com)
KENDURI CINTA
Page 4
dikejar-kejar oleh pasukan musuh untuk menghibur dan
memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita
Rodhlialloohu'anhu: "La takhof wa la tahzan, innalloha ma'anaa".
Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.
Bahasa kenegaraan Maiyah itu: Nasionalisme. Bahasa mondialnya:
Universalisme. Bahasa peradabannya: Pluralisme. Bahasa
kebudayaannya: Heterogenisme, atau kemajemukan yang
direlakan, dipahami dan dikelola. Metode atau manejemen
pengelolaan itu namanya: Demokrasi.
Di dalam teori Maiyah Nasionalisme, selalu ditemukan adanya
banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak
kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan
wamanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan
kecenderungan sendiri-sendiri.
Setiap mereka menghidupi dan menampilkan dirinya masingmasing.
Sehingga pada semuanya tampak sebagai bhinneka.
Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu
sama lain, karena diikat dan prinsip ke-ika-an, yakni komitmen
kolektif untuk saling menyelamatkan dan mensejahterakan.
Demikianlah berita gembira berdirinya Republik lndonesia dulu.
Sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan
untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk
semua.
Yang Budha, berpakaianlah Buddha. Yang Katholik, Katholiklah.
Yang lslam, lslamlah. Omswastiatu tak usah diganti Padamu Negeri.
Haleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalaatullaah
salaamullaah tak usah diganti lbu Kita Kartini. Heterogenitas itu
cukup dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi
kebersamaan. ltulah Maiyah.
Website: http://www.kenduricinta.com
Facebook: http://www.facebook.com/#!/pages/Komunitas-
Kenduri-Cinta/34798057138?v=info
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
DUA:
Pernah menyaksikan bapak dan anak saling ejek, sindir menyindir? Itulah jika
Emha Ainun Nadjib satu panggung dengan Sabrang Mowo Damar Panuluh,
anaknya.
“Pergaulan yang aneh,” begitu komentar Dik Doank suatu saat
Jangan anggap mereka ada konflik. Emha sangat mencintai Sabrang, sebaliknya
Sabrang juga sangat menghormatinya. Mereka saling share tentang berbagai hal.
Banyak pengetahuan-pengetahuan baru, atau penemuan-penemuan ilmiah (baru)
yang disampaikan Sabrang kepada Emha. Sebaliknya Emha-pun sering memberi
arahan-arahan --jelas bapaknya lebih berpengalaman, ditularkan kepada Sabrang.
Jaman SMA, setahu saya, Sabrang tidak mengenal rokok. Emha sendiri, siapapun
tahu, adalah penikmat rokok.
“Jika sakit jangan merokok!” kata Emha.
“Rokok hanya untuk orang sehat,” lanjutnya. Lho?
Logika ini mungkin saja ditentang oleh aktivis anti rokok. Jika ingin sehat jauhilah
rokok, slogannya.
Tamat SMA, saya juga tidak melihat Sabrang menyentuh rokok. Kalau pegang
rokok sangat wagu, hanya diamin-mainkan, diisap tanpa api. Baguslah itu,
batinku.
Usai kuliah dari Kanada, berkumpul lagi dengan kawan-kawan SMA-nya,
belakangan membentuk Grup Band Letto. Saat itulah, mungkin saja, sering
belajaran merokok.
“Liiiil....!”
“Iya Mas,” jawab Kholil.
Kholil, pemuda tanggung yang bertahun-tahun ikut di rumah Emha-Novia. Racikan
kopinya enak. Kental tak terlalu manis.
Bersijingkat Kholil masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu dan diserahkan
kepada Sabrang. Entah “persengkokolan” apa antara Sabrang dan Kholil. Jika
dipanggil oleh Sabrang mafhumlah apa tugas Kholil.
Sampai suatu hari, entah bagaimana ceritanya, Emha mengetahui sesuatu yang
tidak beres.
“Lil,” panggil Emha.
“Nggih Pak...”
“Apa itu?”
“Rokok, Mas Sabrang....”
Bungkusan rokok berwarna kuning ada di gegamannya.
“Oh, mulai kapan?”
“Lami Pak, wonten setahunan.”
(Sudah lama Pak, sekitar setahun).
Emha, biasanya punya simpanan rokok agak banyak. Beli sendiri atau pemberian
dari beberapa kalangan yang berbaik hati. Sesungguhnya, telah lama, tanpa
sepengetahuannya Sabrang meminta tolong Kholil mengambilkan rokok milik
bapaknya secara diam-diam. Kali ini ‘tertangkap basah.’
Maka dalam suatu acara di Kenduri Cinta, beberapa tahun lalu, Emha menagih
Sabrang.
“Coba kalikan hutangmu itu, satu bungkus dikalikan setahun!”
Jamaah-pun tertawa.
“Dicicil saja, tiap pentas Letto, potong 10%....”
Sabrang yang sudah dikenal sebagai vokalis Letto, hanya menanggapi dengan
senyum-senyum.
TIGA:
Surabaya. Emha dan Kiai Kanjeng siap-siap acara. Hari yang sama, Sabrang dan
Letto juga pentas di kota yang sama, Kota Bonek.
Meskipun bapak dan anak masih satu rumah, jarang sekali ketemu. Emha dan Kiai
Kanjeng keliling memenuhi banyak undangan, Sabrang dan Letto-pun padat acara.
Bapak dan anak saling kangen dan janjian bertemu di warung sate, makanan
favorit mereka. Emha yang sudah dulu tiba langsung memesan beberapa porsi
sate. Tak lama kemudian Sabrang datang.
“Ayo Brang, dimakan...!”
“Ntar Pa,” jawab Sabrang sembari buka-buka HP.
Berceritalah mereka dengan asyiknya. Lalu Emha tersadar, hidangannya belum
juga dijamah.
“Lho, kok tidak dimakan, tadi sudah makan ya.”
Sabrang menjawab dengan enteng, “Belum Pa, aku puasa.”
“Asu kowe Brang, lha ngapain saya janjian di sini kalau puasa!”
EMPAT:
Saya ingin mengatakan bahwa Sabrang sudah terlatih rialat. Sebuah ‘lelaku’ yang
pada umumnya anak semuda dia belum merasa perlu menjalani. Pasti banyak
yang mengira bahwa bapaknyalah yang mengajari. Atau minimal memberi contoh
dalam keseharian. Saya berani bilang, bahwa secara langsung kayaknya tidak.
Emha tidak pernah mengajarkan sebagaimana orang tua lain mendidik anaknya.
“Le, kowe puasa ya, rajin shalat!”
Tampaknya tidak pernah seperti itu.
Sampai kemudian saya mendengar bahwa Sabrang punya “guru spiritual.” Keren
ya istilahnya. Maksud saya, guru ngaji. Seorang ustadz atau kiai. Sosoknya jarang
yang kenal, seorang kiai sederhana dan kini bertempat tinggal di Lampung.
Dulu, saat Sabrang masih SMP, memang saya pernah diutus bapaknya mengantar
seorang guru ngaji dari Jogja ke Lampung. Seorang guru ngaji privat selama tiga
bulan untuk mengajari “alif ba ta” dan pelajaran dasar-dasar agama.
Tapi bukan guru ngaji itu.
Namanya KH Mustofa, saya pernah sekali bertemu di kantor, Jakarta. Sabrang
memanggilnya Pakde Mus. Kepada Pakde Mus inilah Sabrang banyak meminta
nasehat.
Saya sendiri kurang tahu sejak kapan Sabrang mengenal dan menjadikan Pakde
Mus sebagai tempat bertanya.
Belakangan juga saya mengetahui bahwa Pakde Mus adalah santrinya Mbah Lim.
Bisa jadi Pakde Mus, kala pertama, tidak menyadari bahwa Sabrang adalah
anaknya Emha, yang oleh Mbah Lim sendiri ditahbiskan sebagai “Mbah Nun.”
Ini agak muter-muter. Pakde Mus sangat takzim terhadap Emha, sebagaimana
santrinya Mbah Lim lain, memanggilnya juga: Mbah Nun.
Hujanpun semakin kerap. Tamu-tamu berlarian. Semua orang menduga bahwa
acara akan berantakan. Emha yang punya gawe berlari naik ke atas panggung.
“Allahu Akbar, Alaahu Akbar.”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” azan digemakan sampai usai.
Resepsi pernikahan Sabrang dengan Uchi (26 Maret 2009) tetap berjalan dengan
lancar di Monjali, Jogja. Hujan mulai reda. Langitpun kembali dipenuhi bintang
gemintang. Di pojokan, entah di mana, Pakde Mus ngumpet sampai acara usai.
Berdoa dengan khusuk untuk “anak” kesayangannya, Sabrang.
LIMA:
Selamat kepada Sabrang dan Uchi untuk kelahiran putri pertamanya, 8 Februari
2010: Rih Anawai Lu'lu' Bodronoyo. []
Jkt-Pwt, Des 2009, Jan, Feb 2010
Tulisan ini untuk bapakku. Semoga cepat sembuh. Anakmu, sungguh
menyayangimu.
ABDURAHMAN WAHID-WAHID
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 18 Juni 2010 jam 11:01
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Lambat atau cepat hegemoni kekuatan persepakbolaan dunia akan bergeser ke
Afrika, meskipun kemudian akan bergilir ke wilayah lainnya. Sejak piala dunia
beberapa kali yang lalu Aljazair, Camerun, Nigeria, Marokko, sudah
ngampingamping
- tetapi memang masih ada semacam nuansa rasisme dalam mekanisme
politik persepakbolaan, yang tercermin pada psikologi wasit atau pengurus
organisasi persepakbolaan.
Sayang Mesir tak masuk, gara-gara Gus Dur di-impeach oleh MPR. Orang Mesir
cinta Indonesia, Sukarno dan merasa memiliki Gus Dur karena sejarah kakek
beliau serta karena pernah kuliah di Cairo. Gus Dur jatuh mengecewakan orang
Mesir, sehingga sampai hari ini belum tentu Megawati diterima di sana.
Sampaisampai
kesebelasan Mesir kacau hatinya dan tidak bisa menang lawan Aljazair.
Skor 1-1, padahal kalau 1-0, Mesir masuk Piala Dunia. Kalau Gus Dur waktu itu
tetap jadi presiden, skor pasti 1-0. 1 itu Wahid. Kalau 1-0 berarti Wahidnya satu.
Kalau skor 1-1 maka nama Gus Dur menjadi Abdurahman Wahid Wahid...Maka
Mesir gagal ke Piala Dunia.
Tapi toh sekarang Senegal memberi lampu kuning, meskipun tidak akan semulus
yang kita impikan. Bagi kita yang berpikiran standar, tentu kaget kok Perancis bisa
kalah oleh Senegal. Meskipun tak ada Zidane tapi ya jan gan lantas begitu loyo,
tidak kreatif, tidak punya daya menaklukkan, permainan individu kalah, tidak
punya aransemen dengan akselerasi gerak dan irama bermain.
Tapi bagi yang sudah punya instink dan tahu bahwa Senegal akan unggul, hasil
pertandingan awal Piala Dunia tadi malam tidak mengejutkan. Namun demikian
saya sarankan sebaiknya kita memilih kaget saja menyaksikan setiap kejadian
selama Piala Dunia, sebab tujuan kita memang untuk terkaget-kaget, sehingga
asyik dan selalu ada dinamika, ada tegangan.
Kalau pada pertandingan perdana Perancis kalah tapi nantinya malah jadi juara,
sebaiknya kita kaget. Kalau ternyata Perancis tak bisa sampai ke final, marilah
tetap kaget. Kalau Senegal menang terus setelah yang awal ini, juga marilah
kaget. Kalau kalah dan tidak bisa masuk ke babak berikutnya, marilah terus kaget.
Kalau tidak kaget, apa gunanya nonton sepakbola.
Hari ini saya bertugas di tiga acara, dan pertandingan perdana Perancis-Senegal
berlangsung pada acara terakhir saya tadi malam. Saya nonton tidak intensif dan
tidak seluruhnya. Sambil kedinginan dalam acara - karena tempatnya dekat Kutub
Selatan - saya bertanya-tanya siapa yang menang, dan tiba-tiba ada SMS masuk
berbunyi :"Itali juara Cak!". Gendeng. Tapi memang nonton sepakbola adalah
peluang sangat indah untuk berkhayal, menciptakan lakon-lakon apa saja di
dalam benak kita, membayang-bayangkan, melampiaskan obsesi, bahkan bisa
nonton sepakbola untuk menerapkan ideology, sentimen-sentimen sejarah atau
selera pribadi. Teman saya yang memandang sepakbola secara professionalestetik,
tidak senang Perancis kalah, karena tidak cocok dengan teori baku
tentang mutu kesebelasan. Tapi bagi teman lain yang pikirannya dipenuhi oleh
romantisme perjuangan kaum tertindas, bersorak-sorak karena Senegal menang,
karena mengidentifikasi Perancis sebagai salah satu negara penjajah pada
abadabad
yang lalu.
Semula dia mencita-citakan finalnya nanti Perancis vs. Kamerun dan akan
dimenangkan kesebelasan negara kaum hitam yang nenek moyangnya dulu
dijajah. Cuma ideologi teman saya ini menjadi agak tidak mantap kalau dia ingat
bahwa Zidan beragama Islam...
Ah, apa Anda pernah mendengar musik Senegal? Tidak ada musik yang asyiknya
melebihi asyiknya musik Senegal serta negara-negara Afrika agak Utara lainnya.
Kreativitas musik di wilayah ini menggabungkan 3 dimansi keindahan: dinamika
Afrika, romantisme Timur Tengah dan kecanggihan Eropa. Beruntung saya pernah
pentas bareng mereka di lapangan pinggir pantai Rotterdam......***
Bakso Khalifatullah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 12 Februari 2010 jam 9:36
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul
mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian
ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso
beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan
bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang
merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut
Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq,
qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik
haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa
menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami
orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu
apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata
masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya
bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya
meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya
pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu
memelihara kebaikan urusan-urusannya.
Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di
dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman
yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul.
Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin
siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup
sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan
ikhlas.
Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai
sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas
sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya,
tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika
mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini
terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Peradaban saya masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih
maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak
pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol
yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam
Jakfar Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang
memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua.
Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi
uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya
tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap”
“Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah took
kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya.
Ketika dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin
barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi
barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”
Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung
menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun
dan di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul,
terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 25
Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum
Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur
Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai
dan Ulama. **
Bid'ah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 April 2010 jam 9:54
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Bid’ah itu adalah sesuatu yang tidak dilakukan/dipakai oleh Rasulullah, terus kita
pakai. Bid’ah itu berlaku diwilayah mahdhah. Islam itu dibagi 2 berdasarkan
firman Allah, yang satu namanya ibadah mahdhah jumlah firmannya 3,5 %, yang
kedua namanya ibadah muamalah ayat-ayatnya menyeluruh sekitar 96,5%.
Ibadah mahdhah itu apa?, ibadah muamalah itu apa?. Pedomannnya ibadah
mahdhah adalah jangan lakukan apapun kecuali yang Aku perintahkan. Kalau
ibadah muamalah, lakukan apa saja semaumu asalkan tidak melanggar syariat Ku.
Contoh ibadah mahdhah itu: syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji, itu saja yang
tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi.
BU CAMMANA KEKASIH
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 31 Maret 2010 jam 13:03
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Maiyahan terakhir Kiai Kanjeng dengan saya adalah di garis kaki dan 'pantat'
belakang Pulau Selawesi. Dari Makassar menuju utara lewat trans Sulawesi - di sisi
barat sesudah sisi lain ditakuti karena kasus Poso. 5 jam pertama menuju
Tinambung, salah satu titik sisa kerajaan di antara 7 kerajaan pantai dan 7
kerajaan pegunungan.
Serombongan 22 orang, berangkat awalnya enak karena naik pesawat, tapi dari
Makassar kami menyusuri jalanan ratusan kilometer untuk pekerjaan yang kami
beri judul "latihan tawakkal". Medan sangat berat, suhu sangat panas, tidak mesti
bisa mandi, keringatan terus menerus tanpa sempat mencuci atau menjemur
pakaian. Acara formalnya hanya enam kali, tapi yang non-formal - dan di sini letak
konteks maiyah kemasyarakatan kami - bertubi-tubi.
Ibunda Cammana, saat menerima penghargaan Satyalancana dari Presiden RI,
pada Minggu malam lalu, 28 Maret 2010
Maiyahan dengan ribuan masyarakat yang turun dari gunung-gunung dan sudah
tiba di tempat itu satu dua hari sebelumnya karena tidak mudahnya transportasi.
Maiyahan mengidentifikasi masalah-masalah mereka, merundingkannya,
membukakan wacana dan mencari solusi bersama-sama - dibungkus perjanjian
vertical dengan Allah melalui dzikir dan shalawat bersama yang diperindah oleh
musik Kiai Kanjeng.
Maiyahan dengan ribuan masyarakat di pertigaan tengah kota kecil Tinambung -
pusat asal usul Pasukan Balanipa - yang dua puluh tahun yang lalu hampir
menyerbu Majene dan kami hentikan di tengah jalan, kami cegat dan kami giring
pulang untuk berkumpul di Masjid. "Musuh Anda bukan orang lain golongan atau
lain suku" - demikian saya sempat omong waktu itu - "Musuh Anda akan masuk
lewat jembatan yang dua tahun lagi akan di bangun di Sungai Mandar ini. Truktruk
dan fasilitas kekuasaan orang kota akan masuk kesini. Pertanyaan yang harus
Anda jawab adalah apakah jembatan itu akan memasukkan kesejahteraan ke
kampung-kampung Anda ataukah justru akan dipakai untuk menguras kekayaan
Anda ke Jakarta..."
Maiyahan di lapangan Majene, di depan pasar Polewali-Mamassa, di alun-alun
Mamuju. Jika lampu mati - karena PLN belum berpengalaman dengan
penggunaan sound-system yang butuh teknologi los stroom - rembulan
menaburkan cahaya dan keremangan di bawah langit sangat mengkhusyukkan
kehadiran Allah dan Rasulullah.
Di sekitar lapangan maiyah selalu tampak pebukitan yang subur, laut dan
cakrawala remang. Ketika siang hari kami melintasi daerah-daerah itu, tak bisa
menahan hati untuk mengatakan kepada ribuan jamaah maiyah bahwa "Anda
semua di wilayah yang subur ini sesungguhnya tidak butuh Indonesia. Negara ini
jelas lebih banyak mengganggu Anda dar ipada menyayangi dan membantu
kehidupan Anda...." Kemudian diskusi tentu saja menjadi berkepanjangan.
Entah butuh berapa ratus halaman untuk mengisahkan indahnya pengalaman
maiyahan dengan saudara-saudara kita di pelosok itu. Tidak mungkin terucap oleh
rangkaian kata sepuitis apapun maiyahan kami di dusunnya Bu Cemmana - Ibu tua
yang vocalnya seperti terompet, powernya tidak bisa dilawan oleh Ian Gillan,
warna suaranya seperti perawan 14 tahun. Ibu asset bangsa yang bangsanya
sendiri tidak punya ilmu sama sekali untuk menghargainya....
Bangsa ini membiayai putauw dengan uang tak terbatas, membiayai kemaksiatan
tanpa hitungan, membiayai kekonyolan dengan malah membangga-banggakan,
membiayai fitnah dan berita-berita pembodohan dengan trliyunan rupiah. Bu
Cemmana.****
“Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan
dengan surga.”
“Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita
dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan
kesengsaraan sedalam itu?”
“Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga
derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus
menjalani kerendahan.”
“Termasuk Kiai….”
Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu
kala. Kuusap dengan kesabaran.
“Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada
gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih
kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di
tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?”
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku.
Badannya terguncang-guncang.
“Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan?
Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?” katanya.
Aku menjawab tegas, “Ya”
“Kalau Tuhan diam saja bagaimana?”
“Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus
mempertanyakan.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kapan pun!”
“Sampai mati?”
“Ya!”
“Kapan kamu mati?”
“Gila!”
“Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa
ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak
tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak
tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan
tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak
secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam
semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!”
“Aku ini, Kiai!” teriakku, “datang kemari, untuk merundingkan hal- hal yang bisa
menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter….”
Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya.
Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
“Kamu jahat,” katanya, “karena ingin menghindar dari kewajiban.”
“Kewajiban apa?”
“Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.
Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya,
dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya
yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana
pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke tempat sampah.
Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa,
dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat
oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak
harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat
kepadaNya."
"Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini…” -ia meraih lengan saya dan
menyeret ke tembok- “Kupinjamkan dinding ini kepadamu….”
“Apa maksud Kiai?” aku tidak paham.
“Pakailah sesukamu”
“Emang untuk apa?”
“Misalnya untuk membenturkan kepalamu….”
“Sinting!”
“Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik
untuk cara berpikir yang kau tempuh.”
Ia membawaku duduk kembali.
“Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia
menurut pertimbanganmu?” ia pegang bagian atas bajuku.
“Kamu tahu Muhammad?” ia meneruskan, “Tahu? Muhammad Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup
sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena
sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan
menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 m, lebar 4,62 m. Ia manusia
yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang
kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya
berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun
Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun
istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal
kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer
sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu
takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang
pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik
kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan
nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan
yang kalian salahkan?”
Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke
belakang.
“Kiai .. ” kata saya agak pelan, “Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon
utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim….”
“Sangat benar demikian,” jawabnya, “Apa yang membuatmu tidak yakin?”
“Ya Aceh itu, Kiai, Aceh…. Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi.”
“Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah
bahwa kamu pantas diludahi.”
“Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu….”
“Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta
lubuk hati. Kenapa?”
“Aceh, Kiai, Aceh.”
“Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi.
Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh
Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan
rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang
ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan
pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini
Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran
mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema
Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan
Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka
selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir
keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak”
“Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar
dibayangkan akan mampu tertanggungkan.”
“Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang
tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang
dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak
ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara
yang sebaliknya adalah keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh
Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti
ketika kamu mati.”
“Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa,
sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup
nikmat sejahtera?”
“Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak
tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan
kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru
Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati
karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?”
“Gusti Gung Binathoro!” saya mengeluh, “Kami semua dan saya sendiri, Kiai,
tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang
disuguhkan oleh perilaku Tuhan.”
“Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan.
Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga
politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh
penghinaan atas martabat diri manusia sendiri- maka Tuhan justru menambahi
penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh
lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah
pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan
pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup.”
“Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan….”
“Alangkah dungunya kamu!” Sudrun membentak, “Sedangkan ayam menjadi
riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski
ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur”
“Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?”
“Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga
selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa
bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi
dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi
pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi
peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum
mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada
kemungkinan….”
“Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!” aku memotong, karena ngeri
membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.
“Bilang sendiri sana sama gunung!” ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor
meninggalkan saya.
“Kiai!” aku meloncat mendekatinya, “Tolong katakan kepada Tuhan agar
beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam….”
“Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa
tak kau pakai istilah bencana Tuhan?”
Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.
Humor
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 Juli 2010 jam 11:43
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Humor orisinal dari kehidupan sehari-hari adalah bahasa atau ungkapan budaya
yang paling canggih dalam penggambaran inti realitas zaman. Kalau tulisan atau
buku-buku ilmiah, harus berputar-putar dulu kalau hendak membawa kita ke
realitas. Mesti melalui jalan metodologi dan terminologi yang ruwet, yang hanya
bisa dijangkau oleh hanya sebagian orang yang punya uang untuk sekolah.
Sementara sepotong humor langsung saja membenturkan kita ke inti kenyataan.
Humor adalah sinar laser yang amat tajam, yang mengirimkan kita secara sangat
pragmatis untuk mengerti terhadap sesuatu hal.
Kangen
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 20 Januari 2010 jam 13:09
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kangen itu baik. Kangen itu mahluk ciptaan Allah yang tergolong paling indah. Ia
mutiara batin, atau api yang menghidupkan jiwa. Karena kangen yang menggebu,
dulu Ibrahim mengembarai bumi dan langit bertahun-tahun, untuk akhirnya
menemukan apa yang paling dibutuhkan oleh hidupnya: Allah.
Oleh kangen yang tak tertahan pula, Musa bermaksud membelah kodrat,
menerobos maqom dan ingin memergoki Allah yang amat dicintainya. Tentu saja
gagal, sebab ketika itu ia masih manusia, masih darah daging.
Kangen membuat seorang istri paham arti kehidupan. Kangen membikin
suaminya, yang pergi nun jauh, membatalkan penyelewengannya sebagai lelaki.
Kangen mendorong seorang gadis menancapkan cintanya lebih dalam. Kangen
membuat pemuda kekasihnya mengerjakan kesibukan-kesibukan baik untuk
memelihara kebersihan rindu yang dinikmatinya. [...]
Konser8
by Komunitas Kenduri Cinta
1. Tahun 1996, brsm #caknun, @kiaikanjeng meluncurkan album "Kado
Muhammad". Hit album itu adlh TOMBO ATI yg dilantunkan dg bait2 puisi.
2. Sambutan masyarakat sangat luar biasa. Mulailah shalawat & syair khasanah
masyarakat Islam mendapatkan perhatian secara nasional.
3. Sampai saat ini, @kiaikanjeng tlah mengunjungi lbh dr 21 propinsi, 384
kabupaten, 1030 kecamatan & ribuan desa di seluruh Indonesia.
4. Gamelan @kiaikanjeng bukan nama grup musik, melainkan nama sebuah
konsep nada pd alat musik gamelan yg diciptakan oleh Novi Budianto.
5. Walau berbagai alat musik dimainkan pd kelompok musik ini, namun GAMELAN
bisa disebut sebagai ciri khas piranti musikal @kiaikanjeng.
6. Meski wujud lahiriah sama persis dengan gamelan Jawa pd umumnya, gamelan
@kiaikanjeng sesungguhnya bukan lagi sekadar gamelan Jawa.
7. Dlm khasanah musik Jawa, (lazimnya gamelan) sistem tangga nadanya adlh
laras pentatonis. Terbagi pd dua jenis nada: pelog dan slendro.
8. Maka gamelan yg digubah oleh Novi Budianto ini (gamelan @kiaikanjeng) tidak
berada pd jalur salah satunya, alias bkn pelog bkn slendro.
9. Meski bila ditinjau dr segi bahan & bentuk, gamelan @kiaikanjeng ttp sama dg
gamelan Jawa pd umumnya. Perbedaan terletak pd jmlh bilahan.
10. Serta, kenyataan bahwa gamelan @kiakanjeng juga merambah ke wilayah
diatonis, meski tidak sepenuhnya. Ini keunikan gamelan @kiaikanjeng.
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 95
11. Keunikan td, memungkinkan eksplorasi musikal @kiaikanjeng merambah ke
mana saja aliran musik. Membuat musik mereka bersifat adaptif.
12. @kiaikanjeng adlh kelompok musik 'plus' mencoba menjalankan kemerdekaan
alias tak terkungkung pada satu-dua jenis aliran musik.
13. Pelarasan nada ini oleh Novi Budianto pd mulanya dipilih atas pengalamannya
menata musik-puisi #caknun sejak berproses brsm di Dinasti.
Jadi ruh dan badan itu tidak berbeda. Bahan dasarnya adalah partikel yang sama.
Yang berbeda adalah komposisi dan aransemennya. Badan itu adalah ketika ruh
mengaransir dan mengkomposisikan diri ke dalam suatu formula yang paling
sederhana, maka dia bernama jisim atau badan.
Siapakah komposer dan arranger? Sehingga kita menyaksikan batu, angin, virus,
buah mangga, dan pada diri kita ini sendiri ada tulang, daging, sungsum, darah,
nanah, ingus, bahkan juga segumpal hati yang berisi ruang tak terhingga, serta
sekepal otak yang sistem hardware sedemikian canggih dan sistem software-nya
sedemikian tak kita kenali - siapakah gerangan Sang Komposer dan Arranger?"
Kata anak saya, kalau manusia bisa menguakkan rahasia amr, rahasia perintah,
yang di genggaman tangan-Nya terdapat 'partitur' segala sesuatu dalam
kehidupan ini -- maka kita bisa meracik pasir dengan campuran tertentu menjadi
emas, bisa mengubah kain celana menjadi nasi goreng.?
Kostum Agama
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 September 2009 jam 12:21
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Budaya keagamaan islam mencapai puncak kemeriahannya terutama pada bulan
Ramadhan. Televisi berlomba menggelar mubaligh dan presenter. Berbagai
busana muslim-muslimah kita tonjolkan. Hiasan dan konsum warna-warni mewah
meriah kita pajang. Saya sendiri berusaha menyesuaikan diri, sehinggak untuk
keperluan shooting saya pinjam sarung untuk kemul-kemul. Untuk siapakah
semua itu dipertunjukkan? Untuk Allah, untuk bulan ramadhan, atau untuk
pemirsa? Kita ber-husnudhan bahwa kita ini semua sangat mencintai dan
menghormati Allah. Hanya saja, seakan-akan hanya pada bulan ramadhan saja
Allah hadir. Seolah-olah hanya pada bulan ramadhan saja kita semua berhadapan
dengan Allah. Dan kalau sesudah selesai acara lantas kita berganti pakaian yang
asli seakan-akan hanya didepan kamera saja kita menghormati Allah. Saya sangat
takut jangan-jangan Allah merasa kita bohongi.(Dikutip dari hikmah puasa)
Manajemen adalah.......
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 22 Juli 2010 jam 10:58
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Manajemen bukanlah kita punya sayur-sayuran lantas kita memasaknya.
Manajemen adalah tidak punya apa-apa tapi sanggup menyuguhkan sayur kepada
orang yang memerlukan.
Manajemen adalah ditiadakan namun mampu menjadi lebih ada dibanding pihak
yang meniadakan.
Manajemen adalah kaki diborgol kemudian memenangkan lomba lari melawan
orang yang memborgol.
Manajemen adalah sayapmu dipangkas namun mampu terbang lebih cepat,
tinggi, dan jauh dibanding mereka yang memangkas sayapmu.
Manajemen adalah hampir tak ada air tapi bisa mandi dan menjadi lebih bersih
dibanding pencuri airmu.
Manajemen adalah engkau tak boleh bicara, tak ditampilkan, tak ditayangkan, tak
dianggap ada, namun mampu hadir lebih mendalam dan evergreen didalam kalbu
orang banyak dibanding mereka yang membunuh eksistensimu atau mereka yang
diunggul-unggulkan dimuan-muat ditayang-tayangkan dibesar-besarkan siang
malam oleh penindasmu.[]
Merendahkan Diri
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 11 Maret 2010 jam 8:24
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Pekerjaan malaikat itu cuma satu, yakni ya’malu ma yu’marun, mengerjakan apa
yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Karena itu, malaikat suci bukan buatan.
Bahkan mereka hanya memiliki kesucian. Tapi kenapa mahluk manusia ditentukan
oleh Allah lebih tinggi daripada malaikat? Kenapa para mahluk suci itu harus sujud
kepada Adam?. Tentulah karena manusia diberi tangan kemungkinan, diberi
peluang untuk memperjuangkan diri menuju puncak kapasitasnya – dihadapan
Allah – yang lebih sophisticated dibanding malaikat. Apalagi dibanding iblis.
Tetapi salah satu nilai kemanusiaan yang sering kita anggap luhur adalah
merendahkan diri. Betul-betul merendahkan diri. Kalau kita melakukan keburukan
kita bilang, “Lho, saya kan bukan malaikat”. Padahal kita bisa lebih tinggi
derajatnya dari malaikat.. padahal merendahkan diri tidaklah sama dengan
tawadhu. (Buku Secangkir Kopi Jon Parkiri)
teknologi. Bagi para seniman hal tersebut bisa melahirkan kemampuan untuk
melukiskan kekayaan detail.
Adapun kepekaan batin adalah unsur kesadaran yang paling dalam pada diri
manusia. Iman, cinta, kedamaian, kepuasan dan sejenisnya tidak bisa ditangkap
oleh pancaindra. Bahkan, kadang luput dari pengertian pikiran. Tetapi bisa
seketika dihayati oleh batin.
Ikatan jodoh antara lelaki dan perempuan, antara seorang dengan bangsa dan
tanah airnya, dengan keluarganya, atau sahabatnya adalah ikatan batin. Semua
pengalaman kita yang hanya menjadi pengalaman panca indra dan pikiran akan
sedikit artinya bagi perkembangan kehidupan apabila tidak mendalam menjadi
pengalaman batin. Tanpa penghayatan batin, tidak ada kenikmatan hidup yang
memuaskan manusia. Membangun kebudayaan yang mengabaikan segi
kehidupan batin justru akan menimbulkan keresahan dan ketegangan.
Glamor kebudayaan Sodom dan Gomorah, atau keperkasaan proyek menara
Babil, bukanlah jawaban untuk kepuasan hidup manusia. Karena, tidak
mengandung masukan terhadap batin. Ternyata tujuan tidak bisa menghalalkan
cara. Karena, kita tidak pernah bisa hindar untuk bertanggung jawab kepada batin
kita mengenai cara-cara kita dalam mencapai tujuan. Macbeth dan Duryudana
harus menanggung derita batin yang berat karena cara-caranya dalam meraih dan
mempertahankan kekuasaan.
Elvis Presley, Marilyn Monroe, dan Michael Jackson menjulang dan kaya raya
sampai akhir hidupnya. Tetapi, karena batin yang sakit, mereka tidak bisa
menikmati kejayaannya itu. Di dalam membangun kebudayaan perhatian kepada
Di pasar kampung ada pencuri kecil-kecilan yang disebut ngutil dan nyopet,
namun menurut pengalaman saya kejadian-kejadian itu bisa diatasi setidaknya
oleh pengurus pasar, bahkan di tingkat masyarakat luas. Terus terang saya tidak
bisa membayangkan bagaimana praktek pencurian yang terjadi dalam dunia pasar
bebas, tentunya tidak setingkat ngutil atau nyopet seperti yang terjadi di pasar
kampung. Di kehidupan pasar kampung, ada juga istilah bank plecit yakni orang
yang meminjamkan uang—yang biasanya untuk modal berdagang kecil-kecilan—
dengan bunga yang cukup tinggi. Untuk pedagang kecil memang berat, kami
semua tahu bahwa rentenir, lintah darat itu dosanya besar. Tapi harus diakui
bahwa bank plecit itu tidak pernah memaksa, dan kadang kala memang itu
berguna. Sebab bagi orang kecil membutuhkan pelayanan cepat, karena untuk
pinjam dari bank pemerintah yang ada, yang bunganya kecil, ternyata juga tidak
mudah bahkan cenderung bertele-tele.
Dipasar kampung juga ada profesi-profesi yang di sebut blantik, yakni orang yang
kerjanya merayu, mempengaruhi pembeli maupun penjual agar memperoleh
upah jasa, sesekali juga bisa mendapatkan keuntungan dari harga bakunya.
Di pasar bebas, ternyata ada juga bank plecit bertaraf besar yang beroperasi
dengan canggih, bahkan tidak tanggung-tanggung melakukan pemaksaan secara
canggih melalui otoritas negara. Dengan cara mengkritik bahwa instrumen pasar
di sebuah negara dianggap ‘tidak sehat’. Ada-ada saja. Istilah ‘tidak sehat’,
parameternya dan obatnya mereka yang menentukan. Jadi kata ‘bebas’ di sini
berarti kira-kira hanya yang kuat saja yang bebas menentukan apa saja, bebas
membeli apa saja dan bebas menjual apa saja. Sementara yang tidak kuat tidak
kuasa untuk menjual dan tidak kuasa pula untuk membeli. Bagi yang lemah,
barang-barang yang penting bagi kehidupannya bisa dipaksa untuk dijual ke yang
kuat, dan bagi si lemah ia bisa dipaksa untuk membeli apa saja yang dijual oleh
yang kuat.
Pasar dalam arti sempit adalah tempat dimana permintaan dan penawaran
bertemu, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar tradisional. Sedangkan dalam
arti luas adalah proses transaksi antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini
lebih condong ke arah pasar modern. Permintaan dan Penawaran dapat berupa
Barang atau Jasa. Maka kata “pasar” mestinya masih sama namun sungguh sangat
jauh melenceng maknanya, walaupun saya sudah dikasih tahu bahwa yang terjadi
dalam pasar bebas itu ada kejahatan-kejahatan terselubung, dan yang terjadi
sudah tidak lagi sekadar menjual atau membeli barang, tetapi yang tak nampak
adalah jual beli pikiran, sikap, prinsip bahkan menjual diri dan rasa kemanusiaan.
Tetap saja saya tidak paham, memang saya ini orang desa.
Pertanyaan-pertanyaan terus saja berkecamuk: “Siapa yang menjadi Kepala Pasar
Bebas?”, “Siapa ya yang menjadi tukang Bea di Pasar Bebas?, siapa yang menjadi
blantik?”. Karena kalau Kepala Pasar di kampung saya itu jelas rumahnya, jelas
alamatnya, tak jauh juga dari rumahku. Sekali lagi semakin tak paham, bahkan
sekarang ini aku tak paham dengan diriku sendiri, “Apakah betul segala
kemauanku, segala keinginanku, niatku sungguh-sungguh dan senyata-nyatanya
aku yang menentukan sendiri?”, Saya semakin tidak mudheng bahwa pikiranku,
segala keinginanku juga telah dikendalikan oleh sesuatu yang tak pernah aku
pahami.
Nah, di manakah letak Maiyah? Sepengetahuan saya, Maiyah menaruh kritisisme
terhadap pasar bebas. [
Pemerintah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 30 November 2009 jam 14:11
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Pemerintah kerjanya melarang dan memerintah. Kalau Tuhan memegang hak
seratus persen memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan
kita dan semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin
hidup manusia. Tapi pemerintah kan menyuruh kita cari makan sendiri-sendiri.
Kalau kita kelaparan atau dikubur utang, kita tidak bisa mengeluh kepada
pemerintah. Hubungan kita dengan pemerintah adalah bahwa kita semua berada
di bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan
lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu.
Peran Tuhan
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 24 Maret 2010 jam 9:57
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Secara empiric, setidaknya ada empat peran Tuhan dalam kehidupan kita
bersama. Pertama, Tuhan sebagai pemberi solusi atau jalan keluar atas semua
problem manusia. Manusia adalah makhluk serba terbatas. Karenanya, apapun
saja yang diupayakannya, suatu saat pasti akan terbentur oleh kendala-kendala,
dan kebuntuan-kebuntuan. Maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk
menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah atas problem dan persoalan
hidupnya. Kedua, Tuhan sebagai sumber dana atau asal-usul rahasia rejeki yang
tak terduga-duga. Prinsip ini begitu mendasar dan penting, dalam konteks upaya
manusia mengejar kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Tuhan adalah Maha
Pengatur Rejeki. Ketiga, Tuhan sebagai akuntan atau manajer ada penghidupan
setiap hamba-Nya. Keempat, Tuhan sebagai public relation atau humas atau
penyampai maksud, impian, kepada siapa saja yang diharapkan terkait dengan
itu. Tuhan adalah harapan terakhir dari apa pun aktivitas yang dilakukan oleh
mahlukNya.
Reciever Lailatul Qadar
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 02 September 2010 jam 11:09
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Yang sepenuhnya harus kita urus dalam ‘menyambut’ Lailatul Qadar adalah
Reciever Spiritual kita sendiri untuk mungkin menerima Lailatul-Qadar. Kesiapan
diri kita. Kebersihan Jiwa kita. Kejernihan Ruh kita. Kepenuhan Iman kita. Totalitas
iman dan kepasrahan kita. Itulah yang harus kita maksimalkan.
Kalau lampumu tak bersumbu dan tak berminyak, jangan bayangkan api. Kalau
gelasmu retak, jangan mimpi menuangkan minuman. Kalau mentalmu rapuh,
jangan rindukan rasukan tenaga dalam. Kalau kaca jiwamu masih kumuh oleh
kotoran-kotoran dunia, jangan minta cahaya akan memancarkan dengan jernih
atasmu.
Jadi, bertapalah dengan puasamu, bersunyilah dengan i’tikafmu, mengendaplah
dengan lapar dan hausmu. Membeninglah dengan rukuk dan sujudmu. Puasa
mengantarkanmu menjauh dari kefanaan dunia, sehingga engkau mendekat ke
alam spiritualitas. Puasa menanggalkan barang-barang pemberat pundak,
nafsunafsu
pengotor hati, serta pemilikan-pemilikan penjerat kaki kesorgaanmu. ?
Bangsa Indonesia tidak punya kosa kata untuk hukum dan keadilan. Keduanya kita
import dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa,
Sunda, Bugis, Madura atau manapun, saya mengusulkan kata hukum dan adil itu
segera diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hukum
dan keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri.
Yang kita punya adalah kata laras. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan.
Tak apa mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan. Kita korupsi
barengbareng
di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita samasama
menjaga keselarasan. Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara
Keselarasan Nasional. Siapa harus di hukum dan siapa harus di pertahankan,
pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur di
bangun dan di informasikan, bukan obyektifitas hukum atau keadilan.
Bangsa kita menomersatukan 'norma', menomerduakan 'nilai'. Nilai mengikat
setiap orang untuk tidak mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan
apapun. Norma adalah kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara
mereka yang berkuasa untuk selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang,
hukum dan moral asalkan tetap selaras
dan citranya tetap bisa kita bikin tampak baik-baik saja. Kita jangan lakukan ini
atau itu, prinsipnya bukan ini tidak benar dan itu tidak baik, melainkan yang kita
jaga adalah "apa kata tetangga".
Kalau kita menangkap maling di kampung, kita bentak dia, "Jangan seenaknya
berbuat di kampung kami, kalau mau mencuri jangan di sini!" Prinsipnya bukan
maling itu tidak boleh melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa
jangan ada yang tampak mencuri. Mencuri tidak ada tapi jangan kelihatan
mencuri. Melanggar hukum dan keadilan itu soal tahu sama tahu yang tidak boleh
adalah melanggar keselarasan.
Perbenturan antara KPK dengan POLRI dan Pemerintah secara keseluruhan adalah
perbenturan antara keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu
disadari oleh Bibit dan Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan.
Mereka juga belum faham benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras
Indonesia, hukum dan keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak
boleh merusak pekerjaan para petugas keselarasan nasional. Satu langkah saja
lagi hukum dan keadilan melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan, maka ia
akan diberi label anarkisme atau makar.
....
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009
Supremasi Keselarasan (bagian II)
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 November 2009 jam 15:06
Indonesia Mengejutkan Dunia
Mohon jangan salah sangka, ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi
sekedar titipan salah satu kado kepada Gatra dari guru saya, seorang Kiai yang
bernama Kiai Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan
amanat itu kepada Gatra. Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa
saudaranya Kiai Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?
Ceritanya begini. Gatra saya kenal sejak ia lahir, 19 November 15 tahun silam.
Saya juga mengenal orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir. Tetapi semua itu
pasti itu tidak membuat saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas professional
atau kepatutan budaya untuk berdiri di sini. Saya merasa bahwa yang
menjerumuskan Gatra agar tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan
malam ini adalah 'sekedar' nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Alhasil,
sebenarnya saya kurang percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini,
sehingga saya memerlukan datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi,
meminta restu, syukur ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya.
Ternyata beliau memang sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya di
terima, beliau langsung menyeret saya, didudukan di kursi, kemudian beliau
omong panjang tentang Supremasi Keselarasan itu.
"Tolong disampaikan kepada Gatra sebagai kado dari saya" kata beliau.
Meskipun saya sangat bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan
kado itu, sebenarnya saya tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon
sekedarnya, "Tapi isinya kok penuh pesimisme, Kiai?"
Beliau menjawab, "Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan
pesimisme atau optimisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani
hidup dengan tangguh tanpa terganggu oleh kecengengan yang bernama
pesimisme atau optimisme..."
"Aduh saya kurang paham, Kiai", saya menyela.
"Alhamdulillah tidak masalah, tidak paham itu tidak dosa. Yang penting kau
sampaikan saja kepada Gatra bahwa ulang tahunnya hari ini adalah ulang tahun
yang sangat indah. Gatra berulang tahun tatkala kita semua sedang berada pada
momentum zaman yang sangat menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan
segera datangnya saat dimana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan
tampil dengan keindahan peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia"
"Wah, optimis ya Kiai?" saya menyela lagi.
"Kamu cengeng" jawab Pak Kiai, "Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia
asli itu watak utamanya adalah nekad dan tidak perduli"
"Maksud saya, saya senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang
bangkitnya Indonesia..."
"Hari-hari ini tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah" Kiai Alhamdulillah
melanjutkan, "perhatikan dahsyatnya kepemimpinan negaramu sekarang ini,
amati mozaik penuh cahaya kebudayaan, kejujuran dan kelihaian manusia dan
bangsanya, riuh rendah estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin
pendidikan informasi persnya, progressifitas persekolahan dan kependidikannya,
cakrawala amat luas cara pemelukan keagamaannya, kerendahan hati
olahraganya, sopan santun pariwisatanya, serta yang utama tak terbendungnya
fenomenologi pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui gardagarda
post modernisme. Akumulasi dari seluruh pergerakan dari sejarah dari
nusantara itu akan tak bisa dielakan oleh semua masyarakat dunia bahwa
Indonesia segera akan memimpin lahirnya peradaban baru dunia....."
"Maaf ya Pak Kiai, tadi kata sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan,
karena yang berlangsung selalu adalah Supremasi Keselarasan. Bagaimana
mungkin dengan kondisi itu Indonesia bangkit memimpin dunia?"
"Jangan kawatir, nak" jawab beliau, "Yaumul Qiyamat pasti tiba. Yaum itu Hari,
Qiyamat itu Kebangkitan. Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin
oleh Indonesia"
"Jadi benar akan Kiamat ya Kiai? Apakah itu yang di maksud dengan tahun 2012?"
"Jangan mendahului Tuhan, nanti malah di batalkan"
"Lha ya itu maksud saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus
supaya Tuhan tersinggung sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana
dengan hukum, keadilan dan keselarasan itu, Kiai?"
Bayi Lahir Putra Ibu Pertiwi
Kiai Alhamdulillah tidak langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam
memandang saya, kemudian berkata sangat serius dan pelan:
"Alhamdulillah tolong jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral
kepada Gatra" kata beliau. "Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu
berasal dari gen unggul, sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari hukum,
keadilan dan keselarasan. Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik tangan,
segala sesuatu bisa diubah dan diatur.
Sebentar lagi bayi Indonesia akan segera lahir. Ibu pertiwi yang akan melahirkan,
bayi itu sekarang sudah mengalami "bukaan-2", kalau bukaan sudah sampai ke-
10, bayi akan lahir. Bayi itu bisa merupakan hasil total refresing dari anak bungsu
Ibu Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang
sama sekali baru.
Sangat tergetar hati saya menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu air
ketuban pecah pada 28 oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 --
karena bangsa Indonesia tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua
di muka bumi. Kalau bangsa Yahudi dan Arab yang sekarang menguasai keuangan
dunia adalah keturunan kakek Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa
puluh atau ratus generasi sebelum itu.
Katakanlah mungkin sejak Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya
Kan'nan, Hasyim, Habsyah dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang
lahir tahun 1945, bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara
Indonesia 1945. Bangsa Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban
Lemorian dan Atlantis, Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan
jejak di Somalia, jerman, Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan
Ajisaka, Keling, Kaliswara, Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara atau Salakanagara.
Apalagi sekedar Singasari, Majapahit, Demak dan Mataram.
Berbagai kelompok generasi muda Indonesia saat ini sedang diam-diam
melakukan penelitian dan eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia
media tidak memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs
di dua pertiga bumi, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia,
terutama daratan luas dari yang sekarang di kenal sebagai jazirah Saudi hingga
Irian Jaya, yang memaparkan sebagai identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia
sesungguhnya, dan mereka mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk
ilmiah yang sejauh ini ada.
Sebagian yang lain sedang menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke
peradaban, untuk mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang
berlangsung menuju puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir.
Mereka menguji dan mengkaji kembali apa yang sesungguhnya terselenggara
sejak Revolusi Industri. Mereka sedang mencari garis sambung antara low-tech
replikasi jasad, high-tech replikasi system-logic otak, automation assembly line,
prinsip digital, 0 dan 1, real-number dan imaginary-number, Boolean Logic dan
Fuzzy Logic, 8% dan 92% wilayah fungsi otak, komputer yang secanggihcanggihnya
namun tak sedikitpun mampu membaca kerinduan, amarah,
penasaran, sedih atau gembira dan semua itu coba ditemukan
konstekstualitasnya dengan informasi-informasi langit: bagan struktur misbah dan
zujajah, sistem kerja dinamis ruhullah, dzatullah, sifatullah, jasadullah, hingga ke
regulasi Negara mahdloh dan fenomenologi kebudayaan muamalah.
Beruntunglah ummat manusia yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21
yang di temani oleh wahyu Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam,
ummat manusia mencari Tuhan sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada
wacana firman. Kalian sekarang tinggal menghapalkan Qul huwallohu Ahad, 99
asma Allah, di tambah dua tiga ayat, langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal
buka Kitab Suci untuk menemukan karbon, pertemuan laut asin dan tawar,
interaksi dinamis antara otak dengan hidayah, sumber pemahaman dasar
matematika, fisika, biologi dan hipnotisme. Atau apapun saja. Anak-anak muda itu
tidak mau bangsanya terpuruk tanpa berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian
itu langkah mereka ke depan adalah merumuskan dan meletakkan kembali
dasardasar
Ideologi Negara, Ideologi Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi
Keagamaan, Ideologi Kebudayaan, Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan
Ideologi Pangan dan Kesejahteraan"
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009
independen. Pers Indonesia tidak punya atasan, semua yang lain adalah
bawahannya: baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jorok, informasi dan
disinformasi, tuhan dan hantu, semuanya patuh kepada kebijakan dan strategi
redaksionalnya. Pers Indonesia sangat independen, berdiri karena dirinya sendiri,
melindungi dirinya sendiri, setia dan memegang sepenuhnya hak untuk
menghukum dirinya sendiri"
"Jangan lupa, mantapkan hati Gatra, bahwa uemokrasi Indonesia adalah
demokrasi paling fenomenal dan gegap gempita di seluruh dunia. Hendaknya
Gatra berbangga memiliki Pemerintah yang paling sukses dan prolifik di seluruh
dunia.
Gatra adalah bagian dari bangsa tertangguh dan paling proffesional me-maintain
kehidupannya masing-masing dibanding seluruh bangsa-bangsa lain di dunia.
Manusia Gatra adalah manusia Indonesia, manusia paling tahan uji, paling banyak
tersenyum dan tertawa, bahagia, penyabar, pemaaf dan pelupa di seluruh dunia.
Gatra adalah pelaku kebudayaan Indonesia, kebudayaan yang terkaya, paling
ragam dan tak terbatas kreativitasnya sehingga tidak memerlukan bentuk dan
kepribadian.
Para pekerja Gatra adalah juga bagian yang indah dari dinamika kehidupan
beragama di Indonesia, yang paling matang di seluruh dunia. Kematangan itu
sedemikian rupa membuat para pemeluknya sudah sempurna prosesnya, tidak
lagi memerlukan pemikiran, penafsiran, pembenahan atau perbaikan apapun"
"Dan akhirnya, jangan pernah lupa bersyukur Gatra dan bangsa Indonesia
memiliki pemimpin seorang Negarawan tingkat tinggi dan Presiden berkaliber
dunia. Gatra jangan ikuti orang-orang yang dangkal berpikirnya dan sempit
pandangannya, yang selalu mengkritik Presidenmu sebagai pemimpin yang
peragu, lamban, tidak punya ketegasan, tidak punya nyali untuk bertindak
obyektif, atau macam-macam lagi kesimpulan-kesimpulan yang cengeng dan
hanya bersifat impressional. Alhamdulillah, beliau itu manusia yang sangat lembut
perasaannya dan tidak hatinya tegaan. Beliau tidak kuat perasaannya
menyaksikan satu saja warganegaranya yang kesakitan. Beliau pasti akan
membela mati-matian siapapun yang akan dijatuhkan atau disakiti, terutama yang
sudah membuktikan kerja keras dan kesetiaan kepada beliau. Beliau adalah
Panglima Keselarasan".
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009
menurut saya, membuatnya unik. Bahkan teramat unik. Mbak Bertha, guru vokal
yang wajahnya juga sering nongol di acara Kontes Dangdut TPI (KDI), menilai si
Mbah sebagai sosok yang amat merdeka. Ia bisa tidur dimana saja dia mau. Dia
tidak tergantung pada tempat tidur untuk bisa tidur. Ia tergantung pada matanya,
yang jika merasa ngantuk ia akan pejamkan saat itu pula. Entah itu di halte, di
cafe, atau dimanapun dia berada. Cak Nun sendiri mengumpamakan Mbah Surip
seperti tahi lalat. Keberadaannya mungkin remeh dan tidak penting. Tetapi ia bisa
membuat manis wajah seseorang. Keberadaan Mbah Surip mungkin tidak
penting. Tetapi ia membuat manis hidup ini. Ia membuat banyak orang terhibur
setiap mereka mendapatinya.
Kepolosan itulah yang mungkin menular pada lagu-lagunya. Jika bukan Mbah
Surip yang membawakan lagu “Tak Gendong”, hasilnya pasti tidak akan seperti
Mbah Surip membawakan. Jadi perpaduan diri dan lagu yang poloslah yang,
menurut saya, membuat lagu yang kabarnya sudah menjadi ring back tone (RBT)
lebih dari sejuta pengguna ponsel ini meledak.
Tetapi rasanya bukan itu semata yang membuatnya jadi terkenal. Bahkan faktor
kepolosan bukanlah faktor yang menjadikannya terkenal. Kepolosan hanyalah
nilai uniknya. Kepolosan adalah “nilai jualnya”. Yang membuatnya jadi terkenal
adalah media. Media massa telah membuat si Mbah menjadi lebih tenar dari
sebelumnya. Sekarang hampir setiap orang mengenalnya. Orang-orang dari
Merauke hingga Sabang. Mungkin juga di negeri tetangga. Lagunya dinyanyikan
oleh banyak orang, dijadikan RBT, dan sebagainya.
Jadwal show pun berdatangan. Dari stasiun TV ke TV lainnya. Dari satu kota ke
kota lainnya. Tidak hanya untuk bernyanyi, tetapi juga untuk acara komedi, reality
Kadang-kadang dalam hati kecil saya berdoa agar si mbah tidak lama-lama
“dipake” oleh media. Bukan karena tidak mau si mbah jadi terkenal, kaya, atau
yang lainnya. Tetapi karena media tidak memiliki CINTA.
Pusaran orbit demokrasi Amerika terbatas lagi monoton. Terbatas hanya dua
partai – tak ada pilihan lain. Hanya dengan dua partai ini, berdemokrasi di
Amerika sesungguhnya lebih mudah dan lebih murah. Dan ketika seorang
Presiden sudah terpilih, sang Presiden ini hanya bertempat tinggal di “rumah
putih (white house)”.
Ke-Indonesia-an adalah kreatifitas. Walaupun demokrasi yang berlaku saat ini
adalah hasil contekan, namun kreatifitas politisi Indonesia mampu membuat
demokrasi yang monoton dan membosankan jadi semarak dan mengesankan.
Orang Amerika tidak serius dalam “pesta (party)”, karena orbit demokrasinya
hanya diramaikan hanya oleh dua partai (dual parties).
Demokrasi Amerika adalah demokrasi pelit, sepi dan membelenggu hak azasi.
Bagi politisi Indonesia sebuah pesta harus semarak, tak pelit, sedikit genit dan tak
perlu ‘ngirit’, makin banyak partai makin bergengsi. Para politisi Indonesia
memang “serius pesta”. Sebuah pesta harus meriah dan megah. Tak perlu irit,
walupun ‘ngutang’ mereka tak sayang uang. “Wong untuk rakyat kok sayang
uang!. Biar hutang besar yang penting bukan saya yang bayar! Biar banyak hutang
yang penting nampang!” kira-kira begitu (politisi memang paling suka kira-kira).
Sejak merdeka di tahun 1945, Indonesia diperintah oleh seorang Presiden yang
“dirajakan” oleh rakyatnya sendiri. Presiden Raja ini berkuasa dan bertahta di
istana – Istana Merdeka. Sang Raja didampingi oleh permaisuri (kadang ada
selirnya juga) yang dinobatkan sebagai “Ibu Negara”. Dan anak-anak sang raja
diperlakukan sebagai pangeran (prince/princes) yang selalu menjadi berita,
diberikan “privilege” dan dihormati dimana-mana. Layaknya seorang raja, ia perlu
membangun lingkaran-lingkaran yang teridiri dari para punggawa setia untuk
mengamankan dan menyamankan kedudukannya. Bahkan sang Presiden Raja
memiliki beberapa penasehat spiritual dan perlu “lelaku” untuk menjaga
kewibawaannya.
Bukankah dahulu Pak Amin Rais banyak disebut orang sebagai “the King maker”
yang berhasil menempatkan Gus Dur menjadi Presiden menggantikan Pak BJ
Habibie?. Sebutan ini benar, dan benar-benar “bener” menempatkan Gus Dus
sebagai Presiden Raja yang memerintah dari Istana Merdeka. Bahkan ada sebuah
stasiun Televisi yang menayangkan program “Menuju Istana” bagi calon Presiden
Raja yang hendak bertahta.
Bagi Presiden Raja, telah tersedia pula Istana persinggahan untuk keluarga dan
kerabat kerajaan kepresidenan. Ada Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Tapak
Siring siap dikunjungi untuk besantai.
Istana (palace) adalah tempat raja,ratu atau kaisar – house of emperor. Jika ada
yang mengatakan bahwa sebutan “istana” hanyalah istilah, maka apakah hanya
tersedia “satu istilah” yang layak dan pantas bagi seorang Presiden yang
benarbenar
mempresideni Negara ini – istana?. Man act upon his words and verbal
behavior show the color of his character.
InsyaAllah masih ada sinar mentari di tanggal 8 Juli.
Silahkan mencontreng wajah Presiden Raja, setengah Presiden setengah Raja atau
Raja yang jadi Presiden – Selamat menikmati puncak kreatifitas demokrasi yang
berseni.
Wis bener, wis apik!..Cocok.
Ngapunten,
Salamku yo dongaku,
Pudjidiot
Tiga Substansi Dari Peristiwa Hijrah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 18 Desember 2009 jam 9:54
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Pertama.
Momentum hijrah itulah yang dipakai untuk menandai satuan waktu, awal tahun
dan abad Islam. ‘Ilmu’nya di sini terletak pada kenyataan bahwa bukan hari atau
tahun kelahiran Muhammad saw. yang dipakai sebagai patokan awal abad Islam,
sebab fokus ajaran Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah
yang dititipkan melalui ia.
Islam tidak bersikap feodal dan verted-interest dengan memonumenkan
Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih sayang Allah
yang dibawanya untuk seluruh ummat manusia. Muhammad bukan founding
father of Islam. Agama tidak didirikan oleh Nabi, Rasul atau manusia. Agama
bukan bikinan atau ciptaan yang selain Allah.
Otoritas atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah, dan para
Nabi hanya menyampaikannya. Bagi tradisi sifat Allah, Nabi dan Rasul boleh tidak
ada. Allah berhak tidak menciptakan Muhammad, tidak memilihnya sebagai
kekasih, atau melakukan apapun. Jadi, sekali lagi, yang penting adalah ‘hijrah’nya,
bukan ‘Muhammad’nya meskipun karena etika historis dan logika cinta:
Muhammad kita sayangi sesayang-sayangnya sebagaimana Allah menyayanginya
melebihi sayangNya kepada apapun dan siapapun saja.
Kedua.
Hijrah sebagai acuan pokok ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam.
Anda jualan bakso itu menghijrahkan bakso ke pembeli dan si pembeli
menghijrahkan uang kepada Anda. Anda buang air besar itu menghijrahkan
sampah biologis ke lubang WC. Anda nikah dan bikin anak itu menghijrahkan
sperma ke ovum istri. Anda juga menghijrahkan Suharto ke rumahnya,
menghijrahkan Habibie ke Binagraha dan seterusnya. Anda menghijrahkan uang
Anda ke brangkas bank. Anda menghijrahkan diri Anda ke rumah Allah.
Hidup adalah hijrah dariNya menuju keharibaanNya. Hidup hanya berlangsung
dalam konsep dan mekanisme hijrah. Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau
apapun saja dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah. Yang menjadi masalah dan
pilihan manusia adalah pengakuan dari mana ia berhijrah, ke mana ia sedang dan
akan menghijrahkan dirinya, dengan cara apa ia melakukan hijrah.
Anda menghijrahkan uang dari kas kantor ke kas keluarga: pertanyaannya terletak
pada bagaimana konteks dan nilai (akidah, akhlak, hukum) hijrahnya uang itu.
Yang disebut Era Reformasi, jatuhnya Suharto, kerusuhan Ambon, pekikan Aceh,
kasus Bank Bali, tempe-delenya perilaku politisi, sidang MPR dan apapun diikat
oleh bagaimana nilai seseorang menghijrahkan dirinya, aspirasinya, political willnya.
Di situ terdapat langit nilai baik buruk, benar salah, indah dan jorok; serta
terdapat acuan formal: legal atau illegal, sah atau tidak sah, halal atau makruh
atau haram atau malah wajib, dan seterusnya. Menjadi jelas bahwa empasis nilai
Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada nilai Hijrah. Muhammad wajib
patuh kepada nilai hijrah, terikat untuk menjadi uswatun hasanah atau teladan,
dan tidak boleh melanggar kasih sayang Allah yang sudah Ia rumuskan dalam Al-
Qur’an, serta yang juga dicipratkan melalui subbah-nya atas Muhammad sendiri.
Ketiga,
Metodologi dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh Rasulullah
saw. begitu tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan
Kaum Anshor. ‘Mempersaudarakan’ ini sangat luas maknanya:
mempersaudarakan dalam konteks transaksi kultural, sosiologis, politis dan lain
sebagainya. Negara Indonesia kecolongan kerusuhan di Ambon, Timor Timur dan
Aceh dll. Karena konsep persaudaraan mereka tidak digali, diterjemahkan dan
dirumuskan ke dalam konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan yang jelas.
Ketidakjelasan konsep itu membuahkan ketidakmenentuan komunikasi, etika
pergaulan antar kelompok, kecurangan politik, dan menjadi lebih parah lagi
karena kepemimpinan ilmu kenegaraan Indonesia tidak bersedia mensyukuri ilmu
dan ajaran Allah yang mendialektikakan konteks-konteks horisontal dengan
vertikal. Kalau tidak karena perlindungan dan kasih sayang Allah kepada rakyat
kecil, negara Indonesia tidak akan sanggup menyelamatkan dirinya sendiri.
Warung Jodoh
by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib,
Mungkinkah di warung kopi, pelanggan ketemu jodoh?
Tentu saja mungkin "... lnna khalaqnakum min dzakarin wa untsa . lita'arafu. ." --
kata Tuhan -- ...
Kuciptakan kalian menjadi lelaki dan wanita ...untuk saling berkenalan..."
Saling berkenalan. Boleh di asrama, di terminal, maupun di warung kopi. Mencari
jodoh itu mulia. Dan kalau toh pelanggan masih gagal ketemu jodoh,siapa tahu
malah penjaga warungnya yang ketiban pulung.
Misalnya seorang pelanggan wanita usul: mBok tolong bikin kopi campur jahe!--
Disebut oleh pelanggan lelaki: Lho, kok seleranya sama dengan saya?
Nah, dialog, lita'arafu. tinggal diteruskan.
Saya sendiri beberapa bulan terakhir ini banyak keliling ke berbagai tempat di
Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalam rangka 'mencarikan jodoh'seorang
karib yang nasibnya agak malang. Aduh tapi susahnya. Kalau pas dia mau,
cewenya yang ogah. Kalau cewenya ngebet, dia yang kurang stroom.
Padahal sudah empat bulan ini karib kita itu puasa tak makan, Prihatin.
Apakah ia lelaki tipe Siti Nurbaya decade? Yang jelas ia belum pernah pacaran dan
tampaknya tak becus pacaran. Jadi, cita-citanya bukan pacaran,melainkan kawin.
Kalau bisa bulan ini juga, setidaknya tahun ini.
Lha wong uslanya sama dengan saya. Nanti selak ketuwan banget.*
Ternyata ia juga tak siap untuk "nyiti nurbaya". Artinya ia tak siap untuk tiba-tiba
kawin dan segala risikonya dihadapi dengan segala gairah belajar dan
kematangan. Soal cinta, akan tumbuh bersama kerja dan partisipasi.
Ternyata dia butuh approach. Dialog. Proses, yang sebenarnya biasanya --
ditempuh lewat pacaran. Jadi, susah.
Sementara banyak gadis yang saya pertemukan dengannya segera terjebak oleh
pemandangan kulit luar.
Karib saya ini tidak cakep, pakaian sama sekali tidak ngepop. Pokoknya tak
menarik. Segera dia tak lulus ujian pertama di mata perawan.
Apaagi kalau 'mata ujian'-nya' seperti yang sering terbaca di rubrik. Kontak Jodoh.
Misalnya, "Dicari lelaki usia maksimal 35 tahun, sarjana, punya pekerjaan tetap,
bertanggung jawab..." Dan yang mencari itu gadis 35 tahun,sarjana muda,
pekerjaan tetap dan mengaku setia.
Lha karib saya itu pasti tak lulus. Dia sudah 36 tahun. Bukan sarjana dan tak punya
kerja tetap: dia hanya asisten sutradara film yang sudah cukup kaya dan mampu
mengangkat ekonomi Ibu dan 8 saudara-saudarinya. Apakah ia bertanggung
jawab dan setia? Harus kawin dulu, untuk membuktikan tanggungjawab dan
kesetiaannya? Selebihnya, ia 'sekadar` lelaki yang baik, amat baik, amat santun,
hati lembut, penyabar, rajin shalat. Sedemikian rupa sehingga akan sangat banyak
sahabat-sahabatnya yang cemburu dan merasa kehilangan kalau ia nanti kawin.
Tapi ya Gusti yang dicari wanita mungkin lain, atau mereka tak tahu bagaimana
tahu apa yang dicarinya.
*) Maksudnya, "keburu tua".
Hujan Al Mukarram
Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan
supaya agak sedikit waras.
Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus
saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.
Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya
seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di
Arab Saudi.
Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau
hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.
Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan
hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan.
Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah
kita. Entah kenapa pakaian kik tidak bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala.
Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kitapun lari berhamburan seolah pasukan Israel
datang.
Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati,
sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan
bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.
Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir,
mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi
kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk
menyindir manusia yang pintar berkhianat.
Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.
O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plaastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa
dicuci.
Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya
badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya
untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan
itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.
Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti
menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.
Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!
Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah
memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas
kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu
primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh
sekali nilai-nilai kita ini!
Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja,
masih dianggap belum terlalu gila.
Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuuk beberapa
kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu
secara pribadi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996)
LISTRIK MAJAPAHIT
Apakah satu dua malam akhir-akhir ini listrik di tempat Anda suka ngaso*) juga
seperti di kampung saya?
Derita dan keterpepetan membuat orang sewot, marah, jengkel, atau justru kreatif.
Paling tidak, kita jadinya bisa menyelenggarakan diskusi gratis, tanpa budget
macam-macam termasuk "uang tak terduga" yang sudah kita duga secara persis.
Begitu sang listrik 'tidur', teman-teman di rumah kontrakan saya mengomel. "Terasa
sekali betapa kita ini tergantung kepada alat-alat yang kita ciptakan sendiri," kata
seseorang.
"O, ya! yang lain nyeletuk, "Di zaman Maapahit sudah ada minyak tanah atau belum
ya?"
Kemudian diskusi menjadi riuh, dan saya bersyukur tidak sedang ada tamu seorang
sejarawan. Sebab dia bisa dijawabnya secara persis.
Kita tahu Gajah Mada bersumpah, Ranggalawe cemburu sosial, Raden Wijaya
menjebak pasukan Cina, Suhita didongengkan sebagai Kencanawungu, Perang
Bubat membawa dampak psikologis berabad-abad.
Tapi kita tak tahu, dan tak berminat tahu, bagaimana persisnya kostum harian orang
Majapahlt, apakah mereka pakai jarum untuk dondom,**) atau bagaimana orang
dusun misuh"*) waktu itu, atau apa saja kek.
Kita hanya tahu hal-hal mengenai kekuasaan. Kita membikin buku pelajaran dan
mengisi jiwa siswa-siswa sekolah dengan hal-hal mengenai kekuasaan. Kekuasaan.
Kita mengerti Gajah Mada, karena diejek, cancut tali wanda, rnenggenggami
kerajaan-kerajaan di sekitarnya, nglurug****) sampai Muangthai segala. Termasuk
Ekspedisi Pamalayu yang berkepanjangan.
Lepas dari kita setuju atau tidak, tapi jarang awak berpikir bahwa Gadjah Mada
melakukan itu tanpa walky talky, tanpa teknologi militer yang kini bisa memusnahkan
bumi dengan sejentikan jari, tanpa kapal berapi, tanpa pesawat tempur, tanpa satelit
yang bisa mendeteksi dari angkasa - apakah di Kecamatan Wonokromo ada pabrik
senjata atau tidak.
Lha sekarang ini listrik mati seperti kehilangan Tuhan rasanya. Kalau motor macet,
kita sudah hampir tak punya mentalitas untuk pakai sepeda. Kalau baju robek, malu
pakai - seolah sama dengan dosa tak sembahyang Jumat. Kita juga tak berani jalan-
jalan di Malioboro tanpa sepatu atau sandal.
*) Ngaso: istirahat.
**) Dondom: menjahit tidak dengan mesin.
***) Misuh: mengomel.
****) Nglurug: bertandang.
PRIHATIN DULU, PRIHATIN KEMUDIAN
Tiap hari Anda naik biskota ya? Memang terkadang susah bukan main. Panas,
berjejal-jejal. Apalagi kaiau pada jam orang pergi atau pulang kerja, sekolah, kuliah.
Kita bergelantungan. Padahal babi, sapi atau kuda, diangkut di atas truk dengan
diatur balk-balk. Memang kita tidak ditali seperti binatang-binatang itu, tapi yakin
haqqulyaqin, jelas ada tali yang terasa keras menjerat leher nasib kehidupan kita.
Dan itu amat terasa
tatkala tubuh kita terhimpit-himpit.
Bahkan wanita-wanita merelakan bagian-bagian tubuhnya bertempelan dengan laki-
laki. Ada semacam moralitas khusus dalam budaya naik bis. Moralitas itu tak berlaku
begitu kita turun bis. Kalau kita terus menempel di tubuh wanita sekeluarnya dari bis,
akan terjadi dua kemungkinan. Kita didamprat dan dikeroyok oleh banyak lelaki lain
yang dijamin pasti membela sang wanita. Atau kemungkinan kedua kita justru dapat
jodoh.
Pokoknya naik biskota itu perlambang dari marginalitas. Keterpinggiran,
keterpojokan.
Pusat sosial ekonorni adalah kalau Anda naik kendaraan pribadi. Nukleolusnya
adalah kalau kendaraan pribadi Anda berganti sesuai dengan tawaran mimpi baru
dari produser kendaraan.
Kita bertegur sapa, dalam bas itu, dengan beberapa orang yang berdiri
mernbungkuk karena tipe biskota ini sebenarnya dirancang khusus buat orang Suku
Kerdil.
"Capek membungkuk, Mas?"
"Yaa, kalau tidak salah memang capek...
"Prihatin dulu, Mas"
Lelaki itu tersenyun masam.
Tapi kita mungkin didera oleh pertanyaan kita sendiri: Prihatin dulu, apa
maksudnya? Sekarang menderita dulu, kelak tidak, begitu? Kelak kita bisa punya
kendaraan pribadi? Bagaimana kalau sarnpai tua tak juga bisa bell? Apakah ada di
aritara kita yang ngobyek entah bagaimana--terrnasuk korupsi di kantor--agar
terbebas dari keprihatinan?
Sebenarnya keprihatinan itu apa? Keprihatinan ialah naik biskota? Naik biskota itu
mewah. Bahkan naik sepeda atau jalan kaki itu juga bukan penderitaan.
Keprihatinan ialah makan-minum dan berpakaian bertempat tinggal pas-pasan? Pas:
itu yang ideal menurut semua agarna. Artinya, keadaan pas-lah yang paling
menjamin kebahagiaan.
Tetapi memang, keprihatinan atau penderitaan ialah kalau sebagian manusia punya
lima mobil serumah sementara lainnya harus ngonthel sepeda atau berdesakan di
kendaraan umum. Penderitaan ialah apabila ketidakadilan diciptakan dan disistemi
sendiri oleh sebagian manusia atas banyak manusia lain.
Maka, tuan-tuan, belilah mobil dengan harga kerja objektif Anda. Kasih itu mobil
untuk keperluan siapa saja sekitar Anda yang memerlukan, sementara Anda silakan
tetap naik biskota tanpa merasakan bahwa itu adalah keprihatinan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkor Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah
kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari
mempergunjingkan dan menggosipkan orang.
Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa
sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya
saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada
perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau
bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya
sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.
Saya
buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para bintang
film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film dari
ideologi buka aurat yang makin merajalela.
Kalau
kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran tubuh,
terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi
masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya
sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.
Dan
lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya,
waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya
beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya
mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian
saya memilih jadi wartawan politik saja.
Kenapa?
Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama.
Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum,
dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat
tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur
sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha.
Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah
ditampilkan dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih
indah dari warna aslinya.
Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat
telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan
kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan
kami
juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan pekerjaan,
asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya duit gitu
lho…!
Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan.
Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh
dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya
jumpai
dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia dimana
kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu membeli
celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa sama
sekali.
Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin
menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah
kekurangan lakon. Kita
tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan cara yang lebih canggih.
Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung kita bikin judul yang
mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.
Ternyata,
masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat benci
kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras. Ditambah
dengan makin bodohnya masyarakat modern, buku dan majalahpun harus
mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya
supaya tidak kecelakaan, bagaimana melakukan penyelewengan secara canggih
dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa
keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam hal ini saya telah
mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagogi, pastor dan kiai. Orang bahkan
penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantung
pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup
melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme.
Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme,
lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.
Akan tetapi di
hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal.
Liputan-liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka
pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara
langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang
lelaki bukan seorang wanita.
Sudah
tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga tinggal
sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.
Seks
itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks, saya
mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin puyeng
oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu memang
religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan manifestasi
dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar dipandang,
didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius hanya
terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan
hewaninya belaka.
Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama?
tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya,
dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa
seks.
Namun,
ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak tahu Mas.
Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun menjawab secara
kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan jalan bersenggama
disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme. Hanya ekstase. Kalau
saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke pelacur begini..!!”
Kemudian di
losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana mahasiswa-mahasiswi
atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa kamar satu dua jam, saya
juga memperoleh jawaban yang mengecewakan,"Gini lho, Mas. Kalau saya sedang
sendiri, saya begitu tergoda oleh seks. Tapi kalau sudah berdua di kamar, paling
jauh yang saya jumpai adalah diri kami sendiri yang berubah menjelma menjadi
kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa yang kami simpan
diam-diam.“
Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak,
jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks.
Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"
Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri
saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah,
mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya
potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.
Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya
barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai
negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang
sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang
dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok..
Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka,
dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.
Aliansi anti deportasi di Jakartta melaporkan hanpir 3 juta kasus penindasan atas
tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para
pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air, di
Terminal 3 Cengkareng airpport. Mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh
banyak yang memang menunggu di sana untuk mencari nafkah. Itu membuat
mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan
adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.
Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa
bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekoonmian yang stabil, politik yang
bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami
bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian
sungai, dan kami hiasi dengan pot pot bunga serta burung perkutut.
Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami.
Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada
ilmuwan yang tertarik meneliti frekwensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung,
di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, di tengah kerusuhan,
di gedung parlemen, di rumah ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh
dari motor, kami menudung nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan.
Apalagi orang pintar.
Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala
sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan.
Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat
kuno yang sombong dengan jargon: " MEMBELA YANG BENAR" Kami sudah
menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni " membela
yang bayar".
Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-habisnya
saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada
suatu hari, saya berdebat dengannya menemukannya sebagai seorang materialis sejati.
Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh kehidupan ini hanya
sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya kepada jiwa dan mengenali nilai-nilai
hanya sejauh menyangkut struktur keberadaan materi. Maka manusia dilihatnya hanya
sebagai perut, dan segala uurusan politik hanyalah berkisar pada distribusi nasi. Maka ia
fanatik kepada orang miskin dan 'sentimen' kepada orang kaya.
Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih melarat
dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering tamasya ke luar negeri dan bisa
pelit.
Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup saya, kerena rasa
sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta kemanusiaan.
Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi tulangg punggung
kehidupannya. Saya jadi anyel.
Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena filsafat, karena
ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan. Kalau tak punya itu, dengan takaran materi yang
amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya. Dengan nilai-nilai itu mereka tetap sanggup
memanusiakkan dirinya di tengah derita kemelaratan.
Karena si monco ono memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka dia tak
mampu membantah argumentasi saya. Saya lantas merasa iba, kasihan, dan segera saya
traktir lagi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi jon Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)
***
Oleh karena itu,sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak mau di ranjau oleh
kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern.
Maka ia mateg aji menjadi murid.
"Murid" itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya:
seseorang yang berkendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kendak Tuhan.
Saridin menjdai muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk
itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subyek yang menghendaki
segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan dialaminya
dari Sang Sunan.
Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum
kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang datang ke pesantren atau
sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya mengangga melulu menunggu apa
saja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu namanya murad . Artinya, orang
yang kehendaki.
Memang sih pesantrennya Sunan Kudus sudah memiliki kuyrikulum, sistem
pendidikan dan metoda pengajaran tersendiri. Tetapi itu sekedar bahan dan
masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang kemudian mengatur dan
menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.
Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin itu sendiri.
Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas
Saridin berlangsung di dalam metoda dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-
spiritual Saridin sendiri.
Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.
***
Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi
pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia menyediakan diri untuk ditindas.
Padahal Saridin tahu, di dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang
lagi untuk bersedia ditindas.
Tapi jangan lupa pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia
modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin begitu mbagusi
ketika mentertawakan kebudayaan modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak
belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan-bulan di mana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika
mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus.
Ketika Sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qur'annya, satu juz saja,
di depan para santri lainnya-dengan mantap ia menjawab: "Sunan, adalah hak asasi
saya untuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur'an atau tidak."
Demokrasi bagi Saridin ketika itu, bertitik berat pada prinsip hak asasi manusia.
Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, Saridin juga
menjawab: "Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan jurus itu
sekarang . Tidak seorangpun bisa memaksa saya" ."
Tapi sebelum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan
menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontal-pontal, pontang-panting,
terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
"Kalau kamu tidak sanggup menjadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata
demokrasi!" kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-
engah.
(Emha Ainun Nadjib/Demokrasi tolol versi
saridin/Zaituna/1998/PadhangmBulaNetDok)
Pada umumnya Allah masih kita letakkan sebagai Pihak Ketiga yang kita sebut 'Dia'
dan sesekali saja kita sebut, utamanya ketika sedang susah dan kepepet oleh suatu
masalah.
Adapun di dalam Ikrar Husnul Khatimah itu kita memposisikan Allah sebagai
'Engkau'. Kita sadar bahwa kehidupan kita ini berada di hadapanNya. Allah bukan 'di
samping' kita atau 'di sana', melainkan tepat di depan kita.
Bukankah jika melakukan shalat kita berupaya untuk menyadari seolah-olah kita
sedang melihatNya di hadapan kita, dan kalau kita tidak mampu melihatnya maka Ia
yang melihat kita dari hadapan kita sendiri? Dengan demikian Ikrar Husnul Khatimah
adalah suatu peristiwa kesadaran di mana Allah bukan sekedar 'Ia' yang 'di sana'
yang berposisi sebagai pelengkap penderita dari program-program karir sejarah kita.
Melainkan di hadapan kita, dan merupakan konsern utama kehidupan kita.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (215)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Kapankah kita akan bisa merangkak naik ke bumi, dari jurang yang sedemikian
curam dan dalam?
Benar tahukah kita apa yang sesungguhnya kita alami? Sungguh pahamkah kita apa
yang sesungguhnya kita sedang kerjakan? Mengertikah kita ke cakrawala mana
sebenarnya kaki kita sedang melangkah?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (216)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Benarkah yang harus direformasi selalu adalah yang di situ dan di sana, dan bukan
yang di dalam diri kita sendiri?
Sistem nilai apakah yang sesungguhnya kita pilih untuk mengerjakan gegap gempita
yang kita sebut reformasi ini? Demokrasi, sosialisme, Jawaisme, Islam,
Protestanisme, Yahudisme, serabutanisme, kebencian, dendam, atau apa?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (217)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Pilihan Sistem Nilai Reformasi
Selicin apapun jalan reformasi ini, engkau harus jalani.... Selicin apapun pohon
pohon tinggi reformasi ini sang Bocah Angon harus memanjatnya. Harus dipanjat
sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan dan
diperebutkan.
Air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian
nasionalnya. Konsep lima itulah sistem nilai yang menjadi wacana utama gerakan
reformasi, kalau kita ingin menata semuanya ke arah yang jelas, kalau kita mau
memahami segala tumpukan masalah ini dalam komprehensi konteks-konteks:
kemanusiaan, kebudayaan, politik, rohani, hukum, ekonomi, sampai apapun.
Bukankah reformasi selama ini kita selenggarakan sekedar dengan acuan nafsu
reformasi' itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu atau spiritualitas dan profesionalitas
rasional apapun?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (218)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Ilmu Orang Tua : Memilih Yang Sejati dan Abadi
Ilmu orang tua adalah pengetahuan akal dan kesadaran batin bahwa ia akan mati,
dan itu bisa berlaku tidak 30 tahun yang akan datang, melainkan bisa juga besok
pagi-pagi menjelang seseorang masuk kantor. Orang tua yang berpikir efisien tidak
menghabiskan tenaga dan waktunya untuk kesementaran, melainkan untuk
keabadian. Tidak menumpahkan profesionalisme untuk menggapai sesuatu yang
toh tidak akan menyertainya selama-lamanya.
Ilmu orang tua adalah kesanggupan memilih satu dua yang abadi di antara seribu
dua ribu yang temporer. Memilih satu dua yang sejati di tengah seribu dua ribu hal-
hal, barang-barang, pekerjaan-pekerjaan, target-target yang palsu. Manusia yang
paling profesional adalah yang memiliki akar pengetahuan dan daya terapan untuk
bersegera menggunakan ilmu orang tua tanpa menunggu usianya menjadi tua.
Manusia yang paling cerdas dan peka adalah yang mengerti bahwa segala sesuatu
dalam kehidupannya harus diperbaiki sekarang juga, tidak besok atau lusa, karena
bisa keburu mati. Bahwa apapun saja harus segera di-husnul-khatimah-i dan
menghindarkan diri dari kemubaziran-kemubaziran mengurusi hal-hal yang semu,
palsu dan temporer.
Bahwa hutang harus segera dibayar. Bahwa kesalahan harus segera dihapuskan
dengan meminta maaf kepada sesama manusia yang disalahi dan memohon ampun
kepada Tuhan.
Dan kepada ummatnya, beliau mengajarkan sebuah doa "Allahumma inna nas-aluka
salamatan fid-din, wa 'afiatan fil-jasad, wa ziyadatan fil-ilmi, wa barakatan fir-rizqi, wa
taubatan qablal maut, wa rahmatan 'indal maut, wa maghfiratan ba'dal maut, hawwin
'alaina fi sakaratil-maut, wan-najata minan-nar, wal'afwa 'indal hisab".
Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa apabila seseorang di akhir hayatnya
mengingat Allah, itulah husnul khatimah. Sebaliknya yang melupakan Allah, itulah
su'ul khatimah. Oleh karena itu Rasulullah menyuruh menalqin (mengajari) orang
yang mendekati ajal dengan kalimat la ilaha illa Allah.
Setiap muslim pasti menginginkan akhir hayatnya husnul khatimah. Tapi tidak
seorang pun dapat menjamin dan memastikan. Akhir hayat setiap manusia adalah
rahasia Allah. Dalam hal ini Rasul bersabda. Dicuplik dari sebuah hadits panjang
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas 咊 d, Rasulullah bersabda
(diterjemahkan secara bebas kurang lebih): "Demi Allah yang tiada sesembahan
selain Ia, bahwa seseorang dari kalian sungguh telah melakukan amal kebajikan
sehingga membawanya sehasta lagi masuk ke sorga, tapi kemudian ia berbuat
kejahatan dan menjerumuskannya ke neraka. Dan bahwa seseorang dari kalian
sungguh telah melakukan perbuatan jahat sehingga membawanya sehasta lagi
masuk ke neraka, tapi keburu ia melakukan amal kebajikan dan membawanya
masuk ke sorga".
(Seri PadangBulan (208)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Apa Besok Pagi Kita Belum Mati ?
Secara harfiah, husnul khatimah berarti akhir atau kesudahan yang baik. Dalam
istilah agama Islam berarti akhir hayat (kehidupan) yang baik. Kebalikannya adalah
su'ul khatimah, artinya akhir hayat yang buruk. Akhir kehidupan yang dialami oleh
manusia itu sering disebut sakaratul maut.
Apakah kita akan mati? Apakah kita akan segera sampai ke garis sakaratul maut ?
Lebih rasional kalau pertanyaannya kita balik: apakah kita akan tidak mati?
Siapakah yang bisa memastikan bahwa nanti sore atau besok pagi, atau bahkan
lima menit yang akan datang, ia pasti akan masih hidup? Puncak ilmu orang hidup
adalah mengenai maut. Yang paling masuk akal bagi segala perjalanan ilmu
manusia adalah kesadaran bahwa sewaktu-waktu akan mati. Pengetahuan yang
paling substansial dan primer adalah bahwa sekarang juga setiap manusia harus
siap untuk berakhir hidupnya. Bahwa jisim (badan) manusia tidak hidup abadi.
Ungkapan hati yang sunyi di antara kita tidak bisa dihalangi oleh apapun. Ungkapan
melalui sorot mata dan raut muka memerlukan pertemuan langsung atau melalui
kamera. Tapi yang punya kamera tidak mungkin menyorot tampang saya kalau
hanya membisu dan bengong. Jadi harus menggunakan mulut dan kata-kata. Tapi
penggunaan mulut dan kata-kata bisa terhalang oleh tembok teknologi, tembok
finansial, tembok rasa takut, dan terutama tembok kekuasaan.
Jadi kalau ungkapan hati saya tidak bisa sampai kepada Anda melalui kamera dan
kata-kata, saya yakin hati Anda yang bisu sesungguhnya tetap bertegur sapa
dengan ungkapan hati saya melalui kesunyian yang tanpa kamera dan media
apapun.
BAU DEMOKRASI
Bau yang keluar dari mulut saya ini, kata-kata yang terungkap dari bibir saya ini,
ungkapan yang nongol dari cocor saya ini, terkadang busuk terkadang wangi. Itu
karena yang keluar memang asli busuk atau asli wangi. Atau terkadang tergantung
kondisi mulut saya sendiri. Mungkin kata-kata saya busuk, tapi karena mulut saya
wangi, maka keluarnya wangi. Atau kata-kata saya wangi, namun karena mulut saya
busuk, maka produknya busuk juga.
Nah, tolong jangan lupa di saat lain wangi busuknya segala yang keluar dari mulut
saya tergantung pada situasi hidung Anda. Mungkin yang ungkapkan busuk, tapi
karena lubang hidung Anda ada parfumnya, maka terasa wangi. Atau sebaliknya,
yang saya ungkapkan wangi, tapi karena hidung Anda ketempelan bau busuk --
misalnya karena Anda selalu sibuk mengurusi ayam-ayam di kandang --
maka kata-kata saya menjadi terasa busuk pula.
Apakah saya harus berkata: "Para anggota koperasi dan warga desa sekalian, kalau
saya melepaskan hak atas managemen ini gara-gara bangkrut, berarti saya tinggal
gelanggang colong playu, alias saya lari dari tanggung jawab". Ataukah saya harus
berkata: "Saudara-saudara sekalian, sebagai bentuk tanggung jawab saya atas
kebangkrutan kita, maka dengan ini saya mengundurkan diri, mengembalikan hak
yang saudara-saudara amanatkan, dan sekarang saya pasrah mau diapakan saja
oleh saudara-saudara..."
Ia menjawab: "Pahlawan sejati ialah orang yang berani omong tentang perjuangan
sosial dan membela rakyat hanya sesudah ia sendiri sanggup bertanggung jawab
secara mandiri atas perutnya sendiri. Pahlawan sejati ialah orang yang membela
rakyat dengan kekuatan dan uang pribadinya, bukan dengan dana dari luar yang
apalagi ia sendiri diupah untuk apa yang diperjuangkannya. Tapi yang terpenting
adalah bahwa pahlawan sejati tidak pernah sempat menganggap dirinya pahlawan
bahkan tidak punya waktu untuk mengingat kata pahlawan".
Saya bereaksi: "Waduh, Bu, kok berat dan muluk sekali syarat untuk menjadi
pahlawan sejati?" Ibu itu menjawab lagi: "Memang berat dan muluk. Maka tidak akan
berminat. Maka tidak populer dan tidak dipakai. Kalau ada yang memakainya,
mungkin malah dikutuk, dirasani dan difitnah di mana-mana..."
Kalau ketentuan dan pilihan itu tidak kita lakukan, sebaiknya kita niati saja bermain-
main air, sekedar untuk belajar berenang dan mengendalikan perahu. Jangan
sampai orang-orang di sekitar sungai menyangka kita akan benar-benar
menyeberang dan menanti-nanti kapan kita benar-benar tiba di seberang sungai.
Orang-orang itu bertempat tinggal di kampung kekecewaan, di RW kesedihan, dan
mungkin juga di RT kebuntuan. Kalau bisa jangan lagi kita tambahi KTP mereka
dengan Rumah Keputusasaan.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (185)/1999/PadhangmBulanNetDok)
METODA KEPAHLAWANAN
Ada tiga metoda dasar untuk menjadi pahlawan. Pertama, ungkapkan sesuatu yang
kritis namun tidak sampai ke tingkat berbahaya, sehingga bisa dimuat di koran.
Kedua, kurangi kadar kesaktianmu di dalam melakukan gerakan-gerakan sosial,
sehingga engkau bisa ditangkap atau ditabrak oleh kekuasaan. Ketiga, dekatkan
dirimu kepada jaringan hero maker, alias lembaga pencipta pahlawan.
Kalau kau omong apa adanya, media tidak akan memuatnya, sehingga semua
orang menganggapmu tidak berani omong apa-apa. Kalau gerakan sosialmu tidak
tersentuh, engkau tidak akan terdaftar sebagai orang yang ditindas, sehingga tidak
akan dibela oleh siapapun.
Tetapi yang alhamdulillah adalah kalau engkau tidak ingin menjadi pahlawan dan
eksistensimu tidak bergantung pada apapun. Harkat kemanusiaan dan harga dirimu
hanya ditentukan oleh tingkat manfaat kemanusiaanmu, baik diketahui oleh manusia
ataupun tidak, baik diungkapkan atau tersembunyi.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (186)/1999/PadhangmBulanNetDok)
GUGUR GUNUNG
Gugur gunung itu artinya bersama-sama orang sekampung bekerja bareng-bareng
untuk memperbaiki segala yang perlu diperbaiki di kampung. Dari merapikan pagar
sampai menata kembali parit-parit saluran air dan lain sebagainya.
Hari-hari ini kampung saya sedang mbembet, saluran air mampet-mampet, distribusi
kesejahteraan nggak karu-karuan, lumbung kami kosong, kebun-kebun kami
terbakar, sawah-sawah kami terbengkalai, lumbung kami kosong mlompong, hutang
kami numpuk menyaingi tingginya gunung.
Ada pemimpin idola kami yang mencoba mengatasi itu semua, namun anehnya
beliau tidak keliling kampung untuk mengajak sebanyak mungkin penduduk
kampung untuk memperbaikinya. Beliau hanya menyapa beberapa penduduk yang
tergolong terhormat dan priyayi.
Kami-kami yang kurang terhormat dan bukan priyayi tidak diajak memperbaiki
saluran parit, padahal tangan kami sudah pegal-pegal untuk ikut memperbaiki
kampung.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (184)/1999/PadhangmBulanNetDok)
MENCIUM TANGAN IBU
Tidak ada kebahagiaan dan kekayaan yang melebihi saat-saat kita mencium tangan
Ibunda kita dan menangis tersengguk-sengguk di pangkuan beliau.
Mudik adalah juga peristiwa tangis gembira di pangkuan Ibunda sejarah hidup kita,
yakni kampung halaman dan sanak keluarga.
Kemudian kampung dan keluarga paling dini dan sejati dari kehidupan kita adalah
hakekat dan kehendak penciptaan Allah atas seluruh alam, atas kita semua makhluk
hidup, serta atas firman-firmanNya. Maka kalau puasa Ramadhan memang telah
kita lalui sebagai perjalanan badan, perjalanan batin, perjalanan mental dan moral
vertikal -- insyaallah kehadiran kita pada hari idul fitri adalah peristiwa menguakkan
pintu rohani di dinding rumah Allah itu sendiri.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (181)/PadhangmBulanNetDok)
PEKERJAAN AGAMA
Saya bersama teman-teman menyimpulkan bahwa yang dimaksud pekerjaan
Agama bukan hanya sembahyang, puasa, zakat dan haji, melainkan juga mandi,
makan yang tepat , berangkat ke tempat kerja mencari nafkah untuk anak istri,
menolong siapa saja yang perlu ditolong, bikin koperasi partikelir, menghimpun
tukang-tukang ojek dan pedagang kakilima, dan seterusnya.
Itu semua adalah pekerjaan Agama, alias menjalankan perintah Tuhan. Termasuk
juga menyelenggarakan perkumpulan bulanan bersama puluhan ribu sahabat-
sahabat sebangsa untuk saling mensinergikan kemampuan ekonomi, mencerahkan
hati, menata pikiran, memperluas wawasan nasional, serta mengungkapkan apa
adanya apa kandungan hati kami tentang kepemimpinan nasional yang berjasa
menciptakan kegelisahan-kegelisahan. Itu semua adalah pekerjaan Agama.
Dan karena pekerjaan Agama, maka teman-teman saya yang lain, yaitu para
pejuang sosial modern di kota-kota, menganggapnya tidak progresif, tidak kritis,
tidak ada hubungannya dengan demokrasi. Maka hanya kami sendiri yang
menikmati manfaatnya, padahal kehidupan kami tidaklah untuk kami sendiri,
melainkan untuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (182)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Namun itu semua baru memberi barokah bagi pendidikan politik kami sendiri, itu
semua baru menciptakan manfaat bagi pencerahan hati dan perjuangan sosial kami
sendiri -- dan belum bermanfaat secara lebih luas bagi masyarakat Indonesia.
Sebab batu-bata dan gergajian kayu-kayu yang kami bikin dan persiapkan untuk
pembangunan rumah baru nasional itu dinilai kurang bermutu oleh para arsitek dan
pemimpin alternatif yang sekarang mulai memimpin sejarah kita bersama.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (183)/1999/PadhangmBulanNetDok)
MUDIK DUNIA AKHIRAT
Kerinduan untuk pulang ke kampung halaman dan bersilaturahmi dengan sanak
famili, sesungguhnya adalah episode awal dari teater kebutuhan batin manusia
untuk kembali ke asal usulnya.
Mudik Lebaran itu episode pulang secara geografis dan kultural. Dari alam nasional,
global, universal dan liar, manusia beramai-ramai balik ke lingkungan primordial.
Kampung halaman adalah tanah air konkret. Tanah dan air sejarah kelahiran
mereka. Sehingga mudik episode kedua adalah kesadaran atau ikrar kembali bahwa
diri manusia berasal dari tanah dan air yang akan kembali ke tanah dan air.
Episode mudik yang ketiga adalah kesadaran tentang Ibu Pertiwi dalam pengertian
yang lebih batiniah. Yakni kekhusyukan menginsafi kasih sayang Ibunda, kandungan
dan rahim Ibunda.
Betapa di puncak kepusingan hidup ini kita terkadang ingin kembali masuk ke gua
garba Ibunda. Episode mudik berikutnya adalah kembalinya kita semua ke pencipta
tanah air, ke sumber dan asal usul. Jadi, senantiasa siap kembali kepada Allah
adalah puncak mudik, adalah mudik sejati.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (180)/1999/PadhangmBulanNetDok)
MENABUNG SORGA
Diam-diam Allah menganugerahkan anjuran agar manusia tidak mengumbar dan
menghabis-habiskan kegembiraan dan pesta pora sesuai bulan Ramadhan.
Makan jangan terlalu banyak. Kita dididik untuk belajar ngincipi sejumput makanan,
dan selebihnya kita nikmati dengan cara memandanginya saja, untuk kita
investasikan untuk kegembiraan yang lebih tinggi kelak. Justru itulah nikmatnya
berpuasa. Menahan diri di depan makanan dan kenikmatan.
Bukankah sehari sesudah Idul Fitri, justru tatkala kita sedang berada di puncak
kemenangan dan pesta -- Allah malah men-sunnat-kan kita untuk melakukan puasa
Syawal, yang produk pahala, kemuliaan dan kenikmatannya berlipat-lipat?
Sesungguhnya kalau kita murah senyum, pergaulan akan lebih indah, hangat dan
segar. Namun demikian atas seulas senyum, sahabat-sahabat kita bisa selalu tanpa
sadar menyiapkan seribu penafsiran. Kalau sambil jalan di trotoar kita senyum terus,
orang bisa menyangka kita sinting. Kalau dalam situasi berdesakan di bis kota kita
tersenyum dan pandangan mata kita mengarah ke seseorang yang hatinya sedang
gundah, kita bisa ditonjok karena dia tersinggung atau merasa diejek.
Atau kalau sebagai wanita cantik Anda tersenyum kepada saya, lantas ternyata saya
GR dan diam-diam menafsirkan bahwa senyuman Anda itu bermakna cinta atau
naksir - misalnya -- lantas ternyata tidak ada kelanjutan tindakan dari Anda sesuai
dengan logika harapan saya; bisa jadi Anda lantas saya tuduh telah menipu sesudah
memberi saya harapan.
Sungguh sangat menakutkan kalau puasa, Ramadhan dan Agama kita jebak juga
menjadi semacam mode yang kita peragakan -- meskipun tak berarti sepenuhnya
kehadiran kita itu acting belaka.
kita tidak perlu menjadi nabi untuk menanganpanjangi keterangan Allah yang
selama ini diremehkan orang. “Siapa bersyukur akan kutambahkan rahmat- Ku,
siapa ingkar akan kusiksa sedahsyat-dahsyatnya.“ Kita tidak harus beridentitas
Rasul untuk mengabarkan rasa takut kepada- Nya yang menegaskan “Afahasibtum
annama khalaqnakum ‘‘abatsa.“ (kalian pikir Kuciptakan semua ini untuk iseng-
iseng?). (EAN)
IBUNDA
Ibumu adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi jimat bagi rizki dan kebahagiaanmu
Tanah air adalah Ibunda alammu
Lepaskan alas kaki keangkuhanmu
Agar setiap pori-pori kulitmu menghirup zat kimia kasih sayangnya
Sentuhkan keningmu pada hamparan debu
Reguklah air murni dari kandungan kalbunya
Karena Ibunda tanah airmu itulah pasal pertama setiap kata ilmu dan lembar
pembangunan hidupmu
Ibunda darahmu
Ibunda tanah airmu
Ibunda rakyatmu
Adalah sumber nafkahmu, kunci kesejahteraanmu serta mata air kebahagiaan
hidupmu
Pejamkanlah mata, rasakan kedekatan cintanya
Sebab ketika itu Tuhan sendiri yang mengalir dalam kehangatan darahnya
Kalau Ibunda membelai rambutmu
Kalau Ibunda mengusap keningmu, memijiti kakimu
Nikmatilah dengan syukur dan batin yang bersujud
Karena sesungguhnya Allah sendiri yang hadir dan maujud
Kalau dari tempat yang jauh engkau kangen kepada ibunda
Kalau dari tempat yang jauh ibunda kangen kepada engkau, dendangkanlah
nyanyian puji-puji untuk Tuhanmu
Karena setiap bunyi kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala ciptaanNya
Kalau engkau menangis Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan
Menangislah banyak-banyak untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun Ibumu menangis karenamu
Kecuali engkau punya keberanian untuk membuat Tuhan naik pitam kepada
hidupmu
kalau ibundamu menangis, para Malaikat menjelma jadi butiranbutiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda membuat para malaikat itu silau
dan marah kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci sehingga Allah tidak
melarang mereka tatkala menutup pintu sorga bagimu
Ibu kandungmu adalah ibunda kehidupanmu
Jangan sakiti hatinya, karena ibundamu akan senantiasa memaafkanmu
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas setiap kesalahanmu akan digenggam erat-
erat oleh para malaikat untuk mereka usulkan kepada Tuhan agar dijadikan kayu
bakar nerakamu
Rakyat negerimu adalah ibunda sejarahmu
Demi nasibmu sendiri jangan pernah injak kepala mereka
Demi keselamatanmu sendiri jangan curi makanan mereka
Demi kemashlahatan anak cucumu sendiri jangan pernah hisap darah
mereka
Jangan pernah rampok tanah mereka
Sebab engkau tidak bisa menang atas Ibundamu sendiri
Dan ibundamu tidak pernah ingin mengalahkanmu
Sebab pemerintahmu tidak akan bisa menang atas rakyatmu
Sebab rakyatmulah ibunda yang melahirkanmu
Serta ia pulalah yang nanti akan menguburkanmu sambil menangis, karena ia tidak
menjadi bahagia oleh deritamu, karena ibu sejarahmu itu tidak bergembira oleh
kejatuhanmu
Ibundamu, tanah airmu, rakyatmu
Tak akan pernah bisa engkau kalahkan
Engkau merasa menang sehari semalam
Esok pagi engkau tumbang
Sementara Ibundamu, tanah airmu, rakyatmu
Tetap tegak di singgasana kemuliaan
Senin, 15.12.1992
(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan
Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
WAWANCARA
SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya
tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan.
Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah
kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari
mempergunjingkan dan menggosipkan orang.
Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa
sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya
saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada
perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau
bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya
sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.
Tuhan mengetahui apa saja, malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan
bukan hanya sekedar tahu ada peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan
hanya sekedar mengerti teknik wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan
tahu persis jumlah korupsi seorang pejabat. Wartawan tahu tanah yang dikosongkan
penduduk itu akan dikapling untuk proyek apa. Wartawan tahu berapa korban yang
sebenarnya dalam sebuah letusan peristiwa. Wartawan tahu skenario-skenario apa
saja yang disembunyikan dari mata masyarakat. Wartawan tahu berapa lama lagi
akan terjadi devaluasi atau kapan persisnya seorang raja akan turun takhta. Dan
yang terpenting dari semua itu, wartawan tahu secara mendetail setiap pori tubuh
bintang-bintang film tertentu, saya ulangi --bintang-bintang film tertentu-- dalam
keadaan sangat jujur dan penuh keterbukaan. Foto-foto tubuh yang innocent, tanpa
tedeng aling-aling. Baik yang diambil di lokasi alam, di ranjang kamar, di atas
wastafel, atau
sedang bercengkerama dengan kuda.
Saya buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para
bintang film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film
dari ideologi buka aurat yang makin merajalela.
Kalau kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran
tubuh, terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi
masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya
sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.
Dan lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya,
waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya
beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya
mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian
saya memilih jadi wartawan politik saja.
Kenapa? Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama.
Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum,
dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat
tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur
sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha.
Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah ditampilkan
dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih indah dari
warna aslinya.
Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat
telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan
kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan
kami juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan
pekerjaan, asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya
duit gitu lho…!
Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan.
Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh
dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya
jumpai dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia
dimana kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu
membeli celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa
sama sekali.
Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin
menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah
kekurangan lakon. Kita tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan
cara yang lebih canggih. Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung
kita bikin judul yang mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.
Akan tetapi di hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal. Liputan-
liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka
pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara
langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang
lelaki bukan seorang wanita.
Sudah tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga
tinggal sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.
Seks itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks,
saya mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin
puyeng oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu
memang religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan
manifestasi dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar
dipandang, didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius
hanya terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan
hewaninya belaka.
Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama?
tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya,
dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa
seks.
Namun, ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak
tahu Mas. Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun
menjawab secara kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan
jalan bersenggama disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme.
Hanya ekstase. Kalau saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke
pelacur begini..!!�
Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak,
jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks.
Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"
Memasuki kampung padat gang sempit penuh orang dan wartawan, tiba juga kami
di depan rumah Mamiek. Pintu ditutup rapat. Manohara barusan masuk. Kami tidak
punya "kompetensi" untuk berjuang agar bisa dibukakan pintu sebab kami tidak tahu
posisi kami dalam dunia Mbah Surip: apakah kami termasuk di lingkaran primer
sahabatnya, atau lingkungan sekunder, ataukah fans belaka sebagai ratusan
khalayak yang memadati tempat itu.
Sesampai di sana kami terbentur problem "kompetensi etis" lagi sehingga hanya
berkumpul di sebuah rumah tetangga Rendra untuk berdoa dan shalat gaib
bersama. Kami menyepakati agar Noe "Letto" dan satu dua teman yang masuk ke
tempat jenazah Mbah Surip disemayamkan.
Pukul 20.00, kami cabut menuju Pesona Khayangan Kav-5 untuk menemani Rendra
yang terbaring sakit. Problem jantung dan ginjal beliau semakin mereda sesudah
berpindah tiga rumah sakit, tetapi lalu tiba-tiba terserang demam berdarah sehingga
rencana untuk keluar dari RS Mitra tertunda menunggu trombositnya naik. Syukur
beliau akhirnya diizinkan pulang dan mulai ditangani oleh sebuah klinik herbal di
Jakarta Barat.
"Hatinya lebih tenteram di sini, Mas?" saya menyapa sambil memegangi tangannya.
Rendra tersenyum, menganggukkan kepala, dan memancarkan sorot mata
optimisme. Rendra bukan orang yang pernah suka menyembunyikan isi hatinya
sehingga kalau hatinya tidak benar-benar lebih tenteram, ia pasti menjawab dengan
keras dan tegas, "Ora!"
Ken Zuraida, istri beliau, dan Meme, putri mereka, lalu lalang menyiapkan ini itu
yang diperlukan. A´u alias Clara Shinta, putri Rendra dari istri pertamanya, Sunarti,
tak pernah diperbolehkan papanya lepas beberapa meter saja pun darinya, siang
dan malam. Juga Arifin, semacam asisten pribadi Rendra yang senantiasa siap
ceplas-ceplos bergurau menyegarkan jiwa Rendra, tidak pernah bisa beranjak dari
seputar Rendra. Jika beranjak akan terdengar suara berat memanggil-manggilnya,
"Fiiin! Fiiin!"
Namun, malam itu Rachell, putri Rendra dari Sitoresmi, sedang pamit ke Yogyakarta
sehingga tak terdengar gurauan liberal yang segar antara bapak dan putrinya.
Ribuan orang dan ratusan wartawan memenuhi "rumah Rendra". Rendra menatap
televisi dengan ekspresi wajah yang tidak segera bisa saya raba. Apakah mereka
tahu di mana gerangan tuan rumahnya Mbah Surip berada? Kenapa Rendra tak
tampak turut takziah kepada tamunya? Apakah ada yang tahu bahwa si tuan rumah
sedang terbaring sakit sejak dua bulan sebelum Mbah Surip meninggalkannya?
Anatomi nilai
Tatkala terbaring di rumah sakit, Rendra pernah berbisik, "Kapan saya pulang,
Nun?" Saya agak mengelak, "Kalau pulang, ke mana, Mas?" Ia menjawab, "Ke
Cipayung. Itu tanahku, itu hutanku, itu kuburanku...."
Hati saya mungkin kotor karena spontan yang muncul di benak saya sesudah
mendengar kepergian Rendra adalah "apakah akan ada siaran langsung juga
sebagaimana Mbah Surip?"
Saya mencoba memaafkan diri sendiri dengan meyakini bahwa pertanyaan itu
muncul tidak dari konteks eksistensialisme dan kemasyhuran, melainkan ujian
berpikir bagi diri saya sendiri, dan syukur bagi seluruh bangsa Indonesia, khususnya
bagi dunia jurnalisme negeri ini. Apakah tidak sebaiknya kita mempertanyakan
kembali parameter-parameter nilai kehidupan yang berlaku.
Jangan dulu bertanya tentang kaliber karya dan kepribadian Rendra. Kita benahi
dulu: yang primer itu akal ataukah nurani, ataukah kelamin? Yang utama bagi
informasi dan komunikasi kebudayaan kita ini prestasi akal, pencapaian estetika dan
nurani, atau euforia nafsu dangkal kelamin-baik yang diekspresikan dan
diperjualbelikan secara eksplisit kelamin maupun yang implisit dan tak kentara
bahwa sesungguhnya "rating tertinggi" yang kita imani adalah "packaging"
kedangkalan, kekonyolan, kehinaan, dan kerendahan?
Wallahualam. Saya berdebar dari detik ke detik. Di tangan saya tergenggam lembar
kertas yang bertuliskan puisi terakhir Rendra yang ia tulis pada 31 Juli 2009 di RS
Mitra Keluarga....
(Muhammad Ainun Nadjib/Kompas/Sabtu, 8 Agustus 2009/PadhangmBulanNetDok)
Hidup Itu Di Hati
Manusia hidup dari hatinya. Manusia bertempat tinggal dihatinya. Hati adalah
sebuah perjalanan panjang. Manusia menyusurinya, menuju kepuasannya,
kesejahteraannya, kebahagiannya, & Tuhannya. Berbagai
makhluk menghalanginya, terkadang, atau sering kali, dirinya sendirilah yang
merintanginya.
Hati adalah pusat kehendak yang membuat manusia tertawa dan menangis, sedih
dan gembira, suka ria atau berputus asa. Manusia mengembara dihatinya: pikiran
membantunya, maka pikiran harus bekerja sekeras-kerasnya, pikiran bisa perlu ber-
revolusi, pikiran tak boleh tidur, pikiran harus dipacu lebih cepat dari waktu cahaya.
Hati tidak selalu mengerti persis apa yang dikehendakinya. Ia hanya bisa berkiblat
ke Tuhannya untuk memperoleh kejernihan dan ketepatan kemauannya.
Pikiran ikut menolongnya mendapatkan kejernihan dan ketetapan itu, tapi pikiran
tidak bisa menerangkan apa-apa tentang Tuhannya. Pikiran mengabdi kepada
hatinya, hati selalu bertanya kepada Tuhannya. Di
hadapan Tuhan, pikiran adalah kegelapan dan kebodohan. Jika pikiran ingin
mencapai Tuhannya, ia menyesuaikan diri dengan hukum dimensi hatinya. Jika
tidak, pikiran akan menawarkan kerusakan, keterjebakan dan bumerang.
Badan akan lebur ke tanah. Pikiran akan lebur diruang dan waktu. Hati akan lebur di
Tuhan. Jika derajat hati diturunkan ke tanah, jika tingkat pikiran bersibuk dengan
bongkahan logam, maka dalam keniscayaan lebur ke Tuhan, mereka akan hanya
siap menjadi onggokan kayu, yang terbakar tidak oleh cinta kasih Tuhan, melainkan
oleh api.
Jika hati hanya berpedoman kepada badan, maka ia hanya akan ketakutan oleh
batas usia, oleh mati, oleh kemelaratan, oleh ketidakpunyaan. Jika pikiran hanya
mengurusi badan, jika pikiran tak kenal ujung maka ia akan rakus kepada alam,
akan membusung dengan keangkuhan, kemudian kaget dan kecewa oleh segala
yang dihasilkan.
(Emha Ainun Nadjib/"Dari Pojok Sejarah"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)
Kebijaksanaan Cendol
Karena akan menerima tamu dari Thailand, maka Kiai itu merasa harus
menyuguhkan Jawa. Segala yang nampak pada Pondok Pesantren yang
dipimpinnya, sebenarnya relatif sudah mengekspresikan tradisional Jawa. Potret
desa, model-model bangunan dan irama kehidupannya. Sang tamu besok mungkin
akan mendengarkan para santri berbincang dalam bahasa Arab atau Inggris. Tapi
itu bukan masalahnya. Yang penting Kiai kita ini tidak akan mungkin menyediakan
Coca Cola ke depan hidung tamunya dari tanah Thai itu.
Sang Kiai sendiri “cancut tali wondo” mempersiapkan suguhan siang hari yang
diperkirakan bakal terik. Ia dengan vespa kunonya melaju, membawa semacam
tempat sayur yang besar. Empat kilometer ditempuh, dan sampailah ia ke warung
kecil di tepi jalan. Seorang Bapak tua penjual cendol. Sang Kiai sudah
memperhitungkan waktunya untuk sampai pada bapak cendol ini pada dinihari saat
jualannya. Yakni ketika stock masih melimpah.
"Lho, kan saya beli semuanya, jadi bapak nggak perlu repot-repot berjualan lagi
disini hari ini."
"Orang jualan kan untuk dibeli. Kalau sudah laku semua kan malah beres?"
Alangkah dini pengalaman batinku gumannya dalam hati. Sembahyang dan latihan
hidupku masih amat kurang. Aku sungguh belum apa-apa di depan orang luar biasa
itu. Ia tidak silau oleh rejeki nomplok. Ia tidak ditaklukan oleh sifat kemudahan-
kemudahan memperoleh uang. Ia terhindar dari sifat rakus. Ia tetap punya dharma
kepada sesama manusia sebagai penjual kepada pembeli-pembelinya.
Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu di negeri penyembah berhala yang kalian
bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?
1988
(Emha Ainun Najib/PadhangmBulanNetDok)
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari pamong-pamong
desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir, bahkan pun sampai di
sekitar koper dan surban ratusan ribu para calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit, dan detik.
Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi menjadi salah satu
identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang selalu merasa besar ini,
bangsa yang selalu membesarbesarkan dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat merasa "GR", tak
tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsip-prinsip dasar
kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di sel-sel dan
jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan "petunjuk". Kegilaan
nasional kita semua dalam menggunakan kosakata "petunjuk"--tak lain tak bukan--
adalah perbuatan takabur kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak boleh ada dua
atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak diperlukan persatuan atau pun
kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai korupsi atas
kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara, gelondongan kayu,
sampai korupsi atas informasi mengenai para nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon maha indah di
leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu sendiri serta
yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran yang memotong usus nasib
berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di rombongan kloter
sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala orang-orang yang setiap saat
dijunjung-junjung sebagai pemimpin--sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia
memang benar-benar manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung,
dipikul dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan bersama, ditutupi
dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum wewangian retorika dan excusing yang
bisa didaftar berpuluh-puluh dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi "naluri alamiah" tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan pribadi, maupun
karena secara kolektif tak pernah ada jaminan bahwa kalau seseorang tidak korup
maka lainnya pun tidak.
(bersambung ====>>)
Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar
belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan,
pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan.
Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada
kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa,
tanah air, dan negara.
Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala,
memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang
khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu
semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang,
dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah,
tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya
tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.
Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut,
menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi
kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan,
rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut,
dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.
Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran
untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka
baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya
terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk
menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan
kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia
maafkan.
Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya
sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan
daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan,
rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi kelanggengan
percintaannya dengan pemerintah si kekasih.
Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden
yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah
yang mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah secara transparan
menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia, takkan sanggup berbuat
setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet
yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi,
resmi maupun tak resmi.
Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat
dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama,
menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban
mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah
pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya
lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan
pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri
jadi pemimpin.
Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap
memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang
tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan
hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya.
(Emha Ainun Nadjib/Kompas, 6 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
MAIYAH PERAMPOK
Mau ke mana kamu
Kiri kanan tembok
Ke belakang ada jurang
Ke depan dikejar hutang
mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi rangkaian butir tasbih di jari-
jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini diri, ataukah setiap kali perlu meyakin-
yakinkan diri.
Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang
dimaksudkan dulu oleh Peciptanya. Adakah tangan telah mengerjakan mendekati
gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal
telah mengolah ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu yang dulu
merupakan visi missi Pihak yang merancangnya. Kata Islam, seseorang adalah Nabi
karena nubuwah. Adalah Rasul karena risalah. Adalah Wali karena walayah. Dan
adalah manusia karena khilafah. Keempat 'ah' itu milik Allah, dilimpahkan alias
diamanahkan kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda,
dengan Ia siapkan tingkat 'human and social penetration'yang juga bertingkat-
tingkat.
Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan,
tidak rasional dan tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai 'icon' suatu
golongan. Begitu engkau bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin,
hewan atau alam, maka engkaulah Khalifah yang menyandang khilafah. Secara
simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah
'memperistri' makhluk-makhlukNya, lelaki 'memperistri' perempuan dan Pemerintah
'dipersuamikan' oleh rakyat -- maka ummat manusia dinobatkan menjadi 'suami' bagi
alam semesta. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan,
menyusun disain dan methodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan
managemen untuk memproduksi "rahmatan lil'alamin".
Di manakah pintu ilmu, babul 'ilmi? Di manakah kota raya ilmu, madinatul 'ilmi?
Siapa kaum terpelajar yang tertarik pada idiom itu, apalagi menjelajahinya? Bagi
kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka. Sambil tiba-tiba menaiki
'maha'-kendaraan yang bernama demokrasi, world class society, pilkada pemilu
pildacil, public figure, album 'religi', Majlis Ulama, clean government, Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang semakin tak pantas menyandang nama itu, di
tengah lautan meluap, gunung meletus, bumi bergoyang-goyang sampai ke urat
syaraf otak manusianya.
Padahal kapasitas sistem syaraf otak manusia itu takkan pernah sanggup
dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Padahal pendaran-pendaran
elektromagnetik 'nur' Allah yang bertebaran bertaburan keseluruh permukaan bumi,
memusat menggumpal di seputar bagian atas ubun-ubun kepala setiap manusia.
Abracadabra! Siapakah yang tak sesat di antara kita? Makan saja sesat sampai ke
propinsi kolesterol, asam urat, jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke.
Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah festival demi festival kesesatan
nasional. Pemilu salah pilih wakil dan pemimpin. 220 juta manusia tersesat ke satu
lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa.
Dan sama sekali tak bisa kita simpulkan bahwa berbagai macam kesesatan yang
sedang kita alami atau sedang menimpa mayoritas bangsa kita kalah berbahaya
dibanding yang kita ributkan dengan kesesatan AlQiyadah.
Hanya saja AlQiyadah menyentuh wilayah 'pamali', 'sirik', 'wadi', 'jimat' hatinya
ratusan ribu orang. Yakni aqidah. Teologi. Wacana sangat privat yang sudah lebih
mendalam di lubuk jiwa -- meskipun mungkin karena saking mendalamnya maka
susah diaplikasikan keluar diri manusia untuk menjadi kebaikan sosial bersama.
Andaikan AlQiyadah mengajak korupsi, ia pasti terpuji dan ke mana-mana pasti
banyak kawan. Andaikan AlQiyadah memakai tabir Parpol, segera para pencoleng
akan berkumpul mengerumuninya. Sebab bagi cara berpikir keagamaan umum:
parpol, uang, korupsi, keculasan -- itu tidak sealamat dengan Allah dan Nabi
Muhammad.
Bahkan rasa syukur tertinggi saya adalah jika kelak saya masuk sorga - sesudah
lewat neraka: orang tetap tidak percaya bahwa saya masuk sorga. Itulah sebabnya
pembicaraan di setiap forum selalu saya awali dengan kalimat "Jangan percaya
pada saya, percayalah sama Allah dan Muhammad". Saya merasa bodoh kalau
saya membaiat orang, karena dengan begitu aku yang melegitimasi kedudukanny,
sehingga aku akan harus turut bertanggujng jawab atas apa yang dilakukan oleh
orang yang saya baiat. Sedangkan di hadapan peradilan Tuhan, tidak logis kalau
aku bisa menolong anakku atau aku bisa ditolong istriku. Tidak ada orang disumpah
atau disyahadati, yang ada adalah orang bersumpah atau bersyahadat dengan
dirinya sendiri.
Saya tidak pernah mengakui diri saya sendiri, karena yang substansial adalah
pengakuan Allah atasku, jika hal itu sekarang atau kelak mungkin terjadi. Saya tidak
tega dan geli kalau orang menjadikan saya sebagai panutan, menyebut saya
Ustadz, Kiai, bahkan ada spanduk berbunyi "Selamat Datang KH Emha Ainun
Nadjib". Ya Allah lucunya.
Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi
untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir, untuk
menganut apa yang saya anut. Setiap orang jangan memandang saya. Pandanglah
Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak
usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri,
sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu
dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya.
Semua Nabi dan Rasul, umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut
dirinya dholim, "Robbana dholamna anfusana", "Inni kuntu minadh-dholimin". Maka
siapakah aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan adalah
milikku sehari-hari. Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa belum pantas.
Andaikanpun aku ini Ahlul Bait keturunan Rasulullah SAW gabung dengan darah
Brawijaya, pasti kututupi sebagaimana kurahasiakan auratku.
Akan tetapi apakah saya menolak keseyogyaan dakwah? O tidak. Saya seorang Da'i
pelaku dakwah. Da'wah artinya panggilan, yad'u artinya memanggil, pelakunya Da'i.
Menyapa. Memanusiakan. Meneguhkan bahwa yang selain saya itu benar-benar
ada. Da'wah itu panggilan pada skala horisontal dengan sesama makhluk. Kalau
vertikal, dari kata yang sama menjadi du'a, bahasa Indonesianya: doa, kata kerjanya
juga yad'u, subyeknya juga Da'i. Berdoa adalah menyapa Allah.
Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu logika berpikir:
tak akan lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya, rajin 'gaul'
sama Dia, 'mentuhankan' Tuhan sebagaimana memanusiakan manusia. Tetangga
lebih simpatik kepada kita yang suka menyapanya dibanding yang sering meminta-
minta -- meskipun menurut pemahaman lain Tuhan tidaklah sama dengan tetangga.
Pinjam puisinya Chairil Anwar: bukan kesesatan benar menusuk kalbu, keridhaanmu
menerima segala tiba, tak setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertahta....
Allah sendiri, Masya Allah memang Maha Menyesatkan. Barang siapa diberi
petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa
disesatkan olehNya tak seorangpun bisa memberinya petunjuk.
Penyairpun bukan
Aku hanya pelayan
Meladeni cara
Meracik kata
Mengais rahasia
Agar tak mati fana
Penyairpun bukan
Aku hanya penyelam
Menukiki samudera
Pulang ke permukaan
Membawa batu purba
Untuk melempari cakrawala
1986
Di usia sepuhnya, Gus Mus makin gantheng wajahnya dan makin bening cahaya
yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat kini menjadi
cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam
kebudayaan di bumi. Itu langit.
Sungguh bikin cemburu. Bagaimana hamba Allah satu ini, semua manusia dari
Sabang hingga Merauke diam-diam pada bingung, ambruk, kuyu, frustrasi dan putus
asa, meskipun ditutup-tutupi ? dia malah makin sumringah hidupnya, wajahnya
tersenyum, seluruh wajahnya tersenyum, bukan hanya bibir beliau: benar-benar
seluruh wajah beliau, lagak-laku dan output karakter beliau adalah senyuman.
Jauh di dalam kalbunya Gus Mus mengerti betapa inginnya si Doctor Honoris Causa
itu diperkenankan untuk menjadi bagian dari kehidupan Gus Mus. Dan ‘Ma abasa
wa ma tawalla, an ja-ahul a’ma…. tak mungkin beliau berpaling, meremehkan dan
mengabaikan pengemis yang hina dina sekalipun.
Padahal di dalam doa-doanya, Gus Mus selalu meletakkan semua makhluk lemah
itu di shaf terdepan dari aspirasinya. Bahkan jenis hati beliau tidak puas untuk
memohon “Ya Allah, sayangilah para pengemis, mudahkanlah kehidupan mereka,
limpahilah dengan rizqi-Mu yang luasnya tak terhingga kali seluruh jagat raya”. Bunyi
perasaan terdalam beliau agak lebih radikal: “Alangkah mudahnya bagi-Mu ya Allah
untuk sejak awal menciptakan pagar-pagar qadla dan qadar agar dalam peradaban
ummat manusia tak usah ada pengemis, tak usah ada hamba-hamba yang selemah
itu, apalagi sampai dilemahkan, di-pengemis-kan”.
Memang di dalam salah satu cara berpikir tasawuf para pemberi membutuhkan
mereka yang diberi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, sebab orang miskin
adalah jalan memperbanyak pemberian, infaq dan shadaqah. Orang miskin adalah
lahan subur untuk menanam kasih sayang. Gus Mus setahu saya tidak turut
menikmati bermain logika dan simulasi sosial sufisme. Beliau transenden dari pola-
pola adegan itu dengan mempertapakan dambaan cinta alangkah indahnya
kehidupan tanpa orang-orang miskin yang meruntuhkan hati dan memeras airmata.
Bahasa gamblangnya: Gus Mus pada dasarnya tidak merasa krasan juga Doctor
Honoris Causa melamar-lamar dirinya. Dan lebih sangat “haram mu’aqqad” lagi
kalau sampai ada bagian dari kehidupan ini di mana Gus Mus yang melamar gelar
Doktor, mendambakannya, mengambisiinya, merakusinya, merindukannya, apalagi
sampai menyiapkan uang dalam jumlah sangat besar dalam rangka memperhinakan
dirinya.
Lho, apakah gelar Doktor itu hina? O tidak lah yaoo… Ini hanya pernyataan ta’aqqud
dan tafaqquh bahwa yang selain Tuhan selalu menjadi jatuh hina jika diperlakukan
sebagaimana Tuhan. Hanya Allah yang memiliki maqam untuk didambakan untuk
diraih, diserakahi untuk ‘dimiliki’, digadang-gadang serta dicita-citakan untuk
bersanding. Selain Allah, bahkanpun Rasulullah, juga seluruh manusia dan alam
semesta, cocoknya dicintai, disayang.
Gus Mus menyayangi gelar Doktor beliau, tapi insyaallah tak sampai mencintai.
Disayang karena mereka yang memberinya gelar itu juga sangat sayang kepada
Gus Mus. Namun tidak sampai mencintai, karena beliau bukan orang bodoh.
Gelar Doktor mencerminkan pencapaian ilmu maksimal pada ukuran mesin berpikir
manusia. Tidak sempurna dan belum puncak, dalam arti potensialitas yang
dianugerahkan Allah atas daya akal manusia masih menyediakan cakrawala luas
dan langit tinggi yang masih amat jauh di luar jangkauan pencapaian peradaban
berpikir ummat manusia sampai sekian puluh abad. Sedangkan gelar Proffesor
menggambarkan kelulusan komitmen terhadap dunia ilmu dan kesetiaan terhadap
tradisi kemuliaan pemeliharan dan penyebaran ilmu. Tafaqquh ‘ilmi wan-tisyaruh.
Itu idiomatik dan simbol dari dunia persekolahan di mana pencarian ilmu di-
institusionalisasi-kan, dengan ‘syubhan’ politik dan perdagangan ? tetapi yang
terakhir ini tidak menjadi perhatian dalam tulisan ini. Di luar sekolah, masyarakat
(Indonesia, Jawa) membangun sendiri idiomatic dan simbol-simbolnya untuk
mengukuhkan pencapaian manusia di antara mereka: Kiai, Panembahan, Ki,
Begawan, Pendekar, Pandito. Pada tataran yang lebih popular dan sehari-hari
muncul symbol: Mbah, Lurah, Danyang, mBahurekso, dst, yang semuanya
menggambarkan pengakuan umum atas pencapaian tertentu dari seseorang.
Kalau memang ‘terpaksa’, KH. Mustafa Bisri kita lengkapi saja atributnya: Mbah
Lurah Danyang mBahurekso Pandito Begawan Panembahan Ki Kiai Profesor Doktor
Mustafa Bisri, dan saya urun nambahi satu tapi tanpa upacara: Karromallohu
wajhah…. Karena insyaallah beliau karib dan sehabitat dengan Sayyidina Ali ibn Abi
Thalib dalam sejumlah konteks, utamanya ta’aqqudul iman, tafaqquhul ‘ilmi wa
ni’matul ma’rifah serta thariqat ‘suwung’, fana’.
Doktor itu kedewasaan ilmu, namun tidak menjamin kematangan mentalitas dan
spiritualitas. Bahkan tidak menjanjikan kedewasaan sosial dan kultural. Sedangkan
Gus Mus mohon maaf: memiliki semua itu.
Tak akan didengarkan orang kalau ada seorang Doktor berfatwa, sebagaimana
kalau KH Mustafa Bisri (andaikan beliau mau) berfatwa. Sebab ‘fatwa’ arti telanjang
epistemologisnya adalah kedewasaan yang ‘jangkep’. Doktor masih kedewasaan
parsial dan ‘githang’.
Fatwa bukan produk dari rapat sekian ratus Ulama yang naik pesawat dari berbagai
propinsi untuk mengacungkan tangan dan meneriakkan “Setuju!” dalam sebuah
rapat yang berprosedur demokrasi, penjajagan pendapat untuk mencapai
kesepakatan. Atau lebih rendah lagi: pendapat sudah disediakan, dan ratusan
Ulama bersegera menyetujuinya karena hal itu merupakan ujung dari suatu eskalasi
politik, mobilisasi berpikir dan honorarium. Untuk Indonesia, tradisi semacam itu
sudah ma’ruf wa mafhum, dan semua tinggal meng-amin-i.
Sesungguhnya Gus Mus adalah seorang Al-Mufti. Hanya saja beliau terlalu rendah
hati. Sekurang-kurangnya Al-Mufti adalah kwalitas dan maqam beliau. Dan kalau
beliau hampir tidak pernah menduduki kursi itu dan tidak ‘nyuwuk’ fatwa apa-apa
kepada bangsa dan ummat yang tidak mengerti kegelapan (apalagi cahaya) ini, kita
orang dusun tahunya barangkali memang beliau tidak memperoleh ‘wangsit’ untuk
berfatwa. Allah sendiri menerapkan sifat As-Shobur kepada bangsa Indonesia, Gus
Mus nginthil di belakang-Nya.
Dan sungguh saya selalu merasa gatal untuk menggoda Gus Mus, di tengah
perjalanan hidup ‘asyik ma’syuk di tengah hutan belantara penuh comberan ini.
Maka sengaja tulisan menyambut penggelaran Doctor Honoris Causa untuk Gus
Mus ini saya bikin berlama-lama dan terlambat-lambat. Memang sih ada sejumlah
kesibukan, tapi alasan utama saya bukan itu. Motif saya yang sesungguhnya adalah:
saya sangat bernafsu menyiksa Gus Mus, saya sangat cemburu pada beliau, dan
saya berkhayal berlari kencang mendahului Gus Mus.
Saya buka rahasia pribadi: saya ini seorang penakut bin pengecut. Hidup saya tanpa
kekuasaan, baik sebagai warga masyarakat, sebagai suami, sebagai bapak, sebagai
lelaki atau sebagai apapun. Itu gara-gara saya tidak memiliki keberanian sedikitpun
untuk menyentuh orang lain dengan kehendak saya. Tidak sedikitpun saya berani
menyiksa siapapun, baik menyiksa dengan kejahatan maupun dengan kemuliaan,
dengan keburukan atau kebaikan, dengan kesalahan maupun kebenaran.
Jangankan menjadi pemimpin Negara atau wakil rakyat, sedangkan menjadi kepala
rumahtangga saja saya memilih untuk tidak berkuasa. Saya hanya bagian dari
keluarga, bagian dari masyarakat dan Negara. Padahal aslinya di dalam diri saya
terdapat nafsu kekuasaan yang meluap-luap, bahkan ada semacam potensi
kekejaman yang selama ini saya sembunyikan dengan sangat rapi. Nah, terhadap
Gus Mus: saya menemukan peluang sangat besar dan melimpah untuk berkhayal
punya kekuasaan dan menyelenggarakan penyiksaan-penyiksaan semaksimal
mungkin.
Sebab saya tahu dan yakin bahwa beliau tak akan marah. Gus Mus tidak memiliki
hubungan genetik, kefamilian atau keterkaitan sosial dengan kemarahan. Satu point
ini saja sungguh seribu kali lebih penting dan lebih tinggi mencapaian mental
maupun ilmiahnya -- dibanding seribu gelar doktor kepada beliau. Kalau ada orang
marah, itu pasti bukan Gus Mus. Dan kalau para saintis tidak mampu menemukan
keterkaitan dialektis antara fenomena marah dengan kosmos ilmu, maka tidak perlu
ada Sekolahan, Universitas ataupun Pesantren.
Tapi ya siksaan saya kepada Gus Mus sekedar terbatas pada ulur-ulur waktu
jadinya tulisan ini. Celakanya beliau sama sekali tidak marah. Tersiksa sedikitpun
tidak. Padahal kalau sampai beliau tersiksa, betapa indah puisi-puisi yang terungkap
dari ketersiksaan itu. Gus Mus adalah pendekar kehidupan yang bukan sekedar
sanggup menemukan ketenteraman dalam kecemasan, menggali kebahagiaan dari
jurang derita, atau menikmati kekayaan di dalam kemiskinan. Lebih dari itu Gus Mus
bahkan mampu membuat kegelapan itu tak ada, karena yang ada pada beliau, dan
bahkan beliaunya itu sendiri: adalah cahaya.
Kemudian hal cemburu: beliau ini dikejar-kejar dilamar-lamar oleh Doctor Honoris
Causa. Sementara saya orang tua sampai hampir batas jatah usia hari ini tak pernah
dinantikan orang, apalagi dikejar. Tak menggembirakan orang hadirku dan tak
ditangisi orang hilangku. Tak dirindukan oleh siapapun saja kecuali oleh istri dan
anak-anakku.
Maka saya dendam kepada Gus Mus. Dan dengan melambat-lambatkan tulisan ini
saya bisa membangun khayalan bahwa saya bukan hanya juga berposisi dikejar-
kejar, tapi juga ‘GR’ bahwa yang mengejar-ngejar saya adalah orang besar bernama
KH Mustafa Bisri. Dan karena saya dikejar oleh Gus Mus, sedangkan Doctor
Honoris Causa mengejar Gus Mus, maka saya berada dua langkah di depan Doctor
Honoris Causa. Dengan demikian tak mungkin Doctor Honoris Causa akan pernah
mampu mencapai lari kencang saya.
Maka di luar itu semua tentulah saya turut mengucapkan ‘mabruk’ atas
penganugerahan gelar Dr. HC kepada Gus Mus, tanpa mempersoalan bahwa -
ibarat baju, gelar itu terlalu kecil atau ‘cekak’ untuk Gus Mus. Atau dengan kata lain
beliau ? dengan segala kwalitas dan bukti-bukti kesalehan dan kreativitas puluhan
tahun hidupnya ? terlalu besar untuk hanya digelari Dr. HC.
Sebenarnya saya sudah menantikan penganugerahan ini 30-40 tahun silam. Atau
mungkin malah diperlukan ijtihad untuk mendirikan lembaga gelar yang lebih tinggi
derajat mutunya, lebih meluas cerminan jangkauan manfaatnya serta lebih
mendalam kasunyatan kekhusyukan komitmennya. Terserah apapun saja nama
gelar khusus itu yang kita gunakan untuk menunjukkan kesadaran kita dalam
mengapresiasi “Manusia Thawaf” dari Rembang ini.
Tetapi omong-omong qulil haqqa walau kana murran KH Mustafa Bisri sebenarnya
juga sama sekali tidak cocok hidup di zaman di mana beliau hidup sekarang ini, di
Negeri ajaib yang Gus Mus menangisinya berurai-urai airmata di hadapan Allah
sambil hati beliau geli setengah mati dan tertawa terpingkal-pingkal.
Minimal ada satu syarat mendasar yang Gus Mus tidak miliki secuilpun untuk
‘relevan’ hidup di zamannya: tidak punya ambisi, tidak memiliki ‘ananiyah’, tidak
punya kesanggupan mental untuk membuang rasa malu, serta terlalu rewel
terhadap martabat dan harga diri ke-insan-an beliau. Sistem nilai yang berlaku
komprehensif dewasa ini akan tiba pada suatu perkenan sosial dan permisivisme
budaya terhadap siapapun untuk bukan hanya memasang gambar wajahnya di
jalanan-jalanan atas niat dan inisiatifnya sendiri, melainkan pelan-pelan kelaminnya
juga sudah siap untuk diiklankan.
Cocoknya Gus Mus ada di antara para sahabat Rasulullah Muhammad SAW: dolan
mengobrol ke kampung-kampung bersama Abu Dzar Al-Ghifari, malamnya majlisan
dengan Babul-‘Ilmi, pintu ilmu pngetahuan: Sayyidina Gagah Ganteng Brillian Ali ibn
Abi Thalib karromallohu wajhah.
Maka atmosfir peristiwa penggelaran Dr.HC untuk Gus Mus ini saya masuki dengan
kegembiraan sebagaimana memasuki pesta setengah “majdzub”. Saya ikut minum
anggur rasa syukur yang menggelegak tanpa alasan apapun kecuali menikmati
kekayaan “qudroh”nya Allah SWT. Saya melintas ke sana kemari menyapa semua
sahabat keindahan dan mengobrol dengan para “mab’utsin” kebenaran dan
kebajikan.
Siapa saja yang tak tahan bersegeralah pergi menjauh dari saya. Sebab saya
melayang-layang surving diving sampai terkadang terpikir di benak saya NU itu
sebaiknya dibagi dua: ada firqoh Nahdloh dan firqoh Ulama. Ketua golongan
Nahdloh bolehlah KH Hasyim Muzadi, tapi Ketua Ulamanya harus KH Mustafa Bisri.
Gus Mus memimpin gairah ta’limul ardl wa ma’rifatussama, yang lain silahkan
memanfaatkan pengetahuan dan legitimasi langit untuk pengetahuan dan
kepentingan di bumi. Harus Gus Mus yang memimpin. Kok harus? Siapa yang
mengharuskan? Ya saya sendiri, lha wong ini tulisan saya sendiri. Terwujud dan
terjadinya Gus Mus jadi Ketua NU ya cukup dalam diri saya sendiri, karena kalau di
kasunyatan NU saya bukan sekedar tidak punya hak apa, tapi juga tidak ada.
Ini tulisan-tulisan saya sendiri, dan yang saya tulis adalah jenis orang yang tidak
akan marah atau berbuat apapun meskipun saya tulis bagaimanapun. Jadi saya
Ketua-NU-kan dia, kalau perlu seumur hidup. SEUMUR HIDUP.
Dan ini sama sekali bukan soal ambisi atau kerakusan, melainkan berdasar feeling
saya dalam hal niteni tradisi sunnah-nya Allah. Manusia dengan kaliber dan kwalitas
macam Rasulullah Muhammad SAW oleh Tuhan diselenggarakan atau dilahirkan
hanya satu kali selama ada kehidupan. Kalau taruhan tidak haram, saya berani
taruhan soal ini.
Jenis Ibrahim AS dan Musa AS bolehlah lima abad sekali. Atau kalaupun saya sebut
10-20 abad juga tak akan pernah ada kemampuan penelitian ilmu manusia untuk
membenarkannya atau menyalahkannya. Salahnya sendiri banyak sekolahan
ummat manusia berlagak-lagak pinter tapi tidak ada peneliti hal-hal beginian, mana
mungkin akan pernah mengenal clue ‘perilaku’ Allah ini.
Lha makhluk yang berperan sebagai Mustafa sesudah Bisri sesudah Mustafa
sesudah Bisri entah yang keberapa ini, yang khalayak umum, kelas menengah
intelektual sampai institusi Negara menyangka ia adalah Ulama dan Seniman ?
tinggal Anda perkirakan maqamnya, keistimewaannya, spesifikasinya,
genekologinya, koordinat kosmologisnya. Dilahirkan 75 tahun sekali? 102 tahun
sekali? 309 tahun sekali?
Saya tidak mau terjebak oleh adagium “La ya’riful Waly illal Waly”: tak ngerti Wali
kecuali Wali. Anda jangan percaya pada rumus yang membuat Anda tersesat
menyangka saya mengerti Gus Mus karena saya sekwalitas dan semaqam dengan
beliau. Jangan coba-coba memompa kepala saya menjadi besar, sebab saya sudah
sangat pusing oleh besar kepala saya.
Rumus lebih tepat untuk ini adalah “hanya kekecilan semut yang mampu
mengagumi kebesaran gajah”.
(Muhammad Ainun Nadjib/2009/PadhangmBulanNetDok)
Sepak Bola Tekno-Birokratik
Sepakbola, sebagai olahraga utama rakyat Indonesia, tergolong komponen garda
depan pembangunan yang – mestinya – merupakan pelopor globalisasi. Saya tidak
main-main. Sepakbola melibatkan uang milyaran rupiah, jutaan konsumen, fasilitas
teknologi tinggi, halaman-halaman khusus media massa, lapangan kerja, pola kreasi
dan rekreasi khas masyarakat industrial, bahkan inherent dengan faktor-faktor
industrial lainnya seperti transportasi stage and lighting system, dokter dan psikolog,
hizib para kiai, jopa-japi para dukun, dan seribu satu faktor lagi yang tidak bisa
disebut satu per satu.
Kemudian Anda tidak bisa mempertahankan pola itu ketika secara serentak kita
bersepakat untuk berangkat modern. Tatanan masyarakat telah berubah. Perhatian
manusia juga lebih ekonomistik. Ketrampilan kaki seorang pemain bola adalah faktor
produtif dan dunia sepakbola itu sendiri adalah pasar dan lahan konglomerasi.
Jutaan pecandu sepakbola harus juga menyadari – dan membeli tiket – bahwa
sepakbola itu posisi industrialnya paralel dengan musik rock dan dangdut atau
bentuk showbiz yang lain.
Dengan kata lain, pada masyarakat tradisional–agraris substansi persepakbolaan
adalah nilai budaya. Sedangkan pada masyarakat modern–industrial substansinya
adalah nilai ekonomi.
Akan tetapi masyarakat kontemporer Indonesia adalah masyarakat transisional.
Masyarakat yang sedang beralih: sebelah kakinya mulai berpijak di “masa kini”
sementara kakinya yang lain masih mengasyiki “masa silam”. Dan berhubung
proses transformasi persepakbolaan kita tampaknya tidak sungguh-sungguh
disadari, maka konsep berpijaknya juga masih rancu. Overlap disana-sini.
Modernisasi dan profesionalisasi sepakbola Indonesia tidak sejak semula
diberangkatkan dari konsepsi yang ilmiah dan matang. Itu menyangkut faktor
internal dari kegamangan ilmu persepakbolaannya itu sendiri, managemen dan
organisasi globalnya, sampai puritanisme dan ketertutupan kita dari – misalnya –
tansfer pemain asing. Itu, sebenarnya, tindakan anti-globalisasi.
Juga faktor eksternalnya. Anda tahu Galatama, pola persepakbolaan profesional-
industrial sudah lama berlangsung. Tetapi secara kualitatif ia tak mampu
menunjukkan kelebihan kualitatifnya dibanding perserikatan. Bukankah perserikatan
sesungguhnya puncak bentuk dari sepakbola paguyuban atau sepakbola kultural,
yang sangat mengandalkan primordialisme kedaerahan? Bahkan kita mengalami
bersama bahwa landasan eksistensi klub-klub Galatama masih juga berkutat pada
unsur emosi kultural. ‘Mobilisasi massa’ yang dilakukan untuk mendukung klub
Galatama selama ini masih sangat mengandalkan faktor-faktor primordialisme yang
sebenarnya bukan merupakan ciri-ciri mekanisme industrial.
Coba anda potret lebih close-up: industrialisasi di Indonesia secara resmi digerakkan
oleh kekuatan-kekuatan politik negara. Kepemimpinan kultural yang terdapat pada
masyarakat tradisional digantikan oleh kepemimpinan institusional dan birokratik.
Faktor “negara” ini menggenggam dan merasuk ke dalam hampir seluruh urusan
masyarakat, termasuk sepakbola. Indikator utamanya: pimpinan tertinggi organisasi
olahraga adalah para menteri atau setidaknya tokoh dari lingkaran birokrasi.
Indikator lainnya terdapat pada makin merambahnya gejala deswastanisasi atau
dekulturalisasi mekanisme berolahraga. Olahraga mungkin masih ‘milik masyarakat’,
tapi sudah sangat diurus oleh kepentingan ekonomi dan oleh tangan birokrasi.
Sekarang ini mungkin Anda tidak gampang lagi menyelenggarakan kompetisi
sepakbola antar-dusun: panitia Anda harus anggota PSSI, harus minta ijin aparat
keamanan, harus ini harus itu.
Kultur sepakbola pada kehidupan rakyat makin menipis karena dua hal. Pertama,
rakyat makin terserap oleh hiburan yang diproduk oleh ‘pusat-pusat globalisasi’.
Kedua, setiap aktivitas rakyat, juga sepakbola, didekati oleh birokrasi dengan
security approach, pendekatan keamanan. Sepakbola kita, dalam kehidupan rakyat
umum, berjalan hanya sejauh memenuhi konsep tekno-birokratik.
Dengan kata lain sepakbola makin tidak lagi merupakan olahraga rakyat. Di desa
saya anak-nak muda hampir sama sekali berhenti mempergaulkan sepakbola
dengan desa-desa lain karena kesulitan birokratis. Tidak bisa lagi dengan santai
mengundang teman-teman dari desa lain untuk memperebutkan kambing cup,
karena jika terpeleset ke lorong birokrasi bisa membuat kita tiba-tiba dapat gelar
‘merongrong keamanan’.
Apalagi Jombang, daerah saya, dewasa ini tampaknya dianggap bukan lahan bibit
sepakbola yang subur, melainkan tenis. Lapangan tenis dibangun di banyak tempat.
Stadion sepakbola kabupatenpun kini dibagi dua sehingga fungsinya untuk
sepakbola berkurang. “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat”, untuk Jombang, agaknya diaksentuasikan ke cabang tenis – entah ada
hubungannya dengan sukses Yayuk Basuki atau tidak. Kami di desa-desa sedang
menunggu keputusan Pak Bupati untuk mendirikan lapangan tenis di setiap desa.
Tenis, untuk Jombang, sudah dan akan tidak merupakan olahraga mahal: semua
rakyat bisa menikmatinya. Jadi kalau untuk sepakbola, kami dari Jombang mohon
maaf tidak merintis infra-struktur teknokratis untuk menyumbangkan pemain-pemain
nasional yang andal.
Pada tingkat lokal, regional dan apalagi nasional, sungguh kita memerlukan
perundingan menyeluruh tentang rasionalisasi dunia persepakbolaan. Kita butuh
menterjemahkan konteks globalisasi, pengilmiahan, industrialisasi dan
profesionalisasi sepakbola. Kita sudah terlanjur meninggalkan fase ‘sepakbola
kultural’. Kalau tak kita capai fase ‘sepakbola industrial’ secara ilmiah dan mendasar,
mungkin keadaan kita akan seperti ‘melepas ayam di tangan, tak tergapai burung di
angkasa’.****
(selesai)
Adapun kalau sesekali saya menulis di media massa tentang sepakbola, ada
sejumlah sebab. Menulis di koran hanyalah perpanjangan tangan dari obrolan
sehari-hari. Puluhan juta orang mernperbincangkan sepakbola: beda antara saya
dengan mereka hanyalah bahwa obrolan saya terkadang memakai modus ekspresi
yang lain serta dengan daya jangkau yang agak lebih luas. Sebagaimana berpuluh-
puluh juta orang tersebut berhak membicarakan apa saja – dari presiden, Tuhan,
sambal, hingga sepakbola – maka sayapun merasa tidak ada salahnya omong
sepakbola. Negara, menteri-menteri, harga lombok, adalah 'milik' kami yang berhak
kami perbincangkan kapanpun saja.
Sebab yang kedua, teman-teman media massa sukanya minta sih agar terkadang
saya menulis olahraga, terutama kalau pas ada peristiwa-peristiwa olahraga penting.
Saya orangnya amat susah menolak. Permintaan itu terkadang saya penuhi, dengan
persyaratan hendaknya mereka memahami dan mengizinkan bahwa posisi saya
bukanlah sebagai – semacam – kolumnis olahraga. Melainkan sekedar sebagai
seseorang biasa yang kebetulan mencoba menuliskan hal-hal yang sebenarnya
memang merupakan bahan obrolan sehari-hari siapa saja. Termasuk dengan tingkat
– mutu obrolan sehari-hari pula.
***
Akan tetapi di luar itu, mungkin memang ada hal-hal yang agak sedikit lebih penting.
Misalnya, bahwa gejala – sebagaimana segumpal batu, se-uleg-an sambal atau
sebuah revolusi sosial – sepakbola adalah cermin sejarah. Di dalam sepakbola saya
bisa menemukan hampir apa saja yang juga saya temukan di luar lapangan bola,
bahkan di wilayah-wilayah yang lebih serius dibanding sepakbola.
Di dalam sepakbola saya berjumpa dengan gejala sosial. Dengan manusia. Dengan
wataknya. Kualitas kepribadiannya. Kecerdasan atau kedunguan otaknya. Kepekaan
dan spontanitasnya. Refleksi-refleksi dari dunia pendidikan, kebudayaan, keluarga,
nilai-nilai, bahkan juga tercermin akibat-akibat kesekian dari mekanisme politik,
industrialisasi, modernisme, atau apa saja. Lebih dari itu saya bisa yakinkan bahwa
dengan Tuhan, filsafat dan imanpun saya bertegur sapa di dalam sepakbola.
***
Pada suatu hari Anda menyaksikan pertandingan sepakbola nasional kita, atau
pertandingan-pertandingan elite dunia yang bagaikan 'magic’. Lantas barangkali
Anda teringat dahulu kala tatkala Anda bermain sepakbola di kampung: memakai
buah jeruk sebagai bola. Atau kulit luar pohon pisang kering yang Anda bikin sampai
menjadi bulatan bola. Atau bola-bola karet dan plastik biasa yang Anda dapatkan di
Pasar Kecamatan. Sesekali, mungkin bersama Santri-santri dari Pesantren sebelah
Anda mencoba bermain dengan bola api.
Ingatan masa silam Anda itu bukan hanya bermakna sebagai nostalgia yang
romantik. Lebih dari itu, Anda mungkin memperoleh pelajaran tentang mekanisme
transformasi. Transformasi budaya. Transformasi sejarah. Transformasi manusia.
Outline-nya: transformasi budaya manusia dalarn sejarah.
Menjadi pemain sepakbola di tahun 1960an sangat berbeda dengan menjadi pemain
sepakbola tahun 1990an. Menjadi pemain sepakbola di kampung yang bersenang-
senang pada kompetisi 17-an sambil sesekali pukul-pukulan, berbeda dengan ketika
ikut Pelatnas atau berlaga melawan klub-klub sepakbola profesional-industrial.
Menjadi pemain sepakbola dengan kaki telanjang atau saat mulai belajar pakai
sepatu sehingga rasa berlari kita seperti bandit yang kakinya dirantai dan digandholi
beban bulatan besi, berbeda dengan menjadi pemain sepakbola sebagai suatu
pekerjaan dari 'ideologi' modernisme. Menjadi pemain sepakbola nostatgia bersama
para Jago Kapuk alias veteran berbeda dengan tatkala kaki kita siap patah
menyangga misi nasionalisme olahraga, nama baik bangsa atau memperjuangkan
nafkah anak istri melalui tentangan bola.
Anda nyeletuk: "Ya mesti saja! Wak Jan juga tahu kalau itu berbeda!"
Saya memaksudkan perbedaan itu lebih – atau sekurang-kurangnya berbeda –
dengan yang barangkali Anda bayangkan.
Perbedaan pertama mungkin sederhana saja, ialah pada perasaan yang bergolak.
Di kampung, selama main bola hati kita berbunga-bunga menikmati sepakbola as a
fun and enjoyment. Tapi tatkala Anda berdiri di lapangan dan di seberang Anda
adalah Fandy Achmad dari tim nasional Singapura atau apalagi (hiii) Franco Baressi
pendekar AC Milan: gelombang perasaan kita pasti lebih komplit. Bermain tetap
sebagai hiburan dan kenikmatan juga barangkali, tetapi kuda-kuda mental kita harus
lebih dari itu.
Di dalam nasionalisme sepakbola, di dalam profesionalisme sepakbola, di dalam
industrialisme sepakbola: kita haruslah merupakan seorang manusia modern.
Seorang pemain 'sepakbola modern’. Seorang modernis dalam sepakbola. Cara
berpikir kita, sikap mental kita, wawasan dan pengetahuan kita, pola determinasi
budaya kita, setiap kuda-kuda kita, segala sepakterjang kita, haruslah merupakan
endapan atau perasan dari kuda-kuda modernisme.
Bagi kebudayaan sepakbola modern internasional saja antara sepakbola sebagai
kenikmatan (baca: sebagai kesenian, estetika) masih relatif berpolarisasi dengan
sepakbola sebagai 'mesin' profesi (baca: teknologi). Bukankah polarisasi itu pula
yang selama dua dekada terakhir ini menjadi substansi nuansa antara
persepakbolaan Eropa dengan Amerika Latin? Bukankah tim raksasa seperti Brazil
saja selama putaran piala dunia tiga kali berturut-turut masih dihinggapi splits atau
semacam kegamangan antara estetika dengan teknologi sepakbola?
Dalam bahasa populer, polarisasi itu terungkap misalnya lewat perdebatan para
pelatih. Yang satu bilang: "Ini sepakbola manusia, bukan onderdil mesin. Sepakbola
manusia adalah keindahan". Lainnya menyindir: "Indah atau tidak indah itu memang
penting. Tapi yang lebih penting adalah terciptanya gol". Sementara lainnya lagi
berkomentar: "Keindahan dan terciptanya gol sama pentingnya".
Atau dalam bahasa sehari-hari, kita membedakan antara sepakbola tradisional
dengan sepakbola modern dengan istilah sepakbola alamiah yang mengandalkan
naluri dengan sepakbola rasional yang mengandalkan ilmu dan kecerdasan akal.
Bahasa jelasnya: manusia sepakbola di jaman kontemporer ini belum selesai
dengan proses transformasinya. Masih terus berjuang memproses instalasi yang
yang terbaik bagi budaya sepakbolanya. Masih belum menemukan keutuhan antara
'alam'nya dengan 'modernisme'nya. Sejarah sepakbola masih terus bergolak secara
amat dinamis. la masih akan tiba pada inovasi-inovasi, bahkan mungkin juga
invensi.
(bersambung)=====>>>>
Membaca Al-Baqoroh ayat 11, tidaklah tertera di kesadaran kita hipokrisi politik
dewasa ini dengan segala anasir dan variabeinya? Itu siapa tahu barang kali juga
menyangkut sebagian pemimpin Kaum Muslimin sendiri, atau justru kita sendiri yang
sedikit banyak juga memiliki saham di dalam 'dosa bersama' penumbuhan
'kemunafikan struktural' meskipun mungkin kita tidak menyadarinya, seperti yang
disebut oleh ayat 12?
Apa gerangan makna'kesengajaan cobaan' Allah itu, kemudian isyarat bahagia bagi
mereka yang terus setia bersabar, seperti yang diungkapkan oleh ayat 155? Apa
pula arti bimbingan Allah agar kita mengucapkan "Sesungguhnya segala sesuatu
adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya" (ayat 156) apabila kita menerima
musibah-musibah apa pun, tidak hanya 'kematian' ? Dan jika selama ini kita
memakai tradisi mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun" setiap kali ada
ikhwan kita yang meninggal dunia, marilah kita pertanyakan kembali sesuai dengan
konsep Allah kah pengertian kita tentang 'musibah' dan'mati'.
Jangan-jangan apa yang biasanya kita anggap musibah sesunggahnya justru bukan
musibah menurut pengertian Allah yang mestinya wajib kita tiru. Jangan-jangan apa
yang kita takutkan dari kematian bukanlah sesuatu yang selayaknya kita takutkan
berdasarkan konsep Allah. Ayat 216 memperingatkan kita akan hal ini. Mengapa,
dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak 'mendialektikkan' pengalaman-pengalaman
kita dengan rahasia ayat ini. Bahkan di dalam surat lain Allah mengemukakan
bahwa 'keburukan maupun 'kebaikan' yang menimpa kita dariNya, kedua-duanya
adalah cobaan.
1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
BERSARANG
Sebuah tenaga asing bersarang di telapak tangaku
Aku tahu kamu! Alam sedang hamil
Semesta terkatung-katung di lorong buntu
Api zaman menggeliat, menyongsong
hari-hari terakhir pingitannya
1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Perjalanan Dusta
Tujuh Wali Kekasih Tuhan, yang terdiri dari Empat Wali materi dan Tiga Wali
Rohani, memutuskan untuk minggat selama-lamanya dari permukaan bumi
Mereka melarikan diri dengan tujuan hendak langsung menemui Tuhan di
pesanggrahan-Nya, untuk mengadakan semacam unjuk rasa dan melontarkan
sejumlah protes keras
Mereka adalah Wali Penjaga Tanah, Wali Penggembala Api, Wali Pemelihara Air,
Wali Penunggu Logam, Wali Penabur Cahaya, Wali Penegak Akal, serta Wali
Pembersih Nurani
Oleh ketujuh Kekasih Allah itu disepakati tiga alasan pokok yang menyebabkan
mereka minggat
Pertama, di wilayah tugas mereka jumlah dusta alias kebohongan sudah hampir tak
terhingga, sampai tak tertampung kapasitas komputer dengan mega-harddisk
berukuran 1,3 trilyun giga byte
Kedua, para pemimpin dan anggota kelompok-kelompok yang memotori proyek-
proyek ketidakadilan, yang mempercanggih manipulasi-manipulasi atas undang-
undang, yang mensistematisasi birokrasi pemiskinan merasa sangat yakin bahwa
justru merekalah calon-calon utama penghuni surga
Dan ketiga, problem-problem yang ditanam sebagai pohon yang terlalu dalam
akarnya di wilayah itu, sudah tak mungkin ditumbangkan oleh kerjasama Lembaga-
Lembaga Bantuan Perjuangan, oleh Pusat-Pusat Penelitian dan Pengembangan
Keselamatan, oleh Komite Nasional Hak Makhluk Hidup, serta oleh Yayasan-
Yayasan Penunda Hari Kiamat
Juga tak bisa dijamin akan bisa diatasi jikapun mereka dibantu oleh Badan-Badan
Strategi Pengobatan Penyakit Zaman, oleh Forum Impian Nirwana, oleh Front
Pemberantasan Rasa Takut, oleh Organisasi Penyadaran dari Situasi Pingsan
Struktural, oleh Nahdlatul Bingung, maupun oleh Pementasan Aktor-Aktor Pengigau
dan Sinetron-Sinetron Perajut Mimpi
Persoalan-persoalan itu, pada tingkat yang sungguh-sungguh, bahkan sudah tidak
bisa disembuhkan oleh pihak-pihak yang menciptakannya itu sendiri. Bahkan tidak
oleh kekuasaan tak terbatas yang berada di genggaman tangan Bapak Stagnasi
Nasional, meskipun kalau beliau batuk pada suatu pagi, ratusan gunung bisa
terguncang-guncang
Jika diibaratkan, persoalan-persoalan itu bagaikan sebuah kota besar, yang
meskipun teguh beriman namun terlalu riuh rendah dan penuh gemerlap sementara
jalanan-jalanannya selalu macet dan yang bisa dilakukan oleh kumpulan semua
kekuatan sejarah itu paling jauh hanyalah memasang papan-papan pengumuman di
sepanjang jalan dan di setiap perempatan yang berbunyi: "Dilarang Macet!"
Tujuh Walu Tuhan itu pergi secara diam-diam tanpa pamit atau minta izin kepada
saya
Tetapi itu tidak mengagetkan karena saya memang tidak memiliki hak untuk mereka
mintai izin, sebab yang menggaji mereka bukan saya, melainkan Tuhan sendiri
Sedangkan makhluk-makhluk lain yang makan minum dan kesejahteraannya
berasal dari pajak saya saja pun tidak pernah berunding dengan saya ketika
menelurkan setiap keputusan
Malah saya yang diperbolehkan ada hanya kalau memiliki Sertifikat Kelakuan Baik,
yang dirilis oleh kelompok yang tidak dijamin berkelakuan baik
Malah saya yang setiap kali hendak bersin harus terlebih dulu meminta izin, karena
saya adalah warga negeri asing yang harus dihadapi dengan praduga bersalah
Akan tetapi ketika Tujuh Wali itu tiba di gerbang Arasy, malaikat Syakhlatusy-Syams
mencegat mereka dan langsung menuding mereka dengan kata-kata paling purba:
"Kalian tidak akan tiba di pesanggrahan Tuhan, melainkan akan terpeleset ke negeri
setan. Karena siapa pun yang berputus asa mitra politiknya, koalisi kulturalnya serta
mazhab teologisnya adalah setan
Kalian membuntuti jejak Yunus yang meratap dan bingung. Kalian akan kalah dalam
undian dekade-dekade maupun kuis era-era. Kalian akan dipojokkan olehsejarah
untuk terpaksa terjun ke laut, kemudian disongsongdan dijadikan makanan oleh
seekor ikan raksasa abad XXI
Kalian sudah tahu bagaimana cara membuat perut ikan abad XXI itu menjadi panas,
sehingga kalian dimuntahkan kembali dan terdampar di pantai masa depan untuk
memulai sebuah orde yang baru. Tetapi melihat wajah dan sorot mata kalian,
tampaknya kalian sudah sangat kecapekan untuk sanggup bertarung sampai ke
ronde sejarah yang sejauh itu"
Tujuh Wali itu terhenti perjalanannya, tidak mampu menembus tembok telapak
tangan malaikat Syakhlatusy-Syams, karena makhluk pengendali matahari ini
memiliki kekuatan yang tak terkirakan dan belum mampu dihitung oleh seribu
laboratorium ikatan cendekiawan
Yang terjadi kemudian adalah sebuah interogasi dan hampir sebuah perdebatan.
Syakhlatusy-Syams bertanya kepada tujuh Wali Tuhan ini satu per satu, tentang
landasan pemikiran mereka, studi fisibilitasnya, aksi lokal dan wawasan globalnya,
target jangka pendek dan jangka panjangnya, bahkan diselidiki juga berapa milyar
per tahun mereka memperoleh pendanaan dari negeri-negeri tetangga
Wali Penjaga Tanah menjawab: "Telah berlangsung perampokan ganda atas tanah-
tanah di dunia. Terlalu banyak tanah yang dicerabut begitu saja dari tangan para
pemilik tradisionalnya tanpa sopan santun dan tawar menawar yang mencerminkan
bahwa mereka adalah makhluk yang bernama manusia. Tetapi terdapat juga
perampokan yang selama ini tersembunyi: Tuhan hanya memberikan kepada
manusia "hak pakai" bukan "hak milik" atas tanah yang Ia ciptakan ini, tetapi
manusia menciptakan hukum yang tidak masuk akal dan merampk otoritas Tuhan,
dengan menciptakan sertifikat hak milik atas tanah-tanah itu. Padahal terbukti
mereka tidak pernah menciptakan tanah, tidak pernah memproduksi tanah,
melainkan tiba-tiba saja menemukan tanah di bawah kakinya. Manusia adalah
peminjam paksa, manusia adalah fakir miskin yang tak tahu diri, manusia adalah
Columbus-Columbus sakit saraf yang merasa yakin bahwa mereka menemukan
sebuah pulau dan memilikinya, seolah-olah tanah itu nongol
begitu saja dari jidatnya. Manusia adalah raja-raja yang mengkhianati logika
historisitas. Manusia adalah makhluk sakit otak yang mencuri hak Tuhan secara
semena-mena
Untunglah Tuhan bukan pendendam dan cenderung bersikap santai. Sehingga
meskipun tiap saat milik-Nya diklaim oleh makhluk-makhluk-Nya, tetap saja Ia setia
menerbitkan matahari, memelihara fasilitas alam dan mengedarkan rezeki-rezeki
misterius di antara manusia
Akan tetapi, terus terang saja, kesantunan Tuhan yang berlebihan itulah yang aku
tidak mengerti!"
Wali Penegak Akal tiba-tiba saja nyelonong meneruskan laporan WaliPenjaga
Tanah:
"Manusia-manusia itu antre di pom bensin tidak dengan membawa konsep tanggung
jawab bahkan sekadar terhadap setetes minyak bakar. Mereka mengucurkan begitu
saja sebanyak-banyaknya benda cair yang langka itu dalam tangki mobil dan
motornya masing-masing, tanpa laporan pertanggungan jawab kepada produser
bensin apa ia sungguh-sungguh memerlukan bensin sebanyak itu, akan digunakan
untuk ke mana dan untuk apa ia berkendaraan. Seolah-olah mereka pernah punya
ilmu dan teknologi untuk memperoduksi minyak sendiri. Seolah-olah minyak adalah
hasil produksi sejarah mereka
Kemudian mereka bahkan menciptakan kecurangan-kecurangan politik internasional
demi pencurian minyak, menyelenggarakan dusta-dusta sejarah di seantero bumi
yang disusun di kantor polisi dunia demi memonopoli minyak
Akui tidak bisa tahan lagi. Wahai Syakhlatusy-Syams! Aku ingin Tuhan mulai
bersikap agak sedikit radikal! Aku yakin Tuhan bukan anggota Musytasyar dari
sebuah Nahdlah besar yang terlalu sabar karena takut dituduh makar, sehingga
akhirnya jenggotnya sendiri pada terbakar!"
Wali Penggembala Api menyahut dengan suara yang berat besar:
"Aku menyaksikan api dicuri dari rumahnya dan ditaburkan ke pasar-pasar!"
Syakhlatusy-Syams bertanya: "Kau menyalahi asas praduga tak bersalah. Apa
mencipratnya api itu bukan karena tingkat kemarau yang kurang ajar?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Tuan boleh ucapkan itu kepada punggawa-
punggawa lembaga bantuan hukum, tapi jangan kepada murid Ibrahim dan Khidlir.
Apakah Tuan akan menangkap Ibrahim dan memasukkannya ke dalam sel tahanan
dengan tuduhan bahwa ia telah melakukan usaha percobaan pembunuhan atas
Ismail putranya sendiri? Ditambah dakwaan bahwa Ismail membuat berita acara
kerelaan untuk disembelih itu karena paksaan Bapaknya?
Apakah Tuan akan meyeret Khidlir ke pengadilan dengan tuduhan bahwa ia
melakukan tindak kriminal katika mencekik seorang anak di tengah jalan,
membocorkan dinding kapal serta ikut campur terhadap kondisi pagar seseorang di
sebuah kampung?"
Syakhlatus-Syams tersenyum: "Jadi rupanya Khidlirlah backing kalian?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Terserah pasal berapa yang Tuan kenakan
atasku, tetapi terhadap semua ini aku memutuskan untuk angkat tangan dan
menyerah. Kasrena api telah membakar dunia dan peradaban manusia. Kekuasaan
dan politik telah mendayagunakan api di laras-laras senapan untuk menghanguskan
hak-hak masyarakat manusia. Industri dan modal telah memompakan api
konsumtivisme massal sebagai satu-satunya kenyataan hidup di abad ini tanpa
peluang untuk kemungkinan yang lain. Para pejuan yang mengasah kapak-kapak itu
dalam proposal dan praksis perjuangan mereka karena sebagai Ibrahim-Ibrahim
abad XX, mereka tak memiliki kekuatan dan ketahanan untuk melawan bara api
Fir'aun yang siap membakar mereka setiap saat sesudah upaya penghancuran
berhala!"
Syakhlatusy-Syams tertawa kecil: "Kamu terlalu tegang. Belajarlah kepada Tuhan
bagaimana bermain dalam kesungguhan dan bersungguh-sungguh dalam
permainan. Mintalah petunjuk kepada Tuhan bagaimana bersenda gurau yang
serius dalam menggembalakan dunia dan alam semesta"
Wali Penggembala Api memotong: "Justru itu yang kami protes! Manusia terlalu
menganggap serius terhadap dunia ini. Manusia terlalu bersungguh-sungguh
terhadap materi. Sehingga bumi mereka gali sumber dayanya dan diboroskan habis-
habisan. Sehingga hutan-hutan mereka patok dan mereka tebangi. Sehingga tanah
mereka pagari tanpa moral jual beli, dan mereka dirikan gedung-gedung yang tidak
jelas hubungannya dengan kesejahteraan manusia yang hakiki
Manusia terlalu tegang kepada benda-benda dan uang, sehingga mereka
perebutkan dengan segala cara. Mereka menyangka materi adalah jalan menuju
rohani, dan menjelang ajal baru mereka mengerti bahwa mereka sesungguhnya
adalah makhluk rohani. Sekarang kami sudah tidak diperlukan lagi di muka bumi,
karena tidak ada suara yang bisa berguna bagi telinga yang tuli!"
Kemudian berturut-turut terdengar suara Wali Pemelihara Air dan Wali Penunggu
Logam:
"Jangankan suara kami para Wali petugas alam yang hina dina, sedangkan suara
Tuhan sendiri pun sudah jarang didengar oleh hampir semua telinga!
Tuhan bukan lagi subyek utama kehidupan ini. Sejauh-jauh posisi Tuhan hanyalah
pihak keempat: pihak pertama adalah pemilik modal dan kekuasaan, pihak kedua
adalah sumber daya alam, pihak ketiga adalah massa pasar dan Tuhan adalah
pihak keempat yang sesekali disebut untuk tiga macam keperluan. Pertama untuk
legitimasi proyek. Kedua untuk keabsahan keputusan kekuasaan. Dan ketiga untuk
mengeluh bagi mereka-mereka yang kepepet
Kami tidak lagi bermimpi bahwa telinga para penggusur bisa mendengarkan suara
tangis orang-orang yang rumah dan tanahnya digusur, sedangkan deru mesin
buldozer yang sebegitu bergemuruh saja pun tidak sanggup menyentuh gendang
telinga mereka. Mereka hanya mampu mendengarkan suara mereka sendiri di
Karaoke!
Air telah sirna dari sungai-sungai. Yang tinggal adalah kotoran yang bercampur
sedikit air. Kebersihan telah dicerabut dari air, karena proses pembersihan air
adalah pasar-pasar perusahaan yang memaksa harga setetes air lebih mahal
dibanding setetes minyak!
Manusia-manusia yang cerdik pandai itu berlagak tidak tahu bahwa hanya beberapa
puluh tahun ke depan Pulau Madura, Sulawesi Selatan dan Jakartaakan mendapat
giliran pertama untuk tenggelam di bawah permukaan laut!
Para cendekiawan yang mewah itu tidak memberitahukan kepada saudara-
saudaranya berapa tingkat kenaikan suhu udara per tahun, sehingga anak cucu
mereka akan menegakkan dendam sejarah di masa depan
Para kaum terpelajar itutidak melaporkan kepada rakyatnya tingkat penyempitan
pulau Jawa setiap tahun.Juga tidak dikemukakan jaminan bahwa bangsa mereka
pada saatnya akan sanggup membayar hutang yang tanpa kendali!"
"Kami telah memutuskan untuk pergi tanpa pamit dari dunia perjalanan dusta
semacam itu," berkata Wali Penegak Akal yang kemudian disusul oleh Wali Penabur
Cahaya dan Wali Pembersih Nurani:
"Akalku sendiri minta ampun. Aku menyaksikan Rahwana-Rahwana yang berwajah
sepuluh bukan hanya merebut kata-kata yang semestinya diucapkan oleh Rama dan
Hanuman, tetapi bahkan Rahwana-Rahwana itu merasa yakin seyakin-yakinnya
bahwa mereka adalah Rama yang suci, adalah Hanuman yang tulus, adalah
Lesmana yang waskita. Dan mereka membawa keyakinan diri yang tidak masuk
akal itu ke dalam sujud-sujud mereka yang khusyu', bahkan sampai ke tanah suci!
Betapa gampang menghadapi pendusta yang memang pendusta dan mengerti
bahwa ia pendusta. Tetapi betapa mustahil dan ruwetnya melayani pendusta yang
merasa dirinya paling mulia justru di antara orang-orang yang tidak berdusta. Betapa
pening akalku menyaksikan para pendusta melontarkan pertanyaan-pertanyaan
yang seharusnya diucapkan oleh alim ulama"
"Sebagai Wali Penabur Cahaya terus terang aku bingung karena hampir tidak ada
satu kata pun yang terang. Tidak lagi bisa dibedakan antara kata penerangan dan
penggelapan, atau antara keterangan dan kegelapan sehingga para petugas
penerangan sebelum melangkah selalu memohon petunjuk, baik petunjuk teknik
maupun petunjuk pelaksanaan
Akalku sudah terpingsan-pingsan penyaksikan tidak jelasnya perbedaan antara
gelap dengan terang. Karena setiap kali ada mulut yang mengusahakan
pembebasan manusia dari kegelapan, yang diterima oleh mulut itu adalah
pemberedelan, dan pemberedelan itu dilakukan oleh tangan yang merasa sangat
bahwa yang ia lakukan adalah penerangan"
"Sebagai Wali Pembersih Nurani terus terang juga aku merasa sudah tidak punya
lagi tugas dan kewajiban, terutama karena nurani adalah barang rongsokan yang
sudah dibuang, dan seandainya ada yang mengambilnya sebagai barang antik ia
tidak akan lolos untuk didaftarkan ke lembaga pelelangan
Hanya orang dungu yang membayangkan akan bisa menjumpai kata nurani terdaftar
di lembaran-lembaran buku ekonomi, perusahaan, supermarket dan konglomerasi.
Hanya pemimpi yang over-optimistik yang memimpikan bahwa nurani merupakan
asas utama sebuah kekuasaan..."
Tiba-tiba terdengar petir menggelegar. Terompet melengking-lengking. Seluruh
penghuni langit meraung-raung, melolong-lolong. Seribu gunung terbatuk-batuk, air
tujuh samudera meluap, seribu gelombang menggelegak. Tapi sesaat kemudian
mendadak seluruhnya itu seperti tidak pernah terjadi. Alam sunyi. Alam senyap
Tujuh Wali Tuhan itu merasakan tatkala mereka menyadari dirinya, tiba-tiba mereka
sudah terjerembab kembali berada di tempat tugasnya semula. Di hadapan mata
mereka kembali terhampar dunia yang setiap pagi dan setiap menjelang tidur
menggoda mereka untuk berputus asa
Karena gejolak perasaan di dalam dada para Wali itu, rasanya mereka hendak memekik, tapi
kemudian terdengar suara entah suara Jibril atau suara Tuhan sendiri: "hi hi hi ..."
1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Di Bayangan Merapi
Tuhan Pengasuh alam dan manusia
Jika gunung berapi memuntahkan lahar
Engkau mengambil alih muntahan itu
dan kalau Engkau yang melahari kami
pasti Engkau sertakan juga makna yang tak terperi
1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Nasionalisme Burung-burung
Engkau selalu bertanya kepada burung-burung, tanpa engkau sadari bahwa engkau
selalu bertanya kepada burung-burung: "Milik siapakah kalian?"
Dan burung-burung selalu menjawab: "Pemilik kami Tuhan kami, namun Ia
meminjamkan diri kami ini kepada kami, kemudian kami pinjamkan diri kami kepada
kumpulan manusia yang menghuni tanah dan padang-padang di mana kami
beterbangan mencari makan"
Seterusnya engkau bertanya: "Kapan kalian akan mengembalikan diri kalian kepada
Tuhan, dan kapan kumpulan manusia itu akan mengembalikan diri kalian kepada diri
kalian?"
Burung-burung menjawab: "Setiap saat, kapan pun saja, kami siap mengembalikan
diri kami kepada Pemiliknya. Namun kami tak bisa melakukannya, karena manusia
tidak mau mengembalikan diri kami kepada diri kami...."
***
***
Maka aku juga ingin engkau selalu membisikkan ke telingaku apa kata burung-
burung itu, apa kata hutan, pegunungan, angin dan lumpur. Aku ingin engkau
membisikkan ke telingaku dendang hati mereka tentang negeri ini. Aku ingin
mendengar nyanyian-nyanyian itu kembali:
Nasionalisme bukanlah tali ikatan antara satu jenis burung yang membedakan diri
dari jenis-jenis burung yang lain
Nasionalisme adalah persentuhan getaran hatinurani seluruh burung-burung,
seluruh burung-burung
Nasionalisme bukanlah pada wilayah hutan belantara mana burung-burung boleh
hinggap dan beterbangan
Nasionalisme adalah kesepakatan antara semua jenis burung tentang bagaimana
memelihara hutan yang indah dan sehat bagi kehidupan setiap burung, setiap
burung
Nasionalisme bukanlah burung dibikinkan sangkar oleh Tuannya, yang diulur naik ke
puncak tiang di pagi hari, kemudian diturunkan dan dimasukkan kandang di sore hari
nasionalisme adalah burung tanpa sangkar, adalah burung di angkasa bebas, yang
dari kebebasan itu hati dan kesadarannya belajar memahami dan merancang
sangkarnya sendiri
***
***
Burung-burung tak dimiliki oleh Tuan, burung-burung hanya memiliki Tuhan. Sebab
jika Tuan memilikinya, mereka tak boleh memiliki Tuannya, sedang jika mereka
dimiliki Tuhannya, itu berarti Tuhan adalah milik mereka.
Burung-burung sangat mengerti bahwa hak tertinggi yang dimiliki oleh setiap
makhluk hidup adalah memperoleh pinjaman dari Tuhannya sejumlah yang
diperlukannya, adalah makan dan minum sebanyak yang dibutuhkannya
Burung-burung sangat memahami bahwa hanya tatkala lapar ia berhak memetik
makanan dari alam, dan hanya ketika haus ia berhak menimba minum dari alam
Burung-burung sangat bersetia kepada kenyataan betapa Tuhan sangat memiliki
segala sesuatu, namun senantiasa pula ia tak memakainya sendiri melainkan
meminjamkannya
Betapa Tuhan sangat memiliki kesanggupan untuk menggenggam apa pun saja,
untuk merampas apa pun saja, serta untuk mengambil alih apa pun saja, namun ia
tak melakukannya
Sehingga burung-burung selalu sangat merasa heran betapa ada makhluk-Nya yang
tak memiliki namun berlaku sebagai pemilik, yang tak berkewenangan namun
bertindak sebagai penguasa, yang tak berhak namun mengambil apa saja yang
dinafsuinya, yang berkedudukan hanya sebagai hamba namun segala jenis
penghisapan, perbudakan dan penindasan dilakukannya
***
***
1989
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Hati Semesta
Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apa pun tak terwakili:
Ia adalah ia sendiri
1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Kafilah 190 juta
Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala
Astaga!
Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala
1993
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
MEMECAH MENGUTUHKAN
Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan
1997
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
KITA MASUKI PASAR RIBA
Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
***
Kita kembali ke 19 Mei 1998. Jendral Hartono sekilas ikut menemui sembilan orang
itu. Wiranto berwajah sangat tegang. Prabowo mondar-mandir tak menentu -
menurut saya - tapi mungkin san gat tertentu menurut Prabowo sendiri.
Bagi siapapun dan bagi pihak manapun, sipil atau militer - tidak jelas apa yang
mungkin terjadi sesudah pertemuan Pak Harto untuk merundingkan kelengserannya
itu. Apakah akan ada ledakan lagi seperti tanggl 12, 13, 14 dan 15 Mei sebelumnya?
Kekuasaan Pak Harto itu mutlak dan tidak seorangpun manusia Indonesia, termasuk
jendral-jendral, yang waktu itu sanggup memikirkan atau membayangkan bahwa
Indonesia ini akan berlangsung kehidupannya tanpa Pak Harto.
Jadi tema lengsernya Suharto adalah awan gelap, shock sangat berat bagi semua
yang ikut berkuasa. Dan seandainya Anda adalah Panglima Angkatan Bersenjata,
Anda harus berpikir keras untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Bukan hanya
memikirkan, tapi juga saat juga mewujudkan. Negara tidak boleh ada vacuum
kepemimpinan satu detikpun. Lyndon B. Johnson dilantik di pesawat hanya
beberapa menit sesudah John F Kennedy ditembak. Maka apapun yang terjadi
dengan Pak Hartro pagi itu, Anda sebagai senopati kekuatan militer negara - harus
menyiapkan segala sesuatunya untuk memastikan kekuasaan negara tetap
tergenggam di tangan. Atau kalau organisasi militer Anda terpecah menjadi faksi-
faksi, makna semua kelompok itu mau tidak mau pasti juga menyiapkan hal yang
sama meski dalam bentukm yang berbeda.
Bagaimana seandainya berpuluh kamera sudah siap menyorot segala sudut tempat
yang dipakai pertemuan Pak Harto dengan 9 orang serta sekitarnya. Bagaimana
seandainya pandangan seluruh kamera itu dimonitor dari dalam sebuah Tank, yang
misalnya di dalamnya ada seorang perwira komando dan seorang operator yang
memegang remooth sebaran bom-bom yan saya sebut di atas.
Bagaimana seandainya perwira komando itu terus berkoordinasi dengan pimpinan
yang juga ada di Istana untuk siap kapan saja meledakkan bom atau membatalkan
ledakan. Kalau Pak Harto mengalami ketegangan psikologis karena dituntut turun
dari kursi kepresidenannya sehingga beliau gagap atau membisu, kalau lebih dari
dua menit kegagapan atau kebisuan itu berlangsung - dan itu be rarti otoritas puncak
kekuasaan negara menjadi relatif dan bias disambar oleh kekuatan-kekuatan
tertentu - maka remooth harus segera dipencet untuk menjamur-apikan Jakarta
terutama wilayah yang mengelilingi Istana.
Kalau Pak Harto pingsan, tentu remote harus lebih cepat lagi dipencet. Apalagi kalau
Pak Harto sendiri mengindikasikan perintah atau kode untuk meledakkan・
Bagaimana seandainya itu semua benar-benar terjadi? Atau kapan-kapan dibikin
benar-benar terjadi?
Siapa tidak tegang. Jangan-jangan Pak Harto ngamuk dalam pertemuan itu. Cak
Nur dan teman-teman sudah merundingkan dengan Pak Amin Rais dan sepakat Pak
Amin tidak ikut menemui Pak Harto. Sebab Pak Amin hebat dan sering tegas keras,
ibarat macan yang sakti. Kalau macan sakti menemui Pak Harto, dikawatirkan Pak
Harto yang mulai jadi manusia itu malah berubah menjadi macannya macan.
Tapi ternyata pertemuan Pak Harto dengan 9 orang itu tidak ada tegang-tegangnya
sama sekali. Makin lama makin cair, penuh senyum dan akhirnya bahkan penuh
gelak tawa・.Seandainya Anda adalah perwira komando atau operator bom yang
dari dalam monitor tank menyaksikan situasi rileks di istana itu - pasti Anda jengkel
dan sekaligus gembira. Jengkel karena situasi siaga puncak ternyata dihapus oleh
gelak tawa. Gembira karena Jakarta tidak harus menjadi jamur api.
Ah, itu semua hanya seandainya.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa reformasi 1998 itu belum terungkap
secara jujur dan memang tidak ada kecenderungan dari pihak manapun untuk
meneliti secara obyektif fakta-fakta yang sesungguhnya. Bahkan kaum intelektual di
universitas-universitas juga tidak menunjukkan gejala bahwa mereka merasa perlu
meneliti kenyataan sejarah itu.
Dulu Nambi dan Ronggolawe marah dan memisahkan diri dari kekuasaan Raden
Wijaya di Majapahit karena setelah kekuasaan ditegakkan - pelaku perjuangan yang
sesungguhnya justru dikhianati. Demikianlah juga lahirnya Kartosuwiryo atau Kahar
Muzakkar yang naik gunung masuk hutan karena dikhianati - meskipun kita tidak
sepakat pada metoda pemberontakan yang Daeng Kahar dan Kang Karto pilih.
Tapi memang 'manusiawi' kalau pejuang-pejuang sejati disingkirkan oleh teman-
temannya sendiri yang di jaman penjajahan sebenarnya bersikap hipokrit. Maka
reformasi sekarang sebenarnya juga sudah melahirkan Karto dan Kahar・.***
(Emha Ainun Nadjib/2002/PadhangmBulanNetDok)
Bukan Sembarang Presiden
Presiden Reformasi Indonesia bukan sembarang Presiden. Sejak bangkitnya
bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang Presiden terpilih,
jangan dipikir itu sekedar hasil Pilpres satu hari hari, melainkan ujung dari sebuah
proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari tingkat masyarakat RT hingga ke
puncak kursi kenegaraan.
Sejak Reformasi di akhir abad 20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi
dewasa. Maka skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak
warganegara yang berjenis makhluk manusia, sehingga mekanismenya jauh lebih
simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari Malaikat
sampai hewan, tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern
ummat manusia, karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – ibarat Duta Besar
Berkuasa Penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, mandataris
Tuhan di seluruh bumi.
Bahkan Iblis, makhluk sangat ganas dan sakti mandraguna yang bertugas menjadi
antagonis moralnya ummat manusia, semacam ‘sandhi-yudha’ yang memiliki
ketahanan luar biasa dalam tugasnya sebagai partner dialektika kehidupan manusia
– juga tidak melakukan protes apa-apa terhadap demokrasi modern, terutama yang
diselenggarakan di Indonesia.
***
Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya
paling memiliki kedekatan dengan Allah swt. Jumlah Hajinya terbanyak seluruh
dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta’lim, istighotsah, yasinan dan
tahlilan, kursus shalat khusyu, biro pengelolaan kalbu, tafsir-tafsir aplikatif dari surah
dan ayat-ayat quosi emosi dan spirit, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya
yang Iblis ampun-ampun untuk berani menerobosnya.
***
Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid namun dinamis sejak
dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat pembelajaran dialog-
dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin. Aspirasi dari keluarga-
keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan interaksi masyarakat se
Rukun Tetangga. Kemudian fondasi aspirasi itu meningkat dan meluas hingga ke
skala desa atau kelurahan. Demikian seterusnya sampai ke babak ‘semifinal’ dan
‘final’ di panggung puncak kepemimpinan Nasional.
Jadi kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi Presiden, sesungguhnya itu
hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia sudah
‘memiliki’ Presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang Presiden
sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warganegara sebenarnya
sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden dalam peradaban
bangsa Indonesia adalah seseorang yang sudah diuji oleh seluruh dan setiap
rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal sepuluh tahun. Sistem budaya
masyarakat Indonesia sudah memiliki infrastruktur kualitatif dan mekanisme
identifikasi yang berlangsung mendasar, permanen dan dinamis.
***
Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan
Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi Caleg dan gambar wajah-
wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang bukan
hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturalnya, lebih dari itu mereka
sudah diuji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan pengabdiannya,
keterampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya wawasan dan
tingginya keilmuannya.
Kadar keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikan ketat dan
kualitatif oleh sistem sosial masyarakat Indonesia, membuat mustahil muncul
pemimpin-pemimpin yang nyasar dan a-historis. Kepemimpinan nasional dan
perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi dan
mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung jalan, hanya
alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah diproses sangat
matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis parpol juga sangat
memahami hal itu, sehingga mereka sangat bersikap rendah hati dan tidak merasa
dirinya penentu utama kepemimpinan nasional.
***
Presiden Indonesia dan Wakil-wakil Rakyat adalah orang-orang yang memang harus
mereka yang menjadi Presiden dan Wakil-wakil rakyat.
Vox populi vox dei. Demikianlah ‘sabda rakyat’ melalui mekanisme sistem yang
mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun, dari era
ke era, bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan Wakil-wakil rakyat adalah tokoh-
tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri.
Dengan demikian bisa dipastikan merekalah memang yang paling layak
kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannya, paling unggul ilmu dan
wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas wawasannya, paling terampil
kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan direstui oleh semua makhluk-makhluk
Allah non-manusia.
Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak
puluhan abad yang lalu, memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka
yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya. Harus
mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi Tuhan sendiripun tak mungkin
mengganti mereka, karena Ia mengikatkan diri pada kegembiraan dan kebanggaan
menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara
Indonesia.*****
(Emha Ainun Nadjib/Kompas/22 Mei 2009/PadhangmBulanNetDok)
Membaca dan Selimut
Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang diwisuda.
"Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan Barat.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi
kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari anjing kurap.
Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang dipuja orang
melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan."
"Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk
memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya
sendiri," si kakek melanjutkan, "Maka dipandanglah kebudayaan barat itu oleh
mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang kebudayaan barat
itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan."
"Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini," jawab Kiai Sudrun,
"setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang hendak
aku ceritakan kepadamu adalah soal lain."
"Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan kebudayaan barat
seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat dengan setan.
Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu sendirilah yang
dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam."
"Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban iqra', meskipun
kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak ada yang
melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap
kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia
memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk
mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya
mereka memerlukan
perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan
mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung saat itu
juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia untuk mengetahui
yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali lebih lembut dari debu."
"Benar," jawab kakeknya, "kalau saja mereka meletakkan hasil iqra' itu di dalam
kerangka bismi rabbika-lladzi khalaq. Seandainya saja mereka mempersembahkan
ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah.
Seandainya saja ereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam
politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian
kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban."
"Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi kebanyakan dari
mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada
kebudayaan yang semacam itu."
"Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian
cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja, yakni
kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak ada
sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi
memencilkan diri: melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan
kampung-kampung sendiri - di pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan
mereka sendiri. Mereka menjadi bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan
medan untuk menciptakan dunianya sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil,
tetapi sesungguhnya itu masih lebih baik dibandingkan
kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis 'Kalian sok suci!' atau 'Kami tak
mau munafik!' sementara yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah kekufuran
perilaku dan pilihan. Namun demikian tetaplah Allah Mahabesar dan Mahaadil,
karena tetap pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang
mencoba merintis perlawanan di tengah medan perang. Mereka
menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka ber-iqra', membaca
keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesanggupan
mengolah sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba
dengan kesadaran dan ketakjuban Ilahiah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata
kebudayaan yang bersujud kepada Allah."
"Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim," berkata Kiai Sudrun
selanjutnya, "Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya intelektualisme-
transendental atau intelektualisme-religius, meskipun Kaum Muslim sendiri
menyebutnya gerakan intelektual - itu saja - sebab intelektualitas dan intelektualisme
Islam pastilah religius dan transendental."
"Itu iqra' namanya. Gerakan iqra', yang ketiga sesudah yang dilakukan oleh
Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui menjadi sumber
pengembangan kebudayaan barat."
Sang cucu tak memrotes lagi.
"Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah - kata Tuhan - orang-orang yang
berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai
kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.
Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan
tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas
dengan lega."
Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, "Kakek luar biasa!" katanya, "Kakek
memang cerdas luar biasa!"
"Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek tadi malam
dari buku-buku kuliahku."
Acara itu menjadi amat semarak. Namun, pada hari - hari sesudah acara, saudara
kita itu tidak nampak batang hidung maupun ekornya. Orang- orang mencari ke sana
kemari, bahkan sampai ke kandang - kandang kebo, tak ketemu.
Saya sendiri menjadi sangat khawatir. Jangan jangan ia disruduk oleh seekor atau
beberapa ekor kebo, atau setidaknya hidungnya dicocok seperti kebanyakan kebo.
Tak bisa saya berbuat apa - apa atas hilangnya sahabat kita itu. Akhirnya saya
hanya berdoa semoga ia selamat dari kebonyokan- kebonyokan tertentu di
wajahnya, semoga Allah melindunginya dari kebocoran - kebocoran di kepalanya,
serta jangan sampai perut atau anggota - anggota tubuh yg lain menderita
kebolongan kebolongan.
Sebab, 45 tahun yang lalu, Cak Durasim di Jombang, gara - gara berpantun,
"Bekupon omahe doro, melok Nipon urip sengsoro..."-segera mengalami
kebongkoan alias 'dut' alaias 'koid' oleh 'keboanjingan' serdadu Jepang.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan)
Sang Maha Penganugerah
Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku
Di malam dan siang telingaku mendengar desir lembut suara malaikat-Mu
yang mendendangkan nyanyian-Mu yang melezatkan jiwaku
Di siang dan malam mripatku menyaksikan rahmat-Mu
bertaburan dari langit beribu penjuru.
18 Mei 1991
(Emha Ainun Najib/1991/PadhangmBulaNetDok)
Anak-anak yang Diyatimkan
Dzu Walayah lenyap dari rumah kediamannya tanpa seorang pun mengerti ke mana
ia pergi, terkadang bahkan dalam waktu yang lama sekali.
Ia selalu berpamit kepada istrinya dengan kata-kata yang sukar dipahami, "Aku wajib
meluangkan waktu untuk menemui saudara-saudaraku dalam sunyi!"
Orang-orang, karena amat sibuk oleh kerja, uang dan gengsi, tak pernah punya
kesempatan untuk mengenali siapa sebenarnya ia.
Aku membuntuti Dzu Walayah di suatu siang yang amat terik, berjalan menyusuri
jalanan, berpakaian kumuh, tak memakai alas kaki dan wajahnya bagai orang
kesakitan.
Ini adalah zaman modern yang efisien dan efektif di mana setiap orang memusatkan
diri pada pencarian kejayaan dan kemegahan: oleh karena itu terhadap perangai
lelaki itu aku sungguh penasaran.
Di suatu lorong yang sepi tiba-tiba saja ia membalikkan badan dan memergokiku.
Tapi sebelum sempurna kuurus rasa kagetnya, terdengar ia berkata, "Mari, nak,
berjalan saja bersamaku. Kalau dibuntuti, aku selalu merasa seperti seekor binatang
berbuntut."
Hampir aku tertawa oleh kata-katanya, tapi karena aku salah tingkah, spontan
kuikuti saja ia melangkah.
"Aku selalu mencari kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak yatim," katanya
tanpa kuminta.
"Karena dengan begitu anak-anak asuh itu tiap hari disuruh merasa yatim.
Disuruh merasa tak punya orangtua. Padahal tujuan panti asuhan adalah
mengembangkan perasaan aman pada anak-anak itu agar mereka sama dengan
anak-anak lain yang punya orangtua."
Ternyata apa yang terjadi pada lelaki ini adalah sesuatu yang sederhana saja.
"Jadi," kataku, "kalau soalnya hanya demikian saja, untuk apa Anda lara lapa
berjalan kaki, berpakaian kumuh dan berlaku seperti ini?'
"Pertama karena aku ingin memasuki jiwa anak-anak itu. Kedua aku ingin
merasakan keyatiman yang dahsyat: dengan penampilan seperti ini, bahkan anak-
anak yatim pun tak menerimaku. Aku tak sanggup berbuat apa pun untuk
menyantuni atau mengurangi jumlah anak-anak yatim. Oleh karena itu aku
memohon kepada Allah hendaknya diperkenankan setidaknya menemani situasi
jiwa mereka."
"Adapun di dunia yang disebut maju dan modern ini, sebagian pekerjaan penting
dari manusia adalah meyatimkan anak-anak, bahkan anak-anak mereka sendiri.
Orang-orang modern di kota-kota amat sibuk bekerja sehingga anak-anak mereka
teryatimkan. Kapan saja seorang anak tidak memperoleh
perhatian, cinta kasih dan santunan dari orangtuanya, pada jam-jam itu ia menjadi
yatimm. Kalau bapaknya sibuk rapat dan ibunya sibuk arisan, kau bisa hitung sendiri
berapa jam sehari anak itu menjadi yatim piatu. Anak-anak yang diyatimkan oleh
orang-orangtuanya itu lantas mencari orangtua di dunia abstrak, mencari cinta kasih
di tempat-tempat yang mmereka tak tahu bagaimana mencarinya. Mereka menjadi
berandal di jalanan, tidak peka terhadap batas baik buruk, tidak terlatih bagaimana
berlaku baik. Mereka tidak terdidik menghargai sesama manusia, karena bahkan
oleh orangtua mereka sendiri mereka kurang dihargai sebagai manusia. Anak-anak
yatim seperti itu,
yang kalau bertemu denganku selalu merasa jijik, memandang rendah, bahkan
mungkin meludah. Tetapi ketahuilah bahwa tak ada orang yang lebih menanggung
dosa perilaku dan sikap anak-anak itu selain orang-orangtua mereka sendiri."
Telah amat jauh kami berjalan, dan perutku sudah amat terasa kelaparan, tetapi Dzu
Walayah terus menyerbuku dengan pernyataan-pernyataan -
"Adapun engkau pastilah anak yang berpikiran cerdas untuk mengetahui betapa
banyak jenis keyatiman di dunia maju yang gegap gempita ini."
"Jika anak-anak tak memperoleh pendidikan seperti yang Allah memberinya hak dan
kewajiban, yatimlah ia. Jika orangtua terlalu mendikte anaknya dan menjadikan anak
itu hanya sebagai alat dari kemauannya, yatimlah ia. Jika suatu tata perekonomian
memberi kemudahan yang berlebih kepada sebagian orang dan memberi kesulitan
yang berlebih kepada sebagian lainnya, maka yatimlah orang yang disukarkan. Jika
suatu tata politik tak menyediakan ruang bagi anak-anak negerinya untuk
mengembangkan pikiran dan sumbangan jujur bagi kemajuan negerinya, maka
yatimlah pura-putri negeri yang mulutnya dibungkam itu."
"Betapa melimpah anak-anak yatim di sekitarmu, Nak. Jika kau bisa ubah, ubahlah.
Tapi setidaknya berdzikirlah untuk mengingat mereka, seperti yang kulakukan
dengan caraku sendiri ini."
(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)
Nyata dan Tidak Aneh
Kalau Anda menggenggam sebutir telor, dan beberapa puluh detik kemudian telor
itu menjadi matang...
Kalau Anda mengikat roda kereta api, dan tali pengikat itu Anda gigit kemudian roda
itupun terangkat dan Anda ayun-ayunkan...
Kalau ayam Anda dicuri oleh maling, dan Anda nge-sot : "Kalau dalam waktu sehari
semalam ayam tak dikembalikan, si maling akan lumpuh!" -- sehingga ia lumpuh
benar-benar...
Kalau Anda mengisikan jarum, pisau atau keranjang ke dalam perut seseorang yang
Anda benci atau cemburu...
Kalau Anda letakkan telapak tangan dua sentimeter di atas meja dan Anda angkat
meja itu tanpa menyentuhnya...
Kalau anda memangkas nyala api dan membelah air...
Kalau Anda memimpin rapat penting semalam suntuk, dan pada saat yang sama
Anda beredar bersama kelompok siskamling...
Kalau Anda mengucapkan Assalamu'alaikum kepada seekor anjing dan anjing itu
menjawab dengan gerak tubuhnya, atau Anda ,menatap mata harimau sehingga ia
berlari tunggang langgang...
Kalau anda tahu persis siapa tamu yang sejam lagi datang ke rumah Anda dan
mengerti maksud buruk atau baik yang dibawanya...
Kalau Anda mengobrol dengan Ibunda yang bertempat tinggal 300 km dari rumah
domisili Anda...
Kalau Anda menggerakkan pasukan lebah untuk menyerbu musuh yang hendak
memasuki wilayah Anda...
Kalau Anda mengembara semalaman dengan Khidir penggembala utama para wali
Allah yang selalu hidup tersembunyi...
Itu tidak aneh. Itu nyata dan tidak aneh.
Itu wajar dan rasional. Itu lumrah dan ilmiah, meskipun ilmu yang kita ketahui belum
tentu mampu menerangkannya, meskipun pengetahuan yang kita kuasai belum
tentu sanggup membeberkannya.
Manusia itu lebih tinggi kemampuannya dibanding alam. Manusia memiliki rahasia
kemampuanyang mengatasi alam. Apabila hijab rahasia itu terbuka, maka manusia
bukan saja menjadi transendental atau bebas dari kungkungan alam, tapi juga
sekaligus berarti ia menapak ke maqam lebih tinggi yang semestinya memang ia
tempuh.
Manusia bahkan adalah mahluk Allah yang lebih tinggi derajat kemakhlukannya
dibanding para malaikat yang kita kenali sebahai gaib.
Tetapi, kalau kemampuan dan rahasia, difestivalkan, dilombakan: itulah yang aneh.
Apa haknya untuk memamerkan barang yang bukan miliknya? di mana muka
manusia ditaruh dihadapan Tuhannya ketika ia memamerkan dan mantakaurkan
anuugrahNya?
Hanya siswa-siswi Taman Kanak-kanak yang masih pantas untuk pamer gaya dan
suara.
Sesudah bernyanyi, semua teman-teman bertepuk tangan. Tetapi ketika berangkat
dewasa, anak-anak itu belajar tahu bahwa suara itu bukan miliknya. Tak seorang
manusia pun bisa menentukan atau memilih warna suaranya, bentuk tubuhnya,
cakep-tidak wajahnya, dimana ia lahir, menjadi anak siapa atau putra daerah mana.
Allah yagn menentukan dan memilihkan.
Tetapi kita memang tanpa malu-malu, di dunia ini, menjual milik-milik Allah itu untuk
kepentingan pribadi, dengan anggapan seolah-olah diri kita ini seluruhnya adalah
hak milik kita.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Doa Kubangan
Di dalam tasbihnya, para Malaikat Allah senantiasa mendendangkan rasa iba
mereka kepada manusia:
"Ya Allah, jika mereka menjahati sesamanya karena kejahatan, perintahkanlah kami
untuk mencuci jiwa mereka, karena untuk hati jahat kami tidak berani memohonkan
ampunan bagi mereka kepada-Mu. Namun jika mereka mengingkari-Mu karena
kebutaan dan kebodohan, turunkanlah ampunan-Mu yang berupa cambuk yang
membangunkan akal mereka"
"Ya Allah selamatkanlah manusia dari ketidakmengertian mereka atas diri mereka
sendiri serta dari ketidakpahaman pergaulan di antara sesama mereka, sehingga
mereka saling menghisap dan menghardik, memukul serta menginjak satu sama
lain"
Namun seringkali para Malaikat itu tersenyum sendiri dan bergumam:
"Ya Allah, apakah Engkau pernah memberi wewenang kepada sejumlah manusia
untuk berperan sebagai Engkau, sehingga semua manusia lainnya hanya Engkau
perkenankan untuk patuh kepada sejumlah orang itu, tidak Engkau izinkan untuk
bertanya dan Engkau larang untuk membantah?"
1994
(Emha Ainun Nadjib/Doa Mohon Kutukan/Risalah
Gusti/1995/PadhangmbulanNetDok)
YANG DATANG
Yang datang dengan ketulusan akan
bertatapan dengan wajahku yang sejati
1994
(Emha Ainun Nadjib/Doa Mohon Kutukan/Risalah
Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Diposkan oleh Sudismandi 20:42Tidak ada komentar:
Label: yang datang
RABU, 06 MEI 2009
ISLAM KOK NDAK EKSTREM
Yang bahaya dan ditakuti oleh penguasa bumi ini bukan Kaum Muslimin atau
Ummat Islam. Yang kuat dan hebat juga bukan Ummat Islam. Tidak ada yang perlu
ditakuti dari Ummat Islam. Biarpun Israel hanya sekabupaten yang bertetangga
dengan sepropinsi negara-negara Islam, si kabupaten bisa berbuat apa saja.
Jangankan sekedar mengurung Yasser Arafat di dalam metoda Khondaq, jangankan
sekedar mengancam dan mengebom Masjidil Aqsha, sedangkan kalaupun Ka’bah di
Mekah dan Masjid Nabawi diduduki oleh kumpulan pasukan-pasukan penguasa
dunia – akan tidak banyak yang bisa diperbuat oleh Ummat Islam.
Ummat Islam di timur tengah hidup dalam negara-negara suku yang secara
ideologis dan sosiologis menyalahi prinsip universalisme-plural (rahmatan lil’alamin)
yang merupakan inti ajaran Rasulullah Muhammad saaw. Ada kerajaan suku Arab
Saudi, kerajaan suku Yordan, Kuwait, dlsb. Para khotib Jum’at selalu menyatakan
rasa syukur “Kita panjatkan puja dan puji kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad saaw, yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam nur
yang terang benderang…”
Kalimat itu belum selesai, karena di ekornya masih ada anak kalimat “….kemudian
sesudah Muhammad tiada, kita kembali ke dunia jahiliyah….”
Ummat Islam Indonesia yang jumlahnya terbesar di dunia juga terbagi dalam
berbagai suku dengan fanatisme, kebanggaan dan egosentrismenya masing-
masing. Ada suku NU, suku Muhammadiyah, suku darul Arqam, suku PKB dan sub-
sukunya, suku PPP dan sub-sukunya, suku PBB, PK dan banyak lagi. Firman Allah
“syu’ub wa qaba-il” itu bukan hanya bermakna genekologis atau antropologis – tetapi
juga melebar ke berbagai segmentasi sosial yang jumlahnya tak terbilang. Bahkan di
dalam suku-suku Ummat Islam terdapat pula sub-suku Yahudi, Nasrani, Sekuler,
Kebatinan dan macam-macam lagi – sekurang-kurangnya dalam cara pandang dan
pola sikap kesejarahannya.
Sungguh mengasyikkan isi dunia ini, dan Ummat Islam di muka bumi seluruhnya
atau khusus di Indonesia, dengan modal dasar kebanggaan suku – tidaklah akan
mampu berbuat banyak kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Jika kekuatan di
luar mereka memusuhinya, Ummat Islam akan kalah, dan jika kekuatan di luar
dirinya itu bersahabat dengannya – Ummat Islam akan lebih kalah lagi.
Dan kalau terhadap persepsi saya ini Ummat Islam marah, maka menjadi terbukti
bahwa ternyata keadaan mental dan budaya Ummat Islam jauh lebih parah
disbanding yang tergambar dalam uraian ini.
***
Yang ditakuti oleh dunia, sekali lagi, bukanlah Ummat Islam, melainkan kebenaran
nilai-nilai Islam. Oleh karena itu nanti zaman demi zaman akan berlalu, dan jika
Ummat Islam dimusuhi, lantas mereka ada yang melawan, ada yang tidak melawan
dan bahkan banyak yang justru menjadi alat untuk memusuhi Islam sendiri
meskipun si alat ini naik haji 19 kali dan dikenal sebagai tokoh Islam – maka para
penguasa dunia itu tidak akan bisa dikalahkan oleh Ummat Islam, melainkan akan
dieliminir dan ditaklukkan secara ridho oleh nilai-nilai Islam sendiri yang tumbuh
diam-diam dari dalam diri mereka sendiri.
Anda tidak perlu percaya pada kata-kata saya ini tetapi juga sebaiknya tak usah
tidak percaya, daripada kelak Anda mundur isin untuk mengakuinya. Sebagaimana
kepada sorga dan neraka Anda tidak saya tuntut untuk percaya, tetapi sebaiknya
juga tak usah repot-repot tak percaya – supaya kelak kalau ada sorga beneran Anda
tidak malu-malu kucing untuk mendaftar masuk ke dalamnya.
Sekarang para penguasa dunia silahkan berbuat semaunya kepada Ummat Islam.
Ummat Islam bisa dibunuh, ditembaki, dimusnahkan dengan tidak terlalu sukar
karena dari segala segi maintenance peperangan, Ummat Islam kalah mutlak.
Tetapi yang tak bisa diapa-apakan adalah nilai Islam. Sebab kandungan nilai Islam
tidak bisa ditembak atau dibom. Nilai Islam terletak di lubuk hati setiap orang yang
memusuhinya.
Jadi kalau, umpamanya, Anda ingin menangkap saya, memenjarakan saya,
membunuh saya, memberangus pekerjaan sosial saya, mengucilkan saya,
menghancurkan eksistensi saya, membuang saya, membakar nama saya,
menginjak-injak harga diri saya, menendang kepala saya, bahkan melabuh abu
bakaran mayat saya di pantai selatan – sedikitpun Anda tidak akan mendapatkan
kesulitan. Sebab saya sangat lemah. Tetapi yang tidak akan terbunuh adalah
keyakinan yang saya jalani, sebab keyakinan itu juga berdomisili di dalam diri Anda
sendiri.
***
Nilai Islam sangat ditakuti eksistensinya oleh para penguasa dunia, tetapi Ummat
Islam atau Kaum Muslimin amat diperlukan oleh mereka.
Para penguasa dunia sangat membutuhkan Ummat Islam, tidak akan membiarkan
Ummat Islam kelaparan, tidak membiarkan Ummat Islam kehilangan tokoh serta
penampilan formalnya. NU, Muhammadiyah, MUI atau apa saja, harus terus ada,
jangan sampai tidak ada.
Kalau Ummat Islam sampai mengalami busung lapar dan musnah, itu akan
merugikan para penguasa dunia, karena dengan demikian mereka tidak punya
partner untuk menjalankan dialektika kekuasaan. Ummat Islam harus tetap eksis di
muka bumi, sebab penguasa dunia membutuhkan budak dan orang-orang jajahan.
Budak jangan sampai ndak makan dan loyo, sebab kalau loyo ndak bisa diperintah-
perintah. Kalau kelaparan tidak enak ditempelengi.
Ummat Islam dibutuhkan keberadaannya oleh penguasa dunia, dan manfaat
keberadaan Ummat Islam adalah untuk proses penghancuran dan pelenyapan nilai-
nilai Islam itu sendiri. Ummat Islam dipelihara, digurui, diajari, dididik untuk memiliki
cara berpikir, cara bersikap dan cara hidup yang menghancurkan nilai-nilai Islam.
Dan itu gampang dilaksanakan: kiai-kiai, ulama-ulama, cendekiawan muslim,
mahasiswa islam, jurnalis, budayawan seniman, warga ormas keislaman, anak-anak
muda Islam dll – sangat gampang digiring menjadi pegawai penghancur nilai-nilai
Islam.
Ummat Islam harus dipelihara keberadaannya, sebab mereka yang sangat effektif
untuk mempermalukan nilai-nilai Islam. Kalau ada kelompok Muslimin yang
membangun kesejukan, kebersamaan, demokratisasi, egaliterisasi, defeodalisasi,
menegakkan cinta kasih social – jangan diberi ruang di pemberitaan media massa
dan peta opinion making – sebab mereka ini kontra-produktif untuk proses
mempermalukan nilai-nilai Islam.
Yang dibutuhkan oleh penguasa dunia adalah Muslim Ekstrem, radikal, ngamukan,
berkepala batu, bodoh, terbelakang, suka mengancam, hobi mengasah pedang.
Rumus baku di kampus, media massa dan internet adalah “Islam harus ekstrem”.
Mosok Islam ndak ekstrem. Islam ekstrem adalah Islam ideal bagi para penguasa
dunia, sebab memang itulah senjata bumerang paling ampuh untuk mengeliminir
ketakutan mereka terhadap kebenaran nilai Islam.
Untuk menciptakan muslim ekstrem, maka harus dilaksanakan sejumlah kecurangan
opini dan ketidakadilan di bidang-bidang politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan.
Kalau orang disakiti terus menerus, pasti lama-lama ia akan menjadi keras dan
gampang dipancing untuk mengamuk.
Di setiap segmen social, di tempat kerja, di lingkungan birokrasi, di kampus, di
kampung dan di manapun saja – harus terus menerus diciptakan pencitraan bahwa
orang Islam itu suka menindas. Orang Islam itu mayoritas yang kejam. Meskipun
kalangan Islam yang ditindas tapi opini yang dibangun harus sebaliknya.
Kalau ternyata dipancing-pancing dan dijelek-jelekkan kok orang-orang Islam itu
masih saja bersabar, bersikap lembut dan merangkulkan kemesraan pluralisme –
maka harus pada momentum-momentum yang berkala dan berirama harus
diciptakan skenario seakan-akan ada tokoh ekstremis teroris – umpamanya Abu
Bakar Baasyir -- yang diupayakan untuk dihardik terus menerus di media massa,
dicari-carikan pasal untuk menangkap dan menghukumnya.*****
(Emha Ainun Nadjib/Jawa Pos/2002/PadhangmBulanNetDok)
Serasa Alloh
karena mandul
diri serasa rasul
karena lemah
diri serasa allah
1986
(Emha Ainun Nadjib/"Cahaya Maha Cahaya"/Pustaka
Firdaus/1996/PadhangmBulanNetDok)
BENAR SENDIRI
Ada tiga model kebenaran yang bisa kita temukan. Pertama, model kebenaran yang
dipakai sendiri: benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, kebenaran yang diakui
banyak orang (benere wong akeh), dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).
Benarnya sendiri ini berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung,
di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang
lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal
juga berlaku pada monarkisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan firaun-firaun besar dalam skala negara dan dunia, serta
memproduk firaun-firaun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi,
bahkan di warung dan gardu.
Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi di kalangan yang yakin
bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan pandangan benarnya sendiri. Para
pelaku demokrasi banyak menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya
sendiri tentang arti demokrasi itu. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini
sebagai seorang demokrat sejati, ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di
forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan
--ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf."
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNet)
Manusia dan Pemimpin Sepertiga
Dimensi ketercerahan jiwa manusia yang dimaksud oleh la yamassuhu illal
muthahharun itu, kita misalkan ada tiga.
Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental.
Ketiga ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat,
yakni ketercerahan moral.
Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang
memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya
sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah
kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan.
Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa mandul, ternyata karena kecerahan
intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental.
Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan
memiliki keberanian kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau
dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat apa-apa
untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu elementer
untuk meladeni kompleksitas keadaan.
Langkahnya keliru-keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah
tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis - justru karena
terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu.
Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam
dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa.
Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran
pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas
ibadatnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan
sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di
gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk
memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan
kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya.
Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
Masing-masing dari yang saya uraikan di atas itulah manusia-sepertiga atau
pemimpin-sepertiga. Cerah intelektual thok, cerah mental doang, cerah spiritual
melulu. Bangsa kita memerlukan manusia pemimpin yang tidak sepertiga, tetapi
utuh satu, meskipun mungkin saja kita harus melewati 'arisan kepemimpinan
nasional', melewati satu dua pemimpin sepertiga lagi, yang harus dituruti karena
masyarakat kita sedang shakao, dengan tagihan jenis narkoba kelompoknya
masing-masing.
Manusia-Data, Pemimpin-Data
Manusia belum tentu konstan berlaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum
tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi perhubungan sosial tertentu,
pada peristiwa tertentu-- berlaku sebagai monster, kanibal, hewan, setan atau iblis.
Pemimpin belum tentu pemimpin, ia bisa seorang pemberang yang culas. Tokoh
belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh napsu. Panutan
belum tentu panutan, ia bisa juga menjadi seorang penunggang dan kita kudanya.
Di dalam budaya Islam, bahkan orang yang menguasai ilmu agama Islam belum
tentu seorang Muslim. Orang yang pintar mengaji belum tentu berkelakuan baik.
Orang yang sedikit-sedikit beristighatsah dan bershalawat belum tentu gerakannya
itu ada kaitan murni dan substansial dengan makna istighatsah dan shalawat. Orang
pakai peci, surban, jilbab dan tasbih, belum tentu orang yang salih.
Ada yang namanya Islam-data. Khasanah ilmu dan wacana pengetahuan Islam
dimasukkan ke dalam 'hard-disk' di otak seseorang sebagai directories of data.
Seluruh isi Al-Qur'an, dengan software program yang sederhana, tidak memerlukan
lebih dari 1-MB. Atau katakanlah bahwa seluruh ilmu dan pengetahuan yang
menyangkut Islam - dari kandungan teologi, filosofi, ushulul-fiqh dan fiqh, semua
hasil ijtihad dan apa saja --hanya memerlukan tidak lebih dari, sebutlah, 1 Giga-Byte.
Seluruh data Islam di dalam diri seseorang bisa tersimpan begitu saja, dan tidak
pasti loading pada operasional hati, batin, psikologi, kepribadian dan perilaku
sosialnya. Singkat kata, orang yang sudah membaca syahadat belum tentu sudah
'bersyahadat'. Orang yang sudah mengucapkan sesuatu, tidak dijamin sudah
melakukannya.
Apalagi 'wajah' seorang tokoh bisa kita masukkan ke PhotoShop atau CorelPaint,
kita manipulir melalui berbagai macam menu yang tersedia, maka nanti - melalui
lalulintas pengolahan di RGV, Indexed Colour, CMYK, kita ciptakan layers, di mana
wajahnya yang cacat bisa kita hapus, teksture-nya yang kasar bisa kita perhalus,
ketersentuhannya dengan gambar kiri kanan yang 'tidak kondusif' bisa kita cropping.
Kita bisa bikin image scenario dengan blur, distort, pengubahan pixel dsb.
Lantas kita print-out dan kita sebar ke masyarakat luas dan membuat khalayak
terkagum-kagum.
Kalau yang kita sosialisasikan sekedar gambar, masih bisa diinvestigasi: apakah
yang memangku dan dipangku itu orisinal ataukah animasi komputer. Tetapi kalau
gambar yang kita maksud adalah citra sosial, dan software programnya adalah
media opinion making, yang perekayasaannya canggih sedemikian rupa --maka
duaratus juta rakyat suatu negeri bisa puluhan tahun tertipu olehnya.
Kemudian kita ribut dan bunuh-bunuhan. Dan tetap memelihara kebodohan untuk
tidak belajar dari kebodohan.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)
JUARA ITU TAK ADA
Sesungguhnya yang disebut juara, atau eksistensi sebuah kemenangan -- itu
hakekatnya tidak berlaku begitu sebuah pertandingan berakhir dan tanda kejuaraan
disematkan kepada sang juara.
Sebuah tim olah raga atau seorang atlet memenangkan pertarungan melawan tim
lainnya sehingga sesudah pertandingan ia dijunjung sebagai juara. Kalau sesusah
penobatan gelar juara diselenggarakan lagi pertandingan antara kedua tim itu, maka
tidak seorangpun bisa memastikan bahwa sang juara akan pasti menang lagi.
Di Manila tahun 1974 Joe Fraizer tidak sanggup bangkit dari kursinya untuk
memasuki ronde ke-15 pertarungannya melawan Muhammad Ali, sehingga petinju
Philadelphia ini dinyatakan kalah TKO dari Ali.
Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa Muhammad Ali memiliki siasat dan
kecerdasan yang Frazier tak punya. Keduanya sudah bertarung habis-habisan
selama 14 ronde. Besoknya Frazier memuji – “Saya sudah timpakan kepada Ali
ratusan pukulan saya yang biasanya merobohkan dinding, tetapi Ali tetap tegak…” –
sehingga secara fisik maupun mental Frazier tidak lagi sanggup berdiri pada ronde
ke-15.
Tetapi Ali masih punya sisa ruang berpikir. Secara fisik ia juga sudah lungkrah,
bahkan mungkin lebih kecapekan dibanding Frazier. Tapi Ali punya kenakalan
intelektual sehingga ia berkata kepada Tuhan : “Wahai Tuhan, tolong pinjamkan
kepadaku sedikit saja tenaga yang Engkau jatahkan kepadaku untuk besok pagi,
supaya aku bisa tampil di ronde terakhir ini dan besok aku tidur sepanjang hari…”
Maka ketika bel ronde ke-15 berdentang, Ali menggagah-gagahkan diri untuk berdiri
dan berlagak seakan-akan ia fit dan siap berkelahi lagi – sementara Frazier terduduk
lunglai dan tidak sanggup berdiri. Ali menang, tapi sesuai dengan janjinya pinjam
tenaga kepada Allah – maka sesudah duel itu Ali terbaring di rumah sakit,
sementara Frazier nyanyi-nyanyi dan berjoget di diskotek.
Jadi, kemenangan Ali itu relatif. Kalau sepuluh menit sesudah kemenangan Ali itu
mereka diduelkan lagi, belum tentu Ali bisa menang. Kalau di piala dunia empat
tahun lalu sepuluh menit sesudah Perancis menjadi juara lantas mereka
dipertandingkan lagi, maka tak ada jaminan bahwa Perancis akan menang.
Lebih tidak bisa dijamin lagi jika waktu kemudian berlalu ke bulan dan tahun.
Kemarin Anda menyaksikan meskipun Zidan dipaksakan main padahal masih belum
OK benar keadaannya – terbukti kesebelasan Perancis hanya mampu tampil di
ronde awal dan itupun secara sangat memalukan.
Jadi, sesungguhnya juara itu tidak ada.
Coa Anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau kesebelasan produser total football
Belanda tidak bisa ikut piala dunia sementara Arab Saudi saja bisa masuk meskipun
dihajar Jerman dengan gol seperti pertandingan sepakbola kampung. Terus
kesebelasan Italia? Betapa tidak konsistennya kekuatan dan kekuasan dalam
kehidupan manusia di muka bumi ini.
Maka ketika kaya, sadarilah miskinmu. Tatkala menang, sadarilah kalahmu. Di
waktu jaya, renungilah keterpurukanmu. Pada saat engkau hebat, ingat-ingatlah
kemungkinan konyolmu….***
(Emha Ainun Nadjib/Jawa Pos/2002/PadhangmBulanNetDok)
KRITERIA KEPEMIMPINAN
Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-
kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta
keberanian mental.
Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung
kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang
stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati
dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan
hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika
pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan,
maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.
Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau
orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk.
Berpikir sederhana saja. Misalnya. syarat menjadi suami. Pertama, harus manusia.
Kedua, harus laki-laki. Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.
Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas
banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia.
Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain.
Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa
kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat
menjadi suami itu harus manusia?
Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia.
Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya,
gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal
semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku
kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi
perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?
Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada
cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya
pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural
animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan,
informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.
Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak
suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme
politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang
ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh
bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung
parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.
Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap
dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau
perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh
wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud
pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian
kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.
(EMHA Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)
MENANGIS
Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan
oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnengajak para
santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat
"iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak
berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah
Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..."
Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk
ke lantai atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", berkata
Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun
harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik
beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di
mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'.
"Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut parasantri.
"Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan".
"Belum jelas benar bagiku, Abah".
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan
kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti
ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas
mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin
masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami
menyembah, na'budu".
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita
sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat
na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah.
Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam
menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang
kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan
pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan
perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah
hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita
dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus
mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di
dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak
berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara
terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali
dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah,
padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan,
kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah".
"Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-
perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke
pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah,
temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah
kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah
seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena
keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!
“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai
sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau
para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan
mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”
Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering
dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah
bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak
yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang
saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan
perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.
“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”,
penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang
keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor
tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.
Kupikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Namun juga berangkat dari
sangka buruk. Adakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang
dimiliki penyair membuatnya tak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring atau
mengendapkan?
“Dengarlah”, ia mendongak lebih tinggi, “Kalau para kaum terpelajar mulai belajar
mengerjakan kejahatan-kejahatan yang wantah, adakah engkau menyangka Tuhan
memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari tata
hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?
Dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.
Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap juga
samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung
tidaklah mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyaput hari-harimu
sebagai hantu yang tanpa asal-usul?”
“Kalau anakmu berangkat sekolah di pagi hari, mulutnya menganga untuk disuapi
pengetahuan tentang kepandaian dan kemenangan, bukan kebijakan dan
kebersamaan.
Anak-anakmu diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain
yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup.
Anak-anakmu diajari untuk terampil memanjat melewati pundak teman-teman
bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang perjalanan
hidupnya tercengkal.
Meninggalkan mereka semua yang mandeg di masa silam.
Pergi berlari, meniti daerah impian, menapaki tangga-tangga kehidupan yang lebih
tinggi dan menjanjikan kemewahan.
“Anak-anakmu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali kepentingan diri sendiri.
Tangan dan kaki anak-anakmu dilatih tidak untuk apa-apa kecuali untuk beringas
memompa perut dan gengsinya sendiri.
Naluri anak-anak dididik untuk menindak dan memakan orang lain untuk cita-cita
pribadi. Anak-anakmu dipacu untuk berpikir sebagai ego, di mana segala sesuatu di
luar itu hanyalah amat bagi ego-ego.
“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan?
Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan
akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak
sebatang pohon, mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik
untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk
menguasai dan duduk di singgasana”
1988.
(Emha Ainun Nadjib/"Sesobek Buku Harian Indonesia"/1993/Bentang Intervisi
Utama/PadhangmBulanNetDok)
DILARANG MACET!
Nyenyak sekali tidur si calon Presiden kita itu. Markesot tersenyum-senyum sambil
duduk menjagainya.
"Teruskan saja omong-omong kalian tadi", katanya.
Tetapi ndak bisa. Sudah terlanjur terpotong. Dan lagi mereka takut kalau si tamu
nanti jadi terbangun oleh suara mereka. Sehingga akhirnya Markesot sendiri yang
meneruskan omong. "Saya kebetulan tahu siapa dia", katanya.
"Orang gila dari mana?", tanya Markenyut.
"Bukan orang gila. Dia orang baik. Hatinya lembut. Selalu memikirkan keadaan
masyarakat. Hatinya suka menangis menyaksikan orang yang menderita. Oleh
karena itu tiap saat ia merasa dituntut untuk mengubah keadaan. Dan akhirnya dia
mengambil kesimpulan bahwa cara yang paling praktis untuk mengubah keadaan
adalah kalau dia menjadi Presiden..."
"Lho kok enak?", celonong Markembloh.
"Lho, jadi presiden kok enak gimana! ", jawab Markesot.
"Ya enak dong!"
"Enak dengkulmu! Jadi presiden itu susah. Ndak bisa hidup mbambung seperti kita.
Mau tidur mlungker di trotoar depan toko seperti kita, ya mana mungkin. Dan lagi
tanggungjawabnya terlalu besar, kalau salah sedikit saja dosanya bisa tak
tertanggungkan. Lha wong mempertanggungjawabkan kepemimpinan atas diri
sendiri saja susahnya kayak gini... Kalian merasakan sendiri betapa susahnya
memimpin kepala, memimpin tangan, kaki, perut, syahwat...lha wong rambut saja
sudah dipangkas-pangkas terus masih tidak kapok-kapok untuk tumbuh dan tumbuh
lagl...”
"Tapi terus gimana cerita tentang Calpres Sunardi ini! ", desak Markedet.
"Ya pokoknya dia berkeinginan serius jadi presiden. Tujuannya untuk memperbaiki
keadaan, menolong orang melarat, membela penduduk yang disalahi, pokoknya
untuk mengerjakan segala sesuatu yang baik. Niat orang ini sangat murni. Tapi
sayang sekali tidak diimbangi oleh pemahaman yang mencukupi tentang keadaan.
Dia kan tahunya Presiden itu tertinggi pangkatnya, jadi dia yang paling pegang
segala komando. Pokoknya kalau presiden bilang merah ya merah, biru ya biru. Dia
tidak cukup waktu barangkali untuk mempelajari bahwa kehidupan ini tidak
sederhana. Bahwa ada peta nilai yang ruwet. Ada konstelasi warna dan aliran. Ada
pergulatan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang tampak maupun yang
siluman. Sebuah masyarakat, sebuah negara dan pergulatan-pergulatannya tidak
sama dengan angon bebek di mana seorang penggembala cukup membutuhkan
satu tongkat. Kesimpulannya, tamu kita ini terlalu simplifikatif dan pragmatis dalam
melihat persoalan. Saya termasuk orang yang
tidak setuju kalau dia ini jadi Presiden..."
"Lho, kenapa?", tanya Markenyut.
"Karena caranya mengatasi keadaan, aneh..." "Aneh gimana?"
"Misalnya kalau lalulintas di Jakarta sangat macet di semakin banyak area, maka dia
tinggal pasang papan pengumuman di setiap perempatan jalan yang bunyinya:
'Dilarang Macet!' Tertanda : Su...Presiden RI..."
"Apa ya setolol itu?"
"Mungkin tidak, tapi memang dia ini membayangkan bahwa segala sesuatu dalam
kehidupan bangsa dan negara ini berlangsung hanya dalam mekanisme
instruksional. Maka dia …..
(Emha Ainun Nadjib/"Markesot Bertutur"/PadhangmBulanNetDok)
Slamet Pusarbumi
Siapakah orang Jawa pertama yang mendarat di bulan?
Slamet.
Lho?!
Iya. Bahkan Edwin Aldrin disebut belakangan dan Michell Collin tak seberuntung
Slamet.
Dengarkan berita itu kembali dengan seksama:
"Niels Armstrong telah mendarat di bulan dengan Selamat..."
Tentulah ucapan bahasa Indonesia yang baik dan benar menyebut Slamet dengan
selamat.
Makanya, aja dumeh. Jangan pernah remehkan kami orang Jawa. Bahkan, dulu,
Nabi Nuh itu aslinya orang Jawa. Kalau tidak, bagaimana mungkin beliau bisa bikin
perahu raksasa. Di Timur Tengah hanya ada padang pasir dan kegersangan.
Kemudian dari banjir bandang itu bangsa Jawa belajar bijak dan mengerti segala
filsafat hidup yang baik. Maka Muhammad saw. diturunkan di Arab -- tempat
kumpulan manusia paling berangasan.
Kami bisa kaya tanpa harta. Kami bisa mangan tanpa sega. Puasa tanpa puasa.
Beramal tanpa amal....
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/Padhang-mBulanNetDok)
Berdzikir Hamba-Ku, Berdzikir!
Kalian berdzikir "Subhanallah"
Maha Suci Allah, Maha Suci Allah
Apa benar kalian mensucikan Aku?
Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku?
Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan dan kemajuan bangsa kalian -
mensucikan Aku?
Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu di negeri penyembah berhala yang kalian
bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?
Yang disebut `titik pusat' itu mengejawantahkan dirinya mungkin pada ekspresi
verbal seni religius, atau tahap-tahap ketuhanan seperti seni dengan komitmen
sosial. Gejala itu muncul dalam sastra, teater, seni rupa, bahkan juga tari dan musik.
Para pekerja seni itu seolah-olah menjalani proses pencarian akan Tuhan: semula
mereka sangka Ia adalah sebuah materi. Tuhan yang nun jauh di sana, baru
kemudian mereka mengembalikan diri ke `titik pusat' tempat persemayamannya.
Gejala pengembaraan semacam ini juga paralel dengan apa yang dialami oleh
peradaban masyarakat modern di Eropa Barat atau Amerika. Tanaman di kamar
Anda mengarahkan tubuhnya ke jendela di mana cahaya matahari masuk.
Maksud yang pertama ialah dimilikinya suatu pola perilaku budaya oleh masyarakat
kita, yang memungkinkan mereka memiliki ketahanan daya hidup dan `kebal''
terhadap berbagai kondisi. Yang kedua, sudah kita ketahui bersama, banyak sekali
faktor-faktor kultural yang menjadi kendala kemajuan dalam birokrasi negara,
profesionalisme, komunikasi, pengorganisasian masalah, pembinaan olah raga serta
pengamalan ajaran agama.
Karena problem yang muncul pada setiap inisiatif perubahan ialah bagaimana
dimensi-dimensi kebudayaan tertentu yang hendak `diberantas' demi `kemajuan',
tidak `disembuhkan' dengan sekaligus melenyapkan fungsinya sebagai perangkat
pertahanan, sebagai penumbuh daya survive-betapapun ia mungkin naif seperti
yang selama ini kita mengerti dari etos pasrah, nrimo dan seterusnya.
Kemudian saya melihat fungsi pertahanan di atas dimungkinkan oleh suatu sikap
budaya yang memakai pandangan bersahaja terhadap kesejahteraan, kebahagiaan
atau kemakmuran-yang merupakan indikator dari `titik pusat'. Masyarakat
`tradisional' kita menempuh jalan praktis yang menerobos secara lebih langsung ke
`titik pusat'.
Berbeda dengan sikap budaya dunia modern yang lebih cenderung mementingkan
keindahan `permukaan bumi', yang membeli kesejahteraan, kebahagiaan dan
kemakmuran dengan harga ekonomi yang jauh lebih mahal. Kebudayaan modern
bahkan dengan sadar menyelenggarakan `perceraian' dengan orientasi `titik pusat'.
Oleh karena itu sikap budaya tradisi yang lebih `telanjang titik pusat' merupakan
penghambat bagi dinamika kesibukan `permukaan bumi'. Dan karena kebudayaan
modern merupakan pemimpin dan penguasa zaman, maka sikap budaya tradisi
`dipaksa' untuk menanggalkan beberapa pokok sikap budayanya sambil belajar
mengintegrasikan diri ke dalam cara-cara kontemporer untuk mengolah
kesejahteraan dan mendatangi `titik pusat'. Seseorang tak bisa lagi bernikmat-
nikmat dalam situasi kebudayaan santai, yang selama ini ia hidupi baik dengan
alasan kelayakan ekonomi maupun tidak. Kini, untuk leha-leha, ia musti menjadi
seorang yang produktif, merambahi karir sampai jenjang
tertentu-baru memperoleh keabsahan ekonomis dan sosial budaya untuk berleha-
leha.
Tetapi saya tidak melihat bahwa kedua sikap budaya tersebut sedang bertentangan.
Kalau mereka bertentangan, dan kita berpihak kepada yang `modern' saja, kita akan
tak memperoleh pokok-pokok sikap budaya `tradisi' yang mustinya
ditransformasikan: kita bisa kehilangan masa silam tanpa mendapatkan masa
depan. Namun kalau kita juga hanya berpihak kepada yang `tradisi', itu tak lain
adalah konservatisme yang lambat atau cepat akan terlindas.
Maka jalan yang paling rasional dari seluruh kenyataan dan kemungkinan di atas
adalah bagaimana kita memproses modifikasi dengan modifikasi kebudayaan dalam
standar kualitas yang memadai. Proses kebudayaan juga selalu merupakan irama
kontinyuitas: segala yang a-historis akan lenyap dengan sendirinya. Modifikasi dan
kontinyuitas itu merupakan keniscayaan sejarah yang semestinya kita terima dan
selenggrakan tanpa kompleks-kompleks.
Dan kalau kita kembali kepada awal tulisan ini kita bisa berkata: kenapa musti kita
ciptakan Nyai Rara Kidul kalau bisa kita temukan samudera ilmu, kebenaran dan
kebijakan dari `titik pusat' yang toh makin kita kenali gejala-gejalanya? Kenapa kita
musti korupsi-kultural dengan men-Tera-kan Waitangkung?
Padahal tak ada dosa apapun dan tak ada kehilangan apapun. Kecuali kita kini
masih seorang `purba' yang melarang anak-anak kita bermain sepak bola hanya
karena permainan itu `milik' Belanda....
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Identitas Adalah Klenik yang Sangat Temporer(ii)
Akar, Kontinyuitas, Modifikasi
Sudah tentu bisa kita bilang kita punya pecel dan rendang sementara orang Taiwan
dan Eskimo tak punya. Tentu saja kita suka gengsot ndangdut dan India sendiri tak.
Tentu saja kita memang punya sepakbola Indonesia yang disiplin `kehidupan
sepakbola'-nya—karena latar kultur—sedikit atau banyak lebih mandul dibanding
yang dipunyai Muangthai. Tentu saja kita punya sastra Indonesia yang gamblang
berbeda dengan sastra Nepal serta teori sastra ala Indonesia yang tidak
mempertimbangkan tipologi kultural masyarakat Ukrania. Kita juga mencari ilmu
sosial Indonesia bukan saja karena bangsa Indonesia itu obyek ilmu yang tak bisa
diparalelkan begitu saja dengan manusia Kenya, tapi juga karena proses
keindonesiaan itu sendiri mengembriokan kerangka metodologi keilmuan sosial yang
entah bagaimana tapi mestinya ada. Kita juga punya film yang Indonesia, yang
menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau apapun.
Tapi dengan kreasi dan konsumsi pecel kita tidak selalu dijadikan `kebudayaan
Indonesia'. Dengan gengsot ndangdut seorang pemuda Madura tidak sedang
menyalahi kemaduraannya. Untuk mempertahankan kebudayaan Indonesia kita
tidak harus memelihara kemandulan sepakbola. Sastrawan suku Sumba yang
menulis dengan bahasa Melayu bukan pengingkar kedaerahannya. Kalau turunan
Empu Gandring kini bersekolah dan jadi pakar ilmu sosial, ia tidak sedang
memproses suatu kebudayaan lain yang melemparkannya dari identitas dirinya. Dan
kalau kita terus-terusan berdukalara memburu film yang Indonesia hendaknya
sambil diingat bahwa media film itu sendiri sebagai fenomena komunikasi bukanlah
milik `kita'.
Selalu yang berlangsung pada kita adalah proses modifikasi. Demikianlah sejak
zaman gelap kerajaan-kerajaan entah apa saja di masa lalu, kita terima tamu demi
tamu: malaikat, Hindu, Budha, Islam, Cina, Belanda, berita Kristus, titisan Marx-
Lenin serta entah siapa dan apa lagi—untuk kita jadikan apa yang kita percaya
sebagai `diri sendiri'. Bahkan Tuhan pun datang dan bertamu dan "kita jadikan diri
sendiri". Bahkan akan ternyata bahwa kita sendiri adalah tamu. Atau, pada akhirnya
tersingkap bahwa tamu-tamu itu adalah kita sendiri, sedemikian rupa sehingga `diri
sendiri' itu tahyul, dan identitas itu klenik yang amat temporer.
Sebab pada kenyataan seperti itu yang disebut akar kebudayaan ialah ekor yang tak
terpegang ujungnya. Yang kita sepakati sebagai akar kemudian adalah penggalan
suatu garis yang menyilang sulur sejarah. Seperti juga akar pepohonan yang hanya
menjangkau beberapa puluh sentimeter di bawah permukaan bumi. Akar bukanlah
titik pusat bumi: kebudayaan hanyalah gejala-gejala temporer dan relatif di sekitar
permukaan tanah kehidupan. Sedikit lebih masuk, kita akan ketemu dan `sama'
dengan beberapa kelompok masyarakat lain. Lebih masuk lagi kita berjumpa
dengan seluruh manusia. Lebih masuk lagi kita ketemu dengan alam dan makhluk-
makhluk lain. Dan ketika sampai di titik pusat, kita tak menjumpai beda antara
manusia, alam dan Tuhan.
Hal-hal di atas mendorong kita untuk tidak usah terlalu terdramatisir oleh kecemasan
akan kehilangan kebudayaan. Urusan kehilangan itu substansial merujuk kepada
`titik pusat' yang tersebut di atas.
(selesai)
Jika burung beo, mampu mengucapkan selamat pagi atau good morning
sebagaimana yang diajarkan tuannya itu namanya Evolusi..
Perilakunya berubah ketika menyapa siapa saja yang ada dihadapannya. Ketika
masyarakat harimau tidak berebut daging yang diberikan tuannya dan tidak berebut
wilayah serta bertarung untuk memperebutkan siapa yang berhak menjadi raja
rimba, maka ia mampu berlaku `mirip´ sebagaimana hakekat penciptaan manusia.
Kedua binatang ini lebih beradab daripada generasi sebelumnya.
Bijak, bajik, tulus, ikhlas, pemimpin dan manfaat atau policy, strategi, kekuasaan dan
kekuatan serta ambisi semuanya benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang
perlu disalahkan. Bukan saya benar, anda salah atau anda benar dan saya salah.
Urusannya bukan terletak pada kecerdasan manusia atau kreatifitas dalam berbuat,
melainkan pada tingkat kepekaan hati untuk merasakan koordinat posisi diri dan
memahami ke-arah mana ia sedang menempuh jalan.
Tak layak melarang se-ekor katak untuk berhenti meloncat, karena sesungguhnya ia
sedang berjalan. Tak layak melarang ayam untuk berkokok, karena sesungguhnya
ia sedang menyapa dunia. Namun anda boleh tertawa ketika ada se-ekor Monyet
yang sudah menggenggam pisang lalu dibuang karena menginginkan `banana´ yang
dimakan se-ekor Monkey.
"Laku lampah tumapak ing sadengahing titah. Sitinggil tan keno rinekodoyo
(perjalanan selalu berlaku pada setiap makhluk. Harkat-martabat tak dapat di
rekayasa)"
Identitas Adalah Klenik yang Sangat Temporer(i)
"Kasus" Pancasila dan lubuk sikap budaya kemanusiaan menunjukkan bahwa
sejarah kebudayaan selalu merupakan proses berbagi. Tema orisinalitas dan tanda
identitas menjadi amat relatif. Dalam keadaan ini kita temukan seolah `yang paling
kebudayaan' ialah dimensi-dimensi kedalaman. Tetapi `roh dalam' itu sendiri
universal, bahkan berdimensi (dari dan menuju) transendental.
Kita mungkin akan menyebut masyarakat Baduwi atau Amish Society untuk
`pemihakan' kepada keaslian kebudayaan. Padahal itu bukan `kasus kebudayaan'
seperti yang dimaksud oleh standar pengertian kebudayaan yang biasa kita
maksudkan, melainkan kasus dunia dalam: sikap rohani, prinsip religousitas, pola
tertentu dari ketakwaan dan keimanan.
Kalau umpamanya kita ambil sudut pandang bahwa kebudayaan ialah `kepribadian
masyarakat':
kita mengerti keduanya tidak lahir dan tumbuh secara ekslusif dan `otonom'.
Kebudayaan selalu berupa hasil pergaulan, saling memberi dan meminta, antar
individu, antar kelompok masyarakat. Kita tidak akan pernah bisa `menghentikan'
individu sebagai individu itu sendiri sepenuhnya-apalagi kalau kita percaya
`seseorang lahir dari dan karena orang lain', `engkau ada karena yang lain karena
ada'. Demikian pula kedudukan setiap masyarakat-apabila kita bayangkan ia-
sebagai individu. Kepribadian `individu masyarakat' terbentuk ketika dan karena
pernah meminta dan memberi.
Kekuasaan masyarakat atas individu muncul dalam kuatnya kontrol masyarakat atas
individu. Batas antara lingkar urusan sosial dan urusan pribadi tak jelas. `Pribadi
masyarakat' sangat ikut campur pada `individu pribadi'. Ketika kita pacaran dengan
mahasiswi kost di kampung itu, kita berlaku sebagai `pribadi individu' yang melawan
`pribadi masyarakat' yang mewajibkan kita pulang sebelum jam sepuluh malam
dalam keadaan utuh. Ketika kita menjadi petugas Siskamling dan menangkap basah
muda-mudi yang hampir berzina di paviliun sebelah itu, kita berlaku sebagai `pribadi
masyarakat'. Atau bisa juga ketika menangkap itu sebenarnya kita berlaku sebagai
`pribadi individu', ialah karena cewek itu sesungguhnya kita senangi tapi diambil
pemuda yang lebih terpelajar dan dibekali Bapaknya, Jimmy yang masih kincling-
kincling.
Individu dan masyarakat kita masih sedang belajar untuk berbagi. Individu
menawarkan demokrasi dan mungkin liberalisme, masyarakat menyodorkan hukum
moral, kesehatan akhlak, atau bukti kebutuhan individu terhadap pendidikan dan
kontrol masyarakat.
Lha Baduwi dan Amish berbagi dengan siapa?
Jadi untunglah kita sudah senantiasa memaparkan bahwa syarat pertama untuk
menjadi menteri, anggota DPR, padagang, tukang bakso, sinden maupun petinju,
ialah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau pembicaraan mengenai kebudayaan pada akhirnya tak bisa mengelakkan diri
dari dimensi-dimensi kedalaman, yang universal dan mungkin transendental, maka
tampak betapa relatifnya standar-standar yang selalu kita pakai dalam
membincangkan kebudayaan. Dengan penuh kekhusukan kita selalu merindukan
`Film yang Indonesia', Kritik sastra yang Indonesia', Sistem ekonomi yang
Indonesia', Ilmu Sosial yang Indonesia', bahkan `Sepakbola yang Indonesia'.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak(ii)
Lubuk Sikap Budaya Kemanusiaan
Dengan ringan sering kita kemukakan Pancasila adalah endapan rumusan asli
kebudayaan bangsa Indonesia—meskipun yang diambil ialah lapis filsafatnya. Kalau
itu kita sepakati, berarti kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kemanusiaan
seluruh penduduk di muka bumi.
Pancasila bersifat universal dan kita bisa jumpai Pancasila di alam fikir dan alam
rasa masyarakat manapun di dunia—termasuk kalangan masyarakat yang mungkin
merasa tidak ber-'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sebab apa yang disebut keadilan
sosial, demokrasi, kebijaksanaan atau peradaban, sesungguhnya tak lain dari
dimensi ketuhanan.
Dengan fenomena Pancasila yang berposisi mirip `roh terbengkalai' kita justru
dengan sadar sedang membuangi banyak hal yang selama ini kita kenali sebagai
kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan Pancasila seolah kita sedang berusaha
berdoa semoga terjadi kehilangan-kehilangan tertentu dalam yang kita sebut
kebudayaan Indonesia.
Kalau Camat makin cenderung menjadi Raja kecil, kalau seorang dosen makin
malas dan gengsi untuk membawa tasnya sehingga menyuruh pegawai kantor
fakultas untuk mengambilnya di mobil, kalau rumah-rumah menjadi potret kecil
kerajaan kerucut-feodal, kalau sebuah perusahaan stagnan `profesionalisme'-nya
berdasar hirarki usia sehingga untuk bisa maju musti nunggu Boss `modar mampus',
kalau dosen-dosen agen modernitas berperilaku seperti Ibu-ibu kampung cari kutu
sambil ngrasani dan nggosipkan urusan pribadi orang lain, kalau duren itu enak apa
tidak terserah keputusan Bapak, kalau pelajar dan mahasiswa harus mengemis dan
melayani para pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kalau sang
mahasiswi musti bersedia dipacari oleh Pak Dosen supaya lulus, kalau pemimpin
agama dan tokoh partai boleh pesan cepat dapat ijazah sarjana dengan hanya
kuliah setahun dua kali di universitas petualang, kalau dan kalau—maka tentulah
semoga kebudayaan macam itu segera musnah.
Kalau hal-hal macam itu yang kita sebut kebudayaan Indonesia, maka benarlah kita
yang terus berfikir untuk menemukan `kebudayaan lain.
Atau identitas materiil? Kita bisa melihat soal yang sederhana: mungkin kita
bermaksud tidak mengganti batik dengan jeans atau bertahan pada tikar pandan
dan menolak tikar plastik. Di mana kita berdiri? Lebih pada memandang pengusaha
batik sebagai produser identitas budaya pribumi, atau pengusaha batik sebagai
kelas ekonomi yang makin lemah? Memandang industriawan kecil tikar pandan
sebagai pengabdi kebudayaan nasional atau sebagai teri yang ditindih oleh modal
besar? Apakah kita akan berkata: "Biar saja dimelaratkan asal entah bagaimana
bertahan pada pola budaya tradisi," ataukah: "Yang penting ialah meningkatkan
daya negosiasi ekonomi, dan bukan mempertahankan sentimen budaya yang toh
akan punah tergusur." Sesungguhnya pilihan aksentuasi perhatian kita berangkat
dari lubuk sikap budaya kemanusiaan kita. Lubuk sikap itu lebih merupakan indikator
kebudayaan dibanding apa yang telah muncul sebagai `fisik kebudayaan'.
Akan tetapi pandangan terakhir ini terelativisir apabila kita mengejarnya lebih dalam.
Lubuk sikap budaya kemanusiaan itu disumberi mungkin oleh naluri nurani, mungkin
juga oleh prinsip-prinsip agama. Sehingga di sini indikator identitas kebudayaan itu
gugur.
(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak (i)
Alangkah `kekal' persoalan kebudayaan! Alangkah kongkret ia: menguras cinta,
harga diri, tapi juga kecemasan. Dan, pada saat yang sama, alangkah abstrak!
Teramat luas dan rumit pengertiannya, dengan ratusan definisi dan ribuan
pemahaman.Tiap hari kita menggunakan kata kebudayaan, seolah-olah ia
sedemikian jelas. Tiap hari pula kita memperdebatkannya, seolah-olah tak satu
kalipun pernah kita genggam kejelasannya. Bagai sungai deras airnya, mengalir dan
bergerak. Kita terpesona atau cemas. Kita ciduk segelas air darinya: air itu tetap air
sungai itu, tapi juga sudah bukan air sungai itu, melainkan air gelas. Keduanya
sangat berbeda. Seolah-olah kita harus menciduk bukan saja airnya, tapi juga
geraknya, alirannya!
Kita bisa membedakan antara dua skala pengertian: seni-budaya dan kebudayaan.
Seni-budaya itu sempit saja artinya. Yakni ekspresi estetis. Terserah apakah yang
diekspresikan itu bersumber dari keseluruhan dimensi kehidupan manusia, ataukah
bagian tertentu saja. Terserah apakah ia dibagi menjadi yang tradisional dan yang
modern, ataukah dibagi berdasar pendekatan lain yang bermacam-macam. Juga
terserah apakah ekspresi itu dirahimi oleh semangat estetika saja ataukah
dibayitabungkan oleh ideologi, politik dan agama. Yang penting batasnya sebagai
ekspresi estetika.
Adapun kebudayaan itu sedemikian luasnya sehingga mungkin saja tak pernah
sungguh-sungguh bisa dimengerti. Disebut bahwa segala kecenderungan yang
terjadi dalam politik, ekonomi, hukum, birokrasi atau ritus, adalah cermin dari
bagaimana kebudayaan manusia mengolah sejarahnya. Agama, yang `tercampak'
dari langit, di-'budaya'-kan oleh manusia. Dalam jumlah rentang waktu tertentu dari
proses kreatif sejarah, kebudayaan disebut peradaban. Tetapi tradisi kebudayaan
tertentu yang terjumpai secara `mikro' lewat perilaku-kecil seorang dusun, juga
disebut peradaban. Yang jelas sikap dan gaya manusia dalam menghadapi
kehidupan, persoalan, lombok, logam, cinta, langit, Tuhan dan gejala-gejala alam,
mencerminkan apa yang disebut kebudayaan.
Kalau orang Aceh nanti mengganti Randai dengan teater modern dan orang Jawa
memproses Ketoprak menjadi bukan lagi ketoprak, apakah Aceh dan Jawa
kehilangan kebudayaannya? Kalau anak Obahorok tak lagi pakai koteka, cucu
Kromoembuh tak lagi pakai blangkon, apakah mereka meninggalkan
kebudayaannya? Kalau Mukini dari Sumenep tak lagi memandang bahwa pohon di
sudut desa itu angker, kalau penduduk Sulawesi Selatan menjadi anti-sirik, apakah
mereka berubah kebudayaan? Kalau Jaka Kendhil kini tak lagi berklenik-klenik dan
mengubah namanya menjadi Jack Kendall sambil suka memegang-megang jidatnya
tanda sudah menjadi intelektual canggih, apakah ia Malin Kundang dari Ibu
kebudayaannya? Kalau lingkungan yang semula penuh dupa menyan kini
bersajadah, yang dulu pecandu tahayul berat kini rasional, dulu primitif kini
pascaprimitif, dulu khusuk mengabdi ke atas kini kenal demokrasi—telah
meninggalkan kebudayaannya?
Adakah modernisasi berjalan bertentangan dengan apa yang kita maksud dengan
kebudayaan? Bagaimana menjelaskan bahwa sesungguhnya kita sedang
mengkerjasamakan inisiatif modernisasi dengan pemeliharaan orisinalitas
kebudayaan?
Alhasil, pada lapis dimensi mana tanda-tanda kebudayaan itu kita temukan?
Perilaku sosial? Kecenderungan umum? Sikap kealamsemestaan? Warna sejarah?
Karya seni? Ketakwaan dan kepercayaan? Cara memasak sayur? Gaya hidup?
Atribut identitas material? Bahasa?
Secara khusus kita juga bertanya bagaimana bisa sekaligus kita berbincang tentang
kebudayaan Indonesia yang belum jelas, `baru dicari' dan `belum ketemu', dengan
tentang `kebudayaan Indonesia yang dikhawatirkan akan punah'? Apa saja yang
sebenarnya kita khawatirkan akan punah?
(bersambung)------>
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Kesedihan Sosial
Beragam tema dalam sedikit banyak tulisan saya seringkali merupakan `tangan
panjang' dari sesambatan [pengaduan, keluh kesah] banyak orang yang
disampaikan melalui saya. Baik yang datang langsung menemui saya maupun yang
menumpahkannya secara tertulis di dalam surat-surat yang `pilu'. Keluhan dari—
kebanyakan—wong cilik. Yang menderita karena nasib-nasib personalnya maupun
karena `musibah' strukturalnya.
Tapi saya memperkirakan bahwa sisa usia saya di dunia ini akan lebih banyak diisi
oleh kesedihan dibanding kegembiraan. Karena kebanyakan problem yang sampai
pada saya itu tidak mampu saya carikan penyelesaiannya. Sebab saya sendiri juga
tidak lebih dari wong cilik [rakyat kecil] juga, yang lemah dan tidak berdaya.
Saya selalu sangat sedih karena betapa banyak saudara-saudara saya yang saya
tidak sanggup menolongnya, tidak mampu mengeluarkannya dari problem yang
menimpa mereka. Jadi, kesedihan hati saya ini kesedihan sosial, bukan kesedihan
pribadi. Kalau pribadi, saya sudah terlanjur mengusahakan diri untuk tidak sedih dan
tidak gembira. Biasa-biasa saja. Meskipun saya diperlakukan seperti seorang
pencopet yang diawasi setiap gerak-gerik saya. meskipun saya (pernah) diisukan
pindah Agama, dituduh mengacau oleh para pengacau, meskipun ada selebaran
gelap menyebut saya iblis atau dajjal, bahkan dengan begitu saya memperoleh
tawaran kemuliaan, yakni dengan mendoakan ampunan Tuhan bagi mereka.
Dan saya jamin di dalam seluruh tabung kesedihan dan kegembiraan itu hanya saya
muatkan rasa syukur yang mutlak kepada Tuhan. Ada juga sih rasa jengkel,
mengkel [marah], gedeg, dan lain sebagainya, tapi selalu saya upayakan untuk saya
tepis. Yakni pasti, harus tidak ada amarah atau rasa dendam, meskipun kepada
orang yang menikam punggung saya ataupun menusuk hati saya.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Kadar Kesetiaan
Sedemikian tinggi dan mendalamkah seorang hamba Allah mesti terbang dan
melayang ke semesta ilmu dan kemuliaan? Tidakkah manusia bisa bersikap wajar
dan biasa-biasa saja? Ataukah itu alibi untuk memaafkan kelemahan diri,
keterbatasan, dan kekurangannya dalam melakukan sesuatu?
Kalau suaraku buruk, orang justru akan sangat mengingatnya karena tersiksa. Kalau
suaraku agak bagus, orang mengingatnya, tapi dengan kadar yang lebih rendah
dibanding ingatan terhadap suara buruk -- sebab kecengengan manusia terhadap
penderitaan cenderung lebih besar dibanding rasa syukurnya terhadap
kegembiraan.
Dengan ungkapan dan jawaban saya itu kenapa kau terpaku pada suaraku? Di
situlah letak ketidakberhasilan yang saya maksud.
Orang menikmati terangnya lampu tanpa mengingat kabel listrik.
Orang menikmati makanan enak di warung dan tidak bertanya siapa nama orang
yang memasaknya di dapur. Penyanyi, pembaca puisi, qari, pelukis, muballigh,
penyampai ilmu, pembawa hikmah, atau fungsi-sungsi nilai apa pun, hanyalah 'kabel
listrik'.
Tidaklah senonoh kita menuntut orang untuk mengagumi kita sebagai kabel listrik,
sebab yang sampai ke mereka adalah cahaya. Tukang listrik jangan kasih dan taruh
lilitan kabel-kabel ke wajah orang. Kita para seniman, ulama, pengurus negara,
pekerja sosial, fungsionaris-fungsionaris sejarah, di wilayah mana pun dari
kehidupan umat manusia -- wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia --
hanyalah pengantar cahaya, bukan cahaya itu sendiri. Seperti rembulan, kita hanya
memantulkan cahaya matahari agar menimpa bumi. Terkadang kita malah
merekayasa berlangsungnya gerhana matahari untuk mengantarkan kegelapan,
tetapi sambil memobilisasi orang untuk mengagumi kita.
Seandainya pun sebagai rembulan kita setia memantulkan rahmat Tuhan ke bumi
kehidupan manusia, yang kita andalkan untuk mendapatkan nilai bukanlah cahaya
itu sendiri, melainkan kadar
kesetiaan.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)
Macam-macam pula orang datang kepadanya untuk minta bantuan. Uang untuk
mengurangi keterjeratan dari rentenir. Uang untuk membeli tiket menemui Ibu jauh di
seberang pulau. Uang untuk kepanitiaan ini itu. Uang untuk lara-lapa [bersusah
payah, berusaha] mengembara mencari ilmu. Uang untuk menggali tokoh
tersembunyi di daerah sana untuk diwawancari dan dijadikan buku. Uang untuk
biaya rumah sakit. Uang untuk bikin master rekaman musik. Uang untuk tambahan
biaya mau jadi sarjana utama. Uang untuk baca puisi keliling. Dan lain sebagainya.
Dan Umar kita ini tidak bisa tahu sebenarnya siapa saja yang datang kepadanya.
Dia tidak mungkin ngetes [menguji] apakah ia jujur. Uang yang diterimanya nanti
akan digunakan untuk apa. Juga dia tidak menyelidiki apakah orang yang minta
bantuan itu sungguh-sungguh kepepet ataukah ngarang [merekayasa, fiktif] saja.
Sebab bagaimana akan tahu? Betapa tersiksanya untuk tidak percaya kepada
sesama manusia? Untuk menanyakan punya KTP atau tidak, untuk menguji apakah
benar ia sedang menderita. Begitu banyak orang yang datang, dan ia hanya bisa
melakukan satu hal: mempercayai mereka dan mengungkapkan kasih sayang sosial
sejauh yang ia mampu.
Umar kita menjawab, "Kayaknya sejak awal saya sudah tahu bahwa Ibu itu menipu.
Tapi keadaannya memang kongkret memerlukan bantuan. Bahwa untuk
mendapatkan bantuan ia menggunakan cara menipu, itu urusan dia. Saya tidak
punya posisi untuk menuding atau membuktikan bahwa ia menipu, tapi saya juga
tidak bisa sekedar menganggapnya menipu sehingga tidak saya kasih bantuan.
Jadi, biarlah dia menipu, biarlah dia puas bahwa saya seakan-akan percaya pada
tangisnya. Kalau tidak salah, Tuhan sendiri tahu persis bahwa sangat banyak
hamba-hamba-Nya menipu-Nya tiap hari. Mengingkari janji untuk patuh kepada-Nya,
padahal ngapusi [bohong/dusta]. Tapi apakah dengan itu lantas Tuhan
menghentikan terbitnya matahari, gara-gara Dia mangkel [sakit hati] ditipu
manusia?"
Namun akhir-akhir ini si Umar tidak bisa lagi gemagah [merasa paling gagah] dan
mbagusi [merasa paling bagus] dengan memamerkan kebesaran jiwa seperti itu.
Karena perlahan-lahan muncul isyu dan bahkan selebaran gelap yang
mendiskreditkan namanya. Misalnya, dikatakan bahwa amal-amal yang dilakukan itu
sebenarnya sekedar untuk menutupi kenyataan bahwa ia mendapatkan biaya besar
dari suatu pihak yang rahasia untuk menciptakan gerakan-gerakan subversif.
Selebaran dan telepon-telepon gelap lainnya menyatakan bahwa ia membiayai X
dan Y untuk pergi ke suatu tempat membeli sejumlah bahan peledak.
Sekarang saya jadi ingat, terkadang satu dua orang datang mengatasnamakan
kelompok yang memerlukan dana: sesudah saya kasih tahu bahwa tidak semua
yang saya berikan itu disampaikan kepada kelompok. Diunthit [dikorupsi] sebagian
untuk pribadi mereka..."
"Saya jusru ingin minta bantuan nasihat kepada Ente," katanya, "Mungkin kalau
orang datang minta sesuatu kepada saya, hanya saya kasih bantuan kalau ia
membawa surat dari pihak yang berwajib yang melegitimasikan permainannya itu.
Juga dalam serah terima bantuan itu harus melalui surat hitam di atas putih yang
jelas. Lucu ya?"
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang
Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Indonesia Tak Butuh Iblis
Dalam kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-nyebut kata
iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, tuhan atau Tuhan,
fir’aun, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dlsb.
Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu
sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia.
Misalnya ada lima kategori manusia. Kategorisasi ini memakai idiom fiqih Agama,
tapi tidak dimaksudkan debagai prinsip hukum, melainkan budaya.
Ada ‘manusia wajib’, artinya orang yang orang lain tak mau kehilangan dia, karena
dia baik dan dicintai. Ada ‘manusia sunat’, di mana orang merasa eman kalau nggak
ada dia, meskipun tidak menggebu-gebu mempertahankannya. Ada ‘manusia
mubah’ atau ‘manusia halal’, yakni yang wujuduhu ka’adamihi, ada dia kita nggak
untung, nggak ada dia kita nggak rugi. Ada ‘manusia makruh’, di mana orang
merasa lebih baik nggak ada dia daripada direpoti olehnya.
Terakhir yang paling gawat: ‘manusia haram’. Orang bersikeras agar dia tak ada,
agar dia dijatuhkan dari kursinya, agar ia diadili dan dihukum, bahkan didoakan agar
segera mati. Bahkan kalau ada orang mati, lainnya menyesal: “Kok bukan si Anu itu
yang dipanggil Tuhan...”
Namun harus dicatat, ‘manusia wajib’ di mata manusia, belum tentu sama di mata
Allah. ‘Manusia haram’ di pandangan manusia, belum pasti Tuhan berpandangan
demikian.
***
Seseorang, umpamanya Soeharto, yang dalam proses sejarah tiba pada posisi
“diharamkan” oleh banyak orang, dalam berbagai ungkapan selalu digelari dengan
idiom-idiom itu: iblis, setan, monster, dajjal, fir’aun. Bahkan tokoh Agama seperti Pak
Amin Rais menyebutnya Fir’aun Jawa.
Pak Harto secara eksplisit mengeluh kepada saya tentang gelar dari Pak Amin itu.
“Hati saya ngresulo”, katanya.
Saya coba menjawab seadil mungkin secara ilmu maupun empirik:
“Pak Amin tentu memiliki hujjah atau argumentasinya sendiri dengan penyebutan itu.
Dan itu urusan Pak Amin dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Pada
hakekatnya hanya luthf (kelembutan pandangan) Allah yang paling mampu dengan
detail menakar berapa prosentase kefir’aunan hambaNya. Adapun manusia, sejauh-
jauh prestasinya hanyalah perjuangan untuk berendah hati di dalam kesadaran
bahwa setiap hamba Allah yang bernama manusia memiliki potensi kefir’aunan dan
potensi ke-Musa-an atau ke-Muhammad-an di dalam dirinya masing-masing.
Dengan kata lain, Fir’aun, Musa, Muhammad, Malaikat dll. bisa kita pahami sebagai
potensialitas kejiwaan pada diri manusia, dan tidak harus merupakan oknum atau
pribadi. Ketika Musa diperintahkan oleh Allah agar mendatangi Fir’aun untuk
menanyakan apakah RajaLela itu mau membersihkan diri atau tidak -- bisa kita
maknai bahwa potensi Musa kita mendatangi potensi Fir’aun kita sendiri untuk
menyampaikan tawaran
gratis dari Allah itu. Jadi sekarang masalahnya kembali kepada Pak Harto sendiri.
Seberapa serius Pak Harto menggali potensi dirinya sendiri dan mencoba mengukur
berapa kadar kefir’aunan Pak Harto, dan sudah lahirkan Musa yang akan melawan
kefir’aunan itu, meskipun dulu bayi Musa (bayi lelaki, alias kejantanan dan
kehormatan rakyat) Pak Harto kejar-kejar untuk dibunuh sehingga sang bayi
dihanyutkan ke sungai....tapi kemudian mencengkeramkan tangan kebenarannya ke
leher Pak Harto”.
***
Saya dan kita semua bisa ikut menakar Soeharto: berapa benarnya, berapa
salahnya, mana baiknya, mana buruknya. Di level mana saja benar salah baik
buruknya itu: level moral, level hukum formal, level ilmiah, level kultural, atau
apapun. Sambil wanti-wanti kepada diri sendiri melalui firmah Allah: “Janganlah
kebencianmu kepada seseorang membuatmu bersikap tidak adil”.
Akan tetapi bisa jadi hasil penilaian kita tidak seratus persen sama dengan al-lathif,
Yang Maha Lembut itu. Yang kita ketahui hanya satu, yang tak kita ketahui tak
terhingga jumlahnya. The real judge adalah Allah swt. Kita mungkin tidak pernah
siap untuk melihat dan menerima kenyataan bahwa seseorang yang ‘kita nikmati
dalam kebencian’ dan kita sebut iblis, ternyata bisa juga ingin memperbaiki diri.
Lebih tidak siap lagi membayangkan bahwa ia bertobat. Kita memerlukan orang
jahat tetap sebagai orang jahat, demi kelegaan hati kita. Kita katakan kepada diri kita
sendiri: “Pak Harto itu pengiiin banget lho masuk neraka! Sehingga dia terus
mengincar untuk berkuasa, terus menggalakkan kerusuhan....”
***
Pokoknya Pak Harto harus kita pertahankan sebagai satu-satunya simbol iblis di
Indonesia, sehingga kita yang dulu ikut aktif dalam sistem iblis itu selama berpuluh-
puluh tahun bisa terbebas dari tudingan. Kita langgar persepsi ilmiah bahwa
keiblisan Orde Baru itu kolektif, mustahil individual: kita pertahankan cara pandang
ini dengan segala cara.
Tetapi tidak saya persoalkan apakah pemakaian kata-kata iblis dlsb. itu berangkat
dari hubungan-kesadaran, sampai ke etimologi dan teologi, ataukah sekedar pinjam
istilah. Sebagaimana Pancasila dan UUD-45 menyebut kata ‘Tuhan’ dan ‘Allah’ bisa
jadi sekedar oper idiom, karena kemudian di dalam praksis kehidupan bernegara
kita tidak lagi penting apakah Tuhan dan Allah dijadikan rujukan utama atau tidak
bagi kemungkinan makhraj (solusi) dari masalah-masalah yang menimpa.
Sesungguhnya sangat menarik untuk membicarakan iblis, lengkap dari perspektif
ilmu fisika, biologi, teologi dan budaya. Misalnya bahwa suku cadang kemakhlukan
kita ini sama dengan iblis, setan, malaikat, batu, dan apapun saja makhluk Tuhan.
Hanya saja speed molekular-nya berbeda, komposisi dan aransemen keatomannya
berbeda, sehingga karakter chromosome-nya juga lain, termasuk hak dan kewajiban
yang diberikan oleh Penciptanya juga tak sama -- sehingga habitat dan perilaku,
alias kebudayaan dan peradabannyapun berbeda.
Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali
tidak butuh iblis....
***
Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya.
Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan
kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia
lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.
Sementara kita, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup
menyikat puluhan proyek lain -- sehingga hancurlah Orde Baru. Manusia dipinjami
kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan
kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan
unbounded posessiveness: rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya.
Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik,
tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin
kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan
kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah napsu untuk menang, maka adanya
muatan semacam itu sangat kita kawatirkan.
Semoga kemenangan PKB adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Semoga
kemenangan PDI Perjuangan, PAN, atau Golkar atau apapun, hanya punya satu
arti: ialah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan parpol adalah
hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat.
Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api -- itu jelas watak utama iblis
yang diajarkan kepada manusia. Dan ajaran itu tidak hanya bisa merasuk ke jiwa
Soeharto, tapi juga bisa ke Wagimin, Megawati, Tukijo, Amin Rais, organisasi dan
kumpulan-kumpulan, atau apapun. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi napsu.
Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk
‘sekedar’ berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam melorot
derajatnya dari sorga ke bumi, kitapun melorot izzah (kehormatan) kebangsaan kita
dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Kita kutuk penjarahan oleh
rakyat sesudah sekian puluh tahun kita ajari mereka menjarah. Kita laknat
kerusuhan oleh rakyat sementara terus menerus kita rusuhi hati mereka, pikiran
mereka, telinga mereka, dengan kerusuhan mulut dan sistem budaya kita.
***
Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita
memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan
merasa suci -- sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat -- itupun kita
larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat
sehingga mengamuk.
Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal
memahami konsep tobat, iblis unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan
kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya
kalau punya hutang, harus bayar dulu; kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia,
baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.
Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh
kobaran api dari dalam napsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan,
sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu...”. Sementara pada kita sangat sedikit
indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan
Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun.
Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil
mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan
di depan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan
menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman,
sembako murah, bisa menyekolahkan anak.
Tentang presidennya siapa, silahkan mau Kirun mau Timbul. Dalam hatinya rakyat
berpedoman: yang penting bukan ‘siapa’nya, melainkan apa produk positifnya untuk
kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau jajag pendapat yang
bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan
hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita.
***
Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka,
seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin
karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia, Tuhan memberi
peringatan: “Janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi”, dan manusia
menjawab dengan congkak: “O, tidak, yang kami lakukan ini adalah perbaikan...”
Kalau Tuhan menyebut “orang-orang yang membangun”, kita merasa itu pasti kita.
Kalau Tuhan bilang “orang-orang yang merusak”, kita yakin merekalah yang
dimaksud oleh Tuhan itu. Yang buruk pasti mereka, yang baik pasti kita.
Padahal manusia dijadikan mandataris kehidupan alam semesta dengan
argumentasi bahwa manusia itu dholuman jahula. Lalim dan bodoh. Artinya,
manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah
telah berbuat lalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa
mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup
merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun -- sehingga ia selalu
berendah hati untuk belajar.
Last but not least, tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu
sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar
memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri
(kefir’aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk
mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk
memperoleh yang ia sangka kehormatan.
Walhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas
keiblisan, kesetanan dan kefir’aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan,
iblis dan fir’aun yang asli. Mudah-mudahan saya keliru.
(Emha Ainun Nadjib/1999/PadhangmBulanNetDok)
Fatwa Tukang Becak
Perjalanan ulang alik Yoga-Jombang biasanya kami (saya dan saudara-saudari atau
teman-teman) lakukan di paruh malam yang kedua.
Naik bis yang kecepatannya supir ngedap-ngedapi selama 4-5 jam, subuh
menyongsong kami di tempat tujuan. Terkadang malah hanya tiga setengah jam,
atau malah hanya beberapa kejapan saja - karena kami 'tewas' sepanjang
perjalanan.
Tak pernah terlintas ide di benak saya unuk mencoba menerapkan mekanisme
demokrasi di bis : misalnya, semua unsur merundingkan berapa kecepatan bis
sebaiknya. Saya biasanya pasrah saja. Tak pernah melontarkan kritik kepada
bagaimana sopir menjalankan roda pemerintahannya. Tak perlu mengonrol. Paling
hanya evaluasi, yng toh saya 'peti-es' kan sendiri, tidak saya 'press release' kan.
demikianlah, malam itu, kami menunggu bis ke Solo atauYogya di perempatan
njomplangan atau teteg sepur deka stasiun Jombang. Becak berderet di sana,
menunggu semacam janji hari depan, tanpa batasan siang atau malam.
Kami menunggu bis favori kami. api karena malam, tak bisa langsung tampak bis
apa yang akan lewat. Jadi satu-satunya jalan ialah menjalankan semacam taktik
atau srategi atau penipuan.
Semua bis kami stop. Kalau bis ternyata ke Kediri atau Ponorogo, kami jujur bilang
"Ke Yogya" Kalau yang lewat adalah bis ke Yogya tapi bukan favorit kami, kami
berbohong "Ke Ponorogo!"
Demikian berlangsung berulang-ulang. Para tukang becak guyup membantu
kesibukan kami "memilih masa depan".
Salah seorang tukang becak bahkan berlaku seperti saudara kami sendiri: aktif
menolong menyetopbis dan mengobrol di setiap 'pause'. Dan ketika kemudian hujan
mendadak turun, ia mempersilakan kami berlindung di becaknya, sementara ia
numpang di becak sisinya.
Hujan berkepanjangan. Tiba-tiba tukang becak itu nyeletuk: "Ya inilah hukuman bagi
orang yang berbohong!"
Kami terkesiap. Tak tahu mau berkata apa-apa.
"Tapi memang kalau meningkatkan taraf hidup memang harus pandai bohong" - ia
melanjutkan - "Kalau jujur saja nanti hanya dapat bis yang jelek dan lambat."
Dan ia terus melanjutkan - "Tapi ya untunglah Cak, Tuhan menghukum langsung,
jadi nanti di akhirat lebih ringan. Untung juga Tuhan masih mau menghukum, itu
namanya Dia tresno, kita tidak di-ujo saja..."
Kami benar-benar meenjadi bisu.
Sambil akhirnya bis favorit itu tiba, si tukang becak mempersilakan kami dan berkata
- "Selamat tidur Cak! Mudah-mudahan sudah lunas hukumnya!"
Saya malah tak bisa tidur. Apa benar sudah lunas? Apalagi keadaan hidup sekarang
ini membuat dosa tak terasa sebagai dosa.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Sudah Kubuang-buang
Sudah kubuang-buang tuhan
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir
Sajakku beranak-pinak
Dikungkung tuhan sendirian
Perih cintaku berteriak-teriak
Takut ditolak keabadian
Sudah kubuang-buang
Sudah kubuang-buang
Ia makin saja tuhan
Makin saja Tuhan
1996
Mohon dengan sangat, jangan rumuskan bahwa tongkat Nabi Musa mampu
membelah laut, mampu menerbitkan mata air dari batu kering, meskipun insya Allah
bisa bikin pecah kepala kita. Apalagi lantas dengan metodologi ilmiah tertentu, para
pakar meneliti tongkat itu mengandung zat dan energi apa sehingga air samudra
terbelah olehnya. Kalau besok paginya Anda minta kepada Nabi Musa untuk
membelah air laut lagi, percayalah air laut tak akan terbelah. Sebab, yang membuat
laut terbelah bukanlah Musa atau tongkatnya, melainkan perintah atau perkenan
Allah.
Lha Allah ini pemegang saham dan the only resources dari seluruh "alam semesta
ini dengan segala ketentuan hukum dan perilakunya”. Hak absolut Allah untuk
menyuruh orang membelah laut dengan tongkat atau dengan meludahinya. Kalau
Musa pukulkan tongkat lagi ke laut tanpa perintah-Nya, dijamin tak terjadi apa-apa.
Atau besoknya Tuhan suruh Musa "Berteriaklah keras-keras!", lantas tiba-tiba laut
terbelah lagi ditambah gunung ambruk dan air sungai membalik arah arus airnya, itu
sepenuhnya terserah-serah Tuhan.
Makhluk, juga dokter atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi sarana
proses menuju kesembuhan. Tapi pengambil keputusan untuk sembuh atau hak dan
kuasa untuk menyembuhkan ada pada Allah. Terserah Dia juga mau bikin sembuh
orang sakit pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa tongkat, bisa batu, bisa air,
bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja semau-mau Tuhan. Yang
diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana penyembuhan terserah Dia juga. Mau
kiai, pendeta, pastor, rabi, tukang sol sepatu, Ponijo, Rasul, Nabi, Markesot, atau
siapa pun dan apa pun saja. Kalau Anda dan saya tidak setuju, Tuhan "tidak
patheken" juga. Dia Maha Pemilik Saham segala sesuatu dalam kehidupan, Dia
berhak ambil keputusan apa saja.
Kalau seorang suami pergi lama tugas ke kota yang jauh, sehingga bawa celana
dalam istrinya, mohon jangan simpulkan bahwa dia penggemar celana dalam,
kemudian Anda coba rebut celana dalam itu untuk Anda selidiki, bahwa dia
mengandung zat-zat dan bebauan apa, sehingga seorang tokoh besar membawa-
bawanya ke mana pun pergi. Kalau pas di kamar hotel sendirian suami itu mencium-
ciumi celana dalam, mohon jangan dikonklusikan bahwa ternyata ia punya penyakit
jiwa dan harus dibawa ke psikiater. Ya Allah ya Rabbi ya Karim, yang diciumi oleh
suami itu bukan celana dalam, melainkan cintanya kepada sang istri dan komitmen
kesetiaan di antara mereka.
Kabarnya Nabi Musa ketika memimpin pasukan kejaran Firaun itu mendadak sakit
perut di tengah lari-lari. Musa mengeluh kepada Allah, dan Allah memerintahkan
agar Musa naik bukit ambil daun dari sebatang pohon untuk menyembuhkan sakit
perutnya. Musa naik dan, sebelum menyentuh daun, perutnya sudah sembuh.
Tolong jangan ambil konklusi "Itu daun mujarab banget, belum disentuh, perut udah
sembuh". Musa balik ke pasukannya, mendadak sakit perut lagi. Ia langsung naik ke
bukit, tapi sesudah makan sekian lembar daun perutnya tak sembuh-sembuh juga.
Musa protes kepada Allah. Dalam logika saya, Allah menjawab dengan penuh
kegelian: "Hei, Sa. Emang siapa yang bilang bahwa daun bisa menyembuhkan
perutmu? Meskipun daun itu mengandung unsur-unsur yang secara ilmiah memang
rasional bisa menyembuhkan perutmu, Aku bisa bikin tetap tidak menyembuhkan.
Tadi waktu sakit perut yang pertama kau mengeluh kepadaku, tapi pada yang kedua
kau tak mengeluh dan langsung saja lari ke
bukit ambil daun. Karena kamu salah cara berpikirmu. Salah pandangan ilmu dan
cintamu kepada segala sesuatu. Kamu salah peradaban. Kamu pikir daun bisa
menyembuhkan. Itu tergantung mau-Ku. Aku menyembuhkanmu bisa pakai daun,
air putih, batu, lewat Gaza, Tursina, Jombang, atau mana pun semau-mau-Ku....
Berapa lama sebuah anugerah Kuberikan, itu rahasia-Ku, bisa sesaat, sebulan,
setahun, terserah Aku."
Tiba-tiba aku dibentak oleh sebuah suara: "Ngurusi Ponari aja nggak becus! Mau
sok-sok berlagak mengurusi NKRI!" Terperangah aku. Terpaksa kupotong di sini
tulisanku ini, sebab aslinya panjang sekali. Kucari siapa berani-berani
membentakku. Tak ada siapa-siapa. Tapi malam di Kendari menjelang aku tidur
kelelahan usai bersalaman dengan ribuan undangan pengantin anakku, bentakan itu
datang lagi: "He! Perhatikan itu para ahli kubur dari Jombang!" Ahli kubur? Aku tak
ngerti.
Saat kita berusaha selalu menyisihkan dana untuk infaq dan sedekah, jangan gusar
bila tiba-tiba ada yang menyanyi “Ah, sok sosial amat sih ?!”.
Saat kita terbata-bata karena masih taraf belajar membaca Al Qur’an, tetaplah
istiqomah bila tiba-tiba saja ada yang menukas “Ah, baca Qur’an saja masih kayak
gitu, sudah gitu nggak enak lagi suaranya”.
Saat hati kita terketuk melihat penderitaan saudara-saudara muslim kita di daerah
lain, atau di negara lain, sehingga muncul niat untuk membantu, jangan bingung bila
tiba-tiba ada yang memberi ‘petuah’, “Ah, daerah/negara sendiri saja masih begini
keadaannya, mengapa mesti mikiran yang jauh disana ?”.
Saat kita mulai belajar mendalami islam, jangan patah semangat bila tiba-tiba ada
wejangan, “Mbok jangan fanatik begitu, biasa-biasa sajalah”.
Begitu banyak dan mudah contoh sehari-hari bisa ditemukan. Suatu kegiatan atau
bahkan amalan yang sudah nyata-nyata kita pahami nilai kebaikannya, dan
berpahala bila dikerjakan, akhirnya kita gugurkan begitu saja karena suara-suara
yang menghembus-hembuskan keraguan dalam hati kita.
“Kita tidak bisa sesuci malaikat, sebenar malaikat, sebaik malaikat, tapi kita juga tak
punya cita-cita untuk selaknat syetan, sedurhaka syetan dan segelap syetan.
Malaikat itu makhluk statis, meskipun dia hadir atau diletakkan di tempat pelacuran,
tempat perjudian, tempat minum-minum, tetap baik yang dia lakukan. Syetan juga
makhluk statis, meskipun dia hadir di masjid, di kuil, di gereja, tetap jelek yang dia
lakukan. Sementara kita di tengah-tengahnya.
Kita memiliki pilihan, dua kemungkinan untuk kita pilih. Menuju kebaikan atau
menuju kebrengsekan”.
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
1988.
Emha Ainun Nadjib
“Nah, sahabatku,” berkata Nabi. “Kamu sebenarnya sayang sama aku atau tidak,
sih?”
Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi.
“Sayang sih, sayang wahai Nabi….”
“Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut
namaku?”
“Aduh, Nabi, gimana yaaa, …”
Ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi.
Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah.
Juga tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati
dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu….”
Sungguh tidak enak rasanya. Kawan saya merasa posisinya sangat ruwet.
Sebetulnya ia ingin menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi mungkinkah Kanjeng
Nabi Muhammad, Rasul Sakti pamungkas segala derajat ilmu itu, tak mengetahui
apa yang ia ketahui? Misalnya, bukankah Muhammad sendiri yang menganjurkan
kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain
Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya.
Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun
sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia?
Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini seolah-olah
hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan,
pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-
Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan
kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak. Maka,
di tengah kegalauan rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan
budaya, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan
saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja, Allah, Allaah,
Allaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.
Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya
kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau tidak, sih?”
Modarlah kawan saya.
Meskipun tidak bisa diandalkan di hadapan Allah, tetapi saya mendoakan semoga
pengorbanan Anda semua diganjar Allah dengan tambahan rezeki melimpah,
ketenteraman keluarga, kesejahteraan anak turun, serta terselesaikannya masalah-
masalah apapun yang Anda hadapi.
Tidak penting apakah muatan unjuk rasa Anda itu tepat atau tidak. Tidak masalah
demonya ke mana dan sasaran demonya siapa. Juga tidak persoalan pemahaman
Anda semua dan saya melenceng atau tepat atas apa yang sesungguhnya terjadi di
Timur Tengah.
Dan yang lebih penting lagi: berkat ikhtiar Anda, sekarang Israel mengubah sikap
dan program berikutnya. Berkat teriakan Anda semua yang bersambungan
bersahut-sahutan dengan teriakan umat manusia lain di seantero muka bumi, telah
membuat Israel mengambil keputusan untuk –sesudah Palestina ini, membatalkan
serangannya ke Iran.
Minumlah seteguk air yang mengalir ke dalam badan kita diiringi doa oleh
kedalaman hati kita. Duduk rileks. Tarik napas panjang. Kita luangkan sedikit waktu
untuk menabung pembelajaran tentang itu semua. Pelan-pelan, tidak dengan
kemarahan tapi dengan mesin ilmu dan ketenangan batin.
Katakanlah kita berpendapat bahwa saat-saat ini masalah nasional bangsa dan
negara kita kalah urgen dibanding Gaza. Oke, kapan-kapan kita perdebatkan lagi.
Tetapi pasti bahwa kalau bisa jangan seorang pun dalam kehidupan ini pernah
berbuat sesuatu, membela sesuatu, melawan sesuatu, apalagi sampai ke tingkat
pertentangan kelas dunia – tanpa terlebih dahulu mempelajari segala sesuatunya
dengan objektif, waspada, dan dewasa.
Kalau Gaza itu perang agama, antar pemeluk agama apa? Yahudi lawan Islam?
Kalau ini peta-nya, bagaimana dengan orang Yahudi yang beragama Islam dan
orang bukan Yahudi yang beragama Yahudi? Apakah Israel representasi formal dari
Agama Yahudi dan juga Ras Yahudi? Bagaimana dengan teman kita orang
Indonesia, Muslim, nikah dengan gadis Yahudi, asli Israel, dan tetap bukan Muslim –
dan Islam tidak melarang teman kita itu berposisi demikian?
Banyak sekali “korsleting” dalam konteks itu. Apakah Israel sama dengan Yahudi?
Apakah Yahudi sama dengan Zionis? Apakah Zionis sama dengan Israel? Apakah
rakyat Israel sama dengan Zionis? Kita pening kepala kalau muter-muter di situ.
Kalau ditambah Kristen lebih pecah lagi kepala kita. Kristen Katolik atau Protestan?
Apakah pemeluk Agama Yahudi satu pihak dengan pemeluk Kristen? Istrinya
almarhum Yasser Arafat yang Nasrani kita apakan?
Kalau pokoknya kita anggap saja Umat Islam musuhan sama orang Kristen dan
Yahudi, lantas apa saja langkah-langkah Umat Islam? Membunuhi mereka di mana
saja ketemu? Di perumahan tempat tinggal kita, di pasar, di kantor? Boikot seluruh
produk orang Kristen? Kita pantang naik pesawat yang bukan bikinan Umat Islam?
Pantang pakai handphone, komputer, kulkas, celana jeans? Kita kosongi rumah kita,
masjid kita, kantor kita, sekolahan kita, dari segala macam unsur yang ada
hubungannya dengan Yahudi dan Kristen?
****
Tetapi hati kita masih sangat rapuh untuk mengakui bahwa memang tidak benar-
benar ada tanda bahwa Arab Saudi itu bermusuhan dengan Israel. Bagaimana kalau
Anda ditamui orang dan melaporkan: “Israel sudah berunding dengan Saudi Arabia,
Syria, dan Mesir sekitar Juli 2008 tentang rencana penyerbuan ke Gaza sebagai
pemanasan sebelum menyerbu Iran. Ketiga Negara Arab Islam itu sudah menyetujui
atau merestui, sebagaimana dulu Irak diserbu”.
Maka ada baiknya kita mulai belajar memahami masalah secara objektif meskipun
menyakitkan. Yang dekat-dekat dulu: bangsa kita sudah mampu mencapai kualitas
bagus dalam hal memilih ketua RT. Sekarang kita belajar lebih tinggi: belajar
memilih lurah, sampai besok-besok sekitar tiga era lagi insya Allah kita akan punya
kemampuan kualitatif untuk memilih Presiden.
(Emha Ainun Nadjib/"Kaltim Pos"/17 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
SUDRUN GUGAT
BIASANYA Sudrun memang mendadak datang di bilik saya lewat tengah malam,
untuk mengingatkan agar saya jangan sampai tertidur di saat-saat pa!ing bening
seperti itu: justru ketika hampir semua orang terbaring lelap, ketika berbagai jenis
kesibukan-kesibukan duniawi sedang beristirahat.
Tapi tadi malam Sudrun hadir tidak untuk itu. la tidak duduk di bibir ranjang seperi
biasanya, mengusap jidat saya dengan wajah tersenyum. Melainkan berdiri di pojok
ruang, tangannya bersedakap dan matanya melotot merah padam ke arah saya.
"MasyaAlllah...ada apa Drun?", terloncat pertanyaan dari mulut saya.
"Ada apa ada apa ndasmu!", ia membentak dengan ketus.
Saya terhenyak bangun. Terbelalak mata saya karena sungguh-sungguh tidak
paham apa yang terjadi pada sahabat saya ini.
"Kali ini saya tidak bisa memaafkanmu. Saya tidak bersedia memohonkan ampun
kepada Tuhan untukmu!" katanya lagi, "Dan kalau mungkin nanti Tuhan bertanya
kepada saya apakah sebaiknya kamu dimaafkan, saya akan kemukakan pendapat
bahwa kamu harus membayarkan ongkos yang sangat mahal untuk mungkin
memperoleh ampunan. Soalnya kamu ini main-main..."
"Apa-apaan ini? Main-main apa?", saya memotong.
"Kamu ini artis, tapi merasa Kiai. Kamu ini pedagang, tapi merasa jadi juru dakwah!"
"Lho Iho Iho....", saya semakin tidak paham, "Omong apa ini! Artis bagaimana?
Pedagang bagaimana?"
Tapi rupanya Sudrun tidak perduli pada ketidakpahaman saya. la meraih peci saya
di meja dan memasukkan ke dalam tasnya sambil menggerundel: "Kamu pikir peci
ini tanda kemusliman atau kekyaianmu? Dulu salah seorang tokoh PKI juga tiap hari
pakai peci!". Kemudian surban yang tersampir di sandaran kursi diambilnya pula
dengan kasar, ia lemparkan ke atas almari, "Selembar kain yang membuat jutaan
orang terserang tahayul! Sehingga mereka percaya kepada sesuatu yang tidak bisa
dipercaya, sehingga mereka merindukan hal¬-hal yang sesungguhnya tidak ada!"
la terus menyerbu dengan gencar.
"Dan kamu menikmati tahayul itu. Kamu menikmati kebodohan massal orang-orang
yang mengerumunimu. Hanya dengan uluk salam yang fasih dan kutipan satu dua
firman ditambah kelicinan menggelitik telinga, mereka percaya bahwa kamu adalah
segala-galanya..."
Tiba-tiba satu tangannya memegang dagu saya, mendongakkannya dan
menghadapkan airmukanya yang amat keras ke wajahku, "Dan yang paling celaka
dari seluruh celaka rutin massal itu, kamu tahu apa? lalah bahwa kamu sendiri
percaya bahwa kamu adalah segala-galanya bagi ummatmu!"
Saya tertunduk lemas. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti semua ini.
"Kamu adalah manusia makhluk biasa ciptaan Tuhan yang dijunjung-junjung oleh
sejuta orang. Tiap hari dijunjung-junjung, setiap saat disanjung-sanjung, sehingga
kamu sendiri akhirnya yakin bahwa kamu memang pantas dijunjung-junjung dan
disanjung-sanjung. Sejuta orang memusatkan perhatian dan cintanya kepadamu.
Sejuta orang bersetia kepadamu seharian di bawah terik matahari dan guyuran
hujan. Sejuta orang beranggapan bahwa kamu sedemikian pentingnya bagi mereka,
hampir melebihi pentingnya Tuhan itu sendiri. Maka akhirnya kamu sendiri
menomersatukan dirimu, mengutamakan nama besarmu, melahap posisimu. Kamu
lupa bahwa kamu tidak penting. Kamu lupa bahwa jangankan kamu: bahkan alam
semesta dan seluruh isinya inipun tidak pentilng – yakni pada saat kamu tenggelam
di dalam kesunyian cintamu yang tunggal dan utuh kepada Tuhanmu. Kamu lupa
bahwa kamu ini bukan apa-apa...."
"Lantas kamu pikir apa kamu ini apa-apa!?", kali ini saya yang membentak.
"Apalagi aku!", ia mengejek, "Sedangkan kamu saja tidak penting, apalagi aku.
Justru karena aku tahu terus-menerus bahwa aku bukan apa-apa, maka aku punya
posisi dan kewajiban untuk mengingatkanmu bahwa kamu inipun bukan apa-apa.
Mulutmu yang manis bukanlah bikinanmu. Suaramu yang melengking bukanlah
produkmu. Retorika dan orasi romantikmu bukanlah hasil dari kehendakmu. Bahkan
kamu tidak pemah sanggup menciptakan sehelai rambutpun. Jadi kenapa kamu
merasa penting? Sehingga kamu sedemikian dahsyat mengkomoditisasikan
pentingnya kamu di mata berjuta-juta orang itu, lantas managemenmu kacau. Lantas
kamu sanggupi tumpukan keharusan-keharusan yang kamu tidak sanggup
memenuhi. Lantas terpaksa ingkar janji kepada nasabah-nasabah dan konsumen-
konsumen tertentu di suatu daerah? Apa kamu ini bintang film? Apa kamu ini
produser yang memasang brooker-brooker di setiap propinsi yang memperoleh laba
dari perniagaan keartisanmu? Sedangkan pedagang yang asli pedagang
sajapun setia untuk berdisiplin mensuplai pesanan¬pesanan yang sudah
terkonfirmasi. Kalau sebuah toko sudah terlanjur membayarkan uang panjar dan
memesan barang ke sebuah perusahaan pemasok, lantas pada saatnya barang itu
ternyata tidak datang: ia tidak akan menerima alibi ‘manusia merencanakan, tapi
Tuhan jua yang menentukan’. Pedagang saja tidak logis dan tidak etis beralibi
demikian. Apalagi kamu!", ¬ia mengepalkan kedua tangannya, "Aku sudah bosan
mendengar berita semacam itu berulangkali!"
Sudrun terengah-engah sendiri oleh serbuan-serbuan gencarnya kepada saya.
(Emha Ainun Nadjib/"Kiai Sudrun Gugat"/Graffiti Press/PadhangmBulanNetDok)
ENGKAU KACA BUKAN CAHAYA
APABILA berbicara tentang ummat, Sudrun selalu menangis. Sama dengan kalau ia
bersujud selewat dua paruh malam: ia melukisi kesunyian malam dengan isakan-
isakan tangis. Padahal untuk yang selain dua itu ia tak pernah menangis. Terhadap
rasa derita dirinya sendiri Sudrun selalu tertawa. Semakin pribadinya bersedih,
semakin ia tertawa. Tetapi setiap kali ia rasakan tangis ummat di sekitarnya, setiap
kali pula ia menangiskannya bertipat-lipat.
"Pusatkanlah perhatian dan enerji hidupmu kepada ummatmu, karena Allah lebih
bersemayam di kandungan hati mereka dibanding hati pemimpin-pemimpinnya",
katanya, terbata-bata karena isakan tangisnya, "Aku tahu itu dan aku bersaksi atas
pengetahuanku!"
Ya, arnpun. Dia jongkok meringkuk di sisi pintu bilikku.
"Aku sangat kecewa selama ini", ia meneruskan, "karena kamu terlalu asyik
memperhatikan dirimu sendiri. Kamu terlalu tenggelam berkonsentrasi pada
kebesaranmu, pada perusahaan popularitasmu. Padahal ummatmu sangat lapar,
amat sangat lapar, tanpa tahu apa yang sesungguhnya ingin mereka makan – dan
kamu tidak menunjukkan kepada mereka hal itu. Ummatmu sangat merasa
kehausan, amat sangat kehausan, tanpa mereka mengerti apa yang sebaiknya
mereka reguk – dan kamu tidak menyodorkan minuman yang tepat bagi rasa haus
mereka yang telah berkurun-kurun lamanya..."
Sudrun bagai hendak meraung. Dan aku sendiri lebih dari itu: aku ingin memekik-
mekik sekeras-kerasnya untuk menggulung habis seluruh getombang perasaan
yang membelit dadaku. Aku ingin badanku meledak, pecah berantakan dan sirna!
*****
Beberapa waktu yang lalu Sudrun mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan
beruntun yang membuatku tergagap karena kebingungan, sehingga akhirnya ia
jawab sendiri kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu.
"Siapakah kamu?"
Aku menyebut namaku.
"Bukan!", bentaknya, "itu hanya namamu. Itu belum tentu kamu!"
Kemudian ia memegani tanganku, lenganku, pundakku dan seterusnya sambil terus
mencecar: "Ini tanganmu, bukan kamu. Ini lenganmu, bukan kamu. Ini pundakmu,
bukan kamu. Ini otakmu, bukan kamu. Ini hatimu, bukan kamu. Ini semua bukan
kamu, meskipun kamu dan semua orang menyangka ini adalah kamu. Ini semua
bukan kamu. Kamu adalah yang memimpin ini semua!"
"Yang dikerumuni oleh sejuta orang itu juga bukan kamu, bukan namamu, melainkan
suara kerinduan di kedalaman jiwa mereka sendiri. Kamu jangan salah sangka,
jangan GR, jangan mengambil alih dan memonopoli sesuatu yang kamu sangka
kamu dan milikmu. Kamu ini hanya kaca, bukan cahaya. Kamu hanya lempengan
pemantul, bukan sumbernya! Kalau orang membungkuk-bungkuk dan menciumi
tanganmu karena mengagumi, sesungguhnya bukan kamu yang dikagumi. Kamu
hanya petugas yang mengantarkan sesuatu yang dikagumi oleh nurani ummat
manusia. Kalau karnu menyangkua bahwa sesuatu itu adalah kamu sendiri, kamu
akan hangus terbakar!"
Di hadapan Sudrun, mulutku selalu kelu.
"Kamu ini Muslim. Siapa Muslim? Muslim adalah manusia yang merelakan dirinya
dipekerjakan oleh Allah. Dipekerjakan bagaimana? Siap menjalankan amanatNya.
Amanat apa? Serangga-serangga kecilpun diselenggarakan eksistensinya oleh
Tuhan dengan mengamban amanat. Ayam diamanati untuk memasok gizi kepada
manusia dengan daging dan telornya. Laba-laba diamanati untuk melindungi Rasul
Allah dan Sayyid Abu Bakar ketika mereka dikejar saat berhijrah oleh pasukan Abu
Lahab. Dan apa amanat untuk kamu?"
"Ada perbedaan serius antara kamu dengan ayam. Ayam langsung menjalani
amanat itu tanpa jarak ontologis, tanpa eksplorasi intelektual dan tanpa kreativitas
budaya. Laba-laba langsung mengerjakan amanat itu tanpa harus memiliki wawasan
yang matang tentang apa yang sedang berlangsung di dalam sejarah kemarin,
sekarang dan besok. Ular menjalankan amanat itu tanpa kewajiban untuk
mengantisipasi dan menemukan determinasi terhadap struktur-struktur
permasalahan mikro dan makro komunitas manusia. Dedaunan, akar-akar pohon,
sulur di rimba raya, menjalani amanat itu tanpa keharusan untuk berpikir konstan
agar menemukan modus gerakan sejarah yang paling effektif. Kalau kamu
menjalankan amanat di pundakmu tanpa upaya maksimal untuk merancang gerakan
sejarah semacam itu, maka apa beda antara kamu dengan serangga, dengan ayam,
ular dan laba-laba? Padahal di balik amanat itu, Allah telah memberimu fasilitas-
fasilitas yang canggih, yakni yang berupa kesanggupan
magnetikmu untuk menyerap sejuta ummat, serta ummat itu sendiri. Ummat adalah
fasilitas dari Tuhanmu. Ummat adalah pemantul amanatNya untukmu..."
(Emha Ainun Nadjib/"Sudrun Gugat"/Grafitti/PadhangmBulanNetDok)
BAJU ITU TANGGAL DI HADAPAN TUHANMU
ITULAH malam paling menyakitkan yang pernah kualami.Tapi akhirnya aku tahu
bahwa ada perbedaan besar antara rasa sakit dengan penyakit. Penyakit itu
destruksi terhadap hakekat hidup. Tapi sakit justru sanggup membawamu memasuki
sebuah situasi sakral yang misterius. Ada semacam tetesan kebahagiaan yang
diiming-imingkan oleh rasa sakit, oleh luka dan kepedihan. Aku yakin engkaupun
tahu bahwa ternyata rasa sakit dan kepedihan sesungguhnya adalah kebahagiaan
yang tidak menjumpai tempat persemayamannya di dalam jiwamu.
Aku pernah menjadi seorang Bupati dan aku menyangka bahwa aku adalah Bupati,
sehingga ketika aku tak lagi menjabat sebagai Bupati aku merasa kehilangan diriku
sendiri. Aku pernah menjadi seorang Menteri, di saat lain aku menjadi seorang
Jendral dengan jabatan dan kewenangan besar. Aku juga pernah menjadi seorang
bos besar dari sebuah perusahaan, kemudian menjadi pemimpin panutan beribu-
ribu orang yang setiap kali ketemu setia mencium punggung tanganku.
Ketika kemudian aku berangkat tua, aku mulai tak bisa mengelak untuk mengerti
bahwa sesungguhnya aku bukan bos besar, bukan penguasa dan bukan pemimpin.
Dan akhirnya tatkala orang-orang mengakat kerandaku dan memasukkanku ke
lubang kuburan yang begitu amat sempit dibandingkan yang pernah kubayangkan
tentang kebesaran hidupku: aku sungguh-sungguh memahami bahwa yang
dikuburkan ini bukanlah menteri, bukan bos besar, bukan pemimpin masyrarakat.
Yang meringkuk di kuburan dan tak bisa mengelak dari tangan Mungkar dan Nakir
ini adalah diri yang sama sekali lain, yang selama hidupku justru jarang kusapa dan
kuperhatikan.
Pada saat itulah tumbuh kecerahan pikiran dan sekaligus penyesalan. Betapa si
bupati, si menteri, si bos besar dan si pemimpin ummat, seharusnya sudah sejak
awal kukuburkan sendiri; dan semestinya aku melawan habis-habisan apabila
beribu-ribu orang itu mencoba menggali, menghidupkan, mengangkat di atas kepala
mereka sambil menyanjung-nyanjung sesuatu yang telah kukuburkan itu.
Aku bukan bupati, karena yang disebut bupati itu hanyalah bajuku. Aku bukan
menteri, sebab yang bernama menteri itu hanyalah nama dari tugasku. Aku bukan
bos, bukan pemimpin, bukan kiai, bukan ulama, bukan budayawan dan bukan apa
saja – karena semua itu sekedar inisial untuk menandai pekerjaan hidup sosialku.
Baju itu tanggal di hadapan Allah. Dan tanggalnya bajuku tak usah menunggu
mautku. Tak usah menunggu hari tua rentaku. Tak usah menunggu habisnya masa
tugasku. Tak usah menunggu orang lain mencopotnya paksa dariku. Di hadapan
keagungan Allah baju telah tanggal sekarang juga, bahkan sudah tanggal sebelum
ia kukenakan di badanku.
Di hadapan Allah baju itu tanggal. Jadi di manakah ada tempat di mana baju itu tidak
tanggal? Di manakah aku hidup, bertempat tinggal, bekerja, bersujud dan bernyanyi-
nyanyi, selain di hadapan Allah? Adakah tempat untuk mengungsi dari hadapanNya
selain di wilayah¬Nya jua? Adakah alam, kosmos, arasy, galaksi, ruang dan waktu di
mana aku bisa terhindar dari penglihatan-Nya?
Aku tidak bisa hidup kecuali di hadapanMu, ya Ailah. Kalau aku berdiri di podium,
Engkaulah itu yang menatapku. Kalau mulutku memekik-mekik dan tanganku
kuacung¬acungkan di hadap beribu orang di lapangan atau stadion, Engkaulah
hadirinku yang nomer satu. Wajahku menatap ribuan orang itu, tapi jiwaku tidak
menghadap mereka, jiwaku bukanlah yang sedang mereka tonton dan kagumi:
karena hanya Engkaulah satu-satunya yang berhak atas segala puji, segala
kekaguman, rasa cinta dan syukur.
Kami semua, berjuta-juta orang, bersama alam, matahari, cahaya dan segala yang
tersembunyi di baliknya, menatap ke satu arah yang sama, yakni Engkau.
Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi pusat perhatian mereka yang berjuta-juta
itu, ya Rabbi, karena aku tak kuasa menjadi pusat perhatian. Aku tidak akan
membiarkan orang berjuta-juta itu melihat kearahku, mengkonsentrasikan jiwanya
kepadaku, ya Rabbi, karena aku akan terbakar luluh sirna jika berani-berani
mengambil alih sesuatu yang menjadi hakMu. Aku akan berlari dari setiap arus
massa yang mengidolakanku, yang memberhalakanku, yang memenjarakanku di
dalam sangkar tahayul mereka. Aku akan memberontak dari setiap enerji sosial
yang menyandera hakekatku untuk dijadikan patung sesuai dengan konsep budaya
dan penyakit jiwa mereka. Kalau mereka memaksaku, aku akan menghilang. Kalau
mereka mendesakku, aku akan terbang. Kalau mereka memojokkanku, aku akan
tiba-tiba berada di balik punggung mereka. Kalau mereka mencengkiwing leherku
dan mencengkeram tengkukku untuk mereka jadikan sesuatu yang berdasarkan
klenik kesengsaraan mereka, aku akan berlaku gila
sampai mereka membenciku.
Ya Allah, ampunilah hambaMu yang bodoh ini. Ampunilah saat-saat ketika aku tidak
sanggup melihat apa-apa kecuali yang kusangka kebesaranku. Ampunilah tahun-
tahun tatkala aku menikmati posisiMu: dipuja-puja, dijadikan bahan histeria sejarah,
sehingga seolah-olah jiwaku bergumam sendiri - 'Laa ilaha illaAna...'
Ampunilah hari-hari kedunguanku di mana yang kunomersatukan adalah namaku,
popularitasku, posisi sejarahku di jenjang kursi yang amat tinggi yang disangga oleh
pundak jutaan orang. Ampunilah kelalaianku yang nikmat membiarkan berjuta-juta
orang menyangka bahwa aku ini besar dan sungguh-sungguh memiliki kebesaran.
AllahuAkbar Wa Lastu...
Tetapi kutuklah dan persiapkan api neraka bagi kejahatanku tatkala aku
memperniagakan kebesaran yang kusangka milikku. Tatkala aku
mengkapitalisasikan, memperdagangkan, dan mengeksploitasikan amanatMu itu
untuk perolehan kemewahan hidup keduniaanku.
Ya Allah, Dzat satu-satunya yang benar-benar ada, betapa terlambat aku mengakui
bahwa pada hakekatnya aku ini tiada. Bahwa segala yang seolah-olah kumiliki ini
adalah milikMu. Bahwa kehidupan, alam semesta, kemanusiaan, dan yang kusebut
diriku sendiri ini sesungguhnya tiada. Engkau meng-ada-kannya, Namun ada-ku
palsu. Engkau sajalah yang sejati ada.
(Emha Ainun Nadjib/"Sudrun Gugat"/Graffiti/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (7-Tamat)
Muhammad adalah sufi teragung yang pemah ada di muka bumi. Ucapan-ucapan
beliau amat puitis dan mengandung keindahan yang kaffah bersama kebaikan dan
kebenaran. Namun yang lebih penting yaitu bahwa beliau tidak hanya berhenti
merenung di gua Hira dan berasyik-asyik sebagai sufi-nabiy yang "masuk sorga
tanpa mengajak orang lain". Muhammad keluar dan gua, tampil membebaskan
masyarakatnya dari belenggu jahiliyah. Ia menjadi manusia pemimpin dalam arti
yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Ia menjalankan fungsinya yang ganda,
tak hanya menjadi sufi-nabiy, namun juga sufi-rasuli dan itulah karya tasauf terbesar.
Maka engkau semua adalah sufi-sufi, sebab bagaimana mungkin kita hindarkan
dirnensi-dimensi tasauf itu dalam proses taqorrub kepada Allah. Aku kira akan
segera kita jelang suatu masa di mana kaum Muslimin makin mampu menemukan
formula kekhalifahan mereka dengan mengorganisir mengerjasamakan pekerjaan-
pekerjaan rasuli dengan pekerjaan-pekerjaan nabi.
Kini semakin melebar dan teracu berbagai pertanyaan dan terobosan terhadap
pemaknaan-pemaknaan baru atas nilai-nilai Islam. Ummat Islam telah mulai belajar
kembali, menyongsong kewajiban mereka di masa datang untuk memimpin
kebudayaan dunia islami. Pengertian-pengertian yang jumud tentang Islam kini
mulai diurai kembali. Arti sholat dikembangkan sayapnya. Telinga mereka makin
kritis kalau harus mendengar fatwa-fatwa klise tentang puasa yang selalu disebut
"untuk menghayati penderitaan kaum miskin" seolah-olah puasa itu dikhususkan
bagi orang-orang kaya, sehingga puasa bagi orang miskin ialah "untuk menghayati
penderitaan dirinya sendiri". Zakat digugat. Tentu bukan zakatnya yang digugat,
melainkan kebekuan radar kreativitas kita terhadap arti zakat. Islam mulai
menumbuhkan sistemisasi zakat yang lebih realistis, sekaligus merintis pendidikan
manusia-manusia penzakat yang tidak lagi harus ditodong agar berzakat. Dan
puasa, diterjemahkan ke dalam kehidupan
nyata. Orang mulai berkata: Kalau sekedar puasa Ramadhan, tidaklah terlalu berat.
Tetapi justru puasa dalam kehidupan nyata yang berkaitan dengan kesempatan
kerja, penikmatan ekonomi, jabatan, uang pensiun, popularitas, dan seterusnya
sungguh-sungguh merupakan tantangan yang menawarkan kematangan
kemusliman yang baru dan lebih realistis. Akan juga tiba giliran pertanyaan kepada
perolehan air madu haji: bahwa rukun haji bukan hanya menyangkut persoalan
fasilitas. Bahwa haji tidak sekedar nomor unit sesudah syahadat. Haji adalah
merupakan peringkat sesudah mencapai kematangan sholat, puasa dan zakat.
Siapapun silahkan memfungsikan haji sebagai instrumen kepentingan mobilisasi
politik atau investasi bisnis ekonomi, namun anak-anak muda Muslimin mulai peka
saraf-saraf rohaninya terhadap kebenaran tempelan yang berbeda dengan
kebenaran sejati.
Pada saat yang sama proses pemaknaan kembali atas nilai-nilai Islam itu disertai
oleh urgensi keharusan mengatasi problem kaum mustadh'afin. Dan tidak sedikit
anak-anak muda Kaum Muslimin yang sudah terjun langsung ke dalam pekerjaan
melelahkan ini, betapapun organisasi dan strategi-strategi untuk itu belum benar-
benar ditemukan rumusnya. Mereka tidak bisa tahan hati menunggu keputusan
seminar para dewa yang akan mengungkapkan strategi itu, maka meskipun masih
bersifat sporadik, fragmentaris dan ornamental mereka sudah mencoba langsung
mengerjakannya. Untuk mewujudkan perilaku kemusliman tidak hams menunggu
mode baru Ratu Adil yang berupa suksesi tampuk kepemimpinan politik atau
tersedianya wadah kenegaraan bagi sistem nilai baru yang islami. Mereka langsung
menabung
Apa yang saya maksud dengan "tabungan Islam" adalah proses islarnisasi dalam
arti kebudayaan luas serta dalam satuan-satuan nilai yang universal. Mereka
Menabung agar tidak terbawa menjadi lemah tanpa harus menunggu formula
kenabian baru dari atas yang coba dibangun dengan buku-buku dan diskusi-diskusi.
Mereka menabung agar tidak ikut dilemahkan tanpa harus menanti usaha
rekonstruksi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah atau Nandlatul Ulama,
tanpa harus menanti perombakan total isi siaran televisi, lahirya sutradara-sutradara
film yang islami atau keinsyafan kultural edukatif para cukong perdagangan
kebudayaan sekuler. Mereka menabung untuk tidak melemahkan dengan melatih
diri terbiasa berpuasa menahan diri dari segala godaan kesempatan, terutama
kekuasaan, uang dan kemewahan; dengan merintis pemanfaatan kebiasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk suatu langkah yang lebih islami. Mereka
menabung pekerjaan-pekerjaan yang mereka yakini bersifat
islami tanpa harus menunggu keputusan para Ulama dan cerdik cendekia tentang
definisi islami yang paling tepat dan tidak subversif. Mereka menabung untuk tidak
mendmbali jumlah orang yang lemah dan dilemahkan tidak dengan hanya
membayangkan bagaimana memperoleh granat tangan untuk meledakkan gedung
ini dan kantor itu, tidak dengan menyelesaikan dahulu penyelidikan atas rahasia
World Bank, rencana-rencana CIA dan KGB atau apa maksud sebenamya dari
dilimpahkannya uang dengan jumlah yang sangat banyak oleh organisasi-organisasi
non-pemerintah di luar negeri kepada yang disebut pejuang-pejuang penolong kaum
dhu'afa. Mereka menabung untuk tidak menambah jumlah orang yang lemah dan
dilemahkan tidak dengan membayangkan bagaimana meng-genggam seluruh
persoalan dunia ini di sebuah tangannya; melainkan dengan mengerjakan apa yang
dapat is kerjakan sebatas langkah kakinya, jangkauan tangannya dan kapasitas
tenaga hidupnya.
Pada suatu hari kegagapan makro dan hubungan mikro itu akan bertemu dalam
suatu rangka pengelolaan yang lebih artikulatif strateginya. Ummat Islam telah rnulai
bekerjasama dengan janji Allah "wanuriidu an-namunna
'alalladziina-studh'ifuu filardli wanaj'aluhum al-immatan wanaj'aluhumu-
lwaaritsuun ..."
Itulah thariqat modem. Itulah thariqat islami, yang historis, realists, tidak melarikan
diri.
Bagiku sendiri menjadi kelas beda antara tasauf nabiy dan tasauf rasuli. Kejelasan
itu memberi petunjuk bahwa aku-aku atau engkau-engkau para mujahid yang
sebagian tergolong dalam mujahid-nabiy, sebagian lain mujahid rasuli.
Pertama tetap kupegang kesadaran tentang kepemimpinan rohani tasauf atas
perjalanan hidup manusia. Tasauf memelihara kedalaman, menjaga kemesraan
pergaulan dengan Allah, dan selalu mengingatkan kita untuk mempedomaniNya.
Dimensi tasauf yang ini sama sekali tidak bisa digugat.
Pedoman pada kepemimpinan spiritual tasauf yaitu suatu pekerjaan thariqat yang
realitas dalam urusan-urusan kehidupan manusia dan masyarakat.
Masing-masing tipe ini membawa serta tanggung jawab yang berbeda, perilaku dan
strategi yang berbeda, godaan-godaan yang berbeda, kemudahan-kemudahan dan
kesulitan yang berbeda.
Akan tetapi seorang sufi-rasuli tidak boleh mengingkari alam hidup ummat, bahasa-
bahasa dan idiom-idiomnya. Segala karya tasaufnya harus diterjemahkan ke dalam
bahasa ummat, dengan resiko ia bisa menjadi tidak kental sebagai individu karena
pada hakekatnya yang ia lakukan ialah melebur diri ke dalam hatinuraninya dan
tubuh ummat. Karya tasaufnya tidak diwujudkan dalam sistem format subyektif
individual, melainkan integral dengan keperluan-keperluan Islami sebuah
masyarakat.
Muhammad adalah sufi teragung yang pemah ada di muka bumi. Ucapan-ucapan
beliau amat puitis dan mengandung keindahan yang kaffah bersama kebaikan dan
kebenaran. Namun yang lebih penting yaitu bahwa beliau tidak hanya berhenti
merenung di gua Hira dan berasyik-asyik sebagai sufi-nabiy yang "masuk sorga
tanpa mengajak orang lain". Muhammad keluar dan gua, tampil membebaskan
masyarakatnya dari belenggu jahiliyah. Ia menjadidangkan seorang Nabi tidak
dituntut sejauh itu, meskipun dalam beberapa segi barangkali ia lebih kental dan
mumpuni dibanding manusia Rasul.
Masing-masing tipe ini membawa serta tanggung jawab yang berbeda, perilaku dan
strategi yang berbeda, godaan-godaan yang berbeda, kemudahan-kemudahan dan
kesulitan yang berbeda.
Akan tetapi seorang sufi-rasuli tidak boleh mengingkari alam hidup ummat, bahasa-
bahasa dan idiom-idiomnya. Segala karya tasaufnya harus diterjemahkan ke dalam
bahasa ummat, dengan resiko ia bisa menjadi tidak kental sebagai individu karena
pada hakekatnya yang ia lakukan ialah melebur diri ke dalam hatinuraninya dan
tubuh ummat. Karya tasaufnya tidak diwujudkan dalam sistem format subyektif
individual, melainkan integral dengan keperluan-keperluan Islami sebuah
masyarakat.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (5)
Itu semua semacam thariqat.
Kegagapan sejarah semacam itu juga dialami oleh anak-anak muda berbagai
sejarah dan tempat, namun anak-anak muda Muslimin kini boleh menjalinnya
dengan kesadaran dan sikap nilai yang baru. Bahkan untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman keilahian yang lebih suci dan dewasa sebagai anak-anak
muda itu kini secara naluriah mengambil jarak dari Tuhannya. Kita barangkali
mencemaskan mereka karena sudah lama tak sembahyang, bahkan Allah seperti
dibencinya dan bahkan dianggapnya tidak ada. Kita tinggal terus mengawani
mereka dengan kadar cinta kasih yang lebih tebal, serta dengan menerjemahkan
serinci mungkin kesadaran tharigat itu ke dalam kemungkinan-kemungkinan sistem
nilai manusia dan masyarakat sehingga mereka 'berpapasan' kembali dengan Allah
yang sejati.
Sadar atau tidak sadar kini telah dirintis suatu terobosan pemahaman dan
pengalaman keislaman. Anak-anak muda Muslimin telah lama tidak puas dengan
polo-pola thariqat para pejalan agama tradisional: dzikir-dzikir verbal, gerak-gerak
menuju mabuk, dengan beratus ribu orang lain yang terorganisir, yang akhirnya
terjebak untuk sekedar melarikan diri dari dunia yang tidak mampu dirumuskan dan
diatasinya. Eskapisme tasauf 'budhistik' ini akhirya menjadi kartus-minus bagi
keperluan riil sejarah ummat manusia. Di saat lain kecenderungan ini bahkan
menjadi semacam legalisasi kemunafikan, ingatlah umpamanya suatu model teologi
timbangan (mizan) di mana pada siang hari orang-orang itu suntuk mengerjakan
berbagai kemungkaran yang hampir selengkap malima (maling, madat, minum,
madon dan main), sementara malam harinya mereka bersama-sama berdzikir
verbal, bersujud kepada Allah dan menangis sejadi-jadinya.
Anak-anak muda Muslimin sudah terlanjur diajari mengerjakan penalaran dan akal
sehat, meskipun dengan banyak ironi-ironi sebagai sertaan pendidikan tersebut.
Namun akal sehat mereka membawa kesadaran untuk tidak menerima sebagian
perilaku thariqat tradisional tersebut.
Mereka lantas kembali menengok tradisi, namun sudah dilandasi dengan paradigma
sikap, wawasan dan kedewasaan ijtihad yang baru. Mereka menggagas dan
melayani alam tradisi dan alam modern mulai dengan suatu cara bergaul yang
kaaffah. Mereka tidak lagi meninggalkan tradisi tanpa sisa, melainkan melihat bahwa
apa yang terjadi hanyalah mandegnya kreativitas thariqat tradisional. Alam modern
juga tidak dilihatnya sebagai sebuah dunia lain sama sekali, melainkan sebagai
sejarah kreativitas kemanusiaan baru yang sesungguhnya memberi arti dan
fenomena baru bagi thariqat lama yang beku dan kekanak-kanakan.
Anak-anak muda Muslimin bahkan mulai tahu bahwa thariqat-thariqat verbal itu
bukan tak mereka butuhkan. Itu tetap merupakan tehnik penyucian dan
pembongkaran rokhaniah yang praktis. Namun diketahui oleh mereka juga bahwa
bentuk-bentuk thariqat kini sangat berkembang ragam karena tantangan-tantangan
persoalan manusia pun sudah sangat berbeda. Tinggal persoalannya bagaimana
memperlakukan sekolah, buku-buku sekuler, terminologi-terminologi peradaban
buntu, segala pemahaman dan perlawanan terhadap gejala jahiliyah dengan suatu
sikap tharikat yang sadar dan selalu dibersihkan. Sepanjang mereka berwudlu pada
setiap pengalaman kesejarahan, yang kecil maupun besar, maka makna thariqat itu
akan insya Allah mereka peroleh sebagai nuur Allah.
Itu semua merupakan rintisan perwujudan giliran Islam untuk memimpin sejarah
dunia.
Syari'at adalah alam. Hakikat adalah realitas sosial. Thariqat merupakan semacam
kata kerja dialektis yang berada di antara syari'at dan hakikat serta sekaligus
mentrandensi atau mengatasinya. Hanya dengan kekhusyukan thariqat maka
ma'rifat akan dicapai.
Islam sangat lengkap dengan petunjuk. Agama ini sedemikian bercahaya. Anak-
anak muda Muslimin kini makin menyadari bahwa Al-Qur'an adalah kepustakaan
utama. Mereka kini merasuki kitab sucinya dengan pola pendekatan modem yang
mereka peroleh dari keilmuan Barat. Pada suatu hari mereka akan menemukan
bahwa Al-Qur'an itu sendiri adalah sebuah pendekatan, adalah sebuah metodologi,
adalah gambaran dasar dari cara pandang dan terminologi hadiah Allah untuk
melihat dan mengolah dunia, manusia dan proses kembali ke sumbernya.
Alyauma akmaltu lakum diinakum hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu
segala sesuatu yang dimungkinkan oleh jatah kodrat manusia telah dipuncaki oleh
Muhammad dan Al-Qur'an. Kalimat ini kita ucapkan tidak sebagai kamuflase dari
kekalahan kesejarahan Ummat Islam atau sebagai hiburan-hiburan jumud sehabis
kita tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan abad ini secara islami. Kalimat ini
kita ucapkan dengan landasan keyakinan dan iman, dibangun di atasnya rintisan-
rintisan pengislaman diri dan dunia dengan membanting tulang dan memeras
keringat dalam thariqat.
Muhammad telah menjadi pamungkas segala Nabi dan sesudah beliau tidak ada
lagi wahyu diturunkan. Mendengar berita kesempumaan itu lantas anak-anak muda
Muslimin lantas kecewa, dengan rasa pilu seolah-olah mereka hidup amat jauh dari
Muhammad dan wahyu. Seolala-olah sejarah pencahayaan dan Allah telah berhenti
14 abad yang lalu, dan kini mereka hanya menerima pantulan-pantulan dari cahaya
dari tangan yang entah keberapa ribu.
Sahabat saya pernah menulis dengan amat erosional dan aku menyetujui emosi
yang memang syah itu. Inilah hasil dari rezim yang terlalu kuat, tetapi ini juga
kebiasaan sejarah. Mayoritas anak-anak muda dijadikan dan menjadi bebek-bebek,
ternak-ternak, angka-angka, barisan robot mesin politik perusahaan negara.
Sementara tumbuh minoritas yang fanatik, puritan, kolot, absolut, penuh 'garis
partai', maunya radikal namun untungnya mereka masih kurang tahan dengan
gigitan nyamuk.
Untuk hadir di tengah-tengah mereka para 'oposan bikirtari konteksnya tentu saja
'dialektika kekuasaan'. Anak-anak suci tersebut digosok sampai nikmat, dikasih
kacamata kuda, dikasih sabun untuk onani politik, dipacu, dijaring, diwuwu, dibikin
merasa berjuang, merasa pahlawan, merasa secara intelektual mereka yang paling
tahu dibanding seluruh penduduk seluruh dunia dan secara politis mereka akan
memimpin perubahan sejarah. Namun pada saat yang sama mereka dibodohkan,
dijadikan seperti ular yang berkulit terlalu lembut dengan kepala mendongak terbuka
untuk pada suatu hari dipukul dengan popor senapan. Setidaknya akan datang para
pekerja publisitas yang memotreti pekerjaan mereka, dan situasi itu memang
memuaskan, karena tidak sedikit dari mereka meletakkan diri tidak pada aksentuasi
kepentingan perubahan melainkan pada ekshibisi bahwa merekalah perubah-
perubah. Artinya, yang mereka artikulir dan mereka perjuangkan, bukanlah kaum
lemah yang selalu
disebut-sebut oleh teriakkan mereka, melainkan supremasi model baru kelas
mereka sendiri.
Kawan itu mengeluh juga soal kesenian. Di satu pihak kesenian asyik onani sendiri
dengan apa yang disebut seni tinggi, lainnya sibuk mengelontongkan ludah indah di
pasar persekutuan kapitalis, lainnya lagi di'partai'kan secara plat sehingga
kehilangan kesenian, kehilangan kebudayaan, dan akhirnya kehilangan manusia.
Ia seolah-olah, ketika itu, berputus asa: sesungguhnya, ia berkata, di hadapan
rakyat miskin, kita bukanlah pemrakarsa perubahan dalam arti yang obyektif historis,
melainkan tidak lebih sebagai pejuang dari pamrih-pamrih ideologis
kita sendiri. Kita ingin memperkosa rakyat dengan fanatisme cara pandang kita,
dengan mimpi-mimpi Eropa atau Iran kita, dengan azas tunggal kebenaran kita...
Namun aku yakin begitulah memang proses mencari kebenaran. Pada suatu hari ia
akan mengendap, dan apa yang perlu diorganisir, akan siap untuk itu.
Aku melihat perubahan memang ada alamnya sendiri. Apalagi dunia anak-anak
muda. Mengapa kita harus menolak gejala-gejala itu. Ada belajar, ada diskusi, ada
percekcokan, ada pertentangan, pendapat nasional diantara para calon pemimpin,
ada bendera yang terlalu cepat dikibarkan, ada penyakit jiwa, ada kelahiran
prematur, ada kcbengongan sejarah. Ada cinta kasih kerakyatan, ada ketololan
perjuangan, ada kesadaran baru, ada karbit, ada kesetengahmatangan, ada muallaf,
ada putus asa, ada harapan, ada belajar, terus ada belajar
(bersambung) =====>>
Di depan rumah berarsitektur istana berpagar tinggi berkawat duri, dari balik jeruji
pintu, kita menawar harga belanga dari Rp 250,00 menjadi Rp 100,00. Cita-cita kita
ialah ikut memenuhi jalan-jalan raya dengan mobil-mobil pribadi, sehingga hak
jutaan orang yang berjejal-jejal antri di Bus atas jalan raya tidak sungguh-sungguh
menjadi hak. Kita menyembah manipulasi dan akumulasi, kita menumpahkan tenaga
dengan musik rock atau segala macam kebudayaan penghisap daya rohani yang
sesungguhnya bisa kita pakai untuk urun memperbaiki dunia; sementara nyanyian
Ummi Kaltsurn yang menghimpun energi terasa amat ikut 'penerbang' elite
intelektual. Dan dengan bekal kedewasaannya itu mereka telah secara serius
mengerjakan banyak hal yang mereka sangka sebagai menolong dan mendidik
orang-orang tertindas. 'Blunder'nya terletak pada dua faktor; pertama kualitas
manusia mujahidnya, kedua pada jarak antara pengetahuan dengan realitas.
Itu memprihatinkan, dan kita butuh menyadarinya sebagai keprihatinan, karena kita.
sungguh-sungguh ingin berbuat sesuatu untuk persoalan mendasar itu. Pada saat
yang sama keadaan itu patut disyukuri: semua gejala itu jujur secara sejarah. Itulah
anak jaman kita apa adanya. Dajjalisme dan dajjalisasi sudah sedemikian menjadi
dan mobil kebingungan di tengah-tengahnya adalah situ model langkah yang sama
sekali tidak aneh.
Di dalam perspektif jaman dajjal anak-anak muda merasa diri berada dalam
kurungan imperium raksasa di mana 'atas' menginjak 'bawah', di mana 'utara'
menguasai 'selatan', di mana 'barat' mengalahkan 'timur' - meskipun yang terakhir
mulai cenderung pupus karena lewat kebudayaan orang lebih mampu antisipatif
dibanding kalau mereka menghadapi kerajaan politik atau dominasi ekonomi.
Dan tidak ada yang lebih menyiksa dalam hidup ini kecuali bermusuhan melawan
ketidakmenentuan. Maka sebagaian anak-anak muda ingin secepatnya menemukan
sosok yang dianggapnya paling jelas mewakili sumber ketidakmenentuan itu, dan
segera pula menabrakkan kepalanya ke dinding karang sosok tersebut. Hal
semacam ini sama sekali tidak aneh, karena sang anak ketidakmenentuan akan
melahirkan juga ketidakmenentuan.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (2)
Aku merasa jelas bahwa aku tak kunjung paham kedua-duanya. Namun aku melihat
jarak itu ada, dan di dalam jarak tersebut aku sering menyaksikan usaha-usaha
santunan dari yang pertama kepada yang kedua mengalami kebuntuan atau
keterjebakan. Oleh jarak itu aku sendiri sering dibikin gagap, tak becus
mendudukkan pikiran, bingung menentukan kuda-kuda sikap, bahkan tidak jarang
aku menjadi kehilangan diriku sendiri. Di dalam perjuangan gencar memerangi
proses pemiskinan itu sering aku menjumpai diriku tak lebih dari sejumlah kalimat
indah yang hampa.
Maka aku juga bersyukur bahwa Para mujahid itu tidak bertanya apa yang telah
kukerjakan untuk ikut mengatasi problem kemiskinan membebaskan kaum dlu'afa?
Sedang kakak-kakakku dalam sejarah lebih mengajariku untuk mensiapakan aku,
untuk memacu siapa aku agar melebihi siapa-siapa pun lainnya di muka bumi ini.
Aku kurang dididik untuk menyerahkan diri kepada kebaikan proses masyarakat,
melainkan dicontohi bagaimana memfungsikan proses masyarakat untuk
kepentingan eksistensialku. Itu bisa ditempuh dengan cara menunggang kuda
kemiskinan orang banyak, atau menunggang kuda baru yang diciptakan untuk
mengantisipasi kuda kemiskinan. Sedemikian rupa, sehingga semakin cepat kuda
kemiskinan berlari, makin cepat pula kudaku memacu diri. Jika kuda kemiskinan
berhenti, akupun tak bisa mengendarai kuda apapun.
Aku berharap hal yang terakhir ini tidak bakal terjadi. Namun kenyataannya banyak
bukti di lapangan memberitahukan kepadaku bahwa para mujahid sehubungan
dengan itu butuh sangat berhati-hati, terutama terhadap dirinya sendiri.
Sangat nikmat untuk mengepulkan asap warna-wami, menghias angkasa dan koran-
koran dan itu baik, sungguh baik tetapi Allah maha lembut bagai sapuan angin
sekaligus maha besar melampaui alam semesta: di hadapanNya, seorang muslim
menjawab segala sesuatu dengan hidupnya.
Kata-kata dari seseorang, terhindar dari dosa bahkan dosa besar apabila ia
merupakan hidup seseorang itu. Aku mengalami bahwa di antara pikiran-pikiran
dengan kehidupan, terdapat banyak ragam lakon dosa. Pembayangan terhadap
lakon itu merupakan cara yang balk untuk memojokkan diri hanya sungguh-sungguh
ke Allah. Ke Allah, yang dewasa ini nampaknya harus dilalui melewati jalan di mana
keadaan hidup orang-orang miskin muncul di hadapan akidah kemusliman sebagai
amrullah, perintah Allah untuk mengatasinya.
Konteks yang menyatukan orang-orang miskin dengan amrullah ini mungkin berat
kita sangga: jaman ini makin memiliki kecanggihan untuk menghiasi jarak antara
pikiran-pikiran dan bukti, kenyataan hidup
Lihatlah, bukankah ungkapan ini berasal dari cacah jiwa orang miskin: emosi, impian
dan inferioritas? Ketiga faktor psikologis itu tidak pernah dimiliki oleh misalnya
seorang perampok, apapun jenis, nama atau julukan bagi perampok itu.
Aku tidak sedang berbicara tentang term 'kapitalistik' yang menyebut adanya kaum
intelektual profesional', atau pekerjaan-pekerjaan melelahkan membantu orang
miskin yang terjebak oleh kenyataan 'an other trickle down effect'.
Mungkin ini sentimentil aku saja. Mengapa aku tak bisa tidak mengungkit-ungkit
'manusia'? Apakah karena manusia telah tak bisa menjadi troof perubahan dunia
manusia itu sendiri? Apakah karena segala teori perubahan cenderung
mengandaikan manusia itu tak bisa dipercaya? Dan istiiah 'tabungan manusia' itu
tidak memaksudkan manusia sebagai manusia, melainkan manusia sebagai
instrumen dari abstraksi-abstraksi yang diciptakan oleh manusia sendiri?
Dan anggaran bagi kucing dan anjing Amerika mencapai 3,2 milyar dollars setahun.
Dan ribuan becak yang tak manusiawi itu dikubur di laut. Dan seorang tukang becak
melarikan becaknya pulang kampung, dari Jakarta ke Tegal, siang sembunyi, malam
mengayuh becaknya dengan rasa takut memuncak seolah-olah senapan Kumpeni
mengacu beberapa meter di jidat dan di belakang punggungnya
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (1)
Mengikuti jejak para mujahid, aku harus berbicaradan menjawab pertanyaan
mengenai problem kemiskinan,yakni tema utama yang makin mendesak kehidupan
manusia di atas bumi Allah yang kaya raya ini.
Secara agak licik aku bersyukur mereka tak langsung memojokkanku dengan
pertanyaan apakah aku tidak terlibat langsung maupun dalam proses penciptaan
orang-orang miskin. Apakah aku tidak termasuk dalam golonganorang-orang yang
dimiskinkan dalam arti luas sedemikian rupa sehingga tak ada kemungkinan lain
bagi hidupku selain ikut berpartisipasi dalam organisasi pemiskinan, atau sekurang-
kurangnya aku membonceng hidup dari cipra-tan hasil pekerjaan memiskinkan.
Sebab, kata para piawai, jaringan proses pemiskinan itu tidak cukup kita pahami
melewati gambaran tentang sejarah penjajahan, politik adikuasa, pembukuan
perusahaan-perusahaan besar, tatanan ketergantungan, ketimpangan-ketimpangan
amat tajam dari kesempatan hidup orang, atau segala sesuatu yang seolah-olah
berada nun jauh di sana. Jaringan proses pemiskinan itu menyangkut segala
mekanisme yang tidak pernah kubayangkan tetapi yang memungkinkan aku memiliki
beberapa potong baju rapi sementara banyak
tetanggaku tidak dan aku mau tak mau terdorong untuk memelihara dan
mempertahankan kemungkinan pemi¬likan semacam itu. Bahkan kabarnya jaringan
proses pe¬miskinan itu sangat terkait dengan urat-urat dalam otakku, rencana-
rencana spontan kaki dan tanganku, atau segala sesuatu yang hampir tak
terpisahkan lagi dari nyawaku. Hal-hal mengenai proses pemiskinan itu relatif
gampang untuk sedikit banyak ikut kupercakapkan, selama ini se¬mua kubayangkan
berada jauh di luar diriku apalagi jarak jauh itu dijaga dan dilindungi dengan
seksama oleh akidah dunia ilmu pengetahuan di mana tulisan ini berpartisipasi.
Sesungguhnya itu mengerikan. Namun jauh lebih mengerikan lagi adalah kabar lain
yang menyatakan bahwa jaringan proses pemiskinan itu bukanlah seperti benang
kusut, melainkan justru merupakan rajutan benang yang sedemikian rapinya
sehingga beberapa orang hanya melihat jalan teror untuk mencoba memperoleh
ke¬kusutan-kekusutan kecil.
Jadi, apakah pada suatu hari kemungkinan teror itu akan menimpaku, sebab
memang aku cukup layak untuk itu? Aku berkata: Ya Allah, masukkan saja aku ke
dalam neraka yang bukan ciptaanMu
Pernah kubaca sebagian amat kecil dari ratusan atau mungkin ribuan buku
mengenai persoalan kemiskinan, yang pasti amat sedikit saja mampu kupahami
sehingga dalam kesempatan ini aku sangsi apakah aku tidak sekedar menulis
ulangkan hal-hal yang sama, dengan hasil yang lebih buruk.
Sementara itu aku hidup bersama banyak orang miskin. Bahkan aku sendiri,
menurut ukuran dari konteks persoalan ini, tak lain adalah juga seorang miskin.
Tetapi yang terakhir ini pun tak akan bisa benar-benar kutuliskan, sebab jiwa orang
miskin dipenuhi oleh emosi, impian dan inferioritas betapapun itu mereka sandang
seolah-olah dengan ringan dan kuat sedangkan apa yang diatas kusebut akidah dan
kaidah ilmu pengetahuan: hanya bersedia menulis ketiga hal itu, dan tak
memperkenankan ketiga hal itu menuliskan dirinya.
Sebab yang lain ialah karena aku mengalami jarak yang tidak pendek antara
anatomi persoalan kemiskinan dengan manusia miskin. Yang pertama berasal
terutama dari seolah-olah para dewa yang transenden, atau penerbang yang untuk
memperoleh pandangan yang seluas-luasnya atas skala bumi maka ia melayang
setinggi-tingginya. Banyak kali para penerbang itu memang memusatkan pandangan
matanya ke titik-titik tertentu yang paling tajam, namun jelas bahwa manusia-
manusia di bumi tampak hanya sebagai guratan-guratan di mata mereka. Manusia
hanya terlihat sebagai akibat dari suatu sebab, pergeseran dari suatu gerak, atau
semacam lautan buih di seputar arus gelombang pokok.
Sedangkan yang kedua merupakan suatu dunia immanen, suatu keniscayaan tanpa
jarak: badan kumal yang seolah-olah tubuhku sendiri, bau buruk yang seakan-akan
berasal dari kedalaman hidungku sendiri, keringat pengap yang seperti mengucur
dari punggungku sendiri; atau semacam komposisi yang absurd dan
membingungkan antara derita dan keceriaan, antara kekecutan dan keperkasaan,
antara kepasrahan dan kenekadan, atau antara dunia bayi dan kebijakan seorang
tua yang telah berusia berabad-abad lamanya.
(bersambung)---->
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme
Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Rekor Masuk Neraka
Andaikan makhluk yang bernama fatwa sudah sejak dulu menemani bangsa
Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa bergaul dengannya sehingga tidak
mudah uring-uringan seperti yang hari-hari ini terjadi.
Misalnya pada awal 1900-an kaum ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan
Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram
hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardhu
kifayah( semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya).
Sumpah Pemuda itu fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah
bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya. Berikutnya begitu
Hiroshima- Nagasaki dibom atom, ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa
memproklamasi kan kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib sehingga masuk
neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945.
Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: demokrasi itu wajib
(meskipun di dalamnya ada komunisme itu haram).Tidak menaati UUD 1945 itu
haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya. Katakanlah sejak
pra-Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sudah menelurkan lebih dari 5.000 fatwa.
Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara negara
dengan agama. Kita istirahat tak usah bergunjing ulama itu sejajar dengan umara
(pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis
lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum ulama dibandingkan undang-undang
dan hukum negara.
Entah apa pun namanya makhluk Indonesia ini: negara sekuler, demokrasi religius,
kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis,atau apa pun. Kita mengandaikan saja
bahwa produk kaum ulama,khususnya MUI, berposisi sebagai inspirator bagi laju
pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa.
Sebutlah ulama adalah partner pemerintah. Kaum ulama adalah makhluk suci
berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardli Indonesia.
Kita semua pun bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh
utusan-utusan Tuhan.Dulu para rasul dengan mandat risalah, para nabi dengan
mandat nubuwah, dan para ulama dengan mandat khilafah.
Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang
Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan
mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum ulama dalam
majelisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar.
Ada ulama pertanian, ulama ekologi, ulama perekonomian, ulama kehutanan, ulama
kesehatan dan kedokteran, ulama, ulama kesenian dan kebudayaan, ulama fiqih,
ulama tasawuf dan spiritualisme, ulama olahraga, dan segala bidang apa pun saja
yang umat manusia menggelutinya karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas
khilafah atau kekhalifahan.
Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada.Fatwa terkadang nongol dan sangat sesekali.
Mendadak ada fatwa tentang golput tanpa pernah ada fatwa tentang pemilu, pilkada,
pilpres dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat canggih. Tiba-tiba ada
fatwa tentang rokok tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis
narkoba, suplemen makanan dan minuman,penggusuran,pembangunan mal,
industri, kapitalisasi lembaga pendidikan,serta seribu soal lagi dalam kehidupan
berbangsa kita.
MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa,
tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi
komprehensif antara berbagai soal dan konteks. Itu pun fatwa membatasi diri pada
”benda”. Makan ayam goreng halal atau haram? ”Dak tamtoh,” kata orang
Madura.Tak tentu.Tergantung banyak hal.Kalau ayam curian,ya haram.
Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya
hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goreng secara
demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunah.
Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang
berpuasa.
Sunah karena dia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa. Beli sebotol air untuk
kita minum, halal haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius
berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi
atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kezaliman sosial atau tidak?
Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang
menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan
Allah SWT. Berzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami
rajin salat dan berzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau
kita wiridan keraskeras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.
Hak Tuhan
Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang
menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena
ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan negara
dan hukumnya.Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.
Yang berhak me-wajib-kan, menyunah- kan, me-mubah-kan, memakruh- kan dan
meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan.Ulama dan kita semua hanya menafsiri
sesuatu. Kalau MUI bilang ”rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat
bahwa karena sesuatu dan lain hal, maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak
memperkenankan hal itu diperbuat.
Kemudian andaipun persyaratan itu mampu saya penuhi, saya tidak punya hak
untuk mengharuskan siapa pun saja sependapat dengan saya atau apalagi
melakukan dan tidak melakukan sesuatu sejalan dengan pandangan saya.Nabi saja
tidak berhak mewajibkan siapa pun melakukan salat.
Hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekadar menyampaikan dan memelihara
kemaslahatannya. Para ulama dan kita semua bisa kelak teruji, ternyata sependapat
dengan Tuhan,bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: ”Lima tuharrimu
ma ahallallohu lak”,kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan
untukmu?
Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah
haramkan? Mungkin benar rokok itu haram dan saya akan masuk neraka karena itu,
bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka,perokok yang jauh lebih berat
dibandingkan saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di
neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok
empat bungkus sehari. Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai
pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.(*)
(Emha Ainun Nadjib /Koran SINDO/Jumat, 30 Januari 2009/PadhangmBulaNetDok)
Obama-Obama Kita
Sungguh gembira hati ini menyaksikan semakin bermunculan para calon pemimpin
bangsa. Panggung demi panggung terbangun. Terkadang mereka tampak bersaing
ketat, tetapi kemudian nyata sekali bahwa mereka sesungguhnya bukan memikirkan
eksistensi, kepentingan, atau ambisinya masing-masing, melainkan bersama-sama
mengkonsentrasikan diri pada kepentingan bangsa.
Sebagian mereka datang ke Mega bukan untuk audisi semacam Pildacil agar dipilih
jadi calon wakil presiden. Kehadiran beliau-beliau mencerminkan kerendahan hati
dan kebesaran jiwa, bahwa yang utama bukanlah self-dignity, melainkan
pengabdian terhadap segala kemungkinan yang terbaik bagi bangsa.
Memang ada sebagian rakyat kita merasa pesimistis, atau apatis, terhadap Pemilu
2009. Itu normal, bisa dimafhumi: hak-hak dasar untuk sejahtera sebagai warga
negara memang belum cukup terpenuhi selama ada negara Indonesia dengan
berkali-kali ganti pemerintahan dan kepemimpinan. Tapi Indonesia akan bangun.
Salah satu tanda-tandanya, sejak tahun lalu sudah bergulir suatu “historical
refreshment”, gagasan pencerahan zaman yang mendambakan kaum muda segera
tampil memimpin bangsa. Itu bagai tembang “Bang-bang Wetan”: matahari baru
semburat di timur.
Memang kecakapan dan kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan usia.
Kalau memang bangsa ini menjumpai ada pemimpin sudah 70 tahun tapi ia paling
capable, apa salahnya. Tapi kan sangat banyak orang usia tua tapi tak dewasa, atau
awet remaja bahkan tetap kekanak-kanakan. Dan bukankah justru banyak anak
muda yang secara mental dan ilmu bergerak cepat melampaui usianya?
Jadi, ayolah: “bang-bang wetan!” A new “install”. Buka pintu anak-anak muda untuk
bikin set-up baru sejarah dan peradaban. Rizal “Chelly” Mallarangeng, Fajrul
Rahman, Ratna Sarumpaet, Marwah Daud Ibrahim, siapa pun kaum muda yang
akan naik panggung? Chelly punya seabrek pengalaman aktivisme dari Yogya
hingga negeri Obama, ia sanggup menarik garis dari penjual wedang, satpam
Akademi AU, hingga istana neoliberalisme. Fajrul penuh nyali dan ilmu yang
memadai. Sarumpaet sangat menguasai “teater global” dan “drama kehidupan”.
Marwah malang-melintang dari high-tech hingga santri Tebuireng.
Mereka bukan hanya layak tanding, tapi pasti unggul secara fenomenologis dan
futurologis. Anak-anak muda ditakdirkan oleh “kebiasaan” Tuhan untuk pada zaman
apa pun membawa paradigma baru. Mereka pelopor dan perintis. Mujtahid, aktivis
ijtihad, kata Islam. Mereka adalah Obama-Obama Indonesia. Andaikan saja ada
persediaan ilmu dan metodologi untuk mengerti apa hubungan kepresidenan Obama
dengan tiga tahun ia di Jakarta. Tetapi jelas anak-anak muda Indonesia, untuk
mencapai puncak kepemimpinan Negara, tidak harus menempuh 12 tahun
persiapan sebagaimana Obama penggemar teks Pancasila membutuhkannya
sebelum menjadi presiden kulit hitam "not too black" pertama di negeri adikuasa
elang macannya jagat raya.
Indonesia adalah anak bungsu suatu bangsa besar yang pernah melahirkan
Bandung Bondowoso yang sanggup membikin seribu candi hanya dalam waktu satu
malam. Kaum muda cucu Bondowoso bisa menjadi presiden kapan saja, bahkan
secara instan, karena kita bukanlah bangsa dengan kemampuan “konvensional”
sebagaimana bangsa-bangsa lain. Penduduk NKRI bukanlah bangsa burung
"emprit", melainkan "garuda".
Bung Karno cukup lulusan Bandung, tidak perlu kuliah di Belanda dan bergabung
dalam kelompok aktivis "Perhimpunan Indonesia" untuk menjadi pemimpin terbesar
mengungguli Bung Hatta dan tokoh-tokoh siapa pun yang lain. Soeharto cukup
menyerap saripati tari Bedoyo Ketawang untuk mempecundangi kita semua selama
32 tahun. Habibie bahkan naik takhta "min haitsu la yahtasib" alias "blessing in
disguise". Gus Dur “wong agung” dengan kebesaran dan kaliber ekstra di mana
Indonesia bergulir-gulir seperti butiran kelereng di genggaman tangannya. Megawati
tidak perlu berkeringat dan mengerahkan ilmu, kekuatan atau aji-aji apa pun saja
untuk sanggup menjadi pemimpin puncak. Dan beliau pemimpin hari ini, Susilo
Bambang Yudhoyono, tangkai bandul, penjaga keseimbangan, pembersih wajah
zaman agar senantiasa resik dan berkilau.
Tentu saja bagi calon-calon pemimpin muda itu bukan ringan bersaing melawan
presiden yang sekarang, yang sangat peka momentum kapan kasih BLT, kapan
menaikkan dan menurunkan harga minyak, kapan tanam pohon, kapan
menggratiskan pendidikan. Ia jugalah konseptor reformasi TNI dan prajurit bangsa
yang paling awal merintis pemikiran dan aspirasi reformasi.
Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sutiyoso, Yusril Ihza Mahendra,
karena mereka juga cucu bangsa besar sebagai adik-adiknya, memiliki ajian
pinunjul-nya sendiri-sendiri. Wiranto gagah perkasa menentang perintah Presiden
Soeharto untuk memberangus gerakan mahasiswa dan makar jarah 1998. Prabowo
tegak punggungnya, tajam pandangan mripatnya, sunyi menanggung risiko
terbanting dari tembok rumah keluarganya, dan ia memiliki keanggunan serta
kegagahannya sendiri jika nanti sebagai presiden berdiri berjejer di hadapannya
para pembalak triliunan rupiah uang rakyatnya.
Sri Sultan jangan diragukan lagi, “keris” di tangan kirinya sebagai "Khalifatullah ing
Bhumi Ngayogyakartahadiningrat" dan “pedang” di tangan kanannya sebagai
Presiden Republik Indonesia: jika kedua “kesaktian” sejarah itu bergerak, rakyat
percaya beliau akan membukakan pintu-pintu perubahan yang tak terduga. “Keris”
itu lambang kesadaran nenek moyang dan estafet pencapaian-pencapaian
peradaban, “pedang” adalah garda depan ilmu dan kecakapan modern.
Sutiyoso dipandang oleh segala parameter rasional modern sangat tepat dan cakap
menjadi presiden, karena sukses besarnya menjaga keseimbangan Ibu Kota selama
dua periode, dengan terobosan-terobosan yang susah dicari tandingannya. Yusril
"Cheng Ho" ahli hukum tata negara adalah “panglima” yang mengerti persis
bagaimana membangunkan kembali sejumlah kebesaran bangsa yang pernah
muncul dalam demokrasi era 1950-an, dengan formula yang terukur dosisnya dan
pada proporsi yang relevan untuk kekinian.
Tua atau muda, bangsa kita bergelimang pemimpin. Si pemuda ganteng Yuddy
Chrisnandi dengan ragam pengalaman aktivismenya, Rizal Ramli dengan
keempuannya di bidang yang paling urgen dari permasalahan bangsa: kebangkitan
ekonomi. Dan Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo yang menggegerkan dunia
dari Surabaya dengan “ilmu sihir” yang menggulingkan rumus ibu perang modern.
Itu baru Bung Tomo, belum putra beliau yang pasti jauh lebih berkaliber
kependekarannya dibanding bapaknya.
Alhasil, kita optimistis menjalani 2009 ke atas. Kalau Anda mengajak bertanding
untuk mengkritik dan menemukan kekurangan atau keburukan para calon pemimpin
kita, saya abstain. Sebab, bagi saya sekarang, yang tepat adalah membesarkan hati
seorang dan setiap calon pemimpin.
(Emha Ainun Nadjib/Koran tempo/31 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Pemilu, Golput, Fatwa
TULISAN ini sekadar mengandaikan bahwa fatwa ulama benar-benar ‘nimbrung’ ke
dalam urusan pemilu, pilkada, dan golput dari segala sisi dan kemungkinannya.
Identifi kasi dan analisis menuju kepastian halal mungkin bisa lebih luas, detail, dan
ruwet daripada itu. Maka Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim
memerlukan ‘label haram’ bukan ‘label halal’. Di negara-negara yang muslimnya
minoritas memerlukan ‘label halal’ karena di belakangnya terdapat asumsi bahwa
makanan dan minuman umumnya ‘belum tentu halal’. Tapi di negara mayoritas
muslim asumsinya adalah makanan minuman ‘umumnya halal’ sehingga yang
dibutuhkan adalah ‘label haram’.
Pekerjaan utama rakyat Indonesia sejak lima tahun terakhir ini adalah pergi ke kotak
pemilihan, dari level lokal, regional, sampai nasional untuk menentukan sesuatu
yang entah mereka pahami dan kuasai masalahnya atau tidak. Tahun 2009 adalah
kulminasi dari ‘profesi’ massal itu. Maka benar-benar diperlukan kejelasan dari apa
yang Ketua MPR Hidayat Nur Wahid tempo hari pernah menganjurkan. Yakni agar
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Itu telah
disahkan dalam Ijtimak Fatwa Ulama III MUI di Padang Panjang, Sumatra Barat,
akhir pekan lalu. Rakyat Indonesia dan umat Islam pada umumnya kariernya tidak
sukses dan penghidupannya miskin. Kalau bisa, jangan ditambahi dengan kepastian
‘masuk neraka’ hanya karena 2 menit masuk kotak pemilu atau tidur di rumah
karena ogah ke arena pemilihan.
Kalau fatwa itu tidak keluar, apa gerangan artinya? Kalau ada fatwa golput haram,
berarti haram, meskipun itu sebatas pendapat Majelis Ulama Indonesia. Kalau tak
keluar fatwa, apakah berarti golput halal, termasuk bagi MUI? Kita butuh ketegasan
dan kepastian, kalau tidak tentang hukum (fi kih agama) golput, ya tentang apa
pendapat MUI, yang dalam struktur kehidupan berislam menempati posisi al-mufty,
pedoman hukum bagi seluruh umat.
Kalau bagi Hidayat Nur Wahid, pasti golput itu haram, ada fatwa MUI atau tidak,
disepakati atau tidak oleh siapa pun. Sekali haram tetap haram, beliau bukan
intelektual picisan yang bisa menjilat ludahnya. Apakah berarti itu juga pendapat
parpol beliau tidak bisa diklaim siapa pun, kecuali ditentukan secara organisasional
oleh parpol yang bersangkutan.
Tetapi fatwa itu tidak sama dengan agama. Fatwa itu sekian langkah dari
agama.Untuk satu masalah bisa lahir jutaan fatwa sejumlah pemeluk agama Islam
sepanjang mereka memenuhi syarat keilmuan dan metodologis untuk memproduksi
fatwa.
Jangankan fatwa, syariat Islam, atau fikih (hukum) Islam pun tidak sama dan
sebangun dengan Islam. Islam itu karya Allah, sedangkan syariat Islam adalaghasil
penafsiran oleh para ulama. Pun fi kih. Maka ada banyak mazhab dan boleh ada
200 mazhab lagi yang lahir tahun ini dan 300 lagi tahun depan, seiring dengan
makin banyaknya cendekiawancendekiawan ulul albab, ulul abshar, ulun nuha hasil
persekolahan Islam.
Fatwa bahwa sesuatu itu haram tidak sama dengan ‘sesuatu itu pasti haram’. Ia
hanya haram menurut salah satu pendapat. Anda boleh punya pendapat yang sama
atau berbeda. Bahkan kepada para nabi pun Allah memperingatkan, “Kenapa kau
haramkan yang dihalalkan oleh Allah?” Peringatan itu pasti berlaku seribu kali lebih
urgent kepada kita yang bukan nabi. Fatwa bukan fi rman Tuhan. Fatwa adalah hasil
penghayatan manusia terhadap nilai baikburuk, benar-salah, indah-jorok. Adalah
produk dinamika manusia dalam memahami, meneliti, menganalisis, dan mengambil
keputusan tentang sesuatu hal di antara ranah-ranah kebaikan hidup yang begitu
luasnya.
Menjadi dewasa
Fatwa itu huruf Arabnya fa’, ta’, wawu. Kata kerja fataa atau fatiya menjelaskan
situasi seseorang ‘menjadi dewasa’ sudah tidak kanak-kanak lagi. Secara khusus, ia
mengaksentuasi pada nilai bahwa kedewasaan itu perolehan kemuliaan dan
kehormatan. Anjuran untuk mengeluarkan fatwa itu mencerminkan tingkat atau
kadar kedewasaan penganjurnya.
Halal-haram itu mutlak milik Allah. Ia yang memiliki hak asasi untuk mengharamkan
atau menghalalkan sesuatu karena saham-Nya atas kehidupan semua makhluk
hampir 100%. Haram makan babi, berzina, atau mencuri, itu langsung dari Allah,
take it or leave it. Tapi kalau pemilu, golput, bikin negara, itu wilayah yang Allah
mempersilakan manusia untuk berdiskusi.
Jadi, boleh ada fatwa golput haram, dengan hujah bahwa warga negara tidak baik
kalau apatis terhadap urusan negaranya. Bisa juga lahir fatwa golput itu sunah atau
bahkan wajib karena keputusan golput itu justru lahir dari kepedulian yang sangat
serius dan mendalam terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya sendiri menunggu setelah fatwa itu dikeluarkan, kemudian disetujui negara dan
diundang undangkan, terserah pada tingkat mana. Bisa keputusan menteri,
keputusan presiden, atau dibuat khusus undang-undang haram golput. Maka akan
muncul tuntutan agar dikeluarkan fatwa hukum pemilu. Wajib itu kalau sangat
manfaat. Haram itu sangat mudlarat.
Tengahnya mubah atau halal. Yang lumayan manfaat namanya sunah yang
lumayan mudlarat disebut makruh. Yang paling mengalami dan mengerti manfaat
mudlarat-nya pemilu, dan adanya parpol, adalah rakyat langsung. Maka silakan bikin
jajak pendapat ke rakyat, satu pertanyaan saja, adanya parpol dan pemilu sejauh
yang Bapak-Ibu alami lebih banyak manfaatnya atau mudlarat-nya? LSI atau siapa
pun silakan bikin simulasi. Insya Allah sudah relatif tahu kira-kira bagaimana
hasilnya.
(Emha Ainun Nadjib/Media Indonesia/27 January 2009/Padh
Dan rasanya, 2009 mempersembahkan kepada kita sedap yang lain lagi dari
pemimpin baru. Kalaupun umpama tetap yang lama, pasti terasa baru: bagaikan Idul
Fitri, baju boleh yang itu-itu juga, tapi pandangan kita terhadap baju itu "refreshed".
Itu sekadar snapshot kebesaran salah satu pemimpin kita. Enam buku emas tebal
untuk enam pemimpin tertinggi. Aku mencintai mereka semua. Semua rakyat pun
mencintai mereka, dengan macam-macam cara. Ada yang memakai idiom gelas.
Ada pemimpin gelasnya tak pernah kosong, meskipun selalu dituang-tuangkan
menjadi gagasan besar, mimpi besar, dan pernyataan besar yang membahana ke
seantero bumi. Ada pemimpin yang gelasnya juga penuh, tapi dijaga jangan sampai
tumpah: gelas itu kalau ditambahi air akan tumpah, kalau diambil bisa mengurangi
citra kepenuhannya.
Ada lainnya yang gelasnya baru diminum sedikit: mendadak hilang gelas itu.
Lainnya lagi gelasnya bolong, saking jujur dan ikhlasnya, sehingga minuman apa
pun dan seberapa pun saja dituangkan ke dalamnya akan langsung habis karena
bolong bawahnya. Sementara itu, ada yang sampai akhir kepemimpinannya tak
ketahuan gelasnya: bukan karena beliau tak mengerti gelas itu apa, melainkan
karena sangat ketat menyembunyikan gelasnya.
Mahakaya Tuhan dengan ragam rupa ciptaannya. Ada sebagian rakyat yang
mencari watak pemimpinnya melalui cara mengidentifikasi mereka dengan para
pemimpin lama: Majapahit, Demak, Khalifah Empat, para rasul dan nabi, atau
mengambil simbolisme dari dunia pewayangan dengan menyebut tokoh macam-
macam: Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, raksasa Kumbokarno, dan
sebagainya.
Semuanya itu figur baik. Bima jujur gagah perkasa. Arjuna sakti pendiam, Gareng
filsuf guru bangsa, Limbuk pengabdi yang setia tapi kritis, Kumbokarno raksasa
besar pencinta dan pembela tanah air. Ada yang melalui jurusan Joyoboyo Syekh Ali
Syamsu Zen hingga Ronggowarsito: pemimpin 2009 ini mesti dihitung berdasarkan
parameter kualitas “satrio pinandhito sinisihan wahyu”.
Itu belum cukup. Ia harus "sinisihan wahyu". Harus tampak indikator bahwa Tuhan
turut aktif dalam Pemilu 2009, terlibat mempengaruhi aspirasi konstituen, ikut
memilih presiden sehingga tak mungkin pilihan Tuhan dikalahkan. Dalam
pandanganku, semua yang tampil dalam kontes pemimpin 2009 memenuhi syarat
Pak Ronggo itu, tinggal Tuhan mempergilirkan siapa duluan. Syukur-syukur Tuhan
kali ini tidak membiarkan rakyat Indonesia memilih pemimpinnya tanpa "informasi"
dari-Nya.
(Emha Ainun Nadjib/GATRA/1 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
CAHAYA AURAT
Ribuan jilbab berwajah cinta
Membungkus rambut, tubuh sampai ujung kakinya
karena hakekat cahaya Allah
Ialah terbungkus di selubung rahasia
Mayoritas aset moneter global dan segala jenis modal perekonomian, bank dunia
dan institusi-institusi keuangan primer dunia dipegang oleh turunan beliau dan
strategi pengelolaannya sampai ke Kongres Amerika Serikat berada di genggaman
turunan yang lain dari beliau juga. Sejumlah futurolog ekonomi menganjurkan anak-
anak kecil sekarang mulailah diajari berbahasa Arab karena akan menjadi bahasa
utama dunia: pergilah cari kerja ke Negeri koalisi 16 Pangeran di Jazirah Arab.
Bahasa Ibrani tak perlu dipelajari, karena para fungsionaris dari Israel mungkin lebih
pandai berbahasa Arab dibanding Raja Saudi dan lebih mlipis berbahasa Indonesia
dibanding orang Indonesia.
***
Anda tidak akan paham menemukan peta Indonesia Raya dijadikan center display di
sebuah web Israel dan Amerika Serikat. Juga agak miris melihat tanda warna merah
pada daerah tertentu dari Nusantara. Di Belanda, November 2008 saya ngobrol
panjang dengan pemimpin Yahudi internasional Rabi Awraham Suttendorp yang
sangat mengenal Indonesia lebih detail dari kebanyakan orang Indonesia sendiri,
sebagaimana di kantor Perdana Menteri Israel Anda bisa dolan ke sana dan melirik
ruangan khusus yang berisi segala macam data tentang Indonesia segala bidang
yang di-update setiap pekan.
Israel juga punya situs berbahasa Indonesia. Kepada Rabi saya tanyakan kenapa
disain tengah atas atau puncak mahkota keagamaan yang beliau pakai memimpin
peribadatan di Synagoge sama dengan disain bagian atas rumah-rumah Pulau Jawa
bagian utara. Kenapa ibukota Israel tidak Tel Aviv saja tapi Java Tel Aviv. Kenapa
kantor-kantor Yahudi di berbagai negara pakai kata Java. Apa pula hubungan dua
konsonan yang sama itu: J dan W. Jewish dan Jawa. Mana yang lebih tua: Jewish
atau Jawa. Kalau Sampeyan keturunan Nabi Ibrahim, apakah nenek moyang kami
manusia Nusantara yang seluruhnya berpuluh abad yang lalu disebut Jawa atau
Jawi adalah ‘’keponakan’’-nya Ibrahim ataukah lebih tua dari Ibrahim.
Dari dunia Jawa dimunculkan sedikit informasi bahwa beberapa waktu yang akan
datang akan terjadi hasil ‘’taruhan’’ antara Yahudi (Jewish) dengan Jawa (bukan
Jawa non-Sunda non-Batak dalam pengertian 100 tahun terakhir): Kalau Yahudi
yang memenangkan persaingan memimpin dunia, maka mereka akan ajak Jawa
menjadi rekanan kerja. Kalau Jawa yang ‘’juara’’ mereka akan berguru kepada
Jawa.
***
Apa-apaan itu? Dari bidang ilmu dan teknologi diberitakan bahwa revolusi invensi
atau penemuan-penemuan baru akan mengubah geo-ekonomi, geo-politik dan
kebudayaan dunia dari Cina, Brazil, Jepang dan Indonesia.
Bangsa Indonesia memasuki 2009 sebagai ‘’orang lugu’’ dan tidak perduli pada
dirinya sendiri karena habis waktu dan enerjinya untuk urusan kotak suara. Padahal
sejumlah makhluk Tuhan di luar manusia yang ditugasi menemani pertumbuhan
peradaban ummat manusia sudah menyiapkan dibukanya sejumlah penemuan di
bidang telekomunikasi, energi dan pertanian.
Sengaja saya tuturkan kepada sidang pembaca hal-hal yang ‘’tidak-tidak’’. Nanti kita
akan sampai ke yang lebih ‘’tidak-tidak’’ lagi: Lemorian, banjir Nuh, Parikesit,
terciptanya pulau-pulau Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dst. Dan akan saya
sambung pada tulisan berikutnya pekan depan.
Tapi kita jangan bilang tidak masuk akal dulu sebelum kita bisa menjawab seberapa
masuk akal kelakuan Israel sekarang ini: Dengan lancar dan mulus-mulus saja
menghajar Palestina di depan rumah saudara-saudaranya sendiri sesama bangsa
Arab, di depan hidung PBB.
Berdasarkan sejumlah ‘’khayalan’’ saya di atas, ucapkan: ‘’Ayo, Israel! Kalau berani
jangan hanya berantem sama anak kemarin sore. Datang ke Indonesia, sini kamu,
carok kita!’’.
(Emha Ainun Nadjib/Riau Pos/09 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Kemandirian
Kereta Purbaya mbludag penumpangnya. Ketika itu 'bau' lebaran memang belum
usai. Orang tumpah-ruah sampai ke daerah pintu masuk. Namun Tuhan Maha Baik.
Saya dapat tempat duduk.
Ada toilet yang tak beres. Air luber sampai keluar sehingga tempat sekitar sebuah
pintu masuk jadi becek dan menjijikkan. Belum lagi 'aromannya'
Disitulah saya berdiri sambil berpegangan daun pintu. Sendirian. sebab orang lain
memilih berdesakan ditempat lain dari pada 'berdomosili' di tempat seperti itu.
Tetapi pada dasarnya saya tak bersedia untuk terpaksa berdiri selama '6 jam' dari
Yogja ke Jombang. Saya mau berdiri sepanjang perjalanan, tetapi tak mau terpaksa.
Maka saya harus mencari semacam makna atau alasan kenapa 'perjuangan berdiri'
ini mesti saya lakukan. Dengan demikian 'kalu saya lelah' itu bukanlah kelelahan
oleh keterpepetan keadaan, melaikan karena perjuangan.
Tapi apa makna ? Melatih otot dan ketahanan kaki ? Belajar sabar ?
Menguji stamina ? Memakai keadaan itu untuk mengolah pemikiran tentang sesuatu
hal, misalkan kenapa khalayak ramai jarang yang ingat bahwa negara kita punya
utang yang luar biasa banyaknya.
Nah, sampai Prambanan, perjuangan saya adalah menentukan apa tema
perjuangan yang sebaiknya saya lakukan.
Kemudian Klatenpun menjelang. Dan saya diperintah oleh seorang Ibu tua untuk
pindah tempat agak ke dalam menjauhi pintu. Kaget saya, tentu saja. Sedang Bupati
Jombang pun belum tentu memerintahkan sesuatu pada saya.
Rupanya Ibu itu mempersiapkan sesuatu. Ia, tampaknya, seorang bakul. Mungkin ia
'mracang', dan kulakan macam-macam di pasar Beringharjo atau entah dimana. Ada
tiga paruh karung entah berisi apa disandingnya. Beberapa onggok kayu bakar.
Dua tumpukan kardus. Belum lagi semacam tenggok yang, saya lihat, segera di
gendongnya dengan jarit di punggung.
Tentulah ia akan turun di Klaten.
Saya bilang saya tak usah pindah, nanti saya bantu menurunkan itu semua dari
kereta. Tapi sang Ibu, atau lebih tepat Nenek, begitu acuh tak acuh terhadap
tawaran saya. Ia bersikeras agar meminta saya bergeser ke tengah. Dan sebelum
kereta berhenti, ia lemparkan karung itu satu persatu, juga kardus dan kayu.
Sedemikian rupa sehingga satu karung sudah ertinggal di sebuah gerbong terakhir,
karung kedua di gerbong tengah dan seterusnya. Baru ketika kemudian kereta
berhenti, ia turun dengan tenggoknya, lantas berjalan menyusuri rel sebelah
menghampiri barang-barangnnya yang tertinggal.
Jelaslah bagi saya, nenek itu sedang menerapkan kemandirian, disetiap detik dan
jengkal ruang kehidupannnya. Mripatnya yang acuh kepada saya tentulah
sebenarnya berkata, " Kalau memang mau membantu, kenapa cuma menurunkan
barang-barang ini dari kereta ?"
Nenek udik itu memang lebih rasional dan independen dibanding seorang dekan
yang ketika pagi-pagi ia sampai di kantor kerjanya berkata kepada bawahannya: "
ambil kan tas saya di mobil, ini kuncinya !"
Ia juga lebih tinggi derajatnya dibanding sementara pejuang rakyat yang canggih
membikin proposal tentang orang-orang semacam Nenek ini, untuk diajukan dan
ditukar dengan dana milyaran rupiah, dan untuk itu ia peroleh persentase untuk beli
mobil atau peralatan rumah dengan segala kenikmatannya.
Tapi nenek itu tak akan pernah berkata, " Tak usah menolong saya,. Mulailah saja
selenggarakan keadilan ekonomi sehingga di negeri kaya raya ini tak usah ada
seorang nenek bekerja seperti saya .."
Nenek itu tak akan pernah berkata demikian, meskipun para cendekiawan atau para
pejuang yang mewakili nasibnya juga belum tentu akan berkata demikian.
Mengapa Tuhan menurunkan hampir semua agama itu di sekitar jazirah Arab?
Mungkin tuhan punya alasan, bahwa budaya Arab itu menakutkan, sehingga disana
itu merupakan letak setan yang paling ganas dan juga malaikat yang paling suci.
Maka acuan pertama adalah Subhaanalladzii asyroo bi 'abdihii laillamminal masjidil
haraami ilal masjidil aqshalladzii baaraknaa haulahu linuriyahu min aayaatina innahu
huwassamii'ul bashiiru, atas dasar ini bisa dikaji secara antropologi kosmologis,
bahwa antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha ada satu lingkaran geografis yang
oleh Allah dikhususkan untuk menurunkan segala macam puncak-puncak atau
sumber-sumber barokah-Nya. Maka segala macam ilmu, eksak dan macam-macam
tingkat yang paling arif dari ilmu sosial berasal dari sekitar lingkaran antara Masjidil
Haram dan Masjidil Aqsha. Bahkan kalau kita mencari sumber-sumber dan
cakrawala musik, juga akan ditemukan juga.
Budaya Arab kalau dilihat di dalam Al-Qur'an, memperlihatkan adanya dua kutub
yang luar biasa, dari api sampai salju, dari yanag paling panas sampai yang paling
sejuk, dari yang paling buruk sampai yang paling baik. Bahkan peristiwa Musa AS,
dengan Dzun-Nun yang sekarang terjadi di Indonesia yakni majmual bahraini,
dimana ketika Nabi Musa lewat di pertemuan antara dua arus laut itu ikan yang mati
tiba-tiba melompat menjadi hidup. Maka kalau ini diletakkan dalam konteks ke-
Indonesiaan, bahwa peristiwa World Trade Center dan Pentagon di AS itu adalah
saat-saat yang paling kreatif bagi bangsa Indonesia, pada saat inilah kalau bangsa
Indonesia murni, yakin, dan tawakal, bersungguh-sungguh, akan mendapat hidayah
lebih dari sebelum dan sesudahnya.
Sekarang ini tanah genting atau majmual bahraini, "laut sedang bertemu", di
Indonesia dan tidak ada jalan keluar, tapi pada saat itu ikan yang sudah mati akan
hidup kembali. Bangsa Indonesia justru mengalami hidupnya sekarang ini,
masalahnya banyak orang yang tidak tahu mana yang sebenarnya hidup dan mana
yang sebenarnya sudah mati.
Anda menyangka Gus Dur hidup padahal ia sebenarnya sudah mati.
Anda menyangka Amien Rais hidup, padahal ia juga sudah mati, dan orang seluruh
dunia menyangka peristiwa di AS itu teroris padahal sesungguhnya itu adalah
gerilyawan, bisa jadi sebuah perjuangan untuk melepas dari ketidakberdayaannya
menjadi berdaya. Mati yang dimaksud , adalah mati dalam kriteria Allah, bukan mati
di dalam kriteria manusia (materialisme), sebab kalau kita orang Islam, tentu tidak
akan memakai cara pandang materialisme, sehingga banyaknya korban dalam
tragedi di AS, dan pembajaknya itu kita hargai sebagai mujahid, dan setiap mujahid
tidak ada yang mati menurut Allah.
Dan majmual bahraini itu juga terjadi, di antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha,
maka titik antara keduanya kita lingkari, karena di situlah letak segala sesuatu dan
Allah tidak memberi barokah ke tempat lain. Maka tidak ada nabi lahir di Jombang,
Jogja, atau Ngawi, dll.
Tidak ada musik dahsyat yang tingkat kecanggihannya melebihi bainal masjidil
haram minal masjidil aqsha. Anda boleh lihat musik Queen, Led zeplin, atau Edy
Van de Bergh, bahkan Bethoven, sebenarnya ia tinggal masuk Islam, karena
dipuncak eksplorasi musiknya ia harus lari ke Timur Tengah untuk menemukan
puncak-puncak estetika, hal ini disebabkan oleh "alladzii baarokna haulahu
linuriyahu min aayaatina", walaupun di antara dua kutub ini ada iblis yang paling
ganas dan malaikat yang paling suci.
Sehingga mengapa nabi-nabi diturunkan di tempat itu? Karena kalau nabi diturunkan
di tanah Jawa, uji cobanya terus bagaimana? Padahal uji coba sebuah agama itu
harus di antara kedua kutub itu, harus dalam budaya Arab, dalam arti Timur Tengah.
Maka Rasululullah, Nabi Adam, Musa, dll,lahir di Arab, dan tidak mungkin lahir di Ja-
tim, Ja-Teng, sebab orang Jawa itu sesungguhnya kalau mau memakai hatinya,
pikirannya sudah sangat Islam, tidak perlu ada firman sudah cukup. Cuma agar lebih
sempurna dibutuhkan sholat, puasa, dll.
Tetapi sesungguhnya hatinya sudah cukup ber-sholat, dan berpuasa.
Dan orang Arab, ini bisa dilihat pada zaman Rasulullah : Ada seorang budak yang
dibeli, dibebaskan oleh Rasulullah, dan sangking gembiranya ia naik ke atas bukit
dan berteriak : "Allahu yarham Muhammad, Allahu yarhaamni, wala yarham ahad",
bayangkan ia sudah dekat sekali dengan Rasulullah dan Allah, masih curang juga
sifatnya, sebab ia berkata : " Ya Allah cintailah aku, cintailah Muhammad dan jangan
cintai siapapun yang lain," inilah type orang Arab, di dalam doanyapun memproduk
klaim soal Allah dan Rasulullah.
Produk seperti ini kemudian muncul di dalam kepedihaan-kepedihan sejarah pasca
Rasulullah yang luar biasa kepedihannya. Bagaimana mungkin Rasulullah yang
agung , yang badannya tidak tinggi, tidak rendah, yang alisnya melipis, yang kulitnya
kemerah-merahan putih, yang hidungnya mancung,, yang selalu tersenyum, yang
menambal sepatunya sendiri, yang tidur di atas pelepah daun kurma, ketika Aisyah
tidak bangun untuk membukakan pintu pada tengah malam, orang yang begitu
sederhana, tetapi ditaati oleh seluruh Jazirah Arab dan ditaati oleh begitu banyak
manusia di dunia, sampai hari ini, sampai dinyanyi-nyanyikan dengan terbang, dan
tidak seorangpun di dunia yang dicintai oleh umat manusia di dunia yang cara
mencintai seperti itu, melebihi Muhammad Saw.
Seperti itu saja, ketika Rasulullah meninggal jenazahnya terbengkelai sampai tiga
hari, tidak ada yang mengurusi, kecuali Siti Fatimah, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, dan
Fadhil bin Abas, dan ketika itu Sayidina Abu Bakar ,Umar, dan Utsman, tokoh-tokoh
Anshor, tokoh-tokoh Muhajirin semua menyibukkan diri berkumpul di Saqifa, mereka
bertarung dan berdebat untuk merundingkan dan menentukan, siapa khalifah
sesudah Rasulullah. Orang yang begitu hebat, orang yang begitu membangun
demokrasi kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya, dan sangat dihormati oleh para
sahabatnya, tetapi pada hari meninggalnya para sahabatnya melupakan jenazah
beliau. Maka akhirnya hanya dikuburkan oleh lima orang, selesai menguburkan di
tengah malam, pasukannya Umar datang ke rumah Ali bin Abi Thalib, agar menanda
tangani pengangkatan Abu Bakar as Shidiq sebagai khalifah. Inilah budaya Arab,
maka inilah alasan sehingga Islam diturunkan di tanah Arab.
Maka budaya Arab itu harus kita pahami betul, orang yang paling gagah berani dan
patriotis adalah orang Arab, tetapi orang yang paling brutal juga orang Arab. Tetapi
jangan lupa orang yang paling militan juga orang Arab. Sehingga budaya Arab ini,
justru adalah suatu kutub yang ekstrim, supaya Islam muncul keindahannya, kalau
Islam diturunkan di antropologi suku yang lain, pasti tidak begitu indah.
(13 oktober 2001)(Dari berbagai sumber : Paket Infak Karangkajen, Yk, Ceramah di
Fak.
Sastra UGM, Yk)
Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang
berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil
albab yang pikirannya sedang bekerja keras.
"Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu
seseorang.
"Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya,
betul!"
"Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain
lagi.
Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga
mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan
mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya.
Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain
menjadi kecil adanya."
"Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau
peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso.
Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat,
beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana,
memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah
dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk
menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan
lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda
sekarang ini, takutkah atau tidak?"
"Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso.
Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para
tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar
seperti Anda semua."
Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid
menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.
"Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz
melanjutkan, "karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut
terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di
sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur isri
dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... masya allah, sungguh
kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan
Allah!"
Benarnya sendiri ini bisa berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di
kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial
yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada
banyak hal juga berlaku pada monarkhisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan Fir'aun-Fir'aun besar dalam skala negara dan dunia,
serta memproduk Fir'aun-Fir'aun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di
organisasi, bahkan di warung dan gardu.
Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi pada kalangan yang yakin
bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan di mana para pelaku demokrasi
menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri mengenai demokrasi.
Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati
--ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun
internasional sebagai seorang demokrat teladan-- ternyata pandangan-pandangan
kolektif itu khilaf.
Padahal demokrasi adalah tingkat kebenaran yang lebih tinggi, yakni benarnya
orang banyak. Demokrasi adalah logo-nya kehidupan modern. Ia bahkan melebihi
segala Agama, bahkan
diletakkan 'lebih tinggi' dari Tuhan.
Tapi, apakah orang banyak pasti benar? Meskipun kebenaran mayoritas itulah
pencapaian tertinggi yang bisa dibayangkan oleh ilmu pengetahuan politik yang
paling rasional? Bukankah sejarah ummat manusia juga mencatat kengerian
terhadap diktatorisme mayoritas?
Bagaimana kalau kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak punya kemampuan
untuk memilih mana yang benar, mana yang baik, mana tokoh, mana pemimpin,
mana panutan, mana politisi, mana
negarawan, bahkan mana Ulama, mana Sufi dan lain sebagainya - sebagaimana
tragedi besar besar panjang yang hari-hari ini sedang dialami oleh bangsa
Indonesia?
Benarnya orang banyak sangat penuh kelemahan dan sama sekali tidak
mengandung jaminan keselamatan di antara para pelakunya, bahkanpun bagi
pelaku diktatorisme mayoritas itu sendiri.
Benarnya orang banyak harus disangga oleh sangat banyak faktor lain: kematangan
budaya, tegaknya akal dan kejujuran, pendidikan yang memadai, kedewasaan
mental kolektif dan lain
sebagainya. Demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Demokrasi adalah ilmu yang belum
dewasa dan pengetahuan yang masih timpang terhadap kenyataan manusia.
(EMHA Ainun Nadjib/Republlika/15 April 2001/PadhangmBulanNetDok)
Peringatan dari Pembantu Rumahtangga
SEORANG pembantu rumahtangga dari Gang Bayi, RT-1/ RW-3 Desa Gogorantai -
GPR - Kediri, Jawa Timur bersurat kepada saya "untuk mengurangi beban saya
sebagai anak yang tersisih dari pergaulan dengan teman-teman seusia saya, karena
rendahnya martabat saya sebagai pembantu rumahtangga", katanya.
Kita memperoleh dua pelajaran ilmu sosial dan psikologi dari kalimatnya itu.
Pertama, bahwa masyarakat kita yang sudah modern dan maju, sudah melewati
PJPT-1, masih menganggap rendah manusia hanya karena ia berstatus sebagai
pembantu rumah-tangga.
Kedua, ternyata tingginya tingkat pendidikan dan luasnya ilmu seseorang, tidak
membuat kasih sayang sosialnya meningkat.
Pada pandangan saya, yang pertama itu ironis, sedangkan yang kedua sesat.
Selanjutnya pembantu rumahtangga kita itu mengatakan, "Juragan saya jelas orang
yang beragama, sehingga tentunya ia berkasih sayang dan suka menolong sesama
manusia, terutama yang lemah dan miskin. Tapi kenyataannya juragan tidak
demikian.
Orang miskin hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhannya".
Ia menulis, juragannya tidak takut kepada Allah. Hidupnya hanya mengunggulkan
harta, kecantikan dan kemewahan saja. Apakah di akherat nanti semua bisa
menolongnya?
Kalau mereka tahu itu kenapa mereka melanggarnya?
"Pembantu tidak dapat tanda jasa, tanpa balasan kasih sayang, padahal jelas jam
tiga pagipun ia selalu siap diperintah. Pembantu hanya wajib dimarahi, diperintah,
diancam, dituduh semaunya, tidak boleh membantah, tidak boleh menjawab satu
katapun meskipun dalam posisi yang benar.
Sangat sedih hati saya, kalau posisi benar tapi dituduh salah".
Kita peroleh lagi dua pelajaran. Pertama ilmu agama, terutama masalah akhlaq.
Dan kedua, ilmu politik dan kekuasaan.
Dan empat pelajaran itu lahir tidak dari perpustakaan, referensi atau buku-buku,
melainkan bersumber dari pengalaman otentik, dari keringat dan airmata realitas,
dari nurani yang jujur dan pikiran yang jernih.
Jadi, itu ilmu sejati. Mutu dan pahalanya sepuluh kali lipat dibanding dosen yang
mentransfer kalimat-kalimat dari buku ke diktat para mahasiswanya.
Jadi, apakah ia bodoh? Apakah ia rendah? Apakah ia lebih bodoh, lebih rendah,
lebih tidak punya harga dibanding kita serta juragannya?
Ia mengumpamakan pembantu rumahtangga itu seperti binatang yang tidak punya
puser. "Kalau sudah begitu saya hanya bisa menangis. Ya Alloh, berilah aku
pekerjaan, sehingga aku bisa meringankan beban Bapak dan Ibuku", katanya lagi.
Ia kemudian menuding saya. "Apakah Cak Nun juga akan berlaku demikian?
Apakah Cak Nun juga akan memandang rendah saya? Apakah surat saya ini dibaca
oleh sekretaris Cak Nun? Kalau begitu apa nanti tidak dibuang ke tong sampah?
Cak Nun, kenapa saya tidak diberi kelebihan seperti Pak Habibie atau Susi Susanti
sehingga saya harus menerima hal yang seperti ini? Tapi kalau saya melihat anak
yang cacat, saya menangis.
Betapa adilnya Tuhan...".*****
Emha Ainun Nadjib/1993/PadhangmBulanNetDok)
AMBIL SI PENARI UNTUKKU TARIANNYA
Dzu Walayah membawaku mengembara.
Namun tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul
wujud, Allah dengan hamba-Nya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk dua
ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.”
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat
kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk selimutmu,
tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.”
Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara
tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit
pundakku – “Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan
kepadaku tariannya.”
(Emha Ainun Nadjib/Padhang
Namun, software untuk memahami kekhilafannya itu juga mungkin tidak terdapat di
luar dirinya: pada sistem nilai masyarakat dan hukum negaranya. Kita terkurung
dalam kelemahan kolektif yang membuat kita bersikap over-defensif, amat mudah
merasa terancam, bahkan ”sekadar” oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh
pengikutnya.
Apa pun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual)
maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat
sangat luas. Mungkin seseorang bisa bertanya kepadanya, ”Yang Ibu merasa
jengkel sehingga ingin menghapuskan itu agama ataukah institusi agama?”
Ilmu dan peradaban diperluas oleh informasi dari agama dan pasal-pasal hukum
adalah jalan terakhir dan terendah kualitasnya. Penjara adalah metode yang paling
tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.
Sekitar 15 tahun silam, Lia menemui saya. Ia sedang sibuk berdagang bunga kering.
Ia merasa mendapat anugerah dari Allah, diizinkan bisa menyembuhkan banyak
orang dari berbagai macam penyakit.
Malam, kami tiba di Gunung Kawi. Naik. Di suatu tempat ia berantem ama empat jin,
Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting-membanting. Berguling-guling.
Saya standby saja. Sepanjang ia tak terkena bahaya fisik serius, saya biarkan saja.
Kalau sampai nanti jinnya ngawur dan ia terluka atau pingsan: sudah pasti saya
tidak tinggal diam, saya pasti bertindak dengan teriak ”Tolooong! Tolooong!” dan
mencari Polsek terdekat.
Bereslah Indonesia
Setelah itu kami belum pernah berjumpa lagi. Berita-berita tentang dia membahana.
Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan
masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan
penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk
mengerti narasumber yang compatible untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari
ketiganya adalah tidak ada yang ”menemani”, atau ”menyelamatkan”-nya.
Ia sempat kirim sms kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi,
Maryam, dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu
bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi
permasalahan bangsa yang semakin majnun.
Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultraradikal
menuju perbaikan yang ajaib. Dengan Maryam, ibundanya Rasul Cinta, redalah
segala kebrutalan politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, bisa seperti pegadaian
nasional: mengatasi masalah tanpa masalah. ”Tetapi, kalau perubahan itu tak
terjadi, berarti bukan Jibril, Maryam, dan Imam Mahdi lho Mbak…”
Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan
coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya.
Karena Jibril itu makhluk nonmateri, bahkan bukan sekadar makhluk-frekuensi: Jibril
adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet
sedikit—meski beliau mandek tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di
mana ”Cahaya Terpuji” (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap
wajah langsung dengan Tuhan.
Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang
dan waktu. Tetapi, sekurang-kurangnya, jika ia masuk bui lagi, bersama napi lain
bisa bikin Majlis Ta’lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi: dilacak
dengan saksama apa sih sebenarnya ”wahyu”, bedanya apa dengan hidayah, ilham,
ma’unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan ”mukjizat”, ”Ruh al-Quddus”, ”Adn”,
”Din”, ”Agama”, dan sebagainya. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah,
tidak langsung bilang itu gula.
Saya yakin Anda sebenernya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan,
menjadi tlang portit, menjadi Camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin
sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja
Indonesia.
Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab
untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan
tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.
Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama
sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam
kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa
dengan hukum-hukumNya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la
yahtasib"--bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang
meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak
memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena)
kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan
sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.
Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh
struktur negara dan masyarakat.
Detailnya : oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang puinya negara atau
tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh
penguasa di antara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.
Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir
kuasa manusia'--maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam
kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal--saya
memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.
Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang
ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak
Tuhan.
Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya,
melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.
Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama,
siap menyanyi, siap menyulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan
untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar
kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan TUhan yang
menyembuhkan), atau apapun saja--sepanjang itu semua tidak berangkat dari
keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas
saya, yyang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi
hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab
(terbukanya penghalang).
Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar
ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Maha Kuasa.
4 Desember 1997
( Emha Ainun Nadjib/"Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah
Kebangsaan"/Zaituna/99/PadhangmBulanNetDok)
Mencari Garuda Ketemu Iblis
Bagi publik teater yang mengikuti perkembangan teater tahun 1980-an, tentu tidak
asing dengan kelompok teater pimpinan Fajar Suharno (eks Bengkel Teater) ini.
Pada periode itu, Dinasti pernah tampil antara lain melalui Geger Wong Ngoyak
Macan.
Berdiri pada 1977, Dinasti bisa disebut kelompok teater yang mengambil peran
penting dalam dinamika seni, budaya, dan politik di negeri ini, pada saat represi
Orde Baru menguat. Saat itu, Dinasti memilih posisi sebagai kelompok teater kritis
atau teater yang terlibat dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan budaya.
Lakon-lakon yang dipilihnya pun acapkali membikin "telinga kekuasaan" merah. Dua
repertoar mereka pun berujung pada pelarangan, yakni Patung Kekasih dan Sepatu
Nomor Satu.
Setelah Bengkel Teater Rendra off dari panggung karena dicekal penguasa, Dinasti
hadir sebagai pilihan publik yang gelisah akibat tekanan politik pembangunan Orde
Baru. Peran sebagai budaya tanding ini dijalani Dinasti hingga menjelang 1990-an.
Apa yang akan ditawarkan Dinasti sekarang melalui Tikungan Iblis? Masihkah ia
membawa protes sosial?
Kondisi sosial-politik di Indonesia telah berubah, sejak reformasi bergulir tahun 1998.
Represi politik --seperti dilakukan Orde Baru-- tidak lagi dominan. Dinasti akan
menjadi kelompok yang "bangun kesiangan" jika masih meradang dengan protes
sosialnya. Bukankah media massa jauh lebih terbuka dan berani mengungkapkan
berbagai realitas itu? Bahkan media massa terkadang jauh lebih dramatik dalam
pengungkapan dibanding kesenian.
Kelumpuhan Budaya
Tapi benarkah persoalan bangsa ini lantas menjadi selesai dengan keterbukaan
politik dan kebebasan pers?
Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis gerakan
Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang "tanpa"
persoalan. Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan bangsa,
melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru seperti ketimpangan
sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/ martabat, politik kekuasaan yang
rakus dan sombong, korupsi kolektif yang makin menguat, dan lainnya. Makin
menguatnya kapitalisme pasar, industrialisme dan materialisme yang menjelma
menjadi berhala, adalah beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi
dimensional bangsa ini, pasca Reformasi 1998.
Dalam seting buram itu, Dinasti mencoba memberikan respons kritis atas berbagai
persoalan sosial, spiritual, politik, dan kebudayaan bangsa ini melalui kontemplasi.
Digarap sutradara Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno, pementasan ini menggunakan
pendekatan multimedia.
Dalam konteks itu, Tikungan Iblis mencoba menawarkan tesis yang berbeda dari
pemahaman Iblis yang klasik. Yakni, Iblis bukan saingan Tuhan untuk menguasai
manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi "alat" Tuhan untuk menunjukkan
kebesaran-Nya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis
bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk
memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan "antitesis" atas "tesis"
Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh,
mendasar, dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket,
melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika
manusia mengakui eksistensi Tuhan --dengan seluruh nilai-nilai idealnya, maka
pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan
"pembelaan" atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas
sosok Iblis.
Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk
menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan,
kemuliaan, dan kebesaran; bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak
diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Saatnya martabat itu harus direbut. (*)
Bersatu itu 'kan enak. Alam dan kehidupan sudah memberi contoh sejak dulu.
Kalau cabe mau bersatu dengan terasi dan brambang, ditambah garam, kan jadi
sambal yang nylekit. Apa sih keberatannya? Sekadar bersatu dengan terasi -- kok
keberatan. Apa maunya hidup tanpa sambal?
Coba kalau berani: bikin undang-undang yang melarang sambal! Saya jamin akan
terjadi revolusi.
Dan revolusi semacam itu belum tentu akan terjadi kalau alasannya adalah bukan
sambal. Kalau yang jadi isu sekadar ketidakadilan sosial, konglomerasi yang
berlebihan, kediktatoran politik atau masalah-masalah remeh yang semacamnya --
berani taruhan tak akan bisa membuat rakyat
bergerak.
Hanya sambal sajalah yang dijamin bisa menjadi sumber people power.
Ini adalah negeri sambal. Ini adalah masyarakat sambal. Ini adalah kebudayaan dan
peradaban sambal.
Dan sekarang terbukti bahwa terutama di bidang politik, para aktivis jelas tidak
mampu meniru persatuan sambal.
Misalnya, kaki mereka saya injak, lantas saya katakan: ''Damai ya? Kamu mau
memafaatkan saya atau tidak? Memaafkan itu perbuatan luhur.
Tuhan saja banyak sifat pemaaf dan pengampunnya.
Tuhan itu ghofur, tawwab, 'afuwwu, ghofar dan lain-lain. Semua itu sifat pemaaf.
Coba kamu pikir, Tuhan yang mahabesar dan tak butuh apa-apa saja bersedia
memaafkan, kok kamu sok tidak mau memaafkan. Ayo! Mau memaafkan saya atau
tidak! Kalau tidak, berarti kamu menentang saya!
Merongrong kewibawaan saya!'' Jadi, kalau saya menginjak kaki mereka, itu suatu
metode pendidikan untuk melatih kebesaran jiwa mereka. Kalau saya menempeleng
kepala mereka, itu untuk menguji keluasan hatinya. Kalau saya menendang
seseorang sehingga terlempar jatuh dari kursinya dan ia lantas duduk di kursi
bayangan, itu demi menatar keteguhan batinnya. Kalau saya rampok hartanya, saya
gusur ladangnya atau saya ambrukkan rumahnya, itu semata-mata kaifiyah atau
prosedur agar mereka mengembangkan kecerdasan ilmunya tentang keadilan dan
kebenaran.Menguji keluasan hati, melatih kebesaran jiwa, mengembangkan ilmu
dan meneguhkan akhlak, dan lain sebagainya -- adalah hal-hal yang merupakan inti
ajaran Tuhan dan para nabi-Nya. Saya sekadar penerus, ahli waris.
Tidak. Saya bukan tipe manusia yang pengecut dan betina. Sebelum tanggung
jawab bisa saya penuhi sepenuhnya, saya tidak akan lari ke manapun. Saya akan
tetap panggul tanggung jawab itu, sebagaimana para rasul dulu loro-lopo
memanggul risalah mereka, meskipun disakiti, dilukai, difitnah, dirasani, dan
disalahpahami.
Itulah beda antara saya dan kebanyakan pemimpin lain di dunia ini. Mereka pada
umumnya melompat dari kursi amanat rakyatnya dan melarikan diri keluar dari
balairung tanggungjawab nasionalnya, sebelum tugasnya dituntaskan. Beberapa
tahun mereka sudah tak tahan dan angkat tangan.
Dan saya tidak. Sekali saya tegaskan: saya tidak! Saya tidak demikian. Saya bukan
pengecut licik dan tengik. Saya, dengan saksi Allah, para malaikat dan segala
lelembut -- akan dengan teguh memanggul tanggung jawab ini sampai titik darah
penghabisan. Rawe-rawe rantas.
Malang-malang putung.
Susah diajak dewasa. Kalau anak kecil itu kemriyek, suka ribut dan suka berebut
apa saja. Kalau orang dewasa bisa lebih tenang dan stabil jiwanya. Sungguh saya
mendambakan kedewasaan rakyat. Maunya saya, mbok yang tenang-lah. Saya
kasih makan apapun, usahakanlah tenang. Kalau saya kasih peraturan-peraturan,
atau bahkan pun kalau saya sendiri melanggar peraturan yang saya bikin,
berupayalah untuk tetap tenang.
Tujuan saya adalah memang menguji daya ketenangan dalam jiwa mereka.
Kalau saya menggusur, saya sekadar ingin tahu seberapa kadar kesabaran mereka.
Kalau saya ambil makanan lebih banyak dibanding jumlah makanan mereka semua,
itu wajar, karena saya memang pemimpin. Moso' pemimpin disuruh kelaparan!
Kalau saya menentukan siapa Kepala Satgas, siapa Ketua Partai, siapa Pimpinan
Organisasi, berapa hektar sawah untuk keluarga saya, dan lain sebagainya -- itu
semata-mata untuk mendeteksi takaran sangka baik nasional mereka.
Rakyat saya harus dewasa, harus matang kepribadiannya, tidak gampang
bersangka buruk, tidak gampang iri, dengki atau cemburu.
Misalnya sekali waktu, atau di banyak waktu, sengaja saya menerapkan perilaku
yang penuh kemunafikan. Itu apa tujuan saya? Tak lain tak bukan adalah untuk
mengetahui secara persis seberapa tinggi ketahanan mereka atas hal-hal yang
buruk. Kalau saya sebarkan ketidakadilan, umpamanya, saya ingin mengerti
seberapa kukuh hati mereka ditimpa oleh nasib buruk yang menyiksa. Sebagai
pemimpin saya tidak mau punya rakyat yang cengeng, yang rewel dan sentimentil.
Mereka harus tetap tenang, damai dan bersatu, meskipun ditimpa ketidakadilan dan
ketidakbenaran.
Mungkin terpaksa saya akan menuliskan semua filosofi ini dalam buku-buku.
Mungkin akan saya cicil sedikit demi sedikit melalui pidato-pidato, agar rakyat saya
terdidik. Mungkin juga saya akan menciptakan semacam reportoar drama, entah
monolog entah drama kolosal -- mengenai semua ini -- agar saya berlega hati
menyaksikan rakyat saya berproses untuk dewasa dan penuh persatuan dan
kesatuan. Kalau tidak, saya akan malu kepada dunia.
MENJELMA CINTA
Engkau panggil jiwa yang tenteram
Untuk kembali kepada-Mu dengan rela
dan direlakan
Engkau berfirman bergabunglah
ke penyembahan kepada-Ku
Engkau berfirman masuklah ke surga-Ku
Yang tidak tenteram tidak Kau panggil
Karena yang tak tenteram tak bisa kembali
Yang tak tenteram hanya bisa menjauh pergi
Yang tak tenteram tak sanggup rela
Dan mustahil Engkau relakan
Yang tak tenteram kuda-kudanya goyah
untuk menyembah
Yang tak tenteram mata jiwanya buta
langkahnya kandas sebelum surga
Dalam kehidupan sehari-hari kita begitu yakin dan mantap bahwa kita memiliki
sesuatu, punya modal, memegang hak milik atas tanah, kekuasaan dlsb.
Dan untuk itu kita bikin kompetisi ekonomi dan karir politik, perang dan
kapitalisasi senjata, perlombaan properti dan aksesori budaya, atau mengunyah
mode demi mode kebudayaan sampai air liur kita meleleh-leleh.
Padahal teknologi tercanggih di abad 500 kelakpun tak akan sanggup menciptakan
segenggam tanah, selembar daun, secipratan minyak atau sehelai rambut.
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)
Islam itu tidak menyakiti siapa-siapa
Islam itu tidak menyakiti siapa-siapa
Islam itu kalau ada paku ditengah jalan dipinggirkan
Islam itu adalah kalau ada barang mubazir didaya gunakan
Islam adalah tidak mengganggu tetangga
Islam adalah tangan ini tidak boleh nganggur, kaki tidak boleh nganggur,
tidak boleh ada barang mubazir
Malas itu makruh hukumnya, tidak boleh ada malas, pikiran harus cerdas dipakai
terus, tangan kaki bekerja terus berkeringat.
Islam itu tidak gampang curiga, gampang su'udhon dan gampang marah
Kalau petani, Islam adalah memelihara kesuburan tanah, jangan terus menerus
ditanami
Kalau tukang ojek, Islam adalah jadikan penumpangmu merasa aman kalau menaiki
ojekmu.
Kalau anda jualan di toko atau warung, Islam adalah orang yang beli itu merasa
aman dan percaya pada apa yang anda jual.
(Emha Ainun Nadjib/Maiyah Rusun Penjaringan Jakarta, 09 Juni 2004/PmBNetDok)
Pertama, orang yang merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu
adalah mereka yang merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat
hukum
adalah penghuni elite dari peradaban ’modern’, tepatnya masyarakat yang
merasa dan amat meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang
’terbaik’, yakni ’modern’.
Sejak ribuan tahun silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan
’memiliki’ pulau itu berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya
bertempat
tinggal (’jam terbang’) ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara
filosofis hukum bisa dijadikan landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas
tanah itu.
Tetapi, tuntutan mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern,
sangat bodoh secara kebudayaan modern, dan sangat melawan ’hukum’
yang sudah
diberlakukan atas tanah itu, yakni ’hukum’ negara serikat Amerika.
Dalam konteks itu hukum modern adalah Dajjal bermata satu, bertangan satu,
bertelinga satu, berhati sebelah dan berakal terbelah (growak) di tengah-tengah.
Ribuan tahun orang Jawa menciptakan peradaban tempe dan pada suatu siang
tiba-tiba saja tempe adalah milik orang Jepang, berkat hukum modern. Setengah
mati orang Jogja, Solo, dan Pekalongan membanggakan budaya dan karya batik,
sampai mendadak mereka hampir stroke mendengar bahwa batik adalah hak
patennya
Malaysia.
Sebuah pabrik kecap puluhan tahun sukses dan digemari konsumen, suatu hari
pimpinannya diseret ke pengadilan dan dipenjarakan, dituntut oleh salah seorang
karyawan yang membelot, membuat pabrik sendiri, mendaftarkannya ke lembaga
hak
cipta- sementara pabrik aslinya tidak pernah mendaftarkan.
Insya Allah suatu hari nanti saya akan kehilangan nama karena ada teman yang
mendaftarkan Emha Ainun Nadjib sebagai hak cipta dia. Yang kasihan adalah Nabi
Muhammad, telanjur tidak sempat sowan mendaftarkan namanya, sehingga tunggu
saatnya beliau tak lagi diakui sebagai pemilik nama Muhammad. Yang repot kita
orang Islam, setiap membaca syahadat musti kasih royalti kepada pemegang hak
cipta nama Muhammad. Bayangkan, berapa duit harus kita siapkan untuk salat wajib
lima kali sehari saja. Belum lagi ditambah wirid dan shalawat.
Anda jangan lantas tidak salat demi menghindari kewajiban memberi royalti. Insya
Allah Tuhan juga mafhum atas kekurangan Anda. Sebab, Tuhan sendiri juga
berposisi sama dengan Muhammad dan Anda. Entah kapan Tuhan akan bertamu ke
kantor lembaga hak cipta untuk mendaftarkan paten nama Allah, Yehova, Sang
Hyang
Wenang, dsb. Tentu butuh sangat banyak biaya. Andaikan Muhammad tidak telanjur
menjadi nabi terakhir, mungkin diperlukan wahyu baru yang menganjurkan agar
umat
Islam ketika menyebut Allah dan Muhammad cukup dalam hati, demi menghindari
pemborosan royalti hak cipta.
Yang paling selamat adalah manusia yang celat atau pelat lidahnya, yang menyebut
Allah dengan Awwoh dan Muhammad dengan Mamad. Itu pun kalau Awwoh dan
Mamad
belum didaftarkan ke lembaga hak cipta.
***
Ini sekadar iftitah, pembuka dari pembicaraan yang sangat mungkin bisa panjang
tentang kelucuan hukum. Anda pasti sangat cerdas memahami judul tulisan ini,
sesudah ala kadarnya membaca preambul ini.
Omong nasi musti omong beras, padi, tanah, daun, tanaman, angin, air, matahari,
musim, Tuhan dan terus terus teruuus sampai tak mungkin Anda menghindar dari
satu kata apa pun tatkala membicarakan satu kata yang lain. Hukum, fikih, moral,
akhlaq, takwa, mahabbah…. Teruuus sampai SBY-JK turun belum akan selesai kita
sebut kata demi kata, demi menguraikan sekadar satu kata.
Belum lagi kalau saya pancing dengan kalimat bahwa saya termasuk orang yang
tidak peduli hukum. Ada hukum atau tidak, saya tidak akan menyakiti manusia. Ada
KUHP atau tidak, saya tidak akan maling. Ada jaksa, hakim, atau tidak, saya
tidak akan mencekik anak tetangga. Ada polisi, pengacara atau tidak, saya tidak
akan memerkosa wanita maupun kambing betina dan apa siapa saja….
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2007/PmBNetDok)
KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
"Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan Barat.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi
kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari anjing kurap.
Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang dipuja orang
melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan."
"Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk
memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya
sendiri," si kakek melanjutkan, "Maka dipandanglah kebudayaan barat itu oleh
mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang kebudayaan barat
itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan."
"Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini," jawab Kiai Sudrun,
"setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang hendak
aku ceritakan kepadamu adalah soal lain."
"Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan kebudayaan barat
seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat dengan setan.
Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu sendirilah yang
dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam."
"Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban iqra', meskipun
kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak ada yang
melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap
kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia
memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk
mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya
mereka memerlukan perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka
mempersembahkan kepada telinga dan mata manusia berita dan pemandangan dari
balik dunia yang berlangsung saat itu juga. Mereka telah memberi suluh kepada
pengetahuan manusia untuk mengetahui yang lebih besar dari galaksi serta yang
sejuta kali lebih lembut dari debu."
"Benar," jawab kakeknya, "kalau saja mereka meletakkan hasil iqra' itu di dalam
kerangka bismi rabbika-lladzi khalaq. Seandainya saja mereka mempersembahkan
ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah.
Seandainya saja ereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam
politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian
kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban."
"Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi kebanyakan dari
mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada
kebudayaan yang semacam itu."
"Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian
cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja, yakni
kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak ada
sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi
memencilkan diri:
melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan kampung-kampung sendiri - di
pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan mereka sendiri. Mereka menjadi
bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan medan untuk menciptakan dunianya
sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil, tetapi sesungguhnya itu masih lebih
baik dibandingkan kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis 'Kalian sok
suci!' atau 'Kami tak mau munafik!' sementara yang mereka lakukan sungguh-
sungguh adalah kekufuran perilaku dan pilihan. Namun demikian tetaplah Allah
Mahabesar dan Mahaadil, karena tetap pula di antara kedua kaum itu
dikehendakiNya hamba-hamba yang mencoba merintis perlawanan di tengah
medan perang. Mereka menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka
ber-iqra', membaca
keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesanggupan
mengolah
sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba dengan
kesadaran dan ketakjuban Ilahiah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata kebudayaan
yang bersujud kepada Allah."
"Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim," berkata Kiai Sudrun
selanjutnya, "Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya intelektualisme-
transendental atau intelektualisme-religius, meskipun Kaum Muslim sendiri
menyebutnya gerakan intelektual - itu saja - sebab intelektualitas dan intelektualisme
Islam pastilah religius dan transendental."
"Itu iqra' namanya. Gerakan iqra', yang ketiga sesudah yang dilakukan oleh
Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui menjadi sumber
pengembangan kebudayaan barat."
"Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah - kata Tuhan - orang-orang yang
berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai
kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.
Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan
tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas
dengan lega."
"Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah berfirman qum! Berdirilah.
Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari ketergantungan dan ketertindihan. Untuk
tiba ke tahap mandiri, seseorang harus keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak
akan bisa berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya
serta terbungkam mulutnya."
Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, "Kakek luar biasa!" katanya,
"Kakek memang cerdas luar biasa!"
"Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek tadi malam
dari buku-buku kuliahku."
"Lho!", Saridin terhenyak, "Justru karena ini untuk [buku] humor, maka saya pilihkan
tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan ini kan orang-orang
yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak
sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin
dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!"
Saya jadi agak takut-takut. "Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong
yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!"
"Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan mengenai orang-
orang yang melawak dihadapan-Nya!"
"Orang beribadah kok melawak!" saya membantah lagi.
"Lho, gimana sih, " ia menjawab "Orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan
permintaan kepada Tuhan - 'Ya Allah anugerahilah aku jalan yang lurus!' Dan Tuhan
sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah
memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya
jadi Tuhan, pasti kesel dong...."
"Husysysy!!!" saya membentak.
"Husysy bagaimana!"
"Emangnya kamu Tuhan?"
"Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!"
"Emangnya Tuhan bisa kesel?"
"Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka
menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia,
untuk berbuat gila?"
"Wong gitu saja kok gila tho Din!""Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum,
lha kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh
sesak oleh gelas-gelas kopi, tapi
lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta lagi. Gila namanya kan?"
"Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya."
"Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis, itu penyakit
junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian mengenai konteks,
proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang menyebabkannya. Orang
bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan, itu majnun.
Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat, padahal prakteknya tidak - itu
namanya virus junun, lebih parah dari HIV...."
Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!
KRITERIA KEPEMIMPINAN
Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-
kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta
keberanian mental.
Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung
kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang
stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati
dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan
hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika
pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan,
maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.
Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau
orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk.
Berpikir sederhana saja.
Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas
banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia. Bertindak hewaniah kepada
istrinya, juga kepada orang lain. Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah
sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan
meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia?
Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia.
Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya,
gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal
semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku
kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi
perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?
Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada
cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya
pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural
animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan,
informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.
Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak
suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme
politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang
ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh
bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung
parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.
Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap
dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau
perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh
wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud
pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian
kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.
Namur hari-hari ini belum 'hari obor menyala'. Para ilmuwan muslim baru sedang
sibuk 'menambang minyak'. Sekarang adalah era di mana mereka suntuk
mernpelajari dialektika antara ayat-ayat Allah di alam,-manusia Qur'an (tiga
informasi cahaya).
Sementara itu mereka masih dikepung dan dirasuki oleh berbagai ancaman:
・ Belum dipenuhinya tiga syarat untuk memperoleh 'minyak' seperti yang telah
saya uraikan di awal tulisan ini (Q. 2 : 3). Hal ini bersumber dari ketergantungan
terhaiap etos-etos ilmu pengetahuan sekularistik dan atheistik yang mereka suntuki
tiap hari.
・ Kemurigkinan ada di antara mereka yang 'terlibat' dalam tuduhan Allah,
misalnya :
"Ia mendengar ayat-ayat Allah, namun ia tetap menyombongkan diri" (Q. 45 : 8).
Salah satu kesombonganya ialah gejala diskoneksi antara kepercayaan terhadap
ilmu Al-Qur'an dengan kepercayaan terhadap atheisme sikap pengetahuan.
"Dan apabila ia mengetahui barang sedikit tentang ayat Allah, maka ia memperolok-
olokkannya" (Q. 45 : 9). Secara eksplisit maupun implisit terhadap kecenderungan
tertenu dari apa yang kita kenal disiplin keiimuan atau konvensi akademis,
mengandung potensi olok-olok semacam itu.
"Adakah mereka itu tak memperhatikan Al-Qur'an a taukah hati mereka terkunci?"
(Q. 47 : 24). Bagaimana mungkin AlQur'an tidak merupakan kepustakaan utama
seorang, ilmuwan
Alangkah tak nyaman jika ternyata kita tergolong-golong dalam kalangan yang oleh
Allah disebut "Sesungguhnya bagi mereka yang ingkar, sama saja bagi mereka
kamu beri peringatan atau tidak mereka tetap raja tidak beriman" (Q. 2 : 6). Tetap
terjadi keterbelakangan pribadi: Ketika kita sholat kita adalah seseorang tersendiri,
ketika kita bersekolah kita adalah orang yang lain, ketika kita berdagang dan
berpolitik kita adalah orang yang lain-lain lagi.
"Dalam hati mereka' ada penyakit, dan Allah menarnbahkan lagi penyakit itu" (Q. 2 :
10). Mungkin .karena sesudah meningkat kita, tetap saja kita tak sanggup untuk
tidak bergabung dengan orang-orang yang dengan gagah mengatakan "Kami
adalah .orang-orang yang mengadakan perbaikan" padahal mereka "mengadakan
kerusakan di muka bumi" (Q. 2 : 11) Tidakkah kecenderungan semacam itu amat
gamblang kita temukan dalam mekanisme kehidupan bemegara dan bermasyarakat
kita sehari-hari ini?
Maka barangkali berbagai stagnasi, involusi, keterbelakangan, ketertinggalan atau
kemacetan-kemacetan sejarah yang kita alami bersama dewasa ini adalah karena
"Allah memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing
dalam kesempatan mereka" (Q. 2 : 15). Siapa bilang 'mereka' yang dimaksud oleh
Allah itu 'pasti bukan kita'.
Na'udzubillah kita semua dari kutukan Allah "Tuli, bisu, buta, dan tak kembali ke
jalan yang benar" (Q. 2 : 18). Semoga kita bukanlah orang-orang yang "Menyalakan
api, namun setelah api itu menerangi sekeliling, Allah menghilangkan cahaya itu dan
membiarkan mereka dalam kegelapan dan tak dapat melihat" (Q. 2 : 17).
Kaum ilmuwan adalah pembawa obor bagi setiap perjalanan peradaban. Merekalah
yang paling menentukan apakah kita semua hisa terhindar dari kemungkinan
kegelapan seperti itu.
Ilustrasi
Mungkinkah kita mampu berangkat melacak dari stratifikasi hakekat kemakhlukan :
- Materi
- Tumbuhan
- Hewan
- Manusia
- Abdullah
- Khalifatullah
- Waliyullah
- Nabiyullah
- Rasulullah
Apakah kita bisa bertolak antara lain dari bagian-bagian akhir dari Surah Al-Hasyr
yang menyebut konfigurasi dan penataan sejarah manusia yang dilambangkan oleh
susunan asma Allah dari Rahman-Rahim ke Malik-Quddus-Salam-Mu'min-
Muhaimin-menuju 'Azis-Jabbar-Mutakabbir hingga ke Khalik - Bari' - Mushawwir.
Juga bisa kita sebut etos Gerakan Intelektual Iqra, Gerakan Kebudayaan dan
Gerakan Politik Ya A-yyuhal Mudatsir Qum Faandzir, dst.
Seribu, bahkan berjuta-juta samudera Al-Qur'an, hanya mampu saya ambil setetes,
itupun belum cukup jernih saya menatapi dan menghirupnya
****(selesai)***
Sungguh la raiba fiih (tak ada keraguan padanya) bahwa sesudah mentransfer
sumber-sumber ilmu pengetahuan Islam dari Timur Tengah, peradaban Eropa
mampu membawa sejarah manusia ke suatu tingkat pencapaian ilmu dan teknologi
menakjubkan seperti yang sampai hari ini kita alami dan nikmati. Meskipun prestasi
peradaban teknologi itu sejauh ini kurang diorientasikan untuk berideologi "Bis-mi
robbika lladzi kholaq" (Q. 96 : 1), yakni mempersembahkan, mensubordinasikan
atau mengabdikan segala hasil ilmu dan teknologi itu untuk iqarnatihshalat
(membangun sembahyang kehidupan), untuk qiyam ' indallah (bersemayam di sisi
Allah), untuk utammima makaarimal akhlaq (menyempumakan keutamaan moral
perilaku), dst. sehingga malah menghasilkan kehampaan hidup, keterasingan dari
diri sendiri, dekadensi moral, kebingungan dan kegilaan (junun) serta berbagai
bentuk kebuntuan hidup yang lain yang menjadi ciri penting kehidupan modern
namun tetap harus disadari oleh Kaum Muslimin bahwa rekayasa iqra' bangsa-
bangsa Eropa sejauh ini melebihi yang diselenggarakan oleh KaumMuslimin.
Dunia Islam telah menganggap dirinya sendiri akan tampil menjawab problem-
problem kemanusiaan abad 21, dipastikan akan muncul di panggung peradaban
masa datang sebagai 'ideologi ketiga' yang mengatasi relativisme dua ideologi besar
sebelumnya yang dewasa ini sedang 'merintis kehancuran'nya; akan hadir dengan
membawa obor benderang untuk membuat para pejalan sejarah berdiri kembali dari
keterserimpungan kaki-kakinya, dari penyakit yang merabunkan mata dan
membatukan hatinya, dari kebuntuan, kecemasan dan kesunyian.
Itu berarti Kaum Ilmuwan Muslim yang oleh Allah diangkat derajatnya melebihi
orang-orang biasa akan harus mampu meminyaki obornya agar cahaya mampu
berpendar-pendar. Minyak itu ialah :
・Upaya penggalian dan rekonstruksi alam kefilsafatan berdasarkan hudallah
melalui Qur'an yang mengatasi dan menerobos batas-batas kerdil yang pernah
dicapai oleh sekulerisme, humanisme, atau bahkan universalisme. Mata kefilsafatan
Islam memandang jauh ke al'arsyul 'adhim' atau al ufug almubin. Tangan filosofi
Islam akan mengambil anak-anak kemanusiaan yang terjatuh karena terjebak oleh
kebuntuan eksistensialisme, membawa mereka memahami esensialisme ilahiyah.
・Melakukan tajdid atau pembaharuan ilmu pengetahuan alam, melahirkan kembali
khasanah tersebut dengan merelevansikannya terhadap konteks peran keilahian.
Seorang insinyur menjadi tidak hanya pandai menelorkan mode-mode baru
pembangunan berhala-berhala dunia, melainkan bekerjasama dengan ilmu dan
keterampilannya untuk mengerjakan pembangunan-pembangunan kebudayaan dan
peradaban yang mengabdi kepada Allah. Sebab yang dibutuhkan oleh manusia
bukan sekedar baldatun thoyyibah tapi juga robbun ghofur, bukan hanya negeri adil
makrnur, namun juga dengan perilaku budaya yang diampuni oleh Allah. Kaum
ilmuwan alam adalah orang-orang terpilih yang pangling memiliki kemungkinan dan
kesanggupan untuk mentakjubi Allah, karena merekalah golongan manusia yang
diberi rezeki pengetahuan sehingga tak habis-habisnya kagum dan bersujud
karenanya.
・Mengusahakan lahimya iimu-ilmu tentang manusia dan masyarakat atau segala
pilah ilmu-ilmu sosial yang berpedoman kepada pola berpikir Allah yang tercermin
dalam Al-Qur'an. Konsep bahwa Al-Qur'an adalah hudan lilmuttagin adalah titik
berangkat ilmuwan muslim menuju kerangka-kerangka teori dan acuan ilmu-ilmu
sosial versi Allah sejauh yang sanggup diterjemahkan dari petunjuk Qur'an yang
wilayah penjelajahannya,
visinya, hakekat perannya, disiplin dan konvensi-konvensinya berbeda dengan yang
selama ini dikenal oleh ilmu-ilmu sosial modern (: Barat) yang dianut di sekolah-
sekolah seluruh dunia. Hanya dengan mempedomani Qur'an kaum ilmuwan muslim
memiliki kemungkinan untuk menjadi bertaqwa, atau hudaliah itu hanya bisa diterima
apabila seorang ilmuwan memiliki dasar-dasar taqwa: itulah sebabnya idiom
AlBagarah itu berbunyi 'hudan (petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa) dan
bukan hudan lilkadzibin (petunjuk bagi orang-orang yang berdusta) atau hudan
lilmutakallifin (petunjuk bagi orang yang mengada-ada).
Ada berita bahwa kelak akan terjadi pergeseran serius dalam peradaban manusia di
muka bumi menuju suatu pencerahan keilahian yang berlangsung 'revolusioner',
yakni ketika para ilmuwan menernukan pengetahuan baru tentang cahaya. Peristiwa
tersebut akan merupakan terobosan sejarah yang dahsyat di mana kecemasan
ummat malusia terhadap bumerang sekularisme, teknologi dan kebudayaan berhala
bahkan juga pertentangan-pertentangan ideologi atau agama serta kepentingan-
kepentingan lain akan diatasi dan 'disembunyikan' secara tak terduga.
Inovasi ilmu cahaya itu akan merupakan hidayah Allah yang amat mentakjubkan,
penuh 'blessing in disguise', serta nembuktikan kemenangan Allah dengan cara
yang aneh dan ironis terutama bagi 'musuh-musuh Allah'.
Cahaya yang dimaksud bukan sekedar cahaya dalam arti simbolik atau metaforik,
tetapi yang sungguh-sungguh cahaya yang selama ini menjadi obyek penelitian
keilmuan alam. Orang akan menemukan jenis-jenis cahaya dalam skala
hakekat.yang jauh lebih luas. Orang akan berjumpa dengan sambung sinambung
cahaya dari yang paling wadag hingga rohaniah. Dan pengetahuan baru itu akan
merupakan ilham baru, visi dan acuan baru yang membuat ummat manusia memiliki
wawasan dan kejernihan baru dalam memahami
alam, manusia dan kebudayaan, nilai-nilai yang 'berseliweran' di dalamnya, serta
huburigan-hubungan yang berlangsung di antara semua itu.
Pada saat peristiwa itu jelaslah bagi kita semua betapa kaum ilmuwan muslim
sungguh-sungguh menggenggam obor peradaban yang nyalanya berpendar-pendar
dan cahayanya menaburi seluruh permukaan bumi. Mereka membawa perubahan
besar filsafat dan ilmu pengetahuan, pola-pola budaya serta peran-peran teknologi;
termasuk juga fungsi-fungsi lain dalam kehidupan manusia seperti politik, sikap
ekonomi, hubungan sosial atau karya-karya seni.
(bersambung)=====>>>
0rang-orang berilmu selalu berada di garis depan sejarah. Kaurn Ilmuwan adalah
obor setiap perjalanan peradaban manusia. Obor kaum ilmuwan rnenentukan lancar
atau macetnya langkah seluruh musafir kemanusiaan. Obor yang menyala terang
memancarkan gerakan-gerakan cahaya apinya ke depan menuding cakrawala agar
mata kemanusiaannya tak buta, membuat wajilat qulubuhum, tergetar hati mereka
oleh segala pemandangan dan ilmu karya Allah yang mentakjubkan, membuat
mereka bergairah dan bertawadlu memuji-muji kebesaranNya. Adapun obor yang
suram atau padam akan menciptakan kegelapan yang menjadikan setiap pejalan
sejarah bertabrakan satu sama lain, terserimpung oleh kaki-kaki mereka sendiri,
terjatuh dan saling tindih menindih di lumpur.
Obor kaum ilmuwan yang tergenggam di tangan mereka diciptakan oleh Allah
melalui sumpah Alif Lam Mim (Q.2:1). Nyala api obor itu bergelar Qur'an yang "tiada
keraguan sedikitpun padanya sebagai petunjuk bagi mereka yang sebab pada
hakekatnya 'ijaz (kemukjizatan) Qur'an adalah "keseluruhannya mampu merangkum
dan menjelaskan bagian-bagiannya, bagian-bagiannya mampu merangkum dan
menjelaskan keseluruhannya".
(bersambung)======>>
****(selesai)****
Jadi, permasalahan ini sangat jauh lebih dari sekadar "soal bahasa" atau "soal
istilah". Dengan demikian agama pun bukan hanya tidak bisa berperan apa-apa
terhadap proses kemajuan kehidupan manusia: ia memang sama sekali tidak
dilahirkan untuk itu. Manusialah subyek yang harus bergerak, bekerja dan
bertanggungjawab. Manusia pula yang maju atau mundur, yang untung atau rugi.
Agama sendiri tidak memiliki hakikat untuk maju atau mundur, untuk untung atau
rugi. Kalau seluruh urnmat manusia berduyun-duyun rneninggalkannya, Agama
"tenang-tenang saja", tidak rugi sesuatu apa.
Oleh karena itu kalau harus berbicara tentang Agama, saya selalu merasa harus
mengambil jarak yang setepat-tepatnya dan sejemih-jernihnya dari pemahaman
tentang agama yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial. Ibu kelahiran ilmu sosial adalah
realitas sosial yang disebut agama, yang dimaksud sesungguhnya adalah upaya
terbatas manusia dalam mewujudkan nilai-nilai yang diambilnya dari agama.
Sedangkan agama itu sendiri, sekali lagi, sama sekali bukan hasil karya manusia,
bukan produk kebudayaan, sehingga segala sesuatu yang berasal dari basil upaya
atau rekayasa manusia, sejauh-jauhnya hanya bisa disebut manifestasi agama.
Agama berbeda dari manifestasi agama, seperti halnya matahari berbeda dari
cahaya matahari, atau seniman berbeda dari karya seni atau dan rahasia alarn
rohani yang menjadi sumber lahirnya karya seni.
Dalam hal ini saya sangat terikat oleh common sense : bahwa manusia tidak
memiliki otoritas untuk menciptakan agama, memberi nama kepadanya, serta
menentukan muatan nilai-nilainya; lepas bahwa kita bisa kekal memperbantahkan
metode apa yang paling absah untuk menentukan apakah sesuatu - firman,
umpamanya itu berasal dari Allah langsung atau tidak.
Katakanlah ini barangkali sekadar sikap pribadi : jika ada agama berasal dari
manusia, saya tidak akan pemah bersedia menganutnya. Saya tidak percaya
kepada manusia jenis apapun untuk bisa membimbing saya dalam hal-hal yang
menyangkut kebahagiaan, kesejatian, keabadian dan lain sebagainya.
Akan tetapi kalau saya tidak menggunakan "pengertian agama secara sosiologis",
tidak berarti saya lantas memakai "pengertian agama menurut agama saya sendiri".
Yang bisa saya pakai hanyalah pemahaman atau tafsir, interpretasi saya atas
agama menurut Yang Membuat Agama itu sendiri.
Analoginya barangkali seperti bunyi kokok ayam : apa bunyi kokok ayam? Setiap
orang menirukan bunyinya, merefleksikannya berdasarkan citarasa dan pola ungkap
musikalnya. Adapun bunyi kokok ayam itu ya bunyi kokok ayam : kalau ayam
ditanyai apa bunyi kokoknya, ia cukup berkokok saja, dan sampai kiamat kita
memperdebatkan hasil pendengarannya kita atas bunyi kokok ayam itu.
Pada level teoritis, agama memuat segala sesuatu yang terbaik yang diperlukan
manusia untuk mengolah tuluan-tujuan hidupnya . Agama menyediakan demokrasi,
etos kerja, kearifan, moralitas serta apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam
mempergaulkan dirinya dengan tanah, tetumbuhan, seluruh unsur alam, sesama
manusia, cita-cita kebahagiaan dan kesejahteraan, juga menejemen keadilan, cinta
dan kebenaran.
Namun dalam level kasunyatan (realitas), agama telah dihinakan oleh kebodohan
manusia, diredusir oleh kepentingan subyektif manusia, bahkan diubah wajahnya
menjadi faktor sejarah yang merepotkan dan menjadi sumber peperangan.
Agama dirancukan dengan organisasi sosial atau gerakan kebudayaan. Tidak sedikit
orang berkata, meyakini dan memperbuat agama, padahal yang dimaksud
sesungguhnya hanyalah sangkaan terhadap sesuatu yang mereka anggap sama.
(bersambung)========>>>
(bersambung)=====>>
(bersambung)======>>>
Allah: Muasal dan muara segala eksistensi, balk yang dipahami melalui kreativitas
intuitif/instinktif maupun kreativitas intelektual, yang mengeksplorasikan tiga wilayah
informasi dari Allah: yakni realitas alam, manusia dan firman.
Khilafah: Pemandatan, pelimpahan, perwakilan terba:as kedaulatan cinta Allah,
Kasih Allah dan kepengasuhan Allah kepada manusia (bukan kepada benda,
tumbuh-tumbuhan, hewan, juga bukan kepada makhluk lain seperti jin atau iblis).
Ijtihad: Proses pemahaman, penghayatan, dan penafsiran manusia terhadap
pelimpahan khilafah Allah kepadanya.
Tajribah/Amaliah: Eksperimentasi, pengujian penerapan, yang sekaligus merupakan
manifestasi, aktualisasi, perwujudan atau pengejawantahan,
Terminologi Bantu
Managemen Iman - Islam - Ihsan
Kualifikasi Fiqh - Akhlaq - Taqwa
Teori Sab'a atau Tujuh Langit
Asas Islam tentang La ikraha fid-din, tiadanya paksaan ialam penyelenggaraan
sistem-sistem 'kedaulatan, kepengasuhan dan kasih sayang. Tingkat-tingkat benere
dewe - benere wong akeh - bener kang sejati
Innama amruhu idza aroda syai-an-yaqula la-hu kun fayakun: tahap kesadaran dan
pengelolaan dari landasan "amr" ke 'iradah" dengan mempedomani "qoul" , agar
"kun fayakun"
Serta mungkm yang lain-lain, yang diuraiakan jika merupakan keperluan forum.
Skema Terurai
Allah sebagai Khaliq (pencipta sejati), Ilah (pemilik kelaulatan), Rabb (pengasuh,
pendidik, pengelola).
Akar Fungsi atau kedudukan Allah sebagai Khaliq, Ilah maupun Rabb adalah watak-
watak: 'Alimul Ghaib (mengetahui segala yang tidak diketahui), Rahman (pengasih,
cinta "personal") (mengacu ke sifat Ahad), Rahim (penyayang, cinta "universal")
(mengacu ke sifat Wahid).
Muatan Qudus (yang kedaulatannya legal sejati sehingga benar sejati), Salam (yang
sungguh-sungguhnya nenyelamatkan, mendamaikan, mengamankan), Mu'min yang
jaminanNya mutiak bisa dipercaya), Muhaimin yang janjiNya menenteramkan).
Muatan Malik (satu-satunya raja sejati), 'Aziz (segala ciptaan adalah pantulan
kegagahanNya), Jabbar (keperkasaanNya), Mutakabbir (kesanggupan absolutNya
untuk menguasai segala sesuatu).
Muatan Rabb: Bari' (Maha menata sistem-sistem ciptanNya), Mushawwir (Maha
menggambar, melukis kendahan dan keseimbangan segala sesuatu).
Serta jalin menjalin indah antara skema pokok, skema terurai beserta muatan-
muatannya.
(bersambung).......=>
Sejumlah Proyeksi
Skema konsep khilafah di atas adalah "sumur" yang sesungguhnya bisa ditimba
untuk berbagai keperluan, kepentingan sehingga penguraian maknanya bisa
merupakan rakitan yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang diperlukan.
Untuk kebutuhan tema yang kita bicarakan dalam forum ini, barangkali beberapa
proyeksi di bawah ini perlu untuk kita ketahui bersama:
Moralitas Khilafah
Allah atau apapun Ia disebut, merupakan asal muasal segala eksistensi, segala
wujud, segala kedaulatan, segala kasih sayang, segala kesantunan dan
kepengasuhan. Kehidupan segala makhluk secara kosmologis (dan karena itu
akhirnya secara filosofis dan teologis) tidak punya kemungkinan lain kecuali
mengacu kembali kepadaNya (ilaihi roji'un).
Manusia tidak sanggup dan tidak pemah menciptakan atau mengadakan dirinya
sendiri. Manusia tidak pernah menyelenggarakan eksistensinya atau
"perpindahannya dare tiada menuju ada". Manusia hanya effek, atau produk, atau
hasil karya dari inisiatif agung Penciptanya.
Oleh karena itu adalah suatu kebenaran ilmiah bahwa manusia tidak pernah
memiliki sesuatu, melainkan hanya dipinjami sesuatu, diwarisi sesuatu, dalam batas
dan penjatahan yang ditentukan oiehNya.
Jika kita berbicara tentang konsep pemilikan kedaulatan atau pemilikan alarm
misainya: itulah ilmu dan realitas hakikinya. Hanya Allah "Tuan Tanah Sejati", dan
hakNya absolut untuk itu semua. Juga hanya Ia "Raja Sejati", dan raja-raja yang lain
hanya berkedaulatan relatif dan pinjaman.
Hak dan kewajiban manusia dalam mengelola perwarisan itu disebut khilafah, yang
diterapkan dalam etos ijtihad, tajribah dan atau amaliah.
Keda-ulatan atau kekuasaan atau hak kepemimpinan tidak dimandatkan oleh Allah
kepada manusia secara berdiri sendiri (ilah, malik), melainkan besertaan dengan
pemandatan kasih sayang, kepengasuhan dan kesantunan (rabb, rahrnan, rahim).
Adapun kekuatan, kegagahan dan keperkasaanNya ('aziz, jabbar, mutakabbir) pun
dimandatkan kepada manusia dengan perimbangan sifat-sifat terpercaya,
menenteramkan, mengamankan, menjamin pemenuhan janji (qudus, salam, mu'min,
muhaimin).
Bahkan kepenciptaan atau kreativitas Allah dipinjamkan secara terbatas beriringan
dengan kesediaan menata, memproporsikan, mengorganisasikan,
mensistemisasikan, serta menyempumakannya dengan keindahan (khaliq, bari',
mushawwir) (bahasa Jawanya: mamayu hayuning bhawana).
Keseluruhan proses penyelenggaraan khilafiah itu berakar pada watak 'alim-ul
ghaib. Ini merupakan informasi tentang keterbatasan manusia. Merupakan dorongan
untuk keajegan menc2ri ilmu. Merupakan anjuran agar berenda_h hati. Merupakan
kritik atau pengingat agar para mandataris kedaulatanNya tidak terjebak oleh "tuhan
dunia" yang wadag.
Akar yang lain adalah watak rahman ("cinta pribadi", kasih Allah sebagai diriNya
sendiri yang "berjarak" dengan manusia: konsep ahad) dalam posisi berimbang
dengan watak rahim ("cinta universal", kasih Allah dalam konteks penyatuan,
kemenyatuan dan kebersatuanNya dengan manusia) (: konsepsi wahid, yakni yang
ditempuh manusia melalui proses tauhid yakni mengarahkan dirinya, kenendaknya,
perllaku pnbadmya, pilihan sistem nilai sosialnya, hukum kemasyarakatan dan
kenegaraannya, agar menyatu, sama dan searah dengan kehendak Allah).
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan
/ Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Ya Allah, Engkau tak Butuh Sapi...
Bagaimana mungkin orang Madura berani tidak hidup serius dan anti serius, lha
wong Tuhan sendiri saja seriusnya setengah mati ketika menggagas, menskenario
dan memanggungkan "la'ibun wa lahwun"--permainan dan senda gurau, begitu kata
firman-Nya--di muka bumi dan tempat-tempat lain di kosmos ini.
Kalau Ia berkata: "Aku ini Maha Pengasih dan Maha Penyayang", itu serius. "Aku ini
Maha Penjaga dan Maha Pemelihara," itu tidak main-main. Ia mendelegasikan
sejumlah Malaikat untuk memelihara pertumbuhan rambut Anda sampai sepanjang-
panjangnya dan terus menerus tumbuh sehingga salon dan barber shop memiliki
kemungkinan permanen untuk hidup. Para Malaikat lain Ia perintahkan untuk
merontokkan rambut orang-orang tertentu, supaya Malaikat itu bisa membedakan
mana orang yang ikhlas menerima kebotakannya dan siapa lainnya yang memakai
wig atau sekurang-kurangnya menutupinya dengan topi di mana-mana. Sementara
beberapa Malaikat lain Ia instruksikan untuk menahan laju pertumbuhan bulu alis
dan idep di pinggiran mata Anda sampai hanya di bawah satu senti meter saja,
sebab kalau tidak: mekanisme sosial masyarakat manusia akan menjadi lain dan
estetika wajah manusia akan berubah konsepnya.
Begitu seriusnya mengkonsepsikan pen-ciptaan-Nya hingga ke detail-detail yang tak
terhitung oleh ultrakomputer. Setiap matahari terbit dan manusia bangun dari tidur
lelapnya, senantiasa terdengar oleh telinga batinnya--dan seringkali tak terdengar
oleh gendang dan daun telinga dagingnya--suara gaib bahwa Ia itu Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Seorang tua renta yang sepanjang hidupnya menyembah
berhala, tiba-tiba terdengar suara itu di tengah sakit parahnya yang tak sembuh-
sembuh. Kepada berhalanya ia putus asa dan merasa dendam. Ia berteriak pagi itu:
"Baiklah, kalau kamu memang tidak bersedia menyembuhkan aku, terpaksa aku
akan meminta kepada Tuhan yang namanya Allah atau siapa itu untuk mencoba
menyembuhkanku. He, Allah! Kalau memang Kamu ada, kalau memang Kamu
Maha Kuasa, kalau memang seperti kata orang-orang Kamu adalah Maha Pengasih
dan Penyayang...sembuhkan penyakitku!"
Si tua renta itu membentak-bentak Tuhan sehingga para Malaikat yang
mendengarnya langsung tersinggung berat, naik pitam, dan hampir saja
digamparnya itu orang, kalau saja mereka tidak ingat bahwa mereka hanya
diperkenankan melakukan apa-apa yang diperintahkan oleh Tuhan. "Ya'malu ma
yu'marun", hanya mengerjakan yang Allah perintahkan. Maka berbondong-bondong
mereka dengan penuh emosi mendatangi Tuhan dan mengadukan perilaku si tua
renta yang kurang ajar dan menyinggung perasaan itu.
"Ya Allah, ada seorang hamba-Mu yang tak tahu diri. Ia sembah berhala selama 79
tahun, kemudian di ujung usianya sakit parah dan berhala yang disembahnya itu tak
menyembuhkannya. Lantas ia dendam dan menentang Engkau. Kalau memang
Engkau ada, kalau memang Engkau Pengasih dan Penyayang, ia minta bukti
berupa kesembuhan..."
Allah menjawab dengan santai namun muatannya sangat serius: "Ya sudah,
sembuhkan saja sekarang dia!"
Para malaikat langsung protes: "Lho, bagaimana, sih? Lebih dari seratus juga umat-
Mu di Indonesia berdoa bertahun-tahun agar SDSB dibubarkan, baru belakangan ini
saja Engkau mengabulkan. Dan doa-doa mereka yang menyangkut kekalahan politik
mereka, kekalahan ekonomi dan kebudayaan mereka, sampai hari ini Engkau
biarkan terbengkalai. Padahal umat-Mu di negeri indah itu sudah mati-matian salat,
hajinya meningkat tiap tahun, sudah bikin masjid di mana-mana, ulamanya sudah
kompak selalu dengan umara...tapi Engkau biarkan mereka terkantung-katung
dalam ujian-Mu dan hukum-Mu. Lha, ini ada seorang kafir penyembah berhala mau
ngetes Engkau, kok langsung saja Engkau kabulkan permintaanya?"
Tuhan tetap santai juga menjawab: "Lha, kalau doanya tidak Saya kabulkan, lantas
apa bedanya antara aku dengan berhala itu!"
Jadi, ammaba'du, demikian seriusnya Allah atas dirinya sendiri, demikian
konsistennya Ia atas ucapan dan janji-janjiNya sendiri. Bagaimana mungkin orang
Madura berani 'dak serius kepada Tuhan dan dirinya sendiri?
Tapi memang juga ada sih, anak-anak muda Madura yang terkadang berani
bersenda gurau yang keterlaluan kepada Tuhan, seperti mahasiswa asal Batang-
Batang ujung timur Madura yang di kampusnya diangkat jadi Menwa ini.
Pada suatu hari di antara berbagai jenis kemiliteran, ia diwajibkan ikut berlatih terjun
payung. terjun payung! Gila. Naik ke angkasa, lantas anjlok ke tanah! Iya, kalau
payungnya bisa di buka. Kalau tidak ? Kalau tiba-tiba lupa caranya mengembangkan
payung? Kalau mendadak gegar otak sementara?
Jadi betapa mengerikan. Si pemuda batang-batang ini terus terang saja ketakutan
setengah mati. Mending carok melawan rambo dari pada terjun payung.
Tapi, demi harga dan kehormatan Madura, akhirnya ia layani juga kewajiban itu.Ia
berlatih sebisa-bisa sambil memompa keberanian di hatinya. Tetapi ketika saatnya
untuk harus terjun beneran tiba, ternyata ketakutannya belum reda. Badannya dingin
panas, dadanya gemetar. Dan dalam keadaan seperti itu, siapa lagi kalau bukan
Tuhan sahabatnya.
Maka ketika berbaris menuju pesat, diam-diam ia berdo'a: "Ya Allah, kalau Engkau
selamatkan aku dalam tugas ini untuk kembali ke bumi tanpa kurang suatu apa, aku
berjanji akan menyembeli ayam ...
Semakin dekat ke pesawat, doanya semakin seru, konsesi yang ia tawarkan kepada
Tuhan pun meningkat. "Tidak hanya seekor ayam, Tuhan, tapi lima, lima ekor yang
akan saya sembelih!"
Ketika kemudian ia naik pesawat, duduk berbaris, melirik jendela dan melihat betapa
jauhnya bumi di bawah, konsesi membengkak pesat: "Sapi, Tuhan, Sapi! Saya akan
sembelih sapi!
Dan ketika satu persatu anggota Menwa itu didorong terjun dari pintu pesawat,
lantas ia sendiri merasakan tangan sang komandan menyorong punggungnya,
lantas terlontar dari mulutnya: "Sapi! Sapi! ..'
Tapi kemudian, tatkala ia sukses menjalani tugasnya, menjejakkan kakinya kembali
di tanah, Si Batang-Batang ini menengadahkan wajahnya ke atas sambil bertolak
pinggang: "Meskipun saya 'dak sembelih sapi, mau apa! Aku tahu Engkau tak butuh
sapi!"
(Emha Ainun Nadjib/"Folklore Madura" ("Demokrasi Tolol
Saridin")/Progress/PadhangmBulanNetDok)
Tangis 40 Hari 40 Malam
Sesudah melakukan dosa terkutuk itu, Daud, sang Nabi, menangis 40 hari 40
malam.
Ia bersujud. Tak sejenakpun mengangkat kepalanya.
Keningnya bagai menyatu dengan tanah. Air matanya meresap membasahi tanah
tandus itu sehingga tumbuhlan reumputan. Rerumputan itu kemudian meninggi
merimbun dan menutupi kepalanya.
Allah menyapanya.
Bertambah nangis ia, meraung dan terguncang-guncang. Pepohonan di sekitarnya
bergayut berdesakan satu sama lain mendengar raungan itu, kemudian daun-
daunnya rontok, kayu-kayunya mengering, oleh duka derita dan penyesalan Daud
yang diresapimya.
Dan Allah masih juga 'menggoda'nya:
"Daud, Engkau lupa akan dosamu. Engkau hanya ingat tangismu."
Dan sang Nabi terus berjuang dengan air matanya.
Air mata kehidupan Daud bagai samudera.
Kesunngguhan Daud terhadap nilai-nilai ketuhanan -- ya nilai kehidupan ini sendiri --
bagai samudera.
Adapun saya, yang hidup ribuan tahun sesudah Daud, hanya pernah menitikkan air
mata beberapa cangkir. Juga apa yang saya bisa sebut air mata ruhani saya.
Di dalam zaman yang telah jauh maju ke depan ini, barangkali saya bersemayam di
kehidupan yang ringan dan riang melakukan dosa-dosa.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon
Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)
Pada zaman Nabi Ibrahim AS, misalnya, Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak ketiga'
(Dia). Atau pada jaringan masyarakat tarikat tertentu dikenal dengan dzikir Huwa.
Sedangkan, di zaman Nabi Musa As, Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak kedua'
(Engkau), atau Anta. Dan, pada perkembangan peradaban di zaman Nabi Isa AS,
Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak pertama' (Aku), atau Ana.
Rasulullah yang terakhir, yakni Nabi Muhammad SAW merupakan manajer dari
keberbagaian kemungkinan dalam kehidupan ummat manusia: kapan efektif
memposisikan Allah sebagai Dia, kapan sebaiknya lebih tegas dengan meng-
Engkau-kan Allah, serta kapan diperlukan kesadaran internal di mana empati
keilahian
sangat dianjurkan. Bukan mengatakan bahwa 'Aku adalah Allah', melainkan
kesadaran logis bahwa sesungguhnya kita dan semua ciptaan ini aslinya tiada,
sekedar diselenggarakan oleh-Nya dan 'pertunjukan' bisa diakhiri oleh Allah kapan
saja Dia mau.
Maknanya sederhana: kita tak usah pethakilan. Tak usah sok dan mbagusi. Tak
usah suka sesumbar dan nantang-nantang. Tak usah meremehkan siapa-siapa. Tak
usah habis-habisan merekayasa pertahanan kekuasaan. Sebab kapan saja bisa
stroke dan di-cengkiwing oleh petugas Allah untuk dibawa ke tempat yang kita
belum tentu siap melayani prinsip-prinsip hukumnya.
Peradaban di zaman Nabi Ibrahim AS, di mana Allah diposisikan sebagai pihak
ketiga (Dia), dilambangkan oleh proses masa pencarian Nabi Ibrahim pada Tuhan
Yang Menciptakan Langit dan Bumi. Kondisi masyarakat di zaman 'Bapak Tauhid' itu
kebanyakan masih menyembah berhala. Berhala dalam arti yang
wadag. Termasuk bapak Nabi Ibrahim sendiri. Berbeda dengan berhala-berhala kita
sekarang yang bertebaran di plaza-plaza, mal, gedung-gedung tinggi dll. Saat itu,
pelopor penyembahan kepada berhala atau patung-patung itu adalah Raja Namrud,
sementara direktur eksekutif pabrik berhala adalah Bapaknya Nabi Ibrahim AS
sendiri.
Pada zaman Nabi Musa, Allah di-Engkau-kan. Nabi Musa sempat berdialog dengan
Allah di Bukit Thursina. Itu menandakan bahwa Nabi Musa dengan Allah sebenarnya
berhadap-hadapan, karena sedang berdialog. Tidak terlalu jauh dari peradaban Nabi
Musa, Nabi Yunus As melakukan pertobatan dengan kalimat yang
memposisikan Allah sebagai 'pijak kedua', dengan mewiridkan La ilaha ila Anta
subhanaka inni kuntu minadz-dzolimin, tidak ada Tuhan selain Engkau ya Allah,
sungguh Maha Suci Engkau, dan kami ini termasuk orang-orang yang dzalim.
Sementara di zaman Nabi Isa AS, Allah 'diposisikan' sebagai pihak pertama (Aku).
Ketika itu, Nabi Isa benar-benar 'membawa' dan 'menebarkan' cinta-kasih,
kelembutan, dan kasih sayang kepada kaumnya. Dalam perspektif yang lebih
mendalam, Nabi Isa benar-benar meneladani sifat Rahman-Rahim Allah, sedemikian
rupa sehingga muncul gagasan bahwa ia adalah Tuhan itu sendiri. Apalagi ia juga
mendapat mu'jizat dari Allah berupa keistimewaan-keistimewaan, seperti bisa
menyembuhkan orang yang sakit, buta, bisa menghidupkan orang yang sudah mati
atas izin Allah, dan sebagainya. Orang jadi 'tidak tega' kalau tidak menganggap dan
mengakuinya sebagai Tuhan.
Yang kita butuhkan sekarang hanyalah imajinasi tentang imajinasi. Bayangkan apa
yang terjadi, bagaimana kemungkinan adegan-adegannya, kedalaman dan
kedangkalan hubungan yang berlangsung, tingkat kemesraan, kejujuran dan
kebohongannya --jika kekasih kita itu terletak di sana (sehingga kita sebut
'Dia'), dengan jika kekasih kita itu ada di hadapan kita (sehingga kita panggil
'Engkau'), serta dengan jika kekasih kita itu tak berbatas dan menyatu dengan diri
kita sendiri (sehingga seakan-akan Ia adalah Aku ini sendiri, dan Aku adalah Ia
sendiri).
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)
Tapi kita tak tahu, dan tak berminat tahu, bagaimana persisnya kostum harian orang
Majapahlt, apakah mereka pakai jarum untuk dondom,**) atau bagaimana orang
dusun misuh"*) waktu itu, atau apa saja kek.
Kita hanya tahu hal-hal mengenai kekuasaan. Kita membikin buku pelajaran dan
mengisi jiwa siswa-siswa sekolah dengan hal-hal mengenai kekuasaan. Kekuasaan.
Kita mengerti Gajah Mada, karena diejek, cancut tali wanda, rnenggenggami
kerajaan-kerajaan di sekitarnya, nglurug****) sampai Muangthai segala. Termasuk
Ekspedisi Pamalayu yang berkepanjangan.
Lepas dari kita setuju atau tidak, tapi jarang awak berpikir bahwa Gadjah Mada
melakukan itu tanpa walky talky, tanpa teknologi militer yang kini bisa memusnahkan
bumi dengan sejentikan jari, tanpa kapal berapi, tanpa pesawat tempur, tanpa satelit
yang bisa mendeteksi dari angkasa - apakah di Kecamatan Wonokromo ada pabrik
senjata atau tidak.
Lha sekarang ini listrik mati seperti kehilangan Tuhan rasanya. Kalau motor macet,
kita sudah hampir tak punya mentalitas untuk pakai sepeda. Kalau baju robek, malu
pakai - seolah sama dengan dosa tak sembahyang Jumat. Kita juga tak berani jalan-
jalan di Malioboro tanpa sepatu atau sandal.
*) Ngaso: istirahat.
**) Dondom: menjahit tidak dengan mesin.
***) Misuh: mengomel.
****) Nglurug: bertandang.
Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah
kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari
mempergunjingkan dan menggosipkan orang.
Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa
sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya
saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada
perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau
bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya
sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.
Saya
buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para bintang
film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film dari
ideologi buka aurat yang makin merajalela.
Kalau
kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran tubuh,
terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi
masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya
sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.
Dan
lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya,
waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya
beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya
mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian
saya memilih jadi wartawan politik saja.
Kenapa?
Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama.
Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum,
dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat
tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur
sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha.
Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah
ditampilkan dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih
indah dari warna aslinya.
Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat
telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan
kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan
kami
juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan pekerjaan,
asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya duit gitu
lho…!
Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan.
Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh
dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya
jumpai
dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia dimana
kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu membeli
celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa sama
sekali.
Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin
menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah
kekurangan lakon. Kita
tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan cara yang lebih canggih.
Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung kita bikin judul yang
mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.
Ternyata,
masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat benci
kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras. Ditambah
dengan makin bodohnya masyarakat modern, buku dan majalahpun harus
mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya
supaya tidak kecelakaan, bagaimana melakukan penyelewengan secara canggih
dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa
keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam hal ini saya telah
mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagogi, pastor dan kiai. Orang bahkan
penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantung
pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup
melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme.
Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme,
lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.
Akan tetapi di
hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal.
Liputan-liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka
pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara
langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang
lelaki bukan seorang wanita.
Sudah
tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga tinggal
sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.
Seks
itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks, saya
mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin puyeng
oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu memang
religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan manifestasi
dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar dipandang,
didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius hanya
terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan
hewaninya belaka.
Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama?
tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya,
dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa
seks.
Namun,
ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak tahu Mas.
Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun menjawab secara
kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan jalan bersenggama
disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme. Hanya ekstase. Kalau
saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke pelacur begini..!!”
Kemudian di
losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana mahasiswa-mahasiswi
atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa kamar satu dua jam, saya
juga memperoleh jawaban yang mengecewakan,"Gini lho, Mas. Kalau saya sedang
sendiri, saya begitu tergoda oleh seks. Tapi kalau sudah berdua di kamar, paling
jauh yang saya jumpai adalah diri kami sendiri yang berubah menjelma menjadi
kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa yang kami simpan
diam-diam.“
Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak,
jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks.
Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"
Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri
saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah,
mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya
potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.
Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya
barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai
negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang
sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang
dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok..
Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka,
dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.
Aliansi anti deportasi di Jakartta melaporkan hanpir 3 juta kasus penindasan atas
tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para
pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air, di
Terminal 3 Cengkareng airpport. Mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh
banyak yang memang menunggu di sana untuk mencari nafkah. Itu membuat
mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan
adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.
Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa
bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekoonmian yang stabil, politik yang
bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami
bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian
sungai, dan kami hiasi dengan pot pot bunga serta burung perkutut.
Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami.
Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada
ilmuwan yang tertarik meneliti frekwensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung,
di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, di tengah kerusuhan,
di gedung parlemen, di rumah ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh
dari motor, kami menudung nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan.
Apalagi orang pintar.
Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala
sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan.
Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat
kuno yang sombong dengan jargon: " MEMBELA YANG BENAR" Kami sudah
menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni " membela
yang bayar".
Benarkah ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian bear, sampai
pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang yang bahkan tak dikenalnya
terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas
primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta-butanya. Atau
bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak
jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan.
Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang
heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.
Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik
menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu?
Bersediakah anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan
yang pada hakekat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan
perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecl?
Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah
kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini
memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang
nasib struktural rakyat bergantung padanya?
Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan
pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar
dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.
Ada anak-anak muda 'minta izin' ----anehnya –kepada saya. “Cak, biar deh saya
dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan baka..!”
Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat
terhadap desakan emosi kerakyatan –yang sesungguhnya saya mafhum benar latar
belakangnya. Semangatnya pernuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang
menyilangkan petemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.
Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shabri was-shalâh—
sampai ada konteks dan sâ'ah sejarah dimana gumpalan tenaga semacam itu kita
perlukan.
Jiwa kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan²
kecil atau besar, dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'agama' adalah
kesanggupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini
berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar
menutur Alloh.
Saya mohon maaf untuk mengatakan hal seperti ini. Bahkan terhadap fitnah² besar
dalam hidup saya, insyaAlloh saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau
mengeluarkan enerji sedikitpun –melainkan, kalau perlu, saya bersedia membeli
fitnah² itu. Saya bersedia membayar orang² yang memfitnah saya, demi ma'unah,
fadhilah dan karomah.
Maka kalau saya merasa cemas, insyaAlloh kecemasan yang saya maksudkan
bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan
dan kewajiban hidup.
Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri sebenarnya seberapa besar kadar
keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum dan
ekonomi di sekitar kita. Seberapa besar pulakah kecemasan Anda terhadap
kenyataan betapa orang² justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa
cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita semua atas seberapa jauh bangsa ini
mengalami 'defisit nilai' demokras, moral, keberbudayaan dan keberadaban. Dalam
bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka
kebaikan dan ketentraman?
Soal besar dan kecil, tentu kita sadari bahwa keberadaan dua hal yang berbeda serta terkesan
kontradiktif tersebut justru merupakan sebuah wujud sunatullah yang menyangga gerak roda
kehidupan. Besar dan kecil, tak ubahnya ada dan tidak ada, kaya dan miskin, siang dan
malam, tinggi dan rendah, pandai dan bodoh, sehat dan sakit, laki-laki dan perempuan, tua
dan muda, fana dan kekal, semua hadir berpasang-pasangan sebagai sebuah keniscayaan
dunia. Masing-masing pasangan tersebut akan selalu ada dan hadir sebagai syarat sebuah
keseimbangan atau harmonisasi kehidupan manusia.
Dalam kesempatan ini saya ingin berbincang mengenai besar dan kecil dalam konteks
keakuan, kedirian, cinta, dan juga sikap kepemimpinan seseorang. Secara naluri
kemanusiaan, seseorang tentu saja memiliki egosentris untuk mengutamakan dan
mengedepankan kepentingan dirinya sendiri. Tanpa pengendalian yang tepat, egoisme yang
muncul bisa berakibat menjadi perbuatan memanfaatkan, memperalat, bahkan
mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan diri sendiri.
Ketika seseorang mulai mencintai orang lain, katakanlah seseorang yang diharapkan bisa
menjadi pelabuhan hatinya, sesungguhnya dorongan mencintai tersebut berasal dari
kebutuhan rasa disayang dan dicintai. Suatu bentuk kebutuhan diri sendiri dengan
mendapatkan sesuatu dari orang lain. Adalah naluriah manusia akan senang apabila ia
mendapatkan perhatian, cinta, dan kasih sayang. Sebuah keseimbangan hubungan yang
harmonis akan terwujud apabila kedua belah pihak kemudian dapat saling bertepuk seirama
untuk saling mengasihi, saling mencintai, saling memberi, serta saling menerima.
Namun apabila cinta tersebut bertepuk sebelah tangan, yang sering terjadi kenapa justru rasa
benci akibat cinta yang tertolak? Kejadian ini sebenarnya sebuah bukti nyata bahwa cinta
yang awal bersemi tersebut bisa jadi merupakan sebuah pemaksaan rasa yang timbul dari ego
seseorang terhadap orang lain. Ia berharap bahwa orang lain akan membalas rasa cintanya,
kemudian memberikan perhatian, rasa kasih dan sayangnya kepada dirinya. Bukankah hal ini
sebuah bentuk egoisme dimana seseorang lebih mementingkan pemenuhan rasa di hatinya
sendiri dan berharap orang lain memberikannya? Aku yang ada barulah sebatas aku kecil.
Aku diri sendiri. Sesungguhnya cintanya baru sampai kepada kecintaan terhadap dirinya
sendiri.
Namun sebaliknya, jika rasa cinta bergayung sambut, maka rasa berbunga-bunga akan
membuncah dari kedua belah pihak yang kemudian saling mencurahkan rasa cinta dan kasih
sayang. Dunia seolah berseri dan indah sekali. Setiap saat, setiap detik hanya bayangan dia
yang hadir di pelupuk mata. Segala angan, cita dan rasa hanya penuh dengan sosok si dia
yang dicinta. Seolah semua rasa telah lebur, menyatu, manunggal dari dua hati insan yang
berbeda.
Apabila kemudian ada orang lain mengganggu atau menyakiti seseorang yang kita cinta,
kitapun akan merasakan terganggu dan juga rasa sakit itu. Kita akan membela orang yang
kita cinta, bahkan jika perlu sampai titik darah penghabisan. Inilah bentuk totalitas sebuah
cinta. Cinta sudah meluas dari cinta terhadap diri sendiri menjadi cinta terhadap kebersamaan
dengan seseorang dicinta. Aku sudah mulai meluas.
Demikian halnya ketika telah hadir anak-anak sebagai buah kasih cinta suami-istri. Seorang
suami sekaligus seorang ayah akan mengayomi istri dan anak-anaknya. Bila adal seseorang
yang mengganggu anak-anaknya, ia akan tampil membela dengan sekuat tenaga. Ia bekerja,
ia mencari nafkah, ia berjuang, ia bernafas, ia hidup sudah tidak lagi semata-mata demi
dirinya sendiri. Ia ada untuk keluarga. Ia ada untuk anak-anak dan istrinya. Dalam konteks
ini, makna cinta telah lebih meluas lagi.
Cinta telah berkembang di luar batas cinta kepada diri sendiri dan cinta kepada seseorang
yang istimewa, tetapi cinta telah melingkupi sebuah keluarga. Di sinilah peranan seorang
ayah sebagai sosok pemimpin yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Ia sisihkan rasa
ego diri sendiri, ia akan kesampingkan rasa cinta kepada istrinya, jika dibandingkan rasa
cintanya kepada anak-anak dan keluarganya sebagai sebuah wujud perluapan rasa cinta. Diri
sendiri semakin mengkerdil, mengecil, menihil, lenyap bahkan sirna. Aku kecil mulai sirna
dan tumbuh menjadi aku yang lebih besar. Di sinilah sebuah kebesaran yang sejati mulai
tumbuh.
Dalam konteks pemimpin pemerintahan atau negara, filosofi sirnanya aku kecil dan
tumbuhnya aku besar, bahkan aku yang lebih besar harus menjadi pijakan setiap pemimpin.
Ketika ia telah memangku jabatan seorang pemimpin, maka ia harus melebar-luaskan rasa
cintanya dari kecintakan terhadap diri sendiri, cinta terhadap pasangan hidup, cinta terhadap
anak-anak, cinta terhadap keluarga, cinta terhadap kelompoknya, cinta terhadap partainya,
menjadi cinta yang tak terbatas untuk seluruh rakyat yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemimpin sejati akan merasa sakit apabila rakyatnya tersakiti. Pemimpim akan merasa susah
hidupnya jika rakyat yang dipimpinya mengalami kesusahan hidup. Rakyat kelaparan,
pemimpin juga kelaparan. Rakyat menderita, pemimpin juga tidak ketinggalan merasakan
derita yang sama. Inilah penjelmaan makna kesadaran manunggaling kawula lan gusti,
kebersamaan, kesatuan, senasib-sepenanggungannya pemimpin dengan rakyatnya.
Adakah kita masih memiliki bibit-bibit pemimpin sejati yang melebih-luaskan aku besarnya
di atas aku kecilnya, bahkan meniadakan aku kecilnya?