Eka Pratiwi-Fkik PDF
Eka Pratiwi-Fkik PDF
SKRIPSI
Disusun oleh
Eka Pratiwi
109101000050
2016
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Siswi Mts Ciwandan Kota Cilegon
Tahun 2014
ABSTRAK
Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang perlu mendapatkan perhatian
khusus. Remaja putri termasuk golongan yang rawan menderita anemia karena
mengalami menstruasi setiap bulannya dan sedang dalam masa pertumbungan.
Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada
siswi MTs Ciwandan Kota Cilegon. Rancangan penelitian cross sectional. Jumlah
sampel 123 orang dipilih secara Cluster Sampling dari seluruh siswi MTs Ciwandan.
Data asupan gizi diperoleh dengan food record, frekuensi makan diperoleh dengan
FFQ, Sosial ekonomi, pola menstruasi dan konsumsi Tablet Fe melalui kuesioner
terstruktur dan kadar hemoglobin dengan metode finger prick menggunakan HB
meter. Data dianalisis secara Univariat dan Bivariat dengan Chi Square. Hasil
penelitian menunjukkan ada hubungan sosial ekonomi [pengetahuan (p=0,002), uang
jajan (p=0,008), pendidikan orangtua (p=0,006), dan pendapatan orang tua
(p=0,000)], pola menstruasi (p=0,000), Kebiasaan Makan [asupan gizi {asupan energi
(p=0,001), asupan protein (p=0,000), asupan Vitamin C (p=0,000), asupan Fe
i
(p=0,011)} dan frekuensi makan {frekuensi makan dalam sehari (p=0,000), frekuensi
makan sumber heme (p=0,000), frekuensi makan sumber non heme (p=0,000),
frekuensi makan penghambat absorbs zat besi (p=0,000), frekuensi makan peningkat
absorbsi zat besi (p=0,000). Tidak terdapat hubungan pola konsumsi Tablet Besi
(p=0,339).
ii
STATE ISLAMIC UNIBERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Factors Associated with Anemia Female Student in MTs Ciwandan Cilegon Town
2014
ABSTRACT
iii
(p=0,000), Fe intake (p=0,011)} dan frequency of eating {frequency of eating within
a day (p=0,000), frequency of eating heme sources (p=0,000), frequency of eating
non heme sources (p=0,000), frequency of eating resistor absorption iron(p=0,000),
frequency of eating enhancer absorption iron (p=0,000). There is no relationship of
iron tablet consumtion pattern (p=0,339).
iv
v
vi
BIODATA PENULIS
Agama : Islam
Telp/HP : 085945497998
Banten
Email : Akhwat_nies@yahoo.com
Pendidikan
vii
KATA PENGANTAR
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu mencapai gelar Sarjana Kesehatan
Masyrakat Peminatan Gizi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga Kepada pihak-pihak terkait yang telah banyak membimbing dan banyak
membantu terselesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan
kepada :
1. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS dan Bapak DR. Drs. M. Farid Hamzens, M.Si,
selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam
memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan dan saran yang sangat
bermanfaat.
2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Febrianti, SP, M.Si dan Ibu Febriana,
SKM, M.Si, selaku penguji yang telah meluangkan waktunya dan telah
memberikan saran, masukan dan kritik dalam ujian skripsi ini.
3. Seluruh staf dosen FKIK, untuk ilmu dan juga bimbingan yang telah
diberikan selama mengikuti pendidikan di FKIK.
4. Bapak Kepala Sekolah MTs Ciwandan yang telah memberikan ijin untuk
dilaksanakannya penelitian ini dan seluruh staf pengajar yang telah membantu
penulis dalam melakukan penelitian.
viii
5. Keluargaku tercinta, Orangtuaku, Saudara-saudaraku, Anak-anaku tersayang
Hisyam dan Ibrahim, serta suamiku tercinta Yudan Suhara yang telah banyak
memberikan dukungan dan bantuan baik tenaga, moril dan material serta doa
yang tiada hentinya selama ini.
6. Teman-teman satu angkatan Gizi angkatan 2009 dan teman satu pembimbing
akademik yang telah saling mendukung, memotivasi dan member semangat.
7. Seluruh responden dalam penelitian ini yang berperan sebagai sumber analisis
dalam penyusunan skripsi ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………….. i
2.2 Anemia
x
2.2.4 Penyebab Anemia ………………………………………………. 20
xi
2.8 Metode Penilaian Konsumsi Gizi ………………………………………… 41
b) Vitamin C ………………………………………… 59
c) Energi …………………………………………….. 60
d) Protein ……………………………………………. 61
xii
2.7.4.3.1 Frekuensi Makan Sehari ……………………. 63
xiii
4.5.2.1 Analisis Univariat ………………………………………….. 84
xiv
5.4.5.1.4 Asupan Fe ………………………………………………………… 96
5.5.1 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia pada Siswi Mts Ciwandan 101
5.5.1.2 Hubungan antara Uang Jajan Siswi dengan Anemia pada Siswi
xv
MTs Ciwandan ………………………………………………………………. 106
5.5.3.1 Hubungan antara Asupan Zat Gizi dengan Anemia pada Siswi
xvi
dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan ……………………….. 114
6.2 Status Anemia Gizi Besi Siswi MTs Ciwandan ………………………… 117
xvii
6.6.1 Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Anemia Pada Siswi
xviii
6.6.2.5 Hubungan Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan …………………………………………… 180
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xix
DAFTAR TABEL
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………… 90
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………… 91
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………….. 92
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………….. 92
xx
5.7 Distribusi Frekuensi Asupan Energi Siswi MTs Ciwandan Cilegon-
BantenTahun 2014……………………………………………………… 94
Cilegon-BantenTahun 2014……………………………………………… 96
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………….. 97
5.12 Distribusi Frekuensi Makan Sumber Heme Siswi MTs Ciwandan Cilegon-
BantenTahun 2014……………………………………………………… 97
5.13 Distribusi Frekuensi Makan Sumber non Heme Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014……………………………………………… 98
5.16 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014………………………………… 101
5.17 Hubungan antara Uang Saku Siswi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014………………………………… 102
5.18 Hubungan antara Pendapatan Orangtua dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014…………………………………. 103
xxi
5.19 Hubungan antara Pendidikan Orangtua dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014…………………………………. 104
5.20 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014………………………………… 105
5.21 Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014…………………………………………… 106
5.22 Hubungan antara Asupan Protein dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014……………………………………………. 107
5.23 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014…………………………………. 108
5.24 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014……………………………………………. 109
5.25 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia pada Sisiwi
MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014……………………………. 110
5.26 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia pada
Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014…………………….. 111
5.27 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber non Heme dengan Anemia pada
Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014……………………. 112
xxii
DAFTAR BAGAN
xxiii
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia adalah keadaan di mana terjadi penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) yang ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan
besi dan protein yang cukup dalam tubuh. Protein berperan dalam pengangkutan
(Gallagher, 2008)
Anemia yang terjadi pada remaja putri merupakan risiko terjadinya gangguan
fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada
saat kehamilan nantinya (Sediaoetama, 1992).Menurut Yip (1998) status zat besi
harus diperbaiki pada saat sebelum hamil yaitu sejak remaja sehingga keadaan
menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-
kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Remaja dalam
yang tidak termasuk kanak-kanak tetapi bukan pula dewasa (Yusuf, 2011).
1
Remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk badan, sehingga banyak
makanan.Selain itu adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu
faktor penyebab remaja putri mudah terkena anemia defisiensi besi (Sediaoetama,
2003).Remaja putri juga memerlukan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi
lanjut.
dikembangkan yaitu mencapai remaja putri SMP, SMA, dan sederajat, serta
wanita di luar sekolah sebagai upaya strategis dalam upaya memutus simpul
Remaja putri memiliki risiko sepuluh kali lebih besar untuk menderita anemia
asupan zat gizi juga menjadi penyebab anemia pada remaja.Remaja putri biasanya
Council, 2011).Bila asupan makanan kurang maka cadangan besi banyak yang
2
dibongkar.Keadaan seperti ini dapat mempercepat terjadinya anemia (Agus,
2004).
jika <5%, masalah kesehan masyarakat tingkat ringan jika 5-19,9%, masalah
tingkat berat jika ≥ 40% (Depkes, 2003). Anemia merupakan masalah kesehatan
Lebih dari setengah penduduk dunia usia pra sekolah dan wanita hamil berada
tingkat berat dengan presentase sebesar 56,3% dan 57,5%. Sedang presentase
wanita tidak hamil yang mengalami anemia sebesar 29,6% (McLean, 2007).
keseluruhan, anemia terjadi pada 45% wanita di Negara berkembang dan 13% di
9,8% anak yang mengalami anemia. Sebanyak 60,2% dari anemia tersebut adalah
anemia mikrositik hipokrom (sel yang kecil dengan jumlah hemoglobin yang
sedikit dalam sel), yang paling banyak disebabkan oleh anemia defisiensi besi
(Riskesdas, 2010).
3
Prevalensi anemia di kota Cilegon pada remaja putri di wilayah puskesmas
sekota Cilegon berdasarkan pada program kesehatan remaja tahun 2012 yang
telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Cilegon pada remaja putri usia 11-13
tahun menderita anemia sebesar 73,83% (231 orang) dan dari 440 remaja putri
usia 14-17 tahun menderita anemia sebesar 76,69%(337 orang) (Dinkes kota
Cilegon, 2012).
alat Hb meter Easytouch, telah diketahui prevalensi anemia pada remaja putri
kelas 8 adalah sebesar 13% (4 siswi dari 30 siswi). Prevalensi anemia tersebut
dibandingkan dengan negara yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau
kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara
hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta
Di Indonesia terdapat empat masalah gizi remaja yang utama yaitu Kurang
Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kekurangan
masalah gizi yang paling utama di Indonesia, yang disebabkan karena kekurangan
zat besi.Anemia gizi dapat disebabkan karena kekurangan zat gizi yang berperan
4
dalam pembentukan hemoglobin yaitu besi, protein, Vitamin C, Piridoksin,
kekurangan, atau produksi sel darah merah yang abnormal; pemecahan sel darah
Remaja yang lebih sering mengalami anemia adalah remaja putri, hal ini di
sebabkan remaja putri dalam usia reproduksi setiap harinya memerlukan zat gizi
tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan remaja putra karena remaja putri
diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam
besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis
5
darah tersebut mengakibatkan defisiensi besi (Arumsari, 2008). Hal ini diperparah
dengan pola konsumsi remaja putri yang terkadang melakukan diet pengurusan
badan sehingga semakin sedikit zat besi yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.
hidup, tingkat kehidupan serta pendidikan seseorang. Tidak sedikit remaja putri
yang melakukan suatu upaya menghilangkan kebiasaan makan pagi atau siangnya
untuk mengurangi berat badannya, sedangkan makan yang bernilai gizi seperti
telur, susu dan sayuran sedapat mungkin tidak dimakan. Akibatnya mereka
mengalami kekurangan beberapa zat gizi makanan terutama zat kapur dan besi.
(Suhardjo, 1989).
tahan tubuh menurun. Dampak anemia pada wanita dapat menurunkan daya tahan
positif, hal ini berarti semakin rendah kadar Hb, maka produktivitas kerja subjek
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks. Menurut
Ros & Horton (1998), Anemia Gizi Besi berdampak pada menurunnya
6
kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan
pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada
wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah,
bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan
dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan
logam-logam berat.
remaja putri masih cukup tinggi.Anemia juga sampai saat ini masih merupakan
penanggulangan anemia.
terhadap kejadian anemia pada remaja putri di MTs Ciwandan tahun 2015.
Kejadian anemia yang banyak diderita oleh banyak wanita pada umumnya
dan remaja putri pada remaja putri pada khususnya adalah diakibatkan oleh faktor
tidak langsung yaitusosial ekonomi dan faktor langsung seperti pola menstruasi
7
(frekuensi haid dan lama haid) dan kebiasaan makan (asupan zat gizi, frekuensi
makan, kebiasaan minum teh).Remaja putri yang menderita anemia, akan mudah
serta prestasi menurun, sehingga ketika akan menjadi calon seorang ibu, mereka
berada dalam keadaan resiko tinggi. Pertumbuhan yang pesat pada remaja
memiliki zat besi dalam jumlah yang tidak mencukupi, akan mengalami kondisi
sekota Cilegon berdasarkan pada program kesehatan remaja tahun 2012 yang
telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Cilegon pada remaja putri usia 11-13
tahun menderita anemia sebesar 73,83% (231 orang) dan dari 440 remaja putri
Studi pendahuluan yang dilakukan MTs Negeri Ciwandan pada bulan Mei tahun
Easytouch, telah diketahui prevalensi anemia pada remaja putri kelas 8 adalah
sebesar 13% (4 siswi dari 30 siswi). Prevalensi anemia tersebut termasuk kedalam
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran prevalensi dan
hubungan sosial ekonomi, pola menstruasi dan kebiasaan makan dengan kejadian
8
1.3 Pertanyaan Penelitian
2015?
2015?
makan) dengan kejadian anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun 2015?
9
1.4 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
2015.
10
1.5 Manfaat Penelitian
asupan zat gzi untuk memenuhi zat besi dalam tubuh serta efek kejadian
3. Bagi Penulis
pemahaman penulis tentang manfaat asupan zat gizi yang dapat mencegah
selanjutnya.
11
dan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan) dengan variable
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
pendidikan ayah/ibu), pola menstruasi, dan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi
dan frekuensi makan) dan data sekunder berupa jumlah siswi putrid di MTs
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
Inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas
Monks, dkk (1999) yang membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga
tahap, yaitu :
intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada
saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi, namun belum
13
kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot. Pada masa ini
1990).
Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil.
(Kartono, 1990).
Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15% dari tinggi badan dan
50% dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan
dengan peningkatan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi
remodeling tulang terjadi: jaringan lunak, organ-organ dan bahkan massa sel
darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi
mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan
14
adanya pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan
(DiMeglio, 2000)
2.2 Anemia
Anemia adalah tingkat kekurangan zat besi yang paling berat dan
kondisi ibu dengan kadar Hemoglobin dibawah 11gr% pada trimester I dan
nilai normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin.
Gejala yaitu lemah, lesu, letih, mudah mengantuk, napas pendek, nafsu
makan berkurang, bibir tampak pucat, susah buang air besar, denyut jantung
pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin dan volume sel
15
c) Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan
adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar
terkena adalah:
16
Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia
stomatitis angularis.
tanda infeksi.
jerami.
Menurut Ros & Horton (1998), Anemia Gizi Besi berdampak pada
17
persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak
dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh kekurangan besi. Enzim
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat
dari dampak fisik, anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa cepat lelah.
Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi pengolahan
kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini
Akibatnya, mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila
18
Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita
tersebut (Almatsier,2001)
penderita usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif
terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi
belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid
19
2.2.4 Penyebab Anemia
anemia gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab
akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini
dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat
pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan.Di
dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan
bagian dari protein yang disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah,
sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan
hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi
Menurut Almatsier (2001), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan
20
mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan
Faktor lain yang merupakan penyebab anemia gizi besi adalah faktor
besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai
21
(RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6)
kaya zat besi, contohnya: daging sapi atau kambing, buncis, sereal yang
ukuran sel bukan tolak ukur pada kemampuannya dalam membawa lebih
suplemen folat. Sumber makanan yang mengandung vitamin B12 dan folat
sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau
penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai
penyakit hati, ginjal dan endokrin.Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan
yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih dini, (2) adanya respon
22
sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau menurun,
ada pengobatan spesifik untuk anemia jenis ini. Dokter akan berusaha
4) Anemia Aplastik
kematian disebabkan infeksi dan pendarahan. Pada tipe berat ini penderita
5) Anemia Hemolitik
penghancuran sel darah merah. Dalam keadaan normal, sel darah merah
mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dalam
23
sumsum tulang, limpa dan hati dapat mengetahuinya kemudian berusaha
normal bentuk sel darah merah fleksibel dan bulat, sedangkan pada
penderita sicle cell anemia sel darah terbentuk sickle (sabit). Bentuk yang
darah merah yang kronik. Kasus ini terutama terjadi pada ras Afrika dan
Arab.
24
untuk jangka waktu lama. Sehingga dapat terjadi defisiensi besi yang
berat.
kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan
3) Tahap ketiga, defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia karena
(vijayaraghavan, 2004).
banyaknya sesl-sel darah merah yang hilang dari tubuh seseorang, akibat
25
2) Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah
bibit penyakit atau parasit yang masuk kedalam tubuh, seperti malaria
sel-sel darah merah rusak dalam tubuh, zat besi yang ada di dalam tidak
merah yang baru dan pemberian zat besi pada anemia jenis ini kurang
lagi oleh karena itu pemberian asam folat sangat diperlukan untuk
Sumsum tulang mengganti sel darah yang tua dengan sel darah merah
yang baru sama cepatnya dengan banyaknya sel darah merah yang
cukup banyak zat gizi. Apabila tidak tersedia zar gizi dalam jumlah yang
timbul karena, kurangnya zat gizi penting seperti zat besi, asam folat,
26
2.3 Anemia Gizi Besi
berkurang (Bakta, 2006). Anemia gizi besi merupakan tahap defisiensi besi
yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi
besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin
telah digunakan secara luas adalah hemoglobin (Hb), karena pada umumnya
tujuan dari berbagai penelitian adalah menetapkan prevalensi anemia dan bukan
sel darah merah.Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml
darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.
2002).
27
Tabel 2.1
Standar Penentu Anemia Gizi Besi
Kelompok Umur Hb dalam darah (g/dl)
2.4 Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
2008).
28
Menurut William, Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk
bulat yang terdiri dari 4 subunit. Setiap subunit mengandung satu bagian
sel-sel otot.Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi
yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi
yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari
digunakan sebagai bahan bakar serta membawa CO2 dari jaringan tubuh
29
2.4.3 Batas Nilai Kadar Hemoglobin (Hb)
darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan
suatu keadaan dimana kadar haemoglobin (Hb) lebih rendah dari keadaan
bawah ini:
Tabel 2.2
cara. Cara yang banyak dipakai dalam laboratorium klinik ialah cara
30
fotoelektrik dan kalorimetrik visual dan yang banyak digunakan di lapangan
2012).
di laboratorium dan paling sederhana adalah metode Sahli. Cara yang cukup
alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Penentuan Hb dengan cara ini
larutan yang berisi kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang
gelombang 540 nm atau filter hijau. Larutan Drabkin yang dipakai pada cara
31
karboksihemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Kadar hemoglobin
sianmethemoglobin. Kelebihan dari metode ini adalah cara ini sangat bagus
ditanggung kadarnya bersifat stabil. Kesalahan cara ini dapat mencapai kira-
kira 2%. Kelemahan dari cara ini adalah kekeruhan dalam suatu sampel
2005).
kalorimetrik visual atau sahli. Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi
kecil yang tidak mempunyai fotokalorimeter. Tetapi, cara ini tidak begitu
pengukuran secara visual dan kesalahan cara ini adalah kira-kira 10%
(Wijayanti, 2005).
dengan menggunakan prinsip tindak balas darah dengan bahan kimia pada
32
strip yang digunakan. Bahan kimia yang terdapat pada strip adalah
mudah di bawa dan sesuai untuk penelitian di lapangan karena teknik untuk
tidak memerlukan penambahan reagen. Alat ini juga memiliki akurasi dan
juga stabil dan tahan lasak walaupun digunakan dalam jangka masa yang
hemoglobin sebetulnya akan terjadi jika cadangan zat besi (Fe) dalam tubuh
sudah benar-benar habis. Kurangnya zat besi (Fe) dalam tubuh pada ibu
zat besi (Fe) pada wanita karena cadangan besi dalam tubuh lebih sedikit
33
sedangkan kebutuhannya lebih tinggi antara 1-2 mg zat besi secara normal
(Muryanti, 2006).
Salah satu mikronutrien essensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi
yang merupakan mineral mikro paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak
3-5 gram di dalam tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan, namun
besi (Almatsier,2002).
Jumlah zat besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 gr
tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi di dalam
terdapat di dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi terikat dengan
protein yang disebut “transferin” yaitu sebanyak 3-4 gr. Sedangkan dalam
jaringan berada dalam suatu status esensial dan bukan esensial. Disebut
Sedangkan menurut Guyton dan Hall (1997) Jumlah total besi dalam
tubuh rata-rata 4-5 gram, lebih kurang 65 persennya dijumpai dalam bentuk
34
darah dan 15-30 persen terutama disimpan dalam sistem retikuloendotelial
Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, zat ini
Seorang ibu yang dalam masa kehamilannya telah menderita kekurangan zat
besi tidak dapat memberi cadangan zat besi kepada bayinya dalam jumlah yang
cukup untuk beberapa bulan pertama. Meskipun bayi itu mendapat air susu dari
ibunya, tetapi susu bukanlah bahan makanan yang banyak mengandung zat besi
karena itu diperlukan zat besi untuk mencegah anak menderita anemia (Arifin,
2000).
Besi yang ada pada bahan makanan adalah besi elemen.Hanya Fe++
ini yang diabsorbsi usus halus. Untuk mengatur masuknya besi dalam tubuh
maka tubuh memiliki suatu cara yang tepat guna. Besi hanya dapat masuk
apoferritin yang ada dalam mukosa usus tergantung pada kadar besi tubuh.
Bila besi dalam tubuh sudah cukup maka semua apoferritin yang ada dalam
mukosa usus terikat oleh Fe menjadi Ferritin. Dengan demikian tidak ada
lagi apoferitin yang bebas sehingga tidak ada besi yang dapat masuk ke
35
dalam mukosa. Besi yang ada dalam mukosa usus hanya dapat masuk ke
dalam darah bila ia berikatan dengan β-globulin yang ada dalam plasma.
feritin) maka Fe++ yang terdapat dalam mukosa usus tidak dapat masuk ke
dalam plasma dan turut lepas ke dalam lumen usus sel mukosa usus lepas
dan diganti dengan sel baru.Hanya Fe++ yang terdapat dalam transferrin
tulang sebagai ferritin.Besi yang terikat pada β-globulin selain berasal dari
mukosa usus juga berasal dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua masuk
Kebutuhan zat besi yang diserap berbeda-beda antara individu, umur, jenis
36
Tabel 2.3 Kebutuhan Zat Besi
0-6 bulan -
7-11 bulan 7
1-3 tahun 8
4-6 tahun 9
7-9 tahun 10
Laki-laki
10-12 tahun 13
13-15 19
16-18 15
19->80 13
Wanita
10-12 tahun 20
13-15 26
16-18 26
19-29 26
30-49 26
50->80 12
37
Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang
dewasa apabila dihitung bedasarkan kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah
1 tahun dan anak yang berumur 6-16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama
memerlukan zat besi untuk pertumbuhan dan meningkatkan massa sela darah
Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang
hilang melalui tinja, air kencing dan kulit.Jumlah zat besi yang hilang sangat
bervariasi untuk setiap orang. Pada orang yang mempunyai simpanan zat besi
tinggi,maka zat besi yang dikelurkan dari tubuh juga tinggi, sebaliknya orang-
orang yang anemia jumlah zat besi yang dikeluarkan tubuh adalah rendah. Pada
bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan maka kebutuhan zat
zat besi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari ditunjukkan pada tabel 2.4
(kg) (cm)
1-3 tahun 12 90 8
38
4-6 tahun 18 110 9
Pria
Wanita
Hamil/menyusui
0-6 bulan +2
7-12 bulan +2
39
2.6 Fasilitator Absorbsi Zat Besi
Fasilitator absorpsi zat besi yang paling terkenal adalah asam askorbat
(vitamin C) yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi non heme secara
signifikan. Jadi, buah kiwi, jambu biji, dan jeruk merupakan produk pangan
nabati yang meningkatkan absorpsi besi. Faktor-faktor yang ada di dalam daging
Penghambat zat besi meliputi kalsium fosfat, bekatul, asam fitat, dan
hayati zat besi dalam jenis makanan ini. Karena serat pangan sendiri tidak
dalam teh, kopi, dan anggur merah. Tanin yang terdapat dalam teh hitam
merupakan jenis penghambat paling paten dari semua inhibitor di atas. Kalsium
yang dikonsumsi dalam produk susu seperti susu atau keju juga dapat
40
mengimbangi efek penghambat pada polifenol dan kalsium (vijayaraghavan,
2004).
Menurut Cameron and Van Staveren dalam Herviani (2004) FFQ (Food
astimasi URT dalam gram dan cara memasak dapat dikatakan dengan metode
Pada FFQ semi kuantitatif skor zat gizi yang terdapat disetiap subjek
dihitung dengan cara mengalikan frekuensi relatif setiap jenis makanan yang
dikonsumsi yang diperoleh dari data komposisi yang tepat (Van Steveren at al,
dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak memerlukan latihan khusus dan
Kekurangan metode food frekuensi antara lain: tidak dapat menghitung intake zat
bosan dan responden harus jujur serta memiliki motivasi tinggi (Supriasa, 2002).
41
2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada Remaja Putri
anemia, yaitu :
1. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan zat besi dan infeksi penyakit.
aktifitas wanita tinggi, pola distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu
rendahnya pendapatan, status sosial yang rendah dan lokasi geografis yang
sulit. Menurut Depkes (2003), penyebab anemia pada remaja putri dan wanita
adalah :
a. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja putri dan wanita
terpenuhi.
42
2.7.1 Sosial Ekonomi
2.7.1.1 Pengetahuan
sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu kegiatan tidak dapat
mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan
diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan. Menurut Engel et al. (1994) faktor
internal yang menjadi ciri perbedaan individu yaitu pengetahuan dan sikap
alat bantu kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden.
kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut didalam
tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk
makanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang
43
Kelompok remaja masih berada pada proses belajar sehingga lebih mudah
kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri dengan pengetahuan gizi
2.7.1.2 Pendidikan
kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit dan
44
makanan. Pendidikan dan pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap
makanan.Semakin tinggi pengetahuan gizi ibu, maka makin positif sikap ibu
terhadap kualitas gizi makanan, sehingga makin baik asupan gizi keluarga
(Suhardjo, 1989).
makan keluarga.
45
pendidikan kesehatan merupakanbentuk intervensi terutama terhadap faktor
perilaku kesehatan.
yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan anemia pada remaja
putri dengan nilai OR = 1,945, artinya siswi dengan pendidikan ibu rendah
2.7.1.3 Pekerjaan
juga lamanya waktu yang dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam
dan di luar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi makanan dalam
2.7.1.4 Pendapatan
46
merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan.
yang mungkin diketahui secara pasti oleh anak dicerminkan melalui uang
jumlah anggota keluarga besar apabila persediaan pangan cukup belum tentu
keluarga maka pangan untuk setiap anggota keluarga berkurang (Harper dkk,
mempunyai pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan per kapita dan belanja
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan
47
tubuh akan zat gizi, salah satunya tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan
(p= 0,035). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan tingkat
pendapatan keluarga yang rendah memiliki risiko 1,707 kali lebih besar untuk
Uang saku adalah uang yang diberikan oleh orang tua dengan
anak. Sedangkan uang jajan adalah uang yang diberikan kepada anak untuk
membeli jajanan berupa makanan dan minuman selama berada di luar rumah.
besar jajanan yang dijual bebasdi sekitar sekolah adalah makanan dan
(Elly, 2009)
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara uang jajan dengan
kejadian anemia, dengan nilai (p<0,05). Diketahui bahwa remaja putri dengan
48
uang jajan rendah memiliki resiko anemia 3 kali lebih besar dibanding dengan
remaja putri dengan uang jajan tinggi/ cukup (Barokah, 2010). Sedangkan
pada penelitian Amrihati (2002), diketahui bahwa remaja putri dengan uang
jajan rendah memiliki resiko anemia 6 kali lebih besar dibanding dengan
sebelumnya yang berarti bahwa status gizi saat ini merupakan hasil kumulasi
badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh
untuk memantau status gizi khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
buruk status gizi seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya. Berdasarkan
anemia, yang mana remaja putri dengan IMT tergolong kurus memiliki resiko
1,4 kali menderita anemia dibandingkan remaja putri dengan IMT normal.
49
2.7.3 Kehilangan Darah
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai
perubahan yang terjadi secara berulang pada uterus dan organ-organ yang
dihubungkan pada saat pubertas dan berakhir pada saat menopause. Panjang
siklus yang normal atau dianggap sebagai siklus haid yang klasik adalah 28
hari (Hamilton, 1995). Salah satu penyebab anemia gizi adalah kehilangan
darah secara kronis. Pada wanita, terjadi kehilangan darah secara alamiah
setiap bulan. Jika darah yang keluar selama haid sangat banyak maka akan
terjadi anemia defisiensi besi (Arisman, 2004). Usia pertama kali haid, siklus
haid serta lama hari haid berpengaruh terhadap banyaknya darah yang hilang
14 hari persiapan untuk ovulasi dan 14 hari selanjutnya adalah ovulasi. Kira-
kira pada hari ke 21, endometrium disiapkan untuk kedatangan ovum yang
dibuahi. Bila ovum tidak dibuahi memasuki uterus maka pada hari ke-28
menyerupai haid pada interval siklus haid normal menurut Hestiantoro (2008)
dikelompokkan menjadi :
50
a) Ritme (irama) haid, dimana normalnya adalah 25-31 hari, sedangkan
polimenorea.
oligomenore.
tentu.
abnormal jika:
51
Pedarahan bercak (spotting) prahaid, pertengahan siklus dan
pasca haid.
cenderung diatas rata-rata sedangkan siswi dengan lama menstruasi lebih dari
hemoglobin pada remaja putri. Keadaan ini dibuktikan dengan analisis data
didapatkan p sebesar (0,000) < 0,05, hubungan yang negatif antara lama
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai
lebih tinggi (53,8%) pada remaja putri yang memiliki lama haid lebih dari 6
hari dengan yang lama haidnya normal (31,1%) dan menunjukkan hubungan
yang bermakna.
penyakit infeksi, yaitu cacingan, TBC, dan malaria. Menurut Husaini (1989),
anemia gizi dapat diperberat oleh investasi cacing tambang. Cacing tambang
yang menempel pada dinding usus dan menghisap darah. Darah penderita
52
sebagian akan hilang karena gigitan dan hisapan cacing tambang. Setiap hari 1
ekor cacing dapat memakan darah 0,03 ml sampai 0,15 ml, sehingga untuk
cacing tambang, cacing gelang secara langsung maupun tidak langsung juga
tidak terinvestasi cacing. Pada tahun 2006, penelitian Wijiastuti pada remaja
bermakna antara investasi cacing dengan kejadian anemia. Hal yang sama
India tahun 2006, remaja putri dengan investasi cacing memiliki resiko
menderita anemia 4,11 kali dibandingkan dengan remaja putri yang tidak
fisiologi, budaya dan sosial (Harper dkk, 1986). Sedangkan Suhardjo (1989)
53
makanan. Harper dkk (1986) menyatakan bahwa sehubungan dengan pangan
pantangan, tahayul dan larangan pada beragam kebudayaan dan daerah yang
berlainan.
makan keluarga yang tidak baik yang sudah tertanam sejak kecil dan akan
terus terjadi pada usia remaja. Kondisi tersebut mengakibatkan remaja makan
seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan zat-zat gizi dan dampak tidak
tidak terpenuhi. Keadaan ini berkaitan dengan “mode” yang tengah marak di
kalangan remaja seperti makanan siap saji dan mie instan.Usia remaja
merupakan usia yang sangat mudah terpengaruh oleh teman pergaulan dan
media masa terutama iklan yang menarik perhatian remaja tentang makanan
cenderung lebih mudah menerima sesuatu jenis makanan yang relatif baru
karena pada masa remaja ini mereka lebih senang untuk mencoba sesuatu
dengan pendapat Lund dan Burk (1969) yang dikutip oleh Suhardjo (1989)
54
bahwa ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap
lingkungan sekolah.
jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue
yang rasanya manis dan golongan pastry serta permen. Sedangkan golongan
tidak populer atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah
a) Zat Besi
Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan. Kandungan zat besi dalam
makanan berbeda-beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan zat besi
adalah makanan yang berasal dari hewani (seperti ikan, daging, hati dan
ayam). Makanan nabati (seperti sayuran hijau tua) walaupun kaya akan zat
besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (Depkes
RI, 1998:14). Rendahnya asupan zat besi ke dalam tubuh yang berasal dari
konsumsi zat besi dari makanan sehari-hari merupakan salah satu penyebab
Asupan zat besi kedalam tubuh remaja putri dipengaruhi: Konsumsi zat
besi dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme (40%) dan
besi non hem. Besi non hem merupakan sumber utama zat besi dalam
55
makanan.Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau,
Sedangkan besi hem hampir semua terdapat dalam makanan hewani antara
lain daging, ikan, ayam, hati, dan organ-organ lain (Almatsier, 2001)
Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasaldari hewan
dilihat pada tabel 2.5.Hati dan daging adalah bahan makanan yang paling
hijau daun mengandung banyak zat besi.Sumber zat besi paling utama dan
paling baik adalah pada makanan hewani, seperti daging,ayam, ikan dan
56
Tabel 2.5 Kandungan Zat Besi dalam Bahan Makanan
Hati 6-14
Daging 2-4,2
Ikan 0,5-1
Kacang-Kacangan 1,9-14
Umbi-Umbian 0,3-2
Buah-buahan 0,2-4
Beras 0,5-0,8
zat besi 5 %), sedang (tingkat penyerapan zat besi 10 %), dan tinggi (tingkat
penyerapan zat besi 15 %).Pola makanan yang hanya terdiri dari sumber
pola menu makanan rendah. Pola menu ini sangat jarang atau sedikit sekali
fitat,serat,tanin dan fosfat dalam menu makanan ini. Biasanya menu seperti ini
57
dikonsumsi oleh keluarga-keluarga berpenghasilan rendah yang tidak mampu
zat besinya juga berasal dari golongan sumber karbohidrat, seperti nasi atau
makanan rendah dapat meningkatkan penyerapan zat besi sehingga pola menu
menjadi tinggi.
Walaupun tinggi penyerapan zat besinya, menu ini dapat menjadi sedang jika
penghambat penyerapan zat besi seperti teh atau kopi. Pola menu seperti ini
ayam dan ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi, besi dalam serealia
58
sumber besi berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan serta sumber zat gizi
buahan yang kaya akan vitamin C yang dapat membantupenyerapan zat besi
b) Vitamin C
2001). Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi non hem sampai
empat kali lipat, yaitu dengan merubah besi feri menjadi fero dalam usus
yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan,
remaja putri yang konsumsi Vitamin C kurang dari 100 % AKG memiliki
resiko 3,5 kali lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan remaja
59
putri yang mengkonsumsi vitamin C > 100 % AKG. Satyaningsih (2007) dan
Kwatrin (2007) juga menemukan hal yang sama, yaitu resiko mengalami
anemia lebih tinggi 4 kali pada remaja putri yang konsumsi Vitamin C kurang
dari AKG.
c) Energi
utama, jika asupan energi tidak terpenuhi sesuai kebutuhan maka kebutuhan
akan zat gizi lainnya seperti protein, vitamin, mineral juga sulit terpenuhi.
umumnya jika kecukupan energi dan protein sudah terpenuhi dan dikonsumsi
dari beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi lainnya biasanya juga
akan terpenuhi.
Kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan kekurangan zat gizi
lainnya dan begitu pula dengan penyerapan dan metabolisme zat gizi saling
terkait antara satu zat gizi dengan zat gizi lainnya.Rendahnya asupan energi
infeksi yang sering terjadi padapenderita kurang gizi adalah penyakit saluran
gangguan dalam penyerapan zat gizi makanan, salah satunya Fe, bila terdapat
60
gangguan penyerapan Fe, maka akan terdapat kemungkinan terjadinya
Anemia.
menyebabkan anemia, hal ini terjadi karena pemecahan protein tidak lagi
beberapa penelitian, yang mana remaja putri dengan asupan energi < 100 %
AKG memiliki resiko mengalami anemia 3,13 (Lestari, 1996), 3,2 (Safyanti,
2002), 6,962 (Kwatrin, 2007), 5,066 (Satyaningsih, 2007) kali lebih tinggi
d) Protein
carrier bagi transportasi zat besi pada sel mukosa. Protein itu disebut
transferring yang disintesa di dalam hati dan transferin akan membawa zat
61
(Bridges 2008 dalam Yasmin 2012) menyatakan bahwa protein juga
sehingga akan terjadi defisiensi zat besi, disamping itu makanan yang tinggi
protein terutama berasal dari daging, ikan dan unggas juga banyak
proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia
AKG. Safyanti (2002) mendapatkan hasil bahwa remaja putri yang asupan
proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih 5,3 kali terkena anemia
dibandingkan dengan remaja putri yang asupannya cukup, begitu juga dengan
remaja melewatkan satu atau lebih waktu makan yaitu sarapan. Sarapan
adalah waktu makan yang paling banyak dilewatkan, disusul oleh oleh makan
62
siang. Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang malas untuk
waktu, tidak lapar, menjaga berat badan dan tidak tersedianya makanan yang
konsumsi energi, protein, dan zat gizi lain (Brown et al. 2005).
menurut beberapa kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari.
lebih langsing dan sehat dibanding orang yang makan secara tidak teratur
(skipping meal) (Niklas, Tom, Karen & Gerald 2001 dalam Phujiyanti, 2004).
karena takut kegemukan. Kebiasaan makan remaja rata-rata tidak lebih dari
tiga kali sehari dan disebut makan bukan hanya dalam konteks
menunjukkan bahwa remaja putri dengan frekuensi makan < 3 kali sehari
memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri
dengan frekuensi makan > 3 kali sehari. Raptauli (2012) mendapatkan hasil
bahwa remaja putri dengan frekuensi makan <3 kali sehari mempunyai
63
peluang 1,729 kali untuk menderita anemia dibanding dengan remaja putri
dikenal dua jenis yaitu besi heme dan non heme. Zat besi yang berasal dari
bahan makanan hewani (zat besi heme) mempunyai tingkat absorpsi 20-30 %,
besi heme lebih mudah diserap dan penyerapannya tidak tergantung dengan
zat makanan lainnya Brooker (2001) menjelaskan besi heme yaitu besi yang
berasal dari hemoglobin dan mioglobin yang hanya terdapat dalam bahan
makanan hewani seperti daging, ikan dan unggas. Bioavailabiltas besi heme
ini sangat tinggi yaitu 20- 30% atau lebih dapat diabsorpsi. Derajat absorpsi
besi heme ini hampir tidak dipengaruhi oleh susunan menu atau diet makanan,
dan hanya sedikit dipengaruhi oleh status besi orang yang mengkonsumsinya.
Besi non hem terdapat pada makanan nabati seperti sayur dan buah-buahan.
bahwa pangan sumber zat besi yang berasal dari pangan hewani seperti
daging, unggas, telur dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi.
Pada penelitian (Purnama, 2001 dalam Husnah 2014) pada siswi SMA
2 Semarang ditemukan hasil setiap peningkatan persen asupan zat besi sebesar
64
2.7.3.2.3 Frekuensi Makan Sumber Non Heme
Besi non heme merupakan sumber utama zat besi dalam makanan dan
dipengaruhi adanya MPF factor (meat, poultry and fish) yaitu, apabila
absorpsi Fe dari makanan tersebut meningkat dari 2,3% menjadi 8%. Karena
asam amino yang dilepas selama makanan dicerna akan berubah bentuk
mudah diserap oleh usus yaitu, berkisar antara 7-22%, sedangkan pangan
nabati banyak mengandung ”non heme iron” yang lebih sulit untuk diserap
yaitu berkisar antara 1-6% (Guthrie, 1989). Absorpsi sumber non heme sangat
yang berasal dari makanan belum tentu menjamin ketersediaan zat besi yang
memadai karena jumlah zat besi yang diabsorpsi sangat dipengaruhi oleh jenis
makanan sumber zat besi dan ada atau tidaknya zat penghambat maupun yang
sumber non heme dengan kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri
dengan konsumsi sumber non heme rendah lebih beresiko 1,231 kali
menderita anemia.
65
2.7.4.3.4 Frekuensi Makan Sumber Peningkat Penyerapan Zat Besi (Fe)
menjadi ferro yang lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat besi dalam
bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C (Adriani dan
Wirjatmadi, 2012).
dengan kejadian pada remaja putri, semakin jarang pepaya dikonsumsi maka
kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena
walaupun pepaya kaya akan vitamin C yang dapat membantu penyerapan zat
besi, namun apabila pepaya dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain
yang dapat menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau tanin maka
Bahan makanan penunjang kebutuhan zat besi adalah daging, ayam, ikan,
bahan makanan dari laut dan vitamin C. Sedangkan zat-zat yang menghambat
66
adalah teh, kopi. Diperkirakan zat besi yang dapat diabsorpsi oleh tubuh dari
ringan (soft drink), teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan
dengan mereka minum susu. Survei yang dilakukan National Center for
serta konsumsi remaja yang tidak terkontrol tentu saja akan menyebabkan
Linder (1992) menyatakan bahwa tanin yang terdapat dalam teh dan daun-
Guthrie (1989) bahwa konsumsi kopi atau teh satu jam sesudah makan akan
menurunkan absorbsi besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh, karena
terdapat suatu zat polyphenol seperti tanin yang terdapat pada teh.
Menurut Muhilal (1998) penyerapan zat besi oleh teh dapat menyebabkan
banyaknya besi yang diserap turun sampai 2%, sedangkan penyerapan besi
tanpa penghambatan teh sekitar 12%. Menurut Morck, et al (1983) minum teh
paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan mengurangi daya serap
sel darah terhadap zat besi 64 persen. Pengurangan daya serap akibat teh ini
lebih tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh konsumsi segelas
kopi usai makan. Kopi, mengurangi daya serap hanya 39 persen.Pada teh,
pengurangan daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin.Selain
67
mengandung tanin, teh juga mengandung beberapa zat, antara lain kafein,
besi dari makanan terutama yang masuk kategori heme non-iron, misalnya
Selain teh dan kopi, cara konsumsi buah dan sayur dengan benar juga
menjadi faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi. Asam fitat dan asam
oksalat yang terkandung dalam sayuran akan mengikat zat besi, sehingga
mengurangi penyerapan zat besi. Karena hal inilah, bayam meski tinggi
kandungan zat besinya bukan merupakan sumber zat besi yang baik. Oleh
karena itu, jika hendak mengonsumsi bayam dan sayuran lain, sebaiknya
nya. Seperti jambu biji, jeruk, nanas. Namun lebih dianjurkan untuk
meminumnya dalam bentuk jus. Sebab jika dalam bentuk buah segar, yang
kandungan seratnya masih tinggi, juga akan menghambat penyerapan zat besi
68
2.9 Kerangka Teori
Sosial Ekonomi
Pengetahuan
Pendapatan ayah/ibu
Pendidikan ayah/ibu
Uang Saku Siswa
Kehilangan Darah
(Pendarahan)
Penyakit Infeksi
(Cacing dan
Malaria)
Pola Haid
69
BAB III
siswa), pola konsumsi TTD, Pola menstruasi, dan kebiasaan makan (asupan zat
gizi dan frekuensi makan) dengan anemia pada siswi MTs Ciwandan.Untuk
mencapai tujuan tersebut maka disusun kerangka konsep dalam penelitian ini
Sosial Ekonomi
Pengetahuan
Uang saku
PendapatanOrangtua
Pendidikan Orang tua
Pola Menstruasi
Anemia
Kebiasaan Makan
70
3.2 Definisi Operasional
2. Sosial Ekonomi
Pengetahuan siswa Kemampuan remaja putri wawancara Kuesioner 1= pengetahuan Ordinal
untuk mengetahui dan kurang (jika
memahami masalah menjawab soal
anemia meliputi gejala benar < median)
dan tanda, penyebab, 2= pengetahuan
71
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
72
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
73
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
4. Kebiasaan Makanan
Asupan Zat Gizi
Energi Tingkat kecukupan Wawancara Formulir Food 1=tidak baik Ordinal
Energi berdasarkan AKG Record (<70% AKG)
2013 2= baik
(≥70%AKG )
Protein Tingkat kecukupan Wawancara Formulir Food 1=tidak baik Ordinal
Protein berdasarkan Record (<70% AKG)
AKG 2013 2= baik
(≥70%AKG )
Vitamin C Tingkat kecukupan Wawancara Formulir Food 1=tidak baik Ordinal
Vitamin C berdasarkan Record (<70% AKG)
AKG 2013 2= baik
(≥70%AKG)
74
(<70% AKG)
2= baik
(≥70%AKG )
Frekuensi Makan
Frekuensi makan dalam Tingkat Konsumsi Wawancara FFQ 1= Tidak Baik Ordinal
sehari makanan dalam sehari (<3 kali makan
dalam sehari)
2= Baik (≥3kali
makan sehari)
Frekuensi makan Tingkat frekuensi Wawancara FFQ 1= tidak baik Ordinal
sumber heme konsumsi makan sumber (<2 kali/hari
heme dalam sehari konsumsi
berdasarkan standar sumber heme)
PUGS 2013 2= Baik (≥2 kali
sehari konsumsi
sumber heme)
Frekuensi Makan Tingkat frekuensi Wawancara FFQ 1= tidak baik Ordinal
sumber non heme konsumsi makan sumber (<2 kali/hari
non heme dalam sehari konsumsi
berdasarkan standar sumber non
PUGS 2013 heme)
75
2= Baik (≥2 kali
sehari konsumsi
sumber non
heme).
76
kali/minggu
konsumsi
penghambat
absorpsi Fe
(Amaliah,
2002)
77
3.3 Hipotesis Penelitian
2. Ada hubungan antara pola menstruasi dengan anemia pada siswi di MTs
3. Ada hubungan antara Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan)
78
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
suatu penelitian untuk mempelajari kolerasi antara faktor-faktor resiko dengan cara
pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time
approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel seubjek pada saat
pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua sampel penelitian diamati pada waktu
pada siswi di MTs Ciwandan Tahun 2015. Penelitian ini dilakukan satu kali pada
suatu saat yang bersamaan (Sudigdo S dan Sofyan, 2002). Data yang menyangkut
variabel independen dan dependen akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.
Cross sectional dipilih sebagai desain studi dalam penelitian ini karena mudah
dengan cepat, dalam waktu bersamaan dapat dikumpulkan variabel yang banyak,
dapat dilaksanakan oleh seorang ahli saja, dan dapat memberikan gambaran
79
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
dilakukan pada seluruh siswi di MTs Ciwandan Kota Cilegon dengan subjek yang
September-Oktober tahun 2014. Lokasi ini dipilih menjadi tempat penelitian karena
masalah anemia khususnya pada remaja putri di kota Cilegon masih cukup tinggi.
4.3.1 Populasi
yang diteliti (Nursalam, 2003), sedangkan menurut Arikunto (2002) populasi adalah
4.3.2 Sampel
menjadi sub-sub populasi secara bergerombol (cluster) dari sub populasi selanjutnya
dirinci lagi menjadi sub-populasi yang lebih kecil. Anggota dari sub populasi terakhir
2 2 (1 − 2) + 1(1 − 1) + 2(1 − 2)
=
( 1 − 2)
80
Keterangan:
n = Jumlah Sampel
berikut:
{1,96(0,70) + 1,64(0,667)}
=
(0,32)
(2,466)
=
0,102
n =59,6 ≈ 61 siswi
nx2
=6x2
= 122
81
4.4 Pengumpulan Data
dengan cara melakukanpengisian kuesioner, formulir FFQ dan Food Record. Data
primer yang diambil yaitu data tentang keterangan umur, kadar Hb,sosial ekonomi
menstruasi dan Kebiasaan makan meliputi asupan zat gizi dan frekuensi makan. Data
formulir Food Record dan frekuensi makan dengan formulir FFQ. Data kadar Hb
Data sekunder pada penelitian ini adalah jumlah keseluruhan siswa MTs
dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Instrument yang digunakan
dalam penelitian ini adalah ujikadar Hb, formulir FFQ, formulir Food Record dan
kuesioner.
82
anemia besi dapat menggunakan kadar Hb dalam darah (Farida dkk, 2004).
Uji kadar Hb dalam darah yang digunakan adalah Hb meter merk easytouch
(finger prick).
pendapatan orangtua, pendidikan orang tua dan pekerjaan orangtua) dan pola
menstruasi.
makanan yang dikonsumsi selama periode waktu tertentu (Gibson 1990 dalam
konsumsi sumber heme dan non heme, serta zat-zat gizi yang dapat
83
d. Metode survei konsumsi lainnya adalah Food Record. Food record digunakan
untuk mengetahui jumlah asupan energi, protein, vitamin C dan zat besi
tabulasi termasukdalam kerja memproses data. Membuat tabulasi tidak lain dari
memasukkan data kedalam tabulasi atau yang disebut entry data. Setelah dilakukan
data.
cara membuat tabel distribusi frekuensi dari setiap variabel, baik independen maupun
orangtua, dan pendidikan orangtua), pola menstruasi dan kebiasaan makan (asupan
zat gizi, dan frekuensi makan) dengan variabel dependen adalah anemia pada siswi.
Analisis bivariat dalam penelitian ini mengunakan uji statistik chi square dengan
84
bantuan program analisa datadan mengunakan derajat kepercayaan 95%. Bila nilai P
< 0,05 maka diartikan terdapat hubungan pada variabel yang diuji.
85
BAB V
HASIL
A. Motto
B. Visi
harapan murid, orang tua murid, penyerap lulusan, dan masyarakat dalam
pengetahuan dan teknologi serta informasi dan globlaisasi yang sangat cepat.
VISI :
“Terwujudnya peserta didik yang cerdas, kompetetitif, agamis dan percaya diri
berdasarkan nilai-nilai islam yang memiliki kesiapan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut”
86
Indikator visi:
secara utuh.
dalam masyarakat.
C. Misi
yang dikembangkan.
dan masyarakat.
D. Tujuan
spiritual.
87
bimbingan konseling sebagai upaya melahirkan peserta didik yang agamis,
data pada pagi hari kemudian dilanjutkan dengan pengisian kuesioner dan lembar
FFQ dilakukan pada hari Rabu-Kamis tanggal 15-16 September 2014, yang kedua
pengisian lembar Food Record pada hari Jumat-Senin tanggal 17-20 September 2014.
Pada pengumpulan data ini peneliti dibantu oleh 2 orang guru MTs Ciwandan.
lembar Food Record. Pengisian data dilakukan oleh seluruh siswi yang menjadi
penjelasan mengenai maksud, tujuan, dan cara mengisi kuesioner. Diharapkan dengan
penjelasan ini para siswi dapat menjawab isi kuesioner dengan lebih objektif.
88
Selanjutnya pengambilan kuesioner tersebut dilakukan pada hari yang sama, dengan
responden yang dalam hal ini adalah siswi MAN 2 Bogor. Tujuannya adalah agar
jangan sampai ada pertanyaan yang tidak dijawab, karena bila tidak melakukan
analisis.
Responden pada penelitian ini terdiri atas siswa perempuan (siswi) kelas VII,
VIII, dan IXI. Umur responden bervariatif antara 12 tahun sampai 15tahun dengan
presentase 0.8% (12 tahun), 25.2% (13 tahun), 34% (14 tahun), dan 8% (15 tahun).
Namun, sebagian besar responden berumur 13 tahun (34%) dan 14 tahun (32%).
Tujuan dari analisis univariat pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan
didapat dari penelitian ini adalah merupakan data primer yang dikumpulkan melalui
pengisian kuesioner oleh 123 siswi. Data univariat terdiri dari kejadian anemia,
menstruasi dan Kebiasaan Makan [asupan zat gizi (asupan energi, protein, asupan
89
5.4.1 Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Anemia Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
Frekuensi kejadian anemia remaja putri adalah anemia (hb < 12 gr/dl) dan
tidak anemia (hb > 12 gr/dl). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi responden
normal (Hb< 12 gr/dL) lebih banyak (69,1%) daripada responden anemia (hb <12
5.4.2.1 Pengetahuan
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014
90
Pengetahuan remaja putri adalah pengetahuan baik (menjawab soal benar ≥18
soal) dan pengetahuan kurang (menjawab soal benar <18 soal). Berdasarkan hasil
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Uang Jajan Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
Uang jajan perhari siswi adalah uang jajan tinggi (uang jajan ≥ Rp 5000) dan
uang jajan rendah (uang jajan < Rp 5000). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi
uang jajan tinggi lebih banyak daripada frekuensi uang jajan kurang sebanyak 80
responden (65%).
91
5.4.2.3 Pendapatan Orangtua
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Pendapatan Orangtua Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
(pendapatan >Rp 2.760.000) dan pendapatan orang tua rendah (pendapatan < Rp
(65%).
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Pendidikan Orangtua Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
92
Pendidikan orang tua adalah pendidikan orang tuatinggi (pendidikan > 9 tahun
atau tamat SMA dan atau tamat perguruan tinggi) dan pendidikan orang tua rendah
(pendidikan ≤ 9 tahun atau tamat SD dan atau tamat SMP). Berdasarkan hasil
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Pola Menstruasi Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
Pola haid adalah pola menstruasi normal (frekuensi menstruasi sebulan sekali,
lama menstruasi ≤ 6 hari dan ganti pembalut < 3 kali/sehari) dan pola menstruasi
tidak normal (frekuensi menstruasi diluar sebulan sekali, lama menstruasi>6 hari dan
ganti pembalut > 3 kali sehari). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi pola
menstruasi normal lebih banyak daripada frekuensi pola menstruasi tidak normal
93
5.4.4 Kebiasaan Makan
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Asupan Energi Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
Asupan energi adalah asupan energi baik (asupan energi ≥ 1487,5 kkal) dan
asupan energi tidak baik (asupan energi<1487,5 kkal). Berdasarkan hasil penelitian,
frekuensi asupan energi tidak baik lebih banyak daripada frekuensi asupan energi
94
5.4.4.1.2 Asupan Protein
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Asupan Protein Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
Frekuensi asupan protein adalah asupan protein baik (asupan protein ≥ 48,3g)
dan asupan protein tidak baik (asupan protein < 48,3g).Berdasarkan hasil penelitian,
Frekuensi asupan protein tidak baik lebih banyak daripada frekuensi asupan protein
Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Asupan Vitamin C Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
95
Asupan vitamin C adalah asupan vitamin C baik (asupan vitamin C ≥ 45,5mg)
dan asupan vitamin C tidak baik (asupan vitamin C< 45,5mg). Berdasarkan hasil
penelitian, frekuensi asupan vitamin C tidak baik lebih banyak daripada frekuensi
5.4.5.1.4 Asupan Fe
Tabel 5.10
Distribusi Frekuensi Asupan Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
Asupan fe adalah asupan fe baik (asupan energi ≥ 18,2 mg) dan asupan fe
tidak baik (asupan fe<18,2 mg). Berdasarkan hasil penelitian, Frekuensi asupan Fe
tidak baik lebih banyak daripada frekuensi asupan Fe sebanyak 100 responden
(81,3%).
96
5.4.4.2 Frekuensi Makan
Tabel 5.11
Distribusi Frekuensi Makan dalam Sehari Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
sehari) dan frekuensi makan tidak baik (frekuensi makan< 3 kali sehari). Berdasarkan
hasil penelitian, frekuensi makan dalam seharibaik lebih banyak daripada frekuensi
Tabel 5.12
Distribusi Frekuensi Makan Sumber Heme Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014
97
Frekuensi makan sumber heme adalah frekuensi makan sumber heme baik
(frekuensi makan sumber heme ≥ 2 kali sehari) dan frekuensi makan sumber heme
tidak baik (frekuensi makan sumber heme<2 kali sehari). Berdasarkan hasil
penelitian, frekuensi makan sumber heme baik lebih banyak daripada frekuensi
Tabel 5.13
Distribusi Frekuensi Makan Sumber non Heme Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
Frekuensi makan sumber non heme adalah frekuensi makan sumber non heme
baik (frekuensi makan sumber non heme ≥ 3kali sehari) dan frekuensi makan sumber
non heme tidak baik (frekuensi makan sumber non heme<3 kali sehari). Berdasarkan
hasil penelitian, frekuensi makan non heme baik lebih banyak daripada frekuensi
98
5.4.4.2.4 Konsumsi Makanan Peningkat absorpsi Fe
Tabel 5.14
Distribusi Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
99
5.4.4.2.5 Konsumsi Makanan Penghambat Absorpsi Fe
Tabel 5.15
Distribusi Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
seminggu) dan frekuensi makan penghambat absorpsi Fe tidak baik (frekuensi makan
makan sumber absorpsi Fe baik lebih banyak daripada frekuensi makan sumber
MTs Ciwandan tahun 2014. Untuk mencari hubungan antara variabel pengetahuan
siswi, uang jajan, pendapatan orangtua, pendidikan orang tua, pola haid, asupan zat
gizi (asupan energi, asupan protein, asupan vitamin C dan asupan Fe) dan frekuensi
100
makan dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi square dengan menggunakan
5.5.1 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
5.5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki pengetahuan kurang lebih
baik sebanyak 11 responden (17,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.002
(<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang
101
3,868 kali untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden
4.5.1.2 Hubungan antara Uang Jajan dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Hasil analisis hubungan antara uang jajan dengan kejadian anemia diperoleh
bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki uang jajan rendah lebih banyak
sebanyak 20 responden (46,5%) daripada siswi yang memiliki uang jajan tinggi
sebanyak 18 responden (22,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.008 (<0.05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna
antara uang jajan dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
memiliki uang jajan rendah memiliki peluang 2,995 kali untuk menderita anemia
defisiensi besi dibandingkan dengan responden yang memiliki uang jajan tinggi.
102
4.5.1.3 Hubungan antara Pendapatan Orangtua dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki
uji statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa
secara statistik ada hubungan yang bermakna antara pendapatan orangtua dengan
rendah memiliki peluang 6,245 kali untuk menderita anemia defisiensi besi
103
5.5.1.4 Hubungan antara Pendidikan Orangtua dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki
pendidikan orangtua rendah lebih banyak 27 responden (42,2%) daripada siswi yang
memiliki pendidikan orang tinggi sebanyak 11 responden (18,6%). Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0.006 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
ada hubungan yang bermakna antara pendidikan orangtua dengan kejadian anemia
remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR= 3,184 (95% Cl
memiliki peluang 3,184 kali untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan
104
5.5.2 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki pola
menstruasi tidak normal lebih banyak 37 responden (97,4%) daripada siswi yang
memiliki pola menstruasi normal sebanyak 1 responden (1,2%). Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
ada hubungan yang bermakna antara pola menstruasi dengan kejadian anemia remaja
15,690). Artinya responden dengan pola menstruasi tidak normal memiliki peluang
49,500 kali untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden
105
5.5.3 Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
5.5.3.1 Hubungan antara Asupan Zat Gizi dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
5.5.3.1.1Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki asupan
energi tidak baik lebih banyak 36 responden (38,3%) daripada siswi yang memiliki
asupan energi baik sebanyak 2 responden (6,9%). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0.001 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara asupan energi dengan kejadian anemia remaja putri.
Artinya responden dengan asupan energi tidak baik memiliki peluang 8,379 kali
106
untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden dengan
asupan energi.
Ciwandan
anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki asupan
protein tidak baik lebih banyak 33 responden (42,3%) daripada siswi yang memiliki
asupan protein baik sebanyak 5 responden (11,1%). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian anemia remaja putri.
Artinya responden dengan asupan protein tidak baik memiliki peluang 5,687 kali
107
5.5.3.1.3 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki asupan
vitamin C lebih banyak 38 responden (36,9%) daripada siswi yang memiliki asupan
vitamin C baik sebanyak 0 responden (0%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000
(<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang
bermakna antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan
responden dengan asupan vitamin C tidak baik memiliki peluang 1,585 kali untuk
vitamin C baik.
108
5.5.3.1.4 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki asupan Fe tidak baik
lebih banyak 36 responden (36%) daripada siswi yang memiliki asupan Fe baik
sebanyak 2 responden (8,7%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.011 (<0.05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna
antara asupan Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
asupan Fe tidak baik memiliki peluang 5,906 kali untuk menderita anemia defisiensi
109
5.5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Tabel 5.25
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia pada
Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki
frekuensi makan sehari tidak baik lebih banyak 14 responden (87,5%) daripada siswi
yang memiliki frekuensi makan sehari baik sebanyak 24 responden (22,4%). Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan sehari dengan kejadian
110
sehari tidak baik memiliki peluang 24,208 kali untuk menderita anemia defisiensi
besi dibandingkan dengan responden dengan frekuensi makan sehari yang baik.
Tabel 5.26
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia pada
Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang
memiliki frekuensi makan sumber heme tidak baik lebih banyak 25 responden
(86,2%) daripada siswi yang memiliki sumber heme baik sebanyak 13 responden
(13,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi
makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan
111
dengan frekuensi makan sumber heme tidak baik memiliki peluang 24,208 kali untuk
Tabel 5.27
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Sumber Non Heme dengan Anemia
pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
heme dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang
memiliki frekuensi makan non heme tidak baik lebih banyak 38 responden (97,8%)
daripada siswi yang memiliki frekuensi makan sumber non heme baik sebanyak 0
responden (0%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga
dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan sumber non heme dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai OR
112
sebesar 39.000 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan sumber non heme
yang kurang memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan
Tabel 5.28
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dengan
Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
peningkat absorpsi Fe dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi
pada siswi yang memiliki frekuensi makan peningkat Fe rendah lebih banyak 38
responden (0%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga
dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan peningkat absorpsi Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai
113
OR sebesar 13.667 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan peningkat
absorpsi Fe yang rendah memiliki resiko anemia 13 kali lebih besar dibandingkan
Tabel 5.29
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan
Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
terjadi pada siswi yang memiliki frekuensi makan penghambat Fe rendah lebih
penghambat Fe sebanyak 26 responden (66,7%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
114
anemia remaja putri. Nilai OR sebesar 12 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi
makan penghambat absorpsi Fe yang rendah memiliki resiko anemia 12 kali lebih
tinggi.
115
BAB VI
PEMBAHASAN
jajan, pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua), pola menstruasi dan kebiasaan
makan dengan kejadian anemia gizi besi siswi MTs Ciwandan. Keterbatasan
penelitian ini adalah beberapa faktor lain yang berhubungan dengan anemia yang
belum dapat diteliti dalam penelitian ini, karena perlu dilakukannya pengkajian secara
klinis yang merupakan diluar kemampuan peneliti seperti, penyakit infeksi yang
diderita (contohnya: malaria, TBC), faktor perdarahan kecelakaan, dan aktifitas fisik
anemia. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah penelitian ini hanya sampai
bersinergis dan faktor yang paling dominan mempengaruhi anemia perlu dilakukan
Dalam penelitian ini frekuensi makan sumber heme dan non heme serta
kelemahan yaitu sangat tergantung pada daya ingat remaja putri. Beberapa responden
menjawab pertanyaan kurang serius yaitu menjawab frekuensi makan tidak sesuai
116
dengan kenyataan yang menyebabkan penilaian terhadap frekuensi makan menjadi
tidak tepat.
dari setengah penduduk dunia usia pra sekolah dan wanita hamil berada di Negara-
negara yang mengalami anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat tingkat berat
dengan presentase sebesar 56,3% dan 57,5%. Sedang presentase wanita tidak hamil
yang mengalami anemia sebesar 29,6% (McLean, 2007). Anemia pada umumnya
pada kelompok sosio-ekonomi rendah. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45%
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count) (Bakta, 2006). Anemia adalah
keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah di
bawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan (Arisman, 2007). Menurut WHO,
kadar hemoglobin normal untuk anak usia 5-18 tahun adalah 12 mg/dl (Arisman,
117
Hasil dalam penelitian ini menunjukan bahwa responden yang berstatus
anemia adalah sebesar 30,9% sedangkan responden yang berstatus anemia sebesar
69,1%. Hasil pemeriksaan yang diperoleh pada waktu pelaksanaan penelitian berbeda
dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada saat studi pendahuluan yaitu 13%.
Hal ini karena adanya perbedaan variasi responden. Pada saat studi pendahuluan
responden yang diambil sampel adalah siswi kelas VIII sedangkan pada penelitian
responden adalah seluruh siswi kelas VII, VIII IX yang menjadi sampel sebanyak 123
responden.
Prevalensi pada penelitian ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
penelitian anemia oleh Nurul Barokah (2010), yang dilakukan pada remaja putri kelas
VII dan VIII SMP Muhammadiyah Tangsel adalah sebesar 62,9%. Namun lebih
tinggi bila dibandingkan denganAdriana 2010 yang dilakukan pada remaja putri
pemeriksaan kadar Hb. Pada penelitian Barokah (2010) dan Adriana (2010),
118
Penentuan Hb dengan cara ini memerlukan spektrofotometer yang harga dan
biaya pemeliharannya mahal, maka cara ini belum dapat dipakai secara luas di
kerusakan pada alatnya. Metode ini baik untuk dipakai dalam pemeriksaan kadar Hb
kadar Hb 10% lebih rendah dari hasil penentuan kadar Hb dengan metode
akurat jika dibandingkan penggunaan metode Sahli (Muhilal dan Saidin, 1980).
diukur pada panjang gelombang 540 nm atau filter hijau. Larutan Drabkin yang
Kelebihan dari metode ini adalah cara ini sangat bagus untuk laboratorium
rutin dan sangat dianjurkan untuk penerapan kadar hemoglobin dengan teliti karena
ini dapat mencapai kira-kira 2%. Kelemahan dari cara ini adalah kekeruhan dalam
119
menghasilkan absorbansi dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari sebenarnya
mana dapat dengan mudah di bawa dan sesuai untuk penelitian di lapangan karena
teknik untuk pengambilan sampel darah yang mudah dan pengukuran kadar
hemoglobin tidak memerlukan penambahan reagen. Alat ini juga memiliki akurasi
dan presisi yang tinggi berbanding metode laboratorium yang standar.Alat ini juga
stabil dan tahan lasak walaupun digunakan dalam jangka masa yang lama. Prinsip
metode ini adalah tindak balas darah dengan bahan kimia pada strip yang digunakan.
Bahan kimia yang terdapat pada strip adalah ferrosianida. Reaksi tindak balas akan
menghasilkan arus elektrik dan jumlah elektrik yang dihasilkan adalah bertindak
masyarakat.
berat.
120
Berdasarkan besarnya masalah kesehatan masyarakat tersebut, diketahui bahwa
presentase anemia dalam penelitian ini (30,9%) termasuk kedalam kategori masalah
kesehatan masyarakat tingkat sedang dan perlu dilakukan intervensi untuk menangani
masalah tersebut.
termasuk otak. Anemia juga bisa berakibat pada gangguan tumbuh kembang,
gangguan kognitif (belajar) serta penurunan fungsi otak, aktivitas fisik dan daya tahan
tubuh. Jika daya tahan tubuh menurun, maka resiko infeksi pun meningkat. Anemia
bisa terjadi saat masih bayi. Bila ini terjadi, tentunya bisa berdampak pada prestasi
mereka saat usia pra sekolah dan sekolah. Akibatnya, bisa terjadi gangguan
Hal ini sangat memerlukan perhatian dari pemerintah setempat untuk melakukan
siswi yang kadar Hb < 12mg/dl. Sebagaimana kita ketahui remaja putri sebagai calon
121
ibu sangat berperan nantinya dalam menentukan kualitas sumber daya manusia yang
akan datang.
Upaya penanggulangan anemia yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini
seimbang sesuai dengan kebutuhaan setiap individu dan kelompok sasaran melalui
nasehat gizi di meja 4 Posyandu dan di adakannya deteksi dini anemia remaja setiap
setahun sekali. Selain itu juga dilaksanakan pemberian zat besi bagi remaja putri
setiap setahun sekali disalah satu sekolah, dan kelompok sasaran yang paling rentan
yaitu ibu hamil di setiap posyandu. Pemberian zat besi merupakan suplementasi
Suplementasi besi atau pemberian tablet/sirup besi merupakan salah satu upaya
penting dalam pencegahan dan penanggulangan anemia, karena jenis anemia yang
terbanyak di Indonesia adalah “Anemia Gizi Besi”. Selain itu, suplementasi besi
merupakan cara yang efektif karena kandungan besinya padat dan dilengkapi dengan
asam folat yang sekaligus dapat mencegah dan menanggulangi anemia akibat
kekurangan asam folat. Cara ini juga efisien karena tablet besi harganya murah dan
sampai berat. Anemia sedang dan ringan dapat menimbulkan gejala lesu, lelah,
pusing, yang bila terjadi pada anak sekolah akan mengurangi kapasitas dan
122
kemampuan belajar. Sedangkan pada orang dewasa akan menurunkan produktivitas
kerja. Disamping itu penderita anemia akan mudah terserang penyakit infeksi.
Hal ini tentunya sangat merugikan dalam upaya pengembangan sumber daya
kurang gizi yang efektif dan murah sebagaimana yang dikatakan Guthrie (1995)
yaitu, fortifikasi dilakukan dengan menambahkan zat besi ke dalam bahan makanan
yang banyak di konsumsi masyarakat, terutama rawan terhadap kekurangan zat besi.
Selain itu, bahan makanan yang akan di fortifikasi harus tahan lama.
6.3 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
kesehatan masyarakat. Faktor yang dapat diukur dalam status ekonomi sosial adalah
pendapatan keluarga, pendidikan orang tua atau diri sendiri, dan status profesional
orang tua atau diri sendiri. Status kesehatan terkait dengan status sosial ekonomi.
Pendidikan juga sangat berhubungan dengan kesehatan menuju yang lebih baik,
pendidikan bisa merubah hasil kesehatan dan meningkatkan umur panjang dengan
mendorong untuk berperilaku hidup sehat dan demikian juga untuk mengurangi
kekayaan dapat menyediakan sumber daya yang lebih besar, dapat meningkatkan
akses perawatan medis yang lebih baik dan menyediakan kemampuan yang lebih
123
besar untuk melindungi diri terhadap risiko penyakit.Makin tinggi tingkat pendidikan,
pengetahuan dan ketrampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin
baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan
pelayanan kesehatan.
Vitamin dan mineral (salah satu nya adalah zat besi) akibat kemiskinan dan
Sehingga dapat disimpulkan akar masalah dari defisiensi zat besi adalah
karena adanya krisis ekonomi, politik, dan sosial, yang mana hal tersebut akan
masyarakat yang rendah akibat tidak stabil-nya keadaan negara. Misalnya seperti
mencolok antara masyarakat di Negara kaya dan negara miskin, antar masyarakat di
berbagai wilayah di dalam suatu Negara, dan antar masyarakat dengan berbagai
latarbelakang status sosial ekonomi. Padahal kesehatan merupakan hak asasi manusia,
124
yang seharusnya tidak memihak kepada status sosial ekonomi tertentu. Data WHO
(World Health Organization) sekitar 2 milyar penduduk, atau lebih dari 30% populasi
tinggi. Sekitar 370 juta jiwa wanita di Negara berkembang mengalami anemia
yang berasal dari diri seseorang seperti usia, jenis kelamin, dan keyakinan serta faktor
ekstrindsik, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri seseorang seperti tingkat
kebudayaan.
berpengaruh terhadap asupan besi seseorang yang bersumber dari daging, ikan dan
berkembang adalah keadaan sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan
orang tua dan penghasilan yang rendah serta keadaan kesehatan lingkungan yang
buruk. Menurut Suhardjo (1989) bahwa rendahnya tingkat konsumsi disebabkan oleh
tentang gizi dan pangan kurang, faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan
rendah, besar keluarga tinggi, tingkat pengetahuan rendah serta faktor budaya
setempat yang tidak mendukung antara lain masih terdapat pantangan, tahayul, tabu
dalam masyarakat.
125
Peran pemerintah untuk program gizi masyarakat dengan tujuan
angka kurang zat besi di masyarakat terutama pada kelompok rentan masalah gizi
seperti bayi, balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil, dan menyusui, serta usia lanjut
masih tetap menjadi masalah.Kebutuhan zat besi pada remaja juga megalami
peningkatan kebutuhan yang cukup besar selama pubertas, pada remaja putri, awal
banyak zat besi untuk menggantikan zat besi yang hilang bersama darah haid. Prinsip
dasar dalam pencegahan anemia karena defisiensi zat besi adalah memastikan
konsumsi zat besi secara teratur untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan meningkatkan
6.3.1 Hubungan Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Pada variabel pengetahuan dalam penelitian ini dilihat dari semua jawaban
yang benar dikategorikan menjadi skor yang tinggi jika jawaban lebih atau sama
dengan nilai median (≥18 soal), dan rendah jika kurang dari nilai median atau < 18
pengetahuan baik pada siswi MTs, hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian
Farida (2007) yang menyatakan bahwa sebagian siswi yang memiliki pengetahuan
126
Pada penelitian ini, variabel pengetahuan bertujuan untuk mengetahui
mengenai anemia, dimana siswa mendapat penyuluhan anemia (jika siswi pernah
sumber zat besi serta makanan yang membantu dan menghambat penyerapan zat besi.
sedangkan melalui media massa paling sering melalui televisi sebanyak 22%, melalui
5%, dan siswa melalui selembaran dan sebagainya. Pada umumnya siswa belum
pernah mengikuti penyuluhan mengenai anemia. Hal ini menjadi salah satu bukti
pelosok desa.
Lemah dan Lunglai), sebanyak 90% siswi sudah mengetahui gejala anemia dengan
benar. Sebagian besar, siswi sudah mengetahui penyebab anemia yaitu akibat kurang
disebabkan pendarahan (nifas dan menstruasi) serta frekuensi makan yang kurang.
127
Sebanyak 85% siswi telah mengetahui penyebab anemia karena kurang makan
pendarahan (nifas dan haid) sebanyak 37% siswi telah mengetahuinya, namun
sebagian besar siswi belum mengetahui penyebab lain anemia karena penyakit
sebanyak 75% saja siswi yang telah mengetahui kadar hemoglobin normal.
Kemudian jika sesorang telah memiliki kadar hemoglobin kurang dari 12g/dl
mengurangi semangat beraktivitas, tubuh menjadi cepat lelah dan malas, kepala
anemia mengakibatkan tubuh menjadi cepat lelah dan malas, dan sebanyak 71% siswi
konsumsi tablet tambah darah sebanyak 95%, namun hanya 10% saja siswi yang
pernah mengkonsumsi tablet tambah darah. Selain itu dengan konsumsi sumber zat
besi juga dapat menanggulangi dan mencegah anemia terutama sumber protein
hewani (daging sapi, kambing, ayam, hati dan sebagainya) serta sumber makanan
yang dapat membantu penyerapan Fe dalam usus halus (salah satunya sumber
vitamin C) dan sumber makanan penghambat penyerapan Fe adalah kopi dan teh,
128
namun siswi belum mengetahui sumber zat besi dalam makanan hanyak sebanyak
25% saja yang telah mengtahui, sebanyak 27% siswi telah mengetahui vitamin C
dapat membantu penyerapan zat besi dan sebanyak 15% sisiwi mengetahui kopi dan
responden yang berstatus anemia defisiensi besi dan memiliki pengetahuan kurang
baik (45%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia lebih banyak pada
individu. Jika seseorang memiliki pengetahuan gizi yang baik, maka cenderung untuk
memilih makanan yang bernilai gizi tinggi. Selain itu, pengetahuan gizi dapat
2007).
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan tentang anemia pada remaja diperoleh dari berbagai sumber,
misalnya media massa, media elektronik, petugas kesehatan, kerabat terdekat, dan
129
lain sebagainya. Secara langsung panca inderanya yaitu penglihatan, pendengarannya
Hasil uji statistic menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
memiliki pengetahuan tentang anemia kurang, memiliki peluang 3,868 kali untuk
penelitian Yasmin (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
kurang lebih banyak menderita anemia (83,3%) dibandingkan dengan remaja dengan
pengetahuan baik 46,5%. Pengetahuan dapat mengubah perilaku dan sikap yang
kemudian akan melahirkan kesadaran diri dalam memilih bahan makanan yang sehat
dan bergizi (terutama sumber zat besi) dan menghindari makanan dan minuman yang
pengetahuan siswi yang baik tentang anemia gizi diharapkan dapat memberikan
sumbangan terhadap sikap dan perilaku positif dalam pemilihan bahan makanan yang
bermanfaat bagi kesehatan terutama dalam mencegah rendahnya kadar Hb. Misalnya
130
perilaku siswi dalam mengkonsumsi makanan seimbang dengan pola makan teratur
setiap hari.
yaitu yang pertama rendahnya tingkat pendidikan seseorang, yang kedua tidak ada
dan ketiga kurangnya frekuensi kegiatan edukasi oleh tenaga kesehatan setempat.
Remaja yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk
Namun, tak jarang jika seseorang sudah berpengetahuan baik tentang asupan
makan sesuai gizi seimbang tapi ia terkena anemia. Hal ini dikarenakan kurangnya
kesadaran dalam menerapkan informasi pada kehidupannya sehari-hari. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Harper (1985) dan Suhardjo (2003) yang
menyatakan penyebab penting dari gangguan gizi selain kemiskinan dan persediaan
yang tinggi tetapi tidak disertai dengan perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-
hari tidak akan berpengaruh pada keadaan gizi individu tersebut. Hal ini terjadi
131
diri dengan memilih makanan yang tidak mengandung banyak energi, tidak mau
makan pagi serta kebiasaan menunda waktu makan. Mereka cenderung lebih memilih
konsumsi diet tanpa lemak atau hanya konsumsi buah-buahan daripada makanan
sehat.
Oleh karena itu penting sekali adanya pendidikan gizi dari berbagai pihak
dalam revitalisasi kegiatan UKS dan PMR untuk melakukan penajaringan siswi yang
mempunyai masalah kesehatan (anemia) sebagai deteksi dini serta kegiatan edukasi
gizi untuk merubah perilaku siswa terutama dalam mengkonsumsi makanan sehat dan
bergizi.
6.3.2 Hubungan Uang Jajan dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan.
Pada penelitian ini uang jajan yang diberikan oleh orangtua untuk anak per
hari maksimal Rp 12.000 dan minimal Rp 3.000. untuk mengetahui siswi memiliki
uang jajan yang rendah atau tinggi, pada penelitian ini menggunakan nilai median Rp
5.000. Sehingga uang jajan dikatakan tinggi jika lebih dari Rp 5000 dan dikatakan
rendah apabila kurang dari Rp 5000. Berdasarkan hasil penelitian responden yang
memiliki uang jajan rendah sebanyak (35%). Sedangkan responden yang miliki uang
132
jajan tinggi sebanyak (65%). Hal ini menunjukkan sebagian besar siswi MTs
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
yang memiliki uang jajan kurang (22,5%) daripada responden yang memiliki uang
jajan tinggi (46,5%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi
besi lebih sedikit pada responden yang memiliki uang jajan kurang (53,5%) daripada
Menurut Ariyanti (2005) yang menyatakan bahwa besaran uang jajan adalah
uang dalam rupiah yang diberikan orangtua setiap hari untuk keperluan jajan. Uang
makanan fast food. Makanan fast food yang sering di gemari siswi MTs Ciwandan
adalah makanan banyak mengandung kalori tinggi karena berbahan dasar tepung dan
di olah dengan cara di goreng seperi cimol, cilok, bakso goreng (basreng), gorengan
tempe, gorengan ubi, batagor, siomay, bakwan, mie instan, mie ayam dan sebagainya.
Secara umum makanan cepat saji mengandung kalori, kadar lemak, gula dan sodium
(Na) yang tinggi tetapi rendah serat, vitamin A, asam akorbat, kalsium, Fe dan folat.
Oleh karena itu, jika siswi sering mengkonsumsi makanan fast food maka angka
kecukupan vitamin dan mineral terutama zat besi (Fe) tidak tercukupi.
133
Seperti yang dijelaskan (NHCS, 1976 dalam Linda, 2003), Kebiasaan makan
anak sekolah rata-rata tidak lebih dari tiga kali sehari dan yang disebut dengan
makanan bukan hanya dalam konteks mengkonsumsi makanan pokok saja, tetapi
menambahkan dalam Heriyana (2004) yaitu jenis makanan jajanan yang banyak
dibeli oleh anak-anak sekolah pada umumnya adalah makanan lengkap. Dilihat dari
segi gizi pada umumnya makanan tersebut mengandung zat gizi yang padat akan
energi tetapi kurang mengandung zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.
Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara uang jajan dengan status anemia defisiensi besi. Berdasarkan perhitungan risk
jajan kurang, memiliki peluang 2,995 kali untuk menderita anemia defisiensi besi
Barokah (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara uang
jajan dengan kejadian anemia, dengan nilai (p<0,05). Diketahui bahwa remaja putri
dengan uang jajan rendah memiliki resiko anemia 3 kali lebih besar dibanding dengan
remaja putri dengan uang jajan tinggi/ cukup. Kebiasaan jajan remaja mendorong
remaja memilih jajanan yang mereka suka dan sesuai dengan uang jajan mereka,
semakin rendah uang jajan maka akan semakin rendah konsumsi zat gizinya,
ditambah lagi dengan kebiasaan remaja yang mengkonsumsi jajanan fast food yang
rendah akan asupan gizi (terutama energi, protein, vitamin C dan Fe).
134
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Insel et al (2006) dalam Wulandari
(2007) menyatakan bahwa remaja yang telah diberi kepercayaan untuk mengelola
uang sakunya sendiri cenderung memiliki kebebasan untuk memilih sesuka hatinya.
Kebebasan memilih makanan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi anemia
cenderung untuk membeli apapun yang disukai atau menarik menurut mereka, tanpa
yang salah pada akhirnya dapat berpengaruh pada status anemia mereka.
Menurut teori Berg (1986) yang mengatakan bahwa uang yang dimiliki oleh
memilih makanan sesuatu dengan uang saku mereka. Uang saku yang cukup besar,
pertimbangan prestise dan juga dengan harapan akan diterima di kalangan peer group
mereka. Makanan yang biasa dipilih adalah fast food dengan pertimbangan harganya
juga tidak terlalu mahal. Peluang untuk menjadi konsumen makanan sesungguhnya
akan sangat ditentukan oleh daya beli keluarga atau orang tua anak, karena keputusan
konsumsi untuk anak sangat dipengaruhi oleh daya beli (Sumarwan, 2007)
diantaranya: anak tidak sarapan pagi, faktor psikologis seperti anak melihat temannya
jajan sehingga dia ingin seperti temannya, faktor biologis anak perlu dipenuhi
walaupun dirumah sudah makan tetapi tambahan makanan dari jajan masih
diperlukan oleh anak karena kegiatan fisik di sekolah yang memang memerlukan
135
tambahan energi, dan faktor perilaku orang tua yang biasa memberikan uang jajan
biasa, bahkan sebagian orang tua menganggap biasa memberikan uang jajan kepada
ditunjang oleh uang saku yang telah diberikan orang tuanya diharapkan semakin
besar alokasi uang saku untuk makanan jajanan semakin tinggi konsumsi energi,
protein, zat besi, dan vitamin A. Namun, remaja lebih cenderung konsumsi makanan
yang disukai saja yaitu makanan fast food serta sesuai trend makanan saat itu di
kalangan remaja. Oleh karena itu, perlu adanya peran ibu yang dapat menyiapkan
sarapan di pagi hari serta bekal makan siang agar asupan gizi terpenuhi dan kualitas
Ciwandan
Pendapatan orang tua dalam penelitian ini adalah jumlah uang yang
didapatkan dari hasil bekerja ibu dan bapak di keluarga tersebut. Pendapatan rata-rata
orang tua dalam penelitian ini di bagi menjadi dua kategori yaitu pendapatan rendah
jika kurang dari UMR (< Rp 2,760,000) dan pendapatan tinggi jika ≥ Rp 2,760,000.
orang tua rendah (67,5%), lebih banyak daripada responden yang memiliki
136
Sebagian besar pekerjaan orangtua bekerja sebagai buruh baik itu buruh
bangunan sebanyak 24% maupun buruh (karyawan) pabrik sebanyak 36%, sebagai
guru sebanyak 25%, karyawan swasta sebanyak 15% dan pekerjaan lainnya (selain
yang disebutkan diatas) 10%. Kota cilegon merupakan kota industri karena banyak
sekali pabrik-pabrik terutama pabrik baja dan pabrik kimia, oleh karena itu tak heran
sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh pabrik. Selain itu pekerjaan
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih sedikit pada responden
yang memiliki pendapatan orang tua rendah (10%) daripada responden yang memiliki
pendapatan orang tua tinggi (41%). Sedangkan responden yang tidak berstatus
anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden yang memiliki pendapatan orang
tua tinggi (90%) dari pada responden yang memiliki pendapatan orang tua rendah
sebanyak (59%).
dapat meningkatkan daya beli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik
untuk keluarga, semakin tinggi pendapatan maka akan semakin baik kualitas dan
kuantitas konsumsi pangan yang disediakan dalam keluarga. Hal ini berpengaruh
terhadap status kesehatan setiap individu dalam keluarga termasuk kebutuhan akan
137
ibu perhari yang berdampak pada penurunan status gizi. Gangguan gizi yang umum
pada perempuan adalah anemia, karena secara fisiologis mengalami menstruasi tiap
bulan. Sumber makanan yang diperlukan untuk mencegah anemia umumnya berasal
dari sumber protein yang lebih mahal, dan sulit terjangkau oleh mereka yang
remaja. Anemia berperan terhadap tingginya angka kematian ibu hamil dan semakin
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara
pendapatan orang tua dengan kejadian anemia defisiensi besi pada siswi MTs
19,174). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan tingkat pendapatan
keluarga yang rendah memiliki risiko 6,245 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian anemia.
penelitian Farida (2007), berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan
antara pendapatan orang tua dengan kejadian anemia pada remaja putri. Sebanyak
68,8% remaja putri dengan pendapatan orang tua rendah memiliki kadar Hb kurang
daya beli keluarga, baik daya beli terhadap makanan maupun daya beli terhadap
138
Farida (2007) menambahkan bahwa perubahan pendapatan secara langsung
pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan
penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli, yang dapat
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat gizi, salah satunya tidak
terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat besi, sehingga dapat berdampak timbulnya
kejadian anemia.
Pada umumnya penduduk Indonesia, yang sebagian besar terdiri atas petani,
singkong dan ubi jalar), dan sagu (Almatsier, 2001). Oleh karena itu, makanan yang
beraneka ragam itu mempunyai peran yang penting karena tidak ada satu jenis
makanan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap. Konsumsi
makanan yang beraneka ragam, akan menghindari terjadinya kekurangan gizi, karena
susunan zat gizi pada makanan saling melengkapi antara satu jenis makanan dengan
memenuhi konsumsi makanan dari segi kuantitas dari jenis makanan pokok yang
mineralnya.
139
Pola konsumsi makanan bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya
ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun
(protein), dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Makanan yang beraneka
ragam sangat penting karena tidak ada satu jenis makanan yang dapat menyediakan
jumlah dan kualitas makanan ibu perhari yang berdampak pada penurunan status gizi.
Gangguan gizi yang umum pada perempuan adalah anemia, karena secara fisiologis
mengalami menstruasi tiap bulan. Sumber makanan yang diperlukan untuk mencegah
anemia umumnya berasal dari sumber protein hewani yang lebih mahal, dan sulit
terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga perlu adanya bahan
penukar sumber zat besi dari protein nabati dan sayuran yang lebih terjangkau
sumber zat besi non heme (protein nabati dan sayuran) hanya 5-10% saja yang
mampu diserap oleh usus halus. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan sumber
zat besi non heme, contoh sumber vitamin C dari buah-buahan yang mudah dan
terjangkau harganya adalah papaya. Oleh karena itu perlu adanya pengetahuan dan
keterampilan ibu dalam menyediakan menu sehari yang bergizi serta perlunya
beberapa upaya perbaikan gizi dari pemerintah yang berorientasi pada pemberdayaan
140
6.3.4 Hubungan Pendidikan Orangtua dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
pernah di tempuh ibu dan bapak di keluarga tersebut. Pendidikan orangtua dalam
penelitian ini di bagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan rendah jika pendidikan
formal ditempuh kurang dari 9 tahun (tidak tamat SD atau tidak tamat SMP) dan
pendidikan tinggi jika pendidikan formal ditempuh 9 tahun dan atau lebih dari 9
tahun (Tamat SMP atau tamat SMA atau tamat Perguruan tinggi). Berdasarkan
(52%), lebih banyak daripada responden yang memiliki pendidikan orangtua tinggi
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih sedikit pada responden
yang memiliki pendidikan orangtua tinggi (18,6%) daripada responden yang memiliki
anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden yang memiliki pendidikan
bahan/materi pendidikan oleh pendidikan kepada sasaran pendidik (anak didik) guna
141
pengetahuan yang dimilki oleh ibu. Pendidikan merupakan hal yang penting yang
dapat mempengaruhi pola pikir seseorang termasuk dalam tindakan sesorang dalam
memilih dan mengolah bahan makanan yang mengandung zat besi (Notoadmodjo,
bermakna antara pendidikan orang tua dengan kejadian anemia defisiensi besi pada
siswi MTs Ciwandan. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR=3,184 (Cl
1,400-7,243). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan tingkat pendidikan
orang tua yang rendah memiliki risiko 3,184 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian anemia.
ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian anemia pada remaja
RP=1,778). Hal ini menunjukkan bahwa responden yang mempunyai ibu dengan
tingkat pendidikan rendah memiliki risiko 1,778 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian anemia. Ibu memegang peranan penting dalam hal mendidik dan merawat
indikator status gizi seseorang dan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
142
Pengetahuan seorang ibu sangat diperlukan dalam menentukan, mengelola
pendidikan (lama sekolah) ibu, semakin mudah menerima hidup sehat secara mandiri,
tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan semakin tinggi pula tingkat pendidikan
atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain,
Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menyerap berbagai informasi
gizi dan lebih cenderung dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari karena
kesadarannya yang tinggi sebab berbagai informasi gizi yang telah di terimanya.
pendidikan tinggi akan lebih mudah dalam menerima berbagai informasi gizi dan
143
mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan menambah
wawasan pengetahuan ibu tentang gizi. Pengetahuan gizi menjadi pedoman penting
utama dalam menunjang ekonomi keluarga, juga berperan dalam menyusun makanan
keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat
khususnya bidang gizi, sehingga tidak dapat menambah pengetahuan dan tidak
kaitannya dengan kesadaran akan kunjungan pada pelayanan kesehatan terdekat. Tak
jarang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah segan untuk pergi ke pelayanan
kesehatan terdekat atau pusat pelayanan kesehatan, karena terhalang jarak yang jauh
dan keterbatasan ekonomi. Dalam hal ini pemerintah harus ikut andil dalam
memiliki peran utama dalam memperhatikan kesehatan jasmani dan rohani putra
putrinya. Apabila pendidikan ibu tinggi maka akan semakin tinggi pula kesadaran
semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi
144
kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat
penyediaan konsumsi pangan dalam keluarga karena pada dasarnya seorang ibulah
yang berperan utama dalam menyediakan bahan makanan yang sehat dan bergizi
kesehatan yang tersedia. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran ibu untuk mencari
informasi masalah kesehatan dari berbagai media seperti televisi, radio, internet dan
sebagainya serta sebaiknya ibu aktif bertanya kepada petugas kesehatan terdekat
minimal ke posyandu dan puskemas baik mengenai tumbuh kembang anak, makanan
bergizi yang baik untuk anak sesuai usianya dan masalah kesehatan lainnya untuk
putera putrinya.
6.4 Hubungan Pola Menstruasi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Kehilangan zat besi di atas rata-rata dapat terjadi pada remaja putri dengan
pola menstruasi yang lebih banyak dan waktunya lebih panjang. Pola Haid dalam
penelitian ini adalah frekuensi menstruasi, lama menstruasi dan frekuensi ganti
sekali, lama menstruasi ≤ 6 hari dan ganti pembalut ≤5 kali/hari, sedangkan dikatakan
tidak normal apabila frekuensi haid lebih dari sebulan sekali, lamanya haid lebih dari
145
Bedasarkan penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami pola
menstruasi tidak normal sebanyak (35%) dengan spesifikasi sebagai berikut: seluruh
mengalami menstruasi lebih dari 6 hari sehanyak 23,7%; responden yang ganti
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih sedikit pada responden
anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden yang mengalami haid normal
(93,8%) daripada responden yang mengalami haid tidak normal sebanyak (23,3%).
Remaja putri memiliki risiko lebih besar untuk terkena anemia karena
semakin banyak darak keluar dari tubuh. Hal ini akan mengakibatkan pengeluaran
besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Depkes RI, 1998).
kehilangan besi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan yang memiliki pola
menstruasi teratur. Frekuensi dan lama menstruasi yang tidak teratur dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya yaitu stres, perubahan berat badan, olah raga yang
146
Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan
bermakna antara pola haid dengan kejadian anemia defisiensi besi pada siswi MTs
156,165). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan pola haid tidak normal
memiliki risiko 49,5 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia.
bahwa siswi dengan lama menstruasi dibawah rata-rata memiliki kadar hemoglobin
yang cenderung diatas rata-rata sedangkan pada siswi dengan lama menstruasi lebih
dari rata-rata lama menstruasi memiliki kadar hemoglobin yang cenderung di bawah
kadar hemoglobin pada remaja putri. Keadaan ini dibuktikan dengan analisis data
didapatkan r sebesar -0,624 (>0,361) dan p sebesar 0,000 (<0,05) hubungan yang
negatif antara lama menstruasi dengan kadar hemoglobin artinya semakin lama
menstruasi seorang remaja siswi akan semakin rendah kadar hemoglobinnya. Hal ini
disebabkan karena pada remaja siswi dengan lama menstruasi yang lebih panjang
pengeluaran darah yang dialami cenderung lebih banyak dan pengeluaran zat besi
Pada keadaan normal dan defisiensi zat besi tubuh seseorang mengabsorpsi
zat besi berbeda, semakin tubuh seseorang defisit akan zat besi maka akan semakin
banyak mengabsorpsi zat besi. Artinya pada saat defisit zat besi tubuh kita sangat
membutuhkan zat besi lebih banyak dari pada seseorang dengan simpanan zat besi
dalam jumlah normal. Ditambah lagi dengan keadaan seseorang yang sedang
menstruasi. Pada saat menstruasi zat besi ikut serta hilang bersama keluarnya darah.
147
Apabila seseorang tidak menyeimbangi asupan makanan sumber zat besi saat
menstruasi secara kuantitas. Bahkan seorang wanitapun sulit untuk mengukur sendiri
patokannya, suatu perdarahan disebut tidak normal jika perdarahan yang terjadi lebih
dari enam hari dan pembalut yang digunakan perperiode lebih dari 12 potong.
menarche, jika darah yang keluar selama menstruasi sangat banyak (banyak yang
tidak sadar kalau darah menstruasinya terlalu banyak) akan terjadi anemia defisiensi
zat besi, karena jumlah darah yang hilang selama satu periode haid berkisar 20-25 cc,
jumlah ini menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12,5-15 mg/bulan, atau kira-kira
sama dengan 0,4-0,5 mg/hari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan
basal, jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1,25 mg/hari.
Hal ini lebih dijelaskan oleh Hudges (1995) yaitu tentang pengeluaran zat
besi. Dalam diet sehari-hari, rata-rata terkandung 10-20 mg zat besi perhari.
Seseorang dengan simpanan zat besi dalam jumlah normal akan mengabsorbsi besi
kira-kira 5-10% dari jumlah total masukan, yaitu sekitar 0,5-2mg setiap harinya.
Sedangkan untuk seseorang dengan defisiensi zat besi akan mampu menyerap sampai
dengan 50% dari total masukan zat besi atau sekitar 5-10 mg. Tidak ada mekanisme
spesifik untuk ekskresi zat besi, namun tidak dapat dihindari hilangnya zat besi
sehari-hari sebagai akibat eksfoliasi usus halus dan sel-sel epitel kulit dimana pada
semua sel ini terdapat enzim-enzim yang mengandung zat besi. Rata-rata kehilangan
148
zat besi setiap hari pada orang normal adalah sekitar 0,6-1 mg. Sedangkan pada
wanita menstruasi kehilangan zat besi bisa mencapai 42 mg setiap siklus, dengan
demikian maka zat besi dalam darah akan menjadi sangat rendah sehingga kadar
wanita menstruasi akan memperbesar faktor resiko remaja putri mengalami anemia
karena pada saat menstruasi terjadi kehilangan zat besi, semakin banyak dan lama
menstruasi maka semakin banyak zat besi yang ikut hilang dan jika hal tersebut
Oleh karena itu pada saat menstruasi remaja sangat membutuhkan lebih
banyak zat besi. Saat ini sudah banyak suplemen zat besi yang mudah di dapat dan
terjangkau harganya di apotik terdekat, minimal konsumsi tablet tambah darah sekali
dalam seminggu pada saat haid. Selain itu, perlu mengimbangi dengan konsumsi
mengkonsumsi makanan yang beragam dalam menu sehari. Sesuai yang dianjurkan
PUGS 2014 yaitu porsi karbohidrat 3-8 porsi sehari, protein hewani 2-3 porsi sehari,
protein nabati 3-5 porsi sehari dan buah-buahan 2-3 porsi sehari.
6.5 Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
6.5.1 Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
149
kuantitatif akan menyebabkan terjadinya gangguan proses metabolisme tubuh, yang
tentunya mengarah pada timbulnya suatu penyakit. Demikian pula sebaliknya apabila
konsumsi berlebihan tanpa diimbangi suatu kegiatan fisik yang cukup, gangguan
tubuh juga akan timbul. Jadi dalam hal konsumsi makanan yang perlu diperhatikan
adalah kecukupan agar didapatkan suatu fungsi tubuh yang optimal (Sayogo dalam
Royani, 2006)
membantu meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh. Absorpsi besi yang
efektif dan efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C.
Sifat yang dimiliki vitamin C adalah sebagai promotor terhadap absorpsi besi dengan
cara mereduksi besi ferri menjadi ferro. Vitamin A memiliki peran dalam
dan simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan untuk eritropoesis (Kirana, 2011).
6.5.1.1 Hubungan Asupan Energi dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
rendah atau asupan energi <1487,5 kkal sebanyak (76,4%), lebih banyak daripada
responden dengan konsumsi energi baik atau asupan energi ≥ 1487,6 kkal (23,6%).
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
dengan asupan energi rendah (38,3%) daripada responden dengan asupan energi
cukup (6,9%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi
150
(normal) lebih sedikit pada responden dengan asupan energi rendah (61,7%) daripada
yang kurang dan porsi dalam setiap makan. Sebagian besar responden frekuensi
makan dalam sehari adalah kurang dari 3 kali sehari sebanyak 83% sedangkan
responden dengan frekuensi makan 3 kali sehari sebanyak 17%. Asupan energi
berasal dari asupan karbohidrat dari jenis nasi, asupan karbohidrat yang di anjurkan
dalam sehari adalah 3-5 porsi. Sebagian besar responden mengkonsumsi karbohidrat
sebanyak 3 porsi dalam sehari yaitu 78%, konsumsi karbohidrat 4 porsi sebanyak
13% dan konsumsi karbohidrat 5 porsi perhari sebanyak 9%. Asupan energi berasal
dari asupan karbohidrat dari jenis mie, sebagian besar responden mengkonsumsi 1-2
porsi dalam sehari sebanyak 47%, sedangkan dari jenis singkong dan ubi 1 porsi
Kecukupan Gizi 2012 adalah 2000 kkal, sedangkan usia 13-15 adalah 2125 kkal.
Rata-rata konsumsi energi pada siswi MTs Ciwandan adalah sebanyak 1213 kkal,
sedangkan konsumsi energi < 2125 kkal adalah sebanyak 80,5%. Dapat disimpulkan,
konsumsi energi pada siswi MTs masih banyak yang belum mencukupi nilai yang
dianjurkan.
Zat gizi yang dapat menghasilkan energi diperoleh dari karbohidrat, lemak
dan protein. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, di samping
151
membantu pengaturan metabolisme protein. Kecukupan karbohidrat di dalam diet
akan mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Sehingga fungsi protein
dalam proses pengangkutan zat gizi termasuk besi ke dalam se-sel tidak terganggu
(Arisman, 2004).
Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
asupan energi dengan kejadian anemia remaja putri. Pengaruh energi terhadap anemia
anemia pada remaja putri dengan tingkat konsumsi energi yang rendah lebih besar
dibanding mereka yang memiliki tingkat konsumsi energi baik. Hasil uji statistik
menunjukkan ada hubungan dengan tingkat konsumsi energi dengan kejadian anemia
(Cl 1,878-37,378). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan asupan energi
rendah memiliki risiko 8,379 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia.
Kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan kekurangan zat gizi lainnya
dan begitu pula dengan penyerapan dan metabolisme zat gizi saling terkait antara satu
zat gizi dengan zat gizi lainnya. Rendahnya asupan energi dan protein dapat
menimbulkan masalah kurang energi dan protein (KEP). KEP dapat menurunkan
daya tahan tubuh terhadap infeksi. Penyakit infeksi yang sering terjadi pada penderita
kurang gizi adalah penyakit saluran pernafasan dan saluran pencernaan, penyakit ini
dapat mengakibatkan gangguan dalam penyerapan zat gizi makanan, salah satunya
Fe, bila terdapat gangguan penyerapan Fe, maka akan terjadi anemia.
152
Krummel (1996), menyatakan bahwa energi merupakan zat gizi utama, jika
asupan energi tidak terpenuhi sesuai kebutuhan maka kebutuhan akan zat gizi lainnya
seperti protein, vitamin, mineral juga sulit terpenuhi. Begitu pula menurut Khumaidi
(1989), untuk menilai kecukupan konsumsi pangan adalah dengan menilai kecukupan
konsumsi energi dan protein. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein
sudah terpenuhi dan dikonsumsi dari beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi
Secara umum dari berbagai referensi di atas dapat disimpulkan, jika konsumsi
energi dan protein dari beraneka ragam makanan cukup maka biasanya kecukupan zat
gizi lainnya juga akan terpenuhi. Apabila asupan energi cukup dari sumber pangan
karbohidrat, maka tubuh tidak akan mengubah protein untuk menghasilkan energi.
Protein adalah zat yang mempunyai pengaruh dan peran yang penting terhadap
pembentukan sel sarah merah. Protein memiliki peran mengangkut zat besi menuju
ke sumsum tulang untuk membentuk molekul hemoglobin yang baru. Zat besi
merupakan unsur yang penting dalam pembentukan sel darah merah. Apabila protein
tubuh. Oleh karena itu, asupan energi perlu ditingkatkan kecukupannya agar
metabolisme tubuh tidak terganggu, minimal dengan makan 3 kali sehari serta porsi
yang cukup berdasarkan anjuran PUGS 2014 konsumsi karbohidrat 3-5 porsi perhari.
153
6.5.1.2 Hubungan Asupan Protein dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
protein rendah atau asupan protein <48,3mg (63,4%) lebih banyak dari pada
responden dengan asupan protein baik atau asupan protein ≥ 45,5mg (36,6%).
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
dengan asupan protein rendah (42,3%) daripada responden dengan asupan protein
baik (11,1%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi
(normal) lebih sedikit pada responden dengan asupan protein rendah (57,7%)
Asupan protein dapat diperoleh dari protein hewani maupun nabati. Protein
hewani yang paling banyak dikonsumsi responden adalah daging ayam, daging sapi,
telur, dan ikan. Anjuran konsumsi protein hewani menurut PUGS 2014 adalah 2-3
porsi perhari. Asupan protein dari jenis daging ayam dikonsumsi sebanyak 1-2 porsi
perhari sebanyak 25%, sedangkan lebih dari 2 porsi perhari sebanyak 1%; asupan
protein dari jenis daging sapi 1-2 porsi sebanyak 8%; asupan protein dari jenis telur
ayam 1-2 porsi sebanyak 36%, sedangkan lebih dari 2 porsi 2%; asupan protein dari
jenis ikan 1-2 porsi perhari sebanyak 44%, sedangkan lebih dari 2 porsi perhari 18%.
tempe dan tahu. Asupan protein nabati dari jenis tempe 1-2 porsi sehari sebanyak
48%, sedangkan lebih dari 3 porsi sebanyak 10% dan asupan protein nabati dari jenis
154
tahu 1-2 porsi perhari sebanyak 18%, sedangkan lebih dari 2 porsi sehari sebanyak
5%.
Kecukupan Gizi 2012 adalah 60g, sedangkan usia 13-15 adalah 69g. Rata-rata
konsumsi protein pada siswi MTs Ciwandan adalah sebanyak 42,67g, sedangkan
konsumsi protein < 69g adalah sebanyak 93,5%. Dapat disimpulkan, konsumsi
protein pada siswi MTs masih banyak yang belum mencukupi nilai yang dianjurkan.
Secara umum konsumsi pangan siswa di MTs Ciwandan memiliki nilai biologik zat
Konsumsi protein dari pangan nabati lebih dominan dari pada sumber protein
dari pangan hewani. Selain itu konsumsi zat penghambat seperti serelia dan kacang-
kacangan masih tinggi. Sehingga jika mengkonsumsi pangan sumber zat besi yang
memiliki nilai biologik yang rendah maka harus diimbangi dengan zat yang dapat
terdapat pada pangan nabati maupun hewani. Nilai biologik protein pada bahan
pangan yang bersumber dari hewani lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan
yang bersumber dari nabati. Salah satu penyebab anemia adalah rendahnya asupan zat
besi terkait dengan nilai biologik zat besi pada konsumsi pangan. Nilai biologik
adalah jumlah suatu zat gizi pada pangan yang dapat dicerna, diserap, didistribusikan
155
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
asupan protein dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR=5,687 (Cl 2,089-16,474). Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri dengan asupan protein rendah memiliki risiko 5,687 kali lebih besar untuk
hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia pada murid sekolah dasar di
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (p=0,000). Hal ini terjadi karena protein
darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbon
dioksida adalah ikatan protein. Protein juga berperan dalam proses pengangkutan zat-
zat gizi termasuk besi dan saluran cerna dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan
dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sehingga apabila kekurangan protein akan
Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut
oksigen dan karbon dioksida adalah ikatan protein. Protein juga berperan dalam
proses pengangkutan zat-zat gizi termasuk besi dari saluran cerna ke dalam darah,
dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sehingga
156
Protein berasal dari protein hewani maupun nabati. Protein hewani merupakan
sumber besi Heme yang memiliki tingkat nilai biologik yang tinggi, artinya zat besi
yang berasal dari protein hewani dapat mudah dan cepat diserap oleh tubuh.
Sedangkan protein nabati mengandung sumber zat besi non heme yang memiliki nilai
biologik yang rendah. Contoh protein hewani adalah daging merah (sapi, kambing,
domba), hati (hati sapi, hati ayam), daging putih (ayam, segala jenis ikan-ikan) dan
nabati adalah berasal dari kacang-kacangan dan olahanya (kacang kedelai, kacang
hijau, tahu, tempe, oncom, tauco, dan lain lain), sementara dari sayuran (kacang
faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Adapun yang
termasuk faktor-faktor pendorong penyerapan zat besi adalah asam askorbat. Selain
itu asam-asam organik juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi, diantaranya
adalah: asam malat, sitrat, suksinat, laktat dan tartarat. Pada menu makanan yang
porsi sumber hewaninya besar maka nilai biologik zat besi menjadi tinggi. Sebaliknya
sumber makanan nabati memiliki nilai biologik zat besi yang rendah.
Selain itu protein juga membantu meningkatkan penyerapan zat besi. Pada
saluran pencernaan besi mengalami proses reduksi dari bentuk feri menjadi fero yang
157
Sehingga dapat di simpulkan, protein memiliki peran yang esensial dalam
transportasi zat besi yang ada dalam tubuh untuk pembentukan sel darah merah di
sumsum tulang. Selain itu, protein hewani yang memiliki nilai biologik tinggi dapat
sehingga gagal dalam produksi sel darah merah yang kemudian jika terjadi secara
terus menerus akan mengakibatkan defisiensi besi. Oleh karena itu, pentingnya
meningkatkan asupan protein hewani dan nabati bagi siswi yang konsumsi zat
gizinya kurang sehingga memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan, baik dari
segi kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan anjuran PUGS 2014, konsumsi protein
6.5.1.3 Hubungan Asupan Vitamin C dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
asupan vitamin C rendah atau vitamin C < 45,5mg (83,7%) lebih banyak dari pada
responden dengan konsumsi vitamin C tinggi atau asupan protein ≥ 45,5mg (16,3%).
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
dengan asupan vitamin C rendah (36,9%) daripada responden dengan asupan vitamin
C baik (0%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi
(normal) lebih sedikit pada responden dengan asupan vitamin C rendah (63,1%)
158
Vitamin C dapat diperoleh dari buah-buahan, buah-buahan yang paling sering
dikonsumsi responden adalah buah papaya, jeruk, mangga, salak dan rambutan.
Anjuran konsumsi buah perhari berdasarkan PUGS adalah 2-3 porsi sehari. Sumber
vitamin C yang berasal dari buah papaya dikonsumsi 1-2 porsi perhari oleh responden
sebanyak 11%, dari buah jeruk 1-2 porsi perhari sebanyak 6%, buah mangga 1-2
porsi perhari sebanyak 9%, buah salak 1-2porsi perhari sebanyak 8% dan rambutan
Kecukupan Gizi 2012 adalah 50mg, sedangkan usia 13-15 adalah 65mg. Rata-rata
sedangkan konsumsi vitamin C < 69g adalah sebanyak 93,5%. Dapat disimpulkan,
konsumsi vitamin C pada siswi MTs masih banyak yang belum mencukupi nilai yang
dianjurkan.
seluruh tubuh. Ada dua jenis zat besi yang ditemukan dari makanan, yaitu zat besi
heme dan zat besi non-heme. Zat Besi heme ditemukan dalam sel-sel darah merah
hewan, sementara zat besi non-heme adalah yang bersumber dari tanaman atau
sayuran. Zat Besi nonheme akan diserap dengan baik oleh tubuh apabila
besi adalah tannin dalam teh, fitat dalam sayuran hijau seperti bayam, fosfat dalam
159
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
asupan vitamin C dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR=1,585 (Cl 1,367-1,837). Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri dengan asupan vitamin C rendah memiliki risiko 1,585 kali lebih besar untuk
penelitian Kirana (2011) diketahui bahwa ada keterkaitan antara asupan vitamin C
semakin tinggi asupan vitamin C maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula
yang berarti kejadian anemia semakin rendah. Hal ini terjadi karena vitamin C
merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan tubuh untuk pembentukan sel-sel
reduksi zat besi ferri menjadi ferro yang lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat
besi dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C.
besi dan vitamin C pada anak anemia akan memberikan hasil kenaikan kadar
hemoglobin yang paling efektif dibandingkan dengan pendidikan gizi saja atau
suplementasi saja.
160
Hal ini didukung oleh teori Almatsier (2006) bahwa absorpsi besi yang efektif
dan efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C.
Absorpsi besi dalam bentuk nonheme dapat meningkat empat kali lipat dengan
adanya vitamin C. Oleh karena itu, kekurangan vitamin C dapat menghambat proses
absorpsi besi sehingga lebih mudah terjadi anemia. Selain itu, vitamin C dapat
besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari
yang mengandung vitamin C ada pada sayur bayam, kangkung, sawi hijau, brokoli,
kentang dan daun singkong, wortel, lobak, bawang, cabai, tomat, mentimum, terung,
labu siam, sayur pare,buncis kacang panjang, kecipir dan kembang kol.
Pada buah – buahan vitamin C paling banyak dikandung oleh buah melon,
jambu biji, lengkeng, pepaya, jambu monyet, dan jeruk. Di buah lain seperti
jambu bol, nenas, sawo, pokat, jambu air, kesemek, cempedak kita dapat menemukan
kandungan vitamin C.
berperan dalam absorbsi besi dengan jalan meningkatkan absorbsi zat besi non heme
hingga empat kali lipat. Sedangkan faktor yang menghambat adalah tannin dalam teh,
161
Berdasarkan referensi diatas dapat disimpulkan bahwa vitamin C merupakan
zat gizi yang dibutuhkan untuk membantu penyerapan sumber non heme. Vitamin C
vitamin C. Berdasarkan anjuran PUGS 2014 konsumsi buah-buahan adalah 2-3 porsi
perhari.
asupan Fe rendah atau Fe < 18,2 mg (81,37%) lebih banyak dari pada responden
berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden dengan asupan zat besi
(Fe) rendah (36%) daripada responden dengan asupan zat besi (Fe) baik (8,7%).
Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih
sedikit pada responden dengan asupan zat besi (Fe) rendah (64%) daripada responden
sumber zat besi dari protein nabati sebanyak 56% sedangkan dari protein hewani
sebanyak 22%.
Kebutuhan zat besi tergantung kepada jenis kelamin dan umur berdasarkan
AKG (Angka Kecukupan Gizi). Zat Besi yang dianjurkan remaja usia 10-12 tahun
berdasarkan AKG adalah 20mg, sedangkan usia 13-15 adalah 26mg. Rata-rata
konsumsi zat besi pada siswi MTs Ciwandan adalah sebanyak 9,55mg, sedangkan
konsumsi zat besi < 26g adalah sebanyak 91,8%. Sehingga dapat disimpulkan,
162
konsumsi zat besi pada siswi MTs masih banyak yang belum mencukupi nilai yang
Secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan. Kekurangan zat besi dalam
menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan penyakit anemia gizi atau yang
dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah. Zat besi asupan berasal dari dua
bentuk: zat besi heme dan non-heme. Zat besi heme hanya ditemukan di dalam
daging hewan, karena itu berasal dari hemoglobin dan myoglobin di dalam jaringan-
jaringan tubuh hewan. Zat besi non-heme itu ditemukan di dalam makanan tumbuhan
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
asupan protein dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR=5,906 (Cl 1,309-26,650). Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri dengan asupan Fe rendah memiliki risiko 5,906 kali lebih besar untuk
bermakna dengan kejadian anemia pada murid sekolah dasar di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara (p=0,000). Hal ini terjadi karena zat besi merupakan komponen
hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan selebihnya di dalam limpa
163
dan otot. Apabila simpanan besi cukup, maka kebutuhan untuk pembentukan sel
darah merah dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Namun, apabila jumlah
simpanan zat besi berkurang dan jumlah zat besi yang diperoleh dari makanan juga
rendah, maka akan terjadi ketidakseimbangan zat besi di dalam tubuh, akibatnya
kadar hemoglobin menurun di bawah batas normal yang disebut sebagai anemia gizi
besi.
Hal ini didukung oleh pendapat Almatsier (2000) yang menyatakan bahwa zat
besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, yang diperlukan dalam
pembentukan darah yaitu untuk mensintesis hemoglobin. Kelebihan zat besi disimpan
sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan
selebihnya di simpan dalam limfa dan otot. Kekurangan zat besi akan menyebabkan
transferin atau peningkatan protoporfirin. Jika keadaan ini terus berlanjut akan terjadi
anemia defisiensi besi, dimana kadar hemoglobin turun di bawah nilai normal.
Zat besi juga menjadi komponen penting dalam otot dan membantu laju
pertumbuhan sel-sel tubuh. Zat besi secara normal berasal dari pola diet kita sehari-
hari dimana kelebihan zat besi akan disimpan oleh tubuh untuk dipergunakan apabila
berada dalam kondisi kekurangan asupan zat besi. Zat besi, tidak seperti kalsium,
100% berasal dari sumber luar dan tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh.Tubuh
yang sehat secara normal menyerap sekitar 10-15 persen zat besi yang masuk melalui
makanan meski secara relatif penyerapan zat besi dipengaruhi oleh banyak hal. Jenis
164
Heme-iron lebih mudah diserap tubuh (berkisar hingga 35% penyerapan ) dan
penyerapan ini tidak terlalu dipengaruh oleh nutrisi-nutrisi lain yang masuk
saja dan bisa dipengaruhi oleh zat nutrisi lain seperti tanin (zat yang khusus dimiliki
oleh daun teh), kalsium, pholipenolamin, dan beberapa protein dari kedelai yang
penyerapan adalah jumlah zat besi yang tersimpan dalam tubuh. Semakin banyak
simpanan zat besi, tubuh akan memperlambat atau mengurangi penyerapan zat besi
secara sistematis.
Kekurangan zat besi dalam menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan penyakit
anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah. Zat besi
asupan berasal dari dua bentuk: zat besi heme dan non-heme. Zat besi heme hanya
ditemukan di dalam daging hewan, karena itu berasal dari hemoglobin dan mioglobin
di dalam jaringan-jaringan tubuh hewan. Zat besi non-heme itu ditemukan di dalam
makanan tumbuhan dan produk dairy. Oleh karena itu pentingnya meningkatkan
konsumsi zat besi baik dari segi kuantitas maupun kualitas terutama sumber zat besi
heme bagi siswi yang belum tercukupi asupan zat besinya khususnya pada masa-masa
165
6.6.2 Hubungan Frekuensi Makan dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
6.6.2.1 Hubungan Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia Pada Siswi MTs
Ciwandan
makan dalam sehari baik atau makan dalam sehari ≥ 3 kali sehari (87%) lebih banyak
dari pada responden dengan frekuensi makan dalam sehari kurang atau < 3 kali sehari
(13%). Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
dengan frekuensi makan dalam sehari kurang (87,5%) daripada responden dengan
frekuensi makan dalam sehari baik (22,4%). Sedangkan responden yang tidak
berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada responden dengan
frekuensi makan dalam sehari kurang (12,5%) daripada responden dengan frekuensi
belum mencukupi AKG. Hal ini berarti, pola konsumsi siswi terpusat pada kualitas
mengkonsumsi makanan Fast Food dan kudapan lebih banyak dari pada siswi yang
mengkonsumsi makanan yang bergizi. Makanan Fast Food dan kudapan adalah
makanan tinggi kalori namun sedikit mengandung vitamin dan mineral yang
dibutuhkan oleh tubuh. Makanan Fast Food yang paling banyak di gemari adalah mie
instan dan mie ayam, sedangkan makanan kudapan yang paling di gemari adalah
166
Khomsan (2003) mengatakan bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali
dalam sehari, ini berarti bahwa sarapan pagi hendaknya jangan ditinggalkan. Agar
stamina siswa tetap fit selama mengikuti kegiatan sekolah maupun ekstrakulikuler,
maka sarana utama dari segi gizi adalah jangan meninggalkan sarapan pagi.
Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan dalam sehari dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan
menunjukkan bahwa remaja putri dengan frekuensi makan dalam sehari kurang
memiliki risiko 24 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia. Pengaruh
frekuensi makan dalam sehari terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam penelitian
Adriana (2010) yaitu hasil uji statistik didapat p=0.452 (>0.05) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi makan dengan
kejadian anemia dan penelitian. Namun dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR
(konsumsi <3 kali sehari/konsumsi 3 kali sehari) = 1,729, artinya remaja putri dengan
frekuensi makan <3 kali sehari mempunyai peluang 1,729 kali untuk menderita
anemia dibanding dengan remaja putri yang frekuensi makannya 3 kali sehari.
dengan asupan zat gizi, semakin banyak makan maka asupan zat gizi akan lebih baik.
Dalam penelitian ini ada 157 (62.8%) responden dari 250 siswi memiliki frekuensi
makan tidak baik. Frekuensi makan berdampak pada kinerja siswa dalam beraktivitas
yakni terutama kegiatan belajar. Jika frekuensi makan kurang, maka asupan zat gizi
pun berkurang dan apabila asupan gizi kurang maka tubuh akan kekurangan asupan
167
energi sebagai sumber tenaga bagi tubuh terutama otak. Akhirnya tubuh akan merasa
Makanan lengkap biasanya diberikan tiga kali sehari (makan pagi, makan
siang dan makan malam), sedangkan makanan selingan di antara makan pagi dan
makan siang, antara makan siang dan makan malam ataupun setelah makan malam.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Khomsan 2003 dalam Phujiyanti (2004).
Frekuensi makan sangat erat kaitannya dengan asupan zat gizi, semakin banyak
frekuensi makan maka akan semakin baik asupan gizinya. Sedangkan menurut
(Niklas, Tom, Karen & Gerald 2001 dalam Phujiyanti, 2004) Frekuensi makan yang
ideal adalah 3 kali dalam sehari. Sebagaimana menurut beberapa kajian, frekuensi
makan yang baik adalah tiga kali sehari. Orang dewasa dengan pola makan yang
teratur mempunyai kecenderungan lebih langsing dan sehat dibanding orang yang
Diantara waktu makan yang paling penting namun sering ditinggalkan oleh
kebanyakan anak sekolah adalah sarapan pagi. Sarapan pagi bermanfaat bagi
kesehatan tubuh kita semuanya. Pagi hari adalah keadaan dimana manusia pada
memulai pekerjaannya, memulai aktifitas belajar, kuliah dan lain sebagainya. Untuk
itulah perlunya kita bersama mengerti dan memahami akan pentingnya sarapan pagi
168
Dalam hal ini membiasakan makan sarapan di pagi hari akan sedikit banyak
memberikan dan juga membantu dalam hal kontribusi yang cukup besar untuk
mensuplai nutrisi gizi bagi tubuh. Apalagi bagi otak kita manusia contoh salah
satunya, sesudah tidur malam selama 8 sampai 10 jam. Dan sarapan ini akan dapat
mengisi kembali keperluan nutrisi yang habis sewaktu menjalankan rutinitas istirahat
tidur malam kita. Untuk itu kita juga membutuhkan akanmenu sarapan sehat yang
bisa menunjang akan aktifitas kita sehari-hari. Mungkin tak banyak orang menyadari,
bahwa sebenarnya sarapan adalah merupakan bagian dan juga salah satu rahasia
dalam rangka untuk menjaga kesehatan. Tak peduli seberapa sibuknya kita, maka
penting bagi kita semuanya untuk mengisi bahan bakar untuk tubuh sehingga energi
sehingga kadar gula darah menurun yang merupakan energi utama bagi otak. Dampak
negatifnya adalah ketidakseimbangan sistem syaraf pusat yang diikuti rasa pusing,
badan gemetar atau rasa lelah. Dalam kondisi seperti ini siswa akan mengalami
kesulitan untuk menerima pelajaran dengan baik, gairah belajar, dan kecepatan reaksi
juga akan menurun yang akhirnya berdampak pada prestasi belajar menurun. Oleh
karena itu, kegiatan sarapan pagi hendaknya diperhatikan kuantitas dan kualitas
makan, selain itu porsi makanan setiap kali makan juga penting untuk diperhatikan
agar tidak terjadi kekurangan dan kelebihan zat gizi. Jumlah atau porsi merupakan
169
suatu ukuran maupun takaran makanan yang dikonsumsi setiap kali makan. Dalam
di sesuaikan dengan umur. Oleh karena itu, sebaiknya siswi meningkatkan frekuensi
makan dan jumlah prosi makanan dari jenis karbohidrat, protein hewani, protein
6.6.2.2 Hubungan Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia Pada Siswi MTs
Ciwandan.
makan sumber heme baik atau makan sumber heme ≥ 2 kali sehari (76,4%) lebih
banyak dari pada responden dengan frekuensi makan sumber heme kurang atau < 2
kali sehari (23,6%). Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak
pada responden dengan frekuensi makan dalam sehari kurang (86,2%) daripada
responden dengan frekuensi makan sumber heme baik (13,8%). Sedangkan responden
yang tidak berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada responden
dengan frekuensi makan sumber heme kurang (13,8%) daripada responden dengan
Berdasarkan jenis ketersediaan zat besi di dalam bahan makanan, dikenal dua
jenis yaitu besi heme dan non heme. Besi non heme merupakan sumber utama zat besi
dalam makanan dan terdapat dalam semua jenis sayuran hijau, seperti kentang,
kacang-kacangan dan sebagian dalam makanan hewani. Zat besi yang berasal dari
bahan makanan hewani (zat besi heme) mempunyai tingkat absorpsi 20-30 %, besi
170
heme lebih mudah diserap dan penyerapannya tidak tergantung dengan zat makanan
lainnya. Karena zat besi heme memiliki bentuk Ferro sehingga lebih mudah di serap
di usus halus. Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh
Dari hasil uji statistik diperoleh ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai OR
sebesar 38.942 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan sumber heme yang
kurang memiliki resiko anemia 38 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan
dalam penelitian (Purnama, 2001 dalam Husnah 2014) pada siswi SMA 2 Semarang
ditemukan hasil setiap peningkatan persen asupan zat besi sebesar 1% akan
hubungan yang signifikan antara kadar Hb dengan konsumsi Fe. Hal ini terjadi karena
zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani (zat besi heme) mempunyai tingkat
absorpsi 20-30 %, besi heme lebih mudah diserap dan penyerapannya tidak
tergantung dengan zat makanan lainnya. Karena zat besi heme memiliki bentuk Ferro
diabsorpsi seseorang yang berstatus besi baik. Jika dalam keadaan defisiensi besi,
absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi
besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat
171
daripada besi nonheme. Oleh karena itu kurangnya konsumsi pangan sumber heme
Salah satu makanan sumber besi Heme adalah berasal dari produk hewani
yaitu telur. Pengaruh konsumsi telur terhadap status anemia dibuktikan dalam
terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi telur ayam dan telur
bebek dengan status anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini
memperlihatkan bahwa semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka
kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Telur merupakan sumber zat
besi heme mempunyai nilai biologik tinggi dengan tingkat absorpsi 20-30% artinya
telur merupakan sumber zat besi yang mudah diserap oleh usus halus.
besi yang berasal dari hemoglobin dan mioglobin yang hanya terdapat dalam bahan
makanan hewani seperti daging, ikan dan unggas. Bioavailabiltas besi heme ini sangat
tinggi yaitu 20- 30% atau lebih dapat diabsorpsi. Derajat absorpsi besi heme ini
hampir tidak dipengaruhi oleh susunan menu atau diet makanan, dan hanya sedikit
dipengaruhi oleh status besi orang yang mengkonsumsinya. Besi non heme terdapat
pada makanan nabati seperti sayur dan buah-buahan. Bioavailabilitas non heme iron
Pada kondisi Fe yang baik, hanya sekitar 10 % dari Fe yang terdapat di dalam
makanan diserap ke dalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi defisiensi lebih, banyak
Fe dapat diserap untuk menutupi kekurang zat tersebut. Diperkirakan hanya 5-5%
172
besi makanan diabsorbsi oleh orang dewasa yang berada dalam status baik. Dalam
simpanan zat besi yang cukup, tubuh hanya menyerap 5-15% zat besi dari makanan
sedangkan apabila tubuh defisiensi besi, absorpsi besi hingga 50%. Oleh karena itu,
perlu adanya makanan sumber protein hewani didalam menu sehari untuk memenuhi
6.6.6.3 Hubungan Frekuensi Makan Sumber Non Heme dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan
makan sumber non heme baik atau makan sumber non heme ≥ 3 kali sehari (68,3%)
lebih banyak dari pada responden dengan frekuensi makan sumber non heme kurang
atau < 3 kali sehari (31,7%). Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih
banyak pada responden dengan frekuensi makan sumber non heme (97,4%) daripada
responden dengan frekuensi makan sumber non heme baik (0%). Sedangkan
responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada
responden dengan frekuensi makan sumber non heme kurang (2,6%) daripada
Menurut Farida (2007) yang menyatakan bahwa penyerapan zat besi non
heme hanya 10-15 % dan akan semakin meningkat ketika kebutuhan tubuh akan zat
173
besi juga semakin meningkat. Jika suplai zat besi dari makanan telah habis terserap
maka proses penyerapan zat besi akan berhenti . Zat besi non heme lebih sulit diserap
dan penyerapannya sangat tergantung pada zat makanan lainnya baik secara positif
Jumlah besi dari sumber besi non heme umumnya relatif tinggi dibandingkan
dengan zat besi heme. Walaupun kaya akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa
diserap dengan baik oleh usus. Pada umumnya besi di dalam daging, ayam, dan ikan
Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan sumber non heme dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai OR
sebesar 39.000 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan sumber non heme
yang kurang memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan
sayuran waluh dan sawi dengan status anemia contoh dengan nilai korelasi yang
negatif (p<0.1). Arumsari (2007) mengatakan bahwa besi dalam makanan terdapat
dalam bentuk besi heme (dalam makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan
nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah lauk nabati meliputi
174
tempe, tahu, dan kacang-kacangan (kacang tanah dan kacang hijau). Asam fitat yang
terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi.
Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup
Hal ini juga dikemukakan oleh Husnah, dkk (2014) bahwa absorpsi sayuran
daun hijau dan biji-bijian cukup rendah yaitu sekitar 12%. Walaupun sumber nabati
(sereal dan sayuran) banyak mengandung mineral yang dibutuhkan tubuh, seperti Fe.
Namun, ada zat yang disebut asam fitat dan asam oksalat yang terkandung dalam
sayuran yang dapat mengikat zat besi dan mengurangi penyerapannya. (Husnah dkk,
2014).
Absorpsi besi juga tergantung pada jumlah bahan makanan yang menghambat
dan meningkatkan absorpsi, sehingga absorpsi besi dari makanan yang dikonsumsi
sehari-hari harus bervariasi. Zat besi yang ditemukan pada kacang-kacangan, bayam
dan sayuran lain merupakan zat besi Non-Heme, yang lebih sulit diserap oleh tubuh
karena harus melewati proses yang rumit. Bayam sebenarnya memiliki kandungan
zat besi yang cukup tinggi. Namun di sisi lain, bayam mengandung asam fitat yang
justru menghambat penyerapan zat besi, sehingga berapapun bayam yang dikonsumsi
Faktor lain yang sering menghambat penyerapan zat besi dari makanan adalah
kalsium. Karena itu jika ingin penyerapan zat besinya maksimal, mengkonsumsi
daging merah, sayur maupun telur tidak dikonsumsi bersamaan dengan susu atau
suplemen kalsium. Kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi. Asam fitat yang
175
terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya juga dapat menghambat penyerapan
besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya
cukup tinggi, hasil penyerapannya masih dapat mencukupi kecukupan zat besi.
Sumber besi non heme dapat ditingkatkan oleh zat gizi peningkat absorpsi Fe.
Zat gizi yang dapat meningkatkan penyerapan besi adalah vitamin C. Kehadiran
Vitamin C akan meningkatkan penyerapan zat besi non heme dan zat besi heme yang
terdapat dalam daging, unggas, dan ikan serta makanan hasil laut, dapat
meningkatkan penyerapan zat besi non heme. Sedangkan yang berperan negatif dalam
penyerapan zat besi adalah tannin dalam teh, phosvitin dalam kuning telur, protein
kedelai, phytat,fosfat, kalsium, dan serat dalam bahan makanan, sehingga saat sedang
mengkonsumsi suplemen zat besi, minum jus jeruk lebih dianjurkan daripada minum
susu.
sumber vitamin C dari buah-buahan untuk meningkatkan penyerapan besi non heme
dan sebaiknya penuhi kebutuhan zat gizi dari sumber makanan sehari-hari dari pada
makanan dalam menu sehari agar zat gizi lain saling melengkapi.
176
seminggu (66,7%) lebih banyak dari pada responden dengan frekuensi makan
peningkat absorpsi Fe kurang atau < 7 kali seminggu (33,3%). Responden yang
berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden dengan frekuensi
makan peningkat absorpsi Fe baik (0%). Sedangkan responden yang tidak berstatus
anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada responden dengan frekuensi makan
Zat besi nonheme yang berasal dari sayuran umumnya berbentuk senyawa
inorganik Ferri (Fe3+). Sebelum diserap oleh usus, ini harus diubah dahulu menjadi
bentuk Ferro ( Fe2+ ) . Konversi Fe3+ menjadi Fe2+ dipermudah oleh adanya faktor -
faktor endogenus, seperti enzim "pepsin-HCl", dan komponen zat gizi yang berasal
dari makanan seperti vitamin C dengan gugus –SH (sulfidril) (Derman dkk 1980).
kiwi dan sebagainya) dapat membantu penyerapan besi. Selain itu, konsumsi
makanan sumber heme juga dapat membantu penyerapan zat besi dalam tubuh.
Semakin kurang konsumsi makanan sumber heme dan vitamin C, maka akan semakin
beresiko terkena anemia karena sumber non heme hanya 10% diserap dalam tubuh.
Oleh karena itu jika hanya mengandalkan mengkonsumsi makanan sumber non heme
saja, asupan zat besi masih belum mencukupi kebutuhan, maka perlu mengimbangi
177
Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan peningkat absorpsi Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai
OR sebesar 39.000 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan peningkat
absorpsi Fe yang kurang memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan
konsumsi buah buahan dengan status anemia contoh (p < 0.1) yaitu pada konsumsi
pepaya. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin jarang pepaya dikonsumsi maka
kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena
walaupun pepaya kaya akan vitamin C yang dapat membantu penyerapan zat besi,
namun apabila pepaya dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat
menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau tanin maka pengaruh
oleh (Adriani dan Wirjatmadi, 2012) mengatakan bahwa Vitamin C merupakan unsur
esensial yang sangat dibutuhkan tubuh untuk pembentukan sel-sel darah merah.
dikonsumsi akan memberikan suasana asam sehingga memudahkan reduksi zat besi
178
ferri menjadi ferro yang lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat besi dalam
bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C.
Zat besi dengan vitamin C membentuk askorbat besi kompleks yang larut dan
mudah diserap oleh organ-organ pada tubuh manusia. Pengubahan zat besi nonheme
dalam bentuk senyawa inorganik Ferri ( Fe3+) menjadi Ferro ( Fe2+ ) akan semakin
besar bila pH di dalam lambung semakin asam. Yang dimana vitamin C dapat
menambah keasaman sehingga dapat membantu penyerapan zat besi dari sayuran di
dalam lambung. Kehadiran vitamin C ini dapat meningkatkan penyerapan zat besi
. Besi yang akan di serap bergabung dahulu dengan protein (apoprotein) yang
terdapat dalam dinding usus, sehingga terbentuklah feritin dan masih dalam plasma
darah. Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan
dalam tumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: semakin tipis bagian
tumbuhan, semakin tinggi kandungan vitamin C-nya; semakin matang buah, semakin
tinggi kandungan vitamin C-nya. Hal sebaliknya terjadi pada kelompok kacang-
kacangan, kandungan vitamin C akan semakin turun bila kacang bertambah matang.
Semakin lama makanan disimpan, kadar vitamin C akan semakin turun, tetapi hal ini
179
pertumbuhan, proses pemanenan, dan penyimpanan mempengaruhi kandungan
mengandung protein hewani dan MFP factors (Meat Fish Product) seperti daging,
ayam, dan ikan dapat meningkatkan penyerapan zat besi karena mengandung besi
heme yang mudah diserap tubuh. Vitamin C yang terdapat dalam buah-buahan (jeruk,
jambu, nanas, mangga, kiwi dan sebagainya) juga sangat membantu penyerapan besi.
Oleh karena itu, siswi perlu menghadirkan protein hewani dalam menu sehari (2-3
porsi sehari) dan apabila mengkonsumsi sumber nabati sangat dianjurkan memakan
makanan sumber vitamin C dari buah-buahan (2-3 porsi sehari). Asam organik seperti
vitamin C dapat membantu penyerapan zat besi nonheme dengan cara mengubah besi
seminggu (68,3%) lebih banyak dari pada responden dengan frekuensi makan
penghambat absorpsi Fe kurang atau <7 kali seminggu (31,7%). Responden yang
berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden dengan frekuensi
180
berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada responden dengan
Taraf gizi besi seseorang juga akan mempengaruhi absorbsi zat besi, semakin
tingginya kebutuhan akan zat besi maka, akan semakin besar tingkat absorbsinya.
Misalnya : pada masa pertumbuhan (remaja), pada masa hamil, penderita anemia dan
zat besi secara terus menerus. Penyebab kekurangan zat besi adalah kurangnya
konsumsi makanan sumber zat besi dan kebiasan mengkonsumsi makanan sumber zat
absorpsi zat besi diantaranya adalah tanin yang terdapat dalam teh dan daun-daun
sayuran tertentu yang dapat menurunkan absorpsi zat besi. Menurut muhilal (1983)
penyerapan zat besi oleh teh dapat menyebabkan banyaknya besi yang diserap turun
sampai menjadi 2%, sedangkan penyerapan tanpa penghambatan teh sekitar 12%
(Leginem, 2002).
Hasil uji statistic menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan penghambat absorpsi Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai
absorpsi Fe yang rendah memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan
181
Pengaruh frekuensi penghambat absorpsi Fe terhadap kejadian anemia
dibuktikan dalam penelitian Amaliah (2002) menyatakan bahwa ada hubungan yang
anemia remaja putri. Dari 58 responden yang mengalami anemia ada 22 (23.2%)
yang mengkonsumsi teh lebih dari 7 kali per minggu. Hal ini terjadi karena tanin
diketahui membentuk ikatan larut dengan molekul besi non-heme dan dengan
berlebihan tanin yang terdapat dalam teh dapat menghambat penyerapan zat besi non-
heme dalam tubuh dan dengan demikian memicu kekurangan zat besi.
Mereka yang minum teh di antara waktu makan atau segera setelah makan,
biasanya memiliki kadar besi rendah. Selain tanin, zat lain seperti protein kedelai,
gandum, jagung dan sereal lainnya) juga dapat menghambat proses penyerapan zat
besi dalam tubuh. Sebagaimana yang dijelaskan Groff & Gropper (2000) dalam Puri
(2007), senyawa fenol dalam teh yang dikonsumsi bersama dengan pangan sumber
zat besi dapat menurunkan absorpsi besi hingga 60 persen, sedangkan konsumsi kopi
dalam tubuh. Mengkonsumsi konsumsi teh dan kopi pada dasarnya tidak dilarang
karena sejatinya teh mengandung antioksidan yang baik utnuk tubuh, namun yang
perlu diperhatikan adalah jarak waktu makan dengan minum kopi atau teh misalnya
sekitar 1 jam setelah makan. Hal ini dapat memberikan kesempatan terlebih dahulu
182
pada usus untuk menyerap Fe dalam makanan yang kita makan. Seperti halnya yang
diterangkan Guthrie (1989) bahwa konsumsi kopi atau teh satu jam setelah makan
akan menurunkan absorpsi zat besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh karena
terdapat suatu zat polyphenol seperti tanin yang terdapat pada teh.
Faktor penghambat penyerapan Fe bukanlah hanya seputar pada teh dan kopi
yang mengandung zat tanin saja, namun banyak sekali zat-zat yang dapat
phytat, asam folat, kalsium dan serat dalam bahan makanan, zat-zat gizi ini dengan
zat besi membentuk senyawa yang tidak larut dalam air, sehingga sulit untuk di
absorbsi. Protein nabati maupun protein hewani tidak meningkatkan absorbsi zat besi.
Tetapi bahan makanan yang disebut meat factor seperti daging, ikan dan ayam,
apabila hadir dalam menu makanan walaupun dalam jumlah yang sedikit akan
meningkatkan absorbsi zat besi bukan heme yang berasal dari serealia dan tumbuh
tumbuhan. Jadi apabila didalam menu makanan sehari-hari tidak hadir bahan
makanan tersebut di atas, maka absorbsi zat besi dari makanan akan sangat rendah,
perlu diketahui bahwa susu, keju dan telur tidak meningkatkan absorbsi zat besi.
Zat lain yang dapat menghambat absorpsi Fe adalah asam fitat. Asam fitat dan
faktor lain di dalam serat serealia dan kacang-kacangan (kedelai) dan asam oksalat di
dalam sayuran (selada, kol, kembang kol, buncis dan kacang hijau) menghambat
penyerapan besi. Mekanismenya adalah fitat dapat mengikat mineral dan protein
dalam tubuh. Protein berperan aktif dalam pengangkutan zat besi menuju sumsum
tulang untuk di produksinya sel darah merah. Sebagimana yang dijelaskan Elvira
Syamsir (2009) mengatakan asam fitat dan senyawa fitat dapat mengikat mineral
183
seperti kalsium, magnesium, seng dan tembaga sehingga berpotensi mengganggu
penyerapan mineral. Selain mengikat mineral, fitat juga bisa berikatan dengan protein
fitat dapat menyebabkan seseorang defisiensi mineral dan protein. Defisiensi terjadi
jika makanan tersebut rutin dikonsumsi sementara menu makanan tidak bervariasi
(dan sebagian besar berupa pangan serealia dan kacang-kacangan). Fitat bisa
dihidrolisis dengan bantuan asam atau enzim (indigenus atau eksogenus). Ini
mempengaruhi proses penyerapan zat besi non heme dalam tubuh. Tanin yang
merupakan polifenol dan terdapat dalam teh dan kopi dan beberapa jenis sayuran dan
buah juga menghambat penyerapan besi dengan cara mengikatnya. Tanin juga
diketahui membentuk ikatan larut dengan molekul besi non hemedan dengan
demikian mencegah penyerapan besi non heme dalam tubuh. Oleh karena itu,
pentingnya menghindari minum teh atau kopi setelah makan. Sebaiknya, apabila
184
BAB VII
PENUTUP
7.1 KESIMPULAN
siswi MTs Ciwandan kelas VII, VIII, dan IX tahun 2014 cukup tinggi yaitu
kurang dengan proporsi (51,2%), responden yang memiliki uang jajan tinggi
lebih banyak daripada yang memiliki uang jajan rendah dengan proporsi
3. Responden yang memiliki pola haid normal lebih banyak daripada pola
185
4. Responden dengan asupan energ kurang lebih banyak daripada asupan energy
baik dengan proporsi (76,4%), responden dengan asupan protein kurang baik
yang memiliki frekuensi makan dalam sehari baik lebih banyak daripada
frekuensi makan dalam sehari kurang dengan proporsi (87%), responden yang
memiliki frekuensi makan sumber heme baik lebih banyak daripada frekuensi
memiliki frekuensi makan sumber non heme baik lebih banyak daripada
pendapatan orang tua (p value = 0,000) dan pendidikan orang tua (p value =
besi.
186
7. Variabel asupan energi (p value = 0,001), asupan protein (p value = 0,000),
sumber heme (p value = 0,000), frekuensi makan sumber non heme (p value =
7.2 SARAN
menu sehari
187
c) Diharapkan siswi meningkatkan konsumsi pangan sumber energi,
setelah makan.
makanan sumber zat gizi yang penting untuk remaja dan cara
anggaran/pendapatan.
188
c) Sebaiknya ibu berperan aktif untuk mencari masalah kesehatan
makanan bergizi yang baik untuk anak sesuai usianya dan masalah
dan gizi.
4. Peneliti lain
dengan anemia, perlu adanya faktor-faktor lain yang belum diteliti dalam
189
penelitian ini karena keterbatasan kemampuan peneliti seperti, penyakit
penelitian selanjutnya.
190
191
DAFTAR PUSTAKA
A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss, Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2005: 221, 295
Abdulmuthalib, 2009. Kelainan Hematologik. Dalam: Saifuddin, A. B.,
Rachimhadhi,T. Wiknjosastro, G.H., penyunting. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Ed. 4, Cet. 2 Jakarta : PT Bina Pustaka
Adriaansz G. 2008. Asuhan Antenatal. Dalam: Prawiharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi
ke-4.Jakarta: Bagian Obstetri dan Gineko logi FKUI.ngaruhi kejadian anemia
gizi
Aditian, Nari. Faktor-faktor yang memperwmaja putrid SMP 133 di Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu tahun 2009. Skripsi FKM UI. Depok.
Adhisti,AP ; Puruhita,N. 2011. Hubungan Status Antropometri dan Asupan Gizi
dengan Kadar HB dan Ferritin Remaja Putri, Skripsi. Fakultas Kedokteran
UNDIP. Semarang
Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu Hamil
Penderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol. XXX;
2004.p. 496 – 499.
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Allen, Lindsay H and Stuart R. Gillespie. 2001. What sorks? A review of the Efficacy
And Effectiveness of Nutrition Interventions. AAC/SCN: Geneva in
Collaboration with The Asian Development Bank, Manila.
Amaliah, Lili. 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Anemia pada Remaja Putri Mahasiswa Akademi Keperawatan Pemerintah
Kabupaten Serang tahun 2002. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Amrihati, Titi, 2002, Faktor-faktor yang berhubungan dengan Status Anemia
Mahasiswi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Jakarta II, Program
Pascasarjana, Program Studi Kesehatan Masyarakat: Depok,
Adriani, M., & Wirjatmadi, B. (2012). Perana Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Adriana. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri di
Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor Tahun 2010 [Skripsi]. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 2010.
Angeles-Agdeppa I, Schultink W, Sastroamidjojo S, Gross R, and Karyadi D. Weekly
micronutrient supplementation to buid iron stores in female Indonesian
adolescents. Am Clin Nutr 1997; 66: 177-83.
Anggrani M. 2009. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Pencegahan Anemia
Dengan Kejadian Anemia Pada ibu Hamil Di Puskesmas Parung Panjang
Kabupaten Bogor Jawa Barat. http:// library. esaunggul. ac.id/ opac/ files/
S00000 3215.pdf. Diakses 29 Maret 2014.
Ariyanti, Mayfa, 2005, Faktor-faktor yang berhubungan Kebiasaan Sarapan
Pagi pada Anak Sekolah Dasar di SDN Limus Nunggal III Kecamatan
Cileungsi, Depok: FKM UI
Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Buku Kedokteran
EGC: Jakarta
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Bineka Cipta
Ariawan, iwan. 1998. Besar dan Metode pada Sampel Penelitian Kesehatan.Depok:
Jurusan
Arifin, Siregar. 2004. Pemberian ASI Eksklusif dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya. Sumatra Utara: Universitas Sumatra Utara
Arifin, M & Sudaryanto, T 1991, Pola Konsumsi Makanan Pokok, Konsumsi Energi
dan Protein di Pedesaan Jawa Tengah, Berita Pergizi Pangan, vol. 8.
Arifin, Sri Utami, dkk. 2013. Hubungan ASupan Zat Gizi dengan Kejadian Anemia
pada Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.Jurnal
Keperawatan Vol.1
Alsuhendra. 2002. Makan Nasi Jangan Minum Teh. mahasiswa Program Studi
Pangan PascasarjanaIPB/INTISARI)
http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1020739016,95399
Apriadji, 1986, Gizi Keluarga, Penebar Swadaya, Jakarta, pp.8
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Bakta IM. 2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. In : Sudoyo AW, Bambang
Setiyohadi,Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. edisi IV, jilid II. Jakarta Pusat: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FK UI: p.622-623.
Barokah, Nurul. 2005. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Anemia
Defisiensi Besi Pada Remaja Putri Kelas VII Dan VIII SMP Muhammadiyah
Tangerang Selatan Tahun 2010. Skripsi. Program Studi Kesehatan
Masyarakat. Fakultas Kesehatan Dan Ilmu Kedokteran. Uuniversitas Islam
Negeri Syarif Hidayatulloh: Jakarta.
Berg, A. et al, 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. CV Rajawali,
Jakarta
Besral, Lia Meilianingsih, Junaiti Saliar. 2007. Pengaruh Minum The terhadap
Kejadian Anemia pada Usila di Kota Bandung. MAKARA, Kesehatan, Vol.
11, No. 1. Juni 2007
Bhargava, A. et al., 2001. Dietary Intakes and Socioeconomic Factors are Associated
with The Hemoglobin Concentration of Bangladesh Women. Am J Clin Nutr,
vol 131, p:758-764.
Brabin. 1992. Parasitic infections in women and their consequences. Am J Clin Nutr;
55: 955-8.
Brabin and Brabin. Parasitic infections in women and their consequences. Am J Clin
Nutr 1992; 55: 955-8.
Brown, Judith E. et al. 2005. Nutrition Through the Life Cycle (2nd ed). Wadsworth:
USA.
Brooker C. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta: EGC.
Cao G, Sofic E, dan Prior R. Antioxidant capacity of tea and common vegetables.
Journal of Agree Food Chem,1996 (44):3426-3431
Dahlan Siamat, 2004. Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Keempat, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Depkes RI, 1996. Pencegahan dan Pengembangan Pendarahan. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk
Remaja dan Wanita Usia Subur. Depkes RI: Jakarta.
Depkes RI.1999. Pedoman Pemberian Tablet Besi, Folat dan Sirup Besi Bagi
Petugas. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat; 1999
Departemen Kesehatan RI. 2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi untuk
Remaja Putri dan WUS. Depkes RI: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Gizi dalam angka. Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI: Jakarta
Depkes RI. 2008. Program Penanggulangan Anemia Gizi Pada WUS. Jakarta: Ditjen
Gizi
Dinkes Kota Cilegon.2012.Laporan Program Kegiatan Kesehatan Remaja Tahun
2012. Cilegon: Dinkes Kota Cilegon.
De Maeyer.E.M. 1995. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi. Jenewa
; World Health Organization.
DiMeglio G. 2000. Nutrition in Adolescence.Journal of the American Academy of
Pediatrics.
Dessypris E.N. 1999. Erythropoiesis. In: G.R. Lee, J. Foerster, J. Lukens, et al,
editors : Wintrobe’s Clinical Hematology.10th edition.Volume
1A.Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Farida, Ida, 2007, Determinan Kejadian Anemia pada Remaja Putri di kecamatan
Gebog Kabupaten Kudus Tahun 2006, Tesis, Program Pascasarjana,
Universitas Dipenogoro: Semarang
Fatmah, 2010, Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Edisi Revisi, Jakarta, Penerbit : PT.
Raja Grafindo Persada.
Fikawati, Sandra dkk. 2010. Pengaruh Suplementasi Zat Besi Satu dan Dua Kali per
Minggu terhadap Kadar Hemoglobin pada siswi yang Menderita Anemia.
Jurnal. Lintas Departemen Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI: Depok
Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism.In : Mahan LK, Escott-
Stump S.mKrause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy.12th edition.
Philadelphia: Saunders.Gibson, R.S., 1990. Prinsiple of Nutrition of
Assesment, New York : Oxpor University Press.
Gillespie, Stuart. 1998. Major Issues in the Control if Iron Deficiency The
Micronutrient Initiative, Unicef, New York.
Glick, Peter, 2002. Women’s Employment and Its Relation to Children’s Health and
Schooling in Developing. Cornel University
Guthrie A. Helen and Picciano F, Marry. 1995. Human Nutrition. USA: Mosby-Year
Book, Inc.
Guthrie, H.A.1989. Introductory Nutrition. Mosby College Publishing: USA
Gunatmaningsih, Dian, 2007, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Anemia pada Remaja Putri di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang
Kabupaten Brebes Tahun 2007, Skripsi, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang:
Semarang,
Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 9.Jakarta : EGC.
Hallberg, Leif. 1998. Besi. PT. Gramedia, Jakarta
Hamill, T., 2010. HemoCue Classic Procedure.UCSF Medical Centre Clinical
Laboratories.Available from: http://labmed.ucsf.edu/labmanual/mftlng
mtzn/dnld/poct
Hamilton, Persis. (1995). Dasar-dasar Keperawatan Maternitas.Edisi 2.Jakarta : EGC
Hamid, A. Y. (2002). Buku Ajar Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta:
Hart, J.A. (2002). Spirituality and Palliative Care. http://cancer-
research.umaryland.edu/spirituality.html
Handayani, Wiwik dan Andi Sulistya Hariwibowo .2008. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi.Salemba
Medika: Jakarta.
Harper, et.al, 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian (Suhardjo, Penerjemah). UI Pres,
Jakarta.
Haryati, dkk, 2004 Gizi dalam Kesehatan Reproduksi, EGC: Jakarta,
Herawati, Neng. 2009. Mengenal Anemia dan Peranan Erythropoietin.Jurnal
Biologi/Vol.4/No.1. Diakses pada tanggal 15 Mei 2014.
http://www.biotek.lipi.go.id/images/stories/biotrends/vol4no1/mengenalanemi
adanperana nerythropoietinberes3539.pdf
Herviani, Dini. 2004. Perbedaan Proporsi Total Asupan Energi, Karbohidrat, Lemak,
Dan Kejadian Obesitas di Puskesmas Depok Tahun 2004. Skripsi FKM UI.
Depok.
Heryana. 2004. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia pada Siswi di SDN
Kramatdjati 25 Pagi Jakarta tahun 2004. FKM UI. Depok.
Hestiantoro, A. Dkk. (2008). Masalah Gangguan Haid dan Infertilitas. Jakarta :FKUI.
Himawan, Arif Wahyu. (2006). Hubungan antara KarakteristikIbu dengan Status Gizi
Balita Di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Semarang. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang, Semarang
Husaini, dkk.1989. Anemia Gizi Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang
Kebijakan Nasional dan Pengembangan Program. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi dan Makanan Depkes RI: Bogor.
Hurlock, Elizabeth B. 1999. “Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan”. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga.
Hurlock, Elisabeth. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Hurrell RF, Reddy M, Cook JD. 1999. Inhibiton of non-haem iron absorpton in man
By polyphenolic-containing beverages.British Journal of Nutrition, (81):289
295
Hulu DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan kaitannya
dengan prestasi belajar pada siswi SMKN I Bogor. Skripsi.Bogor : Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hughes, Fergus P. Children, Play & Development. Allyn & Bacon, Boston, 1995.
Angeles-Agdeppa, Imelda T. Daily versus weekly supplementation with iron,
vitamin A,folic acid and vitamin C to improve iron and vitamin A status of
female adolescents. Med J Indones 1997; 6: 52-69. 17.
Husnah, Nurhidayah dkk. 2014. Hubungan Makanan Sumber Heme dan Non Heme
Dengan Kejadian Anemia Remaja Putri SMA 10 Makassar Tahun 2014.
Jurnal Ilmu Gizi. Fakultas Adriani, M. & Wirjatmadi, B. 2012. Pengantar Gizi
Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.Kesehatan Masyarakat.
Universitas Hasanudin; Makassar.
Irawati, A, dkk.1992.Pengetahuan Murid SD dan SMP di Kodya Bogor. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Depkes RI: Bogor.
Iskandar, Asep. 2009. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Keluarga Terhadap
Kejadian Anemia Gizi Besi pada Agregat Remaja Putri di SMP Negeri
Cimalaka Kabupaten Sumedang. Tesis. FIK UI.
Junadi,P. 1995. Strategi Operasional Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia.
FKM UI: Depok.
Kirana, Dian. P. 2011. Hubungan Asupan Zat Dizi dan Pola Menstruasi dengan
Kejadian Anemia pada Remaja Putri di SMA N 2 Semarang. Skripsi. Program
Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran. Universitas Dipenogoro: Semarang.
Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian. 1992. Anemia Gizi. Seminar
Gizi Nasional, Persiapan ”International Conference on Nutrition, Rome,
December 1992; Jakarta, 13-14 Januari 1992
Krummel, et al. 1996. “Nutrition in Women’s Health”. Gaithersburg, Maryland :
An Aspen Publication.
Khumaidi, M.1989. Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas Pangan Gizi IPB:
Bogor
Khomsan, Ali. 2004. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Kurniawan Ani, 2002. Gizi Seimbang Untuk Mencegah Hipertensi, Jakarta:
Direktorat Gizi Masyarakat
Kuntarti, 2009. Air, pH dan Mineral (www.stafui.ac.id)
Kartono, Kartini. 1990. “Psikologi Anak”. Bandung : Mandar Maju. Komite Nasional
PBB Bidang Pangan dan Pertanian. 1992. Anemia Gizi. Seminar Gizi
Nasional, Persiapan
”International Conference on Nutrition, Rome, December 1992; Jakarta, 13-
14 Januari 1992.
Kardjati, dkk., 1985. Aspek Kesehatan dan Gizi Balita. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Kwatrin, Eva. 2007. “Fakor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada siswi
SMUN Bayah Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2007”. Depok :
Thesis FKMUI.
Leginem. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia pada
Mahasiswa Akademi Kebidanan Kota Banda Aceh tahun 2002. Tesis.Program
Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Lestari, Sri Basuki Dwi. 1996. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Anemia Gizi Remaja Putri SMU di Kabupaten Bandung.Tesis.Program Pasca
Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Linda, Nofa. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia Gizi pada Anak
SD/MI Kelas V dan VI di 7 Desa Miskin Kab Bogor tahun2002. FKM UI.
Depok
Linder, M.C., 1992. Biokimia, Nutrisi & Metabolisme (Parakhasi, A., penerjemah).
UI Press,Jakarta.
Lee, G.R., 1983, The Anemia of chronic disorders. Semin Haematology (20) 61-80
Lemeshow, Stanley. 1997.Besar Sampel Pada Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:
UGM Press.
Monks, F.J. 1999. “Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya”.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Morck, et al. 1983. “Inhibition of Food Iron Absorption By Coffee”. The American
Jornal of Clinical Nutrition [Online]. Vol.37, [Accesed 30th November
2014], p.416-420. Available from World Wide Web http://www.ajcn.org/
Moehji, Sjahmien. 1995. Ilmu Gizi. Jakarta: Bhratara.
Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi 2. Jakara: Papas Sinar Sinanti.
Mary E. Beck. 2000.Imu Gizi dan Diet Hubungan dengan penyakit-penyakit untuk
Dokter dan Perawat . Yayasan Essentia Medica: Yogyakarta.
Maulina, Leni. 2001. Hubungan Status Gizi dengan Pengetahuan Gizi dan Faktor-
faktor Sosial Ekonomi pada Remaja Putri Siswi SMU N 1 Bekasi Jawa Barat.
Skripsi FKM UI. Depok
Mudyahardjo, Redja, 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar, Bandung:
Remaja Rosdakarya,
Muryanti. 2006. Hasil survei kesehatan ibu, oleh Flourisa. Diakses pada tanggal 3
Mei 2014. http://www.Bkkbn.com. Muhilal dan Sukati Saidin. Departemen
Kesehatan RI. 1980. Ketelitian Hasil Penentuan Hemoglobin dengan Cara
Sianmetheglobin, Cara Sahli dan Sianmetheglobin-Tidak Langsung.Penelitian
Gizi dan Makanan, Jilid 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi
Muhilal. 1998. Program Makanan Latin dan di Indonesia.Gizi Indonesia vol XXIII.
Tambahan Anak Sekolah di Negeri
Muhilal, dkk., 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan.Widya Karya Pangan
& Gizi VII. LIPI, Jakarta
Mulyawati, Y. 2003. Perbandingan Efek Suplementasi Tablet Tambah Darah Dengan
dan Tanpa Vitamin C Terhadap Kadar Hemoglobin Pekerja Wanita di
Perusahaan Plywood Jakarta, Universitas Indonesia. Thesis.
McLean, et. Al. 2007. Wordwide Prevalence of Anemia in Pre-School Aged
Children, Pregnant Women and Non-Pregnant Women of Reproductive Age.
Switzerland: SIGHT ANG LIFE Press.
National Anemia Action Council. Anemia in Adolescents : The Teen Scene. 2009
January 14 . Available from: http://www.anemia.org. Cited 2011 March 9.
Nailul Izah, Saifi. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Anemia
Defisiensi Besi Pada Remaja Putri Kelas V Dan VII MI Negeri 02 Cempaka
Putih Tahun 2010. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat. Fakultas
Kesehatan Dan Ilmu Kedokteran. Uuniversitas Islam Negeri Syarif
Hidayatulloh: Jakarta.
Nasution, 2000. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Dan Mengajar,Jakarta:
Bumi Aksara
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka
Nurjanah. 2001. Hubungan Terapeutik perawat dan Klien. Yogyakarta : PSIK FK
UGM.
Bersedia dan mau berpartisipasi menjadi peserta penelitian yang akan dilakukan oleh
Eka Pratiwi dari Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
Atas kesediaan dan partisipasi Saudari kami mengucapkan banyakterima kasih
Ciputat,
………………………….
.
Mengetahui,
Responden Peneliti
(……………….) (……………………..)
KUESIONER PENELITIAN
Nomor Responden
Ciputat,
……………………….
Peneliti
KUESIONER ANEMIA PADA REMAJA PUTRI
MTS CIWANDAN TAHUN 2014
A. KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. No. responden :
2. Nama :
3. Alamat :
4. No tlp/hp
5. Umur/tanggal lahir :
6. Kadar Hb : mm/dl (diisi oleh peneliti)
B. KARAKERISIK ORANGTUA
1. Nama
a) Ayah :
b) Ibu :
2. Pendidikan (tahun)
a) Ayah
1. Tidak Sekolah
2. Tidak tamat SD/sederajat(Kelas ………)
3. Tamat SD/sederajat
4. Tidak tamat SLTP/sederajat(Kelas……..)
5. Tamat SLTP
6. Tidak tamat SLTA(Kelas ………)
7. Tamat SLTA
b) Ibu
1. Tidak Sekolah
2. Tidak tamat SD/sederajat (Kelas ………)
3. Tamat SD/sederajat
4. Tidak tamat SLTP/sederajat (Kelas……..)
5. Tamat SLTP
6. Tidak tamat SLTA (Kelas ………)
7. Tamat SLTA
C. UANG SAKU
1) Berapa uang saku anda dalam sehari/sebulan?
Rp.......................
1) Berapa banyak uang yang kamu habiskan untuk jajan (makanan) dalam
sehari?
2) Berapa banyak uang yang kamu pakai untuk ongkos?
E. PENGETAHUAN
1) A. Apakah anda pernah mendengar tentang penyakit anemia/kurang darah?
jika tidak langsung ke pertanyaan No.2.
1. Ya
2. Tidak
B.Bila pernah mendengar, darimana anda mendengar?
1. Petugas kesehatan
2. Saudara/anggota keluarga/teman
3. Pelajaran sekolah
4. Media massa (koran, majalah, radio, TV,dsb)
5. Selebaran, leaflet/booklet/poster
6. Lain-lain, ………….
2) A. Apakah anda pernahmendapat penyuluhan tentang penyakit anemia? jika
tidak, langsung ke pertanyaan No.3
1. Ya
2. Tidak
B. Dari mana anda mendapatpenyuluhan tentang penyakitanemia ?
1. Petugas kesehatan
2. Saudara/anggotakeluarga/teman
3. Pelajaran sekolah
4. Media massa (koran, majalah, radio, TV,dsb)
5. Selebaran, leaflet/booklet/poster
6. Lain-lain, ………….
3) Anemia merupakan kekurangan sel darah merah
1. Benar
2. Salah
4) Anemia disebut juga dengan tekanan darah rendah
1. Benar
2. Salah
5) Gejala anemia adalah 5 L (Lemah, letih, lesu, lemah, dan lunglai)
1. Benar
2. Salah
6) Orang suka tidur merupakan gejala anemia
1. Benar
2. Salah
7) Badan kurus adalah salah satu gejala anemia
1. Benar
2. Salah
8) Penyakit anemia pada wanita dapat disebabkan karena kurang makan
makanan bergizi
1. Benar
2. Salah
9) Anemia pada wanita dapat disebabkan karena penyakit kecacingan
1. Benar
2. Salah
10) Anemia pada wanita dapat disebabkan karena penyakit malaria
1. Benar
2. Salah
11) Anemia pada wanita dapat disebabkan karena menstruasi/haid
1. Benar
2. Salah
12) Wanita lebih rawan/sering terkena anemia daripada lakilaki
1. Benar
2. Salah
13) Anemia dapat disebabkan karena sering lupa makan atau frekuensi makan
yang kurang dari 3x sehari
1. Benar
2. Salah
14) Apakah anemia dapat diperiksadari konjungtiva/mata?
1. Tahu
2. Tidak tahu
15) Apakah anda tahu kurangdarah dapat diperiksa darilaboratorium (tes
darah/Hb) ?
1. Tahu
2. Tidak tahu
14) Dikatakan anemia pada remaja putri adalah jika sel darah merah atau
hemoglobin Hb< 14 g/dL
1. Benar
2. Salah
16) Anemia dapat menyebabkancepat lelah/capai
1. Benar
2. Salah
17) Anemia dapat mengakibatkankepala pusing/berkunangkunang/pingsan
1. Benar
2. Salah
18) Anemia dapat menyebabkanrasa malas/lemah
1. Benar
2. Salah
19) Anemia dapat mengakibatkan haid tidak teratur
1. Benar
2. Salah
20) Anemi dapat mengurangigairah beraktivitas
1. Benar
2. Salah
21) Anemia dapat mengurangi semangat belajar/prestasi menurun
1. Benar
2. Salah
22) Anemia dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat
1. Benar
2. Salah
23) Tablet yang berfungsi untuk mencegah dan mengobati anemia adalah tablet
tambah darah
1. Benar
2. Salah
24) Buah jeruk dapat membantu penyerapan zat besi
1. Benar
2. Salah
25) Makan sayuran hijau dapat mencegah anemia
1. Benar
2. Salah
26) Nasi merupakan sumber utama zat besi
1. Benar
2. Salah
27) Vitamin C dapat menghambat penyerapan zat besi
1. Benar
2. Salah
28) Teh dan kopi merupakan zat yang dapat membantu penyerapan zat besi
1. Benar
2. Salah
29) Lauk hewani dapat menghambat penyerapan zat besi
1. Benar
2. Salah
30) Lemak merupakan zat gizi yang banyak mengandung zat besi
1. Benar
2. Salah
D. POLA MENSRUASI
1) Apakah anda sedang haid?
1. Ya
2. tidak
2) Berapa lama frekuensi haid anda?
1. 1bulan sekali
2. 2 bulan sekali
3. 1 bulan dua kali
3) Berapa lama anda haid?
1. 6 hari
2. > 6 hari
4) Anda mulai haid umur?
3. <11 tahun
4. 11-13 tahun
5. >15 tahun
5) Disaat mens ada saat dimana darah keluar banyak dan sedikit, berapa hari
disaat darah keluar banyak?
1. <3hari
2. 3-8 hari
3. >8hari
6) Berapa kali anda gani pembalut dalam sehari
1. <3 kali/sehari
2. 2-5 kali/hari
3. >6 kali/h
FORMULIR FOOD RECORD
Hari ke:
Waktu Nama Bahan Makanan
Makan Makanan Jenis Urt Garam
Pagi
Pukul .....
Siang
Pukul........
Sore
Pukul ....
FORMULIR FFQ
Petunjuk Pengisian:
Isilah tabel dibawah ini dengan menceklis jenis makanan yang dimakan dalam frekuensi konsumsi berserta jumlah makanan dalam ukuran
rumah tangga (URT)
Tidak 1x/ 2-3x/ 4-6x/ 1x/ 2-3x/ 4-6x/ 1x/ 1-3x/ URT gr
pernah hari Hari hari minggu minggu minggu bulan bulan
1. Makanan pokok
a. Nasi
b. Roti
c. Mie/bihun
d. Ubi-ubian
e. Kentang
f. Jagung
g.
2. Lauk hewani dan
produk lainna
a. Telur bebek
b. Telur ayam
c. Daging sapi
d. Daging ayam
e. Daging kambing
f. Hati
g. Ikan
h. Bakso
i. Udang segar
j. Teri
Tabel Distribusi Frekuensi Sosial Ekonomi, Pola Menstruasi, Pola Konsumsi TTD, dan
Kebiasaan Makan dengan Anemia
Anemia
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Normal 85 69.1 69.1 69.1
Anemia 38 30.9 30.9 100.0
Total 123 100.0 100.0
Pengetahuan
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Baik 63 51.2 51.2 51.2
kurang baik 60 48.8 48.8 100.0
Total 123 100.0 100.0
uang_jajan
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Pendidikan Orangtua
Pendid
ikan Valid Cumulative
Ortu Frequency Percent Percent Percent
Valid Tinggi 59 48.0 48.0 48.0
Rendah 64 52.0 52.0 100.0
Pola Haid
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid normal 85 69.1 69.1 69.1
tidak
38 30.9 30.9 100.0
normal
Total 123 100.0 100.0
Pendapatan Orangtua
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid tinggi 40 32.5 32.5 32.5
renda
83 67.5 67.5 100.0
h
Total 123 100.0 100.0
Pendidikan Orangtua
Pendid
ikan Valid Cumulative
Ortu Frequency Percent Percent Percent
Valid Tinggi 59 48.0 48.0 48.0
Rendah 64 52.0 52.0 100.0
asupan_protein
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Baik 45 36.6 36.6 36.6
tidak baik 78 63.4 63.4 100.0
Total 123 100.0 100.0
asupan_Vit.C
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Baik 20 16.3 16.3 16.3
tidak baik 103 83.7 83.7 100.0
Total 123 100.0 100.0
asupan_fe
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Baik 23 18.7 18.7 18.7
tidak baik 100 81.3 81.3 100.0
Total 123 100.0 100.0
Frekuensi Makan
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Baik 107 87.0 87.0 87.0
tidak baik 16 13.0 13.0 100.0
Total 123 100.0 100.0
Frekuensi makan sumber heme
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Baik 94 76.4 76.4 76.4
tidak baik 29 23.6 23.6 100.0
Total 123 100.0 100.0
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 10.917 1 .001
b
Continuity Correction 9.665 1 .002
Likelihood Ratio 11.161 1 .001
Fisher's Exact Test .002 .001
Linear-by-Linear
10.828 1 .001
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.54.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
pengetahuan (baik / 3.868 1.694 8.832
kurang baik)
For cohort anemia =
1.501 1.162 1.938
normal
For cohort anemia =
.388 .212 .711
Anemia
N of Valid Cases 123
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 7.553a 1 .006
b
Continuity Correction 6.470 1 .011
Likelihood Ratio 7.383 1 .007
Fisher's Exact Test .008 .006
Linear-by-Linear
7.491 1 .006
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.28.
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
uang_jajan (tinggi / 2.995 1.350 6.643
rendah)
For cohort anemia =
1.449 1.070 1.961
normal
For cohort anemia =
.484 .288 .812
Anemia
N of Valid Cases 123
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
pendapatan_ortu (tinggi 6.245 2.034 19.174
/ rendah)
For cohort anemia =
1.524 1.240 1.875
normal
For cohort anemia =
.244 .093 .641
Anemia
N of Valid Cases 123
4. Hubungan pendidikan orangua dengan kejadian anemia
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 7.970 1 .005
b
Continuity Correction 6.906 1 .009
Likelihood Ratio 8.176 1 .004
Fisher's Exact Test .006 .004
Linear-by-Linear
7.905 1 .005
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,23.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
pend.ortu (tinggi / 3.184 1.400 7.243
rendah)
For cohort anemia =
1.407 1.104 1.793
normal
For cohort anemia =
.442 .241 .810
Anemia
N of Valid Cases 123
5. Hubungan pola haid dengan kejadian anemia remaja
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 1.138E2 1 .000
b
Continuity Correction 109.350 1 .000
Likelihood Ratio 131.968 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
112.885 1 .000
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,74.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
pola_haid (normal / 3.108E3 189.252 51041.290
tidak normal)
For cohort anemia =
37.553 5.428 259.795
normal
For cohort anemia =
.012 .002 .085
Anemia
N of Valid Cases 123
6. Hubungan asupan Zat gizi dengan kejadian anemia
asupan_energi * anemia
Crosstab
anemia
normal Anemia Total
asupan_energi baik Count 27 2 29
% within asupan_energi 93.1% 6.9% 100.0%
tidak baik Count 58 36 94
% within asupan_energi 61.7% 38.3% 100.0%
Total Count 85 38 123
% within asupan_energi 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 10.236a 1 .001
b
Continuity Correction 8.818 1 .003
Likelihood Ratio 12.420 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear
10.153 1 .001
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,96.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
asupan_energi (baik / 8.379 1.878 37.378
tidak baik)
For cohort anemia =
1.509 1.251 1.820
normal
For cohort anemia =
.180 .046 .703
Anemia
N of Valid Cases 123
asupan_protein * anemia
Crosstab
anemia
normal Anemia Total
asupan_protein baik Count 40 5 45
% within
88.9% 11.1% 100.0%
asupan_protein
tidak baik Count 45 33 78
% within
57.7% 42.3% 100.0%
asupan_protein
Total Count 85 38 123
% within
69.1% 30.9% 100.0%
asupan_protein
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 13.008 1 .000
b
Continuity Correction 11.588 1 .001
Likelihood Ratio 14.418 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
12.903 1 .000
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,90.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
asupan_protein (baik / 5.867 2.089 16.474
tidak baik)
For cohort anemia =
1.541 1.241 1.913
normal
For cohort anemia =
.263 .110 .624
Anemia
N of Valid Cases 123
asupan_Vit.C * anemia
Crosstab
Anemia
normal Anemia Total
asupan_Vit.C Baik Count 20 0 20
% within
100.0% .0% 100.0%
asupan_Vit.C
tidak baik Count 65 38 103
% within
63.1% 36.9% 100.0%
asupan_Vit.C
Total Count 85 38 123
% within
69.1% 30.9% 100.0%
asupan_Vit.C
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 10.677a 1 .001
b
Continuity Correction 9.019 1 .003
Likelihood Ratio 16.463 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
10.591 1 .001
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,18.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.530a 1 .011
b
Continuity Correction 5.313 1 .021
Likelihood Ratio 7.816 1 .005
Fisher's Exact Test .011 .007
Linear-by-Linear
6.477 1 .011
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,11.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab
anemia
normal Anemia Total
frek_mkn_shr Baik Count 83 24 107
% within
77.6% 22.4% 100.0%
frek_mkn_shr
tidak baik Count 2 14 16
% within
12.5% 87.5% 100.0%
frek_mkn_shr
Total Count 85 38 123
% within
69.1% 30.9% 100.0%
frek_mkn_shr
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 27.604 1 .000
b
Continuity Correction 24.640 1 .000
Likelihood Ratio 26.122 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
27.379 1 .000
Association
N of Valid Casesb 123
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,94.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
frek_mkn_shr (baik / 24.208 5.140 114.019
tidak baik)
For cohort anemia =
6.206 1.691 22.779
normal
For cohort anemia =
.256 .172 .382
Anemia
N of Valid Cases 123
Crosstab
anemia
normal Anemia Total
frek_mkn_smber_hem baik Count 81 13 94
e % within
86.2% 13.8% 100.0%
frek_mkn_smber_heme
tidak baik Count 4 25 29
% within
13.8% 86.2% 100.0%
frek_mkn_smber_heme
Total Count 85 38 123
% within
69.1% 30.9% 100.0%
frek_mkn_smber_heme
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 54.379 1 .000
b
Continuity Correction 51.042 1 .000
Likelihood Ratio 53.271 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
53.937 1 .000
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,96.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
frek_mkn_smber_heme 38.942 11.647 130.206
(baik / tidak baik)
For cohort anemia =
6.247 2.506 15.575
normal
For cohort anemia =
.160 .095 .271
Anemia
N of Valid Cases 123
Crosstab
anemia
normal Anemia Total
frek_mkn_smber_nonH Baik Count 84 0 84
eme % within
frek_mkn_smber_nonH 100.0% .0% 100.0%
eme
tidak baik Count 1 38 39
% within
frek_mkn_smber_nonH 2.6% 97.4% 100.0%
eme
Total Count 85 38 123
Crosstab
anemia
normal Anemia Total
frek_mkn_smber_nonH Baik Count 84 0 84
eme % within
frek_mkn_smber_nonH 100.0% .0% 100.0%
eme
tidak baik Count 1 38 39
% within
frek_mkn_smber_nonH 2.6% 97.4% 100.0%
eme
Total Count 85 38 123
% within
frek_mkn_smber_nonH 69.1% 30.9% 100.0%
eme
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 1.184E2 1 .000
b
Continuity Correction 113.916 1 .000
Likelihood Ratio 142.789 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
117.473 1 .000
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,05.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
For cohort anemia =
39.000 5.634 269.949
normal
N of Valid Cases 123
Frekuensi Makan Peningkat Fe * anemia
Crosstab
anemia
normal Anemia Total
frek_mkn_pningkat baik Count 82 0 82
Fe % within
100.0% .0% 100.0%
frek_mkn_pningkatFe
tidak baik Count 3 38 41
% within
7.3% 92.7% 100.0%
frek_mkn_pningkatFe
Total Count 85 38 123
% within
69.1% 30.9% 100.0%
frek_mkn_pningkatFe
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.100E2a 1 .000
b
Continuity Correction 105.678 1 .000
Likelihood Ratio 130.625 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
109.082 1 .000
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,67.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
For cohort anemia =
13.667 4.598 40.624
normal
N of Valid Cases 123
Frekuensi makan penghambat Fe* anemia
Crosstab
anemia
normal Anemia Total
frek_mkn_pnghambat baik Count 72 12 84
Fe % within
frek_mkn_pnghambatF 85.7% 14.3% 100.0%
e
tidak baik Count 13 26 39
% within
frek_mkn_pnghambatF 33.3% 66.7% 100.0%
e
Total Count 85 38 123
% within
frek_mkn_pnghambatF 69.1% 30.9% 100.0%
e
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 34.229a 1 .000
b
Continuity Correction 31.819 1 .000
Likelihood Ratio 33.542 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
33.951 1 .000
Association
N of Valid Casesb 123
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,05.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
frek_mkn_pnghambatF 12.000 4.861 29.625
e (baik / tidak baik)
For cohort anemia =
2.571 1.636 4.042
normal
For cohort anemia =
.214 .121 .378
Anemia
N of Valid Cases 123