ertinggal di sebuah gerbong terakhir,
karung kedua di gerbong tengah dan seterusnya. Baru ketika kemudian kereta
berhenti, ia turun dengan tenggoknya, lantas berjalan menyusuri rel sebelah
menghampiri barang-barangnnya yang tertinggal.
Jelaslah bagi saya, nenek itu sedang menerapkan kemandirian, disetiap detik dan
jengkal ruang kehidupannnya. Mripatnya yang acuh kepada saya tentulah
sebenarnya berkata, " Kalau memang mau membantu, kenapa cuma menurunkan
barang-barang ini dari kereta ?"
Nenek udik itu memang lebih rasional dan independen dibanding seorang dekan
yang ketika pagi-pagi ia sampai di kantor kerjanya berkata kepada bawahannya: "
ambil kan tas saya di mobil, ini kuncinya !"
Ia juga lebih tinggi derajatnya dibanding sementara pejuang rakyat yang canggih
membikin proposal tentang orang-orang semacam Nenek ini, untuk diajukan dan
ditukar dengan dana milyaran rupiah, dan untuk itu ia peroleh persentase untuk beli
mobil atau peralatan rumah dengan segala kenikmatannya.
Tapi nenek itu tak akan pernah berkata, " Tak usah menolong saya,. Mulailah saja
selenggarakan keadilan ekonomi sehingga di negeri kaya raya ini tak usah ada
seorang nenek bekerja seperti saya .."
Nenek itu tak akan pernah berkata demikian, meskipun para cendekiawan atau para
pejuang yang mewakili nasibnya juga belum tentu akan berkata demikian.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)

ANTARA MASJIDIL HARAM DAN MASJIDIL AQSA


Pangkal Dan Ujung Segala Peradaban

Mengapa Tuhan menurunkan hampir semua agama itu di sekitar jazirah Arab?
Mungkin tuhan punya alasan, bahwa budaya Arab itu menakutkan, sehingga disana
itu merupakan letak setan yang paling ganas dan juga malaikat yang paling suci.
Maka acuan pertama adalah Subhaanalladzii asyroo bi 'abdihii laillamminal masjidil
haraami ilal masjidil aqshalladzii baaraknaa haulahu linuriyahu min aayaatina innahu
huwassamii'ul bashiiru, atas dasar ini bisa dikaji secara antropologi kosmologis,
bahwa antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha ada satu lingkaran geografis yang
oleh Allah dikhususkan untuk menurunkan segala macam puncak-puncak atau
sumber-sumber barokah-Nya. Maka segala macam ilmu, eksak dan macam-macam
tingkat yang paling arif dari ilmu sosial berasal dari sekitar lingkaran antara Masjidil
Haram dan Masjidil Aqsha. Bahkan kalau kita mencari sumber-sumber dan
cakrawala musik, juga akan ditemukan juga.

Budaya Arab kalau dilihat di dalam Al-Qur'an, memperlihatkan adanya dua kutub
yang luar biasa, dari api sampai salju, dari yanag paling panas sampai yang paling
sejuk, dari yang paling buruk sampai yang paling baik. Bahkan peristiwa Musa AS,
dengan Dzun-Nun yang sekarang terjadi di Indonesia yakni majmual bahraini,
dimana ketika Nabi Musa lewat di pertemuan antara dua arus laut itu ikan yang mati
tiba-tiba melompat menjadi hidup. Maka kalau ini diletakkan dalam konteks ke-
Indonesiaan, bahwa peristiwa World Trade Center dan Pentagon di AS itu adalah
saat-saat yang paling kreatif bagi bangsa Indonesia, pada saat inilah kalau bangsa
Indonesia murni, yakin, dan tawakal, bersungguh-sungguh, akan mendapat hidayah
lebih dari sebelum dan sesudahnya.

Sekarang ini tanah genting atau majmual bahraini, "laut sedang bertemu", di
Indonesia dan tidak ada jalan keluar, tapi pada saat itu ikan yang sudah mati akan
hidup kembali. Bangsa Indonesia justru mengalami hidupnya sekarang ini,
masalahnya banyak orang yang tidak tahu mana yang sebenarnya hidup dan mana
yang sebenarnya sudah mati.
Anda menyangka Gus Dur hidup padahal ia sebenarnya sudah mati.
Anda menyangka Amien Rais hidup, padahal ia juga sudah mati, dan orang seluruh
dunia menyangka peristiwa di AS itu teroris padahal sesungguhnya itu adalah
gerilyawan, bisa jadi sebuah perjuangan untuk melepas dari ketidakberdayaannya
menjadi berdaya. Mati yang dimaksud , adalah mati dalam kriteria Allah, bukan mati
di dalam kriteria manusia (materialisme), sebab kalau kita orang Islam, tentu tidak
akan memakai cara pandang materialisme, sehingga banyaknya korban dalam
tragedi di AS, dan pembajaknya itu kita hargai sebagai mujahid, dan setiap mujahid
tidak ada yang mati menurut Allah.

Dan majmual bahraini itu juga terjadi, di antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha,
maka titik antara keduanya kita lingkari, karena di situlah letak segala sesuatu dan
Allah tidak memberi barokah ke tempat lain. Maka tidak ada nabi lahir di Jombang,
Jogja, atau Ngawi, dll.
Tidak ada musik dahsyat yang tingkat kecanggihannya melebihi bainal masjidil
haram minal masjidil aqsha. Anda boleh lihat musik Queen, Led zeplin, atau Edy
Van de Bergh, bahkan Bethoven, sebenarnya ia tinggal masuk Islam, karena
dipuncak eksplorasi musiknya ia harus lari ke Timur Tengah untuk menemukan
puncak-puncak estetika, hal ini disebabkan oleh "alladzii baarokna haulahu
linuriyahu min aayaatina", walaupun di antara dua kutub ini ada iblis yang paling
ganas dan malaikat yang paling suci.
Sehingga mengapa nabi-nabi diturunkan di tempat itu? Karena kalau nabi diturunkan
di tanah Jawa, uji cobanya terus bagaimana? Padahal uji coba sebuah agama itu
harus di antara kedua kutub itu, harus dalam budaya Arab, dalam arti Timur Tengah.
Maka Rasululullah, Nabi Adam, Musa, dll,lahir di Arab, dan tidak mungkin lahir di Ja-
tim, Ja-Teng, sebab orang Jawa itu sesungguhnya kalau mau memakai hatinya,
pikirannya sudah sangat Islam, tidak perlu ada firman sudah cukup. Cuma agar lebih
sempurna dibutuhkan sholat, puasa, dll.
Tetapi sesungguhnya hatinya sudah cukup ber-sholat, dan berpuasa.

Dan orang Arab, ini bisa dilihat pada zaman Rasulullah : Ada seorang budak yang
dibeli, dibebaskan oleh Rasulullah, dan sangking gembiranya ia naik ke atas bukit
dan berteriak : "Allahu yarham Muhammad, Allahu yarhaamni, wala yarham ahad",
bayangkan ia sudah dekat sekali dengan Rasulullah dan Allah, masih curang juga
sifatnya, sebab ia berkata : " Ya Allah cintailah aku, cintailah Muhammad dan jangan
cintai siapapun yang lain," inilah type orang Arab, di dalam doanyapun memproduk
klaim soal Allah dan Rasulullah.
Produk seperti ini kemudian muncul di dalam kepedihaan-kepedihan sejarah pasca
Rasulullah yang luar biasa kepedihannya. Bagaimana mungkin Rasulullah yang
agung , yang badannya tidak tinggi, tidak rendah, yang alisnya melipis, yang kulitnya
kemerah-merahan putih, yang hidungnya mancung,, yang selalu tersenyum, yang
menambal sepatunya sendiri, yang tidur di atas pelepah daun kurma, ketika Aisyah
tidak bangun untuk membukakan pintu pada tengah malam, orang yang begitu
sederhana, tetapi ditaati oleh seluruh Jazirah Arab dan ditaati oleh begitu banyak
manusia di dunia, sampai hari ini, sampai dinyanyi-nyanyikan dengan terbang, dan
tidak seorangpun di dunia yang dicintai oleh umat manusia di dunia yang cara
mencintai seperti itu, melebihi Muhammad Saw.
Seperti itu saja, ketika Rasulullah meninggal jenazahnya terbengkelai sampai tiga
hari, tidak ada yang mengurusi, kecuali Siti Fatimah, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, dan
Fadhil bin Abas, dan ketika itu Sayidina Abu Bakar ,Umar, dan Utsman, tokoh-tokoh
Anshor, tokoh-tokoh Muhajirin semua menyibukkan diri berkumpul di Saqifa, mereka
bertarung dan berdebat untuk merundingkan dan menentukan, siapa khalifah
sesudah Rasulullah. Orang yang begitu hebat, orang yang begitu membangun
demokrasi kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya, dan sangat dihormati oleh para
sahabatnya, tetapi pada hari meninggalnya para sahabatnya melupakan jenazah
beliau. Maka akhirnya hanya dikuburkan oleh lima orang, selesai menguburkan di
tengah malam, pasukannya Umar datang ke rumah Ali bin Abi Thalib, agar menanda
tangani pengangkatan Abu Bakar as Shidiq sebagai khalifah. Inilah budaya Arab,
maka inilah alasan sehingga Islam diturunkan di tanah Arab.
Maka budaya Arab itu harus kita pahami betul, orang yang paling gagah berani dan
patriotis adalah orang Arab, tetapi orang yang paling brutal juga orang Arab. Tetapi
jangan lupa orang yang paling militan juga orang Arab. Sehingga budaya Arab ini,
justru adalah suatu kutub yang ekstrim, supaya Islam muncul keindahannya, kalau
Islam diturunkan di antropologi suku yang lain, pasti tidak begitu indah.

(13 oktober 2001)(Dari berbagai sumber : Paket Infak Karangkajen, Yk, Ceramah di
Fak.
Sastra UGM, Yk)

(Emha AInun Nadjib/PadhangmBualnNetDok)


Syair Tukang Bakso
Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu,
mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan
piring dengan sendoknya.

Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang
berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil
albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

"Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu
seseorang.

"Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya,
betul!"

"Jangan marah, ikhwan," seseorang berusaha meredakan kegelisahan, "ia sekedar


mencari makan ..."

"Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain
lagi.

"Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!"


sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga
mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan
mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya.
Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain
menjadi kecil adanya."

"Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau
peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso.
Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat,
beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana,
memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah
dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk
menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan
lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda
sekarang ini, takutkah atau tidak?"

"Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso.
Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para
tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar
seperti Anda semua."

Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid
menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.

"Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz
melanjutkan, "karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut
terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di
sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur isri
dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... masya allah, sungguh
kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan
Allah!"

(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)


Fir'aun dan Tiga Kebenaran
Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia.
Pertama, benarnya sendiri (benere dhewe).
Kedua, benarnya orang banyak (benere wong akeh). Dan, ketiga kebenaran hakiki
(bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus


sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang
pertama. Artinya. orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti
mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama,
dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini bisa berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di
kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial
yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada
banyak hal juga berlaku pada monarkhisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan Fir'aun-Fir'aun besar dalam skala negara dan dunia,
serta memproduk Fir'aun-Fir'aun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di
organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi pada kalangan yang yakin
bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan di mana para pelaku demokrasi
menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri mengenai demokrasi.
Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati
--ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun
internasional sebagai seorang demokrat teladan-- ternyata pandangan-pandangan
kolektif itu khilaf.

Padahal demokrasi adalah tingkat kebenaran yang lebih tinggi, yakni benarnya
orang banyak. Demokrasi adalah logo-nya kehidupan modern. Ia bahkan melebihi
segala Agama, bahkan
diletakkan 'lebih tinggi' dari Tuhan.
Tapi, apakah orang banyak pasti benar? Meskipun kebenaran mayoritas itulah
pencapaian tertinggi yang bisa dibayangkan oleh ilmu pengetahuan politik yang
paling rasional? Bukankah sejarah ummat manusia juga mencatat kengerian
terhadap diktatorisme mayoritas?
Bagaimana kalau kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak punya kemampuan
untuk memilih mana yang benar, mana yang baik, mana tokoh, mana pemimpin,
mana panutan, mana politisi, mana
negarawan, bahkan mana Ulama, mana Sufi dan lain sebagainya - sebagaimana
tragedi besar besar panjang yang hari-hari ini sedang dialami oleh bangsa
Indonesia?

Kita sangat mantap membangun proses demokratisasi, memfokuskan diri pada


'suara rakyat', atau dengan kata lain: benarnya orang banyak. Bukan kebanyakan
warga suatu suku menganggap dan
meyakini bahwa membunuh, memenggal kepala, mencincang-cincang tubuh dan
memusnahkan suku yang lain adalah kebenaran?
Belum lagi kerepotan kita dengan para pencoleng elite yang ke mana-mana
mengatakan bahwa ia menggenggam kebenaran rakyat banyak, sehingga menyebut
dirinya dan orang lain dengan tolol
ikut menyebutnya demokrat.

Benarnya orang banyak sangat penuh kelemahan dan sama sekali tidak
mengandung jaminan keselamatan di antara para pelakunya, bahkanpun bagi
pelaku diktatorisme mayoritas itu sendiri.
Benarnya orang banyak harus disangga oleh sangat banyak faktor lain: kematangan
budaya, tegaknya akal dan kejujuran, pendidikan yang memadai, kedewasaan
mental kolektif dan lain
sebagainya. Demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Demokrasi adalah ilmu yang belum
dewasa dan pengetahuan yang masih timpang terhadap kenyataan manusia.
(EMHA Ainun Nadjib/Republlika/15 April 2001/PadhangmBulanNetDok)
Peringatan dari Pembantu Rumahtangga
SEORANG pembantu rumahtangga dari Gang Bayi, RT-1/ RW-3 Desa Gogorantai -
GPR - Kediri, Jawa Timur bersurat kepada saya "untuk mengurangi beban saya
sebagai anak yang tersisih dari pergaulan dengan teman-teman seusia saya, karena
rendahnya martabat saya sebagai pembantu rumahtangga", katanya.

Ia menulis bahwa kemanapun ia pergi, di manapun ia duduk, orang-orang di


sekelilingnya memandang rendah, menganggap saya tak ada harga di mata mereka.
"Orang-orang yang terhormat dan kaya itu hanya punya satu hal untuk saya, yaitu
perintah. Mereka menindas dan memeras orang lemah, hanya mulutnya saja yang
manis. Padahal kalau dilihat dari segi pengetahuan, tentu juragan lebih punya kasih
sayang kepada sesama manusia dibanding yang dimiliki orang bodoh macam saya".

Kita memperoleh dua pelajaran ilmu sosial dan psikologi dari kalimatnya itu.

Pertama, bahwa masyarakat kita yang sudah modern dan maju, sudah melewati
PJPT-1, masih menganggap rendah manusia hanya karena ia berstatus sebagai
pembantu rumah-tangga.

Kedua, ternyata tingginya tingkat pendidikan dan luasnya ilmu seseorang, tidak
membuat kasih sayang sosialnya meningkat.
Pada pandangan saya, yang pertama itu ironis, sedangkan yang kedua sesat.
Selanjutnya pembantu rumahtangga kita itu mengatakan, "Juragan saya jelas orang
yang beragama, sehingga tentunya ia berkasih sayang dan suka menolong sesama
manusia, terutama yang lemah dan miskin. Tapi kenyataannya juragan tidak
demikian.
Orang miskin hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhannya".
Ia menulis, juragannya tidak takut kepada Allah. Hidupnya hanya mengunggulkan
harta, kecantikan dan kemewahan saja. Apakah di akherat nanti semua bisa
menolongnya?
Kalau mereka tahu itu kenapa mereka melanggarnya?
"Pembantu tidak dapat tanda jasa, tanpa balasan kasih sayang, padahal jelas jam
tiga pagipun ia selalu siap diperintah. Pembantu hanya wajib dimarahi, diperintah,
diancam, dituduh semaunya, tidak boleh membantah, tidak boleh menjawab satu
katapun meskipun dalam posisi yang benar.
Sangat sedih hati saya, kalau posisi benar tapi dituduh salah".
Kita peroleh lagi dua pelajaran. Pertama ilmu agama, terutama masalah akhlaq.
Dan kedua, ilmu politik dan kekuasaan.
Dan empat pelajaran itu lahir tidak dari perpustakaan, referensi atau buku-buku,
melainkan bersumber dari pengalaman otentik, dari keringat dan airmata realitas,
dari nurani yang jujur dan pikiran yang jernih.
Jadi, itu ilmu sejati. Mutu dan pahalanya sepuluh kali lipat dibanding dosen yang
mentransfer kalimat-kalimat dari buku ke diktat para mahasiswanya.
Jadi, apakah ia bodoh? Apakah ia rendah? Apakah ia lebih bodoh, lebih rendah,
lebih tidak punya harga dibanding kita serta juragannya?
Ia mengumpamakan pembantu rumahtangga itu seperti binatang yang tidak punya
puser. "Kalau sudah begitu saya hanya bisa menangis. Ya Alloh, berilah aku
pekerjaan, sehingga aku bisa meringankan beban Bapak dan Ibuku", katanya lagi.
Ia kemudian menuding saya. "Apakah Cak Nun juga akan berlaku demikian?
Apakah Cak Nun juga akan memandang rendah saya? Apakah surat saya ini dibaca
oleh sekretaris Cak Nun? Kalau begitu apa nanti tidak dibuang ke tong sampah?
Cak Nun, kenapa saya tidak diberi kelebihan seperti Pak Habibie atau Susi Susanti
sehingga saya harus menerima hal yang seperti ini? Tapi kalau saya melihat anak
yang cacat, saya menangis.
Betapa adilnya Tuhan...".*****
Emha Ainun Nadjib/1993/PadhangmBulanNetDok)
AMBIL SI PENARI UNTUKKU TARIANNYA
Dzu Walayah membawaku mengembara.

Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi


berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu
bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu
putting induknya.

Namun tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul
wujud, Allah dengan hamba-Nya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk dua
ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.”
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat
kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk selimutmu,
tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.”

Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara
tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit
pundakku – “Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan
kepadaku tariannya.”
(Emha Ainun Nadjib/Padhang 

Penjara sebagai Pertolongan Terendah


Lia Aminudin akan masuk bui lagi. Saya bersangka baik ia tidak berniat jahat
dengan “Jibril, Ruhul Kudus, Kerajaan Sorga, Imam Mahdi”-nya. Mungkin ia orang
yang khilaf, tetapi tidak memiliki alat di dalam dirinya untuk memahami
kekhilafannya.

Namun, software untuk memahami kekhilafannya itu juga mungkin tidak terdapat di
luar dirinya: pada sistem nilai masyarakat dan hukum negaranya. Kita terkurung
dalam kelemahan kolektif yang membuat kita bersikap over-defensif, amat mudah
merasa terancam, bahkan ”sekadar” oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh
pengikutnya.

Kita tidak terbiasa dengan demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan


mental sosial. Tak ada kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya, dan
kedalaman nurani keagamaan, untuk sanggup meletakkan Lia beserta pengikutnya
sebagai sesama hamba Allah yang perlu saling menemani.

Apa pun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual)
maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat
sangat luas. Mungkin seseorang bisa bertanya kepadanya, ”Yang Ibu merasa
jengkel sehingga ingin menghapuskan itu agama ataukah institusi agama?”

Ilmu dan peradaban diperluas oleh informasi dari agama dan pasal-pasal hukum
adalah jalan terakhir dan terendah kualitasnya. Penjara adalah metode yang paling
tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.

10-8-2 dan kontra-hidayah

Sekitar 15 tahun silam, Lia menemui saya. Ia sedang sibuk berdagang bunga kering.
Ia merasa mendapat anugerah dari Allah, diizinkan bisa menyembuhkan banyak
orang dari berbagai macam penyakit.

Kurang tepat sebenarnya menemui saya untuk menanyakan hal-hal tentang


anugerah itu: apa benar dari Allah, bagaimana menyikapinya, apa yang harus
dilakukan dan sebagainya. Saya tidak punya kredibilitas untuk mampu menjawab itu.
Tetapi, wajib hormat tamu, saya jawab sekenanya. Allah yang bikin tamu datang, Ia
juga yang siapkan fasilitas pelayanan.
Saya jawab, Allah kasih hidayah kepada siapa saja yang Ia maui. Ia titipkan berkah
kepada orang yang rendah di pandangan kita, Ia simpan rahasia petunjuk-Nya
kepada orang yang kita benci atau kita remehkan. Kita berlaku biasa-biasa saja,
tidak tinggi tidak rendah, tidak hebat tidak konyol.

Waspada dan muthmainnah (tenteram) saja secara nurani, intelektual maupun


spiritual. ”Mbak, kalau ke dalam jiwamu masuk pendaran 10 gelombang, kita
waspadai bahwa yang dari Allah mungkin hanya 2, sedangkan yang 8 adalah
godaan, antagonisme informasi atau kontra-hidayah, mungkin dari dajjal, jin, iblis
atau energi liar yang bukan amr-nya Allah. Jadi Mbak Lia tolong hati-hati, jangan
setiap yang muncul dianggap berasal dari Tuhan….”

Presidium jin Gunung Kawi

Kemudian ia dipinjami Allah kemampuan menolong banyak orang dari penyakitnya,


termasuk penyair besar Rendra. Ia ke Padang Bulan, Jombang, seusai acara
banyak anggota jemaah antre diobati olehnya. Paginya saya antar menyisir sebuah
hutan di daerah timur Jatim. Setiap akan makan atau minum, ia bilang bahwa ia
harus bertanya kepada Jibril sebaiknya makan di warung apa. Saya
mengakomodasi keadaan itu dengan kesabaran yang saya ulur-ulur. Jibril terkadang
milih rawon terkadang nasi padang.

Sepanjang Jombang-Bondowoso-Malang, ia memoderatori tantangan Jibril kepada


saya untuk lomba puisi. Jibril bikin puisi, Mbak Lia menuturkannya, kemudian saya
pun bikin puisi balasan, lantas Jibril balas lagi dan saya juga tancap lagi. Demikian
seterusnya sampai berpuluh-puluh puisi. Kadar kepenyairan Jibril lumayan juga.

Malam, kami tiba di Gunung Kawi. Naik. Di suatu tempat ia berantem ama empat jin,
Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting-membanting. Berguling-guling.
Saya standby saja. Sepanjang ia tak terkena bahaya fisik serius, saya biarkan saja.
Kalau sampai nanti jinnya ngawur dan ia terluka atau pingsan: sudah pasti saya
tidak tinggal diam, saya pasti bertindak dengan teriak ”Tolooong! Tolooong!” dan
mencari Polsek terdekat.

Bereslah Indonesia

Setelah itu kami belum pernah berjumpa lagi. Berita-berita tentang dia membahana.
Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan
masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan
penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk
mengerti narasumber yang compatible untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari
ketiganya adalah tidak ada yang ”menemani”, atau ”menyelamatkan”-nya.

Ia sempat kirim sms kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi,
Maryam, dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu
bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi
permasalahan bangsa yang semakin majnun.

Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultraradikal
menuju perbaikan yang ajaib. Dengan Maryam, ibundanya Rasul Cinta, redalah
segala kebrutalan politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, bisa seperti pegadaian
nasional: mengatasi masalah tanpa masalah. ”Tetapi, kalau perubahan itu tak
terjadi, berarti bukan Jibril, Maryam, dan Imam Mahdi lho Mbak…”

Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan
coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya.
Karena Jibril itu makhluk nonmateri, bahkan bukan sekadar makhluk-frekuensi: Jibril
adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet
sedikit—meski beliau mandek tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di
mana ”Cahaya Terpuji” (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap
wajah langsung dengan Tuhan.

Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang
dan waktu. Tetapi, sekurang-kurangnya, jika ia masuk bui lagi, bersama napi lain
bisa bikin Majlis Ta’lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi: dilacak
dengan saksama apa sih sebenarnya ”wahyu”, bedanya apa dengan hidayah, ilham,
ma’unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan ”mukjizat”, ”Ruh al-Quddus”, ”Adn”,
”Din”, ”Agama”, dan sebagainya. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah,
tidak langsung bilang itu gula.

(Emha Ainun Nadjib/KOMPAS/20 Desember 2008/PadhangmBulanNetDok)


SELAMATAN
telah kuikhlaskan rasa sakit itu sebelum terjadi
ketika dan sesudahnya

telah kutaburkan di wajahmu wewangian kembang


dan kupanjatkan doa ampunan bagimu

tapi aku tak berhak mewakili hati rakyatmu


sebab tenaga untuk menegakkan kakiku sendiri ini
kupinjam dari mereka

aku tak memiliki harkat kedaulatan mereka


serta tak kugenggam kuara nurani mereka
yang diterima dari Tuhan

oleh karena itu


jika engkau mengharapkan keselamatan di esok hari
temuilah sendiri ruh mereka

kalau matahari digelapkan


kalau tanah titipan dirampas
kalau udara disedot
kalau malam disiangkan dan siang dimalamkan
kalau hak akal sehat dibuntu
hendaklah siapapun ingat bahwa aku tak berhak menawar
apa sikap Tuhanku atas kebodohan itu
oleh karena itu
jika engkau masih mungkin percaya
bahwa engkau butuh keselamatan esok pagi
ketuklah sendiri pintu Tuhan yang sejak lama
mengasingkan diri dirumah nurani rakyatmu
(1994)

(Emha Ainun Nadjib/"DOA MOHON KUTUKAN"/Risalah


Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok )
BUKAN KARENA INGIN
Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas dalam kehidupan di dunia yang
hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi
Presiden.

Saya yakin Anda sebenernya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan,
menjadi tlang portit, menjadi Camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin
sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja
Indonesia.

Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab
untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan
tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.

Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama
sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam
kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa
dengan hukum-hukumNya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la
yahtasib"--bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang
meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak
memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena)
kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan
sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.

Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh
struktur negara dan masyarakat.

Detailnya : oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang puinya negara atau
tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh
penguasa di antara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.

Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir
kuasa manusia'--maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam
kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal--saya
memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.

Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang
ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak
Tuhan.

Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya,
melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.

Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama,
siap menyanyi, siap menyulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan
untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar
kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan TUhan yang
menyembuhkan), atau apapun saja--sepanjang itu semua tidak berangkat dari
keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas
saya, yyang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi
hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab
(terbukanya penghalang).

Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar
ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Maha Kuasa.

4 Desember 1997
( Emha Ainun Nadjib/"Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah
Kebangsaan"/Zaituna/99/PadhangmBulanNetDok)
Mencari Garuda Ketemu Iblis
Bagi publik teater yang mengikuti perkembangan teater tahun 1980-an, tentu tidak
asing dengan kelompok teater pimpinan Fajar Suharno (eks Bengkel Teater) ini.
Pada periode itu, Dinasti pernah tampil antara lain melalui Geger Wong Ngoyak
Macan.

Berdiri pada 1977, Dinasti bisa disebut kelompok teater yang mengambil peran
penting dalam dinamika seni, budaya, dan politik di negeri ini, pada saat represi
Orde Baru menguat. Saat itu, Dinasti memilih posisi sebagai kelompok teater kritis
atau teater yang terlibat dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan budaya.
Lakon-lakon yang dipilihnya pun acapkali membikin "telinga kekuasaan" merah. Dua
repertoar mereka pun berujung pada pelarangan, yakni Patung Kekasih dan Sepatu
Nomor Satu.

Setelah Bengkel Teater Rendra off dari panggung karena dicekal penguasa, Dinasti
hadir sebagai pilihan publik yang gelisah akibat tekanan politik pembangunan Orde
Baru. Peran sebagai budaya tanding ini dijalani Dinasti hingga menjelang 1990-an.

Apa yang akan ditawarkan Dinasti sekarang melalui Tikungan Iblis? Masihkah ia
membawa protes sosial?

Kondisi sosial-politik di Indonesia telah berubah, sejak reformasi bergulir tahun 1998.
Represi politik --seperti dilakukan Orde Baru-- tidak lagi dominan. Dinasti akan
menjadi kelompok yang "bangun kesiangan" jika masih meradang dengan protes
sosialnya. Bukankah media massa jauh lebih terbuka dan berani mengungkapkan
berbagai realitas itu? Bahkan media massa terkadang jauh lebih dramatik dalam
pengungkapan dibanding kesenian.

Kelumpuhan Budaya

Tapi benarkah persoalan bangsa ini lantas menjadi selesai dengan keterbukaan
politik dan kebebasan pers?

Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis gerakan
Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang "tanpa"
persoalan. Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan bangsa,
melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru seperti ketimpangan
sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/ martabat, politik kekuasaan yang
rakus dan sombong, korupsi kolektif yang makin menguat, dan lainnya. Makin
menguatnya kapitalisme pasar, industrialisme dan materialisme yang menjelma
menjadi berhala, adalah beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi
dimensional bangsa ini, pasca Reformasi 1998.

Yang terjadi kemudian adalah kelumpuhan budaya di berbagai bidang: masyarakat


mengalami krisis presentasi diri, sehingga tidak berdaya secara budaya merespons
secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme
dan materialisme. Masyarakat pun mengalami semacam degradasi nilai. Dunia
politik, misalnya, tak lebih dari sekadar jual-beli kekuasaan. Dunia ekonomi tak lebih
dari pasar bebas yang direstui negara untuk mengeksploitasi masyarakat. Dunia
hukum tak lebih dari mafioso pengadilan di mana rakyat gagal menemukan rasa
keadilan. Dunia kesenian (khususnya kesenian massa), tak lebih dari kelangenan
yang mendangkalkan selera, cita-rasa, dan pikiran.

Dalam seting buram itu, Dinasti mencoba memberikan respons kritis atas berbagai
persoalan sosial, spiritual, politik, dan kebudayaan bangsa ini melalui kontemplasi.
Digarap sutradara Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno, pementasan ini menggunakan
pendekatan multimedia.

Lakon Tikungan Iblis setidaknya menawarkan dua tesis. Pertama, tentang


kehidupan beragama dan penghayatan religius yang terkait dengan keberadaan
tokoh Iblis. Iblis selama ini telah mapan diberi stigma buruk sebagai "raja kegelapan"
yang mendorong manusia melakukan berbagai penyimpangan nilai-nilai ideal, baik
pada level agama maupun budaya. Manusia cenderung selalu menjadikan Iblis
sebagai kambing hitam atas berbagai penyimpangan yang dilakukan. Padahal,
dorongan penyimpangan umat manusia adalah syahwat pemuasan diri seperti
kerakusan, hedonisme, naluri korup, kebengisan, dan keinginan untuk selalu
menguasai/menindas sesama manusia atau alam. Berabad-abad, cara berpikir itu
menjadi upaya manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.

Dalam konteks itu, Tikungan Iblis mencoba menawarkan tesis yang berbeda dari
pemahaman Iblis yang klasik. Yakni, Iblis bukan saingan Tuhan untuk menguasai
manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi "alat" Tuhan untuk menunjukkan
kebesaran-Nya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis
bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk
memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan "antitesis" atas "tesis"
Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh,
mendasar, dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket,
melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika
manusia mengakui eksistensi Tuhan --dengan seluruh nilai-nilai idealnya, maka
pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan
"pembelaan" atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas
sosok Iblis.

Dari Garuda ke Emprit


Tesis kedua, bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara
eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung
Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam narasi yang
mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam
hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban. Iblis --yang
sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi
khalifah di bumi-- akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia
hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling
berbunuhan. Umat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar "tapel" --sebuah
terminologi elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak
dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat.

Kekurangmampuan untuk meningkatkan kualitas diri membuat bangsa kita


mengalami kemerosotan martabat. Padahal, bangsa kita memiliki genetika unggul
sebagai Burung Garuda sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam,
dan berjuang (ingat sejarah kebesaran Dinasti Syailendra, Majapahit, Sriwijaya, dan
lainnya). Namun, karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang
menindas (baca kolonialisme), maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan
dasarnya. Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu, dan cicit Garuda itu. Mereka
bukan hanya tidak bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki
memori untuk terbang dan menerkam.

Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk
menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan,
kemuliaan, dan kebesaran; bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak
diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Saatnya martabat itu harus direbut. (*)

Indra Tranggono, pemerhati kebudayaan, teater, dan penulis cerpen


Tikungan Iblis akan digelar tgl 30 Des, pkl 20.00, di TIM Jakarta
Filosofi Penindasan
Rakyat saya ini sungguh bandel. Sebagai pemimpin, sungguh saya tak pernah
menyangka bahwa manusia bisa sedemikian mbanggel-nya. Susah benar mengatur
mereka. Orang diajak bersatu saja kok sukarnya bukan main.

Mending mengurusi kambing atau sapi.

Bersatu itu 'kan enak. Alam dan kehidupan sudah memberi contoh sejak dulu.

Kalau cabe mau bersatu dengan terasi dan brambang, ditambah garam, kan jadi
sambal yang nylekit. Apa sih keberatannya? Sekadar bersatu dengan terasi -- kok
keberatan. Apa maunya hidup tanpa sambal?
Coba kalau berani: bikin undang-undang yang melarang sambal! Saya jamin akan
terjadi revolusi.

Dan revolusi semacam itu belum tentu akan terjadi kalau alasannya adalah bukan
sambal. Kalau yang jadi isu sekadar ketidakadilan sosial, konglomerasi yang
berlebihan, kediktatoran politik atau masalah-masalah remeh yang semacamnya --
berani taruhan tak akan bisa membuat rakyat
bergerak.
Hanya sambal sajalah yang dijamin bisa menjadi sumber people power.

Ini adalah negeri sambal. Ini adalah masyarakat sambal. Ini adalah kebudayaan dan
peradaban sambal.

Dan sekarang terbukti bahwa terutama di bidang politik, para aktivis jelas tidak
mampu meniru persatuan sambal.

Jadi, saya ini sebagai pemimpin, benar-benar pusing kepala.

Entah kenapa Tuhan mencampakkan saya ke urusan-urusan di mana saya harus


berhadapan dengan anak-anak kemarin sore yang naif-naif.

Saya ajak merawat persatuan dan kesatuan, rewelnya bukan main.


Saya kasih tawaran untuk memiliki kemuliaan jiwa, juga ogah-ogahan.

Misalnya, kaki mereka saya injak, lantas saya katakan: ''Damai ya? Kamu mau
memafaatkan saya atau tidak? Memaafkan itu perbuatan luhur.
Tuhan saja banyak sifat pemaaf dan pengampunnya.

Tuhan itu ghofur, tawwab, 'afuwwu, ghofar dan lain-lain. Semua itu sifat pemaaf.
Coba kamu pikir, Tuhan yang mahabesar dan tak butuh apa-apa saja bersedia
memaafkan, kok kamu sok tidak mau memaafkan. Ayo! Mau memaafkan saya atau
tidak! Kalau tidak, berarti kamu menentang saya!

Merongrong kewibawaan saya!'' Jadi, kalau saya menginjak kaki mereka, itu suatu
metode pendidikan untuk melatih kebesaran jiwa mereka. Kalau saya menempeleng
kepala mereka, itu untuk menguji keluasan hatinya. Kalau saya menendang
seseorang sehingga terlempar jatuh dari kursinya dan ia lantas duduk di kursi
bayangan, itu demi menatar keteguhan batinnya. Kalau saya rampok hartanya, saya
gusur ladangnya atau saya ambrukkan rumahnya, itu semata-mata kaifiyah atau
prosedur agar mereka mengembangkan kecerdasan ilmunya tentang keadilan dan
kebenaran.Menguji keluasan hati, melatih kebesaran jiwa, mengembangkan ilmu
dan meneguhkan akhlak, dan lain sebagainya -- adalah hal-hal yang merupakan inti
ajaran Tuhan dan para nabi-Nya. Saya sekadar penerus, ahli waris.

Di sinilah letak kesalahpahaman rakyat saya. Maklumlah mereka memang masih


bodoh-bodoh. Merdeka belum lama. Terlalu lama dijajah oleh Kumpeni dan
sebelumnya ditindas oleh raja-raja sendiri. Jadi memang saya memerlukan tahap-
tahap pembangunan dan pendidikan jangka panjang Puluhan tahun. Dan kalau saya
boleh buka rahasia: saya tidak mau dinilai oleh Tuhan sebagai pemimpin yang
tinggal gelanggang colong playu. Pemimpin yang lari dari tanggung jawab sebelum
tugasnya mampu dibereskan dengan tuntas.

Tidak. Saya bukan tipe manusia yang pengecut dan betina. Sebelum tanggung
jawab bisa saya penuhi sepenuhnya, saya tidak akan lari ke manapun. Saya akan
tetap panggul tanggung jawab itu, sebagaimana para rasul dulu loro-lopo
memanggul risalah mereka, meskipun disakiti, dilukai, difitnah, dirasani, dan
disalahpahami.
Itulah beda antara saya dan kebanyakan pemimpin lain di dunia ini. Mereka pada
umumnya melompat dari kursi amanat rakyatnya dan melarikan diri keluar dari
balairung tanggungjawab nasionalnya, sebelum tugasnya dituntaskan. Beberapa
tahun mereka sudah tak tahan dan angkat tangan.

Lantas turun dari jabatannya dengan meninggalkan problem-problem.


Dan problem-problem itu harus diselesaikan oleh para penggantinya. Para pemimpin
baru yang menggantinya, yang tidak ikut menciptakan problem, harus susah payah
mengatasinya.

Itu benar-benar suatu kecurangan sejarah.

Dan saya tidak. Sekali saya tegaskan: saya tidak! Saya tidak demikian. Saya bukan
pengecut licik dan tengik. Saya, dengan saksi Allah, para malaikat dan segala
lelembut -- akan dengan teguh memanggul tanggung jawab ini sampai titik darah
penghabisan. Rawe-rawe rantas.
Malang-malang putung.

Tapi ya itu -- susah bener menyuruh rakyat untuk bersatu.

Masyaallah. Tetapi, namanya juga rakyat. Rakyat itu kanak-kanak abadi.

Susah diajak dewasa. Kalau anak kecil itu kemriyek, suka ribut dan suka berebut
apa saja. Kalau orang dewasa bisa lebih tenang dan stabil jiwanya. Sungguh saya
mendambakan kedewasaan rakyat. Maunya saya, mbok yang tenang-lah. Saya
kasih makan apapun, usahakanlah tenang. Kalau saya kasih peraturan-peraturan,
atau bahkan pun kalau saya sendiri melanggar peraturan yang saya bikin,
berupayalah untuk tetap tenang.

Tujuan saya adalah memang menguji daya ketenangan dalam jiwa mereka.

Kalau saya menggusur, saya sekadar ingin tahu seberapa kadar kesabaran mereka.
Kalau saya ambil makanan lebih banyak dibanding jumlah makanan mereka semua,
itu wajar, karena saya memang pemimpin. Moso' pemimpin disuruh kelaparan!
Kalau saya menentukan siapa Kepala Satgas, siapa Ketua Partai, siapa Pimpinan
Organisasi, berapa hektar sawah untuk keluarga saya, dan lain sebagainya -- itu
semata-mata untuk mendeteksi takaran sangka baik nasional mereka.
Rakyat saya harus dewasa, harus matang kepribadiannya, tidak gampang
bersangka buruk, tidak gampang iri, dengki atau cemburu.

Misalnya sekali waktu, atau di banyak waktu, sengaja saya menerapkan perilaku
yang penuh kemunafikan. Itu apa tujuan saya? Tak lain tak bukan adalah untuk
mengetahui secara persis seberapa tinggi ketahanan mereka atas hal-hal yang
buruk. Kalau saya sebarkan ketidakadilan, umpamanya, saya ingin mengerti
seberapa kukuh hati mereka ditimpa oleh nasib buruk yang menyiksa. Sebagai
pemimpin saya tidak mau punya rakyat yang cengeng, yang rewel dan sentimentil.
Mereka harus tetap tenang, damai dan bersatu, meskipun ditimpa ketidakadilan dan
ketidakbenaran.

Mungkin terpaksa saya akan menuliskan semua filosofi ini dalam buku-buku.
Mungkin akan saya cicil sedikit demi sedikit melalui pidato-pidato, agar rakyat saya
terdidik. Mungkin juga saya akan menciptakan semacam reportoar drama, entah
monolog entah drama kolosal -- mengenai semua ini -- agar saya berlega hati
menyaksikan rakyat saya berproses untuk dewasa dan penuh persatuan dan
kesatuan. Kalau tidak, saya akan malu kepada dunia.

(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Republika/ PadhangmBulanNetDok)


Raja, Ratu dan Buto
Adakah di antara Anda yang merasakan, menyadari atau setidaknya
mengasumsikan
bahwa banyak hal yang sedang menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita
dewasa
ini—diam-diam ada kaitannya dengan idiom-idiom `raja', `ratu' dan `buto'?
Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala
spektrum keilmuan Anda untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad
20
ini masih ada raja, ratu, atau buto?
Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir
substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah
buto.
Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan
kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara
alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki
potensialitas untuk cenderung menjadi `raja', yang sadar atau tak sadar, kita
terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita.
Kita cenderung merajai rumah tangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita,
merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu
lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik di
mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di
bawah, menjilat atau mengemis.
Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri.
Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang
demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang
diktator atas segala keburukan diri kita.
Tetapi apa beda antara `raja' dengan `ratu' sesungguhnya? Sehingga tulisan ini
berjudul demikian?
Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih relatif agak gampang.
Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun
dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah
satu watak gelap manusia yang berpotensi anti kemanusiaan, antikebaikan,
anti kehalusan.
Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang
kejahatan.
Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan
yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih
tepat untuk digambarkan berwajah buto.
Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran
Menakjinggo
yang oleh `sejarah versi Majapahit' digambarkan sebagai buto yang buruk wajah
maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang
menindas, yang menampakkan kehendak. Adapun Menakjinggo adalah pahlawan,
nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian
Blambangan atas imperialisme Majapahit.
Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik
dengan
watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah
seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka,
moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka,
tak
ada yang menandingi.
Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita
sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang,
kostum
seseorang, identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak
oleh surban, oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh
status kehajian seseorang?
Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin
moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain:
bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak
bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita
anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif
dan sanggup menemu_kan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur
harus diterapkan pada semua gejala lambang.
Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut
kelompok `beragama', kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok
ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di
pihak yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan
perilaku ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang
meringkus apa saja dengan brutal, yang melegalisir `kudeta' ini dan itu,
mendongkel dadap dan waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan.
Artinya, dalam hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat
mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.
Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena antitesis
yang juga kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung
menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral,
yang pro-demokrasi.
Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang
selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita
baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di
warung-warung.
Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang
benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi
yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja
dikatakan "Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan
pergantian." Dan kepada `mereka' dikatakan, "He anak-anak, Paduka sudah tidak
berkenan lagi sama si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian...."
Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan
makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang
penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu bisa pada momentum
tertentu terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus
dilaksanakan secepat-cepatnya.
Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan
bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dawuhnya,
perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh
wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang berlangsung di
seluruh
negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas senyum sang Ratu. Kalau
interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau interpretasi berdasar kepentingan
para buto, susahlah semua rakyat.

(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/PmBNetDok)

MENJELMA CINTA
Engkau panggil jiwa yang tenteram
Untuk kembali kepada-Mu dengan rela
dan direlakan
Engkau berfirman bergabunglah
ke penyembahan kepada-Ku
Engkau berfirman masuklah ke surga-Ku
Yang tidak tenteram tidak Kau panggil
Karena yang tak tenteram tak bisa kembali
Yang tak tenteram hanya bisa menjauh pergi
Yang tak tenteram tak sanggup rela
Dan mustahil Engkau relakan
Yang tak tenteram kuda-kudanya goyah
untuk menyembah
Yang tak tenteram mata jiwanya buta
langkahnya kandas sebelum surga

Jiwa tenteram ya Allah


Jiwa muthmainnah
Tuntunlah hidup hamba berbenah
Karena di alam hidup jahiliyah
Tak diajarkan kepada hamba jiwa muthma’innah
melainkan hanya kepasrahan yang salah
para ulama menyuruh hamba jadi prajurit
kalau salah langkah berbunyilah peluit
Ya Allah Kekasih
Kalau agama hanya berwajah fiqih
kepatuhan hamba terasa perih
Yang hamba peluk adalah cinta pengabdian
hanya dengan itu bisa rela dan direlakan
hamba sembahyang tidak untuk menaati mereka
Tenteram sujud hamba semata karena kepada-Mu
seluruh diri hamba menjelma cinta
(Emha Ainun Najib/PmBNetDok)
Bukan Hanya Milik Kematian
Kalau ada orang meninggal, kita ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.
Sesungguhnya kita semua ini milik Allah dan pasti kembali hanya kepadaNya,
mustahil bisa balik ke yang selain Allah.
Dan karena manusia itu penuh kelemahan, gampang terjebak oleh slogan dan
mudah
dikelabuhi oleh rutinitas - maka kita sering lupa bahwa kalimat itu tidak hanya
berlaku untuk kesadaran tentang kematian, melainkan terutama juga merupakan
dasar ilmu dan sikap terhadap kehidupan.
Maka hanya tatkala berjumpa dengan realitas maut, kita baru ngeh bahwa semua ini
milik Allah.

Dalam kehidupan sehari-hari kita begitu yakin dan mantap bahwa kita memiliki
sesuatu, punya modal, memegang hak milik atas tanah, kekuasaan dlsb.
Dan untuk itu kita bikin kompetisi ekonomi dan karir politik, perang dan
kapitalisasi senjata, perlombaan properti dan aksesori budaya, atau mengunyah
mode demi mode kebudayaan sampai air liur kita meleleh-leleh.
Padahal teknologi tercanggih di abad 500 kelakpun tak akan sanggup menciptakan
segenggam tanah, selembar daun, secipratan minyak atau sehelai rambut.
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)
Islam itu tidak menyakiti siapa-siapa
Islam itu tidak menyakiti siapa-siapa
Islam itu kalau ada paku ditengah jalan dipinggirkan
Islam itu adalah kalau ada barang mubazir didaya gunakan
Islam adalah tidak mengganggu tetangga
Islam adalah tangan ini tidak boleh nganggur, kaki tidak boleh nganggur,
tidak boleh ada barang mubazir
Malas itu makruh hukumnya, tidak boleh ada malas, pikiran harus cerdas dipakai
terus, tangan kaki bekerja terus berkeringat.
Islam itu tidak gampang curiga, gampang su'udhon dan gampang marah
Kalau petani, Islam adalah memelihara kesuburan tanah, jangan terus menerus
ditanami
Kalau tukang ojek, Islam adalah jadikan penumpangmu merasa aman kalau menaiki
ojekmu.
Kalau anda jualan di toko atau warung, Islam adalah orang yang beli itu merasa
aman dan percaya pada apa yang anda jual.
(Emha Ainun Nadjib/Maiyah Rusun Penjaringan Jakarta, 09 Juni 2004/PmBNetDok)

Hukum Malaikat Buntung, Hukum Iblis Beruntung


Seandainya dalam institusi negara kita pemerintah dan rakyat sudah sama-sama
sanggup melaksanakan ketaatan yang maksimal terhadap hukum, Anda masih
boleh
tertawa-tawa geli menyaksikan sejumlah kepahitan di belakangnya.

Pertama, orang yang merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu
adalah mereka yang merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat
hukum
adalah penghuni elite dari peradaban ’modern’, tepatnya masyarakat yang
merasa dan amat meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang
’terbaik’, yakni ’modern’.

Iseng-iseng saya pernah menemani 18 penduduk asli Pulau Waikiki, Hawai,


melakukan demo ke kantor gubernuran di negara bagian (Amerika Serikat) Hawai.
Mereka menuntut pengembalian Pulau Waikiki itu dari kepemilikan negara Serikat
Amerika kepada mereka.

Sejak ribuan tahun silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan
’memiliki’ pulau itu berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya
bertempat
tinggal (’jam terbang’) ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara
filosofis hukum bisa dijadikan landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas
tanah itu.

Tetapi, tuntutan mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern,
sangat bodoh secara kebudayaan modern, dan sangat melawan ’hukum’
yang sudah
diberlakukan atas tanah itu, yakni ’hukum’ negara serikat Amerika.

Jadi mana yang benar?


Yang mana kebenaran sejati?

Apakah benarnya ’hukum’ modern itu benar sejati?


Penduduk asli Hawai itu bisa paralel dengan semua suku di Irian Jaya,
teman-teman Dayak di hutan-hutan Kalimantan, atau kelompok masyarakat mana
pun
yang hidup di dunia beralamatkan di RW ’Sejarah’ RT ’Adat’.
Sementara
pada suatu pagi mereka bangun tidur thilang-thileng mencari "Di mana tadi
sejarah saya? Adat saya". Kok tiba-tiba di luar pintu itu ada orang-orang
berseragam hendak mengursusnya tentang apa yang disebut "sejarah" baru, "adat"
baru, dan "hukum" baru.

Dalam konteks itu hukum modern adalah Dajjal bermata satu, bertangan satu,
bertelinga satu, berhati sebelah dan berakal terbelah (growak) di tengah-tengah.
Ribuan tahun orang Jawa menciptakan peradaban tempe dan pada suatu siang
tiba-tiba saja tempe adalah milik orang Jepang, berkat hukum modern. Setengah
mati orang Jogja, Solo, dan Pekalongan membanggakan budaya dan karya batik,
sampai mendadak mereka hampir stroke mendengar bahwa batik adalah hak
patennya
Malaysia.

Sebuah pabrik kecap puluhan tahun sukses dan digemari konsumen, suatu hari
pimpinannya diseret ke pengadilan dan dipenjarakan, dituntut oleh salah seorang
karyawan yang membelot, membuat pabrik sendiri, mendaftarkannya ke lembaga
hak
cipta- sementara pabrik aslinya tidak pernah mendaftarkan.

Insya Allah suatu hari nanti saya akan kehilangan nama karena ada teman yang
mendaftarkan Emha Ainun Nadjib sebagai hak cipta dia. Yang kasihan adalah Nabi
Muhammad, telanjur tidak sempat sowan mendaftarkan namanya, sehingga tunggu
saatnya beliau tak lagi diakui sebagai pemilik nama Muhammad. Yang repot kita
orang Islam, setiap membaca syahadat musti kasih royalti kepada pemegang hak
cipta nama Muhammad. Bayangkan, berapa duit harus kita siapkan untuk salat wajib
lima kali sehari saja. Belum lagi ditambah wirid dan shalawat.

Anda jangan lantas tidak salat demi menghindari kewajiban memberi royalti. Insya
Allah Tuhan juga mafhum atas kekurangan Anda. Sebab, Tuhan sendiri juga
berposisi sama dengan Muhammad dan Anda. Entah kapan Tuhan akan bertamu ke
kantor lembaga hak cipta untuk mendaftarkan paten nama Allah, Yehova, Sang
Hyang
Wenang, dsb. Tentu butuh sangat banyak biaya. Andaikan Muhammad tidak telanjur
menjadi nabi terakhir, mungkin diperlukan wahyu baru yang menganjurkan agar
umat
Islam ketika menyebut Allah dan Muhammad cukup dalam hati, demi menghindari
pemborosan royalti hak cipta.

Yang paling selamat adalah manusia yang celat atau pelat lidahnya, yang menyebut
Allah dengan Awwoh dan Muhammad dengan Mamad. Itu pun kalau Awwoh dan
Mamad
belum didaftarkan ke lembaga hak cipta.

***
Ini sekadar iftitah, pembuka dari pembicaraan yang sangat mungkin bisa panjang
tentang kelucuan hukum. Anda pasti sangat cerdas memahami judul tulisan ini,
sesudah ala kadarnya membaca preambul ini.

Omong nasi musti omong beras, padi, tanah, daun, tanaman, angin, air, matahari,
musim, Tuhan dan terus terus teruuus sampai tak mungkin Anda menghindar dari
satu kata apa pun tatkala membicarakan satu kata yang lain. Hukum, fikih, moral,
akhlaq, takwa, mahabbah…. Teruuus sampai SBY-JK turun belum akan selesai kita
sebut kata demi kata, demi menguraikan sekadar satu kata.

Belum lagi kalau saya pancing dengan kalimat bahwa saya termasuk orang yang
tidak peduli hukum. Ada hukum atau tidak, saya tidak akan menyakiti manusia. Ada
KUHP atau tidak, saya tidak akan maling. Ada jaksa, hakim, atau tidak, saya
tidak akan mencekik anak tetangga. Ada polisi, pengacara atau tidak, saya tidak
akan memerkosa wanita maupun kambing betina dan apa siapa saja….
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2007/PmBNetDok)
KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan al-fatihah dan surah


Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alif-mu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakikat hidup


Karena pejalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri


Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya


Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang taka ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapa pun juga

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah


Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan

(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)

Membaca dan Selimut


Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang diwisuda.

"Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan Barat.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi
kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari anjing kurap.
Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang dipuja orang
melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan."

"Ini kisah aneh apa lagi?" bertanya sang cucu.

"Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk
memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya
sendiri," si kakek melanjutkan, "Maka dipandanglah kebudayaan barat itu oleh
mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang kebudayaan barat
itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan."

"Lagi-lagi soal kemunafikan!"

"Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini," jawab Kiai Sudrun,
"setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang hendak
aku ceritakan kepadamu adalah soal lain."

Sang cucu diam mendengarkan.

"Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan kebudayaan barat
seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat dengan setan.
Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu sendirilah yang
dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam."

"Kakek sembrono, ah."

"Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban iqra', meskipun
kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak ada yang
melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap
kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia
memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk
mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya
mereka memerlukan perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka
mempersembahkan kepada telinga dan mata manusia berita dan pemandangan dari
balik dunia yang berlangsung saat itu juga. Mereka telah memberi suluh kepada
pengetahuan manusia untuk mengetahui yang lebih besar dari galaksi serta yang
sejuta kali lebih lembut dari debu."

"Dimuliakan Allahlah mereka," sahut sang cucu.

"Benar," jawab kakeknya, "kalau saja mereka meletakkan hasil iqra' itu di dalam
kerangka bismi rabbika-lladzi khalaq. Seandainya saja mereka mempersembahkan
ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah.
Seandainya saja ereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam
politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian
kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban."

"Apa rupanya yang mereka lakukan?"

"Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka ketahui sebagai


berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak mereka perlukan, pura-
pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan binatang."

"Anjing kurap!" teriak sang cucu.

"Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi kebanyakan dari
mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada
kebudayaan yang semacam itu."

"Munafik!" sang cucu berteriak lagi.

"Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian
cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja, yakni
kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak ada
sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi
memencilkan diri:
melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan kampung-kampung sendiri - di
pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan mereka sendiri. Mereka menjadi
bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan medan untuk menciptakan dunianya
sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil, tetapi sesungguhnya itu masih lebih
baik dibandingkan kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis 'Kalian sok
suci!' atau 'Kami tak mau munafik!' sementara yang mereka lakukan sungguh-
sungguh adalah kekufuran perilaku dan pilihan. Namun demikian tetaplah Allah
Mahabesar dan Mahaadil, karena tetap pula di antara kedua kaum itu
dikehendakiNya hamba-hamba yang mencoba merintis perlawanan di tengah
medan perang. Mereka menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka
ber-iqra', membaca
keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesanggupan
mengolah
sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba dengan
kesadaran dan ketakjuban Ilahiah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata kebudayaan
yang bersujud kepada Allah."

"Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim," berkata Kiai Sudrun
selanjutnya, "Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya intelektualisme-
transendental atau intelektualisme-religius, meskipun Kaum Muslim sendiri
menyebutnya gerakan intelektual - itu saja - sebab intelektualitas dan intelektualisme
Islam pastilah religius dan transendental."

"Dongeng kakek menjadi kering ...," sahut sang cucu.

"Itu iqra' namanya. Gerakan iqra', yang ketiga sesudah yang dilakukan oleh
Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui menjadi sumber
pengembangan kebudayaan barat."

Sang cucu tak memrotes lagi.

"Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah - kata Tuhan - orang-orang yang
berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai
kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.
Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan
tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas
dengan lega."

Sang cucu tersenyum.

"Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah berfirman qum! Berdirilah.
Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari ketergantungan dan ketertindihan. Untuk
tiba ke tahap mandiri, seseorang harus keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak
akan bisa berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya
serta terbungkam mulutnya."

Sang cucu tersenyum lebih lebar.

"Firman berikutnya adalah fa-andzir! Berilah peringatan. Lontarkan kritik, teguran,


saran, anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol segala sesuatu yang wajib
dikontrol." - Sampai di sini Kiai Sudrun tiba-tiba tertawa cekikikan - "Syarat untuk
sanggup memberi peringatan ialah kemampuan untuk mandiri. Syarat untuk mandiri
ialah terlebih dahulu keluar dari selimut.
Namun pada masa itu, cucuku, betapa banyak nenek moyangmu yang tak
memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal belum bisa berdiri
tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih terbungkus dalam selimut ... " -
tertawa Kiai Sudrun makin menjadi-jadi.

Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, "Kakek luar biasa!" katanya,
"Kakek memang cerdas luar biasa!"

"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Sudrun di tengah derai tawanya.

"Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek tadi malam
dari buku-buku kuliahku."

Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.

(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)

Dasar Teori Tentang Majnun


Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau
definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin
sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga
agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.
Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa
dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai
semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai
Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu
managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang
canggih dan efektif.
Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga
mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin
menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya
dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan
tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan
menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal
sendirian di langit.
"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau
saya, juga berprihatin."
"Kenapa?" tanya saya.
"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"
"Gila?"
"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"
"Majnun gimana?"
"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu
gila, tapi bagi kamu tidak.""Gitu itu gimana yang kamu maksud?"
"Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya
mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku
memohon pertolongan....", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang
saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. Orang itu tidak hanya kepada Tuhan
menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para
Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia
lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia
tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi
hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah
penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun. Tuhan kok
dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau
otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal
itu terjadi....."
Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya
kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh
berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan
diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas
kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"
Kesal betul saya.
Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima depan
kebelakang. "Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung, kalau kedelai
ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak. Gampang saja kan? Kalau
seorang Imam terlanjur mengungkapkan statemen kepada Tuhan 'hanya kepada-Mu
kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan' - maka ia harus
bertanggung jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji
kepada Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan
jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah
kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya....."Sekarang
giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik di telinganya: "Din,
jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai saja!"

"Lho!", Saridin terhenyak, "Justru karena ini untuk [buku] humor, maka saya pilihkan
tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan ini kan orang-orang
yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak
sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin
dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!"
Saya jadi agak takut-takut. "Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong
yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!"
"Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan mengenai orang-
orang yang melawak dihadapan-Nya!"
"Orang beribadah kok melawak!" saya membantah lagi.
"Lho, gimana sih, " ia menjawab "Orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan
permintaan kepada Tuhan - 'Ya Allah anugerahilah aku jalan yang lurus!' Dan Tuhan
sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah
memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya
jadi Tuhan, pasti kesel dong...."
"Husysysy!!!" saya membentak.
"Husysy bagaimana!"
"Emangnya kamu Tuhan?"
"Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!"
"Emangnya Tuhan bisa kesel?"
"Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka
menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia,
untuk berbuat gila?"
"Wong gitu saja kok gila tho Din!""Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum,
lha kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh
sesak oleh gelas-gelas kopi, tapi

lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta lagi. Gila namanya kan?"
"Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya."
"Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis, itu penyakit
junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian mengenai konteks,
proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang menyebabkannya. Orang
bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan, itu majnun.
Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat, padahal prakteknya tidak - itu
namanya virus junun, lebih parah dari HIV...."
Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!

(Emha Ainun Nadjib, Demokrasi Tolol Versi Saridin)

KRITERIA KEPEMIMPINAN
Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-
kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta
keberanian mental.
Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung
kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang
stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati
dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan
hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika
pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan,
maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.
Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau
orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk.
Berpikir sederhana saja.

Misalnya. syarat menjadi suami.


Pertama, harus manusia.
Kedua, harus laki-laki.
Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas
banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia. Bertindak hewaniah kepada
istrinya, juga kepada orang lain. Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah
sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan
meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia.
Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya,
gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal
semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku
kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi
perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada
cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya
pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural
animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan,
informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.
Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak
suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme
politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang
ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh
bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung
parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.
Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap
dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau
perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh
wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud
pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian
kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.

(EMHA Ainun Nadjib-- Republika Minggu)

Kumpulan Karya Emha Ainun Nadjib

Pemantapan Cara Berfikir Islami(iii selesai)


Ancaman Kepada Kaum Ilmuwan

Namur hari-hari ini belum 'hari obor menyala'. Para ilmuwan muslim baru sedang
sibuk 'menambang minyak'. Sekarang adalah era di mana mereka suntuk
mernpelajari dialektika antara ayat-ayat Allah di alam,-manusia Qur'an (tiga
informasi cahaya).
Sementara itu mereka masih dikepung dan dirasuki oleh berbagai ancaman:
・ Belum dipenuhinya tiga syarat untuk memperoleh 'minyak' seperti yang telah
saya uraikan di awal tulisan ini (Q. 2 : 3). Hal ini bersumber dari ketergantungan
terhaiap etos-etos ilmu pengetahuan sekularistik dan atheistik yang mereka suntuki
tiap hari.
・ Kemurigkinan ada di antara mereka yang 'terlibat' dalam tuduhan Allah,
misalnya :
"Ia mendengar ayat-ayat Allah, namun ia tetap menyombongkan diri" (Q. 45 : 8).
Salah satu kesombonganya ialah gejala diskoneksi antara kepercayaan terhadap
ilmu Al-Qur'an dengan kepercayaan terhadap atheisme sikap pengetahuan.
"Dan apabila ia mengetahui barang sedikit tentang ayat Allah, maka ia memperolok-
olokkannya" (Q. 45 : 9). Secara eksplisit maupun implisit terhadap kecenderungan
tertenu dari apa yang kita kenal disiplin keiimuan atau konvensi akademis,
mengandung potensi olok-olok semacam itu.
"Adakah mereka itu tak memperhatikan Al-Qur'an a taukah hati mereka terkunci?"
(Q. 47 : 24). Bagaimana mungkin AlQur'an tidak merupakan kepustakaan utama
seorang, ilmuwan
Alangkah tak nyaman jika ternyata kita tergolong-golong dalam kalangan yang oleh
Allah disebut "Sesungguhnya bagi mereka yang ingkar, sama saja bagi mereka
kamu beri peringatan atau tidak mereka tetap raja tidak beriman" (Q. 2 : 6). Tetap
terjadi keterbelakangan pribadi: Ketika kita sholat kita adalah seseorang tersendiri,
ketika kita bersekolah kita adalah orang yang lain, ketika kita berdagang dan
berpolitik kita adalah orang yang lain-lain lagi.
"Dalam hati mereka' ada penyakit, dan Allah menarnbahkan lagi penyakit itu" (Q. 2 :
10). Mungkin .karena sesudah meningkat kita, tetap saja kita tak sanggup untuk
tidak bergabung dengan orang-orang yang dengan gagah mengatakan "Kami
adalah .orang-orang yang mengadakan perbaikan" padahal mereka "mengadakan
kerusakan di muka bumi" (Q. 2 : 11) Tidakkah kecenderungan semacam itu amat
gamblang kita temukan dalam mekanisme kehidupan bemegara dan bermasyarakat
kita sehari-hari ini?
Maka barangkali berbagai stagnasi, involusi, keterbelakangan, ketertinggalan atau
kemacetan-kemacetan sejarah yang kita alami bersama dewasa ini adalah karena
"Allah memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing
dalam kesempatan mereka" (Q. 2 : 15). Siapa bilang 'mereka' yang dimaksud oleh
Allah itu 'pasti bukan kita'.
Na'udzubillah kita semua dari kutukan Allah "Tuli, bisu, buta, dan tak kembali ke
jalan yang benar" (Q. 2 : 18). Semoga kita bukanlah orang-orang yang "Menyalakan
api, namun setelah api itu menerangi sekeliling, Allah menghilangkan cahaya itu dan
membiarkan mereka dalam kegelapan dan tak dapat melihat" (Q. 2 : 17).
Kaum ilmuwan adalah pembawa obor bagi setiap perjalanan peradaban. Merekalah
yang paling menentukan apakah kita semua hisa terhindar dari kemungkinan
kegelapan seperti itu.

Ilustrasi
Mungkinkah kita mampu berangkat melacak dari stratifikasi hakekat kemakhlukan :
- Materi
- Tumbuhan
- Hewan
- Manusia
- Abdullah
- Khalifatullah
- Waliyullah
- Nabiyullah
- Rasulullah

Apakah kita bisa bertolak antara lain dari bagian-bagian akhir dari Surah Al-Hasyr
yang menyebut konfigurasi dan penataan sejarah manusia yang dilambangkan oleh
susunan asma Allah dari Rahman-Rahim ke Malik-Quddus-Salam-Mu'min-
Muhaimin-menuju 'Azis-Jabbar-Mutakabbir hingga ke Khalik - Bari' - Mushawwir.
Juga bisa kita sebut etos Gerakan Intelektual Iqra, Gerakan Kebudayaan dan
Gerakan Politik Ya A-yyuhal Mudatsir Qum Faandzir, dst.
Seribu, bahkan berjuta-juta samudera Al-Qur'an, hanya mampu saya ambil setetes,
itupun belum cukup jernih saya menatapi dan menghirupnya

****(selesai)***

Yogyakarta, 12 November 1989


(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan
/ Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Pemantapan Cara Berfikir Islami(ii)
Innovasi Ilmu Cahaya

Sungguh la raiba fiih (tak ada keraguan padanya) bahwa sesudah mentransfer
sumber-sumber ilmu pengetahuan Islam dari Timur Tengah, peradaban Eropa
mampu membawa sejarah manusia ke suatu tingkat pencapaian ilmu dan teknologi
menakjubkan seperti yang sampai hari ini kita alami dan nikmati. Meskipun prestasi
peradaban teknologi itu sejauh ini kurang diorientasikan untuk berideologi "Bis-mi
robbika lladzi kholaq" (Q. 96 : 1), yakni mempersembahkan, mensubordinasikan
atau mengabdikan segala hasil ilmu dan teknologi itu untuk iqarnatihshalat
(membangun sembahyang kehidupan), untuk qiyam ' indallah (bersemayam di sisi
Allah), untuk utammima makaarimal akhlaq (menyempumakan keutamaan moral
perilaku), dst. sehingga malah menghasilkan kehampaan hidup, keterasingan dari
diri sendiri, dekadensi moral, kebingungan dan kegilaan (junun) serta berbagai
bentuk kebuntuan hidup yang lain yang menjadi ciri penting kehidupan modern
namun tetap harus disadari oleh Kaum Muslimin bahwa rekayasa iqra' bangsa-
bangsa Eropa sejauh ini melebihi yang diselenggarakan oleh KaumMuslimin.
Dunia Islam telah menganggap dirinya sendiri akan tampil menjawab problem-
problem kemanusiaan abad 21, dipastikan akan muncul di panggung peradaban
masa datang sebagai 'ideologi ketiga' yang mengatasi relativisme dua ideologi besar
sebelumnya yang dewasa ini sedang 'merintis kehancuran'nya; akan hadir dengan
membawa obor benderang untuk membuat para pejalan sejarah berdiri kembali dari
keterserimpungan kaki-kakinya, dari penyakit yang merabunkan mata dan
membatukan hatinya, dari kebuntuan, kecemasan dan kesunyian.
Itu berarti Kaum Ilmuwan Muslim yang oleh Allah diangkat derajatnya melebihi
orang-orang biasa akan harus mampu meminyaki obornya agar cahaya mampu
berpendar-pendar. Minyak itu ialah :
・Upaya penggalian dan rekonstruksi alam kefilsafatan berdasarkan hudallah
melalui Qur'an yang mengatasi dan menerobos batas-batas kerdil yang pernah
dicapai oleh sekulerisme, humanisme, atau bahkan universalisme. Mata kefilsafatan
Islam memandang jauh ke al'arsyul 'adhim' atau al ufug almubin. Tangan filosofi
Islam akan mengambil anak-anak kemanusiaan yang terjatuh karena terjebak oleh
kebuntuan eksistensialisme, membawa mereka memahami esensialisme ilahiyah.
・Melakukan tajdid atau pembaharuan ilmu pengetahuan alam, melahirkan kembali
khasanah tersebut dengan merelevansikannya terhadap konteks peran keilahian.
Seorang insinyur menjadi tidak hanya pandai menelorkan mode-mode baru
pembangunan berhala-berhala dunia, melainkan bekerjasama dengan ilmu dan
keterampilannya untuk mengerjakan pembangunan-pembangunan kebudayaan dan
peradaban yang mengabdi kepada Allah. Sebab yang dibutuhkan oleh manusia
bukan sekedar baldatun thoyyibah tapi juga robbun ghofur, bukan hanya negeri adil
makrnur, namun juga dengan perilaku budaya yang diampuni oleh Allah. Kaum
ilmuwan alam adalah orang-orang terpilih yang pangling memiliki kemungkinan dan
kesanggupan untuk mentakjubi Allah, karena merekalah golongan manusia yang
diberi rezeki pengetahuan sehingga tak habis-habisnya kagum dan bersujud
karenanya.
・Mengusahakan lahimya iimu-ilmu tentang manusia dan masyarakat atau segala
pilah ilmu-ilmu sosial yang berpedoman kepada pola berpikir Allah yang tercermin
dalam Al-Qur'an. Konsep bahwa Al-Qur'an adalah hudan lilmuttagin adalah titik
berangkat ilmuwan muslim menuju kerangka-kerangka teori dan acuan ilmu-ilmu
sosial versi Allah sejauh yang sanggup diterjemahkan dari petunjuk Qur'an yang
wilayah penjelajahannya,
visinya, hakekat perannya, disiplin dan konvensi-konvensinya berbeda dengan yang
selama ini dikenal oleh ilmu-ilmu sosial modern (: Barat) yang dianut di sekolah-
sekolah seluruh dunia. Hanya dengan mempedomani Qur'an kaum ilmuwan muslim
memiliki kemungkinan untuk menjadi bertaqwa, atau hudaliah itu hanya bisa diterima
apabila seorang ilmuwan memiliki dasar-dasar taqwa: itulah sebabnya idiom
AlBagarah itu berbunyi 'hudan (petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa) dan
bukan hudan lilkadzibin (petunjuk bagi orang-orang yang berdusta) atau hudan
lilmutakallifin (petunjuk bagi orang yang mengada-ada).
Ada berita bahwa kelak akan terjadi pergeseran serius dalam peradaban manusia di
muka bumi menuju suatu pencerahan keilahian yang berlangsung 'revolusioner',
yakni ketika para ilmuwan menernukan pengetahuan baru tentang cahaya. Peristiwa
tersebut akan merupakan terobosan sejarah yang dahsyat di mana kecemasan
ummat malusia terhadap bumerang sekularisme, teknologi dan kebudayaan berhala
bahkan juga pertentangan-pertentangan ideologi atau agama serta kepentingan-
kepentingan lain akan diatasi dan 'disembunyikan' secara tak terduga.
Inovasi ilmu cahaya itu akan merupakan hidayah Allah yang amat mentakjubkan,
penuh 'blessing in disguise', serta nembuktikan kemenangan Allah dengan cara
yang aneh dan ironis terutama bagi 'musuh-musuh Allah'.
Cahaya yang dimaksud bukan sekedar cahaya dalam arti simbolik atau metaforik,
tetapi yang sungguh-sungguh cahaya yang selama ini menjadi obyek penelitian
keilmuan alam. Orang akan menemukan jenis-jenis cahaya dalam skala
hakekat.yang jauh lebih luas. Orang akan berjumpa dengan sambung sinambung
cahaya dari yang paling wadag hingga rohaniah. Dan pengetahuan baru itu akan
merupakan ilham baru, visi dan acuan baru yang membuat ummat manusia memiliki
wawasan dan kejernihan baru dalam memahami
alam, manusia dan kebudayaan, nilai-nilai yang 'berseliweran' di dalamnya, serta
huburigan-hubungan yang berlangsung di antara semua itu.
Pada saat peristiwa itu jelaslah bagi kita semua betapa kaum ilmuwan muslim
sungguh-sungguh menggenggam obor peradaban yang nyalanya berpendar-pendar
dan cahayanya menaburi seluruh permukaan bumi. Mereka membawa perubahan
besar filsafat dan ilmu pengetahuan, pola-pola budaya serta peran-peran teknologi;
termasuk juga fungsi-fungsi lain dalam kehidupan manusia seperti politik, sikap
ekonomi, hubungan sosial atau karya-karya seni.

(bersambung)=====>>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan


/ Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Pemantapan Cara Berfikir Islami(i)
Iftitah : Nyala Obor Kaum Ilmuwan

0rang-orang berilmu selalu berada di garis depan sejarah. Kaurn Ilmuwan adalah
obor setiap perjalanan peradaban manusia. Obor kaum ilmuwan rnenentukan lancar
atau macetnya langkah seluruh musafir kemanusiaan. Obor yang menyala terang
memancarkan gerakan-gerakan cahaya apinya ke depan menuding cakrawala agar
mata kemanusiaannya tak buta, membuat wajilat qulubuhum, tergetar hati mereka
oleh segala pemandangan dan ilmu karya Allah yang mentakjubkan, membuat
mereka bergairah dan bertawadlu memuji-muji kebesaranNya. Adapun obor yang
suram atau padam akan menciptakan kegelapan yang menjadikan setiap pejalan
sejarah bertabrakan satu sama lain, terserimpung oleh kaki-kaki mereka sendiri,
terjatuh dan saling tindih menindih di lumpur.
Obor kaum ilmuwan yang tergenggam di tangan mereka diciptakan oleh Allah
melalui sumpah Alif Lam Mim (Q.2:1). Nyala api obor itu bergelar Qur'an yang "tiada
keraguan sedikitpun padanya sebagai petunjuk bagi mereka yang sebab pada
hakekatnya 'ijaz (kemukjizatan) Qur'an adalah "keseluruhannya mampu merangkum
dan menjelaskan bagian-bagiannya, bagian-bagiannya mampu merangkum dan
menjelaskan keseluruhannya".

(bersambung)======>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan


/ Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Agama yang kontekstual Terhadap perubahan Sosial(iii-selesai)


Menemukan Kehadiran Agama

Agama bahkan dipersempit menjadi mata kuda politik atau primordialisme


formalistik. Keluaran maksimalnya adalah menjadi blunder atau ranjau dalam proses
perdamaian dan keadilan. Keluaran minimalnya adalah bahwa is dieksploitasikan
untuk melegitimasi kepentingan yang sempit dan sepihak dari polarisasi kelompok-
kelompok dalam sejarah manusia.
Karena keterjajahan politik, ekonomi dan kebudayaan pada sernentara bangsa-
bangsa Asia, beberapa abad mutakhir ini agama terkikis dan dijadikan sekad.ar
sebagai alat pelarian psikologis, dijadikan simbol dekadensi kultur, sementara
perwujudannya di bidang politik terbelah dua : pertama, dijadikan pisau fasisme,
kedua, dijadikan legitimasi dari tradisi hipokrisi.
Islam misalnya, dimiskinkan di dalam pemahaman para pemeluknya, tidak di dalam
diri Islam itu sendiri menjadi makhluk yang hampir bertentangan dengan bagaimana
Sang Pencipta Islam itu sendiri memahami ciptaannya. Pemiskinan itu tidak
berlangsung hanya pada level interpretasi, pemaknaan dan penerjemahan sosio
kultural, bahkan berlangsung hanya pada tahap yang paling harafiah. Ada beribu
contoh, bahkan art" literer kata "Islam" itu sendiri sudah membias amat jauh.
Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah
sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya
bisa digali dari agama, pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan biasanya adalah
mengandaikan bahwa agama adalah sebuah "kotak" yang disepadankan esensi,
eksistensi dan fungsinya dengan umpamanya, "kotak-kotak" lain yang bernama
kekuatan ekonomi - politik, akumulasi kapital, investasi dan eksploitasi sumber daya
alam. Kita lantas mengasumsikan bahwa taktor ekonomi clan politik adalah kekuatan
yang kita anggap paling progresif dalam mendorong perubahanperubahan zaman.
Kemudian kita melakukan komparasi dan berkesimpulan bahwa agama hanya
kekuatan marjinal.
Kita memahami ekonomi, politik dan agama sebagaimana kita memilahkan kacang,
kedelai dan jagung. Ilmu sosial melihat bahwa ada sebuah "rumah" kehidupan
dengan bilik politik, bilik agama, bilik kultur, bilik hukum, bilik ekologi dan seterusnya.
Agama tidak dipandang sebagai tawaran nilai-nilai, semacam muatan untuk batin
(rohani dan intelek) untuk ditolak atau dipakai oleh penghuni "rumah" tersebut, serta
memberinya gagasan bagaimana memperlakukan atau mengatur bilik-bilik tersebut.
Saya kira akan tiba zaman di mana orang tidak lagi mengatakan bahwa "bercocok
tanarn itu pertanian, shalat itu agama" : pemahaman semacam itu telah memasuki
ambang dekadensinya.
Jika seseorang menanam pohon, menyiraminya dan memelihara kesuburan
tanahnya perbuatannya itu didorong oleh salah satu muatan yang dikandung agama,
atau bersifat religius terlepas dari apakah orang tersebut menyadarinya atau tidak,
mengakuinya atau tidak, menyebutnya demikian atau tidak.
Agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol. Ritus dan simbol adalah ungkapan
budaya atas rohani muatan agama. Sebagaimana kata-kata bukanlah puisi, kata-
kata hanyalah alat untuk mengantarkan puisi. Alat atau bahasa mengungkap puisi
sama sekali tidak bisa diidentikkan dengan puisi itu sendiri.
Agama ditemukan orang kehadirannya tatkala mencangkul tanah dengan ketakjuban
kepada keagungan Allah. Ketika menatapi hutan belantara, keremangan senja dan
hamparan bintang-bintang, dengan kekaguman kepada daya keindahan-Nya, ketika
berdagang dengan kesadaan akan Titik Pusat Hidup yang bernama Allah. Ketika
nenjalankan politik, ekonomi, hukum, organisasi, gerakan, eknokrasi, negara, club,
laboratorium, proyek-proyek, nemancing, berolah raga, bersenggama, dan apa saja,
dengan keberangkatan dan orientasi Titik Pusat Kehidupan tersebut.
Dengan demikian, saya tidak bisa memakai suatu kerangka keilmuan -yang
menyebut, misalnya, faktor ekonomi atau politik adalah non agama. Yang hidup
dalam pengertiannya : apakah berpolitik, berekonomi, bersuami istri dan lain
ebagainya adalah beragama atau tidak. Sangat sederhana.

****(selesai)****

Semarang , 30 November 1992


(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan
/ Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Agama yang kontekstual Terhadap perubahan Sosial(ii)
Manusia Sebagai Subyek

Jadi, permasalahan ini sangat jauh lebih dari sekadar "soal bahasa" atau "soal
istilah". Dengan demikian agama pun bukan hanya tidak bisa berperan apa-apa
terhadap proses kemajuan kehidupan manusia: ia memang sama sekali tidak
dilahirkan untuk itu. Manusialah subyek yang harus bergerak, bekerja dan
bertanggungjawab. Manusia pula yang maju atau mundur, yang untung atau rugi.
Agama sendiri tidak memiliki hakikat untuk maju atau mundur, untuk untung atau
rugi. Kalau seluruh urnmat manusia berduyun-duyun rneninggalkannya, Agama
"tenang-tenang saja", tidak rugi sesuatu apa.
Oleh karena itu kalau harus berbicara tentang Agama, saya selalu merasa harus
mengambil jarak yang setepat-tepatnya dan sejemih-jernihnya dari pemahaman
tentang agama yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial. Ibu kelahiran ilmu sosial adalah
realitas sosial yang disebut agama, yang dimaksud sesungguhnya adalah upaya
terbatas manusia dalam mewujudkan nilai-nilai yang diambilnya dari agama.
Sedangkan agama itu sendiri, sekali lagi, sama sekali bukan hasil karya manusia,
bukan produk kebudayaan, sehingga segala sesuatu yang berasal dari basil upaya
atau rekayasa manusia, sejauh-jauhnya hanya bisa disebut manifestasi agama.
Agama berbeda dari manifestasi agama, seperti halnya matahari berbeda dari
cahaya matahari, atau seniman berbeda dari karya seni atau dan rahasia alarn
rohani yang menjadi sumber lahirnya karya seni.
Dalam hal ini saya sangat terikat oleh common sense : bahwa manusia tidak
memiliki otoritas untuk menciptakan agama, memberi nama kepadanya, serta
menentukan muatan nilai-nilainya; lepas bahwa kita bisa kekal memperbantahkan
metode apa yang paling absah untuk menentukan apakah sesuatu - firman,
umpamanya itu berasal dari Allah langsung atau tidak.
Katakanlah ini barangkali sekadar sikap pribadi : jika ada agama berasal dari
manusia, saya tidak akan pemah bersedia menganutnya. Saya tidak percaya
kepada manusia jenis apapun untuk bisa membimbing saya dalam hal-hal yang
menyangkut kebahagiaan, kesejatian, keabadian dan lain sebagainya.
Akan tetapi kalau saya tidak menggunakan "pengertian agama secara sosiologis",
tidak berarti saya lantas memakai "pengertian agama menurut agama saya sendiri".
Yang bisa saya pakai hanyalah pemahaman atau tafsir, interpretasi saya atas
agama menurut Yang Membuat Agama itu sendiri.
Analoginya barangkali seperti bunyi kokok ayam : apa bunyi kokok ayam? Setiap
orang menirukan bunyinya, merefleksikannya berdasarkan citarasa dan pola ungkap
musikalnya. Adapun bunyi kokok ayam itu ya bunyi kokok ayam : kalau ayam
ditanyai apa bunyi kokoknya, ia cukup berkokok saja, dan sampai kiamat kita
memperdebatkan hasil pendengarannya kita atas bunyi kokok ayam itu.
Pada level teoritis, agama memuat segala sesuatu yang terbaik yang diperlukan
manusia untuk mengolah tuluan-tujuan hidupnya . Agama menyediakan demokrasi,
etos kerja, kearifan, moralitas serta apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam
mempergaulkan dirinya dengan tanah, tetumbuhan, seluruh unsur alam, sesama
manusia, cita-cita kebahagiaan dan kesejahteraan, juga menejemen keadilan, cinta
dan kebenaran.
Namun dalam level kasunyatan (realitas), agama telah dihinakan oleh kebodohan
manusia, diredusir oleh kepentingan subyektif manusia, bahkan diubah wajahnya
menjadi faktor sejarah yang merepotkan dan menjadi sumber peperangan.
Agama dirancukan dengan organisasi sosial atau gerakan kebudayaan. Tidak sedikit
orang berkata, meyakini dan memperbuat agama, padahal yang dimaksud
sesungguhnya hanyalah sangkaan terhadap sesuatu yang mereka anggap sama.

(bersambung)========>>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan


/ Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Agama yang kontekstual Terhadap perubahan Sosial(i)
Agama sedang digadang-gadang untuk berperan memperbaiki peradaban masa
depan ummat manusia. la ibarat pelita kecil di sayup-sayup abad 21 yang dituntut
untuk menjanjikan sesuatu sejak sekarang.
Kecemasan para pakar pemerhati sejarah terhadap hampir seluruh evil product
bidang-bidang politik, ekonomi, budaya serta semua muatan perilaku sejarah umat
manusia, akhimya diacukan kepada kemungkinan peran agarna.
Tulisan ini sekedar permintaan interupsi sesaat, yang penawaran tesisnya amat
bersahaja. Sebaiknya kita tidak usah terlalu tergesa-gesa memperpanjang
pembicaraan tentang apa yang didorongkan oleh agama terhadap proses
perubahan sosial, sebelum kita benahi dahulu dasar filosofi, epistemologi, atau
bahkan "sekedar" struktur logika kita dalam memahami Agama.
Pada akhimya ini mungkin "sekadar persoalan tetapi saya tidak bisa berhenti pada
anggapan demikian. Saya tidak pemah sanggup mengucapkan kata "Agama
berperan dalam ..,". Saya hanya bisa menjumpai agama sebagaimana kayu, atom,
biji besi, dedaunan atau anasir alam lainnya: ia tidak bisa menjadi subyek.
Agama harus tidak berasal dari nabi, murid-murid nabi, ulama, rohaniawan,
pujangga atau jenis cerdik cendekia macam apapun. Agama hanya mungkin disebut
agama apabila ia sepenuh-penuhnya merupakan hasil karya Tuhan lepas dari
kenyataan bahwa kita boleh mernpertengkarkan secara metodologis mengenai
bagaimana sesuatu itu absah dianggap sebagai hasil karya Tuhan.
Agama yang mungkin sah disebut agama apabila berasal dari Tuhan, dan bukan
kebetulan bahwa Tuhan tidak pernah memerintahkan kepada agama untuk berperan
apapun dalam kehidupan manusia. Yang menerima perintah adalah manusia, dan
Tuhan telah memberinya fasilitas-fasilitas untuk menjalankan perintah itu.
Sedangkan agama tidak memiliki akal sebagaimana manusia. Agama tidak akan
dimasukkan ke sorga ataupun neraka. Agama adalah makhluk Tuhan yang sama
sekali berbeda dari manusia. Agama itu
pasif, manusia itu aktif. Agama tidak memiliki kewajiban, tidak punya hak dan tidak
dibebani tanggung jawab apapun.
Dengan logika pemahaman seperti ini seorang ahli tidak mungkin bisa mengatakan
umpamanya "Agama tidak cukup untuk menangkal kenakalan remaja ...". Yang tidak
cukup, dan senantiasa relatif dan polemis, adalah tafsir manusia terhadap agama.

(bersambung)=====>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan


/ Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Teokrasi Islam Sebagai Persoalan Ilmu dan Sebagai Persoalan Politik
Pemikiran tentang pemisahan antara Negara dengan Agama selalu dihadapkan
pada pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana menentukan batas-batas otoritas
antara keduanya, serta bagaimana memproporsikan kontekstualitasnya balk pada
level kehidupan pribadi dan budaya masyarakat, maupun pada level institusi dan
birokrasi di mana muatan nilai-nilai itu dilegalisasikan.
Pada kenyataan kesejarahannya, setidaknya di Indonesia, kabumya konsepsi
tentang batas-batas tersebut, cepat atau lambat potensial untuk menjadi kontroversi,
bias, atau bahkan konflik yang sama sekali tidak bisa dianggap tidak serius. Sejauh
ini, dalam realitas kenegaraan dan kemasyarakatan, kekaburan itu telah
"menginventariskan" ketumpang-tindihan batas otoritas, bahkan keberlebihan klaim
otoritas Negara di satu pihak dan semacam keagamaan pihak Agama di lain pihak.
Ketika KH Abdurahman Wahid melontarkan hasil persepsinya bahwa "di dalam
Islam tidak ada konsep negara", pertanyaan keilmuannya adalah: Bagaimana
memahami pernyataan itu dalam kerangka konsep Islam mengenai politik yang
memuat fenomena seperti khilafah, daulah, juga formula-formula seperti qaryah,
thayyibah atau baldah thayyibah.
Adapun pertanyaan politiknya adalah: Mengapa dari input "dalam Islam tidak ada
konsep tentang negara", output yang diambil oleh Gus Dur adalah "maka kita tidak
akan nendirikan negara Islam", dan bukan misalnya "maka kenapa kita menerima
dan hidup dalam Negara", atau "maka pada saatnya nanti kita akan menolak
Negara".
Apakah penyelenggaraan Negara Islam seperti di Iran atau yang sekarang sedang
"ditawar-menawarkan" secara berdarah oleh Aijazair ("Teokrasi Islam, Republic of
Allah, Kingdom of God") berada pada level (merupakan) ajaran langsung) Islam itu
sendiri ataukah terletak pada tataran pemahaman, tafsir/interpretasi atas ajaran
Islam. Apakah formula Negara Islam merupakan keniscayaan nilai Islam itu sendiri,
ataukah merupakan salah satu kemungkinan hasil ijtihad, di sisi lain kemungkinan-
kemungkinan yang telah termanifestasikan dalam sejarah maupun yang masih
sebagai gagasan..
Dengan kata lain, segala realitas penyelenggaraan Negara Islam, apakah
pertanggungjawabannya terletak pada Islam itu sendiri, ataukah pada penafsir,
mujtahid atau interpretatornya.

(bersambung)======>>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan


/ Sipress / 1995 /PadhangmBulanNetDok)
Teokrasi Islam Sebagai Persoalan Ilmu dan Sebagai Persoalan Politik
Konsep Kedaulatan dalam Islam:
Pewarisannya dan Penyelenggaraannya
Berikut ini saya paparkan pemahaman saya atas konsepi Islam tentang pewaris
(dari/oleh Allah) dan penyelenggaraan kedaulatan dalam masyarakat manusia.
Tentu saja ada banyak kerangka acuan formal tentang itu, meskipun dalam tulisan
ini saya hanya memilih makna perlambang dari struktur sejumlah al Asmaul ul
Husna

Skema Pokok Konsep Khilafah


Allah ---> Khilafah ---> Ijtihad ---> Tajribah/Amaliah

Allah: Muasal dan muara segala eksistensi, balk yang dipahami melalui kreativitas
intuitif/instinktif maupun kreativitas intelektual, yang mengeksplorasikan tiga wilayah
informasi dari Allah: yakni realitas alam, manusia dan firman.
Khilafah: Pemandatan, pelimpahan, perwakilan terba:as kedaulatan cinta Allah,
Kasih Allah dan kepengasuhan Allah kepada manusia (bukan kepada benda,
tumbuh-tumbuhan, hewan, juga bukan kepada makhluk lain seperti jin atau iblis).
Ijtihad: Proses pemahaman, penghayatan, dan penafsiran manusia terhadap
pelimpahan khilafah Allah kepadanya.
Tajribah/Amaliah: Eksperimentasi, pengujian penerapan, yang sekaligus merupakan
manifestasi, aktualisasi, perwujudan atau pengejawantahan,

Terminologi Bantu
Managemen Iman - Islam - Ihsan
Kualifikasi Fiqh - Akhlaq - Taqwa
Teori Sab'a atau Tujuh Langit
Asas Islam tentang La ikraha fid-din, tiadanya paksaan ialam penyelenggaraan
sistem-sistem 'kedaulatan, kepengasuhan dan kasih sayang. Tingkat-tingkat benere
dewe - benere wong akeh - bener kang sejati
Innama amruhu idza aroda syai-an-yaqula la-hu kun fayakun: tahap kesadaran dan
pengelolaan dari landasan "amr" ke 'iradah" dengan mempedomani "qoul" , agar
"kun fayakun"
Serta mungkm yang lain-lain, yang diuraiakan jika merupakan keperluan forum.

Skema Terurai
Allah sebagai Khaliq (pencipta sejati), Ilah (pemilik kelaulatan), Rabb (pengasuh,
pendidik, pengelola).
Akar Fungsi atau kedudukan Allah sebagai Khaliq, Ilah maupun Rabb adalah watak-
watak: 'Alimul Ghaib (mengetahui segala yang tidak diketahui), Rahman (pengasih,
cinta "personal") (mengacu ke sifat Ahad), Rahim (penyayang, cinta "universal")
(mengacu ke sifat Wahid).
Muatan Qudus (yang kedaulatannya legal sejati sehingga benar sejati), Salam (yang
sungguh-sungguhnya nenyelamatkan, mendamaikan, mengamankan), Mu'min yang
jaminanNya mutiak bisa dipercaya), Muhaimin yang janjiNya menenteramkan).
Muatan Malik (satu-satunya raja sejati), 'Aziz (segala ciptaan adalah pantulan
kegagahanNya), Jabbar (keperkasaanNya), Mutakabbir (kesanggupan absolutNya
untuk menguasai segala sesuatu).
Muatan Rabb: Bari' (Maha menata sistem-sistem ciptanNya), Mushawwir (Maha
menggambar, melukis kendahan dan keseimbangan segala sesuatu).
Serta jalin menjalin indah antara skema pokok, skema terurai beserta muatan-
muatannya.
(bersambung).......=>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan


/ Sipress / 1995 /PadhangmBulanNetDok)

Teokrasi Islam Sebagai Persoalan Ilmu dan Sebagai Persoalan Politik


Ijtihad Khilafah ke Tajribah/Amaliah
Padi rnenjadi beras menjadi nasi.
Dari Tafsir ke ilmu menuju ke ideologi membentuk sisemisasi dan strukturisasi
Fenomena-fenomena dinamis (dinamika ijtihad/ pencarian/kreativitas ilmu dan
peradaban manusia): Daulah - Qaryah - Baldah - Negara atau formula republik,
kerajaan serta model penerapan kedaulatan yang lain.

Sejumlah Proyeksi
Skema konsep khilafah di atas adalah "sumur" yang sesungguhnya bisa ditimba
untuk berbagai keperluan, kepentingan sehingga penguraian maknanya bisa
merupakan rakitan yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang diperlukan.
Untuk kebutuhan tema yang kita bicarakan dalam forum ini, barangkali beberapa
proyeksi di bawah ini perlu untuk kita ketahui bersama:

Moralitas Khilafah
Allah atau apapun Ia disebut, merupakan asal muasal segala eksistensi, segala
wujud, segala kedaulatan, segala kasih sayang, segala kesantunan dan
kepengasuhan. Kehidupan segala makhluk secara kosmologis (dan karena itu
akhirnya secara filosofis dan teologis) tidak punya kemungkinan lain kecuali
mengacu kembali kepadaNya (ilaihi roji'un).
Manusia tidak sanggup dan tidak pemah menciptakan atau mengadakan dirinya
sendiri. Manusia tidak pernah menyelenggarakan eksistensinya atau
"perpindahannya dare tiada menuju ada". Manusia hanya effek, atau produk, atau
hasil karya dari inisiatif agung Penciptanya.
Oleh karena itu adalah suatu kebenaran ilmiah bahwa manusia tidak pernah
memiliki sesuatu, melainkan hanya dipinjami sesuatu, diwarisi sesuatu, dalam batas
dan penjatahan yang ditentukan oiehNya.
Jika kita berbicara tentang konsep pemilikan kedaulatan atau pemilikan alarm
misainya: itulah ilmu dan realitas hakikinya. Hanya Allah "Tuan Tanah Sejati", dan
hakNya absolut untuk itu semua. Juga hanya Ia "Raja Sejati", dan raja-raja yang lain
hanya berkedaulatan relatif dan pinjaman.
Hak dan kewajiban manusia dalam mengelola perwarisan itu disebut khilafah, yang
diterapkan dalam etos ijtihad, tajribah dan atau amaliah.
Keda-ulatan atau kekuasaan atau hak kepemimpinan tidak dimandatkan oleh Allah
kepada manusia secara berdiri sendiri (ilah, malik), melainkan besertaan dengan
pemandatan kasih sayang, kepengasuhan dan kesantunan (rabb, rahrnan, rahim).
Adapun kekuatan, kegagahan dan keperkasaanNya ('aziz, jabbar, mutakabbir) pun
dimandatkan kepada manusia dengan perimbangan sifat-sifat terpercaya,
menenteramkan, mengamankan, menjamin pemenuhan janji (qudus, salam, mu'min,
muhaimin).
Bahkan kepenciptaan atau kreativitas Allah dipinjamkan secara terbatas beriringan
dengan kesediaan menata, memproporsikan, mengorganisasikan,
mensistemisasikan, serta menyempumakannya dengan keindahan (khaliq, bari',
mushawwir) (bahasa Jawanya: mamayu hayuning bhawana).
Keseluruhan proses penyelenggaraan khilafiah itu berakar pada watak 'alim-ul
ghaib. Ini merupakan informasi tentang keterbatasan manusia. Merupakan dorongan
untuk keajegan menc2ri ilmu. Merupakan anjuran agar berenda_h hati. Merupakan
kritik atau pengingat agar para mandataris kedaulatanNya tidak terjebak oleh "tuhan
dunia" yang wadag.
Akar yang lain adalah watak rahman ("cinta pribadi", kasih Allah sebagai diriNya
sendiri yang "berjarak" dengan manusia: konsep ahad) dalam posisi berimbang
dengan watak rahim ("cinta universal", kasih Allah dalam konteks penyatuan,
kemenyatuan dan kebersatuanNya dengan manusia) (: konsepsi wahid, yakni yang
ditempuh manusia melalui proses tauhid yakni mengarahkan dirinya, kenendaknya,
perllaku pnbadmya, pilihan sistem nilai sosialnya, hukum kemasyarakatan dan
kenegaraannya, agar menyatu, sama dan searah dengan kehendak Allah).
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan
/ Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Ya Allah, Engkau tak Butuh Sapi...
Bagaimana mungkin orang Madura berani tidak hidup serius dan anti serius, lha
wong Tuhan sendiri saja seriusnya setengah mati ketika menggagas, menskenario
dan memanggungkan "la'ibun wa lahwun"--permainan dan senda gurau, begitu kata
firman-Nya--di muka bumi dan tempat-tempat lain di kosmos ini.
Kalau Ia berkata: "Aku ini Maha Pengasih dan Maha Penyayang", itu serius. "Aku ini
Maha Penjaga dan Maha Pemelihara," itu tidak main-main. Ia mendelegasikan
sejumlah Malaikat untuk memelihara pertumbuhan rambut Anda sampai sepanjang-
panjangnya dan terus menerus tumbuh sehingga salon dan barber shop memiliki
kemungkinan permanen untuk hidup. Para Malaikat lain Ia perintahkan untuk
merontokkan rambut orang-orang tertentu, supaya Malaikat itu bisa membedakan
mana orang yang ikhlas menerima kebotakannya dan siapa lainnya yang memakai
wig atau sekurang-kurangnya menutupinya dengan topi di mana-mana. Sementara
beberapa Malaikat lain Ia instruksikan untuk menahan laju pertumbuhan bulu alis
dan idep di pinggiran mata Anda sampai hanya di bawah satu senti meter saja,
sebab kalau tidak: mekanisme sosial masyarakat manusia akan menjadi lain dan
estetika wajah manusia akan berubah konsepnya.
Begitu seriusnya mengkonsepsikan pen-ciptaan-Nya hingga ke detail-detail yang tak
terhitung oleh ultrakomputer. Setiap matahari terbit dan manusia bangun dari tidur
lelapnya, senantiasa terdengar oleh telinga batinnya--dan seringkali tak terdengar
oleh gendang dan daun telinga dagingnya--suara gaib bahwa Ia itu Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Seorang tua renta yang sepanjang hidupnya menyembah
berhala, tiba-tiba terdengar suara itu di tengah sakit parahnya yang tak sembuh-
sembuh. Kepada berhalanya ia putus asa dan merasa dendam. Ia berteriak pagi itu:
"Baiklah, kalau kamu memang tidak bersedia menyembuhkan aku, terpaksa aku
akan meminta kepada Tuhan yang namanya Allah atau siapa itu untuk mencoba
menyembuhkanku. He, Allah! Kalau memang Kamu ada, kalau memang Kamu
Maha Kuasa, kalau memang seperti kata orang-orang Kamu adalah Maha Pengasih
dan Penyayang...sembuhkan penyakitku!"
Si tua renta itu membentak-bentak Tuhan sehingga para Malaikat yang
mendengarnya langsung tersinggung berat, naik pitam, dan hampir saja
digamparnya itu orang, kalau saja mereka tidak ingat bahwa mereka hanya
diperkenankan melakukan apa-apa yang diperintahkan oleh Tuhan. "Ya'malu ma
yu'marun", hanya mengerjakan yang Allah perintahkan. Maka berbondong-bondong
mereka dengan penuh emosi mendatangi Tuhan dan mengadukan perilaku si tua
renta yang kurang ajar dan menyinggung perasaan itu.
"Ya Allah, ada seorang hamba-Mu yang tak tahu diri. Ia sembah berhala selama 79
tahun, kemudian di ujung usianya sakit parah dan berhala yang disembahnya itu tak
menyembuhkannya. Lantas ia dendam dan menentang Engkau. Kalau memang
Engkau ada, kalau memang Engkau Pengasih dan Penyayang, ia minta bukti
berupa kesembuhan..."
Allah menjawab dengan santai namun muatannya sangat serius: "Ya sudah,
sembuhkan saja sekarang dia!"
Para malaikat langsung protes: "Lho, bagaimana, sih? Lebih dari seratus juga umat-
Mu di Indonesia berdoa bertahun-tahun agar SDSB dibubarkan, baru belakangan ini
saja Engkau mengabulkan. Dan doa-doa mereka yang menyangkut kekalahan politik
mereka, kekalahan ekonomi dan kebudayaan mereka, sampai hari ini Engkau
biarkan terbengkalai. Padahal umat-Mu di negeri indah itu sudah mati-matian salat,
hajinya meningkat tiap tahun, sudah bikin masjid di mana-mana, ulamanya sudah
kompak selalu dengan umara...tapi Engkau biarkan mereka terkantung-katung
dalam ujian-Mu dan hukum-Mu. Lha, ini ada seorang kafir penyembah berhala mau
ngetes Engkau, kok langsung saja Engkau kabulkan permintaanya?"
Tuhan tetap santai juga menjawab: "Lha, kalau doanya tidak Saya kabulkan, lantas
apa bedanya antara aku dengan berhala itu!"
Jadi, ammaba'du, demikian seriusnya Allah atas dirinya sendiri, demikian
konsistennya Ia atas ucapan dan janji-janjiNya sendiri. Bagaimana mungkin orang
Madura berani 'dak serius kepada Tuhan dan dirinya sendiri?
Tapi memang juga ada sih, anak-anak muda Madura yang terkadang berani
bersenda gurau yang keterlaluan kepada Tuhan, seperti mahasiswa asal Batang-
Batang ujung timur Madura yang di kampusnya diangkat jadi Menwa ini.
Pada suatu hari di antara berbagai jenis kemiliteran, ia diwajibkan ikut berlatih terjun
payung. terjun payung! Gila. Naik ke angkasa, lantas anjlok ke tanah! Iya, kalau
payungnya bisa di buka. Kalau tidak ? Kalau tiba-tiba lupa caranya mengembangkan
payung? Kalau mendadak gegar otak sementara?
Jadi betapa mengerikan. Si pemuda batang-batang ini terus terang saja ketakutan
setengah mati. Mending carok melawan rambo dari pada terjun payung.
Tapi, demi harga dan kehormatan Madura, akhirnya ia layani juga kewajiban itu.Ia
berlatih sebisa-bisa sambil memompa keberanian di hatinya. Tetapi ketika saatnya
untuk harus terjun beneran tiba, ternyata ketakutannya belum reda. Badannya dingin
panas, dadanya gemetar. Dan dalam keadaan seperti itu, siapa lagi kalau bukan
Tuhan sahabatnya.
Maka ketika berbaris menuju pesat, diam-diam ia berdo'a: "Ya Allah, kalau Engkau
selamatkan aku dalam tugas ini untuk kembali ke bumi tanpa kurang suatu apa, aku
berjanji akan menyembeli ayam ...
Semakin dekat ke pesawat, doanya semakin seru, konsesi yang ia tawarkan kepada
Tuhan pun meningkat. "Tidak hanya seekor ayam, Tuhan, tapi lima, lima ekor yang
akan saya sembelih!"
Ketika kemudian ia naik pesawat, duduk berbaris, melirik jendela dan melihat betapa
jauhnya bumi di bawah, konsesi membengkak pesat: "Sapi, Tuhan, Sapi! Saya akan
sembelih sapi!
Dan ketika satu persatu anggota Menwa itu didorong terjun dari pintu pesawat,
lantas ia sendiri merasakan tangan sang komandan menyorong punggungnya,
lantas terlontar dari mulutnya: "Sapi! Sapi! ..'
Tapi kemudian, tatkala ia sukses menjalani tugasnya, menjejakkan kakinya kembali
di tanah, Si Batang-Batang ini menengadahkan wajahnya ke atas sambil bertolak
pinggang: "Meskipun saya 'dak sembelih sapi, mau apa! Aku tahu Engkau tak butuh
sapi!"
(Emha Ainun Nadjib/"Folklore Madura" ("Demokrasi Tolol
Saridin")/Progress/PadhangmBulanNetDok)
Tangis 40 Hari 40 Malam
Sesudah melakukan dosa terkutuk itu, Daud, sang Nabi, menangis 40 hari 40
malam.
Ia bersujud. Tak sejenakpun mengangkat kepalanya.
Keningnya bagai menyatu dengan tanah. Air matanya meresap membasahi tanah
tandus itu sehingga tumbuhlan reumputan. Rerumputan itu kemudian meninggi
merimbun dan menutupi kepalanya.
Allah menyapanya.
Bertambah nangis ia, meraung dan terguncang-guncang. Pepohonan di sekitarnya
bergayut berdesakan satu sama lain mendengar raungan itu, kemudian daun-
daunnya rontok, kayu-kayunya mengering, oleh duka derita dan penyesalan Daud
yang diresapimya.
Dan Allah masih juga 'menggoda'nya:
"Daud, Engkau lupa akan dosamu. Engkau hanya ingat tangismu."
Dan sang Nabi terus berjuang dengan air matanya.
Air mata kehidupan Daud bagai samudera.
Kesunngguhan Daud terhadap nilai-nilai ketuhanan -- ya nilai kehidupan ini sendiri --
bagai samudera.
Adapun saya, yang hidup ribuan tahun sesudah Daud, hanya pernah menitikkan air
mata beberapa cangkir. Juga apa yang saya bisa sebut air mata ruhani saya.
Di dalam zaman yang telah jauh maju ke depan ini, barangkali saya bersemayam di
kehidupan yang ringan dan riang melakukan dosa-dosa.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)

Kekasih sebagai Dia, Engkau, Aku


Dalam wacana para Nabi dan Rasul Allah, pada masing-masing zaman, terdapat
'perjalanan peradaban' yang berkaitan dengan penyembahan kepada Sang Kuasa.
Tentang bagaimana Allah SWT memposisikan diri-Nya.

Pada zaman Nabi Ibrahim AS, misalnya, Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak ketiga'
(Dia). Atau pada jaringan masyarakat tarikat tertentu dikenal dengan dzikir Huwa.
Sedangkan, di zaman Nabi Musa As, Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak kedua'
(Engkau), atau Anta. Dan, pada perkembangan peradaban di zaman Nabi Isa AS,
Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak pertama' (Aku), atau Ana.

Rasulullah yang terakhir, yakni Nabi Muhammad SAW merupakan manajer dari
keberbagaian kemungkinan dalam kehidupan ummat manusia: kapan efektif
memposisikan Allah sebagai Dia, kapan sebaiknya lebih tegas dengan meng-
Engkau-kan Allah, serta kapan diperlukan kesadaran internal di mana empati
keilahian
sangat dianjurkan. Bukan mengatakan bahwa 'Aku adalah Allah', melainkan
kesadaran logis bahwa sesungguhnya kita dan semua ciptaan ini aslinya tiada,
sekedar diselenggarakan oleh-Nya dan 'pertunjukan' bisa diakhiri oleh Allah kapan
saja Dia mau.

Maknanya sederhana: kita tak usah pethakilan. Tak usah sok dan mbagusi. Tak
usah suka sesumbar dan nantang-nantang. Tak usah meremehkan siapa-siapa. Tak
usah habis-habisan merekayasa pertahanan kekuasaan. Sebab kapan saja bisa
stroke dan di-cengkiwing oleh petugas Allah untuk dibawa ke tempat yang kita
belum tentu siap melayani prinsip-prinsip hukumnya.

Peradaban di zaman Nabi Ibrahim AS, di mana Allah diposisikan sebagai pihak
ketiga (Dia), dilambangkan oleh proses masa pencarian Nabi Ibrahim pada Tuhan
Yang Menciptakan Langit dan Bumi. Kondisi masyarakat di zaman 'Bapak Tauhid' itu
kebanyakan masih menyembah berhala. Berhala dalam arti yang
wadag. Termasuk bapak Nabi Ibrahim sendiri. Berbeda dengan berhala-berhala kita
sekarang yang bertebaran di plaza-plaza, mal, gedung-gedung tinggi dll. Saat itu,
pelopor penyembahan kepada berhala atau patung-patung itu adalah Raja Namrud,
sementara direktur eksekutif pabrik berhala adalah Bapaknya Nabi Ibrahim AS
sendiri.

Ibrahim AS menolak menjadi direktur pemasaran berhala. Ia sedang sibuk mencari


Produsen yang Sejati. Dan dalam proses pencariannya itu, Nabi Ibrahim menyangka
bahwa tuhannya adalah bintang, lantas bulan, lantas matahari, yang ternyata keliru.
Karena ketekunannya dan keyakinannya, akhirnya Nabi Ibrahim benar-benar
'menemukan' Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam ini.
Itulah makna bahwa Allah berposisi sebagai 'pihak ketiga.

Pada zaman Nabi Musa, Allah di-Engkau-kan. Nabi Musa sempat berdialog dengan
Allah di Bukit Thursina. Itu menandakan bahwa Nabi Musa dengan Allah sebenarnya
berhadap-hadapan, karena sedang berdialog. Tidak terlalu jauh dari peradaban Nabi
Musa, Nabi Yunus As melakukan pertobatan dengan kalimat yang
memposisikan Allah sebagai 'pijak kedua', dengan mewiridkan La ilaha ila Anta
subhanaka inni kuntu minadz-dzolimin, tidak ada Tuhan selain Engkau ya Allah,
sungguh Maha Suci Engkau, dan kami ini termasuk orang-orang yang dzalim.

Sementara di zaman Nabi Isa AS, Allah 'diposisikan' sebagai pihak pertama (Aku).
Ketika itu, Nabi Isa benar-benar 'membawa' dan 'menebarkan' cinta-kasih,
kelembutan, dan kasih sayang kepada kaumnya. Dalam perspektif yang lebih
mendalam, Nabi Isa benar-benar meneladani sifat Rahman-Rahim Allah, sedemikian
rupa sehingga muncul gagasan bahwa ia adalah Tuhan itu sendiri. Apalagi ia juga
mendapat mu'jizat dari Allah berupa keistimewaan-keistimewaan, seperti bisa
menyembuhkan orang yang sakit, buta, bisa menghidupkan orang yang sudah mati
atas izin Allah, dan sebagainya. Orang jadi 'tidak tega' kalau tidak menganggap dan
mengakuinya sebagai Tuhan.

Yang kita butuhkan sekarang hanyalah imajinasi tentang imajinasi. Bayangkan apa
yang terjadi, bagaimana kemungkinan adegan-adegannya, kedalaman dan
kedangkalan hubungan yang berlangsung, tingkat kemesraan, kejujuran dan
kebohongannya --jika kekasih kita itu terletak di sana (sehingga kita sebut
'Dia'), dengan jika kekasih kita itu ada di hadapan kita (sehingga kita panggil
'Engkau'), serta dengan jika kekasih kita itu tak berbatas dan menyatu dengan diri
kita sendiri (sehingga seakan-akan Ia adalah Aku ini sendiri, dan Aku adalah Ia
sendiri).
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

MILIKKU, MILIK DAN KU


Para pembeli di warung kopi makin lama makin suka baca koran. Mempero!eh
inforrnasi sudah sarna kedudukannya seperti rnandi, makan nasi atau kerokan.
Orang makin maju, karena tak mungkin berjalan ke belakang. Dulu orang cukup
nguping, rerasan sana sini.
Budaya rerasan itu lantas dilembagakan, dicanggihkan, dalam maksud yang positif.
Koran jual berita seperti warung jual mendoan. Maka semoga yang dijual oleh koran
selalu 'rnakanan' objektif, sehat, bergizi, gurih, tidak dilatarbelakangi oleh
subjektivitas kelompok ini-itu yang bisa bikin mencret. Meskipun demikian, kalau toh
mencret, orang sudah terbiasa jajan di warung yang makanannya tak dilindungi dari
debu dan lalat.
Pelanggan warung kopi kita amal: suka berita kriminal, humor, iklan, atau guratan-
guratan apa saja yang kira-kira bisa diindikasikan (oleh sebagian pelanggan)
sebagai petunjuk nomer lotre.
Yang paling kurang disukai biasanya ialah kutipan pidato. Pejabat ini bilang begini,
sarjana itu bilang begitu.
Bahasanya canggih, istilah-istilahnya ningrat. Seperti roti dari planet, sukar dikunyah
dan tak jelas rasanya di Iidah.
Apa tho kapitalisme itu? -- seseorang nyeletuk dengan susunan bunyi yang terbata-
bata.
Oo, itu bongso sosialisme atau apa itu .. . - kata yang lain.
Tentu saja omong-omong cepat mandeg. Maklum ketika itu pelanggan yang datang
umumnya berasal dari kalangan sosial ekonomi lapis bawah atau setidaknya
menengah bawah. Jadi tingkat pengetahuannya mengenai bahasa-bahasa modern
(dus bukan atau belum tentu tingkat intelektualnya) serba bawah juga.
Saya jadi punya kesernpatan jadi Dosen. Maklumlah saya kan mustahil jadi dosen.
Saya bilang, kapitalisme ialah orang mengatakan: "Punyaku ya punyaku, punyamu
ya punyaku..."
Ada prinsip ekonomi: dengan modal serendah-rendahnya, kita peroleh hasil setinggi-
tingginya. Itu sebuah sikap mental, yang 'mimpi' idealnya ialah: tanpa modal, kita
peroleh semua. Maka adanya monopoli, tatanan sentral-periferi, jurang kaya-miskin,
akan berlangsung 'dengan sendirinya' meskipun diselenggarakan aturan main untuk
mengontrolnya.
Sosialisme itu sebaliknya: "Punyaku ini punyamu, punyamu itu punyaku": Meskipun
demikian, di banyak negeri sosialis, rakyat bilang, "Punyaku punyamu, punyamu
punya-mu". Sementara penguasa berbisik di dalam hatinya, "Punyamu punyaku,
punyaku punyaku".
Lha, lantas ada suara lain bilang: Tak ada punyamu, tak ada punyaku. Yang punya
hanya Tuhan. Milik itu hanya wewenang Tuhan. Ku itu tak ada kecuali Tuhan. Ku
lainnya itu pinjaman.
Tapi siapa percaya kata-kata ini?
Ada. Hati kecil semua rnanusia. Hati kecil kita. Tetapi hidup kita tak mengandung
keberanian untuk meyakini dan rnelaksanakannya. Maklumlah, lha wong kita.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

OPLET BUNTUNG, THE HERO


Untuk mencapai dusun itu kita musti naik oplet dari Balerejo ke Kaliangkrik.
Dan oplet itu, alangkah indahnya! Buntung, buruk, coreng-moreng, tanpa nomer,
menggeram sepanjang jalan-jalan rnendaki yang curam dan memanjang. Orang
bertumpuk berjejal bahkan berkeleweren di ekornya. Ibu-ibu bakul, Bapak-bapak,
anak-anak, orang-orang perkasa yang bekerja amat keras dan punya nyali besar
untuk menghadapi kesengsaraan hidup.
Alangkah besar jasa oplet buntung ini. Itu rahmat yang bukan main besar dan
megah dibanding teknologi transportasi di zaman Majapahit atau Mataram. Dan itu
amat membantu kemudahan hidup mereka.
Kemudian baru kita naik ojek, untuk menaki jalanan berbatu-batu yang Iebih curam
lagi dan berkelok-kelok.
Pembangunan amat sukar untuk mampir di daerah-daarah seperti itu, kecuali bila di
dusun-dusun itu terdapat sumber tambang emas. Yang amat gampang dijumpai
adalah pembangunan: Dua anak cukup, B3B, bebas tiga buta, tertulis di pintu-pintu
rumah.
Tetapi ada satu dua hal yang insya Allah membuat Anda bersyukur. Manusia-
manusia di sini masih amat manusia dibanding manusia manusia kota modern yang
terkadang menjadi mesin, terkadang menjadi binatang dan terkadang menjadi setan.
Air muka mereka, hubungan sosial mereka, cara mereka menyapa dan
memperlakukan kita: semuanya menunjukkan bahwa mereka amat dekat dengan
kita sebagai marusia dan sungguh-sungguh merupakan manusia yang
memperlakukan kita sebagai manusia,
Dengan siapa saja Anda ketemu, orang-orang tua, para pemuda maupun anak-anak
kecil, selalu menyapa kita dengan dakwah yang mulia: "Pinarak! Pinarak! Saestu
pinarak!" -- dan begitu Anda rnemasuki rumah, apa pun saja yang mampu mereka
suguhkan pasti mereka suguhkan.
Di desa seperti itu tidak mungkin ada gelandangan. Kalau Anda inendapat kesulitan,
semua orang yang mengetahui akan terlibat mengusahakan pertolongan untuk
Anda.
Tapi kita sudah telanjur berpendapat bahwa mereka itu golongan manusia yang
terbelakang. Under developed. Karena mereka tidak produktif seperti mesin, tidak
haus dan kejam seperti binatang, dan tidak licik seperti setan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

CITA-CITA SUCI "SI DIA"


Di Jakarta, pusat kemajuan Indonesia, terdapatlah seorang wanita bintang seks
yang cukup terkenal. la seorang foto model dan bintang film yang dianugerahi Tuhan
wajah cantik dan tubuh indah. Rupanya ia tidak 'egois': anugerah itu tak dipakainya
sendiri atau tak dipersembahkan hanya buat suaminya tercinta. la
'mendermakannya' kepada sebanyak mungkin orang, dengan cara membuka dan
memaparkan keindahannya itu di depan kamera.
Berkat 'kedermawatian'-nya itu, ia pun memperoleh uang dan kekayaan yang jauh
melebihi kebanyakan penduduk negerinya.
Itu, tentu saja, bukan berita aneh. Bahkan 'bukan berita'. Sebab kita sudah terbiasa
memadukan baik dengan buruk secara harmonis. Kita mampu mengiklankan
"budaya timur" sambil melanggarnya. Kita sanggup mempidatokan Ketuhanan Yang
Maha Esa justru untuk melanggar-Nya. Kita ahli bicara soal film yang kultural
edukatif sambil memproduksi barang jualan yang kurang beradab dan tak mendidik.
Dunia jahiliah sudah mendarah daging, sehingga makin tdak terasa.
Yang menjadi berita adaiah bagaimana bintang seks kita itu mendidik putrinya.
Dengan sadar ia menggiring anak kinasihnya untuk mengikuii jejaknya. Ia bahkan
bangga.
Tahun ini sang putri berumur 16. Berbagai fotonya dengan pakaian yang justru
menonjolkan bentuk tubuhnya yang amat merangsang telah mulai terpampang di
beberapa media massa cetak. Sang putri ini sangat cerdas bagaimana mewarisi
semangat ibunya, dan sudah canggih bikin pernyataan kepada wartawan: "Saya
sudah siap melakukan adegan-adegan panas. Memang saya mengambil
pengalaman dari yang Ibu lakukan,
tapi saya ingin menjadi diri sendiri."
Maksudnya, ternyata, "Saya ingin tampil lebih hangat. Tapi juga ditunjang oleh
kemampuan akting. Kalau soal buka-buka pakaian di depan 'camera sih soal
gampang, tapi bagaimana menentukan pose dan akting yang pas, itu yang harus
saya pelajari."
Kenapa hal ini rnenjadi berita?
Karena, biasanya, pelacur yang paling pelacur pun tak menginginkan anaknya jadi
pelacur. "Biarlah saya rusak, tapi anak saya harus jadi orang balk-balk" biasanya
demikian pelacur bersikap. Bahkan ada pelacur yang dengan sadar melacurkan diri
demi membiayai proses kemajuan anaknya menuju masa depan yang balk. Pelacur
biasanya punya cita-cita luhur bagi anak-anaknya. Ia menjadi pelacur tidak karena
keyakinan atau hobinya, tetapi karena keterpepetan untuk menjadi semacam martir.
Jadi apa yang kita jumpai pada bintang seks kita di atas, adalah gejala yang
berbeda.
Saya menduga itu bukan hanya fenomena psikologis melainkan lebih dari itu: ia
adalah munculan dari gejala peradaban yang lebih luas dan makin merata.
Merata. Masuk kampung kita. RK dan RT kita. Lantas rumah kita.
Sementara itu kita sibuk mempertengkarkan apakah huruf alif sebaiknya ditulis lurus
atau sedikit bengkok.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Hujan Al Mukarram
Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan
supaya agak sedikit waras.
Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus
saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.
Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya
seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di
Arab Saudi.
Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau
hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.
Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan
hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan.
Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah
kita. Entah kenapa pakaian kik tidak bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala.
Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kitapun lari berhamburan seolah pasukan Israel
datang.
Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati,
sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan
bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.
Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir,
mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi
kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk
menyindir manusia yang pintar berkhianat.
Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.
O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plaastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa
dicuci.
Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya
badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya
untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan
itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.
Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti
menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.
Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!
Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah
memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas
kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu
primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh
sekali nilai-nilai kita ini!
Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja,
masih dianggap belum terlalu gila.
Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuuk beberapa
kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu
secara pribadi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996)
LISTRIK MAJAPAHIT
Apakah satu dua malam akhir-akhir ini listrik di tempat Anda suka ngaso*) juga
seperti di kampung saya?
Derita dan keterpepetan membuat orang sewot, marah, jengkel, atau justru kreatif.
Paling tidak, kita jadinya bisa menyelenggarakan diskusi gratis, tanpa budget
macam-macam termasuk "uang tak terduga" yang sudah kita duga secara persis.
Begitu sang listrik 'tidur', teman-teman di rumah kontrakan saya mengomel. "Terasa
sekali betapa kita ini tergantung kepada alat-alat yang kita ciptakan sendiri," kata
seseorang.
"O, ya! yang lain nyeletuk, "Di zaman Maapahit sudah ada minyak tanah atau belum
ya?"
Kemudian diskusi menjadi riuh, dan saya bersyukur tidak sedang ada tamu seorang
sejarawan. Sebab dia bisa dijawabnya secara persis.
Kita tahu Gajah Mada bersumpah, Ranggalawe cemburu sosial, Raden Wijaya
menjebak pasukan Cina, Suhita didongengkan sebagai Kencanawungu, Perang
Bubat membawa dampak psikologis berabad-abad.

Tapi kita tak tahu, dan tak berminat tahu, bagaimana persisnya kostum harian orang
Majapahlt, apakah mereka pakai jarum untuk dondom,**) atau bagaimana orang
dusun misuh"*) waktu itu, atau apa saja kek.

Kita hanya tahu hal-hal mengenai kekuasaan. Kita membikin buku pelajaran dan
mengisi jiwa siswa-siswa sekolah dengan hal-hal mengenai kekuasaan. Kekuasaan.
Kita mengerti Gajah Mada, karena diejek, cancut tali wanda, rnenggenggami
kerajaan-kerajaan di sekitarnya, nglurug****) sampai Muangthai segala. Termasuk
Ekspedisi Pamalayu yang berkepanjangan.
Lepas dari kita setuju atau tidak, tapi jarang awak berpikir bahwa Gadjah Mada
melakukan itu tanpa walky talky, tanpa teknologi militer yang kini bisa memusnahkan
bumi dengan sejentikan jari, tanpa kapal berapi, tanpa pesawat tempur, tanpa satelit
yang bisa mendeteksi dari angkasa - apakah di Kecamatan Wonokromo ada pabrik
senjata atau tidak.
Lha sekarang ini listrik mati seperti kehilangan Tuhan rasanya. Kalau motor macet,
kita sudah hampir tak punya mentalitas untuk pakai sepeda. Kalau baju robek, malu
pakai - seolah sama dengan dosa tak sembahyang Jumat. Kita juga tak berani jalan-
jalan di Malioboro tanpa sepatu atau sandal.

*) Ngaso: istirahat.
**) Dondom: menjahit tidak dengan mesin.
***) Misuh: mengomel.
****) Nglurug: bertandang.

PRIHATIN DULU, PRIHATIN KEMUDIAN


Tiap hari Anda naik biskota ya? Memang terkadang susah bukan main. Panas,
berjejal-jejal. Apalagi kaiau pada jam orang pergi atau pulang kerja, sekolah, kuliah.
Kita bergelantungan. Padahal babi, sapi atau kuda, diangkut di atas truk dengan
diatur balk-balk. Memang kita tidak ditali seperti binatang-binatang itu, tapi yakin
haqqulyaqin, jelas ada tali yang terasa keras menjerat leher nasib kehidupan kita.
Dan itu amat terasa
tatkala tubuh kita terhimpit-himpit.
Bahkan wanita-wanita merelakan bagian-bagian tubuhnya bertempelan dengan laki-
laki. Ada semacam moralitas khusus dalam budaya naik bis. Moralitas itu tak berlaku
begitu kita turun bis. Kalau kita terus menempel di tubuh wanita sekeluarnya dari bis,
akan terjadi dua kemungkinan. Kita didamprat dan dikeroyok oleh banyak lelaki lain
yang dijamin pasti membela sang wanita. Atau kemungkinan kedua kita justru dapat
jodoh.
Pokoknya naik biskota itu perlambang dari marginalitas. Keterpinggiran,
keterpojokan.
Pusat sosial ekonorni adalah kalau Anda naik kendaraan pribadi. Nukleolusnya
adalah kalau kendaraan pribadi Anda berganti sesuai dengan tawaran mimpi baru
dari produser kendaraan.
Kita bertegur sapa, dalam bas itu, dengan beberapa orang yang berdiri
mernbungkuk karena tipe biskota ini sebenarnya dirancang khusus buat orang Suku
Kerdil.
"Capek membungkuk, Mas?"
"Yaa, kalau tidak salah memang capek...
"Prihatin dulu, Mas"
Lelaki itu tersenyun masam.
Tapi kita mungkin didera oleh pertanyaan kita sendiri: Prihatin dulu, apa
maksudnya? Sekarang menderita dulu, kelak tidak, begitu? Kelak kita bisa punya
kendaraan pribadi? Bagaimana kalau sarnpai tua tak juga bisa bell? Apakah ada di
aritara kita yang ngobyek entah bagaimana--terrnasuk korupsi di kantor--agar
terbebas dari keprihatinan?
Sebenarnya keprihatinan itu apa? Keprihatinan ialah naik biskota? Naik biskota itu
mewah. Bahkan naik sepeda atau jalan kaki itu juga bukan penderitaan.
Keprihatinan ialah makan-minum dan berpakaian bertempat tinggal pas-pasan? Pas:
itu yang ideal menurut semua agarna. Artinya, keadaan pas-lah yang paling
menjamin kebahagiaan.
Tetapi memang, keprihatinan atau penderitaan ialah kalau sebagian manusia punya
lima mobil serumah sementara lainnya harus ngonthel sepeda atau berdesakan di
kendaraan umum. Penderitaan ialah apabila ketidakadilan diciptakan dan disistemi
sendiri oleh sebagian manusia atas banyak manusia lain.
Maka, tuan-tuan, belilah mobil dengan harga kerja objektif Anda. Kasih itu mobil
untuk keperluan siapa saja sekitar Anda yang memerlukan, sementara Anda silakan
tetap naik biskota tanpa merasakan bahwa itu adalah keprihatinan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkor Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Kelugasan Madura vs CV Politik Pribadi
Orang Madura, juga serius dan lugu dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan
sesuatu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya.
Kalau ia megungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang
begitulah muatan yang ada dalam bathinnya. Dan itulah perbedaan utama dengan
misalnya, orang Jawa dan politisi.
Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik --mengatakan
"Ya", jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia
dengarkan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia
masih menyimpan "tidak" di ruang dalam bathin mereka atau minimal dalam
gumpalan mondolan blangkon kepala mereka ; tidak usah terkejut, apabila ia tetap
menyimpan 'tidak' itu sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidakmenentuan "ya" dan
"tidak" mereka bisa disebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan
atas Anda.
Politisi bisanya kan juga begitu. "Ya" dan "tidak"-nya politisi bergantung kepada titik
proyeksi yang diarahkannya, atau kepada tingkat konsesi yang diam-diam
ditergetkan. Politisi yang saya maksud bukanlah pejuang nilai atau pejuang
demokrasi atau pejuang harkat kerakyatan di jalur politik, melainkan ia yang
memperjuangkan keperluan pribadinya di dalam struktur kekuasaan politik, di mana
demokrasi dan kedaulatan rakyat adalah alat produksi atau komoditas dari CV Politik
Pribadi yang didirikannya.
Sedangkan orang Madura, meskipun pasti tidak semua, relatif berbeda.
Kalau ia mengucapkan sesuatu, biasanya karena memang demikianlah isi hati
pikirannya. Kalau ia mengungkapkan sikap tertentu kepada Anda, biasanya karena
memang begitulah muatan batinnya. Memang mungkin juga sih, kita bisa
menemukan orang Madura yang bisa kita kasih uang sekedar sepuluh ribu rupiah
untuk ikut unjuk rasa yang kita rekayasa buat mempertahankan bupati dari
jabatannya, meskipun kesalahan Pak Bupati sudah sangat ironis, memalukan dan
menyangkut nyawa sejumlah rakyatnya sendiri.
Namun juga tidak sukar Anda menemukan seorang Kyai lokal Madura umpamanya,
berkata di depan bupati :
"Anno, Pak Bagus, tolong Pak Bupati jelaskan semua rencana pembangunan
maupun proyek yang sedang berlangsung, rancangan dan konsepnya bagaimana,
biayanya berapa, pengeluarannya untuk apa saja, ada kecelakaan atau tidak, dan
lain sebagainya. Soalnya uang itu, kalau 'dak salah 'kan uang rakyat.
Jadi Pak Bupati harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kalau tidak,
kasihan arakyat, Pak.
Moso' sudah PJPT kedua begini, rakyat dibiarkan buta huruf terhadap
pembangunan. Jangankan terhadap makna pembangunan, lha wong terhadap
angka-angka dan manajemennya saja, buata huruf..."
Pak Kyai itu, saya saksikan dengan kepala sendiri, mengucapkan itu dengan wajah
polos dan hampir tanpa ekspresi. Ia begitu bersungguh-sungguh dengan
ucapannya, dan saya sampai detik ini belum sanggup membayangkan bahwa hal
seperti itu, mungkin terjadi di Jombang, Klaten atau atmosfir budaya kekuasaan
Jawa lainnya. Jawa juga "menguasai" Madura, tetapi di Madura, kebanyakan bupati
atau tokoh-tokoh berwenang lainnya sangat sukar untuk berlaku sebagai "rakyat
kecil" sebagaimana Pak Camat bisa dengan gampang berbuat demikian di Jawa.
Pada kesempatan lain, saya pernah diundang untuk menghadiri dan sedikit urun
bicara dalam acara khaul seorang kyai besar masa silam yang diperingati hari
kewafatannya dengan pengajian dan tahlilan besar.
Terus-terang, biasanya saya sambat dan jengkel oleh bertele-telenya ritus acara-
acara yang diselenggarakan oleh komunitas Muslim Indonesia.
Bahkan pun jika yang menyelenggarakan adalah "kaum modernis" seperti PMII, HMI
dan lain sebagainya. Biasanya, pembawa acara ngomongnya menggunakan bahasa
Indonesia sinetron, urutan acara dijejali oleh sangat banyak sambutan yang isinya
90% pura-pura, dan keseluruhannya ditaburi oleh formalisme dan ritualisme yang
membosankan.
Lha, di Madura ini, tiba-tiba saja ada santri naik podium, kasih salam, kemudian
langsung membacakan ayat-ayat suci Qur'an. Sesudahnya, pembawa acara, yang
tidak naik podium, berkata: "Sekarang langsung saja kita persilahkan kepada Cak
Nun..."
Sambil naik mimbar, saya mikir-mikir. Alangkah efektif dan efisiennya kawan-kawan
Madura ini.
Tapi memang semua yang hadir sejak sebelum berangkat sudah tahu ini acara apa,
dalam rangka apa, maknanya kira-kira apa, dan lain sebagainya, sehingga sama
sekali tak diperlukan orang-orang harus manggung untuk menjelaskan itu semua.
Maka sayapun langsung "nyanyi" dua jam penuh.
Namun, di tengah-tengahnya, tampakmoleh saya sejumlah pejabat, berpakaian
Safari dan lainnya baju batik panjang. Mereka turut mendengarkan dengan serius,
tetapi juga saya mereasakan bahwa ada yang tidak sreg dalam batin mereka. Dan
itu saya ketahui sesudah acara, yakni ketika kami ramai-ramai makan siang.
Tampaknya ada semacam protes dari wilayah birokrasi, kenapa sambutan yang
sudah dipersiapkan capek-capek, tidak diberi kesempatan. Maka saya dengarlah
suara keras dan lugu salah seorang kyai: Lho Pak. Kalau kami diundang ke kantor
Kabupaten, kami disuguhi teh botol, dan snack, lantas kami disuruh mendengarkan
pengarahan. Lha sekarang Bapak-bapak ke sini kami sembelihkan kambing-
kambing dan ayam. Jadi silahkan menikmati keikhlasan kami dan silahkan
mendengarkan!"
Hendaknya Anda ketahui juga, bahwa hanya di Madura saya menjumpai adegan di
mana ketika saya sedang berapi-api bagaikan Nabi Sulaiman yang sedang
berpidato di depan massa jin, mendadak seseorang berdiri dan mengacungkan
tangan sambil berteriak: "Cak! Ucapan ayat Sampeyan itu, keliru!"
(Emha Ainun Nadjib/"Demokrasi Tolol Saridin" (Folklore Madura)/Zaituna
(Progress)/1998/PadhangmBulanNetDok)

Buang Sial ke Singapura


Alkisah, bersepakatlah pengusaha yang muda tiga sekawan untuk ber-weekand ke
singapura. Yang satu, Tigor, berasal dari Batak, lainnya, Sutrimo, asli Jawa, lainnya
lagi, Abdul, dari Madura.
Sabtu sore ngumpul di Cengkareng, langsung bareng ke Singapura, dan paginya,
atau setidaknya siang harinya, balik lagi ke Jakarta. Soal apa alasan kepergian
mereka kepada istri masing-masing, Ente pasti cukup profesional untuk mengarang
sendiri. Terserah saja apa, tergantung bagaimana Ente sendiri biasanya
mengelabuhi istri Ente.
Memang ruginya orang punya istri adalah bahwa ia punya kemungkinan untuk
menyeleweng. Kalau bujangan, pasti bersih dari penyelewengan. Kalau Ente
seorang suami, begitu lirikan Ente ke seorang cewek mengandung sedikit saja virus
napsu, berarti Ente menyeleweng dari istri dan salah-salah bisa dituduh berzina
mata oleh sebuah sekte agama.
Tapi kalau Ente bujangan, biar melirik sampai melorok, biar melilit sampai melotot:
kan tidak menyeleweng namanya. Jadi, lelaki yang kawin, ia bukan saja sendang
menggantikan kemerdekaan dengan penjara, tapi juga memperangkap diri dalam
kans penyelewengan. Kok mau-maunya!
Tetapi apakah tiga pengusaha muda kita ini sendang merancang penyelewengan di
Singapura? Wallahu' alam. Tanyakan saja langusng kepada Tuhan yang tahu persis
apa isi hati mereka, sebab kalau tiga suami muda itu yang Ente tanyai, pasti tidak
ngaku.
Alhasil sampailah mereka di Singapura. Singkat kata, mereka langsung cari hotel
bintang tujuh. Tapi rupanya semua orang se-Asean ini sedang mengincar Singapura
untuk bermalam Minggu. Sehingga di mana-mana hotel penuh. Tiga pengusaha
muda kita ini hanya mendapatkan satu kamar, itu pun tingkat 63. Sudah mepet sama
lapisan ozon. Dan gampang diserempet oleh lalu-lalang makhluk angkasa luar.
"Tapi kenapa susah? Untung masih dapat kamar. Toh kita tidak ke sini untuk tidur.
Toh semalaman nanti kita akan cari hiburan di luar!" kata Sutrimo, mengeluarkan
kebiasaan etnisnya untuk selalu merasa untung dalam situasi macam apapun.
"Ah, kau ini!" sahut Tigor. "Tingkat 63! Jauhnya itu! Lebih jauh dibanding Jakarta-
Singapura, bah!"
"Lho, masih untung kita dapat kamar!"
"Masih untung! Masih untung! Kalau ban mobil kau meledak, kau bilang 'Masih
untung bukan as-nya yang patah!' Kalau as mobil kau patah, Kau bilang 'Masih
untung bukan tulang punggung kita yang patah!"
"Lha maunya kamu dapat kamar di tingkat berapa?" Tiba-tiba Abdul nyeletuk.
"Ya 3 kek, 4 kek, atau 5 okelah!" jawab Tigor.
"Kalau begitu kita pindahkan saja kamar kita ke tingkat yang kamu senangi."
"Sialan kau!"
"Atau tingkat 63 ini kita sepakati saja sebagai tingkat 3."
Tapi memang tak ada pilihan lain. Dan karena itu kita singkat saja cerita ini: mereka
OK di tingkat 63, menaruh koper kecil mereka masing-masing, pesan makanan kecil,
dan telepon sana-sini untuk berorientasi menentukan ke klab malam mana yang
paling manis untuk bermalam Minggu.
Kesepakatan dicapai. Usai makan mereka langsung turun ke lobi, ambil taksi,
berangkat cari restoran yang harganya jangan sampai murah, sambil nunggu waktu
sebelum ke klab malam.
Kemudian segala sesuatunya ditumpahkan. Keringat diperas. Gejolak-gejolak
kelelakian dihempaskan. Minum-minum. Ajojing. Ganti Hostess beberapa kali.
Pokoknya segala kemungkinan kehidupan malam di tempat itu mereka habiskan dan
tuntaskan.
Sehingga ketika dinihari tiba, loyo beratlah mereka. Mereka balik ke hotel dengan
badan Hollyfield di ronde 10 dan 11 pertarungannya dengan Bowe. Dan tatkala tiba
di hotel, badan mereka menjadi lebih parah bagaikan tubuh Razor Ruddock
dihancurkan oleh Lennox Lewwis.
"Lift-nya kebetulan macet," kata Sutrimo kalem.
"Mbahmu!" sahut Tigor menjawa-jawakan diri.
"Ya, jalan kaki. 'Kit-sedikit nanti 'lak sampai!" sambung Abdul.
Mereka terdudu di dekat lift. Runding. Mereka berpendapat bahwa harus diciptakan
situasi bersama agar perjalanan menuju tingkat 63 tidak terlalu melelahkan.
Akhirnya sepakat: setiap orang harus bercerita, mendongeng atau apa saja,
sepanjang 21 tingkat. Jadi ti orang pas 63 tingkat.
Naiklah mereka. Lemes bukan main. Kaki bagai tanpa tulang dan tidak berotot.
Langkah amat berat. Tangan mereka terus berpegangan di tanganan tangga atau
tembok.
Pertama giliran Sutrimo berkisah tentang pertandingan sepakbola antara
kesebelasan Keraton Solo melawan Yogya. Setiap kali striker Solo berhasil
membawa bola ke depan kiper Yogya, sang priyayi Ngayoja ini justru minggir,
membungkuk-kan badan, sebelah tangannya memegang burung sementara tangan
lainnya mempersilahkan: "Monggo Mas, dimasukkan saja bolanya, ndak usah
pakewuh!"
Si striker Solo berhenti dan menjawab: "Ah, nanti saja, gampang. Kami tidak
tergesa-gesa, kok."
Kejadian yang sama berlangsung ketika striker Yogya berhadapan dengan kiper
Solo. Monggo-monggoan dan nanti saja nanti saja. Akhirnya pertandingan berakhir
draw, sehingga diselenggarakan sarasehan di tengah lapangan, dihairi oleh ofisial
kedua kesebelasan, seluruh pengurus PSSI yang hadir, plus pak RW, Danramil,
Penatar P4, dan Ketua Klompencapir. Keputusannya: Juara bersama! Sesuai
dengan asaa yang ada.
Sejumlah kisah yang lain dituturkan oleh Sutrimo. Kemudian memasuki tingkat 22,
giliran Tigor bercerita. Misalnya tentang pidato tokoh masyarakat Batak dalam suatu
upacra sangat resmi memperingati wafatnya Sisingamangaraja sang pahlawan
nasional.
"Hari ini," katanya dengan penuh kekhusukan, "Kita memperingati hari wafatnya
pahlawan kita Sisingamangaraja yang dibunuh oleh Belanda sialan itu...!"
"Wah, payah dia itu!" komentar Sutrimo, "Wong pidato resmi kok pakai ngumpat
segala!"
Demikianlah perjalanan pendakian mereka ke tingkat 63 menjadi tak terlalu
melelahkan. Letih sih, letih, tapi dengan melempar-lemparkan konsentrasi ke
macam-macam hal yang lucu-lucu, kesadaran bahwa mereka sedang letih menjadi
terkurangi.
Apalagi ketika di atas tingkat 43, Abdul mengisahkan tentang pengendara motor di
Sampang yang marah-marah kepada polisi yang menilangnya di jalan karena
melanggar dan ternyata tidak punya SIM.
Memang dia menyodorkan SIM."Tapi ini bukan SIM saudara! Nama dan fotonya
lain!" kata polisi.
Naik pitamlah pengendara motor itu: "Lho Bapak ini kok neh-aneh! Lha wong yang
saya pinjami SIM saja 'dak marah kok malah Bapak yang marah!"
Asyiklah mereka mendengarkan kisah-kisah Abdul. Tapi Abdul ini sendiri malah
keasyikan. Mereka sudah sampai di tingkat 63, sudah berdiri di depan pintu kamar,
Abdul tidak juga berhenti bercerita. Terus saja nerocos.
"Sudah, bah! Bukalah pintu! Mau tidur aku!" protes Tigor tak sabar.
"Nanti dulu," jawab Abdul, "ceritaku belum selesai..."
"Ya, cepat selesaikan saja sekarang," kata Sutrimo.
"Begini..." kata Abdul pelan, "akhir cerita saya ini sungguh-sungguh Happy Ending..."
"Bagaimana itu!" desak Tigor.
Kunci kamar kita tertinggal di mobil..."
(Emha Ainun Nadjib/Folklore Madura (Demokrasi Tolol
Saridin)/Progress/PadhangmBulanNetDok)
Wawancara
SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya
tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan.

Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah
kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari
mempergunjingkan dan menggosipkan orang.

Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa
sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya
saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada
perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau
bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya
sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.

Tuhan mengetahui apa saja,


malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan bukan hanya sekedar tahu ada
peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan hanya sekedar mengerti teknik
wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan tahu persis jumlah korupsi
seorang pejabat. Wartawan tahu tanah yang dikosongkan penduduk itu akan
dikapling untuk proyek apa. Wartawan tahu berapa korban yang sebenarnya dalam
sebuah letusan peristiwa. Wartawan
tahu skenario-skenario apa saja yang disembunyikan dari mata masyarakat.
Wartawan tahu berapa lama lagi akan terjadi devaluasi atau kapan persisnya
seorang raja akan turun takhta. Dan yang terpenting dari semua itu, wartawan tahu
secara mendetail setiap pori tubuh bintang-bintang film tertentu, saya ulangi
--bintang-bintang film
tertentu-- dalam keadaan sangat jujur dan penuh keterbukaan. Foto-foto tubuh yang
innocent, tanpa tedeng aling-aling. Baik yang diambil di lokasi alam, di ranjang
kamar, di atas wastafel, atau sedang bercengkerama dengan kuda.

Saya
buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para bintang
film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film dari
ideologi buka aurat yang makin merajalela.

Kalau
kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran tubuh,
terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi
masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya
sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.

Dan
lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya,
waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya
beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya
mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian
saya memilih jadi wartawan politik saja.

Kenapa?
Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama.
Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum,
dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat
tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur
sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha.
Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah
ditampilkan dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih
indah dari warna aslinya.

Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat
telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan
kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan
kami
juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan pekerjaan,
asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya duit gitu
lho…!

Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan.
Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh
dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya
jumpai
dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia dimana
kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu membeli
celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa sama
sekali.

Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin
menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah
kekurangan lakon. Kita
tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan cara yang lebih canggih.
Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung kita bikin judul yang
mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.

Ternyata,
masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat benci
kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras. Ditambah
dengan makin bodohnya masyarakat modern, buku dan majalahpun harus
mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya
supaya tidak kecelakaan, bagaimana melakukan penyelewengan secara canggih
dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa
keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam hal ini saya telah
mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagogi, pastor dan kiai. Orang bahkan
penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantung
pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup
melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme.
Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme,
lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.

Akan tetapi di
hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal.
Liputan-liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka
pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara
langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang
lelaki bukan seorang wanita.

Kalau mewawancarai presiden atau gubernur, jelas birokrasinya. Tapi


mewawancarai seks? Dimana gerangan seks berada?

Sudah
tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga tinggal
sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.

Seks
itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks, saya
mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin puyeng
oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu memang
religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan manifestasi
dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar dipandang,
didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius hanya
terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan
hewaninya belaka.

Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama?
tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya,
dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa
seks.

Namun,
ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak tahu Mas.
Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun menjawab secara
kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan jalan bersenggama
disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme. Hanya ekstase. Kalau
saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke pelacur begini..!!”

Kemudian di
losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana mahasiswa-mahasiswi
atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa kamar satu dua jam, saya
juga memperoleh jawaban yang mengecewakan,"Gini lho, Mas. Kalau saya sedang
sendiri, saya begitu tergoda oleh seks. Tapi kalau sudah berdua di kamar, paling
jauh yang saya jumpai adalah diri kami sendiri yang berubah menjelma menjadi
kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa yang kami simpan
diam-diam.“

Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak,
jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks.
Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"

"Lho sangat berbeda," kata pemred saya.


"Persenggamaan itu sekedar alat, atau cara, atau tarekat, untuk mencari dan
menemukan
seks. Seks itu suci. Seks itu tinggi derajatnya. Dan derajat kesucian seks tidak
mungkin kamu jumpai di kopel-kopel pelacuran, di losmen penyelewengan atau
wisma skandal, juga tidak di kamar-kamar kost kumpul kebo."

"Ruwet, Pak!” kata saya


"Karena kamu sukanya bersenggama, tapi salah paham terhadaps seks. Kamu
menyamakan
persenggamaan dengan seks seperti menyamakan sembahyang dengan Tuhan,
atau perkawinan dengan kebahagian, atau nasi dengan rasa kenyang. Kalau kamu
sudah tiba di kebahagiaan, perkawinan tak dibutuhkan. Kalau kamu sudah tinggal di
Tuhan, kendaraan sembahyang tak diperlukan. Kalau kamu sudah bersemayam di
dalam seks, persenggamaan tak dibutuhkan.”
"Kalau begitu," kata saya jengkel,"biarlah saya tak pernah tiba pada seks...! []
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

Negeri Orang Tertawa


Berpengalaman Dijajah

Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri
saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah,
mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya
potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.

Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya
barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai
negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang
sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang
dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok..
Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka,
dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.

Aliansi anti deportasi di Jakartta melaporkan hanpir 3 juta kasus penindasan atas
tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para
pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air, di
Terminal 3 Cengkareng airpport. Mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh
banyak yang memang menunggu di sana untuk mencari nafkah. Itu membuat
mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan
adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.

Bangsa saya sangat berpengalaman dijajah. Sebagian mereka menunggu penjajah


datang ke kampungnya, sebagian yang lain menyebrang keluar negeri untuk
mencari penjajah.

Tuhan Menyesuaikan Diri Pada Aturan Manusia

Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa
bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekoonmian yang stabil, politik yang
bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami
bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian
sungai, dan kami hiasi dengan pot pot bunga serta burung perkutut.

Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami.
Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada
ilmuwan yang tertarik meneliti frekwensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung,
di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, di tengah kerusuhan,
di gedung parlemen, di rumah ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh
dari motor, kami menudung nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan.
Apalagi orang pintar.
Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala
sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan.
Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat
kuno yang sombong dengan jargon: " MEMBELA YANG BENAR" Kami sudah
menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni " membela
yang bayar".

Tuhan harus menyesuaikan aturan aturan-Nya dengan perkembangan dan


kemajuan hidup kita. Orang orang yang memeluk agama sudah sangat lelah
berabad abad
diancam oleh Tuhan yang maha menghukum, menyiksa, mencampkana ke api
neraka. Tuhan yang boleh masuk kerumah kita sekarang adalah Tuhan yang penuh
kasih
sayang yang suka memaafkan dan memaklumi kesalahan kesalahan kita.
Sebagaimana kata kata kata mutiara - " Manusia itu tempat salah dan maaf".
(Emha Ainun Nadjib/"Negeri Orang Tertawa"/2005/PadhangmBulanNetDok)
Peringatan dan Amarah
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya
bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang
menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatupun
yang pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin mengajar
saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru kepada mereka
dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten untuk marah
kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau
dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya
ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam,
dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami, bahkan seringkali juga
difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu
senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya msuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren
hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan
pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu
seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah sekolah.
Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas saya coba-
coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair? Apa tidak
baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya tidak
berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai sekarang. Saya
dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk dengan
sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu mengabdikan
sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan sastra
saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main dengan
Islam! Jangan campur adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan
sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu
harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa membutakan
mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan ummat dan lain
sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi
semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan lain
orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda
protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai
kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya
terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang
ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak
bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP,
saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu
memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di pengurus
pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota pasukan
berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena suatu bentrokan saya
mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan
anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan:
“Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak
ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra,
politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan
Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan seenaknya
mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentag sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya dijewer:
“Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya mengusahakan
segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok: “Islam tidak
mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak rasional!”.
Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan
dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu
menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu saya
sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu…. Sampai-sampai
Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong
ngunu!”. *****
(Emha Ainun Nadjib/Harian SURYA/2004/PadhangmBulanNetDok)
Konsep Teologi Sepeda Hilang
Pada suatu pagi, sekitar 15 tahun yang lalu, sepeda pancal alias sepeda onthel saya
hilang dari rumah kontrakan saya. Tentu diambil oleh salah seorang dari anak-anak
muda sekitar sini. Banyak dari mereka pengangguran, dan lagi rumah ini memang
dekat dengan pasar.
Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten dan tidak
rasional. Rumah ini memang tak pernah dikunci. Setiap orang gampang sekali
membuka pintu yang sebelah manapun dan mengambil apapun. Jadi, kalau sepeda
hilang, itu logis dan realistis.
Tapi saya tak peduli. Saya ke depan rumah, berdiri bertolak pinggang menghadap
ke arah pasar, dan berteriak: "Kalau sepeda saya tidak kembali sampai nanti sore,
saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang pengkor satu kakinya, cekot sebelah
tangannya, atau pethot mulutnyal"
Orang-orang di sekitar kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera masuk rumah
dan tidur lagi.
Tak disangka tak dinyana, ketika siang belum sempurna, pintu depan diketuk
berulangkali. Saya nongol, seorang anak muda berpakaian butut berdiri dengan
wajah ketakutan dengan sepeda berdiri ter jagang di sebelahnya.
Ketika saya menatapnya, ia menunduk. "Kenapa kamu?" Saya bertanya.
"Maaf, Cak...," ia menjawab tersendat, "saya yang mencuri sepeda Sampeyan. Saya
minta maaf. Sekarang saya kembalikan...."
"Lho, kenapa kamu kembalikan?" Saya bertanya lagi. "Saya dengar dari orang-
orang bahwa Sampeyan marah...." `"I'api kan kamu butuh sepeda?" Saya kejar
terus.
"Iya, siih.:.."
"Untuk apa sepeda?"
"Tempat kerja saya jauh sekali. Kalau saya jalan kaki, kejauhan. Kalau saya pakai
angkutan, gaji saya jadi terlalu sedikit...."
"Jadi kamu butuh sepeda?" "Ya, Cak"
"Kenapa kamu kembalikan sepeda ini?"
"Katanya Sampeyan marah sekali..."
"Tapi kamu kan butuh sepeda?„
"Ya, Cak"
"Ya sudah, kamu bawa saja sepeda ini," kata saya, "sekarang sepeda ini sudali halal
kalau kamu bawa. Saya sudah ikhlas, kamu sudah tidak berdosa. Dan, insya Allah,
kalau yang kamu pakai adalah barang halal, rejekimu akan berkah. Kalau tadi,
karena kamu mencuri, maka kamu berdosa, dan saya kamu tindas. Kamu dikutuk
Tuhan, saya tidak mendapat apa-apa kecuali kemarahan. Sekarang semua sudah
halal dan baik. Silakan pakai, semoga Allah menambah rezekimu dan meringankan
hidupmu."
Dia bengong. Saya masuk rumah dan kembali tidur.
Dengan dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke subyek yang
sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai kalkulasi ekonomi dunia,
maka saya rugi kehilangan sepeda. Maka saya pakai teologi manajemen dunia
akhirat, sehingga beralihnya sepeda saya ke tangan anak itu tidak membuat saya
kehilangan. Malah saya laba banyak, bukan hanya pahala di akhirat, tapi Allah juga
menjanjikan rezeki berlipat ganda, entah berupa apapun, terserah Dia saja.
pokoknya ia-in syakartum la-azidannakum.
Saya ini hampir selalu dikeluarkan dari setiap sekolah yang pernah saya masuki.
Jadi saya ini bukan kaum terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan Kitab Kuning,
maupun di sektor persekolahan modern. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai
banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu saya haqqul yaqin dan 'ainul yaqin
bahwa apa yang saya pahami, sikapi, dan lakukan dalam hal sepeda itu adalah
konsep teologi Islam.
Apapun saja yang saya lakukan di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi berikutnya,
ketika berada di timur atau barat, tatkala berjaga. atau mengantuk, sebisa-bisa saya
tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep teologi yang segamblang-gamblangnya.
Kalau saya menjumpai sebatang kayu melintang, saya sisihkan ke pinggir supaya
tidak menyandungi orang lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai ia untuk
menyangga sesuatu atau untuk apapun yang bermanfaat. Konsep teologi saya ada
lah bahwa segala yang di depan saya itu merupakan amanat Allah untuk saya
Islamkan. Di-Islamkan artinya diubah dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi
kegunaan dan kemashlahatan.
Ingatan, kesadaran, dan formula konsep teologi itu harus terus-menerus saya cari,
saya pahami, dan saya terapkan. Dan itu berlaku untuk pekerjaan yang kecil
maupun yang besar. Untuk soal rumput di halaman rumah sampai soal pekerjaan
sejarah besar yang menyangkut kebudayaan masyarakat.
Saya menyuapi mulut saya dengan nasi tidak karena saya ingin makan, melainkan
karena saya wajib memelihara kesehatan badan yang dimandatkan oleh Pencipta
saya. Saya mencangkuli tanah dan menanam sesuatu bukan sekadar karena saya
menyukai keindahan, melainkan juga karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada
di dalam hidup ini yang namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau ditaruh di
situ lantas tumbuh dengan penuh keajaiban.
Saya berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin menikmatinya, tapi
karena saya wajib bergabung ke dalam irama sunnatullah yang menyangkut badan
dan jiwa saya. Saya bersedia pulang ke rumah hanya beberapa hari dalam sebulan
dan selebihnya diatur orang banyak untuk berada di berbagai tempat dan
melaksanakan kemauan mereka, bukan karena itu karir saya atau profesi saya,
karena saya tidak punya karir dan tidak peduli profesi.
Saya lakukan itu semua karena, pertama, saya ini aslinya tidak ada, kemudian Allah
mengadakan saya, ia satu-satunya yang berhak atas saya, dan karena itu segala
yang saya lakukan bergantung pada kemauan-Nya. Saya diberi wewenang oleh-Nya
untuk berkemauan, tapi saya tidak pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri
saya dan dunia ini akan pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas diri saya
dan dunia ini. Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan apapun sampai yang
sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian pengetahuan tentang apa
yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung Allah SWT itu.
Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan dengan amr-Nya. Terkadang cocok,
terkadang tidak. Terkadang benar, terkadang salah. Tapi, apapun yang terjadi,
iradah itu harus saya lakukan dengan menggunakan qoul-Nya supaya produknya
adalah kun fayakun. Saya tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi
hanya itulah yang saya pahami sebagai konsep teologi.
Maka, sebab kedua, orang-orang yang memintaku untuk melakukan segala macam
pekerjaan itu -ya kesenian, ya keagamaan, ya politik, ya ekonomi, ya pengobatan,
ya konsultasi kejiwaan, ya segala macam jenis partisipasi dan sumbangan sosial-
tidak bisa saya yakini bahwa kemauan mereka itu benar-benar terlepas dari
kemauan Tuhan. Saya harus berspekulasi dan bersangka baik bahwa mereka
adalah penyalur amanat Tuhan kepada saya.
Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin ABRI, tidak berhak dilakukan oleh
manusia yang memiliki hubungan vertikal total dengan Allah- tanpa
memberangkatkannya dari ingatan, kesadaran, dan konsep teologi yang jelas.
Dengan kata lain, tak perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru berpikir
tentang konsep teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin Golkar, bikin negara,
bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan titik tuju teologisnya.
Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika berformalisme Islam,
ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam fotmal dipakai atau disembunyikan, ketika
Islam diletakkan di kultur thok, atau juga di politik resm, semua terikat pada
penyikapan teologis. Apalagi yang namanya Partai Islam, harus terutama dilihat
secara substansial: bisa saja namanya Partai Daun atau Partai Kambing, tapi yang
kita lihat adalah apakah substansi kerjanya Islam atau tiidak. Hanya orang-orang
yang tradisinya berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam hanyalah
partai yang memakai nama dan kata Islam.
Kalau ada parpol yang pilar perjuangannya adalah amar makruf nahi munkar dan
akhlaqul karimah, maka secara substansial ia telah bersyahadat Islam. Bahkan
kalau ada parpol lain yang memperjuangkan demokrasi, kemerataan kesejahteraan,
keadilan sosial, dan penghormatan atas haq asasi manusia, secara substansial ia
bisa kita sebut partai Islam. Masalahnya, tinggal ditunggu proses aktualisasinya
saja: konsisten atau tidak, istiqamah atau tidak.
Kalau misalnya saya sibuk dan mencemaskan berdirinya partai Islam, karena toh
substansi partai-partai yang ada juga relatif sudah substantially Islam, maka berarti
saya berpikir simbolik. Juga berarti saya tidak paham bahwa kalau ada anjuran
tentang partai Islam formal, itu sekadar upaya pembebasan dari tradisi simbolisme:
agar tidak resmi Islam ya boleh, resmi Islam ya boleh. Yang penting, substansinya
Islam atau tidak.
Tidak hanya ketika saya pakai peci saya maka saya terikat oleh teologi Islam.
Tatkala saya pakai kaos oblong dan menjadi gelandangan di tepi jalan pun saya
terikat oleh Allah.
(Emha Ainun Nadjib/Ummat/2005/PadhangmBulanNetDok)
Tuhan Yang Maha Jowo
Kalau Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang
tergolong 'modern'dan 'rasional' -- mungkin saja sering Anda sampai pada
kesimpulan begini : "Panas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha wong
kita ini terlalu baik".
Terlalu 'baikan' sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan
memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya "jowo". Kalau
pelit, itu "ora jowo". Tentulah. Karena kita semua memang pengagum Tuhan, dan
berusaha meniru sifat-sifatNya. Bukankah Tuhan Maha Jowo?
Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowoNya, misalnya pagi ini kurangi anugerah
Nya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di tubuh kita
dan disimpan kembali di gudang Nya.
Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-
habisnya saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-
lain. Sampai pada suatu hari, saya berdebat dengannya menemukannya sebagai
seorang materialis sejati.
Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh kehidupan ini
hanya sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya kepada jiwa dan
mengenali nilai-nilai hanya sejauh menyangkut struktur keberadaan materi. Maka
manusia dilihatnya hanya sebagai perut, dan segala uurusan politik hanyalah
berkisar pada distribusi nasi. Maka ia fanatik kepada orang miskin dan 'sentimen'
kepada orang kaya.
Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih
melarat dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering tamasya ke
luar negeri dan bisa pelit.
Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup saya,
kerena rasa sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta kemanusiaan.
Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi tulangg
punggung kehidupannya. Saya jadi anyel.
Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena
filsafat, karena ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan. Kalau tak punya itu, dengan
takaran materi yang amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya. Dengan nilai-nilai
itu mereka tetap sanggup memanusiakkan dirinya di tengah derita kemelaratan.
Karena si monco ono memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka
dia tak mampu membantah argumentasi saya. Saya lantas merasa iba, kasihan, dan
segera saya traktir lagi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi jon Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)

Benarkah ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian bear, sampai
pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang yang bahkan tak dikenalnya
terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas
primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta-butanya. Atau
bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak
jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan.
Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang
heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.
Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik
menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu?
Bersediakah anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan
yang pada hakekat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan
perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecl?
Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah
kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini
memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang
nasib struktural rakyat bergantung padanya?
Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan
pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar
dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.
Ada anak-anak muda 'minta izin' ----anehnya –kepada saya. “Cak, biar deh saya
dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan baka..!”
Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat
terhadap desakan emosi kerakyatan –yang sesungguhnya saya mafhum benar latar
belakangnya. Semangatnya pernuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang
menyilangkan petemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.
Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shabri was-shalâh—
sampai ada konteks dan sâ'ah sejarah dimana gumpalan tenaga semacam itu kita
perlukan.
Jiwa kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan²
kecil atau besar, dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'agama' adalah
kesanggupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini
berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar
menutur Alloh.
Saya mohon maaf untuk mengatakan hal seperti ini. Bahkan terhadap fitnah² besar
dalam hidup saya, insyaAlloh saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau
mengeluarkan enerji sedikitpun –melainkan, kalau perlu, saya bersedia membeli
fitnah² itu. Saya bersedia membayar orang² yang memfitnah saya, demi ma'unah,
fadhilah dan karomah.
Maka kalau saya merasa cemas, insyaAlloh kecemasan yang saya maksudkan
bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan
dan kewajiban hidup.
Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri sebenarnya seberapa besar kadar
keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum dan
ekonomi di sekitar kita. Seberapa besar pulakah kecemasan Anda terhadap
kenyataan betapa orang² justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa
cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita semua atas seberapa jauh bangsa ini
mengalami 'defisit nilai' demokras, moral, keberbudayaan dan keberadaban. Dalam
bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka
kebaikan dan ketentraman?

Aku Besar dan Aku  Kecil


 

Soal besar dan kecil, tentu kita sadari bahwa keberadaan dua hal yang berbeda serta terkesan
kontradiktif tersebut justru merupakan sebuah wujud sunatullah yang menyangga gerak roda
kehidupan. Besar dan kecil, tak ubahnya ada dan tidak ada, kaya dan miskin, siang dan
malam, tinggi dan rendah, pandai dan bodoh, sehat dan sakit, laki-laki dan perempuan, tua
dan muda, fana dan kekal, semua hadir berpasang-pasangan sebagai sebuah keniscayaan
dunia. Masing-masing pasangan tersebut akan selalu ada dan hadir sebagai syarat sebuah
keseimbangan atau harmonisasi kehidupan manusia.

Dalam kesempatan ini saya ingin berbincang mengenai besar dan kecil dalam konteks
keakuan, kedirian, cinta, dan juga sikap kepemimpinan seseorang. Secara naluri
kemanusiaan, seseorang tentu saja memiliki egosentris untuk mengutamakan dan
mengedepankan kepentingan dirinya sendiri. Tanpa pengendalian yang tepat, egoisme yang
muncul bisa berakibat menjadi perbuatan memanfaatkan, memperalat, bahkan
mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan diri sendiri.

Ketika seseorang mulai mencintai orang lain, katakanlah seseorang yang diharapkan bisa
menjadi pelabuhan hatinya, sesungguhnya dorongan mencintai tersebut berasal dari
kebutuhan rasa disayang dan dicintai. Suatu bentuk kebutuhan diri sendiri dengan
mendapatkan sesuatu dari orang lain. Adalah naluriah manusia akan senang apabila ia
mendapatkan perhatian, cinta, dan kasih sayang. Sebuah keseimbangan hubungan yang
harmonis akan terwujud apabila kedua belah pihak kemudian dapat saling bertepuk seirama
untuk saling mengasihi, saling mencintai, saling memberi, serta saling menerima.

Namun apabila cinta tersebut bertepuk sebelah tangan, yang sering terjadi kenapa justru rasa
benci akibat cinta yang tertolak? Kejadian ini sebenarnya sebuah bukti nyata bahwa cinta
yang awal bersemi tersebut bisa jadi merupakan sebuah pemaksaan rasa yang timbul dari ego
seseorang terhadap orang lain. Ia berharap bahwa orang lain akan membalas rasa cintanya,
kemudian memberikan perhatian, rasa kasih dan sayangnya kepada dirinya. Bukankah hal ini
sebuah bentuk egoisme dimana seseorang lebih mementingkan pemenuhan rasa di hatinya
sendiri dan berharap orang lain memberikannya? Aku yang ada barulah sebatas aku kecil.
Aku diri sendiri. Sesungguhnya cintanya baru sampai kepada kecintaan terhadap dirinya
sendiri.

Namun sebaliknya, jika rasa cinta bergayung sambut, maka rasa berbunga-bunga akan
membuncah dari kedua belah pihak yang kemudian saling mencurahkan rasa cinta dan kasih
sayang. Dunia seolah berseri dan indah sekali. Setiap saat, setiap detik hanya bayangan dia
yang hadir di pelupuk mata. Segala angan, cita dan rasa hanya penuh dengan sosok si dia
yang dicinta. Seolah semua rasa telah lebur, menyatu, manunggal dari dua hati insan yang
berbeda.

Apabila kemudian ada orang lain mengganggu atau menyakiti seseorang yang kita cinta,
kitapun akan merasakan terganggu dan juga rasa sakit itu. Kita akan membela orang yang
kita cinta, bahkan jika perlu sampai titik darah penghabisan. Inilah bentuk totalitas sebuah
cinta. Cinta sudah meluas dari cinta terhadap diri sendiri menjadi cinta terhadap kebersamaan
dengan seseorang dicinta. Aku sudah mulai meluas.

Demikian halnya ketika telah hadir anak-anak sebagai buah kasih cinta suami-istri. Seorang
suami sekaligus seorang ayah akan mengayomi istri dan anak-anaknya. Bila adal seseorang
yang mengganggu anak-anaknya, ia akan tampil membela dengan sekuat tenaga. Ia bekerja,
ia mencari nafkah, ia berjuang, ia bernafas, ia hidup sudah tidak lagi semata-mata demi
dirinya sendiri. Ia ada untuk keluarga. Ia ada untuk anak-anak dan istrinya. Dalam konteks
ini, makna cinta telah lebih meluas lagi.

Cinta telah berkembang di luar batas cinta kepada diri sendiri dan cinta kepada seseorang
yang istimewa, tetapi cinta telah melingkupi sebuah keluarga. Di sinilah peranan seorang
ayah sebagai sosok pemimpin yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Ia sisihkan rasa
ego diri sendiri, ia akan kesampingkan rasa cinta kepada istrinya, jika dibandingkan rasa
cintanya kepada anak-anak dan keluarganya sebagai sebuah wujud perluapan rasa cinta. Diri
sendiri semakin mengkerdil, mengecil, menihil, lenyap bahkan sirna. Aku kecil mulai sirna
dan tumbuh menjadi aku yang lebih besar. Di sinilah sebuah kebesaran yang sejati mulai
tumbuh.

Dalam konteks pemimpin pemerintahan atau negara, filosofi sirnanya aku kecil dan
tumbuhnya aku besar, bahkan aku yang lebih besar harus menjadi pijakan setiap pemimpin.
Ketika ia telah memangku jabatan seorang pemimpin, maka ia harus melebar-luaskan rasa
cintanya dari kecintakan terhadap diri sendiri, cinta terhadap pasangan hidup, cinta terhadap
anak-anak, cinta terhadap keluarga, cinta terhadap kelompoknya, cinta terhadap partainya,
menjadi cinta yang tak terbatas untuk seluruh rakyat yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemimpin sejati akan merasa sakit apabila rakyatnya tersakiti. Pemimpim akan merasa susah
hidupnya jika rakyat yang dipimpinya mengalami kesusahan hidup. Rakyat kelaparan,
pemimpin juga kelaparan. Rakyat menderita, pemimpin juga tidak ketinggalan merasakan
derita yang sama. Inilah penjelmaan makna kesadaran manunggaling kawula lan gusti,
kebersamaan, kesatuan, senasib-sepenanggungannya pemimpin dengan rakyatnya.

Adakah kita masih memiliki bibit-bibit pemimpin sejati yang melebih-luaskan aku besarnya
di atas aku kecilnya, bahkan meniadakan aku kecilnya?

Anda mungkin juga menyukai