Anda di halaman 1dari 22

Akad Mudharabah :

Pengertian, Dalil, Contoh,


Praktik Kontemporer
Apa itu akad mudharabah?
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau
berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih
tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya
dalam menjalankan usaha.

Dalam konteks praktisnya mudharabah  adalah akad


kerjasama bisnis anatara 2 pihak, yaitu pihak yang
mengelola usaha/pemilik bisnis yang disebut
sebagai mudharib  dan pihak yang memiliki modal yang diseb
ut sebagai  shahibul  maal.  Dalam akad tersebut poin
pentingnya adalah terletak di awal yaitu kesepakatan atas
nisbah bagi hasil.

Ketika mudharib  dan shahibul  maal  bertemu maka mereka a


kan melakukan  akad  mudharabah.  shahibul  maal  akan me
mberikan investasi modalnya kepada bisnis si mudharib  yang
kemudian si mudharib  akan memanfaatkan modal tersebut
untuk mengelola bisnisnya.

Pada hari dimana mudharib telah balik modal dan


memperoleh keuntungan maka ia akan mengembalikan
pokok modal yang didapat dari si shahibul  maal  ditambah
keuntungan yang dibagikan sesuai kesepkatan nisbah bagi
hasil diawal akad.

Fatwa Mudharabah
Konsep akad mudharabah termaktub dalam Fatwa DSN MUI
No : 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan mudharabah (qiradh). Dalam konteks fatwa
tersebut adalah mudharabah yang diterapkan oleh Lembaga
Keuangan Syariah.

Landasan Al-Qur’an dan Hadist


Penentuan fatwa tersebut didasarkan pada beberapa dalil
dari Al-Qur’an dan Hadist. Pada Q.S. Al-Maidah [5] : 1 yang
artinya, “wahai orang-orang yang beriman! Tunaikanlah
akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali
yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan
tidak mengalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendakinya”

ayat tersebut menegaskan terkait pentingnya


akad/perjanjian khususnya bagi orang-orang yang memiliki
iman didalam dirinya. Kemudian pada Q.S. Al-Baqarah 275
dan 278 menegaskan pada larangan terhadap riba.

Q.S. Al-Baqarah: 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan


mengharamkan riba” kemudian pada Q.S. Al-Baqarah: 278,
“Hai orang–orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang
beriman”. Ayat tersebut menjelaskan solusi atas pengharam
riba yaitu jual-beli.

Selain itu, Nabi SAW bersabda,”Kaum muslimin terikat


dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang
mengharamkan halal atau mengalalkan yang haram” (HR.
Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Ayat tersebut menjelaskan solusi atas pengharam riba yaitu


jual-beli. Selain itu, Nabi SAW bersabda,”Kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali
syarat yang mengharamkan halal atau mengalalkan yang
haram” (HR. Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu
Majah).

Kaidah Fiqh dan Ijma Ulama


Kemudian didasarkan pada kaidah fiqh yaitu bahwa semua
bentuk muamalah pada dasarnya adalah boleh kecuali ada
dalil yang mengharamkan. Dari dalil-dalil tersebut serta
kaidah fiqh yang berlaku maka terbentuklah ijma yang mana
Wahbah Zuhaili menjelaskan, “Mengenai Ijma, diriwayatkan
bahwa sejumlah sahabat menyerahkan harta anak yatim
sebagai mudharabah, dan tidak seorangpun mengingkarinya.
Oleh karena itu, hal tersebut adalah ijma“. Dengan demikian
ulama berpendapat terkait dengan mudharabah  yang mana
diambil dari sirah nabawiyah  karya Ibnu Hisyam yaitu Nabi
SAW pergi berniaga sebagai mudharib  ke Syam dengan
harta Khadijah binti Khuwailid sebelum menjadi nabi; setelah
menjadi nabi, beliau menceritakan itu perniagaan tersebut
dengan tegas“.

Ini menunjukan bahwa praktek mudharabah  sudah terjadi


ketika Rasulullah SAW menjadi seorang pedagang. Praktek
tersebut dilakukan oleh Rasulullah SAW yang saat itu berlaku
sebagai mudharib  dan Khadijah yang berlaku
sebagai shahibul maal.

Rukun dan Syarat Mudharabah


Pada dasarnya adanya akad tidak terlepas dari rukun dan
syarat yang berlaku. Hal ini diperlukan agar akad yang
dikerjakan tidak fasid  (rusak) dan keberkahan atas akad
tersebut tidaklah hilang. Lalu, apa saja rukun dan syarat
pada akad mudharabah?

Shahibul maal dan mudharib harus memahami hukum.

Itulah mengapa akad ini hanya dapat dikerjakan bagi mereka


yang sudah baligh  dan punya pengetahuan terkait hukum.
Karena apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak
cakap terhadap hukum maka dikhawatirkan akad yang
dilakukan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku
Sighat (ijab kabul)

Sighat  (ijab kabul) juga perlu dilakukan agar terdapat


kejelasan akad yang dikerjakan. Adapun perihal sighat  ini
ada hal yang harus diperhatikan diantaranya:

1. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit


menunjukkan tujuan akad.
2. Penawaran dan penerimaan dilakukan pada saat akad.
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi
atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

Modal

Terkait dengan modal, ia haruslah sejumlah uang atau asset


yang diberikan oleh shahibul maal  kepada mudharib  untuk
tujuan usaha dengan syarat :

1. Harus diketahui jumlah dan jenisnya.


2. Dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika
dalam bentuk asset, harus dinilai pada waktu akad.
3. Tidak berbentuk piutang dan harus dibayarkan
kepada mudharib,  baik secara bertahap maupun tidak,
sesuai dengan kesepakatan akad.

Keuntungan Mudharabah

Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai


kelebihan dari modal, dengan syarat yang harus dipenuhi :
1. Harus diperuntukan bagi kedua pihak dan tidak boleh
diisyaratkan untuk satu pihak.
2. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus
diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati
dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
berdasarkan kesepakatan.
3. Shahibul Maal  menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung
kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

Kegiatan Usaha oleh Mudharib

Kegiatan usaha oleh mudharib, sebagai perimbangan modal


yang disediakan oleh shahibul maal pada dasarnya harus
memperhatikan:

1. mudharib  memiliki hak ekslusif untuk menjalankan


usahanya tanpa campur tangan shahibul maal, tetapi ia
mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
2. Shahibul Maal tidak boleh mempersempit tindakan
pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi
tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
3. Mudharib  tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam
dalam tindakannya yang berhubungan dengan
mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku
dalam aktifitas itu

Jenis-Jenis Akad Mudharabah


Akad Mudharabah  memiliki karakteristik yang berbeda
tergantung dari jenisnya. umumnya terdapat dua jenis
akad mudharabah  diantaranya:

Mudharabah Mutlaqah

Akad Mudharabah  ini memiliki karakteristik yaitu pemilik


dana/modal (shahibul maal) memiliki kewenangan untuk
melakukan apa saja atau mengintervensi bisnis yang
berjalan agar berhasil dan sesuai dengan tujuan bisnis yang
telah disepakati antar kedua belah pihak.

Jadi misalkan kamu punya bisnis peternakan ikan, terus


kamu melakukan akad mudharabah  dengan salah satu
investor. Nah, investor tersebut berhak untuk
mengintervensi bisnis kamu sehingga ia dapat merubah
sistem dalam bisnis kamu semisal cara penjualan, rekrutmen
sdm, pengelolaan keuangan dan sebagainya.

Tapi kamu tetap punya hak untuk mengelola bisnismu kok.


Meskipun begitu apa yang akan kamu lakukan perlu untuk
didiskusikan dengan investormu.
Mudharabah Muqayyadah

Lain halnya dengan mudharabah mutlaqah  yang


mana shahibul maal  memiliki hak untuk intervensi bisnis,
pada mudharabah muqayyadah,  si shahibul maal  tidak
memiliki hak untuk mengatur bisnis si pengusaha.

Jadi ketika ada kesepakatan


akad mudharabah    antara shahibul
maal  dengan mudharib  (pengusaha) maka kewenangan
untuk mengatur usaha 100% adalah hak dari pengusaha.
Pemilik modal tidak memiliki hak untuk mengatur usaha
yang ia berikan modal.

Skema Mudharabah pada Transaksi Perbankan


Berikut adalah gambar terkait dengan
skema mudharabah pada praktiknya di perbankan:
Skema akad mudhrabah dalam perbankan

Dilihat pada gambar di atas, skema mudharabah dijelaskan


dengan rincian sebagai berikut:
1. Nasabah mengajukan pembiyaan kepada bank untuk
memperoleh modal usaha.
2. Bank memberikan modal sebesar 100% untuk di kelola
oleh nasabah yang memiliki keahlian tertentu.
3. Ketika akad berlangsung telah ditentukan proporsi bagi
hasilnya.
4. Jika terjadi kerugian ketika menjalankan usaha yang
bukan merupakan kelalaian nasabah maka kerugian di
tanggung oleh bank.
5. Setelah proses usaha berjalan lalu keuntungan dibagi
sesuai ketentuan nisbah. Selain itu nasabah juga
mengembalikan modal pokok kepada bank.

Ilustrasi Skema Mudharabah pada Perbankan


Misal, Adzkia adalah seorang muslimah yang taat dan paham
agama ia hendak menabungkan uangnya di salah satu Bank
Syariah yaitu Bank A. Karena ingin merasakan hasil investasi
maka Adzkia membuka tabungan dengan akad mudharabah.

Adzkia menabungkan uangnya ke Bank A sebesar 10 juta


dengan nisbah bagi hasil 20% untuk Adzkia dan 80% untuk
bank. Di sisi lain, Santos merupakan pengusaha ternak sapi.
Untuk mengembangkan bisnisnya, ia butuh modal tambahan.
Ia datang kepada salah satu Bank Syariah (sebut saja Bank
A) untuk mendapatkan tambahan modal.
Ketika Santos menjelaskan terkait kebutuhannya akan
permodalan untuk usahanya kepada Bank A maka Bank A
akan melakukan screening untuk memastikan bahwa Santos
adalah mudharib yang cocok untuk diberikan
pembiayaan mudharabah.

Pada awal akad, mereka akan menentukan nisbah bagi hasil


dari keuntungan si Santos. Misal, nisbah bagi hasil yang
disepakati adalah 60% untuk Santos dan 40% untuk Bank A.
Maka, ketika Santos mulai menuai keuntungan dari
bisnisnya, misal keuntungannya adalah 10 juta. Maka, 6 juta
(60% x 10 juta) untuk si Santos dan 4 juta (40% x 10 juta)
untuk Bank A.

Dampak terhadap Tabungan Mudharabah Adzkia


Hasil 6 juta yang diterima oleh Bank A juga akan berdampak
pada bertambahnya pendapatan dari tabungan mudharabah
si Adzkia. Pada umumnya perhitungan untuk pembagian hasil
kepada nasabah juga mencakup saldo rata-rata per bulan di
seluruh Bank A. Katakanlah rata-rata saldo di Bank A untuk
tabungan mudharabah adalah 1 miliar.

Rumus yang digunakan adalah (saldo yang dimiliki Adzkia x


Keuntungan Bank A x 20%)/Saldo rata-rata tabungan
mudharabah di Bank A. Bila dimasukan maka
perhitungannya menjadi (10.000.000 x
4.000.000×20%)/1.000.000.000 = 8.000. Sehingga
pendapatan yang diterima oleh Adzkia yang akan langsung
bertambah ke saldo tabungan mudharabahnya adalah
sebesar Rp8.000.

Skema Mudharabah Sederhana

Skema Akad Mudharabah dalam Bentuk Sederhana


Dilihat pada skema akad mudharabah  dalam bentuk
sederhana tersebut maka rincian atas sistem tersebut adalah
sebagai berikut :

1. Shahibul Maal  (pemilik dana) menyerahkan uang yang


ia miliki sebagai modal dan mudharib  (pengusaha)
menerima uang tersebut sehingga terbentuk
akad mudharabah
2. Dari dana yang sudah diterima oleh mudharib,  maka
dijalankan dalam bentuk proyek usaha.
3. Ketika usaha tersebut berjalan, maka keuntungan dari
usaha tersebut harus dibagikan kepada kedua belah pihak
yaitu shahibul maal  dan mudharib. Apabila proyek tersebut
menghasilkan keuntungan maka keuntungan tersebut
harus dibagikan berdasakan nisbah yang telah disepakati.
Namun, bila mengalami kerugian maka kerugian tersebut
ditanggung penuh oleh shahibul maal.
4. Pembagian keuntungan/kerugian kepada kedua belah
pihak.

Ilustrasi Skema Mudharabah Sederhana


Terdengar ribet? Tidak semua skema mudharabah seribet
itu kok. Ada skema mudharabah  yang sangat sederhana
yaitu mudharabah  yang cukup mempertemukan 2 pihak
langsung yaitu shahibul maal  dan mudharib.
Kembali pada kisah Santos dan Adzkia. Santos yang memiliki
usaha namun terkendala untuk mendapatkan modal bertemu
dengan Adzkia yang memiliki modal untuk usaha Santos.
Merekapun melakukan akad mudharabah.

Adzkia menyetorkan uangnya sebanyak 10 juta kepada


Santos sebagai modal. Mereka menyepakati nisbah bagi hasil
yaitu 60% untuk Santos dan 40% untuk Adzkia. Porsi besar
untuk Santos dikarenakan pada idealnya
skema mudharabah memberikan porsi yang besar pada
pengusaha (mudharib).

Seiring berjalannya waktu, dalam rentang waktu setahun


usaha Santos sudah balik modal mendapatkan keuntungan
sebesar 1 juta rupiah. Sehingga pada saat itu Santos harus
mengembalikan modal yang ia gunakan kepada Adzkia
ditambah pembagian dari hasil usahanya yaitu 400 ribu
untuk Adzkia (40% x 1 juta) dan 600 ribu untuk Santos
(60% x 1 juta)

Bagaimana kalau rugi?


Lalu, bagaimana kalau usaha si Santos rugi? Dalam sistem
perbankan, Adzkia tidak akan mengalami dampak terhadap
kerugian yang dialami oleh Santos. Karena pada dasarnya
Bank tidak akan memberikan loss  terhadap nasabah.
Lain cerita bila menggunakan konsep mudharabah  yang
sederhana maka, Adzkia sebagai investor akan menanggung
kerugian 100% atas modal yang diberikan. Misal, si Santos
setelah mengelola usahanya mengalami kerugian 2 juta
rupiah.

Maka, Adzkia harus berlapang dada untuk mendapatkan


kembali modalnya tidak utuh. Misal si Adzkia memberikan
modal sebesar 10 juta di awal. Maka, ia akan menerima
uangnya kembali sebanyak 8 juta.

Keadilan dalam Akad Mudharabah


Berarti Santos enak dong? Adzkia doang kan yang rugi.
Islam itu terkenal dengan konsep keadilannya. Bahkan dalam
akad ini, tetap terjadi keadilan. Karena pada dasarnya
kedua-duanya menanggung kerugian.

Adzkia menanggung kerugian finansial sedangkan Santos


menanggung kerugian non finansial. Kerugian non finansial
mencakup tenaga, pikiran dan waktu. Santos mungkin secara
finansial tidak rugi, tapi ia rugi secara non finansial
dikarenakan ia sudah mengeluarkan tenaga, pikiran dan
waktunya untuk mengelola bisnisnya.

Selama si Santos mengelola bisnisnya dengan sungguh-


sungguh tanpa menciptakan kelalaian ataupun berbuat
curang, maka si Santos tidak memiliki hak untuk
mengembalikan utuh modal si Adzkia. Lain halnya, kalau
Santos menyengaja memanipulasi bisnisnya atau berbuat
curang. Maka, Santos wajib mengembalikan modal si Adzkia.

Mudharabah dalam Kondisi Kontemporer

Perkembangan transaksi mudharabah  hingga saat ini


memunculkan modifikasi atas akad mudharabah  pada
lembaga keuangan syariah (LKS). Akad tersebut dinamakan
akad mudharabah musytarakah.  Berbeda dengan dua akad
sebelumnya, mudharabah musytarakah  adalah
penggabungan antara akad mudharabah  dengan
akad musyarakah.

Secara sederhana, pada akad ini si pengusaha (mudharib)


mengikutsertakan modalnya ke dalam bisnis yang sedang ia
jalankan. Hal ini berbeda dengan dua
akad mudharabah  sebelumnya yang mana pengusaha tidak
sama sekali menyertakan modalnya. Bila dilihat dari
definisinya maka akad mudharabah musytarakah  terlihat
sama dengan akad musyarakah. Namun, yang membedakan
antara kedua akad tersebut adalah adanya dua tahap
pembagian keuntungan. Berikut pembagiannya:

1. Tahap pertama adalah pembagian keuntungan dari


akad musyarakah  LKS. Pada tahap ini LKS mendapatkan
keuntungan sebagai pemodal (musytarik). Rasio porsi
modal menjadi penentu jumlah keuntungan yang akan
didapatkan oleh LKS.
2. Tahap kedua adalah pembagian keuntungan dari
akad mudharabah.  Pada tahap ini keuntungan yang telah
dikurangi dari hasil akad musyarakah  kemudian dibagikan
kembali dengan pembagian LKS sebagai pengelola
(mudharib) dan nasabah sebagai pemilik modal (shahibul
maal).

Cara Investasi dengan Akad Mudharabah


Jikalau kamu ingin memulai untuk berinvestasi dengan
menggunakan skema mudharabah.  Kamu dapat memilih
jalur investasi antara lain:

1. Perbankan Syariah, pada umumnya bank syariah


memiliki 2 bentuk akad sebagai produk mereka yang
ditawarkan kepada nasabah
yaitu mudharabah  dan wadiah.  Kamu bisa
memilih mudharabah  agar kamu bisa merasakan hasil
investasi dari uang yang kamu tabungkan pada bank
syariah tersebut.
2. Lembaga Keuangan Syariah non Bank, dalam hal ini
kamu bisa memilih untuk investasi di asuransi syariah,
BPRS, BMT dan sebagainya yang umumnya juga
menggunakan akad mudharabah.
3. Financial Technology, ada beberapa fintech  yang
menawarkan produk investasi dengan akad mudharabah.
Salah satu fintech  tersebut adalah Qazwa. Fintech  ini
menghubungkan antara pemilik modal (investor) dengan
UMKM yang memerlukan pendanaan. Produk
investasi mudharabah  yang ditawarkan memberikan bagi
hasil yang cukup menguntungkan.

PRODUK PEMBIAYAAN BANK


SYARIAH
Perbankan syariah atau Perbankan islam adalah suatu
sistem perbankan yang pelaksanaanya berdasarkan hukum
islam (Syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya
larangna dalam agama islam untuk meminjamkan atau
memungut pinjaman dengan menegnakan bunga pinjaman
(Riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha – usaha
berkategori terlarang (Haram). Dalam Sistem perbankan
konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut
dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan
dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media
atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah
perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam
yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam
komunitas muslim di dunia.
Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan konvensional, yaitu agar
lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal,
menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Prinsip
hukum Islam melarang unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi perbankan
tersebut.
- Perniagaan atas barang – barang yang haram
- Bunga (Riba)
- Perjudian dan spekulasi yang disengaja (maisir), serta
- Ketidakjelasan dan manipulatif (gharar).
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional adalah bank syariah melakukan
hanya investasi yang halal menurut hukum islam memakai prinsip bagihasil, jual-beli, dan
sewa berorientasi keuntungan dan falah (Kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai ajaran
islam), hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan penghimpunan dan penyalur
dana sesuai Fatwa Dewan Pengawas Syariah.
Sedangkan bank konvensional melakukan investasi baik yang halal atau yang haram
menurut hukum islam, memakai perangkat suku bunga, berorientasi keuntungan,
hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-debitur, penghimpunan dan penyaluran
dana tidak diatur oleh Dewan Pengawas Syariah atau sejenisnya.
Afzalur Rahman dalam bukunya Islamic Doctrine on Banking and Insurance (1980)
berpendapat bahwa prinsip perbankan syariah bertujuan membawa kemaslahatan bagi
nasabah, karena menjanjikan keadilan yang sesuai dengan syariah dalam sistem
ekonominya.
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah bias kita lihat dibawah
ini.
TITIPAN ATAU SIAMPANAN
Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil
dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun
diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-
Shahibul Maal.
Deposito Mudharabah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang
tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan
dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
BAGI HASIL
Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint
venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara
kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak.
Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan
pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap
keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Risiko
kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh
kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan,
kecurangan dan penyalahgunaan.
ADVERTISEMENT
Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam
bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah hanya
bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah
berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
JUAL BELI
Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan
barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa
dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan
pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad
diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:
harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah
peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank
dan Nasabah.
Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang
secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara
kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6
bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan
sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada pembeli kedua
(misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen,
yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar
saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat
masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana
semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak
yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan
pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik sama dengan ijarah adalah akad pemindahan hak guna
atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, namun dimasa akhir sewa terjadi
pemindahan kepemilikan atas barang sewa.
JASA
Al-Wakalah adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad
(perwakilan) yang sesuai dengan prinsip prinsip yang di terapkan dalam syariat islam.
Al-Kafalah adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan kata lain
mengalihkan tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab
orang lain sebagai jaminan.
Al-Hawalah adalah akad perpindahan dimana dalam prakteknya memindahkan hutang dari
tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban
membayar hutang (contoh: lembaga pengambilalihan hutang).
Ar-Rahn, adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad gadai
yang sesuai dengan syariah.
Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak
lain adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan
imbalan atau bunga ( riba . secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong bukan
komersial.
Dari penjelasan di atas bahwasannya manfaat daripada perbankan syariah yaitu sebagai
jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional atau tujuan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Produk pembiayaan perbankan sendiri meliputi pembiayaan yang bersifat komsumtif atau
pembiayaan yang bersifat produktif antara lain pembiayaan-pembiayaan perbankan syariah
yaitu.
- Pembiayaan berprinsip jual beli yaitu murabahah, salam, istisna’
- Pembiayaan berprinsip sewa yaitu ijarah dan ijarah munthia bit-tamlik
- Pembiayaan berprinsip bagi hasil yaitu musyarakah, dan mudharabah.
- Dan beberapa pembiayaan pelengkap yaitu hawalah, kafalah, rahn, qard, dan wakalah
Maskud pembiayaan perbankan syariah merupakan aktifa produktif dimana perbankan
memeberikan sejumlah dana kepada nasabah untuk memutar uang yang dimiliki oleh
perbankan dengan memperoleh margin (tambahan) atas pembiayaan. Beberapa tujuan
daripada pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah berdasarkan penempatan
(stakeholder) yaitu ditujukan kepada pemilik, pegawai, masyarakat, pemerintah, bank.
Manfaat daripada perbankan syariah diantaranya yaitu Sebagai jembatan untuk
meningkatkan pendapatan nasional atau tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat

Anda mungkin juga menyukai